INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA MENUJU 100 TAHUN NKRI. Membangun Kemandirian Ekonomi, Energi dan Pangan Secara Berkelanjutan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA MENUJU 100 TAHUN NKRI. Membangun Kemandirian Ekonomi, Energi dan Pangan Secara Berkelanjutan"

Transkripsi

1 INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA MENUJU 100 TAHUN NKRI Membangun Kemandirian Ekonomi, Energi dan Pangan Secara Berkelanjutan GABUNGAN PENGUSAHA KELAPA SAWIT INDONESIA GAPKI 2014 GAPKI 2014 i

2 INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA MENUJU 100 TAHUN NKRI Copyright 2014 GAPKI Edisi Pertama ii GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

3 KATA PENGANTAR Industri minyak sawit merupakan industri strategis dalam perekonomian Indonesia khususnya dimasa yang akan datang. Para ahli pertanian dunia telah lama mengakui bahwa pertanian termasuk perkebunan Kelapa sawit memiliki fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan bagi masyarakat. Berbagai studi baik dari lembaga internasional maupun lembaga di Indonesia, telah membuktikan bahwa industri minyak sawit Indonesia berkontribusi besar baik bagi perekonomian nasional, pembangunan ekonomi daerah, pengurangan kemiskinan maupun untuk pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, pengembangan industri minyak sawit perlu dilihat sebagai upaya memperbesar manfaat ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan hidup yang lebih besar dan lebih berkualitas. Kedepan, selain meningkatkan peran yang telah ada selama ini industri minyak sawit Indonesia juga dituntut pada peran baru yakni menyediakan energi pengganti energi fosil. Sebagaimana diketahui, bahwa ketergantungan Indonesia pada solar impor sudah sangat tinggi dan akan makin tinggi kedepan jika tidak ada upaya untuk menggantikannya. Impor, solar selain berisiko tinggi secara ekonomi, penggunaan solar juga menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca yang cukup besar dan secara global menjadi kontributor utama perubahan iklim global. Oleh karena itu penggantian solar dengan biodiesel berbahan baku minyak sawit menjadi tuntutan baru kedepan. Selain membangun kemandirian energy, pengembangan biodiesel tersebut jauh lebih ramah lingkungan. Dengan tambahan peran baru industri minyak sawit tersebut yakni menyediakan biodiesel tentu memerlukan penigkatan ketersediaan bahan baku berupa minyak sawit mentah (CPO). Sementara untuk kebutuhan hilirisasi oleopangan dan oleokimia juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, hilirisasi dan pengembangan biodiesel perlu disertai dengan peningkatan produksi CPO agar tidak terjadi trade-off fuel-food sebagaimana dialami banyak negara dunia. Dengan latar belakang dan harapan masa depan yang demikian, GAPKI menyusun cetak biru (blue print) dan peta jalan (roadmap) industri minyak sawit Indonesia (Hulu Hilir) untuk periode Untuk bagian hulu (perkebunan kelapa sawit) disajikan cetak biru dan GAPKI 2014 iii

4 peta jalan peningkatan produktivitas CPO melalui peningkatan produktivitas dan perluasan luas areal baik perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan negara. Dibagian hilir disajikan cetak biru dan peta jalan hilirisasi baik melaui jalur industri oleopangan, jalur industri oleokimia dan jalur industri biodiesel. Dan bagian terpenting dari cetak biru dan roadmap ini adalah Kebijakan Strategis yang perlu didukung pemerintah untuk industri minyak sawit Indonesia kedepan. Pengurus GAPKI Pusat mengapresiasi dan menyampaikan terimakasih kepada PASPI (Palm Oil agribusiness Staregic Policy Institute) yang telah kerja keras menyusun Cetak Biru dan Peta Jalan Industri Minyak Sawit ini. Dan kepada seluruh asosiasi industi minyak sawit : DMSI, APROBI, APOLIN, GIMNI, AMNI, APKASINDO, MAKSI kami sampaikan terimakasih atas masukan yang telah diberikan. Dan mari kita semua bergandengan tangan untuk menjadikan industri minyak sawit Indonesia meraih prestasi terbaik kedepan dan menjadi sumber kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Bogor, Juli 2014 PENGURUS GAPKI PUSAT iv GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

5 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... iii v ix xiii BAB I. PENDAHULUAN... 1 BAB II. EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR PASAR MINYAK NABATI DUNIA Populasi, Distribusi dan Pertumbuhan Penduduk Dunia Perekonomian Kawasan/Global Perkembangan Konsmsi Minyak Nabati Dunia Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Per Kawasan Pola Konsumsi Minyak Nabati Berdasarkan Kawasan Perkembangan Produksi Minyak Nabati Utama Global Menurut Negara Produsen Ekspor- Impor Minyak Nabati Global Perkembangan Mutakhir Industri Oleokimia Dunia Perkembangan Produksi Oleokimia Global Industri Penggunaan Produk Oleokimia Global Volume Konsumsi Oleokimia Global Perkembangan Harga Oleokimia Industri Biodiesel Dunia Dinamika Industri Oleokimia Global BAB III. EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA Industri Perbenihan Kelapa Sawit Perkembangan Luas Area Perkembangan Luas Areal Menurut Pengusahaan dan Provinsi Perkembangan Komposisi Umur Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan dan Provinsi Perkembangan Produksi CPO Penyebaran dan Kapasitas Produksi PKS Perkembangan Produksi CPO Menurut Pengusahaan dan Provinsi Perkembangan Produktivitas CPO Menurut GAPKI 2014 v

6 Pengusahaan dan Provinsi Perkembangan Ekspor dan Konsumsi Domestik CPO Industri Hilir Minyak Sawit Industri Minyak Goreng Sawit/Margarin/ Shortening Industri Margarin/Shortening Perkembangan Industri Oleokimia Industri Sabun/Detergen Evolusi Kebijakan Pemerintah Perkembangan Harga Energi Dunia, Pupuk dan Rasio Harga Pergerakan Harga Emisi Dunia, Minyak Mentah Pergerakan Indeks Harga Pupuk Pergerakan Harga CPO Dunia BAB IV. ANALISIS PERUBAHAN DAN PROYEKSI PASAR MINYAK NABATI GLOBAL MENUJU Proyeksi Populasi Penduduk Menuju Proyeksi Ekonomi Global Menuju Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Global Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Global Proyeksi Biodiesel Proyeksi Harga dan Ratio Harga Perubahan Selera Pasar Global Perubahan Iklim Global Perubahan Kebijakan Pasar Minyak Nabati Global BAB V. PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA Kontribusi Persawitan Indonesia dalam Pertumbuhan Ekonomi Keterkaitan Pertumbuhan Kelapa Sawit dengan Sektor Lain Dampak Perkebunan Kelapa Sawit pada Sektor Lain Peran Ekspor Minyak Sawit dalam Perekonomian Menyediakan Minyak Nabati yang Kompetitif Bagi Dunia: Feeding The World Peran Industri Minyak Sawit Dalam Pembangunan Pedesaan Perkebunan Kelapa Sawit: Menumbuhkan Pusat Pertumbuhan Baru Pedesaan Menarik Pertumbuhan Sektor Lain di Kawasan Pedesaan Pertumbuhan Produksi CPO Memacu Pertumbuhan Ekonomi Sentra Sawit vi GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

7 5.2.4 Perekonomian Sentra Sawit Bertumbuh Lebih Cepat Dibanding Non Sentra Sawit Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Mengurangi Kemiskinan Merubah Petani Miskin Menjadi Pengusaha Menciptakan Kesempatan Kerja di Kawasan Pedesaan Pendapatan Petani Sawit Meningkat Cepat Pertumbuhan Asset Petani Sawit Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit Lebih Tinggi dari Petani Non Sawit Mengatasi Kemiskinan dan Menciptakan Kelas Ekonomi Menengah di Pedesaan Perkebunan Kelapa Sawit Menurunkan Kemiskinan di Pedesaan Kontribusi Industri Minyak Sawit Dalam Pelestarian Lingkungan Kebijakan dan Regulasi Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia yang Berkelanjutan Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dari Degraded Land dan Low-Carbon Perkebunan Kelapa Sawit Berfungsi Ekologis Perkebunan Kelapa Sawit Menyerap CO 2 dari Atmosfir Bumi Perkebunan Kelapa Sawit Mengurangi Emisi GHG Degraded Peat Land Pelestarian Biodiversity pada Perkebunan Kelapa Sawit Industri Minyak Sawit Hemat Sumberdaya dan Minimum Polusi BAB VI. INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA Asumsi-Asumsi Visi dan Misi Industri Minyak Sawit Indonesia Visi Misi Roadmap Hilirisasi Proyeksi Konsumsi Industri Hilir Minyak Sawit Proyeksi Produksi Hilir Minyak Sawit Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik Roadmap Produksi CPO Menuju Roadmap Pengembangan Industri Pembibitan Kelapa Sawit Roadmap Replanting Roadmap Luas Areal dan Komposisi Tanaman GAPKI 2014 vii

8 6.5.4 Roadmap Produktivitas Proyeksi Produksi CPO Menuju Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit Nasional Proyeksi Produksi Jasa Lingkungan Proyeksi Ekspor Produk Minyak Sawit dan Pangsa Indonesia BAB VII. KEBIJAKAN STRATEGIS INDUSTRI MINYAK SAWIT Paket Kebijakan BIG PUSH Industri Minyak Sawit nasional Menuju Kebijakan Tata Ruang Kebijakan Pertanahan Kebijakan Perizinan Industri Minyak Sawit Kebijakan Suku Bunga Kredit Kebijakan Infrastruktur dan Pelabuhan Kebijakan Subsitusi Solar dengan Biodiesel (Mandatori Biodiesel) Kebijakan Perdagangan Internasional Kebijakan Perpajakan Kebijakan Riset dan Pengembangan Kebijakan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) Kebijakan Kelembagaan dan Organisasi Ekonomi Petani Sawit BAB VIII. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA viii GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

9 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa)... 5 Tabel 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa)... 6 Tabel 2.3. Asumsi GDP... 7 Tabel 2.4. Perkembangan GDP berdasarkan Kawasan (Million USD, pada Harga Konstan 2005)... 8 Tabel 2.5. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Amerika Latin dan Karibia Tahun Tabel 2.6. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub Sahara Afrika Tahun Tabel 2.7. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near East dan Afrika Utara Tahun Tabel 2.8. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Selatan Tahun Tabel 2.9. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Timur Tahun Tabel Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Negara Maju Tahun Tabel Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara Amerika Serikat Tahun Tabel Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni Eropa Tahun Tabel Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Barat Tahun Tabel Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun Tabel Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun Tabel Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun Tabel Pangsa Produksi Minyak Nabati terhadap Total Produksi Minyak Nabati Utama Dunia (%) Tabel 3.1. Kapasitas Produksi Benih Kelapa Sawit di Indonesia Tabel 3.2. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi Tabel 3.3. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi Tabel 3.4. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi Tabel 3.5. Perbandingan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit antara Perkebunan Rakyat, Negara, dan Swasta (%) GAPKI 2014 ix

10 Tabel 3.6. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi Tabel 3.7. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi Tabel 3.8. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi Tabel 3.9. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Rakyat Seluruh Provinsi Tabel Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Swasta Seluruh Provinsi Tabel Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Negara Seluruh Provinsi Tabel Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Setiap Provinsi Tabel Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Negara Setiap Provinsi Tabel Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Setiap Provinsi Tabel 3.15 Lokasi dan Kapasitas Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun Tabel Jumlah Perusahaan, Kapasitas Produksi dan Penyebaran Industri Margarin/Shortening di Indonesia Table 3.17 Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tabel Produsen dan Kapastas Industri Oleokimia Nasional(dalam 1000 ton) Tabel 3.19 Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Sabun Mandi dan Detergen di Indonesia Tabel Produsen dan Kapasitas Industri Biodiesel di Indonesia Table 3.21 Perkembangan Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir di dalam Negeri Tabel Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk Turunan Berdasarkan SK Menkeu No: 434/KMK 0.17/1994 Tanggal 31 Agustus Tabel Harga Patokan Ekspor dan Tarif Bea Keluar Produk- Produk Agribisnis Minyak Sawit 1 September 30 September Tabel 4.1. Peringkat 10 jumlah penduduk terbesar dunia tahun 2014 dan 2050E Tabel 4.2. Peringkat (Ranking) GDP Negara Ekonomi Terbesar Dunia. 150 Tabel 5.1. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages) dan Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkages) Perkebunan Kelapa Sawit Tabel 5.2. Sektor-Sektor Penyedia Input Perkebunan Kelapa Sawit Tabel 5.3. Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit x GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

11 Tabel 5.4. Top Ten Sektor Ekonomi (Selain Perkebunan Kelapa Sawit) yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output, Income dan Nilai Tambah Perkebunan Kelapa Sawit Tabel 5.5 Perkembangan Nilai Ekspor CPO dan Turunannya Serta Pangsanya dalam Net Ekspor Non Migas Indonesia Tabel 5.6. Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tabel 5.7. Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar Ekspor CPO dan Turunannya, Tahun Tabel 5.8. Negara/Kawasan Utama yang Menikmati Manfaat Produksi CPO Indonesia untuk Bahan Pangan dan Bahan Baku Industri Tabel 5.9. Sektor-sektor Rural Non-Farm yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Produksi CPO Tabel Perkembangan Jumlah Unit Usaha Keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat di Indonesia Tabel Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tabel Sektor-Sektor Ekonomi yang Bertumbuh Penyerapan Tenaga Kerja Jika Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Bertumbuh Tabel Perbandingan Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit dengan Petani Non Sawit (Rp Juta) Tabel 5.14 Perbandingan Pendapatan per Kapita Petani Sawit, Garis Kemiskinan dan Pendapatan per Kapita Nasional Tabel Sektor-sektor Ekonomi (Diluar Perkebunan Sawit) yang Meningkat Pendapatannya Akibat Pertumbuhan Produksi CPO Tabel Kebijakan dan Regulasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia Tabel Perubahan Penggunaan Lahan untuk Hutan, Perkebunan dan Penggunaan Lain di Indonesia (Juta Hektar) Tabel Perbandingan Ekofisiologi Perkebunan Kelapa Sawit dengan Hutan Tropis Tabel Volume Standing Biomas dan Jumlah Karbon Terfiksasi dari Atmosfir Bumi pada Berbagai Umur Kelapa Sawit Tabel Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Menurunkan Emisi CO2 Lahan Gambut ( Degraded Peat Land) Tabel Berbagai Fauna di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit Tabel Berbagai Flora di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit Tabel Kebutuhan Lahan untuk Menghasilkan 1000 Ton Minyak Nabati dari Berbagai Jenis Minyak Nabati Global Tabel Perbandingan Penggunaan Input dan Polusi Air/Tanah antara Perkebunan Kelapa Sawit dengan Minyak Nabati Lain untuk Per Ton Minyak Nabati yang Dihasilkan GAPKI 2014 xi

12 Tabel Konsumsi Air (Water Footprint) dari Berbagai Jenis Tanaman Biofuel Tabel 6.1. Asumsi Proyeksi Pertumbuhan Tahun (% Tahun) Tabel 6.2. Luas Degraded Land di Indonesia Tabel 6.3. Luasan Lahan Berpotensi Tinggi Untuk Tanaman Kelapa Sawit di Beberapa Wilayah Indonesia Tabel 6.4. Proyeksi Volume Konsumsi Domestik Produk Hilir Tabel 6.5. Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit (Ton) Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan CPO untuck Industri Hilir Domestik Tabel 6.7. Kebutuhan Bibit dan Roadmap Kualitas bibit Kelapa Sawit Tabel 6.8. Roadmap Replanting dan Tanaman Baru serta Kebutuhan Bibit Kelapa Sawit Tabel 6.9. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Tabel Proyeksi Produksi CPO Menurut Pengusahaan Tabel Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Minyak Sawit Nasional Tabel Proyeksi Jasa Lingkungan Pada Industri Minyak Sawit Tabel Proyeksi Volume Ekspor Produk Hilir Minyak Sawit dan CPO Indonesia Tabel Proyeksi Nilai Ekspor Produk Hilir dan CPO Indonesia Tabel penghematan Devisa Impor Solar dengan Kebijakan Mandatori Biodiesel Tahun Tabel Proyeksi Pangsa Indonesia Dalam Produksi CPO Dunia, Minyak Nabati Utama Dunia, dan Biodiesel Dunia Tabel 7.1. Perbandingan Peringkat Dunia antara Indonesia dengan Negara Tetangga dalam Perizinan Usaha Tabel 7.2. Perbandingan Lending Rate di Indonesiia dengan Negara- Negara Tujuan Ekspor Tabel 7.3. Perbandingan Indeks Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur Indonesia dibandingkan Negara Lain pada Tahun xii GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan... 6 Gambar 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan... 8 Gambar 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965, 1980, Gambar 2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia Gambar 2.5. Perkembangan Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia Gambar 2.6. Konsumsi Minyak Kedele berdasarkan Kawasan Tahun Gambar 2.7. Negara Konsumen Terbesar Minyak Kedele Dunia Gambar 2.8. Konsumsi Minyak Sawit berdasarkan Kawasan Tahun Gambar 2.9. Negara Konsumen Terbesar Minyak Sawit Dunia Gambar Konsumsi Rapeseed Oil berdasarkan Kawasan Tahun Gambar Negara Konsumen Terbesar Rapeseed Oil Dunia Gambar Konsumsi Sunflower Oil berdasarkan Kawasan Tahun Gambar Negara Konsumen Terbesar Sunflower Oil Dunia Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Amerika Latin dan Karibia Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub Sahara Afrika Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near East dan Afrika Utara Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Selatan Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Timur Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Negara Maju Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara Amerika Serikat Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni Eropa Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Barat Tahun GAPKI 2014 xiii

14 Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun Gambar Perkembangan Pangsa Produksi Minyak Nabati Utama Dunia Gambar Perkembangan Produksi CPO Dunia Tahun Gambar Perkembangan Produksi Soybean Oil Dunia Tahun Gambar Perkembangan Produksi Rapeseed Oil Dunia Tahun Gambar Perkembangan Produksi Sunflower Oil Dunia Gambar Perkembangan Ekspor Minyak Dunia Gambar Perkembangan Ekspor Minyak Kedele Dunia Gambar Perkembangan Ekspor Rapeseed Oil Dunia Gambar Perkembangan Ekspor Sunflower Oil Dunia Gambar Kapasitas Produksi Fatty Acid Dunia Tahun Gambar Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Global Gambar Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Tahun Gambar Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Gambar Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Dunia Gambar Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Global Gambar Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia Gambar Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia Gambar Volume Produksi Fatty Acid Global Historis dan Proyeksi. 57 Gambar Volume Produksi Fatty Alcohol Global Historis dan Proyeksi Gambar Industri Pengguna Fatty Alcohol Global Gambar Industri Pengguna Glyserin Global Gambar Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Acid Global Secara Historis dan Proyeksi Gambar Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Alcohol Global Secara Historis dan Proyeksi Gambar Perkembangan Harga Oleokimia (RM/ton) Gambar Perkembangan Harga Glyserin Menurut Bahan Baku Gambar Perkembangan Produksi Biodiesel Dunia Gambar Perkembangan Harga Biodiesel di Pasar Eropa Menurut Bahan Baku Gambar Komposisi Bahan Baku Surfactant di Berbagai Kawasan xiv GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

15 Gambar Penggunaan Surfactant Global Gambar Produk Personal Care Dunia Gambar Pasar Personal Care Dunia Gambar Penggunaan Lubricant Dunia Gambar Pasar Lubricant Dunia Menurut Kawasan (USB, 2008) Gambar Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia Gambar Penggunaan Surfactant Global Gambar Produk Persnonal Care Dunia Gambar Pasar Personal Care Dunia Gambar Penggunaan Lubricant Dunia Gambar pasar Lubricant Dunia Menurut kawasan (USB, 2008) Gambar Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia Gambar 3.1. Lokasi Penyebaran Produsen Benih Kelapa Sawit di Indonesia Gambar 3.2. Kapasitas Produksi PKS Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013 (ton TBS/jam), Gambar 3.3 Produksi CPO Indonesia Menurut Provinsi Tahun Gambar 3.4. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Gambar 3.5. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Negara Gambar 3.6. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Gambar 3.7. Perbandingan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat, Negara dan Swasta Gambar 3.8. Perkembangan Pangsa Ekspor dan Konsumsi Domestik dari Produksi CPO Indonesia Gambar 3.9. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia (000 ton) Gambar 3.10 Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia(000 US$) Gambar Perkembangan Komposisi Ekspor Minyak Sawit Indonesia Gambar Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut Negara Tujuan Gambar Perkembangan Produksi Minyak Goreng Indonesia Tahun Gambar Rata-rata Pangsa Minyak Goreng Sawit dalam Konsumsi Minyak Goreng Indonesia Tahun Gambar Perkembangan Alokasi Produksi Minyak Goreng Indonesia untuk Konsumsi Domestik dan Ekspor Tahun Gambar Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Minyak Goreng dan Margarin di Indonesia GAPKI 2014 xv

16 Gambar Perkembangan Produksi Margarine Indonesia Tahun Gambar Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar di Indonesia (ton) Gambar Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara Tujuan (Ton) Gambar Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid(US $ 000) Gambar Perkembangan Volume Glyserol Menurut Negara Tujuan (Ton) Gambar Perkembangan Volume Ekspor Glyserol Menurut Negara Tujuan (US$'000) Gambar Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara Tujuan (ton) Gambar Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara Tujuan(US$ 000) Gambar Perkembangan Volume Impor Oleokimia (ton) Gambar Perkembangan Volume Impor Oleokimia (US$ 000) Gambar Penyebaran dan Kapasitas Produksi Sabun dan Detergen Gambar Perkembangan Produksi Sabun dan Detergen Indonesia Tahun Gambar Perkembangan Produksi dan Tujuan Pasar Industri Sabun Indonesia Gambar Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Biodiesel di Indonesia Gambar 3.31 Perkembangan Produksi Biodiesel Indonesia Tahun Gambar Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaanya di Indonesia Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Mentah Dunia (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Diesel Dunia Januari Desember 2012 (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Gas Alam Cair Dunia (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Urea Dunia Januari Desember 2012 (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Rock Pospat (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk TSP Dunia (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk DAP Dunia (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk KCL Dunia (Januari 2002=100) xvi GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

17 Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan CPO Dunia (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Bulanan CPO Dunia (Januari 2002=100) Gambar Pola Pergerakan Harga Tahunan antara Minyak Mentah (A) % CPO (B) Dunia Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan PKO Dunia (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Bulanan PKO Dunia (Januari =100) Gambar 4.1. Penduduk Bumi dan Proyeksi hingga tahun Gambar 4.2. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980 dan Proyeksi Gambar 4.3. GDP per Kapita berdasarkan Kawasan Gambar 4.4. GDP per Kapita beberapa negara terpilih Gambar 4.5. Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia Gambar 4.6. Laju pertumbuhan Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia Gambar 4.7. Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia Gambar 4.8. Laju pertumbuhan Produksi Minyak Nabati Utama Dunia. 155 Gambar 4.9. Produksi Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, Gambar Konsumsi Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, Gambar Ekspor Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, Gambar Harga Biodiesel Tahun 2011 dan Proyeksi Hingga Tahun Gambar Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama Dunia Gambar Rasio Harga Minyak Nabati Utama Dunia Terhadap Minyak Sawit Gambar 5.1. Komposisi Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 2005 dan Gambar 5.2. Penggunaan Produksi CPO (Setara CPO) Indonesia Untuk Konsumsi Masopyarakat Dunia dan Masyarakat Indonesia Gambar 5.3. Harga Minyak Sawit (CPO) Lebih Kompetitif daripada Soybean Oil (SBO), Rapeseed Oil, (RPO), dan Sunflower Oil (SFO) Gambar 5.4. Evolusi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Menjadi Agropolitan/Kawasan Industri Perkebunan di Kawasan Pedesaan di Indonesia Gambar 5.5. Komponen Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Tahap Gestation Period di Kawasan Pedesaan Indonesia Gambar 5.6. Rataan Jumlah Unit UKMK Supplier Barang/Jasa untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Pedesaan (Per 100 Ribu TM) Gambar 5.7. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit Nasional GAPKI 2014 xvii

18 Gambar 5.8. Perbandingan PDRB Sentra Sawit dengan Non Sentra Sawit Nasional Gambar 5.9. Perbandingan Pendapatan Petani Sawit Plasma, Mandiri, dan Petani Non Sawit Nasional Gambar Pertumbuhan Asset Petani Sawit Nasional Gambar Pengaruh Produksi CPO terhadap Penurunan Kemiskinan di Sentra Sawit Nasional Gambar Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun Gambar Volume Karbon yang Diserap Secara Netto pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990 dan 2010 (Juta Ton Karbon) Gambar Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam Menyerap CO2 Global Gambar Pengurangan Emisi CO 2 dari Palm Oil Biodiesel Sebagai Pengganti Fosil-Diesel Dibandingkan Sumber Biodiesel Lainnya (persen) Gambar.6.1 Proyeksi Konsumsi Domestik Produk Hilir Gambar 6.2. Proyeksi Produk Hilir Gambar 6.3. Proyeksi Kebutuhan CPO Domestik Tahun Gambar 6.4. Perubahan Pangsa Areal Perkebunan Sawit Negara, Rakyat dan Swasta Indonesia Tahun Gambar 6.5. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Gambar 6.6. Proyeksi Komposisi Tanaman Kelapa Sawit Indonesia Gambar 6.7. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Rakyat Gambar 6.8. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Negara Gambar 6.9. Proyeksi Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Swasta Gambar Proyeksi Nilai Ekspor Produk Minyak Sawit Gambar Pangsa Indonesia dalam Produksi CPO Dunia Gambar Pangsa Indonesia dalam Produksi 4 Nabati Dunia Gambar Pangsa Indonesia dalam Produksi Biodiesel Dunia xviii GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

19 BAB I PENDAHULUAN Industri minyak sawit memiliki multi fungsi (multifunctionality) yang memberi manfaat ganda bagi perekonomian Indonesia maupun dunia secara keseluruhan. Manfaat ganda yang dimaksud berupa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Manfaat dari segi ekonomi yang dimaksud bahwa industri minyak sawit menghasilkan berbagai produk bahan pangan, bahan energi dan bahan baku industri,yang dibutuhkan baik bagi Indonesia maupun masyarakat dunia. Sekitar 70 persen dari CPO yang dihasilkan Indonesia diperuntukkan bagi masyarakat internasional dan hanya sekitar 30 persen untuk kebutuhan masyarakat Indonesia.Selain itu,bagi pekonomian Indonesia industri minyak sawit merupakan sumber penerimaan pemerintah dari Bea keluar, berbagai jenis pajak serta salah satu penyumbang devisa terbesar. Manfaat sosial dari industri minyak sawit terkait dengan peranan dan kontribusinya dalam penciptaan kesempatan kerja, pembangunan pedesaan (rural development) dan pengurangan kemiskinan pedesaan (poverty alleviation). Berbagai studi emperis (Susila, 2004; Goenadi,2008; World Growth,2009; Joni, 2012; Rofiq, 2012; PASPI,2014) mengungkapkan bahwa perkebunan Kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan pedesaan maupun pengurangan kemiskinan. Perkebunan Kelapa sawit juga memiliki fungsi ekologis dan memberi manfaat jasa lingkungan yang mirip dengan hutan (Henson,1999; Harahap, et al. 2005, Fairhurst and Hardter, 2004, PASPI, 2014). Perkebunan Kelapa sawit merupakan bagian penting dari pelestarian siklus karbondioksida(co 2), oksigen (O 2) dan air (H 2O). Kemampuan perkebunan Kelapa sawit dalam menyerap CO2 dan menghasilkan O 2 lebih tinggi dari kemampuan hutan primer. Dengan melihat planet bumi sebagai satu ekosistem, fungsi ekologis perkebunan Kelapa sawit tersebut dinikmati bersama dan gratis oleh masyarakat dunia. Dengan manfaat ekonomi, sosial dan ekologis dari industri minyak sawit yang demikian, maka setiap pengembangan perkebunan kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan produksi CPO, merupakan cara memperbesar manfaat tersebut bagi masyarakat. Demikian juga untuk setiap peningkatan nilai tambah CPO seperti hilirisasi juga merupakan upaya memperbesar manfaat industri minyak sawit bagi masyarakat. I. Pendahuluan 1

20 Sampai tahun 2013, Indonesia telah berhasil mengembangkan perkebunan Kelapa sawit sekitar 9.2 juta hektar dengan produksi CPO sebesar 26.5 juta ton. Dengan produksi CPO sebesar itu, Indonesia berhasil menjadi produsen CPO terbesar dunia. Prestasi yang impressive tersebut perlu dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya secara berkelanjutan, sehingga multi manfaat yang dihasilkan makin besar,bermutu dan makin meluas secara lintas generasi. Mempertahankan dan meningkatkan kualitas sebagai produsen CPO terbesar dunia kedepan, Indonesia menghadapi tantangan yang makin kompleks. Berbagai perubahan yang tekait industri minyak sawit akan terjadi baik di pasar domestik maupun pasar global, yang diantaranya sebagai berikut. Pertama, Ketersediaan lahan untuk perluasan kebun sawit di Indonesia makin terbatas kedepan. Keterbatasan lahan ini memiliki impiikasi penting bagi upaya peningkatan produksi CPO kedepan. Cara cara lama peningkatan produksi CPO melalui peluasan areal perkebunan Kelapa sawit seperti selama ini, harus beralih kepada cara cara baru yang makin berkualitas yakni melalui peningkatan produktivitas CPO dari lahan yang telah ada. Kedua, Ketergantungan Indonesia pada pasar CPO global sangat tinggi dan berisiko tinggi. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia sebagian besar (70 persen)cpo yang dihasilkan, dipasarkan ke pasar internasional dan hanya 30 persen diserap didalam negeri. Ketergantungan pada pasar CPO dunia yang demikian memiliki risiko tinggi dan tidak berkelanjutan, karena dengan mudah dipermainkan pasar internasional. Oleh karena itu pengembangan pasar CPO dalam negeri melalui hilirisasi perlu dipercepat agar sebagian besar produksi CPO diserap didalam negeri baik untuk kebutuhan domestik dan diekspor dalam bentuk olahan/produk jadi. Kedua hal tersebut tersebut ditempatkan dalam konteks perubahan lingkungan global yang sedang berubah. Berbagai purubahan lingkungan global kedepan seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan perubahan pusat-pusat perekonomian global, pergeseran selera dan persaingan antar minyak nabati global, perubahan iklim global,merupakan bagian dari tantangan masa depan yang perlu dipertimbangkan agar industri minyak sawit Indonesia dapat survive secara berkelanjutan serta memberi manfaat maksimal bagi Indonesia. Tantangan masa depan yang demikian mengundang pertanyaan strategis berikut : Bagimana industri minyak sawit Indonesia kedepan misalnya menuju tahun 2050? Atau sebagai produsen CPO dan sekaligus produsen minyak nabati terbesar dunia, Indonesia ingin seperti apa dengan industri minyak sawitnya? jawaban tantangan 2 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

21 tersebut disajikan dalam cetak biru (blue print) dan Roadmap Industri minyak sawit menuju Dalam penyusunan cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia ini, selain mengakomodasikan berbagai perubahan yang mungkin terjadi dalam perekonomian Indonesia juga mengakomodir proyeksi-proyeksi yang dilakukan oleh badan-badan internasional diberbagai bidang seperti proyeksi ekonomi global, populasi penduduk, pangan dan energi menuju tahun Dengan demikian cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia berada pada proyeksi global tersebut. Namun demikian beberapa penyesuaian dilakukan untuk mengakomodir target posisi Indonesia dalam pasar minyak nabati global. Buku cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia menuju 2050 berisikan: Pendahuluan, Evaluasi Perkembangan Mutakhir Pasar Minyak Nabati Dunia, Evaluasi Perkembangan Mutakhir Industri minyak sawit Indonesia, Analisis Perubahan dan Proyeksi Pasar Minyak Nabati Global Menuju 2050, Peranan Industri minyak sawit dalam Perekonomian Indonesia, Industri minyak sawit Indonesia 2050, Kebijakan Strategis Industri minyak sawit 2050 dan Penutup. I. Pendahuluan 3

22 4 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

23 BAB II EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR PASAR MINYAK NABATI DUNIA 2.1. Populasi, Distribusi dan Pertumbuhan Penduduk Dunia Jumlah penduduk dunia pada tahun 2014 ini menurut data Bank Dunia telah mencapai jiwa. Penduduk Indonesia berjumlah 248, jiwa (3.5% dari total penduduk dunia) dan berada pada urutan keempat terbesar di dunia setelah China ( jiwa), India ( jiwa) dan Amerika Serikat ( ). Perkembangan penduduk dunia dapat dilihat berdasarkan kelompok kawasan, sebagamana pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa) Kawasan E 2030E 2050E World Developed countries Developing countries Sub-Sahara Afrika Near East/Afrika Utara Amerika Latin dan Caribia Asia Selatan Asia Timur Sumber : World Population, UN, 2014 Penduduk dunia pada tahun 1970 mencapai milyar jiwa, dan estimasi pada tahun 2015 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 7,276 milyar jiwa. Dan diperkirakan pada tahun 2050 akan mencapai 9.11 milyar. Sebanyak % penduduk dunia berada di negara maju (developed countries), dan selebihnya, 80,81 % adalah penduduk di negara sedang berkembang (developing countries), yang dapat dirinci berdasarkan kawasan, yakni Sub-Sahara Afrika sebanyak 12,54%, Near East/Afrika Utara 6.93%, Amerika Latin dan Caribia 8.40%, Asia Selatan 23,77% dan Asia Timur sebanyak 28.81%. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 5

24 Juta Jiwa 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0 Oceania Amerika Utara.New Independent States Eropa Timur Eropa Barat Amerika Latin dan Caribia Asia Near East.North Africa.Sub-Saharan Africa Gambar 2.1. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan Sumber: FAO (2012) Pertumbuhan penduduk dunia pada kurun waktu rata-rata bertambah 1.7 %/tahun, tahun menurun menjadi 0.97 %/tahun, dan periode menurun 0.48 %/tahun, sedangkan pada kurun waktu meningkat menjadi rata-rata 0.75 %/tahun. Pertumbuhan penduduk di negara maju lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk di negara sedang berkembang. Pada kurun waktu , pertumbuhan penduduk negara maju adalah 0.01 %/tahun sedangkan negara berkembang seebesar 0.58 %/tahun. Rendahnya tingkat pertumbuhan di negara mau disebabkan oleh menurunnya tingkat fertilitas penduduk di negara-negara tersebut, dan cenderung semakin menurun dari tahun 2025 hingga tahun Sebaliknya, di negara-negara berkembang, kecuali China, penduduk di masing-masing kawasan cenderung meningkat. Pertumbuhan penduduk tertinggi terlihat pada negara Sub- Sahara Afrika, Near East dan Afrika Utara (Tabel 2.2.). Tabel 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa) Kawasan Pertumbuhan (% pertahun) World (countries with FBS) Developed countries Developing countries Sub-Sahara Afrika Near East/Afrika Utara Amerika Latin dan Caribia Asia Selatan Asia Timur Sumber: FAO (2012) 6 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

25 2.2. Perekonomian Kawasan/Global Perkembangan ekonomi pada horizon waktu jangka panjang bertujuan untuk memberikan gambaran visual adanya perbedaan yang signifikan antara keadaan saat ini dengan proyeksi di masa mendatang. GDP per kapita dunia pada harga konstan tahun adalah 7603 USD/kapita/tahun, diperkirakan akan mencapai USD/kapita/tahun. Pertumbuhan GDP dunia rata-rata bertumbuah 2.47 % per tahun pada kurun waktu , dan sedikit leih rendah jika diukur dalam jangka panjang, yakni 2,11 % per tahun. Pertumbuhan GDP per kapita dalam kurun waktu adalah 1,36 % per tahun. Rata-rata GDP per kapita di negara maju pada tahun 2005/2007 adalah USD/kapita dan pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai USD/kapita. Rata-rata GDP per kapita di negara sedang berkembang akan meningkat dari 2350 tahun 2005/2007 menjadi 7499 USD/kapita pada tahun Rata-rata pertumbuhan GDP per kapita di negara maju adalah 1.2 % per tahun, sedangkan di negara berkembang sebesar 2,67% per tahun. Jika dibandingkan dengan rata-rata GDP per kapita di negara sedang berkembang, rata-rata tertinggi adalah kawasan Asia Timur, yang meningkat dari 2738 USD/kapita menjadi USD/kapita pada tahun 2050, sebaliknya, terendah adalah di Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika (Tabel 2.3.). Diantara negara sedang berkembang, terdapat 45 negara yang memiliki tingkat GDP per kapita dibawah 1000 USD/kapita/tahun. Table 2.3 Asumsi GDP Pertumbuhan (%/tahun) Total GDP GDP per capita at intern PPP$ GDP per kapita at 2005/2007 exchange rates / 2005/ World Developing countries Sub-Sahara Afrika Near East/Afrika Utara Amerika Latin dan Caribia Asia Selatan Asia Timur Developed countries Catatan 45 Developing with GDP/cap under $1000 in 2005/ Other Developing Sumber: FAO (2012) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 7

26 Perkembangan GDP pada masing-masing kawasan disajikan pada Tabel 2.4 dan Gambar 2.2. Table 2.4 Perkembangan GDP berdasarkan Kawasan (Million USD, pada Harga Konstan 2005) European Union 17,926 24,007 30,295 33,650 34,865 43,348 50,740 64,995 East Asia 674 1,409 2,898 4,086 5,824 11,692 21,073 45,043 South Asia ,013 1,431 2,783 5,331 16,020 Near East/North Africa ,369 1,728 2,043 3,109 4,556 8,013 Latin America and Caribbean 1,250 1,455 1,988 2,260 2,596 3,743 5,066 7,805 Sub-saharan Africa ,027 4,630 Other WesternEurope ,052 1,384 Other EasternEurope Central Asia World 21,580 29,121 38,199 43,773 47,920 66,272 89, ,191 Sumber: FAO (2012) Gambar 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan Dampak dari meningkatnya penduduk global, dan disertai peningkatan GDP maupun GDP per kapita adalah meningkatnya konsumsi pangan di masa mendatang. Kedua variabel tersebut (pertambahan penduduk dan pertumbuhan pendapatan per kapita) juga akan mendorong pertumbuhan konsumsi per kapita minyak nabati dunia, dan akan mempengaruhi total konsumsi minyak nabati dunia maupun tingkat produksi minyak nabati dunia di masa mendatang. 0 World European Union East Asia South Asia Near East/ North Africa Latin America and Caribbean Sub- saharan Africa 8 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

27 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia Perkembangan konsumsi minyak nabati utama dunia pada tahun 1965 adalah 5228 juta ton. Hampir 60 % konsumsi minyak nabati dunia adalah minyak kedele, diikuti minyak rapeseed sebanyak 25%, dan minyak sawit (15%) dan minyak bunga matahari 0,67 %. Pada tahun 1980, konsumsi minyak nabati dunia meningkat 3,5 kali lipat menjadi juta ton. Hal ini menunjukkan perkembangan yang pesat, yakni sebesar 22.95% per tahun. Seiring dengan itu, pola konsumsi minyak nabati dunia berubah, dimana pangsa minyak sawit semakin besar dari 15% menjadi 21% dari total konsumsi minyak batai utama dunia, sedangkan pangsa konsumsi minyak kedele turun dari 60% menjadi 55%. Perkembangan pesat terlihat pada sunflower oil dari 0,67% menjadi 9.62%. Pangsa konsumsi rapeseed menurun menjadi 13.62%. Pada tahun 2014, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, konsumsi minyak nabati dunia meningkat 8.4 kali lipat dibanding tahun 1980 menjadi juta ton. Rata-rata konsumsi minyak nabati dunia meningkat lebih pesat, yakni % per tahun. Hal ini juga berdampak pada perubahan pola konsumsi minyak nabati dunia, dimana pangsa minyak sawit kini menduduki pangsa terbesar yakni 41% dan mengungguli dominasi minyak kedele dengan share dunia sebesar 32%. Pangsa konsumsi sunflower oil cendeung sama, yakni 10% sedangkan pangsa konsumsi rapeseed meningkat menjadi 17%. Sumber: Oil World Gambar 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965, 1980, 2014 II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 9

28 Juta Ton Juta Ton Perkembangan konsumsi minyak nabati dunia cenderung meningkat setiap tahun. Konsumsi minyak kedele (soybean oil - SBO) pada tahun 2000 mencapai juta ton dan pada tahun 2014 naik menjadi juta ton, dengan pertumbuhan rata-rata 5.36 % per tahun. Sementara itu konsumsi minyak sawit (palm oil - PO) pada tahun 2000 mencapai juta ton dan pada tahun 2014 naik menjadi juta ton, dengan laju pertumbuhan rata-rata % per tahun. (Gambar 2.4). Keadaan ini tercermin dari perkembangan pangsa minyak nabati (Gambar 2.5), dimana terlihat pangsa minyak kedele cenderung menurun dari tahun ke tahun, sebaliknya minyak sawit cenderung meningkat setiap tahun Total 5,228 18,000 36,377 72, ,44 151,61 SBO 3,120 9,935 13,667 27,814 43,690 48,692 PO 776 3,882 10,465 23,642 47,774 62,267 RSO 1,297 2,452 6,198 13,379 23,163 25,464 SFO 35 1,731 6,047 8,151 11,817 15, Sumber: Oil World Gambar 2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia Sumber: Oil World Gambar 2.5. Perkembangan Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia 10 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

29 Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati per Kawasan Minyak Kedele (Soybean Oil). Minyak kedele merupakan salah satu sumber utama minyak nabati dunia. Hingga tahun 2008, minyak kedele memiliki pangsa terbesar dan mendominasi sumber minyak nabati utama lainnya. Pada tahun 2014, minyak kedele memiliki pangsa dunia sebesar 32.1%. Perkembangan konsumsi minyak kedele dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu disajikan pada Central Asia Other Eastern Europe Other Western Europe Developed Countries USA European Union East Asia South Asia Near East/ North Africa 0 Sub- saharan Africa Latin American and Caribean Sumber: Oil World Gambar 2.6. Konsumsi Minyak Kedele berdasarkan Kawasan tahun Dalam kurun waktu , rata-rata konsumsi minyak kedele dunia meningkat rata-rata 6,19 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan kawasan, negara konsumen terbesar dunia adalah Amerika Serikat (AS). Rata-rata konsumsi minyak kedele AS mencapai 42% dari total minyak kedele dunia. Dari sisi volume konsumsi kedele Amerika Serikat cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 3.18 % per tahun. Namun dari sisi pangsa konsumsi terhadap total kedele dunia, dapat dilihat bahwa pangsa konsumsi AS cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi minyak kedele AS II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 11

30 Ribu Ton adalah 76.19%, tahun 1980 menjadi 44.76%, tahun 2000 turun menjadi 27.30% dan pada tahun 2014 menurun menjadi 16.93%. Disamping itu juga terdapat perubahan pola konsumsi minyak kedele antar kawasan. Pada tahun 1965, hampir 80% konsumsi minyak kedele dunia adalah Amerika Serikat. Tahun 1980 pangsa konsumsi minyak kedele menyebar di Amerika Serikat 44.76%, Latin Amerika dan Karibia sebesar 24.55% dan Asia Selatan 10.34%. Tahun 2000 pangsa konsumsi minyak kedele Amerika Serikat menurun menjadi 27.30%, Latin Amerika dan Karibia menurun menjadi 19.01%, Asia Selatan menurun menjadi 10.21%, namun Asia Timur meningkat dari 6.81% (1980) menjadi 18.64%. Tahun 2014 pangsa konsumsi minyak kedele Amerika Serikat menurun menjadi 16.93, Amerika Latin dan Karibia naik menjadi 23.91% dan Asia Timur meningkat menjadi 33.15%. Perkembangan terakhir menunjukkan, dalam kurun waktu , negara konsumen terbesar minyak kedele di dunia adalah China 29.45%, USA 19.0%, Brazil 12.8%, India 7.0%, Argentina 6.2%, EU %, Meksiko 2.0%, Iran 1.5%, Mesir 1.3% dan Sisa Dunia 16.0% (gambar 2.7) Konsumsi Soybean Oil Tahun Sisa Dunia Mesir Iran Meksiko EU-27 Argentina India Brazil USA China Sumber: Oil World Gambar 2.7. Negara Konsumen Terbesar Minyak Kedele Dunia GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

31 Juta Ton Minyak Sawit (Palm Oil). Sejak tahun 2008, minyak sawit menggeser dominasi minyak kedele dunia dan sekalgus menempatkan minyak sawit sebagai sumber penting minyak nabati dunia. Pada tahun 2014, minyak sawit memiliki pangsa dunia sebesar 42.1%. Perkembangan konsumsi minyak sawit dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu disajikan pada Central Asia Other Eastern Europe Other Western Europe Developed Countries USA European Union East Asia South Asia Near East/ North Africa 0 Sub- saharan Africa Latin American and Caribean Sumber: Oil World Gambar 2.8. Konsumsi Minyak Sawit berdasarkan Kawasan tahun Dalam kurun waktu , rata-rata konsumsi minyak sawit dunia meningkat rata-rata 9.42 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan kawasan, konsumen terbesar dunia adalah kawasan Asia Timur (15 negara). Konsumsi kawasan Asia Timur mencapai rata-rata 40.2% dari total minyak sawit dunia. Dari sisi volume konsumsi minyak sawit kawasan Asia Timur cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 15 % per tahun. Dari sisi pangsa, konsumsi minyak sawit Asia Timur juga meningkat pesat dan tertinggi dibandingkan kawasan lainnya. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi minyak sawit Asia Timur adalah 11.28%, tahun 1980 menjadi %, tahun 2000 naik menjadi 37.88% dan pada tahun 2014 naik menjadi 42.82%. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 13

32 JJuta Ton Disamping itu juga terdapat pergeseran pola konsumsi minyak sawit antar kawasan, yang awalnya (1965) didominasi oleh Sub Sahara Afrika (77.82%) menuju Asia, baik Asia Timur maupun Asia Selatan. Pada tahun 1965, sekitar 78% konsumsi terbesar minyak sawit dunia adalah Afrika Selatan. Tahun 1980 pangsa konsumsi minyak sawit menyebar di Sub Sahara Afrika 34.14%, Asia Timur 31.05% dan Asia Selatan 19.04%. Tahun 2000 pangsa konsumsi minyak sawit Sub Sahara Afrika menurun menjadi 12.76%, Asia Timur dan Asia Selatan naik masing-masing menjadi 37.88% dan 24.06%. Tahun 2014 pangsa konsumsi minyak sawit Sub Sahara Afrika menurun menjadi 10.42%, Asia Timur naik menjadi 42.82% dan Asia Selatan turun menjadi 20.73%. Perkembangan terakhir menunjukkan, dalam kurun waktu , negara konsumen terbesar minyak sawit di dunia adalah Indonesia 15.8%, India 14.9%, China 11.5%, EU %, Malaysia 4.5%, Pakistan 4.2%, Thailand 3.0%, Nigeria 2.5% dan USA 2.2%. Selebihnya, sekitar 30% dikonsumsi oleh Sisa dunia (Gambar 2.9) Konsumsi CPO Tahun ROW USA Nigeria Thailand Pakistan Malaysia EU-27 China India Indonesia Sumber: Oil World Gambar 2.9. Negara Konsumen Terbesar Minyak Sawit Dunia GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

33 Juta Ton Rapeseed Oil. Rapeseed oil merupakan sumber minyak nabati terbesar ketiga setelah minyak sawit dan minyak kedele. Pada tahun 2014, Rapeseed Oil memiliki pangsa dunia sebesar 16.8%. Perkembangan konsumsi Rapeseed Oil dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu (gambar 2.10). 30 Central Asia 25 Other Eastern Europe 20 Other Western Europe Developed Countries 15 USA 10 European Union 5 East Asia South Asia 0 Near East/ North Africa Sub- saharan Africa Sumber: Oil World Gambar Konsumsi Rapeseed Oil berdasarkan Kawasan tahun Dalam kurun waktu , rata-rata konsumsi Rapeseed Oil dunia meningkat rata-rata 6,99 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan kawasan, konsumen terbesar rapeseed dunia adalah Asia Timur (28.3%), Uni Eropa (23.8%) dan Negara-negara Maju (21.9%). Dari sisi pangsa konsumsi terhadap total rapeseed oil dunia, dapat perkembangan pangsa konsumsi rapeseed oil dunia. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi Rapeseed Oil terbesar adalah Asia Selatan yakni 46.84%, namun hanya bertahan hingga tahun 1980 dengan penurunan pangsa menjadi 27.03%. Konsumsi rapeseed menyebar ke kawasan lainnya. Tahun 1980, konsumsi rapeseed oil terbesar adalah Negara Maju, yakni 33.42%, dan Asia Timur 28.99%. Tahun 2000, konsumsi rapeseed oil Negara Maju menurun menjadi 23.30%, dan pangsa konsumsi rapeseed Asia Timur naik menjadi 29.21%, dan Negara Uni Eropa meningkat pesat menjadi II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 15

34 Juta Ton 25.93% Tahun 2014, konsumsi rapeseed oil dodominasi oleh kawasan Uni Eropa dengan pangsa 33.79%, diikuti kawasan Asia Timur dengan pangsa 27.10% dan Negara Maju 16.27%. Data di atas sekaligus menggambarkan perubahan pola konsumsi rapeseed oil dunia antar kawasan. Dalam kurun waktu , negara konsumen terbesar Rapeseed Oil di dunia adalah EU %, China 29.2%, United States 8.2%, Japan 4.5%, Mexico 2.9%, Canada 2.6%, India 2.5%, Pakistan 1.9%, Norway 1.4% dan sisanya 5.1% adalah konsumsi sisa dunia (rest of the world) (Gambar 2.11) Konsumsi Rapeseed Oil ROW Norway Pakistan India Canada Mexico Japan United States China EU-27 Sumber: Oil World Gambar Negara Konsumen Terbesar Rapeseed Oil Dunia Minyak Bunga Matahari (Sunflower Oil). Sunflower oil merupakan sumber minyak nabati terbesar keempat setelah minyak sawit, minyak kedele dan rapeseed oil. Pada tahun 2014, Sunflower Oil memiliki pangsa dunia sebesar 10.0%. Perkembangan konsumsi Sunflower Oil dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu disajikan pada gambar GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

35 Juta Ton Central Asia Other Eastern Europe Other Western Europe Developed Countries USA European Union East Asia South Asia Near East/ North Africa Sub- saharan Africa Sumber: Oil World Gambar Konsumsi Sunflower Oil berdasarkan Kawasan tahun Meskipun pangsa sunflower oil hanya 10% dari total minyak nabati utama dunia, namun perkembangannya cukup pesat. Pada tahun 1965, konsumsi sunflower oil adalah ton, dan pada tahun 2014 telah mencapai ton. Hal tersebut menunjukkan dalam kurun waktu , rata-rata konsumsi sunflower oil dunia meningkat rata-rata % per tahun. Secara umum, konsumen terbesar sunflower oil dunia adalah kawasan Uni Eropa (23.74%), Negara-negara Maju (19.1%) dan kawasan near East/Afrika Utara (16.10%). Dari sisi pangsa konsumsi dapat dilihat perkembangan konsumsi sunflower oil dunia. Pada tahun 1965, konsumsi sunflower oil terbesar adalah Near East/ Afrika Utara dan Eropa Barat, dengan pangsa masing-masing 57.14% dan 39.29%. Perkembangan konsumsi sunflower oil antar kawasan dunia menunjukkan bahwa konsumsi sunflower oil cendrung berpusat di Benua Eropa. Tahun 1980, konsumsi sunflower oil terbesar adalah Amerika Latin dan Karibia (29.17%), Near East/ Afrika Utara (22.65%), Uni Eropa (21.37%) dan Negara Maju (13.46%). Tahun 2000, konsumsi sunflower oil di kawasan Amerika Latin dan Karibia menurun drastis II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 17

36 Juta Ton menjadi 8.44%, kawasan Near East/Afrika Utara juga menurun menjadi 11.77%, sedangkan pangsa konsumsi sunflower oil di kawasan Uni Eropa naik menjadi 31.35% dan Negara Maju naik menjadi 21.59%. Tahun 2014, konsumsi sunflower oil terbesar adalah Uni Eropa (24.17%), diikuti Near East/ Afrika Utara (20.68%), Negara Maju (18.76%). Sedangkan Amerika Latin dan Karibia menurun menjadi 6.30%, sebaliknya konsumsi kawasan Asia Selatan naik menjadi 12.70%). Dalam kurun waktu , berdasarkan ranking tertinggi, negara konsumen terbesar sunflower oil di dunia adalah EU-27 sebesar 26.5%, Russian 15.9%, India 9.6%, Turkey 7.6%, China 5.2%, Egypt 5.2%, Argentina 4.7%, Ukraine 4.2%, South Africa 2.8% dan sisa dunia 18.2% (Gambar 2.13) Konsumsi Sunflower Oil ROW South Africa Ukraine Argentina Egypt China Turkey India Russian Federation EU-27 Sumber: Oil World Gambar Negara Konsumen Terbesar Sunflower Oil Dunia Pola Konsumsi Minyak Nabati Berdasarkan Kawasan Amerika Latin dan Karibia. Kawasan Amerika Latin dan Karibia merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil/sbo). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu Pada tahun 1965, hampir 60% konsumsi minyak 18 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

37 Juta Ton nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran minyak sawit semakin besar, sedangkan proporsi minyak rapeseed dan minyak bunga matahari semakin menurun. (Gambar 2.14) SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Amerika Latin dan Karibia Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Amerika Latin dan Karibia adalah ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20 kali lipat menjadi ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 3 juta ton menjadi 5 juta ton lebih, dengan growth 7.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak kedele (61.1%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 6.7% pada tahun 1980 menjadi 16.5% pada tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan rapeseed oil (5.5%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 7.5 juta II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 19

38 ton, dengan growth 4.7% per tahun. Dalam dekade , konsumsi minyak nabati di kawasan Amerika Latin dan Karibia bertumbuh pesat, yakni 8.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 14,2 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,7% per tahun menjadi juta ton (Tabel 2.5) Tabel 2.5. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Amerika Latin dan Karibia Tahun Nabati Pangsa Konsumsi (JutaTon) SBO 79 2,267 3,129 5,154 10,344 11,593 % PO ,253 2,482 2,992 % RSO % SFO % Total , , , , ,317.0 Growth %/thn Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Amerika Latin dan Karibia adalah minyak kedele (71%), dan minyak sawit berada pada urutan kedua dengan proporsi 18.3%), sedangkan proporsi sun flower oil dan rapeseed oil masing-masing adalah 4.7% dan 5.9%. 20 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

39 Juta Ton Sub Sahara Afrika. Minyak sawit merupakan sumber utama konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika. Sumber minyak nabati lainnya juga diperoleh dari minyak kedele dan rapeseed oil yang juga cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 1965, hampir 90% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak sawit, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak kedele. Sejak tahun 2000 peran minyak kedele dan minyak rapeseed semakin besar (Gambar 2.15) SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub Sahara Afrika Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Sub Sahara Afrika adalah ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi ton, atau rata-rata meningkat 7.6 % per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 1.5 % tahun 1965 menjadi 10.4% pada tahun Namun proporsi rapeseed oil menurun dari 12.5% menjadi 3.1%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung berkembang pada konsumsi minyak kedele. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 1.5 juta ton menjadi 2.8 juta ton lebih, dengan II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 21

40 growth 8.6% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak sawit (71.9%), sedangkan peran minyak sawit kedele menurun dari pangsa 10.4% pada tahun 1980 menjadi 6.0% pada tahun 1990, sementara minyak rapeseed meningkat dari pangsa 3.1% menjadi 22.2 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 5.5 juta ton, dengan growth 9.3% per tahun. Dalam dekade , konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika bertumbuh pesat, yakni 9% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 10,4 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 2.3% per tahun menjadi 11.3 juta ton (Tabel 2.6). Tabel 2.6. Nabati Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub Sahara Afrika Tahun Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO ,554 3,189 3,307 % PO 612 1,316 2,034 3,008 5,796 6,476 % RSO ,407 1,561 % SFO % Total , , , , ,343.7 Growth %/thn Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika adalah minyak sawit dengan pangsa (57.1%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi (29.2%), sedangkan rapeseed oil adalah 13.8%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan minyak kedele dalam pola konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika. Sementara rapeseed oil cenderung merata pada kisaran 13 %. Near East dan Afrika Utara. Secara umum, kawasan Near East dan Afrika Utara merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil=sbo). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu Pada tahun 1965, sekitar 57 % konsumsi 22 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

41 Juta Ton minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh sunflower oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran sun flower oil dan minyak sawit semakin besar, namun laju pertumbuhan sun flower oil lebih besar dibandingkan dengan laju minyak sawit, yakni masing-masing 15.24% dan 6.76% per tahun (Gambar 2.16) SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near East dan Afrika Utara Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Near East dan Afrika Utara adalah ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20 kali lipat menjadi ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 1.4 juta ton menjadi 2.9 juta ton lebih, dengan growth 10.6% per tahun. Sumber utama minyak nabati bergeser dari minyak kedele ke sunflower oil dengan pangsa 45.5 %. Sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 8.58% pada tahun 1980 menjadi 17.96% pada tahun 1990, sementara peran minyak kedele II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 23

42 menurun dari 51.1 % menjadi 27.3 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 4.1 juta ton, dengan growth 4.1% per tahun. Dalam dekade , konsumsi minyak nabati di kawasan Near East dan Afrika Utara bertumbuh sebesar 5.4% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 6.3 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 6,7% per tahun menjadi 8 juta ton (Tabel 2.7). Tabel 2.7. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near East dan Afrika Utara Tahun Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO ,010 2,631 2,644 % PO ,100 1,811 2,163 % RSO % SFO , ,764 3,143 % Total , , , , ,025.0 Growth %/thn Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Near East dan Afrika Utara adalah sun flower oil (39.1%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 32.9%, diikuti minyak sawit dengan proporsi 26.89% proporsi dan rapeseed oil dalam jumlah kecil, yakni 1.2%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat, sedangkan proporsi minyak kedele cenderung menurun dan proporsi rapeseed menurun tajam dari 34.3% (1965) menjadi 1.2% (2014). Asia Selatan. Kawasan Asia Selatan merupakan konsumen utama minyak sawit. Minyak sawit memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu dengan pangsa rata-rata 42.4 %. Pada tahun 1965, konsumsi utama minyak nabati di kawasan ini adalah rapeseed oil dengan pangsa 77.5%, sementara minyak sawit baru 24 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

43 Juta Ton berkisar 2% dan minyak kedele sebsesar 20.6%. Sejak tahun 1980 peran minyak sawit mulai meningkat dan pada tahun 2014 telah menggeser dominasi rapeseed dan minyak kedele. Sementara pangsa sun flower oil masih tetap penting dengan pangsa sata-rata 12,5%. (Gambar 2.17) SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Selatan Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Selatan adalah 0.8 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 3 kali lipat menjadi 2.4 juta ton, atau rata-rata meningkat dengan laju pertumbuhan 13 % per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik dari 2% tahun 1965 menjadi 30.6% pada tahun Sedangkan pangsa konsumsi minyak kedele naik menjadi 39,8%, sementara rape seed oil menurun menjadi 28.7%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil dan minyak sawit, sementara penurunan pangsa rapeseed oil cenderung menurun karena terbatasnya supply sumber minyak nabati ini di kawasan Asia Selatan. Dimana volume konsumsi 1965 tidak jauh berbeda dengan volume konsumsi rapeseed oil tahun 1980, yakni ton dan ton. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 2.4 juta ton menjadi 3.1 juta ton, dengan growth 13% per tahun. Sumber utama minyak nabati didominasi oleh minyak kedele (39.8%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dengan pangsa 30.6% pada tahun dan selebihnya adalah minyak bunga matahari dengan pangsa 28.7%). Dalam dekade II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 25

44 konsumsi nabati naik menjadi 10.5 juta ton, dengan pertumbuhan yang pesat sebesar 23.5% per tahun. Tahun 2010, konsumsi minyak nabati telah mencapai 15,8 juta ton dengan laju pertumbuhan 5.1% per tahun. Tahun 2014 laju konsumsi naik 3,7% per tahun menjadi 19.9 juta ton (Tabel 2.8). Tabel 2.8. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Selatan Tahun Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO ,767 3,071 3,945 % PO ,186 5,674 10,232 12,880 % RSO ,160 1,146 % SFO ,003 1,297 1,930 % Total , , , , ,901.0 Growth %/thn Sumber: Oil World Pada tahun 2014, konsumsi utama minyak nabati terbesar di kawasan Asia Selatan adalah minyak sawit (64.7%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 19.8%, sedangkan proporsi sun flower oil dan rapeseed oil masing-masing adalah 9.7% dan 5.8%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat, sedangkan proporsi minyak kedele dan rapeseed oil menurun tajam. Hal ini menunjukkan pola konsumsi bergeser dari rapeseed dan minyak kedele ke minyak sawit. Asia Timur. Kawasan Asia Timur merupakan konsumen utama minyak sawit. Pola konsumsi minyak nabati di kawasan ini bergeser dari dominasi rapeseed oil pada tahun 1965 (57.9%) ke minyak sawit ( ). Meski demikian, peran minyak kedele dan rapeseed oil tetap memiliki konstribusi penting, serta laju konsumsi tetap meningkat sepanjang tahun. Sejak tahun 2000 peran minyak kedele semakin besar dibandingkan dengan rapeseed. Peran sun flower oil cenderung stabil pada rata-rata pangsa 2.4 % (Gambar 2.18). 26 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

45 Juta Ton SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Timur Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Timur adalah 0.61 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 4.5 kali lipat menjadi 2.7 juta ton, dengan growth 23.5% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik dari 10.6% tahun 1965 menjadi 44% pada tahun Sumber konsumsi kedua adalah rape seed oil dengan pangsa 27.2% dan minyak kedele 23.1%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser dari rapeseed ke minyak sawit dan minyak kedele. Kontribusi sunflower oil adalah 5.6%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 2.7 juta ton menjadi 9.3 juta ton, dengan growth 24.2% per tahun. Sumber utama minyak nabati terbesar tetap diperoleh dari minyak sawit (48.3%). Peran rapeseed oil tetap pada posisi kedua dengan pangsa 28.5% dan diikuti kontribusi minyak kedele dengan pangsa 20,6 % (menurun 2.6% dari pangsa tahun 1980). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 18.8 juta ton, dengan growth 10.3% per tahun. Dalam dekade , konsumsi minyak nabati di kawasan II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 27

46 Asia Timur bertumbuh dengan laju 10.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 39,1 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 7.8% per tahun menjadi 51.4 juta ton (Tabel 2.9) Tabel 2.9. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Timur Tahun Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO ,910 5,053 12,948 16,073 % PO 64 1,197 4,487 8,932 19,495 26,606 % RSO ,643 4,457 6,126 7,557 % SFO ,130 % Total , , , , ,366.0 Growth %/thn Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Asia Timur adalah minyak sawit (51.8%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 31.3%, sedangkan proporsi rapeseed oil dan sun flower oil masing-masing adalah 14.7% dan 2.2%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat dari 10.6% (1965) menjadi 51.8% (2014), sedangkan proporsi minyak kedele cenderung sama, yakni berkisar sepertiga dari konsumsi minyak nabati total, sedangkan rapeseed oil menurun tajam. Hal ini menunjukkan perubahan pola konsumsi dari rapeseed ke minyak sawit. Negara Maju (Developed Countries). Kawasan Negara Maju merupakan konsumen utama rapeseed oil. Minyak rapeseed memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu Pada tahun 1965, sebanyak 52% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah rapeseed oil, dan sisanya dipenuhi oleh minyak kedele 28.8% dan minyak sawit 18.6%. Sumber minyak nabati kedua terpenting di 28 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

47 Juta Ton kawasan ini adalah sunflower oil, dengan trend pertumbuhan positif sebesar 15% pada kurun waktu Sedangkan laju soybean oil adalah 5% per tahun dan minyak sawit 5% per tahun. Pada Gambar 2.19, terlihat bahwa konstribusi minyak sawit relatif terendah dibandingkan sumber minyak nabati lainnya SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Negara Maju Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Negara Maju adalah 0.34 juta ton. Tahun 1980, meningkat 4 kali lipat lebih menjadi 1.5 juta ton, dengan laju pertumbuhan 21.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan pangsa konsumsi minyak rapeseed dari 52.3% tahun 1965 menjadi 58.1% pada tahun Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 15.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati masih tetap didominasi minyak rapeseed dan berkembang pada permintaan sunflower oil, dan selebihnya bersumber dari minyak kedele dan minyak sawit, dengan proporsi keduanya mencapai 25%. Dalam dekade 1980 hingga 1990, konsumsi minyak nabati naik dari 1.5 juta ton menjadi 4.7 juta ton lebih, dengan growth 21.8% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh rapeseed oil (52.1%), sedangkan peran sunflower oil semakin meningkat dari pangsa 15.9% pada tahun 1980 menjadi 31.4% pada tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak kedele (9.6%) dan minyak sawit (6.9%). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 29

48 Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 6.7 juta ton, dengan growth 4.1% per tahun. Dalam dekade , konsumsi minyak nabati di kawasan Negara Maju bertumbuh 4% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati 8 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 2.8% per tahun menjadi 8.9 juta ton (Tabel 2.10). Tabel Nabati Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Negara Maju Tahun Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO % PO % RSO ,473 3,555 4,094 4,536 % SFO ,490 1,760 2,529 2,851 % Total , , , , ,902.0 Growth %/thn Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Negara Maju adalah rapeseed oil (51%), dan minyak sawit berada pada urutan keempat dengan proporsi 7.7%, berada dibawah sunflower oil (32%) dan minyak kedele (9.3%). Tidak terdapat perubahan yang nyata dalam pola konsumsi minyak nabati, dimana tetap didominasi oleh rapeseed oil, yang didukung oleh sunflower oil, minyak kedele dan minyak sawit. Amerika Serikat. Negara Amerika Serikat merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil=sbo). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu Pada tahun 1965, sebanyak 98.8% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh minyak sawit dan rapeseed oil serta sunflower oil dalam proporsi yang relatif kecil (Gambar 2.20). 30 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

49 Juta Ton SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara Amerika Serikat Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati Negara Amerika Serikat adalah 2.2 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 2 kali lipat menjadi 4.3 juta ton, atau rata-rata meningkat 6.6% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada permintaan minyak sawit naik dari 1.1% tahun 1965 menjadi 3.2% pada tahun Sumber lainnya adalah rapeseed oil dan sunflower oil. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung tidak berubah, yakni tetap pada minyak kedele. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 4.3 juta ton menjadi 6 juta ton lebih, dengan growth 3.9% per tahun. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 8.6 juta ton, dengan growth 4.3% per tahun. Dalam dekade , konsumsi minyak nabati di Negara Amerika Serikat bertumbuh 2.2 % per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 10,5 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,6% per tahun menjadi 12 juta ton. Perkembangan volume konsumsi minyak kedele di Amerika serikat naik 2 juta ton per satu dekade, selama 1980 hingga Kemudian, pertumbuhan semakin cepat, dimana pertambahan 2 juta ton hanya diperlukan dalam 4 tahun. Sementara laju ketersediaan minyak kedele adalah rata-rata 3 % per tahun. Kebutuhan minyak nabati dipenuhi dari tiga sumber lainnya, yakni rapeseed oil, minyak sawit dan sunflower oil. Diantara ketiganya, laju pertumbuhan minyak II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 31

50 sawit relatif paling besar yakni 18% per tahun, sementara laju minyak rapeseed dan sunflower oil masing-masing adalah 9% dan 5% per tahun (Tabel 2.11). Tabel Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara Amerika Serikat Tahun Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO 2,137 4,134 5,506 7,401 7,619 8,210 % PO ,381 % RSO ,665 2,220 % SFO % Total 2, , , , , ,004.0 Growth %/thn Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Asia Timur adalah minyak kedele (68.4%), dan minyak rapeseed berada pada urutan kedua dengan proporsi %, sedangkan proporsi minyak sawit dan sun flower oil masingmasing adalah 11.5% dan 1.6%. Pola konsumsi masih tetap didominasi minyak kedele, namun perkembangan minyak sawit dan minyak rapeseed juga pesat. Hal ini menunjukkan minyak sawit lebih bersifat komplementer, untuk memenuhi permintaan minyak nabati Amerika Serikat. Uni Eropa. Kawasan Uni Eropa merupakan konsumen utama rapeseed oil. Sunflower oil memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu Pada tahun 1990, hampir sekitar 85% konsumsi minyak nabati di kawasan Uni Eropa adalah sungflower oil, dan sisanya dipenuhi oleh minyak kedele (14.9%) dan rapeseed oil (0.8%). Sejak tahun 2000 terjadi perubahan pola konsumsi dari 32 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

51 Juta Ton sunflower oil ke rapeseed oil dan minyak sawit. Sementara konsumsi minyak kedele cenderung menurun sejak tahun 2000 (Gambar 2.21) SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni Eropa Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Uni Eropa adalah 1000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat menjadi ton. Tahun 2000 konsumsi minyak nabati meningkat sangat pesat menjadi 11,5 juta ton atau hampir 25 kali lipat dalam dekade Peningkatan ini berdampak pada perubahan pola konsumsi, sunflower oil menurun dari 84.3% menjadi 22.2 %, sementara rapeseed meningkat pesat dari 0.8% menjadi 34.4% dan minyak sawit dari 0 menjadi 24.3%, serta minyak kedele naik dari 14.9% menjadi 19%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil ke rapeseed dan Minyak sawit berada pada posisi kedua Dalam dekade 2000 ke 2010, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 11.5 juta ton menjadi 20.1 juta ton lebih, dengan growth 8.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh rapeseed oil (46.4%), dan minyak sawit memiliki kontribusi penting dengan pangsa 23.6% dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan minyak kedele (13.2%). Tahun 2014 konsumsi nabati naik menjadi 21 juta ton, dengan growth 0.2% per tahun (Tabel 2.12) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 33

52 Tabel Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni Eropa Tahun Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO ,186 2,745 1,780 % PO ,790 4,910 6,125 % RSO ,956 9,666 9,420 % SFO ,555 3,524 3,673 % Total , , ,998.0 Growth %/thn 3, Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Uni Eropa adalah rapeseed oil (44.9%), dan minyak sawit berada pada urutan kedua dengan proporsi 29.2%, sedangkan proporsi sun flower oil dan minyak kedele masing-masing adalah 17.5% dan 8.5%. Tahun 1980 dan 1990 pola konsumsi didominasi oleh sun flower oil, kemudian bergeser ke rapeseed oil pada tahun 2000 dan Minyak sawit memiliki peran kedua terpenting dalam memenuhi permintaan minyak nabati Uni Eropa. Minyak kedele lebih bersifat complementary, yakni untuk mencukup permintaan minyak nabati di Uni Eropa. Eropa Barat Lainnya. Dewasa ini kawasan Eropa Barat merupakan salah satu kawasan konsumen terbesar rapeseed oil. Namun kawasan ini mengalami perubahan pola konsumsi. Sejak tahun 1965 hingga 2000, sekitar 50% konsumsi minyak nabati Uni Eropa adalah minyak kedele. Dan sunflower oil merupakan sumber kedua terpenting dengan rata-rata pangsa 27%). Kemudian sejak 2000, pola konsumsi berubah drastis ke rapeseed oil dengan pangsa rata-rata 72.2 %. Sunflower oil tetap menempati urutan kedua terbesar, sedang pangsa minyak kedele merosot tajam menjadi 9%. Perubahan ini sekaligus menambah kontribusi minyak sawit di Uni Eropa, dengan pangsa rata-rata 8% (Gambar 2.22). 34 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

53 Ribu Ton SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Barat Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Eropa Barat adalah ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 2 kali lipat menjadi ton, atau rata-rata meningkat 6.8% per tahun. Pola konsumsi pada tahun 1980 adalah minyak kedele dengan pangsa 50.5%, diikuti sunflower oil 25.7%, rapeseed oil 13.3% dan minyak sawit 10.5%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik 15% dari ton menjadi ton, dengan growth 1.5% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak kedele (46.3%) dan sunflower oil berada pada urutan kedua (22.3%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi ton, dengan growth 4.4% per tahun. Dalam dekade , konsumsi minyak nabati di kawasan Eropa Barat bertumbuh pesat, yakni 11.6% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 10.3% per tahun menjadi ton (Tabel 2.13). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 35

54 Tabel Nabati Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Barat Tahun Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO % PO % RSO % SFO % Total Growth %/thn Sumber: Oil World. Data di atas menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi dari minyak kedele dan sun flower oil ke minyak rapeseed, sedangkan konsumsi minyak sawit cenderung bersifat complementary, dengan pangsa rata-rata sekitar 10%. Europa Timur Lainnya. Kawasan Eropa Timur merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil=sbo). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu Pada tahun 1965, hampir 60% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran minyak sawit semakin besar, sedangkan proporsi minyak rapeseed dan minyak bunga matahari semakin menurun (Gambar 2.23). 36 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

55 Ribu Ton SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Eropa Timur adalah ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20 kali lipat menjadi ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 3 juta ton menjadi 5 juta ton lebih, dengan growth 7.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak kedele (61.1%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 6.7% pada tahun 1980 menjadi 16.5% pada tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan rapeseed oil (5.5%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 7.5 juta ton, dengan growth 4.7% per tahun. Dalam dekade , konsumsi minyak nabati di kawasan Eropa Timur bertumbuh pesat, yakni 8.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 37

56 mencapai 14,2 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,7% per tahun menjadi juta ton (Tabel 2.14). Tabel Nabati Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO PO % % RSO % SFO 1, % Total 1, , ,114.0 Growth %/thn Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Eropa Timur adalah sun flower oil (82.8%), Hal ini berbeda dengan Uni Eropa dan Eropa Barat. Rapeseed oil berada pada urutan kedua dengan proporsi 11.8% dan minyak kedele 5.4%. Secara umum, sumber utama konsumsi minyak nabati di Eropa Timur adalah sun flower oil dan rapeseed. Asia Tengah. Konsumen utama minyak nabati di kawasan Asia Tengah adalah minyak sawit, dan sunflower oil berada pada urutan kedua. Minyak awit memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 2000 s.d Pada tahun 1990, sunflower oil memiliki pangsa konsumsi sebesar 97.3 % dan belum mengkonsumsi minyak sawit. Sejak tahun 2000 peran minyak sawit meningkat pesat dan mencapai pangsa konsumsi 68.5%, dan pangsa sunflower oil merosot tajam menjadi 29,2 %. Perkembangan selanjutnya tetap didominasi minyak sawit, dan didukung sunflower oil, rapeseed, dan soybean oil (Gambar 2.24). 38 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

57 Ribu Ton SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun Tahun 1990, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Tengah adalah ton. Tahun 2000, konsumsi minyak nabati meningkat hampir 4 kali lipat menjadi ton, atau rata-rata meningkat 29.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit dari 0% tahun 1990 menjadi 68.7% pada tahun Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 29.2%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser dari sunflower oil ke minyak sawit, sisanya adalah minyak kedele (2.3%). Dalam dekade 2000 ke 2010, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar ton menjadi ton lebih, dengan growth 28.5% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak sawit (78.6%) Tahun konsumsi nabati naik menjadi ton. Dengan growth 28.5% per tahun. Pada tahun 2014 naik rata-rata 7,7% per tahun menjadi ton (Tabel 2.15). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 39

58 Tabel Nabati Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun Pangsa Konsumsi (Ribu Ton) SBO % PO ,325 1,800 % RSO % SFO % Total , ,201.0 Growth %/thn Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Asia Tengah adalah minyak sawit dengan proporsi yang sangat dominan, yakni (81.8%), dan sun flower oil berada pada urutan kedua dengan proporsi 15.9%. Minyak kedele dan rapeseed berifat complementary dengan proporsi masing-masing 0.3% dan 2.0%. World. Hingga tahun 2008, konsumsi utama dan terbesar minyak nabati dunia adalah minyak kedele. Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu , dengan pangsa rata-rata 47.6% (atau hampir separoh dari konsumsi total minyak nabati utama dunia). Pada kurun waktu yang sama, pangsa rata-rata minyak sawit adalah 24.4 %, rapeseed oil 18.4 % dan sunflower oil 9.5 %. Namun pada kurun waktu 2008 hingga 2014, pola konsumsi dunia berubah, dimana konsumsi minyak sawit meningkat hampir 40 %, dan pangsa minyak kedele menurun menjadi 33.3%, sementara pangsa rapeseed oil menurun menjadi 17.6 % dan sunflower oil naik menjadi 9.7 % (Gambar 2.25). 40 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

59 Juta Ton SBO PO RSO SFO Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati Dunia adalah 5.2 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 3 kali lipat lebih menjadi 18 juta ton, atau rata-rata meningkat 16.3% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik dari 14.8% tahun 1965 menjadi 21.6% pada tahun Sedangkan pangsa minyak kedele menurun dari 59.7% menjadi 55.2%, dan rapeseed oil menurn dari 24.8% menjadi 13.6%, sedangkan pangsa sunflower oil naik dari 0.7% menjadi 9.6 juta ton. Dalam dekade 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati dunia naik dua kali lipat dari 18 juta ton menjadi 36 juta ton, dengan growth 10.2% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak kedele (37.6%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 21.6% pada tahun 1980 menjadi 28.8% pada tahun 1990, dan selebihnya adalah rapeseed oil (17%) dan sunflower oil meningkat pesat menjadi 16.6 %. Tahun 2000 konsumsi nabati dunia naik menjadi 73 juta ton, dengan growth 10.1% per tahun. Dalam dekade , laju pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia naik 7.3% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 126 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 5% per tahun menjadi 152 juta ton (Tabel 2.16). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 41

60 Tabel Nabati Pangsa Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun Konsumsi (Ribu Ton) SBO 3,120 9,935 13,667 27,814 43,690 48,692 % PO 776 3,882 10,465 23,642 47,774 62,267 % RSO 1,297 2,452 6,198 13,379 23,163 25,464 % SFO 35 1,731 6,047 8,151 11,817 15,195 % Total 5, , , , , ,617.7 Growth %/thn Sumber: Oil World Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati Dunia adalah minyak sawit (41,4%), diikuti minyak kedele dengan proporsi 32.1%, sedangkan proporsi rapeseed oil dan sun flower oil masing-masing adalah 16.8% dan 10%. Data di atas mencerminkan adanya perubahan pola konsumsi minyak nabati dunia dari minyak kedele ke minyak sawit Perkembangan Produksi Minyak Nabati Utama Global Menurut Negara Produsen 1. Perkembangan Umum Negara produsen minyak nabati utama dunia antara lain adalah Amerika Serikat (soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), India (soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), China (soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), Uni Eropa (rapeseed oil dan sunflower oil), Indonesia (minyak sawit) dan Malaysia (minyak sawit). 42 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

61 Tabel Pangsa Produksi Minyak Nabati terhadap Total Produksi Minyak Nabati Utama Dunia (%) Indonesia Malaysia China EU USA India Total Sumber: Oil World Tahun 1970, Amerika Serikat merupakan negara produsen terbesar minyak nabati dunia dengan pangsa %, diikuti Malaysia sebesar 7.28 %. Tahun 1980, seiring dengan perkembangan produksi minyak nabati di negara produsen lainnya, pangsa Amerika Serikat menurun menjadi 28.15, sementara Malaysia naik menjadi 14.01%. Pada tahun 2000, pangsa Amerika Serika semakin menurun, yakni 12.53%, dan kontribusi terbesar kedua adalah Malaysia (16.46%). Peran Indonesia semakin tinggi, yakni %, dan posisi keempat adalah China dengan pangsa 10.69%. Pada tahun 2006, poduksi minyak sawit Indonesia telah melampaui produksi minyak sawit Malaysia, dan pada tahun 2010, Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit dengan pangsa %, dan tahun 2013, pangsa minyak sawit Indonesia telah mencapai 21.3 %, diikuti Malaysia %, Chinan13.06%, Uni Eropa 8.49%, USA 6.71% dan India 2.99%. Tahun , Amerika Serikat dan Malaysia berada pada posisi yang sama, yakni dengan pangsa rata-rata 17.6 %. Kemudian sejak 1995, Malaysia telah berhasil mengalahkan dominasi minyak nabati dunia. Pada tahun 1977, Indonesia, China dan India berada pada posisi yang sama, yakni dengan pangsa 3.7 %. Namun masing-masing negara memiliki pertumbuhan produksi yang berbeda, dimana Indonesia bertumbuh rata-rata 4.8% per tahun, China bertumbuh ratarata 3.4 % per tahun, sedangkan India cenderung menurun 0.2 % per tahun. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 43

62 % % (dunia) TOTAL Indonesia Malaysia China India USA EU Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Pangsa Produksi Minyak Nabati Utama Dunia Perkembangan ini memiliki dampak yang cukup besar, dimana Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia pada tahun China juga berhasil menyamai pangsa Malaysia pada tahun 2013, dengan pangsa yang sama, yakni dengan pangsa 13.1 %. Dan hal ini akan memproyeksikan China akan unggul dibandingkan dengan Malaysia dimasa mendatang. Sebaliknya, India cenderung menurun, sehingga negara ini cenderung menjadi negara importir (Gambar 2.26). 2. Minyak Sawit (CPO) Pada tahun 1964, total produksi CPO dunia adalah ton (gambar 2.27). Pada tahun 2013, produksi CPO dunia telah mencapai 55,82 juta ton. Dari tahun , produksi CPO dunia bertumbuh dengan laju 8.89%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi CPO dunia adalah 7.22 %. 44 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

63 Juta Ton Juta Ton Negara Produsen Utama CPO Dunia Dunia Indonesia 55.5% Malaysia 34.4% Thailand 3.8% Colombia 1.9% Nigeria 1.7% Papua NG 1.1% Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Produksi CPO Dunia Tahun Pada tahun , Nigeria merupakan negara produsen utama dunia. Produksi CPO Nigeria rata-rata 32.56% dari total produksi CPO dunia, sementara total produksi CPO Malaysia dan Indonesia masing-masing mencapai 19. 4% dan 13.4%. Sejak tahun 1970, Malaysia berhasil menggeser kedudukan Nigeria dengan pangsa produksi 30.71%, sedangkan Nigeria dan Indonesia masing-masing memiliki pangsa 22.5% dan 12.93%. Produksi CPO Malaysia terus mendominasi produksi CPO dunia hingga tahun Tahun 2006 produksi CPO Indonesia mencapai 16.6 juta ton, sedangkan Malaysia sebesar juta ton. Sejak 2006, Indonesia berhasil mengungguli Malaysia dengan pangsa masing-masing 44.43% dan 40,9% terhadap produksi CPO dunia. Keberhasilan ini sekaligus mencerminkan pertumbuhan produksi CPO Indonesia lebih besar dibandingkan dengan Malaysia, yakni 11,6% per tahun dan 10.9% per tahun. Pada tahun 2013, produksi CPO Indonesia mencapai 31 juta ton (55.5%) dan produksi CPO Malaysia mencapai 19.2 juta ton, dengan pangsa 34.4%. Total pangsa produksi CPO Indonesia dan Malaysia mencapai 89.9%. Disamping itu, negara produsen lainnya adalah Thailand dengan pangsa 3.8%, Colombia 1.9%, Nigeria 1.6%, papua New Guinea 1.1% dan Equador 1 %. 3. Minyak Kedele (Soybean Oil) Pada tahun 1964, total produksi soybean oil dunia adalah ton. Pada tahun 2013, produksi soybean oil dunia telah mencapai 42,78 juta ton. Dari tahun , produksi soybean oil II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 45

64 Ribu Ton dunia bertumbuh dengan laju 6.80%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi soybean oil dunia adalah 4.05 %. Negara Produsen Utama Soybean Oil Dunia Dunia China 28.6% USA 20.8% Brazil 16.6% Argentina 16.3% EU % India 3.9% Paraguay 1.6% Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Produksi soybean oil Dunia Tahun Negara Amerika Serikat merupakan negara produsen soybean oil (SBO) terbesar dunia (gambar 2.28). Pada tahun 1964, produksi soybean oil AS 2,3 juta ton atau 78.6% dari total soybean oil dunia. Sejak tahun 1964 hingga 2009, USA merupakan negara produsen SBO terbesar dunia. Pada tahun 2009 produksi SBO AS mencapai 8.9 juta ton (22.94%), sedangkan China mencapai 8.73 juta ton (22.94%). Namun pada tahun 2010, Negara China telah berhasil mengungguli dominasi Amerika Serikat, dimana pangsa produksi SBO China naik menjadi % dari total SBO dunia, sedangkan pangsa Amerika Serikat turun menjadi 20,75%. Hingga awal tahun 2000 an, negara produsen SBO terbesar setelah AS adalah Brazil dan Argentina, dan China menempati posisi keempat. Namun produksi SBO China merupakan yang tertinggi dibanding semua produsen SBO lainnya, yakni 11.06% per tahun, sedangkan laju pertumbuhan produksi SBO AS adalah 3.17%, Brazil 4.24% dan Argentina 8.99%. Hal ini menciptakan keberhasilan China mengungguli Argentina tahun 2000, dan mengalahkan Brazil tahun Tahun 2013 total produksi SBO China telah mencapai 12,2 juta ton 28.6%, AS 8.92 juta ton (20.8%), Brazil 7.1 juta ton (16.6%), Argentina 6.98 juta ton (16.3 %), Uni Eropa 2.24 juta ton (5.2 %), dan India 1.69 juta ton. 46 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

65 Juta Ton Juta Ton 4. Minyak Rape (Rapeseed Oil) Pada tahun 1964, total produksi rapeseed oil dunia adalah ton. Pada tahun 2013, produksi rapeseed oil dunia telah mencapai 25,35 juta ton. Dari tahun , produksi rapeseed oil dunia bertumbuh dengan laju 8.10%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi rapeseed oil dunia adalah 5.64 % Negara Produsen Utama Rapeseed Oil Dunia Dunia EU % China 24.7% Canada 13.4% India 9.7% Japan 4.0% Japan 2.7% Mexico 2.3% Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Produksi Rapeseed Oil Dunia Tahun Negara India merupakan salah satu negara produsen rapeseed oil (RSO) terbesar dunia (gambar 2.29). Pada tahun 1964, produksi rapeseed oil India mencapai ton atau 42.53% dari total rapeseed oil dunia. Sejak tahun 1964 hingga 1978, India merupakan negara produsen RSO terbesar dunia. Pada tahun 1978 produksi RSO India mencapai ton (26.94%). Produsen terbesar kedua dan ketiga adalah China dan Jepang, dengan pangsa masing-masing 26.5% dan 19.6%. Sejak 1979, China berhasil mengunggulin India dimana pangsa produksi Cina mencapai 32.5%, sedangkan India adalah 19.65%. Hingga tahun 2013, pangsa produksi RSO India merosot hingga 9.67%. Sejak tahun 1999, Negara-negara Uni Eropa berhasil mengungguli China, dengan pangsa produksi 32%. Dalam kurun waktu 2000 hingga 2013, laju pertmbuhan produksi RSO tertinggi adalah Uni Eropa, diikuti India 4.26% dan China 3.29%. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 47

66 Juta Ton Juta Ton Tahun 2013 total produksi RSO Uni Eropa telah mencapai 9,4 juta ton (37.2%), China 6.26 juta ton (24.7%), Canada 3.4 juta ton (13.4%), India 2.45 juta ton (9.7 %), Jepang 1.01 juta ton (4 %), dan Mexico ton (2.3%). 5. Minyak Bunga Matahai (Sunflower Oil) Pada tahun 1964, total produksi sunflower oil dunia adalah ton. Pada tahun 2013, produksi sunflower oil dunia telah mencapai 15,94 juta ton. Dari tahun , produksi sunflower oil dunia bertumbuh dengan laju 8.82%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi sunflower oil dunia adalah 4.68 % per tahun (gambar 2.30) Negara Produsen Utama Sunflower Oil Dunia Dunia Ukraina 34.5% Rusia 28.1% EU % Argentina 8.6% Turki 6.8% China 3.7% India 1.6% USA 1.3% Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Produksi Sunflower Oil Dunia Beberapa negara produsen sunflower oil (SFO) terbesar adalah Argentina, Ukraina, Rusia dan Uni Eropa. Sejak 1972 hingga 1998, negara produsen terbesar adalah Argentina. Tahun 1999 peran Argentina digantikan oleh Uni Eropa, dimana pangsa produksi masingmasing adalah 29.5% dan 22.1%. Namun kemudian, Uni Eropa digantikan oleh Rusia, seiring dengan pertumbuhan produksi SFO Rusia, dengan pangsa rata-rata 20%. Kemudian, sejak 2010, Ukraina berhasil menempati urutan pertama dalam produksi SFO dunia, 48 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

67 Juta Ton Juta Ton dengan pangsa rata-rata 27%, sedangkan rusia, Uni Eropa dan Argentina masing-masing adalah 16.8%, 20.75% dan 12.5%. Tahun 2013 total produksi SFO Ukraina telah mencapai 4.6 juta ton (29.3%), Rusia 3.8 juta ton (23.8%), Uni Eropa 2.9 juta ton (18.4%), Argentina 1.17 juta ton (7.34 %), Turki 0.98 juta ton (5.76 %), dan China ton (3.14%), India ton (1.38%) dan USA ton (1.1 %) (Gambar 2.29) dan 9.74 diproduksi oleh negara produsen lainnya (ROW) Ekspor-Impor Minyak Nabati Global Ekspor Minyak Sawit (Palm Oil). Tahun 1964, total ekspor minyak sawit dunia adalah ton, dan pada tahun 2013 telah mencapai 42.8 juta ton. Negara eksportir utama CPO dunia adalah Malaysia dan Indonesia, dengan pangsa masing-masing 24.20% dan 21.54%. Hingga tahun 2008, Malaysia tetap mendominasi ekspor CPO dunia, dan sejak tahun 2009, pangsa ekspor CPO Indonesia telah melampaui ekspor CPO Malaysia, yakni 46,02% dan 44.64%. Tahun 2013, Indonesia dan Malaysia memiliki konstribusi rata-rata 90% dari total ekspor CPO dunia, dan sekitar 10 % dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, seperti Papua New Guinea 1.5%, Thailand 1.2%, Benin 0.9%, Guatemala 0.8% Honduras 0.7% (Gambar 2.30). Sedangkan 6.12 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world) (gambar 2.31) Negara Exportir Utama CPO Dunia Indonesia 48.4% Malaysia 40.4% Papua N.G. 1.5 Thailand 1.2% Benin 0.9% Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Ekspor Minyak Dunia II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 49

68 Juta Ton Juta Ton Laju pertumbuhan ekspor Indonesia rata-rata 14.57% per tahun, sedangkan Malaysia sebesar 10.84% per tahun. Perkembangan inilah yang mendorong keberhasilan Indonesia menjadi negara eksportir utama dunia, dari 21% pada tahun 1964 menjadi %. Ekspor Minyak Kedele (Soybean Oil). Total ekspor soybean oil dunia pada tahun 1964 adalah ton, dan pada tahun 2013 telah mencapai 42.8 juta ton (gambar 2.32). Tahun 1964 hingga 1979, Amerika Serikat merupakan negara eksportir utama soybean oil dunia, dengan rata-rata konstribusi 86.42%. Tahun 1980 hingga 1984 peran AS digantikan oleh Brazil, dengan rata-rata pangsa ekspor %, sedangkan AS pada kurun waktu yang sama adalah 38%. Disamping itu, Argentina mulai berperan dengan pangsa ekspor 12.2%. Sejak tahun , konstribusi Argentina semakin besar, dan berhasil menjadi negara eksporti utama dunia. Pangsa ekspor Argentina ratarata 43.33%, sedangkan Brazil dan Amerika Serikat masing-masing adalah 24.93% dan 16.36%. Laju (growth) ekspor ketiga negara eksportir terbesar adalah Argentina % per tahun, Brazil 7.2% per tahun dan USA 8.2 % per tahun. Tahun 2013, Argentina, Brazil dan AS mencapai 70% dar total ekspor soybean dunia, dan 30 % dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, seperti Uni Eropa 8.6%, Paraguay 6.9%, Bolivia 2.8%, Rusia 1.9%, termasuk Malaysia 1.5% dan sisa dunia dan Papua New Guinea 1.5%, Thailand 1.2%, Benin 0.9%, Guatemala 0.8% Honduras 0.7%.9%, Bolivia 2.8% (Gambar 2.31). Sedangkan 6.12 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world) Negara Eksportir Utama Minyak Kedele Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Ekspor Minyak Kedele Dunia Dunia Argentina 48.3% Brazil 15.0% EU % USA 7.5% Paraguay 6.9% Bolivia 2.8% Russian 1.9% Malaysia 1.5% Canada 1.0% 50 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

69 Ekspor Minyak Rape (Rapeseed Oil). Rapeseed oil merupakan sumber nabati terpenting ketiga setelah minyak sawit dan soybean oil. Kontribusinya semakin nyata setelah tahun 1990-an, seiring dengan meningkatnya konsumsi minyak nabati dunia. Tahun 1964, perdagangan rapeseed oil di pasar minyak nabati dunia adalah 8 juta ton. Jika dibandingkan dengan total produksi pada tahun yang sama, yakni 1044 juta ton, maka rapeseed lebih dominan memenuhi konsumsi domestik negara produsen masing-masing (terutama China dan India). Tahun 1980, total ekspor mencapai 219 juta ton dan negara ekportir utama adalah Canada, dengan pangsa ekspor 90.41%. Sejak tahun 1972 hingga 2013, Canada merupakan negara eksportir utama rapeseed oil dunia, dengan rata-rata konstribusi 74.29%. Disamping itu, beberapa negara eksportir lainnya adalah Uni Eropa (sejak 1999) dengan pangsa rata-rata 12.65% dan Amerika Serikat (sejak 1989) dengan pangsa 7.6%. Laju (growth) ekspor ketiga negara eksportir masing-masing adalah Canada % per tahun, Uni Eropa % per tahun dan USA cenderung berfluktuasi, dengan rata-rata laju 23.14% per tahun mencapai pangsa ekspor rapeseed oil sebesar 78.5% dar total ekspor rapeseed dunia, dan 21.5% dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, seperti Rusia 3.2%, Uni Emirat Arab 7.3%, Belarus 1.43%, Australia 2.8% (Gambar 2.32). Sedangkan 2.58 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world) (gambar 2.33). Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Ekspor Rapeseed Oil Dunia Ekspor Minyak Bunga matahari (Sunflower Oil). Sunflower oil merupakan sumber nabati terpenting keempat setelah minyak sawit, soybean oil dan rapeseed. Perdagangan sunflower oil di pasar dunia dimulai tahun 1972, oleh Rumania dan Bulgaria, namun hanya II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 51

70 Juta Ton Juta Ton berlangsung hingga Keduanya memiliki pangsa ekspor 18.68% dan 3.36%. Demikian halnya dengan Amerika Serikat, juga memiliki peran yang cukup besar pada kurun waktu , dengan pangsa rata-rata 155 dari total ekspor sunflower oil dunia. Dalam perkembangan ekspor sunflower oil, negara eksportir utama adalah Argentina, pada kurun waktu , dengan pangsa rata-rata 60%, kemudian pangsanya menurun menjadi 30%. Sejak 1999 hingga 2013 peran tersebut digantikan oleh Ukraina (40%) (gambar 2.34). Jika dibandingkan dengan negara eksportir lainnya, Ukraina termasuk negara eksportir baru, yakni sejak Namun ekspor negara ini memiliki laju pertumbuhan yang pesat dibandingkan negara lainnya, yakni dengan rata 26% per tahun. Disamping itu, beberapa negara eksportir lainnya adalah Rusia (sejak 1987) dengan pangsa ratarata 8.49% dan Argentina dengan pangsa 40.58%. Laju (growth) ekspor ketiga negara eksportir masing-masing adalah Ukraina % per tahun, Rusia % per tahun dan Argentina dengan rata-rata laju 4.84% per tahun. Ketiga negara tersebut mencapai pangsa ekspor sebesar 85.76% dan 14.5% dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, (Gambar 2.33) Negara Eksportir Utama Sunflower Oil Dunia Ukraine 69.0% Rusia 28.5% Argentina 11.4% Turki 6.4% EU % Sumber: Oil World Gambar Perkembangan Ekspor Sunflower Oil Dunia Perkembangan Mutakhir Industri Oleokimia Dunia Dalam industri oleokimia global dikenal tiga oleokimia dasar (basic chemical) yakni: fatty acid, fatty alcohol, dan glycerol. Kapasitas 52 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

71 produksi oleokimia dunia meningkat dari tahun ke tahun. Kapasitas produksi terbesar berada di Asia (gambar 2.35) Khususnya SE Asia, India dan China. Kapasitas produksi fatty acid Eropa dan North Amerika cenderung stabil dengan kecenderungan turun, sedangkan di kawasan Asia meningkat cepat (gambar 2.36). Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Kapasitas Produksi Fatty Acid Dunia Tahun 2011 ROW 4% Amerika Utara 11% Eropa 13% ROA 3% India 7% China 22% SE Asia 40% Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Global Pada tahun 2012, kapasitas produksi fatty acid Asia mencapai 5.7 juta ton. Produksi terbesar adalah Malaysia, 1.95 juta ton (34.21%) dan China 1,83 juta ton (32.11%). Produksi Indonesia adalah ton atau 5.26%. Hal ini merupakan tantangan industri hilir persawitan Indonesia di masa mendatang (gambar 2.37). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 53

72 Lainnya 1180 India 250 China 1830 Philipina Indonesia Malaysia Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Tahun 2012 Kapasitas pertumbuhan produksi fatty acid meningkat pesat di Asia, khususnya China. Indonesia juga menunjukkan trend pertumbuhan yang positif (Gambar 2.38). Sumber : LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Pada tahun 2011, kapasitas produksi fatty alcohol dunia terbesar di Asia (31%) dan China (20%) dan masih lebih besar dibandingkan dengan Eropa (23%) dan Amerika Utara (15%). India juga termasuk salah satu produsen fatty alcohol, dengan pangsa produksi 4% (Gambar 2.39). 54 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

73 SE Asia 31% China 20% India 4% ROA 2% Europe 23% N Amerika 15% ROW 5% Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Dunia 2011 Pertumbuhan kapasitas produksi fatty alcohol Asia (gambar 2.40) bertumbuh cepat sementara Eropa dan North Amerika stabil dan bahkan cenderung menurun. Fenomena tersebut terkait dengan masalah bahan baku (trade-off fuel-food) yang dihadapi oleh kawasan Eropa dan Amerika. Sementara oleokimia Asia yang umumnya menggunakan bahan baku minyak sawit dan minyak kelapa, belum mengalami masalah ketersediaan bahan baku. Selain itu pertumbuhan yang cepat oleokimia di Asia juga hasil relokasi industri oleokimia dari kawasan Eropa ke kawasan Asia. Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.40 Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Global II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 55

74 Kapasitas produksi fatty alcohol Asia terbesar di China dan Malaysia (gambar 2.41). pertumbuhan industri fatty alcohol di Asia khususnya di Cina dan Malaysia di dukung oleh ketersediaan bahan baku dan pertumbuhan pasar yang cukup besar khususnya di Cina. 4% Malaysia 18% 25% Indonesia Philipina Thailand 8% China 30% 6% 9% India Lainnya Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia 2011 Pertumbuhan kapasitas produksi fatty alcohol Indonesia dan China bertumbuh cepat di Asia (gambar 2.42).pertumbuhan kapasitas produksi tersebut terkait dengan pertumbuhan produksi yang terus meningkat. Indonesia merupakan pemain relative baru dalam industri oleokimia Asia, sehingga pertumbuhan kapasitas yang tergolong cepat belum disertai dengan pertumbuhan produksi. Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

75 2.9. Perkembangan Produksi Oleokimia Global Produksi fatty acid global juga di dominasi Asia baik pangsa maupun pertumbuhan (gambar 2.43), sedangkan di Eropa dan Amerika cenderung turun. Hal ini juga sesuai dengan fenomena industri oleokimia global mutakhir dimana di kawasan Eropa dan Amerika Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Volume Produksi Fatty Acid Global Historis dan Proyeksi industri oleokimia adalah tergolong sunset industry sementara di kawasan Asia industri tersebut tergolong the rising industry. Dengan karakteristik pertumbuhan industri oleokimia di Eropa, Amerika dibanding dengan di kawasan Asia yang demikian, volume Produksi fatty alcohol global di dominasi Asia baik pangsa maupun Pertumbuhan, sedangkan di Eropa dan Amerika cenderung turun (gambar 2.44). realisasi maupun proyeksi produksi oleokimia global yang makin besar di kawasan Asia makin membuktikan bahwa masa depan industri oleokimia global akan berada di Asia. Pertumbuhan ekonomi dua negara besar Asia (India dan Cina) yang merupakan 50 persen penduduk dunia, merupakan pasar yang potensial dan menarik industri oleokimia global. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 57

76 Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Volume Produksi Fatty Alcohol Global Historis dan Proyeksi Industri Pengguna Produk Oleokimia Global Pasar utama fatty acid dunia adalah industri sabun dan detergen. Sekitar 30 persen pangsa fatty acid (gambar 2.45 ) adalah untuk industri sabun dan detergen, bahan baku industri lain/barang antara (18%), industri plastik (14%) dan sisanya untuk kebutuhan industri lainnya. Soap&detergents 30% Intermediates 18% Plastics 14% Rubber 6% Paper 6% Lubricant & Grease 6% Coating &resins 6% Personal care 5% Food&feed 2% Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad Gambar Industri Pengguna Fatty Acid Global 58 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

77 Pasar utama fatty alcohol dunia (gambar 2.46) adalah industri sabun dan detergen (55%) serta personal care (20%). Sisanya diserap oleh industri pelumas, amina dan lain-lain. Soap&detergents 55% Personal care 20% Lubricant & Grease 6% Amines 4% Various 15% Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad Gambar Industri Pengguna Fatty Alcohol Global Pasar utama glyserin dunia (gambar 2.47) adalah industri sabun, kosmetik, farmasi (37%). Alkyd resin (13%), imdustri makanan (13%), polyurethanes (11%), dan lain-lain. Soap/cosmetics/pharmaceuti 37% Alkyd resin 13% Food 12% Polyurethanes 11% Tobacco 9% Explosives 3% Various 15% Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad Gambar Industri Pengguna Glyserin Global II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 59

78 2.11. Volume Konsumsi Oleokimia Global Konsumsi fatty acid global terbesar dan tumbuh cepat di Asia sedangkan kawasan Eropa dan Amerika stabil (gambar 2.48). Secara umum pertumbuhan konsumsi terjadi di negara-negara berkembang. Sedangkan di negara maju tampaknya sudah mengalami laju perlambatan konsumsi. Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Acid Global Secara Historis dan Proyeksi Perkembangan harga oleokimia Harga oleokimia di pasar dunia fluktuatif dan tidak selalu mengikuti pola harga bahan bakunya (CPO) (gambar 2.49). Namun demikian perkembangan harga semua produk-produk hilir tersebut diatas harga bahan bakunya (CPO dan PKO). Harga fatty alcohol (ALC) selalu diatas harga oleokimia lainnya. Produk oleokimia yang tingkat harganya paling rendah adalah sabun dan detergen (soap noodle). 60 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

79 Sumber: Salmiah,. A. et.al (2008) Gambar Perkembangan Harga Oleokimia (RM/ton) Industri Biodiesel Dunia Produksi biodiesel dunia meningkat cepat khususnya di Eropa dan Amerika (gambar 2.50). Hal ini terkait dengan issue green energi. Disamping itu industri biodiesel Asia yang muncul sebagai pemain baru mengalami pertumbuhan yang relatif cepat Gambar Perkembangan Produksi Biodiesel Dunia Seiring dengan meningkatnya permintaan, harga biodiesel dunia juga cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada gambar Harga biodiesel global tergantung pada jenis bahan baku pembuatannya maupun kemurnian. Biodiesel yang berasal dari minyak rapeseed harganya cenderung lebih mahal daripada lemak hewani (tallow). Demikian juga biodiesel dengan kemurnian 100 persen lebih tinggi dibandingkan dengan biodiesel yang kemurniannya kurang dari 100 persen Produksi 882 1,1 1,3 1,8 2,5 4,1 6,5 9,7 14, 15, 17, 21, Konsumsi ,2 1,4 2,3 3,5 6,4 9,1 13, 15, 18, 21, II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 61

80 Sumber: LMC, Alan Brunskill Gambar Perkembangan Harga Biodiesel di Pasar Eropa Menurut Bahan Baku Industri biodiesel duni semakin berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2000, produsen utama biodiesel dunia adalah Eropa. Tahun 2000 pangsa produksi Eropa mencapai 99 % dan Amerika Selatan sebesar 1 %. Tahun 2011, produksi biodiesel dunia meningkat pesat dan mencapai juta galon atau juta kilo liter. Peningkatan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan di negara-negara produsen, dengan pangsa masing-masing : Eropa 44%, Amerika Utara 18%, Amerika Selatan 25%, dan Asia 7% (Malaysia dan Indonesia). Rata-rata pertumbuhan produksi biodiesel dunia adalah 3.6% per tahun. Perubahan pangsa produsen biodiesel global pada tahun 2000, 2005 dan 2011 disajikan pada gambar GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

81 Gambar Perubahan Pangsa Produsen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005 dan 2011 II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 63

82 Di sisi permintaan, konsumsi biodiesel dunia juga memiliki trend pertumbuhan yang positif (meningkat). Tahun 2000, konsumsi biodiesel dunia didominasi oleh Eropa (99%) dan Amerika Selatan sebesar 1 %. Tahun 2011, konsumsi biodiesel dunia telah mencapai juta galon atau juta kilo liter, dengan pangsa : Eropa 61%, Amerika Utara 16%, emrika Selatan 17%, Asia 6%. Rata-rata pertumbuhan produksi biodiesel dunia adalah 3.61% per tahun. Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005 dan 2011 disajikan pada gambar Gambar Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005 dan GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

83 Produksi dan Konsumsi Biodiesel Eropa (ribu kl). Eropa merupakan negara produsen dan sekaligus konsumen terbesar biodesel dunia. Produksi dan konsumsi biodiesel Eropa meningkat pesat dari tahun 2000 sampai Pada kurun waktu 2000 hingga 2004, produksi dan konsumsi biodiesel Eropa masih dibawah 2 juta kilo liter. Tahun 2005, produksi telah mencapai 5.53 juta kilo liter dan meningkat pesat hingga dua kali lipat pada tahun 2009 hingga Sementara itu, laju pertumbuhan konsumsi meningkat lebih pesat, dimana sejak 2007, negara Eropa berkembang menjadi net importir, karena volume konsumsi lebih besar dari volume produksi. Pada tahun 2011, volume produksi biodiesel eropa adalah 11.9 juta kilo liter, sementara konsumsinya lebih besar yakni juta klo liter (gambar 2.54). Sumber: US Service Gambar Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005 dan 2011 Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Utara. Amerika Serikat merupakan negara produsen kedua setelah Eropa. Produksi dan konsumsi biodiesel USA mulai berkembang pada tahun Tahun 2006, produksi biodiesel USA telah mencapai 0.99 juta kilo liter dan meningkat pesat hampir empat kali lipat pada tahun Sementara itu, laju pertumbuhan konsumsi juga meningkat pesat, dari 0.92 juta kilo liter pada tahun 2006 menjadi 3.71 juta kilo liter pada tahun 2011 (gambar 2.55). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 65

84 Sumber: US Service Gambar Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Serikat Produksi dan Konsumsi Biodiesel Asia. Perkembangan biodiesel di Asia (Malaysia dan Indonesia) mulai berkembang sejak tahun 2006, dengan pangsa yang relatif masih kecil (3.4%). Tahun 2006, produksi biodiesel Asia adalah 0.18 juta kilo liter. Laju produksi biodiesel Asia adalah 6.47 % per tahun dan laju pertumbuhan konsumsi meningkat 6.43 % per tahun. Pada tahun 2005 s/d 2011 Asia tumbuh menjadi negara eksportir, dimana produksi lebih besar dari konsumsi. Produksi dan konsumsi biodiesel Asia disajikan pada gambar Sumber: US Service Gambar Produksi dan Konsumsi Biodiesel Asia 66 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

85 Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Selatan. Perkembangan biodiesel di Amerika Selatan mulai berkembang sejak tahun 2006 (gambar 2.57), dengan pangsa sebesar 25.2%. Tahun 2006, produksi biodiesel Amerika Selatan adalah 4.6 juta kilo liter. Laju produksi biodiesel Amerika Selatan adalah 4.4 % per tahun dan laju pertumbuhan konsumsi meningkat 6.8 % per tahun. Pada tahun 2005 s/d 2011 Amerika Selatan tumbuh menjadi negara eksportir, dimana volume produksi lebih besar dari konsumsi. Produksi dan konsumsi biodiesel Amerika Selatan disajikan pada gambar Sumber: US Service Gambar Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Selatan Biodiesel and Diesel Prices (U$/Liter). Harga biodiesel (B100) maupun minyak solar (fossil fuel) memiliki korelasi yang cukup erat (gambar 2.58). Keduanya menunjukkan adanya fluktuasi sepanjang waktu. Secara umum, harga biodiesel relatif lebih mahal dibandingkan dengan minyak solar, namun pada Januari 2014 harga fossil fuel relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga biodiesel (B100). Hal ini memberikan dampak positif bagi pengembangan biodiesel di masa mendatang. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 67

86 Sumber: Biodiesel National Weekly Gambar 2.58 Perkembangan Harga Biodiesel dan Diesel di USA Salah satu produk hilir CPO adalah surfactan. Industri surfactan meliputi LAS, FAS, FES dan AE, yang menyebar di Eropa, USA dan Asia Pasifik, sebagaimana digambarkan pada gambar Sumber: Bernd Brackmann 2004 Gambar 2.59 Komposisi Bahan Baku Surfactant di Berbagai Kawasan 68 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

87 5.50% 0.10% 6.20% Produk pembersih 2.30% Agrochemicals Perminyakan 0.50% 3.40% Industri cat 1.40% Tekstil & kulit 8.40% Kertas 1.90% Polimerisasi emulsi 62.90% Plastik 5.10% Pangan 2.30% Konstruksi Bahan peledak Lainnya Sumber: Gambar Penggunaan Surfactant Global Penggunaan surfactan global mencakup produk pembersih, agrochemicals, perminyakan, industri cat, tekstil dan kulit, kertas, pelimer emulis, plastik, pangan, konstruksi dan bahan peledak. Diantara produk tersebut, pasar utama surfactant terbesar adalah industri produk pembersih dengan pangsa 62.9%, dan 8.4 % untuk industri tekstil dan kulit (gambar 2.60). Sedangkan pasar terbesar produk personal care dunia adalah untuk personal cleaning product (42%), shampoo 38% dan conditioner 20%, sebagaimana dinyatakan pada gambar % 38% 42% Personal cleaning product Shampoo Conditioner Sumber: Kline & Company, 2007 Gambar Produk Personal Care Dunia Pasar personal care dunia menyebar di Eropa (34%), Asia (24%), USA (20%), Amerika Latin (18%) dan ROW atau negara lainnya (5%), sebagaimana disajikan pada gambar II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 69

88 5% 18% 20% 24% 34% Eropa Asia North Amerika Latin Amerika Lainnya Sumber: Kline & Company, 2007 Gambar Pasar Personal Care Dunia Pasar lubricant dunia (gambar 2.63) adalah engine oil (48%), process oil (15.3%), hidraulic oil (10.20%). Dengan meningkatnya pertumbuhan industri mesin dan otomotif, kebutuhan untuk lubricant akan meningkat. Total Permintaan 41,8 juta ton 10.20% 26.50% 15.30% 48% Engine oils Process oils Hydraulic oils All other Sumber: USB, 2008 Gambar Penggunaan Lubricant Dunia Pasar utama lubricant dunia adalah di kawasan yang industri otomotif dan mesin berkembang pesat (gambar 2.64) yakni Asia Pasifik 36.7%, Amerika Utara 28%, Eropa Barat 12.5% dan ROW 22.8%. Semakin bertumbuh industri otomotif dan mesin, kebutuhan lubricant khususnya untuk engine oil dan hidrolic oil makin meningkat. 70 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

89 22.80% 12.50% 36.70% Asia/Pacific North Amerika Western Europe 28% Rest of World Gambar Pasar Lubricant Dunia Menurut Kawasan (USB, 2008) Pertumbuhan permintaan lubricant dunia yang meningkat tersebut memberi peluang bagi industri minyak sawit Indonesia dalam mengembangkan industri bio lubricant. Pengembangan industri bio lubricant kedepan semakin prospektif dengan meningkatnya tuntutan produk yang lebih ramah lingkungan Dinamika Industri Oleokimia Global Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan yang dinamis dalam industri oleokimia global (gambar 2.65). Pemain tradisional oleokimia dunia (USA, EU, Jepang) exit dari industri oleokimia (Less profitable, investasi mahal). (Wolfgang Rupilius and S. Ahmad, 2007). Perusahaan HENKEL exit oleokimia, fokus ke consumer goods; UNILEVER exit oleokimia, fokus ke consumer goods; LONZA exit oleokimia, fokus industri farmasi/bioteknologi; KAO mengurangi oleokimia, fokus ke consumer goods; PROCTER AND GAMBLE mengurangi oleokimia, fokus ke marketing dan consumer goods; PETROFINA exit oleokimia, fokus petroleum & petro chemical; AKZO NOBEL exit oleokimia. Forward Integrative Exit or Forward Integrative Industri Bahan Baku (Minyak Nabati+Hew Industri Oleokimia Dasar Industri Pengguna (Consumer Goods, Capital Bacward Integrative Bacward Integrative Gambar 2.65 Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 71

90 Selain itu beberapa perusahaan melakukan konsolidasi konsumen menjadi organisasi marketing global olekimia seperti RAG (marger dari Degusa, Rhom, Stock Hausen, Gold Schmidt, C.W. Hulse, Rutgers). Procter Gamble (Merger dari Procter Gambel, Clairol, Wella, Gillete) dan Henkel (merger dari Henkel, Schwarzkopf dan Dial). Strategi integrasi ke depan maupun ke belakang juga terjado pada industri oleokimia global. Forward integrative ke industri pengguna (consumer goods, capital goods) untuk minimisasi risiko agar lebih profitable (integrasi oleokimia-consumer goods/capital goods lebih profitable dari pada hanya oleokimia or industri consumer goods or capital goods). Misalnya: KAO, PROCTER AND GAMBLE. Produsen bahan baku (minyak nabati) forward integrative ke industri oleokimia (ASEAN). Mengamankan CPO/PKO, dan CCO. Strategi Joint venture provider technologi dan jaringan marketing global seperti Wilmar Grup, Bakrie Grup, Sinar Mas, Musim Mas,Eco Green Cisadane. Sime Darby Grup, United Plantation Grup, Guthre Grup, Golden Hope Plantation, IOI Corporation, Kuala Lumpur Kepong, Felda Holding, PBB Oil Palms, Palmco Holding, Akzo & Nobel Oleochemical (Joint Venture dengan Akzo & Nobel), Cognis Oleochemical (Joint Venture Cognis Jerman, Golden Hope), FPG Oleochemical (Joint Venture Procter & Gamble, USA dengan Felda). Strategi Bacward integrative dengan industri bahan baku juga terjadi seperti Cognis Oleochemical (Joint Venture Cognis dengan Golden Hope), FPG Oleochemical (Joint Venture Procter Gamble, dengan Felda), Akzo & Nobel. Dimasa yang akan datang dinamika industri oleokimia global yang demikian diperkirakan masih akan berlangsung sesuai dengan perkembangan kompetisi global. Penguasaan bahan baku dan pasar produk akhir diperkirakan menjadi penentu strategi industri oleokimia untuk tetap survive ke depan. 72 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

91 BAB III EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA Kegiatan ekonomi industri minyak sawit (supply chain) dimulai dari industri pembibitan, perkebunan kelapa sawit, pengolahan TBS menjadi CPO, dan pengolahan CPO lebih lanjut menjadi produk turunan baik setengah jadi (seperti oleokimia) maupun produk jadi (seperti minyak goreng, biodiesel, sabun, shampoo, pelumas dan lainlain). 3.1 Industri Perbenihan Kelapa Sawit Mata rantai yang paling hulu dari pada industri minyak sawit adalah industri pembibitan. Industri pembenihan merupakan industri cetak biru (blue print) dari rantai pasok minyak sawit. Cetak biru sifatsifat ekonomis kelapa sawit seperti produktivitas dan rendemen minyak dimulai pada industri perbenihan. Penyediaan benih kelapa sawit yang bermutu baik untuk penanaman ulang (replanting) kebun kelapa sawit yang telah ada maupun untuk kebutuhan perluasan areal baru, sangat penting untuk menjamin kelanjutan agribisnis minyak sawit. Dengan luas areal perkebunan sawit Indonesia tahun 2013 sekitar 9.2 juta hektar, dan dengan asumsi umur produktif tanaman kelapa sawit 25 tahun, maka untuk menjamin kelanjutan rantai pasok minyak sawit memerlukan replanting 4 % dari luas areal atau setara dengan 400 ribu hektar setiap tahun. Perusahaan yang bergerak dalam pembenihan kelapa sawit di Indonesia dalam sepuluh tahun (sejak reformasi) mengalami peningkatan yang pesat. Bila pada masa orde baru, pembenihan kelapa sawit hanya satu perusahaan yakni Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), pada masa orde reformasi meningkat menjadi 11 unit perusahaan yang tersebar pada beberapa provinsi (Gambar 3.1) dengan kapasitas industri pembenihan kelapa sawit nasional sebesar 256 juta kecambah per tahun. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 73

92 Sumatera Utara 55% Riau 29% Sumatera Selatan 14% Jawa Barat 2% Kapasitas produksi = 256 juta Sumber: Kementerian Pertanian RI (2010) Gambar 3.1. Lokasi Penyebaran Produsen Benih Kelapa Sawit di Indonesia Tabel 3.1. Kapasitas Produksi Benih Kelapa Sawit di Indonesia No. Produsen Kapasitas Produksi (kecambah/tahun) 1 PPKS Medan 50,000,000 2 PT Socfin Indonesia 47,000,000 3 PT London Sumatra Tbk. 23,000,000 4 PT Bina Sawit Makmur 30,000,000 5 PT Dami Mas Sejahtera 24,000,000 6 PT Tunggal Yunus Estate 14,000,000 7 PT Tania Selatan 7,000,000 8 PT Bakti Tani Nusantara 20,000,000 9 PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk. 22,000, PT Sasaran Ehsan Mekarsari 4,000, PT Sarana Inti Pratama 15,000,000 Total 256,000,000 Sumber: Kementerian Pertanian RI (2010) 74 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

93 3.2 Perkembangan Luas Area Perkembangan Luas Areal Menurut Pengusahaan dan Provinsi Perkebunan kelapa sawit Indonesia telah berkembang pada 22 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Lima provinsi terbesar sebagai sentra usaha perkebunan kelapa sawit adalah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Kelima provinsi tersebut berada sekitar 64% luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia dan menghasilkan sekitar 70% CPO. Dua pulau utama sentra perkebunan kelapa sawit (Pulau Sawit) di Indonesia yakni Sumatera dan Kalimantan. Sekitar 90% perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada pada kedua pulau sawit tersebut. Dan kedua Pulau Sawit tersebut menghasilkan sekitar 95% produksi CPO Indonesia. Penyebaran perkebunan kelapa sawit pada 22 provinsi Indonesia mulai dari provinsi paling barat Indonesia sampai provinsi paling timur Indonesia, menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit memiliki toleransi yang luas pada keragaman agroklimat di daerah tropis. Selain itu, dengan penyebaran perkebunan kelapa sawit Indonesia yang demikian, melalui perkebunan kelapa sawit Indonesia dapat memanen energi matahari selama 15 jam. Hal ini merupakan salah satu keunggulan alamiah yang dimiliki perkebunan kelapa sawit Indonesia dibandingkan negara lain dari segi ekonomi, penyebaran perkebunan kelapa sawit yang demikian tidak lain adalah penyebaran dunia usaha (firms) yang merupakan "mesin ekonomi". Melalui proses produksi pada usaha perkebunan kelapa sawit tersebut keragaman sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersebar di daerah perkebunan kelapa sawit terdayagunakan untuk menghasilkan minyak sawit dan jasa lingkungan. Dalam kurun waktu tahun (Tabel 3.2), terjadi revolusi pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang ditandai dengan tumbuh-berkembangnya perkebunan rakyat dengan relatif cepat. Pertumbuhan perkebunan sawit rakyat secara umum relatif cepat yakni sekitar 24% pertahun selama periode II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 75

94 Tabel 3.2. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi Provinsi Luas Areal (Ha) Pertumbuhan (%/tahun) Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau Jambi , Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat Nasional Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) Secara umum luas areal perkebunan kelapa sawit rakyat pada semua provinsi sawit di Indonesia masih bertumbuh positif dan relatif tinggi. Provinsi sentra utama perkebunan kelapa sawit seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat laju pertumbuhan kebun sawit rakyat masih cukup tinggi. Di masa yang akan datang, perkebunan rakyat masih akan bertumbuh dan akan melampaui pangsa perusahaan perkebunan, 76 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

95 khususnya dari segi luas areal. Dengan makin terbatasnya lahan sehamparan yang relatif luas di Indonesia, akan membatasi ruang gerak perusahaan perkebunan untuk memperluas areal. Sebaliknya perkebunan rakyat yang skalanya relatif kecil misalnya kurang dari 10 hektar, masih terbuka untuk menambah perkebunan rakyat. Berbeda dengan perkebunan kelapa sawit rakyat perkebunan negara cenderung lambat selama periode (Tabel 3.3). Luas areal BUMN perkebunan sawit relatif kecil dan hanya bertumbuh rata-rata 7% pertahun. Kondisi ini agak mengherankan mengingat BUMN merupakan pioner dalam industri minyak sawit Indonesia. Bahkan keberhasilan dan keyakinan investasi pada industri minyak sawit yang kini dinikmati perusahaan perkebunan swasta maupun perkebunan rakyat belajar dari BUMN perkebunan (PTPN Sawit). Dengan kondisi yang demikian pangsa BUMN perkebunan dalam luas areal total perkebunan kelapa sawit Indonesia hanya berkisar 8-10 %. Perkebunan kelapa sawit swasta mengalami pertumbuhan yang relatif cepat selama periode (tabel 3.4) yakni sekitar 25% pertahun. Namun demikian laju pertumbuhan areal perkebunan kelapa sawit swasta cenderung melambat dari sekitar 45% selama periode turun menjadi sekitar 20% selama periode Beberapa provinsi yang tercepat pertumbuhan arealnya antara lain Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Provinsi-provinsi sentra sawit tradisional seperti Sumatera Utara dan Riau pertumbuhan perkebunan sawit swasta masih relatif tinggi. Dengan pertumbuhan luas perkebunan swasta yang demikian pangsanya mengalami peningkatan dari sekitar 30% tahun 1980 menjadi sekitar 50%, atau naik sebesar 20% selama 20 tahun terakhir. Hal yang menarik dari struktur pengusahaan perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah makin meningkatnya pangsa perkebunan rakyat. Tidak banyak sektor ekonomi di Indonesia di mana BUMN dan perusahaan swasta hidup berdampingan dengan usaha rakyat di mana pangsa usaha rakyat makin membesar. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 77

96 Tabel 3.3. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi Provinsi Luas Areal (Ha) Pertumbuhan (%/tahun) Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau 0 0 Jambi Bangka Belitung 0 0 Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat 0 0 Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat Nasional Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) Struktur pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang demikian secara ekonomi lebih berkualitas. Rakyat banyak terlibat langsung dalam membuat "kue ekonomi" sedemikian rupa sehingga ikut secara langsung menikmati "kue ekonomi" yang tercipta, melalui mekanisme ekonomi. 78 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

97 Tabel 3.4. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi Luas Areal (Ha) Pertumbuhan (%/tahun) Provinsi Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan* Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat Nasional *Gabungan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 79

98 3.2.2 Perkembangan Komposisi Umur Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan dan Provinsi Secara nasional komposisi tanaman kelapa sawit Indonesia (tabel 3.5) pada periode terdiri dari 20% TBM, TM muda sampai remaja 35%, dewasa 34%, dan sisanya yakni 12% berupa tanaman tua sampai renta. Sedangkan pada periode komposisi sawit nasional terdiri dari 20% TBM, TM muda sampai remaja 21%, dewasa 38%, dan sisanya yakni 21% berupa tanaman tua sampai renta. Dari segi tehnis komposisi umur kelapa sawit Indonesia belum mencapai kondisi ideal. Tabel 3.5. Perbandingan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit antara Perkebunan Rakyat, Negara, dan Swasta (%) Perkebunan Negara Swasta Rakyat Tahun TBM TM 4-7 th 8-15 th th Nasional Sumber: PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute) Distribusi TM kelapa sawit rakyat (tabel 3.6) terutama berada di provinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Laju pertumbuhan TM secara nasional mencapai rata-rata 33% pertahun dalam periode Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada di provinsi Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Namun demikian di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun rakyat masih relatif tinggi. 80 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

99 Tabel 3.6 Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi Provinsi Distribusi TM (%) Pertumbuhan (%/tahun) Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat Nasional Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) Untuk kelapa sawit swasta distribusi TM (tabel 3.7) terutama (44%) berada di tiga provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah. Laju pertumbuhan TM kebun swasta secara nasional mencapai rata-rata 46% pertahun dalam periode Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada di provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Namun demikian di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 81

100 sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun swasta masih relatif tinggi, meskipun telah memasuki fase perlambatan pertumbuhan. Tanaman menghasilkan kelapa sawit negara (tabel 3.8) 55% berada di provinsi Riau dan Sumatera Utara. Laju pertumbuhan TM secara nasional mencapai rata-rata 26% pertahun dalam periode Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada di provinsi Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur. Sedangkan di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun negara sudah relatif kecil. Tabel 3.7. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi Provinsi Distribusi TM (%) Pertumbuhan (%/tahun) Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat Nasional Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) 82 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

101 Tabel 3.8. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi Provinsi Distribusi TM (%) Pertumbuhan (%/tahun) Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat Nasional Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 83

102 Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Kalimantan Kalimantan Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Papua Papua Barat Juta Ton Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Kalimantan Barat Kalimantan Kalimantan Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat 3.3 Perkembangan Produksi CPO Penyebaran dan Kapasitas Produksi PKS Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sebagai bagian yang terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit mengikuti penyebaran perkebunan kelapa sawit tersebut (Gambar 3.2). Dari 608 unit PKS dan dengan kapasitas produksi ton TBS/jam, sebagian besar berada pada kedua pulau sawit tersebut Sumber:Kementerian Pertanian RI Gambar 3.2. Kapasitas Produksi PKS Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013 (ton TBS/jam) Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Gambar 3.3. Produksi CPO Indonesia Menurut Provinsi Tahun GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

103 3.3.2 Perkembangan Produksi CPO Menurut Pengusahaan dan Provinsi Sentra utama produksi CPO dari perkebunan rakyat (table 3.9)berada di Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Sekitar 60% produksi CPO rakyat di Indonesia berasal dari ketiga provinsi tersebut. Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit rakyat adalah sebesar 36% pertahun selama periode Provinsi Sentra tradisional produksi CPO seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat masih bertumbuh relatif tinggi. Demikian juga provinsi-provinsi sentra baru produksi CPO seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Bila dibandingkan laju pertumbuhan produksi CPO rakyat tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit rakyat (33%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit rakyat juga disumbang oleh peningkatan produktivitas. Lima besar provinsi sentra produksi CPO dari perkebunan swasta (table 3.10)berada di Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sekitar 55% produksi CPO swasta di Indonesia berasal dari lima provinsi tersebut. Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit swasta adalah sebesar 63% pertahun selama periode Provinsi Sentra tradisional produksi CPO seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat masih bertumbuh relatif tinggi. Demikian juga provinsi-provinsi sentra baru produksi CPO seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Bila dibandingkan laju pertumbuhan produksi CPO swasta tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit swasta (46%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit swasta juga disumbang oleh peningkatan produktivitas. Berbeda dengan perkebunan sawit rakyat dan swasta sentra utama produksi CPO dari perkebunan negara (tabel 3.11)adalah Sumatera Utara. Pangsa Sumatera Utara dalam produksi CPO perkebunan negara mencapai 50%. Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit negara adalah sebesar 15% pertahun selama periode Bila dibandingkan laju pertumbuhan produksi CPO negara tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit negara (26%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit Negara terutama disumbang oleh peningkatan areal TM. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 85

104 Tabel 3.9. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Rakyat Seluruh Provinsi Provinsi Produksi CPO (Ton) Pertumbuhan CPO (%/tahun) Aceh - 63, , Sumatera Utara 277, ,858 1,218, Riau 130, ,803 3,237, Sumatera Selatan 45, ,416 1,027, Sumatera Barat 32, , , Kep. Riau - - 2,977 - Jambi - 212, , Bangka Belitung ,983 - Bengkulu 90 38, , Lampung - 31, , Banten - 17,954 8, Jawa Barat 2, Kalimantan Barat 16, , , Kalimantan Selatan ,592 - Kalimantan Tengah 18 21, , Kalimantan Timur 7,042 86, , Sulawesi Tengah - 11,216 98, Sulawesi Selatan - 41,751 24, Sulawesi Barat , Sulawesi Tenggara Papua - 39,200 16, Papua Barat ,065 - Nasional 514,778 1,979,814 8,975, Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) 86 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

105 Tabel Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Swasta Seluruh Provinsi Pertumbuhan CPO (%/tahun) Produksi CPO (Ton) Provinsi Aceh 77, , , Sumatera Utara 466, ,813 1,509, Riau 58, ,290 2,373, Sumatera Selatan 2, ,546 1,083, Sumatera Barat 2, , , Kep. Riau , Jambi - 219, , Bangka Belitung - 91, , Bengkulu , , Lampung , , Banten Jawa Barat 9,917 3,517 4, Kalimantan Barat - 81, , Kalimantan Selatan - 82, , Kalimantan Tengah - 92,208 1,930, Kalimantan Timur - 33, , Sulawesi Tengah - 14,731 99, Sulawesi Selatan - 37,985 4, Sulawesi Barat , Sulawesi Tenggara , Papua , Papua Barat , Nasional 618,900 3,208,405 12,048, Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 87

106 Tabel Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Negara Seluruh Provinsi Provinsi Produksi CPO (Ton) Pertumbuhan CPO (%/tahun) Aceh 45,696 95,979 53, Sumatera Utara 969,231 1,176,050 1,080, Riau 74, , , Sumatera Selatan 27, , , Sumatera Barat 9,675 17,597 24, Kep. Riau Jambi 6,800 38,215 85, Bangka Belitung Bengkulu 580 4,820 16, Lampung 27,000 50,240 38, Banten - 12,602 17, Jawa Barat 32,251-12, Kalimantan Barat 89, , , Kalimantan Selatan , Kalimantan Tengah Kalimantan Timur 2,112 12, , Sulawesi Tengah - - 2,122 Sulawesi Selatan 2,170 11,818 4, Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara - - 2,832 Papua - 24,753 25, Papua Barat - - 7,773 Nasional 1,288,447 1,972,578 2,098, Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) 88 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

107 3.3.3 Perkembangan Produktivitas CPO Menurut Pengusahaan dan Provinsi Secara umum produktivitas sawit rakyat (PR) telah mengalami peningkatan produktivitas CPO per hektar selama periode yakni dari 1.61 ton menjadi 2.92 ton per hektar (Tabel 3.12). Bila dianalisis selama periode dan mempertimbangkan komposisi umur tanaman kelapa sawit rakyat maka perubahan produktivitas sawit rakyat dalam periode dibandingkan dengan (gambar 3.4) telah mengalami pergeseran yang mencerminkan terjadinya peningkatan produktivitas untuk setiap umur TM. Perkebunan kelapa sawit negara (PN) ternyata mengalami penurunan produktivitas dalam periode (tabel 3.13) yakni dari 4.40% menjadi 3.11%. Jika dibandingkan produktivitas setiap umur TM Negara antara periode dengan periode (gambar 3.5) menunjukkan terjadinya penurunan produktivitas pada setiap umur TM. Namun demikian produktivitas kelapa sawit negara masih lebih tinggi dari rata-rata produktivitas kelapa sawit rakyat Gambar Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 89

108 Tabel Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Setiap Provinsi Produktivitas (Ton Pertumbuhan (%) Provinsi CPO/Ha) Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau 2.84 Jambi Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat 3.44 Sulawesi Tenggara 0.34 Papua Papua Barat 3.32 Nasional Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) 90 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

109 Tabel Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Negara Setiap Provinsi Produktivitas (Ton Pertumbuhan (%) CPO/Ha) Provinsi Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat Nasional Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 91

110 Gambar 3.5. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Negara Produktivitas kelapa sawit swasta (PS) menunjukkan peningkatan yang konsisten selama periode (Tabel 3.14) yakni meningkat dari 2.65 ton menjadi 3.25 ton CPO per hektar. Jika dilihat dalam periode dibandingkan dengan periode menunjukkan bahwa produktivitas seluruh umur TM kebun swasta mengalami peningkatan (gambar 3.6) 92 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

111 Tabel Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Setiap Provinsi Provinsi Produktivitas (Ton Pertumbuhan (%) CPO/Ha) Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat Nasional Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 93

112 Gambar 3.6. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Jika dibandingkan produktivitas rata-rata kebun sawit swasta, rakyat dan negara untuk setiap umur TM selama periode (gambar 3.7) menunjukkan bahwa produktivitas sawit negara lebih unggul dibanding dengan rata-rata produktivitas swasta, dan produktivitas sawit swasta masih lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas sawit rakyat. Negara Rakyat Swasta Gambar 3.7. Perbandingan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat, Negara dan Swasta Hal inilah yang menjadi tantangan pengelolaan perkebunan kelapa sawit Indonesia kedepan yakni bagaimana meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat, kebun sawit swasta mendekati produktivitas sawit negara dan selanjutnya meningkatkan produktivitas kebun sawit swasta, rakyat dan negara kepada tingkat produktivitas yang lebih tinggi. 94 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

113 Perkembangan Ekspor dan Konsumsi Domestik CPO Dari total produksi CPO Indonesia diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri (konsumsi CPO domestik) dan untuk ekspor. Pangsa penggunaan CPO baik untuk ekspor maupun kosumsi domestik mengalami dinamika naik turun (gambar 3.8) tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam perdagangan internasional CPO. Pada periode kebijakan pemerintah cenderung mengarah pada ekspor CPO (Export Orientation), sehingga porsi CPO yang di ekspor lebih besar. Sementara dalam periode kebijakan perdagangan internasional CPO Indonesia lebih banyak mengunana CPO untuk industri dalam negeri (Domestik Orientation), sehingga porsi konsumsi CPO domestik cenderung lebih besar. Setelah tahun 2006 pemerintah mengendalikan ekspor CPO melalui kebijakan bea keluar CPO yang progresif. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% CPO Ekspor CPO Konsumsi Domestik Gambar 3.8. Perkembangan Pangsa Ekspor dan Konsumsi Domestik dari Produksi CPO Indonesia Dengan segala dinamika kebijakan perdagangan internasional CPO Indonesia, secara keseluruhan ekspor CPO dan produk turunannya baik secara nilai maupun volume masih menunjukkan kenaikkan setip tahun (gambar 3.9 dan 3.10). peningkatan volume ekspor CPO dan turunannya mengikuti peningkatan produksi CPO di dalam negeri. Komposisi ekspor minyak sawit Indonesia juga mengalami perubahan, khususnya dalam lima tahun terakhir (gambar 3.11). Pada II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 95

114 Juta Ton tahun 2008 sampai 2010 komposisi minyak sawit yang diekspor masih didominasi bahan mentah (CPO) sedangkan setelah tahun pangsa produk olahan CPO makin besar dalam ekspor minyak sawit Indonesia. Tujuan ekspor minyak sawit Indonesia terutama pada tiga negara/kawasan yakni India, Cina, dan Uni Eropa. Sekitar 70% dari ekspor minyak sawit Indonesia ditujukkan ke tiga kawasan tersebut (gambar 3.12). Meskipun ada perkembangan diversifikasi tujuan ekspor ke negara lain yang di tunjukkan makin besarnya pangsa negara lain, volume ekspor minyak sawit ke India cenderung stabil Gambar 3.9. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia (ton) 96 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

115 juta ton Milyar USD Gambar Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia Mentah Olahan Gambar Perkembangan Komposisi Ekspor Minyak Sawit Indonesia II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 97

116 Ton Negara Lain India Eropa China Gambar Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut Negara Tujuan 3.5 Industri Hilir Minyak Sawit Industri Minyak Goreng Sawit/Margarin/ Shortening. Industri hilir minyak goreng sawit yang pertama dan tertua dalam agribisnis minyak sawit adalah industri minyak goreng. Di Indonesia, sebelum industri minyak goreng sawit berkembang, industri minyak goreng kelapa sudah lebih dahulu berkembang dan menjadi sumber utama minyak goreng di Indonesia. Dengan semakin langkanya bahan baku kelapa/kopra di satu pihak dan makin tersedia minyak sawit, secara bertahap sebagian besar industri minyak kelapa beralih kepada industri minyak goreng sawit. Menurut data tahun 2007 (Departemen Perindustrian RI, 2007) penyebaran lokasi industri minyak goreng sawit di Indonesia terutama berada pada enam posisi yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (Tabel 3.15) 98 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

117 Tabel Lokasi dan Kapasitas Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun 2007 Provinsi Kapasitas Produksi (ton/tahun) Pangsa Nasional Sumatera Utara Riau Sulawesi Selatan DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur ,94 21,46 6,62 15,29 17,12 19,57 Indonesia ,00 Sumber: BPS Secara nasional, dari sekitar 15,2 juta ton kapasitas produksi industri minyak goreng sawit di Indonesia, sekitar 21,46% berada di Provinsi Riau, kemudian disusul Sumatera Utara dengan pangsa 19,94%. Provinsi berikutnya adalah berturut-turut Jawa Timur (19,57%), Jawa Barat (17,12%), DKI Jakarta (15,29%) dan Sumatera Utara (6,62%). Dengan demikian, sekitar 48% kapasitas industri minyak goreng sawit nasional berada di sentra-sentra produksi CPO nasional (Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan) dan sisanya (52%) berada di sentra-sentra konsumen minyak goreng.tampaknya, lokasi industri minyak goreng sawit nasional tidak terlalu kuat mengikuti teori lokasi industri Weber, yang dikenal dengan indikator Indeks Material (Material Index). Menurut indeks material rasio antara bahan baku dengan produk akhir), jika indeks material lebih besar dari satu, lokasi industri mendekat pada bahan baku. Sedangkan jika indeks material lebih kecil dari satu, lebih mendekat pada sentra konsumen. Pada Industri minyak goreng sawit nasional, indeks material lebih besar dari satu sehingga menurut teori tersebut lokasi industri minyak goreng berada di sentra produksi bahan baku yakni CPO. Pada kenyataanya hanya 48% dari kapasitas industri yang berada di sentra produksi CPO. Sebagian besar yakni 51% berada di sentra konsumen (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur). Hal ini menunjukkan bahwa lokasi bahan baku hanyalah salah satu faktor pertimbangan penentu lokasi industri. Faktor lain seperti ketersediaan jaringan logistik, karakteristik permintaan minyak goreng relatif yang terhadap karektaristik produksi bahan baku, faktor sejarah, ikut memengaruhi lokasi Industri Secara nasional, dalam periode tahun II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 99

118 , industri minyak goreng sawit mengalami perkembangan pesat baik jumlah perusahaan, kapasitas produksi maupun produksi. Jumlah perusahaan pelaku industri minyak goreng sawit meningkat dari 70 unit usaha pada tahun 2002 menjadi 74 unit usaha pada tahun Kapasitas produksi juga meningkat yakni dari 8,2 juta ton per tahun 2002 menjadi 154 juta ton per tahun 2008 atau bertumbuh ratarata sekitar 11% per tahun. Demikian juga produksi minyak goreng sawit meningkat dari 3,7 juta ton menjadi 7,9 juta ton dalam periode yang sama. Dalam periode tahun , utilisasi kapasitas produksi industri minyak goreng sawit masih relatif rendah yakni antara 45%-57%, namun cenderung meningkat sekitar 2% pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa industri minyak goreng sawit masih mengalami kelebihan kapasitas (over capacity) sekitar 43%-55% per tahun. Selain minyak goreng sawit, Indonesia juga menghasilkan minyak goreng lain yakni minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya termasuk minyak goreng kedelai. Perkembangan produksi dan dibandingkan dengan minyak goreng sawit diperlihatkan pada Gambar Secara keseluruhan produksi minyak goreng nasional dalam periode bertumbuh rata-rata 13,78% per tahun, yang disumbang pertumbuhan produksi minyak goreng sawit yang bertumbuh 13,77% per tahun, minyak goreng kelapa (11,78%) dan minyak goreng lainnya (minyak goreng kedelai, jagung, dan lain-lain) yang bertumbuh 15,11% per tahun. Dari segi pangsa produksi, minyak goreng sawit merupakan pangsa terbesar dalam produksi minyak goreng nasional dengan pangsa sekitar 87%-90%, sedangkan pangsa minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya masing-masing pangsanya bergerak dari 5%-6%. Hal yang menarik adalah pangsa produksi minyak goreng sawit cenderung menurun, sementara pangsa minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya cenderung meningkat, meskipun ketiga minyak goreng tersebut secara absolut masih meningkat secara bersama-sama (gambar 3.14). Artinya, laju peningkatan produksi minyak goreng sawit lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata laju perubahan produksi minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya dalam periode tersebut. Hal ini memberi indikasi bahwa dalam periode tersebut industri minyak goreng kelapa dan minyak goreng lain (di luar minyak sawit) memperoleh gairah yang lebih baik untuk produksi. Peningkatan pangsa produksi minyak goreng di luar minyak goreng sawit, secara ekonomi menguntungkan Indonesia, khususnya dalam diversifikasi minyak goreng. Peningkatan produksi minyak 100 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

119 Juta Ton goreng kelapa baik secara absolut maupun relatif diharapkan dapat menggairahkan kembali produksi kelapa di seluruh Indonesia yang sempat mengalami stagnasi sebelumnya. Minyak Goreng Sawit Gambar Perkembangan Produksi Minyak Goreng Indonesia Tahun Minyak Goreng Sawit 86.64% Minyak Goreng Kelapa 5.31% Minyak Goreng Lain 8.06 Gambar Rata-rata Pangsa Minyak Goreng Sawit dalam Konsumsi Minyak Goreng Indonesia Tahun II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 101

120 Peningkatan produksi minyak goreng nasional juga disertai dengan peningkatan konsumsi per kapita penduduk. Dalam periode tahun , konsumsi minyak goreng secara komposit meningkat dari 12,36 menjadi 16,82 kg/kapita/tahun. Demikian juga konsumsi minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya masih mengalami peningkatan, yakni dari 0,57 kg menjadi 1,01 kg/kapita (minyak goreng kelapa) dan dari 0,79 menjadi 1,6 kg/kapita (minyak goreng lainnya). Secara relatif pangsa konsumsi minyak goreng sawit menduduki pangsa terbesar dalam total konsumsi minyak goreng Indonesia, kemudian disusul minyak goreng lainnya (minyak kedelai, minyak jagung) dan minyak goreng kelapa. Hal yang menarik adalah pangsa konsumsi minyak kelapa cenderung meningkat. Hal ini secara ekonomi lebih baik karena ada kecenderungan diversifikasi dalam konsumsi minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng yang terlalu bertumpu pada satu jenis minyak goreng seperti minyak goreng sawit mengandung risiko secara ekonomi khususnya dari segi stabilitas harga. Selain itu, mengingat minyak sawit adalah komoditas ekspor Indonesia, peningkatan konsumsi yang terlalu bertumpu pada minyak goreng sawit dapat mengurangi kesempatan Indonesia memperoleh devisa dari ekspor. Peningkatan pangsa konsumsi minyak goreng non sawit juga diharapkan akan mendorong peningkatan produksi bahan baku minyak goreng nonsawit khususnya kelapa dan jagung yang potensial di Indonesia. Hal ini selain diversifikasi, produksi bahan baku minyak nabati juga akan melestarikan plasma nutfah kelapa dan jagung secara lintas generasi. Secara nasional, konsumsi minyak goreng sawit sebagian besar dikonsumsi masyarakat dalam bentuk minyak goreng, yakni mencapai 80%. Sisanya, yakni 20% dalam bentuk kemasan (bermerek). Selain karena harga minyak goreng curah lebih murah (20%-30% di bawah harga minyak goreng kemasan). Masyarakat Indonesia tampaknya belum banyak menuntut atribut produk yang lebih rinci (brand minded) sebagaimana diperoleh dari minyak goreng kemasan. Meskipun pangsa pasar minyak goreng bermerek hanya sekitar 20%, telah cukup banyak produk minyak goreng di pasar. Beberapa di antaranya adalah Bimoli, Filma, Tropical, Fortune, Sania, Kunci Mas, Madina, Rolebrand, Delima, Sunco, Avena, Sarimurni. Hal ini berarti, pada segmen pasar minyak goreng bermerek cenderung terjadi persaingan monopolistik (monopolistic competition) yang sangat intensif. Sebagaimana struktur pasar persaingan monopolistik, persaingan yang terjadi bukanlah pada tingkat harga melainkan pada variabel di luar harga (non price competition) seperti promosi/iklan. Beberapa minyak 102 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

121 goreng sawit bermerek mempromosikan diri sebagai minyak goreng nonkolesterol. Padahal semua minyak goreng yang bahan bakunya dari tumbuh-tumbuhan, tidak mengandung kolesterol. Mengingat masih terbatasnya pangsa minyak goreng bermerek di Indonesia, serta tingginya persaingan pada segmen ini, sebagian produsen minyak goreng sawit menyiasati dengan menghasilkan keduanya yakni minyak goreng curah dan bermerek. Sekitar 32% produsen minyak goreng yang ada menghasilkan minyak goreng bermerek sekaligus minyak goreng curah. Dengan cara ini, produsen dapat memanfaatkan pasar minyak goreng curah (umumnya konsumen kelas berpendapatan menengah ke bawah) dan pasar minyak goreng bermerek (konsumen kelas berpendapatan menengah ke atas). Perbedaan harga antara minyak goreng curah dengan minyak goreng bermerek tampaknya menarik beberapa supermarket/hypermart untuk membuat minyak goreng kemasan semi bermerek dan dipasarkan dengan tingkat harga antara minyak goreng bermerek dengan minyak goreng curah. Segmen pasar yang dibidik minyak goreng semi bermerek ini adalah konsumen bagian atas kelas berpendapatan rendah, dan bagian bawah kelas berpendapatan tinggi atau lazim disebut konsumen kelas menengah. Secara keseluruhan, dibandingkan dengan volume produksi minyak goreng yang dihasilkan daya serap pasar domestik yakni konsumsi minyak goreng masih terbatas. Akibatnya sebagian besar produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor. Produksi total minyak goreng Indonesia selama periode tahun cenderung dan makin mengarah pada ekspor. Pada tahun 2002 sekitar 61% produksi minyak goreng nasional masih dipasarkan di dalam negeri (konsumsi domestik), setelah tahun tersebut sampai tahun 2008 pangsa untuk pasar ekspor meningkat. Pada tahun 2008, sebagian besar (57%) produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor. Untuk minyak goreng sawit dan kelapa, kecenderungannya sama. Pangsa ekspor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sedemikian rupa sehingga terjadi pembalikan yakni dari pasar domestik menjadi pasar ekspor (gambar 3.15). Pangsa ekspor minyak goreng sawit meningkat dari sekitar 38% tahun 2002 menjadi sekitar 59% pada tahun Bahkan minyak goreng kelapa dalam periode tahun secara konsisten sebagian besar ditujukan untuk ekspor. Berbeda dengan produksi minyak goreng sawit dan kelapa, minyak goreng lainnya dalam periode tahun secara umum sebagian besar ditujukan untuk pasar domestik. Namun terjadi kecenderungan bahwa pangsa untuk ekspor mengalami peningkatan dan makin berimbang dengan pangsa untuk pasar domestik. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 103

122 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Gambar Ekspor Konsumsi Domestik Perkembangan Alokasi Produksi Minyak Goreng Indonesia untuk Konsumsi Domestik dan Ekspor Tahun Bila dibandingkan dengan kenaikan produksi minyak goreng di mana secara konsisten produksi meningkat dari tahun-ke tahun, dengan kecenderungan pangsa untuk ekspor yang meningkat tersebut, berarti tujuan utama peningkatan produksi minyak goreng adalah untuk meningkatkan ekspor dan bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan domestik. Orientasi produksi yang demikian dimungkinkan antara lain akibat kenaikan harga minyak goreng di pasar internasional khususnya setelah tahun Kecenderungan peningkatan ekspor dari produksi minyak goreng nasional, secara ekonomi menguntungkan Indonesia. Nilai tambah yang diperoleh melalui ekspor minyak goreng secara umum lebih besar daripada bila mengekspor CPO. Selain itu, kecenderungan yang demikian mencerminkan bahwa pasar ekspor lebih menarik bagi produksi minyak goreng daripada pasar domestik. Industri hilir minyak goreng sawit yang pertama dan tertua dalam agribisnis minyak sawit adalah industri minyak goreng. Di Indonesia, sebelum industri minyak goreng sawit berkembang, industri minyak goreng kelapa sudah lebih dahulu berkembang dan menjadi sumber utama minyak goreng di Indonesia. Dengan semakin langkanya bahan baku kelapa/kopra di satu pihak dan makin tersedia minyak sawit, secara bertahap sebagian besar industri minyak kelapa beralih kepada industri minyak goreng sawit. 104 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

123 Penyebaran lokasi industri minyak goreng sawit di Indonesia terutama berada pada enam posisi yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (Gambar 3.16). Sumatera Utara 21% Riau 22% Sulawesi Selatan 7% DKI Jakarta 18% Jawa Barat 18% Jawa Timur 14% Sumber: Statistika Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Gambar Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Minyak Goreng dan Margarin di Indonesia Secara nasional, dari sekitar 15,2 juta ton kapasitas produksi industri minyak goreng sawit di Indonesia, sekitar 21,46% berada di Provinsi Riau, kemudian disusul Sumatera Utara dengan pangsa 19,94%. Provinsi berikutnya adalah berturut-turut Jawa Timur (19,57%), Jawa Barat (17,12%), DKI Jakarta (15,29%) dan Sumatera Utara (6,62%). Dengan demikian, sekitar 48% kapasitas industri minyak goreng sawit nasional berada di sentra-sentra produksi CPO nasional (Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan) dan sisanya (52%) berada di sentra-sentra konsumen minyak goreng. Tampaknya, lokasi industri minyak goreng sawit nasional tidak lagi terlalu mengikuti teori lokasi industri Weber, yang dikenal dengan indikator Indeks Material (Material Index). Menurut indeks material (rasio antara bahan baku dengan produk akhir), jika indeks material lebih besar dari satu, lokasi industri mendekat pada bahan baku. Sedangkan jika indeks material lebih kecil dari satu, lebih mendekat pada sentra konsumen. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 105

124 Pada Industri minyak goreng sawit nasional, indeks material lebih besar dari satu sehingga menurut teori tersebut lokasi industri minyak goreng berada di sentra produksi bahan baku yakni CPO. Pada kenyataanya hanya 48% dari kapasitas industri yang berada di sentra produksi CPO. Sebagian besar yakni 51% berada di sentra konsumen (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur). Hal ini menunjukkan bahwa lokasi bahan baku hanyalah salah satu faktor pertimbangan penentu lokasi industri. Faktor lain seperti ketersediaan jaringan logistik, karakteristik permintaan minyak goreng, faktor sejarah, ikut mempengaruhi lokasi industri. Margarin/shortening merupakan oleo pangan (oleo food) yang konsumsinya makin meningkat di dalam negeri. Pada umumnya, konsumsi margarin/shortening terjadi pada industri jasa boga (food service industri) seperti restoran, industri roti dan lain-lain. Konsumsi rumah tangga masih relatif kecil yakni pada masyarakat golongan pendapatan mengengah ke atas. Secara ekonomi produk margarin/shortening merupakan produk yang bersifat income elastic demand yakni konsumsinya meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat. Bila pendapatan meningkat, konsumsi margarin meningkat lebih besar (%tase) daripada peningkatan pendapatan itu sendiri. Berbeda dengan industri minyak goreng, sebagian besar (74%) kapasitas industri margarin berada di sentra konsumen. Sisanya yakni 26% berapa di sentra produksi bahan baku seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Bahkan sekitar 50% dari kapasitas produksi yang ada berada di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi industri margarin lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen Industri Margarin/Shortening Margarin/ shortening merupakan oleo pangan (food oleo) yang konsumsinya makin meningkat di dalam negeri. Pada umumnya, konsumsi margarin/shortening terjadi pada industri jasa boga (food service industri) seperti restoran, industri roti dan lain-lain. Konsumsi rumah tangga masih relatif kecil yakni pada masyarakat golongan pendapatan mengengah ke atas. Secara ekonomi produk margarin/shortening merupakan produk yang bersifat income elastic demand yakni konsumsinya meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat. Bila pendapatan meningkat, konsumsi margarin meningkat lebih besar (%tase) daripada peningkatan pendapatan itu sendiri. 106 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

125 Tabel Jumlah Perusahaan, Kapasitas Produksi dan Penyebaran Industri Margarin/Shortening di Indonesia Daerah Jumlah Perusahaan (unit) Kapasitas Produksi (ton/tahun) DKI Jakarta Sumatera Utara Jawa Timur Jawa Barat Riau Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Sumatera Selatan Jawa Tengah Total Sumber: BPS Industri margarin/shortening di Indonesia telah memiliki sejarah yang panjang. Pada awal perkembangannya menggunakan bahan baku minyak kelapa namun akibat kurangnya minyak kelapa beralih pada bahan baku minyak sawit. Penyebaran industri margarin/shortening dan kapasitas produksi di Indonesia disajikan pada Tabel 3.16 Berbeda dengan industri minyak goreng, sebagian besar (74%) kapasitas industri margarin berada di sentra konsumen. Sisanya yakni 26% berapa di sentra produksi bahan baku seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Bahkan sekitar 50% dari kapasitas produksi yang ada berada di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi industri margarin lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen. Perkembangan produksi dan penggunaan produksi industri margarin/shortening di Indonesia disajikan pada Tabel Produksi margarin cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 produksinya baru mencapai sekitar 338 ribu ton, meningkat menjadi sekitar 580 ribu ton tahun Peningkatan produksi margarin yang demikian selain tersedianya bahan baku (stearin, olein, PKO) di Indonesia, juga dimungkinkan oleh pertumbuhan pasar margarin/ shortening baik di dalam negeri maupun ekspor. Hal yang menarik adalah pangsa produksi margarin yang dipasarkan ke pasar domestik cenderung meningkat yakni dari sekitar 78% tahun 2000 menjadi 84% tahun Sementara pangsa untuk tujuan pasar ekspor menurun dari 23% menjadi 15%. Tampaknya pertumbuhan pasar domestik lebih mampu menyerap produksi margarin daripada pasar ekspor. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 107

126 Ribu Ton Tujuan pasar eskpor margarin Indonesia adalah Hongkong, Srilangka, Angola, Philipina, Vietnam dan Rusia. Sekitar 50% ekspor margarin Indonesia diserap oleh negara-negara tersebut. Sedangkan sisanya ditujukan untuk ekspor ke negara-negara lain. Bila dibandingkan dengan industri minyak goreng (Gambar 3.17), perkembangan industri margarin ini berbeda/bertolak-belakang. Bila industri margarin cenderung memperbesar pangsa produksinya untuk pasar domestik, industri minyak goreng lebih cenderung memperbesar pasar ekspornya. Hal ini menarik untuk didalami lebih jauh, apakah pertumbuhan konsumsi margarin sedang mulai meningkat di Indonesia? Ataukah produk margarin Indonesia kalah bersaing dengan produk margarin negara lain di pasar dunia? 800 Margarine Gambar Perkembangan Produksi Margarine Indonesia Tahun Perkembangan Industri Oleokimia Peranan ekspor CPO dan turunannya dalam ekspor netto non migas makin penting dan bahkan menjadi katup pengaman. Pada tahun 2004 (Tabel 3.17), kontribusi ekspor CPO dan turunannya baru mencapai 26 % dari net ekspor non migas dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tahun 2012 dan tahun 2013 pangsa ekspor CPO dan turunannya sudah di atas 100 %. Artinya, sektor non migas 108 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

127 Indonesia terhindar dari defisit trade, karena adanya ekspor CPO dan turunannya. Peran penting dari ekspor CPO dan turunanya dalam perekonomian makin jelas jika dilihat dalam neraca transaksi berjalan (current account), NTB, Indonesia. Jika ekspor CPO dan produk turunannya tidak diperhitungkan (tanpa minyak sawit) NTB Indonesia sudah mengalami defisit sejak tahun Dan defisit NTB tersebut mengalami peningkatan sejak tahun 2008 sampai Defisit NTB makin membengkak pada tahun 2012 dan 2013 ketika total net ekspor Indonesia (non migas dan migas) mengalamin defisit berturut-turut 12,7 dan 13 Milyar dollar USA, sehingga defisit NTB menjadi sekitar 45 dan 47 milyar dollar USA. Jika ekspor CPO dan turunannya diperhitungkan (dengan minyak sawit), NTB Indonesia sejak tahun masih positif. Defisit NTB tahun 2012 dan 2013 tidak lagi mampu di tutup oleh ekspor CPO dan turunannya. Dengan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri minyak sawit Indonesia (meskipun masih pada fase sedang bertumbuh) telah berperan menjadi kutub penyelamat NTB pada periode tahun Tabel Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tanpa Minyak sawit Dengan Minyak Sawit ($ milyar) ($ milyar) Tahun Net Neraca Neraca Net Ekspor Ekspor Barang Transaksi Transaksi Barang Total Total Berjalan berjalan Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 109

128 Tabel Produsen dan Kapastas Industri Oleokimia Nasional (dalam 1000 ton) Fatty Fatty No. Perusahaan Acid Alcohol Glycerol 1 PT Ecogreen (Medan & Batam) PT Sumiasih, Bekasi PT SOCI MAS, Medan PT Flora Sawita Chemindo, Medan PT Musim Mas, Medan PT Domba Mas, Kuala Tanjung Wilmar Group, Gresik PT Nubika Jaya, Kisaran PT Cisadane Raya Chemical, Tanggerang Total Sumber: BPS Terkonsentrasinya industri oleokimia di Sumatera Utara mungkin berkaitan dengan sejarah kelapa sawit nasional yang dimulai dari Sumatera Utara. Meskipun saat ini sentra utama produksi CPO nasional (urutan pertama) adalah Riau, tampaknya industri hilir (oleokimia) terbesar masih di Sumatera Utara. Di masa yang akan datang, diperkirakan Riau akan menjadi sentra utama industri hilir (oleokimia). Mengingat industri ini merupakan industri antara, faktor ketersediaan bahan baku yakni CPO dan PKO menjadi pertimbangan penting bagi pengusaha dalam memilih lokasi investasi industri oleokimia. Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar Indonesia. Produksi oleokimia dasar di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (gambar 3.18) baik fatty acid, fatty alcohol, maupun glycerol. Pangsa fatty acid merupakan yang tertinggi dalam produksi oleokimia Indonesia setiap tahun. 110 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

129 Ribu Ton Ribu Ton 1,600 1,400 1,200 1, Fatty Alcohol Glyserol Fatty Acid Fatty Acid ,39 10,78 Glyserol ,91 29,49 Fatty Alcohol ,17 30,88 Total ,74 15,35 Sumber: BPS dan Apolin Gambar Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar di Indonesia (ton). Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid. Volume dan nilai ekspor fatty acid (gambar 3.19 dan 3.20). Indonesia juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun meski tengah fluktuasi pada tahun tertentu. Negara tujan ekspor utama fatty acid Indonesia adalah Eropa, India, dan Asia lainnya. Pangsa fatty acid ke China dan Asia lainnya juga bertumbuh dengan pangsa yang meningkat Eropa Amerika Afrika Asia Lainnya China India Gambar Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara Tujuan (Ton). Sumber: BPS dan Apolin II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 111

130 Ribu Ton Ribu Ton Eropa Amerika Afrika Grafik Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara Tujuan (US$'000) Asia Lainnya China India Sumber: BPS dan Apolin Gambar Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid (US $ 000). Perkembangan Volume Ekspor Glycerol. Volume dan nilai ekspor glycerol Indonesia juga mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun (gambar 3.21 dan gambar 3.22). Negara tujuan ekspor utama glycerol adalah China, Asia, dan Amerika Serikat, dengan pangsa yang makin besar (bertumbuh). Sedangkan negara tujuan ekspor glycerol ke Jepang pangsanya cenderung turun Amerika Serikat Australia Eropa Amerika Afrika Asia Lainnya China Jepang Sumber: BPS dan Apolin Gambar Perkembangan Volume Glyserol Menurut Negara Tujuan (Ton) 112 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

131 Ribu Ton juta USD Australia Eropa Amerika Afrika Asia Lainnya Korea Selatan Amerika Serikat China Jepang Sumber: BPS dan Apolin Gambar Perkembangan Volume Ekspor Glyserol Menurut Negara Tujuan Perkembangan Volume Ekspor Fatty Alcohol. Volume dan nilai ekspor fatty alcohol secara konsisten meningkat dari tahun ke tahun (gambar 3.23 dan 3.24). Negara tujuan utama ekspor fatty alcohol Indonesia mencakup China, Asia lain, Amerika Serikat, Afrika dan Belanda. Pangsa ekspor fatty acid alcohol ke Belanda dan asia lainnya bertumbuh sangat cepat Eropa Lainnya Amerika Lainnya Afrika Asia Lainnya Belanda Singapura China Amerika Serikat Sumber: BPS dan Apolin Gambar Perkembangan Volume Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara Tujuan (ton). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 113

132 Ribu Ton Juta USD Eropa Amerika Lainnya Afrika Asia Lainnya Belanda Singapura China Amerika Serikat Sumber: BPS dan Apolin Gambar Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara Tujuan Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor oleokimia dasar pada saat tertentu (gambar 3.25 dan 3.26), namun cenderung menurun. Impor fatty acid dan fatty alcohol merupakan oleokimia dasar yang banyak di impor oleh Indonesia Glyserol Fatty Alcohol Fatty Acid Sumber: BPS dan Apolin Gambar Perkembangan Volume Impor Oleokimia GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

133 Juta USD Glyserol Fatty Alcohol Fatty Acid Sumber: BPS dan Apolin Gambar Perkembangan Volume Impor Oleokimia Konsumsi oleokimia dasar di Indonesia secara konsisten mengalami peningkatan (gambar 3.26). Konsumsi fatty alcohol pangsanya cenderung meningkat, sementara glysecor maupun fatty acid cenderung stabil. Peningkatan konsumsi oleokimia tersebut mencerminkan bahwa didalam negeri telah berkembang industri pengguna oleokimia dasar (hilirisasi oleokimia) Industri Sabun/Detergen Indonesia berada di daerah tropis memiliki gaya hidup yang mungkin berbeda dengan masyarakat di negara beriklim dingin/subtropis. Iklim tropis yang panas dengan kelembaban tinggi, memerlukan gaya hidup mandi secara teratur. Hal ini memerlukan sabun, baik sabun mandi (toilet soap), sabun cuci (wash soap) maupun sabun detergen. Semakin besar penduduk semakin besar kebutuhan sabun tersebut. Gaya hidup yang demikian, telah mendorong tumbuh berkembangnya industri sabun di Indonesia. Pada awal perkembanganya, bahan baku pembuatan sabun berasal dari minyak kelapa (untuk sabun mandi dan cuci) dan produk turunan petrokimia (detergen). Namun belakangan akibat kelangkaan minyak kelapa dan alasan kesehatan lingkungan (petrokimia) bahan baku beralih ke minyak sawit yang lebih murah, sehat dan bersahabat dengan lingkungan (biodegradable). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 115

134 Tabel Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Sabun Mandi dan Detergen di Indonesia Daerah Jumlah Kapasitas Produksi (ton/tahun) Perusahaan Sabun Mandi Sabun Detergen Cuci Sumatera Utara Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah Jawa Timur Total Sumber: BPS Jumlah perusahaan dan kapasitas produksi industri sabun di Indonesia disajikaan pada Tabel 3.19 dan gambar Pada umumnya lokasi industri sabun di Indonesia lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen. Dari sekitar 925 ribu kapasitas industri sabun mandi di Indonesia sekitar 88% berada di pusat-pusat konsumen seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya 22% berada di sentra produsen bahan baku yakni di Sumatera Utara dan Lampung. Sumatera Utara 5% Jawa Barat 4% Jawa Tengah 0% DKI Jakarta 35% Banten 0% Jawa Timur 56% Sumber: Kementerian Perindustrian Gambar Penyebaran dan Kapasitas Produksi Sabun dan Detergen, 116 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

135 Ribu Ton Sabun& Detergen Gambar Perkembangan Produksi Sabun dan Detergen Indonesia Tahun Hal yang relatif sama juga terjadi pada industri sabun cuci dan detergen. Dari kapasitas industri sabun cuci sebesar 122 ribu ton, 78% berada di sentra-sentra konsumen. Bahkan pada industri detergen, sekitar 99 % berada di sentra-sentra konsumen terutama DKI Jakarta. Dalam periode tahun , produksi sabun dan detergen Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 3.28). Sabun cuci meningkat dari sekitar 240 ribu ton tahun 2000 menjadi sekitar 290 ribu ton tahun Demikian juga sabun mandi, meningkat dari sekitar 869 ribu ton menjadi 690 ribu ton pada periode yang sama. Berbeda dengan sabun cuci atau detergen, orientasi pasar dari produksi sabun mandi mengalami perubahan. Pada tahun , sebagian besar produksi sabun mandi dipasarkan ke dalam negeri, namun setelah tahun tersebut sebagian besar beralih ke pasar ekspor. Dengan kata lain, produksi sabun mandi Indonesia makin cenderung melihat pasar ekspor. Hal ini sedikit berbeda dengan produksi sabun cuci di mana sebagian besar produksinya ditujukan untuk pasar domestik. Namun, terdapat kecenderungan bahwa pangsa produksi untuk tujuan pasar ekspor cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan produksi detergen lebih dari 90% ditujukan untuk pasar domestik (Gambar 3.29). Hanya relatif sedikit untuk dipasarkan ke luar negeri (ekspor). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 117

136 Gambar Domestik Ekspor 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Perkembangan Produksi dan Tujuan Pasar Industri Sabun Indonesia Negara tujuan ekspor sabun mandi Indonesia umumnya adalah negara-negara Asia, Timur-Tengah dan Afika. Sepuluh negara tujuan ekspor sabun mandi terbesar adalah Singapura, Malaysia, Nigeria, Djibouti, Mesir, India, Irak, Ethiopia dan Autralia. Sementara negara tujuan ekspor sabun cuci terbesar adalah Angola, Ethiopia, Uni Emirat Arab, Djbouti, India dan Malaysia. Sedangkan negara tujuan ekspor detergen Indonesia adalah terutama Jepang, Malaysia dan Singapura. Dengandemikian,meskipunvolumeeksporsabun/detergenIndon esia masih tergolong kecil, negara tujuan ekspor telah terdiversifikasi sedemikian rupa sehingga tidak tergantung pada beberapa negara saja. Dalam jangka panjang hal ini memudahkan Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor sabun/detergen karena sudah dikenal di banyak negara. Sumatera Utara 4% Jawa Barat 4% Riau 81% DKI Jakarta 1% Banten 0% Jawa Timur 8% Kalimantan Timur 2% Sumber: Aprobi (2009) Gambar Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Biodiesel di Indonesia, 118 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

137 Ribu kl Ribu Ton Industri biodiesel. Industri biodiesel merupakan industri hilir minyak sawit yang masih tergolong baru di Indonesia. Industri ini memiliki momentum untuk tumbuh-berkembang setelah harga BBM fosil mengalami kenaikan yang signifikan di pasar dunia khususnya setelah tahun Selain itu, keprihatinan dunia akan pemanasan global yang terutama akibat emisi CO 2 dari konsumsi BBM fosil juga ikut merangsang tumbuhnya industri biofuel di seluruh dunia termasuk di Indonesia Biodiesel Gambar Perkembangan Produksi Biodiesel Indonesia Tahun Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaannya di 6000 Indonesia Konsumsi Ekspor Produksi Gambar Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaanya di Indonesia II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 119

138 Tabel Produsen dan Kapasitas Industri Biodiesel di Indonesia No. Nama Perusahaan Lokasi Kapasitas (ton/tahun) 1 PT Alia Mada Perkasa Kosambi, Tangerang 2 PT Anugrah Inti Gemanusa Gresik PT Bioenergi Pratama Jaya Kab. Kutai Timur 6000 Kab. Berau PT Cemerlang Energi Perkasa Dumai, Riau PT Damai Sejahtera Sentosa Rungkut, Surabaya Cooking 6 PT Darmex Biofuel Bekasi PT Energi Alternatif Jakarta Utara PT Eternal Buana Chemical Cikupa, Tangerang Industries 9 PT Eterindo Nusa Graha Gresik PT Indo Biofuels Energi Merak PT Multikimia Intipelangi Bekasi Musim Mas Group Kab. Deli Serdang Batam PT Pasadena Biofuels Mandiri Ciakarang PT Pelita Agung Agrindustri Bengkalis, Riau PT Petro Andalan Nusantara Dumai, Riau PT Primanusa Palma Energi Jakarta Utara PT Sintong Abadi Kab. Asahan PT Sumi Asih Bekasi PT Wahana Abdi Tritatehnika Sejati Cileungsi, Bogor PT Wilmar Bio Energi Indonesia Dumai, Riau TOTAL Sumber: BPS Menurut data Asosiasi Produsen Biodisel Indonesia (2009) kapasitas industri biodiesel Indonesia sudah mencapai sekitar 3 juta ton per tahun (gambar 3.30 dan tabel 3.20). Industri ini terbesar di Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Dengan kapasitas yang demikian, industri biodiesel nasional sudah mampu memasok setidak-tidaknya 3 juta ton biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri. Realisasi produksi biodiesel Indonesia sejauh ini belum diperoleh data yang akurat. Dengan Indonesia sebagai produksi CPO terbesar di dunia, sebenarnya Indonesia juga akan mampu menjadi produsen biofuel terbesar dunia. Dari produksi perkebunan kelapa sawit saja, Indonesia dapat menghasilkan biopremium, biogasolin, biopertamax dan biosolar 120 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

139 jika serius mengembangkanya. Produk biofuel tersebut selain dapat diperbaharui (renewable energi) juga ramah lingkungan (environment friendly). Masalah utama pengembangan biofuel di Indonesia adalah political will dan konsistensi kebiakan energi nasional, dan bukan masalah teknologi apalagi bahan baku. Seharusnya subsidi BBM fosil sesegera mungkin dicabut dan dialihkan untuk subsidi biofuel (untuk sementara) dan dalam jangka waktu tertentu dicabut secara bertahap, sehingga konsumen memiliki waktu untuk menyesuaikan diri. Tabel Perkembangan Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir di dalam Negeri Tahun Minyak Goreng Kebutuhan CPO untuk Industri (Ton) Oleokimia Margarine Sabun Biodiesel Total ,691, ,554 33, ,167 2,548, ,214, ,279 36, ,360 3,096, ,391, ,351 39, ,946 3,274, , ,758 41, ,699 3,400, ,887, ,709 42, ,872 3, ,494, ,378 49, ,132 4,558, ,610, ,361 53, ,829 78,000 4,776, ,843, ,447 53, , ,000 5,279, , ,420 57, , ,000 6,221, ,864, ,390 62, , ,000 6,473, , ,460 67, , ,000 7,700, ,155, ,733 72, ,479 1,890,000 9,370, ,089, ,094 73, ,887 2,640,000 10,076, ,468,303 1,034,277 76, ,002 2,640,000 10,500, Evolusi Kebijakan Pemerintah Perkembangan agrobisnis minyak sawit sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, khususnya sejak tahun Kebijakan ekonomi yang dimaksud baik kebijakan yang secara langsung ditujukan pada agrobisnis minyak sawit maupun kebijakan secara tidak langsung yakni dalam kerangka pengelolaan makro ekonomi, termasuk dalam perdagangan internasional. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 121

140 Kebijakan pemerintah yang secara langsung ditujukan pada agrobisnis minyak sawit antara lain kebijakan alokasi penggunaan CPO untuk kebutuhan domestik yang disertai dengan kebijakan harga CPO maksimum, kebijakan Perkebunan Inti Rakyat dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), dan kebijakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya. Meskipun pangsa pengeluaran konsumen minyak goreng di Indonesia relatif kecil (sekitar 4% dari pengeluaran total), sehingga konstribusinya dalam laju inflasi relatif kecil, intervensi pemerintah pada agrobisnis minyak sawit cukup intensif agar harga minyak goreng relatif murah di Indonesia. Hal ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, apakah kebijakan yang demikian masih perlu dipertahankan ke depan. Kebijakan PIR dan PBSN. Keberhasilan Indonesia menjadi produsen CPO terbesar dunia tahun 2006 di mana sekitar 40% bersumber dari perkebunan rakyat, tidak datang sendiri melainkan hasil dari (by design) kebijakan ekonomi benar dalam agrobisnis minyak sawit. Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan Pengembangan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yang oleh banyak pihak diakui keberhasilannya. Dalam kebijakan PIR, yang bertindak sebagai inti adalah perkebunan negara (BUMN) dan perkebunan swasta. Sedangkan plasma adalah (calon- calon) perkebunan rakyat. Tugas dan tanggung jawab inti antara lain membangun dan memelihara kebun-kebun calon plasma, mempersiapkan, dan membina kemampuan calon plasma sejak awal pembangunan kebun, serta ikut memelihara dan mengelola kebun di bawah bimbingan inti. Mengingat peran inti sangat penting dalam keberhasilan PIR, perlu terlebih dahulu dilakukan penyehatan dan penguatan inti, melalui kebijakan bantuan pembiayaan (fasilitas kredit) yang dimulai pada 7 (tujuh) BUMN/Perusahaan Besar Swasta Nasional (tahun ). Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan fasilitas kredit (modal dengan suku bunga murah) kepada perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) I ( ), dilanjutkan dengan PBSN II ( ), dan PBSN III ( ). Simultan dengan kebijakan penyehatan dan penguatan inti tersebut, tahun 1978 dimulailah PIR pertama yang dibiayai oleh Bank Dunia yang dikenal dengan proyek Nucleus estate and small holders (NES), mulai dari NES I sampai NES VII. Keberhasilan NES tersebut memberi keyakinan pada pemerintah untuk melanjutkan dan memperluas pola PIR dengan pendanaan dalam negeri (APBN) yakni 122 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

141 PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia pada tahun Melalui serangkaian pola PIR tersebut, berkembang sekitar ha perkebunan kelapa sawit baru yakni kebun inti ( ha) dan kebun plasma ( ha). Melalui PIR inilah perkebunan rakyat ikut dalam agrobisnis minyak sawit nasional di mana sebelum tahun 1980 pelaku agrobisnis minyak sawit hanya ada perusahaan negara dan swasta. Pengalaman keberhasilan pelaksanaan PIR tersebut dan dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program transmigrasi, pemerintah mengombinasikan pola PIR dengan program transmigrasi melalui pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) sejak tahun Pada Pola PIR-Trans, perusahaan swasta bertindak sebagai inti dan petani transmigrasi sebagai plasma. Kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan pada 11 provinsi dan berhasil menumbuhkembangkan perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar di mana 70% kebun plasma dan 30% kebun inti. Berkembangnya sentra-sentra baru perkebunan kelapa sawit melalui PIR-Trans, tidak melupakan pengembangan PIR lokal sebelumnya yang mengilhami PIR-Trans. Sejak Tahun 1996, PIR lokal dikembangkan (naik kelas) baik dari segi pembiayaan maupun dari segi kelembagaan yang dikaitkan dengan pengembangan koperasi yang dikenal dengan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya). PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di sekitar perkebunan kelapa sawit (swasta, negara) yang telah ada. Melalui kebijakan PIR dengan berbagai variasi pelaksanaannya, telah membawa perubahan revolusioner dalam agrobisnis minyak sawit di Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit. Luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari hanya sekitar 294 ribu ha tahun 1980, menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 atau meningkat hampir 20 kali lipat. Hal yang lebih revolusioner lagi adalah meningkatnya perkebunan rakyat dari hanya 6 ribu hektar menjadi 1,1 juta hektar atau hampir 200 kali lipat dalam periode yang sama. Melihat keberhasilan kebijakan PIR yang menghasilkan percepatan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ternyata membangun kepercayaan (trust) baru kepada agrobisnis minyak sawit, baik investor, individu masyarakat, maupun dunia perbankan. Hal ini tercermin dari peningkatan luas perkebunan kelapa sawit yang cepat setelah tahun 2000 di mana tidak ada lagi fasilitas bantuan pemerintah. Dalam waktu 10 tahun ( ), perkebunan kelapa sawit Indonesia naik dari 4,1 juta hektar menjadi sekitar 8 juta II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 123

142 hektar atau naik dua kali lipat. Peningkatan yang cepat terjadi pada perkebunan rakyat yang meningkat sekitar 3 kali lipat dari 1,1 juta hektar menjadi 3,3 juta hektar pada periode yang sama. Pada tahun 2006 pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (Permenkeu No:117/PMK.06/2006) untuk rakyat. Namun demikian, sebagian besar masyarakat dari percepatan luas perkebunan kelapa sawit selama periode diperkirakan dimotori oleh kepercayaan investor baru (perusahaan, individu) dan perbankan pada agrobisnis minyak sawit. Apalagi dalam periode tersebut harga minyak sawit dunia makin membaik sehingga memberi keyakinan bahwa investasi di perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan. Kebijakan PIR dan PBSN di atas, dapat dikategorikan sebagai kebijakan ekonomi yang sukses (success policies). Kebijakan tersebut bergerak dari fase bantuan modal, kemudian naik kelas menjadi fase subsidi modal dan kemudian menuju fase modal komersial (mandiri). Dikatakan sebagai kebijakan sukses karena berbagai alasan. Pertama, kebijakan tersebut berhasil (meningkatkan luas perkebunan khususnya perkebunan rakyat sesuai dengan target/sasaran kebijakan). Kedua, kebijakan tersebut berhasil secara bertahap memperbesar peran dunia usaha dan makin mengurangi tanggung jawab/beban pemerintah sehingga tidak menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah. Ketiga, kebijakan tersebut berhasil menstimulus investasi swasta dan masyarakat sehingga dengan investasi pemerintah yang tidak terlalu besar dikeluarkan, dapat menarik investasi swasta/masyarakat yang jauh lebih besar (triggering effect besar). Keempat, kebijakan tersebut mampu memenuhi kewajibannya dalam pembangunan. Artinya, keberhasilan pemerintah dalam memberdayakan dunia usaha, secara tidak langsung menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan ekonomi seperti penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan lain-lain. Dengan kata lain, kebijakan PIR dan PBSN yang demikian merupakan kebijakan yang bersifat pareto improvement, yakni memberi manfaat bagi semua pihak baik petani/perkebunan rakyat, perusahaan perkebunan swasta dan negara (BUMN), pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan. Manfaat tersebut bahkan juga dinikmati masyarakat dunia baik melalui ketersediaan minyak nabati yang lebih murah maupun jasa lingkungan yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit. 124 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

143 Kebijakan Alokasi dan Harga Maksimum CPO Domestik. Pada periode tahun , pemerintah pernah menempuh kebijakan pengalokasian dan harga CPO domestik. Tujuan kebijakan waktu itu adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng yang saat ini mengalami kekurangan bahan baku dari kelapa/kopra. Pada awalnya ( ) pemerintah menetapkan harga pembelian CPO bagi industri minyak goreng dangan harga Rp120 per kg. Namun karena tidak efektif, melalui SKB Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi) No: 275/ KPB/XII/1978, 252/M/SK/12/1978, 764/KPTS/UM/1978 tanggal 16 Desember 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengharuskan penggunaan produksi CPO domestik diutamkan untuk kebutuhan dalam negeri dan dengan harga CPO ditetapkan pemerintah secara periodik (tiga bulan sekali) oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi pada waktu itu. Dengan kebijakan pengaturan harga (harga maksimum) CPO domestik, harga penetapan CPO berubah dari Rp120/kg (pertengahan tahun 1978) berubah menjadi Rp198/kg sampai akhir tahun Kemudian diubah tiga bulan sekali sampai dengan awal tahun 1991 menjadi Rp550/kg. Selain menetapkan harga CPO domestik, pemerintah juga mengharuskan penggunaan produksi CPO di Indonesia diutamakan untuk kebutuhan dalam negeri, baik untuk industri minyak goreng maupun industri lain. Kebijakan pengutamaan pasar domestik ini bukan hanya berlaku bagi CPO tetapi juga berlaku untuk palm kernel oil (PKO). Dampak dari kebijakan tersebut adalah pangsa untuk ekspor CPO mengalami penurunan dan untuk konsumsi domestik meningkat. Bila sebelum tahun 1978 sebagian besar produksi CPO Indonesia adalah untuk tujuan ekspor, setelah tahun 1978 berangsur-angsur turun (Tabel 9.2). Hal yang sama juga terjadi pada PKO, pangsa untuk ekspor makin menurun dan pangsa untuk konsumsi domestikmeningkat. Dengan kata lain, untuk pertama kali dalam sejarah agrobisnis minyak sawit Indonesia terjadi perubahan drastis dalam orientasi pasar, yakni semula berorientasi ekspor (export orientation) yakni sebelum tahun 1978, menjadi berorientasi pada pasar domestik (domestik market orientation). Dengan perubahan orientasi pasar yang demikian, berarti Indonesia meninggalkan pasar ekspornya baik CPO maupun PKO. Hal ini tercemin dari penurunan pangsa Indonesia dalam pasar ekspor CPO II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 125

144 dunia yang semula (sebelum tahun 1978) memiliki pangsa di atas 10%, turun menjadi di bawah 10% setelah tahun Pasar ekspor yang ditinggalkan Indonesia ini kemudian diambil alih Malaysia yang secara konsisten berorientasi ekspor. Apakah kebijakan pengutamaan pasar domestik yang disertai dengan penetapan harga maksimum berhasil? Hal ini menarik untuk didesikasikan lebih lanjut. Bila diperhatikan, data harga CPO penetapan pemerintah dengan harga CPO aktual di dalam negeri selama masa periode kebijakan tersebut menunjukan hal-hal yang menarik. Pertama, harga CPO aktual di pasar domestik pada umumnya di atas harga CPO penetapan pemerintah (harga maksimum) baik dalam rupiah maupun dalam dolar Amerika Serikat. Kedua, terjadi disparitas harga CPO antara pasar domestik (aktual) dengan harga ekspor (f.o.b Belawan) yang cukup besar apalagi dibandingkan dengan harga dunia (Rotterdam). Disparitas harga CPO antara harga aktual di pasar domestik dengan harga yang ditetapkan pemerintah mengindikasikan terjadinya penyelundupan (smugling) dari pasar domestik ke luar negeri. Hal ini dimungkinkan karena adanya intensif yang cukup besar yakni disparitas harga CPO antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga ekspor. Volume CPO yang diselundupkan keluar negeri ini diperkirakan cukup besar sedemikian rupa, sehingga melalui mekanisme di pasar domestik, harga aktual menjadi lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah. Kemudian, disparitas harga CPO antara pasar ekspor (f.o.b. Belawan) dengan pasar dunia (Rotterdam) yang cukup besar, mengindikasikan bahwa kebijakan orientasi pasar domestik yang ditempuh pemerintah waktu itu juga dimanfaatkan oleh para pedagang perantara/pembeli CPO internasional dengan cara menekan harga pembelian CPO dari Indonesia. Kebijakan orientasi pasar domestik tersebut dibaca para pemain CPO dunia sebagai ketidakpastian supply CPO dari Indonesia, sehingga direspons dengan cara menekan harga (manage risk). Lantas siapa yang diuntungkan dengan kebijakan tersebut? Apakah kebijakan tersebut efektif menjaga stabilitas minyak goreng domestik sebagaimana tujuan kebijakan? Untuk menjawab hal ini mari kita lihat perkembangan harga minyak goreng dalam negeri dalam kurun waktu tahun Harga minyak goreng di Indonesia mengalami fluktuasi selama periode tahun Tingkat penurunan harga minyak goreng tertinggi terjadi tahun 1990 yakni 18%. Sedangkan kenaikan tertinggi terjadi tahun 1983 yang mencapai 24%. Secara keseluruhan, rata-rata 126 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

145 kenaikan harga minyak goreng di Indonesia selama kebijakan tersebut mencapai 6,4%, atau kurang lebih sama dengan laju inflasi selama periode tersebut. Dengan demikian, kebijakan tersebut gagal menjaga stabilitas minyak goreng di dalam negeri. Tomich dan Mawardi (1995) menganalisis dampak kebijakan tersebut selama periode tahun mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut merugikan produsen dan konsumen. Kebijakan tersebut menciptakan proteksi nasional sampai 9% pada perkebunan kelapa sawit. Sementara konsumen minyak goreng membayar 6%-12% di atas harga paritas impor minyak goreng. Selama periode saja, total kerugian konsumen mencapai Rp880 miliar dan kerugian produsen Rp387 miliar. Selain itu, Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh devisa yang cukup besar dan kehilangan pasar di pasar dunia Kebijakan Pajak Ekspor Minyak Sawit. Sebagai bagian dari paket deregulasi, pada waktu itu dikenal sebagai paket deregulasi Juni tahun 1991 (Pakjun 91), pemerintah mengubah kebijakan perdagangan minyak sawit di dalam negeri. Perubahan yang dimaksud mencakup 3 aspek yakni, (1) Penerapan pajak ekspor minyak sawit dan produk turunannya, (2) Pengelolaan buffer-stock CPO oleh Badan Urusan Logistik (BULOG) dan memberikan subsidi impor olein bila diperlukan, dan (3) Melanjutkan kebijakan penggunaan 80% produksi CPO perkebunan sawit negara (PTP) untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga di bawah harga pasar. Kebijakan pasar ekspor yang ditetapkan bersifat variable, yang tergantung pada perkembangan harga minyak sawit dan turunannya di pasar dunia. Waktu itu ditetapkan harga dasar (HD) harga tertinggi yang tidak dikenakan pajak dan harga ekspor (HE) yakni harga ekspor FOB Belawan. Tingkat tarif ditetapkan dan tergantung pada selisih HE dengan HD. Formula Pajak Ekspor (PE) untuk persatuan volume dalam rupiah adalah PE = tarif x (HE-HD) x KURS. Kebijakan tersebut untuk pertama sekali ditetapkan melalui SK Menteri Keuangan No: 434/KMK 0.17/1994 tanggal 31 Agustus 1994 Formula Perhitungan PE berdasarkan SK tersebut disajikan pada Tabel II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 127

146 Tabel Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk Turunan Berdasarkan SK Menkeu No: 434/KMK 0.17/1994 Tanggal 31 Agustus 1994 Tingkat Harga (US$/ton) Pajak Ekspor (%) 1. Crude Palm Oil (CPO) *Harga Dasar 435 0% * Harga Ekspor FOB 0% a % (HE-HD) b % (HE-HD) c % (HE-HD) d % (HE-HD) e % (HE-HD) f. Di atas % (HE-HD) 2. RBD Palm Oil * Harga Dasar 460 0% * Harga Ekspor FOB 0% a % (HE-HD) b % (HE-HD) c % (HE-HD) d % (HE-HD) e % (HE-HD) f. Di atas % (HE-HD) 3. CRD Olein * Harga Dasar 0% * Harga Ekspor FOB 0% a % (HE-HD) b, % (HE-HD) c % (HE-HD) d % (HE-HD) e % (HE-HD) f. Di atas % (HE-HD) 4.RBS Olein * Harga Dasar 0% * Harga Ekspor FOB 0% a % (HE-HD) b % (HE-HD) c % (HE-HD) d % (HE-HD) e % (HE-HD) f. Di atas % (HE-HD) Harga Ekspor (HE) tersebut ditetapkan setiap bulan oleh Menteri Keuangan baik untuk CPO, maupun produk turunanya RBD Olein, CRD Olein, dan RBD Palm Olein. Pada bulan September 1994, misalnya melalui SK Menteri Keuangan No: 440/MK.017/1994 tanggal 31 Agustus 1994 menetapkan HE CPO (US$ 540/ton), RBD Palm Oil (US$ 591/ ton), CRD Olein (US$ 612/ton) dan RBD Olein (US$ 642/ton). Realisasi kebijakan pajak ekspor misalnya dalam periode September 1994 sampai dengan November 1995 (Tabel 9.6) 128 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

147 menunjukan bahwa pajak ekspor CPO mencapai 11,9% dari harga ekspor CPO, atau sekitar US$ 72/ton CPO yang diekspor. Untuk RBD Palm Oil mencapai 12.4% dari harga ekspor RBD Palm Oil atau sekitar US$ 79/ton. Sementara untuk produk CRD olein, pajak ekspor mencapai 15,4% atau US$ 97/ ton yang diekspor. Untuk RBD olein, pajak ekspor mencapai 14,8% atau sekitar US$ 99/ton RBD olein yang diekspor. Dengan demikian, kebijakan pajak ekspor tersebut akan menghasilkan pajak yang lebih tinggi pada produk turunan (olahan) daripada pajak ekspor bahan mentah (CPO). Pajak ekspor RBD Olein lebih tinggi dari CRD Olein. Demikian juga pajak ekspor CRD olein lebih tinggi daripada RBD Palm Oil dan pajak ekspor RBD Palm Oil lebih tinggi daripada pajak ekspor CPO. Dengan tingkat pajak ekspor yang demikian, di mana pajak ekspor produk turunan lebih tinggi daripada pajak ekspor bahan baku (CPO), tidak memberi intensif untuk industrialisasi (pengolahan lebih lanjut) di dalam negeri. Apakah kebijakan yang demikian menguntungkan konsumen minyak goreng dalam negeri?. Secara teoritis, kebijakan pajak ekspor yang demikian menciptakan distorsi ekonomi yang secara neto mengurangi/menurunkan kesejahteraan masyarakat keseluruhan. Kebijakan tersebut meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan kesejahteraan konsumen minyak goreng. Namun, mengurangi/menurunkan penerimaan devisa dan pendapatan para usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat. Dapat dipastikan bahwa peningkatan pendapatan pemerintah dan peningkatan kesejahteraan konsumen minyak goreng di dalam negeri lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang dialami perkebunan kelapa sawit. Hasil Studi Larson (1996) untuk periode tersebut membuktikan teoritis tersebut. Nilai penurunan pendapatan usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat di dalamnya, lebih besar daripada nilai pajak ekspor yang diterima pemerintah ditambah dengan manfaat (consumer surplus) yang dinikmati konsumen minyak goreng di dalam negeri. Selain itu, nilai penurunan penerimaan ekspor akibat kebijakan tersebut jauh lebih besar dari pajak ekspor yang diterima pemerintah. Dengan kata lain, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara keseluruhan menurunkan kesejahteraan masyarakat (worse-off). Mereka yang menikmati peningkatan manfaat (better-off) yakni pemerintah dan konsumen, lebih kecil (dalam ukuran moneter) dibandingkan dengan kerugian (worse-off) yang dialami para pelaku perkebunan kelapa sawit termasuk di dalamnya perkebunan rakyat skala kecil. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 129

148 Selain itu, dilihat dari segi kemudahan perhitungan tarif, kebijakan penetapan pajak ekspor yang demikian cukup rumit karena harus terlebih dahulu menetapkan harga tertinggi (HD) tidak dikenakan tarif untuk masing-masing produk dan menetapkan harga ekspor. Kelemahan lainnya adalah pajak ekspor produk olahan lebih tinggi daripada bahan baku (CPO) sehingga tidak ada intensif untuk mengolah CPO di dalam negeri. Dalam rangka diregulasi 7 Juli 1997, pemerintah akhirnya mengubah kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dan produk turunanya. Melalui keputusan Menteri Keuangan No: 300/ KMK.01/1997 kebijakan pajak ekspor diubah menjadi pajak advalorem yakni %tase tertentu dari nilai ekspor yang diterapkan semula berkisar 10%-12%, kemudian berubah secara periodik dan pada juli 1998 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pajak ekspor mencapai 60%, lalu diturunkan menjadi 40% sampai Juni 1999 dan menjadi 10% pada September Sampai Februari 2001, pajak ekspor sudah tinggal 5% dan menjadi 3% pada tahun 2002 sampai Setelah tahun 2005, kebijakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya semakin intensif baik dilihat dari cakupan produk maupun besaran tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 92/ PMK-02/2005 cakupan pajak ekspor mencakup 5 jenis. Selain 4 jenis sebelumnya, komoditi buah dan inti sawit dikenakan pajak ekspor sebesar 3%. Kemudian, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 61/ PMK.001/2007 kebijakan pajak ekspor diperluas menjadi 9 jenis produk/komoditi dengan kisaran pajak ekspor 6,5%-10%. Melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 72/PMKO11/2011 diperluas menjadi 14 jenis produk dengan kisaran pajak ekspor 0%-40% (buah dan inti sawit dikenakan pajak tertinggi yakni 40%). Perhitungan pajak ekspor (advalorem) didasarkan pada formula: Tarif x Nilai ekspor FOB x KURS. KebijakanpajakeksporCPOdanprodukturunannyamakinintensif lagi, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 223/PMK.011/2008 tanggal 17 Desember Setidak ada tiga perubahan dari pajak ekspor sejak tanggal 17 Desember 2008 tersebut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya: (1) Cakupan produk yang dikenakan pajak ekspor mencakup 15 jenis termasuk RBD Olein dalam kemasan; (2) Besarnya pajak ekspor (advalorem) didasarkan pada kisaran harga referensi masing-masing jenis produk, di mana semakin meningkat harga referensi, pajak ekspor juga akan semakin meningkat (progressive advalorem tax), dan (3) Harga Patokan Ekspor (HPE) ditetapkan secara periodik. 130 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

149 Harga Patokan Ekspor (HPE) adalah harga patokan yang ditetapkan secara periodik oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan setelah berkoordinasi dengan menteri/ kepala lembaga pemerintah non kementerian/kepala badan teknis terkait. HPE ini ditetapkan denan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB satu bulan terakhir sebelum penetapan HPE. HPE ini merupakan dasar penghitungan/penetapan harga ekspor dalam perhitungan bea keluar. Sedangkan harga referensi (HR) merupakan harga rata-rata internasional komoditi/tertentu (CIF Rotterdam, bursa Malaysia, bursa Jakarta) satu bulan sebelum penetapan HPE. Harga referensi ini digunakan untuk menghitung tarif bea keluar. Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.128/ PMK.011/2011 tanggal 15 Agustus 2011, cakupan produk diperluas menjadi 29 jenis produk dan besaran tarif didasarkan pada harga referensi masing-masing produk. Menteri Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No: 22/M-DAG/PER/8/2011 dan No: 26/M- DAG/PER/8/2011 menetapkan HPE masing-masing produk berlaku 1 September-30 September Ringkasan ketiga peraturan menteri tersebut disajikan pada. Harga patokan ekspor dan besaran tarif tersebut akan selalu mengalami perubahan tergantung pada perubahan harga produkproduk tersebut di pasar internasional. Tujuan kebijakan pajak ekspor tersebut adalah untuk stabilisasi harga minyak goreng sawit dan percepatan pengembangan industri hilir (hilirisasi) di dalam negeri. Secara umum, kebijakan pajak ekspor tersebut telah lebih rasional dibandingkan dengan kebijakan pajak sebelumnya. Besaran tarif untuk produsen yang belum diolah dan produk akhir sudah dibedakan. Pajak ekspor buah dan inti sawit lebih besar dibandingkan dengan CPO dan CPKO. Demikian juga pajak ekspor CPO dan CPKO lebih tinggi dibandingkan dengan produk-produk olahan lebih lanjut. Di sisi ini, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara teoritis dapat mendorong hilirisasi di dalam negeri dan stabilisasi harga minyak goreng domestik. Berbagai studi (Susila 2004; Obado, dkk. 2009; Purba 2011) mengungkapkan bahwa selain meningkatkan penerimaan pemerintah, pajak ekspor dapat menurunkan harga CPO domestik, menaikkan konsumsi CPO domestik, meningkatkan produksi minyak goreng domestik, dan meningkatkan kesejahteraan konsumen. Namun, berbagai studi (termasuk di atas) juga mengungkapkan bahwa kebijakan pajak ekspor yang ditempuh pemerintah juga menurunkan II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 131

150 areal tanaman penghasil kelapa sawit, produksi, nilai tambah, ekspor, pendapatan petani kebun, menurunkan penyerapan tenaga kerja, dan produktivitas yang lebih besar. Artinya, tambahan manfaat yang ditimbulkan kebijakan pajak ekspor CPO dan turunannya harus dibayar dengan pengurangan menfaat yang lebih besar dari produsen minyak sawit dan masyarakat yang ikut dalam proses produksi minyak sawit. Pengurangan manfaat tersebut terjadi pada daerah-daerah sentra produksi CPO yang merupakan bagian penting dari pengembangan ekonomi daerah yang sedang difokuskan pemerintah itu sendiri dalam era otonomi daerah. Selain itu, kebijakan pajak ekspor yang berdampak pada penurunan produkivitas perkebunan kelapa sawit juga perlu diperhatikan. Dalam kondisi saat ini terutama ke depan, di mana lahan makin terbatas seharusnya peningkatan produktivitas menjadi andalan Indonesia untuk meningkatkan produksi CPO. Namun, dengan adanya disinsentif (akibat kebijakan pajak ekspor) dapat mengagalkan upaya peningkatan produktivitas tersebut. Lambatnya pertumbuhan produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia selama ini patut diduga karena disinsentif tersebut. Akibatnya, investasi R&D yang dikeluarkan pemerintah juga tidak teradopsi dalam perkebunan kelapa sawit. Dengan catatan dampak kebijakan pajak ekspor sebagaimana diuraikan di atas, cara penetapan pajak ekspor tersebut juga masih memiliki beberapa kelemahan, yakni: (1) Penetapan pajak ekspor CPO dan turunnya secara advalorem mengubah keseimbangan produsen CPO sehingga direspons dengan penurunan produksi. Seharusnya, kebijakan pajak ekspor yang ditempuh didasarkan pada specific tax sehingga tidak mengubah keseimbangan produsen. (2) Penetapan HPE dan tarif bea keluar secara periodik oleh pemerintah menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku agrobisnis minyak sawit seperti perencanaan kontrak-kontrak. Hanya pelaku agrobisnis minyak sawit yang terintegrasi secara vertikal yang tidak menghadapi ketidakpastiaan tersebut, dan (3) Penetapan besaran tarif yang tidak mengikutsertakan variabel perubahan (depresiasi, apresiasi) kurs rupiah dapat mengubah beban produsen minyak sawit (CPO), tergantung pada kecenderungan pengelolaan kurs. Apresiasi mata uang rupiah sama artinya pajak implisit bagi eksportir sehingga bila ditambah dengan tarif nominal yang ditetapkan pemerintah akan menambah pajak ekspor yang menjadi beban produsen/eksportir. Artinya, dalam menentukan tarif bea keluar, variabel depresiasi/apresiasi kurs perlu dipertimbangkan. 132 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

151 Secara keseluruhan, harga CPO FOB dan pasar domestik cenderung mengalami kenaikan selama periode Pola pergerakan harga CPO domestik (dalam US$) mengikuti pola harga FOB. Selain itu, harga CPO domestik berada di bawah harga FOB dengan siparatis yang bervariasi (5%-42) dengan rata-rata 17,5%. Disparatis harga tersebut mencerminkan dampak dari kebijakan pajak ekspor yang ditetapkan selama periode tersebut. Rata-rata disparitas harga antara harga CPO FOB dengan harga CPO domestik (17,5%) lebih tinggi dari rata-rata pajak ekspor CPO dalam periode tahun yang berkisar 1,5%-6,5%. Hal ini dapat dimengerti karena selain pengaruh perubahan kurs, juga dipengaruhi respons masing-masing produsen CPO berbeda-beda (tabel 3.23). Bila diperhatikan, pangsa produksi CPO Indonesia untuk ekspor menunjukkan peningkatan yakni dari sekitar 58% tahun 2000 menjadi 74% tahun 2008 bahkan tahun 2006 mencapai 78%. Meskipun secara absolut meningkat, pangsa untuk konsumsi domestik dengan sendirinya mengalami penurunan dari 41% menjadi 25%. Hal ini menunjukan bahwa kenaikan produksi CPO Indonesia selama periode tersebut sebagian besar ditujukan ke pasar ekspor. Meskipun pemerintah menerapkan pajak ekspor dengan tarif yang cenderung meningkat, produsen CPO masih lebih memilih menjual CPO ke pasar ekspor dengan konsekuensi membayar pajak ekspor daripada menjual ke dalam negeri. Disparitas harga ekspor dengan harga CPO domestik yang lebih tinggi daripada tarif bea keluar tampaknya masih menguntungkan dari sudut pandang produsen CPO. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 133

152 Tabel Harga Patokan Ekspor dan Tarif Bea Keluar Produk-Produk Agribisnis Minyak Sawit 1 September 30 September (Permenkeu: 128/PMK.011/2011, Pemendag: 22/M-DA6- PER/8/11; Pemendag 26/M-DAG/PER/9/2011) Nama Produk HPE Tarif HMKT TR TT (US$/ton) (%) (US$/ton) (%) (%) Buah dan Karnel Kelapa Sawit x Bungkil Kelapa Sawit Crude Palm Oil (CPO) ,5 Crude Palm Karnel Oil (CPKO) ,5 Crude Palm Olein x Crude Palm Strearin Crude Palm Karnel Olein Crude Palm Karnel Strearin Palm Fatty Acid Destilate (DFAD) Hydrogenated Palm Oil (Bulk>20kg) Hydrogenated Karnel Oil (Bulk>20kg) Hydrogenated Palm Olein (Bulk>20kg) Hydrogenated Karnel Olein (Bulk>20kg) Hydrogenated Karnel Olein (Bulk>20kg) Hydrogenated Palm Strearin (Bulk>20kg) RBD Palm Olein x RBD Palm Oil RBD Palm Karnel Oil RBD Palm Karnel Olein RBD Palm Karnel Strearin RBD Palm Sterarin Hydrogenated RBD palm Olein Hydrogeneted RBD Palm Oil Hydrogeneted RBD Palm Karnel Oil Hydrogeneted RBD Palm Karnel Olein Hydrogented RBD Palm Karnel Stearain Hydrogented RBD Palm Strearin BD Palm Oilein Dalam Kemasan Bermerk (>20kg)(270merk) Biodiesel dari minyak sawit (Fatty Acid Methye Ester) ,5 HPE= Harga Patokan Ekspor ; HMKT= Harga Minimum Kuota Tarif ; TR= Tarif Terendah ; TT= Tarif Tertingi 134 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

153 Lantas apakah kebijakan pajak ekspor CPO dapat dikatakan gagal? Tergantung apa indikatornya. Jika indikatornya adalah harga CPO domestik, jelas kebijakan pajak ekspor tersebut berhasil karena harga CPO di pasar domestik lebih rendah (di bawah) harga ekspor CPO. Seandainya tidak ada pajak ekspor, harga CPO domestik akan mendekati harga ekspor atau sama dengan harga peritas ekspor. Lagi pula, kebijakan pajak ekspor tersebut bukanlah kebijakan melarang ekspor CPO. Namun, bila indikatornya adalah hilirisasi, perlu penelitian lebih lanjut mengenai kebijakan tersebut. 3.8 Perkembangan Harga Energi Dunia, Pupuk dan Rasio Harga Pergerakan Harga Energi Dunia, Minyak Mentah Harga minyak mentah dunia telah mengalami peningkatan yang drastis (Gambar 3.33) yakni dari US$ 19,48/barrel Januari 2002 menjadi US$ 110,52/barrel pada Mei Harga minyak mentah dunia tertinggi pernah terjadi pada bulan Juni 2008 yang mencapai US$ 13305/barrel. Bila dilihat pola pergerakan harga bulanan dalam kurun waktu Januari 2002-Mei 2012 menunjukkan bahwa harga minyak dunia mengalami peningkatan dari bulan Januari ke Desember setiap tahun. Harga terendah selalu terjadi pada awal kemudian meningkat terus setiap bulan sampai akhir tahun. Pergerakan harga tertinggi setiap tahun terjadi pada bulan Juni-Oktober setiap tahun. Koefisien variasi (ukuran tingkat risiko) menunjukkan bahwa tingkat risiko harga minyak mentah dunia cenderung berfluktasi. Tingkat risiko harga minyak mentah dunia tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 30.08% dan tahun 2009 mencapai 20.23%. Setelah tahun 2010 sampai Mei 2012, tingkat risiko pada harga minyak mentah dunia cenderung makin kecil yakni 6.91% pada tahun 2010, 6% tahun 2011 dan 5.4% sampai dengan Mei Tingkat risiko setelah tahun 2010 jauh lebih rendah dari tingkat risiko sebelum tahun Hal ini mengindikasikan bahwa keseimbangan pasar minyak mentah dunia mulai tercapai (makin stabil). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 135

154 Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Mentah Dunia (Januari 2002=100) Dengan demikian, dari analisis pergerakan harga minyak mentah dunia tersebut dapat disimpulkan bahwa: Harga minyak mentah dunia semakin meningkat dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, Tingkat risiko yang bersumber dari perubahan harga minyak mentah dunia cenderung semakin menurun, dan harga pada awal tahun selalu lebih rendah dari harga pertengahan maupun akhir tahun. Minyak Diesel. Perkembangan indeks harga diesel dunia secara tahunan disajikan pada gambar Harga nominal minyak diesel dunia meskipun berfluktuasi masih menunjukkan kenaikan baik secara bulanan atau tahunan. Harga nominal minyak diesel mengalami peningkatan dari bulan Januari sampai Desember dengan laju pertumbuhan yang makin melambat dari tahun 2007 sampai Mei Laju pertumbuhan bulanan tahun 2007 mencapai 3.2% perbulan, dan pada tahun 2011 melambat menjadi 0.45% perbulan. Pergerakan indeks harga tahunan cenderung meningkat dalam periode tahun Indeks harga terendah pernah terjadi pada tahun 2009 dan kemudian meningkat lagi sampai Mei Pada tahun 2012 (sampai Mei) harga diesel dunia telah meningkat 94% diatas harga Januari GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

155 Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Diesel Dunia Januari Desember 2012 (Januari 2002=100) Bila dilihat indikator koefisien variasi (indikator tingkat risiko) menunjukkan bahwa tingkat risiko perubahan harga minyak diesel dunia cenderung menurun sejak Januari 2007 sampai Mei Pada tahun 2007 tingkat risiko sebesar 15%, meningkat menjadi 26 % tahun 2008, kemudian turun menjadi 5.38% tahun 2011 dan sampai Mei 2012 tingkat risiko hanya 4%. Bila dianalisis pergerakan harga bulanan setiap tahun menunjukkan pola teratur (kecuali 2008). Pola yang dimaksud adalah bahwa harga pada awal tahun cenderung lebih rendah dari harga pertengahan dan akhir tahun. Pola ini sama dengan pola harga minyak mentah dunia sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: Harga diesel dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun, Harga diesel di awal tahun lebih rendah dari harga akhir tahun dan Tingkat risiko akibat perubahan harga diesel dunia cenderung menurun. Gas Alam Cair. Perkembangan indeks harga tahunan gas alam cair disajikan pada gambar Berbeda dengan energi lain harga gas alam cair dunia mengalami fluktuasi besar dari tahun ke tahun. Dengan kecenderungan yang menurun tingkat risiko berkisar antara 8% sampai sekitar 30%. Pola pergerakan indeks harga bulanan setiap tahun juga berfluktuasi besar, pergerakan harga setiap bulan naik turun sepanjang tahun dengan variasi yang cukup besar. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 137

156 Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Gas Alam Cair Dunia (Januari 2002=100) Pergerakan Indeks Harga Pupuk Pupuk Urea. Perkembangan indeks harga pupuk urea dunia disajikan pada gambar Secara umun, harga pupuk urea dunia mengalami kenaikan yg cepat dari rata-rata US$ 94/ton tahun 2002 menjadi US$ 430/ton tahun 2012 (sampai bulan Mei 2012). Pergerakan harga bulanan setiap tahun cenderung mengikuti pola yang sama (kecuali tahun 2002 dan 2008). Pola yang dimaksud adalah harga pada awal tahun selalu lebih rendah dibandingkan dengan pertengahan dan akhir tahun. Dilihat dari tingkat risiko perubahan harga bulanan (koefisien variasi) setiap tahun, tingkat risiko haga pupuk urea berfluktuasi dari tahun ke tahun. Tingkat risiko paling tinggi terjadi pada tahun 2008 yakni mencapai 40% dan terendah terjadi pada tahun 2009 yakni sebesar 5%. Berbeda dengan tingkat risiko energi dunia, tidak ada tanda-tanda bahwa tingkat risiko harga pupuk urea menurun dari tahun ke tahun. Dengan perkataan lain, risiko dari harga pupuk urea dunia masih cukup besar dan fluktuatif. Dari hasil analisis perkembangan harga pupuk urea dunia menunjukkan bahwa: Harga di awal tahun cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pertengahan dan akhir tahun, serta Tingkat risiko akibat perubahan harga pupuk urea dunia fluktuatif dan belum ada tanda-tanda terjadi kecenderungan penurunan tingkat risiko, dalam kurun waktu GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

157 Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Urea Dunia Januari Desember 2012 (Januari 2002=100) Pupuk rock pospat. Perkembangan harga pupuk Rock Pospat (RP) secara indeks pergerakan harga tahunan disajikan pada gambar Harga RP dunia mengalami kenaikan yang cepat yakni rata-rata US$ 40/ton tahun 2002 menjadi US$ 140/ton tahun Harga tertinggi yang pernah tercapai adalah pada tahun 2008 yaitu sebesar US$ 345/ton. Tingkat risiko perubahan harga RP (koefisien variasi) sangat fluktuatif dengan kisaran 0% sampai 42% dan belum ada kecenderungan makin menurun. Dilihat dari pola pergerakan harga antar bulan setiap tahun tidak menunjukan pola yang tetap seperti pupuk urea. Harga pada awal tahun tidak selalu lebih rendah dibandingkan harga pertengahan dan akhir tahun. Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Rock Pospat (Januari 2002=100) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 139

158 Pupuk Triple Superpospat (TSP). perkembangan harga pupuk TSP dunia sejka Januari 2002 sampa Mei 2012 dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar Harga TSP dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yakni dari US$ 131/ton Januari 2002, meningkat menjadi US$ 485/ton Mei Harga tertinggi pernah mencapai US$ 1331/ton yakni pada bulan Agustus Tingkat risiko harga antar bulan juga mengalami fluktuasi dari yang terendah tahun 2005 (0.22%) sampai tertinggi tahun 2008 (28%). Hal ini memberi petunjuk bahwa tingkat risiko pada pasar TSP dunia masih tinggi. Pola pergerakan antar bulan setiap tahun umumnya konsisten dari tahun ke tahun, harga bulan Januari umumnya lebih rendah dibandingkan pada pertengahan dan ahor tahun. Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk TSP Dunia (Januari 2002=100) Pupuk Diamonium Phosphate (DAP). Perkembangan harga pupuk DAP dunia dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar Harga DAP dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada Januari 2002 masih US$ 152/ton, lalu meningkat pada bulan Mei 2012 menjadi sekitar US$ 553/ton. Harga DAP tertinggi pernah mencapai US$ 1200/ton pada bulan April Tingkat risiko (koefisien variasi) dari tahun ke tahun, yakni terendah (3,9%) tahun 2011 dan tertinggi (27,75%) tahun Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko harg DAP masih relatif tinggi. Pergerakan harga bulanan (Januari-Desember) memiliki pola yang konsisten dari tahun ke tahun. Pada awal tahun harga DAP umumnya lebih rendah daipada harga pertengahan dan akhir tahun. 140 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

159 Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk DAP Dunia (Januari 2002=100) Pupuk Potasium Chlorida (KCL). Perkembangan harga pupuk KCL dunia dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar Perkembangan harga nominal KCL dunia meningkat dari sekitar US$ 115/ton Januari 2002 menjadi US$ 457/ton Mei Harga tertinggi pernah menyentuh US$ 872/ton pada bulan februari Tingkat risiko harga KCL bervariasi setiap tahun dalam kisaran 1.41% sampa 30.05%. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi risiko dari perubahan harga KCL dunia masih tinggi. Pola pergerakan harga bulanan setiap tahun juga konsisten, harga bergerak meningkat mulai Januari sampai Desember setiap tahun. Harga KCL terendah selalu terjadi pada awal tahun dan tertingi pada akhir tahun. Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk KCL Dunia (Januari 2002=100) II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 141

160 Hasil analisis perkembangan harga energi dan pupuk dunia yang diuraikan diatas, setidak-tidaknya terdapat hal-hal yang mempunyai implikasi bagi kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa sawit Indonesia kedepan sebagai berikut: 1. Harga minyak mentah dan minyak diesel dunia menunjukkan kenaikan yang konsisten sejak Januari 2002 sampai Mei Dan tidak ada tanda-tanda yang dapat diyakini bahwa harga tersebut akan kembali ke posisi tahun Harga pupuk dunia (urea, TSP, RP, DAP, KCL) juga menunjukkan konsistensi yang meningkat dari tahun ke tahun sejak Januari Mei Dan tidak ada tanda-tanda yang meyakinkan bahwa harga pupuk akan kembali ke posisi tahun Pada umumnya, pola pergerakan harga bulanan setiap tahun baik energi maupun pupuk konsisten. Rata-rata harga pada awal tahun lebih rendah dari harga pertengahan dan akhir tahun. 4. Tingkat risiko perubahan harga masih fluktuatif dari tahun ke tahun. Dan belum ada fakta-fakta bahwa tingkat risiko pasar energi dan pupuk akan menurun meskipun pada energi dunia cenderung makin stabil. Keempat hal tersebut memiliki implikasi penting kedepan yakni: 1. Semua pihak yang terkait harus menyadari bahwa pengelolaan bisnis perkebunan sudah memasuki era kemahalan (expensive ages) energi dan pupuk serta mengandung risiko ringgi. Oleh karena itu upaya penghematan energi dan peningkatan efektifitas pemupukan harus menjadi bagian dari budaya korporasi. 2. Mengingat harga awal tahun selalu konsisten lebih rendah dari pada harga pertengahan dan akhir tahun, maka untuk meminimumkan biaya dan risiko, kontrak pembelian energi dan pupuk untuk kebutuhan setahun sebaiknya didasarkan dengn harga Januari (dilakukan pada awal tahun), Pergerakan Harga CPO Dunia Perkembangan harga CPO dunia dalam bentuk indeks tahunan disajikan pada gambar Harga CPO dunia tertinggi terjadi pada bulan februari 2011 dengan harga US$ 1248/ton dan rata-rata tahun 2011 sebesar US$ 1076/ton. 142 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

161 Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan CPO Dunia (Januari 2002=100) Pola pergerakan harga bulanan CPO dunia (gambar 3.42) cenderung fluktuatif naum ada kecenderungan bahwa harga CPO dunia meningkat dari bulan Januari ke bulan Desember setiap tahun. Pada triwulan pertama harga bergerak naik, pada triwulan kedua pola pergerakan harga membentuk parabola dengan puncak harga pada bulan mei. Pada triwulan ketiga harga CPO cenderung turun dan memasuki triwulan keempat (September) kembali merangkak naik. Variasi harga bulanan (koefisien variasi) berkisar antar 3% sampai 32%, hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko dari pergerakan harga CPO bulanan cukup besar. Gambar Pergerakan Indeks Harga Bulanan CPO Dunia (Januari 2002=100) Bila dibandingkan pola pergerakan harga tahunan antara CPO dengan minyak mentah dunia (gambar 3.43) menunjukkan bahwa pola kedua minyak tersebut hampir sama. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 143

162 Ketika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan, harga CPO dunia juga naik. Demikian senaliknya, ketika harga minyak mentah dunia turun (tahun 2008) harga CPO dunia juga turun. Fenomena ini menunjukkan bahwa minyak mentah dan CPO (dalam apsar oleokimia dunia) adalah bersifat substitusi. Gambar Pola Pergerakan Harga Tahunan antara Minyak Mentah (A) % CPO (B) Dunia Jika harga minyak mentah naik, masyarakat dunia mengurangi penggunaan minyak mentah sebagia beralih ke CPO sehingga harga CPO naik. Demikian sebaliknya, tentu saja hal ini hanya berlaku pada pasar oleokimia misalnya biofuel vs petrofuel, biolubricant vs petro lubricant, bioplastic vs petro plastic dan lainnya. Pada pasar oleofood dunia seperti minyak goreng dan mentega hubungan substitusi tersebut tidak berlaku. Pada pasar oleofood substitut CPO adalah minyak nabati lainnya. Perkembangan harga PKO dunia sejak tahun 2002 mengalami peningkatan yang sangat signifikan (gambar 3.44). Rata-rata harga 144 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

163 tahun 2002 masih US$ 415/ton meningkat menjadi US$ 1649/ton tahun 2011, atau meningkat hampir 400%. Kenaikan harga PKO tersebut dari tahun ke tahun disertai dengan fluktuasi. Harga tahun 2005 lebih rendah dari tahun 2004 dan harga tahun 2009 lebih rendah dari tahun Gambar Pergerakan Indeks Harga Tahunan PKO Dunia (Januari 2002=100) Gambar Pergerakan Indeks Harga Bulanan PKO Dunia (Januari =100) Pola pergerakan harga PKO bulanan (gambar 3.45) umumnya sama yakni harga cenderung meningkat dari bulan Januari sampai Desember setiap tahun. Artinya pada triwulan pertama harga PKO lebih rendah dari pada harga triwulan kedua, dan harga pada triwulan ketiga juga lebih rendah dari harga pada triwulan kedua dan keempat. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 145

164 BAB IV ANALISIS PERUBAHAN DAN PROYEKSI PASAR MINYAK NABATI GLOBAL MENUJU Proyeksi Populasi Penduduk Menuju 2050 Berdasarkan estimasi yang diterbitkan oleh Badan Kependudukan PBB, penduduk dunia mencapai 6.5 miliar jiwa pada tanggal 26 Februari Kemudian pada tahun 2014, penduduk dunia telah mencapai 7.08 milyar dan milyar pada tahun Dari jumlah tersebut, sekitar 4.1 miliar diantaranya tinggal di Asia. Tujuh dari sepuluh negara berpenduduk terbanyak di dunia berada di Asia. Pada tahun 2050, estimasi penduduk bumi akan mencapai milyar (Gambar 4.1) 10,000 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1, ,153 9,079 Gambar 4.1. Penduduk Bumi dan Proyeksi hingga tahun 2050 Berikut adalah 10 peringkat terbesar negara-negara di dunia berdasarkan jumlah penduduk (2014 dan estimasi 2050). 146 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

165 Tabel 4.1. Peringkat 10 jumlah penduduk terbesar dunia tahun 2014 dan 2050E Rank Tahun 2014 Tahun 2050E Negara 000 Jiwa Negara 000 Jiwa % 1 China 1,403,558 India 1,601, India 1,210,108 China 1,449, Amerika Serikat 319,964 Amerika Serikat 420, Indonesia 269,879 Indonesia 336, Brasil 201,513 Nigeria 307, Pakistan 182,564 Bangladesh 279, Bangladesh 171,705 Pakistan 267, Nigeria 170,017 Brazil 228, Rusia 140,628 Congo (Kinshasa) 181, Jepang 125,276 Mexico 153, Sumber: UN (2012) Dunia 7,084,547 Dunia 9,078,851 Data di atas menunjukan, pada tahun 2014 hampir 20% penduduk dunia ada di China, dan menempati peringkat pertama, sedangkan peringkat kedua adalah India dengan proporsi 17.08%. Sedangkan Indonesia berada pada urutan keempat setelah Amerika Serikat, dengan jumlah penduduk 269,9 juta jiwa. Pada tahun 2050, diproyeksikan penduduk dunia akan mencapai milyar. Peringkat pertrama adalah negara India, dengan jumlah penduduk 1,6 milyar jiwa (17.63%) sementara China menempati peringkat kedua yakni sekitar 1,5 milyar (15.96%), dan Indonesia tetap berada pada peringkat keempat dunia (setelah AS) dengan jumlah penduduk juta jiwa (3.7%). Disamping itu, posisi Nigeria naik dari peringkat ke-8 menjadi peringkat ke-5, serta tumbuhnya negara-negara yang meningkat ke peringkat yang lebih tinggi, yakni Pakistan, Congo dan Mexico (yang sebelumnya bukan 10 peringkat terbesar). Kondisi di atas sangat berkaitan dengan proyeksi konsumsi minyak nabati di masa mendatang, dimana negara-negara besar tersebut akan berdampak pada peningkatan permintaan minyak nabati, baik yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, peningkatan pendapatan serta peningkatan konsumsi per kapita minyak nabati. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 147

166 Milyar USD Dunia (Milyar USD) 4.2 Proyeksi Ekonomi Global Menuju 2050 a. GDP bersasarkan Kawasan dan Negara Menurut data PBB, pada tahun 2010 Gross Domestik Product (GDP) dunia adalah milyar USD (2010). Dalam 23 tahun kedepan (tahun 2033) GDP dunia tersebut akan meningkat 2 kali lipat, dan dalam waktu yang lebih pendek, yakni 17 tahun berikutnya (2050), GDP dunia akan meningkat 3 kali lipat menjadi milyar USD (untuk menghilangkan efek inflasi, data yang digunaan tersebut adalah data constant price dengan tahun dasar 2005). Perkembangan GDP dunia disajikan pada gambar ,000 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5, , , , ,000 80,000 60,000 40,000 20,000 - World Latin America and Caribbean Sub- saharan Africa Near East/ North Africa South Asia East Asia Develped Countries United States of America European Union Other Western Europe Sumber: UN (2012) Gambar 4.2. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980 dan Proyeksi 2050 Berdasarkan kawasan, selama kurun waktu 1980 s/d 2030, GDP terbesar adalah Uni Eropa, yang meningkat dari milyar USD (1980) menjadi USD pad atahun Sedangkan posisi kedua terbesar adalah Amerika Serikat, dengan GDP milyar USD (1980) menjadi USD pada tahun Peringkat ketiga adalah negaranegara maju (Developed Countries) dengan peningkatan dari milyar USD menjadi milyar USD pada kurun waktu yan sama. Perkembangan yang begitu pesat ditunjukkan oleh Negara Asia Timur yang akan menempati posisi teratas sejak tahun 2030 hingga proyeksi tahun (Negara Asia Timur mencakup : China, Hong Kong, Korea, Indonesia, Malaysia, Mongolia, Philippines, Thailand, Brunei Darussalam dan Singapura). Pada tahun 1980, GDP kawasan 148 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

167 Asia Timur adalah 674 milyar USD. Dengan pertumbuhan yang pesat (8.2 % per tahun), GDP Kawasan asia Timur telah menyamai negaranegara maju pada tahun 2020, dengan GDP sebesar milyar USD. (Sementara GDP Negara-negara maju pada tahun yang sama adalah 9_872 milyar USD). Kemudian, tahun 2030, GDP Kawasan asia Timur telah mencapai milyar USD, dan sekaligus berhasil mengalahkan GDP Amerika Serikat ( milyar USD) serta Uni Eropa ( milyar USD). Laju pertumbuhan GDP Asia timur jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat (2.1% per tahun) dan Uni Eropa (2.7% per tahun). Disamping itu, Kawasan Asia Selatan juga patut dipertimbangkan, karena akan menempati peringkat keempat pada tahun 2050, setelah Asia Timur, Amerika Serikat dan Uni Eropa. (Asia Selatan meliputi : Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka dan Bhutan; dan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah India). Tahun 1980, GDP Asia Selatan baru sekitar 263 milyar USD. Tahun 2010 telah mencapai milyar USD (dengan laju pertumbuhan 6.5% per tahun), tahun 2030 telah mencapai milyar USD, dan sekaligus mengalahkan kawasan Amerika Latin (5 066 milyar USD), kawasan Afrika Utara (4 556 milyar USD). Tahun 2050 GDP kawasan Asia Selatan akan mencapai milyar USD dan menggungguli GDP Negara-negara maju (Developed Countries) dengan GDP milyar USD. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi Asia Selatan yang cukup pesat, yakni rata-rata 6.6% per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi Negara-negara Maju pada kurun waktu yang sama ( ) adalah 1.1% per tahun. Diperkirakan Indonesia akan menempati peringkat ke-11 GDP terbesar pada tahun Perkembangan GDP beberapa negara menuju tahun 2050 disajikan pada tabel 4.2. Hingga tahun 2030, Amerika Serikat menempati urutan ke-1, namun pada tahun 2050 turun menjadi peringkat kedua, digantikan oleh China. Negara China pada tahun 1980 masih menempati posisi ke 19, namun tahun 2000 telah menempati peringkat ke-7 dan sejak tahun 2010 hingga 2030 menempati peringkat ke-2, serta berhasil menempati peringkat ke-1 pada tahun Hal ini ditopang oleh pertumbuhan ekonomi China yang mencapai rata-rata 10.06% per tahun ( ), dan menurun pada menjadi 5.23% per tahun. Sementara pada kurun waktu yang sama, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat adalah 1.44% per tahun dan sedikit melambat yakni 1.26 % per tahun. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 149

168 Tabel 4.2. Peringkat (Ranking) GDP Negara Ekonomi Terbesar Dunia Negara China United States of America India Japan United Kingdom Germany France Brazil Canada Mexico Indonesia Sumber: UN (2012) Negara India juga memiliki perkembangan yang pesat, dari peringkat 18 tahun 1980 menjadi peringkat ke 13 tahun 2000, dengan pertumbuhan ekonomi 3.58% per tahun. Tahun 2010 dan 2015 menempati peringkat ke-8, dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin besar, yakni 5.72% per tahun. Tahun 2020 hingga 2050 rata-rata pertumbuhan ekonomi India meningkat menjadi 6% per tahun, dan membawa India pada peringkat ke-3 tahun 2030 dan peringkat ke-2 pada tahun Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga telah berhasil menghantarkan Indonesia dari peringkat ke-32 tahun 1980 menjadi peringkat ke-11 pada tahun Rata-rata pertumbuhan GDP Indonesia tahun 2010 hingga 2030 adalah 6% per tahun, dan sedikit melambat pada tahun 2030 ke 2050 menjadi 4.99 % per tahun. Tahun 2015 GDP Indonesia mencapai Juta USD, dan tahun 2030 meningkat 2,2 kali lipat menjadi juta USD, dan tahun 2050 akan mencapai juta USD. b. GDP per Kapitabersasarkan Kawasan dan Negara GDP per kapita tertinggi adalah Amerika Serikat (AS), yakni USD/kapita/tahun pada tahun 1980, naik menjadi USD pada tahun 2010 (gambar 4.3). Tahun 2050, diperkirakan akan mencapai USD/kapita/tahun. Posisi kedua setelah AS adalah Eropa Barat (Norwegia dan Switzerland). Posisi ketiga terbesar adalah kelompok negara maju, dimana tahun 2010 rata-rata GDP per kapita adalah USD/kapita/tahun, Tahun 2020 menjadi USD/kapita/tahun 150 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

169 USD/capita dan tahun 2050 mencapai USD/kapita/tahun. Perkembangan GDP per kapita di kawasan Asia Timur tampak cukup menarik, dimana tahun 1990 GDP per kapita adalah USD/kapita/tahun (kurang lebih sama dengan Afrika Utara USD), dan tahun 2030 meningkat pesat dan setara dengan Uni Eropa, masing-masing dan USD/kapita/tahun, kemudian tahun 2050 telah berhasil mencapai USD/kapita/tahun dan melampaui GDP Developed Countries ( USD/kapita/tahun). 80,000 70,000 60,000 Latin America and Caribbean Sub- saharan Africa 50,000 40,000 30,000 Near East/ North Africa South Asia 20,000 10,000 - East Asia Develoved Countries United States of America Sumber: UN (2012) Gambar 4.3. GDP per Kapita berdasarkan Kawasan Pada kurun waktu , proyeksi rata-rata laju pertumbuhan GDP per kapita dunia adalah 1.95 % per tahun. Benua Asia secara keseluruhan memiliki laju pertumbuhan yang sangat pesat, meliputi kawasan Asia Selatan meningkat 6.17% per tahun, Asia Timur 2.37 % per tahun, Asia Tengah 3.48 % per tahun. Kawasan Sub Sahara Afrika memiliki laju pertumbuhan GDP per kapita rata-rata 4.94 % per tahun. Jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, kawasan Eropa Timur meningkat dengan laju 2.09% per tahun, Eropa Barat 1.29 % per tahun dan Uni Eropa 1.55 % per tahun. Pertumbuhan GDP per kapita di negara maju dan Amerika Serikat masing-masing adalah 1,62% per tahun dan 1.26 % per tahun. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 151

170 90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10, India China Indonesia Malaysia Singapura Amerika Serikat European Union World Sumber: UN (2012) Gambar 4.4. GDP per Kapita beberapa negara terpilih Beberapa negara terpilih menyajikan perkembangan GDP per kapita, yang berhubungan dengan konsumsi di negara tersebut (gambar 4.4). GDP per kapita tertinggi adalah Singapura, diikuti Malaysia dan Uni Eropa serta Malaysia. Indonesia relatif masih rendah dan kurang lebih sama dengan India. Yang menarik adalah GDP per kapita China, yang bertumbuh pesat dari tahun 2015 hingga 2050 dengan posisi sedikit di bawah Amerika Serikat. 4.3 Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Global 2050 Tahun 2014, konsumsi minyak nabati utama dunia adalah juta ton, yang terdiri atas minyak sawit (palm oil) juta ton (38.53%), minyak kedele (soybean oil) juta ton (33.09%), minyak repeseed (rapeseed oil) juta ton (18.59%) dan minyak bunga matahari (sunflower oil) juta ton (9.82%). Dibandingkan dengan tahun 2020, konsumsi minyak nabati utama dunia meningkat 12.49% menjadi 153,14 juta ton. Sumber konsumsi utama minyak nabati dunia diperoleh dari minyak sawit 39.85%, minyak kedele 32.81%, minyak repeseed 18.01% dan minyak bunga matahari 9.34%. Perubahan tersebut menunjukkan pangsa minyak sawit naik 1.31%, sedangkan ketiga minyak nabati lainnya menurun. Demikian halnya dengan proyeki tahun 2050, estimasi konsumsi minyak nabati utama dunia akan mencapai 334,68 juta ton, atau meningkat 2.5 kali lipat dari 152 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

171 Ribu Ton kondisi saat ini. Konsumsi masing-masing minyak nabati adalah minyak sawit juta ton (51.14%), minyak kedele juta ton (31.61%), minyak repeseed juta ton (11.59%) dan minyak bunga matahari sebesar juta ton (9.34%) (Gambar 4.5). Perkembangan di atas menunjukkan trend positif pada keempat minyak nabati tersebut. Namun bila dibandingkan perubahan pangsa masing-masing, terlihat bahwa kontribusi minyak sawit meningkat 12.61% dari 38.53% menjadi %. Sedangkan pangsa minyak kedele menurun 1.46%, minyak rapeseed menurun 6.99% dan minyak bunga matahari menurun 4.16%. 180, , , , ,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia Palm Oil Rapeseed Oil Soybean Oil Sunflower Oil Gambar 4.5. Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia 2050 Perubahan pangsa di atas dipengaruhi oleh perbedaan laju pertumbuhan konsumsi masing-masing minyak nabati (gambar 4.6). Tahun , rata-rata laju pertumbuhan konsumsi minyak sawit adalah 3.15% per tahun, dan cenderung seamakin tinggi pada tahun , yakni 3.46 % per tahun. Sedangkan rapeseed oil cenderung melambat dari 1.34 % per tahun menjadi % per tahun. Demikian halnya dengan soybean oil dan sunflower oil, juga cenderung melambat, masing-masing dari 2.58 ke 2.31 % per tahun dan dari 1.06 ke 0.90 % per tahun. Hal ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat dunia cenderung semakin tinggi pada minyak sawit. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 153

172 Annual Growth (%) Palm Oil Rapeseed Soybean Sunflower Oil Oil Oil Gambar 4.6. Laju pertumbuhan Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia 4.4 Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Global 2050 Tahun 2014, produksi minyak nabati utama dunia adalah 137,44 juta ton, yang terdiri atas minyak sawit (palm oil) juta ton (38.91%), minyak kedele (soybean oil) juta ton (32.84%), minyak repeseed (rapeseed oil) juta ton (18.4%) dan minyak bunga matahari (sunflower oil) juta ton (9.9%). Dibandingkan dengan tahun 2020, produksi minyak nabati utama dunia meningkat 12.35% menjadi juta ton. Sumber produksi utama minyak nabati dunia adalah minyak sawit 40.2%, minyak kedele 32.6%, minyak repeseed 17.8% dan minyak bunga matahari 9. 4%. Perubahan tersebut menunjukkan pangsa minyak sawit naik 1.3%, sedangkan ketiga minyak nabati lainnya menurun. Demikian halnya dengan proyeki tahun 2050, estimasi produksi minyak nabati utama dunia akan mencapai 358,56 juta ton, atau meningkat 2.6 kali lipat dari kondisi saat ini. Produksi masingmasing minyak nabati adalah minyak sawit juta ton (52.9%), minyak kedele juta ton (31.0%), minyak repeseed juta ton (10.8%) dan minyak bunga matahari sebesar juta ton (5.3%). (Gambar 4.7) 154 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

173 Annual Growth (%) Ribu Ton Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia Palm Oil Rapeseed Oil Soybean Oil Sunflower Oil Gambar 4.7. Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 2050 Perkembangan di atas menunjukkan trend positif pada keempat minyak nabati tersebut. Namun bila dibandingkan perubahan pangsa masing-masing, terlihat bahwa produksi masing-masing minyak nabati cenderung melambat pada tahun (Gambar 4.8) Palm Oil Rapesee Soybean Sunflowe d Oil Oil r Oil Gambar 4.8. Laju pertumbuhan Produksi Minyak Nabati Utama Dunia V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 155

174 4.5 Proyeksi Biodiesel Proyeksi Produksi Biodiesel. Hingga tahun 2020, proyeksi FAPRI (gambar 4.9) menunjukkan perkembangan diodiesel dunia dengan laju atau trend pertumbuhan yang positif. Hingga tahun 2020, Eropa memegang peran penting dalam pasar biodiesel dunia, dengan produksi sebesar juta kilo liter atau dengan pangsa 57.17%. Urutan kedua adalah USA, dengan pangsa 14,18%, dengan volume produksi 3.76 juta kilo liter. Argentina memiliki pangsan produksi %, Brazil %. Sedangkan Asia atau Indonesia dan Malaysia masing-masing memiliki pangsa 3.49% dan 0.72 %. Tahun 2020, produksi biodiesel dunia adalah juta kilo liter, dengan laju pertumbuhan rata-rata 3.6 % per tahun. Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4. 9 Produksi Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020 Proyeksi Konsumsi Biodiesel Konsumsi biodiesel tahun 2015 hungga 2020 menunjukkan trend yang positif (gambar 4.10). Konsumsi biodiesel dunia tahun 2015 mencapai 24.7 juta kilo liter dan tahun 2020 mencapai 27,18 juta kilo liter. (Growth 3.61% per tahun). Pangsa konsumsi terbesar adalah Eropa (61.08%), diikuti USA dengan pangsa %, Argentina dan Brazil masing-masing 3.7 % dan 10.25%. Sementara Indonesia memiliki pangsa 1.56 % dan Malaysia 0.04 %. 156 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

175 Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4.10 Konsumsi Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020 Berdasarkan data produksi dan konsumsi di atas, diperoleh gambaran ekspor biodiesel (gambar 4.11) sekitar 3 juta kilo liter pada tahun 2015 dan 3.5 juta kilo liter pada tahun Pada tahun 2020, dari jumlah tersebut, negara-negara pengekspor adalah Argetina dengan pangsa 68.8% dan Indonesia juga diproyeksikan akan memiliki pangsa ekspor biodiesel dunia sebesar 14.2 %, USA 6.2%, Brazil 5.9% dan Malaysia 4.9%. Sedangkan negara importir biodiesel dunia antara lain adalah Uni Eropa dengan pangsa 99,2 % dan 0.8 % oleh Negara Jepang Brazil Malaysia USA Indonesia Argentina Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4.11 Ekspor Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020 V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 157

176 Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4.12 Harga Biodiesel tahun 2011 dan proyeksi hingga tahun 2021 Secara umum, harga biodiesel dunia akan cenderung meningkat (gambar 4.12) dari harga FOB 1.52 US/liter tahun 2011 menjadi 1.62 US/liter pada tahun Proyeksi Harga dan Ratio Harga Secara umum, harga minyak nabati dunia tahun mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Namun sejak tahun 2000, terdapat kecenderungan harga cenderung meningkat. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya permintaan minyak nabati dunia dan cenderung mengeser harga semakin tinggi. Tahun 2014, harga minyak sawit (CIF Rotterdam) adalah US/ton, minyak kedele (CIF Rotterdam) 657 US/ton, rapeseed oil (CIF Hamburg) US/ton dan harga minyak bunga matahari (CIF NW Europe) US/ton. Data harga tersebut menunjukkan perbedaan relatif satu sama lain, dimana minyak sawit relatif lebih murah dibandingkan ketiga jenis lainnya, sedang harga minyak bunga matahari relatif lebih mahal. 158 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

177 USD/Ton 2500 Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama (USD/Ton) Palm Oil Soybean Oil Rapeseed Oil SunFlower Oil Gambar Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama Dunia 2050 Meningkatnya konsumsi per kapita, yang disertai dengan jumlah penduduk dan pendapatan (GDP per kapita), secara bersamasama akan mempengaruhi permintaan minyak nabati, sebagaimana tercermin dari peningkatan konsumsi pada sub bab sebelumnya. Peningkatan permintaan minyak nabati dunia tersebut akan mempengaruhi harga minyak nabati dunia, dimana pada tahun 2050, diperkirakan masing-masing adalah : harga minyak sawit adalah US/ton, minyak kedele 2123 US/ton, rapeseed oil 2230 US/ton dan harga minyak bunga matahari 2205 US/ton (gambar 4.13). Proyeksi peningkatan harga (linear) pada minyak sawit rata-rata naik 2.11 % per tahun, minyak kedele naik 1.80 % per tahun, rapeseed oil 2.04 % per tahun dan harga minyak bunga matahari naik 2.02% per tahun. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 159

178 SBO/PO RSO/PO SFO/PO Gambar Rasio Harga Minyak Nabati Utama Dunia Terhadap Minyak Sawit Perbandingan harga antar minyak nabati utama dunia terhadap minyak sawit (gambar 4.14). Rasio harga minyak kedele terhadap minyak sawit pada tahun 2013 adalah 1.32, artinya minyak kedele 1.32 kali lebih mahal dibandingkan dengan minyak sawit (atau minyak sawit lebih murah). Dari data di atas, jelas terlihat bahwa harga minyak sawit relatif lebih murah dibandingkan dengan harga minyak kedele, minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Pada tahun 2020, 2030, dan 2050, terlihat rasio harga semakin menurun, menunjukkan harga minyak sawit cenderung meningkat lebih besar dibadingkan dengan peningkatan harga pada ketiga minyak nabati lainnya, atau dengan kata lain, harga minyak kedele, minyak rapeseed dan minyak bunga matahari relatif bertambah murah dibandingkan dengan minyak kedele. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi dan permintaan yang lebih tinggi pada minyak sawit dan harga minyak sawit relatif naik (faktor peningkatan demand). 160 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

179 4.7 Perubahan Selera Pasar Global Pertumbuhan nilai perdagangan komoditi minyak nabati dunia telah mengalami peningkatan tajam dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa factor telah menjadi pendorong perkembangan tersebut dengan beberapa diantaranya adalah : (i) peningkatan kebutuhan minyak nabati yang dipicu naiknya tingkat konsumsi akibat pertumbuhan penduduk, peningkatan taraf hidup dan perubahan pola makan di beberapa negara berkembang seperti China dan India ; (ii) perkembangan industri bioenergi khususnya biodiesel di seluruh dunia, khususnya di kawasan Uni Eropa, Amerika Serikat, Brazil, Argentina, China dan India; (iii) kenaikan harga juga dipicu beberapa factor secara tidak langsung seperti kenaikan harga minyak bumi, cadangan komoditi yang terbatas, kekeringan dan ulah spekulan komoditi; dan terakhir (iv) perubahan iklim global yang dapat berdampak luas dalam aspek geografis. Dalam beberapa tahun terakhir muncul beberapa pelaku penting dan kecenderungan supply and demands didominasi oleh : (i) China, sebagai pemimpin dunia dalam hal impor minyak nabati; (ii) Indonesia, Malaysia dan Agentina dengan porsi mencapai 75% merupakan tiga negara utama pengekspor minyak nabat, dalam hal ini minyak sawit; (iii) Brazil telah menjadi salah satu eksportir kedelai kedua setelah Amerika Serikat, dimana kedelai tersebut selain sebagai bahan pangan juga menjadi makanan ternak (pakan) dan bahan minyak kedelai ; (iv) Argentina menjadi penguntit berikutnya dalam hal produksi dan ekspor kedelai di dunia. Pasar minyak nabati dunia saat ini terbagi dalam dua golongan besar (i) bahan pangan yang mencapai 80% dari total produksi dan (ii) pemenuhan kebutuhan industri termasuk didalamnya biodiesel. Aspek terbesar pendorong pertumbuhan kebutuhan minyak nabati masih pada pemenuhan kebutuhan bahan pangan meski perkembangan kebutuhan sebagai sumber energi alternative/biofuel/bio energi semakin penting. Sebagian besar masyarakat dunia telah menjadikan bioenergi sebagai kambing hitam terhadap meningkatnya harga pangan dunia. Selain itu konversi lahan untuk produksi minyak nabati di berbagai negara tropis dunia dianggap sebagai salah satu katalisator kerusakan hutan. Latar belakang sebenarnya sangat beragam dan rumit, dengan factor utama yang menjadi dampak kenaikan tersebut adalah fluktuasi/kenaikan harga minyak bumi dan ulah nakal spekulan komoditi pangan dalam perdagangan yang semakin mengglobal. Secara nyata telah dengan jelas tergambar bahwa biaya dasar dari V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 161

180 bahan baku mempunyai peran yang relative kecil dalam penentuan harga jual komoditi pangan di negara berkembang. Yang kemudian lebih berpengaruh terhadap komoditi tersebut adalah isu isu lain yang sama sekali tidak terkait dengan bahan baku komoditi sebagaimana tersebut diatas. Pasar minyak nabati dunia saat ini sedang mengalami perubahan mendasar, dan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan dengan berbagai peluang besar yang mengiringi. Perkembangan standar hidup di berbagai negara berkembang, perkembangan populasi yang diikuti perubahan pola diet/asupan gizi dan ekspansi kebutuhan bioenergi merupakan kecenderungan utama/tren yang akan memegang peran dalam perkembangan sector komoditi ini dimasa mendatang. Pasar komoditi minyak nabati dunia mempunyai gambaran yang sangat beragam, dimulai dari Cina dengan cirri impor yang sangat besar, sampai dengan India yang mempunyai perkembangan pasar rumah tangga yang sangat besar. Indonesia bersama dengan Malaysia yang secara tradisional telah menjadi produsen utama minyak nabati dunia (i.e minyak sawit), saat ini mulai mendapat tantangan kompetitif dengan besarnya ekspansi lahan dari beberapa negara lain seperti Thailand dan Kolombia. Amerika Serikat dan Kanada sebagai eksportir utama minyak kedelai, saat ini telah mendapat tantangan serius dalam menentukan pasar dengan berkembangnya sector komoditi ini di negara Brasil maupun Argentina. 4.8 Perubahan Iklim Global Pasar minyak nabati dunia saat ini terbagi dalam dua golongan besar (i) bahan pangan yang mencapai 80% dari total produksi dan (ii) pemenuhan kebutuhan industri. Aspek terbesar pendorong pertumbuhan kebutuhan minyak nabati masih pada pemenuhan kebutuhan bahan pangan meski perkembangan kebutuhan sebagai sumber energi alternative/biofuel/bioenergi semakin penting. termasuk didalamnya biodiesel. Termasuk dalam kebutuhan bionergi tersebut adalah pemanfaatan minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kedelai dan minyak jarak/jatropa sebagai sumber bahan bakar nabati (biodiesel). Sebagian besar masyarakat dunia telah menjadikan alasan bioenergi sebagai kambing hitam terhadap meningkatnya harga pangan dunia. Selain itu konversi lahan untuk produksi minyak nabati di berbagai negara tropis dunia dianggap sebagai salah satu katalisator kerusakan 162 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

181 hutan. Awam diketahui bahwa negara negara tropis dunia merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati paling besar di dunia. Kerusakan dan tekanan terhadap alih fungsi lahan di kawasan ini membawa dampak yang lebih nyata. Prinsip dasar aspek keberlanjutan dari bioenergi adalah potensinya dalam menyimpan gas rumah kaca (carbon saving and carbon sinking) dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar fosil.hal hal ini menyebabkan isu lingkungan dan keberlanjutan dari pemanfaatan bahan bakar nabati menjadi dipertanyakan. Lebih lanjut latar belakang yang terjadi sebenarnya adalah sangat beragam dan rumit. Pangsa pasar komoditi minyak nabati dan pangan pada umumnya dipengaruhi banyak factor. Hal utama yang menjadi dampak kenaikan tersebut adalah fluktuasi/kenaikan harga minyak bumi dan ulah nakal spekulan komoditi pangan dan penjangnya rantai dstribusi dalam perdagangan yang semakin mengglobal. Secara nyata telah dengan jelas tergambar bahwa biaya dasar dari bahan baku mempunyai peran yang relative kecil dalam penentuan harga jual komoditi pangan di negara berkembang. Yang kemudian lebih berpengaruh terhadap komoditi tersebut adalah isu isu lain yang sama sekali tidak terkait dengan bahan baku komoditi sebagaimana tersebut diatas. Pasar minyak nabati dunia saat ini sedang mengalami perubahan mendasar, dan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan dengan berbagai peluang besar yang mengiringi. Perkembangan standar hidup di berbagai negara berkembang, perkembangan populasi yang diikuti perubahan pola diet/asupan gizi dan ekspansi kebutuhan bioenergi merupakan kecenderungan utama/tren yang akan memegang peran dalam perkembangan sector komoditi ini dimasa mendatang. Perkembangan nyata kebutuhan bioenergi global telah membawa peningkatan perhatian terhadap jenis komoditi ini. Perhatian berlebihan ini tidak telepas dari implikasi luas yang mungkin dapat ditimbulkan. Beberapa perhatian tersebut antara lain emisi net gas rumah kaca, perubahan tata guna lahan, konservasi keanekaragaman hayati, dampak terhadap ketahanan pangan dan dampak socialekonomi masyarakat. Untuk mempertahankan bandul kesetimbangan dari dampak negative yang mungkin ditimbulkan, berbagai hal perlu dilakukan untuk menjamin aspek keberlanjutan dari operasi bioenergi dari minyak nabati. Beberapa hal yang bias dilakukan antara lain : sertifikasi, akreditasi dan traceability- yang akan membawa dampak besar, baik positif maupun negative dalam perkembangan industri bioenergi. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 163

182 4.9 Perubahan Kebijakan Pasar Minyak Nabati Global Asia merupakan produsen sekaligus konsumen utama minyak nabati dunia khususnya minyak sawit. Indonesia dan Malaysia, dua produsen minyak nabati dunia menyandarkan kebijakan dalam pengembangan minyak sawit sebagai sumber devisa negara. Dengan perkembangan pasar minyak nabati dunia yang sangat besar, khususnya China dan India telah menjadi importer utama. Kebijakan bioenergi di China telah menjadi bagian dari sebuah mekanisme untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi minyak bumi, memperkuat modernisasi pertanian dan pengembangan social masyarakat pedesaan dan mendorong lingkungan hidup berkelanjutan. Sementara itu perhatian pemerintah India terhadap ketergantungan energi telah mendorong kebijakan khusus untuk mendukung pengembangan bioenergi khususnya bioetanol dan biodiesel. Berseberangan dengan Indonesia dan Malaysia, India lebih mendorong pengembangan sumber bioenergi non-pangan seperti Jatropha (minyak jarak). Sesuai target yang ada, pada diharapkan 20% kebutuhan minyak diesel di India berasal dari tanaman ini. Secara tradisional Indonesia telah menjadi produsen terbesar minyak nabati dunia, khusunya minyak sawit. Berseberangan dengan fakta tersebut, kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan bioenergi baru dimulai pada beberapa tahun terakhir. Kontribusi penggunaan biodiesel diharapkan meningkat dari 2% pada 2010 menjadi 5% pada Meskipun penggunaan minyak nabati (i.e minyak sawit) untuk bioenergi sedemikian penting, akan tetapi pendorong utama kebijakan minyak sawit adalah untuk pasar domestik dan pasar ekspor. Malaysia saat ini merupakan eksportir utama minyak sawit dunia dimana ada komitment kuat dari pemerintah setempat untuk melindungi dan mengembangkan sector industri ini. Sejalan dengan yang terjadi di Indonesia, kebijakan penggunaan biodiesel di negara ini bukanlah kunci utama perkembangan komoditi disbanding penggunaan sebagai bahan pangan. Luas lahan yang telah dikonversi menjadi perkebunan sawit di Malaysia sudah sedemikian besar sehingga pengembangan lebih lanjut menjadi lebih terbatas, khususnya di tanah Semenanjung. Thailand memiliki basis ekonomi yang lebih terdiferensiasi. Meskipun sector minyak sawit sedang berkembang, dibandingkan Malaysia dan Indonesia peran sector ini masih sangat terbatas. Sebagai 164 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

183 salah satu sumber bahan baku industri biodiesel, kebijakan perdagangan minyak nabati di Thailand masih dalam taraf formulasi kebijakan sehingga sangat sulit untuk memperkirakan perkembangan kedepan akan seperti apa. Satu hal yang pasti adalah bahwathailand merupakan produsen singkong terbesar di dunia, salah satu alternative sumber bioenergi/bioethanol lain yang sangat potensial untuk dikembangkan. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 165

184 166 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

185 BAB V PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari pertanian tanaman telah lama dikenal memiliki multifungsi (multifunctionality of agriculture) yakni secara ekonomi, social, dan ekologis. Berkembangnya perkebunan kelapa sawit berarti juga menambah manfaat ekonomi social dan ekologis bagi masyarakat. 5.1 Kontribusi Persawitan Indonesia Dalam Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang esensial dalam pembangunan. Pertumbuhan ekonomi baik sektoral, daerah, industri, maupun pada tingkat perusahaan berarti pertumbuhan produksi barang/jasa, pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan penggunaan input. Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi peningkatan pendapatan, pengurangan pengangguran dan pengentasan kemiskinan (ADB 2001, 2006). Berapa besar dampak pertumbuhan suatu sektor terhadap perekonomian lokal, regional maupun nasional tergantung pada keterkaitan (linkages) dan besaran multiplier pertumbuhan sektor itu sendiri. Pertumbuhan yang inklusif akan terjadi apabila keterkaitan input-output suatu sektor dengan sektor lain relatif luas. Sehingga pertumbuhan yang terjadi pada suatu sektor akan menarik pertumbuhan sektor-sektor lainnya Keterkaitan Pertumbuhan Perkebunan Kelapa Sawit dengan Sektor Lain Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit mempengaruhi pertumbuhan sektor-sektor lain baik sektor penyediaan input bagi perkebunan kelapa sawit (backward linkages) maupun sektor-sektor yang lebih hilir yakni sektor ekonomi yang menggunakan output perkebunan kelapa sawit sebagai inputnya (forward linkages). Koefisien keterkaitan ke depan dan ke belakang perkebunan kelapa sawit (Tabel 5.1). V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 167

186 Tabel 5.1. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages) dan Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkages) Perkebunan Kelapa Sawit Keterkaitan Nilai Total Forward Linkages 1.42 Total Backward Linkages 1.51 Sumber: Statistik Indonesia ( Amzul, R., 2011). Keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa sawit bernilai Hal ini berarti bahwa setiap pertumbuhan output perkebunan kelapa sawit (CPO) berdampak pada penggunaan output sektor lain yang lebih besar sebagai input perkebunan kelapa sawit. Sektor penyedia input utama dari perkebunan kelapa sawit adalah surplus usaha tahun sebelumnya dan modal sendiri (reinvestasi), pupuk, kimia, pestisida, tenaga kerja, sektor keuangan dan sektor lain (Tabel 5.2). Komponen input terbesar adalah reinvestasi surplus usaha. Besarnya pangsa reinvestasi surplus menunjukan bahwa keuntungan yang diperoleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar di reinvestasikan kembali ke perkebunan kelapa sawit itu sendiri untuk membiayai investasi baru. Data tersebut juga menjelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit tidak seluruhnya keluar dari perkebunan kelapa sawit (capital-drain) melainkan sebagian di reinvestasikan ke perkebunan kelapa sawit itu sendiri. Keterkaitan ke depan perkebunan kelapa sawit bernilai Setiap peningkatan output perkebunan kelapa sawit (CPO) akan menghela peningkatan penggunaan CPO yang lebih besar sebagai input sektor lain. Sektor pengguna CPO adalah industri minyak nabati, industri kimia, industri makan. Sekitar 80 persen output CPO diserap oleh industri minyak nabati, industri minyak kimia khususnya oleokimia (14 persen), industri makanan (0.31 persen), perkebuan kelapa sawit itu sendiri (4.64 persen) dan sisanya sektor lain. Secara keseluruhan, keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan keterkaitan ke depan. Hal ini berarti perkebunan kelapa sawit lebih berperan sebagai lokomotif ekonomi yang menarik perkembangan sektor-sektor lain melalui penggunaan outputnya sebagai input perkebuan kelapa sawit. 168 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

187 Tabel 5.2. Sektor-Sektor Penyedia Input Perkebunan Kelapa Sawit Reinvestasi surplus Pupuk, kimia, pestisida Tenaga kerja Keuangan Bibit kelapa sawit Pertanian Bangunan Jasa transportasi, perdagangan, restoran/hotel, komunikasi,dll Sektor Pangsa (%) Mesin dan peralatan 1.38 Sektor lainnya 2.36 Total Sumber: Tabel I-O (Statistik Indonesia, 2008) Dampak Perkebunan Kelapa Sawit pada Sektor lain Untuk melihat kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan output, pedapatan, nilai tambah dan kesempatan kerja dibandingkan dengan kemampuan rata-rata sektor-sektor ekonomi, digunakan indeks multiplier output, income, labor, dan value added (Tabel 5.3). Indeks multiplier output perkebunan kelapa sawit Hal ini berarti kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan output nasional 1.7 kali dari rata-rata sektor-sektor dalam perekonomian. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan pendapatan (income generating) tercermin dari indeks multiplier income yang bernilai 1.8. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan pendapatan 1.8 kali dari rata-rata kemampuan menciptakan pendapatan sektor-sektor ekonomi. Dalam menciptakan nilai tambah, perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan nilai tambah tiga kali dari rata-rata sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 169

188 Tabel 5.3. Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit Output 1.71 Income 1.79 Tenaga Kerja 2.64 Nilai Tambah 1.59 Sumber: Tabel I-O Indonesia (2008) Dalam penciptaan kesempatan kerja (job-creation) kemampuan perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan 2.6 kali kesempatan kerja dalam perekonomian dibandingkan rataan kemampuan sektor ekonomi lainnya. Dengan demikian perkebunan kelapa sawit salah satu sektor ekonomi nasional yang pro-output, pro-income, pro-job, dan pro-value added. Sektor-sektor ekonomi utama (10 besar sektor ekonomi) yang menikmati multiplier effect dari peningkatan permintaan akhir perkebunan kelapa sawit (CPO) disajikan pada Tabel 5.4. Dampak peningkatan permintaan akhir perkebunan kelapa sawit terhadap output perekonomian (multiplier output) maupun terhadap income (multiplier income) selain dinikmati sektor perkebunan kelapa sawit itu sendiri, juga dinikmati sektor keuangan, sector perdagangan, restoran dan hotel, industri kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain. Jika permintaan CPO meningkat bukan hanya menarik peningkatan output dan pendapatan pada perkebunan kelapa sawit saja, tetapi juga meningkatkan output dan pendapatan sektor-sektor lain seperti sektor keuangan, sektor perdagangan, restoran dan hotel, industri kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain. 170 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

189 Tabel 5.4. Top Ten Sektor Ekonomi (Selain Perkebunan Kelapa Sawit) yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output, Income dan Nilai Tambah Perkebunan Kelapa Sawit Rank Dampak Output Dampak Income Dampak Nilai Tambah 1 Keuangan Jasa lainnya Jasa pertanian 2 Perdagangan, hotel dan Jasa lainnya Keuangan restoran 3 Perdagangan, hotel dan restoran Perdagangan, hotel dan restoran Peternakan, kehutanan, perikanan 4 Industri kimia Industri kimia, pupuk, dan pupuk, dan Jasa lainnya pestisida pestisida 5 Industri migas dan tambang Transportasi Pertanian Pangan 6 Transportasi Infratsruktur Transportasi 7 Industri migas dan Infrastruktur tambang Keuangan 8 Infrastruktur Industri makanan pertanian Perkebunan lainnya 9 Mesin dan Industri kimia, pupuk, Jasa pertanian peralatan listrik dan pestisida 10 Sektor Lain Sektor Lain Sektor Lain Sumber: Tabel Input-Output Indonesia Peran Ekspor Minyak Sawit dalam Perekonomian Komoditas pertanian masih penyumbang terbesar dalam ekspor non migas Indonesia. Pangsa ekspor pertanian dalam total ekspor non migas masih cukup besar yakni 48 persen tahun 2005 dan 36 persen tahun 2013 (Gambar 5.1). Bahkan dari ekspor sektor manufaktur non migas, sebagian besar masih bebasis sumberdaya alam (SDA). Sekitar 20 persen (tahun 2005) dan 19 persen (tahun 2013) dari total ekspor non migas berapa ekspor produk manukfatur sumber daya alam. Sementara produk manukfatur berbasis non sumber daya alam pangsanya kecil dan menurun V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 171

190 Pertanian 20% 39% 36% Tambang 12% 20% 48% 4% 21% Manufaktur berbasis non- SDA Manufaktur berbasis SDA Sumber: Bank Indonesia, 2013 Gambar 5.1. Komposisi Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 2005 dan 2013 Peranan ekspor CPO dan turunannya Dalam ekspor netto non migas makin penting dan bahkan menjadi katup pengaman. Pada tahun 2004 (Tabel 5.5), kontribusi ekspor CPO dan turunannya baru mencapai 26 persen dari net ekspor non migas dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tahun 2012 dan tahun 2013 pangsa ekspor CPO dan turunannya sudah di atas 100 persen. Artinya, sektor non migas Indonesia terhindar dari defisit trade, karena adanya ekspor CPO dan turunannya. Peran penting dari ekspor CPO dan turunanya dalam perekonomian makin jelas jika dilihat dalam neraca transaksi berjalan (current account), NTB, Indonesia (Tabel 5.6). Jika ekspor CPO dan produk turunannya tidak diperhitungkan (tanpa minyak sawit) NTB Indonesia sudah mengalami defisit sejak tahun Dan defisit NTB tersebut mengalami peningkatan sejak tahun 2008 sampai Defisit NTB makin membengkak pada tahun 2012 dan 2013 ketika total net ekspor Indonesia (non migas dan migas) mengalamin defisit berturutturut 12,7 dan 13 Milyar dollar USA, sehingga defisit NTB menjadi sekitar 45 dan 47 milyar dollar USA. Jika ekspor CPO dan turunannya diperhitungkan (dengan minyak sawit), NTB Indonesia sejak tahun masih positif. Defisit NTB tahun 2012 dan 2013 tidak lagi mampu di tutup oleh ekspor CPO dan turunannya. 172 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

191 Tabel 5.5. Perkembangan Nilai Ekspor CPO dan Turunannya Serta Pangsanya dalam Net Ekspor Non Migas Indonesia Tahun Tabel 5.6. Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tanpa Minyak sawit Dengan Minyak Sawit ($ milyar) ($ milyar) Net Tahun Net Neraca Neraca Ekspor Ekspor Transaksi Transaksi Barang Barang Total Berjalan berjalan Total Net ekspor non migas ($ Milyar) Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah) Ekspor Minyak sawit ($ milyar) Pangsa (%) Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah) V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 173

192 Dengan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri minyak sawit Indonesia (meskipun masih pada fase sedang bertumbuh) telah berperan menjadi kutub penyelamat NTB pada periode tahun Selain dalam menghasilkan devisa (net ekspor) yang besar, industri minyak sawit juga telah memberikan pendapatan bagi pemerintah dari pungutan bea keluar (Tabel 5.7). Tabel 5.7. Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar Ekspor CPO dan Turunannya, Tahun Tahun Realisasi Penerimaan (Rp. Trilyun) Akumulasi (Rp. Trilyun) Sumber : RAPBN 2013 (Kementerian Keuangan) Sejak pemerintah merubah kebijakan perdagangan internasional CPO dan turunannya dari semula pajak ekspor menjadi bea keluar (export duty) tahun 2007, penerimaan pemerintah dari bea keluar meningkat secara proposional dengan meningkatkan volume ekspor dan harga CPO dan turunannya di pasar internasional. Secara akumulatif sampai tahun 2012, penerimaan pemerintahan telah berjumlah Rp. 79 triliun. Jumlah ini belum memperhitungkan penerimaan pemerintah dari berbagai pajak (PBB, PPh, PPn) dari industri minyak sawit yang diperkirakan cukup besar. Dengan demikian industri minyak sawit Indonesia meskipun masih dalam fase pertumbuhan, perannya baik dalam ekspor maupun penerimaan pemerintah dari bea keluar sudah cukup besar. Diperkirakan kontribusi industri minyak sawit terhadap devisa maupun penerimaan negara akan lebih besar lagi dimasa yang akan datang, seiring dengan makin bertumbuhnya industri minyak sawit. 174 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

193 5.1.4 Menyediakan Minyak Nabati yang Kompetitif Bagi Dunia : Feeding The World Produksi minyak sawit (CPO dan produk turunannya) yang dihasilkan Indonesia merupakan bahan pangan (food oleo), bahan baku industri dan bahan energi (biodiesel), yang diperlukan masyarakat dunia. Dalam periode tahun , sekitar 70 persen dari total produksi CPO Indonesia setiap tahun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dunia dan hanya sekitar 30 persen untuk kebutuhan masyarakat Indonesia. (Gambar 5.2) 100% 80% 60% 40% 20% 0% Konsumsi Dunia (%) Konsumsi Indonesia (%) Gambar 5.2. Penggunaan Produksi CPO (Setara CPO) Indonesia Untuk Konsumsi Ma syarakat Dunia dan Masyarakat Indonesia. Dengan perkataan lain, lokasi produksi CPO memang di Indonesia namun peruntukan sebagian besar untuk kebutuhan masyarakat dunia, khususnya kawasan Asia, Eropa dan Afrika. Beberapa negara kawasan yang menikmati produksi CPO Indonesia adalah sebagiamana disajikan pada Tabel 5.8. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 175

194 Tabel 5.8. Negara/Kawasan Utama yang Menikmati Manfaat Produksi CPO Indonesia untuk Bahan Pangan dan Bahan Baku Industri Sumber : BPS Negara/Kawasan Asia Eropa Afrika India Jerman Mesir Cina Belanda Afrika Selatan Pakistan Spanyol Tanzania Malaysia Perancis Nigeria Singapura Itali Kongo Bangladesh Yunani Tunisia Jepang Rusia Kenya Korea Selatan Belgia Ghana Philipina Inggris Algeria Vietnam Turki Uganda Rest of Asia Rest of Europe Rest of Africa Minyak nabati utama dunia adalah soybean, rapeseed, sunflower, dan minyak sawit. Dalam periode tahun , pergerakan harga CPO konsisten di bawah harga soybean oil, rapeseed oil maupun sunflower oil (Gambar 5.3). Pergerakan harga yang demikian menunjukkan bawa CPO sangat kompetitif baik sebagai subtitut maupun komplemen dalam konsumsi komposit minyak nabati di berbagai negara/kawasan dunia. Secara teori ekonomi (consumsi behaviours) ketersediaan CPO yang lebih murah, dapat mensubstitusi minyak nabati lain yang lebih mahal, sehingga dapat menahan laju kenaikan harga yang lebih tinggi minyak nabati lain. Cina dan India yang merupakan negara dunia yang menikmati hampir 60 persen CPO Indonesia, untuk memenuhi pertumbuhan konsumsin minyak nabati akibat pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat dalam sepuluh tahun terakhir. Harga CPO dunia yang umumnya lebih murah dari harga minyak kedelai, minyak rapeseed, maupun minyak bunga matahari memberi keuntungan bagi dua negara yang populasi penduduknya hampir 50 persen penduduk dunia. 176 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

195 Jan-00 Oct-00 Jul-01 Apr-02 Jan-03 Oct-03 Jul-04 Apr-05 Jan-06 Oct-06 Jul-07 Apr-08 Jan-09 Oct-09 Jul-10 Apr-11 Jan-12 Oct-12 Jul CPO RPO SBO SFO Gambar.5.3. Harga Minyak Sawit (CPO) Lebih Kompetitif daripada Soybean Oil (SBO), Rapeseed Oil, (RPO), dan Sunflower Oil (SFO) Bagi negara kawasan Afrika dimana umumnya berpendapatan rendah ketersediaan CPO baik sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri memberi manfaat bagi rakyat Afrika. Manfaat yang dinikmati selain harga CPO lebih murah, juga dampak tidak langsung harga CPO terhadap harga minyak nabati lainnya. Minyak sawit sebagai subtitusi dan atau komplemen minyak nabati lain, dapat mencegah kenaikan minyak kedele yang berlebihan baik karena pertumbuhan konsumsi maupun akibat kekurangan pasokan. Sehingga dengan tingkat pendapatan yang sama, daya beli masyarakat Afrika untuk minyak nabati meningkat. Untuk mayarakat kawasan Eropa, kehadiran minyak sawit yang lebih murah berdampak luas bagi ekonomi Eropa secara keseluruhan. Negara Eropa yang merupakan negara-negara berpendapatan tinggi dan konsumsi tinggi (termasuk minyak nabati), ketersediaan minyak sawit yang lebih murah relatif dibandingkan soybean, rapeseed, sunflower oil dan lain-lain memungkinkan masyarakat Eropa dapat mempertahankan tingkat konsumsi tinggi atau mempertahankan tingkat kesejahteraannya. Ketersediaan minyak sawit yang lebih murah secara global, juga menghindarkan industri-industri oleo kimia global terhindar dari kebangkrutan. Rapilus and Ahmad (2007) mengungkapkan bahwa industri oleo kimia Eropa, USA, Jepang, banyak mengalami under capacity terancam bangkrut akibat kekurangan bahan baku. Pemain industri oleokimia global seperti Henkel, Unilever, Lonza, KAO, Protector and Gamble, Petrosina, Akzo Nobel, Degusa, Rhom, Stock Hausen, Gold schimidt, C W Hulse, Rutgers, Wella, Gillete, Clairol, V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 177

196 Dial, Schwarzkoff dan lain-lain, terpaksa harus melakukan konsolidasi dengan berbagai cara antara lain, akibat kekurangan bahan baku. Sebagian besar industri oleo kimia global tersebut melakukan relokasi (subsidiary) dan kemitraan dengan negara-negara produsen CPO seperti Indonesia dan Malaysia. Ketersediaan minyak sawit yang cukup besar dan relatif murah secara global, juga dapat membantu mengurangi fuel-food trade-off yang dihadapi masyarakat Eropa dan USA, dalam kebijakan mandatori biodiesel. OECD (2006) memperkirakan bahwa bila target 10 persen konsumsi energi fosil disubtitusi dengan biofuel, maka 70 persen lahan pertanian Uni Eropa dan 30 persen lahan pertanian USA, harus dikonversi untuk tanaman bahan baku biofuel. Trade-off yang demikian dapat dikurangi jika Eropa dan USA bersedia meningkatkan konsumsi minyak sawit yang lebih besar sehingga dapat mengurangi tekanan pada minyak nabati produksi domestiknya. Dengan demikian perkebunan kelapa sawit Indonesia dapat di katakan adalah untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia (Feeding The World), Indonesian Palm Oil Industri for : Asian People, for European People, for American People and for African People. Manfaat kesejahteraan yang diciptakan perkebunan kelapa sawit Indonesia, sebagian besar dinikmati masyarakat internasional. 5.2 Peran Industri Minyak Sawit Dalam Pembangunan Pedesaan Pembangunan daerah pedesaan (rural development) merupakan salah satu fokus kebijakan pembangunan di Indonesia. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000, dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan daerah pedesaan yang tertinggal dibandingkan pembangunan kawasan perkotaan. Perhatian pada percepatan pembangunan di Indonesia memang sangat diperlukan mengingat: (1) sebagian besar penduduk Indonesia yakni 58 persen (tahun 2000) dan 50 persen (tahun 2012) berada di kawasan pedesaan yang perlu ditingkatkan kesejahteraannya; (2) Angatan kerja terbesar berada dan bekerja dikawasan pedesaan/pertanian; (3) Jumlah penduduk miskin Indonesia sebagian besar berada dikawasan pedesaan/pertanian. Berdasarkan fakta ini (ADB, 2004) pembangunan pedesaan di Indonesia hendaklah fokus pada peningkatan pendapatan di pedesaan (pro-rural income) dan pengurangan kemiskinan (pro-poor). Bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi daerah pedesaan/pertanian setinggi mungkin, merupakan sasaran penting untuk meningkatkan pendapatan di pedesaan dan pengurangan kemiskinan (ADB, 2004). Mengacu pada Say s Law, kunci terjadiya 178 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

197 penciptaan pedapatan (income generating) adalah menumbuh kembangkan dunia usaha (firms) di kawasan pedesaan baik usaha keluarga, usaha kelompok, usaha kecil-menengah maupun korporasi, yang berbasis pada sumberdaya yang tersedia dikawasan pedesaan. Melalui proses produksi, pendapatan tercipta dan terdistribusi melalui mekanisme factor-payment. Semakin besar jumlah dan ragam dunia usaha yang berkembang di kawasan pedesaan, semakin besar dan beragam pendapatan yang tercipta dikawasan pedesaan Perkebunan Kelapa Sawit: Menumbuhkan Pusat Pertumbuhan Baru Pedesaan Sejak awal pengembangan perkebunan kelapa sawit tahun an di Indonesia, baik sebagai bagian dari pembangunan pertanian maupun pengembangan daerah (transmigrasi), ditujukan untuk membuka dan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Daerah terbelakang (hinter land) yang tertinggal/degraded land dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan merupakan kegiatan ekonomi pioner, kemudian menarik pengembangan sektor-sektor lain di kawasan pedesaaan dan melahirkan pusat-pusat petumbuhan ekonomi baru. Evolusi perkembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara umum mengikuti dua fase (Gambar 5.4). Fase pertama, yakni Gestation Stage. Daerah pedesaan yang umumnya masih kosong, terisolasi atau degraded land/ghost town yang ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara (BUMN) atau perusahaan swasta yang bertindak sebagai inti. Sementara masyarakat lokal bertindak sebagai plasma. Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka PN/PS harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road) dengan investasi besar. Selain itu, investasi yang dikeluarkan inti (4-5 tahun) mencakup pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 179

198 PS: Perkebunan Swasta PN: Perkebunan Negara PRP: Perkebunan Rakyat Plasma PRM: Perkebunan Rakyat Mandiri SB: Suplier Barang SJ: Suplier Jasa SF: Suplier Bahan Pangan Gambar 5.4. Evolusi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Menjadi Agropolitan/Kawasan Industri Perkebunan di Kawasan Pedesaan di Indonesia Fase kedua, yakni Growth Stages. Umumnya setelah 5 tahun, keberhasilan inti plasma menarik investasi petani lokal untuk menanam kelapa sawit (perkebunan rakyat mandiri). Umumnya jumlah perkebunan rakyat ini bertumbuh cepat dalam suatu wilayah sehingga luas kebun perkebunan rakyat mandiri secara total lebih luas dari kebun pola PIR. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit baik inti, plasma maupun petani mandiri mendorong berkembangnya usaha kecilmenengah-koperasi (UKMK) yang bergerak pada supplier barang/produk industri perkotaan, maupun pedagang hasil-hasil pertanian/perikanan/peternakan untuk kebutuhan pangan masyarakat perkebunan kelapa sawit (Gambar 5.5). 180 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

199 Pembangunan perumahan/ fasilitas sosial-umum 15% Infrastruktur jalan/jembatan 20% Pemeliharan TBM 30% Pembukaan lahan dan penanaman sawit 35% Gambar 5.5 Komponen Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Tahap Gestation Period di Kawasan Pedesaan Indonesia Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya setelah menghasilkan minyak sawit (CPO) di kawasan tersebut berkembang pusat-pusat pemukiman, perkantoran, pasar, dan lain-lain sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan menjadi suatu agropolitan (kota-kota baru pertanian). Jumlah unit UKMK supplier barang/ jasa untuk perkebunan kelapa sawit dkawasan pedesaan (per 100 ribu TM) cenderung meningkat dari tahun (gambar 5.6). Unit UKM Tahun Gambar 5.6 Rataan Jumlah Unit UKMK Supplier Barang/Jasa untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Pedesaan (Per 100 Ribu TM) V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 181

200 Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014), sampai tahun 2013 telah berkembang daerah perkebunan kelapa sawit telah berkembang menjadi menjadi kawasan pertumbuhan sentra produksi CPO (50 kawasan) di kawasan pedesaan antara lain Sungai Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan (Sumatera Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau), Paranggean (Kalimantan Tengah) dan kawasan lain. Sebagian besar dari kawasan sentra produksi CPO tersebut telah berkembang menjadi kota kecamatan dan kabupaten baru di kawasan pedesaan Menarik Pertumbuhan Sektor Lain di Kawasan Pedesaan Untuk mempercepat pembangunan daerah pedesaan, sektorsektor diluar pertanian/perkebunan (rural non-farm economy) mencakup manufakturing, konstruksi, transportasi, komunikasi, jasa-jasa (Islam, 1997; Rosegrant and Hazell, 2000, Gibb, 1974; Anderson and Leiserson 1980), perlu dikembangkan. Hal ini penting untuk kondisi kawasan pedesaan Indonesia mengingat sebagian besar penduduk, angkatan kerja dan bahkan penduduk miskin berada pada rural non-farm economy tersebut (ADB, 2004). Tabel 5.9. Sektor-sektor Rural Non-Farm yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Produksi CPO Rank Sektor 1 Sektor keuangan 2 Sektor jasa lainnya 3 Perdagangan, hotel, restoran 4 Kimia dasar, pupuk/pestisida 5 Minyak, gas dan tambang 6 Transportasi 7 Infrastruktur 8 Pengolahan Makanan 9 Alat-alat listrik 10 Sektor lainnya Sumber: Tabel I-O Indonesia Peningkatan produksi CPO pada kawasan sentra produksi CPO di kawasan pedesaan juga terkait dan berdampak luas pada sektor rural non-farm economy (Tabel 5.9) 182 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

201 Jika output perkebunan kelapa sawit (produksi CPO) bertumbuh, sekitar 40 persen berdampak pada pertumbuhan sektor rural non-farm seperti lembaga keuangan, perdagangan/restoran, hotel, transportasi, infrastruktur, dan sektor-sektor lain (Amzul, 2011). Hal ini berarti pertumbuhan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada perkebunan kelapa sawit, melainkan sebagian (40 persen) dinikmati masyarakat yang bekerja diluar perkebunan kelapa sawit di pedesaan. Dengan perkataan lain, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di kawasan pedesaan akan meningkatkan kapasitas perekonomian daerah pedesaan dalam menghasilkan output/pendapatan dan kesepatan kerja baik pada perkebunan kelapa sawit maupun pada sektor lain (rural non-farm) di kawasan pedesaan. Bahkan bukan hanya masyarakat pedesaan saja yang menikmati dampak ekonomi perkebunan kelapa sawit, melainkan juga dinikmati sektor perkotaan seperti lembaga keuangan, restoran dan hotel, food processing dan electric equipment and manufacturing sector. Membangun perkebunan kelapa sawit bukan hanya membangun pedesaan tetapi juga bagian dari cara membangun perkotaan Pertumbuhan Produksi CPO Memacu Pertumbuhan Ekonomi Sentra Sawit Pertumbuhan produksi perkebunan kelapa sawit termasuk dampaknya terhadap sektor rural non-farm akan terlihat dalam Produk Domestik Bruto (PDB) non migas dan tambang di daerah sentra sawit di Indonesia. Produksi CPO berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDB non migas sentra perkebunan kelapa sawit Nasional (gambar 5.7). Peningkatan produksi CPO berhasil meningkatkan PDB non migas daerah sentra sawit di Indonesia. Elastisitas produksi CPO terhadap PDB non migas sentra sawit bernilai Peningkatan satu persen produksi CPO baik secara langsung (melalui kontribusi nilai tambah) maupun secara tidak langsung (melalui multiplier nilai tambah dari sektor lain), meningkatkan 2.46 persen PDB non migas di daerah sentra sawit di Indonesia. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 183

202 Rp Trillyun Pengaruh Produksi CPO Teradap PDB PDB = CPO R 2 = 0.91 E= Ribu ton Gambar 5.7. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit Nasional Perekonomian Sentra Sawit Bertumbuh Lebih Cepat Dibanding Non Sentra Sawit Kontribusi positif dan elastis dari produksi CPO terhadap PDRB non migas sentra sawit di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, secara lintas waktu (overtime) menyebabkan pertumbuhan PDRB non migas sentra-sentra sawit lebih cepat daripada pertumbuhan PDRB non sentra sawit. Akibatnya, dengan meningkatnya produksi CPO, PDRB non migas sentra sawit makin meninggalkan PDRB non migas non sentra sawit (Gambar 5.6). Perbedaan PDRB non migas antara sentra sawit dengan non sentra sawit di Sumatera Utara (provinsi tertua sawit) sudah mulai terlihat sejak tahun Kemudian setelah tahun 1990 perbedaan tersebut makin besar khususnya setelah tahun Semakin meningkat produksi CPO semakin cepat bertumbuh PDRB non migas sentra sawit dan makin meninggalkan pertumbuhan PDRB non migas non sentra sawit. 184 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

203 Rp Trilyun PDRB Sentra Sawit dan non Sentra Sawit di Indonesia Kabupaten Sawit Kabupaten Non Sawit Gambar Perbandingan PDRB Sentra Sawit dengan Non Sentra Sawit Nasional Hal yang menarik adalah Riau. Sampai tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit dengan non sentra sawit masih relatif sama. Namun setelah tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit lebih cepat bertumbuh dibandingkan PDRB non migas senta sawit makin besar dengan non sentra sawit. Hal ini terjadi karena sebelum tahun 2006 sebagian besar perkebunan kelapa sawit Riau masih TBM dan TM muda. Namun setelah tahun 2006 produksi CPO Riau bertumbuh cepat. Perbedaan lebih kontras antara PDRB non migas sentra sawit dengan non sentra sawit terjadi di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Pertumbuhan produksi CPO yang lebih tinggi setelah tahun 2000, telah memacu pertumbuhan yang lebih cepat PDRB non migas pada kedua sentra sawit tersebut. Bukti-bukti emperis tersebut menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan bagian penting dari upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil studi ini juga mengukuhkan hasil studi (Susila, 2004; World Growth, 2011; Joni, 2012; Rofiq, 2012) yang menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan daerah pedesaan (rural development). V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 185

204 5.3 Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Mengurangi Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi masyarakat internasional termasuk Indonesia. Jumlah penduduk miskin memang telah cenderung turun seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (BPS, 2013) telah turun dari 42,3 juta orang (28,6 persen dari jumlah penduduk tahun 1980) menjadi 28,6 juta orang (11,7 persen dari jumlah penduduk tahun 2012). Dari jumlah tersebut, penduduk miskin di pedesaan juga telah turun dari 32,8 juta orang tahun 1980 menjadi 18 juta orang tahun Karakteristik penduduk miskin dikawasan pedesaan Asia (Dixon, 1990) antara lain lahan sempit, kurang gizi, kurang pendidikan, pendapatan rendah, terisolasi, dan usia harapan hidup yang rendah. Sedangkan untuk penduduk miskin pedesaan di Indonesia umumnya akses pendidikan dan kesehatan rendah, infrastruktur (air minum, transportasi, listrik) rendah serta sanitasi buruk (World Bank, 2001), pendidikan keterampilan rendah, miskin sumberdaya, tergantung pada pertanian subsisten, dan berpendapatan rendah (ADB, 2004). Untuk mengatasi kemiskinan penduduk secara berkelanjutan diperlukan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi pedesaan dimana penduduk miskin berada. Pertumbuhan ekonomi (pendapatan) yang menyasar pada kemiskinan merupakan keharusan dalam kebijakan pembangunan di Indonesia (ADB, 2001). Dengan meningkatnya pendapatan penduduk miskin maka akan membuka akses penduduk miskin pada pendidikan, kesehatan maupun aspek kesejahteraan yang lebih luas dan lebih berkualitas Merubah Petani Miskin Menjadi Pengusaha Sumber pendapatan utama dari penduduk miskin pedesaan Indonesia adalah dari upah tenaga kerja pertanian dan dari pertanian skala kecil (ADB, 2004). Dengan fakta ini, maka untuk mengeluarkan penduduk miskin dari kemiskinannya salah satunya adalah memperbesar skala ekonomi pertaniannya, sehingga memperoleh pendapatan yang cukup untuk membiayai hidup keluarganya. Program perkebunan inti rakyat (Nucleus Estate Smallholder, NES) yang dilaksanakan pemerintah merupakan pintu masuk (entry point) keikutsertaan perkebunan rakyat dalam perkebunan kelapa sawit nasional (Badrun, 2010: Sipayung, 2012). PIR/NES yang dimaksud mencakup PIR Berbatuan (NES Subsidy), PIR Lokal (NES-Local), PIR 186 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

205 Khusus (Specific NES) yang dilaksanakan pemerintah tahun ; kemudian dilanjutkan PIR Transmigrasi (NES Transmigration) dalam periode ; PIR Kredit Koperasi Para Anggota/KKPA (NES- Coperation Credit) tahun maupun PIR Revitalisasi perkebunan (NES-Revitalize of Plantation) sejak tahun Rangkaian kebijakan dan program NES tersebut. bukan hanya berhasil untuk perkebunan rakyat yang menjadi peserta NES, tetapi jasa merangsang dan meyakinkan petani lain (diluar peserta) untuk masuk pada perkebunan kelapa sawit secara mandiri (petani sawit mandiri). Tabel Perkembangan Jumlah Unit Usaha Keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat di Indonesia Tahun Jumlah Unit Usaha Petani Sawit (Ribu/Unit Usaha) Luas (Ribu Ha) Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Jumlah unit usaha petani kelapa sawit (Tabel 5.10) meningkat cepat dari hanya 142 ribu unit usaha keluarga tahun 1990 menjadi 3,7 juta unit usaha keluarga tahun Demikian juga luas perkebunan kelapa sawit rakyat meningkat secara revolusioner dari hanya 291 ribu hektar tahun 1990 menjadi 3,8 juta hektar tahun Peningkatan unit usaha yang demikian dapat dimaknai bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah merubah 3,7 juta keluarga miskin (petani) menjadi pengusaha sawit. Untuk konteks Indonesia, tidak banyak (jika bukan satu-satunya) sektor ekonomi yang yang mampu merubah petani kecil/miskin menjadi pengusaha sawit sebanyak dan secepat itu. Dengan menjadi pengusaha sawit yang demikian, kehidupan ekonomi keluarga petani sawit tersebut akan lebih terjamin hingga setidak-tidaknya dalam 25 tahun (replanting kelapa sawit umur 25 tahun). Dengan replanting berikutnya akan menyambung kehidupan ekonomi bagi keturunannya secara berkelanjutan. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 187

206 5.3.2 Menciptakan Kesempatan Kerja di Kawasan Pedesaan Selain menjadi pengusaha kelapa sawit, cara untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan adalah menciptakan kesempatan kerja baru yang sesuai dengan karakteristik tenaga kerja pedesaan. Salah satu karakteristik penduduk miskin di pedesaan adalah bekerja secara musiman di pertanian (ADB, 2004). Secara keseluruhan tingkat pendidikan penduduk dipedesaan juga umumnya rendah. Oleh karena itu, untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan hendaklah mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang lebih banyak menyerap tenaga kerja yang sesuai dengan karakteristik/latar belakang tenaga kerja pedesaan. Perkebunan kelapa sawit merupakan sektor ekonomi dengan teknologi padat kerja (labor intensive). Tidak hanya padat kerja tetapi juga akomodatif terhadap keragaman mutu/skill tenaga kerja pedesaan. Secara umum, struktur pendidikan penduduk di kawasan pedesaan (BPS, 2002) sebagian besar merupakan tenaga kerja berpendidikan sekolah dasar ke bawah. Jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang terserap di perkebunan kelapa sawit menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit secara umum lebih akomodatif terhadap tenaga kerja yang tersedia dikawasan pedesaan. Penyerapan tenaga kerja pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Tabel 5.11) mengalami peningkatan dari tahun ketahun seiring dengan perluasan kebun, peningkatan produksi dan perkembangan industri hulu dan hilir. Pada tahun 2000, jumlah tenaga kerja yang bekerja pada perkebunan kelapa sawit baru sekitar 3,4 juta orang, tahun 2000 meningkat menjadi 9,3 juta orang tahun Dengan fakta tersebut perkebunan kelapa sawit merupakan sektor ekonomi pedesaan yang bersifat pro-job. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit menciptakan kesempatan kerja baru di pedesaan. Jika diasumsikan setiap pekerja menanggung 4 orang anggota keluarga, maka dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 2013, sekitar 37 juta orang penduduk memiliki sumber pendapatan dari perkebunan kelapa sawit. Kesempatan kerja tidak hanya tercipta pada perkebunan sawit saja jika perkebunan kelapa sawit bertumbuh. Pertumbuhan produksi kelapa sawit (CPO) akan menciptakan kesepakatan kerja baru di sektor lain (Tabel 5.12) melalui dampak multiplier dari pertumbuhan CPO itu sendiri di pedesaan. 188 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

207 Tabel Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Uraian A. Tenaga kerja pada UKMK Suplier barang/jasa perkebunan sawit B. Tenaga kerja pada Perkebunan kelapa sawit 1. Tenaga kerja (orang) 2. Karyawan Perusahaan Total TK (orang) Tabel Sektor-Sektor Ekonomi yang Bertumbuh Penyerapan Tenaga Kerja Jika Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Bertumbuh Rank Sektor-sektor Ekonomi 1 Jasa Pertanian 2 Perdagangan, Restoran, Hotel 3 Perternakan, Kesehatan dan Perikanan 4 Tanaman Pangan 5 Transportasi 6 Sektor Keuangan 7 Industri Kimia 8 Sektor Lain Sumber: Tabel I-0 Indonesia Dampak multiplier kesempatan kerja perkebunan kelapa sawit menciptakan kesempatan kerja baru dalam perekonomian dimana sekitar 10 persen terjadi diluar perkebunan kelapa sawit (Amzul, 2011). Jika produksi CPO bertambah (akibat permintaan pasar), kesempatan kerja tidak hanya bertumbuh pada perkebunan kelapa sawit, melainkan juga disektor-sektor lain. Bahkan dampak multiplier pertumbuhan produksi CPO juga meningkatkan kesempatan kerja baru di sektor perkotaan seperti sektor keuangan dan industri kimia. Hal ini menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan sektor yang efektif mengurangi tingkat pengangguran khususnya dipedesaan. Karakteristik teknologi perkebunan kelapa sawit yang padat karya (labor intensive) dan akomodatif terhadap berbagai keragaman kualitas tenaga kerja seperti penduduk miskin dipedesaan, menjadikan V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 189

208 perkebunan kelapa sawit menjadi bagian solusi penting untuk mengurangi pengangguran atau memberi kesempatan kerja bagi penduduk miskin pedesaan Pendapatan Petani Sawit Meningkat Cepat Untuk mengeluarkan petani dari kemiskinan dan untuk meningkatkan kesejahteraannya, peningkatan pendapatan secara berkelanjutan mutlak diperlukan. Hanya melalui peningkatan pendapatan yang memadai dan sustainable para petani dan keluarganya mampu mencapai kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik dan mutu kehidupan yang lebih baik. Pendapatan petani sawit (gambar 5.9) baik plasma maupun petani sawit mandiri pada wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah bertumbuh cepat. Pendapatan petani dari perkebunan kelapa sawit tergantung berbagai faktor seperti tingkat produktivitas, biaya, skala usaha dan harga jual. Greig-Gran (2008) menemukan bahan pendapatan petani sawit plasma mencapai $ 2100/ha, sementara petani sawit mandiri dengan produktivitas rendah mencapai $ 2340/ha. Sedangkan Stern Review (World Growth, 2011) menemukan pendapatan petani sawit tahun 2007 mencapai $ /ha Perbandingan Pendapatan Petani (Rp juta/thn) Petani Plasma Petani Mandiri Petani Non-Sawit Gambar Perbandingan Pendapatan Petani Sawit Plasma, Mandiri, dan Petani Non Sawit Nasional 190 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

209 5.3.4 Pertumbuhan Asset Petani Sawit Aset utama petani (kebun sawit) juga meningkat dengan meningkatnya umur tanaman (Gambar 5.10). Nilai Asset Petani (Rp Juta) 1, Plasma Mandiri Non Sawit Gambar Pertumbuhan Asset Petani Sawit Nasional Pertumbuhan asset petani sawit yang demikian menunjukan bahwa kapasitas ekonomi petani sawit dalam menghasilkan pendapatan makin meningkat. Selain itu, mengingat aset petani tersebut merupakan tanaman tahunan produktif yang economic life time-nya sampai 25 tahun, berarti kesinambungan pendapatan petani dan keluarganya akan terjamin (sustainable). Dengan perkataan lain, pendapatan petani sawit bukan hanya relatif besar dan meningkat tetapi juga berkelanjutan (sustainable). Dengan pendapatan yang sustainable tersebut keluarga petani dapat meningkat kesejahteraannya termasuk jaminan kesejahteraan keturunannya dan masa tua petani yang lebih berkualitas Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit Lebih Tinggi dari Petani Non Sawit Jika dibandingkan pendapatan rumah tangga petani sawit dengan rumah tangga petani non sawit secara umum pendapatan petani sawit lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit (Tabel 5.13) V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 191

210 Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dari pada petani non sawit juga ditemukan Stern Review (World Growth, 2011) yakni petani sawit ($ /ha), petani karet ($ 72/ha), petani padi ($ 28/ha), petani ubi kayu (C$ 19/ha) dan petani kayu ($ 1099/ha). Tabel Perbandingan Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit dengan Petani Non Sawit (Rp Juta/Tahun) Petani Plasma Petani Mandiri Petani Non-Sawit Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit dapat dimaknai beberapa hal yakni: (1) untuk meningkatkan pendapatan petani, khususnya mengatasi kemiskinan, penggunaan lahan untuk kebun sawit lebih efektif daripada penggunaan untuk tanaman lain; (2) fenomena konversi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit merupakan fenomena alamiah dan rasional dari sudut pandang kepentingan petani Mengatasi Kemiskinan dan Menciptakan Kelas Ekonomi Menengah di Pedesaan Perbandingan pendapatan petani sawit dengan garis kemiskinan serta pendapatan per kapita nasional (Tabel 5.14) menunjukan bahwa jika dibandingkan pendapatan per kapita petani sawit plasma, petani sawit mandiri telah jauh diatas garis kemiskinan nasional. Bahkan pendapatan petani non sawit disekitar perkebunan kelapa sawit (petani karet, padi, sayuran) juga telah diatas garis kemiskinan meskipun jauh dibawah pendapatan petani sawit plasma maupun petani sawit mandiri. Namun, bila dibandingkan, pendapatan per kapita petani sawit plasma dan mandiri telah mendekati pendapatan per kapita non migas nasional. Bahkan pada beberapa tahun telah melampaui pendapatan per kapita non migas nasional. Berbeda dengan petani sawit, pendapatan per-kapita petani non sawit masih jauh dibawah pendapatan per kapita non migas nasional. Jika pendapatan per kapita non migas nasional dijadikan ukuran tingkat pendapatan menengah (middle income class), maka petani 192 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

211 sawit baik plasma maupun mandiri telah tergolong pada penduduk Indonesia yang berpendapatan menengah. Dengan fakta empiris ini, perkebunan kelapa sawit Indonesia bukan hanya berhasil menarik para petani keluar dari kemiskinan tetapi juga berhasil menempatkan mereka menjadi penduduk middle income class nasional. Dengan jumlah keluarga petani sawit nasional tahun 2013 berjumlah 3,7 juta keluarga dan dengan rata-rata anggota keluarga (family size) 4 orang, berarti sekitar 14,8 juta orang penduduk Indonesia telah terbebas dari kemiskinan melalui perkebunan kelapa sawit dan bahkan sebagian besar diantaranya berhasil menjadi middle income class nasional meskipun tinggal dikawasan pedesaan. Hasil studi ini mengukuhkan studi (Susila, 2004; Goenadi, 2008; World Growth, 2011; Joni, 2012; Rofiq, 2012) yang mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan sektor yang berhasil mengurangi kemiskinan (pro-poor) Perkebunan Kelapa Sawit Menurunkan Kemiskinan di Pedesaan Dampak pertumbuhan produksi CPO (akibat peningkatan permintaan CPO) terhadap peningkatan pendapatan (multiplier income) tidak hanya dinikmati pelaku perkebunan kelapa sawit saja melainkan juga dinikmati masyarakat yang bekerja disektor-sektor ekonomi lain (Tabel 5.15). Dari pendapatan yang tercipta dalam perekonomian akibat pertumbuhan CPO, sekitar 64 persen dinikmati pelaku perkebunan kelapa sawit dan sisanya yakni 36 persen dinikmati sektor-sektor lain baik yang ada dipedesaan maupun di perkotaan (Amzul, 2011). Tabel 5.14 Perbandingan Pendapatan per Kapita Petani Sawit, Garis Kemiskinan dan Pendapatan per Kapita Nasional (Rp Juta per Kapita) Tahun Poverty Line Rataan Pendapatan Petani Sawit Kota Desa Plasma Mandiri Rataan Pendapatan Petani Non Sawit Pendapatan per Kapita Non Migas Nasional , V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 193

212 Tabel Sektor-sektor Ekonomi (Diluar Perkebunan Sawit) yang Meningkat Pendapatannya Akibat Pertumbuhan Produksi CPO Rank 1 Jasa Lainnya 2 Sektor Keuangan 3 Trade, Restoran, Hotel Sektor 4 Basic Chemical, Feirtilizer and Pesticide 5 Transportation 6 Infrastruktur 7 Oil, Gas and Mining 8 Agriculture Infrastruktur 9 Agriculture Service 10 Others Sektor Sumber: Tabel I-O Statistik Indonesia (2008) Manfaat pertumbuhan produksi CPO (misalnya akibat ekspor) bukan hanya dinikmati pemilik kebun sawit tetapi juga tenaga kerja baik yang bekerja di perkebunan kelapa sawit maupun tenag kerja diluar perkebunan/pertanian (termasuk diperkotaan). Dengan dampak perubahan perkebunan produksi kelapa sawit yang demikian maka peningkatan produksi CPO berkaitan dengan penurunan kemiskinan (Gambar 5.11). Meningkatnya produksi CPO, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah pedesaan sehingga menurunkan angka kemiskinan. Peningkatan produksi CPO menurunkan kemiskinan pada kabupaten-kabupaten sentra sawit di Indonesia. Setiap peningkatan produksi CPO sebesar 10 persen, menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 7.7 persen. 194 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

213 Kemiskinan (%) = CPO E= R 2 = Gambar Pengaruh Produksi CPO terhadap Penurunan Kemiskinan di Sentra Sawit Nasional Dengan fakta emperis ini, peningkatan produksi CPO baik melalui peningkatan produktivitas, rendemen maupun perluasan kebun didaerah-daerah sentra sawit adalah menurunkan persentase kemiskinan (pro-poor). Oleh karena itu pemerintah daerah perlu memfasilitasi terjadinya peningkatan produksi CPO disentra-sentra sawit, karena akan menurunkan jumlah penduduk miskin didaerah yang bersangkutan. Goenadi (2008) mengemukakan bahwa lebih dari 6 juta orang yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia keluar dari kemiskinan. World Growth (2009) mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dan signifikan dalam mengurangi kemiskinan. 5.4 Kontribusi Industri Minyak Sawit dalam Pelestarian Lingkungan Dewasa ini, ekosistem planet bumi mengalami kemerosotan mutu lingkungan. Salah satuya adalah terjadinya pemanasan global (global warming) yang telah memicu terjadinya berbagai bentuk perubahan iklim global (global climate change) seperti anomali iklim, banjir, kekeringan dan lain-lain, dan telah menimbulkan berbagai kerugian di berbagai belahan bumi. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 195

214 Masalah pemanasan global beserta dampaknya pada perubahan iklim tersebut sudah lama menjadi perhatian masyarakat global. Berbagai forum multilateral telah dibentuk dan bekerja untuk memahami, menjelaskan, dan merumuskan langkah-langkah mitigasi pemanasan global dan dampaknya. Pesannya jelas bahwa semua orang, lembaga organisasi, negara, sektor-sektor pembangunan hendaklah menjadi bagian solusi dari masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah pemanasan global secara internasional telah disepakati komitmen untuk: (1) Mengurangi emisi gas rumah kaca dan (2) Menyerap kembali gas rumah kaca (CO 2) dari atmosfir bumi. Untuk kedua cara tersebut, perkebunan kelapa sawit merupakan bagian penting dari solusi. Peranan perkebunan kelapa sawit secara ekologis dan minyak sawit yang bersifat renewable energi dan menghemat emisi, berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan global Kebijakan dan Regulasi Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia yang Berkelanjutan Untuk mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, Indonesia telah memiliki regulasi dan kebijakan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, mulai dari kebijakan nasional, sektoral, daerah sampai pada level perusahaan. Pada level nasional (kebijakan nasional), Indonesia telah memiliki setidaknya 9 Undang-Undang dan 6 Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar kebijakan nasional bagi tata kelola dan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit (Tabel 5.16). Kemudian untuk kebijakan sektoral Indonesia juga memiliki Peraturan Menteri yang mengatur dan mengelola pembangunan perkebunan kelapa sawit. Pada level perusahaan, tata kelola perusahaan perkebunan kelapa sawit diaplikasikan dalam berbagai variasi penerapan manajemen seperti Good Agriculture Practices, Good Manufacturing Practices, ISO 9001,14000, 2600; SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja), Good Corporate Governance, ISPO (Indonesian Sustainability Palm Oil), RSPO (RoundTabel Sustainability Palm Oil). Pelaksanaan tata kelola yang demikian mulai dari level kebijakan nasional, sektoral, dan perusahaan, telah berada pada on the right track menuju sustainable palm oil industri yang makin baik. 196 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

215 Tabel Kebijakan dan Regulasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia Regulasi/ kebijakan Tentang I. Undang- undang UU No. 12 Tahun 1992 UU No. 5 Tahun 1960 UU No. 13 Tahun 2003 UU No. 18 Tahun 2004 UU No. 32 Tahun 2009 II. III. UU No. 26 Tahun 2007 UU No. 5 Tahun 1990 UU No. 41 Tahun 1999 UU No. 17 Tahun 2004 Peraturan Pemerintah (PP) PP 7/1973 PP 6/1995 PP 85/1999 PP 8/2001 PP 51/2007 PP 31/2009 Peraturan/ Keputusan Menteri No. 33/Permentan/O.T 140/7/2006 No. 98/Permentan/Q.T 140/9/2013 No. 58/Permentan/OT.140/8/2007 No.07/Permentan/OT.140/2/2009 No. 14/Permentan/OT.110/2/2009 No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 No /Kpts/OT.100/10/2003 No. 633/Kpts/OT.140/10/2004 Sistem Budidaya Tanaman Peraturan Dasar Pokok Agraria Ketenagakerjaan Perkebunan Pengelolaan Lingkungan Hidup Penataan Ruang Konservasi SDA Hayati Dan Ekosistemnya Kehutanan Pengesahan Kyoto Protokal To The United Nations Framework Convention On Climate Change Pestisida Perlindungan Tanaman Pengelolaan Limbah Berbahaya Dan Racun Pupuk Budidaya Tanaman Indikasi Geografis Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Revitalisasi Perkebunan Pedoman Izin Usaha Perkebunan. Sistem Standarisasi Nasional Pertanian/Perkebunan. Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budi daya Perkebunan. Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO). Klasifikasi Perusahaan Perkebunan. Pedoman Kriteria Dan Standarisasi Klasifikasi Kimbun V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 197

216 IV. Level Perusahaan Good Agriculture Practices Good Manufacturing Practices ISO 9001 (Quality Management System) ISO (Environmental Management Standar) ISO (Corporate Social Responsibility) SMK 3 (Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja) ISPO/RSPO Good Corporate Governance Sumber: Kementerian Pertanian Sejak diberlakukannya ISPO tahun 2011, secara bertahap perusahaan perkebunan kelapa sawit telah dan sedang memperoleh sertifikasi ISPO dan RSPO. Pelaksanaan ISPO di Indonesia bersifat mandatory sehingga seluruh perkebunan kelapa sawit harus melaksanakan ISPO. Sedangkan RSPO bersifat sukarela, namun banyak perusahaan yang sudah dan sedang proses sertifikasi RSPO Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dari Degraded Land dan Low-Carbon Selama ini berkembang opini global (oleh LSM transnasional ) yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah dari konversi hutan primer. Opini dan tuduhan tersebut perlu di buktikan secara empiris apakah benar atau salah. Hasil analisis penutupan lahan (Land Cover) citra satelit yang dilakukan CIFOR (Gunarso et al.,2012) menunjukan bahwa tidak benar bahwa lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagaian besar berasal dari hutan primer (Gambar 5.12). Sumber lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar bersumber dari lahan degraded land dan low-carbon, seperti lahan terlantar (waste land), lahan pertanian, hutan rusak dan tanaman industri. 198 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

217 Lahan Terlantar 43.45% Lahan Pertanian 14.40% Disturbed Forest 26.55% Tanaman Industri 12.60% Unsdisturbed Forest 3.00% Sumber: Gunarso et al., 2012 Gambar Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun Dalam periode tahun , terjadi tambahan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 6.7 juta hektar. Berdasarkan citra satelit tersebut, sebesar 43 persen berasal dari lahan terlantar (waste land), dari lahan pertanian (14 persen ), lahan hutan tanaman industri (12%). Sumber lahan untuk perkebunan kelapa sawit dalam periode tersebut adalah umumnya dari degraded land dan lowcarbon. Hasil penelitian Gunarso et al., (2012) tersebut mematahkan hasil kajian Koh and Wilcove, (2008) yang mengatakan bahwa 67 persen perkebunan kelapa sawit Indonesia berasal dari konversi hutan primer Hasil citra satelit tersebut dapat dikonfirmasi dengan data tata guna lahan di Indonesia (Tabel 5.17). Indonesia memiliki land area seluas juta hektar dari total land area sebagian besar yakni 136 juta hektar adalah hutan (72 persen dari total land area). Dari luas hutan tersebut sekitar 54 juta hektar adalah hutan lindung dan hutan konservasi (tropical virgin forest). Hutan lindung dan konservasi sesuai undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan diperuntukan untuk pelestarian biodiversity baik fauna (Orang Utan, Mawas, Harimau, Gajah, Badak, Aneka Burung, dll), flora (aneka ragam tumbuhan) serta konservasi tanah dan air. Keberadaan hutan tersebut khususnya hutan lindung dan hutan konservasi harus dilindungi, dijaga, dan dirawat keberadaannya karena memiliki fungsi ekologis (biodiversity) yang tidak tergantikan. Selain itu, sebagai tropical virgin forrest, hutan lindung dan hutan konversi merupakan stok karbon global. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 199

218 Tabel Perubahan Penggunaan Lahan untuk Hutan, Perkebunan dan Penggunaan Lain di Indonesia (Juta Hektar) Land Use Hutan Lindung Hutan Suaka Alam Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Buru Hutan Produksi Dapat Dikonversi Total Hutan Perkebunan sawit Perkebunan Lain Pertanian dan Pemukiman Total Land Area Sumber: BAPPENAS (2013), Statistik Indonesia dan Kementerian Pertanian (2013) GAPKI - 200

219 Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2011 hanya 9 juta hektar atau hanya 4 persen dari Land Area, bahkan lebih rendah dari lahan padi di Indonesia yang luasnya 13.4 juta hektar maupun perkebunan lainnya (12 juta hektar). Dengan fakta yang demikian adalah tidak berdasar tuduhan yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia menggerogoti hutan. Luas hutan di Indonesia relatif stabil pada 136 juta hektar sementara perkebunan kelapa sawit baru mencapai 9 juta hektar. Perlu dicatat bahwa sebagian besar hutan lindung di Indonesia berada pada ketinggian wilayah (dari permukaan laut) yang sudah diluar comfort zone kelapa sawit (dataran tinggi). Dengan kata lain, hutan dan perkebunan kelapa sawit hidup berdampingan pada tempat masing-masing. Keduanya bagian penting dari upaya pelestarian lingkungan khususnya penyerapan CO 2 ekosistem global Perkebunan Kelapa Sawit Berfungsi Ekologis Secara ekofisiologis (Tabel 5.18) berbagai indikator menunjukkan bahwa hutan dengan perkebunan kelapa sawit memiliki karakteristik ekofisiologi yang mirip. Dari fungsi tata air misalnya (evapotranspirasi, cadangan air tanah, penerusan curah hujan, laju infiltrasi dan kelembaban) hutan tropis sama dengan perkebunan kelapa sawit. Keunggulan hutan tropis adalah dalam hal stok karbon (total biomass) yang mencapai empat kali lipat dari pada stok karbon pada perkebunan kelapa sawit. Tingginya stok karbon pada hutan tersebut mencerminkan besarnya volume biodiversity hutan. Oleh karena itu hutan difungsikan terutama sebagai pelestarian biodiversity dan penyimpan stok karbon. Untuk indikator laju penyerapan CO 2 dari atmosfir bumi, perkebunan kelapa sawit justru lebih unggul dibandingkan hutan. Berbagai indikator laju penyerapan CO 2 dari atmosfir bumi seperti efisiensi fotosintesis, efisiensi konversi energi matahari, asimilasi netto, produksi oksigen, perkebunan kelapa sawit lebih unggul dibanding hutan. Akibatnya, incremental biomass dan produktivitas bahan kering per tahun perkebunan kelapa sawit lebih unggul dibandingkan dengan hutan. Dengan keunggulan masing-masing perkebunan kelapa sawit dan hutan yang demikian justru menguntungkan upaya pelestarian ekosistem global, asal ditempatkan pada fungsi dan ruang yang tepat. Hutan memang harus difungsikan sebagai pelestarian biodiversity dan stok karbon. Sementara untuk menyerap kembali CO 2 atmosfir bumi (agar konsentrasi GHG atmosfir bumi tidak meningkat), merupakan keunggulan fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian hutan dan kelapa sawit adalah dua sub ekosistem yang berkontribusi pada pelestarian ekosistem global. 201 Industri Minyak Sawit Indonesia Tahun Kado 100 Tahun NKRI

220 Tabel Perbandingan Ekofisiologi Perkebunan Kelapa Sawit dengan Hutan Tropis Indikator Hutan Tropis Perkebunan Kelapa Sawit Asimilasi kotor (ton CO 2/ha/tahun) Total respirasi (ton CO 2/ha/tahun) Asimilasi neto (ton CO 2/ha/tahun) Indeks luas daun Efisiensi fotosintesis (%) Efisiensi konversi radiasi (g/mj) Total biomas di area (ton/ha) Incremental biomas (ton/ha/tahun) Produktivitas bahan kering (ton/ha/tahun) Produksi oksigen (O 2) (ton O 2/ha/tahun) Evapotranspirasi (mm/tahun) Cadangan air tanah s/d kedalaman 200 cm (mm) Penerusan curah hujan ke permukaan tanah (%) Laju infiltrasi lapisan solum 0-40 cm (ml/cm 3 /menit) Kelembaban udara (%) Sumber: Henson (1999), PPKS (2004,2005) V. Peranan Persawitan dalam Perekonomian IndonesiaGAPKI - 202

221 5.4.4 Perkebunan Kelapa Sawit Menyerap CO2 dari Atmosfir Bumi Pemanasan global merupakan fenomena meningkatnya temperatur udara atmosfir bumi akibat peningkatan intensitas efek rumah kaca (green house effect) pada atmosfir bumi. Peningkatan efek rumah kaca tersebut disebabkan oleh meningkatnya kosenterasi gas-gas rumah kaca (green house gases) yang melampaui konsenterasi alamiahnya sedemikian rupa, sehingga panas matahari makin banyak terperangkap pada atmosfir bumi (Kiehl, et al., 1957; IPCC, 1991, ; Isaac and Brian, 2000; Hansen et al., 2000; IEA 2009, 2010, 2012; World Bank, 2010; Sumarwoto, 1992). Gas-gas rumah kaca yang dimaksud antara lain karbondioksida (CO 2), methane (CH 4), Nitrous Oxide (N xo), dan gas buatan manusia. Konsenterasi gas CO 2 (yang merupakan komponen terbesar gas rumah kaca di atmosfir bumi), telah mengalami peningkatan dari 280 ppmv tahun 1800-an menjadi 353 ppmv tahun 1990-an (IPCC, 1991) dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 379 ppmv (IEA, 2012). Sumber emisi CO 2 gobal berasal dari aktivitas manusia yakni energi (56 persen), pertanian (13,8 persen), industri (14,7 persen), land use change (12,2 persen), dan limbah (3.2 persen. (IEA, 2011). Kontribuor terbesar (Top Ten Emiter) emisi CO 2 adalah Cina, USA, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Kanada, Korea Selatan, Inggris. Top ten emiter dunia tersebut mencapai 65 persen dari total emisi CO 2 global tahun Pangsa Indonesia dalam total emisi CO 2 global hanya 1.3 persen (IEA, 2012). Sektor pertanian global juga merupakan sumber emisi CO 2 (setara CO 2) baik dari pemupukan (N xo), peternakan (CH 4), maupun land use change (CO 2), dan lain-lain. Top Six emitter CO 2 pertanian global (FAPRI, 2012) adalah Cina, Brazil, India, USA, European Union dan Argentina, dengan kontribusi 70 persen dari total emisi GHG pertanian global. Kontribusi pertanian Indonesia hanya sekitar 2.7 persen. Secara alamiah (diciptakan Tuhan) tumbuhan hijau merupakan bagian penting dari pelestarian daur (cycle) karbondioksida (CO 2), oksigen (O 2) dan air (H 2O) dalam ekositem planet bumi. Dengan perkataan lain pertanian (tanaman) memiliki fungsi ekologis. Adanya fungsi ekologis pertanian yang demikian merupakan bagian dari multifungsi pertanian yang sudah lama diketahui (OECD, 2001; Huylenbroek, et al. 2007). Kelapa sawit merupaka tanaman ideal yang mengkonversi fotosintesis (potosynthetically active radiation, PAR) menjadi biomas V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 203

222 (Fairhurst and Hardter, 2005). Selama proses asimilasi, tanaman kelapa sawit menyerap karbondioksida (CO 2) dari atmosfir bumi dan melepas oksigen (O 2) ke atmosfir bumi. Pada saat respirasi kelapa sawit melepas CO 2 dan secara neto (fotosintesis/asimilasi minus respirasi) kelapa sawit adalah penyerap CO 2 dari atmosfir bumi (Hansen, 1999; Fairhurst and Hardter, 2005). Fiksasi neto CO 2 dari atmosfir bumi, menjadi biomas pohon kelapa sawit. Chan (2002) mengukur produksi biomas perkebunan kelapa sawit (standing biomass) dan jumlah kandungan karbon pada berbagai umur kelapa sawit (Tabel 5.19). Tabel Volume Standing Biomas dan Jumlah Karbon Terfiksasi dari Atmosfir Bumi pada Berbagai Umur Kelapa Sawit Umur (Tahun) Standing Biomas (Ton/ha) Karbon (Ton/ha) > Sumber:Chan, K.W (2002). Oilpalm Carbon Sequestration and Carbon Accounting: Our Global Strengh. MPOA. Dibandingkan dengan hutan tropis, jumlah karbon yang terfiksasi dalam biomas hutan tropis (in circulation and annual increment) relatif sama. Perbedaannya adalah annual increment fiksasi carbon pada kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan pada hutan tropis, karena huan tropis sudah pada fase steady-state (asimilasi sama dengan respirasi), sementara kelapa sawit masih bertumbuh (asimilasi > respirasi). Dengan perkataan lain, untuk menyerap kembali CO 2 dari atmosfir bumi, perkebunan kelapa sawit jauh lebih unggul dari pada hutan. Dengan menggunakan standing biomas dan jumlah karbon hitungan Chan (2002) dapat ditunjukan jumlah karbon yang diserap perkebunan kelapa sawit Indonesia (Gambar 5.13). Volume fiksasi karbon perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari 30,34 juta ton tahun 1990 menjadi 200 juta ton tahun 2010, akibat peningkatan luas areal maupun perubahan komposisi umur kelapa sawit. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan oksigen (O 2) yang diperlukan bagi kehidupan di planet bumi. Volume O 2 yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit 18,7 ton 204 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

223 O 2/Ha/tahun, yang lebih besar dibandingkan hutan tropis sekunder yang hanya 7,09 ton/ha/tahun (Hansen, 1999; Harahap, et al., 2005) Gambar Volume Karbon yang Diserap Secara Netto pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990 dan 2010 (Juta Ton Karbon) Atmosfir bumi CO 2 CO 2 USA EROPA CO 2 CO 2 CHINA O 2 + CPO Perkebunan sawit Indonesia O 2 + Minyak Sawit Gambar Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam Menyerap CO 2 Global V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 205

224 5.4.5 Perkebunan Kelapa Sawit Mengurangi Emisi GHG Degraded Peat Land Lahan gambut (peat land) menyimpan carbon stok yang perlu dilestarikan. Lahan gambut di Indonesia hanya sekitar 7 persen dari luas lahan gambut dunia yang luasnya 381 juta hektar. Sekitar 44 persen lahan gambut global berada di kawasan Eropa dan Rusia, Amerika (40 persen) dan sisanya (9 persen) di negara-negara lain (Joosten, 2008). Secara alamiah lahan gambut menghasilkan emisi GHG khususnya CO 2, CH 4 dan N xo dari proses dekomposisi bahan organik dan kehidupan organisma yang hidup dilahan gambut (Perish, et al., 2007, Fahmuddin et al., 2008). Besarnya emisi GHG lahan gambut sangat bervariasi tergantung berbagai variabel seperti bahan induk gambut, land cover, vegetasi, manajemen drainase, teknik budidaya (Oleszczuk, et al., 2008, Kheong et al., 2010, Melling et al.,2005, 2007, 2010, Hirano, et al., 2007, 2011; Kohl, et al., 2011, Jauhiainen, et al, 2004), dan tergantung metodologi pengukuran emisi, flux approach atau stock approach (Khoon, et al, 2005). Meningkatkan kebutuhan lahan untuk pertanian global, menyebabkan lahan gambut juga dimanfaatkan. Sekitar 78 persen lahan gambut dunia telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, dimana 88 persen berada pada lahan gambut non-tropis dan 12 persen di daerah tropis (Strack, 2008). Lahan gambut di Indonesia yang layak digunakan untuk pertanian (dengan syarat yang ditetapkan pada Peraturan Menteri Pertanian No. 14/ Permentan/ PL.110/ 2/ 2009) hanya sekitar 6 juta hektar (Fahmudin, et al., 2008). Penelitian emisi GHG lahan gambut tropis di Indonesia dan Malaysia sudah banyak dilakukan antara lain Murayama dan Bakar (1996), Hadi et al., (2001), Melling et al., 2005, 2007, Germerand Souaerborn, 2008, Sabiham et al., (2012) dan Sabiham, Hasil-hasil empiris tersebut mengungkapkan bahwa: (1) emisi GHG bervariasi baik akibat variasi lahan gambut maupun perbedaan vegetasi dan tata air ; (2) pada kondisi alamiah lahan gambut (hutan gambut tropis, hutan gambut sekunder) menghasilkan emisi GHG dan (3) lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dapat mengurangi emisi GHG. Hasil empiris (Tabel 5.20) menunjukan bahwa emisi GHG perkebunan kelapa sawit di lahan gambut lebih rendah dari emisi GHG lahan/hutan gambut sekunder maupun primer. Bukti empiris ini sekaligus mengoreksi pandangan (umumnya LSM) yang menyatakan 206 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

225 bahwa perkebunan kelapa sawit di lahan gambut meningkatkan emisi CO 2 gambut. Tabel Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Menurunkan Emisi CO 2 Lahan Gambut ( Degraded Peat Land) Land Use Peat land Emisi Ton CO 2/ha/ Tahun Peneliti Hutan gambut primer 78,5 Melling, et al., (2007) Hutan gambut sekunder 127,0 Hadi, et al., (2001) Kelapa sawit gambut 57,6 Melling, et al., (2007) Kelapa sawit gambut 55,0 Melling, et al., (2005) Kelapa sawit gambut 54,0 Murayama & Bakar (1996) Kelapa sawit gambut 31,4 Germer and Sauaerborn (2008) Jika bukti empiris dikombinasikan dengan pertumbuhan karbon stok dari standing biomass perkebunan kelapa sawit (Chan, 2002) terdahulu, maka perkebunan kelapa sawit dilahan gambut bukan hanya mengurangi emisi CO 2 tetapi juga meningkatkan stok karbon pada ekosistem lahan gambut. Stok karbon diperkebunan lahan gambut meningkat dengan meningkatnya umur tanaman (Sabiham, 2013). Lahan gambut di Indonesia sekitar 80 persen dikategorikan lahan gambut rusak (degraded peat land) (Joosten, 2008). Oleh karena itu pemanfaatan lahan gambut tersebut untuk perkebunan kelapa sawit (dengan kultur teknis yang sustainable) dapat menjadi alternatif penting untuk merestorasi/ rehabilitasi lahan gambut, setidaknya menurunkan emisi GHG lahan gambut. Berdasarkan penjelasan tentang ekosistem perkebunan kelapa sawit sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia merupakan bagian solusi dari pelestarian lingkungan global. Dengan melihat dunia pada satu ekosistem, emisi CO 2 dari top ten emmiten dari negara-negara maju didaur ulang oleh Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia menjadi oksigen dan sebagian disimpan dalam bentuk biomass dan sebagian lagi dirubah menjadi CPO. Oksigen dari kelapa sawit di-supply ke atmosfir bumi secara gratis, sementara CPO disupply ke sejumlah negara untuk bahan pangan maupun untuk energi pengganti fossil-fuel. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 207

226 5.4.6 Pelestarian Biodiversity pada Perkebunan Kelapa Sawit Meskipun perkebunan kelapa sawit secara tata ruang dan fungsi bukan untuk pelestarian biodiversity, perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga ikut melestarikan biodiversity baik fauna maupun flora (Tabel 5.21 dan 5.22) melalui mekanisme sebagai berikut: (1) Sebagian HGU perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang tidak layak untuk budidaya (topografi, sungai, sumber mata air, dll) dijadikan sebagai tempat pelestarian biodiversity (high conservation value); (2) Perkebunan kelapa sawit yang merupakan standing biomass setidaknya selama tahun (sebelum di replanting) merupakan tempat hidup berbagai ragam flora maupun fauna; (3) Perkebunan kelapa sawit itu sendiri secara built-in merupakan cara pelestarian biodiversity (tanaman kelapa sawit itu sendiri) termasuk multifungsi (ekonomi, sosial, ekologis) yang melekat pada perkebunan kelapa sawit secara lintas generasi. Bukankah jenis-jenis tanaman yang lestari pada zaman sekarang adalah jenis tanaman yang dibudidayakan secara global dan turun temurun? Dan bukankah berbagai flora dan fauna yang telah punah atau terancam punah di planet bumi adalah karena tidak dibudidayakan manusia? Dari segi pemanfaatan dan pelestarian multifungsi dari biodiversity, kelapa sawit adalah suatu contoh yang dapat dipelajari makna dari pentingnya plasma nutfah. Dari empat biji yang ditanam di Kebun Raya Bogor tahun 1848, melalui pemanfaatan dan pelestarian multifungsinya, manfaat sosial, ekonomi dan ekologisnya dapat dinikmati secara lintas generasi, lintas suku/bangsa/negara seperti saat ini. 208 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

227 Tabel 5.21.Berbagai Fauna di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit Nama Daerah Nama Latin Nama Daerah Nama Latin MAMALIA Pekaka emas Pelargopsis capensis Rindil bulan Echionoserex gymnurus Raja udang meninting Alcedo meninting Tupai kecil Tupaia minor Cekakak batu Lacedo pulchella Tuoai Ptilocercus lowii Kangkareng perut-putih Anthracoceros albirostris Tupai akar Tupaia glis Takur warna-warni Megalaima mystacophanos Codot kecil kelabu Pentethor lucasii Takur tenggaret Megalaima australis Codot sayap totol Balionycteris maculata Takur ampis Calorhamphus fuliginosus Kukang bukang Nycticebus coucang borneanus Pelatuk besi Dinopium javanenses Trenggiling peusing/ahom Manis javanica Caladi batu Meiglytes tristis Monyet kra Macaca fascicularis Sempur hujan sungai Cybirhynvhus macrorhynchus Monyet beruk Macaca nemestrina Cica daun kecil Chloropsis cyanopogon Owa kalawat Hylobates muelleri Cica daun besar Chloropsis sonnerati Bajing kelapa Callosciurus laticaudatus Merbah Pycnonotus goiavier Bajing gunung Dremomys everetti Srigunting Dicrurus panadiseus Bajing tanah moncong runcing Rhinosciurus laticaudatus Srigunting gagak Dicrurus annectans Landak raya Hystrix brachyura Kacer Copsychus saularis Angkis ekor panjang Trichys fasciculata Murai batu Copsychus malabaricus Beruang madu/behuang Helarctos malayanus Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Sigung Mydaus javanensis Sikatan rimba dada kelabu Rhinomyas umbratilis Musang Paradoxurus hermaphroditus Sikatan hijau laut Eumyas thalassina Macan akar Felis bengalensis Sikatan belang Ficedula wastermanni Babi Sus sp. Kipasan mutiara Rhipdura perlata Pelanduk kancil Tragulus javanicus Kipasan belang Rhipdura javanica Kijang muntjak Muntiacus muntjak Seriwang asia Terisphone paradisi BURUNG Kerak jambul Acridotheres cristatellus Bambangan hitam Dupetor flavicollis Tiong emas Gracula rellgiosa Elang ikan kepala kelabu Ichthyophaga ichthyaetus Burung madu sepah raja Aethopyga siparaja Elar ular bido Spilornis cheela Pijantung kecil Arachnothera longilostra Elang hitam Ictinaetus malayensis Pijantung besar Arachnothera robusta Elang bondol Haliastur indus Cabai tunggir coklat Diaceum everetti Puyuh kepala merah Haematortyx sanguiniceps Kacamata biasa Zosterops palpebrosus Puyuh sengayan/sio Rollulus rouloul Bondol kalimantan Lonchura fuscans Sempidan biru/belonge Lophura ignita Burung gereja Passer montanus Kareo padi Amaurornis phoenicurus REPTIL Trinil Tringa sp Kobra Naja sp. Punai kecil Treron olax Ular banyu Phynton reticulatus Punai Treron sp. Biawak Varanus boornensis Tekukur Streptopelia chinensis Ular belang Bungarus cancidus Delimukan zamrud Chalcophaps indica Ular Tanah Calloselasma rhodostoma Bayan Tanygnathus sp Ular daun Dryophis prasinus Srindit melayu Loriculus galgulus Toke Gekko gecko Bubut alang-alang Centropus bengalensis Kadal Mabouya multifasciata Beluk ketupa Ketupa ketupu Labi-labi Chitra indica Kukuk beluk Strix leptogrammica Kura-kura Orlitia boornensis Taktarau melayu Eurostopodus temminckii Senyulong Tomistoma schlegelii Walet sapi Collocalia esculentra Sumber: Thohari (2010) V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 209

228 Tabel 5.22.Berbagai Flora di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit Nama Daerah Nama Latin Status Ulin Eusideroxylon zwageri Dilindungi (PP no.7 tahun 1999) Vulnerable (IUCN) Jelutung Dyera costulata Dilindungi (PP no.7 tahun 1999) Meranti tembaga Shorea leprosula Endangered (IUCN) Ramin Gonystylus bancanus Vulnerable (IUCN) Mersawa Anisoptera grossivenia Vulnerable (IUCN) Kantung Nepenthes ampullaria type Semar green Dilindungi (PP no.7 tahun 1999) Kantung Napenthes maxima type Semar green Dilindungi (PP no.7 tahun 1999) Industri Minyak Sawit Hemat Sumberdaya dan Minimum Polusi Kebutuhan minyak nabati untuk konsumsi masyarakat global akan meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk maupun pertumbuhan ekonomi. Sementara ketersediaan lahan untuk produksi minyak nabati global makin terbatas baik di negara maju maupun dinegara-negara berkembang. Solusinya adalah masyarakat global harus memilih minyak nabati yang memiliki produktivitas per satuan luas lahan yang lebih tinggi (hemat lahan). Perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya, merupakan minyak nabati yang hemat sumberdaya lahan (Tabel 5.23). Untuk menghasilkan 1000 ton minyak nabati, perkebunan kelapa sawit hanya memerlukan lahan seluas 234 hektar. Sementara jenis tanaman minyak nabati lainnya memerlukan lahan yang lebih luas yakni soybean (2.222 Ha), rapeseed (1.449 Ha) dan sunflower (1.923 Ha). 210 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

229 Tabel Kebutuhan Lahan untuk Menghasilkan 1000 Ton Minyak Nabati dari Berbagai Jenis Minyak Nabati Global. Jenis minyak nabati Produktivitas minyak (ton/ha) Kebutuhan lahan untuk 1000 ton minyak nabati (ha) Soybean 0, Rapeseed 0, Sunflower 0, Groundnuts 0, Coconut 0, Cotton 0, Palm oil 4, Sumber: Oil World, 2010 Selain hemat lahan, perkebunan kelapa sawit juga lebih hemat input (seperti pupuk, pestisida maupun energi) dan minimal polusi/emisi yang masuk ke air dan ke dalam tanah (Tabel 5.24). Perkebunan kelapa sawit lebih hemat pupuk (N, P) dibanding dengan soybean dan rapeseed. Demikian juga dalam penggunaan energi, perkebunan kelapa sawit lebih hemat dibandingkan minyak nabati lainnya. Tabel 5.24.Perbandingan Penggunaan Input dan Polusi Air/Tanah antara Perkebunan Kelapa Sawit dengan Minyak Nabati Lain untuk Per Ton Minyak Nabati yang Dihasilkan Indikator Kelapa Sawit Soybean Rapeseed Input N (kg) Phosphorus (kg P 2O 5) Pesticide/Herbicide (kg) Energi (GJ) Polusi ke Air/Tanah N (kg) Phosphorus (kg P 2O 5) Pesticide/Herbicide (kg) Sumber: FAO (1996) V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 211

230 Pada perkebunan kelapa sawit untuk setiap penggunaan satu GJ energi fosil-fuel dapat menghasilkan energi/minyak nabati sebesar 2 ton. Sementara dari soybean hanya diperoleh 0,34 ton minyak dan 1,4 ton minyak rapeseed. Hal ini bermakna bahwa dalam upaya internasional menghemat penggunaan energi fosil maka penggunaan energi fosil untuk produksi minyak sawit dapat menjadi pilihan rasional. Polusi atau emisi penggunaan pupuk (N, P) dan pestisida ke air maupun tanah, perkebunan kelapa sawit lebih rendah/minimum dibandingkan dengan soybean dan rapeseed. Fakta ini berarti proses produksi minyak sawit jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan soybean dan rapeseed. Selain sumberdaya lahan dan penggunaan input, masalah penggunaan air juga perlu dilihat. Dewasa ini masalah kelangkaan air juga menjadi perhatian masyarakat dunia. Selama ini berkembang opini kehadiran perkebunan kelapa sawit dituduh menghisap banyak air sehinggga membuat kering daerah sawit. Opini ini perlu dibuktikan berdasarkan fakta emperis. Tebu (sugar cane) merupakan jenis tanaman biofuel yang paling hemat menggunakan air untuk setiap satuan energi yang dihasilkan (Tabel 5.25). Urutan kedua terhemat adalah minyak sawit, kemudian disusul sunflower dan soybean. Jagung dan ubi kayu ternyata lebih banyak menggunakan air. Tanaman rapeseed adalah yang paling boros menggunakan air. Tabel Konsumsi Air (Water Footprint) dari Berbagai Jenis Tanaman Biofuel Jenis Tanaman Kisaran (m³/gj) Rataan (m³/gj) Cassava Coconut Maize Palm oil Soybean Sugarcane Sunflower Rapeseed Sumber: Garbens Leenes et al., (2009) 212 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

231 Dengan fakta tersebut menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah salah satu tanaman biofuel yang hemat air. Lebih hemat daripada soybean, rapeseed, cassava maupun jagung. Dengan demikian opini yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah rakus air, tidak didukung fakta atau tidak benar. Penggunaan biodiesel minyak sawit sebagai pengganti diesel (fossil-fuel) juga menurunkan emisi GHG sebesar 62 persen dari emisi GHG diesel. Pengurangan emisi GHG tersebut lebih besar pada minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. (Gambar 5.15). Hal ini berarti semakin besar blending biodiesel minyak sawit dalam konsumsi diesel global, semakin berkurang emisi GHG global. Sebagian besar produksi CPO Indonesia dipasok keseluruh negara dunia. Jika minyak sawit tersebut digunakan sebagai biodiesel untuk mensubsitusi fossil-fuel (khususnya di negara-negara yang konsumsi fossil-fuel tinggi seperti Uni Eropa, USA, dan negara lain) akan mengurangi emisi CO 2 global. Penggantian fosil-fuel (diesel) dengan palm oil diesel dapat mengurangi 62 persen emisi CO 2 dibandingkan diesel. Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit merupakan bagian solusi dari upaya mengurangi peningkatan emisi CO 2 global melalui dua cara, yakni: Pertama, menyerap CO 2 dari atmosfir bumi (dari emisi yang dihasilkan masyarakat dunia); dan Kedua, mengurangi emisi CO 2 global melalui subsitusi diesel (fossil-fuel) dengan palm oil diesel Rapeseed Biodiesel 40 Soybean Biodiesel Sumber: European Commission Joint Research Centre Gambar Pengurangan Emisi CO 2 dari Palm Oil Biodiesel Sebagai Pengganti Fosil-Diesel Dibandingkan Sumber Biodiesel Lainnya (persen) 58 Sunflower Biodiesel 62 Palm Oil Biodiesel (methane capture) 88 Waste Cooking Oil/Vegetable Oil V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 213

232 214 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

233 BAB VI INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA 2050 Dalam merumuskan industri minyak sawit Indonesia 2050 mengadopsi paradigma bahwa sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, Indonesia berkesempatan untuk mendefinisikan secara by design Mau Seperti Apa Industri minyak sawit Indonesia 2050, dan bukan ditentukan oleh negara- negara dunia. Bahwa perubahan lingkungan strategis global yang akan terjadi menuju tahun 2050 mempengaruhi peluang industri sawit Indonesia tentu saja benar dan perlu dipertimbangkan untuk merumuskan mau kemana industri minyak sawit Indonesia kedepan. Namun point of view yang seharusnya dimiliki Indonesia sebagai terbesar produsen industri sawit (sebagaimana digunakan dalam buku ini) adalah industri minyak sawit Indonesia harus memimpin perubahan dan mengendalikan pasar minyak sawit dunia dan bukan sebaliknya yakni pasar minyak sawit dunia menentukan industri minyak sawit Indonesia. Sudut pandang yang demikian menjadi dasar penyusunan cetak biru industri minyak sawit Indonesia Asumsi - Asumsi Kebutuhan CPO domestik difokuskan pada upaya memenuhi kebutuhan produksi biodiesel untuk secepat mungkin mengganti (mengurangi) konsumsi solar/diesel untuk ketahanan dan keberlanjutan energi dan pegurangan laju emisi GHG dari konsumsi solar. Hal ini sangat penting mengingat ketergantungan Indonesia pada solar impor makin tinggi untuk memenuhi kebutuhan solar dalam negeri baik akibat pertumbuhan ekonomi maupun pertambahan jumlah penduduk. Volume konsumsi solar Indonesia meningkat dari 39.4juta kl (2013) naik menjadi juta kl (2020) kemudian menjadi sekitar 100 juta kl (2050). Menurut proyeksi US Energy Information Administration(2008), harga crude oil dunia diperkirakan naik menjadi U$ 300/barrel atau sekitar U$ 2/liter (berdasarkan harga tetap tahun 2009). Hal ini berarti resiko ekonomi yang akan dihadapi Indonesia makin besar di masa yang akan datang jika tidak ada upaya yang fundamental untuk mengurangi ketergantungan pada solar. Mempercepat subsitusi solar dengan biodiesel asal minyak sawit VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit

234 (FAME) diharapkan menjadi salah satu solusi untuk membangun kemandirian energi kedepan. Kebutuhan CPO untuk biodiesel mengikuti kebijakan mandatori dengan skedul dan volume yang telah direncanakan selama ini (PERMEN ESDM No. 32/2008). Namun antisipasi percepatan mandatory biodiesel juga dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah tahun 2030 diharapkan Indonesia sudah memasuki mandatory B40. Selain itu kebutuhan CPO juga memperhatikan kebutuhan minyak goreng, margarine, sabun dan detergen sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Hal yang penting lagi, hilirisasi CPO didalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah, transformasi struktur ekspor minyak sawit (dari bernilai tambah rendah ke bernilai tambah tinggi)menjadi perhatian penting dalam menetapkan proyeksi kebutuhan CPO di masa yang akan datang. Asumsi dan Proyeksi Kebutuhan CPO Domestik disajikan pada tabel 6.1. Dari segi produksi, diasumsikan perluasan areal kebun masih berjalan sesuai dengan trend historisnya, baik perkebunan sawit swasta, negara, terutama rakyat. Menurut berbahgai sumber (tabel 6.2 dan tabel 6.3) lahan yang tersedia di Indonesia masih memungkinkan untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit, baik pada provinsi yang sudah berkembang perkebunan kelapa sawit maupun pada provinsi pengembangan baru seperti Aceh, Sulawesi, Maluku dan Papua. Menurut data tersebut terdapat sekitar 29 juta hektar degraded land diluar kawasan hutan. Demikian juga bila dihitung lahan yang telah termanfaatkan oleh perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan kesesuaian lahan untuk kelapa sawit yang tersedia pada beberapa provinsi masih tersedia sekitar 17 juta hektar. Dari sisi ekofisiologis, perkebunan kelapa sawit memiliki fungsi ekofisiologis yang relatif sama dengan hutan (Hansen, 1999, PPKS, 2004). Oleh karena itu pemanfaatan degraded land pada hutan produksi untuk perkebunan kelapa sawit tidak menurunkan kualitas ekosistem, bahkan sebaliknya justru meningkatkan kualitas ekosistem baik melalui fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit, dalam menyerap CO 2, meningkatkan penambahan karbon/biomas dan menghasilkan oksigen. 216 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

235 Tabel 6.1. Asumsi Proyeksi Pertumbuhan Tahun (%/tahun) Proyeksi Pertumbuhan (%/tahun) Kondisi URAIAN jumlah penduduk (juta jiwa) GDP (U$/kapita) 3, Minyak Goreng (ton) Konsumsi 5,221, Produksi 18,808, Margarine (ton) Konsumsi 378, Produksi 723, Oleokimia/ Detergen (ton) Konsumsi 562, Produksi 1,600, Konsumsi Solar (Juta Ton) Mandatori Biodiesel (%B) B 4.4 B 5 B 10 B 20 B 20 B 20 B 20 B 20 Ekspansi Mandatori (%B) B 20 B25- B 30 Tabel 6.2. Luas Degraded Land di Indonesia Lokasi/Wilayah Luas (Juta Ha) Hutan Konservasi 4.75 Hutan Lindung 9.52 Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi dapat dikonversi 9.69 Non Kawasan Hutan Jumlah Sumber: Prosval Consulting (Bimasena 2014) B 35- B 40 B 40 B 40 B 40 B 40 VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit

236 Tabel 6.3. Luasan Lahan Berpotensi Tinggi Untuk Tanaman Kelapa Sawit di Beberapa Wilayah Indonesia Provinsi Luas Lahan Berpotensi (Ha) Luas Areal Sawit 2013 (Ha) Lahan Masih Tersedia (Ha) Sumatera Utara 1,298,000 1,190, ,444 Riau 2,848,200 1,940, ,483 Bengkulu 728, , ,606 Kalimantan Barat 3,671, ,447 2,976,653 Kalimantan Tengah 3,638,500 1,026,478 2,612,022 Kalimantan Timur 4,399, ,744 3,705,656 Sulawesi Tengah 146,300 97,489 48,811 Sulawesi Selatan 288,000 23, ,205 Papua 5,896,500 36,124 5,860,376 Total Lahan Berpotensi 22,914,479 6,007,223 16,907,256 Sumber: Puslit Tanah dan Agroklimat, Balitbang Deptan (1993) Oleh sebab itu pemanfaatan degraded land untuk perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan produksi tetap maupun hutan produksi yang dapat dikonversi dapat menjadi bagian dari solusi restorasi ekosistem. Tentu saja untuk degraded land yang ada dikawasan hutan lindung dan hutan konservasi sebaiknya tidak dikonversi pada penggunaan lain, dipertahankan dan direhabilitasi untuk memperbaiki fungsi hutan lindung dan hutan konservasi. Meskipun ketersediaan lahan untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit masih tersedia sampai pada luasan tertentu, dimasa yang akan datang diharapkan peningkatan produktivitas CPO per hektar lahan menjadi andalan sumber pertumbuhan produksi CPO Indonesia. Sumber pertumbuhan produksi CPO dari produktivitas dipandang lebih berkualitas karena: (1) Sumber pertumbuhan CPO dari produktivitas lebih sustainable dan lebih menguntungkan; (2) Dapat meminimumkan konflik sosial maupun konflik antar sektor, (3) Mengurangi ketergantungan pada kebaikan alam dan dampak perubahan iklim dalam produksi CPO nasional dan (4) Menjaga keseimbangan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan secara nasional. Pandangan yang demikian telah lama disadari pelaku persawitan di Indonesia. Oleh karena itu pada acara peringatan 100 tahun perkebunan kelapa sawit Indonesia tahun 2011 di Medan, telah 218 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

237 disepakati untuk mengejar produktivitas yakni 35 ton TBS/Ha dengan rendemen 26 persen (dikenal dengan target 35-26) atau produktivitas CPO sekitar 9 ton CPO/Ha. Tentu saja, target tersebut merupakan target jangka panjang melalui upaya yang sistematis dan by design. Perkebunan kelapa sawit Malaysia sendiri dalam jangka panjang (sebagimana dimuat dalam PEMANDU) menargetkan produktivitas CPO/Ha sebesar 6 ton tahun 2020 dan 8 ton tahun 2030 Peningkatan produktivitas CPO per hektar dipengaruhi berbagai variable seperti bibit/varietas, kultur teknis budidaya khususnya pemupukan, umur dan komposisi tanaman, populasi tanaman per hektar, pemanenan dan pengangkatan TBS, dan efisiensi proses pengolahan CPO pada PKS (CPO Mill). Upaya perbaikan yang ideal (continous improvement) menjangkau seluruh variabel tersebut diatas sehingga diperoleh peningkatan total produktivitas (total factor productivity). Untuk peningkatan produktivitas CPO per hektar menuju 2050 diproyeksikan melakukan berbagai upaya yakni: (1) menggunakan varietas unggul (produktivitas 5-6 ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun baik PR,PN dan PS, (2) menggunakan varietas unggul baru (rataan produktivitas 7-8. Ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun dan (3) menggunakan varietas unggul baru (rataan produktivitas 8-9 Ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun Visi dan Misi Industri Minyak Sawit Indonesia Visi 2050 Menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dan produk hilir minyak sawit dunia secara berdayasaing dan berkelanjutan Misi Meningkatkan produksi CPO khususnya melalui peningkatan produktivitas CPO perhektar. 2. Mempercepat hilirisasi didalam negeri baik industri oleopangan, oleokimia dan turunannya (pelumas,surfaktan,dll), detergen dan sabun serta biodiesel. VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit

238 3. Melakukan perbaikan terus menerus tata kelola industri minyak sawit yang berkelanjutan. 4. Mengembangkan kebijakan industri minyak sawit yang kompetitif dan berkelanjutan. 6.3 Roadmap Hilirisasi Indonesia tentu tidak berhenti pada posisi sebagai produsen CPO terbesar dunia seperti yang telah dicapai sejak tahun 2006, namun ingin naik kelas menjadi negara produsen terbesar dunia dalam olein (minyak goreng, margarin dan shortening), detergen dan sabun, biodiesel, dan produk turunan oleokimia seperti pelumas, surfaktan, dan lain-lain. Oleh sebab itu menuju tahun 2050 Indonesia akan mempercepat dan memperluas hilirisasi CPO di dalam negeri yang telah dimulai sejak Percepatan dan perluasan hilirisasi CPO didalam negeri memiliki manfaat ganda seperti peningkatan nilai tambah didalam negeri, merubah struktur ekspor industri minyak sawit ke arah dominasi produk-produk hilir bernilai tambah tinggi dan memperkuat bargaining position Indonesia dipasar global. Hilirisasi yang makin luas di dalam negeri akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar CPO global. Menuju tahun 2050 roadmap percepatan dan perluasan hilirisasi dilakukan (tabel 6.4)melalui 4 jalur yakni: (1) Pengembangan industri minyak goreng dan margarin baik untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun untuk ekspor, (2) pengembangan dan pendalaman industri oleokimia untuk menghasilkan produk turunan bernilai tambah tinggi yang ditujukan kepada pasar domestik dan ekspor, (3) Pengembangan industri detergen dan sabun untuk menghasilkan produk turunan bernilai tambah tinggi yang ditujukan kepada pasar domestik dan ekspor dan (4) Percepatan industri biodiesel. Perhatian khusus perlu diberikan pada pengembangan dan pendalaman industri oleokimia serta biodiesel. Pendalaman industri oleokimia ditujukan untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi dan memiliki pasar yang bertumbuh baik di dalam negeri maupun di pasar dunia. Produk yang dimaksud antara lain pelumas (lubrikan) dan surfaktan. Kemudian pengembangan biodiesel ditujukan untuk menghasilkan biodiesel (FAME) sebagai pengganti solar (diesel) yang konsumsi dan impornya meningkat cepat. Menuju tahun 2050 produksi biodiesel Indonesia diproyeksikan dapat memenuhi 40% penggantian kebutuhan solar (B40) Indonesia. 220 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

239 Penggantian sebagian solar dengan biodiesel juga akan mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia Proyeksi Konsumsi Industri Hilir Minyak Sawit Berdasarkan asumsi yang dikemukakan pada tabel 6.1, konsumsi minyak goreng diproyeksikan meningkat dari 5.2 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 6.4 juta ton tahun Kemudian konsumsi minyak goreng meningkat dari 8.1 juta ton 2030 dan menjadi 11.5 juta ton tahun Sementara itu konsumsi margarine/shortening/ specialty fat diproyeksikan meningkat dari 0.37 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 0.46 juta ton tahun Kemudian konsumsi minyak goreng meningkat dari 0.59 juta ton 2030 dan menjadi 0.83 juta ton tahun 2050(tabel 6.4 dan gambar 6.1). Tabel 6.4. Proyeksi Volume Konsumsi Domestik Produk Hilir (Ton) Minyak Tahun Margarine Oleokimia/Detergen Biodiesel Goreng ,221, , ,054 1,500, ,377, , ,536 2,500, ,538, , ,918 4,262, ,705, , ,234 8,856, ,876, , ,524 9,190, ,052, , ,825 9,522, ,234, , ,178 9,856, ,421, , ,625 10,188, ,260, , ,818 20,649, ,116, , ,556 26,847, ,973, ,707 1,116,295 30,095, ,830, ,746 1,243,034 33,344, ,687, ,784 1,369,773 36,592, ,544, ,823 1,496,512 39,840,238 Searah dengan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, konsumsi oleokimia diproyeksikan meningkat dari 0.56 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 0.73 juta ton tahun Kemudian konsumsi oleokimiatersebut meningkat dari 0.99 juta ton 2030 dan menjadi 1.49 juta ton tahun Dengan percepatan mandatory biodiesel kedepan, konsumsi biodiesel diproyeksikan meningkat dari 1.5 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi juta ton (B20) tahun Kemudian secara VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit

240 Juta ton bertahap kebijakan mandatory diproyeksikan meningkat menjadi B40 tahun 2030, konsumsi biodiesel meningkat dari juta ton 2030 dan menjadi juta ton tahun biodiesel oleokimia/detergen TOTAL Mgr& Margarine Gambar 6.1. Proyeksi Konsumsi Domestik Produk Hilir Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit Untuk memenuhi kebutuhan produk industri hilir dan terus berkembang dari tahun ke tahun, memerlukan peningkatan produksi industri hilir minyak sawit di dalam negeri (tabel 6.5). Produksi minyak goreng diproyeksikan meningkat dari 18.8 juta ton tahun 2013 menjadi 20.9 juta ton tahun 2020 dan menjadi 30.3 juta ton tahun Sementara itu produksi margarine diproyeksikan meningkat dari 0.72 juta ton tahun 2013 menjadi 0.95 juta ton tahun 2020 dan menjadi 1.91 juta ton tahun Produksi Oleokimia/detergen diproyeksikan meningkat 30 kali dalam periode , yakni dari 16 juta ton tahun 2013 menjadi 20.3 juta ton tahun 2020 dan menjadi 38.9 juta ton tahun Industri biodiesel yang merupakan jalur hilirisasi baru di Indonesia diproyeksikan bertumbuh cepat, yakni dari sekitar 3 juta ton tahun 2013 menjadi 11.6 juta ton tahun 2020 dan menjadi 55.7 juta ton tahun Peningkatan produksi biodiesel tersebut dapat memenuhi program subsitusi solar dengan biodiesel yakni dari B10 tahun 2013 menjadi B20 tahun 2020 dan menjadi B40 ditahun demikian Dengan proyeksi produksi yang (gambar 6.2) maka diperlukan peningkatan kapasitas pabrik masing-masing. Kapasitas pabrik minyak goreng meningkat sekitar 20 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 22 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 33 juta ton tahun Demikian juga kapasitas pabrik industri margarine meningkat dari sekitar 1 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 1.5 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 2.1 juta ton tahun GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

241 Juta Ton Tabel 6.5. Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit (ton) Tahun Minyak goreng margarine oleokimia/detergen Biodiesel ,808, ,000 1,600,000 3,084, ,101, ,590 1,656,000 3,800, ,400, ,383 1,713,960 5,762, ,704, ,431 1,773,949 10,356, ,015, ,792 1,836,037 10,690, ,333, ,523 1,900,298 11,022, ,658, ,685 1,966,809 11,356, ,989, ,342 2,035,647 11,688, ,523,374 1,107,778 2,339,024 28,909, ,080,352 1,270,019 2,650,017 37,587, ,637,331 1,432,260 2,961,009 42,134, ,194,309 1,594,501 3,272,002 46,681, ,751,288 1,756,742 3,582,994 51,229, ,308,267 1,918,983 3,893,987 55,776, TOTAL Mgr & Margarine oleokimia/detergen biodiesel Gambar 6.2 Proyeksi Produksi Hilir Kapasitas pabrik oleokimia diproyeksikan meningkat dari sekitar 18 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 22 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 40 juta ton tahun Peningkatan yang sangat cepat terjadi pada industri biodiesel, kapasitas pabrik tahun 2013 masih VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit

242 sekitar 3 juta ton akan meningkat menjadi sekitar 12 juta ton tahun 2020 dan sekitar 57 juta tahun Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik Peningkatan produksi indutri hilir yang diproyesikan tersebut diatas memerlukan peningkatan kebutuhan CPO (tabel 6.6). Kebutuhan CPO yang diperlukan minyak goreng meningkat dari 18.8 juta ton tahun 2013 menjadi 20.9 juta ton tahun 2020 dan 30.3 juta ton tahun Demikian juga kebutuhan CPO yang diperlukan pada industri margarine dari 0.7 juta ton tahun 2013 menjadi 0.9 juta ton tahun 2020 dan 1.91 tahun Pada industri oleokimia/detergen juga terjadi peningkatan kebutuhan CPO, yakni dari 16 juta ton taun 2013 menjadi 20.3 juta ton tahun 2020 dan 38.9 juta ton tahun Peningkatan kebutuhan CPO pada industri biodiesel mengalami peningkatan yang sangat cepat, yakni dari 3 juta ton tahun 2013 menjadi 11.6 juta ton tahun 2020 dan 55.7 tahun Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik Tahun Kebutuhan CPO Domestik (ton) minyak goreng Margarine oleokimia/detergen biodiesel TOTAL ,808, ,000 1,600,000 3,084,143 24,216, ,101, ,590 1,656,000 3,800,000 25,309, ,400, ,383 1,713,960 5,762,000 27,657, ,704, ,431 1,773,949 10,356,000 32,647, ,015, ,792 1,836,037 10,690,000 33,386, ,333, ,523 1,900,298 11,022,000 34,134, ,658, ,685 1,966,809 11,356,000 34,894, ,989, ,342 2,035,647 11,688,000 35,663, ,523,374 1,107,778 2,339,024 28,909,708 54,879, ,080,352 1,270,019 2,650,017 37,587,000 65,587, ,637,331 1,432,260 2,961,009 42,134,333 72,164, ,194,309 1,594,501 3,272,002 46,681,667 78,742, ,751,288 1,756,742 3,582,994 51,229,000 85,320, ,308,267 1,918,983 3,893,987 55,776,333 91,897, GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

243 juta Ton Secara keseluruhan penyerapan CPO untuk kebutuhan domestik meningkat dari 24 juta ton tahun 2013 menjadi 35 juta ton tahun 2020 dan 91 juta ton tahun Penyerapan CPO domestik terbesar adalah untuk industri biodiesel, yakni sekitar 12 persen tahun 2013 menjadi 32 persen tahun 2020 dan 60 persen 2050 dari total kebutuhan CPO domestik Indonesia (gambar 6.3) minyak goreng margarine oleokimia/detergen biodiesel TOTAL Gambar 6.3. Proyeksi kebutuhan CPO Domestik tahun Roadmap Produksi CPO Menuju 2050 Untuk memenuhi kebutuhan CPO domestik yang diproyeksikan meningkat dari tahun ke tahun diperlukan peningkatan produksi CPO. Peningkatan produksi CPO dapat dilakukan melalui perluasan areal maupun peningkatan produktivitas. Dalam periode peningkatan produktivitas menjadi sumber pertumbuhan penting bagi industri minyak sawit. Oleh karena itu pengembangan industri pembibitan kelapa sawit menjadi sangat penting untuk mendukung peningkatan produktivitas tersebut Roadmap Pengembangan Industri Pembibitan Kelapa Sawit Untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul baik untuk replanting maupun areal baru serta pencapaian produktivitas diperlukan bibit dengan produktivitas sebagaimana disajikan pada table 6.7. Kebutuhan bibit kelapa sawit unggul untuk memenuhi kebutuhan replanting dan area baru diproyeksikan meningkat dari VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit

244 tahun ke tahun. Tahun 2015 diperlukan juta kecambah dan meningkat menjadi juta kecambah tahun 2030, kemudian diperlukan juta kecambah tahun Tabel 6.7. Kebutuhan Bibit dan Roadmap Kualitas Bibit Kelapa Sawit Tahun Kebutuhan Bibit Protas Proven Bibit (ton CPO/Ha) ,278, ,623, ,738, ,078, , ,117, ,647, ,165, ,915, ,361, ,063, ,981, ,408, ,157, Selain jumlah bibit yang diperlukan hal yang penting adalah produktivitas terbukti (proven) bibit yang dihasilkan diharapkan mengalami peningkatan dari periode ke periode. Pada saat ini bibit yang tersedia dari pembibitan kelapa sawit memiliki produktivitas (proven) antara 5-7 ton CPO perhektar. Mengingat diperlukan waktu yang relatif panjang (7-10 tahun) untuk menghasilkan varietas baru, maka diharapkan varietas bibit dengan kemampuan produksi 7-8 ton CPO perhektar diproyeksikan baru tersedia tahun Selanjutnya untuk kebutuhan varietas bibit yang lebih unggul lagi yakni dengan produktivitas 8-9 ton CPO perhektar diproyeksikan baru tersedia mulai tahun Oleh karena itu, perlu segera disusun cetak biru maupun roadmap industri pembibitan kelapa sawit nasional mulai dari tingkat plasma nutfah, grandparents (pohon nenek), dan parents (pohon induk) sampai pada produksi kecambah (bibit komersil). Bagaimana industri pembibitan kelapa sawit dalam menghasilkan bibit yang makin unggul 226 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

245 menentukan sejauh mana kemajuan produktivitas yang akan dicapai oleh industri perkebunan kelapa sawit Indonesia Roadmap Replanting Dalam periode diproyeksikan replanting dan penanaman baru kelapa sawit (tabel 6.8). luas replanting cenderung meningkat, sementara tanaman baru cenderung menurun menuju tahun Hal ini membuktikan bahwa industri minyak sawit Indonesia menuju tahun 2050 lebih memfokuskan peningkatan produktivitas dibandingkan dengan perluasan areal. Tabel 6.8. Roadmap Replanting dan Tanaman Baru serta Kebutuhan Bibit Kelapa Sawit Tanaman Tahun Raplanting Baru Total Nasional Nasional , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,213 1,085, , ,213 1,159, , ,213 1,227, , ,213 1,255, Roadmap Luas Areal dan Komposisi Tanaman Untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dilakukan melalui dua strategi yakni : perluasan areal baru dan peningkatan produktivitas. Di proyeksikan tambahan area baru masih terjadi setiap tahun (khususnya perkebunan rakyat) dalam periode Dengan demikian diproyeksikan pada tahun 2020 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mencapai 13.3 juta hektar (table 6.9 dan gambar 6.5). Terdiri dari perkebunan sawit rakyat 6.6 juta VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit

246 Ha, perkebunan sawit swasta 5.9 juta Ha, dan negara 0.72 juta Ha. Kemudia pada tahun 2050 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mencapai 28 juta hektar. Terdiri dari perkebunan sawit rakyat 16.6 juta Ha, perkebunan sawit swasta 10 juta Ha, dan negara 0.8 juta Ha. Dengan demikian pangsa perkebunan rakyat makin dominan dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia (gambar6.4) Rakyat 44.11% Negara 6.86% Swasta 49.03% 2020 Rakyat 49.48% Negara 5.46% Swasta 45.06% 2050 Rakyat 58.99% Negara 3.11% Swasta % Gambar 6.4. Perubahan Pangsa Areal Perkebunan Sawit Negara, Rakyat, dan Swasta Indonesia tahun % 80% 60% 40% 20% 0% Rakyat Negara Swasta Gambar 6.5. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju PASPI

247 100% 80% 60% 40% 20% 0% TBM Muda Remaja Dewasa Tua Gambar 6.6 Proyeksi Komposisi Tanaman Kelapa Sawit Indonesia Tabel 6.9. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Tahun Rakyat Negara Swasta Nasional ,810, ,094 5,207,071 10,721, ,186, ,615 5,363,283 11,257, ,585, ,153 5,524,182 11,820, ,006, ,708 5,689,907 12,411, ,248, ,613 5,838,461 12,808, ,583, ,597 5,994,782 13,305, ,258, ,515 6,776,389 15,786, ,932, ,433 7,557,996 18,267, ,607, ,351 8,339,602 20,748, ,281, ,269 9,121,209 23,229, ,956, ,188 9,902,816 25,710, ,630, ,106 10,684,423 28,191,411 Dengan kombinasi perluasan areal baru, dan replanting pada perkebunan sawit rakyat, negara, maupun swasta secara overtime proyeksi komposisi perkebunan kelapa sawit Indonesia menurut umur (gambar 6.6) mengalami perubahan dari tahun ke tahun. VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkebunan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk 114 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk perekonomian bagi masyarakat Indonesia. Salah satu sektor agroindustri yang cendrung berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS SUMBER PERTUMBUHAN MINYAK SAWIT YANG BERKELANJUTAN

PRODUKTIVITAS SUMBER PERTUMBUHAN MINYAK SAWIT YANG BERKELANJUTAN PRODUKTIVITAS SUMBER PERTUMBUHAN MINYAK SAWIT YANG BERKELANJUTAN Oleh Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc Komisaris Utama PT. Pupuk Indonesia Holding Ketua Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

POSISI BUKU MITOS VS FAKTA : BAHAN ADVOKASI INDONESIA MENGHADAPI GERAKAN ANTI SAWIT GLOBAL DAN PROMOSI INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA

POSISI BUKU MITOS VS FAKTA : BAHAN ADVOKASI INDONESIA MENGHADAPI GERAKAN ANTI SAWIT GLOBAL DAN PROMOSI INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA POSISI BUKU MITOS VS FAKTA : BAHAN ADVOKASI INDONESIA MENGHADAPI GERAKAN ANTI SAWIT GLOBAL DAN PROMOSI INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA Outline Presentasi Perkembangan Mutakhir Industri Minyak Sawit Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum sektor pertanian dapat memperluas kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha, mendukung pembangunan daerah dan tetap memperhatikan kelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor yang cukup berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan sejak krisis ekonomi dan moneter melanda semua sektor

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. peningkatan pesat setiap tahunnya, pada tahun 1967 produksi Crude Palm Oil

BAB 1. PENDAHULUAN. peningkatan pesat setiap tahunnya, pada tahun 1967 produksi Crude Palm Oil ribuan ton BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya, pada tahun 1967 produksi Crude Palm Oil (CPO) sebesar 167.669

Lebih terperinci

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi.

Lebih terperinci

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Fitur Pemeringkatan ICRA Indonesia April 2015 Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Pendahuluan Sektor perkebunan terutama kelapa sawit memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam GBHN 1993, disebutkan bahwa pembangunan pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman lainnya diarahkan pada berkembangnya pertanian yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai posisi dan peranan yang strategis dalam

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai posisi dan peranan yang strategis dalam BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai posisi dan peranan yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, karena didukung oleh ketersediaan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

Oleh Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc

Oleh Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc Oleh Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc Komisaris Utama PT. Pupuk Indonesia Holding Ketua Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute-PASPI P e n d a h u l u a n Sejak 1980 CPO mengalami

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub

BAB I. PENDAHULUAN. kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agroindustri akan berdampak pada penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub sektor agroindustri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

VIII. SIMPULAN DAN SARAN VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi intermediasi atau memperlancar lalu lintas

Lebih terperinci

LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Nama : Budiati Nur Prastiwi NIM : 11.11.4880 Jurusan Kelas : Teknik Informatika : 11-S1TI-04 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 Abstrack Kelapa Sawit

Lebih terperinci

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA MUFID NURDIANSYAH (10.12.5170) LINGKUNGAN BISNIS ABSTRACT Prospek bisnis perkebunan kelapa sawit sangat terbuka lebar. Sebab, kelapa sawit adalah komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia sehingga industri kelapa sawit diusahakan secara besar-besaran. Pesatnya perkembangan industri kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan sumber pembiayaan yang sangat penting adalah devisa. Devisa diperlukan untuk membiayai impor dan membayar

Lebih terperinci

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA The Business and Investment Forum for Downstream Palm Oil Industry Rotterdam, Belanda, 4 September 2015 Bismillahirrohmanirrahim 1. Yang Terhormat

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pesat globalisasi dalam beberapa dasawarsa terakhir mendorong terjadinya perdagangan internasional yang semakin aktif dan kompetitif. Perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 2020 dan berdasarkan data forecasting World Bank diperlukan lahan seluas

BAB I PENDAHULUAN. pada 2020 dan berdasarkan data forecasting World Bank diperlukan lahan seluas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meskipun dibayangi penurunan harga sejak akhir 2012, Prospek minyak kelapa sawit mentah (CPO) diyakini masih tetap akan cerah dimasa akan datang. Menurut Direktur

Lebih terperinci

KOMPARASI INTERNASIONAL KEBIJAKAN BIODIESEL BAGAIMANA SEHARUSNYA INDONESIA

KOMPARASI INTERNASIONAL KEBIJAKAN BIODIESEL BAGAIMANA SEHARUSNYA INDONESIA KOMPARASI INTERNASIONAL KEBIJAKAN BIODIESEL BAGAIMANA SEHARUSNYA INDONESIA oleh: Dr. Tungkot Sipayung Direktur Eksekutif PALM OIL AGRIBUSINESS STRATEGIC POLICY INSTITUTE TUJUAN PENGEMBANGAN BIODIESEL SETIAP

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia Menurut Martha Prasetyani dan Ermina Miranti, sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA 2.1. Tinjauan Umum Minyak Nabati Dunia Minyak nabati (vegetable oils) dan minyak hewani (oil and fats) merupakan bagian dari minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya peran energi dalam kebutuhan sehari-hari mulai dari zaman dahulu

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya peran energi dalam kebutuhan sehari-hari mulai dari zaman dahulu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Topik tentang energi saat ini menjadi perhatian besar bagi seluruh dunia. Pentingnya peran energi dalam kebutuhan sehari-hari mulai dari zaman dahulu hingga sekarang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017 Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017 A. Overview Sektor agribisnis perkebunan Kelapa Sawit Indonesia telah berkembang dari waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minyak goreng sawit adalah salah satu jenis minyak makan yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. Minyak goreng sawit adalah salah satu jenis minyak makan yang berasal dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak goreng sawit adalah salah satu jenis minyak makan yang berasal dari minyak sawit (Crude Palm Oil) yang dihasilkan dari tanaman kelapa sawit. Salah satu produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama lebih dari 3 dasawarsa dalam pasar minyak nabati dunia, terjadi pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara tahun 1980 sampai

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) merupakan produk olahan dari kelapa sawit dengan cara perebusan dan pemerasan daging buah dari kelapa sawit. Minyak kelapa sawit (CPO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.1.1. Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit... 3 1.1.2. Era Perdagangan Bebas... 7 1.1.3.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Industri pupuk urea termasuk dalam lapangan usaha sektor industri pengolahan non migas. Pada tahun 2014 industri pengolahan non migas memberikan kontribusi sebesar 21 % pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (elaeis guineensis) menurut para ahli secara umum berasal dari Afrika. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting sebagai suatu sumber minyak nabati. Kelapa sawit tumbuh sepanjang pantai barat Afrika dari Gambia

Lebih terperinci

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi. HMGRIN Harga Margarin (rupiah/kg) 12393.5 13346.3 7.688 VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil pendugaan model pengembangan biodiesel terhadap produk turunan kelapa sawit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. Dibandingkan dengan kondisi permintaan energi beberapa

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN. Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan,

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN. Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan, PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan, Solo, 18 Juli 2017 Fakta dan Peran Penting Kelapa Sawit Pemilikan perkebunan sawit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar) 1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Komoditas kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan sangat penting dalam penerimaan devisa negara, pengembangan perekonomian

Lebih terperinci

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

Tinjauan Pasar Minyak Goreng (Rp/kg) (US$/ton) Edisi : 01/MGR/01/2011 Tinjauan Pasar Minyak Goreng Informasi Utama : Tingkat harga minyak goreng curah dalam negeri pada bulan Januari 2011 mengalami peningkatan sebesar 1.3% dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup adalah salah satu alasan agar setiap individu maupun kelompok melakukan aktivitas bekerja dan mendapatkan hasil sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM Laju Pertumbuhan GDP per Kapita Negara High Income

BAB IV GAMBARAN UMUM Laju Pertumbuhan GDP per Kapita Negara High Income BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Laju Pertumbuhan GDP per Kapita Negara High Income -28 Kelompok negara high income merupakan kelompok negara yang telah melewati tahapan pertumbuhan ekonomi hingga pada akhirnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. krisis tersebut adalah industri agro bisnis dan sampai akhir tahun 2010 industri agrobisnis

BAB I PENDAHULUAN. krisis tersebut adalah industri agro bisnis dan sampai akhir tahun 2010 industri agrobisnis BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang menimpa Indonesia di tahun 1998 menyebabkan terpuruknya beberapa sektor industri di Indonesia. Salah satu industri yang dapat bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persaingan antar perusahaan semakin ketat dalam suatu industri termasuk pada agroindustri. Salah satu produk komoditi yang saat ini sangat digemari oleh perusahaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri minyak kelapa sawit (crude palm oil CPO) di Indonesia dan Malaysia telah mampu merubah peta perminyakan nabati dunia dalam waktu singkat. Pada tahun

Lebih terperinci

1 UNIVERSITAS INDONESIA Rancangan strategi..., R. Agung Wijono, FT UI, 2010.

1 UNIVERSITAS INDONESIA Rancangan strategi..., R. Agung Wijono, FT UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sebagai Negara penghasil minyak bumi yang cukup besar, masa keemasan ekspor minyak Indonesia telah lewat. Dilihat dari kebutuhan bahan bakar minyak (BBM)

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari nilai devisa yang dihasilkan.

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit nasional karena kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. sawit nasional karena kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati yang saat ini sedang marak dikembangkan di Indonesia. Pemerintah terus mendorong pertumbuhan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Gambar 1 Produksi dan ekspor CPO tahun 2011 (Malaysian Palm Oil Board (MPOB))

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Gambar 1 Produksi dan ekspor CPO tahun 2011 (Malaysian Palm Oil Board (MPOB)) 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Isu perubahan iklim secara global (global climate change) telah mengakibatkan tumbuhnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah energi yang dimiliki Indonesia pada umumnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor industri (47,9%), transportasi (40,6%), dan rumah tangga (11,4%)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditi pertanian yang sangat penting bagi Indonesia. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi kemajuan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

Industri Minyak Sawit Sumatera Utara Berkelanjutan/ PASPI - Bogor: PASPI, xii, 54 hlm. 21 cm

Industri Minyak Sawit Sumatera Utara Berkelanjutan/ PASPI - Bogor: PASPI, xii, 54 hlm. 21 cm Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Cetakan 1, 2016 PASPI Katalog Dalam Terbitan (KDT) / PASPI - Bogor: PASPI, 2016. xii, 54 hlm. 21 cm Bibliografi: hlm. ii ISBN 978-602-74377-2-2 I. Ekonomi Pembangunan,

Lebih terperinci

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini Indonesia mulai mengalami perubahan, dari yang semula sebagai negara pengekspor bahan bakar minyak (BBM) menjadi negara pengimpor minyak.

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai penghasil produk-produk hulu pertanian yang mencakup sektor perkebunan, hortikultura dan perikanan. Potensi alam di Indonesia memungkinkan pengembangan

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK

JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK Sumber: Studi Kelayakan (FS) Kawasan Agro Industri Jambi (JAIP) JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK (JAIP) telah menjadi komitmen Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten terkait pengembangan Kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prospek industri kelapa sawit Indonesia semakin cerah di pasar minyak

BAB I PENDAHULUAN. Prospek industri kelapa sawit Indonesia semakin cerah di pasar minyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prospek industri kelapa sawit Indonesia semakin cerah di pasar minyak nabati dunia. Prestasi yang membanggakan sebagai negara perintis budidaya kelapa sawit, Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO Widiastuti *) Kepala Bagian Pengembangan Pasar, BAPPEBTI Pengantar redaksi: Tahun 2010, lalu, Biro Analisa Pasar, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA Pada bab V ini dikemukakan secara ringkas gambaran umum ekonomi kelapa sawit dan karet Indonesia meliputi beberapa variabel utama yaitu perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia

Gambar 1.1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit telah menjadi komoditas andalan sebagai sumber devisa negara non migas, penciptaan lapangan kerja dan pelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan informasi

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia, karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Profil Kelapa Sawit Kelapa sawit memainkan peranan penting bagi pembangunan sub sektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani

Lebih terperinci