TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family bovidae yang. berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari India.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family bovidae yang. berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari India."

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari India. Kerbau domestikasi atau water buffalo berasal dari spesies bubalus arnee. Spesies kerbau lain yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006) Ada dua bangsa kerbau yang diternakkan di dunia, yaitu kerbau lumpur (Swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau lumpur memiliki 48 pasang kromosom dan kerbau sungai memiliki 50 pasang kromosom, walaupun berbeda dalam jumlah kromosom, tetapi perkawinan keduanya menurunkan keturunan yang juga fertile baik pada jantan maupun betina, hanya diduga bahwa daya reproduksi crossbreed tersebut lebih rendah dari masing-masing tetuanya (Talib, 2008). Habitat Kerbau Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kerbau. Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di kawasan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering. Kehidupan kerbau dipengaruhi oleh iklim secara mikro dan keadaan lingkungan (Fahimuddin, 1975). Kerbau adalah mamalia besar, kuat, berwarna gelap, dan bertanduk besar. Kerbau liar biasanya hidup dalam kelompok yang berisikan beberapa ekor dan 5

2 senang tinggal di dekat air karena senang berlumpur. Kerbau air ditemukan di daerah basah Asia. Hanya sedikit yang masih liar, karena kebanyakan dipelihara manusia untuk membantu diladang (Farndon, 2008). Kerbau termasuk hewan primitive yang memiliki leher panjang, sanggup hidup dengan makanan yang sangat sederhana, cenderung hidup dan berkembang biak daerah yang cukup air. Dengan potensi ini, kerbau kerbau merupakan ternak yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam mencerna serat kasar dibanding dengan ruminansia lain (Murtidjo, 1989). Ciri-Ciri Kerbau Lumpur Murti (2002) menguraikan sistematika kerbau sebagai berikut : Kelas : mamalia,ordo : ungulata, Sub ordo : ortiodactyla, Family : bovidae, Sub family : bovinae,genus : bos, Sub genus : bubalus. Fahimuddin (1975) mengklasifikasikan kerbau menjadi dua tipe yaitu kerbau sungai (river buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo). Kerbau sungai merupakan kerbau tipe penghasil susu, sedangkan kerbau lumpur sebagai kerbau tipe pedaging (Murti, 2002). Penampilan kerbau sungai yaitu badan dan muka panjang, warna kulit hitam legam, rambut sangat jarang yang berwarna putih meski sering ditemukan dibagian kepala, muka dan bulu ekor (Fischer, 1975 dalam Soedarsono, 1989). Kerbau Rawa (Bubalus bubalis Linn.) merupakan salah satu komoditas peternakan yang potensial dalarn hal penyediaan daging karena pada kondisi pakan berkualitas rendah, mampu mencerna serat kasar lebih baik dari ternak kerbau (Cockrill,1974). Kerbau juga mempunyai persentase karkas yang relatif tinggi yaitu 40 47% (Kristianto, 2006).

3 Penampilan umum kerbau lumpur yaitu memiliki tubuh yang pendek dan gemuk (stocky animal), lingkar dada besar, kaki pendek dan lurus. Warna yang menutupi tubuh kerbau lumpur adalah abu-abu dengan bercak putih pada bagian permukaan atas leher diatas brisket, warna kulit kebiruan sampai abu-abu hitam, kadang terdapat warna albino (Murti, 2002), sedangkan tanduk, kuku serta bulu berwarna hitam (Toelihere, 1981). Populasi ternak kerbau didunia sekitar 176,4 juta ekor tersebar di 129 negara. Dimana 167,4 juta (95%) terdapat di Asia. Populasi kerbau lumpur di Indonesia sebesar 2,2 juta dan sebanyak 6% dari total populasi kerbau dunia. Sedangkan populasi kerbau sungai di Indonesia hanya 1000 ekor yang terdapat di sumatera utara dan merupakan jenis kerbau murah nilli-ravi. Secara umum populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sebesar 8% antara tahun 2002 dan Meskipun dibeberapa provinsi meningkat seperti sumatera utara (Ditjennak, 2008).

4 Tabel 1. Data populasi ternak kerbau yang ada di Sumatera Utara No Kabupaten /Kota Kerbau Jumlah (ekor) Jantan Betina 1 Nias Mandailing Natal Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Tapanuli Utara Toba Samosir Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Karo Deli Serdang Langkat Nias Selatan Humbang 15 Hasundutan Pakpak Bharat Samosir Serdang Bedagai Batu Bara Padang Lawas Utara Padang Lawas Labuhan Batu 22 Selatan Labuhan Batu Utara Nias Utara Nias Barat Sibolga Tanjungbalai Pematang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai Padang Sidempuan Gunung Sitoli Jumlah Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara 2014

5 Tabel. Populasi ternak kerbau di kabupaten Tapanuli Utara tahun 2014 No Kecamatan Jumlah Kerbau (ekor) 1 Tarutung Sipoholon Sipahutar Pangaribuan Garoga 43 6 Pahae Jae 18 7 Pahae Julu 3 8 Adian Koting 37 9 Parmonangan Pagaran Siborongborong Muara Purba Tua Simangumban Siatas Barita 128 Jumlah Sumber : Dinas Perikanan Dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Utara, 2014 Tanda-Tanda Berahi Kerbau Toelihere (1981) menyatakan bahwa tanda - tanda birahi pada ternak kerbau adalah vulva membengkak dan mengeluarkan lendir berwarna bening pada sore hari setelah digembalakan. Pengeluaran lendir tersebut akan terlihat lebih jelas lagi ketika kerbau dalam keadan berbaring, karena perut yang tertekan akan mendorong keluarnya lender tersebut yang akan jatuh ke tempat berbaring. Tetapi jika lantainya tanah maka sesudah beberapa menit akan terserap oleh tanah dan bekas lendir sudah tidak kelihatan lagi. Umumnya berahi pada kerbau terjada pada saat menjelang malam sampai agak malam den menjelang pagi atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001). tanda-tanda berahi dan akativitas perkawinan pada kerbau mesir pada umumnya terjadi pada malam hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di Indonesian sedang berada dalam kandang yang tertutup yang tidak

6 memungkinkan terjadinya perkawinan. Tanda-tanda berahi pada kerbau, umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan pada pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi. Saat Perkawinan Yang Tepat ternak Kerbau Faktor yang harus diperhatikan dalam mengawinkan ternak kerbau adalah sebagai berikut. a. Hanya kerbau yang sudah mencapai dewasa yang cocok untuk dikawinkan, yaitu kerbau jantan berumur 2,5 tahun, dan betina berumur bulan. b. Keadaan tubuh kerbau jantan maupun betina betul-betul sehat, dan tidak dalam keadaan lemah. c. Perkawinan dilaksanakan ketika betina memperlihatkan indikator (tandatanda) birahi, yaitu tampak gelisah, apabila dikerjakan tidak penurut, melenguh-lenguh secara berantai, nafsu makan berkurang, alat kelamin luar (vulva) bengkak memerah dan biasanya mengeluarkan cairan bening, dan selalu berusaha mendekati kerbau jantan. d. Mengawinkan pada saat yang tepat, yaitu kerbau betina nampak birahi pada pagi hari (sebelum dikerjakan) sore hari itu juga (sesudah pukul 14.00) dikawinkan atau bila berhalangan besok pagi-pagi dapat dikawinkan. Saat perkawinan yang tepat pada ternak kerbau dapat dilihat pada Tabel 2. e. Siklus birahi pada kerbau umumnya berkisar 21 hari sekali, sedangkan lamanya birahi lebih kurang 36 jam (Rahmat, 2003).

7 Tabel 2. Saat perkawinan yang tepat ternak kerbau No Waktu birahi Saat perkawinan Yang terlambat yang tepat 1 Pagi hari s/d pukul Siang hari Jangan lebih dari 6 jam setelah tandatanda birahi 2 Siang hari s/d pukul Sore hari Jangan lebih dari 6 jam setelah tandatanda birahi 3 Sore s/d malam hari Malam hari itu juga Jangan lebih dari 6 jam setelah tandatanda birahi Sumber: Rahmat (2003) Daya Reproduksi Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan anak selama hidupnya. Berdasarkan informasi dari responden bahwa kerbau rawa selama masa hidupnya mampu menghasilkan 5-10 ekor anak. Jika beranak pertama terjadi pada umur empat tahun dan calving interval 1,5 tahun maka kerbau rawa mampu hidup lebih dari 20 tahun. Kerbau rawa mampu menghasilkan anak ekor selama hidupnya, dan bisa hidup sampai 25 tahun Cockrill (1976), Siklus Estrus Pada Ternak Kerbau Sistem reproduksi hewan betina yang telah mengalami dewasa kelamin biasanya mengalami perubahan secara teratur yang disebut siklus estrus. Lamanya waktu siklus estrus pada seekor hewan dihitung mulai dari munculnya estrus sampai muncul estrus lagi pada periode berikutnya (Suardi, 1989). Siklus estrus kerbau yaitu 21 hari dengan kisarannya hari. Frandson (1992) menyatakan

8 siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Salah satu cara untuk mengatasi problema sulitnya deteksi estrus yaitu dengan cara penerapan teknik sinkronisasi estrus, baik dengan menggunakan sediaan progesteron atau prostaglandin FGF2 (De rensis dan Lo Pez, 2007). Sinkronisasi umumnya dilakukan dengan menggunakan hormon prostaglandin atau progesteron, yang keduanya bertujuan memanipulasi agar terjadi penurunan hormone progesteron ke level terendah (Macmillan et al.,2003). Para peneliti lainnya menyatakan bahwa kerbau rawa Thailand memiliki siklus berahi 21 hari sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari (Guzman, 1980). Intensitas estrus pada kerbau dan kerbau dinilai berdasarkan perubahan vulva yaitu berwarna kemerahan, pembengkakan dan kenaikan suhu; lendir tembus pandang dari vulva (Toelihere, et al, 1997); dan perubahan tingah laku yaitu menguak, saling menaiki, mengangkat ekor bila vulva diraba. Waktu estrus pada umumnya mempunyai kisaran jam dengan rata-rata adalah 24 jam (Murti, 2002). Waktu untuk mendeteksi gejala estrus kerbau lumpur sebaiknya dilakukan antara pukul dan Gejala saling menaiki terlihat pada waktu fajar sedangkan lendir vulva keluar pada waktu pagi hari dan sore hari (Toelihere, 1981). Prostaglandin F2α Satu cara untuk melakukan tehnik sinkronisasi estrus adalah dengan menggunakan hormon prostaglandin F2α. Prinsip pemberian prostaglandin F2α adalah melisiskan atau meregresi corpus luteum (CL) diikuti penurunan sekresi progesteron sehingga akan menyebabkan perubahan pada siklus reproduksi.

9 Perubahan tersebut menyebabkan siklus estrus yang baru yang dimulainya pertumbuhan folikel dalam ovarium, selanjutnya setelah folikel masak akan mengalami ovulasi yang didahului dengan timbulnya gejala estrus (Husein dan kriddli, 2003). Prostaglandin F2α sebagai hormon luteolitik telah banyak diteliti dan dipakai untuk menggertak berahi dan mengendalikan siklus berahi beberapa jenis ternak. Penggunaan PGF2α untuk penyerentakan berahi pada ternak (Toelihere, 1981). PGF2α bekerja melisis CL, akibatnya hambatan dari progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap hormon gonadotrophin hilang, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Karena yang dilisis adalah CL maka pemberian PGF2α untuk pengendalian berahi hanya bisa dilakukan jika CL sudah terbentuk. Oleh sebab itu penyuntikan dosis tunggal untuk penyerentakan berahi tidak akan menjamin seluruh hewan bisa berahi sekaligus. Agar semua hewan bisa birahi dalam priode waktu yang hampir bersamaan dilakukan penyuntikan kedua yaitu 11 atau 12 hari setelah penyuntikan pertama (Chohan 1998). Respon pemberian hormone prostaglandin (PGF2α) terhadap ternak yang mempunyai siklus teratur, dimana selalu ada CL (korpus luteum) dalam fase lutealnya (sekitar 17 hari dari masa siklus estrus hari), akan efektif, karena prostaglandin akan melisiskan CL. Penurunan kadar progesterone yang drastis karena regresinya CL, akan memberikan feedback negatif yang memicu hipotalamus memproduksi hormon gonadoropin, yang kemudian merangsang hipofisa anterior untuk mensekresi hormon FSH, LH. FSH merangsang perkembangan folikel yang pada akhirnya meningkatkan sekresi estroegen yang

10 merangsang terjadinya estrus. LH akan merangsang terjadinya ovulasi dari folikel preovulatori (Hafez, 1993). Pemberian PGF2α dapat dilakukan secara intramusculer atau secara intrauterin. Pemberian secara intramuscular mudah dilakukan yaitu dengan cara injeksi, namun dosis yang diperlukan cukup besar. Pemberian secara intrauterin hanya diperlukan dosis yang jauh lebih rendah, namun memerlukan keterampilan khusus. Penggunaan prostaglandin sintetis (estrumate) sebanyak 2 ml secara intramusculer sangat efektif untuk tujuan menyerempakkan estrus kerbau, dimana pemberian estrumate mengakibatkan penurunan level progesteron dari 1,90 gg/ml menjadi 0,05 gg/ml setelah dua hari penyuntikan dan sebagian besar kerbau menunjukkan gejala estrus dua hari setelah pemberian estrumate. (Situmorang dan Sitepu, 1991). Gertak Birahi Sinkronisasi estrus adalah usaha manusia agar seekor atau sekelompok hewan mengalami estrus sesuai dengan waktu yang diinginkan (Suardi, 1989), sehingga memudahkan observasi deteksi estrus, dapat menentukan jadwal kelahiran, menurunkan usia pubertas pada kerbau dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator (Husnurrizal, 2008). Penyerentakan birahi adalah suatu teknik agar seekor atau sekelompok ternak mengalami berahi sesuai dengan waktu yang diinginkan. Dengan cara ini sekelompok ternak dapat dimunculkan berahinya secara serentak atau hampir bersamaan. Penyerentakan berahi dilakukan dengan tujuan efisiensi dan penyesuaian produksi dengan kebutuhan pasar. Bila berahi muncul serentak, musim perkawinan dapat dipersingkat sehingga dapat menghemat biaya terutama

11 bila perkawinan dilakukan dengan menggunakan teknologi IB. Menurut Macmillan dan Burke (1996) dengan penyerentakan birahi dalam kelompok ternak, dapat diperkirakan waktu birahi dan ketepatan pelaksanaan IB sehingga dapat meningkatkan efisiensi reproduksi. Inseminasi Buatan Pada Ternak Inseminasi buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang telah dan sedang diprogramkan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan peternakan sebagai upaya peningkatan produktivitas ternak demi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak. Melalui teknologi ini peternak dapat memiliki ternak yang berkualitas tanpa harus memiliki pejantan unggul (Salisbury dan Vandemark, 1985). Teknologi Inseminasi Buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan mutu genetik ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat menghasilkan anak dengan kualitas baik dalam jumlah yang besar dengan memanfaatkan pejantan unggul (Susilawati, 2011). Teknik IB merupakan salah satu penunjang keberhasilan IB. Hal ini memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat pula. Demikiam juga teknik inseminasi yang dilakukan secara cermat oleh petugas terampil, dan hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal sangatlah penting. Semen harus dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina pada tempat dan waktu yang terbaik untuk memungkinkan pertemuan antara spermatozoa dan ovum serta berlangsungnya proses pembuahan (Ditjen Peternakan, 2010)

12 Salisbury dan Vandemark (1985) mengatakan bahwa waktu optimum untuk inseminasi selama atau sesudah estrus adalah dari pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi. Bila dikawinkan lebih awal atau lebih lambat menyebabkan kebuntingan menjadi lebih kecil. Inseminasi dilakukan pada pagi hari menghasilkan CR lebih tinggi dibandingkan dengan yang diinseminasi pada sore hari. Pada peternakan komersil, di mana semua hewan yang disinkronisasi untuk estrus, diinseminasi pada sore hari menghasilkan CR lebih tinggi dibandingkan di pagi hari. Hal ini juga diduga karena diantara teknisi IB, tingkat pendidikan dan pekerjaan non-ib mempengaruhi CR. Teknisi yang telah lulus dari sekolah tinggi memiliki CR lebih tinggi daripada mereka yang hanya sekolah dasar pendidikan dan mereka yang bekerja waktu penuh pada IB memiliki CR lebih tinggi dari CR yang bekerja paruh waktu (Toleng, 1999). Pada waktu IB ternak harus dalam keadaan berahi karena pada saat itu liang leher rahim (serviks) pada posisi yang terbuka. Kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada periode-periode tertentu dari berahi telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya adalah permulaan berahi: 44% pertengahan berahi: 82%, akhir berahi : 75%, 6 jam sesudah sesudah berahi : 62,5%, 12 jam sesudah berahi: 32,5%, 18 jam sesudah berahi : 28% dan 24 jam sesudah berahi : 12% (Windiana, 1986). Conception Rate (CR) Conception Rate (CR) adalah persentase kerbau betina yang bunting pada inseminasi pertama. Angka konsepsi ini ditentukan dengan pemeriksaan

13 kebuntingan. Angka ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kesuburan betina, kesuburan pejantan dan teknik IB (Feradis, 2010). Angka konsepsi dapat ditentukan berdasarkan hasil diagnose dengan palpasi rektal dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Suatu pemeriksaan kebuntingan secara tepat dan dini sangat penting bagi program pemulia biakan ternak (Partodiharjo 1982). Kesanggupan untuk menentukan kebuntingan secara tepat dan dini perlu dimiliki oleh setiap dokter hewan lapangan atau petugas pemeriksaan kebuntingan (BBPTU, 2009). Menurut Toelihere (1993) CR tebaik mencapi 60-70%, sedangkan untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajeman dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu, rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh kualitas maupun fertilitas semen beku, ketrampilan dan kemampuan inseminator dan kemungkinan adanya gangguan reproduksi pada kerbau betina. CR adalah perbandingan antara jumlah induk yang bunting dengan seluruh induk yang di kawinkan atau di inseminasi atau persentase hewan yang bunting pada IB pertama (Toelihere, 1981). Selanjutnya ditambahkan angka konsepsi dalam peternakan yang baik adalah 60% untuk inseminasi pertama dan 90% kebuntingan pada inseminasi ketiga ( Partodiharjo, 1992). Faktor Kegagalan Inseminasi Buatan Kegagalan inseminasi dapat juga akibat dari pembuahan dini dan kematian embrio. Kegagalan pembuahan dini disebabkan oleh kelainan anatomi saluran repropduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sel mani yang abnormal, dan kesalahan pengelolaan reproduksi. Faktor yang mempengaruhi kematian

14 embrio dini disebabkan oleh kelainan genetik, penyakit, lingkungan dalam saluran reproduksi yang tidak serasi, dan adanya gangguan hormonal (Hardjopranjoto, 1995). Penilaian keberhasilan IB dapat dihitung melalui pengamatan yaitu (a) Angka konsepsi atau conception rate adalah persentase betina yang bunting pada inseminasi pertama. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Agka konsepsi merupakan cara penilaian fungsi daya fertilisasi dari contoh semen. Angka konsepsi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya fertilitas dan kualitas semen, ketrampilan inseminator, peternak serta kemungkinan adanya gangguan reproduksi atau kesehatan hewan betina. (b) Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi (Toelihere, 1985). Keberhasilan dan kegagalan IB dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya; peternak, petugas dan ternak kerbau betina beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB yaitu; kualitas semen, kualitas oocyt, waktu IB, kompetensi inseminator, penanganan dan deposisi semen saat IB. Peternak berperan dalam hal deteksi dini dari gejala estrus (Roelofs et al., 2010). Pengaruh umur terhadap fertilitas kerbau betina dan kerbau jantan sulit untuk diketahui karena faktor penyebabnya sangat kompleks dan banyak. faktor lingkungan seperti musim setiap tahunnya, faktor tatalaksana dan faktor makanan

15 berpengaruh terhadap kelompok umur kerbau tertentu lebih daripada kelompok umur lainnya (Salisbury dan Vandenmark, 1985). Body Condition Score Body Condition Score adalah metode untuk memberi nilai kondisi tubuh ternak baik secara visual maupun dengan perabaan pada timbunan lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung dan pinggul. BCS digunakan untuk mengevaluasi manajemen pemberian pakan, menilai status kesehatan individu ternak dan membangun kondisi ternak pada waktu manajemen ternak yang rutin. BCS telah terbukti menjadi alat praktis yang penting dalam menilai kondisi tubuh ternak karena BCS adalah indikator sederhana terbaik dari cadangan lemak yang tersedia yang dapat digunakan oleh ternak dalam periode apapun (Susilorini, Sawitri dan Muharlien, 2007). Body Condition Score (BCS) kerbau betina yang akan di IB merupakan salah satu persyaratan yang perlu diperhatikan. Body Condition Score ideal dari kerbau betina yang akan di IB adalah 2,5-3 dari skala 1-5. Beberapa penelitian dan literature menyatakan bahwa BCS < 2,5 dari skala 1-5 merupakan representasi dari kekurangan nutrisi, yang salah satu manifestasinya adalah penurunan fungsi dan efisiensi reproduksi (Arthur et al., 2001) Pakan ternak Kerbau Pada umumnya pakan ternak kerbau terdiri atas hijauan makanan ternak (HMT), limbah pertanian, dan penguat (konsentrat). Komponen makanan ternak kerbau berdasarkan bahan-bahan yang mudah didapatkan disetiap daerah, misalnya susunan pemberian pakan ternak kerbau untuk tiap ekor dengan bobot 300 kg dalam sehari terdiri sebagai berikut. Rumput segar (hijauan) 20 kg, jerami

16 padi hasil pengolahan 7 kg, dedak halus 2,3 kg, kacang-kacangan segar 0,5 kg, garam 100 gr, vitamin dan mineral gr (Rahmat,2003) Makanan dapat menyebabkan infertilitas melalui hipotalamus dan pituitari anterior yang akan mempengaruhi fungsi endokrin, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel awal, dan perkembangan embrio dan fetus. Pengaruh yang menonjol dari defisiensi pakan yaitu terhentinya aktivitas siklus reproduksi, adanya birahi tenang, kelainan ovulasi, kegagalan konsepsi, dan kematian embrio. Kerbau dara paling sensitif terhadap kekurangan nutrisi pada tingkat akhir kebuntingan pertama jika mereka belum mencapai kematangan fisik. Hal ini diperlihatkan dengan keterlambatan berahi post partus dan angka konsepsi yang rendah pada servis pertama (Arthur et al., 1989). Kebutuhan nutrisi yang seimbang sangat penting untuk kelangsungan reproduksi kerbau. Menurut Winugroho (2002) jika defisiensi nutrisi berupa protein, energi, mineral dan vitamin akan menyebabkan late estrus, silent heat hingga anestrus. Kekurangan protein menyebabkan timbulnya berahi yang lemah, berahi tenang, anestrus, kawin berulang (repeat breeding), kematian embrio dini, absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus, kelahiran anak yang lemah atau kelahiran prematur. Selain pengaruh nutrisi, defisiensi dan ketidakseimbangan mineral juga berpengaruh terhadap kawin berulang, aktivitas ovarium, dan rendahnya efisiensi reproduksi. Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi, diantaranya: protein, vitamin A, dan mineral/vitamin (phosphor, kopper, kobalt, manganese, iodine, dan selenium) (Departemen Pertanian, 2007).

17 Kecermatan peternak dalam mendeteksi berahi pertama yang muncul pada ternak yang selanjutnya dimasukkan kedalam program perkawinan. Program perkawinan ini harus benar-benar diperhitungkan karena pubertas atau dewasa kelamin umumnya terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga hewan betina harus menyediakan makan untuk perkembangan dan pertumbuhan tubuhnya dan tubuh anaknya. Hewan betina muda yang baru mengalami dewasa kelamin membutuhkan lebih banyak makanan dibandingkan dengan hewan betina yang sudah mencapai dewasa tubuh (Toelihere, 1985). Inseminator Petugas IB atau inseminator mempunyai kontribusi terhadap keberhasilan IB. Inseminator harus mempunyai pengetahuan yang berhubungan dengan tingkah laku seksual, perubahan temperatur tubuh, dapat menentukan perubahan pada saluran reproduksi betina terutama vulva, vagina dan cervix kerbau betina dari setiap fase siklus estrus, serta keterampilan melaksanakan IB (Roelofs et al., 2010). Pengetahuan dan keterampilan inseminator tersebut dapat digunakan untuk menentukan waktu IB yang tepat. Ketepatan waktu IB merupakan salah satu faktor menentukan keberhasilan fertilisasi (Arthur et al., 2001) Faktor yang paling penting dalam menunjang keberhasilan IB adalah mendeteksi berahi karena tanda-tanda berahi sering terjadi pada malam hari. Oleh karena itu petani diharapkan dapat memonitor kejadian berahi dengan baik dengan mencatat siklus berahi semua kerbau betinanya (dara dan dewasa) dan Petugas IB harus mensosialisasikan cara-cara mendeteksi tanda-tanda berahi (Ditjen Peternakan, 2010).

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yaitu sebagai tenaga kerja untuk mengolah sawah, penghasil daging dan susu, serta sebagai tabungan untuk keperluan dikemudian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tinjauan Umum Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementrian Pertanian Tahun 2010-- 2014 (Anonim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kambing Pada mulanya domestikasi kambing terjadi di daerah pegunungan Asia Barat sekitar 8000-7000 SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) berasal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Induk Sapi SimPO Sapi Simmental Peranakan Ongole (SimPO) merupakan hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi Peranakan Ongole (PO). Karakteristik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Swasembada Daging Sapi Swasembada daging sapi adalah kemampuan penyediaan daging produksi lokal sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor sapi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2007 sampai dengan bulan Juli 2007. Lokasi penelitian berada pada dua kenagarian yaitu Kenagarian Sungai

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba merupakan ruminansia kecil yang relatif mudah dibudidayakan oleh masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai pakan berupa

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki empat, tanduk berongga, memamah biak. Sapi juga termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Potong Sapi potong merupakan jenis sapi yang diarahkan untuk memproduksi daging, oleh karena itu penggemukan yang dilakukan bertujuan untuk mencapai bobot badan secara maksimal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak lokal berperan penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung Gambar 3. Foto Udara PT.Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung (Sumber: arsip PT.Widodo Makmur Perkasa) PT. Widodo Makmur

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging Bangsa sapi pedaging di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bangsa Sapi Kontinental Eropa, Sapi Inggris dan Sapi Persilangan Brahman (India). Bangsa sapi keturunan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water bufallo berasal

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Tinjauan Umum Kerbau Kerbau rawa memberikan kontribusi positif sebagai penghasil daging, terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air 3 5 m

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi North Holland dan West Friesland negeri Belanda yang memiliki temperatur lingkungan kurang

Lebih terperinci

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK ABSTRAK Tinggi rendahnya status reproduksi sekelompok ternak, dipengaruhi oleh lima hal sebagai berikut:

Lebih terperinci

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB Tatap muka ke 13 & 14 PokokBahasan : SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB 1. Tujuan Intruksional Umum Mengerti tujuan sinkronisasi / induksi birahi Mengerti cara- cara melakuakn sinkronisasi birahi/induksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1 TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Secara taksonomi domba termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis dan spesies Ovis aries. Dari sisi genetik

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli Indonesia ini sudah lama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus (zebu sapi berponok), Bos taurus yaitu bangsa sapi yang menurunan bangsabangsa sapi potong dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Daging Sapi Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia adalah sapi asli Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

Provinsi Sumatera Utara: Demografi

Provinsi Sumatera Utara: Demografi Fact Sheet 02/2015 (28 Februari 2015) Agrarian Resource Center ARC Provinsi Sumatera Utara: Demografi Provinsi Sumatera Utara adalah provinsi peringkat ke-4 di Indonesia dari sisi jumlah penduduk. Pada

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang mempunyai tanduk berongga. Sapi perah Fries Holland atau juga disebut Friesian Holstein

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya yaitu perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat (Sudono,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden berada pada wilayah yang meliputi 3 (tiga) area, yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Deteksi Estrus Pengukuran hambatan arus listrik lendir vagina dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore) selama lima hari berturut-turut. Angka estrus detektor direkapitulasi dalam bentuk tabel secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE TERHADAP SERVICE PER CONCEPTION DAN CALVING INTERVAL SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE TERHADAP SERVICE PER CONCEPTION DAN CALVING INTERVAL SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE TERHADAP SERVICE PER CONCEPTION DAN CALVING INTERVAL SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN Aditya Budiawan, M. Nur Ihsan, Sri Wahjuningsih Bagian

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad lalu. Beberapa sinonim sapi Bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keadaan liar, efisiensi reproduksi pada kuda yang mencapai 90% atau lebih.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keadaan liar, efisiensi reproduksi pada kuda yang mencapai 90% atau lebih. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kuda adalah hewan yang bersifat nomadik dan bersemangat tinggi. Keadaan liar, efisiensi reproduksi pada kuda yang mencapai 90% atau lebih. Kondisi domestik dengan campur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ternak Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi Bali asli Indonesia yang diduga sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di Peternakan rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 A B Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-17 Gambar 8 Teknik penyuntian PGF 2α. (A) Penyuntikan pertama, (B) Penyuntikan kedua, (C) Pengamatan estrus yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pada

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah)

Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah) LAMPIRAN Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Menurut / Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah) / 2010 2011 2012 2013 2014 2015 1 Nias 3.887.995 4.111.318 13.292.683.44 14. 046.053.44

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang cukup banyak dan tersebar luas di wilayah pedesaan. Menurut Murtidjo (1993), kambing Kacang memiliki

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi dapat menimbulkan berbagai kerugian pada usaha peterkan sapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Potong Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Jenis sapi potong dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan Eropa, dan Bos sondaicus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Asal-usul, Karakteristik dan Penampilan Reproduksi Kambing Kacang

TINJAUAN PUSTAKA. Asal-usul, Karakteristik dan Penampilan Reproduksi Kambing Kacang 4 TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul, Karakteristik dan Penampilan Reproduksi Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Malaysia dan Indonesia. Dari berbagai bangsa kambing yang terdapat di wilayah

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu

I. TINJAUAN PUSTAKA. tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Reproduksi Ternak Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma nutfah nasional Indonesia, hasil domestikasi dari banteng liar beratus-ratus tahun yang lalu.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973) 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973) menyatakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α Hasil penelitian didapatkan 13 dari 15 ekor domba (87,67%) menunjukan respon estrus dengan penyuntikan PGF 2α. Onset estrus berkisar

Lebih terperinci

Sejak tahun 2008, tingkat kemiskinan terus menurun. Pada 2 tahun terakhir, laju penurunan tingkat kemiskinan cukup signifikan.

Sejak tahun 2008, tingkat kemiskinan terus menurun. Pada 2 tahun terakhir, laju penurunan tingkat kemiskinan cukup signifikan. Jiwa (Ribu) Persentase (%) 13 12.5 12 11.5 11 10.5 10 9.5 9 8.5 8 12.55 11.51 11.31 11.33 10.41 10.39 9.85 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tingkat Kemiskinan Sejak tahun 2008, tingkat kemiskinan terus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ternak Domba Domba diklasifikasikan sebagai hewan herbivora (pemakan tumbuhan) karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba lebih menyukai rumput dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi Filum Class Ordo Famili Genus Subgenus : Chordata : Mammalia : Artiodactyla : Bovidae : Bos : Bibos sondaicus

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama 17 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama (F1) dan Generasi Kedua (F2) Sapi Hasil Persilangan SimPO ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 1, Januari 2005, Halaman 43-48 http://bioscientiae.tripod.com KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT UU. Lendhanie Program Studi Ternak,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z)

PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z) PROPOSAL PENELITIAN PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z) I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan

Lebih terperinci