BAB I PENDAHULUAN. Indonesia didukung oleh kekayaan alam yang melimpah, sehingga seharusnya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia didukung oleh kekayaan alam yang melimpah, sehingga seharusnya"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia (Noviyanto, 2015). Sebagai negara berkembang, tingginya jumlah penduduk dapat menjadi modal pembangunan yang besar. Terlebih lagi Indonesia didukung oleh kekayaan alam yang melimpah, sehingga seharusnya mampu menghantarkan menjadi negara yang hebat, maju, dan sejajar dengan negara-negara yang sudah maju lainnya. Akan tetapi, tingginya jumlah penduduk yang dimiliki Indonesia justru melahirkan permasalahan tersendiri, salah satunya adalah kemiskinan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai serta penyediaan kebutuhan pokok yang tidak merata, seperti makanan, perumahan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan kebutuhankebutuhan lainnya. Selanjutnya, kemiskinan tersebut juga menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses pelayanan sosial maupun publik, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan, dan begitu seterusnya, hingga menjadi suatu lingkaran setan. Kondisi yang demikian pada akhirnya seolah mengekalkan kemiskinan kaum marjinal. Akhirnya, jumlah penduduk yang sangat besar ini diakui menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk melalui berbagai strategi dan kebijakan. Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan dibentuknya 1

2 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun BKKBN berperan dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, yang dilakukan melalui pembentukan berbagai institusi, seperti badan KB (Keluarga Berencana), BKR (Bina Keluarga Remaja), BKB (Bina Keluarga Balita), BKL (Bina Keluarga Lansia), dan PIK-R/M (Pusat Informasi dan Konseling-Remaja/Mahasiswa). BKKBN juga telah membentuk program Genre, yang merupakan pengembangan dari program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Genre mulai digagas dalam Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun Salah satu turunan dari program Genre adalah program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), yang dilaksanakan melalui BKR dan PIK-R/M. Bagan 1. Program Genre BKR Keluarga Genre PUP PIK-R/M Remaja Sumber : Hasil Interpretasi Penulis 2

3 Berdasarkan Renstra BKKBN , tujuan utama PUP adalah untuk menunda usia pernikahan atau paling tidak menunda kehamilan, mengatur jarak kehamilan, serta mencegah kehamilan pada usia di atas 35 tahun. Program PUP tidak bermaksud untuk melarang pernikahan, akan tetapi berusaha mendewasakan sang calon pengantin agar lebih siap, setidaknya telah mencapai umur 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki, sehingga harapannya tidak terjadi penyesalan bagi pelaku di kemudian hari. Dengan dikendalikannya pertumbuhan penduduk, diharapkan mampu menjadi salah satu langkah untuk lebih mengoptimalkan akses layanan sosial kepada masyarakat, sehingga mampu memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia. Dengan begitu, Indonesia mampu mewujudkan bangsa yang kuat, mandiri, dan mampu bersaing dengan negaranegara lainnya. Sayangnya, upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk tidak disertai dengan peraturan perundang-undangan yang sinkron dengan tujuan tersebut. Salah satunya mengenai pembatasan usia minimal menikah pada calon pasangan pengantin. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Pasal 7 Ayat 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pernikahan dapat dilangsungkan ketika calon pengantin pria sudah berusia 19 tahun dan calon pengantin wanita berusia 16 tahun. Dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut, maka secara tidak langsung mendukung adanya pernikahan di usia yang masih belia/pernikahan dini. Ketua BKKBN, Fasli Jalal, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan pernikahan dini adalah pernikahan yang calon pengantinnya masih 3

4 berusia 19 tahun ke bawah (Liputan6.com, 2014). Usia 19 tahun ke bawah merupakan masa di mana seseorang seharusnya mendapatkan hak pendidikan atau mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja. Hal ini berpedoman pada usia lulusan SMA/sederajat di Indonesia yang rata-rata berkisar antara tahun, sehingga masih belum dapat dikatakan mandiri secara ekonomi. Selain itu, pada usia tersebut kondisi fisik maupun mental dari sang calon pengantin belum dikatakan siap untuk memasuki jenjang pernikahan. Bahkan, Munajat (2000) mengatakan bahwa usia perkawinan yang dianjurkan adalah 25 tahun untuk laki-laki dan 20 tahun untuk perempuan, karena pada usia tersebut dianggap sudah matang, baik secara fisik maupun mental. Pada tataran lokal, Pemerintah Kabupaten Sleman telah berupaya mendukung program penekanan laju pertumbuhan penduduk melalui berbagai upaya preventif maupun promotif. Sleman bahkan telah membentuk Badan KB Sleman, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Sleman, Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R), dan program Bina Keluarga Remaja (BKR) guna mendukung keberhasilan tujuan tersebut (Sekarani, 2015). Akan tetapi, belakangan ini beberapa media informasi mempublikasikan bahwa angka pernikahan dini di Sleman terbilang tinggi. Selama kurun waktu tahun 2014, Pengadilan Agama (PA) Sleman memutuskan 115 perkara Dispensasi Kawin (Widiyanto, 2015). Menurut pemaparan Humas Pengadilan Agama Sleman, Marwoto (dalam Saraswati, 2015), angka Dispensasi Kawin (DK) tahun 2015 untuk Bulan Januari sebanyak 13 perkara, Februari 11 perkara, Maret 11 perkara, April 12 perkara, Mei 16 perkara, dan Juni enam perkara. Bahkan usia yang mengajukan DK semakin maju, yakni 4

5 13-15 tahun atau setara dengan siswa SMP. Kondisi yang demikian menimbulkan keresahan dari berbagai pihak, sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena pernikahan dini merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan. Dalam cakupan di wilayah Kecamatan Ngemplak, kasus pernikahan dini paling banyak terjadi di Desa Sindumartani. Desa ini menyumbang perbandingan pernikahan dini yang paling banyak jika dibandingkan dengan keempat desa lainnya di Kecamatan Ngemplak, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1 berikut : Tabel 1. Pengajuan Pernikahan di KUA Ngemplak Sindu Bimo Widodo Wedo Umbul Desa Tahun Total <20th <20th <20th <20th <20th Sumber : Analisis Data Sekunder KUA Ngemplak <20th : 15,14% 10,93% 6,98% 6,78% 5,51% Pada Tabel 1, dua unsur utama yang ingin ditekankan adalah total pengajuan pernikahan dan pernikahan di bawah usia 20 tahun. Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa angka pernikahan tertinggi selama kurun waktu tahun terjadi di Desa Wedomartani, yakni sebanyak 797 pasangan mengajukan pernikahan. Selanjutnya disusul Desa Umbulmartani 5

