POPULASI DAN SEBARAN BEKANTAN (Nasalis Larvatus Wurmb) DI WILAYAH KAMPUNG BATU-BATU DAN DELTA SUNGAI BERAU. Saryadi, Tri Joko Santoso

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POPULASI DAN SEBARAN BEKANTAN (Nasalis Larvatus Wurmb) DI WILAYAH KAMPUNG BATU-BATU DAN DELTA SUNGAI BERAU. Saryadi, Tri Joko Santoso"

Transkripsi

1 POPULASI DAN SEBARAN BEKANTAN (Nasalis Larvatus Wurmb) DI WILAYAH KAMPUNG BATU-BATU DAN DELTA SUNGAI BERAU Saryadi, Tri Joko Santoso ABSTRAK Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) adalah satwa dilindungi 1ctual Kalimantan yang sebagian habitatnya berada di luar kawasan konservasi. Penelitian penyebaran Bekantan dilakukan di Delta sungai Berau, Kalimantan Timur. Penelitian bertujuan untuk mengetahui penyebaran aktual Bekantan dan potensi ancaman yang ada. Pengambilan data dilakukan selama 2 bulan (November Februari 2016) menggunakan boat survey method, yaitu dengan perahu menyusuri Sungai Berau yang meliputi wilayah Batu-Batu, Merancang Ilir, Merancang Ulu, Pulau Besing, Gurimbang, Tanjung Perangat dan Pegat Batumbuk. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 57 (lima puluh tujuh) lokasi penyebaran Bekantan berdasarkan pengamatan langsung. Ancaman terhadap Bekantan dan habitatnya adalah perluasan permukiman, perluasan lahan pertanian dan kebun masyarakat, aktifitas tambang batu bara, pembukaan perkebunan kelapa sawit, pembangunan jalan dan jembatan, penguasaan lahan oleh masyarakat, kebakaran hutan dan lahan serta perburuan liar. Strategi konservasi Bekantan adalah dengan penunjukan kawasan lindung, sosialisasi kepada masyarakat, pengembangan ekowisata dan upaya terakhir dengan translokasi. Kata kunci: Bekantan, sebaran, populasi, habitat, batu-batu, sungai, delta, ancaman, konservasi. I. PENDAHULUAN Bekantan (Nasalis larvatus wurmb) merupakan salah satu satwa primata endemik Kalimantan dan termasuk ke dalam subfamili Colobinae. Bekantan dilindungi secara nasional maupun internasional. Secara nasional dilindungi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Keragaman Hayati dan Ekosistemnya, Permenhut No. P.56/Menhut-II/2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Bekantan Sedangkan secara internasional termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) (Gron, 2009) dan masuk dalam kategori endengered species berdasarkan Red List IUCN (International Union for the Conservation of Natural and Natural Resources) sejak tahun 2000 (Meijaard et al., 2008). Saat ini habitat dan populasi Bekantan banyak mengalami kerusakan dan penurunan kualitas, khususnya yang berada di tepi sungai. Hal itu dikarenakan hutan di tepi sungai mudah dijangkau dan dialih fungsikan menjadi areal permukiman, tambak maupun pertanian. Luas hutan yang menjadi habitat Bekantan pada awalnya diperkirakan km2, dari luas tersebut, 40% diantaranya sudah berubah fungsi dan hanya 4,1% yang tersisa di kawasan konservasi (McNeely et al., 1990). Penyempitan dan penurunan kualitas habitat tersebut diikuti oleh penurunan populasi Bekantan. Tahun 1987 populasi Bekantan diperkirakan lebih dari ekor dan ekor diantaranya berada di kawasan konservasi (MacKinnon, 1987). Namun pada tahun 1995 populasi Bekantan menurun menjadi sekitar ekor dan hanya sekitar ekor yang berada di dalam kawasan konservasi (Bismark, 1995). Dengan demikian dalam kurun waktu sekitar 10 tahun telah terjadi penurunan populasi sebesar 50%. Fakta bahwa sekitar 95% habitat Bekantan berada di luar kawasan konservasi, maka sangat rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas manusia. Batu Batu adalah salah satu dari beberapa kampung yang terletak di delta sungai Berau dengan populasi bekantan yang masih cukup banyak. Selain di wilayah 1

2 kampung Batu Batu, habitat bekantan tersebar di wilayah kampung lain disepanjang delta sungai Berau yaitu wilayah kampung Tanjung Perangat, Gurimbang, Merancang Ulu, Merancang Ilir, Pulau Besing, Sukan, Suaran, Pesayan, Pegat Batumbuk, Kasai hingga Semanting. Delta sungai Berau merupakan jalur pelayaran penting bagi kapal kapal barang yang akan berlabuh di pelabuhan Tanjung Redeb, juga digunakan oleh perusahaan yang berinvestasi di kabupaten Berau sebagai jalur angkutan batu bara, minyak sawit dan kayu log. Seluruh kawasan habitat bekantan di wilayah kampung Batu Batu dan kampung kampung lain di delta sungai Berau bukan merupakan kawasan konservasi, hal ini menyebabkan habitat dan populasi bekantan di kawasan delta sungai Berau banyak mengalami gangguan diantaranya; pembukan lahan tambak, perluasan pemukiman, pembuatan pelabuhan batu bara, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit hingga pemburuan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran penyebaran Bekantan yang ada di wilayah kampung Batu-Batu dan wilayah kampung lain di delta sungai Berau, ancaman dan upaya konservasi bekantan yang akan dilakukan masyarakat khususnya di wilayah Batu Batu. II. METODOLOGI A. Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2015 hingga Febuari 2016 di wilayah Batu Batu dan wilayah kampung lain di delta sungai Berau yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Gunung Tabur, Kecamatan Sambaliung dan Kecamatan Pulau Derawan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah perahu bermesin, teropong, kamera SLR Nikon D3200 dan GPS Garmin CSx 60, sedangkan bahan yang menjadi obyek penelitian adalah Bekantan dan habitatnya di sepanjang sungai Berau dan pulau pulau kecil di delta sungai Berau. C. Metode Kerja Pengamatan penyebaran bekantan dilakukan dengan metode boat survey method (Salter & MacKenzie 1985; Atmoko et al. 2007; Ridzwan-Ali et al., 2009), yaitu dilakukan dari atas perahu dengan menyusuri sungai, anak sungai, pulau-pulau besar dan kecil. Pengamatan dilakukan mulai pagi hari jam sampai sore hari jam Jarak total penyusuran selama penelitian adalah 87,31 km, meliputi wilayah kampung Batu Batu dan sekitarnya (Tabel 1). Identifikasi dan pengenalan lokasi berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, meliputi nama sungai, anak sungai, pulau besar dan kecil yang ada di delta sungai Berau. 2

3 Tabel 1. Lokasi dan jarak penyusuran dalam pengamatan. Lokasi Jarak Penelusuran Batu Batu Sungai Berau dan Sungai Talassau km Pulau Besing Keliling Pulau km Pulau Bungkung Keliling Pulau 5.29 km T Tanjung T Perengat Sungai Berau 6.12 km Pulau a Saodang Keliling Pulau 17.05km Pulau b Sambuayan Keliling Pulau 2.79 km e Pulau l Sapinang Keliling Pulau 6.48 km Merancang Ulu Sungai Lati 1.21 km Pujut (Merancang Ilir) Sungai Berau 4.19 km Pulau Tempurung Keliling Pulau km Total jarak wilayah survey 87,31 km III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Secara geografis wilayah penelitian terletak pada kisaran Lintang Utara dan Bujur Timur. Bentang alam kawasan merupakan alur sungai dan pulau-pulau kecil khas delta sungai. Kawasan mangrove yang berhubungan langsung dengan daratan telah banyak terbuka akibat alih fungsi kawasan khususnya pada wilayah kampung Gurimbang, Tanjung Perangat, Merancang Ulu dan Merancang Ilir sedangkan kawasan mangrove yang berdekatan dengan laut telah banyak dimanfaatkan untuk lahan tambak udang. Etnis yang mendiami kampung kampung di sepanjang sungai dan delta Berau sangat bervariasi tergantung lokasi kampung. Gurimbang, Tanjung Perangat, Pulau Besing dan Batu-Batu didominasi etnis Banua, etnis asli kabupaten Berau, sedangkan kampung Merancang Ulu, Merancang Ilir dan Pegat Batumbuk didominasi oleh etnis pendatang khususnya suku bugis. B. Habitat Bekantan Keragaman jenis, komposisi dan struktur fisik vegetasi hutan sebagai habitat secara terpisah maupun bersama-sama akan menyediakan relung yang potensial bagi kehidupan satwaliar (Soerianegara et al., 1994). Perbedaan jenis tumbuhan, ketinggian, umur dan sifat tumbuhnya akan membentuk stratifikasi dalam habitat. Hal itu menyebabkan adanya perbedaan aktifitas bagi berbagai jenis satwa, termasuk bekantan. Aspek habitat dimaksud meliputi kondisi vegetasi, pakan, ketersediaan air dan predator. 1. Vegetasi Vegetasi habitat bekantan yang terdapat di sepanjang sungai dan pulau pulau kecil di delta sungai Berau didominasi oleh jenis Sonneratia Caseolaris dan Nypa fruticans, selain itu ditemukan juga jenis Acanthus ilicifolius, Cerbera manghas, Heritiera littoralis, Pentaspadon sp. Elaeocarpus sp., Acrostichum aureum, Hibiscus tiliaceus, Pandanus tectorius, Ficus sp, Rhizopora sp, Avicienna sp, Xylocarpus granatum. 3

4 2. Pakan Sumber pakan utama bekantan yang terdapat di delta sungai Berau adalah jenis Sonneratia caseolaris dengan tingkat ketersediaan yang masih sangat melimpah dan pada kawasan mangrove yang tidak terdapat pohon Sonneratia caseolaris bekantan mengkonsumsi jenis xylocarpus granatum seperti habitat bekantan di pulau Lalawan. 3. Air Ketersediaan sumber air tawar sangat penting dalam menunjang kehidupan bekantan di habitatnya. Kebutuhan air bagi bekantan diantaranya untuk keperluan minum, mandi dan berenang. Sungai termasuk komponen ekologis yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh bekantan di hutan mangrove. Sungai yang panjang, lebar dan dalam memungkinkan terbentuknya hutan bakau tipe riverine, pada habitat ini pohon bakau relatif tinggi dan besar serta tersedia sumber air tawar bagi bekantan (Mitsch dan Gosselink, 1984 dalam Bismark, 1995). 4. Predator Penurunan populasi bekantan juga dipengaruhi oleh keberadaan predator. Jenis predator bagi bekantan diantaranya adalah biawak (Varanus salvator) (Yeager, 1992 dalam Bismark, 2004), macan dahan (Neofelis nebulosa), ular sanca (Python reticulata), buaya (Crocodylus siamensis) dan ular kobra (Ophiophagus hannah) (Bismark, 2004). Di Delta sungai Berau banyak ditemukan biawak dan juga di beberapa lokasi merupakan habitat buaya muara atau buaya air asin. Dalam upaya menghindari predator, pada umumnya bekantan menggunakan pohon yang tinggi, lurus, tidak banyak cabang, tajuk tidak bertautan dengan pohon lain dan tidak banyak tumbuhan merambatnya sebagai tempat tidur (Gadas, 1982). Selain ancaman dari predator alam, manusia juga menjadi ancaman bagi keberadaan bekantan pada beberapa titik habitat di delta sungai Berau karena ada etnis tertentu yang menjadikan bekantan salah satu menu makanan mereka. C. Sebaran Bekantan Survey dilakukan pada lintas wilayah 3 kecamatan yaitu kecamatan Gunung Tabur meliputi wilayah kampung Batu-Batu, Merancang Ilir, Merancang Ulu dan Pulau Besing, kecamatan Sambaliung meliputi wilayah kampung Gurimbang dan Tanjung Perangat dan kecamatan Pulau Derawan meliputi wilayah kampung Pegat Batumbuk. Hasil survey diketahui bahwa penyebaran bekantan di delta sungai Berau hampir terdapat di semua kawasan yang memiliki vegetasi jenis Sonneratia caseolaris. Dari pengamatan yang dilakukan ditemukan 57 titik perjumpaan dengan kelompok bekantan (Gambar 1.) 4

5 Gambar 1. Peta sebaran bekantan di delta sungai Berau Kondisi habitat dan ancaman terhadap populasi bekantan di delta sungai Berau berbeda-beda menurut lokasi habitat bekantan (tabel 2.) Tabel 2. Kondisi umum habitat bekantan di delta sungai Berau. No Lokasi Koordinat Pengamatan dan Prakiraan Populasi Habitat Status Kawasan Ancaman 1. Batu Batu, Kec. Gunung Tabur N : E : N : E : N: E : N : E : N : E : N : Habitat berada di tepi Sungai Berau dan berbatasan dengan permukiman. Tidak ada konflik dengan masyarakat pada lokasi ini. Habitat yang berada di tepi sungai Talassau (anak sungai Berau) bagian hulu merupakan konsesi perkebunan sawit PT. Sentosa Kalimantan Jaya. Vegetasi dominan: Sonneratia caseolaris (pakan utama), Nypa fruticans, Acanthus ilicifolius, Cerbera manghas, Heritiera littoralis, Pentaspadon sp. Elaeocarpus sp., Acrostichum aureum, Hibiscus tiliaceus, Pandanus tectorius, Syzygium sp, Ficus sp, Rhizophora apiculata blume, Xylocarpus granatum pemukiman kebun masyarakat. Perkebunan kelapa sawit. Perburuan untuk dikonsumsi. 5

6 E : Pujut, Merancang Ilir Kec. Gn. Tabur N : E : (Populasi 25-30) N : E : Habitat berada di tepi sungai Berau Habitat berbatasan dengan pemukiman dan kebun masyarakat Vegetasi : Sonneratia caseolaris, Nypa fruticans, Heritiera littoralis, Acrostichum aureum, Acanthus Ilicifolius, Pandanus tectorius, Syzygium sp, Xylocarpus granatum pemukiman. kebun masyarakat Perburuan untuk di konsumsi 3. Pulau Besing, Kec. Gunung Tabur 4. Pulau Bungkung, Pulau Besing Kec. Gunung Tabur N : E : (Populasi : 13-15) N : E : N : E : (Populasi : 20-25) N : E : N : E : N : E : N : E : N : E : N : E : (Populasi : 30-35) N : E : N : E : N : E : N : E : (Populasi : 13-15) Habitat bekantan dan pemukiman masyarakat berada dalam satu pulau. Bekantan menempati wilayah pulau yang masih banyak ditumbuhi pohon pakan. Sebagian kelompok bekantan terlihat tidak terlalu liar (tidak menghindar ketika didekati). Vegetasi dominan: Sonneratia caseolaris (pakan utama), Nypa fruticans, Cerbera manghas, Acrostichum aureum, Acanthus ilicifolius. Syzygium sp, Pandanus tectorius, Xylocarpus granatum Pulau tidak berpenghuni. Kondisi habitatnya relatif masih baik. Terdapat bekas kebun kelapa masyarakat. Vegetasi : Sonneratia caseolaris (pakan utama), Nypa fruticans, Pandanus tectorius, Heritiera pemukiman Perburuan karena dianggap hama Predator alami 6

7 N : E : littoralis, Syzygium sp, Cerbera manghas, Acrostichum aureum, Ficus sp, Xylocarpus granatum. N : E : (Populasi : 30-35) N : E : N : E : N : E : Tanjung Perangat, Kec. Sambaliung N : E : N : E : N : E : N : E : (Populasi : 13-15) N : E : N : E : Populasi : 25-30) N : E : Habitat berbatasan dengan permukiman, lahan pertanian dan tempat bersandar kapal tugboad dan ponton batu bara. Bekantan hanya menempati kawasan tepi sungai yang masih ada pohon pakan. Beberapa kelompok di kawasan ini terlihat tidak terlalu liar. Vegetasi: Sonneratia caseolaris (pakan utama), Guta renghas, Acrostichum aureum, Acanthus ilicifolius, Nypa fruticans, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus pemukiman lahan pertanian Perburuan untuk dikonsumsi Perkebunan kelapa sawit Pohon pakan menjadi tempat tambat tongkang batu bara N : E : (Populasi : 13-15) 6. Pulau Sapinang Gurimbang, Kec. Sambaliung N : E : (Populasi : 13-15) N : E : (Populasi : 13-15) N : E : (Populasi ; 13-15) Pulau tidak berpenghuni. Tidak ada konflik kepentingan dengan masyarakat. Kondisi habitat cukup bagus Vegetasi : Sonneratia caseolaris (pakan utama), Gluta rengas, Hibiscus tiliacius, Dillenia sp, dan Syzigium sp. Pohon pakan menjadi tambat tongkang batu bara N : E :

8 7. Pulau Sambuayan, Pulau Besing Kec. Gn. Tabur 8. Sungai Lati, Merancang Ulu Kec. Gn. Tabur 9. Pulau Lalawan, Pegat Batumbuk Kec. Pulau Derawan 10. Pulau Saodang, Pegat Batumbuk Kec. Pulau Derawan (Populasi : 13-15) N : E : (Populasi 25-30) N : E : N : E : (Populasi : 20-30) N : E : N : E : (Populasi : 15 20) N : E : N : E : (Populasi : 10-15) N : E : N : E : N : E : N : E : N : E : N : E : Pulau tidak berpenghuni. Tidak ada konflik kepentingan dengan masyarakat. Kondisi habitat cukup bagus. Vegetasi : Sonneratia caseolaris (pakan utama), Nypa fruticans, Pandanus tectorius, Heritiera littoralis, Syzygium sp, Cerbera manghas, Acrostichum aureum. Habitat berada di jalur transportasi darat dan sungai. Habitat dikelilingi kebun dan lahan pertanian masyarakat. Bekantan hanya menempati kawasan tepi sungai yang masih ada pohon pakan. Vegetasi : Sonneratia caseolaris, Ficus sp, Acrostichum aureum, Nypa fruticans, Heritiera littoralis, Syzygium sp. Pulau tidak berpenghuni. Terdapat bekas lahan tambak yang ditinggalkan. Di bagian selatan pulau masih terdapat tambak udang Vegetasi : Xylocarpus granatum, Nypa Fruticans, Rhizopora sp, Avicienna sp Pulau tidak berpenghuni. Bagian timur pulau merupakan tambak udang. Vegetasi : Sonneratia caseolaris, Nypa fruticans, Avicienna sp, Rhizophora sp. Sonneratia alba. KBK KBK Predator alami pemukiman kebun masyarakat Perburuan untuk dikonsumsi Tambang batu bara Pembukaan lahan tambak udang Pembukaan lahan tambak udang 8

9 N : E : N : E : Pulau Tempurung, Pegat Batumbuk Kec. Pulau Derawan N : E : (Populasi : 10-15) N : E : N : E : N : E : (Populasi : 10-15) Pulau tidak berpenghuni. Terdapat bekas tambak udang Bagian selatan pulau masih ada tambak yang aktif Vegetasi : Sonneratia caseolaris, Nypa fruticans, Rhizophora sp, Avicienna sp KBK Pembukaan lahan tambak udang D. Permasalahan 1. Konversi lahan Konversi hutan yang merupakan habitat bekantan menjadi areal penggunaan lainnya menyebabkan kerusakan dan fragmentasi habitat. Konversi tersebut antara lain dari hutan mangrove menjadi tambak, perkebunan, permukiman, pertambangan. Pembuatan tambak terjadi di kawasan pulau-pulau kecil yang berdekatan dengan muara sungai, pembukaan dan penimbunan areal mangrove juga terjadi untuk kepentingan tambang batu bara yaitu membuat loading area, penempatan conveyor, jalan pengangkutan batu bara dan juga pembukaan hutan mangrove untuk pembangunan dermaga oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan logpon perusahaan HPH. Fragmentasi habitat bekantan menyebabkan kelompok-kelompok bekantan sulit atau bahkan tidak bisa berhubungan satu dengan lainnya karena tidak bisa berpindah antar patch yang ada. Isolasi antar kelompok bekantan ini beresiko terjadinya inbreeding yang berdampak pada penurunan kualitas genetik dan bermuara pada kepunahan. Kerusakan habitat berpengaruh langsung terhadap kehidupan bekantan, terutama ketersediaan sumber pakan dan tempat berlindung. Primata dari anak suku Colobinae, seperti bekantan memiliki sistem pencernaan mirip ruminansia dan lebih memilih sumber pakan dengan nutrisi yang tinggi (Bennett, 1983 dalam Bismark, 2009). Bekantan lebih memilih memakan daun yang masih muda untuk sumber pakannya, hal itu dikarenakan pucuk daun mengandung protein yang tinggi namun serat dan anti-nutrisinya rendah. Pada beberapa lokasi di sungai Talassau, habitat bekantan hanya tersisa di tepi sungai karena lokasi tersebut terjadi pembukaan perkebunan kelapa sawit. Karakteristik perilaku bekantan yang menarik adalah pemilihan pohon tidur yang berada di tepi sungai. Sebagai primata diurnal, bekantan pada siang hari mengembara mencari pakan dan pada sore hari akan ke pohon tidur yang berada di tepi sungai. Pemilihan pohon tidur di tepi sungai adalah salah satu strategi bekantan untuk menghindar dari serangan predator. Konversi habitat akan mengakibatkan hilangnya pohon tidur di tepi sungai, sehingga ancaman predator menjadi lebih tinggi, terutama predator darat. 9

10 2. Pencemaran Tingkat dan bentuk pencemaran di perairan kampung Batu - Batu dan delta sungai Berau bervariasi menurut lokasi. Kegiatan industri pabrik minyak kelapa sawit, pertambangan batu bara, limbah rumah tangga dan berbagai aktifitas di daerah hulu merupakan penyebab utama pencemaran di bagian hilir sungai Berau. Tumpahan minyak dari tingginya lalu lintas pengangkutan batu bara sangat berpotensi mencemari perairan sungai Berau. Alur sungai Berau yang berada di perairan kampung Batu Batu merupakan alur pelayaran dari dan menuju laut lepas, sehingga potensial menambah beban pencemaran. Arus lalu lintas air yang padat dapat berpengaruh terhadap kualitas perairan, habitat dan tumbuhan sumber pakan bekantan. Penelitian Bismark (1997) di Cagar Alam Pulau Kaget menunjukkan bahwa tingginya arus lalu lintas motor dan kapal air akan meningkatkan konsentrasi logam berat pada tanah serta akar Sonneratia caseolaris dan dapat berakibat kematian pohon pakan bekantan tersebut. Pertambahan penduduk di Kabupaten Berau yang cukup tinggi (Pribadi et al 2005), sehingga meningkatkan tingkat pencemaran sungai yang dapat menurunkan kualitas perairan, seperti pencemaran parasit yang penyebarannya melalui air. Endoparasit yang pernah dilaporkan pada bekantan diantaranya adalah Trichiuris sp. dan Ascaris sp. (Bismark, 2009). Penyakit Ascariasis menyerang sistem pencernaan dan cukup berbahaya terhadap jenis monyet dan kera. Kasus fatal pernah dilaporkan terjadi pada monyet Rhesus (Macaca mulatta), Macaca philippinensis, dan Chimpanse (Pan troglodytes) (Toft & Eberhard, 1998). 3. Status Kawasan Status kawasan habitat bekantan di delta sungai Berau bukan kawasan koservasi melainkan kawasan dengan status APL/ dan KBK. Habitat bekantan yang berada di kawasan APL/ dan berhubungan langsung dengan daratan sangat rentan terhadap perambahan untuk perluasan pemukiman, penguasaan lahan, perluasan perkebunan masyarakat hingga perambahan oleh perusahaan tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Habitat bekantan dengan status kawasan APL/ yang berada di pulau-pulau kecil justru lebih aman dari aktifitas perambahan baik oleh masyarakat maupun perusahaan pertambangan atau perkebunan. Habitat bekantan yang berada di kawasan KBK justru lebih rentan terhadap perambahan oleh pengusaha tambak karena vegetasi kawasan didominasi oleh Nypa fruticans, jenis yang lebih mudah di buka menjadi areal tambak udang dengan cost pembukaan lahan yang lebih murah, sehingga masing-masing pengusaha tambak mampu membuka lahan mangrove untuk dijadikan tambak udang dengan luasan antara 50 sampai 100 ha per orang. E. Strategi Konservasi 1. Penunjukan Areal Perlindungan Upaya konservasi yang mungkin dilakukan adalah menetapkan beberapa areal habitat bekantan yang relatif masih aman sebagai areal perlindungan bekantan seperti yang dilakukan di Kota Tarakan yaitu Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB). Cara tersebut dapat diadopsi dan diimplementasikan di kampung Batu Batu dan pulau-pulau kecil yang merupakan habitat bekantan di delta sungai Berau. 2. Sosialisasi Kepada Masyarakat Sosialisasi kepada masyarakat dilakukan untuk menyampaikan tentang kondisi keanekaragaman hayati yang ada di sekitarnya, terutama bekantan dan habitatnya. Pengaruh dan akibat kerusakan lingkungan terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari, serta memberikan solusi cerdas untuk menyelamatkan 10

