IV. GAMBARAN UMUM KONDISI PENDIDIKAN GURU SD DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. GAMBARAN UMUM KONDISI PENDIDIKAN GURU SD DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR"

Transkripsi

1 IV. GAMBARAN UMUM KONDISI PENDIDIKAN GURU SD DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR 4.1. KOTA BOGOR Profil Pendidikan Guru Kota Bogor merupakan wilayah yang terletak di dalam Kabupaten Bogor, seluruh wilayah Kota Bogor berbatasan dengan Kabupaten Bogor, dan lokasinya berdekatan dengan Jakarta. Jumlah penduduk orang menghuni wilayah seluas Ha terbagi menjadi 6 kecamatan dan terdiri dari 68 kelurahan (Bakorwil Bogor, 2006). Sebagai kota kecil, Kota Bogor memiliki wilayah yang hampir seluruh kecamatannya berdekatan dengan pusat kota, dan memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi yaitu jiwa per km2. Tabel 4. Kondisi Pendidikan Guru SD di Kota Bogor Tahun Kondisi Guru SD Jumlah Jumlah Guru SD (orang) Jumlah Guru SD yang belum S1 (orang) Wilayah ketersebaran guru (kelurahan) 68 Rasio Murid dengan Guru 25,43 Sumber : Profil Pendidikan Jawa Barat Tahun 2005 Dari Tabel 4 dapat dilihat kondisi pendidikan guru SD di Kota Bogor, dimana jumlah guru SD di Kota Bogor pada tahun ajaran 2004/2005 adalah orang dan mengajar di 312 SD yang tersebar di 68 kelurahan. Kota Bogor memiliki rasio Murid dengan Guru 25,43 sedikit lebih tinggi dibandingkan rasio murid/guru di Jawa Barat yaitu 25. Kondisi ruang kelas SD di Kota Bogor juga termasuk yang cukup bagus, karena persentase kerusakannya hanya 3,1 persen dari seluruh ruang kelas SD yang ada. (Depdiknas, 2006)

2 Berdasarkan Perda No.1 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Tahun ) salah satu fungsi Kota Bogor adalah sebagai Kota Pendidikan. Bila disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yang mengatur kompetensi guru dan rencana pemerintah dalam sepuluh tahun mendatang, guru SD wajib memiliki pendidikan minimal S1, namun ternyata kondisi pendidikan guru SD di Kota Bogor masih belum menunjukkan seperti yang diharapkan, hal ini dapat dilihat pada besarnya jumlah guru yang masih belum memiliki pendidikan sampai jenjang S1. Dari orang guru yang mengajar di kota Bogor, terdapat orang atau 79,33 persen yang pendidikannya belum mencapai S1, walaupun demikian Kota Bogor bila dilihat pada Peta Persebaran Guru SD/MI Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 (Depdiknas, 2006) merupakan kota nomor tiga di Jawa Barat yang memiliki jumlah guru SD dengan pendidikan S1 cukup besar (15,8 persen) setelah Kota Bekasi (20,4 persen) dan Kota Bandung (16,3 persen). Gambar 5 memperlihatkan persentase guru SD di Kota Bogor (tidak termasuk guru MI) yang tingkat pendidikannya belum S1 yaitu 79,33 persen dan terdiri dari guru berpendidikan <SLTA (21,30 persen), DI (1,60 persen), DII (73,30 persen), dan DIII atau Sarjana Muda sebanyak 3,80 persen (Profil Pendidikan Jawa Barat, 2005). Dari data ini terlihat bahwa daerah perkotaan (Kota Bogor terletak di dalam Kabupaten Bogor) merupakan wilayah yang memiliki keuntungan tersendiri bagi pengembangan pendidikan, karena wilayahnya tidak luas yang tidak terkendala oleh kondisi geografis. Fasilitas pendidikan yang tersedia lebih banyak dan memiliki perguruan tinggi yang memudahkan masyarakat untuk memperoleh pendidikan.

3 Sumber: Profil Pendidikan Jawa Barat. Tahun 2005 Gambar 5. Persentase Guru SD yang Belum S1 di Kota Bogor Tahun 2005 Di Kota Bogor terdapat perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang menyediakan banyak pilihan program studi, namun untuk keperluan peningkatan pendidikan khusus guru SD hanya ada di Universitas Pakuan dan Ibnu Khaldun yang dapat memfasilitasi, meskipun masih belum memperoleh kejelasan izin dari Dikti dalam penyelenggaraannya. Oleh karena hampir seluruh wilayahnya terletak di pusat perkotaan, kondisi ini mempengaruhi tingkat kesejahteraan guru yang lebih baik dibandingkan dengan guru yang berada di daerah yang jauh dari pusat perkotaan. Perhatian pemerintah Kota Bogor juga terrlihat dari adanya stimulus dana untuk meningkatan kesejahteraan guru SD antara lain adalah pemberian bea siswa untuk guru berprestasi yang dilombakan setiap tahun, dan tunjangan untuk guru yang diseleksi oleh Disdik karena prestasi tertentu dan tunjangan lain-lainnya)

4 Anggaran Pendidikan untuk Guru SD Prioritas pembangunan pendidikan dapat dilihat dari anggaran yang dialokasikan untuk bidang pendidikan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 5. Total penerimaan daerah sebesar Rp 501,706 milyar dan PAD sebesar Rp 60,263 milyar ternyata tidak diprioritaskan pada pengembangan pendidikan guru SD. Sebagian besar dana dalam APBD tahun 2006, digunakan untuk biaya Belanja Pegawai, yang di dalamnya termasuk administrasi rutin, yang meliputi pembayaran gaji pegawai, dan biaya pembangunan. Tabel 5. APBD Kota Bogor Tahun 2006 URAIAN JUMLAH (Milyar Rupiah) TOTAL PENERIMAAN 501,706 BAGIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH 60,263 Pos Dana Alokasi Umum 302,515 Pos Dana Alokasi Khusus 7,620 TOTAL BELANJA 545,381 Belanja Pegawai 227,390 Belanja Barang dan Jasa 128.,723 Belanja Perjalanan Dinas 0,660 Belanja Pemeliharaan 4,867 Belanja Lain-lain 0 Belanja Modal 148,004 Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan 28,577 Belanja Tidak Tersangka 7,160 Sumber : Sebenarnya dalam APBD dialokasikan juga anggaran khusus untuk pengembangan pendidikan guru SD yang salah satunya adalah dengan pemberian beasiswa, namun jumlahnya sangat sedikit (hanya kira-kira untuk 30 orang guru SD dan TK), dan dana ini tidak disediakan setiap tahun. Biaya bea siswa guru per orang per tahun adalah Rp 1,5 juta. Peningkatan kualitas dan kompetensi guru dilakukan dengan mengikuti pelatihan rutin yang

5 pelaksanaannya dilakukan setiap tahun dan anggarannya sudah masuk dalam biaya administrasi umum/rutin. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor termasuk yang tidak besar hanya Rp 60,263 milyar atau hanya 12,01 persen dari total penerimaan. Dana Alokasi Umum (DAU) ternyata jumlahnya sangat besar Rp 302,515 milyar, yang menunjukkan bahwa Kota Bogor sebenarnya belum dapat dikatakan mandiri secara finansial meskipun sudah dilaksanakan otonomi daerah selama lebih dari enam tahun. Kondisi seperti ini juga menggambarkan bahwa Kota Bogor sebenarnya masih sangat tergantung pada bantuan pemerintah Pusat, meskipun sudah mulai banyak usaha yang dilakukan pemerintah kota untuk meningkatkan PAD dengan mengefektifkan pemasukan dari pajak yang dapat diambil dari banyak sektor yang ada. Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan transfer yang bersifat khusus (specific grant) untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan khusus Daerah dan/atau kepentingan Nasional. DAK untuk Kota Bogor tidak besar jumlahnya (Rp 7,620 milyar) dan kegiatan yang dibiayai dari DAK tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 6 yang memperlihatkan bahwa bidang pendidikan memang diprioritaskan dengan dikucurkannya DAK yang jumlahnya paling besar bila dibandingkan dengan bidang lainnya, namun sasaran penggunaan DAK bukanlah untuk peningkatan pendidikan guru SD, melainkan lebih diutamakan pada rehabiltasi gedung/ruang kelas SD yang ada. Menurut Ketua Komisi D DPRD, Pemkot Bogor termasuk daerah yang memprioritaskan anggaran pembangunan pendidikan, karena prosentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran untuk dinas-dinas yang lain. Namun karena peningkatan pendidikan guru SD di Kota masih belum menjadi prioritas utama, dan yang menjadi prioritas utama adalah pendidikan gratis untuk SD,

6 serta rehabilitas gedung maka pemerintah Kota Bogor lebih mementingkan pada peningkatan kesejahteraan guru-guru yang ada di wilayahnya. Tabel 6. Bidang Kegiatan yang Dibiayai DAK Kota Bogor Tahun 2006 BIDANG KEGIATAN JUMLAH ( x Jutaan Rp) Pendidikan 2,39 Kesehatan 1,99 Infrastruktur jalan 1,50 irigasi 0,00 air bersih 0,41 Kelautan dan Perikanan 0,00 Pertanian 1,33 Prasarana pembangunan 0,00 Lingkungan hidup 0,00 Total 7,62 Sumber : Pemerintah Kota Bogor juga mengeluarkan beberapa Peraturan Daerah (Perda) tentang penyelenggaraan pendidikan di Kota Bogor yang menyangkut pembebasan biaya sekolah untuk SD/MI, dan pembebasan biaya sekolah ini tidak mengurangi kesejahteraan guru, karena pungutan dari murid ini diganti oleh pemerintah kota. Pada tahun 2006, Komisi D DPRD mengembangkan peraturan daerah (Perda) tentang Pendidikan SD yang akan dilaksanakan pada tahun Perda ini berisikan tentang pembebasan biaya sekolah untuk 60% dari SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang ada di Kota Bogor. Kriteria gratis dengan melihat kelayakan dari sekolah dan indikator ekonomi rata-rata orang tua di sekolah tersebut. Maksud dari Perda ini adalah membantu peningkatan keterjangkauan pendidikan yang baik dan murah Pengembangan Pendidikan Guru SD. Menurut informasi dari Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Kantor Dinas Pendidikan Kota Bogor, memprioritaskan pembangunan pendidikan khusus pada

7 anak usia sekolah dari keluarga miskin (AUSKM) yang merupakan program yang digulirkan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat. Program ini hanya dilaksanakan oleh beberapa pemkab/pemkot, dan salah satunya adalah Kota Bogor yang cukup berhasil dalam pelaksanaannya. Dengan adanya dana BOS, maka AUSKM dihapuskan namun menuntaskan wajib balajar 12 tahun tetap menjadi prioritas utama dalam anggaran. Meskipun peningkatan pendidikan guru SD belum menjadi prioritas utama pembangunan pendidikan Kota Bogor, namun sejak tahun 1996 pemerintah Kota Bogor sudah berusaha untuk melaksanakan kebijakan pemerintah tentang pendidikan minimal yang harus dimiliki guru SD. Karena saat itu otonomi belum diberlakukan, program peningkatan guru SD yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota berasal dari Depdiknas dengan memberi bea siswa untuk guru SD agar pendidikannya ditingkatkan menjadi DII dan dilaksanakan dengan menggunakan sistem PJJ. Pemberian bea siswa ini tidak selalu direspon oleh pemerintah daerah, namun Kota Bogor sudah melaksanakannya dan memanfaatkan dana bea siswa dengan memberikan dana pendamping yang berasal dari anggaran pemerintah Kota Bogor meskipun jumlahnya tidak banyak (rata-rata untuk 30 mahasiswa per tahun), dan tidak selalu ada setiap tahunnya. Menurut Ketua Komisi D DPRD Kota Bogor, peningkatan pendidikan guru SD memang belum diprioritaskan, karena masih mengejar pengentasan Wajar Dikdas 9 tahun, namun Kepala Dinas Pendidikan menegaskan bahwa peningkatan pendidikan guru SD merupakan prioritas, meskipun dana yang dianggarkan untuk bea siswa masih sangat jauh dari memadai. Gambar 6 menunjukkan perkembangan jumlah guru SD yang diberi bea siswa oleh Depdiknas (Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan atau PMPTK) dan dari APBD Kota Bogor, dari sebelum otonomi (tahun 1996 sampai

8 dengan tahun 2001) sampai saat otonomi tahun Bea siswa yang berasal dari pemkot ternyata tidak muncul lagi sejak tahun 1997 sampai tahun Pemerintah Kota Bogor baru aktif memberi bea siswa untuk S1 sebanyak 30 orang sejak tahun 2004 hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perubahan kebijakan yang sudah disosialisasikan yaitu UU No 14 tentang Guru dan Dosen dimana pendidikan minimal untuk guru adalah S1, dengan dana yang berasal dari pemerintah Provinsi Jawa Barat (dana Dekonsentrasi). Dana bea siswa diberikan untuk guru yang sudah menyelesaikan pendidikan DII pada masa sebelum otonomi, sehingga pemkot menanggung bea siswa yang tidak besar karena hanya membiayai 5 semester masa studi yang harus ditempuh untuk mencapai jenjang S1. Tahun 2005 dengan stimulan dari Depdiknas (PMPTK) untuk S1 sebanyak 30 guru SD, Kota Bogor memberi pendamping 30 guru SD untuk diberi bea siswa. Setelah absen pada tahun 2006, tahun 2007 pemkot Bogor memberikan bea siswa kepada 70 orang guru SD untuk dididik menjadi S1. Jadi otonomi di Kota Bogor berpengaruh terhadap peningkatan jumlah guru SD yang mendapatkan bea siswa baik dari PMPTK maupun pemerintah Kota Bogor. o r a n g PMPTK Pemkot Gambar 6. Perkembangan Jumlah Guru SD yang Diberi Bea Siswa di Kota Bogor dari Tahun

9 Untuk menyelesaikan masalah mendasar yaitu meningkatkan kualitas pendidikan guru dengan meningkatkan potensi akademik dan profesionalisme guru, pemerintah Kota Bogor merencanakan untuk tahun-tahun mendatang tidak hanya guru SD yang diberi bea siswa, namun juga guru TK. Kriteria yang digunakan oleh Disdik dalam menyeleksi guru untuk diberi bea siswa adalah yang pendidikannya sudah DII (tidak berlaku untuk guru TK karena bagi guru TK pendidikan akhirnya adalah SLTA), kemampuan secara ekonomi dan masa kerja minimal 10 tahun. Komisi D DPRD kota Bogor sangat mendukung program bea siswa untuk guru SD ini, bahkan ada stimulus bagi guru yang berprestasi, yang dilombakan setiap tahun untuk diberi bea siswa. Peningkatan pendidikan guru SD juga dilakukan secara swadana, yaitu guru SD yang memiliki masa kerja masih panjang berusaha untuk meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi setempat atau menggunakan sistem PJJ dengan menggunakan dana sendiri. Jadi sebenarnya Kota Bogor yang hanya memiliki 6 Kecamatan, dan secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat perkotaan, akses guru untuk memperoleh peningkatan pendidikan lebih mudah, disamping itu kondisi ekonomi, fasilitas, dan perhatian pemerintah kota sangat mendukung, sehingga tingkat pendidikan mereka yang masih belum S1, relatif lebih baik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota Bogor Beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan peningkatan pendidikan Guru di Kota Bogor agar sesuai dengan yang dikendaki UU Guru dan Dosen dan sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh UU No 33 dan 34 tentang Pemerintah Daerah antara lain adalah:

10 a. Kondisi keuangan Kota Bogor. Sebagai kota kecil dengan PAD yang juga kecil, Kota Bogor termasuk pada kota yang masih sangat tergantung pada bantuan pusat. Kondisi keuangan ini berpengaruh pada kondisi guru yang secara ekonomi keadaannya tidak selalu dapat menunjang untuk meningkatkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, bila tidak ada bantuan dari pemerintah. b. Prioritas pembangunan pendidikan Prioritas pembangunan pendidikan saat ini adalah terlaksananya wajar dikdas 12 tahun yang merupakan program nasional dan terlaksananya SD gratis. Sedangkan peningkatan pendidikan guru SD masih diupayakan masuk dalam skala prioritas karena merupakan tuntutan UU Guru dan Dosen. c. Penggunaan sistem belajar yang tepat bagi guru Meskipun guru wajib meningkatkan pendidikannya minimal S1, namun mereka juga terkendala oleh aturan yang diberlakukan untuk tidak meninggalkan tugasnya. Sebelum otonomi kendala ini dapat diatasi oleh Depdiknas dengan menggunakan sistem PJJ. Meskipun demikian ketakutan akan sulit lulus karena dalam sistem PJJ diperlukan kemandirian perlu dijadikan pertimbangan khusus. Setelah otonomi pembangunan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah harus dapat memberikan alternatif yang paling sesuai untuk memilih sistem pendidikan yang paling cocok bagi guru SD apakah dengan PJJ ataukah dengan tatap muka. Namun karena wilayahnya yang tidak terlalu luas dan letaknya yang berada di antara Bogor dan Jakarta, guru di Kota Bogor tidak terlalu terkendala dengan aturan ini, yang harus diperhatikan adalah bagaimana keinginan guru untuk meningkatkan pendidikannya dipenuhi

11 dengan menyediakan sistem pendidikan yang cocok sehingga aturan ini dapat diatasi tanpa merugikan siapa pun KABUPATEN BOGOR Profil Pendidikan Guru Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang terletak bersebelahan dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Provinsi Banten. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor menurut Survei Sosial Ekonomi Daerah 2005 (BPS) adalah orang dan tinggal dalam wilayah seluas Ha, terbagi dalam 40 kecamatan dan terdiri dari 426 desa/kelurahan (Bakorwil Bogor, 2006). Kabupaten Bogor memiliki wilayah yang sangat luas (lebih dari 28 kali luas Kota Bogor), dengan kepadatan penduduk jiwa per km2 tidak sepadat Kota Bogor yaitu jiwa per km2. Jumlah guru SD di Kabupaten Bogor pada tahun ajaran 2004/2005 adalah orang dan mengajar di SD dengan rasio Murid dan Guru 32,50; dan tersebar di 426 desa/kelurahan (Tabel 7) yang menunjukkan betapa luas ketersebaran letak SD yang otomatis juga ketersebaran guru yang mengajar di Kabupaten Bogor. Tabel 7. Kondisi Pendidikan Guru SD di Kabupaten Bogor Tahun Kondisi Guru SD Jumlah Jumlah Guru SD (orang) Jumlah Guru SD yang belum S1 (orang) Wilayah ketersebaran guru (kelurahan) 426 Rasio Murid dengan Guru 32,50 Sumber : Profil Pendidikan Jawa Barat Tahun 2005

12 Menurut Ketua Komisi D Kabupaten Bogor, masalah penting yang ada di Kabupaten Bogor adalah kekurangan guru SD. Data dari Depdiknas (2006) rasio Murid dengan Guru di Kabupaten Bogor (32,5) lebih tinggi dari Kota Bogor (25,43) yang merupakan rasio murid/guru tertinggi di Jawa Barat serta lebih tinggi dari rasio murid dengan guru di Indonesia (21). Bila hanya melihat tingginya nilai rasio murid dengan guru, hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor memang kekurangan jumlah guru, namun sebenarnya masalah tersebut harus lebih dicermati dari sisi pendistribusian guru ke daerah-daerah yang sangat luas, sehingga nilai rasio murid dan guru tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator penyebab kekurangan guru di Kabupaten Bogor. Luasnya Wilayah Kabupaten Bogor berakibat pada ketidakseimbangan distribusi guru SD untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di setiap desa atau kelurahan yang ada. Masalah yang muncul adalah terjadi kekurangan di desa tertentu (terutama yang letaknya di wilayah terpencil) dan terjadi kelebihan jumlah guru di wilayah lain terutama yang berada di dekat pusat perkotaan.. Jalan keluar yang diambil oleh Disdik Kabupaten Bogor adalah dengan mengangkat guru honorer atau guru kontrak, dan ternyata kesejahteraannya masih sangat memprihatinkan terutama bagi mereka yang ditempatkan di daerah terpencil. Di era otonomi daerah terlihat adanya kecenderungan guru-guru yang berkualitas terkonsentrasi di pusat kota, hal ini akibat dari fungsi Disdik Provinsi untuk memutasikan guru sudah tidak ada lagi. Kesejahteraan guru yang mengajar di pusat perkotaan terlihat lebih baik dibandingkan dengan rekan mereka yang mengajar di daerah terpencil. Kondisi ini menambah terpuruknya kondisi guru di Kabupaten Bogor, tidak hanya dilihat dari sisi kesejahteraannya namun terlebih lagi pada nasib peningkatan pendidikannya.

13 Di samping masalah kekurangan tenaga guru, di Kabupaten Bogor terdapat unit SD yang kondisinya rusak dan perlu diperbaiki. Menurut Depdiknas (2006) jumlah ruang kelas SD/MI dengan kondisi rusak parah di Kabupaten Bogor ini mencapai 8,6 persen dari total ruangan yang ada, menduduki peringkat kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung (10,3 persen). Jumlah guru yang belum S1 yaitu orang atau 82,58 persen terdiri dari yang yang pendidikannya < SLTA sebanyak 22,98 persen, DI 1,38 persen, DII sebanyak 73,27 persen, dan DIII atau Sarjana Muda sebanyak 2,37 persen. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 8. Sumber: Profil Pendidikan Jawa Barat. Tahun 2005 Gambar 7. Persentase Guru SD yang Belum S1 di Kabupaten Bogor Tahun 2005 Bukan hal yang mudah bagi pemerintah kabupaten Bogor untuk meningkatkan jumlah guru sampai pendidikan minimal S1. Anggaran pendidikan daerah yang terbatas, oleh pemerintah digunakan untuk banyak prioritas sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Di Kabupaten Bogor terdapat perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang menyediakan banyak pilihan program studi, namun untuk keperluan peningkatan pendidikan khusus untuk

14 guru SD, perguruan tinggi yang paling dekat adalah Universitas Pakuan dan Ibnu Khaldun yang berlokasi di Kota Bogor dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berlokasi di Jakarta. Banyak perguruan tinggi yang menawarkan program kependidikan (bukan untuk guru SD) yang menawarkan bidang studi tertentu dan mereka beroperasi tanpa izin dari DIKTI di Kota Depok, Sukabumi, dan Cianjur dengan menawarkan banyak kemudahan untuk lulus. Perguruan Tinggi ini biasanya didirikan dengan bendera organisasi PGRI yang merupakan wadah para guru, sehingga sangat mudah untuk menarik guru untuk studi di situ Anggaran Pendidikan Untuk Guru Penggunaan APBD untuk pembangunan pendidikan di Kabupaten Bogor saat ini masih terfokus pada pengentasan Wajar Dikdas 9 tahun. Tabel 8 memperlihatkan bahwa APBD tahun 2006, sebagian besar digunakan untuk biaya belanja pegawai, yang didalamnya termasuk biaya administrasi rutin, meliputi pembayaran gaji pegawai, dan biaya pembangunan. Tabel 8. APBD Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam jutaan Rupiah) URAIAN JUMLAH (dalam milyar Rupiah) TOTAL PENERIMAAN 1.271,641 BAGIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH 202,199 Pos Dana Alokasi Umum 806,900 Pos Dana Alokasi Khusus 22,710 TOTAL BELANJA 1.374,744 Belanja Pegawai 599,278 Belanja Barang dan Jasa 178,272 Belanja Perjalanan Dinas 38,325 Belanja Pemeliharaan 42,682 Belanja Lain-lain 0 Belanja Modal 345,141 Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan 146,047 Belanja Tidak Tersangka 25,000 Sumber :

15 Dalam APBD tahun 2006 Kabupaten Bogor tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk pengembangan pendidikan guru SD. Peningkatan kualitas dan kompetensi guru dilakukan dengan mengikuti pelatihan rutin yang pelaksanaannya dilakukan setiap tahun dan anggarannya sudah masuk dalam biaya administrasi umum/rutin. Peningkatan pendidikan guru SD dilakukan secara swadana oleh para guru yang mampu dan tinggal di kecamatan yang letaknya dekat dengan pusat kota, dan mengikuti kuliah di PTS yang terdekat, atau dengan mengikuti studi di UT dengan menggunakan sistem PJJ. Kabupaten Bogor termasuk daerah kaya karena memiliki PAD terbesar se Jawa Barat namun ternyata kebijakan pemerataan pendidikan terutama peningkatan pendidikan guru SD justru tidak ada. Pembangunan pendidikan di kabupaten Bogor diprioritaskan pada penuntasan wajib belajar pendidikan dasar serta perbaikan sarana dan prasarana sekolah. Disamping itu prioritas pendidikan juga ditujukan untuk meningkatkan nilai IPM, karena ternyata nilai rata-rata IPM pemerintah Kabupaten Bogor lebih kecil dari rata-rata IPM provinsi Jawa Barat. Menurut Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bogor, di wilayahnya terdapat lebih dari unit SD yang rusak dan perlu perbaikan segera dan dibiayai dengan menggunakan anggaran DAK, di samping itu PAD yang berkisar 12 15% dari APBD belum dapat mencukupi untuk pembangunan pendidikan secara menyeluruh. Bagi guru SD, yang lebih diutamakan bukan peningkatan pendidikannya, namun kepada peningkatan kesejahteraan, dengan diberikannya tunjangan kesehatan. Meskipun Kabupaten Bogor memiliki PAD yang paling besar se Jawa Barat, namun ternyata Kabupaten Bogor juga memiliki DAU yang sangat besar (50 persen lebih dari total penerimaan dalam APBD). Hal ini menunjukkan bahwa

16 meskipun pendapatan daerahnya sangat besar Kabupaten Bogor juga masih sangat tergantung pada bantuan finansial dari pemerintah Pusat. Ketidakmandirian secara finansial ini dialami oleh banyak daerah yang biasanya memiliki PAD kecil, namun ternyata tidak berlaku untuk Kabupaten Bogor. Rincian kegiatan yang dibiayai dengan menggunakan DAK untuk Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 9, yang menggambarkan bahwa bidang pendidikan menjadi prioritas utama dengan diberikannya 36,99 persen dana DAK yang digunakan terutama untuk rehabilitasi gedung/ruang kelas, karena bagi Kabupaten Bogor kondisinya sangat kritis, bahkan menduduki peringkat ketiga terparah se-jawa Barat, yang harus segera ditanggulangi. Tabel 9. Bidang Kegiatan yang Dibiayai DAK Kabupaten Bogor Tahun 2006 BIDANG KEGIATAN JUMLAH (%) Pendidikan 36,99 Kesehatan 20,34 Infrastruktur jalan 21,54 irigasi 0,00 air bersih 3,35 Kelautan dan Perikanan 2,95 Pertanian 9,33 Prasarana pembangunan 3,30 Lingkungan hidup 2,20 Total 100 Sumber : (dengan pengolahan) Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pemda masih belum memprioritaskan pengembangan peningkatan pendidikan guru SD, meskipun UU No 14 menghendaki adanya kualitas S1 yang menjadi standar pendidikan minimal yang harus dimiliki oleh guru. Bahkan kebijakan untuk peningkatan pendidikan guru SD juga belum jelas apakah meneruskan sistem lama yang dilaksanakan oleh Depdiknas dengan menggunakan sistem PJJ dengan tanpa atau diberi bea siswa, atau mungkin menggunakan kebijakan lain.

17 Bila dilihat dari sumber dana yang ada meskipun tidak selalu tersedia setiap tahun yaitu dana Dekonsentrasi, ternyata ada keengganan pemkot atau pemkab menggunakan dana Dekon tersebut sebagai dana untuk peningkatan pendidikan guru SD. Hal ini disebabkan karena masalah pembagian dan tanggung jawab, dimana dana Dekon adalah hak provinsi yang pelaksanaan kegiatannya diturunkan ke daerah, namun jumlah dana yang mengucur ke pemkot/pemkab sebagai pelaksana sangat sedikit sehingga pemkot/pemkab enggan melaksanakan Pengembangan Pendidikan Guru SD. Sebelum otonomi penanggung jawab pengembangan guru SD di seluruh Indonesia dilaksanakan oleh Depdiknas dan berada dalam naungan Ditjen PMPTK dengan cara memberi bea siswa untuk penyetaraan guru SD ke jenjang DII (sesuai dengan peraturan pemerintah saat itu) dan dilaksanakan dengan menggunakan sistem PJJ. Penggunaan sistem PJJ adalah cara untuk dapat menjangkau seluruh guru yang tidak hanya berdomisili di pusat perkotaan namun juga menjangkau ke seluruh pelosok wilayah Indonesia, jadi PJJ oleh Depdiknas digunakan sebagai alat pemerataan pendidikan. Pemberian bea siswa ini dimaksudkan untuk dijadikan stimulan bagi pemerintah daerah agar ikut berperan serta dengan menambah dana (sebagai dana pendamping) guna membiayai guru di daerahnya. Perkembangan pemberian bea siswa di Kabupaten Bogor disajikan pada Gambar 9 yang menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Bogor dari tahun 1996 sampai tahun 2000 hanya sedikit memberikan bea siswa bagi guru, dan yang terbesar dilakukan oleh PMPTK (sesuai kewenangan pada saat itu). Bea siswa dari PMPTK yang diberikan kepada pemerintah Kabupaten Bogor dari

18 tahun 1997 sampai 2000 adalah data gabungan dari Kabupaten Bogor, Depok yang pada saat itu masih masuk dalam Kabupaten Bogor, dan wilayah Tangerang, Lebak, dan Serang sebelum memisahkan diri masuk ke Provinsi Banten PMPTK Pemkab Gambar 8. Perkembangan Jumlah Guru SD yang Diberi Bea Siswa di Kabupaten Bogor dari Tahun Dari tahun 1998 sampai 2006, di Kabupaten Bogor tidak terlihat adanya peningkatan pendidikan untuk guru SD yang dilakukan dengan pemberian bea siswa dari pemda, yang ada adalah beasiswa pemberian PMPTK meskipun jumlahnya semakin menurun, bahkan berhenti dari tahun 2001 sampai tahun Tahun 2001 sampai 2003 merupakan tahun peralihan dari sentralisasi menuju ke otonomi daerah dengan diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah, sehingga belum terjadi kejelasan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh daerah dan pusat dan juga merupakan tahun persiapan daerah dalam menerapkan undang-undang yang baru. Pada tahun 2004 dan 2005, guru SD di pemerintah Kabupaten Bogor memperoleh bea siswa dari PMPTK sebagai stimulan (pemancing agar pemda

19 memberi bea siswa), sebanyak 30 dan 60 orang, namun ternyata pemkab Bogor belum memprioritaskan peningkatan pendidikan guru SD yang ada. Pada tahun 2006 tidak ada bea siswa bagi guru SD di Kabupaten Bogor. Jadi otonomi daerah di Kabupaten Bogor berpengaruh menurunkan jumlah guru SD yang diberi bea siswa baik dari PMPTK maupun Pemda. Otonomi daerah juga tidak memberi ruang penambahan pendidikan bagi guru SD yang berada di Kabupaten Bogor sampai tahun 2006, padahal bila dilihat dari salah satu misi yang diemban oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor yaitu meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dan salah satu tujuan yang tertuang di dalamnya adalah meningkatkan mutu guru, pada kenyataannya nasib pendidikan guru SD tidak mengalami perubahan yang nyata, meskipun UU Guru dan Dosen dapat digunakan sebagai pressure untuk mencapai hal tersebut. Pada tahun 2004, pemerintah Kabupaten Bogor pernah melakukan usaha untuk meningkatkan pendidikan guru SD dengan cara memberi beasiswa yang sangat terbatas bagi guru-guru untuk mengikuti studi di UPI dan UNJ. Namun hasilnya ternyata para guru tersebut tidak dapat menyelesaikan studinya karena biaya yang tidak mencukupi dan ketiadaan waktu untuk meninggalkan pekerjaannya guna mengikuti perkuliahan yang dilaksanakan di Cibinong dan Jakarta. Akhirnya sampai saat ini guru-guru tersebut masih belum dapat menyelesaikan pendidikan S1-nya. Sedangkan bea siswa pemda untuk guru mengikuti pendidikan dengan sistem PJJ masih diragukan, karena dengan sistem PJJ menurut Dinas dan Kepala Sekolah serta DPRD guru akan mendapat kesulitan dalam menyelesaikan pendidikannya (tidak cepat lulus). Hal ini disebabkan oleh kondisi guru yang tidak biasa belajar secara mandiri, dan ketidaktahuan dalam pelaksanaan akan sistem PJJ.

20 Perkembangan yang sangat mengejutkan terjadi pada tahun 2007, dimana pemerintah Kabupaten Bogor tiba-tiba memberi bea siswa S1 kepada guru SD, dan dibiayai oleh dana murni dari APBD. Jumlah ini mencakup 15,40 persen dari jumlah guru SD yang pendidikannya belum S1. Guru-guru yang diberi dana beasiswa ini diambil dari guru SD yang sudah memiliki pendidikan DII, sehingga dapat mengurangi biaya karena waktu studi yang diperlukan untuk mencapai S1 hanya tinggal 4-5 semester lagi. Peningkatan pendidikan guru SD tetap menggunakan sistem PJJ, meneruskan kebijakan Depdiknas sebelum otonomi. Pemerintah Kabupaten Bogor sudah merencanakan pemberian bea siswa ini untuk tahun 2008, dan tahun berikutnya, sehingga diprediksi dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun mendatang, tidak ada lagi guru SD yang pendidikannya belum mencapai S1. Perubahan yang sangat signifikan ini disebabkan oleh desakan kebutuhan guru SD yang berpendidikan S1 yang harus segera dipenuhi serta adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan guru SD sebagai pembentuk generasi penerus. Meskipun ternyata target ini belum sesuai dengan kebijakan Depdiknas, dimana target guru yang memenuhi kualifikasi S1/D4 yang ingin dicapai pada tahun 2007 adalah 34 persen. (Depdiknas 2007). Munculnya bantuan bea siswa pada tahun 2007, dan dalam pelaksanaannya tetap memilih untuk menggunakan sistem PJJ, dapat mengatasi keterbatasan akses guru untuk meningkatkan pendidikan, seperti yang ditulis oleh Suparman dan Zuhairi (2004): penggunaan PJJ sudah jelas karena masalah pendidikan tidak dapat dipecahkan hanya dengan pendidikan yang biasa. PJJ dipilih dan dilaksanakan untuk menutup kekurangmampuan daya jangkau pendidikan biasa, dan sasaran adalah mereka yang tidak terjangkau oleh

21 pendidikan biasa. Jadi keberadaan PJJ sifatnya komplementer, tanpa salah satu di antaranya, sistem pendidikan di Indonesia tidak lengkap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Pemerintah. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan pendidikan guru SD di wilayahnya agar sesuai dengan yang dikendaki UU Guru dan Dosen antara lain adalah: a. Kondisi keuangan Meskipun Kabupaten Bogor termasuk dalam daerah yang kaya dengan PAD terbesar di Jawa Barat, namun ternyata ketergantungan akan dana dari pemerintah pusat sangat besar, terlihat dari jumlah DAU yang sangat besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah keuangan memang menjadi kendala dalam pengembangan pendidikan guru SD di Kabupaten Bogor b. Prioritas pembangunan pendidikan Prioritas pembangunan pendidikan Kabupaten Bogor saat ini adalah terlaksananya wajar dikdas 12 tahun yang merupakan program nasional dan harus dilaksanakan dan peningkatan nilai IPM. Selain itu prioritas perbaikan infra struktur juga masuk dalam salah satu aspek yang diprioritaskan. Pada tahun 2007 peningkatan pendidikan guru SD sudah masuk dalam prioritas karena merupakan tuntutan UU Guru dan Dosen. c. Kendala Jarak dan waktu Meskipun guru wajib meningkatkan pendidikannya minimal S1, namun mereka juga terkendala oleh jarak dan waktu dalam mengakses pada lembaga pendidikan yang sesuai. Tidak tersedianya perguruan tinggi yang sesuai dan jarak yang jauh serta aturan yang diberlakukan untuk tidak meninggalkan tugas,

22 serta adanya keraguan untuk lulus tepat waktu mempersulit para guru untuk meningkatkan pendidikannya. Hal ini perlu dicarikan sistem yang sesuai untuk mengatasi kendala jarak dan waktu. Pemberian bea siswa oleh pemerintah daerah dan digunakan sistem PJJ sebagai pilihan guru yang berada di wilayah yang luas ini, merupakan salah satu cara untuk menanggulangi kendala jarak dan waktu IKHTISAR Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa kondisi kedua derah kajian memiliki ciri yang berbeda yang dapat dilihat sebagai berikut. a. Profil pendidikan guru. Wilayah kerja guru Kota Bogor (6 kecamatan) lebih kecil dan letaknya masih terdapat di dalam kota, dibandingkan dengan Kabupaten Bogor yang memiliki 40 kecamatan dan letaknya tersebar sangat luas. Persentase Jumlah guru SD yang belum S1 di Kota Bogor (79,33 persen) lebih kecil dibandingkan Kabupaten Bogor (82,58 persen). b. Anggaran dan Pengembangan pendidikan guru SD Meskipun Kota Bogor mewakili kota kecil dengan PAD yang juga kecil, namun ternyata perhatian terhadap peningkatan pendidikan guru SD sudah ada sejak tahun Hal sebaliknya terjadi di Kabupaten Bogor, dengan PAD terbesar se Jawa Barat, ternyata perhatian terhadap peningkatan pendidikan guru SD tidak sebaik Kota Bogor, keadaan ini dapat dilihat dari pemberian bea siswa untuk guru yang baru diadakan pada tahun 2007 Prioritas pembangunan pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor ada yang sama yaitu pengentasan wajar dikdas, namun di Kota Bogor masih ditambah dengan pendidikan gratis untuk anak SD, sedangkan di Kabupaten

23 Bogor masih ditambah lagi dengan meningkatkan nila IPM dan pembangunan infra struktur gedung yang sudah memerlukan perbaikan. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam mengembangkan pendidikan guru SD Kedua daerah kajian memiliki faktor pembatas yang sama dalam mengembangkan pendidikan guru SD. Faktor-faktor tersebut meliputi kondisi keuangan, prioritas pembangunan pendidikan. Sedangkan yang membedakan adalah Kota Bogor memerlukan penggunaan sistem pendidikan yang sesuai untuk guru SD, sedangkan Kabupaten Bogor terkendala oleh Jarak dan waktu.

VI. PERANCANGAN PROGRAM

VI. PERANCANGAN PROGRAM VI. PERANCANGAN PROGRAM Dalam merancang program kebijakan yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan pendidikan guru di Kota dan Kabupaten Bogor, harus diperhitungkan keadaan yang mendukung agar dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setelah lebih dari 60 tahun bangsa Indonesia merdeka, masih terdapat

I. PENDAHULUAN. Setelah lebih dari 60 tahun bangsa Indonesia merdeka, masih terdapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setelah lebih dari 60 tahun bangsa Indonesia merdeka, masih terdapat masalah besar yang belum dapat diatasi oleh pemerintah, yaitu masalah pendidikan. Sampai saat ini,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR 1.5 Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah daratan (tidak memiliki wilayah laut) yang berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 memberikan dampak besar bagi semua aspek kehidupan, yakni era reformasi. Reformasi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

PROFIL PROVINSI JAWA BARAT

PROFIL PROVINSI JAWA BARAT IV. PROFIL PROVINSI JAWA BARAT Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PERUBAHAN KEBIJAKAN BELANJA PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL

BAB 4 ANALISIS PERUBAHAN KEBIJAKAN BELANJA PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL BAB 4 ANALISIS PERUBAHAN KEBIJAKAN BELANJA PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 4.1 Gambaran Umum Kebijakan Keuangan Daerah Kota Bekasi Perubahan kebijakan dalam aspek keuangan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

SOSIALISASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG APBD KOTA BATAM TAHUN ANGGARAN 2017

SOSIALISASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG APBD KOTA BATAM TAHUN ANGGARAN 2017 SOSIALISASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG APBD KOTA BATAM TAHUN ANGGARAN 2017 Dalam upaya mewujudkan manajemen keuangan pemerintah yang baik, diperlukan transparansi, akuntabilitas dan memberikan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Billions RPJMD Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016-2021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Kinerja pelaksanaan APBD Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menganalisis hubungan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SELATAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SELATAN, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN SARAN PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN SARAN PENELITIAN BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN SARAN PENELITIAN 5.1 Kesimpulan dan Implikasi Penelitian Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan metode non parametrik (DEA) dapat dilihat secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

RAKER GUBERNUR KALBAR HUT PEMDA KALBAR KE 53 KOORDINASI PEMANTAPAN PENYELENGGARAAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2010

RAKER GUBERNUR KALBAR HUT PEMDA KALBAR KE 53 KOORDINASI PEMANTAPAN PENYELENGGARAAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2010 RAKER GUBERNUR KALBAR HUT PEMDA KALBAR KE 53 KOORDINASI PEMANTAPAN PENYELENGGARAAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2010 Drs. Alexius Akim, MM. Kepala Dinas Pendidikan Kalimantan Barat RAKOR GUBERNUR KALBAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar mampu bersaing dalam era keterbukaan, pemerintah memandang perlu

BAB I PENDAHULUAN. agar mampu bersaing dalam era keterbukaan, pemerintah memandang perlu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar mampu bersaing dalam era keterbukaan, pemerintah memandang perlu untuk menciptakan dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. (time series), yaitu tahun yang diperoleh dari Bag. Keuangan Pemda Lampung

METODE PENELITIAN. (time series), yaitu tahun yang diperoleh dari Bag. Keuangan Pemda Lampung 34 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah adalah jenis data sekunder dalam runtun waktu (time series), yaitu tahun 2006-2010 yang diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN

ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN Johny Montolalu Joorie M. Ruru RINGKASAN Undang-undang Nomor 33

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011-2015 3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah. Implementasi otonomi daerah menuntut terciptanya performa keuangan daerah yang lebih baik. Namun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi. Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat mengalami

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir akhir ini membawa dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografi dan Demografi Provinsi Jawa Timur terletak pada 111,0 hingga 114,4 Bujur Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 89 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 SIMPULAN 5.1.1 Kebijakan pendidikan Sistem pendidikan di Indonesia, secara kebijakan maupun berdasarkan pengukuran desentralisasi dari OECD (1995), sudah dapat dikatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.pengelolaan keuangan

I. PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.pengelolaan keuangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek pemerintah daerah yang harus diatur adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.pengelolaan keuangan daerah sangat besar pengaruhnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder (Time Series) dari

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder (Time Series) dari III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder (Time Series) dari tahun 2006/2007 sampai dengan 2008/2009 yang diperoleh dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Batas Admistrasi Sumber : Provinsi Sulawesi Tengah Dalam Angka, 2016 Gambar 4.1 Peta wilayah Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Untuk mengatur kegiatan perekonomian daerah, maka suatu daerah harus membuat anggaran penerimaan dan belanja daerah (APBD). Penerapan struktur dan penyusunan

Lebih terperinci

Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal.

Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal. Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal. Pada misi IV yaitu Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal terdapat 11

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI ORGANISASI

BAB II DESKRIPSI ORGANISASI BAB II DESKRIPSI ORGANISASI 2.1. Sejarah Organisasi Kota Serang terbentuk dan menjadi salah satu Kota di Propinsi Banten berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2007 yang diundangkan pada tanggal 10 bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 108 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja pengelolaan keuangan daerah Badan Pertanahan Nasional kota Tangerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan merupakan pemanfaatan segala potensi yang ada di masingmasing daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga pelaksanaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN

KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN Kebijakan Pendidikan Working Paper: Investing in Indonesia s Education: Allocation, Equity, and Efficiency of Public Expenditures, World Bank

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kebijakan otonomi daerah mulai dilaksanakan secara penuh pada Januari 2001. Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah bangsa-bangsa telah menunjukkan bahwa bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah bangsa-bangsa telah menunjukkan bahwa bangsa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah bangsa-bangsa telah menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

PROFIL UPTD PAUD DAN SD KECAMATAN KARAWANG TIMUR

PROFIL UPTD PAUD DAN SD KECAMATAN KARAWANG TIMUR PROFIL UPTD PAUD DAN SD KECAMATAN KARAWANG TIMUR SEJARAH UPTD PAUD dan SD Kecamatan Karawang Timur terletak di Kecamatan Karawang Timur di Kabupaten Karawang dengan alamat Jl Surotokunto No15 Desa Warungbambu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan. pendidikan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di

BAB I PENDAHULUAN. investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan. pendidikan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini Pemerintah Indonesia telah menjadikan investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan mengalokasikan persentase yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan bertujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi, nampaknya pembangunan yang merata pada

Lebih terperinci

KABUPATEN BADUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN DINAS PENDIDIKAN, PEMUDA DAN OLAHRAGA KABUPATEN BADUNG TAHUN 2015

KABUPATEN BADUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN DINAS PENDIDIKAN, PEMUDA DAN OLAHRAGA KABUPATEN BADUNG TAHUN 2015 KABUPATEN BADUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN DINAS PENDIDIKAN, PEMUDA DAN OLAHRAGA KABUPATEN BADUNG TAHUN 2015 DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA KABUPATEN BADUNG TAHUN 2014 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR

Lebih terperinci

Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014

Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014 Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014 Deputi Menteri Bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan dalam Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013 SISTEMATIKA 1. Arah Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Salah satu kriteria penting untuk

Lebih terperinci

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR Oleh: WIBYCA FUISYANUAR L2D 003 379 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

ISU-ISU STRATEGIS. 3.1 Analisis Situasi Strategis

ISU-ISU STRATEGIS. 3.1 Analisis Situasi Strategis ISU-ISU STRATEGIS 3.1 Analisis Situasi Strategis S etiap organisasi menghadapi lingkungan strategis yang mencakup lingkungan internal dan eksternal. Analisis terhadap lingkungan internal dan eksternal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

-1- PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG WAJIB BELAJAR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG WAJIB BELAJAR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA -1- PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG WAJIB BELAJAR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan pendidikan nasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR

IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR 4.1 Dinamika Pendidikan Dasar Sampai tahun 2012 Provinsi Sulawesi Utara mengalami pemekaran yang cukup pesat. Otonomi daerah membuat Sulawesi Utara yang sebelumnya hanya mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA DEPOK JAWA BARAT KOTA DEPOK ADMINISTRASI Profil Wilayah Salah satu penyebab Kota ini berkembang pesat seperti sekarang adalah setelah adanya keputusan untuk memindahkan sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, merupakan salah satu pengeluaran investasi jangka panjang dalam kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN Menimbang PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN GRATIS DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia yang didasari UU No. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan.

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas pada kemampuan keuangan daerah. Artinya daerah harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN GRATIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Tahunan Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Tahunan Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dokumen rencana strategis yang pada subtansinya diarahkan untuk mendukung terwujudnya tujuan dan sasaran renstra Kabupaten Bandung, yaitu tujuan sasaran capaian kinerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

P E R A T U R A N D A E R A H

P E R A T U R A N D A E R A H P E R A T U R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DAN BAGI HASIL PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH KEPADA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang maju dan mandiri. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha

I. PENDAHULUAN. yang maju dan mandiri. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kunci keberhasilan pembangunan adalah pembangunan pendidikan. Kemajuan bidang pendidikan diharapkan dapat menciptakan kualitas sumber daya manusia yang maju dan mandiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004) dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Otonomi merupakan suatu konsep politik yang terkait dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Otonomi merupakan suatu konsep politik yang terkait dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi merupakan suatu konsep politik yang terkait dengan pengertian kemandirian. Suatu entitas dikatakan otonom apabila mampu menentukan dirinya sendiri, membuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Ringkasan Eksekutif

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif Pendidikan telah menjadi sebuah kekuatan bangsa khususnya dalam proses pembangunan di Jawa Timur. Sesuai taraf keragaman yang begitu tinggi, Jawa Timur memiliki karakter yang kaya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semenjak dimulainya era reformasi, berbagai perubahan telah dialami oleh bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan salah satu indikator untuk kemajuan pembangunan suatu bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan salah satu indikator untuk kemajuan pembangunan suatu bangsa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkat pencapaian pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu indikator untuk kemajuan pembangunan suatu bangsa. Bahkan pendidikan menjadi domain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengembangan atau mengadakan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi.

Lebih terperinci