ANALISA STRUKTUR MICRO DAN SIFAT MEKANIS SPRING SAE 9254 TERHADAP PERBEDAAN CYCLE TIME DI HEATING FURNACE PROPOSAL TUGAS AKHIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISA STRUKTUR MICRO DAN SIFAT MEKANIS SPRING SAE 9254 TERHADAP PERBEDAAN CYCLE TIME DI HEATING FURNACE PROPOSAL TUGAS AKHIR"

Transkripsi

1 ANALISA STRUKTUR MICRO DAN SIFAT MEKANIS SPRING SAE 9254 TERHADAP PERBEDAAN CYCLE TIME DI HEATING FURNACE PROPOSAL TUGAS AKHIR Oleh : DADANG FACHRUDIN NPM : PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GRESIK 2012

2 ABSTRAKSI Dalam industri manufaktur sekarang ini, setiap perusahaan dituntut untuk banyak melakukan improvement yang dapat menciptakan efesiansi pada proses produksi dan menekan biaya untuk dapat bersaing dalam pasar. Dalam proposal ini, saya meneiti seberapa besar pengaruh perbedaan cycle time terhadap sifat mekanis dan struktur mikro material di heating furnace pada pembuatan spring coil. Metode yang digunakan adalah memasukkan material kedalam heating furnace dengan cycle time yang berbeda-beda, kemudian diambil sampel after quenching dan after temper untuk diuji sifat mekanis dan strukturmikro material. Setelah dilakukan pengujian sifat mekanis dan strukturmikro pada material, hasil yang didapatkan adalah tidak ada perbedaan yang signifikan perihal pengaruh perbedaan cycle time pada proses heatreatment terhadap sifat mekanis dan strukturmikro material. Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi pada proses pemanasan material di heating furnace. Dengan mempercepat proses pemanasan di heating furnace otomatis akan meningkatkan jumlah out put produksi dan sekaligus dapat meningkatkan produktivitas pada proses produksi. Kata kunci : Cycle time, Heating furnace, Heatreatment

3 LEMBAR PENGESAHAN ANALISA STRUKTUR MICRO DAN SIFAT MEKANIS SPRING ( SAE 9254) TERHADAP PERBEDAAN CYCLE TIME DI HEATING FURNACE Oleh : DADANG FACHRUDIN NPM : Diterima dan disyahkan Pada tanggal 4 April 2012 Pembimbing 1 Pembimbing 2 AGUS SETIYO UMARTONO. ST. MT WARDJITO. ST. MT Mengetahui : Dekan Fakultas Teknik Ketua Prodi Teknik Mesin Ir. SUNARTO. MT WARDJITO. ST. MT

4 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrohim, alhamdullillahi robbil alamin. Berkat pertolongan dan ridhonya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan persyaratan untuk mendapat gelar sarjana teknik di Universitas Gresik. Dalam pelaksanaannya penelitian ini telah melalui berbagai proses yang penuh dinamika, semoga manfaat dari skripsi ini sesuai dengan harapan penulis, agar dapat berguna bagi dunia industri maupun dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kami menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan bimbingan, motivasi dan bantuan secara moril maupun spiritual. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Agus Setiyo Umartono, ST.MT sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, Pengarahan dan petunjuk kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Bapak Drs. Sukiyat, Msi selaku Rector Universitas Gresik 3. Bapak Ir.Sunarto, MT selaku Dekan Fakultas Tehnik, jurusan Tehnik Mesin, Universitas Gresik. 4. Para Dosen Fakultas Tehnik dan karyawan di Universitas Gresik. 5. Para Staf dan Karyawan PT. Indospring Tbk Gresik yang telah membantu penulis dalam mengadakan riset.

5 Akhir kata, tentu saja apa yang penulis sampaikan dalam skripsi ini masih ada kekurangan, untuk itu penulis akan sangat berterima kasih kepada para pembaca yang memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan ini. Gresik, 12 Juli 2012 Penulis

6 DAFTAR ISI Halaman LEMBAR JUDUL ABSTRAKSI... LEBAR PENGESAHAN.. KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI. DAFTAR GAMBAR... i ii iii iv v vii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Perumusan Masalah... 2 C. Tujuan Masalah... 3 D. Manfaat Penulisan... 3 E. Batasan masalah 3 BAB II DASAR TEORI. 5 A. Heat treatment Near Equilibrium Non Equilibrium B. Baja Karbon C. Baja SAE D. Heating Furnace E. Proses pembuatan spring coil F. Pengujian Logam.. 71

7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 97 A. Tempat dan waktu penelitian B. Pengumpulan data C. Diagram Alir Penelitian BAB IV PERCOBAAN DAN MENELITI HASIL A. Percobaan Pengujian sebelum dan sesudah heatreatment a. Pengujian mikrostruktur b. Pengujian dekarburisasi c. Pengujian hardness vickers B. Meneliti hasil BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

8 DAFTAR GAMBAR 2.1 Diagram fasa Diagram Hipoeutectoid Diagram Hiperrutectoid Crystat lattice of iron Cooling curve forpure iron Crystat lattice of iron Thermal equilibrium diagram for iron carbide alloys Steel purtion of iron carbon equilibrium diagram Solubility of carbon in alpha iron Schematic resperentation of transformation Microstructures of hypoeutectoid steels Diagrammatic respresentation of tansfor mation Microstructures of pearlite & cementite Influence of alloying element on eutectoid temperatur Influence of alloying element on eutectoid carbon content Effect of Cr & C on the austenite field Effect of Mn & C on the austenite field Isothermal TTT curve of AISI HB Variation of microstructures as a function of coilling rate an Eutectoid a Isothermal transformation diagram for 1% carbon steel... 59

9 2.24b Isothermal TTT curve & methods of heat treatment Contiuous coilling TTT curve of BS708 M Contiuous coilling TTT curve of BH Microstructures of cementite Microstructures of lamellar pearlite Body centered tetragonal crystal structure of martensite Fe-C alloys Variation of the lattice paramater of austenite as a function of Carbon content Effect of carbon content on the martensite Effect of alloying element on the martensite Microstructures of hardness steel Variation of the hardness of martensite Comparative hardness of carbides found in tool steel Hardening temperature of steel Size change hardness and retained austenite content in relation to Hardening temperature Change in hardness and structure durin tempering of austenite Steels (a) Body contered tetragonal structure, (b) Body content cubic Structure Effect of tempering on alloyed steels Heating furnace Type HTH

10 2.33 Flow Proses Hot Coil Spring Mesin uji kekerasan Shore Scleroscope, Type SH-D Mesin uji kekerasan Shore Scleroscope, Type SH-C Mesin uji kekerasan Shore Scleroscope, Type PHS Mesin uji kekerasan brinell Posisi penekanan dengan indentor dalam pengujian kekerasan Brinell Kontrusi pesawat uji kekerasan rockwel Kontrusi pesawat uji kekerasan rockwel Kontrusi pesawat uji kekerasan rockwel Ball indentor pada posisi siap menekan Diamon indentor pada posisi siap menekan Diamon ( a ) dan ball ( b ) indentor pada posisi menekan Diamon ( a ) dan ball ( b ) indentor pada posisi menekan dengan beban Mayor ( F1 ) X kg menghasilkan kedalaman b Diamon ( a ) dan ball ( b ) indentor pada posisi menekan dengan beban Minor 10 kg menunjukkan angka kekerasan HR = jarak b + ( b-a ) Mikro vickers, Type HM, Mitutoyo Microscope microstructur, Type GX 51, Olympus Diagram alir proses penelitian Mikrostruktur Raw material diameter 10.9mm Mikrostruktur Raw material diameter 12.3mm Mikrostruktur Raw material diameter 17mm

11 4.4 Mikrostruktur after quenching diameter 10.9mm, CT Mikrostruktur after temper diameter 10.9mm, CT Mikrostruktur after quenching diameter 12.3mm, CT Mikrostruktur after temper diameter 12.3mm, CT Mikrostruktur after quenching diameter 17mm, CT Mikrostruktur after temper diameter 17mm, CT Mikrostruktur after quenching diameter 10.9mm, CT Mikrostruktur after temper diameter 10.9mm, CT Mikrostruktur after quenching diameter 12.3mm, CT Mikrostruktur after temper diameter 12.3mm, CT Mikrostruktur after quenching diameter 17mm, CT Mikrostruktur after temper diameter 17mm, CT Mikrostruktur after quenching diameter 10.9mm, CT Mikrostruktur after temper diameter 10.9mm, CT Mikrostruktur after quenching diameter 12.3mm, CT Mikrostruktur after temper diameter 12.3mm, CT Mikrostruktur after quenching diameter 17mm, CT Mikrostruktur after temper diameter 17mm, CT Hasil dekarburisasi raw material diameter 10.9mm Hasil dekarburisasi raw material diameter 12.3mm Hasil dekarburisasi raw material diameter 17mm Foto dekaburisasi tertinggi diameter 10.9mm, CT Foto dekaburisasi tertinggi diameter 12.3mm, CT

12 4.27 Foto dekaburisasi tertinggi diameter 17mm, CT Foto dekaburisasi tertinggi diameter 10.9mm, CT Foto dekaburisasi tertinggi diameter 12.3mm, CT Foto dekaburisasi tertinggi diameter 17mm, CT Foto dekaburisasi tertinggi diameter 10.9mm, CT Foto dekaburisasi tertinggi diameter 12.3mm, CT Foto dekaburisasi tertinggi diameter 17mm, CT Grafik distribusi hardness pada raw material Grafik distribusi hardness after quenching ( 10.9mm, CT 16 ) Grafik distribusi hardness after quenching ( 12.3mm, CT 16 ) Grafik distribusi hardness after quenching ( 17mm, CT 16 ) Grafik distribusi hardness after quenching ( 10.9mm, CT 18 ) Grafik distribusi hardness after quenching ( 12.3mm, CT 18 ) Grafik distribusi hardness after quenching ( 17mm, CT 18 ) Grafik distribusi hardness after quenching ( 10.9mm, CT 26 ) Grafik distribusi hardness after quenching ( 12.3mm, CT 26 ) Grafik distribusi hardness after quenching ( 17mm, CT 26 ) Grafik distribusi hardness after temper ( 10.9mm, CT 16 ) Grafik distribusi hardness after temper ( 12.3mm, CT 16 ) Grafik distribusi hardness after temper ( 17mm, CT 16 ) Grafik distribusi hardness after temper ( 10.9mm, CT 18 ) Grafik distribusi hardness after temper ( 12.3mm, CT 18 ) Grafik distribusi hardness after temper ( 17mm, CT 18 )

13 4.50 Grafik distribusi hardness after temper ( 10.9mm, CT 26 ) Grafik distribusi hardness after temper ( 12.3mm, CT 26 ) Grafik distribusi hardness after temper ( 17mm, CT 26 )

14 DAFTAR TABEL 2.1 Perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan pada proses Temper Transformasi Composition material SAE 9254 menurut JIS 4801: Perbandingan ukuran indentor & tebal bahan Perbandingan diameter indentor terhadap konstanta bahan Chemical composition material SAE 9254 (yang dibuat reset) Hasil hardness diameter 17mm, CT Hasil hardness diameter 12.3mm, CT Hasil hardness diameter 10.9mm, CT Hasil hardness diameter 17mm, CT Hasil hardness diameter 12.3mm, CT Hasil hardness diameter 10.9mm, CT Hasil hardness diameter 17mm, CT Hasil hardness diameter 12.3mm, CT Hasil hardness diameter 10.9mm, CT Hasil dekaburisasi raw material Hasil 12 titik dekarburisasi ( 10.9mm, CT 26 ) Hasil 12 titik dekarburisasi ( 12.3mm, CT 26 ) Hasil 12 titik dekarburisasi ( 17mm, CT 26 ) Hasil 12 titik dekarburisasi ( 10.9mm, CT 18 ) Hasil 12 titik dekarburisasi ( 12.3mm, CT 18 )

15 4.17 Hasil 12 titik dekarburisasi ( 17mm, CT 18 ) Hasil 12 titik dekarburisasi ( 10.9mm, CT 18 ) Hasil 12 titik dekarburisasi ( 12.3mm, CT 18 ) Hasil 12 titik dekarburisasi ( 17mm, CT 18 ) Hasil pengujian terhadap perbedaan cycle time pada proses Heattreatment

16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam dunia industri banyak hal yang selalu menjadi permasalahan, ini sedikit banyak terkait oleh keterbatasan-keterbatasan yang disebabkan oleh tuntutan target produksi, namun dari segi kualitas harus tetap dijaga. Hal ini menuntut pihak produksi melakukan efisiensi (penyesuaian) dari segala aspek, khususnya pada proses produksi. Hal yang menjadi fokus perusahaan dalam melakukan efisiensi adalah dengan mengoptimalkan proses produksi, yaitu dengan cara menghilangkan atau mengurangi pemborosan dalam proses produksi. Ada 8 pemborosan dalam proses proses yaitu : Defect, Waiting time, Extra motion, excess inventory, over production, Extra processing, Unnecessary transportation, Unutilized talents, beberapa contoh dari pemborosan produksi diantaranya : Adanya spring reject, adanya perbedaan cycle time tiap diameter material pada heating furnace, Penataan lay out produksi kurang bagus, produksi yang berlebihan, adanya proses tambahan karena perbaikan spring reject, penggunaan transportasi yang tidak semestinya. Dan permasalahan waiting time yaitu perbedaan cycle time antar diameter material dalam heating furnace, menjadi salah satu efisiensi yang dapat meningkatkan produktifitas produksi. Karena semakin besar diameter material, semakin lama cycle time dan out put yang dihasilkan semakin sedikit. Semakin kecil diameter material, semakin cepat cycle time dan semakin banyak out put yang dihasilkan. Dalam melakukan efisiensi cycle time dalam heating furnace ini tentunya membutuhkan penelitian /

17 analisa yang lebih dalam dan lebih spesifik, karena akan berpengaruh pada sifat mekanis dan struktur mikro material. Dalam hal ini program studi teknik mesin Universitas Gresik mewajibkan mahasiswanya melakukan suatu kegiatan dalam skala laboratorium yang dapat dilaksanakan didalam kampus ataupun diluar kampus (industri). Salah satu perusahaan yang memiliki hubungan kerja sama dengan institusi pendidikan adalah PT. Indospring Tbk. Perusahaan ini merupakan salah satu produsen pegas spiral di indonesia. Salah satu material yang dipakai dalam pembuatan pegas spiral/coil adalah menggunakan material SAE 9254 yang memiliki ketangguhan yang cukup tinggi. Dengan adanya berbagai macam diameter material, maka perlu adanya pengklasifikasian diameter material, selain itu adanya perbedaan dimensi pegas spira / coil juga memerlukan perlakuan panas (Heat treatment) yang berbeda dan tepat. B. Perumusan masalah Dengan mengacu pada latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh variasi diameter pada proses heatreatment terhadap perubahan sifat mekanis (hardness) dan struktur mikro. 2. Bagaimana pengaruh perbedaan cycle time pada proses heat treatment terhadap perubahan sifat mekanis (hardness) dan struktur mikro.

18 C. Tujuan Tujuan dari pelaksanaan Lab. Keahlian di PT. Indospring Tbk. Adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh variasi diameter pada proses heat treatment terhadap sifat mekanis (hardness) dan struktur mikro. 2. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan cycle time pada proses heat treatment terhadap sifat mekanis (hardness) dan struktur mikro. D. Manfaat penelitian Untuk industri Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat kepada PT. Indospring Tbk. Gresik 1. Dengan mengetahui pengaruh variasi diameter material pada proses heat treatment terhadap sifat mekanis dan struktur mikro diharapkan dapat menjadi acuan diproses produksi 2. Dengan mengetahui pengaruh variasi cycle time pada proses heat treatment terhadap sifat mekanis dan struktur micro diharapkan dapat menjadi acuan diproses produksi E. Batasan masalah Dalam penelitian ini diberikan batasan masalah sebagai berikut : 1. Baja yang digunakan sebagai spesimen penelitian adalah hanya SAE 9254 bahan produksi SAMWON STEEL (KOREA). 2. Penelitian hanya pada kondisi row material, after quenching dan after tempering.

19 3. Pengujian meliputi sifat mekanis kekerasan ( Hardness ), strutur mikro saja.

20 BAB II DASAR TEORI A. Heat treatment Proses laku-panas adalah kombinasi dari operasi pemanasan dan pendinginan dengan kecepatan tertentu yang dilakukan terhadap logam atau paduan dalam keadaan padat, sebagai suatu upaya untuk memperoleh sifat-sifat tertentu. Proses laku-panas pada dasarnya terdiri dari beberapa tahapan, dimulai dengan pemanasan sampai ke temperatur tertentu, lalu diikuti dengan penahanan selama beberapa saat, baru kemudian dilakukan pendinginan dengan kecepatan tertentu. Secara umum perlakukan panas (Heat treatment) diklasifikasikan dalam 2 jenis: 1. Near Equilibrium (Mendekati Kesetimbangan Tujuan umum dari perlakuan panas jenis Near Equilibrium ini diantaranya adalah untuk : melunakkan struktur kristal, menghaluskan butir, menghilangkan tegangan dalam dan memperbaiki machineability. Jenis dari perlakukan panas Near Equibrium, misalnya : Full Annealing (annealing), Stress relief Annealing, Process annealing, Spheroidizing, Normalizing dan Homogenizing.

21 Gambar 2.1 Diagram fasa Kandungan Carbon 0.008%C = Batas kelarutan maksimum Carbon pada ferrite pada temperatur kamar 0.025%C = Batas kelarutan maksimum Carbon pada ferrite pada temperatur 723 derajat celcius 0.83%C = Titik eutectoid

22 2%C = Batas kelarutan carbon pada besi gamma pada temperatur 1130 derajat celcius 4.3%C = Titik eutectoid 0.1%C = Batas kelarutan carbon pada besi delta pada temperatur 1493 derajat celcius Garis-garis Garis Liquidus ialah garis yang menunjukan awal dari proses pendinginan (pembekuan). Garis Solidus ialah garis yang menunjukan akhir dari proses pembekuan (pendinginan). Garis Solvus ialah garis yang menunjukan batas antara fasa padat denga fasa padat atau solid solution dengan solid solution. Garis Acm = garis kelarutan Carbon pada besi Gamma (Austenite) Garis A3 = garis temperatur dimana terjadi perubahan Ferrit menjadi Autenite (Gamma) pada pemanasan. Garis A1 = garis temperatur dimana terjadi perubahan Austenite (Gamma) menjadi Ferrit pada pendinginan Garis A0 = Garis temperatur dimana terjadi transformasi magnetic pada Cementid.

23 Garis A2 = Garis temperatur dimana terjadi transformasi magnetic pada Ferrite. Struktur mikro Ferrite ialah suatu komposisi logam yang mempunyai batas maksimum kelarutan Carbon 0,025%C pada temperatur 723 Derajat Celcius, struktur kristalnya BCC (Body Center Cubic) dan pada temperature kamar mempunyai batas kelarutan karbon 0,008%C Austenite ialah suatu larutan padat yang mempunyai batas maksimum kelarutan Carbon 2%C pada temperature 1130 Derajat Celcius, struktur kristalnya FCC(Face Center Cubic). Cementid ialah suatu senyawa yang terdiri dari unsur Fe dan C dengan perbandingan tertentu (mempunyai rumus empiris) dan struktur kristalnya Orthohombic. Lediburite ialah campuran Eutectic antara besi Gamma dengan Cementid yang dibentuk pada temperatur 1130 Derajat Celcius dengan kandungan Carbon 4,3%C. Pearlite ialah campuran Eutectoid antara Ferrite dengan Cementid yang dibentuk pada temperatur 723 Derajat Celcius dengan kandungan Carbon 0,83%C.

24 Gambar 2.2 Diagaram Hipoeutectoid Gambar 2.3 Diagram hiperrutectoid Dari sedikit penjelasan diatas dapat kita tarik benang merah bahwa secara umum laku panas dengan kondisi Near Equilibrium itu dapat disebut dengan anneling. Anneling ialah suatu proses laku panas (heat treatment) yang sering dilakukan terhadap logam atau paduan dalam proses pembuatan suatu produk. Tahapan dari proses Anneling ini dimulai dengan memanaskan logam (paduan) sampai temperatur tertentu, menahan pada temperatur tertentu tadi selama beberapa waktu tertentu agar tercapai perubahan yang diinginkan lalu mendinginkan logam atau paduan tadi dengan laju pendinginan yang cukup lambat. Jenis Anneling itu beraneka ragam, tergantung pada jenis atau kondisi benda kerja, temperatur

25 pemanasan, lamanya waktu penahanan, laju pendinginan (cooling rate), dll. Sehingga kita akan mengenal dengan apa yang disebut : Full Annealing(annealing), Stress relief Annealing, Process annealing, Spheroidizing, Normalizing dan Homogenizing a. Full annealing (annealing) Merupakan proses perlakuan panas untuk menghasilkan perlite yang kasar (coarse pearlite) tetapi lunak dengan pemanasan sampai austenitisasi dan didinginkan dengan dapur, memperbaiki ukuran butir serta dalam beberapa hal juga memperbaiki machinibility. Pada proses full annealing ini biasanya dilakukan dengan memanaskan logam sampai keatas temperatur kritis (untuk baja hypoeutectoid, 25 Derajat hingga 50 Derajat Celcius diatas garis A3 sedang untuk baja hypereutectoid 25 Derajat hingga 50 Derajat Celcius diatas garis A1). Kemudian dilanjutkan dengan pendinginan yang cukup lambat (biasanya dengan dapur atau dalam bahan yang mempunyai sifat penyekat panas yang baik). Perlu diketahui bahwa selama pemanasan dibawah temperatur kritis garis A1 maka belum terjadi perubahan struktur mikro. Perubahan baru mulai terjadi bila temperatur pemanasan mencapai garis atau temperatur A1 (butir-butir Kristal pearlite bertransformasi menjadi austenite yang halus). Pada baja hypoeutectoid bila pemanasan dilanjutkan ke temperatur yang lebih tinggi maka butir kristalnya mulai bertransformasi menjadi sejumlah Kristal austenite yang halus, sedang butir Kristal austenite yang sudah ada (yang berasal dari pearlite) hampir tidak tumbuh. Perubahan ini selesai setelah menyentuh garis A3 (temperatur kritis A3). Pada

26 temperature ini butir kristal austenite masih halus sekali dan tidak homogen. Dengan menaikan temperatur sedikit diatas temperatur kritis A3 (garis A3) dan memberi waktu penahanan (holding time) seperlunya maka akan diperoleh austenite yang lebih homogen dengan butiran kristal yang juga masih halus sehingga bila nantinya didinginkan dengan lambat akan menghasilkan butir-butir Kristal ferrite dan pearlite yang halus. Baja yang dalam proses pengerjaannya mengalami pemanasan sampai temperatur yang terlalu tinggi ataupun waktu tahan (holding time) terlalu lama biasanya butiran kristal austenitenya akan terlalu kasar dan bila didinginkan dengan lambat akan menghasilkan ferrit atau pearlite yang kasar sehingga sifat mekaniknya juga kurang baik (akan lebih getas). Untuk baja hypereutectoid, annealing merupakan persiapan untuk proses selanjutnya dan tidak merupakan proses akhir. b. Normalizing Merupakan proses perlakuan panas yang menghasilkan perlite halus, pendinginannya dengan menggunakan media udara, lebih keras dan kuat dari hasil annealing. Secara teknis prosesnya hampir sama dengan annealing, yakni biasanya dilakukan dengan memanaskan logam sampai keatas temperatur kritis (untuk baja hypoeutectoid, 50 Derajat Celcius diatas garis A3 sedang untuk baja hypereutectoid 50 Derajat Celcius diatas garis Acm). Kemudian dilanjutkan dengan pendinginan pada udara. Pendinginan ini lebih cepat daripada pendinginan pada annealing.

27 c. Spheroidizing Merupakan proses perlakuan panas untuk menghasilkan struktur carbida berbentuk bulat (spheroid) pada matriks ferrite. Pada proses Spheroidizing ini akan memperbaiki machinibility pada baja paduan kadar Carbon tinggi. Secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa baja hypereutectoid yang diannealing itu mempunyai struktur yang terdiri dari pearlite yang terbungkus oleh jaringan cemented. Adanya jaringan cemented (cemented network) ini meyebabkan baja (hypereutectoid) ini mempunyai machinibility rendah. Untuk memperbaikinya maka cemented network tersebut harus dihancurkan dengan proses spheroidizing. Spheroidizing ini dilaksanakan dengan melakukan pemanasan sampai disekitar temperatur kritis A1 bawah atau sedikit dibawahnya dan dibiarkan pada temperatur tersebut dalam waktu yang lama (sekitar 24 jam) baru kemudian didinginkan. Karena berada pada temperatur yang tinggi dalam waktu yang lama maka cemented yang tadinya berbentuk plat atau lempengan itu akan hancur menjadi bola-bola kecil (sphere) yang disebut dengan spheroidite yang tersebar dalam matriks ferrite. d. Process Annealing Merupakan proses perlakuan panas yang ditujukan untuk melunakkan dan menaikkan kembali keuletan benda kerja agar dapat dideformasi lebih lanjut. Pada dasarnya proses Annealing dan Stress relief Annealing itu mempunyai kesamaan yakni bahwa kedua proses tersebut dilakukan masih dibawah garis A1

28 (temperatur kritis A1) sehingga pada dasarnya yang terjadi hanyalah rekritalisasi. e. Stress Relief Annealing Merupakan process perlakuan panas untuk menghilangkan tegangan sisa akibat proses sebelumnya. Perlu diingat bahwa baja dengan kandungan karbon dibawah 0,3% C itu tidak bisa dikeraskan dengan membuat struktur mikronya berupa martensite. Nah, bagaimana caranya agar kekerasannya meningkat tetapi struktur mikronya tidak martensite? Ya, dapat dilakukan dengan pengerjaan dingin (cold working) tetapi perlu diingat bahwa efek dari cold working ini akan timbul yang namanya tegangan dalam atau tegangan sisa dan untuk menghilangkan tegangan sisa ini perlu dilakukan proses Stress relief Annealing. 2. Non Equilibrium (Tidak setimbang) Tujuan umum dari perlakuan panas jenis Non Equilibrium ini adalah untuk mendapatkan kekerasan dan kekuatan yang lebih tinggi. Jenis dari perlakukan panas Non Equibrium, misalnya : Hardening, Martempering, Austempering, Surface Hardening (Carburizing, Nitriding, Cyaniding, Flame hardening, Induction hardening) a. Pengerasan ( Hardening ) Pengerasan adalah suatu proses perlukuan panas yang diterapkan untuk menghasilkan benda kerja yang keras. Perlakuan ini terdiri dari memanaskan baja sampai ke temperatur pengerasannya (temperatur austenisasi), dan menahannya pada temperatur tersebut untuk jangka waktu tertentu dan kemudian didinginkan.

29 Jika baja diaustenisasi, sel satuannya adalah FCC. Alasan untuk memanaskan dan menahannya pada temperatur austenisasi adalah untuk melarutkan sementit dalam austenit kemudian dilanjutkan dengan proses quenching. Pada tahap ini karbon yang terperangkap akan menyebabkan tergesernya atom-atom sehingga terbentuk struktur sel satuan yang tidak seimbang memiliki tegangan tertentu. Struktur yang bertegangan ini disebut martensite dan bersifat sangat keras dan getas. Dan hal inilah yang bertanggung jawab terhadap tingginya kekerasan baja. Kekerasan yang dicapai tergantung pada karbon yang dimiliki, temperatur pengerasan dan laju pendinginan. Biasanya baja yang dikeraskan diikuti dengan proses penemperan untuk menurunkan tegangan yang ditimbulkan akibat quenching kaerena adanya pembentukan martensite. Tujuan utama proses pengerasan adalah untuk meningkatkan kekerasan benda kerja dan dan meningkatkan ketahanan aus. Makin tinggi kekerasan maka akan semakin tinggi pula ketahanaan ausnya. Sebagai contoh : spindle, roda gigi, pahat-pahat pemotong dan dies memerlukan kekerasan yang tinggi. Disamping itu, pada bajabaja structural diperlukan juga sifat-sifat mekanik tertentu seperti kekuatan tarik, duktilitas (keuletan) dan elastisitas. Sifat seperti itu dapat dicapai dengan penerapkan proses pengerasan dan penemperan. Benda kerja yang dikeraskan dan ditemper memiliki sifat mekanik yang lebih baik dibanding dengan benda kerja hasil proses normal. Proses pengerasan umumnya diterapkan sebagai tahap akhir dalam suatu proses pembuatan benda kerja, dengan demikian disarankan agar menggunakan peralatan yang baik dan operator yang sudah memahami dan berpengalaman.

30 b. Pemanansan ( heating ) Temperatur pengerasan yang digunakan tergantung pada komposisi kimia (kadar karbon). Temperatur pengerasan untuk baja karbon hipoeutektoid adalah sekitar C diatas garis A3, dan untuk baja-baja karbon hipereutektoid adalah sekitar C diatas garis A3, jika suatu baja mengandung misalnya 0.5% karbon (berstruktur pearlit dan ferrit) dipanaskan sampai temperatur dibawah A1, maka pemanasan tersebut tidak akan mengubah struktur awal baja tersebut. Pemanasan sampai diatas temperatur A1 tetapi masih dibawah temperatur A3 akan mengubah pearlit menjadi austenit tanpa terjadi perubahan apa-apa terhadap ferritnya. Quencing dari temperatur ini akan menghasilkan baja yang semi keras karena austenitnya bertransformasi kemartensit, sedangkan ferritnya tidak berubah. Keberadaan ferrit dilingkungan martensit yang getas tidak berpengaruh pada kenaikan ketangguhan. Jika suatu baja dipanaskan sedikitnya diatas A3 dan ditahan pada temperatur tersebut untuk jangka waktu tertentu agar dijamin proses difusi yang homogen, maka struktur baja akan bertransformasi menjadi austenit dengan ukuran butir yang relative kecil. Quencing dari temperatur austenisasi akan menghasilkan martensit dengan harga kekerasan yang maksimum. Memanaskan sampai temperatur E (relative lebih tinggi diatas A3) cenderung meningkatkan ukuran butir austenit. Quencing dari temperatur itu akan menghasilkan struktur martensit, tetapi sifatnya, bahkan setelah ditemper sekalipun akan memiliki harga impact yang rendah. Disamping itu mungkin juga timbul retak pada saat quenching.

31 Mengeraskan baja - baja hipereutektoid proses pengerasannya terdiri dari memanaskan baja pada temperatur C diatas temperatur A3 (lihat gambar 2.49) yaitu pada daerah austenit dan simentit. Kemudian didinginkan dengan cepat agar diperoleh martensit yang halus dan karbida-karbida yang tidak larut. Struktur hasil proses quenching memiliki kekerasan yang lebih tinggi dari martensit. Jika karbida yang larut dalam austenit terlalu sedikit, kekerasan hasil quenching akan rendah. Jumlah karbida yang dapat larut dalam austenit sebanding dengan temperatur autenisasinya. Jumlah karbida yang larut meningkat jika temperatur austenisasinya dinaikan, demikian juga dengan ukuran butir austenitnya. Jika karbida yang terlarut terlalu besar, akan terjadi peningkatan ukuran butir disertai dengan penurunan kekerasan dan ketangguhan (liat gambar 2.50) jika jika baja dipanaskan diatas temperatur Acm, struktur yang dihasilkannya hanya terdiri dari austenit saja. Dalam hal ini, pertumbuhan butir akan lebih besar, akibatnya martensit yang dihasilkannya akan lebih kasar. Kekerasan martensit seperti itu akan lebih rendah, akibat adanya sejumlah austenit sisa dalam struktur quenching dan juga sebagai akibat tidak adanya karbida dalam struktur tersebut. Atas dasar hal tersebut, agar diperoleh martensit yang halus yang masih mengandung karbida-karbida yang belum larut, pemilihan temperatur pengerasan harus cermat. Temperatur pengerasan untuk beberapa jenis baja dicantumkan dalam manual yang dibuat oleh pembuat baja tersebut dan biasanya merupakan hasil dari serangkaian percobaan. Disamping itu petunjuk-petunjuk praktis yang

32 harus cermat. Temperatur pengerasan untuk beberapa jenis baja dicantumkan dalam manualyang dibuat oleh pembuat baja tersebut dan biasanya merupakan hasil dari serangkaian percobaan. Disamping itu petunjuk-petunjuk praktis yang ada pada standart-standart internasional dapat juga digunakan sebagai bahan rujukan untuk mnentukan temperature pengerasan yang diijinkan. Dengan temperatur austeenisasi yang lebih tinggi akan diperoleh hardenability yang lebih tinggi juga. Ini disebabkan oleh banyaknya karbida yang terlarut dan makin besarnya butiran austenit. Akan tetapi beberapa temperatur pemanasan yang tepat untuk suatu proses pengerasan masih akan saling tergantung pada beberapa faktor lain, antara lain waktu tahan. c. Waktu tahan (holding time) Kekerasan yang terjadi setelah quenching banyak tergantung pada besarnya kadar karbon dan unsur paduan dalam austenit, besar butir austenit dan laju pendinginan dari austenit. Besarnya kadar karbon dan unsur paduan dalam austenit akan tergantung pada seberapa banyak karbida yang sempat larut dalam pemanasan. Pada saat mencapai temperatur kritis atas memang struktur seluruhnya austenit. Tetapi saat itu austenit masih berbutir halus dan kadar karbon atau unsur paduannya masih rendah / belum homogen, dan biasanya masih terdapat sisa-sisa karbida yang belum larut (ini terjadi karena pemanasan yang tidak equilibium). Untuk itu biasanya baja perlu ditahan pada temperatur austenisasi ini beberapa saat untuk memberi kesempatan larutnya karbida dan lebih homogennya austenit.

33 Lamanya waktu tahan ini tergantung pada tingkat kelarutan karbida dan ukuran butir yang diinginkan. Karena jumlah dan jenis karbida ini berbeda antara baja satu dengan baja yang lainnya, maka waktu tahan juga akan bergantung pada jenis bajanya dan temperatur austenisasinya yang dipakai. Baja yang banyak mengandung unsur paduan penstabil karbida tentu memerlukan waktu yang lebih lama, dan temperatur austenisasi yang lebih tinggi. Disamping itu laju pemanasan juga ikut mempengaruhi waktu tahan yang harus diberikan. Dengan pemanasan yang sangat lambat, baja hypoeutektoid sudah mencapai struktur austenit yang homogen sesaat setelah mencapai temperatur kritis atasnya, sehingga dalam hal ini tidak lagi diperlukan waktu tahan, dapat langsung diquenching. Ini dapat terjadi karena selama waktu pemanasan mendekati temperatur austenisasi sudah terjadi kelarutan karbida kedalam austenit, difusi karbon dan unsur paduannya Dengan laju pemanasan yang lebih tinggi, maka waktu tidak cukup panjang untuk terjadinya kelarutan karbida dan difusi untuk homogenisasi austenit. Karena itu jika laju pemanasan makin tinggi perlu diberi waktu tahan yang lebih panjang, atau temperatur austenitnya dinaikkan. Pada dasarnya temperatur austenisasi dan waktu tahan dapat dicari dari diagram transformasi untuk pemanasan. Diagram transformasi yang digunakan adalah yang berlangsung secara isothermal. Ini dapat terjadi dengan pemanasan yang sangat cepat ketemperatur yang dimaksud dan kemudian ditahan pada temperatur itu untuk memberi kesempatan berlangsungnya transformasi. Cara ini tidak lazim dilakukan pada perlakuan panas. Pada suatu proses perlakuan panas,

34 transformasi berlangsung selama pemanasan (bersama dengan kenaikkan temperatur), pemanasan continyu (continuous heating). Dengan melihat diagram transformasi isothermal untuk pemanasan tampak bahwa pemanasan untuk mencapai kekerasan maksimum tidak boleh menghasilkan struktur austenit yang homogen, tidak boleh melarutkan seluruh karbida. Bila seluruhnya larut dalam austenit akan mengakibatkan austenit sisa terlalu banyak. Ternyata ukuran benda kerja juga berpengaruh dalam menentukan waktu tahan. Pada benda yang kecil pada umumnya karbidanya juga halus dan tersebar merata sehingga akan memerlukan waktu tahan yang lebih singkat dari pada benda yang lebih besar Selanjutnya dibawah ini diberikan beberapa pedoman untuk menentukan waktu tahan pada proses pengerasan dari berbagai jenis baja : 1) Baja baja kontruksi dari baja karbon rendah dan baja paduan rendah yang mengandung karbida yang mudah larut, diperlukan waktu tahan yang singkat 5 15 menit setelah mencapai temperatur pemanasanya dianggap sudah memadai. 2) Baja kontruksi dari baja paduan menengah dianjurkan menggunakan waktu tahan menit, tidak tergantung ukuran benda kerja 3) Low alloy steel memerlukan waktu tahan yang tepat, agar kekerasan yang diinginkan dapat tercapai. Dianjurkan menggunakan 0,5 menit per millimeter tebal benda atau menit. 4) High alloy chrome steel membutuhkan waktu tahan yang paling panjang diantara semua baja perkakas, juga tergantung pada temperatur pemanas annya. Juga diperlukan kombinasi temperatur dan waktu tahan yang

35 Tebal benda, dengan minimum 10 menit, maksimum 1 jam 5) Hot work tool steel mengandung karbida yang sulit larut, baru akan larut pada 1000 C. Pada temperature ini kemungkinan terjadinya pertumbuhan butir sangat besar, karena itu waktu tahan harus dibatasi menit 6) High speed steel memerlukan temperatur pemanasan yang sangat tinggi C. Untuk mencegah terjadinya pertumbuhan butir waktu tahan diambil hanya beberapa menit saja. d. Media pendinginan Untuk mencapai struktu martensit maka austenit yang terjadi harus didinginkan cukup cepat, setidaknya dapat mencapai laju pendinginan kritis dari baja yang bersangkutan. Untuk ini baja harus didinginkan dalam suatu media pendingin tertentu. Ada sejumlah media pendingin yang biasa digunakan dalam proses pengerasan baja, yaitu air, minyak, campuran air dan minyak (emulasi), udara dan garam cair ( salt bath ). Air adalah media pendingin yang paling tua dan murah, dan kebetulan juga mempunyai kapasitas pendinginan yang tinggi sekali. Air murni biasanya kurang baik sebagai media pendinginan untuk pengerasan baja karena kapasitas pembentukan martensit, padahal laju pendinginan tertinggi diperlukan pada saat melewati hidung dari kurva transformasi, yaitu sekitar 550 C. Ini dapat diperbaiki dengan menambah sedikit (5 10%) soda atau garam dapur brine. Bila baja yang dipanaskan dicelup kedalam air, pada saat pertama kali terjadi kontak antara benda dengan air akan terjadi pendinginan cepat, hanya sesaat, karena segera terbentuk uap air yang menempel dipermukaan benda (

36 vapour blanket stage ), yang menghalangi perpindahan panas dari benda ke air. Selama tahapan ini pendinginan menjadi lambat. Makin lama temperatur benda akan turun dan temperatur air dekat permukaan benda akan semakin tinggi, dan segera mendidih, uap yang tadinya menempel dipermukaan benda akan terlepas, laju pendingginan akan naik (ini terjadi pada temperatur sekitar 300 C), kemudian akan melambat lagi seiring dengan menurunnya temperatur benda. Adanya lapisan uap yang menempel dipermukaan benda akan menyebabkan lambatnya pendinginan (justru pada saat diperlukan laju pendinginan yang tinggi), hal ini dapat diperbaiki dengan menambah sedikit garam dapur soda 5 10%. Keburukan dari air adalah bahwa laju pendinginannya sangat tinggi pada daerah pembentukan temperatur martensit sehingga akan menyebabkan terjadinya tegangan akibat transformasi dan selisih thermal. Ini semua akan mendorong terjadinyar retak pada saat quenching. Bahaya terjadinya retak pada saat quenching kedalam air dapat dihindari atau dikurangi dengan cara mengangkat kembali baja yang diquenching tadi pada saat mencapai temperatur C dan dengan cepat memindahkannya kedalam minyak. Cara ini juga merupakan suatu cara untuk menambahkan tebal pengerasan pada oil hardening low alloy steel. Mengingat kapasitas pendinginan baja yang hardenabilitynya tidak begitu tinggi, misalnya baja karbon. Untuk baja paduan air sudah terlalu kuat, sehingga dapat menimbulkan retak atau distorsi. Untuk baja paduan dipakai minyak atau bahkan udara. Pendinginan dengan minyak akan lebih lambat dari pada dengan air. Ada banyak macam minyak yang dapat dipakai sebagai media pendingin untuk heat

37 treatment, yang paling murah dan sederhana minyak mineral dengan kekentalan rendah (spindle oil). Kapasitas pendinginannya dapat dinaikkan dengan menambah beberapa additive. Tetapi saat ini yang sering digunakan adalah oil quenching yang memiliki kapasitas pendinginan yang lebih tinggi. Pada umumnya minyak memiliki kapasitas pendinginan tertinggi pada temperatur sekitar 600 C, dan agak rendah pada daerah temperatur pembentukan martensit. Minyak biasanya dapat digunakan untuk baja paduan medium dan rendah hanya untuk benda yang berpenampang kecil. Kapasitas pendinginan dari minyak dapat dinaikkan dengan cara agitasi, hanya saja harus dijaga agar jangan terlalu banyak gelembung udara yang tertangkap dalam minyak itu karena akan mengganggu pengaliran panas dari benda kerja keminyak, sehingga akan menurunkan kapasitas pendinginan atau tidak meratanya pengerasan karena adanya gelembung udara yang menempel, dibeberapa tempat ini laju pendinginannya lebih rendah, sehingga kekerasan tidak merata. Campuran air dan minyak (emulasi) dapat dilakukan dalam berbagai proporsi, sehingga dapat diperoleh media pendingin dengan berbagai kapasitas pendinginan. Tetapi dibandingkan dengan minyak, kapasitas pendinginan minyak masih lebih baik. Garam cair (salt bath) merupakan campuran dari beberapa garam antara lain sodium nitrate dengan berbagai macam komposisi yang tergantung pada temperature kerja yang diinginkan antara C.

38 e. Penemperan Jika baja dikeraskan, strukturnya menjadi martensit tetragonal dan sebagian kecil austenit sisa. Baja dalam kondisi seperti itu akan keras, getas dan rentan retak pada saat diquench terutama pada baja-baja perkakas. Dengan demikian baja pada kondisi seperti itu penggunaannya sangat terbatas. Baja yang dikeraskan denan cara transformasi martensitik akan memiliki kecenderungan yang potensil kearah konfigurasi yang lebih stabil. Namun kestabilan tersebut sulit diperoleh pada temperatur kamar karena mobilitas atom-atomnya relatif sangat rendah. Tetapi jika temperaturnya dinaikkan, maka mobilitas atom akan meningkat seiring dengan naiknya laju difusi dan ini akan mengakibatkan adanya perubahan struktur dari baja yang dikeraskan menjadi struktur yang lebih stabil. Proses memanaskan kembali baja yang dikeraskan disebut dengan proses temper. Dengan proses ini, duktilitas dapat ditingkatikan namun kekerasan dan kekuatannya menurun. Pada sebagian besar baja struktur, proses temper dimaksudkan untuk memperoleh kombinasi antara kekuatan, duktilitas dan ketangguhan yang tinggi. Dengan demikian, proses temper setelah proses pengerasan akan menjadikan baja lebih bermanfaat karena adanya struktur yang lebih stabil. Perubahan struktur selama proses temper Proses temper terdiri dari memanaskan baja sampai dengan temperatur di bawah temperatur A 1, dan menahannya pada temperatur tersebut untuk jangka waktu tertentu dan kemudian didinginkan di udara. Hasil penelitian menunjukkan

39 bahwa pada saat temperatur dinaikkan, baja yang dikeraskan akan mengalami 4 tahapan sebagai berikut (lihat gambar 2.51). 1. Pada temperatur antara 80 dan 200 O C, suatu produk transisi yang kaya karbon yang dikenal sebagai karbida, berpresipitasi dari martensit tetragonal (lihat gambar (2.52a) sehingga menurunkan tetragonalitas martensit atau bahkan mengubah martensit tetragonal menjadi ferit kubik (lihat gambar 2.52b). Periode ini disebut sebagai proses temper tahap pertama. Pada saat ini, akibat keluarnya karbon, volume martensit berkontraksi. Karbida yang terbentuk pada perioda ini disebut sebagai karbida epsilon. 2. Pada temperatur antara 200 dan 300 O C, austenit sisa mengurai menjadi suatu produk seperti bainit. Penampilannya mirip martensit temper. Perioda ini disebut sebagai proses temper tahap kedua. Pada tahap ini volume baja meningkat. 3. Pada temperatur antara 300 dan 400 O C terjadi pembentukan dan pertumbuhan sementit dari karbida yang berpresipitasi pada tahap pertama dan kedua. Perioda ini disebut sebagai proses temper tahap ketiga. Perioda ini ditandai dengan adanya penurunan volume dan melampaui efek yang ditimbulkan dari penguraian austenite pada tahap yang kedua. 4. Pada temperatur antara 400 dan 700 O C pertumbuhan terus berlangsung dan disertai dengan proses sperodisasi dari sementit. Pada temperatur yang lebih tinggi lagi, terjadi pembentukan karbida kompleks pada baja-baja yang mengandung unsur-unsur pembentuk karbida yang kuat. Perioda ini disebut sebagai proses temper tahap keempat.

40 Perlu diketahui bahwa rentang temperatur yang tertera pada setiap tahap proses temper, adalah spesifik. Dalam praktek, rentang temperatur tersebut bervariasi tergantung pada laju pemanasan, lama penemperan, jenis dan sensitivitas pengukuran yang digunakan. Di samping itu, tergantung juga pada komposisi kimia baja yang diproses. Pengaruh unsur-unsur paduan pada proses temper Jika baja dipadu, interval diantara tahapan proses temper dan bergeser kearah temperatur yang lebih tinggi, dan itu berarti martensit menjadi lebih tahan terhadap proses penemperan. Unsur-unsur pembentuk karbida, khususnya : Cr, Mo, W, Ti dan V dapat menunda penurunan kekerasan dan kekuatan baja meskipun temperatur tempernya dinaikkan. Dengan jenis dan jumlah yang tertentu dari unsur-unsur tersebut di atas, dimungkinkan bahwa penurunan kekerasan dapat terjadi pada temperatur antara 400 dan 600 O C, dan dalam beberapa hal, dapat juga terjadi peningkatan kekerasan. Gambar 2.53 menggambarkan fenomena yang tersebut di atas. Pengaruh unsur paduan terhadap penurunan kekerasan diterangkan dengan adanya kenyataan bahwa unsur-unsur paduan tersebut menunda adanya kenyataan bahwa unsur-unsur paduan tersebut menunda presipitasi karbon dari martensit pada temperatur temper yang lebih tinggi. Dilain pihak, peningkatan kekerasan pada temperatur temper yang lebih tinggi pada baja-baja yang mengandung W, Mo dan V disebabkan oleh adanya transformasi austenit sisa menjadi martensit. Baja perkakas paduan tinggi seperti baja hot-worked dan high speed, pada rentang temperatur O C, austenit sisa yang ada belum bertransformasi.

41 Tetapi pada penemperan sekitar O C, austenit akan terkondisikan dan ketika didinginkan, akan terbentuk martensit sekunder. Dengan adanya martensit seperti itu pada baja yang bersangkutan, proses penemperan tidak menghasilkan pelunakan yang berarti. Pengkondisian austenit tergantung pada waktu dan temperatur. Dengan adanya presipitasi karbida, kandungan karbon dan unsur paduan pada austenit akan menurun, sehingga meningkatkan temperatur pembentukan martensit. Pembentukan martensit dari austenit sisa bersama-sama dengan adanya presipitasi karbida akan menimbulkan peningkatan kekerasan yang merupakan ciri dari baja-baja paduan tinggi dan baja high speed. Pada baja high speed dan baja yang mengandung Cr yang tinggi, austenit sisa bertransformasi menjadi martensit pada saat didinginkan dari temperature temper sekitar 500 O C. Karena itu, baja seperti itu harus ditemper kembali dengan maksud untuk meningkatkan ketangguhan baja yang diproses akibat terbentuknya martensit sekunder pada saat ditemper. Peningkatan kekerasan sebagai akibat dari adanya transformasi austenite sisa menjadi martensit merupakan hal yang umum terjadi pada baja-baja paduan tinggi, namun sangat jarang terjadi pada baja-baja karbon dan baja paduan rendah karena jumlah austenite sisanya relatif sedikit. Sedangkan pada baja paduan tinggi jumlah austenit sisanya mencapai lebih dari 5-30%. Perubahan sifat mekanik Tempering dilaksanakan dengan cara mengkombinasikan waktu dan temperatur. Proses temper tidak cukup hanya dengan memanaskan baja yang dikeraskan sampai pada temperatur temper untuk jangka waktu tertentu. Proses

42 temper dikaitkan dengan proses difusi karena itu siklus penemperan terdiri dari memanaskan benda kerja sampai dengan temperatur di bawah A 1 dan menahannya pada temperatur tersebut untuk jangka waktu tertentu sehingga perubahan sifat yang diinginkan dapat dicapai. Jika temperatur temper yang digunakan relatif rendah maka proses difusinya akan berlangsung lambat. Baja karbon, baja paduan medium dan baja karbon tinggi, pada saat dipanaskan sekitar 200 O C kekerasannya akan menurun sekitar 1-3 HRC akibat adanya penguraian martensit tetragonal menjadi martensit lain (martensit temper) dan karbida epsilon. Peningkatan lebih lanjut temperatur tempering akan menurunkan kekerasan, kekuatan tarik dan batas luluhnya sedangkan elongasi dan pengecilan penampangnya meningkat. Harga impact berubah dengan pola yang agak berbeda. Penemperan diantara 250 dan 300 O C tidak direkomendasikan karena penemperan pada rentang temperatur tersebut akan menurunkan harga impactnya. Umumnya, makin tinggi temperatur temper, makin besar penurunan kekerasan dan kekuatannya dan makin besar pula peningkatan keuletan dan ketangguhannya. Kekerasan dan sifat mekanik baja 817M40 (BS) pada kondisi dikeraskan dan hasil proses temper sebagai fungsi dari ukuran batang ditabelkan pada tabel 2.6. Prosedur Penemperan Proses temper dapat dilakukan pada tungku dengan udara panas yang disirkulasikan, oil baths, tungu garam (dengan garam yang titik lelehnya rendah)

43 dan tungku vakum. Jika tungku dengan udara panas yang disirkulasikan yang digunakan, maka benda kerja yang dikeraskan dengan menggunakan tungku garam harus dibersihkan terlebih dahulu, disarankan dibersihkan dengan menggunakan air mendidih atau uap air. Jika benda kerja yang masih mengandung bekas-bekas garam dipermukaannya langsung diletakkan di dalam tungku, baik benda kerja maupun kumparan pemanas pada tungku akan mudah diserang korosi. Hal ini dapat dicegah seandainya penemperannya menggunakan tungku garam juga. Tungku garam yang digunakan untuk temper dapat juga digunakan untuk proses penemperan. Tungku temper harus dilengkapi dengan pengontrol temperatur yang otomatik dalam rentang 5 O C. Pada setiap proses penemperan perlu merujuk pada kurva temper yang sesuai sebagai panduan dalam menentukan temperatur temper. Kurva tersebut sebenarnya menunjukkan hasil rata-rata, namun dalam praktek selalu terjadi penyimpangan dari harga yang ditunjukkanya. Hal ini disebabkan karena : 1. Adanya variasi dari kondisi quench. 2. Waktu penahanan umumnya relative lebih lama dari yang ditentukan. 3. Adanya variasi dari komposisi kimia baja yang sejenis. 4. Ketidak tepatan pengukuran temperatur. Agar dicapai distribusi kekerasan yang homogeny pada benda kerja dan untuk mencegah penghilangan tegangan akibat proses pengerasan yang tidak merata yang dapat mengakibatkan timbulnya retak, maka laju pemanasan sampai ke temperatur yang diinginkan harus lambat. Hasil yang baik senantiasa diperoleh bilamana benda kerja dimasukkan ke dalam tungku yang menggunakan pemanas

44 udara yang bersirkulasi bebas pada temperatur yang diinginkan. Laju pemanasan yang terlalu cepat ke temperatur temper yang diinginkan akan mengakibatkan timbulnya retak akibat adanya peningkatan volume pada lapisan permukaan. Karena itu laju pemanasan yang tinggi harus dicegah. Laju perpindahan panas yang tercepat terjadi pada bak yang berisi timah hitam cair, agak cepat di dalam tungku garam dan oil bath dan sangat lambat pada tungku dengan pemanas udara. Sebagai contoh, untuk mencapai temperatur temper 200 O C pada benda kerja yang dikeraskan yang memiliki ukuran 0,40 mm x 80 mm memerlukan waktu sekitar satu jam di dalam tungku pemanas udara sedangkan jika udaranya disirkulasikan, maka waktu yang diperlukan adalah sekitar 40 menit. 30 Menit di dalam oil baths dan sangat cepat dalam bak yang berisi timah hitam cair. Tabel 2.1 menggambarkan perkiraan waktu yang diperlukan untuk memanaskan berbagai ukuran pahat sampai 400 O F (200 O C). Perlu diketahui bahwa sebelum dilakukan pengukuran waktu penemperan, harus disediakan waktu yang cukup agar temperatur terdistribusi secara uniform di seluruh benda kerja. Dari pengalaman diketahui bahwa efek penemperan hany terjadi jika waktu penahan relatif lama. Berdasarkan hal ini, untuk proses, penemperan tidak disarankan untuk menggunakan bak yang berisi timah hitam cair.

45 Ukuran benda kerja 0 ¾ x 2 0 1,5 x x x 12 Waktu yang diperlukan untuk memanaskan Pada tungku dengan pemanas udara 0,5 h 1 h 2 h 5 h Oil bath 0,5 h 0,5 h 1 h 2,5 h Pada tungku dengan pemanas udara yang disirkulasikan h Tabel 2.1 Perkiraan waktu Waktu yang diperlukan untuk penemperan bervariasi dari setengah jam sampai dengan 2 jam untuk setiap 10 mm ketebalan. Karena proses temper adalah proses presipitasi, maka waktu yang diperlukan pada temperatur temper yang relatif tinggi bercorde menit. Tetapi sekurang-kurangnya diperlukan waktu setengah sampai satu jam. Waktu yang lebih lama kadang-kadang diperlukan pada saat memproses benda kerja dipajan pada temperatur yang diinginkan untuk jangka waktu tertentu. Setelah waktu penemperan dilewati, perkakas yang diproses harus didinginkan dengan lambat di udara. Laju pendinginan yang terlalu cepat atau bahkan diquench dari temperatur tempernya akan menimbulkan tegangan yang besarnya dapat mendekati harga yang dicapai pada saat proses pengerasan. Dalam beberapa pabrik, biasanya digunakan HRC untuk memeriksa perkakas yang dikeraskan sebelum memutuskan temperatur temper yang dikaitkan dengan harga kekerasan yang diinginkan. Banyak data yang menunjukkan bahwa perkakas hasil pengerasan (hasil quench) menjadi retak pada saat handling. Karena itu perkakas yang demikian harus segera distemper pada temperature rendah agar kekerasannya tidak menurun di bawah harga yang diinginkan. Jika

46 karena berbagai sebab, tidak memungkinkan untuk segera menemper perkakas setelah proses quench, perkakas sebaiknya dimasukkan ke dalam tungku yang hangat sampai dengan waktu pelaksanaan proses temper tiba. Temperatur tungku harus berada di bawah temperatur temper. B. BAJA KARBON 1. DASAR-DASAR PERLAKUAN PANAS PADA BAJA KARBON Besi merupakan salah satu jenis logam yang sangat penting dan merupakan logam dasar pembentuk baja yang merupakan salah satu material teknik yang sangat popular dewasa ini. Sifat alotropik dari besilah yang menyebabkan timbulnya variasi struktur mikro pada berbagai jenis baja. Di samping itu, besi merupakan pelarut yang sangat baik bagi beberapa jenis logam lain. Pengertian alotropik adalah adanya transformasi dari satu bentuk susunan atom (sel satuan) ke bentuk susunan atom yang lain. Besi sangat stabil pada temperatur di bawah 910 O C dan disebut sebagai besi alfa (Fe ). Pada temperatur antara 910 dan 1392 O C besi dikenal dengan istilah besi gama (Fe ) dan pada temperatur di atas 1392 O C disebut sebagai besi delta (Fe ). Adanya fenomena alotropik dari besi merupakan suatu hal yang sangat penting dan mencakup dua bentuk susunan atom. Pada temperatur di bawah 910 O C susunan atomnya mengambil bentuk Kubus Pusat Badan (KBP atau BCC) seperti terlihat pada gambar 2.4. Mulai temperatur 910 O C akan terjadi perubahan susunan atom. Temperatur ini dikenal dengan sebutan titik A 3 seperti terlihat pada gambar 2.5. Di atas temperatur tersebut susunannya mengambil bentuk Kubus Pusat Muka (KPM atau FCC) seperti terlihat pada gambar 2.6. Jika proses

47 pemanasan dilanjutkan, bentuk susunan atomnya pada temperatur 1392 O C berubah kembali menjadi KBP lagi dan dikenal dengan sebutan besi delta. Pemanasan lebih lanjut menyebabkan getaran atom semakin besar sehingga pada temperatur 1536 O C gaya kohesif yang memelihara susunan atom tersebut tidak ada lagi dan besi menjadi cair. Pada saat membekukan besi cair ke temperatur kamar, maka akan terjadi transformasi yang urutannya kebalikan dari proses pemanasan. Pada temperatur kamar besi bersifat feromagnetik, sifat magnetiknya menurun dengan meningkatnya temperatur dan hilang sama sekali pada temperatur 769 O C yang umum dikenal sebagai titik A 2 atau titik Currie (lihat gambar 2.5) Gambar 1.2. menggambarkan kurva pendinginan dengan titik-titik kritiknya pada temperature : 769 (titik A 2 ), 910 (titik A 3 ), 1392 (titik A 4 ) dan 1536 O C sebagai titik cair dari besi murni. Titik yang lain adalah titik A 1 terletak pada temperatur 723 O C dan yang lain adalah titik A 1 terletak pada temperature 723 O C dan hanya tampak jika besi dipadu dengan karbon atau logam-logam lain. Perubahan susunan atom yang terjadi pada saat pemanasan atau pendinginan ditabelkan pada table 2.2. Di samping itu, table tersebut mendata juga temperaturtemperatur (disebut sebagai titik kritik) di mana terjadi perubahan fasa pada besi dan paduannya. Penambahan unsur paduan pada besi, khususnya karbon, memungkinkan membuat berbagai jenis baja yang jika dikombinasikan dengan berbagai jenis

48 metoda perlakuan panas akan menghasilkan sifat-sifat yang memadai untuk penggunaan yang tertentu. 2. DIAGRAM FASA BESI KARBON Kegunaan dari baja sangat tergantung pada sifat-sifatnya yang sangat bervariasi yang diperoleh melalui pemaduan dan penerapan proses perlakuan panas. Sifat mekanik dari baja sangat tergantung pada struktur mikronya. Sedangkan struktur mikro sangat mudah diubah melalui proses perlakuan panas. Beberapa jenis baja memiliki sifat-sifat yang tertentu sebagai akibat penambahan unsur paduan. Salah satu unsur paduan yang sangat penting yang dapat mengontrol sifat baja adalah karbon (C). Jika besi dipadu dengan karbon, transformasi yang terjadi pada rentang temperatur tertentu erat kaitannya dengan kandungan karbon. Berdasarkan hasil pemaduan antara besi dengan karbon, karbon berada di dalam besi dapat berbentuk larutan atau berkombinasi dengan besi membentuk karbida besi (Fe 3 C). Diagram yang menampilkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan yang lambat, dengan kadar karbon disebut diagram fasa. Diagram ini akan merupakan dasar pemahaman untuk semua operasi-operasi perlakuan panas. Gambar 2.7 menggambarkan diagram fasa besi- karbon untuk seluruh rentang paduan besi dengan karbon yang mencakup baja dan besi cor. Kadar karbonnya pada diagram tersebut bervariasi dari nol sampai 6,67%.

49 Gambar 2.8 menggambarkan jenis-jenis struktur mikro yang ada di setiap bagian pada diagram fasa besi karbon yang kerap muncul pada setiap pembahasan proses perlakuan panas pada baja. Baja adalah paduan besi dengan karbon sampai sekitar 1,7% (maksimum). Paduan besi dengan karbon di atas 1,7% disebut besi cor (Cast Iron). Karbon adalah unsur penyetabil austenit. Kelarutan maksimum dari karbon pada austenit adalah sekitar 1,7% (E) pada 1140 O C. Sedangkan kelarutan karbon apda ferit naik dari 0% pada 910 O C menjadi 0,025% pada 723 O C. Pada pendinginan lanjut, kelarutan karbon pada ferit menurun menjadi 0,08% pada temperatur kamar (lihat gambar 2.9). Seperti ditunjukkan oleh garis GS pada gambar 2.8, tampak bahwa jika kadar karbon meningkat maka transformasi austenit menjadi ferit akan menurun dan akan mencapai minimum pada titik S yaitu pada saat prosentase karbon mencapai 0,8% pada temperatur 723 O C. Titik ini biasa disebut sebagai titik eutektoid. Komposisi eutektoid dari baja merupakan titik rujukan untuk mengklasifikasikan baja. Baja dengan kadar karbon 0,8% disebut baja eutektoid. Sedangkan baja dengan kadar karbon kurang dari 0,8% disebut baja hypoeutektoid. Baja hypoeutektoid adalah baja-baja dengan kadar karbon lebih dari 0,8%. Titik-titik kritik sepanjang garis GS disebut sebagai garis A 3 sedangkan titik-titik kritik sepanjang garis PSK disebut sebagai garis A 1. Dengan demikian, setiap titik pada garis GS dan SE menyatakan temperatur dimana transformasi dari austenit dimulai baik pada saat dipanaskan maupun pada saat didinginkan.

50 Jika baja eutektoid (0,8%C) didinginkan dari temperatur austenitisasinya, maka pada saat mencapai titik-titik sepanjang garis tersebut akan bertransformasi menjadi suatu campuran eutektoid yang disebut Perlit. Jika baja hypoeutektoid didinginkan dari temperatur disepanjang batas butir austenit. Sebagai contoh, baja karbon dengan kadar karbon 0,4%, jika didinginkan dari temperatur austenitisasinya (titik a pada gambar 2.10), pada saat mencapai titik b, transformasi akan dimulai. Pada titik ini, pengintian ferit akan terjadi dibatas butir austenit dan mulai saat itu, paduan Fe-C memasuki daerah dua fasa. Jika pendinginan yang lambat tersebut diteruskan ke titik C ferit akan tumbuh. Pada 723 O C, struktur baja dititik C terdiri dari austenite (0,8%C) dan ferit (0,025%C). Karena kelarutan karbon diferit sangat rendah, maka pada saat pertumbuhan ferit akan disertai Pembungan karbon ke austenit yang masih tersisa sehingga fasa austenite menjadi semakin kaya dengan karbon. Pendinginan lanjut dari baja tersebut, pada saat melalui temperatur eutektoitnya (pada titik D), austenit yang tersisa akan bertransformasi menjadi suatu campuran ferit dan sementit yang berbentuk lamellar (serpih). Dengan demikian, baja dengan kadar karbon 0,4% pada titik D akan terdiri dari ferit dan Perlit. Perbandingan ferit terhadap Perlit sama dengan perbandingan ferit terhadap austenite dititik C. Pendinginan lebih lanjut sampai ke temperatur kamar tidak mempengaruhi struktur mikro yang sudah ada. Pada saat dipanaskan akan terjadi transformasi yang berlangsung kebalikannya dari apa-apa yang telah diuraikan di atas.

51 Jumlah Perlit yang ada pada setiap jenis baja sangat tergantung pada kadar karbonnya. Sebagai contoh, baja dengan 0,2%C akan memiliki sekitar 25% perlit, sedangkan baja dengan 0,4%C akan memiliki sekitar 50%. Struktur mikro dari baja hypoeutektoid hasil dari proses pendinginan yang lambat, ditunjukkan pada gambar Jika baja hypoeutektoid (lebih dari 0,8%C) didinginkan dari temperatur austenitisasinya, akan terjadi pemisahan sementit pada batas butir austenit di sepanjang garis SE (lihat gambar 2.12). Sebagai contoh, jika baja dengan 1,2%C diaustenisasi dan didinginkan perlahan-lahan dari titik G, pada saat mencapai titik H akan terjadi pemisahan sementit. Dengan adanya pembentukan sementit, kadar karbon di austenit akan berkurang dan penurunan kadar karbon tersebut terus berlanjut sampai mendekati temperatur 723 O C. Pada titik I, struktur baja akan terdiri dari campuran austenit (0,8%C) dan sementit (6,67%C) di mana sementitnya terbentuk di sepanjang batas butir austenit. Pendinginan lebih lanjut dari baja tersebut melalui temperatur eutektoidnya (pada titik J) akan mengubah seluruh austenit yang masih tersisa menjadi perlit. Dengan demikian setelah titik J, struktur baja 0,2%C akan terdiri dari perlit dan sementit dibatas butir perlit. Pendinginan lanjut sampai ke temperatur kamar tidak akan mengubah struktur mikro yang sudah ada. Struktur mikro dari baja-baja hypereutectoid hasil pendinginan yang lambat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan penjelasan seperti di atas, struktur baja karbon (tergantung pada kadar Cnya) hasil pendinginan yang lambat pada temperatur kamar akan terdiri dari :

52 a. Untuk 0,007 0,025%C, ferit. b. Untuk 0,025 0,8%C, ferit dan perlit c. Untuk 0,8 1,7%C, perlit dan sementit d. Untuk 1,7 4,4%C, perlit dan grafit (dengan perlakuan khusus) Dengan bantuan diagram fasa Fe-C, dimungkinkan untuk memilih temperatur pemanasan yang sesuai untuk setiap proses perlakuan panas baik proses anil, normal maupun proses pengerasan. Temperatur-temperatur di mana terjadi perubahan fasa padat ke fasa padat yang lain pada diagram fasa Fe-C disebut titik kritik dan dapat dilihat pada tabel PENGARUH UNSUR PADUAN TERHADAP DIAGRAM FASA Fe-C Penambahan unsur-unsur paduan terhadap paduan Fe-C akan berpengaruh terhadap batas-batas fasa sedemikian sehingga rentang transformasinya dapat menjadi kecil atau besar. Gambar 2.14 memperlihatkan adanya perubahan terhadap temperatur eutektoid akibat adanya peningkatan unsur-unsur paduan. Secara umum, adanya unsur paduan meningkatkan temperatur eutektoid kecuali Ni dan Mn. Gambar menunjukkan bahwa penambahan unsur-unsur paduan menurunkan juga prosentase karbon pada komposisi eutektoidnya. Sebagai contoh, pada baja karbon yang mengandung 5% Cr, titik eutektoidnya berada pada 0,5%C. Pengaruh Cr dan Mn ditunjukkan pada gambar dan Berdasarkan data-data ini maka temperatur A 1 akibat penambahan Mn menjadi turun sedangkan akibat penambahan Cr menjadi naik.

53 4. PENGARUH UNSUR-UNSUR PADUAN Bentuk dari kurva S dan C dipengaruhi oleh komposisi kimia baja. Hampir semua unsur paduan, kecuali CO, T i dan A 1 menggeserkan kurva diagram transformasi isothermal ke sebelah kanan dan ini berarti memperlambat awal transformasi dan menurunkan laju reaksi. Peningkatan kadar C sampai dengan titik eutektoid memperlambat reaksi transformasi ke perlit, tetapi setiap peningkatan lebih lanjut dari kadar C akan memperpendek waktu inkubasi dan mempercepat laju reaksi. Besar kecilnya pengaruh unsur paduan terhadap transformasi isothermal dari baja sangat tergantung pada jenis unsur paduannya. Sebagai contoh : Ni dan Mn memperlambat transformasi ke perlit dan bainit. Keberadaan Mo dan Cr sangat memperlambat transformasi ke perlit tetapi relatif sedikit pengaruhnya terhadap bainit. Unsur-unsur paduan tersebut juga meningkatkan awal terbentuknya perlit dan menurunkan transformasi ke bainit. Pengaruh unsur paduan seperti tersebut di atas akan menghasilkan diagram TTT yang memiliki daerah austenit di atas dua zone reaksi (lihat hambar 2.18) seperti terlihat pada baja-baja perkakas seperti HSS, baja hot-worked dan cold-worked. 5. TRANSFORMASI PADA PENDINGINAN YANG KONTINYU Informasi dari diagram TTT secara kuantitatif hanya berlaku untuk transformasi isothermal pada temperatur konstan. Dalam praktek, diagram TTT jarang digunakan karena pada kondisi perlakuan panas yang sebenarnya, proses transformasi terjadi pada proses pendinginan yang kontinyu. Karena itu diagram

54 TTT perlu dimodifikasi agar dapat digunakan pada proses pendinginan yang kontinyu. Diagram pendinginan yang kontinyu (diagram CCT, continuous cooling (transformation) mirip dengan diagram isothermal (diagram IT). Gambar 2.19 menunjukkan suatu diagram yang dimodifikasi dan menampilkan baik kurva isothermal maupun kurva pendinginan kontinyu (lihat juga gambar 1.18 dan 1.19 hal 98). Sebagai contoh : pada gambar 2.19, kurva B menyatakan specimen B didinginkan dengan laju pendinginan yang lambat seperti pada proses ahli. Kurva tersebut memotong kurva transformasi dari diagram TTT di B 1 dan B 2. Jika temperatur baja mencapai B 1 maka transformasi ke perlit akan dimulai dan jika temperaturnya mencapai B 2, seluruh austenit sudah bertransformasi ke perlit. Perlu diketahui bahwa perlit yang terbentuk sekitar titik B 1 akan lebih kasar dibanding perlit yang terbentuk sekitar titik B 2. Kurva C menyatakan laju pendinginan yang agak cepat seperti terjadi pada proses penormalan (normalizing). Kurva tersebut memotong kurva transformasi dititik C 1 dan C 2. Jika temperatur baja mencapai C 1, transformasi ke perlit akan dimulai dan lebih halus dibanding dengan perlit yang terbentuk di B 1. Pada saat mencapai titik C 2 transformasi ke perlit sudah selesai. Perlit yang terbentuk menjelang C 2 lebih halus lagi karena terbentuk pada temperatur yang lebih rendah. Kurva D menyatakan laju pendinginan yang relative lebih cepat dari sebelumnya. Kurva tersebut memotong kurva awal transformasi dititik D 1 dan

55 tidak memotong kurva yang menyatakan akhir transformasi. Ini berarti bahwa transformasi ke perlit dapat berlangsung tetapi tidak akan seluruh austenit bertransformasi ke perlit. Dengan perkataan lain, sejumlah volume tertentu dari austenit pada temperatur yang lebih tinggi akan bertransformasi ke perlit tetapi karena waktu yang tersebut tidak memungkinkan untuk terjadinya transformasi secara menyeluruh, maka volume austenit yang masih tersisa pada saat temperaturnya mencapai M S dititik D 2 akan bertransformasi ke martensit. Jadi baja yang didinginkan dengan laju pendinginan dengan laju pendinginan seperti itu, sebagian strukturnya adalah struktur yang keras (Martensit). Kurva G menyatakan laju pendinginan yang sangat cepat, yang dapat diperoleh dengan cara mencelupkan benda kerja ke dalam suatu medium pendingin (diquench). Baja yang didinginkan seperti itu tidak akan mengalami proses transformasi kecuali pada saat mencapai G 1. Pada temperatur tersebut austenit mulai bertransformasi ke Martensit. Gambar 2.20 dan 2.21 menggambarkan kurva CT untuk BS 708M40 dan AISI H STRUKTUR METALOGRAFI DAN KAITANNYA DENGAN SIFAT Baja dapat dilakukan panas agar diperoleh struktur mikro dan sifat yang diinginkan. Struktur mikro dan sifat yang diinginkan tersebut dapat diperoleh melalui proses pemanasan dan pendinginan pada temperatur tertentu. Jika permukaan dari suatu specimen baja disiapkan dengan cermat dan struktur mikronya diamati dengan menggunakan mikroskop, maka akan tampak bahwa baja tersebut memiliki struktur yang berbeda-beda. Jenis struktur yang ada sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia dari baja dan jenis perlakuan panas yang

56 diterapkan pada baja tersebut. Struktur yang aka nada pada suatu baja adalah ferit, perlit, bainit, martensit, sementit dan kerbida lainnya. a. FERIT Larutan padat karbon dan unsur paduan lainnya pada besi kubus pusat badan (Fe) disebut ferit. Ferit terbentuk pada proses pendinginan yang lambat dari austenit baja hypoeutektoid pada saat mencapai A 3. Ferit bersifat sangat lunak, ulet dan memiliki kekerasan sekitar BHN dan memiliki konduktifitas yang tinggi. Jika austenit didinginkan di bawah A 3, austenit yang memiliki kadar C yang sangat rendah akan bertransformasi ke ferit (yang memiliki kelarutan C maksimum sekitar 0,025% pada temperatur 723 O C). Gambar 1.20 menggambarkan struktur ferit dengan butir-butir yang berbentuk poligonal. b. SEMENTIT Sementit adalah senyawa besi dengan karbon yang umum dikenal sebagai karbida besi dengan rumus kimianya Fe 3 C (prosentase karbon pada sementit adalah sekitar 6,67%). Sel satuannya adalah ortorombik dan bersifat keras dengan harga kekerasannya sekitar HRC. Pada struktur hasil anil, karbida tersebut akan berbentuk bulat dan tertanam dalam matrik ferit yang lunak dan dapat berfungsi sebagai pemotong geram sehingga dapat meningkatkan mampu mesin dari baja yang bersangkutan. Keberadaan karbida-karbida pada baja-baja yang dikeraskan, terutama pada HSS dan baja cold-worked dapat meningkatkan ketahanan aus. Gambar memperlihatkan suatu struktur mikro yang terdiri dari sementit yang bulat dalam matriks ferit.

57 c. PERLIT Perlit adalah campuran sementit dan ferit yang memiliki kekerasan sekitar HRC. Jika baja eutektoid (0,8%C) diaustenisasi dan didinginkan dengan cepat ke suatu temperatur di bawah A 1 misalnya ke temperatur 700 O C dan dibiarkan pada temperatur tersebut sehingga terjadi transformasi isothermal, maka austenit akan mengurai dan membentuk perlit melalui proses pengintian (nukleasi) dan pertumbuhan. Perlit yang terbentuk berupa campuran ferit dengan sementit yang tampak seperti pelat-pelat yang tersusun bergantian (lihat gambar 2.23). Perlit yang terbentuk sedikit di bawah temperatur eutektoid memiliki kekerasan yang lebih rendah dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih banyak. Penurunan temperatur lebih lanjut waktu inkubasi yang diperlukan untuk transformasi ke perlit makin pendek dan kekerasan yang dimiliki oleh perlit lebih tinggi (lihat gambar 2.24). Pada baja hypoeutektoid (kadar karbonnya kurang dari 0,8%) struktur mikro baja akan terdiri dari daerah-daerah perlit yang dikelilingi oleh ferit. Sedangkan pada baja hipereutektoid (kadar karbonnya lebih dari 0,8%), pada saat didinginkan dari austenitnya, sejumlah sementit proeutektoid akan terbentuk sebelum perlit dan tumbuh dibekas batas butir austenit. d. BAINIT Bainit adalah suatu fasa yang diberi nama sesuai dengan nama penemunya yaitu E.C. Bain. Bainit merupakan fasa yang kurang stabil (mestabil) yang diperoleh dari austenit pada temperatur yang lebih rendah dari temperatur transformasi ke perlit dan lebih tinggi dari temperatur transformasi ke perlit dan

58 lebih tinggi dari temperatur transformasi ke Martensit. Sebagai contoh, jika baja eutektoid yang diaustenisasi didinginkan dengan cepat ke temperatur sekitar O C dan dibiarkan pada temperatur tersebut, hasil transformasinya adalah berupa struktur yang terdiri dari ferit dan sementit tetapi bukan perlit. Struktur tersebut dinamai bainit. Kekerasannya bervariasi antara HRC tergantung pada temperatur transformasinya. Ditinjau dari temperatur transformasinya, jika terbentuk pada temperatur yang relatif tinggi disebut Upper Bainite sedangkan jika terbentuk pada temperatur yang lebih rendah disebut sebagai Lower Bainite. Struktur upper bainite seperti perlit yang sangat halus sedangkan lower bainite menyerupai martensit temper. e. MARTENSIT Martensit adalah fasa yang ditemukan oleh seorang metalografer yang bernama A. Martens. Fasa tersebut merupakan larutan padat dari karbon yang lewat jenuh pada besi alfa sehingga latis-latis sel satuannya terdistorsi. Sifatnya sangat keras dan diperoleh jika baja dari temperatur austenitnya didinginkan dengan laju pendinginan yang lebih besar dari laju pendinginan kritiknya. Dalam paduan besi karbon dan baja, austenit merupakan fasa induk dan bertansformasi menjadi martensit pada saat pendinginan. Transformasi ke martensit berlangsung tanpa difusi sehingga komposisi yang dimiliki oleh martensit sama dengan komposisi austenit (Gambar 2.7 dan 2.8) sesuai dengan komposisi paduannya. Sel satuan martensit adalah Tetragonal pusat badan (Body Center Tetragonal / BCT). Atom karbon dianggap menggeser latis kubus menjadi tetragonal. Besarnya tetragonalitas yang terjadi dapat dijelaskan dengan gambar

59 2.25. Kelarutan karbn dalam BCC menjadi lebih besar jika terbentuk martensit, dan hal inilah yang menyebabkan timbulnya tetragonalitas (BCT). Makin tinggi konsentrasi karbon, makin banyak posisi interstisi yang tersisi sehingga efek tetragonalitasnya makin besar. Pada gambar parameter latis diplot sebagai fungsi dari kadar karbon baik dalam austenit maupun dalam martensit. Dari gambar tersebut terlihat bahwa parameter latis bervariasi secara linier dengan kadar karbon. Pada martensit, dengan menaiknya kadar karbon, parameter di sumber C juga meningkat sedangkan parameter lainnya yang berhubungan dengan kedua sumbu lainnya (parameter a) menurun. Parameter kubus kepunyaan austenit meningkat dengan menaiknya kadar karbon. Pembentukan martensit, berbeda dengan pembentukan perlit dan bainit, dan secara umum tidak tergantung pada waktu. Dari diagram transformasi terlihat martensit mulai terbentuk pada temperatur M S (lihat gambar 2.24). Jika pendinginan dilanjutkan, austenit akan bertransformasi ke martensit. Makin rendah temperaturnya, makin banyak austenit yang bertransformasi ke martensit dan pada titik M f pembentukan martensit berakhir. Pada contoh ini, martensit mulai terbentuk pada temperatur sekitar 200 O C (M S ) dan berakhir pada temperatur sekitar 29 O C yaitu pada saat martensit hamper mencapai 100%. Bahwa pembentukan martensit tidak tergantung pada waktu dijelaskan dengan adanya garis horizontal pada diagram TTT/CCT. Pada 100 O C, sekitar 90% martensit telah terbentuk dan perbandingan ini tidak akan berubah terhadap waktu sepanjang temperaturnya konstan.

60 Awal dan akhir dari pembentukan martensit sangat tergantung pada komposisi kimia dari baja dan cara mengaustenisasi. Pada baja karbon, temperatur awal dan akhir dari pembentukan martensit (M S dan M f ) sangat tergantung pada kadar karbon seperti terlihat pada gambar Makin tinggi kadar karbon suatu baja makin rendah temperatur awal dan akhir dari pembentukan martensit. Dari gambar tersebut terlihat bahwa untuk baja dengan kadar karbon lebih dari 0,5%, transformasi ke martensit akan selesai pada temperatur di bawah temperatur kamar. Dengan demikian, jika kadar karbon melampaui 0,5%, maka pada temperatur kamar akan terdapat martensit dan austenit sisa. Makin tinggi kadar karbon, pada baja akan makin besar jumlah austenit sisanya. Austenit yang belum sempat bertransformasi menjadi martensit disebut sebagai austenit sisa. Untuk mengkonversikan austenite sisa menjadi martensit, kepada baja tersebut harus diterapkan proses subzero (subzerro treatment). Di samping karbon, unsur-unsur seperti Mn, Si, Ni, Cr, Mo dan W juga menggeserkan temperatur M S. Penurunan titik M S sebanding dengan jumlah unsur yang larut dalam austenit (lihat gambar 2.28). Dari semua unsur tersebut di atas terlihat bahwa karbon yang memberi pengaruh lebih besar terhadap penurunan temperatur M S. Struktur martensit tampak seperti jarum (lihat gambar 2.29) atau pelat-pelat halus. Halus kasarnya pelat atau jarum tergantung pada ukuran butir dari austenit. Jika butir austenitnya besar maka martensit yang akan diperoleh menjadi lebih kasar. Pembentukan martensit diiringi juga kenaikan volume spesifik sekitar 3%. Hal inilah yang menyebabkan mengapa timbul tegangan pada

61 saat dikeraskan. Tegangan yang terjadi dapat menimbulkan distorsi dan bahkan dapat menyebabkan timbulnya retak. Penyebab tingginya kekerasan martensit adalah karena latis besi mengalami regangan yang tinggi akibat adanya atom-atom karbon. Berdasarkan hal ini, kekerasan martensit sangat dipengaruhi oleh kadar karbon. Kekerasan martensit berkisar antara HRC (lihat gambar 2.30). Makin tinggi kadar karbon dalam martensit, makin besar distorsi yang dialami oleh latis besi di dalam ruang dan mengakibatkan makin tingginya kekerasan martensit. f. KARBIDA Unsur-unsur paduan seperti karbon, mangan, chrom, wolfram, molibden dan vanadium banyak digunakan pada baja-baja perkakas (seperti pada baja coldworked, baja hot-worked dan HSS) untuk meningkatkan ketahanan baja tersebut terhadap keausan dan memelihara stabilitas baja tersebut pada temperatur tinggi. Keberadaan unsur paduan tersebut pada baja akan menimbulkan terbentuknya karbida-karbida seperti : M 3 C, M 23 C 6, M 6 C, M 7 C 3 dimana M menyatakan atomatom logam sedangkan C menyatakan kadar karbon. Karbida-karbida ini memiliki kekerasan yang sangat tinggi (lihat gambar 2.31) sehingga dapat meningkatkan ketahanan aus dari baja perkakas yang bersangkutan sebanding dengan volume karbida di dalam baja dan harga kekerasan dari karbida yang bersangkutan. Gambar 2.31 menggambarkan harga-harga kekerasan dari berbagai jenis karbida. Tabel 2.4 menggungkapkan pengelompokkan dan sifat-sifat karbida yang ada pada suatu baja perkakas.

62 Banyaknya karbida yang ada pada suatu baja perkakas tergantung pada prosentase karbon dan unsur paduan serta tergantung pada jenis karbida yang akan terbentuk. Pada baja hypereutektoid yang sudah dikeraskan, keberadaan karbida adalah sekitar 5-12% sedangkan pada struktur yang dianil, jumlah tersebut akan bertambah banyak. Pada saat diaustenisasi, karbida-karbida ini akan memperkaya austenite dengan karbon dan unsur-unsur paduan. Unsur paduan yang memperkaya austenite seperti : Cr, W, Mo atau V akan menciptakan kondisi yang dapat mempermudah terbentuknya presipitasi karbida-karbida pada saat dikeraskan maupun pada saat distemper. Kondisi seperti itu dapat meningkatkan stabilitas termal dari baja yang bersangkutan dan juga meningkatkan kekerasan sekitar 3-5 HRC. Jenis Karbida Bentuk Sel Satuan Keterangan M 3 C M 7 C 3 Orthorombik Heksagonal Karbida jenis ini disebut sementit, Mnya dapat berupa : Fe, Mn, Cr dengan sedikit W, Mo, V. Banyak dijumpai pada baja Cr. Tahan terhadap disosiasi pada temperatur tinggi, keras dan terhadap abrasi. M 23 C 6 M 6 C M 2 C FCC FCC Heksagonal Banyak dijumpai pada saat menemper HSS. Terdapat pada baja Cr tinggi dan semua jenis HSS. Karbida yang kaya akan W atau Mo. Mungkin juga mengandung Cr, V, Co. Terdapat pada semua jenis HSS, tahan terhadap abrasi. Karbida yang kaya dengan W atau Mo dari type W 2 C. Muncul setelah MC FCC distemper. Karbida yang kaya dengan V, tidak mudah mengurai. Tabel 2.2 Klasifikasi dan sifat umum karbida didalam suatu baja perkakas

63 Karbida semenit, adalah karbida besi, simbolnya M 3 C, terdapat disemua jenis baja. Kekerasannya berkisar antara 910 dan 1050 HV tergantung pada kondisi pembentukannya. Karbida Chrom kompleks M 23 C 6, (Cr, Fe,Mo,W,V) 23 C 6 : Karbida seperti ini akan ada pada baja dengan kadar Chrom lebih dari 3-4% dan kadar C kurang dari 0,8-1%. Kekerasannya bervariasi antara 1000 dan 1100 HV. Ketika diaustenisasi pada temperatur sekitar C, karbida-karbida tersebut akan memperkaya austenit dengan V, Mo, dan W. Pada HSS yang memiliki temperatur pengerasan yang tinggi, M 23 C 6 seluruhnya akan larut sedangkan pada jenis baja yang lain, sebagian karbida tidak larut. Karbida Chrom kompleks M 7 C 3, (Fe, Cr,Mo,W,V) 7 C 3 : Karbida seperti ini akan ada pada baja yang mengandung Chrom lebih dari 3-4% dan C lebih dari 0,8-1,1%. Kekerasannya sekitar HV. Karbida M 7 C 3 memperkaya austenite dengan Cr, V, Mo, dan W pada temperature pengerasan sekitar C. Keberadaan karbida ini dapat meningkatkan ketahanan aus dan stabilitas termal. Kabida W-Mo kompleks (W,Mo,Cr,V) 6 C : merupakan karbida utama yang ada pada semua jenis baja HSS dan Hot-worked. Kekerasannya bervariasi antara HV. Larut dalam austenit pada rentang temperatur sekitar C. Baja yang mengandung karbida tersebut akan memiliki ketahanan aus yang tinggi. Pada saat ditemper pada temperatur sekitar C, karbida ini akan terbentuk hasil tarnsformasi dari fasa karbida lainnya.

64 Karbida Vanadium (MC) : Karbida ini memiliki kekerasan yang sangat tinggi (sekitar 2000HV) sehingga mampu meningkatkan ketahanan aus dari baha yang bersangkutan. Larut dalam austenite pada temperature sekitar C maksimum 1,5-2%. 7. PENGARUH UNSUR PADUAN Sifat mekanik yang diperoleh dari pross perlakuan panas terutama tergantung pada komposisi kmia. Baja merupakan kombinasi Fe dan C. Di samping itu, terdaapat juga beberapa unsur yang lain seperti Mn, P, S dan Si yang senantiasa ada meskipun hanya sedikit. Baja yang hanya mengandung C tidak akan memiliki sidat seperti yang diinginkan. Penambahan unsur-unsur paduan seperti Mn, Ni, Cr, Mo, V, W dan seterusnya baik masing-masing maupun secara kombinasi dapat menolong untuk mencapai sifat-sifat yang diinginkan. Pengaruh dari penambahan unsur paduan spesifikasi terhadap sifat baja diuraikan sebagai berikut : a. Karbon C adalah unsur pengeras yang utama pada baja. Jika berkombinasi dengan besi akan membentuk Karbida Fe 3 C atau semenit yang sifatnya keras. Penambahan lebih lanjut akan meningkatkan kekerasan dan kekuatan tarik baja diiringi dengan penurunan harga impactnya. Jika kadar karbon meningkat sampai diatas 0,85% kekuatannya cenderung akan turun meskipun kekerasan relative tetap. Pada saat diquench, kekerasan maksimum yang dicapai sebanding dengan peningkatan kadar karbon, namun di atas 0,6% laju kenaikan kekerasannya menjadi kecil (lihat gambar 1.28). Untuk baja konstruksi, kadar karbonnya

65 bervariasi antara 0,1 0,6% sedangkan untuk baja karbon perkakas kadar karbonnya berkisar antara 0,5-1,4%. Pada baja Case Hardening (permukaannya saja yang dikeraskan), kadar karbonnya berkisar antara 0, %. b. Mangan Unsur ini senantiasa ada pada seluruh jenis baja komersil. Berperan dalam meningkatkan kekuatan dan kekerasan, menurunkan laju pendinginan kritik sehingga mampu keras baja dapat ditingkatkan dan juga meningkatkan ketahan terhadap abrasi. Baja dengan kadar karbon yang tinggi (di atas 0,8%) disebut baja paduan mangan. Baja paduan mangan sangat rentan terhadap over heating karena butirnya mudah menjadi kasar. Keberadaan unsur mangan dapat memperbaiki kualitas permukaan karena mangan dapat meningkat belerang sehingga memperkecil terbentuknya sulfide besi yang dapat menimbulkan Hot shortness atau kerentanan terhadap timbulnya retak pada saat dikerjakan panas. Baja mangan banyak digunakan untuk pegas, Sambungan rel KA, Crusher dan komponen Dredger. Pada baja Hadfield, kandungan mangan sekitar 12% dan pada baja tahan karat keberadaan Mn dikombinasikan dengan Cr dan Ni. c. Silikon Si dan Mn adalah unsur-unsur yang selalu ada pada baja. Keberadaan Si pada baja-baja konstruksi maksimum 0,35%. Si menaikkan kekerasan dan elastisitas tetapi menurunkan kekuatan tarik dan keuletannya. Jika dikeraskan dan ditemper, baja silicon akan memiliki kekuatan yang tinggi disertai keuletan dan ketahanan terhadap beban yang tiba-tiba yang baik. Digunakan pada baja dengan

66 hysteresis yang rendah, baja pegas serta sebagai material tahan asam pada industry petrokimia. d. Chrom Cr merupakan unsur paduan yang penting setelah C. dapat membentuk karbida (tergantung pada jenis perlakuan yang diterapkan dan kadarnya). Cr ada pada baja-baja konstruksi dan pada baja-baja perkakas grade yang tinggi. Cr juga merupakan salah satu unsur paduan utama pada HSS. Cr meningkatkan temperatur austenisasi. Pada jenis baja tahan karat dan baja tahan panas, Cr meningkatkan ketahanan korosi karena Cr dapat membentuk lapisan oksida Cr dipermukaan baja. Cr terutama digunakan untuk meningkatkan mampu keras baja, kekuatan tarik, ketangguhan dan ketahanan abrasi. e. Nikel Nikel merupakan salah satu unsur paduan yang penting untuk meningkatkan kekuatan dan ketangguhan baja dengan cara mempengaruhi proses transformasi fasa. Jika berada dalam jumlah yang memadai, Ni dapat memperbaiki sifat mekanik. Jika jumlah Ni relatif banyak, maka austenite pada baja akan stabil sampai ditemperatur kamar. Ni menurunkan temperatur eutektoid baja bahkan dapat menurunkan sampai ke temperatur yang efektif untuk proses quench. Ni tidak membentuk karbida dan tidak berpengaruh terhadap kekerasan. Ni memperbaiki ketahanan korosi. Baja paduan Nikel digunakan sebagai material konstruksi dan teknik (misalnya jembatan) dengan kadar Ni sekitar 2-4%, komponen mesin dan baja Case Hardening.

67 f. Molibden Untuk setiap unit yang ditambahkan, Mo sangat besar sekali pengaruhnya terhadap mampu keras dibanding dengan unsur paduan lainnya (kecuali Mn). Akibat penambahan Mo, dalamnya pengerasan dari baja meningkat karena laju pendinginan kritiknya menjadi turun. Jika berkombinasi dengan unsur paduan lainnya, akan meningkatkan ketangguhan dan ketahan mulur dan juga meningkatkan ketahanan baja pada temperatur tinggi. Keberadaan Mo dapat menurunkan kerentanan terhadap temper embrittlement pada baja. Temper embrittlement pada baja sering terjadi pada baja-baja Ni Cr pada saat didinginkan dengan laju pendinginan yang tinggi dari temperatur temperingnya. Pada baja perkakas, Mo seperti halnya W, terutama digunakan pada baja Hot- Worked dan HSS. Mo dapat membentuk karbida sehingga dapat meningkatkan ketahanan terhadap keausan, meningkatkan ketangguhan dan kekuatan pada temperatur tinggi. Baja yang dipadu dengan Mo digunakan pada baja konstruksi untuk maksud Case Hardening, dan digunakan juga pada HSS dan baja tahan karat. g. Wolfram W membentuk karbida kompleks. Baja paduan W memiliki kekerasan yang tinggi, tahan abrasi, kekuatan dan kekerasan pada temperatur tinggi yang baik. W juga menyebabkan transformasi austenit ke martensit menjadi lambat dan dapat memperlambat pertumbuhan butir. Baja paduan W tidak rentan terhadap over heating. Pada baja-baja austenitik Cr-Ni, penambahan W dapat menaikkan batas mulurrnya.

68 Baja paduan W digunakan di HSS, baja-baja perkakas. Baja hot-worked, baja magnet, katup-katup dan baja-baja tahan karat. h. Vanadium Pada baja-baja konstruksi, vanadium menaikkan kekuatan tarik dan batas mulur serta memperbaiki rasio diantara kekuatan tarik dan mulur. V merupakan unsur pembentuk karbida yang kuat dan karbida yang terbentuk sifatnya sangat stabil. Dengan penambahan sekitar 0,04 0,05% mampu keras baja karbon medium dapat ditingkatkan. Di atas harga tersebut, mampu kerasnya menurun karena adanya pembentukan karbida yang tidak larut. Jika diperlukan temperatur austenisasi yang lebih tinggi maka perlu ditambahkan V. Karena sifatnya yang mudah membentuk karbida, maka V banyak digunakan pada baja-baja perkakas. V meningkatkan kekerasan pada temperatur tinggi (hot hardness) dan jika berada dalam jumlah yang cukup pada baja perkakas, maka ketahanan aus baja tersebut akan meningkat. V bersama-sama dengan Cr, Ni dan Mo sering digunakan pada baja-baja konstruksi yang menerima tegangan yang tinggi. Juga dipergunakan sebagai material untuk punching dan blanking dies, cold-worked dan forming dies serta pada HSS.

69 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6

70 Gambar 2.7 Gambar 2.8

71

72 Gambar 2.12 Gambar 2.13 Gambar 2.14 Gambar 2.15

73 Tabel 2.2 Gambar 2.16 Gambar 2.17

74 Gambar 2.24 Gambar 2.24 Gambar 2.18 Gambar 2.19

75

76 Gambar 2.25 Gambar 2.26 Gambar 2.27 Gambar 2.28

77 Gambar 2.29 Gambar 2.30 Gambar 2.31

78

79

80

81

82 C. Baja SAE 9245 ( Spring steel ) Pegas merupakan salah satu suku cadang alat transportasi yang mempunyai peranan sangat penting, Dalam hal ini agar dapat berperan dengan baik sebagai fungsinya diperlukan desain dan perencanaan yang tepat didalam proses produksinya, sehingga dapat memenuhi standart atau spesifikasi yang telah ditetapkan. Salah satu faktor yang sangat penting diperhatikan adalah material atau bahan yang akan dipakai didalam pembuatan pegas spiral (coil). SAE 9254 memiliki tetangguhan yang cukup tinggi cocok dengan karakter spring spiral (coil). Tabel. Chemical Composition material,berdasarkan JIS G 4801 : 2005 Designation of grade SUP 6 SUP 7 SUP 9 SUP 9A SUP 10 SUP 11A C Si Mn P ( ' ) S ( ' ) Cr Mo V B % % % % % % % % % ,030 0, to to to 0,64 1,80 1,00 max max 0.56 to 1.80 to 0.70 to 0,64 2,20 1,00 max max 0.52 to 0.15 to 0.65 to 0,030 0, ,030 0, to 0,60 0,35 0,95 max max 0, to 0.15 to 0.70 to 0,030 0, to 0,64 0,35 1,00 max max 1, to 0.15 to 0.65 to 0,030 0, to to 0,55 0,35 0,95 max max 1,10 0, to 0.15 to 0.70 to 0,030 0, to - - 0,0005 0,64 0,35 1,00 max max 1,00 min -

83 SUP 12 / SAE 9254 SUP to 1.20 to 0.60 to 0,030 0, to 0,59 1,60 0,90 max max 0, to 0.15 to 0.70 to 0,030 0, to to 0,64 0,35 1,00 max max 0,90 0, Table 2.3 composition materal SAE 9254 menurut JIS 4801 : 2005 D. Heating Furnace Dalam industri pembuatan spring dibutuhkan suatu peralatan untuk pemanas material yang disebut dapur. Dapur adalah alat yang berfungsi untuk memindahkan panas yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar dalam suatu ruangan ke material yang dipanaskan melalui pipa-pipa pembuluh yang berada di sekitar ruang pembakaran dapur tersebut. Tujuan dari pemindahan panas hasil pembakaran ke material yang dipanaskan tersebut adalah agar dicapai kondisi operasi (suhu) yang diinginkan oleh proses berikutnya dalam suatu peralatan lain atau langsung sebagai produk jadi. Dapur merupakan struktur bangunan berdinding plat baja yang bagian dalamnya di lapisi oleh material batu bahan api, batu isolasi untuk menahan kehilangan panas ke udara melalui dinding dapur. Dapur akan dapat beroperasi dengan efisien yang tinggi bila : 1. Terjadi reaksi pembakaran yang sempurna. 2. Panas pemabakaran bahan bakar dapat diterima dengan merata oleh material 3. Udara berlebih yang optimum. 4. Permukaan luar/dalam dari pipa-pipa pembuluh dalam keadaan bersih.

84 5. Memperkecil panas yang hilang lewat dinding dapur. 6. Mengoptimalkan panas yang hilang lewat gas asap. Gambar 2.32 Heating furnace Type HTH 1, Supplier TAIHO E. Proses pembuatan pegas spiral (coil spring) Proses pembuatan pegas spiral pada dasrnya juga berdasarkan atas hal-hal tersebut diatas. Dengan menggunakan baja SAE9254 yang memang khusus dirancang untuk aplikasi pegas, diperlukan proses yang benar dan tepat untuk mendapatkan pegas yang memiliki kekuatan untuk dapat menerima beban yang berfluktuasi. Berikut adalah flow proses pembuatan spring spiral di PT. Indospring Tbk. Gresik

85 Gambar 2.33 Flow Proses Hot Coil Spring

86 F. PENGUJIAN LOGAM 1. Syarat-syarat kualitas logam sebagai bahan teknik. Logam merupakan salah satu bahan yang sangat penting dan paling banyak digunakan dalam memenuhi berbagai kebutuhan bahan teknik. Hal ini dikarenakan berbagai keunggulan dari sifat logam yang hampir semua sifat bahan produk dapat dipenuhi oleh sifat logam, disamping logam yang dapat diperbaiki sifat-sifatnya sesuai dengan kebutuhan sifat produk yang diinginkan. Keberagaman sifat dan karakteristik produk itulah maka logam dibentuk sedemikian rupa sebagai bahan baku (raw materials) dengan berbagai spesifikasi dan komposisi serta cara perbaikan sifatnya yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa kualitas suatu produk ditentukan oleh terpenuhinya berbagai sifat yang disyarat oleh produk itu sendiri, dan diantara syarat kualitas tersebut antara lain, syarat fungsional dan syarat mekanis. Syarat fungsional akan didukung oleh syarat dimensional geometris, serta syarat estetis, sedangkan syarat mekanis akan didukung oleh kualitas physic. a. Kualitas fungsional Kualitas fungsional merupakan syarat kegunaan apakah suatu produk itu dapat memenuhi syarat dalam fungsi dan kegunaannya, apakah sebagai komponen, atau sebagai konstruksi rakitan. Kesesuaian ini akan ditentukan oleh kesesuaian bentuk serta ukuran sesuai dengan syarat ukuran atau syarat dimensional geometris yang direncanakan, jika produk itu berupa komponen, maka komponen ini akan dirakit sesuai dengan komponen lain sebagai pasangannya. Dan sudah barang

87 tentu dalam perencanaan sebuah produk factor estetika juga menjadi pertimbangan, sehingga ada perpaduan yang serasi antara seni dan Teknologi. b. Kualitas Mekanik Kualitas mekanis merupakan syarat kualitas produk yang berhubungan dengan kekuatan atau ketahanan produk tersebut, apakah sebagai komponen atau sebuah konstruksi rakitan dari berbagai komponen, untuk menerima pembebanan pada beban dengan besar dan arah tertentu, kadang-kadang Kualitas Mekanis menjadi syarat utama karena sifat mekanis bahan ini akan mendukung pula kepada sifat fungsional dari produk yang telah disebutkan. Keragaman fungsi dan dimensional produk ini menjadikan beragam pula syarat mekanik yang harus dipenuhi karena akan beragam pula gaya dan arah gaya yang harus ditopang oleh produk tersebut, seperti : tarik, geser, puntir, lengkung dan lain-lain dengan kondisi physic yang baik, artinya tidak terdapat cacat, baik cacat luar seperti keretakan ataupun cacat dalam seperti keropos dan lain-lain. Berbagai persyarat kualifikasi produk tersebut merupakan faktor-faktor penting yang harus diperhatikan dalam pelayanannya dan harus dilakukan sebelum, selama dan setelah proses produksi itu dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa produk yang dihasilkan memenuhi kualitas persyaratan yang telah ditentukan. Pada Industri manufaktur biasanya terdapat sebuah departemen tertentu yang menangani hal ini yakni Dept. Quality Assurance (QA) didalamnya terdapat pengendalian mutu yang disebut Quality Control (QC), dengan lingkup kerja antara lain pengendalian mutu bahan baku yang dilakukan sejak bahan tersbut diterima (incoming materials) ; apakah material yang diterima sesuai dan

88 memenuhi syarat yang ditentukan dan lain-lain, pengendalian proses produksi yakni pemeriksaan selama proses produksi, untuk memeriksa apakah proses produksi sudah sesuai dengan standard operasional prosedure (SOP) yang telah ditentukan, termasuk diantaranya penanganan alat ukur dan kalibrasi alatalat ukur yang digunakan untuk pengendalian kualitas dimensional geometris memastikan bahwa alat ukur yang digunakan tersebut memenuhi standar pengukuran yang berlaku, sehingga hasil ukur dari produk yang dihasilkan berada pada ukuran yang dikehendaki. Proses ini merupakan rangkaian proses produksi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dan merupakan upaya pelayanan dan pengendalian mutu produk sesuai dengan kebutuhan konsumen. c. Sifat mekanik (Mechanical properties) Sifat mekanik bahan ialah sifat yang berhubungan dengan kekuatan suatu bahan dalam menerima berbagai aspek pembebanan, sifat-sifat ini antara lain meliputi ; kekerasan; tegangan terhadap penarikan (tegangan tarik), tegangan puntir, tegangan geser, tegangan lengkung, kerapuhan (keuletan), rambat (creep), lelah (fatigue). Sifatsifat inilah yang dimiliki oleh bahan dalam pemakainnya, namun demikian seberapa besar dan seberapa lama bahan tersebut dapat mempertahankan sifatsifat yang dimiliki oleh bahan yang akan digunakan sebagai bahan teknik ini, harus diketahui terlebih dahulu agar bahan yang dipilih dapat kualitas serta mutu yang disyaratkan. Berbagai sifat mekanik seperti yang disebutkan, untuk sebuah produk sebenarnya tidak ada yang berdiri sendiri bahkan dengan sifat yang lain seperti sifat physic,

89 sifat kimia. Tidak diperlukan alasan suatu produk tidak mampu menerima pembebanan yang disyaratkan, tetapi bagaimana upaya maximal agar produk mampu menerima pembebanan yang disyaratkan, oleh karena itu berbagai aspek Quality Assurance harus diterapkan dalam proses produksi. 2. Pengujian Sifat mekanik a. Kekerasan (Hardness) Secara umum semua sifat mekanik dapat terwakili oleh sifat kekerasan bahan, orang berasumsi bahwa yang keras itu pasti kuat, sehingga jika dibutuhkan bahan yang kuat, maka pilih bahan yang keras ini merupakan pernyataan yang keliru, bahwa ada suatu bahan yang memiliki kesebandingan antara kekerasan dengan kekuatan itu benar tetapi ada juga sifat yang justru perbandingannya terbalik bahwa bahan yang keras akan rapuh. Oleh karena itu diperlukan definisi yang spesifik antara kekerasan dengan kekuatan kendati masing-masing memilki korelasi. Pada dasarnya semua jenis bahan memiliki prilaku dan reaksi yang sama dalam menerima pembebanan atau sebuah gaya, apapun bentuk gayanya, dimana gaya merupakan sebuah aksi terhadap suatu benda yang mengakibatkan sebuah reaksi bagi benda itu sendiri. Kekerasan merupakan sebuah reaksi dari suatu material atau bahan sampai batas mana bahan itu dapat mempertahankannya, akan tetapi gaya macam apa yang bekerja sehingga kekerasan tersebut dapat didefinisikan. Jika kita melihat kembali reaksi suatu bahan dalam menerima pembebanan atau gaya tertentu prilaku idealnya terdiri dari melawan,

90 bertahan, dan kalah. Sebenarnya dalam pemilihan bahan yang memenuhi syarat sebagai bahan produk ialah bahan yang pada posisi melawan walaupun harus diketahui batas kalahnya. Pada bahan produk perilaku ini ditandai dengan adanya fase-fase perubahan bentuk atau deformasi, misalnya batang lurus menjadi bengkok saat pembebanan yang kembali lurus jika beban dilepaskan, bahan yang pendek menjadi panjang pada saat dibebani, dan kembali pendek setelah beban dilepaskan, bahan yang rata menjadi cekung pada saat dibebabani dan kembali rata setelah beban dilepaskan dan sebagainya, phase ini yang disebut deformasi elastis, namun ada pula bahan yang lurus menjadi bengkok pada saat dibebani dan tetap bengkok walaupun beban dilepaskan, bahan yang pendek menjadi panjang pada saat dibebani dan masih tetap panjang walaupun beban itu dihilangkan, demikian pula pada bahan yang rata menjadi cekung saat dibebani dan tetap cekung walaupun beban telah dilepaskan ini yang disebut deformasi Plastis. Tetapi terjadi pula sebauah bahan dibebani menjadi putus atau menjadi pecah. Fase-Fase ini sebenarnya terjadi pada bahan yang mengalami pembebanan akan tetapi tingkat pembebanan ini akan mengakibatkan reaksi Fase yang berbeda. Oleh karena itu dalam penentuan kekerasan logam ada juga yang mendefinisikan kekerasan ini berdasarkan tahapan (Fase) perubahan bentuk atau deformasi yang terjadi pada bahan akibat pembebanan ini, bahwa : Kekerasan ialah kekuatan bahan dalam menerima pembebanan hingga terjadi perubahan tetap.

91 b. Prosedur proses pengujian kekerasan Dengan definisi tersebut maka kekerasan ini identik dengan kekuatan terhadap pembebabanan, sehingga pada baja karbon diketahui bahwa ada kesebandingan antara kekerasan dengan kekuatan tariknya ( t = 0,37 HB), karena dalam pengujian tarik yang akan dibahas lebih lanjut, semua phase reaksi pembebanan akan dilaluinya. Beberapa ahli melakukan analisis terhadap kekerasan ini dimana kekerasan diukur dengan membandingkan ketahanan terhadap gesekan antara bahan yang satu dengan bahan lainnya dengan melihat goresan sebagai akibat dari gesekan tersebut. Disamping itu ada pula yang melihat reaksi pantulan sebuah bola yang dijatuhkan pada permukaan benda uji, yang ternyata dari ketiga cara tersebut dianggap memenuhi syarat pengujian yang digunakan sebagai alat ukur itu harus : 1) Dapat didefinisikan secara fisik 2) Jelas tidak berubah karena waktu 3) Dapat digunakan sebagai pembanding dimana pun didunia ini. Berdasarkan pada persyaratan tersebut maka ketiga metode tersebut pengujian kekerasan yang dibakukan pemakaiannya adalah : 1) Pengujian kekerasan dengan cara penekanan (Indentation Test) 2) Pengujian kekerasan dengan cara goresan (Scratch Test) 3) Pengujian kekerasan dengan cara Dinamik (Dynamic Test) Proses pengujian terhadap kekerasan logam harus dilakukan sesuai dengan metode serta prosedur pengujian yang telah ditentukan sehingga hasil pengujian dapat diterima digunakan sebagai acuan dalam pemilihan bahan teknik sebagai

92 bahan baku produk, atau menjadi petunjuk perubahan sifat bahan (kekerasan) sebalum atau setelah proses perlakuan panas dilakukan. 1) Pengujian kekerasan dengan cara penekanan (Indentation Test) Pengujian kekerasan dengan cara penekanan (Indentation Test) ialah pengujian kekerasan terhadap bahan (logam), dimana dalam menentukan kekerasannya dilakukan dengan menganalisis indentasi atau bekas penekanan pada benda uji (Test piece) sebagai reaksi dari pembebanan tekan. Proses ini dilakukan antara lain dengan sistem Brinell, Rockwell dan sistem Vickers.Pengujian dengan sistem ini paling banyak digunakan terutama di laboratorium pengujian logam atau industri manufaktur yang memproduksi benda-benda berukuran kecil (Komponen), hal ini dikarenakan proses serta prosedur pengujiannya yang sederhana dan cepat memperoleh data kekerasan yang dihasilkan dari pengujian. 2) Pengujian dengan cara Goresan (Scratch Test) Pengujian dengan cara goresan (scratch test) ialah pengujian kekerasan terhadap bahan (logam), dimana dalam penentuan kekerasannya dilakukan dengan mencari kesebandingan dari bahan yang dijadikan standar pengujian, yakni bahan-bahan yang teruji dan memenuhi syarat pengujian sebagaimana disebutkan di atas, yang disusun pada skala kekerasan yang disebut Skala Mohs yakni susunan dari 10 macam bahan mineral disusun dari skala 1 sampai skala 10 dari yang terlunak sampai yang terkeras. Pada skala mana dari 10 jenis bahan ini yang dianggap sebanding bekas goresannya, maka inilah angka kekerasan logam tersebut, misalnya angka kekerasannya 7 pada skala Mohs, artinya kekerasannya

93 sebanding dengan bahan ke 7 yang digoreskan pada permukaan bahan tersebut. Hasil pengujian ini memang kurang akurat karena hasil pengujian hanya merupakan hasil pengamatan secara visual, namun pengujian ini sangat bermanfaat digunakan pada benda atau konstruksi besar yang tidak mungkin di bawa untuk diuji pada Laboratorium.10 macam bahan tersebut ialah : a) Talk (talc) 6 Ortoklas (Felspar) b) Gips (Gipsum) 7 Kwarsa (Quartz) c) Kalsite (Calcspar) 8 Topas (Topas) d) Plorite (Flourspar) 9 Korundum (Corundum) e) Apatite (Apatite) 10 Intan (Diamond) 3) Pengujian dengan cara dinamik (Dynamic Test) Pengujian dengan cara dinamik (Dynamic Test) ialah pengujian kekerasan dengan mengukur tinggi pantulan dari bola baja atau intan (hammer) yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu. Tinggi pantulan memberikan indikasi kekerasan bahan tersebut, dimana semakin tinggi pantulan artinya bahan ini memiliki kekerasan yang tinggi pengukuran kekerasan dengan cara ini disebut sistem Shore Scleroscope. Dalam proses ini small diamond-tipped hammer dijatuhkan secara bebas dari ektinggian 250 mm didalam gelas pengukur (Graduated Glass Tube) diatas permukaan test piece. Lihat gambar 10.1 konstruksi pesawat uji berikut.

94 Gambar 2.34

95 Gambar 2.35 Alat uji kekerasan dari sistem shore scleroscope ini juga dibuat dengan sistem yang sederhana dengan pengoperasian sebagaimana terlihat pada gambar 2.34 & 2.35 akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap mematuhi ketentuan yang berlaku pada proses pengujian ini, dengan prinsip penentuan beban berdasarkan gaya grafitasi.

96 Gambar Pengujian kekerasan dengan sistem Brinell Pengujian kekerasan dengan sistem Brinell merupakan salah satu metoda pengujian kekerasan dengan cara penekanan. Proses penekanan ini dimaksudkan untuk membentuk penetrasi pada permukaan bahan uji (test piece) yang akan dianalisis untuk menentukan tingkat kekerasan dari bahan tersebut. Penetrasi ini ini merupakan bentuk perubahan tetap dari bahan uji yang disebabkan oleh pembebanan, dimana beban yang diberikan dalam pengujian ini tidak mengakibatkan rusak atau pecahnya benda uji (test pice) itu sendiri yaitu ditentukan berdasarkan perbandingan antara angka konstanta dari jenis bahan

97 ketebalan bahan dimana beban itu diberikan terhadap diameter alat penekan (Indentor). Pada pengujian kekerasan dengan sistem Brinell ini alat penekannya menggunakan bola baja yang dipilih sesuai dengan ketentuan pengujian. Pada beberapa jenis pesawat uji kekerasan ini terdapat pula mesin uji universal yang dapat diguanakan dalam ketiga sistem pengujian kekerasan yakni Brinnell, Vickers dan Rockwell. Akan tetapi ada juga mesin yang didisain khusus untuk pengujian kekerasan brinell untuk jenis mesin pengujian kekerasan brinell ini dapat dilihat pada gambar 2.37 berikut. Gambar 2.37

98 Mesin uji kekerasan Brinnel seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.37 merupakan mesin yang didisain khusus untuk pengujian kekerasan Brinell besarnya kapasitas pembebanan talah dirancang sesuai dengan spesifikasi Pengujian Kekerasan Brinell. Pembebanan tekan yang diberikan melalui Indentor mambentuk indentasi pada permukaan benda uji (test piece) dan untuk mengetahui luas bidangnya diameter indentasi tersebut diukur dengan Measuring Microscope karena indentasinya yang sangat kecil dan tidak mungkin diukur dengan alat ukur biasa sehingga objek ukur harus diperbesar. Oleh karena itu mesin uji kekerasan Brinell ini selain indentor, Calibration Test Block atau Standardt Test Block juga Measuring Microscope. Perbandingan antara ukuran indentor yang akan digunakan, besarnya beban yang akan diberikan serta kesesuaiannya dengan jenis dan ukuran bahan dapat dilihat pada tabel:

99 Tabel 2.4 Perbandingan ukuran indentor dan tebal bahan Perbandingan diameter indentor terhadap konstanta bahan Tabel 2.5 Perbandingan diameter indentor terhadap konstanta bahan Angka kekerasan dari hasil pengujian kekerasan Brinell merupakan perbandingan antara besarnya beban terhadap luas penampang bidang Indentasi. Dengan indentor yang berbentuk bola maka indentasi yang terbentuk pada permukaan benda uji (Test Piece) akan berbentuk tembereng, jadi bidang yang menahan beban tersebut ialah sebuah tembereng lingkaran dengan ukuran diameter bola baja (D).

100 Gambar 2.38

101 4. Pengujian kekerasan dengan sistem Vickers Pada prinsipnya pengujian dengan sistem Vickers ini tidak jauh berbeda dengan Pengujian kekerasan dengan sistem Brinell, salah satu yang bebeda didalam pengujian kekerasan sistem Vickers ini ialah pemakaian Indentornya, dimana Vickers menggunakan piramida intan dengan sudut puncak piramida adalah 1360, Bentuk indentor yang relative tajam dibanding dengan Brinell yang menggunakan bola baja, Vickers mamberikan pembebanan yang sangat kecil yakni dengan tingkatan beban 5; 10; 20; 30; 50 dan 120 kg, bahkan untuk pengujian mikro struktur hanya ditentukan 10 grm, sehingga pengujian kekerasan Vickers cocok digunakan pada bahan yang keras dan tipis, sedangkan untuk bahan yang lunak dan tidak homogen seperti besi tuang (cast Iron) Vickers tidak sesuai untuk digunakan. 5. Pengujian kekerasan dengan sistem Rockwell Pengujian kekerasan dengan sistem Rockwell ini paling banyak digunakan di bengkel-bengkel permesinan, karena prosesnya mudah dan cepat memperoleh angka kekerasan bahan uji, dimana angka kekerasan Rockwell dapat dibaca langsung dari pesawat uji yang kita gunakan, disamping itu pengujian kekerasana dengan sisitem Rockwell ini memiliki fungsi pemakaian yang cukup luas sehingga memungkinkan digunakan pada berbagai jenis dan karakteristik bahan dengan tersedianya skala kekerasan untuk berbagai aplikasi. Dilihat dari konstruksinya Mesin uji ini tidak jauh berbeda dengan mesin-mesin yang digunakan oleh Brinell dan Vickers, bahkan untuk beberapa jenis mesin dibuat dengan fungsi universal dapat digunakan pada semua pengujian kekerasan dengan cara penekanan

102 (indentation test), serta dibuat dengan ukuran kecil yang dapat digunakan pada pengujian kekerasan ditempat dimana produk itu ditempatkan. Gambar 2.12 Gambar 2.39

103 Mesin uji kekerasan Rockwell ini paling banyak dihunakan dan dikembangkan dilaboratorium pengujian logam, memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan distandarkan menurut JIS dan ASTM. Spesifikasi khusus dari mesin ini penetrasi diberikan dengan pembebanan kecil/ringan. Mesin uji kekerasan ini selanjutnya dikembangkan dengan pengukuran secara digital, sistem kerjanya masih menggunakan prinsip yang sama namun angka kekerasan dari hasil pengujian ditunjukkan dengan angka yang lebih jelas.

104 Gambar 2.40 Gambar 2.41 Prinsip dasar penentuan kekerasan yang dilakukan dalam pengujian Kekerasan Rockwell ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Brinell dan Vickers, jika dalam pengujian kekerasan Brinell dan Vickers menentukan kekerasannya dengan melihat seberapa jauh bahan tersebut dapat menahan beban yang diberikan pada

105 setiap satuan luas penampang (mm2) bidang benda uji (test piece) yang kita lakukan. Sedangkan pada pengujian kekerasan sistem Rockwell ini angka kekerasan bahan ini ditentukan oleh kedalaman masuknya indentor kedalam bahan akibat penekanan dengan besaran beban tertentu yang kita berikan. Pengujian kekerasan dengan sistem Rockwell ini menggunakan dua jenis indentor (alat penekan), yaitu Indentor yang dibuat dari bahan intan dibentuk kerucut dengan sudut penekan 1200 dan Indentor dari bentuk bola dengan berbagai ukuran untuk berbagai skala kekerasan dan aplikasi. Oleh keran itu pengujian kekerasan Rockwell ini dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan pemakaian indentornya, yaitu : 1. Rockwell cone ialah pengujian kekerasan dengan sistem Rockwell yang menggunakan indentor Kerucut bersudut intan Rockwell ball ialah pengujian kekerasan dengan sistem Rockwell yang menggunakan indentor Bola baja dengan berbagai ukuran untuk berbagai aplikasi. Gambar berikut memperlihatkan prilaku penekanan dalam pengujian kekerasan dengan sistem Rockwell tersebut.

106 Gambar 2.42 Gambar 2.43

107 Gambar 2.45 Gambar 2.44

108 Gambar 2.46 Pada gambar terlihat bahwa skala ukur kekerasan dibedakan dari warnanya dimana untuk Rockwell Cone atau Rockwell yang menggunakan kerucut intan 1200 menggunakan warna hitam dan untuk Rockwell yang menggunakan bola baja sebagai indentornya menggunakan warna merah. Berikut adalah salah satu alat yang digunakan untuk pengujian kekerasan material yang digunakan di PT. Indospring Tbk :

109 Gambar 2.47 Mikro Vickers, Type HM, Mitutoyo

110 6. Mikrostruktur Sebuah bahan / materi yang berukuran micro yang menggunakan nano material yang merupakan hasil produk dari komponen komponen kimia dan mengalami rekayasa proses industri ( fabrikasi )bahan tersebut. Mikro struktur bahan akan dapat menentukan sifat kimia, fisika, dan mekanis dari suatu material, dan karenanya material ini akan menentukan kemampuan rekayasa bahan itu dalam dunia industri ( rekayasa fabrikasi ) material. Contohnya : a. Sebuah campuran besi yang mengandung kecil Ca ( kalsium 20 ) 0.4 C b. Sebuah kaca yang mengandung alumina c. Sebuah lapisan tipis film pada peralatan mikroelektronik yang berbasis pada pada system Al / Ti N / Ti ( alumunium / titanium, Nitrogen / titanium ) d. Pengamatan mikro struktur dengan SEM & Identifikasi fasa dengan XRD menunjukkan pengaruh aditif CaO dan suhu sintering terhadap mikro struktur keramik PSZ ( partially Stabilized Zirconia ) e. Kekerasan mikrostruktur dan termalnya pengaruh komposisi Zr ( zirconium ) pada pembuatan bahan baker U2Zr3 ( uranium ( III ) zirconium ( II ) )

111 Berikut adalah gambar alat yang digunakan dalam pengujian mikrostruktur Di PT. Indospring Tbk. Gresik : Gambar 2.48 Mikrostruktur scope, Type GX 51, Olympus

112 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian merupakan gambaran mengenai langkah langkah penelitian yang sistimatik, sehingga akan memudahkan dalam melaksanakan penelitian. Kerangka penelitian ini merupakan suatu proses yang terdiri dari tahap tahap yang saling terkait antara satu tahap dengan yang lainnya. Penyajian urutan dalam melakukan penelitian dimulai dari awal yaitu mengangkat permasalahan hingga penarikan kesimpulan. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilakukan di Departemen Inspeksi Teknik PT. Indospring Tbk Gresik dan waktu pengambilan data dimulai dari 1 Maret 2012 B. Pengumpulan data. Data yang diperoleh untuk penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan resmi Departement Inspeksi Teknik dan data pengamatan secara visual diplant. Data yang dikumpulkan meliputi : 1. Data proses ( Temperatur dapur, Cycle time, Holding time, Temperatur oil quenching, Lama pendinginan, temperatur Temper, Lama waktu tamper ) 2. Data Hasil pengujian hardness pada material 3. Data hasil pengujian Mikrostruktur pada material

113 C. Diagram Alir Peneliti Tahap identifikasi Mulai Material Baja SAE 9254 Pengujian Awal Kekerasan ( vickers ) Metallografi / Microstructure Tahap pengumpulan dan pengolahan data Proses Perlakuan panas Pemanasan 900 C Cycle time 16, 21, 26 detik Temperatur Quenching max 80 C Temperatur Tempering 450 C Lama tempering 45 menit Diameter material 10.9, 12.4, 17 mm Pengujian Spesimen Hardness ( Vickers ) Metallografi / Mikrostruktur Analisa Data Hasil Pengujian Tahap pembuatan saran dan kesimpulan Kesimpulan Selesai Gambar 3.1 Diagram alir proses penelitian

114 Pengujian dilakukan dengan membandingkan kekerasan dan struktur mikro material pegas (SAE9254) dari supplier yang sama dan dengan cycle time, diameter yang berbeda. Setiap nilai kekerasan yang dicari dan uji metallography dilakukan mulamula pada kondisi raw material, after quenching dan after temper. Total terdapat 18 specimen dari raw material yang terdiri atas 6 spesimen dengan diameter 10.9 mm, 6 spesimen dengan diameter 12.4 mm dan 6 spesimen dengan diameter 17mm, dengan supplier yang sama. Tahap-tahap pengujian : 1. Setiap sampel raw material diuji kekerasan, vickres,dan struktur mikronya. 2. Riset 1. Material diameter 10.9, 12.4 dan 17 mm masing - masing 2 pcs dimasukkan kedalam heating furnace dengan temperatur 900 C, dangan cycle time 16 detik, dilanjutkan dengan proses quenching 3. Riset 2. Material 10.9, 12.4 dan 17 mm masing - masing 2 pcs dimasukkan kedalam heating furnace dengan temperatur 900 C, dangan cycle time 17 detik, dilanjutkan dengan proses quenching 4. Riset 3. Material 10.9, 12.4 dan 17 mm masing - masing 2 pcs dimasukkan kedalam heating furnace dengan temperatur 900 C, dangan cycle time 20 detik, dilanjutkan dengan proses quenching 5. Sampel after quenching diameter 10.9, 12.4 dan 17 mm dari Riset 1, 2, 3 diambil masing masing 1 pcs, kemudian diuji kekerasan vckers dan mikro struktur sebagai spesimen after Quenching

115 6. Sampel after quenching kemudian dilanjutkan keproses temper dengan suhu 450 C selama 45 menit 7. Sampel after temper diameter 10.9, 12.4 dan 17 mm dari Reset 1, 2, 3, kemudian diuji kekerasan vckers dan mikrostruktur sebagai spesimen after temper 8. Setelah didapat data strukturmikro dan sifat mekanis material dari riset yang dilakukan, maka dapat dibuat dasar untuk menentukan acuan cycle time pada proses furnace, dan selanjutnya dapat dipakai dalam membuat kesimpulan

116 BAB IV PERCOBAAN DAN ANALISA HASIL A. Pengerjaan percobaan pada material Pengerjaan yang dilakukan adalah memanakan material ( 10.9, 12.3, 17mm ) sampai temperatur 900 C, dengan cycle time yang sudah ditentukan ( 16, 18, 26 detik ), kemudian didinginkan secara cepat dengan oil quenching dan kemudian ditempering dengan dengan suhu 450 C dengan waktu 45 menit, material yang dipakai percobaan adalah SAE 9254 supplier SAMWON STEEL. Percobaan dan pengujian dikerjakan di PT. Indospring Tbk. Mulai tanggal 1 April Sebelum melakukan proses heat treatment pada material, tentunya kita harus mengetahui chemical composition material yang akan digunakan ( SAE 9254 ). Chemical composition material SAE9254 C Si Mn P S Cr % % % % % % Standart Min Standart Max Material Chemical composition 10.9 mm mm mm Tabe 4.1 Chemical composition materil SAE 9254

117 Percobaan 1 ( Cycle time 26 detik ) Masukan material ( 10.9, 12.3, 17mm ) kedalam heating furnace dengan setting cycle time 26 detik, masing-masing 2 pcs, kemudian material dicoilling/dibentuk, lalu didinginkan cepat dengan oil quenching dan kemudian ditempering. Ambil spring after quenching masing-masing satu tiap diameter dan spring after tempering masing-masing satu tiap diameter. Potong spring hasil treatment untuk dilakukan pengujian. Percobaan 2 ( Cycle time 18 detik ) Masukan material ( 10.9, 12.3, 17mm ) kedalam heating furnace dengan setting cycle time 26 detik, masing-masing 2 pcs, kemudian material dicoilling/dibentuk, lalu didinginkan cepat dengan oil quenching dan kemudian ditempering. Ambil spring after quenching masing-masing satu tiap diameter dan spring after tempering masing-masing satu tiap diameter. Potong spring hasil treatment untuk dilakukan pengujian. Percobaan 3 ( Cycle time 16 detik ) Masukan material ( 10.9, 12.3, 17mm ) kedalam heating furnace dengan setting cycle time 26 detik, masing-masing 2 pcs, kemudian material dicoilling/dibentuk, lalu didinginkan cepat dengan oil quenching dan kemudian ditempering. Ambil spring after quenching masing-masing satu tiap diameter dan spring after tempering masing-masing satu tiap diameter. Potong spring hasil treatment untuk dilakukan pengujian. Setelah dilakukan pecobaan didapat hasil sebagai berikut :

118 No. Depth Sample After Quenching Sample After Tempering 1 0, ,9 538,8 2 0, ,4 541,5 3 0, ,8 559,1 4 0, ,7 543,2 5 0, ,2 548,2 6 0, ,3 543,6 7 2, ,6 546,5 8 3, ,5 541,3 9 4, ,3 517,8 10 5, ,5 540,3 11 6, ,3 527,3 12 7, ,1 534,6 13 8, ,0 519,1 14 8, ,4 525,3 15 8, ,1 558,9 16 9, ,2 539,1 17 9, ,4 547,8 18 9, ,3 558,5 19 9, ,9 558,3 20 9, ,2 526,9 Standard Min. 613 HV HV Judgment OK NG Tabel 4.2 Hasil hardness diameter 17mm, Cycle time 26 detik No. Depth Sample After Quenching Sample After Tempering 1 0, ,4 574,1 2 0, ,2 542,7 3 0, ,7 547,3 4 0, ,2 557,4 5 0, ,2 546,8 6 0, ,9 554,6 7 2, ,6 557,7 8 3, ,9 533,1 9 4, ,3 563,5 10 5, ,0 557,8 11 6, ,0 542,4 12 7, ,6 539,2 13 8, ,2 547,4 14 8, ,5 543,0 15 8, ,2 561,1 16 9, ,9 558,1 17 9, ,2 564,8 18 9, ,3 565,2 19 9, ,8 535,1 20 9, ,5 556,8 Standard Min. 613 HV ,5 HV Judgment OK NG Tabel 4.3 Hasil hardness diameter 12.3mm, Cycle time 26 detik No. Depth Sample After Quenching Sample After Tempering 1 0, ,2 593,6 2 1, ,8 568,5 3 1, ,0 588,6 4 2, ,0 597,0 5 2, ,0 599,7 6 3, ,6 576,3 7 3, ,4 596,8 8 4, ,1 582,2 9 4, ,7 588,6 10 5, ,4 566,0 11 5, ,1 578,4 12 6, ,7 573,4 13 6, ,2 595,8 14 7, ,7 564,8 15 7, ,9 583,6 16 8, ,0 584,6 17 8, ,2 574,1 18 9, ,5 566,3 19 9, ,4 580, , ,0 562,6 Standard Min. 613 HV ,5 HV Judgment OK NG No. Depth Sample After Quenching Sample After Tempering 1 0, ,8 511,3 2 0, ,3 516,7 3 0, ,1 508,3 4 0, ,3 507,2 5 0, ,2 513,8 6 0, ,5 504,8 7 2, ,2 516,1 8 3, ,1 502,3 9 4, ,3 517,4 10 5, ,4 515,5 11 6, ,3 509,7 12 7, ,2 514,7 13 8, ,1 511,3 14 8, ,3 508,3 15 8, ,1 517,6 16 9, ,3 518,3 17 9, ,3 511,4 18 9, ,1 508,3 19 9, ,4 505,7 20 9, ,4 513,2 Standard Min. 613 HV HV Judgment OK OK Tabel 4.4 Hasil hardness diameter 10.9mm, Cycle time 26 detik Tabel 4.5 Hasil hardness diameter 17mm, Cycle time 18 detik

119 No. Depth Sample After Quenching Sample After Tempering 1 0, ,5 526,9 2 0, ,2 532,1 3 0, ,4 518,4 4 0, ,5 542,1 5 0, ,3 538,1 6 0, ,6 537,8 7 2, ,9 529,9 8 3, ,3 524,3 9 4, ,2 534,2 10 5, ,3 531,7 11 6, ,8 523,7 12 7, ,1 529,8 13 8, ,7 541,2 14 8, ,6 526,6 15 8, ,4 530,4 16 9, ,4 523,7 17 9, ,4 534,5 18 9, ,7 536,9 19 9, ,8 519,8 20 9, ,2 521,2 Standard Min. 613 HV ,5 HV Judgment OK OK No. Depth Sample After Quenching Sample After Tempering 1 0, ,2 530,8 2 1, ,8 522,7 3 1, ,8 519,3 4 2, ,2 533,0 5 2, ,4 541,8 6 3, , , ,7 537,2 8 4, ,9 529,4 9 4, , , , , ,1 524,9 12 6, ,0 521,8 13 6, ,7 524,4 14 7, ,3 537,1 15 7, ,2 538,6 16 8, ,6 527,9 17 8, , , ,4 546,0 19 9, ,4 532, , ,2 534,5 Standard Min. 613 HV ,5 HV Judgment OK OK Tabel 4.6 Hasil hardness diameter 12.3mm, No. Cycle time 18 detik Depth Sample After Quenching Sample After Tempering 1 0, ,2 502,7 2 0, ,5 513,5 3 0, ,3 479,9 4 0, ,3 494,5 5 0, ,3 511,3 6 0, ,4 500,6 7 2, ,6 510,7 8 3, ,9 499,5 9 4, ,6 494,6 10 5, ,2 504,3 11 6, ,4 507,1 12 7, ,9 499,5 13 8, ,5 498,0 14 8, ,4 502,3 15 8, ,7 506,1 16 9, ,8 499,9 17 9, ,3 500,4 18 9, ,8 513,4 19 9, ,3 511,5 20 9, ,7 506,1 Standard Min. 613 HV HV Judgment OK OK Tabel 4.8 Hasil hardness diameter 17mm, Cycle time 16 detik Tabel 4.7 Hasil hardness diameter 10.9mm, No. Cycle time I8 detik Depth Sample After Quenching Sample After Tempering 1 0, ,4 518,5 2 0, ,3 523,4 3 0, ,2 518,5 4 0, ,3 540,6 5 0, ,6 541,5 6 0, ,8 538,4 7 2, ,0 533,8 8 3, ,7 525,2 9 4, ,9 519,0 10 5, ,2 530,0 11 6, ,0 524,9 12 7, ,0 511,5 13 8, ,2 517,4 14 8, ,7 520,3 15 8, ,8 538,5 16 9, ,6 521,9 17 9, ,3 516,8 18 9, ,2 544,5 19 9, ,7 519,3 20 9, ,3 529,1 Standard Min. 613 HV ,5 HV Judgment OK OK Tabel 4.9 Hasil hardness diameter 12.3mm, Cycle time 16 detik

120 No. Depth Sample After Quenching Sample After Tempering 1 0, ,2 516,2 2 0, ,5 521,4 3 0, ,5 517,6 4 0, ,6 536,6 5 0, ,9 540,5 6 0, ,8 536,4 7 2, ,2 532,8 8 3, ,7 525,0 9 4, ,7 494,5 10 5, ,2 540,1 11 6, ,3 522,7 12 7, ,1 511,4 13 8, ,7 516,4 14 8, ,0 520,0 15 8, ,3 535,0 16 9, ,4 520,3 17 9, ,3 514,7 18 9, ,7 539,8 19 9, ,7 519,3 20 9, ,1 527,3 Standard Min. 613 HV ,5 HV Judgment OK OK Tabel 4.10 Hasil hardness diameter 10.9mm, Cycle time 16 detik Dari hasil pengujian distribusi hardness percobaan diatas didapat data, bahwa data dengan cycle time 26 detik lebih keras dibandingkan dengan cycle time yang lain, sehingga perlu dilakukan pengujian pengujian lain untuk mengetahui secara rinci perubahan sifat sifat lainnya, sebagai akibat perubahan cycle time. 1. Pengujian sebelum dan sesudah heat treatment ( Raw material, after quenching dan after temper ) a. Pengujian Microstructure Pengujian untuk melihat struktur mikro dari material, ( ferrit, pearlit, martensit, temper martensit ), baik yang belum diproses maupun yang sudah diproses.

121 Berikut hasil pengujian mikrostruktur ( Raw mat, After Quench, After temper ) : Gambar 4.1 Mikrostruktur Raw Material Diameter 10.9 mm Gambar 4.2 Mikrostruktur Raw Material Diameter 12.3 mm

122 Gambar 4.3 Mikrostruktur Raw Material Diameter 17 mm Gambar 4.4 Mikrostruktur After Quenching Diameter 10.9, cycle time 26 detik

123 Gambar 4.5 Mikrostruktur After Temper Diameter 10.9, cycle time 26 detik Gambar 4.6 Mikrostruktur After Quenching Diameter 12.3, cycle time 26 detik

124 Gambar 4.7 Mikrostruktur After Temper Diameter 12.3, cycle time 26 detik Gambar 4.8 Mikrostruktur After Quenching Diameter 17, cycle time 26 detik

125 Gambar 4.9 Mikrostruktur After Temper Diameter 17, cycle time 26 detik Gambar 4.10 Mikrostruktur After Quenching Diameter 10.9, cycle time 18 detik

126 Gambar 4.11 Mikrostruktur After Temper Diameter 10.9, cycle time 18 detik Gambar 4.12 Mikrostruktur After Quenching Diameter 12.3, cycle time 18 detik

127 Gambar 4.13 Mikrostruktur After Temper Diameter 12.3, cycle time 18 detik Gambar 4.14 Mikrostruktur After Quenching Diameter 17, cycle time 18 detik

128 Gambar 4.15 Mikrostruktur After Temper Diameter 17, cycle time 18 detik Gambar 4.16 Mikrostruktur After Quenching Diameter 10.9, cycle time 16 detik

129 Gambar 4.17 Mikrostruktur After Temper Diameter 10.9, cycle time 16 detik Gambar 4.18 Mikrostruktur After Quenching Diameter 12.3, cycle time 16 detik

130 Gambar 4.19 Mikrostruktur After Temper Diameter 12.3, cycle time 16 detik Gambar 4.20 Mikrostruktur After Quenching Diameter 17, cycle time 16 detik

131 Gambar 4.21 Mikrostruktur After Temper Diameter 17, cycle time 16 detik b. Pengujian Dekarburisasi Pengujian untuk mengukur kadar carbon yang terperangkap akibat proses pemanasan/heat treatmet, baik pada waktu pembuatan material ( proses roll, atau pada waktu pembuatan coil spring ). Berikut hasil pengujian dekarburisasi ( Raw mat, After Quench, After temper ) :

132 No. 10,9 mm 12,3 mm 17 mm 1 0,03 0,02 0,03 2 0,00 0,01 0,02 3 0,02 0,00 0,01 4 0,02 0,00 0,02 5 0,01 0,01 0,00 6 0,00 0,02 0,00 7 0,00 0,02 0,01 8 0,01 0,00 0,03 9 0,02 0,01 0, ,01 0,00 0, ,00 0,00 0, ,02 0,10 0,03 Standard Judgment OK Max mm OK OK Tabel 4.11 Hasil Dekarburisasi raw material ( 10.9, 12.3, 17mm ) Gambar 4.22 Hasil Dekarburisasi Raw Material Diameter 10.9mm Microstructur CS Photo 3. Microstructur CS mm 0,03 mm

133 Gambar 4.23 Hasil Dekarburisasi Raw Material Diameter 12.3mm Gambar 4.24 Hasil Dekarburisasi Raw Material Diameter 17mm

134 No. Sample Standard Judgment 0,08 0,06 0,07 0,09 0,07 0,05 0,06 0,09 0,08 0,07 0,08 0,05 Max mm OK Tabel 4.12 Hasil 12 Titik Gambar 4.25 Foto Dekarburisasi tertinggi pada Dekarburisasi Diameter 10.9mm, cycle time 26 Photo 1. Microstructur AS 0,09 mm Tabel 4.13 Hasil 12 Titik Gambar 4.26 Foto Dekarburisasi tertinggi pada Dekarburisasi Diameter 12.3mm, cycle time 26

135 Tabel 4.14 Hasil 12 Titik Gambar 4.27 Foto Dekarburisasi tertinggi pada Dekarburisasi Diameter 17mm, cycle time 26

PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT) HEAT TREATMENT PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT) Proses laku-panas atau Heat Treatment kombinasi dari operasi pemanasan dan pendinginan dengan kecepatan tertentu yang dilakukan terhadap logam atau paduan

Lebih terperinci

Perlakuan panas (Heat Treatment)

Perlakuan panas (Heat Treatment) Perlakuan panas (Heat Treatment) Pertemuan Ke-6 PERLAKUAN PANAS PADA BAJA (Sistem Besi-Karbon) Nurun Nayiroh, M.Si Sifat mekanik tidak hanya tergantung pada komposisi kimia suatu paduan, tetapi juga tergantung

Lebih terperinci

Pengaruh Unsur-unsur Paduan Pada Proses Temper:

Pengaruh Unsur-unsur Paduan Pada Proses Temper: PROSES TEMPER Proses temper adalah proses memanaskan kembali baja yang sudah dikeraskan dengan tujuan untuk memperoleh kombinasi antara kekuatan, duktilitas dan ketangguhan yang tinggi. Proses temper terdiri

Lebih terperinci

MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE

MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE Pengertian Diagram fasa Pengertian Diagram fasa Adalah diagram yang menampilkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan

Lebih terperinci

PROSES PENGERASAN (HARDENNING)

PROSES PENGERASAN (HARDENNING) PROSES PENGERASAN (HARDENNING) Proses pengerasan atau hardening adalah suatu proses perlakuan panas yang dilakukan untuk menghasilkan suatu benda kerja yang keras, proses ini dilakukan pada temperatur

Lebih terperinci

HEAT TREATMENT. Pembentukan struktur martensit terjadi melalui proses pendinginan cepat (quench) dari fasa austenit (struktur FCC Face Centered Cubic)

HEAT TREATMENT. Pembentukan struktur martensit terjadi melalui proses pendinginan cepat (quench) dari fasa austenit (struktur FCC Face Centered Cubic) HEAT TREATMENT Perlakuan panas (heat treatment) ialah suatu perlakuan pada material yang melibatkan pemanasan dan pendinginan dalam suatu siklus tertentu. Tujuan umum perlakuan panas ini ialah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja Heat Treatment Pada Logam Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma Proses Perlakuan Panas Pada Baja Proses perlakuan panas adalah suatu proses mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro

Lebih terperinci

Proses Annealing terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu sebagai berikut :

Proses Annealing terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu sebagai berikut : PERLAKUAN PANAS Perlakuan panasadalah suatu metode yang digunakan untuk mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro melalui proses pemanasan dan pengaturan kecepatan pendinginan dengan atau

Lebih terperinci

PRAKTIKUM JOMINY HARDENABILITY TEST

PRAKTIKUM JOMINY HARDENABILITY TEST Sub Modul Praktikum PRAKTIKUM JOMINY HARDENABILITY TEST Tim Penyusun Herdi Susanto, ST, MT NIDN :0122098102 Joli Supardi, ST, MT NIDN :0112077801 Mata Kuliah FTM 011 Metalurgi Fisik + Praktikum JURUSAN

Lebih terperinci

MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT

MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT STRUKTUR LOGAM DAPAT BERUBAH KARENA : KOMPOSISI KIMIA (PADUAN) REKRISTALISASI DAN PEMBESARAN BUTIRAN (GRAIN GROWTH) TRANSFORMASI FASA PERUBAHAN STRUKTUR MENIMBULKAN PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dibidang konstruksi, pengelasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan dan peningkatan industri, karena mempunyai

Lebih terperinci

11-12 : PERLAKUAN PANAS

11-12 : PERLAKUAN PANAS 11-12 : PERLAKUAN PANAS Perlakuan panas adalah proses pemanasan dan pendinginan material yang terkontrol dengan maksud merubah sifat fisik untuk tujuan tertentu. Secara umum proses perlakuan panas adalah

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 ANALISA STRUKTUR MIKRO BAJA SETELAH HARDENING DAN TEMPERING Struktur mikro yang dihasilkan setelah proses hardening akan menentukan sifat-sifat mekanis baja perkakas, terutama kekerasan

Lebih terperinci

PROSES THERMAL LOGAM

PROSES THERMAL LOGAM 1 PROSES THERMAL LOGAM TIN107 Material Teknik Fungsi Proses Thermal 2 Annealing Mempersiapkan material logam sebagai produk setengah jadi agar layak diproses berikutnya. Hardening Mempersiapkan material

Lebih terperinci

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN HEAT TREATMENT

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN HEAT TREATMENT TUGAS PENGETAHUAN BAHAN HEAT TREATMENT Oleh : Nama : Ika Utami Wahyu Ningsih No. Pokok : 4410215036 Jurusan : Teknik Industri FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PANCASILA HEAT TREATMENT Heat Treatment atau Perlakuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Baja Baja merupakan bahan dasar vital untuk industri. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan

Lebih terperinci

07: DIAGRAM BESI BESI KARBIDA

07: DIAGRAM BESI BESI KARBIDA 07: DIAGRAM BESI BESI KARBIDA 7.1. Diagram Besi Karbon Kegunaan baja sangat bergantung dari pada sifat sifat baja yang sangat bervariasi yang diperoleh dari pemaduan dan penerapan proses perlakuan panas.

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Struktur dan Sifat Material 2013

Laporan Praktikum Struktur dan Sifat Material 2013 BAB IV UJI JOMINY (JOMINY TEST) 4.1 PENDAHULUAN 4.1.1 Latar Belakang Pada dunia engineering, penggunaan bahan yang spesifik pada aplikasi tertentu sangatlah krusial. Salah satu metode yang sering diaplikasi

Lebih terperinci

METALURGI FISIK. Heat Treatment. 10/24/2010 Anrinal - ITP 1

METALURGI FISIK. Heat Treatment. 10/24/2010 Anrinal - ITP 1 METALURGI FISIK Heat Treatment 10/24/2010 Anrinal - ITP 1 Definisi Perlakuan Panas Perlakuan panas adalah : Proses pemanasan dan pendinginan material yang terkontrol dengan maksud merubah sifat mekanik

Lebih terperinci

Proses perlakuan panas diklasifikasikan menjadi 3: 1. Thermal Yaitu proses perlakuan panas yang hanya memanfaatkan kombinasi panas dalam mencapai

Proses perlakuan panas diklasifikasikan menjadi 3: 1. Thermal Yaitu proses perlakuan panas yang hanya memanfaatkan kombinasi panas dalam mencapai Heat Treatment atau proses perlakuan panas adalah proses pemanasan yang diikuti proses pendinginan selama waktu tertentu dan bila perlu dilanjutkan dengan pemanasan serta pendinginan ulang. Perlakuan panas

Lebih terperinci

BAB 1. PERLAKUAN PANAS

BAB 1. PERLAKUAN PANAS BAB PERLAKUAN PANAS Kompetensi Sub Kompetensi : Menguasai prosedur dan trampil dalam proses perlakuan panas pada material logam. : Menguasai cara proses pengerasan, dan pelunakan material baja karbon.

Lebih terperinci

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN Annealing adalah : sebuah perlakukan panas dimana material dipanaskan pada temperatur tertentu dan waktu tertentu dan kemudian dengan perlahan didinginkan. Annealing

Lebih terperinci

Sistem Besi-Karbon. Sistem Besi-Karbon 19/03/2015. Sistem Besi-Karbon. Nurun Nayiroh, M.Si. DIAGRAM FASA BESI BESI CARBIDA (Fe Fe 3 C)

Sistem Besi-Karbon. Sistem Besi-Karbon 19/03/2015. Sistem Besi-Karbon. Nurun Nayiroh, M.Si. DIAGRAM FASA BESI BESI CARBIDA (Fe Fe 3 C) MK: TRANSFORMASI FASA Pertemuan Ke-6 Sistem Besi-Karbon Nurun Nayiroh, M.Si Sistem Besi-Karbon Besi dengan campuran karbon adalah bahan yang paling banyak digunakan diantaranya adalah baja. Kegunaan baja

Lebih terperinci

PROSES QUENCHING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111

PROSES QUENCHING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111 PROSES QUENCHING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111 Agung Setyo Darmawan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos I Pabelan Kartasura agungsetyod@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN Annealing adalah : sebuah perlakukan panas dimana material dipanaskan pada temperatur tertentu dan waktu tertentu dan kemudian dengan perlahan didinginkan. Annealing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan 1

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Baja perkakas (tool steel) merupakan baja yang biasa digunakan untuk aplikasi pemotongan (cutting tools) dan pembentukan (forming). Selain itu baja perkakas juga banyak

Lebih terperinci

METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA

METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA Ahmad Supriyadi & Sri Mulyati Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. H. Sudarto, SH.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah merambah pada berbagai aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali di dunia industri manufacture (rancang

Lebih terperinci

PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING MATERIAL BAJA S45C

PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING MATERIAL BAJA S45C PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING MATERIAL BAJA S45C Syaifudin Yuri, Sofyan Djamil dan M. Sobrom Yamin Lubis Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara, Jakarta e-mail:

Lebih terperinci

PENGARUH MULTIPLE QUECHING TERHADAP PERUBAHAN KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA ASSAB 760

PENGARUH MULTIPLE QUECHING TERHADAP PERUBAHAN KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA ASSAB 760 PENGARUH MULTIPLE QUECHING TERHADAP PERUBAHAN KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA ASSAB 760 Syaiful Rizal 1) Ir.Priyagung Hartono 2) Ir Hj. Unung Lesmanah.MT 3) Program Strata Satu Teknik Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metalurgi merupakan ilmu yang mempelajari pengenai pemanfaatan dan pembuatan logam dari mulai bijih sampai dengan pemasaran. Begitu banyaknya proses dan alur yang harus

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEKAKUAN PEGAS DAUN DENGAN CARA QUENCHING

PENINGKATAN KEKAKUAN PEGAS DAUN DENGAN CARA QUENCHING PENINGKATAN KEKAKUAN PEGAS DAUN DENGAN CARA QUENCHING Pramuko Ilmu Purboputro Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos I Surakarta Pramuko_ip@ums.ac.id ABSTRAK Tujuan penelitian

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. unsur paduan terhadap baja, proses pemanasan baja, tempering, martensit, pembentukan

I. TINJAUAN PUSTAKA. unsur paduan terhadap baja, proses pemanasan baja, tempering, martensit, pembentukan I. TINJAUAN PUSTAKA Teori yang akan dibahas pada tinjauan pustaka ini adalah tentang klasifikasi baja, pengaruh unsur paduan terhadap baja, proses pemanasan baja, tempering, martensit, pembentukan martensit,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Definisi baja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu benda

I. PENDAHULUAN. Definisi baja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu benda 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Definisi baja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu benda logam yang keras dan kuat (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Sedangkan menurut Setiadji

Lebih terperinci

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH Komponen : adalah logam murni atau senyawa yang menyusun suatu logam paduan. Contoh : Cu - Zn (perunggu), komponennya adalah Cu dan Zn Solid solution (larutan padat)

Lebih terperinci

PROSES NORMALIZING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111

PROSES NORMALIZING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111 PROSES NORMALIZING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111 Agung Setyo Darmawan, Masyrukan, Riski Ariyandi Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low alloy steel

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low alloy steel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low alloy steel atau baja yang memiliki kandungan 0,38-0,43% C, 0,75-1,00% Mn, 0,15-0,30% Si, 0,80-1,10%

Lebih terperinci

PRAKTIKUM METALURGI FISIK LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM METALURGI FISIK LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM METALURGI FISIK LAPORAN AKHIR MODEL PRAKTIKUM : HARDENABILITY TANGGAL PRAKTIKUM : 11 DESEMBER 2016 NAMA ASISTEN : ENGKOS NAMA PRAKTIKAN : TIO ERWINSYAH NIM/KELOMPOK : 2112162033/5 KELAS : EKSTENSI

Lebih terperinci

BAB VI TRANSFORMASI FASE PADA LOGAM

BAB VI TRANSFORMASI FASE PADA LOGAM BAB VI TRANSFORMASI FASE PADA LOGAM Sebagian besar transformasi bahan padat tidak terjadi terus menerus sebab ada hambatan yang menghalangi jalannya reaksi dan bergantung terhadap waktu. Contoh : umumnya

Lebih terperinci

ANNEALLING. 2. Langkah Kerja Proses Annealing. 2.1 Proses Annealing. Proses annealing adalah sebagai berikut:

ANNEALLING. 2. Langkah Kerja Proses Annealing. 2.1 Proses Annealing. Proses annealing adalah sebagai berikut: 1 ANNEALLING 1. Maksud dan Tujuan Yang dimaksud dengan annealing ialah menurunkan kekerasan suatu baja dengan jalan memanaskan baja tersebut pada temperatur di atas temperatur krisis maksimum 980 0 C,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Baja Baja adalah besi karbon campuran logam yang dapat berisi konsentrasi dari element campuran lainnya, ada ribuan campuran logam lainnya yang mempunyai perlakuan bahan dan

Lebih terperinci

Karakterisasi Material Bucket Teeth Excavator 2016

Karakterisasi Material Bucket Teeth Excavator 2016 BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Data dan Analisa Metalografi Pengambilan gambar atau foto baik makro dan mikro pada Bucket Teeth Excavator dilakukan pada tiga dua titik pengujian, yaitu bagian depan spesimen

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR CARBURIZING PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP SIFAT SIFAT MEKANIS BAJA S 21 C

PENGARUH TEMPERATUR CARBURIZING PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP SIFAT SIFAT MEKANIS BAJA S 21 C PENGARUH TEMPERATUR CARBURIZING PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP SIFAT SIFAT MEKANIS BAJA S 21 C Adi Dermawan 1, Mustaqim 2, Fajar Shidiq 3 1. Mahasiswa, Universitas Pancasakti, Tegal 2. Staf Pengajar,

Lebih terperinci

ANALISIS PROSES TEMPERING PADA BAJA DENGAN KANDUNGAN KARBON 0,46% HASILSPRAY QUENCH

ANALISIS PROSES TEMPERING PADA BAJA DENGAN KANDUNGAN KARBON 0,46% HASILSPRAY QUENCH ANALISIS PROSES TEMPERING PADA BAJA DENGAN KANDUNGAN KARBON 0,46% HASILSPRAY QUENCH Sumidi, Helmy Purwanto 1, S.M. Bondan Respati 2 Program StudiTeknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon

II. TINJAUAN PUSTAKA. unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Baja Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember PENGARUH VARIASI VISKOSITAS OLI SEBAGAI MEDIA PENDINGIN TERHADAP SIFAT KEKERASAN PADA PROSES QUENCHING BAJA AISI 4340 Bayu Sinung Pambudi 1, Muhammad Rifki Luthfansa 1, Wahyu Hidayat Nurdiansyah 1 1 Jurusan

Lebih terperinci

PENGARUH PROSES PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 310S

PENGARUH PROSES PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 310S PENGARUH PROSES PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 310S Mahasiswa Edwin Setiawan Susanto Dosen Pembimbing Ir. Rochman Rochiem, M. Sc. Hariyati Purwaningsih, S.Si, M.Si. 1 Latar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Logam Logam cor diklasifikasikan menurut kandungan karbon yang terkandung di dalamnya yaitu kelompok baja dan besi cor. Logam cor yang memiliki persentase karbon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat-alat perkakas, alat-alat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. alat-alat perkakas, alat-alat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, banyak kalangan dunia industri yang menggunakan logam sebagai bahan utama operasional atau sebagai bahan baku produksinya.

Lebih terperinci

PENGARUH PROSES HARDENING PADA BAJA HQ 7 AISI 4140 DENGAN MEDIA OLI DAN AIR TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO

PENGARUH PROSES HARDENING PADA BAJA HQ 7 AISI 4140 DENGAN MEDIA OLI DAN AIR TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO PENGARUH PROSES HARDENING PADA BAJA HQ 7 AISI 4140 DENGAN MEDIA OLI DAN AIR TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO Cahya Sutowo 1.,ST.MT., Bayu Agung Susilo 2 Lecture 1,College student 2,Departement

Lebih terperinci

Kategori unsur paduan baja. Tabel periodik unsur PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY

Kategori unsur paduan baja. Tabel periodik unsur PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY Dr.-Ing. Bambang Suharno Dr. Ir. Sri Harjanto PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY 1. DASAR BAJA 2. UNSUR PADUAN 3. STRENGTHENING

Lebih terperinci

Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom)

Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom) BAJA Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom) Baja merupakan paduan yang terdiri dari besi,karbon dan unsur lainnya. Baja

Lebih terperinci

PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING TERHADAP STRUKTURMIKRO BAJA MANGAN HADFIELD AISI 3401 PT SEMEN GRESIK

PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING TERHADAP STRUKTURMIKRO BAJA MANGAN HADFIELD AISI 3401 PT SEMEN GRESIK TUGAS AKHIR MM09 1381- PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING TERHADAP STRUKTURMIKRO BAJA MANGAN HADFIELD AISI 3401 PT SEMEN GRESIK MOHAMMAD ISMANHADI S. 2708100051 Yuli Setyorini, ST, M.Phil LATAR

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS BAHAN DAN PROSES PENGERASAN TERHADAP KEKERASAN DAN KEAUSAN PISAU TEMPA MANUAL

PENGARUH JENIS BAHAN DAN PROSES PENGERASAN TERHADAP KEKERASAN DAN KEAUSAN PISAU TEMPA MANUAL PENGARUH JENIS BAHAN DAN PROSES PENGERASAN TERHADAP KEKERASAN DAN KEAUSAN PISAU TEMPA MANUAL Balkhaya 2114201007 Dosen Pembimbing Suwarno, ST., M.Sc., Ph.D. LATAR BELAKANG Alat potong bidang pertanian

Lebih terperinci

Pengaruh Heat Treatment denganvariasi Media Quenching Oli dan Solar terhadap StrukturMikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135

Pengaruh Heat Treatment denganvariasi Media Quenching Oli dan Solar terhadap StrukturMikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135 JURNAL Teori dan Aplikasi Fisika Vol. 4, No.0 2, Juli Tahun 2016 Pengaruh Heat Treatment denganvariasi Media Quenching Oli dan Solar terhadap StrukturMikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penguatan yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penguatan yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penguatan yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat terjadi dengan berbagai cara, antara lain dengan mekanisme pengerasan regangan (strain hardening),

Lebih terperinci

11. Logam-logam Ferous Diagram fasa besi dan carbon :

11. Logam-logam Ferous Diagram fasa besi dan carbon : 11. Logam-logam Ferous Diagram fasa besi dan carbon : Material Teknik Suatu diagram yang menunjukkan fasa dari besi, besi dan paduan carbon berdasarkan hubungannya antara komposisi dan temperatur. Titik

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN DIMENSI BAJA AISI 1045 SETELAH PROSES PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

ANALISA PERUBAHAN DIMENSI BAJA AISI 1045 SETELAH PROSES PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT) ANALISA PERUBAHAN DIMENSI BAJA AISI 1045 SETELAH PROSES PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT) Sasi Kirono,Eri Diniardi, Isgihardi Prasetyo Jurusan Mesin, Universitas Muhammadiyah Jakarta Abstrak. Salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Alat uji Jominy adalah alat bantu proses pendinginan (quenching) dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Alat uji Jominy adalah alat bantu proses pendinginan (quenching) dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Alat Uji Jominy Test Alat uji Jominy adalah alat bantu proses pendinginan (quenching) dalam pengujian mampu keras pada baja. Pengujian dilakukan dengan specimen berupa

Lebih terperinci

Machine; Jurnal Teknik Mesin Vol. 2 No. 2, Juli 2016 ISSN :

Machine; Jurnal Teknik Mesin Vol. 2 No. 2, Juli 2016 ISSN : PEMANFAATAN CANGKANG BUAH KARET SEBAGAI ALTERNATIF CARBURIZER PADA PROSES PACK CARBURIZING BAJA KARBON RENDAH ST.37 Saparin Jurusan Teknik Mesin, Universitas Bangka Belitung Kampus Terpadu Desa Balun Ijuk

Lebih terperinci

PENELITIAN PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PEMANASAN LOW TEMPERING

PENELITIAN PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PEMANASAN LOW TEMPERING TUGAS AKHIR PENELITIAN PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PEMANASAN LOW TEMPERING, MEDIUM TEMPERING DAN HIGH TEMPERING PADA MEDIUM CARBON STEEL PRODUKSI PENGECORAN BATUR-KLATEN TERHADAP STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN

Lebih terperinci

Kekuatan tarik komposisi paduan Fe-C eutectoid dapat bervariasi antara MPa tergantung pada proses perlakuan panas yang diterapkan.

Kekuatan tarik komposisi paduan Fe-C eutectoid dapat bervariasi antara MPa tergantung pada proses perlakuan panas yang diterapkan. Fasa Transformasi Pendahuluan Kekuatan tarik komposisi paduan Fe-C eutectoid dapat bervariasi antara 700-2000 MPa tergantung pada proses perlakuan panas yang diterapkan. Sifat mekanis yang diinginkan dari

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MERCU BUANA

UNIVERSITAS MERCU BUANA BAB II DASAR TEORI 2.1. Perlakuan Panas Perlakuan panas didefinisikan sebagai kombinasi operasi pemanasan dan pendinginan terhadap logam atau paduan dalam keadaan padat dengan waktu tertentu, yang dimaksud

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan sifat-sifat logam yang diinginkan. Perubahan sifat logam akibat

II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan sifat-sifat logam yang diinginkan. Perubahan sifat logam akibat II TINJAUAN PUSTAKA A. Heat Treatment Proses perlakuan panas (Heat Treatment) adalah suatu proses mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro melalui proses pemanasan dan pengaturan kecepatan

Lebih terperinci

ANALISA KEKERASA DAN STRUKTUR MIKRO TERHADAP VARIASI TEMPERATUR TEMPERING PADA BAJA AISI 4140

ANALISA KEKERASA DAN STRUKTUR MIKRO TERHADAP VARIASI TEMPERATUR TEMPERING PADA BAJA AISI 4140 ANALISA KEKERASA DAN STRUKTUR MIKRO TERHADAP VARIASI TEMPERATUR TEMPERING PADA BAJA AISI 4140 Susri Mizhar 1) dan Gerhana Burhanuddin Tampubolon 2) 1,2 Jurusan Teknik Mesin,Institut Teknologi Medan (ITM)

Lebih terperinci

Pengaruh Heat Treatment Dengan Variasi Media Quenching Air Garam dan Oli Terhadap Struktur Mikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135

Pengaruh Heat Treatment Dengan Variasi Media Quenching Air Garam dan Oli Terhadap Struktur Mikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135 JURNAL Teori dan Aplikasi Fisika Vol. 4, No. 02, Juli Tahun 2016 Pengaruh Heat Treatment Dengan Variasi Media Quenching Air Garam dan Oli Terhadap Struktur Mikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlu dapat perhatian khusus baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya karena

BAB I PENDAHULUAN. perlu dapat perhatian khusus baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada bidang metalurgi, terutama mengenai pengolahan baja karbon rendah ini perlu dapat perhatian khusus baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya karena erat dengan

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR DAN HOLDING TIME DENGAN PENDINGIN YAMACOOLANT TERHADAP BAJA ASSAB 760

PENGARUH TEMPERATUR DAN HOLDING TIME DENGAN PENDINGIN YAMACOOLANT TERHADAP BAJA ASSAB 760 PENGARUH TEMPERATUR DAN HOLDING TIME DENGAN PENDINGIN YAMACOOLANT TERHADAP BAJA ASSAB 760 Adi Rachmat Setya Utama 1) Ir. H. Abdul Wahab, MT 2) Nur Robbi, ST. MT 3) Program Studi Teknik Mesin Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN KONDISI TEMPERING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN DARI BAJA AISI 4140

PENGARUH PERBEDAAN KONDISI TEMPERING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN DARI BAJA AISI 4140 PENGARUH PERBEDAAN KONDISI TEMPERING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN DARI BAJA AISI 4140 Susri Mizhar 1),2) dan Suherman 3) 1) Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri,Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Logam mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, hampir semua kebutuhan manusia tidak lepas dari unsur logam. Karena alat-alat yang digunakan manusia terbuat

Lebih terperinci

LAPORAN PRESENTASI TENTANG DIAGRAM TTT. Oleh: RICKY RISMAWAN : DADAN SYAEHUDIN :022834

LAPORAN PRESENTASI TENTANG DIAGRAM TTT. Oleh: RICKY RISMAWAN : DADAN SYAEHUDIN :022834 LAPORAN PRESENTASI TENTANG DIAGRAM TTT Oleh: RICKY RISMAWAN : 020571 DADAN SYAEHUDIN :022834 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Lebih terperinci

ANALISA KEGAGALAN PROSES HEAT TREATMENT BAJA SUP-9 PADA PEMBUATAN PEGAS DAUN

ANALISA KEGAGALAN PROSES HEAT TREATMENT BAJA SUP-9 PADA PEMBUATAN PEGAS DAUN Hal 55-75 ANALISA KEGAGALAN PROSES HEAT TREATMENT BAJA SUP-9 PADA PEMBUATAN PEGAS DAUN Agus Setyo Umartono, Subhan Awali Program Strudi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Univeritas Gresik ABSTRAK Persaingan

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Media Quenching Air, Oli, dan Angin Kompresor Terhadap Struktur Mikro dan Kekerasan Pada Baja AISI 1045

Pengaruh Variasi Media Quenching Air, Oli, dan Angin Kompresor Terhadap Struktur Mikro dan Kekerasan Pada Baja AISI 1045 Pengaruh Variasi Media Quenching Air, Oli, dan Angin Kompresor Terhadap Struktur Mikro dan Kekerasan Pada Baja AISI 1045 Yudi Asnuri*, Ihsan Saputra* and Fedia Restu* Batam Polytechnics Mechanical Engineering

Lebih terperinci

FERIT, PERLIT, SEMENTIT, MARTENSIT, DAN BAINIT

FERIT, PERLIT, SEMENTIT, MARTENSIT, DAN BAINIT TUGAS PENGETAHUAN BAHAN ALAT DAN MESIN FERIT, PERLIT, SEMENTIT, MARTENSIT, DAN BAINIT Oleh: RENDY FRANATA (1014071009) TIA YULIAWATI (1014071052) JURUSAN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH MANIPULASI PROSES TEMPERING TERHADAP PENINGKATAN SIFAT MEKANIS POROS POMPA AIR AISI 1045

ANALISA PENGARUH MANIPULASI PROSES TEMPERING TERHADAP PENINGKATAN SIFAT MEKANIS POROS POMPA AIR AISI 1045 ANALISA PENGARUH MANIPULASI PROSES TEMPERING TERHADAP PENINGKATAN SIFAT MEKANIS POROS POMPA AIR AISI 1045 Willyanto Anggono Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri Universitas Kristen Petra,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Data BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Penelitian ini merupakan eksperimen untuk mengetahui pengaruh temperatur media pendingin pasca pengelasan terhadap laju korosi dan struktur mikro.

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI SUHU PADA PROSES SELF TEMPERING DAN VARIASI WAKTU TAHAN PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA AISI 4140

PENGARUH VARIASI SUHU PADA PROSES SELF TEMPERING DAN VARIASI WAKTU TAHAN PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA AISI 4140 VANOS JOURNAL OF MECHANICAL ENGINEERING EDUCATION http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/vanos ISSN 2528-2611, e-issn 2528-2700 Vol.1, No.1, Juli 2016, Hlm.79-88. PENGARUH VARIASI SUHU PADA PROSES SELF

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan-bahan logam Baja adalah paduan antara besi dengan karbon (Fe-C) yang mengandung karbon maksimal 2,0 % dengan sedikit unsur silikon (Si), Mangan (Mn), Phospor (P), dan

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 4340

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 4340 ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 30 Sasi Kirono, Eri Diniardi, Seno Ardian Jurusan Mesin, Universitas Muhammadiyah Jakarta Abstrak.

Lebih terperinci

yang tinggi, dengan pencelupan sedang dan di bagian tengah baja dapat dicapai kekerasan yang tinggi meskipun laju pendinginan lebih lambat.

yang tinggi, dengan pencelupan sedang dan di bagian tengah baja dapat dicapai kekerasan yang tinggi meskipun laju pendinginan lebih lambat. 10: HARDENABILITY 10.1 Hardenability Mampu keras merujuk kepada sifat baja yang menentukan dalamnya pengerasan sebagai akibat proses quench dari temperatur austenisasinya. Mampu keras tidak dikaitkan dengan

Lebih terperinci

UJI KEKERASAN BAJA KONSTRUKSI ST-42 PADA PROSES HEAT TREATMENT

UJI KEKERASAN BAJA KONSTRUKSI ST-42 PADA PROSES HEAT TREATMENT INFO TEKNIK Volume 7 No. 1, Juli 26 (48 55) UJI KEKERASAN BAJA KONSTRUKSI ST-42 PADA PROSES HEAT TREATMENT Achmad Syarief 1) Abstract - In metalurgy term, especially the steel should have certain characters,

Lebih terperinci

Analisa Struktur Mikro Dan Kekerasan Baja S45C ANALISA STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN BAJA S45C PADA PROSES QUENCH-TEMPER DENGAN MEDIA PENDINGIN AIR

Analisa Struktur Mikro Dan Kekerasan Baja S45C ANALISA STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN BAJA S45C PADA PROSES QUENCH-TEMPER DENGAN MEDIA PENDINGIN AIR ANALISA STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN BAJA S45C PADA PROSES QUENCH-TEMPER DENGAN MEDIA PENDINGIN AIR Awang Annas Firmansyah S1 Pendidikan Teknik Mesin Produksi, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya

Lebih terperinci

HARDENABILITY. VURI AYU SETYOWATI, S.T., M.Sc TEKNIK MESIN - ITATS

HARDENABILITY. VURI AYU SETYOWATI, S.T., M.Sc TEKNIK MESIN - ITATS HARDENABILITY VURI AYU SETYOWATI, S.T., M.Sc TEKNIK MESIN - ITATS PRINSIP PERLAKUAN PANAS T e m p e r a t u r 723 o C 910 A 3 Anil sempurna dan pengerasan Penormalan A 1 A cm A 3 A 1 T e m p e r a t u

Lebih terperinci

PENGARUH BAHAN ENERGIZER PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP KEKERASAN CANGKUL PRODUKSI PENGRAJIN PANDE BESI

PENGARUH BAHAN ENERGIZER PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP KEKERASAN CANGKUL PRODUKSI PENGRAJIN PANDE BESI PENGARUH BAHAN ENERGIZER PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP KEKERASAN CANGKUL PRODUKSI PENGRAJIN PANDE BESI Eko Surojo 1, Joko Triyono 1, Antonius Eko J 2 Abstract : Pack carburizing is one of the processes

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PENAHANAN TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADA PROSES PENGKARBONAN PADAT BAJA MILD STEEL

PENGARUH WAKTU PENAHANAN TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADA PROSES PENGKARBONAN PADAT BAJA MILD STEEL PENGARUH WAKTU PENAHANAN TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADA PROSES PENGKARBONAN PADAT BAJA MILD STEEL Pramuko I. Purboputro Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl.A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH TEMPERATUR TEMPERING PADA PROSES QUENCHING TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIK BAJA AISI 4140

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH TEMPERATUR TEMPERING PADA PROSES QUENCHING TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIK BAJA AISI 4140 STUDI EKSPERIMEN PENGARUH TEMPERATUR TEMPERING PADA PROSES QUENCHING TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIK BAJA AISI 4140 FAISAL MANTA 2108100525 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Wajan Brata, DEA Tugas Akhir

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI. Purnomo *)

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI. Purnomo *) PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI Purnomo *) Abstrak Baja karbon rendah JIS G 4051 S 15 C banyak digunakan untuk bagian-bagian

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH TEMPERING

ANALISIS PENGARUH TEMPERING Analisis Pengaruh Tempering (Dzulfikar, dkk.) ANALISIS PENGARUH TEMPERING MENGGUNAKAN PEMANAS INDUKSI PASCA QUENCHING DENGAN MEDIA OLI PADA BAJA AISI 1045 TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN NILAI KEKERASAN SEBAGAI

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN DAN ANALISA PENGUJIAN

BAB III METODA PENELITIAN DAN ANALISA PENGUJIAN 23 BAB III METODA PENELITIAN DAN ANALISA PENGUJIAN Dalam menyelesaikan tugas akhir ini penulis akan memulai dari pengumpulan data acuan proses punch, heat treatment, metode pengujian kekerasan Vickers

Lebih terperinci

Audio/Video. Metode Evaluasi dan Penilaian. Web. Soal-Tugas. a. Writing exam.skor: 0-100(PAN)

Audio/Video. Metode Evaluasi dan Penilaian. Web. Soal-Tugas. a. Writing exam.skor: 0-100(PAN) Media Ajar Pertemuan ke Tujuan Ajar/Keluaran/Indikator Topik (pokok, sub pokok bahasan, alokasi waktu) Teks Presentasi Gambar Audio/Video Soal-Tugas Web Metode Evaluasi dan Penilaian Metode Ajar (STAR)

Lebih terperinci

ANALISA KEKERASAN PADA PISAU BERBAHAN BAJA KARBON MENENGAH HASIL PROSES HARDENING DENGAN MEDIA PENDINGIN YANG BERBEDA

ANALISA KEKERASAN PADA PISAU BERBAHAN BAJA KARBON MENENGAH HASIL PROSES HARDENING DENGAN MEDIA PENDINGIN YANG BERBEDA 28 Prihanto Trihutomo, Analisa Kekerasan pada Pisau Berbahan Baja Karbon Menengah.. ANALISA KEKERASAN PADA PISAU BERBAHAN BAJA KARBON MENENGAH HASIL PROSES HARDENING DENGAN MEDIA PENDINGIN YANG BERBEDA

Lebih terperinci

ANALISA QUENCHING PADA BAJA KARBON RENDAH DENGAN MEDIA SOLAR

ANALISA QUENCHING PADA BAJA KARBON RENDAH DENGAN MEDIA SOLAR ANALISA QUENCHING PADA BAJA KARBON RENDAH DENGAN MEDIA SOLAR H. Purwanto helmy_uwh@yahoo.co.id Laboratorium Proses Produksi Laboratorium Materiat Teknik Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

MODUL 9 PROSES PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

MODUL 9 PROSES PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT) MODUL 9 PROSES PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT) Materi ini membahas tentang proses perlakuan panas pada baja. Tujuan instruksional khusus yang ingin dicapai adalah (1) Menjelaskan defenisi dari proses

Lebih terperinci

Pengaruh Lama Pemanasan, Pendinginan secara Cepat, dan Tempering 600 o C terhadap Sifat Ketangguhan pada Baja Pegas Daun AISI No.

Pengaruh Lama Pemanasan, Pendinginan secara Cepat, dan Tempering 600 o C terhadap Sifat Ketangguhan pada Baja Pegas Daun AISI No. JURNAL Teori dan Aplikasi Fisika Vol. 01, No. 02, Juli 2013 Pengaruh Lama Pemanasan, Pendinginan secara Cepat, dan Tempering 600 o C terhadap Sifat Ketangguhan pada Baja Pegas Daun AISI No. 9260 Desti

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI ANALISIS STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIS KOMPONEN STUD PIN WINDER BAJA SKD-11 YANG MENGALAMI PERLAKUAN PANAS DISERTAI PENDINGINAN NITROGEN Naskah Publikasi ini disusun guna memenuhi Tugas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Alat Pengujian Impak Sejarah pengujian impak terjadi pada masa Perang Dunia ke 2, karena ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal

Lebih terperinci

09: DIAGRAM TTT DAN CCT

09: DIAGRAM TTT DAN CCT 09: DIAGRAM TTT DAN CCT 9.1. Diagram TTT Maksud utama dari proses perlakuan panas terhadap baja adalah agar diperoleh struktur yang diinginkan supaya cocok dengan penggunaan yang direncanakan. Struktur

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MATERIAL BUCKET TEETH PADA EXCAVATOR UNTUK PENINGKATAN KUALITAS DAN PEMBUATAN

KARAKTERISASI MATERIAL BUCKET TEETH PADA EXCAVATOR UNTUK PENINGKATAN KUALITAS DAN PEMBUATAN INFOMATEK Volume 18 Nomor 2 Desember 2016 KARAKTERISASI MATERIAL BUCKET TEETH PADA EXCAVATOR UNTUK PENINGKATAN KUALITAS DAN PEMBUATAN Bukti Tarigan *) Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

RANGKUMAN NORMALISING

RANGKUMAN NORMALISING RANGKUMAN NORMALISING Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perlakuan Panas yang diberikan oleh : Drs. Yusep Sukrawan, MT. Disusun Oleh : Rikky Syarif A. (020836) Deden Suherman (021762)

Lebih terperinci

PERLAKUAN PANAS MATERIAL AISI 4340 UNTUK MENGHASILKAN DUAL PHASE STEEL FERRIT- BAINIT

PERLAKUAN PANAS MATERIAL AISI 4340 UNTUK MENGHASILKAN DUAL PHASE STEEL FERRIT- BAINIT PERLAKUAN PANAS MATERIAL AISI 4340 UNTUK MENGHASILKAN DUAL PHASE STEEL FERRIT- BAINIT (1) Beny Bandanadjaja (1), Cecep Ruskandi (1) Indra Pramudia (2) Staf pengajar Program Studi Teknik Pengecoran Logam

Lebih terperinci