11 keanekaragaman hayati dengan tetap mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal. Sosialisasi dapat juga dilakukan kepada anak-anak usia sekolah dasar. Memberikan dasar yang kuat tentang pentingnya kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati kepada anak usia dini akan menjadikan benteng perlindungan keanekaragaman hayati di masa yang akan datang. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan materi-materi yang berkaitan dengan lingkungan hidup pada mata pelajaran muatan lokal di sekolah sekolah. Selain itu penyebaran liflet, stiker atau kalender yang berisi ajakan untuk melestarikan kawasan mangrove yang ada di wilayah kampung Batu-Batu dan delta sungai Berau dapat dilakukan, terutama oleh lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat atau kelompok swadaya masyarakat. 3. Kegiatan Ekowisata Salah satu upaya pelestarian bekantan dan habitatnya adalah dengan pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Konsep pengelolaan tersebut secara langsung akan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Minat pariwisata saat ini mengarah back to nature sehingga ekowisata sangat potensial dikembangkan. Keberadaan bekantan dapat menjadi daya tarik utama ekowisata di Kabupaten Berau. Berdasarkan pengalaman, kegiatan ekowisata paling diminati wisatawan adalah melihat satwa liar, menikmati pemandangan alam dan mendapatkan pengalaman baru (Drumm & Moore, 2002). Hal penting yang mendasari dan harus diperhatikan dalam mengusahakan ekowisata adalah kontribusi nyata dari wisatawan dan operatornya dalam dukungan usaha konservasi dan pelestarian keanekaragaman hayati dan masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan mulai dari tahap perencanaan, pembangunan dan pengoperasian. Menurut Retnowati (2004) kegiatan ekowisata dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat sekitar, sehingga akan tumbuh rasa memiliki dan memelihara sumberdaya yang menjadi obyek ekowisata. 4. Translokasi dan Konsesi Ex-situ Translokasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk memindahkan individu atau populasi satwaliar dari habitatnya ke lokasi yang lain (Beck et al. 2007). Translokasi diharapkan menjadi langkah penyelamatan bekantan yang terakhir mengingat bekantan termasuk primata yang hidup berkelompok dan sangat sensitif dengan kehadiran manusia. Upaya translokasi bekantan dapat dilakukan dari areal yang sudah mengalami kerusakan atau terfragmentasi ke areal yang lebih aman dan representatif. Lokasi tujuan translokasi dapat berupa lokasi di alam yang relatif aman dan dapat menjamin kehidupan bekantan. Upaya konservasi ex-situ dan translokasi satwa selama ini sudah banyak dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, namun sebagian besar mengalami kegagalan (IPPL, 1999; Agoramoorthy et al., 2004). Kegiatan konservasi ex-situ bekantan dapat dilakukan di penangkaran, kebun binatang dan taman safari, walaupun masih relatif sulit. Sejak tahun 1975 berbagai kebun binatang di dunia telah melakukan upaya penangkaran bekantan namun gagal. Penangkaran bekantan tetap mungkin untuk dilakukan, hal itu terbukti dengan berhasilnya beberapa lembaga konservasi ex-situ memeliharanya, seperti di Taman Safari Indonesia I Cisarua (Yasaningthias, 2010), Kebun Binatang Bronx (2 ekor dari 8 ekor pada tahun 1975), Kebun binatang Singapura (Agoramoorthy et al., 2004), Taman Safari Indonesia II Prigen, Pusat Satwa Primata Schmutzer dan Kebun Binatang Surabaya serta Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan. Upaya translokasi bekantan yang juga dapat dikatakan gagal adalah pemindahan bekantan dari Pulau Kumala (Kalimantan Timur) dan pemindahan bekantan dari Pulau Kaget (Kalimantan Selatan) ke Kebun Binatang Surabaya (KBS). Tahun 11

12 2000, Pulau Kumala seluas 75 ha di Tenggarong Kutai Kartanegara diubah menjadi kawasan wisata modern. Untuk keperluan tersebut puluhan ekor bekantan di Pulau Kumala dipindahkan ke Pulau Jembayan, yang berjarak sekitar 30 Km dan masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada tahun 2010 keberadaan 58 ekor bekantan yang dilepaskan di Pulau Jembayan tidak terlihat lagi dan tidak ada monitoring atau penelitian tentang keberadaan bekantan tersebut (Zulkarnain 2010). Pada tahun 1997, dengan alasan kerusakan habitat di Cagar Alam Pulau Kaget, maka dilakukan evakuasi sebanyak 148 bekantan dan 61 ekor diantaranya di kirim ke KBS. Berdasarkan IPPL (1999) pengangkutan bekantan ke KBS dilakukan dengan kapal selama 20 jam dan selama pengangkutan 25 ekor dilaporkan mati. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam translokasi bekantan adalah: a. Perlu dipersiapkan standard operational procedure (SOP) dalam translokasi bekantan. SOP perlu disusun dan disiapkan sebelum kegiatan translokasi dilakukan. SOP harus mencakup berbagai hal baik teknis maupun non-teknis mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan monitoring/evaluasi. Penyusunan SOP harus melibatkan ahli berbagai disiplin ilmu dari lembaga yang berkompeten diantaranya adalah ahli perilaku satwa, dokter hewan, ahli nutrisi dan ahli ekologi satwa. b. Status lokasi tujuan translokasi, ini menjadi hal yang sangat penting dan sangat menentukan keberhasilan upaya konservasi yang akan dilakukan. Belajar dari pengalaman translokasi dari Pulau Kaget ke Pulau di sekitarnya yang tidak dilindungi, yaitu Pulau Burung, Tempurung dan Bakut, tidak ada upaya perlindungan selanjutnya bagi bekantan yang telah dipindahkan. Hal ini menyebabkan ke depannya keberlangsungan hidup bekantan tidak terjamin (IPPL, 1999). Pertama yang harus dilihat adalah kepastian status areal tujuan relokasi, luasan kesesuaian bentang alam sebagai habitat bekantan, ketersediaan sumber pakan dan tempat beraktivitas bekantan, identifikasi jenis satwaliar lainnya, tingkat keamanan dan keberlangsungannya dalam jangka panjang. c. Informasi tentang perilaku alami bekantan perlu diketahui dengan baik sebelum dilakukan translokasi. Perilaku bekantan tersebut diantaranya berkaitan dengan struktur kelompok, homerange, territory, corea area, perilaku menghindari predator, perilaku makan, dan perilaku tidur. Informasi ini sangat penting dalam menentukan kelayakan lokasi dan penyusunan SOP. d. Kesejahteraan satwa (Animal walfare) adalah hal yang penting dalam penanganan satwa, namun hal ini masih kurang diperhatikan di Indonesia. Sehingga sebelum dilakukan translokasi idealnya ada kajian etik yang meninjau SOP yang digunakan, terutama dalam penanganan terhadap satwa yang ditranslokasi. Dalam penanganan satwa selama translokasi harus memenuhi prinsip 5 kebebasan, yaitu bebas lapar, haus dan malnutrisi, bebas dari ketidaknyamanan yang disebabkan lingkungan, bebas dari perasaan nyeri, luka dan penyakit, bebas dari rasa takut dan cekaman, dan bebas untuk melakukan tingkah lakunya yang alami. e. Translokasi harus melibatkan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan kesehatan satwa, perilaku satwa, ekologi satwaliar, dan tenaga teknis lapangan yang terlatih. Ketersediaan sumber daya manusia ini sangat menentukan keberhasilannya. Dokter hewan berperan penting, terutama untuk melakukan pemeriksaan status kesehatan dan memberikan penanganan terhadap bekantan yang sakit. Personil yang menguasai bidang perilaku satwa dan nutrisi diperlukan untuk memberikan kesejahteraan satwa dan meminimalisir kondisi 12

