BAB I PENDAHULUAN. Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari sudut ilmu bahasa kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi atas pemeritahan negara, daerah, dan sebagainya. Dalam konteks ilmu tata negara, Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Namun demikian dalam proses perkembangan lebih lanjut, telah terjadi perubahan makna kedaulatan negara. 1 Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara lain. 2 Berkaitan dengan arti dan makna kedaulatan, Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus dari suatu negara. Tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang dinamakan negara. 3 Ia juga 1 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta 2011 hal 8 2 Ibid. 3 Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung 1996 hal 89

2 menyatakan bahwa kedaulatan tersebut mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai : 1. Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain; 2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaannya 3. Bersifat abadi atau kekal; 4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja; 5. Tidak dapat dipindahtangankan atau diserahkan kepada pihak lain. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. 4 Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang ditetapkan melalui hukum internasional. 4 Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Jakarta hal 7

3 Melihat dari kenyataan di lapangan, akhir-akhir ini banyak pesawat asing yang melintas di wilayah udara negara Indonesia. Pesawat-pesawat asing melintas tanpa seizin menara pengawas yang ada di darat. Biasanya kebanyakan pesawat yang melintas tanpa izin adalah pesawat-pesawat militer negara asing. Masalah ini sudah sering terjadi dan dirundingkan bersama dengan negara yang pesawatnya melintas di wilayah udara negara Indonesia. Masalah pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan sangat terkait erat dengan konsepsi dasar tentang negara sebagai entitas yang memiliki kedaulatan, penduduk, dan wilayah serta tafsir atau persepsi atas ancaman yang dihadapi. Dengan demikian, pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan dapat disimpulkan sebagai segala upaya untuk mewujudkan eksistensi suatu negara yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini merupakan bagian dari satu pemahaman totalitas mengenai konsep keamanan nasional yang intinya adalah kemampuan negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus, dengan menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan. 5 Sesuai Konvensi Chicago 1944, dalam Pasal I dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh 5 Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, tanpa tahun. hal 89

4 atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah: (1). Setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya (2). Tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana yuridiksi wilayah udara suatu Negara? 2. Bagaimana prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia (internasional)? 3. Bagaimana Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah a. Untuk mengetahui yuridiksi wilayah udara suatu Negara

5 b. Untuk mengetahui prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia (internasional) c. Untuk mengetahui Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional. 2. Manfaat Penelitian Mmanfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Secara teoritis Untuk pengembangan studi ilmu hukum selanjutnya, khususnya di bidang Hukum Internasional yaitu Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Serta penulis berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah khasanah kepustakaan Hukum Udara dan Ruang Angkasa. b. Secara praktis Sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di bidang kedirgantaraan dan keantariksaan, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian sumber-sumber alam baru. D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi mengenai Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional menurut sumber dari jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum belum ada yang mengangkat dan mambahasnya.

6 Adapun beberapa skripsi mempunyai profil yang sama dengan judul skripsi ini berbeda dengan skripsi laun yang topiknya sama/ hampir sama antara lain : Tarulina Debora Saragih (2010) dengan judul Pengaruh Asean Charter (Piagam Asean) Terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya permasalahan dalam penelitian ini adalah; Proses Ratifikasi Piagam ASEAN, B. Pemberlakuan Piagam ASEAN terhadap Negara Anggotanya dan analisa Pengaruh Pemberlakuan Piagam ASEAN terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya. Fachrizal Lubis (2010) Penerapan Yurisdiksi Unversal Melalui Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) permasalahan dalam penelitian ini adalah: Penerapan Yurisdiksi Universal, B. Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya, C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)dan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui Mekanisme Ekstradisi Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) Oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) Berdasarkan Yurisdiksi Universal. E. Tinjauan Pustaka 1. Berdirinya Suatu Negara. Sebagaimana diketahui dalam literatur-literatur ketatanegaraan khususnya yang membahas tentang ilmu negara menyebutkan bahwa syarat-syarat berdirinya suatu negara itu harus memenuhi tiga unsur pokok negara, yaitu adanya suatu wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Ketiga unsur tersebut sudah

7 dipenuhi oleh negara-negara yang sudah berdiri dan ada pada saat ini. Dengan kata lain, tidak ada satu pun negara yang ada di dunia sekarang ini yang tidak memenuhi ketiga unsur tersebut. Unsur wilayah di sini tidak terbatas pada wilayah daratan saja, namun termasuk juga wilayah laut dan udara. Di dunia ini ada negara yang tidak memiliki wilayah laut namun tidak satu pun negara yang tidak memiliki ruang udara. Dalam hukum Romawi, ada suatu adagium yang menyebutkan, bahwa "Cujus est soluni, ejus est usque ad coelum". Artinya, barang siapa yang memiliki sebidang tanah maka ia juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah. Menurut dalil tersebut, apabila suatu negara memiliki tanah maka dengan sendirinya negara itu akan memiliki ruang udara di atasnya. Ternyata, dalil tersebut masih bersifat umum dan ada ketentuan lain yang bersifat lebih khusus sebagai ketentuan pengecualiannya. Ketentuan pengecualian itu menyatakan bahwa udara sebagai unsur "res communis". Kata "aerrescommunis" dijumpai dalam kalimat "corpus juris civilis" 6 2. Teori Kepemilikan ruang udara. Pada tahun 1913 muncul dua teori yaitu : a. The Air Freedom Theory menyatakan bahwa udara dapat menjadi bebas karena sifat yang dimilikinya (by its nature is free dan dapat dikelompokkan menjadi: 7 6 Priyatna, 1972:49 7 Ibid. hal 54

8 1) Kebebasan ruang udara tanpa batas. 2) Kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara kolong. 3) Kebebasan ruang udara tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan. b. The Air Sovereignty Theory dapat dikelompokkan menjadi: 1) Negara kolong berdaulat penuh hanya terhadap suatu ketinggian tertentu di ruang udara 2) Negara kolong berdaulat penuh tetapi dibatasi oleh hak lintas damai bagi navigasi pesawat-pesawat udara asing. 3) Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas. Teori kedua merupakan kebalikan dari teori pertama yang menyatakan bahwa udara itu tidak bebas sehingga negara berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Dalam Teori kedua tampaknya sudah ada pembatasan negara atas wilayah udara, yaitu adanya hak lintas damai (innocent passage) bagi pesawat udara asing. Dengan demikian, apabila ada pesawat udara asing yang terbang di ruang udara suatu negara maka akan mempunyai risiko yang berbeda sesuai teori mana yang dianutnya, apakah teori udara bebas atau teori udara tidak bebas. 3. Teori-teori lain International Air Transport Agreement. Pada Pasal 1 ayat (1) International Air Transport Agreement 1944 menyatakan: "Each contracting State grants to the other contracting State the Following freedoms of the air in respect of scheduled international air services :

9 1) The privilege to fly across its territory with out landing. 2) The privilege to land for non traffic purposes 3) The privilege to put down passengers, mail and cargo taken on in territory of the state whose nationality the aircraft possesses. 4) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory of the state whose nationality the aircraft possesses. 5) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory of any other contracting state and the privilege to put down passengers, mail and cargo coming from any such territory...", Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan International Air Transport Agreement tersebut dikenal juga dengan The Five Freedom Agreement. Selain itu, dalam Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944 diatur tentang Non Scheduled Flight dan Scheduled Flight. Dengan demikian, akan timbul beberapa masalah antara teori-teori yang ada dengan ketentuan-ketentuan mengenai penerbangan pesawat udara, khususnya penerbangan pesawat udara asing. Permasalahan yang dapat timbul antara lain bagaimanakah kaitan antara kedaulatan suatu negara atas ruang udara di atasnya dengan kebebasan melintas yang dimiliki oleh pesawat asing sesuai perjanjian-perjanjian yang mengaturnya; bagaimana pula kaitannya dengan ketentuan mengenai non scheduled flight dan scheduled flight 4. Konvensi Chicago Pada Bagian 1 Air Navigation bab 1 General Principles and Application of the Convention, Article 1 Sovereignty. The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory, berarti bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang penuh dan mutlak atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya. Yang berarti bahwa diruang

10 udara tidak dikenal hak lintas damai (innocent Passage). Hal ini akan sangat bertentangan dengan prinsip yang dituangkan dalam Unclos tahun 1982 yang mengenal adanya hak lintas damai bagi semua pesawat udara yang akan melintas. Sehingga dengan adanya pertentangan tersebut haruslah diambil jalan keluar agar antara satu aturan dapat disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada lainnya. Konvensi Chicago 1944 pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi kedaulatan negara, termasuk atas wilayah udaranya. Akan tetapi, untuk kepentingan bersama masyarakat internasional, konvensi itu dengan panjang lebar mengatur sangat rinci aturan-aturan yang terkait dengan penerbangan dan lalu lintas penerbangan di dunia, khususnya penerbangan sipil, tetapi dalam lampirannya diatur juga mengenai koordinasi penerbangan militer. Pada Article 5, non-scheduled flight Each contracting State agrees that all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in scheduled international air services shall have the right, subject to the observance of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across its territory and to make stops for non-traffic purposes without the necessity of obtaining prior permission, and subject to the right of the State flown over to require landing. Each contracting State nevertheless reserves the right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed over regions which are inaccessible or without adequate air navigation facilities to follow prescribed routes, or to obtain special permission for such flights. Such aircraft, if engaged in the carriage of passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on other than scheduled international air services, shall also, subject to the provisions of Article 7, have the privilege of taking on or discharging passengers, cargo, or mail, subject to the right of any State where such embarkation or discharge takes place to impose such regulations, conditions or limitations as it may consider desirable. Dalam Pasal 5 di atas dijelaskan tentang Penerbangan tidak berjadwal (Non schedule Flight) sebagai berikut : a. Bagi sesama anggota Konvensi, dapat terbang tanpa berhenti, dan atau mendarat bukan untuk kepentingan komersial (for non traffic purposes)

11 dengan tanpa ijin terlebih dahulu, namun Negara yang dilewati berhak meminta untuk mendarat. b. Dapat mendarat tanpa maksud tujuan komersial dengan tanpa ijin terlebih dahulu, karena alasan keselamatan penerbangan (for reason of safety of flight) dan Negara anggota memberikan hak kepada pesawat itu untuk melanjutkan terbang kembali. c. Bagi pesawat tidak berjadwal yang bersifat komersial, setiap negara berhak menetapkan aturan-aturan atau persyaratan-persyaratan yang dipandang perlu. Pada Article 6 tentang Scheduled air services No scheduled international air service may be operated over or into the territory of a contracting State, except with the special permission or other authorization of that State, and in accordance with the terms of such permission or authorization. Dalam Pasal 6 dijelaskan tentang penerbangan secara berjadwal yang menyatakan bahwa tidak satupun penerbangan berjadwal beroperasi di atas atau ke dalam wilayah territorial Negara sesama anggota konvensi, kecuali dengan adanya special permission /perjanjian bilateral /multilateral (Perjanjian tersebut dibuat dengan melibatkan antara Negara yang akan dilewati/ didarati dengan suatu prinsip timbal balik). Konvensi itu dihasilkan dari kesadaran risiko bahaya dari moda transportasi udara, yang jauh lebih tinggi dari modatransportasi lainnya. Oleh karena itulah, dalam dunia penerbangan diatur sangat rinci, antara lain, mengenai jalur-jalur penerbangan yang harus dipatuhi semua pesawat sebagai diatur dalam

12 Enroute Charts ICAO, serta siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information region (FIR). Sejak konvensi itu dibuat hingga industri penerbangan sipil yang maju semakin pesat sejak 1970-an, wilayah udara dunia telah diatur sedemikian rupa oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) berdasarkan berbagai faktor, antara lain ketersediaan berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara sejak awal memang tidak sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara, tetapi juga tidak lantas menghilangkan kedaulatan suatu negara atas wilayah udaranya. Hal itulah yang membuat tidak seluruh wilayah kedaulatan RI, FIR-nya diatur oleh Jakarta. Sebagian wilayah RI, khususnya di sekitar Kepulauan Riau, FIR-nya diatur oleh Singapura. Bukan hanya Indonesia yang sebagian wilayahnya masuk dalam FIR negara lain. Banyak negara lain di dunia pun mengalaminya, bahkan Indonesia pun memegang FIR untuk Pulau Christmas milik Australia, wilayah Papua Niugini dan Timor Leste yang belum lama merdeka. Artinya, pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas, misalnya, melapornya harus ke Indonesia. Kenyataan tersebut menegaskan bahwa masalah alur dan pengaturan penerbangan tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan kedaulatan negara. Dalam Konvensi Chicago Pasal 9 ditetapkan, setiap negara (sebagai wujud dari kedaulatannya) berhak menetapkan wilayah-wilayah yang dinyatakan

13 terlarang untuk penerbangan, baik karena alasan kebutuhan militer maupun keselamatan publik. Indonesia pun memiliki "wilayah terlarang" tersebut. Terkait Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) RI-Singapura yang sudah ditandatangani di Bali tetapi belum secara resmi berlaku, memang ada kekhawatiran bahwa ditetapkannya beberapa wilayah RI sebagai tempat latihan untuk pesawat-pesawat militer Singapura akan membuat akses penerbangan RI melalui wilayah itu ditutup. Terlebih lagi ada isu bahwa frekuensi latihan pesawat-pesawat militer Singapura itu akan sangat sering sehingga dikhawatirkan Indonesia kehilangan "kontrol" atas wilayah-wilayah yang dipinjamkan kepada Singapura itu. Antara RI dan Singapura sejak era 1980-an telah ada kesepakatan mengenai penggunaan wilayah RI untuk tempat berlatih angkatan bersenjata Singapura. Kerja sama terakhir kedua negara yang tertuang dalam Persetujuan mengenai Latihan Militer (MTA) di Area 1 dan 2 yang ditandatangani Menteri Pertahanan dan Keamanan RI Edi Sudrajat dan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan Singapura Dr Tony Tan pada September 1995, areanya tidak banyak berbeda dengan apa yang disebut Alpha 1 dan Alpha 2 dalam DCA RI-Singapura yang belum berlaku itu. 5. UU no 15 tahun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun Menurut UU no 15 tahun Undang - Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 1992 Tentang Penerbangan pasal 4 bahwa Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia. Hal ini berarti Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan

14 utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Kemudian pada Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan, dan ekonomi nasional. Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar-besar kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. 6. UNCLOS III 1982 Territorial sea and Continous Zone, Section 1. General Provision, Article 2 Legal Status of the territorial sea, of the air space over the territorial sea and of its bed and subsoil. 1. The souvereignity of coastal state extends, beyond its territory and internal waters and, in the case of an archipelagic state, its archipelagic waters, to an adjaeent belt of sea, described as the territorial sea.

15 2. This soverignity extends to the air space over the territorial sea as well as to itsbed and subsoil. Dalam Pasal 2 tentang Status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial dan dasar laut serta tanah di bawahnya. 1. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara Kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial. 2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut territorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Dalam Pasal 49, dijelaskan lingkup kedaulatan suatu negara sebagai berikut : 1. Kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. 2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Namun di dalam negara yang berdaulat tersebut harus diberikan hak lintas alur laut bagi kapal maupun rute penerbangan bagi pesawat udara negara lain. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 53 sebagai berikut : Hak Lintas alur laut kepulauan (innocent Passage)

16 1. Suatu Negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. 2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan demikian. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Eksistensi rangkaian suatu metode penelitian dapat diawali dari penentuan jenis penelitiannya, dimana jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah Penelitian Normatif atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal. Penelitian normatif, adalah merupakan penelitian pustaka, sehingga dalam pengumpulan data-data penulis tidak perlu mencari langsung ke lapangan akan tetapi cukup dengan pengumpulan data sekunder yang kemudian dikonstruksikan dalam satu rangkaian hasil penelitian. Penelitian normatif sebagai studi pustaka, pada dasarnya adalah berfungsi untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. 8 Dalam penulisan hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif (doktrin) yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian normatif yang dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan hal Bambang Sunggono.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.1996.

17 objek atau subjek yang diteliti pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya Jenis Data Dalam penelitian hukum normatif ini jenis data digunakan adalah data sekunder yaitu, data yang dikumpulkan oleh orang lain. Pada waktu penelitian dimulai data telah tersedia, atau dapat disebut sebagai data given begitu adanya karena tidak diketahui metode pengambilannya dan validitasnya. 10 Dimana data sekunder yang dimaksud adalah data yang memberikan informasi terkait mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara. Dalam penelitian ini penulis memperoleh data dari studi kepustakaan, berupa literature, majalah, koran, makalah, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, korespondensi, dan semua bahan sekunder lainnya yang terkait dengan penelitian ini. 3. Sumber Data Penelitian hukum normatif berdasarkan ketentuan jenis data yang digunakan adalah data sekunder meliputi 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu sebagai berikut: 1). Bahan Hukum Primer, Berupa bahan hukum yang bersifat mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah yang dapat berupa, norma dasar atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, 9 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press hal Bambang Sunggono, Op.Cit, hal 37

18 yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman kolonial belanda yang masih berlaku. 11 2). Bahan Hukum Sekunder, Bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, dimana dalam penelitian ini sumber bahan sekunder berasal dari buku-buku ilmiah, hasil penelitian terdahulu, makalah-makalah ilmiah, korespondensi, dan dokumendokumen yang terkait dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini dokumen-dokumen, makalah, atau karya tulis daripenulis terdahulu, adalah berasal dari arsip yang dimiliki oleh Departemen Luar Negeri RI, dan Departemen Dalam Negeri RI, yang memberikan informasi mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara 3). Bahan Hukum Tersier, Bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan Hukum Primer dan Sekunder yang berupa Ensiklopedia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Bibliografi. 4. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam suatu penelitian ada banyak macamnya tergantung pada masalah yang dipilih serta metode penelitian yang digunakan. 12 Sesuai dengan yang telah ditegaskan sebelumnya bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif, sehingga data-data yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari membaca, mengkaji, dan menelaah data yang berasal dari buku-buku, literature, makalah, dokumen-dokumen, Koran, majalah, karya tulis 11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali hal Bambang Sunggono, Op.Cit., hal 53

19 ilmiah, serta berbagai sumber kajian yang mengulas mengenai penentuan dan penetapan garis batas landas kontinen oleh penulis dikaitkan dengan ketentuan yang diaplikasikan pada yuridiksi wilayah udara suatu negara dalam perspektif hukum internasional 5. Analisis Data Pada penelitian Hukum Normatif yang menelaah data sekunder, penulis disini menggunakan teknik analisis logis, sistematis, dan yuridis, untuk mengolah data-data yang telah dikumpulkan, dianalisis, dan disimpulkan, guna mencapai tujuan dari penelitian yaitu untuk mencari jawaban dari rumusan masalah yang diteliti, agar hasil dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan BAB II YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA Pada bab ini akan membahas tentang Pengertian Kedaulatan Negara, Pengertian Yurisdiksi, Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional, Macam-Macam Yurisdiksi Negara dan Kedaulatan dan Yurisdiksi di Wilayah Perairan dan Udara

20 BAB III PRINSIP HUKUM UDARA YANG DIANUT BANGSA- BANGSA DI DUNIA (INTERNASIONAL). Pada bab ini akan membahas tentang Sejarah Munculnya Hukum Udara Internasional, Prinsip-prinsip Hukum Udara Internasional, Pembatasan Yurisdiksi Negara berdasarkan Piagam Organisasi Internasional dan Sukhoi TNI-AU Cegat Cessna Milik Amerika BAB IV YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Pada bab ini akan membahas Pengertian Perbatasan Negara, Klasifikasi Perbatasan Negara Penetapan Perbatasan Negara dan Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Negara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan membahas kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihakpihak yang terlibat dalam yuridiksi wilayah udara suatu negara

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING Oleh: Sylvia Mega Astuti I Wayan Suarbha Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi udara adalah salah satu jenis transportasi yang memiliki unsur manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan hukum

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau krisis Suriah adalah konflik senjata berkelanjutan di Suriah antara pasukan pendukung pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Medan sekitar pukul Wib saat memasuki udara Indonesia. 1 Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Medan sekitar pukul Wib saat memasuki udara Indonesia. 1 Diperkirakan 8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah pesawat sipil bermesin tunggal jenis Swearingen SX-300 dipaksa untuk turun F16 Fighting Falcon milik TNI AU ke landasan di Lanud Soewondo, Medan sekitar pukul

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Udara merupakan hukum yang mengatur penggunaan ruang udara, khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam peranannya sebagai unsur yang

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesawat udara merupakan salah satu alat transportasi yang digemari dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat jika menggunakannya.

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam upaya pemilihan judul skripsi ini. Sebab dunia internasional dihadapkan kepada beragam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dengan perjuangan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara 8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) yang terdiri dari pulau besar dan kecil yang menurut perhitungan terakhir

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA Oleh: Ida Ayu Karina Diantari Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah the most broken-up nation in the world, satu negeri,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah the most broken-up nation in the world, satu negeri, BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Indonesia adalah the most broken-up nation in the world, satu negeri, satu bangsa yang paling terserak-serak rakyatnya, terhimpun dari 17.499 pulau dan 80.791 km garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus single majority

BAB I PENDAHULUAN. maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus single majority 9 BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Indonesia yang telah menjadi anggota organisasi penerbangan sipil internasional sejak 20 April 1950 telah menyempurnakan Undang-undang Nomor. 19 tahun 1992 dengan

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH 1 PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh : DITA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain. SELAT NAVIGASI Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Dalam arti geografis:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa

Lebih terperinci

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL A. Sejarah Hukum Udara Internasional Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara merupakan suatu pilihan yang tidak dapat dielakkan, Indonesia adalah negara yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82)

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82) PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82) Mufti Fathonah Muvariz Prodi Teknik Informatika Konsentrasi Teknik Geomatika Course Outline Perairan Pedalaman Laut Teritorial Zona

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Kedaulatan Wilayah. Kedaulatan. Negara. Pengertian Kedaualatan: tertentu dibatasi oleh batas-batas. wilayah. wilayahnya.

Kedaulatan Wilayah. Kedaulatan. Negara. Pengertian Kedaualatan: tertentu dibatasi oleh batas-batas. wilayah. wilayahnya. Kedaulatan Negara Kedaulatan Wilayah Berasal dari kata : souvereignty (Inggris) superanus (Latin) Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail:

Lebih terperinci

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Oleh : Ida Kurnia * Abstrak Sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia telah mempunyai

Lebih terperinci

Isi Perjanjian DCA RI Singapura

Isi Perjanjian DCA RI Singapura 105 Lampiran 1 Isi Perjanjian DCA RI Singapura Pasal 1, Tujuan Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk membentuk suatu kerangka kerjasama strategis yang komprehensif guna meningkatkan kerjasama bilateral

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ruang angkasa merupakan sebuah tempat baru bagi manusia, sebelumnya ruang angkasa merupakan wilayah yang asing dan tidak tersentuh oleh peradaban manusia. Potensi ruang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN Made Nanika Mawapusti Yadnya I Ketut Sudiarta Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas

Lebih terperinci

State Sovereignty over the Airspace Concept and Enforcement Efforts of Sovereignty Violations by Foreign Aircraft

State Sovereignty over the Airspace Concept and Enforcement Efforts of Sovereignty Violations by Foreign Aircraft Konsep Kedaulatan Negara di Ruang Udara dan Upaya Penegakan Pelanggaran Kedaulatan oleh Pesawat Udara Asing State Sovereignty over the Airspace Concept and Enforcement Efforts of Sovereignty Violations

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini memiliki hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DI PERBATASAN WILAYAH UDARA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh:

PENEGAKAN HUKUM DI PERBATASAN WILAYAH UDARA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh: 263 PENEGAKAN HUKUM DI PERBATASAN WILAYAH UDARA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Oleh: Andre Paminto W., S.H., M.H. Misran Wahyudi, S.H., M.H. Subdiskumdirga Dinas Hukum Angkatan Udara Jakarta Abstract

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara

Lebih terperinci

PENEGAKAN YURISDIKSI TERITORIAL NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENCAPAIAN ASEAN PHYSICAL CONNECTIVITY

PENEGAKAN YURISDIKSI TERITORIAL NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENCAPAIAN ASEAN PHYSICAL CONNECTIVITY PENEGAKAN YURISDIKSI TERITORIAL NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENCAPAIAN ASEAN PHYSICAL CONNECTIVITY Oleh Renfred Valdemar Ida Ayu Sukihana Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota masyarakat membutuhkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

PRINSIP CABOTAGE DALAM INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA DI ERA ASIAN SINGLE AVIATION MARKET 2015

PRINSIP CABOTAGE DALAM INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA DI ERA ASIAN SINGLE AVIATION MARKET 2015 PRINSIP CABOTAGE DALAM INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA DI ERA ASIAN SINGLE AVIATION MARKET 2015 Adi Kusumaningrum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang (adi.kusumaningrum@gmail.com) Abstract ASEAN

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM MEMANFAATKAN WILAYAH UDARA UNTUK KEPENTINGAN PENERBANGAN DI WILAYAH KEDAULATAN N.K.R.I.

POLITIK HUKUM MEMANFAATKAN WILAYAH UDARA UNTUK KEPENTINGAN PENERBANGAN DI WILAYAH KEDAULATAN N.K.R.I. POLITIK HUKUM MEMANFAATKAN WILAYAH UDARA UNTUK KEPENTINGAN PENERBANGAN DI WILAYAH KEDAULATAN N.K.R.I. Oleh : Nurlely Darwis, SH, MSi Email : (nurlely.darwis@gmail.com) Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

xii hlm / 14 x 21 cm

xii hlm / 14 x 21 cm ka JUDUL BUKU HUKUM KEWILAYAHAN INDONESIA (Dasar Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dan Konsep Pengelolaan Pulau-pulau Terluar NKRI) PENULIS Mahendra Putra Kurnia, SH.MH PENERBIT Bayumedia Publishing Malang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angkutan udara baik internasional maupun domestik mempunyai peranan dan fungsi yang makin lama makin penting dalam kehidupan umat manusia. Khusus bagi Indonesia

Lebih terperinci

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Disusun oleh: Adrianus Terry Febriken 11010111140685 Styo Kurniadi 11010111150006 Riyanto 11010111150007 Wahyu Ardiansyah

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR PERENCANAAN KAWASAN PESISIR Hukum Laut Internasional & Indonesia Aditianata Page 1 PENGERTIAN HUKUM LAUT : Bagian dari hukum internasional yang berisi normanorma tentang : (1) pembatasan wilayah laut;

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. yang mengalami kecelakaan di perairan Indonesia koordinasi terhadap

BAB V PENUTUP. yang mengalami kecelakaan di perairan Indonesia koordinasi terhadap BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan serta dengan melakukan analisa terhadap hasil penelitian tersebut, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : 1. Imigran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat pada era modern saat ini di dalam aktivitasnya dituntut untuk memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengakuan konsepsi Indonesia sebagai Negara Kepulauan merupakan sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia sebagai Negara Kepulauan telah

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa III telah berhasil

BAB I PENDAHULUAN. Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa III telah berhasil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa III telah berhasil menghasilkan Konvensi tentang Hukum Laut Internasional/ The United Nations Convention on

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN KEDAULATAN Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Menurut sejarah, asal kata

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA Oleh : Dimitri Anggrea Noor I Ketut Sudiarta Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982

KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982 KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982 Putri Triari Dwijayanthi I Nyoman Bagiastra Program Kekhususan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

BAB II OPEN SKY POLICY SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM UDARA. 1. Sifat dan Tujuan / Jenis Hukum Udara Internasional

BAB II OPEN SKY POLICY SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM UDARA. 1. Sifat dan Tujuan / Jenis Hukum Udara Internasional BAB II OPEN SKY POLICY SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM UDARA C. Hukum Udara Internasional 1. Sifat dan Tujuan / Jenis Hukum Udara Internasional Ada 4 (empat) prinsip konvensi Paris 1919 yaitu : a. Setiap negara

Lebih terperinci