PERSETUJUAN. ANT ARA PEMERINT AH REPUBLIK INDONESIA..,.DAN. PEMERrNT.~H NEGARA QATAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERSETUJUAN. ANT ARA PEMERINT AH REPUBLIK INDONESIA..,.DAN. PEMERrNT.~H NEGARA QATAR"

Transkripsi

1 PERSETUJUAN. ANT ARA PEMERINT AH REPUBLIK INDONESIA..,.DAN. PEMERrNT.~H NEGARA QATAR ( ' TENTANG ' PENGHINDARAN.PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENOELAKAN PA}AKATAS PENGHASILJ\N. '.. : '., ' ~ ' Pemerintah Retmblik Indonesia danpe,merintah Negara Qatar, BERI-fASRAT, mengadakan suatu P~r~etuju~n Qjenge~ai penghindaran, r.ajak bcrganda dan pencegahan pengelakan pajak yang bethubu~gan dengan pajak atas penghasilan, TELAH MENYETUJUI SEBAGAI BERIKUT:..... ' '.

2 Pasal 1 ORANG DAN BAD ANY ANG TERCAKUP DALAM PFRSETUJUAN Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan. Pasal 2 PAJAK-PAJAK YANG DICAKUP DALAM PERSETUJUAN INI 1. Persetujuan ini berlaku terhadap pajak-pajak atas penghasilan yang dikenakan oleh setiap Negara pihak pada Persetujuan atau bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya, tanpa memperhatikan cara pcmungutan pajak-pajak tersebut. 2. Dianggap sebagai pajak-pajak atas penghasilan adalah semua pajak yang dikenakan atas seluruh penghasilan, atau atas bagian-bagian penghasilan, termasuk pajak-pajak atas keuntungan yang diperoleh dari pemindah-tanganan harta gerak atau harta tak gerak. 3. Persetujuan ini harus diterapkan terhadap pajak-pajak yang berlaku sekarang ini, yaitu: a) dalam hal Indonesia: pajak penghasilan. (selanjutnya disebut sebagai "pajak Indonesia"); b) dalam hal Negara Qatar: pajak penghasilan. (selanjutnya disebut sebagai "pajak Qatar"). 4. Persetujuan ini akan berlaku pula terhadap setiap pajak yang pada hakekatnya serupa yang dikenakan setelah tanggal penandatanganan Persetujuan ini sebagai tambahan terhadap, atau sebagai pengganti dari, pajak-pajak yang ada. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan harus sating memberitahukan satu sama lain mengenai setiap perubahan-perubahan penting yang tetjadi dalam perundang-undangan perpajakan mereka. Pasal 3 PENGERTIAN-PENGERTIAN UMUM I. Untuk kepentingan Persetujuan ini, kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain: (a) i) istilah "Indonesia" meliputi wilayah Republik Indonesia scbagaimana ditentukan dalam perundang-undangannya dan daerah sekitarnya dimana Republik Indonesia memiliki kedaulatan, hak-hak kedaulatan atau yurisdiksi sesuai ketentuan-ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa atas 1-Iukum Laut, 1982, dan

3 ii) istilah "Qatar" bcrarti daratan dan perairan dalam serta teritorial dari Negara Qatar yang termasuk ruang udara diatasnya dan zona ekonomi serta landas kontinen terhadap mana Negara Qatar memiliki hak-hak kedaulatan dan yurisdiksi scsuai ketentuan hukum internasional dan hukum-hukum scrta petaturan-pcraturan nasionalnya; (b) (c) (d) (e) istilah "orang/badan" meliputi orang pribadi, perseroan dan setiap kumpulan dari orang-orang dan!atau badan-badan yang diperlakukan sebagai suatu entitas untuk keperluan perpajakan. Dalam hal Qatar, istilah tersebut ikut meliputi Pemerintah Negara Qatar dan pemerintah daerahnya; istilah "perseroan" berarti setiap badan hukum atau setiap entitas yang untuk tujuan pemungutan pajak diperlakukan sebagai suatu badan hukum; istilah "perusahaan dari suatu Negara pihak pacla Persetujuan" clan "perusahaan clari Negara pihak lainnya pada Persetujuan" berarti berturut-turut suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan suatu pcrusahaan yang clijalankan oleh penduduk dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan; istilah "lalu lintas internasional" berarti setiap pengangkutan oleh kapallaut atau pesawat udara yang dilakukan oleh suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, kecuali jika kapal!aut atau pesawat udara itu sematamata clioperasikan antara tempat-tempat di Negara pihak lainnya pacla Persetujuan; (i) istilah "pcjabat yang berwenang" bcrarti : i) dalam hal Indonesia: Mcnteri Keuangan atau wakilnya yang sah, dan ii) clalam hal Qatar: Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah; (g) istilah "wanganegara" berarti: i) setiap orang pribadi yang menjadi pencluduk clari suatu Negara pihak pacla Persetujuan; ii) setiap badan hukum, persekutuan atau asosiasi yang karcna statusnya mempunyai kckuatan hukum eli suatu Negara pihak pada Persetujuan; (h) istilah "pajak" berarti pajak Indonesia atau pajak Qatar, bergantung pada masalahnya. 2. Sehubungan dengan pencrapan Pcrsetujuan olch salah satu Negara pibak pacla Persetujuan, sctiap istilah yang tidak clirumuskan dalam Persctujuan ini kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, mempunyai arti menurut perunclang- undangan Negara itu untuk kepentingan perpajakan dimana Persetujuan ini berlaku,

4 pengertian apapun menurut perundang-undangan perpajakan dari Negara itu yang berlaku melampaui pengertian yang diberikan pada istilah itu menurut perundang- undangan lainnya dan Negara tcrsebut. Pasal4 PENDUDUK 1. Untuk kepentingan Pensetujuan ini, istilah "penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan" berarti setiap orang dan badan, yang menurut perundang-undangan Negara tersebut, dapat dikenakan pajak di Negara itu berdasarkan domisilinya, tempat kediamannya, tempat kedudukan manajemennya ataupun atas dasar lainnya yang sifatnya serupa, dan juga termasuk Negana itu beserta bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya. Namun demikian, istilah ini tidak mencakup orang dan badan yang terutang pajak di Negara tersebut hanya atas dasar penghasilan dari sumbersumber di Negara itu. 2. Jika seseorang menurut ketentuan-ketentuan pada ayat 1 menjadi penduduk di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka statusnya akan ditentukan sebagai berikut: (a) ia akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya; apabila ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia di kedua Negara, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana terdapat hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan pokok); (b) jika Negara di mana pusat kepentingan-kepentingan pokoknya tidak dapat ditentukan, atau jika ia tidak mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya di salah satu Negara, maka ia akan dianggap sebagai penduduk Negara dimana ia biasanya bendiam; (c) jika ia mempunyai tempat kebiasaan berdiam di kedua Negara pihak pada Persetujuan atau sama sekali tidak mempunyainya di salah satu Negara tersebut maka ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan dimana ia menjadi warganegara; (d) j ika status kepcndudukan seseorang tidak dapat ditentukan berdasarkan ketentuanketentuan dalam sub-ayat (a), (b) dan (c) diatas, maka pejabat-pejabat benwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan masalahnya melalui persetujuan bersama. 3. Apabila berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1 suatu badan selain orang merupakan penduduk dari kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka pihak yang berwenang Negara-negara tersebut akan menyelesaikan masalahnya melalui persetujuan bersama.

5 Pasal 5 BENTUK USAHA TET AP 1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah "bentuk usaha tetap" berarti suatu tempat usaha tetap dimana seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan dijalankan. 2. Istilah "bcntuk usaha tctap" tcrutama meliputi: (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) suatu tempat kedudukan manajcmcn; suatu cabang; suatu kantor; suatu pabrik; suatu bengkel; suatu gudang atau tempat pcnyimpanan barang sebagai tcmpat pcnjualan; suatu pertanian atau perkcbunan; suatu tambang, suatu sumur minyak atau gas, suatu penggalian atau tempat eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam, rig untuk pengeboran atau kapal yang digunakan untuk eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam. 3. Istilah "bentuk usaha tetap" juga mcliputi: (a) (b) suatu bangunan, suatu konstruksi, proyek pcrakitan atau proyek instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungan dengan proyek tersebut, tetapi hanya apabila bangunan, proyek atau kegiatan tersebut bcrlangsung untuk masa lebih dari 6 (enam) bulan; pemberian jasa termasuk jasa konsultan yang dilakukan olch suatu perusahaan melalui karyawannya atau orang lain yang dipekerjakan oleh pcnusahaan itu untuk tujuan tersebut, tetapi hanya apabila kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung (untuk proyek yang sama atau ada kaitannya) di suatu Negara dalam masa atau masa-masa yang berjumlah lebih dari 6 (enam) bulan dalam jangka waktu dua betas bulan. 4. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal 1111, istilah "bcntuk usaha tetap" dianggap tidak meliputi : (a) (b) (c) penggunaan fasilitas-fasilitas semata-niata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan; pengurusan suatu persediaan banang-barang a tau barang dagangan milik pcrusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan; pengurusan suatu persediaan barang-barang a tau barang dagangan milik pcrusahaan sernata-mata dengan maksud untuk diolah oleh pcrusahaan lain

6 (d) (e) (f) (g) pengurusan suatu tcmpat usaha tctap semata-mata dengan maksud untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan keterangan-keterangan bagi keperluan pcrusahaan; pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk tujuan periklanan atau untuk memberikan keterangan-keterangan; pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud menjalankan setiap kegiatan lainnya yang bersifat pcrsiapan atau penunjang bagi perusahaan; pengurusan suatu tcmpat usaha tetap semata-mata dcngan maksud untuk melakukan gabungan kegiatan-kegiatan sepcrti discbutkan pada sub-ayat (a) sampai dengan sub-ayat (f), sepanjang hasil penggabungan semua kegiatankegiatan tcmpat usaha tetap tersebut bersifat pcrsiapan atau penunjang. 5. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2, apabila orang atau badan- kecuali agen yang bertindak bebas sebagaimana berlaku ayat 7 - terbiasa bertindak di suatu Negara pihak pada Pensetujuan atas nama perusahaan yang berkedudukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, maka perusahaan tersebut dianggap memiliki bentuk usaha tetap di Negara yang disebutkan pertama atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang a tau badan terse but, jika ia: (a) (b) (c) mcmpunyai atau biasa melakukan wewenang untuk menutup kontrak-kontrak atas nama penusahaan tensebut, kecuali kcgiatan itu hanya terbatas pada apa yang diatur dalam ayat 4, yang meskipun dilakukan melalui suatu tempat usaha tctap, tempat tersebut bukan merupakan bentuk usaha tetap sesuai dengan ketentuan ayat tersebut; atau tidak mempunyai wewcnang scpcrti itu, tetapi terbiasa mclakukan pcngurusan pcrscdiaan barang-barang atau barang dagangan di Ncgara yang disebut pertama dimana secara teratur ia menyerahkan barang-barang atau barang dagangan atas nama pcrusahaan tcrsebut; atau membuat atau mcngolah di Negara tersebut untuk kepcrluan barang-barang perusahaan atau barang dagangan milik perusahaan. 6. Menyimpang dari ketentuan-ketcntutan sebelumnya pada Pasal ini, suatu perusahaan asuransi dari Negara pihak pada Persetujuan, kecuali dalam hal reasuransi, akan dianggap mempunyai bentuk usaha tetap eli Negara pihak lainnya pada Persetujuan jika perusahaan tersebut memungut prcmi eli wilayah negara pihak lainnya atau menanggung rcsiko yang tctjadi disana mclalui orang atau badan sclain agcn yang berkedudukan bebas terhadap mana berlaku Pasal Suatu pcrusahaan dari suatu Ncgara pihak pada Pcrsetujuan tidak akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak lainnya pada Persetujuan hanya semata-mata karena perusahaan itu menjalankan usaha eli Negara pihak lainnya pada Pcrsetujuan mclalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang bentindak

7 bebas, sepanjang orang atau badan tcrscbut bcrtindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim. Namun demikian, bilamana kcgiatan agen dimaksud scluruhnya atau hampir seluruhnya dilakukan untuk pcmsahaan itu, maka ia tidak akan dianggap sebagai agen yang bcrtindak bebas dalam pcngcrtian ayat ini. 8. Jika suatu pcrseroan yang bcrkcdudukan eli suatu Negara pihak pada Persetujuan menguasai atau dikuasai olch perseroan yang berkedudukan eli Negara pihak lainnya pada Persetujuan, ataupun menjalankan usaha eli Negara pihak lainnya itu (baik melalui suatu bentuk usaha tetap ataupun dengan suatu cara lain), maka hal itu tidak dengan sendirinya akan berakibat bahwa salah satu dari perseroan itu merupakan bentuk usaha tetap dari yang lainnya. Pasal 6 PENGHASILAN DARI HART/\ T AK GERAK 1. Penghasilan yang eliperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan harta tak gerak (termasuk pcnghasilan yang diperoleh dari pertanian atau kehutanan) yang berada di Negara pihak laitmya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak eli Ncgara lain tcrscbut. 2. Istilah "harta tak gcrak" akan mempunyai arti sesuai dcngan pcrundang-undangan Negara pihak pada Persetujuan dimana harta yang bersangkutan bcrada. Istilah tersebut meliputi juga benda-benda yang menyertai harta tak gerak, ternak dan peralatan yang dipcrgunakan dalam usaha pertanian dan kchutanan, hak-hak terhadap mana berlaku ketentuan-ketentuan clalam hukum umum mengenai pcmilikan atas lahan, hak memungut basil atas harta tak gerak, serta hak atas pembayaran- pembayaran tctap atau tak tetap sebagai balas jasa untuk pcngerjaan, atau hak untuk mcngerjakan kandungan mineral, sumber-sumber dan sumber-sumbcr kekayaan alam lainnya. Kapal!aut dan pesawat uclara tidak dianggap sebagai harta tak gcrak. 3. Ketcntuan-kctentuan pada ayat 1 berlaku juga terhadap penghasilan yang clipcroleh dari penggunaan secara langsung, dari penyewaan, atau dari pcnggunaan harta tak gerak elalam bentuk apapun. 4. Ketentuan-kctcntuan dajam ayat-ayat I dan 3 berlaku juga terhadap penghasilan yang diperoleh elari harta tak gerak suatu perusahaan dan terhadap penghasilan dari hat1a tak gcrak yang digunakan dalam menjalankan pekcrjaan bcbas. PasaJ 7 LAI1A USAJ-IA 1. Laba suatu perusahaan dari Negara pihak paela Pcnsctujuan hanya akan dikcnakan pajak eli Negara itu kccuali jika perusahaan itu menjalankan usaha eli Ncgara pihak lainnya pada Pcrsctujuan mclalui suatu bcntuk usaha tetap. Apabila perusahaan terscbut menjalankan usahanya scbagaimana elimaksuel cliatas, laba pcrusahaan itu dapat dikcnakan pajak eli ncgara lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal elari: (a) bentuk usaha tetap tersebut; (b) penjualan yang dilakukan eli Negara lainnya atas barang-barang atau barang dagangan yang sama atau serupa jenisnya dengan

8 yang dijual melalui bentuk usaha tctap itu; atau (c) kcgiatan-kegiatan usaha lainnya yang dijalankan di Negara lain itu yang sama atau serupa jenisnya dcngan yang dilakukan melalui bentuk usaha tctap itu. 2. Dengan memperhatikan ketentuan-kctentuan ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pacta Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tctap itu oleh masing-masing negara ialah laba yang diperolehnya seandainya bentuk usaha tetap tersebut merupakan suatu perusahaan yang terpisah dan bertindak bebas yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau serupa, dalam keadaan yang sama atau serupa, dan mengadakan hubungan yang scpcnuhnya bebas dengan pcrusahaan yang memiliki bcntuk usaha tctap itu. 3. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan biaya- biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan usaha dari bentuk usaha tetap itu tcrmasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum baik yang dikeluarkan di Negara dimana bentuk usaha tetap itu berada ataupun di tempat lain, yang diperkenankan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum domestik Negara pihak pada Pcrsetujuan dimana bentuk usaha tctap tcrsebut berada. 4. Demi pcnerapan ayat-ayat terdahulu, bcsarnya laba bentuk usaha tetap harus ditentukan dengan cara yang sama dari tahun ke tahun, kccuali jika terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk melakukan penyimpangan. 5. Jika dalam jumlah laba termasuk bagian-bagian penghasilan yang cliatur secara tersendiri pada pasal-pasal lain dalam Persetujuan ini, maka kctentuan pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh oleh ketcntuan-ketentuan pasal ini. Pasal 8 PERKAPALAN DAN PENGANGKUTAN UDARA I. Laba suatu pcrusahaan dari Negara pihak pacla Pcrsetujuan yang dipcrolch dari pengoperasian kapal!aut atau pesawat udara dalam jalur lalu lintas intcrnasional hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut dimana tempat kedudukan manajemen efektif perusahaan itu berada. 2. Laba dari pengoperasian didalam suatu Ncgara pihak pada Persetujuan yang diperoleh suatu perusahaan dari Negara pihak lainnya pada Pcrsetujuan dari pcngoperasian kapal!aut atau pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional dapat dikenakan pajak di Negara yang disebutkan pertama. 3. Ketentuan-ketentuan ayat I dan ayat 2 berlaku pula terhadap laba dari penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, suatu usaha bcrsama atau dari suatu agen operasi internasional.

9 Pasal 9 PERUSAHAAN-PERUSAI-IAAN YANG MEMPUNY AI HUBUNGAN ISTIMEW A 1. Apabila (a) (b) suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan baik sccara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, atau orang a tau badan yang sama baik secm a langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak lainnya pada Persetuj uan, dan dalam kedua hal itu antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagangnya atau hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazimnya berlaku antara penusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama lain, maka setiap laba yang seharusnya diterima oleh salah satu perusahaan jika syarat-syarat itu tidal< ada, namun tidak diterimanya karena adanya syarat-syarat tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenakan pajak. 2. Apabila suatu Negara pihak pada Pcrsetujuan melakukan pembctulan atas laba suatu perusahaan di Negara itu - dan dikenakan pajak - dan bagian laba yang dibetulkan itu adalah juga merupakan laba perusahaan yang telah dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dan laba tcrsebut adalah laba yang memang seharusnya diperoleh perusahaan di Negara yang disebut pertama seandainya berdasarkan syarat- syarat yang dibuat antara kedua perusahaan yang sepenuhnya bebas, Negara pihak lainnya pada Persctujuan akan melakukan penyesuaian-penycsuaian atas jumlah laba yang dikenakan pajak dari perusahaan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan tersebut. Dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian itu, diharuskan untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam Persetujuan ini dan apabila dianggap perlu pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara saling berkonsultasi. 3. Negara pihak pada Persetujuan tidak akan melakukan pembetulan laba pcrusahaan scbagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila batas waktu yang dibcrikan oleh undangundang masing-masing Negara telah dilampaui. Pasal 10 DIVIDEN 1. Dividcn yang dibayarkan oleh suatu pcrseroan yang berkcdudukan di suatu Negara pihak pada Pcrsctujuan kcpada pcnduduk Ncgara pihak lainnya pada Pcrsctujuan dapat dikcnakan pajak di Negara lain tensebut.

10 2. Namun clemikian, cliviclen tcrscbut clapat juga clikcnakan pajak eli Negara pihak pacla Persetujuan climana perusahaan yang membayarkan diviclen adalah penduduknya clan bersesuaian dengan unclang-undang Negara tcrsebut, namun apabila pemilik saham yang menikmati cliviclen merupakan penducluk Negara pihak lainnya pada Persetujuan maka pajak yang clikenakan oleh Negara yang disebut pertama ticlak akan melebihi 10 (sepuluh) persen dari jumlah bruto dividen. Ayat ini tidak akan mempengaruhi pemajakan perseroan clalam hubungan dengan laba sclain clividen yang dibayarkan. 3. Istilah "dividen" sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan dari saham-saham, atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat piutang, yang berhak atas pembagian laba, demikian pula penghasilan lainnya dari hak-hak perseroan yang diperlakukan sama dalam pengenaan pajaknya sebagai penghasilan dari saham-saham oleh undang-undang perpajakan Negara dimana perscroan yang membagikan dividen itu bcrkedudukan. 4. Kctcntuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila pemilik saham yang menikmati dividen, yang merupakan penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, melakukan kegiatan usaha eli Negara pihak lainnya pada Persetujuan, dimana perseroan yang membayarkan dividcn itu berkedudukan, melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada eli sana, atau menjalankan peketjaan bebas dengan suatu tempat usaha tetap yang berada eli sana dan pemilikan saham-saham yang menghasilkan dividcn itu mcmpunyai hubungan yang efcktif dcngan bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap itu. Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, bcrlaku kctentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal Apabila suatu baclan yang mcrupakan penduduk dari suatu Ncgara pihak pada Persetujuan memperolch laba atau pcnghasilan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, Negara tersebut tidak dapat mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan oleh perusahaan, kecuali sepanjang dividen itu dibayarkan kepada penduduk Negara pihak lain tersebut atau sepanjang dividen tersebut ditujukan kepada "bentuk usaha tetap" atau perwakilan tetap yang berada eli Negara pihak lainnya terscbut, atau mengenakan pajak atas laba perusahaan yang bclum dibagi, meskipun dividen atau laba yang bclum dibagi terscbut seluruhnya atau sebagian merupakan penghasilan yang berasal dari Negara lainnya tersebut. 6. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan lainnya dari Persetujuan ini apabila suatu pcrseroan yang mcnjadi pcnducluk dari suatu Negara pihak pada Pcrsetujuan memiliki bentuk usaha tetap eli Negara pihak lainnya pada Persetujuan, laba dari bcntuk usaha tctap terscbut dapat dikcnakan pajak tambahan eli Negara pihak lainnya pada Persetujuan sesuai clengan peraturan perundang-undangannya, namun besarnya pajak tambahan dimaksud tidak akan mclcbihi 10 (sepuluh) persen dari jumlah laba terse but sctclah dikurangkan dcngan pajak pcnghasilan dan pajak-pajak lainnya atas pcnghasilan yang dikcnakan eli Ncgara lainnya tcrscbut. 7. Ketentuan ayat 6 dari Pasal ini tidak akan mempengaruhi ketentuan yang terkandung dalam setiap kontrak bagi hasil yang berhubungan dengan minyak bumi dan gas, dan kontrak ketja bagi sektor-sektor pertambangan lainnya, yang clisepakati oleh suatu