13 stress sehingga dapat mengurangi resiko kematian lebih lanjut. Ahli ekologi berperan dalam mengkaji kondisi kesesuaian habitat yang akan menjadi lokasi tujuan translokasi. Kesesuaian habitat harus semirip mungkin dengan habitat aslinya, baik itu ketersediaan pakan utama, struktur dan komposisi vegetasi, stratifikasi hutan, keberadaan predator, ketersediaan air, bentang alam dan mendapat penerimaan masyarakat setempat. 5. Pembinaan Habitat Ancaman kepunahan bekantan di kabupaten Berau khususnya di wilayah kampung Batu-Batu dan wilayah lain di delta sungai Berau terutama disebabkan oleh kerusakan habitat, sehingga untuk memperpanjang waktu kepunahan perlu segera mengatasi deforestasi (Stark et al., 2010). Upaya tersebut harus didukung oleh pemerintah kabupaten Berau serta berbagai stakeholder terkait. Pengelolaan dan pembinaan habitat bekantan di luar kawasan konservasi harus memperhatikan beberapa hal penting, diantaranya: status hutan, tipe hutan, keragaman jenis flora fauna, pola kegiatan pemanfaatan lahan oleh masyarakat di sekitar kawasan dan luas areal yang akan di bina (Bismark et al., 2000). Habitat bekantan yang berada di luar kawasan konservasi harus mendapat kepastian hukum yang menjamin tidak akan ada kegiatan pemanfaatan lahan. Pembinaan habitat bekantan yang sudah rusak dapat dilakukan dengan menanam jenis-jenis tumbuhan sumber pakan atau jenis pohon tempat beraktifitas bekantan. Penanaman lebih diarahkan ke pengayaan jenis asli dan meminimalkan penanaman jenis asing. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Penyebaran bekantan di wilayah Kabupaten Berau sebagian besar berada di delta sungai Berau dan belum ada upaya apapun dari para pihak dalam melindungi spesies bekantan di kabupaten Berau. 2. Habitat bekantan pada beberapa tempat di kabupaten Berau sudah mengalami kerusakan dan terfragmentasi akibat perluasan pemukiman, perluasan lahan pertanian dan kebun masyarakat, pembukaan tambak, aktifitas tambang batu bara, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, industri pulp, hutan tanaman industri, pembangunan jalan dan jembatan serta pencemaran. 3. Upaya konservasi dapat dilakukan dengan melakukan penunjukan areal perlindungan bekantan, sosialisasi kepada masyarakat, pengembangan ekowisata dan translokasi ke areal yang lebih aman. 4. Translokasi adalah upaya penyelamatan bekantan yang terakhir dan hanya dilakukan jika upaya lainnya tidak dapat dilakukan lagi, namun harus dipersiapkan secara matang. B. Saran 1. Perlu penunjukan kawasan perlindungan untuk bekantan pada kawasan mangrove di delta sungai Berau dan melakukan rehabilitasi pada kawasan hutan mangrove yang telah rusak. 2. Kegiatan konversi lahan pada kawasan mangrove di kabupaten Berau harus dibatasi dan diatur dengan tegas. 13

14 V. DAFTAR PUSTAKA Agoramoorthy, G., C. Alagappasamy, & M.J. Hsu Can Proboscis Monkeys Be Successfully Maintained in Captivity? A Case of Swings and Roundabouts. Zoo Biology 23: Alikodra, HS &AH. Mustari Study on ecology and conservation of proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb) at Mahakam River delta, East Kalimantan: Behaviour and habitat function. Annual Report of Pusrehut Vol. 5 Desember. Alikodra, HS Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5(2): Atmoko, T., A. Ma ruf, I. Syahbani & MT. Rengku Kondisi habitat dan penyebaran bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Di dalam: Sidiyasa K, Omon M & Setiabudi D. editor. Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari. Balikpapan, 31 Januari Pusat Litbang Hutan dan Konservasi alam. Hal Beck, B., K. Walkup, M. Rodrigues, S. Unwin, D. T. et T. Stoinsk Best Practice Guidelines for the Re-introduction of Great Apes. Gland, Switzerland: SSC Primate Specialist Group of the World Conservation Union. 48 pp. Bennett, EL The banded langur: Ecology of a Colobinae in West Malaysian Rain Forest. Ph.D. Dessertation, Cambridge University. Cambridge. Bismark, M Analisis populasi bekantan (Nasalis larvatus). Rimba Indonesia 30(3) September. Bismark, M Pengelolaan habitat dan populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Penelitian Penerapan Hasil Litbang Konservasi Sumberdaya Alam untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Bogor. Bismark, M., S. Iskandar & R. Sawitri Pedoman Teknis Pengelolaan Bekantan (Nasalis larvatuswurmb.) di Kalimantan. Info Hutan. No. 121: Bismark, M Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Departemen Kehutanan. Drumm, A. dan A. Moore Ecotourism Development. A Manual for Conser vation Planners and Managers. Volume I: An Introduction to Ecotourism Planning. The Nature Conservancy, Arlington, Virginia, USA. Galdikas, BMF Crocodile predation on a proboscis monkey in Borneo. Primates 26(4): Gron, KJ Primate Factsheets: Proboscis monkey (Nasalis larvatus) Conservation. < [9 Oktober 2010]. [IPPL] International Primate Protection League Proboscis monkey caught-many die. IPPL News 26(1):3-8. Lhota, S Is there any future for proboscis monkeys? The case of failing conservation of Balikpapan Bay. Abstract International Primatology Society XXIII Congress Kyoto, Japan. Meijaard, E. & V. Nijman Distribution and conservation of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation 92:

15 Meijaard, E., V. Nijman & J. Supriatna Nasalis larvatus. In: IUCN IUCN Red List of Threatened Species. Version < [14 Juli 2010]. MacKinnon, Conservation status of primates in Malaysia, with special reference to Indonesia. Primate Conservation 8: Matsuda, I., A. Tuuga & S. Higashi Clouded leopard (Neofelis diardi) predation on proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia. Primates 49: PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN BPTKSDA SAMBOJA I 3 November

KONDISI HABITAT DAN PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR 1 RINGKASAN

KONDISI HABITAT DAN PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR 1 RINGKASAN KONDISI HABITAT DAN PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR 1 Oleh: Tri Atmoko 2, Amir Ma ruf 2, Ismed Syahbani 2 dan Mardi T. Rengku 3 RINGKASAN Delta Mahakam merupakan

Lebih terperinci

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Population Of Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb) In The Area Of Sungai

Lebih terperinci

PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb.) DI TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb.) DI TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb.) DI TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR Tri Atmoko 1, Amir Ma ruf 1, Syamsu Eka Rinaldi 1 dan Bina Swasta Sitepu 1 Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

Beberapa Aspek Bio-ekologi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb)

Beberapa Aspek Bio-ekologi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) Beberapa Aspek Bio-ekologi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) TRI ATMOKO 1, 2 * 1. Balai Penelitian Kehutanan Samboja, Kementerian Kehutanan 2. Program Mayor Primatologi, Institut Pertanian Bogor Correspondence:

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

Ekowisata Berbasis Satwaliar

Ekowisata Berbasis Satwaliar EKOWISATA BERBASIS SATWALIAR DI TELUK BALIKPAPAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Ekowisata Berbasis Satwaliar Ekowisata merupakan kata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

Struktur Kelompok dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wrumb.) dikuala Samboja, Kalimantan Timur

Struktur Kelompok dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wrumb.) dikuala Samboja, Kalimantan Timur Struktur Kelompok dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wrumb.) dikuala Samboja, Kalimantan Timur Tri Atmoko 1 *, Ani Mardiastuti 2, dan Entang Iskandar 3 1 Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber

Lebih terperinci

SUATU CATATAN BARU HABITAT KERA HIDUNG PANJANG ( Nasalis larvatus) DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN SELATAN INDONESIA. Oleh. M.

SUATU CATATAN BARU HABITAT KERA HIDUNG PANJANG ( Nasalis larvatus) DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN SELATAN INDONESIA. Oleh. M. SUATU CATATAN BARU HABITAT KERA HIDUNG PANJANG ( Nasalis larvatus) DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN SELATAN INDONESIA Oleh. M. Arief Soendjoto Kera Hidung panjang (Nasalis larvatus) berukuran besar, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT PEMBAHASAN ROAD MAP PUSAT KAJIAN ANOA DAN PEMBENTUKAN FORUM PEMERHATI ANOA Manado,

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur

Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur (DAILY ACTIVITY OF BEKANTAN (Nasalis larvatus) IN MUARA KAMAN SEDULANG CONSERVATION AREA, EAST KALIMANTAN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya pemerintah Indonesia dalam rangka menyumbangkan ekosistem alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan konservasi yang dilaksanakan

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Mulawarman 2. PT. Pertamina EP Asset 5 Sangasanga 3

Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Mulawarman 2. PT. Pertamina EP Asset 5 Sangasanga 3 134 BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi September 2015 Vol. 1 No. 3, p 134-139 ISSN: 2442-2622 STUDI PAKAN ALAMI DAN PERILAKU MAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus wurmb.) DI KAWASAN KONSESI PT. PERTAMINA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA HABITAT BEKANTAN

STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA HABITAT BEKANTAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA HABITAT BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb.) DI KUALA SAMBOJA, KALIMANTAN TIMUR (Strategy for Ecotourism Development in Proboscis Monkey (Nasalis larvatus Wurmb.) Habitat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove

Lebih terperinci

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch) ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch) IMRAN SL TOBING Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta Foto (Wedana et al, 2008) I. PENDAHULUAN Latar belakang dan permasalahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i ii iii iv v vi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang beragam. Wilayahnya yang berada di khatuistiwa membuat Indonesia memiliki iklim tropis, sehingga

Lebih terperinci

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) TUGAS AKHIR Oleh: LISA AGNESARI L2D000434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA Jito Sugardjito Fauna & Flora International-IP Empat species Great Apes di dunia 1. Gorilla 2. Chimpanzee 3. Bonobo 4. Orangutan Species no.1 sampai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

KUESIONER DI LAPANGAN

KUESIONER DI LAPANGAN LAMPIRAN KUESIONER DI LAPANGAN EKOLOGI, PEMANFAATAN, DAN DAMPAK AKTIVITAS MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN SERAPUH, KECAMATAN TANJUNG PURA KABUPATEN LANGKAT Dusun Desa Kecamatan Kabupaten

Lebih terperinci