6 sebanyak 327 pasangan, Desa Widodomartani 301 pasangan, Desa Sindumartani 284 pasangan, dan terakhir Desa Bimomartani 247 pasangan. Berangkat dari data tersebut pula, diketahui bahwa beberapa dari jumlah total yang mengajukan pernikahan berasal dari golongan usia di bawah 20 tahun. Dapat dilihat bahwa desa yang paling banyak mempunyai kasus pernikahan di bawah usia 20 tahun adalah Desa Wedomartani, yakni sebanyak 54 pasangan. Setelah itu, Desa Sindumartani berada diurutan kedua, yakni sebanyak 43 pasangan. Ketiga, Desa Bimomartani, yakni 27 pasangan. Keempat, Desa Widodomartani, yakni 21 pasangan, dan terakhir Desa Umbulmartani, yakni 18 pasangan. Selanjutnya, kedua unsur utama tersebut dapat digunakan untuk mengetahui persentase pernikahan di bawah usia 20 tahun pada masing-masing desa tersebut. Setelah dilakukan perhitungan, akhirnya diketahui bahwa persentase terbesar untuk pernikahan di bawah 20 tahun terjadi di Desa Sindumartani, yakni 15,14%. Desa Sindumartani terdapat 284 pasangan yang mengajukan pernikahan dari tahun 2011 hingga Pada periode waktu yang sama, sebanyak 43 dari total 284 pasangan yang mengajukan pernikahan diketahui masih berusia di bawah 20 tahun. Artinya, sekitar 15,14% dari pengajuan pernikahan di Desa Sindumartani pada kurun waktu tahun 2011 hingga 2015 disumbang oleh pernikahan di bawah usia 20 tahun, sedangkan perbandingan yang terjadi pada keempat desa lainnya masih di bawah Desa Sindumartani. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Desa Sindumartani merupakan wilayah yang paling banyak dalam kasus pernikahan dini di Kecamatan Ngemplak. 6

7 Bagan 2. Agama Masyarakat Kecamatan Ngemplak Sumber : kependudukan.jogjaprov.go.id Bagan 2 merupakan data yang menunjukkan sebaran agama yang dianut oleh Masyarakat Kecamatan Ngemplak hingga akhir Bulan Juni Dapat diketahui bahwa agama yang dianut oleh Masyarakat Kecamatan Ngemplak antara lain Islam Kristen, Katholik, Hindu, dan lainnya. Dari keragaman kepercayaan tersebut, yang paling banyak dianut adalah agama Islam, yakni sekitar 91,6% dari total penduduk di Kecamatan Ngemplak. Oleh sebab itu, data pernikahan di KUA Ngemplak dapat digunakan untuk mewakili dinamika pernikahan yang terjadi di wilayah tersebut, terutama dinamika pernikahan di Desa Sindumartani. Melihat masih banyaknya kasus pernikahan dini, menjadikan fenomena tersebut layak untuk diteliti. Hal ini dikarenakan usia pernikahan pertama berpengaruh pada tingkat kelahiran serta periode melahirkan. Jika wanita menikah di usia yang lebih muda, maka akan mempunyai periode melahirkan yang lebih panjang, sehingga jumlah kelahiran pun berpotensi lebih banyak. 7

8 Dengan demikian semakin berperan dalam penyumbangan angka pertumbuhan penduduk. Munir (1981:18) menyatakan bahwa penduduk yang bertambah dengan cepat akibat angka kelahiran yang tinggi menyebabkan kelompok umur mudanya besar dan pada gilirannya di samping memasuki usia sekolah juga memasuki usia kerja. Bila ketersediaan serta akses dari sektor pendidikan maupun lapangan kerja masih terbatas, serta kualitas SDM rendah, maka dampak selanjutnya adalah semakin mencetak tingginya angka kemiskinan di negeri ini. Selain itu, pihak Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) juga telah mengemukakan bahwa pernikahan dini dapat memunculkan risiko, terutama bagi perempuan. Menjadi ibu di usia muda meningkatkan risiko kematian melahirkan yang lebih besar, serta menjadikan hambatan bagi perempuan di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial. Menjadi ibu di usia muda dapat membatasi kesempatan untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan, sehingga dampak selanjutnya adalah rendahnya kualitas hidupnya maupun anak-anaknya (PKBI, 1995). Di sisi lain, Kelly (1995) menegaskan bahwa kesehatan reproduksi mendominasi permasalahan kependudukan, karena terkait dengan peranan kesehatan reproduksi terhadap dinamika fertilitas-mortalitas-mobilitas yang menjadi konsep inti kependudukan. Secara lebih khusus, Ramonasari (1995) menjelaskan bahwa senggama pada usia dini dimana alat kelaminnya belum sempurna matang dapat merubah sel normal menjadi ganas, sehingga berpotensi mengalami penyakit kanker leher rahim. 8

9 Di lain pihak, laki-laki juga tidak lepas dari risiko yang akan diterimanya ketika ia telah memutuskan untuk menikah di usia muda. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membimbing serta menafkahi keluarganya. Oleh karena itu, ketika memutuskan menikah di usia muda, maka tingkat kematangan emosi serta kemapanan materi dapat menjadi suatu tantangan tersendiri bagi pengantin laki-laki. Hal tersebut selaras dengan apa yang dijelaskan oleh Adhim (2002), bahwa hidup berumahtangga membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran untuk menghadapi dan mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang. Kematangan emosi menurut Katkovsky (dalam Nurpratiwi, 2010) adalah suatu proses dimana kepribadian secara berkesinambungan mencapai kematangan emosi yang sehat, baik secara intrafisik maupun interpersonal. Hurlock (1994) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila tidak lagi meledakkan emosinya di hadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih baik pula. Kemungkinan-kemungkinan negatif yang muncul dari maraknya kasus pernikahan dini menimbulkan pertanyaan mengenai persepsi dari para pelaku mengenai pernikahan dini dan risikonya. Persepsi tersebut berkaitan dengan pemikiran masing-masing individu yang mampu mendorong mereka untuk melangsungkan pernikahan di usia muda. Selain itu, juga perlu mengetahui persepsi dari non pelaku pernikahan dini terhadap batasan usia minimal menikah, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana dukungan 9

10 dari pihak eksternal dalam upayanya meminimalisir pernikahan dini. Hal ini tidak terlepas dari kondisi paradoks, mengingat telah terbentuk berbagai instansi serta program untuk membantu menekan pertumbuhan laju penduduk, tetapi realitasnya pernikahan dini masih marak terjadi. Salah satu pihak eksternal yang patut dikaji adalah peranan institusi pendidikan. Dalam hal ini, pernikahan di bawah usia 20 tahun diasumsikan sebagai pernikahan dari kalangan pelajar, di mana dalam institusi pendidikan terdapat pola interaksi yang mendukung pola perilaku masing-masing individu. Pernikahan dari kalangan pelajar ini harus segera ditekan, agar tidak semakin menyumbang tingginya angka pertumbuhan penduduk dan munculnya berbagai risiko, baik dalam skala mikro maupun makro. Selain itu, lingkungan tempat tinggal pelaku juga perlu dikaji, baik lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, maupun institusi-institusi terkait yang ada di sekitar pelaku. Hal ini berkaitan dengan proses interaksi sehari-hari, sehingga berpotensi mempunyai pengaruh terhadap pola perilaku dari pelaku pernikahan dini. Melihat bahwa Desa Sindumartani mempunyai kasus pernikahan dini yang tinggi dalam cakupan wilayah Kecamatan Ngemplak, maka pelaku pernikahan dini di Desa Sindumartani dapat dijadikan sebagai sasaran penelitian, guna melihat permasalahan pernikahan dini melalui persepsi dan kondisi eksternalnya. Dengan demikian, selanjutnya dapat digunakan untuk menyusun kebijakan guna menekan laju pertumbuhan penduduk, terutama dengan menekan angka pernikahan dini. Hal ini sesuai dengan salah satu konsentrasi yang ada di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, yakni Kebijakan Sosial. 10

11 B. RUMUSAN MASALAH 1. Main Question : Bagaimana potret pernikahan dini di Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta? 2. Subs Question : a. Bagaimana persepsi pelaku pernikahan dini terhadap pernikahan? b. Apa dampak yang muncul bagi pelaku pernikahan dini? c. Bagaimana peran masyarakat dan stakeholder dalam upaya menanggulangi permasalahan pernikahan dini? C. TUJUAN PENELITIAN Atas dasar masalah yang diidentifikasikan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk mencari jawaban atas permasalahan terkait pernikahan dini di Desa Sindumartani, yakni persepsi batasan usia minimal menikah pada pelaku pernikahan dini. Selanjutnya, persepsi batasan usia minimal menikah dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan pernikahan dini yang ada di desa tersebut. D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Manfaat Teoritis Penelitian Persepsi Batasan Usia Minimal Menikah pada Pelaku Pernikahan Dini di Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta diharapkan mampu menjadi referensi atau masukan 11

12 bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam pengetahuan ilmu sosial. Penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian ilmu sosial, khususnya kebijakan sosial dalam bidang kependudukan. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai fenomena pernikahan dini bagi pihak-pihak yang bersangkutan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi remaja Diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai pernikahan dini serta berbagai kemungkinan dampaknya. Dengan demikian, diharapkan mampu mempengaruhi pola pikir remaja agar dapat lebih matang dalam mengambil keputusan untuk menikah. b. Bagi orang tua dan masyarakat Diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai perkembangan persepsi dan pola perilaku remaja, sehingga masyarakat dapat memahami dan ikut serta melakukan kontrol kepada remaja dengan lebih bijak. c. Bagi pengambil kebijakan Diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai perkembangan persepsi dan pola perilaku remaja, serta evaluasi terhadap kebijakan dan peran institusi terkait. Dengan demikian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun maupun memperbaiki kebijakan, khususnya terkait dengan bidang kependudukan. 12

13 d. Bagi praktisi/akademisi Diharapkan dapat dijadikan landasan dalam memahami dan menyelesaikan masalah sosial terkait dengan kependudukan, khususnya tentang pernikahan dini. E. TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Pernikahan Pernikahan merupakan salah satu fase dalam kehidupan manusia yang ditempuh oleh setiap individu untuk mewariskan keturunan. Menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara lebih khusus, dalam Islam telah ada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang Hukum Perkawinan. Pada pasal 2, dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian, Azhary (dalam Soemiyati, 1992:8) juga menjelaskan bahwa perkawinan, yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah. 13

14 2. Konsep Pernikahan Dini Belakangan, pernikahan banyak diwarnai dengan pernikahan di usia muda, yang tidak jarang dilatarbelakangi oleh adanya kehamilan tidak diinginkan. Dengan kondisi yang demikian menimbulkan peningkatan permintaan dispensasi kawin, akibat usia yang belum mencukupi. Meskipun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 telah diatur mengenai perijinan mengajukan dispensasi kawin, sehingga bagi yang umurnya belum memenuhi syarat dapat dikabulkan untuk menikah melalui putusan pengadilan agama. Di luar dari adanya dispensasi kawin tersebut, bagi sebagian besar kalangan, pernikahan dini dianggap sebagai sebuah perkawinan di bawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal, baik persiapan fisik, persiapan mental, juga persiapan materi. Oleh karena itu, pernikahan dini bisa dikatakan sebagai pernikahan yang terburu-buru, sebab segalanya belum dipersiapkan secara matang (Dlori, 2005 : 48). Usia dini yang dimaksud dalam konsep pernikahan dini pada penelitian ini adalah calon pengantin yang salah satu atau keduanya masih berusia di bawah 20 tahun pada saat melangsungkan pernikahan. Hal ini berpedoman pada alasan bahwa pada usia tersebut individu masih berada dalam usia sekolah atau baru saja lulus pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas, sehingga dianggap masih belum mencapai tingkat kematangan fisik, mental, maupun materi. Dengan kondisi yang demikian maka pernikahan dini dapat dikatakan sebagai masalah sosial, karena tergolong pada kondisi yang tidak diinginkan oleh mayoritas masyarakat. Selain itu, BKKBN, melalui program PUP juga berupaya untuk meningkatkan usia pernikahan, yakni 20 tahun untuk 14

15 perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Pernikahan di bawah usia 20 tahun dianggap dapat menimbulkan permasalahan sosial, akibat dari ketidaksiapan dari berbagai aspek. Secara lebih lanjut, Parillo (dalam Soetomo, 2008) mengatakan bahwa suatu kondisi sosial dapat dikatakan sebagai masalah sosial, apabila mengandung empat komponen sebagai berikut : (1) Kondisi tersebut merupakan masalah yang bertahan untuk suatu periode waktu tertentu. (2) Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau non fisik, baik pada individu maupun masyarakat. (3) Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial. (4) Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan. Merujuk pada konsep masalah sosial yang disampaikan oleh Parillo tersebut, maka kasus pernikahan dini di Desa Sindumartani juga dapat dikatakan sebagai masalah sosial. Hal ini dikarenakan kasus pernikahan dini yang terjadi di Desa Sindumartani terus ada dari waktu ke waktu, sehingga menyebabkan kerugian bagi pelaku maupun non pelaku pernikahan dini. Kerugian tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, baik fisik, mental, sosial, ekonomi, serta baik yang dapat dirasakan langsung maupun yang tidak dapat dirasakan langsung. Selain itu, pernikahan dini juga dianggap menyimpang dari nilai-nilai atau standar sosial yang ada di Desa Sindumartani. Hal ini dikarenakan pernikahan di bawah 20 tahun yang terjadi di Desa Sindumartani tidak jarang berasal dari kalangan pelajar. Terlebih lagi, pernikahan dini tersebut banyak disebabkan hamil di luar nikah. Oleh karena itu, kasus 15

16 pernikahan dini harus mendapat pemecahan agar tidak menambah angka pernikahan dini maupun agar tidak menimbulkan permasalahan lainnya. Sebelumnya, kasus pernikahan dini telah banyak diangkat untuk dijadikan tema penelitian. Penelitian sejenis yang telah ada sebelumnya, ditemukan pada beberapa penelitian skripsi maupun tesis; baik dengan metode kuantitatif, kualitatif, maupun kombinasi keduanya; maupun penelitian yang ada di Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Berikut adalah beberapa hasil penelitian sejenis yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini: Tabel 2. Penelitian-Penelitian Sejenis Peneliti Jenis,Tahun Judul Temuan Penelitian Isran Kamal Skripsi 2015 Makna Pernikahan bagi Perempuan yang Menikah Dini di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta Dessy Fitri Ratna Sari Skripsi 2014 Pendapat tentang Pernikahan Dini menurut UU No.1 Tahun 1974 pada Remaja Dusun Cebongan Kidul, Kelurahan Tlogoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman Mukminah Tesis 2012 Hubungan Perilaku Seks pada Remaja SMU dengan Status Pernikahan Orang Tua di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pernikahan dini diantaranya disebabkan oleh keinginan bebas dari pelaku, kondisi ekonomi keluarga, pendidikan (berkaitan dengan tingkat pemahaman risiko), dan budaya. UU No.1 Tahun 1974 menemui pro dan kontra pada remaja Dusun Cebongan Kidul. Faktor penyebab pernikahan dini diantaranya: Ekonomi keluarga, pendidikan rendah, agama, dan kemauan pelaku itu sendiri. Remaja dengan orang tua bercerai mempunyai perilaku seksual lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang orang tua nya tidak cerai; remaja yang diawasi orang tuanya akan menunda bahkan menghindari hubungan seks; 16

17 Rusmayanti Skripsi 2009 Pengalaman Pernikahan Dini pada Anak Perempuan di Desa Karang Tengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta Muktiani Asrie Suryaningrum Tesis 2009 Analisis Status Ekonomi sebagai Salah Satu Faktor Risiko Pengambilan Keputusan Menikah Usia Dini Remaja Puteri di Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul. Rafidah Tesis 2007 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder Terdapat hubungan antara pendidikan orang tua, teman, media massa, dan jenis kelamin terhadap perilaku seks remaja. Pernikahan dini bagi perempuan bermanfaat bagi ekonomi keluarga yang paspasan. Minimnya modal ekonomi dan pendidikan, menjadikan anggapan bahwa pernikahan dapat memperbaiki kualitas hidup. Faktor penyebab pernikahan dini diantaranya: Status ekonomi keluarga, pendidikan orang tua, peran orang tua, persepsi orang tua tentang pernikahan dini, dan budaya Kecenderungan menikah dini, diantaranya disebabkan oleh: pendidikan rendah, status ekonomi keluarga rendah, persepsi kurang, orang tua tidak bekerja, dan pendidikan orang tua rendah. Dapat dilihat bahwa dalam Tabel 2 tersebut, unit analisis maupun lokasi penelitian yang digunakan untuk penelitian berbeda-beda. Ada yang di Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Bagi yang melakukan penelitian di Yogyakarta pun, lokasinya yang dipilih juga berbeda-beda. Begitu pula dalam penelitian ini juga dilakukan di lokasi yang berbeda, yakni di Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. 17

18 Selain perbedaan lokasi, terdapat perbedaan fokus pada penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian-penelitian sebelumnya ada yang berfokus pada persepsi pelaku, faktor penyebab pernikahan dini, hubungan pernikahan dini dengan status pernikahan orang tua, maupun pengkajian terhadap kebijakan pernikahan. Dalam penelitian ini, lebih menekankan pada persepsi yang dimiliki pelaku maupun non pelaku pernikahan dini terhadap batasan usia minimal menikah. Fokus tersebut dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya pernikahan dini, baik dari sudut pandang pelaku maupun kondisi yang ada di luar pelaku, termasuk upaya dari berbagai institusi yang ada sekitarnya dalam menanggulangi pernikahan dini tersebut. 3. Teori Agensi Guna memahami, menganalisis, dan menjelaskan fenomena pernikahan dini tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan Teori Agensi yang di tawarkan oleh Pierre Bourdieu. Bourdieu (dalam Ritzer, 2013:578) memusatkan perhatiannya pada praktik, dimana praktik dianggap sebagai akibat dari hubungan dialektis antara struktur (faktor eksternal) dan agensi (faktor internal). Menurutnya, praktik tidak ditentukan secara objektif dan tidak pula melalui kehendak bebas. Dengan kata lain, agen (aktor) tidak sepenuhnya bebas dalam bertindak, tetapi ada faktor eksternal yang diinternalisasi oleh aktor. Begitu pula faktor dari eksternal tidak serta merta langsung diterima oleh aktor, tetapi diseleksi melalui akal yang dimiliki masing-masing aktor. 18

19 Sebagaimana halnya dengan perilaku pernikahan dini ini, jika dikaitkan dengan teori agensi yang dijelaskan oleh Bourdieu tersebut, maka dapat dikatakan bahwa terdapat persepsi dan kondisi eksternal pelaku yang mempengaruhi adanya perilaku pernikahan dini tersebut. Kondisi eksternal merupakan kondisi yang ada di sekitar pelaku, di mana kesemuanya tersebut bukan merupakan kehendak pelaku atau sesuatu yang terlepas dari kesadaran dan kehendak pelaku, yang mampu mengarahkan dan menghambat praktik atau representasi pelaku. Kondisi di sekitar pelaku tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku masing-masing individu, tetapi tidak secara mutlak memberikan pengaruh secara dominan, karena masing-masing individu mempunyai cara pandang dalam merespon sesuatu yang berasal dari luar. Intinya, konsep mengenai struktur dan agen yang ditawarkan Bourdieu ini merupakan upaya untuk menjembatani antara subjektivisme dan objektivisme melalui konsep habitus dan arena. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang memungkinan seseorang untuk berhubungan dengan dunia sosial. Bourdieu berpendapat bahwa masing-masing individu dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang digunakan untuk memersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa habitus mampu menghasilkan dunia sosial maupun dihasilkan dari dunia sosial. Habitus yang dimiliki aktor bergantung pada posisinya dalam melangsungkan proses interaksi dan hubungan sosialnya. Mereka yang berada pada lingkungan sosial yang sama, cenderung memiliki habitus yang sama. Meskipun habitus merupakan suatu struktur terinternalisasi yang menghambat pikiran dan pilihan 19

20 bertindak, tetapi struktur tersebut tidak bersifat memaksa. Habitus hanya sekedar menyarankan apa yang seharusnya dipikirkan seseorang, dan apa yang seharusnya mereka pilih untuk dilakukan. Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap individu mempunyai proses dalam merespon stimulan, yakni melalui proses interpretasi/berpikir yang panjang. Selanjutnya, yang dimaksud dengan arena adalah jaringan relasi, yang keberadaannya merupakan di luar kesadaran dan kehendak individu. Arena dianggap sebagai sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal (ekonomi, kultral, sosial, simbolis). Modal ekonomi dimaksudkan pada segala hal yang berhubungan dengan materi; modal kultural terdiri dari berbagai jenis pengetahuan; modal sosial terdiri dari hubungan sosial antar orang; dan modal simbolis tumbuh dari harga diri dan prestise. Di dalam arena tersebut, orang-orang yang didominasi akan menjadi pihak yang menerima keabsahan kondisi dominasi yang mereka alami (Swartz, 1997). Secara singkat, konsep habitus lebih banyak ditekankan pada pikiran aktor, sedangkan arena adalah sesuatu yang berasal dari luar aktor. Habitus dalam penelitian ini ditekankan pada cara pelaku pernikahan dini dalam merespon apa yang terjadi di lingkungannya, seperti proses interaksi, respon terhadap fenomena pernikahan dini, respon serta pengetahuan mengenai dampaknya, serta respon atas pengaruh lain yang berasal dari lingkungan. Arena dalam penelitian ini diarahkan pada lingkungan pelaku pernikahan dini, seperti institusi keluarga, institusi pendidikan, institusi masyarakat, institusi agama, dan institusi lainnya yang bergerak di bidang keluarga berencana. Di dalam arena tersebut pelaku pernikahan dini bergulat dengan 20

21 berbagai modal demi mencapai keputusan yang diambil. Hal-hal atau peristiwa yang sama dan terjadi secara berulang-ulang di lingkungan pelaku, secara tidak langsung dapat membentuk hal/peristiwa yang lazim. Begitu pula dalam konteks pernikahan dini ini, banyaknya pernikahan dini yang ada di sekitar pelaku dan terjadi secara rutin, maka peristiwa tersebut dianggap sebagai hal yang lazim dan tidak dipersoalkan lagi oleh pelaku tersebut. 4. Konsep Persepsi Mead (dalam Salim, 2008:27) mengemukakan adanya empat basis tindakan yang saling berhubungan, yakni impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumasi. Impuls merupakan dorongan hati yang meliputi rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap rangsangan. Selanjutnya, persepsi didefinisikan sebagai suatu proses yang menggabungkan dan mengorganisir data-data indera (penginderaan) untuk dikembangkan sedemikian rupa, sehingga seseorang dapat sadar terhadap apa yang ada disekeliling maupun sadar terhadap diri sendiri (Shaleh, 2009:110). Leavit (dalam Sobur, 2003:445) juga telah menjelaskan mengenai definisi persepsi dalam arti sempit maupun arti luas. Dalam arti sempit, persepsi didefinisikannya sebagai cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas diartikannya sebagai cara pandang seseorang dalam mengartikan sesuatu. Kemudian, persepsi, menurut Sarwono (2002:94) adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah melalui penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya), 21

22 sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Selain itu, Moskowitz dan Ogel (dalam Walgito, 2003:54) mendefinisikan persepsi sebagai proses yang terintegrasi dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Secara lebih lanjut, sebagaimana telah disinggung pada sub bab sebelumnya, bahwa persepsi batasan usia minimal menikah merupakan persepsi yang dimiliki oleh pelaku maupun non pelaku pernikahan dini mengenai usia ideal untuk menikah. Dalam penelitian ini, terdapat dua pandangan mengenai batasan usia minimal menikah, yakni menurut BKKBN dan peraturan perundang-undangan yang dianut oleh institusi agama. BKKBN beranggapan bahwa usia ideal menikah adalah 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki, sedangkan dalam peraturan perundang-perundangan yang dianut oleh institusi agama mengatakan bahwa pernikahan dapat berlangsung ketika perempuan telah berusia 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun. Menyikapi perbedaan kebijakan tersebut, pada penelitian ini lebih diarahkan pada persepsi batasan usia minimal menikah yang dianjurkan oleh BKKBN. Hal ini tidak terlepas dari realitas usia di bawah 20 tahun merupakan usia SMA/sederajat, sehingga perlu didukung untuk menyelesaikan pendidikan maupun persiapan untuk memperoleh bekal ekonomi secara mandiri. Selanjutnya, manipulasi dimaknai oleh Salim (2008:28) sebagai pengambilan keputusan terhadap tindakan yang diambil berkenaan dengan objek yang ditangkap, sedangkan konsumasi adalah keputusan untuk bertindak. Jadi setelah melewati tahap memaknai impuls/rangsangan, maka pelaku akan berada pada tahap pengambilan keputusan atau disebut dengan manipulasi. 22

23 Pengambilan keputusan tersebut tentu merupakan keputusan terbaik, berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah dimaknainya. Setelah itu, maka sampai pada tindakan nyata yang dilakukan atau disebut dengan konsumasi. Melalui empat basis tindakan tersebut, pelaku pernikahan dini tidak sekedar menanggapi respon yang didapat dari lingkungannya, tetapi telah dipikirkan secara masak bagaimana akibat yang akan diterimanya dari setiap keputusan yang dipilih. Respon-respon yang diberikan dipengaruhi oleh berbagai karakteristik yang dimiliki individu, seperti status sosial, situasi relasional, dan motivasi yang dimiliki (Salim, 2008:11). Oleh karenanya, masing-masing individu mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu rangsangan yang diterimanya. 5. Konsep Institusi Institusi menurut Hendropuspito (1989:63) adalah suatu bentuk organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Kemudian, Taneko (1993:72) mendefinisikan institusi sebagai norma-norma dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam institusi tersebut. Dari kedua konsep yang telah disebutkan di atas, Macmillan (dalam Saharuddin, 2001) merumuskan konsep institusi sebagai gabungan dari keduanya, yaitu seperangkat hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang nyata, yang terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang penting dan berulang. Secara lebih rinci, 23

24 Koentjaraningrat (1994:16) menggolongkan institusi ke dalam delapan golongan berdasarkan kebutuhan hidup manusia, yaitu: (1)Kinship/Domestic Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan. (2)Economic Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti mata pencaharian, memproduksi, menimbun, mengolah, dan mendistribusi harta dan benda. (3)Educational Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendudukan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna. (4)Scientific Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta di sekelilingnya. (5)Aesthetic and Recreational Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahan dan untuk rekreasi. (6)Religious Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib. 24

25 (7)Political Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara. (8)Somatic Institutions Yaitu pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmaniah dari manusia. Merujuk pada golongan institusi yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka institusi yang dimaksud dalam penelitan ini lebih ditekankan pada golongan Educational Institutions. Hal ini dikarenakan institusi yang menjadi objek penelitian ini adalah institusi di lingkungan sekitar pelaku, yang mempunyai peran dalam memberikan edukasi serta upaya pencegahan pernikahan dini, seperti Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana, PIK-R, Kader Desa, keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, maupun institusi agama. 25

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Kanker Serviks: Ciri-ciri, Penyebab, dan Pencegahan Kanker Serviks.. Kompilasi Hukum Islam : Hukum Perkawinan.

Daftar Pustaka. Kanker Serviks: Ciri-ciri, Penyebab, dan Pencegahan Kanker Serviks.. Kompilasi Hukum Islam : Hukum Perkawinan. Daftar Pustaka. Kanker Serviks: Ciri-ciri, Penyebab, dan Pencegahan Kanker Serviks. Diakses dari http://bidanku.com/kanker-serviks-ciri-ciri-penyebab-danpencegahan-kanker-serviks tanggal 3 Januari 2016..

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional dan dapat mengurangi hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati

I. PENDAHULUAN. nasional dan dapat mengurangi hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk relatif tinggi merupakan beban dalam pembangunan nasional dan dapat mengurangi hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati oleh rakyat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, manusia untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia. Diperkirakan 20-30 persen perempuan di Indonesia menikah di bawah usia

Lebih terperinci

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan Usia Dini 1. Pengertian Perkawinan Usia Dini Menurut Ali Akbar dalam Rouf (2002) untuk menentukan seseorang melaksanakan kawin usia dini dapat dilihat dari sudut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Gambaran umum pernikahan usia dini di Jawa Barat menurut Kepala seksi advokasi dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) Santoso (dalam BKKBN) mengatakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah Manusia dalam proses perkembangan untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan mengemban tugas pembangunan pada masa yang akan datang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk yang sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT, karena setiap insan manusia yang ada dimuka bumi ini telah ditentukan pasangannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah; BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Perkawinan Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah; sedangkan menurut Purwadarminta (1979), kawin adalah perjodohan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. menolak permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke Pengandilan Agama pada

BAB VI PENUTUP. menolak permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke Pengandilan Agama pada BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Di Indonesia masalah pernikahan di bawah umur merupakan isu kependudukan yang sepatutnya menjadi perhatian pemerintah. Terutama dikarenakan pernikahan dibawah umur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pernikahan merupakan suatu hal yang dinantikan dalam kehidupan manusia karena melalui sebuah pernikahan dapat terbentuk satu keluarga yang akan dapat melanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk itu. Perkawinan merupakan faktor untuk membina kerja sama antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk itu. Perkawinan merupakan faktor untuk membina kerja sama antara laki-laki dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan sunnah Rasulullah Saw kepada umatnya. Beliau menganjurkan agar segera menikah apabila telah sampai pada masanya dan ada kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974). Perkawinan pada pasal 6 menyatakan bahwa Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974). Perkawinan pada pasal 6 menyatakan bahwa Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir semua manusia hidup terikat dalam sebuah jaringan dimana seorang manusia membutuhkan manusia lainnya untuk dapat hidup

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk diperlukan adanya program Keluarga Berencana dan

BAB 1 PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk diperlukan adanya program Keluarga Berencana dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan kualitas, kuantitas dan mobilitas penduduk (BKKBN, 2011). Dilihat dari sisi kuantitas penduduk Indonesia berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi melangsungkan eksistensinya sebagai makhluk. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan psikologis dimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk menjalankan kehidupannya. Selain membutuhkan orang lain manusia juga membutuhkan pendamping hidup.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan setiap manusia. Perkawinan ini di samping merupakan sumber kelahiran yang berarti obat

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk besar. Jumlah penduduk yang besar ini telah membawa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. penduduk besar. Jumlah penduduk yang besar ini telah membawa Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai jumlah penduduk besar. Jumlah penduduk yang besar ini telah membawa Indonesia menduduki posisi ke-4 sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan jenjang awal pembentukan masyarakat, dari suatu parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di dalamnya akan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis.

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan-kebutuhan seperti makhluk hidup lainnya, baik kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksistensinya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan ke dunia dengan misi menjalankan kehidupan sesuai dengan kodrat ilahi yakni tumbuh dan berkembang. Untuk tumbuh dan berkembang, setiap orang harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah remaja, dan 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah remaja, dan 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Negara-negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satu diantara tujuh manusia penduduk dunia yang berjumlah 6,75 miliar ini adalah remaja, dan 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Negara-negara yang tidak mampu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makluk sosial (zoonpoliticoon), sehingga tidak bisa hidup

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makluk sosial (zoonpoliticoon), sehingga tidak bisa hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makluk sosial (zoonpoliticoon), sehingga tidak bisa hidup tanpa adanya manusia lainnya. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menikah dan kuliah sama pentingnya, secara sederhana bisa digambarkan,

BAB I PENDAHULUAN. Menikah dan kuliah sama pentingnya, secara sederhana bisa digambarkan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menikah dan kuliah sama pentingnya, secara sederhana bisa digambarkan, menikah jelas kaitannya dengan rumah tangga. Adapun kuliah hubungannya dengan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengarungi suka duka hidup di dunia bersama sama. Setelah akad nikah

BAB I PENDAHULUAN. mengarungi suka duka hidup di dunia bersama sama. Setelah akad nikah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan adalah sebuah episode penting dalam hidup dua anak manusia yang berlainan jenis untuk mengikat diri dalam suatu akad dan janji demi mengarungi suka duka

Lebih terperinci

BAB I. berkomunikasi, bahkan ketika kita sendiripun, kita tetap melakukan. komunikasi. Sebagai sebuah aktivitas, komunikasi selalu dilakukan manusia.

BAB I. berkomunikasi, bahkan ketika kita sendiripun, kita tetap melakukan. komunikasi. Sebagai sebuah aktivitas, komunikasi selalu dilakukan manusia. BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan salah satu istilah paling populer dalam kehidupan manusia dan tidak bisa dipisahkan dari roda kehidupan manusia setiap orang membutuhkan komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintah dalam Mempersipkan Keluarga yang Ramah Anak

Kebijakan Pemerintah dalam Mempersipkan Keluarga yang Ramah Anak Kebijakan Pemerintah dalam Mempersipkan Keluarga yang Ramah Anak Disampaikan pada : Seminar Pra Nikah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa, siap secara lahir dan batin, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 5.1. Simpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian pada bab sebelumnya, pada bagian ini peneliti akan mengemukakan simpulan hasil penelitian mengenai cerai

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maka dari itu belakangan ini pemerintah lebih mengutamakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Maka dari itu belakangan ini pemerintah lebih mengutamakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan sosial merupakan sebuah fenomena yang beragam, perlu adanya pengembangan sosial berkelanjutan untuk membenahi permasalahan sehingga mampu menekan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya pubertas, yaitu seseorang yang dulunya masih anak-anak menjadi mampu

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya pubertas, yaitu seseorang yang dulunya masih anak-anak menjadi mampu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja adalah periode perubahan fisik yang sangat monumental dimana terjadinya pubertas, yaitu seseorang yang dulunya masih anak-anak menjadi mampu secara seksual

Lebih terperinci

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, tetapi meliputi aspek mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pernikahan atau perkawinan adalah suatu kejadian dimana dua orang yang saling mengikat janji, bukan hanya didepan keluarga dan lingkungan sosial melainkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang umumnya mulai berpikir untuk berumah tangga dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. orang umumnya mulai berpikir untuk berumah tangga dan memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menikah di dalam masyarakat kadang masih menjadi tolak ukur kedewasaan. Setelah memiliki pekerjaan mapan dan penghasilan sendiri, orang umumnya mulai berpikir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan (Luthfiyah,

BAB I PENDAHULUAN. insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan (Luthfiyah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan dini merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan (Luthfiyah, 2008:56). Pola pikir zaman primitif dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain, dimana setiap manusia selalu membutuhkan bantuan orang lain dan hidup dengan manusia lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap wajar oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah umur bisa menjadi isu yang menarik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tahun untuk pria (BKKBN, 2011). Penyebab terjadinya

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tahun untuk pria (BKKBN, 2011). Penyebab terjadinya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang terlalu muda. Usia muda artinya, usia yang belum matang secara medis dan psikologinya. Usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang terjadi dalam hidup manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

Lebih terperinci

PERSEPSI PELAJAR SMA NEGERI 1 BANJARMASIN DAN SMA NEGERI 2 BANJARMASIN TERHADAP PERNIKAHAN USIA DINI

PERSEPSI PELAJAR SMA NEGERI 1 BANJARMASIN DAN SMA NEGERI 2 BANJARMASIN TERHADAP PERNIKAHAN USIA DINI PERSEPSI PELAJAR SMA NEGERI 1 BANJARMASIN DAN SMA NEGERI 2 BANJARMASIN TERHADAP PERNIKAHAN USIA DINI Oleh: Desyi Tri Oktaviani. Eva Alviawati, Karunia Puji Hastuti ABSTRAK Penelitian ini berjudul Persepsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh pasangan muda yang usianya masih dibawah 15 tahun. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh pasangan muda yang usianya masih dibawah 15 tahun. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia fenomena pernikahan usia dini bukanlah hal yang baru dalam masyarakat. Pernikahan usia dini merupakan suatu hal yang wajar karena dilihat dari sejarah Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1. yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1. yang sakinah, mawaddah dan rahmah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH

PERATURAN BUPATI KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH PERATURAN BUPATI KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak pulau serta keragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak pulau serta keragaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak pulau serta keragaman karakteristik, selain itu Indonesia juga merupakan Negara hukum, dimana didalamnya melekat peaturan-peraturan

Lebih terperinci

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : Dewi Sumpani F 100 010

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

MEMUTUSKAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KELUARGA BERENCANA DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian merupakan suatu estafet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Pernikahan merupakan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1984). Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN 1. Pendahuluan Dalam demografi pertumbuhan penduduk antara lain dipengaruhi oleh fertilitas. Perkawinan merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun Dalam pasal 1 ayat 1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun Dalam pasal 1 ayat 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan satu prosesi yang diatur sedemikian rupa untuk melegalkan hubungan sepasang pria dan perempuan. Indonesia sebagai negara hukum memiliki tata aturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Locus Of Control 1. Pengertian Locus of Control Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang menjelaskan bahwa individu berperilaku dipengaruhi ekspektasi mengenai dirinya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH Menimbang : a. Mengingat : 1. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

Lebih terperinci

Qawwãm Volume 9 Nomor 2, 2015

Qawwãm Volume 9 Nomor 2, 2015 Qawwãm Volume 9 Nomor 2, 2015 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MENIKAH DINIDI DUSUN SONO DESA KALIKUNING, KECAMATAN TULAKAN, KABUPATEN PACITAN Siti Hajaroh 1 Abstrak: Menikah merupakan sebuah keputusan besar yang

Lebih terperinci

BAB IV USIA PERKAWINAN OLEH BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL JAWA TIMUR

BAB IV USIA PERKAWINAN OLEH BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL JAWA TIMUR BAB IV ANALISIS MAS{LAH{AH AL-MURSALAH TERHADAP PROGRAM PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN OLEH BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL JAWA TIMUR A. Implikasi ketentuan program pendewasaan usia perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama di dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya. Tidak hanya kaya akan sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar belakang sejarah,

Lebih terperinci

Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni

Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni Pernikahan Dini Ditinjau Dari Sudut Pandang Sosial Dan Pendidikan Oleh: Abstrak Pernikahan merupakan suatu kegiatan yang yang merubah suatu hal yang haram menjadi halal dengan syarat sah sebuah pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini menjadikan salah satu jalan yang diberikan oleh Allah SWT untuk setiap. insan didunia mendapatkan keturunan.

BAB I PENDAHULUAN. ini menjadikan salah satu jalan yang diberikan oleh Allah SWT untuk setiap. insan didunia mendapatkan keturunan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu hal yang snagat sakral, yang akan dialami oleh setiap manusia didunia, yang akan menyatukan dua insan berbeda untuk mengarungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan cikal bakal terciptanya keluarga sebagai tahap

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan cikal bakal terciptanya keluarga sebagai tahap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan cikal bakal terciptanya keluarga sebagai tahap pertama dalam pembentukannya dengan tujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, damai, sejahtera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik secara biologis, psikologis maupun secara sosial. Batasan usia

BAB I PENDAHULUAN. baik secara biologis, psikologis maupun secara sosial. Batasan usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan. Dengan pernikahan, seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis maupun secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pasangan suami istri yang terikat

BAB I PENDAHULUAN. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pasangan suami istri yang terikat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari makhluk hidup lainnya. Mereka memiliki akal budi untuk berpikir dengan baik dan memiliki kata hati.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan-

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan- Nya. Dalam kehidupan ini secara alamiah manusia mempunyai daya tarik menarik antara satu individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prostitusi merupakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya, maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimanapun.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan Pernikahan atau perkawinan merupakan salah satu kejadian paling penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya yang sifatnya paling intim dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan. Sudah menjadi fitrah manusia yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya serta mencari pasangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pernikahan adalah salah satu proses penting dalam kehidupan sosial manusia. Pernikahan merupakan kunci bagi individu untuk memasuki dunia keluarga, yang di dalamnya terdapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar diantaranya kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian identitas dan membentuk hubungan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMBAWA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUMBAWA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN BUPATI SUMBAWA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN KELUARGA BERENCANA DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KABUPATEN SUMBAWA BUPATI SUMBAWA Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

SALINAN NOMOR TENTANG. dan. Menimbang. Dasar : 1. Negara. Provinsi. Bangkaa. Indonesia Tahun Belitung (Lembaran 4268); Indonesia.

SALINAN NOMOR TENTANG. dan. Menimbang. Dasar : 1. Negara. Provinsi. Bangkaa. Indonesia Tahun Belitung (Lembaran 4268); Indonesia. BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGAA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis, maupun intelektual. Sifat khas remaja mempunyai rasa

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri, saling membutuhkan dan saling tergantung terhadap manusia lainnya, dengan sifat dan hakekat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Manusia dilahirkan untuk saling melengkapi satu dengan yang lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat tanggung jawab dari kedua belah pihak. Perkawinan dilakukan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci