BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini banyak budaya dari luar masuk ke Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini banyak budaya dari luar masuk ke Indonesia"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini banyak budaya dari luar masuk ke Indonesia dimana sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi mempengaruhi pula perkembangan kejahatan yang semakin bervariasi dan meningkat jenisnya, khususnya kejahatan narkotika. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika di definisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU No. 35 Tahun Mengkonsumsi narkoba dapat menyebabkan kinerja otak tidak maksimal bagi para penggunanya. Sehingga dapat menimbulkan tindak kriminal. Melihat fenomena tersebut pemerintah melakukan banyak upaya preventif dan represif untuk menanggulangi kejahatan narkotika tersebut. Langkah preventif yang sering dilakukan oleh pemerintah ialah memberikan penyuluhan tentang bahaya dari narkotika dan sosialisasi pendidikan karakter, sedangkan langkah represif yang dilakukan oleh pemerintah ialah dengan memberikan sanksi atau merehabilitasi pegguna/pecandu narkoba. 1 Aziz Syamsudiin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h.90

2 Penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin memprihatinkan dan merajalela khususnya di kota-kota besar di Indonesia yang mana merupakan pengangkat perekonomian di indonesia. Semakin berekembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi juga menyebabkan semakin banyaknya kejahatan narkotika yang dilakukan, dan berbagai macam bentuknya dan modus operani kejahatan yang digunakan oleh pelakunya. Proses penyelidikan dan penyidikan pun perlu dilakukan pengembangan dan meningkatan mutu sesuai perkembangan zaman dan makin bervariasinya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku untuk menghindari jeratan hukum, disini peran ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern di perlukan untuk mengungkap kasus kejahatan narkotika yang semakin bervariasi dalam masyarakat. Salah satunya bentuklah Laboratorium Forensik sebagai aparat yang membantu proses pemeriksaan barang bukti baik di Tempat Kejadian Perkara atau secara laboratoris kriminalistik forensik. Hasil dari pemeriksaan laboratoris nantinya bisa digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, terhadap suatu kejahatan narkotika. Menurut Abdussalam dan Adri Desasfuyanto pengertian Laboratorium Forensik adalah ilmu pembuktian secara ilmiah terhadap bukti-bukti yang ditemukan ditempat kejadian perkara (TKP) sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. 2 Dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memuat ketentuanketentuan tentang bagaimana cara melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana baik ditingkat penyidikan, 2. Abdussalam dan Desasfuyanto Adri, 2014, Buku Pintar Forensik (Pembuktian Ilmiah), Penerbit PTIK Press, Jakarta, h.5

3 penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian pengaturan-pengaturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai suatu tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 3 Tujuan hukum acara pidana yang berpedoman pada pelaksanaan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 yaitu: 1. Mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. 2. Mencari siapa pelakunya yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 3. Setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hukum acara pidana mengatur pula pokok acara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut. 4 Alat bukti yang sah untuk membuktikan kebenaran materiil tersangka/terdakwa bersalah atau tidaknya. Bagi aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim akan mudah membuktikan kebenaran materiil bila saksi dapat menunjukkan bukti kesalahan tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana dan tersangka/terdakwa mengakui bukti tersebut untuk melakukan perbuatan pidana. Hal ini akan sulit untuk dibuktikan kebenaran materiil, bila 3. Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Cetakan X, Sumur, Bandung, hal Andi Sofyan dan Abd.Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Penerbit Kencana Prenamedia Group, Jakarta, h.8

4 saksi tidak dapat menunjukkan bukti perbuatan tindak pidana yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kasus tindak pidana yang tidak didukung dengan alat bukti sah minimal dua alat bukti sah untuk membuktikan bersalah atau tidak bersalah terdakwa/tersangka, maka aparat penegak hukum sulit membuktikan bersalah atau tidak bersalah tersangka/terdakwa. Perkembangan pembuktian bersalah atau tidak bersalahnya tersangka/terdakwa, para aparat penegak hukum lebih mengutamakan pada pengakuan tersangka/terdakwa. Mencari kebenaran materiil terhadap bersalah atau tidak bersalah tersangka/terdakwa tindak pidana narkotika dengan memberikan keyakinan kepada hakim, dengan cara melakukan pembuktian secara ilmiah berdasarkan keahlian dispilin ilmu yang dikenal dengan istilah Forensik. Pembuktian dengan menggunakan Forensik ini pada semua negara maju telah berkembang dan digunakan sebagai alat sah utama dalam memberikan keyakinan hakim, walaupun tersangka/terdakwa bersikap diam atau membisu atau tidak mengakui perbuatannya. 5 Laboratorium Forensik Polri adalah salah satu bantuan teknis laboratorium kriminalistik dalam rangka tugas sebagai penyidik. Adapun salah satu tugasnya yaitu meliputi bantuan pemeriksaan laboratoris, baik terhadap barang bukti kejahatan maupun tempat kejadian perkara atau tempat kejadian perkara kejahatan, serta kegiatan-kegiatan lain terhadap unsur-unsur operasional kepolisian terutama reserse. Setiap tindakan kejahatan biasanya meninggalkan bukti-bukti atau bekas-bekas kejahatan itu sendiri yang dapat diungkap baik 5 Ibid, h.3

5 melalui barang bukti maupun keterangan saksi ahli atau keterangan tersangka atau masyarakat sekitar tempat kejadian atau dalam pemeriksaan barang bukti yang dilakukan di Laboratorium Forensik. Peranan Laboratorium Forensik besar manfaatnya dalam pengungkapan kasus kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, khususnya dalam kejahatan narkotika yang semakin bervariasi dan beragam kandungan zat yang di pakai, dalam hal ini pihak laboratorium forensik meneliti jenis dari narkotika yang digunakan, karena banyaknya jenis-jenis narkotika yang baru yang belum diketahui oleh masyarakat pada umumnya, dalam pemeriksaan di laboratorium forensik agar nantinya dapat diketahui kandungan apa yang ada di dalam narkotika tersebut sehingga di pengadilan nantinya ketika hakim akan menjatuhkan hukuman dapat berpedoman pada alat bukti utama yaitu barang bukti dari hasil pemeriksaan di laboratorium forensik, dalam proses pembuktian materiil nantinya di sidang pengadilan bila terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Tidak semua kejahatan dapat diungkap melalui keterangan terdakwa, keterangan saksi atau keterangan korban, serta keterangan masyarakat. Khususnya pada tindak pidana narkotika ini perlunya proses pembuktian bahwa yang bersangkutan benar-benar telah memakai narkotika tersebut yang dilakukan melalui pembuktian laboratoris di laboratorium forensik. Berdasarkan dari latar belakang tersebut, menjadikan penulis tertarik untuk mengangkat judul Peranan Laboratorium Forensik Polri dalam Proses Penyidikan Kasus Narkotika Di Denpasar.

6 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pentingnya peranan Labfor Polri Cabang Denpasar dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika di Denpasar? 2. Kendala dan upaya apakah yang dihadapi oleh Labfor Polri Cabang Denpasar dalam menemukan kebenaran materiil dalam kasus tindak pidana narkotika? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup penilitian merupakan bingkaian penelitian, yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi areal penelitian. 6 Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Akan diuraikan tentang aspek-aspek yang melatar belakangi pemikiran akan pentingnya peranan kepolisian dalam kasus kejahatan narkotika khususnya peranan LabFor Polri cabang Denpasar dalam tahap penyidikan dan pemeriksaan barang bukti secara laboratoris kriminalistik. 6. Bambang Sugono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.111

7 2. Akan dibahas mengenai kendala-kendala yang dihadapi dan upaya yang dilakukan oleh LabFor Polri dalam proses pemeriksaan barang bukti narkotika di Denpasar Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah: Tujuan Umum Adapun tujuan umum penulisan skripsi ini adalah ; 1. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Udayana. 2. Untuk melatih diri mengembangkan daya nalar dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis sebagai sumbangan pemikiran ilmiah bagi almamater serta turut mengembangkan ilmu hukum. 3. Sebagai karya nyata atas kemampuan akademik yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 4. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. 5. Sebagai sarana bagi mahasiswa untuk berpikir kritis, rasional dan sistematis. 6. Sebagai sumbangan pikiran bagi mahasiswa khususnya yang membutuhkan pengetahuan lebih dalam pada bidang Hukum Pidana Tujuan Khusus

8 1. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan Labfor Polri dalam proses penyidikan kasus narkotika sebagai alat bukti di dalam pemeriksaan terdakwa di pengadilan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala-kendala yang dihadapi oleh Labfor dalam membantu proses penyidikan kasus narkotika serta upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) seiring dengan berkembangnya masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat, juga diharapkan dapat menjadi refrensi untuk penelitian-penelitian di bidang hukum pidana terkait peranan Laboratorium Forensik Polri dalam proses penyidikan kasus narkotika sebagai pemeriksa barang bukti secara laboratoris. b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan dan penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian dan pengetahuan masyarakat terhadap peranan Laboratorium Forensik Polri dalam proses penyidikan kasus narkotika sebagai pemeriksa barang bukti narkotika Landasan Teori Perkembangan kejahatan dewasa ini sangat banyak dan semakin bervariasi dari masa-kemasa semakin menambah jumlah jenis kejahatan khususnya dalam

9 penggunaan obat-obatan terlarang. Maka peranan kepolisian khususnya Laboratorium Forensik Polri sangat dibutuhkan kehadirannya khususnya dalam proses penyidikan kasus narkotika untuk menentukan proses pembuktian tindak pidana. Menurut M.Yahya Harahap yang dimaksud dengan pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarasian dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. 7 Dalam buku himpunan Juklak dan Juknis, Skep kapolri No.Pol.: Skep/105/II/2002 tentang Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik menerangkan bahwa: 1. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan Penyidikan. 2. Laboratorium Forensik Polri yang disingkat Labfor Polri khususnya ditugaskan untuk mengadakan pemeriksaan secara ilmiah/secara laboratoris kriminalistik. 3. Labfor Polri dalam menangani kasus harus mendatangi tempat kejadian perkara yang disingkat TKP yaitu dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi dimana tersangka dan atau korban serta barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan. 7 M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h.273

10 4. Pemeriksaan Tekhnik Kriminalistis TKP adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pemeriksa Labfor Polri di TKP untuk mencari dan mengumpulkan serta membawa barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan peralatan/metode/prosedur tertentu yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. 5. Analisa Laboratoris barang bukti adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pemeriksaan di Labfor Polri untuk menganalisa barang bukti yang diperoleh dari TKP. Seperti yang dijelaskan diatas, Polri khususnya Labfor Polri berdasarkan Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga berperan dalam proses penyidikan dan di berikan wewenang oleh undangundang. Secara teoritis kewenangan dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu: a) Atribusi Bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-undangan, bahwa artinya adanya wewenang baru yang dilahirkan atau diciptakan. b) Delegasi Bahwa pada delegasi terjadi pelimpahan wewenang yang telah ada (wewenang asli) oleh badan/atau jabatan pemerintahan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan/atau pejabat pemerintahan

11 lainnya, jadi suatu wewenang delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. c) Mandat Bahwa mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya, dengan kata lain suatu tindakan atau perbuatan yang mengatas namakan badan/atau jabatan pemerintahan yang diwakilinya (bertindak untuk dan atas nama badan/atau jabatan pemerintahan. 8 Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa teori kewenangan atribusi yang di pakai aparat kepolisian dalam proses penegakan hukum sebagai seorang penyidik karena berdasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan. Dimana dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf g, burbunyi Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundangundangan lainnya. Oleh karena itu dalam menentukan proses penyidikan dan membuat terang suatu kasus tindak pidana serta sebagai dasar penuntutan maka Polri sebagai penyelidik dan penyidik mempunyai peranan menentukan barang bukti dan alat bukti serta modus operandinya untuk menentukan pelakunya. Dari uraian diatas maka untuk pembuktian suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang perlu adanya pembuktian secara ilmiah agar tidak salah dakwaan. Dimana dalam undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang kitab undang- 8 Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Prenadamedia Group, Jakarta, h

12 undang Hukum Acara Pidana, diatur dalam pasal 184 ayat (1) mengenai alat bukti yang sah yaitu : a) Keterangan saksi b) Keterangan ahli c) Surat d) Petunjuk e) Keterangan terdakwa Seperti yang diuraikan diatas maka dalam teori dikenal 4 (empat) sistem pembuktian yaitu : a) Conviction In Time Ajaran pembuktian conviction in time adalah suatau ajaran pembuktian yang menyadarkan pada keyakinan hakim semata. Hakim di dalam menjatuhkan keputusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada didalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada dipersidangan. Akibatnya dalam memutuskan perkara jadi subjektif sekali, hakim tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya. Seseorang dapat dikatan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya. Demikian sebaliknya hakim juga dapat membebsakan terkdakwa dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang ada menunjukan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Sistem pembuktian conviction in time dipergunakan dalam sistem peradilan juri ( Juri Rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat.

13 b) Conviction In Raisone Ajaran pembuktian ini juga masih menyadarkan pula pada keyakinan hakim. Hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim dapat mempergunakan alat-alat bukti diluar yang ditentukan oleh undang-undang. Namun demikian di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seseorang terdakwa haruslah didasarkan alasan-alasan yang jelas. Jadi hakim harus mendasarkan putusan-putusan terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable). Keyakinan hakim haruslah didasari oleh alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan kenyakinan yang tidak terbatas. Sistem pembuktian ini sering disebut sistem pembuktian bebas. c) Sistem Pembuktian Positif Sistem pembuktian positif ( positief wetelijk) adalah sistem pembuktian yang menyadarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.

14 Seseorang terdakwa dapat dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan. Pada pokoknya apabila terdakwa telah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah yakni yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut dapat dikatakan bersalah dan haris dipidana. Seorang hakim laksana robot yang melaksanakan undang-undang. Namun demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini, yaitu hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar objektif. Yaitu menurut cara-cara dan bukti-bukti yang ditentukan oleh undangundang. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdata. d) Sistem Pembuktian Negatif Sistem pembuktian negative (negatief wetelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in reasone.

15 Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seseorang terdakwa terikat pada alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. Jadi didalam sistem negative ada dua hal yang merupakan syarat untuk mebuktikan kesalahan terdakwa, yakni: 1. Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang 2. Negartief : adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan bukti tersebut meyakini kesalah terdakwa. Alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak dapat ditambah dengan alat bukti yang lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan dipersidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan. 9 Dari uraian sistem pembuktian diatas, dapatlah dicari sistem pembuktian apa yang dianut oleh KUHAP. Dalam KUHAP sistem pembuktian diatur dalam pasal 183 yang menyatakan ; hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Perkara Pidana, (penerbit CV Mandar Maju, Bandung), h.14.

16 Dari pasal tersebut diatas, putusan hakim harus didasari pada dua buah syarat yaitu : a. Minimum 2 (dua) alat bukti, b. Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Jadi meskipun didalam persidangan telah diajukan dua atau lebih barang bukti namun apabila hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa tersebut akan dibebaskan. Dari yang diuraikan diatas jelas bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian negatief wettelijk. Minimum pembuktian yakni 2 alat bukti yang dapat disimpangi dengan satu alat bukti untuk pemeriksaan perkara cepat (diatur dalam pasal 205 sampai pasal 216 KUHAP). Jadi jelasnya menurut pasal 184 KUHAP, pemeriksaan perkara cepat cukup dibuktikan dengan satu alat bukti dan keyakinan hakim. 1.7 Metode Penelitian Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini termasuk ke dalam penelitian hukum empiris artinya dalam penulisannya mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata Soenarto Soerodibroto, 2003, KUHP dan KUHAP, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.

17 Dalam konteks ini sesuatu yang disebutkan sebagai hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-literatur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat atau proses di dalam masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek dalam kehidupan social dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan das solen, yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta hukum Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norama hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam litertur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai, sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau boleh juga tidak Data dan Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah berasal dari penelitian secara langsung ke masyarakat untuk mendapatkan data yang konkrit. Penelitian ini dilakukan secara langsung di Laboratorium Forensik Polri cabang Denpasar. Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : h Nomense Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT. Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,

18 1. Data primer yaitu data yang diperoleh berdasarkan fakta-fakta sosial yang terkait dengan bekerjanya hukum yang nyata dihadapi oleh masyarakat. Data ini diperoleh dengan mengadakan penelitian secara langsung dilapangan. Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan, dalam hal ini data dari hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Forensik Polri cabang Denpasar. 2. Data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah: a. Bahan hukum primer berupa peraturan Perundang-undangan yaitu: 1) Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. 2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

19 b. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum dan hasil karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan peranan Laboratorium Forensik Polri dalam penyidikan kasus narkotika. c. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum Indonesia, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan kamus bahasa Belanda Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan melalui dua cara, yaitu : 1. Teknik wawancara yaitu cara yang dipergunakan kepada informan untuk nantinya memperoleh informasi yang dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada informan. (Data Primer) 2. Teknik studi dokumen yang dilakukan dengan menelaah dan mencatat bahan-bahan relevan dengan permasalahan yang dibahas. (Data Sekunder) Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam kaitannya dengan penetuan sampel maka terdapat dua cara yaitu teknik Probability Sampling dan Teknik Non Probability Sampling. Dalam hal ini dipakai Teknik Non Probability Sampling yang berbentuk Purposive Sampling yang artinya penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu sampel

20 dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Dalam mengolah dan menganalisis secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis. Maksudnya data yang telah rampung tadi dipaparkan dengan disertai analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir dari pemulisan skripsi ini. 12 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau dilanggar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus menerus termasuk derajat kesehatannya. dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu

BAB I PENDAHULUAN. terus menerus termasuk derajat kesehatannya. dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANAN SAKSI DAN KETERANGAN AHLI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

SKRIPSI PERANAN SAKSI DAN KETERANGAN AHLI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA SKRIPSI PERANAN SAKSI DAN KETERANGAN AHLI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) Oleh: Ahmad Rifki Maulana NPM : 12100082 Kata Kunci : Pembunuhan berencana, pembuktian, hambatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada awalnya narkotika hanya digunakan untuk pengobatan, adapun jenis narkotika pertama yang digunakan pada mulanya adalah candu atau lazim disebut sebagai madat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang termuat dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3). Dalam segala aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak pidana merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkembangan serta dinamika masyarakat menyebabkan hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ayat (3) Undang Undang Dasar Sebagai konsekuensi logis peraturan

BAB I PENDAHULUAN. ayat (3) Undang Undang Dasar Sebagai konsekuensi logis peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. Sebagai konsekuensi logis peraturan tersebut, maka seluruh tata kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari semakin memprihatinkan terlebih di Indonesia. Narkotika seakan sudah menjadi barang yang sangat mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Indonesia memiliki banyak keanekaragaman budaya dan kemajemukan masyarakatnya. Melihat dari keberagaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek hukum yang berlaku. Kemajuan teknologi informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah sehingga diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan timbul dalam kehidupan masyarakat karena berbagai faktor

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan timbul dalam kehidupan masyarakat karena berbagai faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda, itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akibat kemajuan teknologi baik dibidang informasi, politik, sosial, budaya dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap tujuan kuantitas dan kualitas tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian 1. Pengertian Saksi Berdasarkan tujuan pokok hukum acara pidana maka tujuan dari hukum acara pidana itu yaitu untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika pada hakekatnya sangat bermanfaat untuk keperluan medis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada umumnya mengatur secara

Lebih terperinci

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara berkembang sangatlah membutuhkan pembangunan yang merata di

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara berkembang sangatlah membutuhkan pembangunan yang merata di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara berkembang sangatlah membutuhkan pembangunan yang merata di segala bidang, dalam rangka membangun Indonesia seutuhnya dan mewujudkan suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini modus kejahatan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dalam perkembangannya kita dihadapkan untuk bisa lebih maju dan lebih siap dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena peredarannya melingkupi disemua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bukan

BAB I PENDAHULUAN. demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan- peraturan yang menentukan perbuatan apa saja yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modern. Ini ditandai dengan kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. modern. Ini ditandai dengan kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Hukum pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang menjadi sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci