Oleh : Sitor Situmorang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Oleh : Sitor Situmorang"

Transkripsi

1 Menelusuri Sejarah sebagai Dialog Terus- Menerus dengan Diri Sendiri dan Sesama Oleh : Sitor Situmorang Judul yang agak panjang dari ceramah saya di sarasehan ini adalah pinjaman dari serorang sejarahwan Belanda, aklau tak salah ingat dari Prof.Geyl. Maaf saya peminat sejarah, namun bukan seorang pakar yang hafal kepustakaan yang tersedia. Pokoknya judul tsb adalah semacam rumus yang sekiranya cukup memuaskan untuk membantu pendekatan kita menghindari sikap mutlakmutlakan, apalagi super-benar, dalam mengemukakan pandangan dan pendapat pribadi kita terhadap sejarah, atau salah satu aspek sejarah bangsa kita, yang menjadi pusat perhatian kita menyambut sarasehan yang diprakarsai oleh generasi baru Indonesia, yang ingin melengkapi penghayatannya tentang sejarah pada umumnya, dan sejarah nasional khususnya untuk lebih mengerti posisi dalam persoalan-persoalan kehidupan bersama. Dari surat undangan kepada saya, saya menyimpulkan saya diharapkan tampil sebagai pembicara, katakanlah generasi yang tua, yang mungkin dianggap tergolong sebagai saksi-sejarah. Anggapan demikian mungkin terkait dengan status saya, yang terkait dengan timbulnya kelompok warga bangsa yang dikategorikan sebagai eks- Tahpol barangkali, yang diharapkan dapat sumbang bahan penjelasan dari dunia pengalaman sebagai eks-tahpol. Pertanyaan yang disampaikan kepada saya terurai dalam 3 kalimat, yang saya sampaikan sekarang dalam susunan kata-kata saya sendiri : 1. Apa yang paling menyakitkan dan meninggalkan luka batin bagi pribadi anda dan keluarga dalam tragedi tsb. (maksudnya) rangkaian kejadian dan kemelut sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari G-30-S, khususnya diakhir tahun 1965, permulaan 1966 dst 2. Bagaimana Anda mengolah pengalaman pahit di masa itu dan sesudahnya kemudian. 3. Pelajaran apa yang dapat ditarik bagi generasi baru dari peristiwa tsb? Dalam bacaan pertama pertanyaan dalam 3 kalimat tsb mengundang saya untuk memberikan semacam kesaksian, dan kesaksian dari pengalaman pribadi pula. Pembacaan demikian untuk saya memberatkan pilihan, yaitu bagaimana saya akan membungkus cerita memenuhi harapan, yang juga mengundang pembicara-pembicara lain baik sebagai pakar maupun yang tergolong saksi, dalam komposisi yang tentu dimaksud menciptakan pergabungan dan perimbangan antar berbagai pendekatan terhadap materi sarasehan. Pendekatan dari sudut pengalaman pribadi bagi saya kurang menarik, karena mengandung kemungkinan bahaya subjektivisme, bahkan kecengengan yang sia-sia, yang bakal tak berguna untuk tujuan sarasehan kita ini. FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER Leuven 1

2 Lagi pula, sebagai eks-tahpol pengalaman saya tak mungkin sepenuhnya representatif, kecuali hanya ingin sekedar bahan perbandingan bagi para pengamat akhli, yang menekuni kandungan sejarah umum di dalamnya. Itu adalah tugas para pakar, terutama sejarahwan generasi baru dan penelitianpenelitian yang mendalam dan bersifat komprehensif, tentang segala aspek sejarah kurun waktu yang terkait dalam usaha mencapai pengalaman (dan pendalaman) sejarah yang lebih utuh, dengan menghindari ilusi fungsi ilmu sejarah yang berpretensi kebenaran mutlak, melainkan sebagai sebuah dialog yang terus menerus, di antara sesama, dan dialog dengan diri sendiri sebagai individu dalam sejarah bangsa, sebagai persekutuan yang didasari wawasan kehidupan sosial, lagi pula yang lebih dimokratis dan beradab, tanpa perlu terjebak dalam ilusi tercapainya Utopia yang bagaimanapun, namun harus selalu diusahakan menangkisnya dengan menggunakan budhi dan nalar, mampu mengatasi konflik dan perpecahan, dan permusuhan berupa perang saudara tertutup, yang melembaga dalam sistem politik dan perangkat hukum, pemutlakan dan pengabadian permusuhan antara sesama, menutup pintu rekonsiliasi dengan sikap mutlak-mutlak. Kisah dan pengalaman pribadi Dengan pengantar sekadarnya seperti di atas, saya akan mencoba menyusun cerita saya, menurut pembabakan garis besarnya, antara tahun nahas peristiwa dahsyat 1965/1966. Cerita saya batasi pada ringkasan kesimpulan pribadi, terpusat pada keinginan manusiawi untuk menggali hikmah atau pelajaran dari pengalaman. Saya mulai dengan rumus hikmah. Saya sebagai nara sumber, tak bisa mewakili pengalaman eks-tahpol lain yang begitu banyak jumlahnya dan tersebar luas di seluruh tanah air, khusus di periode 1965 s/d 1979, periode masa pengalaman sebagai tahanan politik, tanpa peradilan, menjalani masa penjara bertahun-tahun, belasan tahun, dalam jumlah besar (menurut catatan berjumlah sampai 1.2 juta), terhitung yang disekap di penjara-penjara terutama di Jawa dan Sumatra, dan mereka yang kemudian di- manfaat -kan, alias dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979, terpisah dari keluarga, dengan persyaratan yang paling minim dari perawatan kesehatan dan makanan. Kalau saya diharapkan akan menggambarkan pengalaman mereka itu, tentu saja saya tidak mampu. Tapi apakah kita lantas menganggap pengalaman mereka itu seperti tak pernah terjadi, untuk dilupakan? Tentu tidak dan tak mungkin. Demi hati-nurani, demi peri-kemanusiaan (lebih kurang abstrak), demi hukum dan demi keadilan. Dalam pengertian sejarah, maupun pengertian panggilan perikemanusiaan kita sendiri tak beda antara mereka yang objektif menjadi korban, dan mereka yang menjadi pelaku, sebagai pelanggar hukum dan keadilan. Pelajaran yang dapat ditimba justeru harus bermula dari usaha pembenahan oleh para saksi (korban atau aktor penindas), yang masih hidup dengan traumanya masing-masing, dan terus hidup dalam perang dingin abadi antara sini dan sana, sebagai warisan dari gejolak Perang Dingin global, yang ikut menjadi faktor penentu peristiwa Sept.65 dan buntutnya, termasuk malapetaka yang belakangan muncul dan masih belum teratasi, yaitu masalah Timor-Timur, sebagai bencana perikemanusiaan yang belum selesai. FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER Leuven 2

3 Faktor trauma Apabila harus dijawab sekarang di tahun 2000, 35 tahun setelah peristiwanya, bagi diri sendiri, tentang cara saya sebagai individu menempuh krisis kolektif tsb, jelas bahwa faktor jarak, waktu, sudah membantu saya untuk membebaskan diri dari beban yang disebut masa lalu, apalagi yang disebut trauma, demi panggilan kehidupan seterusnya, dengan ke masa depan dan tak terpaku pada derita luka di masa lalu. Namun, saya ulangi bahwa saya tak dapat menduga pada diri mereka, termasuk anggota keluarga saya sendiri yang selama ini mengalami dampaknya secara sosial, di tengah masyarakat, dalam suasana pengucilan struktural, lewat peraturan dan pengawasan terhadap keluarga tahpol /eks-tahpol. Semoga faktor waktu juga pada tiap diri mereka membuahkan kearifan meneruskan hidupnya dalam serba kesulitan yang masih melanjut buat kebanyakan, walaupun oleh sementara orang mungkin dianggap sudah tak relevan lagi diperhatikan. Namun kenangan yang tertutup atau ditutup-tutupi itu akhirnya muncul kembali ke permukaan, dengan tumbangnya hambatan-hambatan psikologis, sisa ketakutan dan self-sensor, buah intimidasi halus atau kasar, dari kekuasaan selama ini, muncul sebagai bagian dari arus yang kita sambut sebagai gerakan Reformasi, sejak 1998, disusul Pemilu 1999, yang belum sempurna tercapai, dan tak mungkin dicapai tanpa pemikiran, perjuangan lanjut, melalui tahap-tahap maju-mundur barangkali. Tahapan yang kita masuki sekarang ialah yang oleh seorang pengamat asing disebut pertarungan antara Power, truth and memory, atau The battle for Indonesia history after Soeharto. The battle for history Istilah battle for history adalah sebuah metafora yang tak berlebihan, yang kita harapkan kiranya jangan melanjut sebagai pertempuran fisik, melainkan sebagai usaha ikhlas memulai penelusuran sejarah, sebuah dialog, dipelopori oleh pakar-pakar kita yang terbaik, yang memiliki integritas, untuk berani memandu dialog bangsa menjadi dialog terbuka, dalam konteks tujuan akhir membina demokrasi dan rule of Law. Termasuk partisipasi para pakar sosiologi, politokologi bangsa kita, dengan atau tanpa melibatkan pengamatpengamat ilmuwan-ilmuwan asing yang berminat memperkaya wawasan dialog, karena persoalan yang kita hadapi sebagai bangsa, peristiwa 65 bukan hanya memiliki dimensi nasional tapi juga internasional, termasuk usaha penyelesaiannya di masa datang. Versi formal atau resmi Dialog sejarah yang kita harapkan bukan tidak diusahakan tetapi karena jelas menyangkut posisi kekuasaan dan legitimasi politik, bagi yang sedang berkuasa selama ini, selalu tersendat-sendat, berjalan fragmentaris, bahkan hampir secara gerilya dan cenderung dipandang oleh kekuasaan sebagai kekuatan subversif yang membahayakan stabilitas bermuatan makar. Yang berlaku sejak 65, terutama sejak resminya berdiri kekuasaan Order Baru / Soeharto, di Maret 1968 sampai jatuhnya di tahun 1998, tafsiran dan pegangan yang syah, sudah tertuang dalam berbagai dokumen penting, seperti berbagai ke-tetapan MPRS, yang dilahirkan oleh MPRS sejak 1966, yang kemudian membuahkan sejumlah dokumen operasional, berupa ketentuan dari lembaga resmi dari Orde Baru, dalam bentuk pegangan menurut faham dan kuasa sekuriti, sebagaimana dikeluarkan oleh Lemhanas, Menteri Dalam Negeri FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER Leuven 3

4 dan terakhir terbitan Sekneg, di tahun 1994, dengan kata pengantar oleh Moerdiono, sekretaris negara. Terbitan tersebut berjudul lengkap Gerakan 30 September Sub judul : Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Tulisan tersebut mengandung versi resmi peristiwa baik prolog (sejarah yang mendahuluinya) ; kejadiannya (aksi G-30-S) dan epilognya (penumpasannya yang menyusul). Jadi buku tersebut berupa dokumen sejarah atas nama negara, versi Orde Baru. Jadi kalau kita mau tahu apa itu G-30-S, prolog peristiwanya sendiri dan epilognya, sebagai warga negara seharusnya menjadikannya sebagai pegangan baik untuk penulisan sejarah, maupun untuk memahami kejadian itu sebagai dasar untuk menerima dan mendukung semua kebijakan Orde Baru, dan tunduk pada ketentuan berbagai UU, yang jadi produk pemerintahan Orde Baru khususnya yang mengenai kekuasaan Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menurut aturan-aturan dan berbagai undang-undang yang pelaksanaannya dipegang oleh berbagai lembaga sekuriti dalam struktur pemerintahan Orde Baru sejak 1968, Kopkamtib, kemudian Bakostranas, yang eksistensinya berstatus legal dan konstitusional lewat berbagai TAP-MPR-S, , sebagai dokumen kebijakan politik tertinggi, yang mutlak diganti oleh kekuasaan masa sekarang dengan program Reformasi, yang kita sambut dengan Pemilu 1999, dan Pemerintahan baru, di bawah Presiden dan Wkl-Presiden baru. Reformasi dan Hukum Permulaan tahun ini, dunia politik parlementer, bersifat multi-party hasil Pemilu 1999 yang menimbulkan perbaikan, kebebasan bereksperimen demokrasi kembali, setelah terpasung selama 32 tahun mengalami kontroversi. Kontroversi tsb terpicu oleh sebuah ide yang dilontarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur, dalam sebuah acara rutin di TV, yaitu ide yang merujuk pada tragedi di masa lalu, akhir 1965, permulaan 1966, buntut peristiwa G-30-S dan penumpasan nya, peristiwa dasyat berupa pembunuhan massal atas ratusan ribu manusia, atau lebih, yang terlibat sebagai komunis atau simpatisan komunis, di Jawa, Bali dan Sumatra, sebuah tragedi yang terus menghantui ingatan orang Indonesia, terutama keluarga korban, begitu pula agaknya orang-orang yang bertindak sebagai pembunuh, dengan traumanya masing-masing yang berkelanjutan sampai sekarang, namun tertutup dan ditutup-tutupi dengan alasan dan kepentingan masing-masing. Gus Dur yang kebetulan Presiden, atau Presiden yang kebetulan Gus Dur menggunakan kesempatan acara, melontarkan ide untuk menyatakan permintaan maaf atas tragedi besar di masa lalu itu, disusul dengan lontaran ide mengandung saran supaya salah satu dari berbagai TAP-MPR-S Orde Baru terpenting yang menghantarkan Soeharto pada kekuasaannya, yaitu TAP- MPR_S No:XXV/MPR- S/1966, berisi ketentuan Pembubaran PKI dan dasar-dasar pertimbangannya. Kontroversi Tgl 5 Maret saya menerima fax, dari Harian Media Indonesia-Jakarta, meminta wawancara berdasar 7 pertanyaan. Ringkasnya Media-Indoensia bersama tanggapan dari orang-orang lain, ingin memperoleh pendapat saya, sekitar apa yang disebut Kontroversi sekitar ide Presiden Abdurrahman Wahid, tentang usul pencabutan TAP-MPR-S No. XXV/MPR-S/1966 dan permintaan maaf oleh Gus Dur atas tragedi pembunuhan massal. Jawaban spontan Teks 7 pertanyaan wawancara M. Indonesia itu mendorong saya ikut menyambut gagasan Gus Dur. Tanpa pikir panjang saya mengemukakan sambutan dan FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER Leuven 4

5 persetujuan saya terhadap lontaran ide Gus Dur tsb. Persetujuan saya jelas sebuah spontanitas pribadi, yang saya kaitkan dengan gagasan Reformasi. Artinya : saya simpulkan, tanpa memikir-mikir segala detail prosedur politik dan hukum yang masih harus ditempuh, bahwa ide tsb cocok dan akan membantu usaha Reformasi Total, khususnya Reformasi hukum sebagai komponen utama dari ide reformasi. Sebulan kemudian saya menerima kliping-kliping pers yang memuat teks polemik yang rupanya terjadi di dalam kontroversi. Polemik itu berbentuk suatu Surat Terbuka, tulisan sastrawan Goenawan Mohmad teralamat Pramoedya Ananta Toer, yang kemudian membalasnya lewat wawancara, Surat Terbuka G. M. dapat dibaca dalam Maj. Tempo 9 April, sedang jawaban P.A.T dengan judul Saya bukan Mandela, di Maj. Tempo, 16 April. G.M. dalam Surat Terbukanya mengulangi dukungannya terhadap ide dan sikap Gus Dur, sambil mengemukakan argumentasi dan pertimbangannya, menghargai nilai-nilai moral dan peri-kemanusiaan, sebagaimana dia lihat melatarbelakangi pernyataan dan sikap Gus Dur. Sambil lalu, G.M. juga mengambil sikap Nelson Mandela sebagai contoh-teladan dalam penyelesaian tragedi Apartheid di Afrika-Selatan. Dari pihaknya P.A.T. memberi reaksi tiga bidang : 1. Bidang penanggungan pribadi dan keluarga, sebagai tahpol/buangan 2. Bidang prosedur hukum dan politik untuk memungkinkan gagasan minta maaf dll, yaitu harus lewat DPR/MPR 3. Bidang kepercayaan. Dalam wawancara Tempo, PAT menyatakan, ia menolak ïde Gus Dur, sebagai basa-basi saja, lagi pula, kata PAT : Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia juga seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim, dikatakannya pula saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tidak terkecuali para intelektualnya ; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan (yang dilakukan) Orde Baru. Bertolak dari polemik ini, saya sendiri mengulangi dukungan saya terhadap lontaran ide Gus Dur yang memicu polemik diantara dua tokoh sastra kita itu. Suatu Pengantar Pengharapan Sebagaimana dapat diduga, ide Gus Dur menimbulkan reaksi, sejenis reflex, tanggapan pro dan anti, mengingat situasi krisis yang begitu kompleks dan luas daftar urutan priorita penyelesaiannya. Gaya Gus Dur sebagai intelektual dan gaya kepemimpinannya sudah sejak Gus Dur memulai tugas barunya mendapat sorotan, secara terbuka dan demokratis, sesuai keinginannya sendiri sejak menerima tugasnya sebagai Presiden. Bersama parlemen hasil Pemilu, saya termasuk orang yang mengharapkan betul bahwa Gus Dur kiranya dalam bekerjasama erat dengan parlemen berhasil mengantar bangsa ke peletakan dasar-dasar reformasi, di segala bidang. Sekalipun ide Gus Dur yang sekarang memancing kontroversi tersebut, misalnya belum termasuk prioritas utama, namun materi yang terkait dan prakarsa Gus Dur menyatakan permintaan maafnya saya nilai suatu pengantar pengharapan masa depan, bisa masuk agenda di Parlemen hasil Pemilu berikutnya, sebagai prakarsa Presiden baru bersama Parlemen baru pula FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER Leuven 5

6 Sementara itu, tak berarti bahwa masyarakat luas mesti pasif, berhenti membicarakan, mendalami secara terbuka dan demokratis berbagai aspek persoalan yang tersangkut, bukan hanya ide sebagaimana dilontarkan oleh Gus Dur, tapi meliputi dan menjangkau keseluruhan, pada hemat saya, melatarbelakangi pemikiran Gus Dur tsb. Lontaran ide Gus Dur, bagi saya merupakan sebuah pengantar pengharapan dalam pengagasan program dan strategi reformasi, yang tanpa demikian rasanya akan sia-sia. Di sini saya mengkaitkannya dengan kebutuhan mutlak, yaitu perlunya program dan strategi Reformasi Hukum sebagai bagian dari program dan strategi Reformasi Menyeluruh. Reformasi Hukum dan TAP MPR-S XXV/MPR-S/1966 Perlu kita secara ringkas menelusur berbagai TAP, yang dibuat oleh MPR-S di periode , yang merupakan dasar ke-presidenan Soeharto dan perrmulaan formal dan efektif dari kekuasaan Orde Baru, sampe berakhir secara formal pula dengan turunnya Soeharto dari tahta keprabuannya di tahun Di masa selama 32 tahun kekuasaannya, Soeharto berhasil menjabarkan semua klaim Orde Baru di bidang politik dan sejarah berdasarkan berbagai TAP, mengakhiri kekuasaan Presiden Soekarno dan struktur Orde Baru, secara ideologis, politik, bahkan secara total terpusat pada diri dalam mana Lembaga Eksekutif, Legislagif, Yudikatif, terpusat tali temalinya pada person-nya, terlasuk penguasaan media informasi. Semua itu didukung dengan produksi berbagai undang-undang. Kekuasaan formal diktator Soeharto sudah berakhir, kita memasuki tahap usaha Reformasi, namun perangkat UU-nya dan berbagai sisa lembarga-lembaga kenegaraan yang ditinggalkannya, yang selama ini dikondisikan melaksanakan kekuasaan tunggalnya, lagi pula pernah diisi dengan personalia yang langsung atau tidak langsung melewati tapisan seleksi akhir yang berada di tangannya sendiri. Situasi umum di lapangan demikianlah yang dihadapi oleh masyarakat umum, oleh rakyat pemegang kedaulatan. Yang baru ingin kita praktekkan lewat a.l. Parlemen, MPR hasil Pemilu murni, serta Presiden pilihan MPR-murni. Situasi lapangan memperlihatkan sebuah struktur, katakanlah peranti halus, berupa berbagai perundang-undangan, peraturan-peraturan pelaksanaan, di tangan personalia yang boleh dikatakan masih utuh, dengan mentalitas yang belum tentu mampu mereformasi diri sendiri, akibat pembenaran diri yang lazim dan praktek kekuasaan yang didasar sejumlah perangkat ampuh berupa berbagai TAP MPR-S bersejarah, tapi yang sejarahnya kini dimasa Reformasi, dapat dan perlu disoroti secara jujur, terbuka, objektif, dengan metoda dan sudut memandang para pakar hukum, sejarawan yang objektif, punya integritas, dilengkapi pula dengan suara serta kesaksian dari begitu banyak warga yang selama ini kehilangan haknya bersuara, bahkan untuk hidup wajar sebagai makluk sosial, akibat stigma dan pengucilan, yang langsung maupun tidak langsung dikondisikan oleh sejumlah perangkat UU Order Baru, yang dijiwai dan berlatarbelakang wawasan hukum serba-darurat, dalam kadar faham sekuriti berlebihan, serta kecurigaan dan apriori terhadap setiap ungkapan yang dipandang oposisi dan akhirnya menciptakan faham dan ideologi bahaya laten, sebagai stigma golongan tertentu, dan dilanggengkannya sebagai wawasan stabilitas-semu. FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER Leuven 6

7 Ironinya, kita juga menyaksikan betapa tokoh-tokoh besar yang tergolong pendiri dan pemegang saham Orde Baru, akhirnya ikut menjadi sasaran dan korban cekalan perangkat jaringan serba sekuriti Orde Baru. Sebagi penutup saya sebagai seorang saksi yang mengalami hidup sebagai Tahpol selama 8 tahun lebih, akan mencoba secara ringkas memajukan sumbangan untuk reformasi, khususnya reformasi hukum dalam konteks Lontaran Ide Gus Dur. Sumbangan Eks-Tahpol untuk Reformasi Hukum Di bidang reformasi hukum sebagai bagian vital dari reformasi menyeluruh, kita telah menyambut pembebasan berbagai orang hukuman, yang menjalani vonis hukuman badan, ada yang puluhan tahun, berdasar keputusan Mahmilub, kemudian berbagai orang terpenjara yang menjalani vonis Pengadilan di masa menjelang jatuhnya Soeharto berupa pengadilan, bermotivasi politik. Semua itu patut kita syukuri, namun tugas kita sekarang ialah untuk membantu menggali dan mengangkat suara penderitaan serta kelaliman yang masih tertutup atau ditutup-tutupi, berupa pelanggaran HAM, menyangkut aktivitas politik maupun korban yang hilang atau tewas, dan para korban kerusuhan yang direkayasa. Dari sarasehan itu kita sepantasnya mengheningkan cipta memperingati mereka sebagai korban kelaliman dan pelaksananya, dengan tekad membantu usaha pulihnya rule of Law, dalam rangka Demokrasi, dan Demokrasi dalam rangka Rule Of Law. Untuk itu, saya mengajukan beberapa usul sebagai berikut : 1. Supaya kita membantu terbentuknya sebuah Mahkamah Konstitusi yang mandiri, jadi bukan alat kekuasaan, di masa depan sejalan dengan usaha penyempurnaan UUD-RI, lewat penyesuaian. 2. Supaya dipertimbangkan oleh masyarakat ilmuwan tanah-air, terbentuknya LEMBAGA SEJARAH NASIONAL, yang bebas pula dari campur tangan eksekutif, dipelopori dan diisi oleh sejarahwan-sejarahwan kita, yang punya integritas pula, generasi baru yang dinilai mampu melakukan tugas ilmiahnya, bebas dari oportunisme demi kedudukan. 3. Supaya sarasehan ini membuat rumusan tentang sebuah lembaga pendamping Komnas HAM yang telah ada, yaitu sebuah Komnas Pencari Fakta perihal penyelamatan data dan dokumen berharga, yang dinilai penting sebagai bahan sejarah setiap bidang dan lembaga-lembaga resmi, berdasarkan UU Perlindungan Ke-Arsipan. Komnas HAM demikian dapat disebut Komnas Pencari Fakta, dokumen pertanggungjawaban petugas penegak/ hukum (polisi dan mereka yang bukan polisi, tapi terlibat dalam tindakan kepolisian dimana darurat ) Bahan yang terkumpul oleh Komnas Pencari Fakta tsb. menjadi data untuk : 1. Komnas HAM, yang sudah ada sekarang. 2. Untuk semua Fakultas Hukum / Universitas, sebagai bahan studi 3. Lembaga Sejarah Nasional (apabila sudah terkumpul dan diatur :) 4. Terbuka bagi orang-orang yang tersangkut dalam berbagai dokumen tsb. Usul ini saya tawarkan untuk didiskusikan. Motif pemikiran saya demikian bermula dalam penjara sebagai wishfull thinking, menghibur hati, dengan anganangan kalau nanti, sudah bebas, nanti kalau sudah bebas, (dan sekarang ini saya bebas) saya ingin mengunjungi semua pos pemeriksaan dimana saya mengalami interogasi-interogasi, tanpa surat penahan, tanpa surat tuduhan yang jelas, dan FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER Leuven 7

8 akhirnya juga tanpa berita-acara (proses verbal) demikianlah a.l. angan-angan saya. Tentu saya tak dapat memperoleh apa-apa. Tapi diantara sekian interogasi, yang saya alami, saya yakin mestinya ada catatan-catatan petugas, baik hasil interogasi maupun daftar perkara yang diperintahkan kepada interogator oleh atasannya untuk dilitsus (diselidiki khusus). Saya yakin misalnya mesti ada catatan luas oleh team terdiri dari 7 perwira intel, tapi yang tak pernah hasilnya disodorkan ke saya untuk diteken. Ingin sekali saya catatan demikian digali dan diangkat ke permukaan, sehingga bukan saya saja akhirnya dapat mengetahui sebabnya saya ditahan, tetapi ribuan, puluhan ribuan eks-tahpol dan keluarganya, sebagai haknya, dan sebagai bagian dari terapi bagi setiap orang untuk, memulihkan normalitas dalam hidupnya, sekaligus bahan pelajaran maha penting, bagi mahasiswa-mahasiswa calon penegak hukum dan hakim dalam masyarakat yang menghormati law dan rule of Law. Suatu waktu, setelah beberapa tahun dalam penjara, saya mengalami akibat hukum dan tata tertib penjara, dimana saya dimasukkan ke isolasi, di blok-n, yang disebut blok kapal selam, sejenis, penjara dalam penjara, tanpa sedikitpun penjelasan, disimpan selama 6 bulan sebagai hukuman. Itupun misalnya saya ingin tahu dan ingin mendengar sekarang ini. Keinginan saya itu bisa dikali beribu kali, berpuluh ribu kali bahkan berjuta ribu kali lipat dari hati manusia Indonesia sampe sekarang tanpa memperoleh jawaban itu. Ini pun harus bisa diungkap, dalam arti : Dimasukkan dokumen sebagai peringatan supaya kiranya jangan bisa terulang di negeri kita. Kaitan Rerformasi dan situasi international Pengharapan saya di atas ada baiknya dipandang dalam perpekstif internasional. Betapapun sulitnya tugas Reformasi, tetapi situasi internasional berkembang demikian rupa, yang membuka jalan bagi perintisan jalan baru dalam mengurusi kepentingan bangsa. Peristiwa 1965 tak terlepas dari situasi internasional, sebagai konteks masa itu, yang ditandai kecamuknya Perang Dingin, yang bersifat global dan regional, yang ikut menentukan dan menjadi dimensi Perang Dingin Dalam tujuan baru kita, segi ini kita serahkan kepada pakar dan politisi kita, untuk menimba hikmahnya sebagai pengalaman bangsa, sebagai bahan pembenahan hubungan internasional kita sesuai cita-cita Proklamasi. Masalah Timor Timur diantaranya salah satu masalah dalam mana Perang Dingin dulu memainkan peranannya, dengan akibat kesalahan fatal bagi bangsa kita, dalam menggapi proses dekolonisasi di Timor Timur, dan jelas terpengaruh perang Dingin, khususnya di tahun 1975, tahun menentukan dalam perang ASdan Vietnam, yang tahun itu berakhir dengan kekalahan AS sebagai agresor. Jauh sebelum itu ada pula Perang Korea, 1956, tapi yang sekarang hampir setengah abad kemudian, akhirnya, berkat suatu refleksi nasional, Korea dapat melangkah memasuki rekonsialisasi antara sesama bangsa-bangsa Korea dalam konteks Perkembangan hubungan yang disebut (engagement) alias real politik antar China dan AS, sekarang ini. Ada baiknya kita merenungkan perkembangan demikian dan menempatkan perspektif kebutuhan rekonsialisasi nasional kita sendiri menurut wawasan yang kita warisi dari Founding Fathers kita. Bagaimanapun juga lontaran ide Gus Dur saya pandang sesuai dengan wawasan founding fathers kita, berbentuk prinsip Pancasila, yaitu sebagai KERANGKA RUJUKAN etika bagi negara-bangsa kita, sebagai persekutuan politik yang didasari rasionalitas, akal FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER Leuven 8

9 budhi beradab, sebagai bingkai semangat kesatuan dan persatuan. Sayang selama 32 tahun kenyataan demikian dikaburkan dengan gerak retorika manipulatif dengan monopoli tafsirnya ala indoktrinasi P7, bertameng pensakralan tafsir penguasa sendiri. Reformasi hukum yang kita perlukan ialah yang akan memulihkan prinsipprinsip etika nasional, sebagai kerangka rujuk bagi setiap UU dan sebagai pegangan mutlak bagi tiap kita, khususnya bagi para petugas / pelaksana yang harus tunduk pada kontrol kedaulatan rakyat berbenduk Parlemen dan prinsip HAM, rule of law dan demokrasi. Sekian! Terima kasih! Sitor Situmorang Sastrawan Eks-Tahpol, Periode , di penjara Salemba Jakarta, tanpa proses pengadilan dan proses hukum Pensiunan terakhir dosen Bahasa Indonesia, di jurusan studi Bahasa dan Kebudayaan Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Leiden, , Anggota aktif PNI ( ), Ketua Umum LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), sesuai gagasan S. Mangunsarkoro, almarhum, tokoh Taman Siswa, salah satu pendiri PNI Pasca-Proklamasi. Sitor Situmorang Paslaan 43, 7311, AJ Apeldoorn, Nederland. Tel./fax.(055) sitor@nl.packardbell.org FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER Leuven 9

Mungkin ada di antara ke-4 buku di atas sudah Saudara baca, bahkan boleh saja sudah membacanya semua.

Mungkin ada di antara ke-4 buku di atas sudah Saudara baca, bahkan boleh saja sudah membacanya semua. USUL DAFTAR BACAAN PEMULA (bagian penutup / terakhir dari sumbangan pikiran saya untuk sarasehan 23 September) Oleh : Sitor Situmorang Sebelum saya maju menyumbang pikiran di sini, saya telah menyampaikan

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar BAB V Penutup A. Kesimpulan Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar Kompas dan Republika dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, produksi wacana mengenai PKI dalam berita

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanpa pretensi untuk mengecilkan peran kelompok lain dari masyarakat yang turut bergerak dalam panggung perubahan sosial, peran mahasiswa merupakan unsur yang seolah

Lebih terperinci

Negara Jangan Cuci Tangan

Negara Jangan Cuci Tangan Negara Jangan Cuci Tangan Ariel Heryanto, CNN Indonesia http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160426085258-21-126499/negara-jangan-cuci-tangan/ Selasa, 26/04/2016 08:53 WIB Ilustrasi. (CNN Indonesia)

Lebih terperinci

Gus Dur minta ma'af atas pembunuhan tahun 1965/66

Gus Dur minta ma'af atas pembunuhan tahun 1965/66 Gus Dur minta ma'af atas pembunuhan tahun 1965/66 (Oleh : A. Umar Said ) Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia (pamflet, gaya bebas berfikir) Agaknya, bagi banyak orang, pernyataan Gus Dur dalam

Lebih terperinci

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP 2013 Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP Perhatian : Jawaban tertera pada kalimat yang ditulis tebal. 1. Di bawah ini merupakan harapan-harapan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: DEMOKRASI ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA Fakultas TEKNIK Martolis, MT Program Studi Teknik Mesin TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS 1. MENYEBUTKAN PENGERTIAN, MAKNA DAN MANFAAT

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

Buku «Memecah pembisuan» Tentang Peristiwa G30S tahun 1965

Buku «Memecah pembisuan» Tentang Peristiwa G30S tahun 1965 Buku «Memecah pembisuan» Tentang Peristiwa G30S tahun 1965 Tulisan ini bukanlah resensi buku. Melainkan seruan atau anjuran kepada orang-orang yang mempunyai hati nurani dan berperkemanusiaan, atau yang

Lebih terperinci

Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015

Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015 Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015 Poin pembelajaran Konteks kelahiran Komnas HAM Dasar pembentukan

Lebih terperinci

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965*

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965* MASALAH IMPUNITAS DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965* Oleh MD Kartaprawira Bahwasanya Indonesia adalah Negara Hukum, dengan jelas tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Siapa pun tidak bisa mengingkari.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Bab ini merupakan kesimpulan dari pembahasan skripsi yang berjudul Gejolak Politik di Akhir Kekuasaan Presiden: Kasus Presiden Soeharto (1965-1967) dan Soeharto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kita hidup ditengah derasnya perkembangan sistem komunikasi. Media massa adalah media atau sarana penyebaran informasi secara massa dan dapat diakses oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Niar Riska Agustriani, 2014 Peranan komisi nasional hak asasi manusia Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Niar Riska Agustriani, 2014 Peranan komisi nasional hak asasi manusia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hak Asasi Manusia (HAM) menurut pasal 1 ayat 1 UU. No. 39 tahun 1999 yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dengan keberadaan manusia sebagai

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI. memuat serangkaian peristiwa yang dijalin dan disajikan secara kompleks. Novel

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI. memuat serangkaian peristiwa yang dijalin dan disajikan secara kompleks. Novel BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan Novel Tapol merupakan salah satu prosa fiksi atau cerita rekaan yang memuat serangkaian peristiwa yang dijalin dan disajikan secara kompleks. Novel ini sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan

Lebih terperinci

Kelebihan dan Kelemahan Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia

Kelebihan dan Kelemahan Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Kelebihan dan Kelemahan Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Sistem pemerintahan negara Indonesia telah mengalami beberapa perubahan. Semuanya itu tidak terlepas dari sifat dan watak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU A. Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia Konstitusi (Constitution) diartikan

Lebih terperinci

Presiden Seumur Hidup

Presiden Seumur Hidup Presiden Seumur Hidup Wawancara Suhardiman : "Tidak Ada Rekayasa dari Bung Karno Agar Diangkat Menjadi Presiden Seumur Hidup" http://tempo.co.id/ang/min/02/18/nas1.htm Bung Karno, nama yang menimbulkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

DIMENSI POLITIS AND YURIDIS KETETAPAN MPR NO. XXXIII/MPRS/1967. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

DIMENSI POLITIS AND YURIDIS KETETAPAN MPR NO. XXXIII/MPRS/1967. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. DIMENSI POLITIS AND YURIDIS KETETAPAN MPR NO. XXXIII/MPRS/1967 Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. TAP MPRS NO.XXXIII/MPRS/1967 Pada tahun 1967, tepatnya pada tanggal 12 Maret 1967, MPRS menetapkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT

BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT 37 BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT A. Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia Demokrasi adalah bentuk

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Diancam Dengan Pidana Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Bagi Seseorang Yang Akan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.245, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) PERATURAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang

BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi massa menjadi sebuah kekuatan sosial yang mampu membentuk opini publik dan mendorong gerakan sosial. Secara sederhana, komunikasi diartikan sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

A. Pengertian Pancasila

A. Pengertian Pancasila PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI A. Pengertian Pancasila Istilah nilai dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan. Di samping itu juga untuk menunjuk kata kerja yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan

Lebih terperinci

KONSOLIDASI DEMOKRASI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT

KONSOLIDASI DEMOKRASI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Seminar DEMOKRASI UNTUK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme I. PARA PEMOHON 1. Umar Abduh; 2. Haris Rusly; 3. John Helmi Mempi; 4. Hartsa Mashirul

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pada Pembukaan Munas IX GM FKPPI tahun 2012, Jakarta, 24 Februari 2012 Jumat, 24 Pebruari 2012

Sambutan Presiden RI pada Pembukaan Munas IX GM FKPPI tahun 2012, Jakarta, 24 Februari 2012 Jumat, 24 Pebruari 2012 Sambutan Presiden RI pada Pembukaan Munas IX GM FKPPI tahun 2012, Jakarta, 24 Februari 2012 Jumat, 24 Pebruari 2012 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PEMBUKAAN MUSYAWARAH NASIONAL

Lebih terperinci

dikirim untuk JAWA POS PERILAKU POLITISI BY ACCIDENT. Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.

dikirim untuk JAWA POS PERILAKU POLITISI BY ACCIDENT. Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M. -------------------------dikirim untuk JAWA POS ---------------------------- PERILAKU POLITISI BY ACCIDENT Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd ISTILAH reformasi merupakan kata wajib bagi seluruh

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK dikerjakan untuk memenuhi tugas tersruktur 2 mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Oleh: Harits Jamaludin 115010100111125 PENGANTAR Pada umumnya tujuan ketentuan

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20 HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20 Oleh Drs. Sidarto Danusubroto, SH (Ketua MPR RI) Pengantar Setiap tanggal 10 Desember kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, enimbang: a. bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Pengertian Hukum yaitu : Seperangkat asas dan akidah yang mengatur kehidupan manusia dalam

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Founding fathers bangsa Indonesia telah memberikan ketegasan di dalam perumusan dasar pembentukan negara dimana Indonesia harus dibangun dan dikelola salah satunya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi atau berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi atau berinteraksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Interaksi sosial memainkan peran dalam masyarakat individu atau kelompok. Interaksi diperlukan untuk berkomunikasi satu sama lain. Selain itu, masyarakat membutuhkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 LEMBAGA NEGARA. POLITIK. Pemilu. DPR / DPRD. Warga Negara. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF Demokrasi: Antara Teori dan Pelaksanaannya Di Indonesia Modul ini akan mempelajari pengertian, manfaat dan jenis-jenis demokrasi. selanjutnya diharapkan diperoleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

Gerakan 30 September Hal tersebut disebabkan para kader-kader Gerwani tidak merasa melakukan penyiksaan ataupun pembunuhan terhadap para

Gerakan 30 September Hal tersebut disebabkan para kader-kader Gerwani tidak merasa melakukan penyiksaan ataupun pembunuhan terhadap para BAB 5 KESIMPULAN Gerwani adalah organisasi perempuan yang disegani pada masa tahun 1950- an. Gerwani bergerak di berbagai bidang. Yang menjadi fokus adalah membantu perempuan-perempuan terutama yang tinggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran, baik itu watak, kepercayaan,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Hsl Rpt (12) Tgl 19-05-06 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan sosial adalah impian bagi setiap Negara dibelahan dunia termasuk di Indonesia. Upaya untuk mencapai mimpi tersebut adalah bentuk kepedulian sebuah Negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) JURNAL MAJELIS MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) Oleh: Dr. BRA. Mooryati Sudibyo Wakil Ketua MPR RI n Vol. 1 No.1. Agustus 2009 Pengantar Tepat pada ulang

Lebih terperinci

UU 8/1990, AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA. Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor : 8 TAHUN 1990 (8/1990) Tanggal : 13 OKTOBER 1990 (JAKARTA)

UU 8/1990, AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA. Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor : 8 TAHUN 1990 (8/1990) Tanggal : 13 OKTOBER 1990 (JAKARTA) UU 8/1990, AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1990 (8/1990) Tanggal : 13 OKTOBER 1990 (JAKARTA) Tentang : AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERTIMBANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMILIHAN ANGGOTA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Lebih terperinci

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Herlambang P. Wiratraman 2016

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Herlambang P. Wiratraman 2016 Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Herlambang P. Wiratraman 2016 Mekanisme Formal Tempo, Jumat, 18 Maret 2016 Peradilan Rekonsiliasi Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Basis aturan: UU

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Apakah Sistem Demokrasi Pancasila Itu? Tatkala konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut berbagai kajiannya tentang politik, para sarjana politik sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling baik. Sistem ini telah memberikan

Lebih terperinci

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM) Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM) Oleh: Despan Heryansyah,

Lebih terperinci

Oleh : Izza Akbarani*

Oleh : Izza Akbarani* Oleh : Izza Akbarani* Kita sebagai bangsa yang baru lahir kembali, kita harus dengan cepat sekali cepat check up mengejar keterbelakangan kita ini! Mengejar di segala lapangan. Lapangan politik kita kejar,

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP BANGSA DAN DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP BANGSA DAN DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP BANGSA DAN DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA Buku Pegangan: PANCASILA dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi Oleh: H. Subandi Al Marsudi, SH., MH. Oleh: MAHIFAL, SH., MH.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Deklarasi terhadap pembentukan sebuah negara yang merdeka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pembentukan struktur atau perangkatperangkat pemerintahan

Lebih terperinci

MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU)

MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU) MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU) MATA KULIAH ETIKA BERWARGA NEGARA BAGIAN 4 DEMOKRASI: ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA DI INDONESIA Oleh: DADAN ANUGRAH, M.Si. UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2008 1

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di seluruh dunia. Saking derasnya arus wacana mengenai demokrasi, hanya sedikit saja negara yang

Lebih terperinci

Menyoal Delik Penodaan Agama dalam Kasus Ahok. Husendro Hendino

Menyoal Delik Penodaan Agama dalam Kasus Ahok. Husendro Hendino Menyoal Delik Penodaan Agama dalam Kasus Ahok Husendro Hendino Ada 3 (tiga) jenis sanksi yang berlaku dalam delik penodaan agama, yakni: 1. Sanksi Administratif, 2. Sanksi Administratif berujung Pidana,

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG 1 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan semata, hal ini berdasarkan penjelasan umum tentang sistem pemerintahan negara Indonesia

Lebih terperinci

AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI LSM: Perspektif Pemerintah Daerah

AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI LSM: Perspektif Pemerintah Daerah AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI LSM: Perspektif Pemerintah Daerah Oleh Kamalia Purbani Sumber: BUKU KRITIK & OTOKRITIK LSM: Membongkar Kejujuran Dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia (Hamid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan suatu fungsi pemerintah. Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TENTANG PEMBENTUKAN DAN TATA KERJA PANITIA PEMILIHAN LUAR NEGERI DAN KELOMPOK PENYELENG

- 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TENTANG PEMBENTUKAN DAN TATA KERJA PANITIA PEMILIHAN LUAR NEGERI DAN KELOMPOK PENYELENG - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TENTANG PEMBENTUKAN DAN TATA KERJA PANITIA PEMILIHAN LUAR NEGERI DAN KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA LUAR NEGERI DALAM PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

MATERI UUD NRI TAHUN 1945

MATERI UUD NRI TAHUN 1945 B A B VIII MATERI UUD NRI TAHUN 1945 A. Pengertian dan Pembagian UUD 1945 Hukum dasar ialah peraturan hukum yang menjadi dasar berlakunya seluruh peraturan perundangan dalam suatu Negara. Hukum dasar merupakan

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

A. Pengertian Orde Lama

A. Pengertian Orde Lama A. Pengertian Orde Lama Orde lama adalah sebuah sebutan yang ditujukan bagi Indonesia di bawah kepemimpinan presiden Soekarno. Soekarno memerintah Indonesia dimulai sejak tahun 1945-1968. Pada periode

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci