BAB II PENEGAKAN HUKUM DAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENEGAKAN HUKUM DAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA"

Transkripsi

1 BAB II PENEGAKAN HUKUM DAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 2.1. Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu. Hal itu karena adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana itu sendiri. Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan sebagai padanan dari criminal justice system. Definisi criminal justice system dalam Black s Law Dictionary disebutkan sebagai The system typically has three components: law enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors, defense lawyers), and corrections (prison officials, probation officers, parole officers). 59 Pengertian tersebut lebih menekankan pada komponen dalam sistem penegakan hukum, yang terdiri dari polisi, jaksa penuntut umum, hakim, advokat dan lembaga pemasyarakatan. Disamping itu pengertian diatas juga menekankan kepada fungsi komponen untuk menegakkan hukum pidana, yaitu fungsi penyidikan, proses peradilan dan pelaksanaan pidananya. Berbeda dengan pengertian dalam Black s di atas, pengertian sistem peradilan pidana seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan pidana merupakan Minn, h Bryan A. Garner, 1999, Black s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul, 43

2 44 suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. 60 Pengertian yang dikemukakan Muladi tersebut, disamping memberi penekanan pada suatu jaringan peradilan, juga menekankan adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara pidana maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut, sedangkan dalam pengertian Black s terlihat lebih menekankan pada kelembagaannya (komponen). Pemahaman pengertian sistem dalam pendapat yang lain menurut Gordon B. Davis sebagaimana dikutip Muladi, dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti gagasangagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. 61 Dari pemahaman tersebut, pengertian sistem dalam sistem peradilan pidana meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen pendukung peradilan pidana maupun gagasan-gagasan yang tersistimatis. Definisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi 60 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h Ibid, h. 15

3 45 yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. 62 Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa sistem peradilan pidana merupakan proses interaksi secara terpadu antara peraturan perundang-undangan pidana, praktik administrasi yang dijalankan lembaga peradilan pidana dan pelaksananya. Terkait dengan pengertian di atas, oleh Hagan seperti dikutip Romli Atmasasmita, membedakan pengertian antara criminal justice system dan criminal justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 63 Peradilan pidana sebagai proses menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing-masing memberikan suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi tersangka/terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai sistem didalamnya terdapat keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam prosesnya kearah suatu tujuan. Dari definisi-definisi di atas, terlihat adanya beberapa penekanan, yaitu : Pertama, adanya sistem dari suatu proses yang merupakan proses pelaksanaan tanggung jawab yang terdapat dalam suatu lembaga peradilan pidana. Jadi terdapat tahapan-tahapan yang berjalan secara sistematis dalam melaksanakan peradilan pidana. 62 Romli Atmasasmita, 1996, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung, h Ibid.

4 46 Kedua, adanya fungsi komponen-komponen yang berperan menjalankan proses tersebut. Komponen-komponen tersebut dengan mengambil batasan yang diberikan Mardjono Reksodipoetro, bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. 64 Jadi komponen dimaksud adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka advokat sudah selayaknya menjadi bagian komponen didalamnya. Apabila dilihat dari fungsi masing-masing komponen tersebut, yaitu kepolisian yang berfungsi melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang berfungsi melakukan tugas mengadili, advokat berfungsi melakukan tugas mendampingi dan memberikan jasa bantuan hukum terhadap tersangka/terdakwa/terpidana, serta fungsi lembaga pemasyarakatan yang bertugas menjalankan putusan penghukuman dan pemasyarakatan narapidana, urutan tersebut menunjukkan rangkaian proses yang harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan tertentu. Ketiga, adanya penekanan bagaimana tiap-tiap komponen menjalankan tugasnya. Meskipun setiap komponen peradilan pidana dalam menjalankan tugasnya sebagai institusi yang berdiri sendiri dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, namun dalam menjalankan fungsinya tersebut semua komponen harus bekerja secara terpadu. Keterpaduan tersebut diharapkan untuk menjalin kerja antar komponen 64 Mardjono Reksodipoetro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi), Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia, Jakarta, selanjutnya disebut Marjono Reksodipoetro I, h. 1

5 47 secara terkait, sehingga terlaksana seluruh tahap dalam proses peradilan pidana yang sinergis guna mencapai tujuan yang tertentu. Keempat, adanya tujuan dari proses bekerjanya komponen-komponen dalam sistem tersebut. Tujuan disini dipandang sebagai tujuan secara keseluruhan atas hasil bekerjanya seluruh komponen. Oleh karenanya pemahaman tiap-tiap komponen dari seluruh tahapan mengenai tujuan tersebut menjadi penting dan menjadi peran yang sangat besar dalam mewujudkan tujuan atas proses yaitu dalam rangka penanggulangan kejahatan. Terkait dengan pemahaman atas tujuan dari sistem peradilan pidana, oleh Alan Coffey sebagaimana dikutip Mardjono Reksodipoetro, dikemukakan bahwa : Peradilan pidana hanya dapat diberfungsi secara sistimatis apabila setiap bagian sistem tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagian lainnya. Dengan kata lain, sistim tersebut tidak akan sistimatis jika hubungan antara polisi dan penuntut umum, polisi dengan pengadilan, penuntut umum dengan lembaga pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan dan hukum dan seterusnya, tidak harmonis. Diabaikannya hubungan fungsional diantara bagian-bagian tersebut menyebabkan sistim peradilan pidana rentan terhadap perpecahan (fragmentasi) dan tidak efektif. 65 Pemahaman di atas menegaskan bahwa proses bekerjanya peradilan pidana baru dapat terbentuk sebagai suatu proses yang sistematis apabila ada pemahaman yang sama diantara komponen-komponen peradilan pidana tentang tujuan sistim peradilan pidana. Apabila tidak tercipta pemahaman yang sama diantara komponen, peradilan pidana berpotensi akan terfragmentasi dan berjalan sendiri-sendiri, sehingga akan menyebabkan penegakan hukum dengan menggunakan sistem ini 65 Mardjono Reksodipoetro, 1983, Bahan Bacaan Wajib Matakuliah Sistim Peradilan Pidana, Pusat Dokumentasi Hukum UI, Jakarta, selanjutnya disebut Marjono Reksodipoetro II, h. 82

6 48 tidak akan berhasil dengan baik. Oleh Mardjono Reksodipoetro, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 66 Atas tujuan tersebut, Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice system. 67 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, oleh Mardjono Reksodipoetro diperkirakan akan terdapat tiga kerugian, yaitu : 1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama. 2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masingmasing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana). 3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. 68 Dirangkaikannya istilah integrated terhadap criminal justice system, menurut Muladi dipandang sebagai suatu keputusan yang berlebihan (overboding), sebab tidak ada sistem yang tidak terintegrasi atau terpadu. 69 Hal itu apabila ditarik dari pengertian system menurut Muladi, karena dalam istilah system seharusnya 66 Romli Atmasasmita, Op.cit., h Romli Atmasasmita, Op.cit., h Romli Atmasasmita, Op.cit., h Muladi, Op.cit., h. 119

7 49 sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination). 70 Keterpaduan tersebut didasarkan atas indikator-indikator sebagai berikut : 1. Berorientasi pada tujuan (purposive behaviour). 2. Menyeluruh dari pada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya (wholism). 3. Sistim selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness). 4. Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan sistim nilai tertentu (transformation). 5. Antar bagian sistem harus cocok satu sama lain (interrelatedness). 6. Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu (control mechanism). 71 Meskipun demikian Muladi setuju apabila penyebutan istilah tersebut diarahkan untuk lebih memberi tekanan agar integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan, sebab fragmentasi dalam sistem peradilan pidana nampaknya merupakan disturbing issue. 72 Kiranya pelaksanaan sistem peradilan pidana yang tidak dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik, menurut pandangan para ahli hukum dimungkinkan tercipta fragmentasi yang dapat menghambat tercapainya tujuan sistem tersebut dalam penegakan hukum. Adanya wewenang diskresi juga dapat memicu timbulnya fragmentasi dalam sistem peradilan pidana tersebut. Jika tidak ada rasa saling pengertian dan kerjasama diantara subsistem-subsistem peradilan pidana, dapat menimbulkan berbagai kecurigaan yang tidak perlu, dan juga dapat berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan sistem peradilan pidana. Keserempakan dan keselarasan sebagai kandungan makna dari sinkronisasi sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem, menurut Muladi dapat besifat : sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan dalam administrasi peradilan pidana (the administration of 70 Muladi, Op.cit., h Muladi, Op.cit., h Muladi, Op.cit., h. 1

8 50 justice) dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum, dapat pula bersifat sinkronisasi substansial (substancial syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif, dan dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 73 Pendapat yang lain sehubungan dengan tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan oleh Herbert L. Packer, bahwa a pragmatic approach to the central question of what the criminal law is good for would require both a general assessment of whether the criminal process is a high speed or a lows peed instrument of social control and a series of specific assessment of its fitness for handling particular kinds of antisocial behavior. 74 Menurut Packer, bahwa suatu pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari adanya hukum pidana memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu proses pidana merupakan suatu kendali sosial yang memiliki kecepatan tinggi atau rendah dari penyelidikan lanjutan dan bersifat khusus mengenai kemampuannya untuk mengantisipasi perilaku anti sosial. Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut diatas menurut Packer adalah dengan mengabstraksi kenyataan dan membangun sebuah model. One way to do this kind of job is to abstract from reality, to build a model. 75 Model yang hendak dibangun adalah : 1. It has considerable utility as an index of current value choices...about how the system actually operates (yang memiliki kegunaan sebagai indeks dari suatu pilihan nilai masa kini tentang bagaimana suatu sistem diimplementasikan). 73 Muladi, Op.cit., h Herbert L. Packer, 1986, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford, California, h Ibid.

9 51 2. The kind of model that might emerge from an attempt to cut loose from the law on the books and to describe, as accurately as possible, what actually goes on in the real life (sebuah model yang terbentuk dari usaha untuk membedakan secara tajam hukum dalam buku teks dan mengungkapkan seakurat mungkin apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari). 3. The kind of model we need is one that permits us to recognize explicitly the value choices that underlie the details of the criminal process (sebuah model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara eksplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu proses pidana). 76 Bentuk model yang cocok untuk mencapai hal di atas menurut Packer adalah model-model normatif, dan dari beberapa model normatif yang ada, tidak akan lebih dari dua model saja yang cocok, yaitu the due process model dan the crime control model. 77 Terhadap model-model yang dibangun oleh Packer tersebut, Muladi berpendapat terdapat kelemahan atas model-model itu, yaitu : 1. Crime control model, sebagaimana digambarkan oleh John Griffiths sebagai model yang bertumpu pada the proposition that the repression of criminal conduct is by far the most important function to be performed by the criminal process. 78 Model ini berpandangan tindakan yang bersifat represif sebagai terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana. Menurut Muladi, model ini merupakan bentuk asli dari adversary model dengan ciri-ciri penjahat dilihat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi atau diasingkan, efisiensi, ketertiban umum berada diatas segalanya, tujuan pemidanaan adalah pengasingan Due process model, menurut Muladi tidak sepenuhnya menguntungkan, sebab meskipun model ini diliputi oleh the concept of the primacy of the 76 Ibid, h Ibid. 78 Muladi, Op.cit., h Muladi, Op.cit., h. 5

10 52 individual and the complementary concept of limitation on official power dan bersifat anti outhoritarian values, namun tetap berada dalam kerangka adversary model. 80 Konsep due process model menempatkan individu pada kedudukan yang istimewa dan pembatasan kekuasaan aparat dan bersifat anti nilai-nilai kepatuhan yang mutlak. Dalam pandangan Muladi, hal tersebut jelas tidak sesuai dengan falsafah Pancasila, yang melihat pelaku tindak pidana baik sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial Family model dari Griffiths dinilai juga kurang memadai, karena masih terlalu offender oriented, padahal disisi lain masih terdapat korban (the victim of crime) yang memerlukan perhatian serius. 82 Berdasarkan penilaian tersebut menurut Muladi, dengan mendasarkan diri pada konsep equal justice, model yang sesuai dengan sistim peradilan pidana Indonesia adalah model yang realistik yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. 83 Model tersebut oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan, yaitu model yang bertumpu pada konsep daad-daderstrafrecht. Model keseimbangan kepentingan yang bertumpu konsep daad-daderstrafrecht tersebut terlihat belum terakomodir dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), 80 Muladi, Op.cit., h.5 81 Muladi, Op.cit., h.5 82 Muladi, Op.cit., h.5 83 Muladi, Op.cit., h.5

11 53 yang bertumpu pada konsep daderstrafrecht yang lebih memberi penekanan pada pelaku tindak pidana. Keperpihakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada pelaku tindak pidana, terlihat dari sepuluh asas yang terkandung didalamnya, yaitu : 1. Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun. 2. Praduga tidak bersalah. 3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi. 4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum. 5. Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan. 6. Peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat dan sederhana. 7. Peradilan yang terbuka untuk umum. 8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis). 9. Hak seseorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya. 10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan. 84 Penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia yang sampai saat ini masih melandaskan diri pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memang dirasakan belum mewakili berbagai kepentingan. Sebagai contoh, mengenai kepentingan korban dalam proses peradilan pidana yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum, juga masih ada perbedaan yang menyolok dengan kepentingan pelaku tindak pidana. Oleh karenanya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan Mardjono Reksodipoetro, yaitu antara lain menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan, agaknya tidak akan terlaksana secara baik. 84 Mardjono Reksodipoetro II, Op.cit., h

12 54 Mengambil pengertian penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo, bahwa penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Sedangkan keinginan-keinginan hukum itu sendiri adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum, 85 maka dalam proses penegakan hukum oleh para pejabat penegak hukum disini terkait erat dengan peraturan-peraturan hukum yang telah ada. Oleh karenanya menurut Satjipto Rahardjo, perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. 86 Memperhatikan pengertian penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo di atas, dapat disimpulkan bahwa pembuat hukum (undang-undang) juga dapat diartikan sebagai komponen yang turut menentukan dalam sistem peradilan pidana, karena bagaimanapun juga tindakan-tindakan dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum juga terikat aturan-aturan hukum yang berlaku hasil perumusan para pembuat hukum (undang-undang). Dengan selarasnya tindakan antara komponen penegak hukum secara terstruktur, substansial maupun kultural sebagai suatu sistem sebagaimana dikemukakan Muladi diatas dengan bertumpu pada konsep keseimbangan, maka penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia diharapkan dapat mencapai keinginan-keinginan sesuai hukum. 85 Satjipto Rahardjo I, Op.cit., h Satjipto Rahardjo I, Op.cit., h. 24

13 Fungsi Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Dalam Perkara Pidana Istilah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hukum positif di Indonesia mulai dikenal sejak negara Indonesia merdeka, yaitu termuat dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan, Terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohonkan peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan, yang ditentukan dengan undang-undang. Ketentuan tentang peninjauan kembali tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Apabila dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menambah ketentuan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan baik terhadap perkara perdata maupun perkara pidana dan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung. Khusus dalam perkara pidana, istilah peninjauan kembali terakhir termuat dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu sebagaimana diatur dalam Bab XVIII, Bagian Kedua, Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Dalam Pasal 263 KUHAP dinyatakan, Terhadap putusan pengadilan

14 56 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Setelah keluarnya KUHAP pada tahun 1981, istilah peninjauan kembali termuat lagi dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana termuat dalam Pasal 28, Pasal 34 dan Pasal 66 sampai dengan Pasal 77. Selain termuat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tersebut, juga termuat dalam Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebenarnya dalam praktik peradilan di Indonesia, peninjauan kembali sudah lama dikenal dan diberlakukan. Pada awalnya istilah yang dipergunakan untuk peninjauan kembali untuk perkara perdata adalah Request Civiel (rekes sipil) sebagaimana diatur Reglement op de Rechtsvordering (Rv) (S.1847 jo jo ), sedangkan dalam perkara pidana adalah Herziening sebagaimana diatur dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 360 Titel ke-18 Reglement op de Strafvordering (Rs) (S jo. 57), yaitu hukum acara pidana yang berlaku untuk memeriksa dan mengadili penduduk golongan Eropa, Timur Asing dan Tionghoa ataupun yang dipersamakan dengan mereka. Istilah tersebut seperti disebutkan oleh Oemar Seno Adji, bahwa lembaga hukum peninjauan kembali meliputi baik perkara pidana maupun perkara perdata masing-masing merupakan herziening dan request civiel. 87 Sedangkan bagi penduduk asli (Bumi Putera) yang berlaku ketika itu adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) (S Jakarta, h Oemar Seno Adji, 1981, Herziening Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Erlangga,

15 57 57 jo. S ) untuk daerah Jawa dan Madura, dan untuk daerah luar Jawa dan Madura diberlakukan Rechtreglement Buitengewesten (RBg) (S ). Akan tetapi untuk perkara pidana, HIR maupun RBg sama sekali tidak mengenal tentang peninjauan kembali tersebut. Selain termuat dalam Reglement op de Strafvordering, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung maupun dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, istilah peninjauan kembali dalam perkara pidana juga dapat dijumpai dalam beberapa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA). Antara lain dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1969, PERMA Nomor 1 Tahun 1980 dan terakhir PERMA Nomor 1 Tahun Keluarnya PERMA Nomor 1 Tahun 1982 mempertegas penggunaan istilah peninjauan kembali baik terhadap perkara pidana maupun perkara perdata. Hal tersebut sebagaimana terlihat dalam Pasal 1 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 1982, yang menentukan Upaya hukum luar biasa yang selama ini dikenal dengan istilah request civiel/rekes sipil tidak dipergunakan lagi dan diganti dengan istilah peninjauan kembali. Apa yang dimaksud dengan peninjauan kembali dalam hukum positif Indonesia yang ada juga tidak dijelaskan. Dalam beberapa hukum positif hanya disebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dengan beberapa persyaratannya.

16 58 Suatu putusan pengadilan dapat dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), dalam hukum acara pidana yang sekarang berlaku (KUHAP) maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sama sekali tidak mengaturnya. Namun dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, disebutkan bahwa putusan pengadilan baru dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tenggang waktu untuk berfikir telah dilampaui 7 (tujuh) hari setelah putusan pengadilan tingkat pertama dan 14 (empat belas) hari setelah putusan pengadilan tingkat banding. Ternyata agak sulit menemukan pengertian istilah peninjauan kembali dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada. Dalam kepustakaan, seperti dikemukakan oleh A. Hamzah dan Irdan Dahlan, diartikan bahwa peninjauan kembali yaitu hak terpidana untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan putusannya. 88 Pendapat lain seperti dikemukakan oleh H. Adami Chazawi, bahwa peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan pemidanaan yang telah tetap dan hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. 89 Oemar Seno Adji merumuskan peninjauan kembali sebagai herziening yang sama halnya dengan request civiel dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah 88 A. Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h Adami Chazawi, 2010, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, selanjutnya disebut Adam Chazawi I, h. 1.

17 59 memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 90 Black s Law Dictionary memberi definisi peninjauan kembali atau judicial review sebagai a court s review of a lower court s or an administrative body s factual or legal findings. 91 Rumusan-rumusan pengertian tersebut hampir sama dengan rumusan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Ditinjau dari unsur yang menyertai ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut, landasan untuk dapat mengajukan peninjauan kembali dalam perkara pidana terlihat telah diatur secara limitatif, yaitu pertama, putusan pengadilan yang dimintakan peninjauan kembali telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedua, bukan merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Ketiga, diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Ketentuan di atas memperlihatkan bahwa latar belakang dibentuknya lembaga peninjauan kembali adalah semata-mata untuk kepentingan terpidana, yaitu memberikan perlindungan hak terdakwa dari kesalahan penerapan hukum oleh pengadilan. Namun dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Pihak-pihak yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut tidak menjelaskan apakah peninjauan kembali terbatas hanya untuk terpidana atau ahli warisnya saja sebagaimana secara limitatif ditentukan dalam KUHAP, ataukah ada pihak lain yang juga boleh mengajukan peninjauan kembali 90 Oemar Seno Adji, Op.cit., h Bryan A. Garner, Op.cit, h. 852.

18 60 seperti halnya Jaksa Penuntut Umum. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) hanya menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan hal atau keadaan tertentu, antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya. Pengajuan peninjauan kembali juga harus didasarkan atas alasan yang cukup. Secara doktriner terdapat dua alasan penting dalam pengajuan peninjauan kembali, yaitu adanya conflict van rechtspraak dan adanya novum. 92 Yang dimaksud dengan conflict van rechtspraak adalah terdapatnya putusan-putusan yang berlainan dengan keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi ternyata satu dengan lainnya bertentangan. 93 Sedangkan novum adalah adanya suatu keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, jika diketahui keadaan itu pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima dan juga terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 94 Alasan diperkenankannya pengajuan peninjauan kembali di atas, secara substansial hampir sama dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yaitu : a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. b. apabila dalam pelbagai putusan, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim suatu kekeliruan yang nyata. 92 Oemar Seno Adji, Op.cit., h Oemar Seno Adji, Op.cit., h Oemar Seno Adji, Op.cit., h. 39.

19 61 Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP tersebut, terlihat adanya tiga unsur alasan pengajuan peninjauan kembali, yaitu pertama, terdapatnya keadaan baru, kedua, terdapat putusan yang saling bertentangan, dan yang ketiga, terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Di samping harus memenuhi landasan dan alasan yang cukup, pengajuan peninjauan kembali juga harus memenuhi persyaratan tertentu. Sahnya pengajuan peninjauan kembali menurut M. Yahya Harahap adalah adanya surat permintaan peninjauan kembali. Tanpa surat permintaan yang memuat alasan-alasan sebagai dasar, permintaan yang demikian dianggap tidak ada. 95 Pendapat tersebut menurut M. Yahya Harahap didukung oleh Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP. 96 Pasal 264 ayat (1) KUHAP menegaskan, Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. Pasal 264 ayat (4) KUHAP menegaskan, Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera ketika menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4) tersebut, maka menurut M. Yahya Harahap, bahwa sebagai syarat formal permohonan peninjauan kembali adalah adanya surat permintaan yang memuat alasan yang menjadi dasar 95 M. Yahya Harahap, 2001, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h Ibid.

20 62 permintaan peninjauan kembali. 97 Sedangkan yang menjadi syarat materiil pengajuan peninjauan kembali agar permintaan peninjauan kembali dapat diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, menurut H. Adami Chazawi adalah (1) adanya keadaan baru (novum), (2) ada beberapa putusan yang saling bertentangan (conflict van rechtspraak), dan (3) putusan memperlihatkan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata. 98 Syarat materiil tersebut termuat dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Keadaan baru (novum) yang dapat dijadikan landasan permintaan peninjauan kembali adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan kuat, yaitu : 1. Jika keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum. atau 2. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. atau 3. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 99 Parameter yang dapat dijadikan dasar bahwa pengaruh keadaan baru tersebut sangat kuat adalah : 1. Didukung oleh sekurang-kurangnya minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP. 2. Berdasarkan hukum pembuktian, keadaan baru tersebut mempunyai hubungan dan pengaruh langsung, karenanya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk membatalkan putusan pemidanaan semula yang dilawan dengan upaya hukum peninjauan kembali. 3. Berupa syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat dijatuhkannya amar pembebasan, lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum 97 Ibid. 98 Adami Chazawi I, Op.cit., h M. Yahya Harahap, Op.cit., h. 598.

21 63 tidak dapat diterima, atau diterapkannya aturan pidana yang lebih ringan. 100 Maksud dari syarat materiil kedua, yaitu adanya beberapa putusan yang saling bertentangan (conflict van rechtspraak) adalah apabila dalam pelbagai putusan terdapat : 1. Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti. 2. Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara. 3. Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya. 101 Beberapa putusan yang saling bertentangan (conflict van rechtspraak) dimaksud di atas harus memenuhi syarat, yaitu : 1. Antara pelbagai putusan itu harus terdapat hubungan yang erat. 2. Dua atau lebih putusan tersebut harus sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. 102 Maksud dari syarat materiil ketiga pengajuan peninjauan kembali, yaitu putusan memperlihatkan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata. Menurut H. Adami Chazawi adalah kekhilafan atau kekeliruan putusan itu harus nyata, artinya terang benderang, mudah dilihat atau mudah diketahui, tanpa harus menggunakan kekuatan pikir dan nalar secara khusus yang ditujukan untuk menguji kebenarannya. 103 Kekhilafan atau kekeliruan hakim secara nyata dapat terjadi pada pertimbangan hukum dan amar putusan yang dibuatnya. Antara pertimbangan hukum dan amar putusan berkaitan erat, karena amar putusan tidak boleh menyimpang dari 100 Adami Chazawi, Op.cit., h M. Yahya Harahap, Op.cit., h Adami Chazawi, Op.cit., h Adami Chazawi, Op.cit., h. 84.

22 64 pertimbangan hukumnya. Tiap amar putusan harus didasari pertimbangan hukum, sehingga apabila pertimbangan hukumnya tidak mendukung amar putusan, maka putusan itu dapat dipandang sebagai putusan yang memperlihatkan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata. Setelah memperhatikan alasan maupun persyaratan pengajuan peninjauan kembali di atas, maka perlu diketahui terhadap putusan apa saja yang dapat dimintakan peninjauan kembali. Mengacu pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP, maka kiranya dapat diketahui bahwa putusan yang dapat dimintakan peninjauan kembali adalah sebagai berikut : 1. Semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. Semua putusan pengadilan. 3. Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Peninjauan kembali terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) baru terbuka setelah upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi telah tertutup. Artinya, sudah tidak ada lagi upaya hukum biasa yang harus dilalui lagi atau karena batas waktu pengajuan upaya hukum biasa telah terlampaui. Putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan pada semua tingkat, yaitu putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri), putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi) maupun putusan pengadilan tingkat kasasi (Mahkamah Agung), asalkan putusanputusan disetiap tingkat tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Meskipun permintaan peninjauan kembali dapat diajukan terhadap putusan semua tingkat pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi

23 65 undang-undang menentukan pengecualian. Pengecualian dimaksud adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu terhadap putusan bebas (vrijspraak) atau terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Pengecualian tersebut oleh undang-undang dimaksudkan semata-mata untuk kepentingan terpidana, yaitu memberi kesempatan kepada terpidana untuk membela kepentingannya agar dapat terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karenanya, dari sisi ini dipandang sangat logis pengecualian tersebut, karena sangat tidak wajar bagi terpidana yang telah dibebaskan dari pemidanaan atau telah dilepaskan dari segala tuntutan hukum, ia mengajukan keberatan dengan melakukan pengajuan peninjauan kembali. Atas dasar itulah menurut sejarahnya upaya peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak diperkenankan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum Perkembangan Pengaturan Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa di Indonesia Lembaga peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa dalam sejarah perkembangan peradilan di Indonesia sebenarnya telah lama dikenal. Hal tersebut dapat diketahui dari hukum acara yang dipergunakan dalam pengadilan untuk golongan Eropah ketika itu, yaitu Reglement op de Rechtsvordering (S.1847 jo jo ) untuk perkara perdata dan Reglement op de Strafvordering (S jo. 57) untuk perkara pidana. Kedua hukum acara tersebut telah mengatur tentang peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan

24 66 tetap. Menurut Reglement op de Rechtsvordering, Peninjauan kembali dalam perkara perdata disebut dengan istilah Request Civiel, sedangkan menurut Reglement op de Strafvordering, peninjauan kembali dalam perkara pidana disebut dengan istilah herziening. Berbeda dengan hukum acara yang berlaku bagi golongan Eropah, dalam hukum acara yang berlaku di pengadilan (Landraad dan Raad van Justitie) untuk golongan Bumi Putera dan golongan Timur Asing, yaitu Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) (S jo. S ) untuk daerah Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diberlakukan Rechtreglement Buitengewesten (RBg) (S ), ternyata dalam kedua hukum acara tersebut tidak diatur mengenai lembaga peninjauan kembali, baik untuk perkara perdata (request civiel) maupun untuk perkara pidana (herziening). Ketika terjadi pendudukan Bala Tentara Jepang pada tahun 1942, dengan Osamu Serei Nomor 34 Tahun 1942 telah menghapuskan badan peradilan yang dibentuk Pemerintahan Kolonial Belanda untuk golongan rakyat Eropah, yaitu Residentiegerecht, Raad van Justitie dan HoogGerechtshof. Osamu Serei Nomor 34 Tahun 1942 menetapkan Tihoo Hooin sebagai pengganti Landraad, Kootoo Hooin sebagai pengganti Raad van Justitie dan Saikoo Hooin sebagai pengganti Hoog- Gerechtshof. 104 Badan-badan peradilan bentukan Bala Tentara Jepang tersebut menjadi pengadilan untuk rakyat pada umumnya (termasuk golongan Eropah) baik untuk perkara perdata maupun perkara pidana pada tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi. 104 H.R. Purwoto S. Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Mahkamah Agung R.I., Jakarta, h. 135.

25 67 Pemberlakuan Osamu Serei yang menghapuskan pengadilan untuk golongan Eropah tersebut, menghapus pula hukum acara yang diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering (BRv) dan Reglement op de Straf vordering (RRv). Oleh karenanya badan peradilan seperti Tihoo Hooin, Kootoo Hooin dan Saikoo Hooin dalam mengadili perkara baik perkara perdata maupun perkara pidana menggunakan hukum acara yang diatur dalam HIR dan RBg. Dengan berlakunya HIR dan RBg tersebut lembaga peninjauan kembali tidak ada lagi, karena dalam kedua hukum acara tersebut tidak mengatur lembaga peninjauan kembali. Pada tahun 1945 yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diikuti dengan pemberlakuan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang menentukan Segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini, maka HIR dan RBg sebagai hukum acara dalam pemeriksaan perkara di pengadilan tetap berlaku. Oleh karena HIR dan RBg tidak mengenal lembaga peninjauan kembali, maka dengan demikian lembaga peninjauan kembali dalam praktik peradilan tidak pernah ada. Kemudian pada tahun 1951 ketika diberlakukan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan bahwa Pada saat peraturan ini mulai berlaku, oleh segala Pengadilan Negeri, oleh segala Kejaksaan padanya dan oleh Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia, Reglemen Indonesia yang dibaharui (Staatsblad 1941 No. 44)

26 68 seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil. Melalui Pasal 393 Reglemen Indonesia yang dibaharui (Staatsblad 1941 No. 44) atau HIR, sebenarnya telah diberi kemungkinan dalam hal-hal yang sangat diperlukan menggunakan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang ditentukan dalam Reglemen Hukum Acara Perdata yang dipakai pengadilan golongan Eropah seperti Raad van Justitie dan Hooggerechtshof oleh beberapa Pengadilan Negeri kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya, dengan seijin Gouverneur-Generaal (Presiden Republik Indonesia) setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung Indonesia), seperti halnya terhadap lembaga peninjauan kembali (request civiel). Namun hal itu dalam praktik tidak pernah dijumpai. Untuk perkara pidana, dalam HIR tidak ada ketentuan yang menunjuk dapat digunakannya lembaga peninjauan kembali (herziening) seperti yang diatur dalam Reglement op de Straf vordering (RSv). Penggunaan lembaga peninjauan kembali dalam perkara pidana terhadap putusan-putusan pengadilan yang dianggap keliru atau kurang tepat dalam praktik muncul kembali pada sekitar tahun 1960-an. Namun berdasarkan yurisprudensi, pada umumnya permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana ketika itu dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), karena dianggap tidak ada dasar hukumnya. 105 Keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana terlihat pada Pasal 15 yang 105 Ibid, h. 136

27 69 menetapkan, bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat halhal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang. Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa sejak saat itu lembaga peninjauan kembali sebagai hukum positif dapat dipergunakan dalam perkara pidana. Namun ketentuan tersebut masih memerlukan peraturan pelaksananya, seperti terlihat pada penjelasan Pasal 15 undang-undang tersebut, yaitu Syarat-syaratnya ditetapkan dalam hukum acara. Sedangkan hukum acara mengenai lembaga peninjauan kembali ketika itu belum ada, sehingga menimbulkan kesulitan dalam praktik pengadilan. Karena begitu lamanya belum ada juga peraturan pelaksana mengenai lembaga peninjauan kembali tersebut, maka untuk mengisi kekosongan hukum dan demi kesatuan serta kepastian hukum dalam menangani perkara peninjauan kembali oleh pengadilan, pada tanggal 19 Juli 1969 Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1969 mengenai tambahan hukum acara Mahkamah Agung dengan lembaga peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap beserta peraturan pelaksanaannya. PERMA tersebut mengatur secara terperinci alasan-alasan maupun tata cara pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Ternyata keluarnya PERMA tersebut menimbulkan keberatan dari Menteri Kehakiman, karena menganggap bahwa PERMA tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, yang menentukan bahwa

28 70 hal ini harus ditentukan dengan undang-undang. 106 Menteri Kehakiman menganggap, bahwa Mahkamah Agung telah membuat law making, yang merupakan wewenang Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan bukan rule making yang merupakan wewenang Mahkamah Agung, yang hanya dapat membuat interne regeling untuk pengadilan saja. 107 Menanggapi keberatan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman dan untuk menenggang rasa terhadap pendapat Menteri Kehakiman tersebut, maka Mahkamah Agung menunda berlakunya PERMA dan mempersilahkan pengadilan membentuk yurisprudensi tentang peninjauan kembali perkara perdata dan pidana dengan mengacu pada isi PERMA itu. 108 Lembaga peninjauan kembali (herziening) sebagai upaya hukum luar biasa, kembali serius dibicarakan oleh kalangan hukum setelah munculnya kasus Sengkon Bin Yakin dan Karta alias Karung alias Encep Bin Salam, yang dikenal secara luas dengan kasus Sengkon dan Karta. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 2/K.T.S/Bks/1977 tanggal 20 Oktober 1977, Sengkon dan Karta masingmasing dihukum dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan 7 (tujuh) tahun atas perbuatan pembunuhan, dan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dalam tingkat banding, putusan pengadilan tingkat pertama tersebut dikuatkan. Namun karena Sengkon dan Karta tidak mengajukan kasasi, maka putusan tersebut menjadi berkekuatan hukum tetap, sehingga mereka menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan. Ternyata didalam Lembaga Pemasyarakatan ada narapidana lain bernama Gunel yang mengakui bahwa dialah yang membunuh korban dan bukan Sengkon dan Karta sebagai pelakunya. Atas pengakuannya itu Gunel diajukan 106 Ibid, h Ibid. h Ibid. h. 137

29 71 kemuka sidang pengadilan dan dihukum melakukan pembunuhan, dan terhadap putusan tersebut Gunel menerima putusan pengadilan. Berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap atas nama Gunel tersebut, para kuasa hukum Sengkon dan Karta mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Kuasa hukum Sengkon dan Karta mendesak terus agar perkara peninjauan kembali tersebut dapat diperiksa. Kasus Sengkon dan Karta menjadi mengemuka dan terus menjadi perbincangan oleh para pakar hukum. Kemudian Mahkamah Agung atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 Tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, sebagai pengaturan sementara sebelum diatur dengan undang-undang. PERMA Nomor 1 Tahun 1980 pada intinya tidak banyak berbeda dengan PERMA Nomor 1 Tahun 1969, yaitu mengatur permasalahan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik dalam perkara perdata dan maupun perkara pidana. Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 tersebut Mahkamah Agung mengadili Permohonan peninjauan kembali yang diajukan kuasa hukum Sengkon dan Karta. Dalam putusannya Mahkamah Agung membebaskan kedua terhukum Sengkon dan Karta dari segala tuduhan. 109 Meskipun ketika itu pemberlakuan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 tersebut menjadi masalah yang kontroversial dikalangan para pakar hukum, karena dianggap tidak mencerminkan asas-asas yang digariskan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, namun tetap dipandang 109 Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 1981 Nomor 6 PKK/Kr/1980

30 72 sebagai suatu pemecahan yuridis, yaitu untuk menampung permasalahan yang muncul akibat kekhilafan atau kekeliruan aparat peradilan, seperti halnya kasus Sengkon dan Karta. Pada tahun 1981, yaitu dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hukum acara pidana yang berasal dari zaman kolonial, yaitu HIR dan RBg dinyatakan tidak berlaku lagi, karena dianggap sudah tidak sesuai dengan keadaan Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam Bab XVIII bagian Kedua KUHAP telah diatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sejak berlakunya KUHAP sebagai landasan hukum acara pidana, maka sejak saat itu pula lembaga peninjauan kembali dalam perkara pidana telah diatur dengan undang-undang. Dengan demikian peraturan mengenai lembaga peninjauan kembali sebagaimana termuat dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1980 harus dicabut. Kemudian berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1982 sebagai penyempurnaan PERMA Nomor 1 Tahun 1980, dinyatakan bahwa peraturan tentang peninjauan kembali perkara pidana dicabut, sedangkan peraturan tentang perkara perdata dipertahankan dan diperinci lebih lanjut Hak Pengajuan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Asas due process of law sebagai manifestasi pengakuan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang sangat penting dan harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum. Asas due process of law sebagai asas utama perlindungan hak warga negara melalui

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali Herziening atau peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, biasanya setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa kurang tepat, kurang adil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dan hendak dilaksanakan oleh bangsa ini tidak hanya hukum

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dan hendak dilaksanakan oleh bangsa ini tidak hanya hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia oleh bangsa ini sudah mulai dilaksanakan sejak Indonesia merdeka. Pembaharuan hukum pidana yang diterapkan dan hendak dilaksanakan

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah Negara hukum Indonesia sudah berdiri sejak lebih dari tujuh puluh tahun lamanya. Kualifikasinya sebagai Negara hukum pada tahun 1945 terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh : Supriyanto, SH.MHum Fakultas Hukum UNISRI

PERKEMBANGAN SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh : Supriyanto, SH.MHum Fakultas Hukum UNISRI PERKEMBANGAN SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh : Supriyanto, SH.MHum Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK : Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal

Lebih terperinci

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

Makalah Rakernas

Makalah Rakernas Makalah Rakernas 2011 1 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI Oleh : H. A. Kadir Mappong (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidan Yudisial) Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki

Lebih terperinci

KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh: Made Adi Kusuma Ni Ketut Supasti Darmawan Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Adapun sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

SISTEM PERADILAN PIDANA KODE MATA KULIAH : WHI 6258

SISTEM PERADILAN PIDANA KODE MATA KULIAH : WHI 6258 SISTEM PERADILAN PIDANA KODE MATA KULIAH : WHI 6258 BLOCK BOOK Planning group : I Ketut Keneng, SH,MH ( Kordinator) Bagian Hukum Acaraa FH UNUD, Telp. 431876, e mail: re_keneng@yahoo.com I Wayan Tangun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem Peradilan Pidana (Crimnal Justice System) adalah suatu jaringan peradilan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem Peradilan Pidana (Crimnal Justice System) adalah suatu jaringan peradilan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana (Crimnal Justice System) adalah suatu jaringan peradilan untuk menanggulangi masalah kejahatan, baik secara represif maupun preventif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA

PERKEMBANGAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA PERKEMBANGAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA Oleh: Agus Salim Harahap Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Al-Hikmah Medan Jl. Mesjid No. 1 Medan Estate, Medan 20371 august_harahap@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penyidikan penting untuk menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; BAB 2 Differensiasi Fungsional Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2.1 Sistem Peradilan Pidana Indonesia Konsepsi sistem

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Hak atas kemerdekaan, keamanan dan juga hak untuk memperoleh keadilan merupakan hak asasi bagi setiap orang sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO

PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO Oleh: I.TAJUDIN. S.H. NIP. 132 312 770 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN 2009 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik 1 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Penyidikan suatu tindak pidana adalah merupakan

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain selain Mahkamah Agung (MA), yaitu Mahkmah Konstitusi (MK). Pengaturan tentang MK termaktub

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia

Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia 1 Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia Penyusun : Supriyadi Widodo Eddyono Desain Cover : Basuki Rahmat Lisensi Hak Cipta This work is licensed

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN Diajukan Oleh: HENDRA WAGE SIANIPAR NPM : 100510247 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia merupakan kewajiban mutlak dari Bangsa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Negara Indonesia adalah Negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN Oleh Maya Diah Safitri Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The right to obtain legal

Lebih terperinci