BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu transaksi, terdapat kemungkinan debitur lalai melaksanakan kewajiban

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu transaksi, terdapat kemungkinan debitur lalai melaksanakan kewajiban"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu transaksi, terdapat kemungkinan debitur lalai melaksanakan kewajiban (wanprestasi) bukan karena over macht, yang dapat berbentuk : 1. tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2. terlambat memenuhi prestasi. 3. memenuhi prestasi secara tidak baik (tidak sesuai dengan yang diperjanjikan). Penyelesaian wanprestasi atas suatu kontrak dapat dilakukarn melalui berbagai cara, yaitu: 1. Melalui gugatan keperdataan (Peradilan Perdata) atau litigasi. Litigasi merupakan penyelesaian sengketa melalui proses peradilan resmi (ordinary court). 2. Arbitrase 3. Musyawarah (Mediasi, Konsiliasi, Negosiasi) 4. Dalam hal perjanjian utang piutang diikat dengan jaminan kreditur dapat menjual barang jaminan tersebut 5. Melalui Kepailitan. Secara etimologis, istilah "kepailitan" berasal dari kata "pailit". Dalam Bahasa Perancis, istilah ' faillite" artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah failliet. Sedangkan dalam

2 2 bahasa Latin dipergunakan istilah ' fallire", dan dalam bahasa Inggris dikena! dengan kata to fail, untuk arti yang sama. Disamping itu pada negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan dipcigunakan istilahistilah bankrupt dan bankruptcy. Ada beberapa pendapat tentang pengertian kepailitan tersebut, antara lain : 1. Kepailitan menurut Memorie van ToelichCing (Penjelasan umum) adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan si berutang guna kepentingannya bersama para yang mengutangkan. 2. E. Suherman berpendapat bahwa pada hakekatnya failisemen adalah suatu sita umum yang bersifat conservatoir dan pihak yang dinyatakan failit hilang penguasaannya atas harta bendanya. Penyelesaian failit diserahkan kepada seorang kurator yang dalam melaksanakan tugasnya diawasi oleh seorang komisaris, yaitu hakim pengadilan yang ditunjuk. 3. Kamus Hukum Ekonomi mengartikan "bankrupt" atau pailit adalah suatu keadaan debitur yang dinyatakan dengan putusan hakim bahwa ia dalam keadaan tidak mampu membayar hutang-hutangnya. 4. Dalam UU No. 37 Tahun 2004, kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Jadi kepailitan merupakan sitaan umum terhadap seluruh harta kekayaan debitur, yang dinyatakan dengan putusan hakim bahwa ia tidak mampu membayar utang-

3 3 utangnya. Sitaan mana akan dibagikan secara seimbang bagi kepentingan para para kreditumya. Pernyataan pailit ini berkaitan dengan "ketidak mampuan untuk membayar" dari seorang debitur atas uiang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan itu harus disertai dengan tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga, suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan. Jadi pernyataan pailit itu harus dinyatakan dengan putusan hakim. Kepailitan merupakan lembaga Hukum Perdata Eropa, sebagai realisasi dari asas yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPer, sebagai berikut : Pasal 1131 KUHPerdata. Segala kebendaan milik debitur, baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang sekarang ada maupun yang akan ada kemudian menjadi jaminan bagi pelunasan hutangnya. Pasal 1132 KUHPerdata Bahwa bila debitur lalai memenuhi kewajibannya, kreditur berhak melakukan pelelangan atas harta dan benda debitur dan hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur sesuai dengan perimbangan jumlah utangnya Melalui lembaga Kepailitan dilakukan penyitaan umum (eksekusi massal) atas seluruh harta benda debitur dan selanjutnya akan dibagikan pada para kreditur secara seimbang dan adil di bawah pengawasan petugas yang berwenang. Mengingat Kepailitan merupakan realisasi asas hukum yang terkandung dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, maka sebagai peraturan umum lembaga kepailitan ini adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) khususnya Pasal dan 1132.

4 4 Sedangkan dasar hukum khusus tentang kepailitan adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU ini diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004, dalam LN Tahun 2004 Nomor 131. UU kepailitan ini terdiri dari 5 Bab dan 308 pasal. UU No. 37 Tahun 2004 mencabut berlakunya Undang-Undang Kepailitan yang berlaku sebelumnya yaitu : 1. " Fuillissement Verordening, Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, yang judul lengkapnya adalah " Verordening op de Ezrropanen in Nederlands Indie" (Peraturan untuk Kepailitan dan Penundaan Pembayaran bagi orang-orang Eropa di Hindia Belanda. 2. Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor I Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan menjadi undang-- undang. Seiarah pengaturan masalah kepailitan di Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Failissements Verordening (Fv) atau Peraturan Kepailitan, S.1905 No.217 jo. S No Fv ini tidak popular dan jarang digunakan dalam menyelesaikan masalah utang piutang. Fv menggunakan Hukum Acara Perdata dalam penyelesaian perkara kepailitan sehingga memakan waktu lama dan tidak efisien. 2. Tanggal 22 April 1998, dikeluarkan Perpu No. I Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang

5 5 Kepailitan menjadi Undang-Undang. Perubahan dilakukan karena materi Undang- Undang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelesaian utang piutang. Dalam UU No. 4 Tahun 1998 diatur berbagai ketentuan baru, a. Syarat dan prosedur permintaan pernyataan pailit, termasuk time frame yang lebih pasti. b. Tambahan pengaturan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak kreditur atas kekayaan debitur sebelum adanya putusan kepailitan. c. Peneguhan fungsi kurator dan dibukanya kemungkinan adanya curator swasta. d. Pengesahan bahwa upaya hukum yang mungkin adalah kasasi (tanpa banding) serta tata caranya yang lebih jelas. e. Adanya mekanisme "slay" yang merupakan penangguhan pelaksanaan hak kreditur preferens, dan pengaturan status hukum tentang perikatan yang telah dibuat sebelum putusan pernyataan pailit. f. Penyempurnaan ketentuan mengenai tundaan pembayaran. g. Pembentukan Pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan Niaga. 3. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan clan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang ini mencabut clan menyatakan tidak berlaku UU No. 4 Tahun 1998, karena perubahan di atas yang dilakukan dengan menambah, merubah clan meniadakan ketentuan dalam FV yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, jika ditinjau dari materi yang diatur masih

6 6 mengandung berbagai kekurangan dan kelemahan, antara lain tidak ada pengertian tentang "utang" yang menjadi dasar putusan pailit. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004, dalam LN Tahun 2004 Nomor 131. Undang-Undang ini terdiri dari 5 Bab dan 308 pasal. Perseroan Terbatas merupakan salah satu bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling diminati saat ini, 1 disamping karena pertanggungjawabannya yang terbatas, Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemegang sahamnya untuk menjual atau mengalihkan perusahaannya tersebut. 2 Sifat pertangungjawabannya yang terbatas dan kemudahan untuk menjual sahamnya tersebut merupakan salah satu alasan bagi para pelaku usaha untuk mendirikan suatu badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas. 3 Perseroan Terbatas adalah kegiatan bisnis yang penting dan banyak terdapat di dunia ini, termasuk di Indonesia. Kehadiran Perseroan sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. Perseroan telah menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial. 1 Banyak pelaku menggunakan PT sebagai bentuk usahanya karena PT lebih mudah dalam mengumpulkan dana usaha. Pemilik modal pasif tertarik karena risiko yang kecil dengan tanggung jawabnya sebatas saham yang dimiliki, lihat Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan soal-soal aktual Hukum Perusahaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 3 2 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 1 3 Badriyah Rifai Amirudin, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governance di Tubuh Perusahaan Publik, < diakses 23 Desember 2009

7 7 Sebagai suatu badan hukum 4, pada prinsipnya Perseroan Terbatas dapat memiliki segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorang, dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi, dan hanya mungkin dilaksanakan oleh orang perorang. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya tersebut, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Organ-organ tersebut dikenal dengan sebuatan Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS), Direksi, dan Komisaris. 5 Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan Perseroan adalah Direksi. Disebut cukup penting, karena Direksi yang menjalankan dan mengendalikan perusahaan dalam setiap aktivitas usahanya. Keberadaan Direksi dalam suatu Perseroan merupakan suatu keniscayaan, karena Perseroan sebagai artificial person tidak dapat berbuat apa-apa tanpa direfesentasikan oleh Direksi sebagai natural person. 6 Kedudukan Direksi menjadi sangat penting karena tanpa Direksi, Perseroan tidak akan dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu, sekalipun Perseroan sebagai badan hukum memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan pendiri atau pemegang saham lainnya, tetapi hal ini hanya berdasarkan teori organ hukum, bahwa Perseroan dianggap sebagai realitas dari subyek hukum yang dapat memiliki hak dan kewajiban serta dapat menjalankan pengurusan perseroan melalui organ-organnya. 4 Terdapat perbedaan mendasar antara usaha yang berbadan hukum dan yang tidak. Sebagai badan hukum, perusahaan menjadi subyek hukum yang terpisah dari pendirinya (separate legal personality), dengan konsekuensi bahwa kekayaan perusahaan terpisah dari pendiri maupun pemegang saham lainnya. Hesty D. Lestari, Konsekuensi PT sebagai Badan Hukum, Diktat bahan kuliah Program Studi Magister Ilmu Hukum, Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm IG.Rai Wijaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Jakarta: Kesain Blanc,2002,hlm. 1

8 8 Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme RUPS untuk menjadi organ Perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan Perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola Perseroan. Setelah RUPS menyetujui pengangkatan direksi Perseroan, maka seluruh pemegang saham tidak lagi berhubungan dengan Direksi Perseroan, dan oleh karena itu maka Direksi tidak dapat menggunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas, meskipun tindakan yang dilakukannya tersebut baik bagi Perseroan menurut pertimbangannya. 7 Dalam hubungan hukum, di satu sisi Direksi diperlakukan sebagai penerima kuasa dari Perseroan untuk menjalankan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan sebagaimana telah digariskan dalam anggaran dasar Perseroan. Di sisi lain Direksi juga diperlakukan sebagai karyawan Perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Disinilah sifat pertanggungjawaban Direksi sangat relevan, di mana Direksi dapat diminta pertanggungjawabannya secara pribadi apabila ia terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian dalam mengelola perseroan. 8 Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya Perseroan untuk mencapai maksud dan tujuan Perseroan. Tanggung jawab Direksi ditentukan oleh adanya 7 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas, Piercing the Corporate Veil memberlakukan tanggung jawab pribadi pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris menurut UUPT No. 40 Tahun 2007, hlm Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 98

9 9 unsur kesalahan atau kelalaian, itikad baik, dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas. Akan muncul tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, apabila ada itikad baik dan tanggung jawab serta dilengkapi dengan adanya kewenangan untuk bertindak, maka apabila timbul kerugian, Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, karena tindakan Direksi yang demikian adalah sah dan mengikat PT. Kedua, apabila tidak ada itikad baik dan tanggung jawab tetapi ada kewenangan untuk bertindak, maka tindakan Direksi adalah sah dan tetap mengikat PT, sehingga apabila timbul kerugian, maka pemenuhan kewajiban atas kerugian tersebut akan diambilkan dari aset PT, namun apabila aset PT masih kurang, maka aset Direksi pribadi yang tanpa itikad baik dan tanggung jawab tersebut yang akan diambil untuk pemenuhan kewajiban. Ketiga, apabila tidak ada itikad baik dan tanggung jawab serta tidak ada kewenangan untuk bertindak, maka tindakan Direksi tidak sah dan tidak mengikat PT, sehingga apabila timbul kerugian, maka Direksi tersebut bertanggung jawab secara pribadi. Mengenai tanggung jawab Direksi secara ekstern, maka unsur utama adalah ada atau tidaknya kewenangan bertindak dari Direksi akan muncul dua kemungkinan kondisi yang akan terjadi. Pertama, ada kewenangan bertindak dari Direksi, maka yang bertanggung jawab adalah PT, karena tindakan Direksi yang didasarkan pada kewenangan akan sah dan mengikat PT. Namun apabila aset PT tidak mencukupi untuk pemenuhan kewajiban seluruhnya, maka secara residual aset Direksi pribadi akan ikut juga digunakan untuk pemenuhan kewajiban tersebut, yaitu Direksi yang dalam menjalankan kewenangannya tersebut diketahui tanpa itikad baik dan tanggung jawab. Kedua, tidak ada kewenangan bertindak, maka Direksi akan bertanggung jawab secara

10 10 pribadi karena tindakan yang tanpa didasari kewenangan tidak sah dan tidak akan mengikat PT, melainkan mengikat Direksi secara pribadi. 9 Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap Perseroan tersebut, Direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap Perseroan dan para pemegang saham perseroan (sharehorlders), melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dan terkait dengan Perseroan (stakeholders), baik langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan. 10 Sebagai organ perseroan yang menjalankan pengurusan perseroan, Direksi harus melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Dengan demikian, Direksi harus bertindak beriktikad baik dan penuh tanggung jawab. Karena itu, dalam menjalankan tugasnya, Direksi harus berhati-hati dan tidak boleh mengambil keuntungan sendiri atas perusahaan, dan/atau tidak memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam menjalankan pengurusan perseroan. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut menyebabkan Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya. 11 Dalam sistem common law seperti di Inggris, konsep pertanggungjawaban direksi dapat dilihat dari sudut pelaksanaan tugas kepercayaan (fiduciary duty). Dalam konsep tersebut, Direksi dianggap sebagai trustee atau pihak yang diberikan tugas kepercayaan menjalan pengurusan dan pengelolaan terhadap perseroan. Selama direksi melakukan 9 Ibid.., hlm Umar Kasim, Tanggung Jawab Koorporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan, atau Likuidasi, jawab-koorporasi, diakses tanggal 23 Desember Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas, Piercing the Corporate Veil, Op.Cit., hlm. 64

11 11 pengurusan perseroan dengan prinsip kehati-hatian dan penuh tanggung jawab (duty of care and diligent), serta tidak adanya benturan kepentingan (duty of loyalty) di dalamnya, maka segala kebijakan direksi dianggap tidak melanggar fiduciary duty. Sistem hukum yang dianut oleh Indonesia memang tidak menganut sistem hukum common law, tetapi juga tidak secara tegas menganut civil law. Namun demikian, dalam perundang-undangan maupun dalam praktek di Indonesia lebih dekat dengan sistem civil law. Karena itu konsep fiduciary duty tidak ditemukan dalam sistem hukum di Indonesia. Konsep pertanggungjawaban direksi dapat dilihat dari penerapan pasal 97 ayat (2) yang mana direksi dalam pelaksanaan tugas pengurusan Perseroan harus dilakukan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Perkembangan hukum bisnis di dunia menjelaskan bahwa penerapan konsep pertanggungjawaban direksi juga menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi telah melakukannya dengan jujur dan iktikad baik. Untuk melindungi para Direksi yang beriktikad baik, maka muncul teori business judgment rule yang merupakan salah satu teori yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yang mempunyai iktikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para Direksi sebuah Perseroan Terbatas dalam membuat keputusan bisnis. Namun demikian, penerapan teori business judgment rule oleh hakim pengadilan juga harus diputuskan dengan hati-hati agar tidak dijadikan sebagai alasan pembenar saja

12 12 untuk melepaskan tanggung jawab Direksi yang atas kesalahan atau kelalaiannya menyebabkan perseroan pailit. Dalam berbagai kasus dapat ditemui bahwa Direksi melakukan berbagai kesalahan dalam mengelola perseroan. Tetapi demi keuntungan yang diraih, Direksi terkadang bersembunyi dibalik perseroan untuk membatasi tanggung jawabnya. Dalam konteks yang demikian maka dapat diterapkan tanggung jawab sampai ke harta pribadi Direksi di mana pengadilan akan mengesampingkan status badan hukum dari perseroan terbatas tersebut dan membebankan tanggung jawab kepada organ perseroan terbatas tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas yang biasanya dinikmati oleh mereka. 12 Kekebalan (immunity) yang biasa dimiliki oleh pemegang saham, direksi dan komisaris, dapat diterobos menjadi tanggung jawab tidak terbatas hingga kekayaan pribadi apabila terjadi kelalaian atau kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan. 13 Dalam UUPT, pengecualian prinsip pertanggungjawaban terbatas dimuat dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 97 ayat (3). Salah satu kasus yang menarik untuk dianalisis yaitu kasus gugatan yang diajukan terhadap Direktur PT. yang mana terdapat indikasi kuat bahwa Direksi telah melakukan 12 Ibid, hlm. 8. Tanggung jawab terbatas (limited liability) yang biasa dimiliki pemegang saham sebenarnya juga dapat diterobos apabila Direksi dan komisaris melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan pengurusan perseroan.. Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal aktual Hukum Perseroan, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, edisi revisi, 2004, hlm. 7. Lihat juga IG. Ray Wijaya, Op.Cit., hlm Doktrin ini berasal dari common law system dimana apabila Direksi terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian maka maka terhadapnya dapat diterapkan piercing the corporate veil. pengadilan dapat menggunakan doktrin tersebut sebagai dasar pembebanan tanggung jawab terhadap Direksi dengan cara menyingkap tirai perseroan yang dijadikan sebagai kedok oleh Direksi untuk membatasi tanggung jawabnya. Doktrin Fiduciary Duty dan Peran Direksi, < April 2009.

13 13 kesalahan dan kelalaian dengan menjalankan pengurusan dan pengelolaan perseroan. Hal tersebut terlihat dari kebijakan Direksi melakukan perjanjian kerjasama tanpa sepengetahuan dan peresetujuan Komisaris. Padahal di dalam Anggaran Dasar disebutkan bahwa perjanjian kerjasama harus mendapat persetujuan Komisaris. Selain itu, Direktur juga telah melakukan kerjasama dengan PT. yang notabebenya merupakan saudara dari Direktur PT. tersebut. Karena itu, perjanjian tersebut dapat dianggap lebih berorientasi untuk meraih keuntungan pribadi (self dealing) sehingga melanggar asas iktikad baik. Kebijakan tersebut telah menyebabkan perseroan mengalami kerugian dan tidak mampu membayar utang-utang kreditur yang telah jatuh tempo. Atas dasar hal tersebut maka penggugat mengajukan tuntutan kepada Direksi PT. karena dianggap bersalah dan lalai dalam melakukan pengurusan perseroan. Di tingkat Pengadilan Negeri, gugatan penggugat dikabulkan oleh majelis hakim dan menyatakan bahwa direksi harus bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan karena Direksi terbukti bersalah dan lalai memberikan kebijakan tanpa persetujuan komisaris dan adanya unsur iktikad dalam pengurusan perseroan. Putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan karena pembuktian masalah adanya kesalahan dan kelalaian direksi harus dibuktikan terlebih dahulu di Pengadilan Niaga dalam proses kepailitan. Sedangkan dalam putusan permohonan pernyataan pailit atas PT. tidak disebutkan adanya bukti kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh direksi. Selanjutnya putusan Mahkamah Agung membatalkan hasil Putusan Pengadilan dan menguatkan hasil Putusan Pengadilan Pengadilan tersebut. Dari fakta hukum tersebut tergambar bahwa terdapat kesulitan bagi pihak penggugat untuk membuktikan adanya kesalahan atau kelalaian direksi. Hal tersebut

14 14 terjadi karena ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban direksi yang atas kesalahan dan kelalaian menyebabkan perseroan pailit. Dalam rumusan undang-undang tidak dijelaskan secara lebih detail mengenai konsep pertanggungjawaban direksi apakah harus diajukan bersamaan dengan proses kepailitan atau diajukan dalam perkara tersendiri sehingga menimbulkan berbagai penafsiran hukum. Kerugian yang dialami oleh Perseroan yang diakibatkan oleh karena kelalaian dan kesalahan direksi. Maka berdasarkan pasal 97 ayat (3) UUPT, direksi dapat diminta pertanggungjawabannya atas kerugian tersebut sampai kepada harta pribadi direksi. Apabila direksi lebih dari seorang maka menurut pasal 97 ayat (4) tanggung jawab tersebut dibebankan secara tanggung renteng. Sementara menurut pasal 104 ayat (2) UUPT, apabila perseroan mengalami pailit karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Namun demikian, penerapan Pasal tersebut tidak semudah dengan apa yang dimuat dalam teks undang-undang. Secara concreto, apabila dikaitkan dengan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mengenai pembuktian unsur-unsur kepailitannya sendiri sering menemui kesulitan,belum lagi tidak ada pengaturan yang lebih jelas bagaimana prosedur pertanggungjawaban itu dapat dimintakan. Salah dalam menerapkan Undang-undang tersebut dapat meloloskan direksi dari jeratan tanggung jawabnya. Akibatnya perlindungan hukum terhadap kepentingan para kreditur menjadi terabaikan. Beberapa materi baru yang diatur dalam UU No. 37 tahun 2004 :

15 15 1. Terdapat batasan yang jelas mengenai pengertian utang demikian juga dengan penjatuhan waktu. 2. Terdapat ketentuan tentang syarat-syarat clan prosedur pernyataan pailit clan permohonan PKPU termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu yang pasti untuk pengambilan putusan pailit clan PKPU (antara lain. putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari sejak pendaftaran permohonan pailit diajukan) Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dikemukakan perlunya pengaturan masalah Kepailitan dan PKPU yaitu : 1. untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalarn waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur. 2. untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur clan para kreditur lainnya. 3. untuk menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditur atau debitur sendiri Undang-Undang Kepailitan dibuat berdasarkan pada asas -asas hukum sebagai berikut : 1. Asas Keseimbangan, Undang-Undang memuat ketentuan yang mencegah penyalahgunaan lembaga kepailitan oleh Debitur yang tidak jujur, di lain pihak memuat ketentuan yang mencegah penyalah gunaan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik

16 16 2. Asas Kelangsungan Usaha Memuat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan 3. Asas Keadilan Ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas ini mencegah kesewenangan Kreditur/penagih yang meminta pembayaran dari debitur tanpa memperhatikan kepentingan kreditur lain. 4. Asas Integrasi Sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional Beberapa pengertian dalam UU No. 37 Tahun 2004: Kepailitan adalah : sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pernberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Debitur pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-

17 17 undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur clan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Syarat untuk dinyatakan pailit Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Th 2004: Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Pasal 6 : Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh : 1. Debitur 2. Kejaksaan untuk kepentingan umum 3. Bank Indonesia dalam hal debitur adalah Bank 4. BAPEPAM dalam hal debitur adalah Perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Miring dan penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan penyelesaian. 5. Menteri Keuangan dalam hal debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Adapun yang dimaksud "Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana" itu adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Undang-

18 18 Undang Kepailitan mengatur time frame yang pasti untuk penyelesaian kepailitan, antar lain menentukan jangka waktu putusan pailit harus diucapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kepailitan sebagai berikut : Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan Pasal 15 Dalam putusan pernyataan pailit tersebut harus diangkat Kurator, yang akan melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, serta Hakim Pengawas yang ditunjuk untuk mengawasi kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan dinyatakan bahwa Kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoieh debitur selama berlangsungnya kepailitan. Menurut Pasal 22 UU Kepailitan ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap : 1. benda, termasuk hewan yang dibutuhkan debitor sehubungan dengan peketjaannya, perlengkapan, alat-aiat medis yang digunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan debitor dan keluarganya, bahan makanan untuk 30 hari bagi debitor dan keluarganya. 2. segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh ditentukan Hakim Pengawas; 3. uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi natkah menurut undang-undang.

19 19 Selanjutnya Pasal 24 UU Kepailitan mengatur akibat hukum bagi debitor yang dinyatakan pailit, yaitu Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit dilakukan melalui rangkaian mata acara yang banyak melibatkan peranan kurator dan Hakim Pengawas di dalamnya, yaitu : a. Rapat Kreditur, b. Pencocokan Piutang (Verifikasi), c. Penawaran Perdamaian (Akkoord), d. Insolvensi, e. Pemberesan harta pailit serta pembayaran hutang-hutang pailit pada para Krediturnya, hingga berakhirnya kepailitan, f. rehabilitasi bagi debitur pailit. Rangkaian acara dalarn pelaksanaan putusan Pengadilan Niaga itu dilakukan dengan tujuan mengadakan pembagian harta kekayaan si pailit (dalam boedel pailit) kepada para kreditur sebagai realisasi Pasal dan KUHPerdata. Pemberesan harta pailit Pasal 178 UU Kepailitan Ayat (1) Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian; rencana perdamaian tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan

20 20 yang telah memperoleh kekuatan hukurn tetap, derni hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi (berada dalam keadaan berhenti membayar) Pasal 188 Apabila hakim pengawas berpendapat bahwa terdapat cukup uang tunai, kurator diperintahkan untuk melakukan pembagian kepada kreditur yang piutangnya telah dicocokkan Melalui pembagian harta pailit kepada para kreditur ini terpenuhi asas dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, bahwa seluruh harta debitur meniadi jaminan pelunasan bagi piutang kreditur. Setelah kreditur mendapat pelunasan piutangnya (debitur memenuhi kewajiban), berakhirlah kepailitan. Debitur dapat mengajukan rehabilitasi pada Pengadilan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Kepailitan, maka kepailitan akan berakhir karena beberapa sebab, yaitu : a. Setelah adanya perdamaian (composition, akkord) yang dihomologasikan dan berkekuatan pasti. b. Setelah insolvensi dan pembagian. c. Atas saran kurator karena harta debitur tidak cukup. d. Kepailitan dicabut atas anjuran Hakim Pengawas. e. Jika putusan pailit dibatalkan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali. Utangnya, dapat melanjutkan usaha dan dengan demikian dapat membayar lunas hutanghutangnya. PKPU sementara ditetapkan Pengadilan paling lambat 3 hari sejak tan-gal pendaltaran, dalam hal rermohonan diajukan oleh debitur dan paling lambat 20 hari sejak

21 21 tanggal pendaftaran apabila PKPU diajukan oleh kreditur. Dalam penetapan PKPU scmentara itu Pengadilan harus menunjuk : 1. Hakim Pengawas 2. Pengurus, yang bersama debitur mengurus harta debitur PKPU sementara berlaku sejak tanggal putusan PKNU diucapkan clan berlanosung, sampai dengan tanggal sidang yang merupakan rapat permusyawaratan hakirn untuk mcmbicarakan rencana perdamaian yang diajukan debitur dan menetapkan PKPU tetap. Pasal 228 UU Kepailitan Ayat (5) Dalam hal PKPU tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan maka debitur dinyatakan pailit ayat (6) Apabila PKPU tetap disetujui, maka PKPU beserta perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 hari setelah putusan sementara diucapkan. Atas dasar pemikiran tersebut maka penulis mengangkat judul penelitian tentang Implementasi Tanggung Jawab Direksi Atas Kesalahana Yang Menyebabkan Perseroan Pailit (Studi Kasus Putusan NO K/PDT/2009). Hal tersebut menjadi penting untuk diteliti karena secara faktual pembebanan tanggung jawab terhadap Direksi oleh hakim pengadilan jarang sekali ditemukan. Selain faktor pembuktian, faktor-faktor lain non hukum seringkali juga menjadi penghambat penerapan tanggung jawab pribadi kepada Direksi. B. Perumusan Masalah Sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, dapat diidentifikasi persoalan pertanggungjawaban direksi sangat luas, termasuk pertanggungjawaban perdata dan pidana. Pertanggungjawaban perdata direksi dapat terjadi misalnya karena direksi tidak memberikan laporan keuangan tahunan mengenai

22 22 posisi aktiva dan pasiva perseroan. Selain itu juga bisa terjadi misalnya perseroan atau direksi melakukan kontrak bisnis terdapat benturan kepentingan, perbuatan wanprestasi, penipuan, dan/atau perbuatan melawan hukum, ataupun lain sebagainya. Masalah lain yang kemungkinan akan muncul adalah bagaimana perbedaan pertanggungjawaban direksi apabila perseroan yang dipimpinnya adalah perseroan tertutup dan/atau terbuka. Apakah ada implikasi tertentu dalam persoalan tersebut. Dan bagaimana pula kalau misalnya perseroan tersebut adalah milik pemerintah yang sebagian besar atau seluruh sahamnya adalah milik negara seperti Badan Usaha Milik Negara/BUMN. Mengingat begitu umum dan kompleksnya permasalahan yang akan muncul, maka penulis membatasi penelitian ini pada tanggung jawab direksi perseroan atau perusahaan yang sudah go public yang memungkinkan keterlibatan banyak penanam modal di perusahaan tersebut. Selain itu penulis juga membatasi masalah ini pada tanggung jawab perdata apabila direksi melakukan kesalahan dalam pengurusan perseroan. Untuk lebih mempertajam obyek penelitian, maka permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan pembuktian pertanggungjawaban Direksi atas kesalahan yang menyebabkan Perseroan pailit? 2. Bagaimana pertimbangan hokum majelis hakim terhadap kesalahan direksi yang mengakibatkan kepailitan suatu Perseroan?

23 23 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penerapan pembuktian pertanggungjawaban Direksi atas kesalahan dan kelalaiannya yang menyebabkan Perseroan pailit 2. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim tentang pertanggungjawaban Direksi PT. atas kesalahan dan kelalaiannya yang menyebabkan Perseroan pailit D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teorities maupun praktis, yaitu: 1. Manfaat teorities, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan khususnya terhadap perkembangan bidang ilmu hukum terutama yang berkaitan dengan substansi hukum perusahaan. 2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pembentuk undang-undang, khususnya pemerintah dan DPR, sekaligus dapat menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum, terutama hakim, serta kalangan akademisi akan pentingnya penilaian secara lebih komprehensif mengenai konsep tanggung jawab direksi apabila perseroan mengalami pailit. E. Keaslian Penelitian Penjelasan mengenai orisinalitas penelitian yang akan dilakukan dengan menyertakan perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain jika ada. Baik mengenai objek penelitian maupun sudut pandang penelitian. Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah

24 24 dilakukan baik di perpustakaan Magister Hukum Muhammadiyah, Perpustakaan Universitas Pembangunan Nasional maupun pada perpustakaan Magister Hukum di lingkungan Universitas Gadjahmada Yogyakarta, sejauh yang diketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Substansi permasalahan yang dibahas didalam kedua penelitian tersebut diatas adalah berbeda pembahasannya dengan pembahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara akademis, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus dalam PT Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR 2.1. Pembubaran dan Likuidasi Dalam Pasal 1 UU PT tidak dijelaskan mengenai definisi dari pembubaran tetapi apabila ditarik dari rumusan Pasal 142 ayat (2)

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

perubahan Anggaran Dasar.

perubahan Anggaran Dasar. 2. Selain itu Peningkatan Modal Perseroan tanpa melalui mekanisme RUPS melanggar kewajiban peningkatan modal yang diatur pada Pasal 42 UU PT No.40 Tahun 2007 yang menyatakan keputusan RUPS untuk penambahan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga JOURNAL SKRIPSI KEDUDUKAN HUKUM KURATOR PERUSAHAAN DEBITOR PAILIT YANG DILANJUTKAN KEGIATAN USAHANYA Oleh : NIM. 031011202 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2015 JURNAL SKRIPSI ABSTRAKSI Didalam dinamika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Tumbuh dan berkembangnya perekonomian dan minat pelaku usaha atau pemilik modal menjalankan usahanya di Indonesia dengan memilih bentuk badan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H.

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H. EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Oleh : Raffles, S.H., M.H. 1 Abstrak Direksi adalah organ perseroaan yang bertanggung jawab penuh

Lebih terperinci

HUKUM DAGANG. Panji Susilo ( ) 03 HUKMD 417 KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

HUKUM DAGANG. Panji Susilo ( ) 03 HUKMD 417 KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG HUKUM DAGANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Panji Susilo (2012020338) 03 HUKMD 417 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAMULANG TANGERANG SELATAN 2013 Kata pengantar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk pula kebutuhan keuangan, sehingga untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Grafindo Persada, Jakarta, 2000 hal 1. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Grafindo Persada, Jakarta, 2000 hal 1. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan, masyarakat mempunyai kemampuan dan keahlian masing-masing serta cara yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum.

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS MENURUT

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS MENURUT BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili RH DIREKSI Direksi diatur secara khusus dalam Bagian Pertama Bab VII Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yaitu mulai pasal 92 sampai dengan pasal 107 Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 UUPT Direksi

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No.05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No.05/PAILIT/2012/PN/NIAGA. Fenty Riska I 1 PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No.05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG) FENTY RISKA ABSTRACT Bankruptcy is a public confiscation

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem hukum

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem hukum 129 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini : 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Hukum Kepailitan di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 23 BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 A. Organ Organ Perseroan Terbatas 1. Rapat Umum Pemegang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor privat merupakan entitas mandiri yang berhak melakukan pengelolaan aset kekayaannya sendiri sebagai entitas

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan pembangunan di bidang perekonomian terlebih setelah krisis moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet. BAB II 21 TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI 1.1 Kepailitan 1.1.1 Pengertian Kepailitan Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.Kata Failliet itu sendiri

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan Direksi sebagai organ yang bertugas melakukan pengurusan terhadap jalannya kegiatan usaha perseroan

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA

BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA A. Penerapan asas Piercing The Corporate Veil dalam Perseroan Terbatas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh Arkisman ABSTRAK Setelah dijatuhkannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Tanggungjawab terbatas..., Ronald U.P. Sagala, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Tanggungjawab terbatas..., Ronald U.P. Sagala, FH UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum orang beranggapan bahwa tanggung jawab pemegang saham perseroan terbatas hanya terbatas pada saham yang dimilikinya. Menurut asasnya, dengan

Lebih terperinci

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Pada kasus hukum kepailitan, setiap debitor yang dinyatakan pailit akan dapat

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR 3.1. Upaya Hukum dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam penyelesaian permasalahan utang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan salah satu sendi utama dalam kehidupan masyarakat modern, karena merupakan salah satu pusat kegiatan manusia untuk memenuhi kehidupan kesehariannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan,

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 LITERATUR Kitab Undang Undang Hukum Perusahaan ( Prof. Drs. C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, S.H., M.H.) Hukum Perusahaan Perseroan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan

Lebih terperinci

TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING), KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS

TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING), KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING), KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS 2.1 Tinjauan Umum Tentang Paksa Badan (Gijzeling) 2.1.1 Pengertian paksa badan (gijzeling) Dalam Kamus Umum Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut.

BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 26 BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha yang paling diminati, karena pertanggung jawaban yang bersifat terbatas, perseroan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. hukum dagang merupakan

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D 101 09 205 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-undang Kepailitan. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak terelakkan lagi, dimana Indonesia berada di tengah dan dalam kancah

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak terelakkan lagi, dimana Indonesia berada di tengah dan dalam kancah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Hukum perusahaan sebagai bagian dalam hukum bisnis semakin terasa dibutuhkan lebih-lebih pada awal abad 21 ini dengan prediksi bisnis internasional yang tidak terelakkan

Lebih terperinci