11 Negara pihak pada Persctujuan, bagian-bagiannya, perusahaan minyak bumi dan gas negara yang berkaitan atau entitas lainnya beserta orang/badan yang merupakan penduduk Negara pihak pacla Pcrsctujuan lainnya. Pasal 11 BUNG A 1. Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan clan dibayarkan kepacla penduduk Negara pihak pacla Pcrsetujuan lainnya dapat clikenakan pajak di Negara pihak lainnya pacla Persetujuan tersebut. 2. Namun clemikian, bunga tersebut dapat pula dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana bunga itu timbul berdasarkan perunclang-undangan di Negara itu, tetapi apabila pemberi pinjaman yang mcncrima bunga adalah penduduk Negara pihak pacla Persetujuan lainnya pajak yang dikenakan ticlak akan melebihi I 0 (sepuluh) persen dari jumlah bruto bunga. Pihak-pihak yang berwenang clari Negara-negara pihak pada Persetujuan akan menetapkan cara penerapan pembatasan ini melalui kesepakatan bersama. 3. Menyimpang dari ketentuan ayat 2, bunga yang timbul di Ncgara pihak pacla Persetujuan clan berasal dari pemerintah Negara pihak lainnya pada Persetujuan termasuk pemerintah daerahnya, bagian ketatanegaraannya, Bank Sentral atau setiap institusi keuangan yang dikuasai oleh pemerintah, yang modalnya secm a kescluruhan dimiliki oleh Pemerintah Negara pihak lainnya pada Persetujuan, scpcrti yang telah disetujui clari waktu ke waktu diantara pejabat yang berwenang Ncgara pihak pacla Persetujuan akan clibcbaskan dari pengenaan pajak eli Ncgara yang disebut pertama. 4. Istilah "bunga" yang digunakan clalam Pasal ini bcrarti pcnghasilan dari semua jenis tagihan hutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun yang tidak, dan baik yang mcmpunyai hak atas pembagian laba maupun yang tidak dan khususnya, penghasilan dari surat-surat berharga Negara dan surat-surat obligasi atau surat- surat hutang, termasuk premi clan hadiah yang tcrikat pada surat-surat berharga, obligasi atau suratsurat hutang tersebut, demikian pula scmua penghasilan yang dipersamakan clengan pcnghasilan yang dipcroleh dari uang yang dipinjamkan berdasarkan undang-unclang perpajakan dari negara-negara dimana penghasilan itu berasal, termasuk bunga alas pembayaran yang tertunda. 5. Ketentuan-kctcntuan ayat I dan ayat 2 ticlak akan berlaku apabila pcmbcri pinjaman yang mcnikmati bunga tadi bcrkcduclukan eli suatu Ncgara pihak pada Pcrsctujuan, melakukan kegiatan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dimana tempat bunga itu berasal, mclalui suatu bentuk usaha tetap yang bcracla eli sana, atau menjalankan peketjaan bebas eli Negara lainnya melalui suatu tempat usaha tetap yang berada eli sana, dan tagihan hutang yang menghasilkan bunga itu mempunyai hubungan yang cfcktif dcngan bcntuk usaha tctap atau tempat usaha tetap itu, atau dcngan kcgiatan-kcgiatan usaha scperti dimaksud dalam Pasal 7 ayat I huruf (c). Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketcntuan-kctentuan Pasal 7 atau Pasal 14.

12 6. Bunga dianggap berasal dari suatu Ncgara pihak pada Pcrsetujuan apabila yang membayarkan bunga adalah Negara itu scndiri, bagian ketatancgaraannya, pemerintah daerahnya atau penduduk Negara terscbut. Namun demikian, apabila orang atau badan yang membayar bunga itu, tanpa memandang apakah ia penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan atau ticlak, mempunyai bcntuk usaha tetap atau tempat usaha tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan dimana bunga yang dibayarkan menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat usaha tctap tcrsebut, maka bunga itu akan dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan dimana bcntuk usaha tetap atau tempat usaha tetap itu beracla. 7. Jika karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar bunga dengan pemilik yang menikmati bunga atau antara keduanya clengan orang atau baclan lain dengan memperhatikan besarnya tagihan hutang yang menghasilkan bunga itu, jumlah bunga yang dibayarkan melebihi jumlah yang seharusnya disetujui antara pembayar dan pemilik yang menikmati bunga seandainya hubungan istimewa itu tidak ada, maka kctentuan-ketentuan Pasal ini akan berlaku hanya atas jumlah yang telah disetujui tersebut. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan ketentuan-kctcntuan lainnya dalam Persetujuan ini. Pasal 12 ROYALTI 1. Royalti yang berasal dari Negara pihak pada Pcrsctujuan dan dibayarkan kcpada pcnduduk dari suatu Ncgara pihak lainnya pacla Persetujuan dapat dikcnakan pajak di ncgara lain tersebut. 2. Namun demikian, royalti tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana royalti tersebut berasal dan sesuai dengan undang-undang Negara tersebut, tetapi apabila pemilik hak yang menikmati royalti itu adalah penduduk dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, maka pajak yang clikenakan tidak melebihi 5 (lima) persen dari jumlah bruto royalti. Para pejabat yang benwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan menetapkan cara pcnerapan mengena1 pembatasan ini melalui suatu persetujuan bersama. 3. lstilah "royalti" clalam pasal ini berarti pembayaran-pembayaran, apakah periodik atau tidak, dan dalam bentuk atau nama atau nomenklatur apapun sepanjang hal tersebut timbul sebagai pertimbangan untuk: (a) penggunaan, atau hak untuk menggunakan, sctiap hak cipta, paten, pola atau model, rencana, formula rahasia atau proses, merek dagang atau hak atau properti lainnya yang sejenis; atau (b) penggunaan, atau hak untuk menggunakan, setiap peralatan industrial, komcrsial, atau kcilmupengetahuanan; atau

13 (c) pemberian pcngetahuan atau informasi kcilmupcngetahuanan, tcknikal, industrial atau komersial; atau (d) setiap pcmberian bantuan yang bcrsi1~tt tambahan dan bersubsidi terhadap setiap properti atau hak yang dimaksud dalam sub-ayat (a), setiap peralatan yang dimaksud dalam sub-ayat (b) atau sctiap pengetahuan atau informasi yang dimaksud dalam sub-ayat (c); atau (e) penggunaan, atau hak untuk menggunakan: i) film-film gam bar bergerak, atau ii) film-film atau video untuk penggunaan sehubungan dengan televisi, atau iii) pita-pita rekaman yang digunakan schubungan dengan penyiaran radio. 4. Ketentuan-kctentuan ayat 1 dan ayat 2 tidak bcrlaku apabila pihak yang mcmiliki hak menikmati royalti, yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan, menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada Pcrsetujuan dimana royalti bcrasal, melalui suatu bentuk usaha tetap yang bcrada disana, atau melakukan suatu peketjaan bebas di Negara lainnya itu melalui suatu tempat usaha tetap, dan hak atau harta yang menghasilkan royalti itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tcmpat usaha tctap itu atau dcngan kegiatan-kegiatan usaha seperti dimaksud dalam Pasal 7 ayat I (c). Dalam hal demikian, bergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan Pasal 7 atau Pasal Royalti dapat dianggap bcrasal dari Ncgara pihak pada Pcrsctujuan apabila pembayarnya aclalah Ncgara itu sendiri, pcmerintah dacrah atau penduduk clari Ncgara tersebut. Namun demikian, apabila orang atau badan yang membayarkan royalti itu, tanpa memandang apakah ia penduduk suatu Negara pihak pada Persctujuan atau bukan, mcmiliki bentuk usaha tetap atau tcmpat usaha tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan dimana kewajiban mcmbayar royalti timbul, dan royalti tersebut menjadi beban bentuk usaha tetap atau tcmpat usaha tetap tersebut, maka royalti ini dianggap berasal dan Negara dimana bentuk usaha tetap atau tcmpat usaha tetap itu berada. 6. Jika, karena alasan adanya hubungan istimcwa antara pembayar dengan pemilik hak yang menikmati atau antara kcdua-duanya dengan orang atau badan lain, berkenaan dengan penggunaan hak atau keterangan yang mengakibatkan pcmbayaran itu, jumlah royalti yang dibayarkan itu melebihi jumlah yang seharusnya disepakati oleh pembayar dan pemilik hak seandainya tidak ada hubungan istimcwa, maka kctcntuanketentuan Pasal ini hanya akan bcrlaku tcrhadap jumlah yang disebut terakhir. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak scsuai clengan perunclang-unclangan masing-masing Negara pihak pada Persetujuan dcngan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya clalam Persetujuan ini.

14 Pasal 13 KEUNTUNGAN DAR! PEMINDAI ITANGANAN HARTA 1. Keuntungan yang diperoleh pcnduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan dari pemindahtanganan harta tak gcrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan terletak di Negara pihak Jainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lai!u1ya terscbut. 2. Keuntungan dari pemindahtanganan harta gerak yang merupakan bagian kekayaan suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan atau dari harta gerak yang merupakan bagian dari suatu tempat usaha tetap yang terseclia bagi pcnduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan untuk maksud melakukan peketjaan bebas, termasuk kcuntungan dari pcmindahtanganan bentuk usaha tetap itu (tcrsendiri atau bcserta keseluruhan pcrusahaan) atau tempat usaha tetap, dapat clikenakan pajak di Ncgara pihak lainnya tersebut. 3. Kcuntungan yang diperoleh perusahaan suatu Negara pihak pacla Persctujuan dari pemindahtanganan kapal!aut atau pesawat udara yang beroperasi di jalur lalu lintas internasional atau harta gcrak yang menjadi bagian dari opcrasi kapal!aut atau pesawat udara hanya akan clikenakan pajak eli mana tcmpat efektif manajcmcn berada. 4. Kcuntungan dari pemindahtanganan harta lainnya, kecuali yang discbut pada ayatayat terdahulu, hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana orang atau badan yang mcngalihkan harta tcrsebut menjacli pcnduduknya. Pasal 14 PEKERJAAN BEBAS I. Penghasilan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dcngan jasa-jasa profesional atau pekerjaan bebas lainnya hanya akan dikcnakan pajak di Negara itu kccuali apabila ia mempunyai suatu tempat usaha tctap yang tersedia secm a teratur baginya untuk menjalankan kegiatan-kcgiatan di Negara pihak lainnya pada Pcrsctujuan itu atau ia berada di Negara pihak lainnya itu selama suatu masa atau masa-masa yang mclcbihi 183 (seratus dclapan puluh tiga) hari dalam masa clua belas bulan. Apabila ia mcmpunyai tcmpat usaha tetap tcrsebut atau bcrada di Negara pihak lainnya itu selama masa atau masa-masa tersebut diatas, maka penghasilan tersebut clapat clikenakan pajak di Negara pihak lainnya itu tetapi hanya sepanjang penghasilan itu dianggap bcrasal dari tempat usaha tetap tersebut atau diperoleh di Negara lain itu selama masa atau masa-masa tersebut diatas. 2. Istilah "jasa-jasa profcsional" terutama meliputi kegiatan-kegiatan keilmupengetahuanan, kesusastcraan, kcsenian, pendiclikan atau pengajaran yang dilakukan secm a independen, demikian juga pckctjaan-pckcrjaan bcbas yang dilakukan oleh para dokter, ahli tcknik, ahli hukum, cloktcr gigi, arsitck dan akuntan.

15 Pasal 15 PEKERJAAN D/\LAM IIU13UNGAN KERJA I. Dengan mem perhatikan ketcntuan-ketentuan Pasal-pasal I 6, 18, 19, 20 dan 21, gaj i, upah dan imbalan lainnya yang serupa yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan karcna peke1jaan dalam hubungan ke1ja hanya akan dikenakan pajak eli Negara itu kecuali pckc1jaan tcrscbut dilakukan eli Ncgara pihak lainnya pada Persetujuan. Dalam hal demikian, maka imbalan yang diterima dari peke1jaan dimaksud dapat dikenakan pajak eli Ncgara pihak lainnya itu. 2. Menyimpang dari ketentuan-ketcntuan ayat 1, imbalan yang diterima atau diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persctujuan dari peke1jaan yang dilakukan eli Negara pihak lainnya pada Persetujuan, hanya akan dikenakan pajak eli Negara yang disebut pcrtama apabila: (a) penerima imbalan bcrada eli Negara pihak lainnya itu da1am suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi I 83 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam masa dua belas bulan yang dimulai atau diakhiri pada tahun takwim yang bcrsangkutan; dan (b) imbalan itu dibayarkan oleh, atau atas nama, pemberi kerja yang bukan merupakan penduduk Negara pihak lainnya tcrsebut; dan (c) imbalan itu tidak mcnjadi beban bentuk usaha tclap atau tcmpat usaha tclap yang dimiliki oleh pcmbcri kerja eli Negara pihak lain tersebut. 3. Menyimpang dari ketentuan-kctentuan sebelumnya dalam Pasal ini, imbalan yang diperoleh karena peke1jaan yang dilakukan eli atas kapal!aut atau pcsawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalu lintas intcrnasional oleh suatu perusahaan dari satu Negara pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak eli Negara pihak pada Persetujuan dimana tern pat kedudukan manajcmen efektif perusahaan terse but berada. 4. Upah, gaji, tunjangan dan bonus yang diterima seorang pegawai perusahaan penerbangan atau pelayaran dari suatu Negara pihak pada Pcrsctujuan dan ditempatkan eli Negara pihak lainnya pada Persctujuan akan dikenakan pajak eli Negara pihak pada Persetujuan dimana tcmpat kedudukan manajemen efektif perusahaan berada, namun apabila suatu persetujuan penghindaran pajak bcrganda berlaku diantara Negara pihak pada Persetujuan lainnya dan negara lainnya dimana pegawai tersebut adalah penduduknya, maka ia akan dikenakan pajak scsuai dengan ketentuan-ketentuan persetujuan yang berlaku. Pasal 16 IMBALAN PARA DIREKTUR I. Imbalan para direktur dan pcmbayaran-pembayaran scrupa lainnya yang diperoleh penduduk Negara pihak pada Pcrsctujuan dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direktur atau setiap organ lain yang serupa dari perusahaan yang bcrkecludukan

16 di suatu Negara pihak lainnya pada Persctujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut. 2. Gaji, upah dan pembayaran serupa lainnya yang diperoleh penduduk Negara pihak pada Persetujuan dalam kedudukannya sebagai pegawai dalam posisi manajerial tingkat atas dari suatu perseroan yang merupakan penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Ncgara pihak lainnya terscbut. Pasal 17 PARA ARTIS DAN OLAHRAGAWAN 1. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 14 dan 15, penghasilan yang dipcroleh penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan sebagai penghibur, seperti artis teater, gambar bergerak, radio atau televisi, atau pemain musik, atau sebagai olahraga>vvan, dan kegiatan-kegiatan pribadinya yang dilakukan di Negara pihak lainnya pada Pensetujuan, dapat dikenakan pajak di Ncgara lainnya tersebut. 2. Apabila penghasilan sehubungan dengan kegiatan-kcgiatan pribadi yang dilakukan oleh penghibur atau olahragawan tersebut diterima bukan oleh penghibur atau olahragawan itu sendiri tetapi oleh orang atau badan lain, menyimpang dari ketentuanketentuan Pasal 7, 14 dan 15, maka penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana kegiatan-kegiatan penghibur atau olahragawan itu dilakukan. 3. Menyimpang dari kctcntuan-kctcntuan ayat 1 dan 2, pcnghasilan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan yang dijclaskan pada ayat I yang dilakukan dibawah pcrjanjian budaya atau kcsepakatan diantara Negara pihak pada Persetujuan akan dikecualikan dari pengenaan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan jika kunjungan ke Negara tersebut scluruhnya atau pada intinya ditunjang oleh dana masyarakat dari satu atau kcdua Negara pihak pada Pcrsetujuan, pemerintah daerahnya atau lcmbaga publiknya. Pasal 18 PENSIUN DAN PEMBA Y ARAN BERKALA I. Dcngan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 19 ayat 2, pcnsiun atau imbalan sejenis lainnya yang dibayarkan kepada penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan yang bersumber dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan sehubungan dengan pcket:jaan atau jasa-jasa dalam hubungan ketja di Negara pihak lainnya pada Persetujuan di masa lampau dan pcmbayaran bcrkala yang dibayarkan kcpada penduduk dari sumber diatas hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak lainnya itu. 2. lstilah "pcmbayaran berkala" berarti suatu jumlah tertentu yang dibayar secar a berkala pada waktu tet1cntu sclama hidup atau sclama jangka waktu tertentu atau masa waktu yang dapat ditentukan karena adanya kc\vajiban untuk melakukan pembayaranpembayaran sebagai imbalan yang mcmadai dalam bentuk uang atau yang dapat dinilai dengan uang.

17 Pasal 19 PEJi\BAT PEMERINTAI-I 1. (a) Gaji, upah dan imbalan lainnya yang scjenis, selain dari pensiun yang dibayarkan oleh Negara pihak pada Persetujuan atau pemerintah daerahnya kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan kepada Negara tcrsebut atau bagiannya atau otoritasnya hanya akan dikcnakan pajak di Negara itu; (b) Namun clemikian, gaji, upah clan imbalan lainnya tersebut hanya akan clikenakan pajak eli Negara pihak lainnya pada Persetujuan apabila jasa-jasa tersebut diberikan eli Negara pihak lainnya itu dan orang tersebut adalah penduduk Negara itu yang: i) merupakan wargancgara clari Negara itu; atau ii) tidak menjadi penduduk Negara itu semata-mata hanya untuk maksud mcmberikan jasa-jasa tersebut. 2. (a) Pcnsiun yang clibayarkan oleh, atau dari dana yang dibentuk oleh suatu Ncgara pihak pacla Persetujuan atau pemerintah clacrahnya kepacla seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikannya kcpada Negara itu atau pcmerintahnya hanya akan clikenakan pajak eli Negara itu; (b) Namun clemikian, pensiun terse but hanya akan clikenakan pajak eli Negara pihak lainnya pada Persetujuan bilamana orang tersebut adalah pcnduduk, dan warganegara dari Negara pihak lainnya itu. 3. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 15, 16 dan 18 akan berlaku terhadap gaji, upah dan imbalan lainnya yang sejenis dan terhadap pensiun, dari jasa-jasa yang diberikan schubungan dengan usaha yang dijalankan oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau bagian ketatanegaraannya atau pcmerintah daerahnya. Pasal 20 GURU DAN PENELITI Seseorang yang sebelum kunjungan ke suatu negara pihak pada Pcrsctujuan adalah penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dan yang atas undangan dari Pemerintah Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pc1iama atau universitas, akademi, sckolah, musium atau lembaga kebudayaan lainnya dari Negara pihak pada Pcrsctujuan yang disebut pertama atau melalui pertukaran kcbudayaan resmi, yang berada di Ncgara pihak pada Pcrsctujuan itu untuk masa tidak lebih dari tiga tahun bcrturut-turut scmata-mata untuk tujuan mengajar, memberikan kuliah atau mclakukan pcnclitian di lcmbaga dimaksud akan dibcbaskan dari pengenaan pajak eli Negara pihak pada Pcrsctujuan itu atas pcmbayaran untuk kegiatan terse but, asalkan pem bay a ran yang diperolehnya be rasa! dari luar Negara pihak pad a Persetujuan itu.

18 Pasal 21 PELAJAR DAN PESERT i\ PELA Til-IAN I. Pembayaran-pembayaran yang diterima olch pelajar atau pcscrta pelatihan bisnis yang merupakan penduduk atau sesaat sebelum mengunjungi suatu Negara pihak pada Persctujuan merupakan penduduk suatu Ncgara pihak lainnya pada Pcrsetujuan dan berada eli Negara pihak pada Persetujuan yang discbutkan pertama semata-mata untuk mengikuti pendidikan atau latihan, yang ditcrima semata-mata untuk kcperluan hidup, pendidikan atau pelatihan tidak dikenakan pajak eli Negara pihak pada Persetujuan tersebut, sepanjang pembayaran-pembayaran tersebut berasal dari sumber eli luar Negara pihak pada Persetujuan tersebut. 2. Sehubungan dcngan hibah-hibah, bcasiswa-beasiswa dan imbalan dari pekc1jaan yang tidak dicakup dalam ayat I, seorang pelajar, pescrta pelatihan bisnis yang disebutkan dalam ayat I, sebagai tambahan, berhak selama masa pendidikan a tau pelatihan scmacam itu diberikan pengecualian-pcngecualian yang sama, keringanan atau pengurangan yang menyangkut pajak-pajak yang dikenakan terhadap penduduk- penelueluk dari Negara yang ia kunjungi. Pasal 22 PENGHASILAN LAINNY A I. Bagian-bagian penghasilan penduduk satu Ncgara pihak pada Persctujuan, dimanapun timbulnya, yang tidak diatur dalam Pasal-pasal sebelumnya dari Persetujuan ini akan elikenakan pajak eli Negara tersebut. 2. Ketentuan ayat I Pasal ini ticlak berlaku bagi pcnghasilan yang cliperolch pcncluduk suatu Ncgara pihak pacla Pcrsctujuan jika penerima penghasilan tersebut menjalankan usaha eli Negara pihak pada Persetujuan lainnya mclalui suatu bentuk usaha tetap yang berada eli sana, atau mclakukan peke1:jaan bebas eli Negara lainnya melalui suatu tempat usaha tetap yang berada eli sana, clan hak yang memberikan pcnghasilan tcrsebut mempunyai hubungan cfcktif clengan bcntuk usaha tctap atau tempat usaha tetap itu. Dalam hal demikian, tcrgantung pada masalahnya, berlaku kctentuan- kctcntuan Pasal 7 atau Pasal Menyimpang dari kctentuan-ketentuan ayat I dan 2, bagian-bagian penghasilan scorang penduduk suatu Negara pihak pada Peesetujuan yang tielak tcrcakup elalam Pasal sebelumnya elari Pcrsetujuan dan timbul eli Negara pihak lainnya paela Persctujuan juga dapat dikenabn pajak eli Ncgara lainnya terse but. Pasal 23 METODE PENGI-IlNDARAN PAJAK BERGANDA 1. Apabila scorang pcnduduk elari suatu Negara pihak pacla Persetujuan memperolch penghasilan dari Negara pihak lainnya pada Persctujuan, jumlah pajak yang terutang eli Negara pihak lainnya pada Persetujuan berkenaan elengan penghasilannya tcrscbut sesuai dengan kctentuan Pcrsctujuan ini, clapat dikrcditkan tcrhadap pajak eli Negara

19 Persetujuan yang disebut pcrtama yang dikcnakan tcrhadap orang tcrscbut. Namun jumlah kredit itu tidak bolch melebihi jumlah pajak di Negara yang disebut pertama atas penghasilan yang dihitung sesuai dengan undang-undang pajak dan peraturanperaturan Negara tersebut. 2. Untuk tujuan penerapan ayat I dalam Pasal ini, istilah "pajak yang dibayarkan di Qatar" dan "pajak yang dibayarkan di Indonesia" akan dianggap meliputi jumlah pajak yang seharusnya dibayar di Qatar atau Indonesia bergantung pada masalahnya, jika pajak tersebut dikecualikan atau dikurangkan berdasarkan perundang-undangan Negara pihak pada Persetujuan tersebut. Pasal 24 NON-DISKRIMINASI I. Warganegara dari suatu Negara pihak pada Pcrsetujuan tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun sehubungan dengan pengenaan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, yang berbeda atau lebih memberatkan daripada pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban pihak, yang dikenakan atau dapat dikenakan terhadap warganegara dari Negara pihak lainnya dalam keadaan yang sama. 2. Pengenaan paj ak atas bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh suatu perusabaan dari Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, tidak akan dilakukan dengan cara yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan pengenaan pajak atas perusabaan-perusabaan yang mcnjalankan kegiatan-kegiatan yang sama di Negara pihak lainnya itu. Ketentuan ini tidak dapat ditafsirkan scbagai mewajibkan suatu Negara pihak pada Persetujuan untuk memberikan kcpada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan suatu potongan pribadi, kcringanan-keringanan dan pcngurangan-pengurangan untuk kepentingan pengenaan pajak berdasarkan status sipil atau tanggung jmvab keluarga scpcrti yang diberikan kepada penduduknya scndiri. 3. Perusahaan-pcrusahaan di suatu Negara pihak pada Persetujuan, yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung atau tidak langsung, oleh satu atau lebih penduduk dari Ncgara pihak lainnya pada Persetujuan, tidak akan dikcnakan pajak atau kewajiban apapun yang berkaitan dengan pengenaan pajak di Negara yang discbut pertama yang berlainan atau lebih memberatkan daripada pengenaan pajak dan kewajiban-kcwajiban dimaksud yang dikenakan atau dapat dikenakan terhadap pcrusahaan-perusahaan lainnya yang scrupa di Ncgara yang disebut pertama. 4. Kecuali dimana kctentuan Pasal 9 ayat 1, Pasal II ayat 7 atau Pasal 12 ayat 6 bcrlaku, bunga, royalti dan pembayaran-pembayaran lain yang dibayarkan oleh perusahaan dari Ncgara pihak pada Persetujuan kcpada pcnduduk Negara pihak lainnya pada Pcrsctuj uan dalam menentukan laba yang dapat dikenakan pajak at as perusahaan semacam itu akan dapat dikurangkan dalam kondisi yang sama apabila hal itu dibayarkan kepada penduduk dari Negara yang discbut pertama.

20 5. Dalam Pasal ini istilah "pcrpajakan" berarti pajak-pajak yang mcrupakan subyck dari Persetujuan ini. Pasal 25 TATA CJ\RA PERSETU.JU/\N BERSAMA I. Apabila seseorang atau suatu badan mcnganggap bahwa tindakan-tindakan salah satu atau kedua Negara pihak pacta Persetujuan mcngakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Pcrsetujuan ini, maka terlepas dari cara- cara penyelesaian yang diatur oleh perundang-undangan nasional dari masing-masing Negara, ia dapat mengajukan masalahnya kepada pejabat yang benvenang di Negara pihak pacta Peesetujuan dimana ia berkedudukan, atau apabila masalah yang timbul menyangkut Pasal 24 ayat I, kepada pejabat yang berwenang eli Negara pihak pacta Persetujuan dimana ia menjadi warganegara. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu dua tahun sejak pemberitahuan pertama dari tindakan yang mengakibatkan pcngenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini. 2. Apabila keberatan yang diajukan itu cukup beralasan untuk diselcsaikan dan apabila atas masalah itu tidak dapat ditemukan suatu penyelesaian yang memuaskan, pejabat yang benwenang harus berusaha mcnyclesaikan masalah itu mclalui persetujuan bcrsama dengan pejabat yang berwenang dari Negara pihak lainnya pacta Persetujuan, dengan tujuan untuk mcnghindarkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dcngan Persetujuan ini. 3. Pejabat-pcjabat yang berwenang dari kcdua Ncgara pihak pacta Persetujuan mclalui suatu persetujuan bersama harus bcrusaha untuk menyelesaikan sctiap kesulitan atau keragu-raguan yang timbul dalam penafsiran atau pcnerapan Persetujuan ini. Mereka dapat juga berkonsultasi bersama untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam hal tidak diatur dalam Persetuj uan. 4. Pejabat-pejabat yang berwcnang dari kedua Negara pihak pada Pccsctujuan dapat berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan sebagaimana dimaksud pacta ayat-ayat scbclumnya. Pejabat-pejabat yang bcrwenang, mclalui konsultasi akan mengembangkan proscdur-prosedur, kondisi-kondisi, cara-cara dan teknik-teknik untuk menerapkan tata cara persetujuan bersama yang dimaksud dalam Pasal ini. Pasal 26 PERTUKARAN INfORMASI I. Pcjabat-pcjabat yang bervvenang dari kedua Negara pihak pacta Persetujuan akan melakukan tukar mcnukar informasi yang dipcrlukan untuk mclaksanakan kctcntuan- ketcntuan dalam Persetujuan ini atau untuk melaksanakan undang-undang nasional Negara masing-masing mengcnai pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pcngenaan pajak mcnurut undang-undang Negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan Pcrsctujuan ini, khususnya untuk mencegah tetjadinya penggelapan atau penyelundupan pajak. Setiap informasi yang diterima oleh suatu

21 Negara pihak pada Persetujuan harus dijaga kerahasiaannya dengan cara yang sama scperti apabila informasi itu diperolch bcrdasarkan perundang-undangan nasional Negara tersebut. Bagaimanapun, informasi yang dianggap rahasia itu hanya dapat diungkapkan kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk pengadilan dan badan-badan administratif) yang berkepentingan dalam penetapan atau penagihan pajak, pelaksanaan undang-undang atau penuntutan, atau dalam memutuskan keberatan bcrkenaan dengan pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan ini. Orang atau badan atau para pejabat tersebut hanya boleh membcrikan informasi itu untuk maksud tersebut diatas, namun demikian dapat juga mengungkapkan informasi itu dalam pengadilan umum atau dalam pcmbuatan keputusan-keputusan pengadilan. 2. Ketcntuan-ketentuan ayat 1 tidak ditafsirkan scdcmikian rupa sehingga mcmbebankan kepada Negara pibak pacla Persetujuan kewajiban: (a) (b) (c) untuk mclaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bcrtentangan clcngan pcrundang-undangan atau praktek administrasi yang berlaku di Ncgara itu atau di Negara pihak lainnya pada Persetujuan; untuk membcrikan informasi yang tidak mungkin diperoleh bcrdasarkan perundang-undangan atau dalam praktek administrasi yang lazim di Negara tersebut atau di Negara pihak lainnya pada Persetujuan; untuk memberikan informasi yang mcngungkapkan rahasia apapun dibidang perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian atau informasi lainnya yang pengungkapannya bcrtentangan dengan kebijaksanaan Negara (ordrc public). Pasal 27 PEJABAT DLPLOMATIK DAN KONSULER Persetujuan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak istimewa eli bidang fiskal dan anggotaanggota misi diplomatik dan konsuler berdasarkan peraturan-peraturan umum hukum intenasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu persetujuan khusus. Pasal 28 BERLAKUNY A PERSETUJUAN Persetujuan ini akan mulai berlaku pada tanggal terakhir dilakukannya pemberitahuan tcrtulis oleh masing-masing Pemerintah melalui saluran diplomatiknya, bahwa syarat-syaraf formal berdasarkan konstitusi masing-masing Negara pihak pada Persctujuan yang diperlukan untuk memberlakukan Persetujuan ini telah dipenuhi. Ketentuan-kctentuan dari Persetujuan ini akan berlaku: (a) atas pajak yang dipotong pada sumber penghasilan, untuk penghasilan yang dipcroleh pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun takwim berikutnya scsudah berlakunya Persetujuan ini; dan

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA KANTOR DAGANG DAN EKONOMI INDONESIA, TAIPEI DAN KANTOR DAGANG DAN EKONOMI TAIPEI, JAKARTA TENTANG

PERSETUJUAN ANTARA KANTOR DAGANG DAN EKONOMI INDONESIA, TAIPEI DAN KANTOR DAGANG DAN EKONOMI TAIPEI, JAKARTA TENTANG PERSETUJUAN ANTARA KANTOR DAGANG DAN EKONOMI INDONESIA, TAIPEI DAN KANTOR DAGANG DAN EKONOMI TAIPEI, JAKARTA TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS PENDAPATAN Kantor Dagang

Lebih terperinci

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN KONFEDERASI SWISS MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK YANG BERKENAAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN BERHASRAT untuk

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 157/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MONGOLIA MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 152 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA KUWAIT TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 155 TAHUN 1998 (155/1998) TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MONGOLIA MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 177 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 158 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK DAN PENGHINDARAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ANTARA REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK IDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK IDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN P'EMERINTAH REPUBLIK SERBIA

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN P'EMERINTAH REPUBLIK SERBIA PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SERBIA TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA YANG BERKENAAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN P'EMERINTAH

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KEHARYAPATIHAN LUXEMBOURG TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1992 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MALAYSIA MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH ROMANIA MENGENAI PENGHIDARAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 151 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH TENTANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH ROMANIA MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

*48128 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 150 TAHUN 1998 (150/1998)

*48128 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 150 TAHUN 1998 (150/1998) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 150/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SUDAN TENTANG PENGHIDARAN PAJAK BERGANDA DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN *48128

Lebih terperinci

*48262 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

*48262 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 156/1998, PENGESAHAN PRSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UNI EMIRAT ARAB TENTANG PENGHIDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS DEMOKRASI SRI LANKA MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ARAB SURIAH TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANT ARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINT AH REPUBLIK DEMOKRATIK RAKYAT KOREA TENT ANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

PERSETUJUAN ANT ARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINT AH REPUBLIK DEMOKRATIK RAKYAT KOREA TENT ANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PERSETUJUAN ANT ARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINT AH REPUBLIK DEMOKRATIK RAKYAT KOREA TENT ANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN Pemerintah Republik

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 161 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN

Lebih terperinci

Pasal 1 ORANG ATAU SADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN INI

Pasal 1 ORANG ATAU SADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN INI PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN MAROKO TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK YANG BERKENAAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN Pemerintah

Lebih terperinci

Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan.

Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan. PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 151 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KERAJAAN SPANYOL UNTUK PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK

Lebih terperinci

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA RUANG LINGKUP P3B Untuk mempermudah pemahaman pembaca tentang P3B, maka ruang lingkup P3B dengan menggunakan United Nations (UN) Model dikelompokkan sebagai

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 155 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA TENTANG PENGHINDARAN PAJAK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 158 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK DAN PENGHINDARAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ANTARA REPUBLIK

Lebih terperinci

Pasal 1 ORANG DAN BADAN YANG DICAKUP DALAM PERSETUJUAN

Pasal 1 ORANG DAN BADAN YANG DICAKUP DALAM PERSETUJUAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA MEKSIKO SERIKAT UNTUK PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK YANG BERKENAAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN Pemerintah

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Arab Mesir BAB I RUANG LINGKUP PERSETUJUAN

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Arab Mesir BAB I RUANG LINGKUP PERSETUJUAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ARAB MESIR TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN Pemerintah Republik Indonesia dan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1987 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK INDIA MENGENAI PENGHIDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK TURKI TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wprdpress.com

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wprdpress.com Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wprdpress.com » Dikelompokkan Sbb: Subjek pajak, jenis pajak, istilah umum dan penduduk Jenis-jenis penghasilan Hal-hal yang terkait pekerjaan Hubungan istimewa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SUDAN TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA YANG BERHUBUNGAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 177 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 153 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ARAB MESIR TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS DEMOKRASI SRI LANKA MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANT ARA PEMERINT AH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINT AH REPUBLIK SLOVAKIA TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DANPENCEGAHANPENGELAKANPAJAK

PERSETUJUAN ANT ARA PEMERINT AH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINT AH REPUBLIK SLOVAKIA TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DANPENCEGAHANPENGELAKANPAJAK r PERSETUJUAN ANT ARA PEMERINT AH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINT AH REPUBLIK SLOVAKIA ) TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DANPENCEGAHANPENGELAKANPAJAK AT AS PENGHASILAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 10-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 50, 1983 FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 83, 2004 () KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM IRAN TENTANG PENGHINDARAN PAJAK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA OLEH: Yulazri M.Ak. CPA Pajak Penghasilan (PPh) Dasar Hukum : No. Tahun Undang-Undang 7 1983 Perubahan 7 1991 10 1994 17 2000 36 2008 SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK PENGHASILAN 1. a. Orang Pribadi b. Warisan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Penghasilan 1) Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak orang pribadi, badan, Bentuk Usaha

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

PAJAK PENGHASILAN (PPh) PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pengaturan PPh UU No. 7/1983 UU No. 7/1991 UU No. 10/1994 UU No. 17/2000 UU No. 36/2008 tentang PPh Subjek Pajak Orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif (berdomisili

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BENTUK USAHA TETAP BUT. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BENTUK USAHA TETAP BUT. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com BENTUK USAHA TETAP BUT Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com BENTUK USAHA TETAP Definisi : (pasal 2 UU Pph) bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG PRESIDEN NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.161, 2010 KEUANGAN NEGARA. Pajak Penghasilan. Penghitungan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tanggal 9 Nopember 1994 DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

Modul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI

Modul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1993 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PPh Pasal 26. Pengantar

PPh Pasal 26. Pengantar PPh Pasal 26 Pengantar PPh Pasal 26 mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh wajib pajak LN (baik orang pribadi maupun badan) selain bentuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah

Lebih terperinci

ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG

ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KEHARYAPATIHAN LUXEMBOURG TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Perpustakaan LAFAI

Perpustakaan LAFAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dengan Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TELAH MENYETUJUI SEBAGAI BERIKUT : Pasal 1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN

TELAH MENYETUJUI SEBAGAI BERIKUT : Pasal 1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 7-1983 lihat: UU 10-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1991 PAJAK. Warga Negara. UU. No. 7 Tahun 1983. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember Presiden Republik Indonesia,

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember Presiden Republik Indonesia, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember 1983 Presiden Republik Indonesia, Menimbang: Bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (1) huruf b dan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 UMUM Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 disusun dalam struktur yang

Lebih terperinci

NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1adalah kontribusi wajib kepada negara

Lebih terperinci

ADMINISTRASI. Kesejahteraan. PENSIUN. Tenaga Kerja. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

ADMINISTRASI. Kesejahteraan. PENSIUN. Tenaga Kerja. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 11/1992, DANA PENSIUN *8031 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 11 TAHUN 1992 (11/1992) Tanggal: 20 APRIL 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/37; TLN NO.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998 BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1. Aturan Perbankan II.1.1. Pengertian Bank Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang perbankan adalah: Bank adalah bidang

Lebih terperinci

CONTOH PEMANFAATAN TAX TREATY

CONTOH PEMANFAATAN TAX TREATY CONTOH PEMANFAATAN TAX TREATY 1. TAX TREATY INDONESIA-SINGAPURA Perjanjian pajak Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 8 Mei 1990 ini mengatur tentang penghindaran pajak berganda dan

Lebih terperinci

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak Penghasilan pasal 21, 22, 23, 24, 25, dan 26 Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan Pasal 21 PPh pasal 21 Pasal 21 Undang-undang PPh mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2013: 1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 9 2009 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 09 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH MINYAK DAN GAS BUMI KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci