: Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan. orang (asas persamaan di muka hukum) Pasal 4 ayat (1)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ": Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan. orang (asas persamaan di muka hukum) Pasal 4 ayat (1)"

Transkripsi

1 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Hak Tersangka Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa, maka tindakan penguasa terhadap individu dan kekuasaannya harus dibatasi oleh hukum. Baik negara maupun individu adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam negara hukum kedudukan dan hubungan individu dengan negara harus seimbang, kedua-duanya memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi hukum. Sudargo Gautama mengatakan, bahwa untuk mewujudkan cita-cita negara hukum, adalah syarat yang mutlak bahwa rakyat juga sadar akan hak-haknya dan siap sedia untuk berdiri tegak membela hak-haknya tersebut. (Sudargo Gautama, 1983 : 16). 1) Hak tersangka dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman a) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang (asas persamaan di muka hukum) Pasal 4 ayat (1) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang b) Penegasan adanya asas praduga tak bersalah (Presumption of Innounce), tercantum di dalam Pasal 8 ayat (1) : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap 14

2 15 c) Asas sidang terbuka untuk umum, tercantum dalam Pasal 13 ayat (1) : Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. d) Hak ingkar, diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. (2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. e) Hak mendapatkan bantuan hukum, diatur dalam Pasal 56 Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum 2) Kedudukan Tersangka dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab III tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, bagian keempat hak memperoleh keadilan, khususnya Pasal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asaasi Manusia,dinyatakan :- Pasal 17, berbunyi : Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemerikasaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Pasal 18, berbunyi : (1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3 16 (2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundangundangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya. (3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perudang-undangan maka beralaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. (4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbutan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 3) Kedudukan Tersangka dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) KUHAP telah mengatur secara jelas dan tegas hal-hal yang berkaitan hak-hak tersangka (Pasal 50 - Pasal 68 KUHAP), dan setiap pihak wajib menghormati hak-hak tersangka tersebut. Adapun hak-hak tersangka menurut KUHAP adalah sebagai berikut : a) Hak Prioritas Penyelesaian Perkara Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 50 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut : (1) Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan ke Penuntut Umum. (2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke Pengadilan oleh Penuntut Umum. (3) Terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan. b) Hak Persiapan Pembelaan Hak ini didasarkan pada Pasal 51 KUHAP, yang berbunyi; untuk mempersiapkan pembelaan :

4 17 (1) tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai; c) Hak Memberi Keterangan Secara Bebas Jika seorang tersangka memberikan keterangan baik di tingkat penyidikan maupun di sidang pengadilan tanpa adanya rasa takut, berarti tersangka telah mendapatkan haknya. Sebagai bukti bahwa hak untuk memberikan keterangan secara bebas dijamin oleh hukum, terdapat dalam ketentuan Pasal 52 KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut; Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. d) Hak Mendapatkan Juru Bahasa Dasar hukum terhadap hak ini adalah yang tertera dalam Pasal 53 KUHAP yang berbunyi : (1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177. (2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178. e) Hak Mendapatkan Bantuan Hukum Beberapa faktor yang melahirkan perlunya bantuan hukum terhadap seorang tersangka atau terdakwa, sebagai berikut; (1). Faktor pertama; adalah kedudukan tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan merupakan sosok yang lemah, mengingat bahwa yang bersangkutan menghadapi sosok yang lebih tegar yakni negara lewat aparat-aparatnya. Kedudukan yang tidak seimbang melahirkan gagasan

5 18 bahwa tersangka atau terdakwa harus memperoleh bantuan secukupnya menurut aturan hukum agar memperoleh keadilan hukum yang sebenarnya. (2). Faktor kedua; adalah tidak semua orang mengetahui apalagi menguasai seluk beluk aturan hukum yang rumit dalam hal ini aparat penegak hukum tentu saja mempunyai kedudukan yang lebih pengalaman serta pengetahuan dari aparat tersebut dan sebagainya. (3). Faktor ketiga adalah faktor kejiwaan atau faktor psikologis, meskipun baru dalam taraf sangkaan atau dakwaan bagi pribadi yang terkena dapat merupakan suatu pukulan psikologis. (Erni Widhayanti, 1998 : 20). Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan hal yang sangat penting bagi tersangka atau terdakwa dan merupakan hal yang tidak bisa ditiadakan apalagi terhadap kasus yang ancaman pidananya diatas lima tahun atau lebih atau yang diancam dengan pidana mati. f) Hak Memilih Sendiri Penasehat Hukumnya Mendapatkan penasihat hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 54 KUHAP tersangka dibolehkan untuk menentukan dan memilih sendiri penasehat hukumnya sesuai dengan keinginannya. Tersangka juga boleh menggunakan penasehat hukum yang disediakan penyidik kepadanya, apabila tersangka tidak mempunyai gambaran tentang siapa yang akan menjadi penasehat hukumnya. Tidak ada larangan apabila tersangka menolak calon penasehat hukum yang diberikan oleh penyidik kepadanya. g) Hak Mendapatkan Bantuan Hukum Cuma-Cuma Mengenai hak ini telah diatur dalam Pasal 56 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut;

6 19 (1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman 15 tahun atau lebih bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tindak pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka. (2) Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberi bantuannya dengan cuma-cuma. h) Hak Menghubungi Penasihat Hukum Tersangka yang dikenakan penahanan, tidak ada larangan bagi mereka untuk menghubungi penasehat hukumnya selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (1) KUHAP, i) Hak Kunjungan oleh Dokter Pribadi Tersangka boleh menerima kunjungan dari siapa saja selama kunjungan tersebut tidak membahayakan ketertiban dan keamanan termasuk juga menerima kunjungan dari dokter pribadinya. Diatur dalam Pasal 58 KUHAP, berbunyi sebagai berikut; tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak. j) Hak Diberitahukan, Menghubungi atau Menerima Kunjungan Keluarga dan Sanak Keluarganya Tersangka yang ditangkap dan dilakukan penahanan atas dirinya terkadang tidak diketahui oleh keluarganya, disebabkan ketika penangkapan terjadi tersangka berada ditempat lain, maka perlu diberitahukan kepada keluarganya tentang

7 20 penahanan atas diri tersangka. Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 59 KUHAP, yang berbunyi: Tersangka yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya. Selain itu tersangka berhak menerima kunjungan dari keluarganya atau lainnya dalam urusan mendapatkan bantuan hukum atau untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 60 dan 61 KUHAP. Pasal 60 KUHAP, berbunyi; tersangka berhak menghubungi dan menerima kunjungan pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum. Pasal 61 KUHAP, berbunyi; Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasehat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaa atau untuk kepentingan kekeluargaan. k) Hak berkirim surat Setiap tingkat pemeriksaan tersangka di perkenankan untuk berkirim surat kepada penasehat hukum, sanak saudaranya termasuk juga menerima surat dari mereka semua tanpa diperiksa terlebih dahulu oleh pejabat yang bersangkutan, kecuali diduga kalau surat tersebut disalahgunakan. Terhadap surat yang diduga disalahgunakan, maka surat tersebut akan dibuka oleh pejabat yang bersangkutan akan tetapi terlebih dahulu diberitahukan kepada tersangka, kemudian surat tersebut

8 21 akan dikembalikan kepada si pengirim setelah terlebih dahulu diberi cap yang berbunyi telah ditilik. Ketentuan tentang hak berkirim surat ini, tercantum dalam Pasal 62 KUHAP. l) Hak Menerima Kunjungan Rohaniwan Hak untuk menerima kunjungan rohaniwan ini diatur dalam Pasal 63 KUHAP, yang berbunyi; tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan. Dengan ditahannya tersangka telah merampas kemerdekaan atau kebebasan tersangka, akibatnya membatasi hubungannya dengan dunia luar. Terisolasinya tersangka dari dunia luar membuatnya tidak dapat menerima pengetahuan agama dari rohaniwan, maka diberikan hak untuk mendapatkan kunjungan rohaniwan agar jiwanya kuat secara spiritual. m) Hak diadili pada Sidang Terbuka untuk Umum Tersangka apabila statusnya telah menjadi terdakwa, maka memiliki hak untuk diadili pada sidang terbuka untuk umum, kecuali pada kasus yang memang harus tertutup untuk umum yang telah ditentukan oleh undang-undang, dan itupun harus dibuka terlebih dahulu oleh hakim untuk umum, walaupun akhirnya hakim menyatakan bahwa sidang tersebut tertutup untuk umum. Hak ini telah ditegaskan dalam Pasal 64 KUHAP, yang berbunyi; terdakwa berhak untuk diadili di sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum. n) Hak Mengajukan Saksi a de charge dan Saksi Ahli Dasar diakuinya hak untuk mengajukan saksi a de charge dan saksi ahli adalah Pasal 65 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut; tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. o) Hak Untuk Tidak Dibebani Kewajiban Pembuktian

9 22 Pasal 66 KUHAP, berbunyi; tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Berdasarkan penjelasan Pasal 66 KUHAP, ketentuan ini merupakan penjelmaan dari asas praduga tidak bersalah (presumption of innounce). p) Hak Pemberian Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Hak-hak ganti rugi dan rehabilitasi belum diatur siapa yang akan melaksanakan ganti rugi (oknum atau instansi mana). Diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi; tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikarenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 4) Hak Tersangka Anak Pengertian tersangka anak, dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, yang dimaksud dengan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dari pengertian anak dan ketentuan Pasal 1 butir 14, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tersangka anak adalah seorang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, yang karena perbuatannya atau keadannya berdasarkan bukti permulaan, patut diduga melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. (Layyin Mahfiana. Muwazah,Vol.3, No. 1, Juli 2011:387). Selain terdapat hak-hak tersangka tersebut, bila tersangkanya atau terdakwanya adalah anak-anak maka berlakulah hak-hak tersangka khusus untuk anak di bawah umur. Perluya undang-

10 23 undang yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa yang berhadapan dengan hukum. Hal ini disebabkan tingkat kecakapan seorang anak berbeda dengan tingkat kecakapan orang dewasa, dan secara lebih jauh masalah ini akan membawa perbedaan pada motivasi anak untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum, juga harus dipertimbangkan tingkat kemampuan seorang anak untuk menjalani hukuman sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukannya (Angger Sigit Pramukti, 2015:44). Pengaturan mengenai hak-hak tersangka atau terdakwa anak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur secara khusus dalam Pasal 3 hingga Pasal 4 mengenai hak-hak anak baik dalam proses peradilan dan pada saat menjalankan pidana. Adapun hak-hak tersangka atau terdakwa anak dalam Pasal 3 adalah setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umumnya; b. Dipisahkan dari orang dewasa; c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. Melakukan kegiatan rekreasional; e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

11 24 h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. Tidak dipublikasikan identitasnya; j. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; k. Memperoleh advokasi sosial; l. Memperoleh kehidupan pribadi; m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. Memperoleh pendidikan; o. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. Mendapat pengurangan masa pidana; b. Memperoleh asimilasi; c. Memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. Memperoleh pembebasan bersyarat; e. Memperoleh cuti menjelang bebas; f. Memperoleh cuti bersyarat; g. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan diaturnya hak-hak diatas walaupun tersangka atau terdakwa masih anak-anak, petugas pemeriksa tidak boleh menghalang-halangi penggunaannya, dan sebaiknya sejak awal pemeriksaan ha-hak tersebut diberitahukan (Gatot Supramono, 2000 :27). 2. Tinjauan tentang Hak Korban

12 25 Tinjauan tentang korban penting diberikan untuk membantu menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan pandangan. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli maupun yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum nasional mengenai korban kejahatan. 1) Pasal 1 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2004 menentukan bahwa : Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 2) Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Menentukan bahwa : Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 3) Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, menyatakan bahwa : Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya. Dalam suatu peristiwa pidana terdapat pelaku dan korban. Korban tindak pidana yang sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan terpenuhinya hakhak korban tindak pidana. Hakhak korban yang dimaksud terdapat dalam Undang-Undang, salah satunya adalah dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) Pasal 1 yang berisi antara lain tentang penggabungan gugatan ganti kerugian. Hal ini merupakan salah satu bentuk

13 26 perlindungan yang diberikan kepada korban tindak pidana (Maja Simarmata, 2013:9). Perlindungan terhadap korban meliputi pelaksanaan kepentingannya yang meliputi hak dan kewajiban secara seimbang dan manusiawi berdasarkan hukum. Hak merupakan suatu yang bersifat pilihan (optimal), artinya bisa diterima oleh korban dan bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya individual maupun yang eksternal. Adapun hak-hak korban adalah (Arif Gosita,1993:117) : 1) Mendapat pelayanan (bantuan, restitusi dan kompensasi). Korban berhak untuk mendapatkan ganti kerugian atas apa yang telah menimpanya sebagai akibat dari peristiwa kejahatan tersebut. Ganti kerugian yang dimaksud dapat berupa uang atau perawatan medis apabila korban mengalami luka-luka akibat peristiwa tersebut; 2) Menolak mendapatkan pelayanan demi kepentingan pelaku. Korban berhak menolak karena menganggap pelaku lebih banyak membutuhkan biaya daripada korban; 3) Mendapatkan pelayanan untuk ahli warisnya. Hal ini dapat diperlukan apabila korban meninggal dunia akibat dari kejahatan tersebut dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap ahli warisnya yaitu anak-anak korban bahkan anggota keluarga korban yang lain apabila korban meninggal dunia di dalam peristiwa tersebut; 4) Mendapatkan kembali hak miliknya. Korban berhak mendapatkan kembali apa yang menjadi haknya yang hilang atau rusak akibat dari peristiwa yang menimpanya; e. Menolak untuk menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya. Korban tidak diharuskan untuk menjadi saksi demi keselamatan jiwa dan keluarga

14 27 sikorban, karena bisa saja suatu saat sipelaku akan membalas dendam kepada korban; 5) Mendapatkan perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila melapor dan menjadi saksi. Korban berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan dari aparat penegak hukum apabila pelaku mengancam korban; 6) Mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya. Korban berhak senantiasa selalu mendapatkan informsi dan perkembanganperkembangan yang terjadi dari permasalahan yang dihadapi; 7) Dapat melangsungkan pekerjaannya. Selama menjadi saksi korban berhak untuk tetap dapat bekerja seperti biasanya dengan aman dan tenang; 8) Mendapatkan pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan. Selama persidangan dan setelah persidangan; 9) Mendapatkan bantuan penasihat hukum. Korban berhak untuk mendapatkan penasihat hukum apabila korban memerlukannya; 10) Menggunakan upaya hukum. Korban mempunyai hak untuk menggunakan upaya hukum yang lebih tinggi atau banding, apabila korban merasa belum puas atas putusan yang dijatuhkan oleh hakim. 11) Hak untuk memperoleh akses pelayanan medis; 12) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau pelaku buron dari tahanan; 13) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban; 14) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.

15 28 Munculnya korban merupakan suatu sebab akibat dari perbuatan melanggar hukum, sehingga dalam suatu peristiwa kejahatan munculnya korban itu sendiri disebabkan oleh adanya perbuatan jahat yang dilakukan oleh orang lain. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan maupun kerugian yang dialami dan ditanggung bagi pihak korban kejahatan dan keluarganya. Korban tidak saja dipahami sebagai objek terhadap suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara sosial dan hukum, pada dasarnya korban adalah orang baik, individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian (Maja Simarmata, 2013:10). 3. Tinjauan tentang Anak 1) Pengertian Anak Mengenai pembahasan anak, maka diperlukan suatu perumusan yang dimaksud dengan anak, termasuk batasan umur. Sampai saat ini di Indonesia ternyata masih banyak terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian anak, sehinga kadang menimbang kebingungan untuk menentukan seseorang termasuk dalam kategori anak atau bukan. Hal ini dikarenakan oleh sistem perundang-undangan di Indonesia yang bersifat pluralisme, sehingga anak mempunyai pengertian dan batasan yang berbedabeda antara satu perundangan-undangan dengan perundangundangan lain (Abdussalam, 2007: 5). Pengertian anak dalam peraturan di Indonesia bersifat pluralis, sehingga perlu didefinisikan berdasarkan ketentuan umum yang tercantum dalam peraturan tersebut. Pengertian-pengertian tersebut antara lain : a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

16 29 Pengertian anak dalam KUHP dapat kita ambil contoh dalam Pasal 287 KUHP. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa anak di bawah umur adalah apabila anak tersebut belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun. b) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memuat, bahwa batasan minimum usia untuk dapat menikah bagi pihak pria adalah apabila telah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun dan bagi pihak wanita adalah bila telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ini menentukan batas belum dewasa atau sudah dewasa adalah 16 (enam belas) tahun dan 19 (Sembilan belas) tahun c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat dalam Bab I ketentuan Umum. Pasal 1 angka 5 Undang-undang ini menyebutkan bahwa: anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

17 30 e) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan f) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 2) Perlindungan Anak Perlindungan anak adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak yang sesuai dengan kepentingannya dan hak asasinya (Arif Gosita, 1985 : 18). Menurut Maidin Gultom (2008: 39) prinsip perlindungan anak ada 3 (tiga), yaitu : a) Anak tidak dapat berjuang sendiri. b) Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) c) Ancaman daur kehidupan (life circle approach) Menurut Darwan Prinst (Darwan Prinst, 1997 : ), ada beberapa macam cara yang dilakukan untuk melindungi anak menurut KUHP yaitu : (1). Menjaga Kesopanan Anak Pasal 283 KUHP melarang orang tua untuk menawarkan, menyewakan untuk selamanya atau sementara, menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan sesuatu tulisan, gambar, barang yang menyinggung perasaan atau kesopanan. Misalnya gambar porno, tulisan-tulisan porno atau alat-alat kontrasepsi.

18 31 (2). Larangan Bersetubuh dengan Orang yang Belum Dewasa Pasal 297 KUHP melarang orang bersetubuh dengan perempuan yang belum genap berusia 15 (lima belas) tahun, baik persetubuhan itu dilakukan atas dasar suka sama suka antara pelakunya ataupun tidak. Akan tetapi pasal ini tidak mengatur larangan bersetubuh dengan anak yang belum dewasa. Delik ini adalah delik aduan, dan karenanya penuntutan hanya akan dilakukan apabila ada perempuan yang disetubuhi itu belum genap berusia 12 (dua belas) tahun, maka delik ini menjadi delik biasa. (3). Larangan untuk Berbuat Cabul dengan Anak Hal ini diatur dalam Pasal 290, 294, 295, dan 297 KUHP. Pasal 290 KUHP yaitu tentang larangan untuk berbuat cabul dengan anak dibawah umur. Pasal 294 KUHP yaitu tentang larangan berbuat cabul dengan anaknya sendiri ataupun anak bukan anaknya sendiri yang di bawah pengawasannya. Pasal 295 KUHP yaitu tentang larangan untuk memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tiri, atau anak angkatnya yang belum dewasa atau orang belum dewasa di bawah pengawasannya Pasal 297 KUHP yaitu tentang larangan menyuruh anak perempuan atau laki-laki yang di bawah umur untuk berbuat cabul. 4. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa Perlindungan Hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang

19 32 dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Satijipto Raharjo, 2000 : 53). Menurut Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif. Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan ( Pjillipus M. Hadjon, 1987 : 2). Perlindungan yang berifat yuridis atau yang dikenal dengan perlindungan hukum adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak (Barda Nawawi Arief, 1998:156). Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. 5. Tinjauan tentang Pemidanaan 1) Pengertian Pemidanaan Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil.

20 33 J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut : Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu (Leden Marpaung, 2005 : 2). Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut: a) Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang; b) Pemberian pidana oleh badan yang berwenang; c) Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang. 2) Jenis-Jenis Pemidanaan Hukum pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni : a) Pidana Pokok (1). Pidana mati; (2). Pidana penjara; (3). Pidana kurungan; (4). Pidana denda. b) Pidana Tambahan (1) Pencabutan hak-hak tertentu; (2) Perampasan barang-barang tertentu; (3) Pengumuman putusan hakim. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 terdapat dalam bab V tentang pidana khususnya Pasal 71 yang berbunyi: (1). Pidana Pokok bagi Anak terdiri atas:

21 34 a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat: 1) Pembinaan di luar lembaga; 2) Pelayanan masyarakat; atau 3) Pengawasan. c. Pelatihan kerja; d. Pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. (2). Pidana tambahan terdiri atas: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat. (3). Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. (4). Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak. (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pencabulan 1) Pengertian Pencabulan Pencabulan berasal dari kata cabul. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan di dalam kamus hukum berarti : Keji dan Kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Pencabulan adalah perbuatan kotor atau keji. Sedangkan, Perbuatan cabul secara umum adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, yang semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-

22 35 raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya (R. Soesilo, 1995 :212.). Pencabulan atau perbuatan cabul (Ontuchtige Handelingen) dapat juga diartikan sebagai segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan diri sendiri maupun pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Dari pengertian di atas, dapatlah diketahui oleh siapapun yang tidak memiliki legalitas hukum dalam hubungan suami istri tetap dipidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (Chazawi Adami, 2002 : 80). Pencabulan termasuk dalam tindak pidana kesusilaan, pengertian tindak pidana kesusilaan sendiri tidaklah mudah, karena pengertian dan batas-batas kesusilaan cukup luas dan dapat berbedabeda menurut pandangan serta nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Untuk memberikan gambaran yang sederhana dapat dikemukakan pengertian tindak pidana kesusilaan adalah sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Pada dasarnya setiap tindak pidana mengandung di dalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, dan dapat dikatakan hukum itu sendiri berisi nilai-nilai kesusilaan yang minimal (Endang Kusuma Astuti, Jurnal Ilmiah Inkoma, Volume 25, Nomor 1, Juni 2014:81-82). 2) Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencabulan Mengetahui unsur-unsur dari perbuatan cabul, penulis akan menjabarkan unsur-unsur dari pasal-pasal yang menyangkut dengan perbuatan cabul. Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 KUHP sebagai berikut : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.

23 36 Apabila rumusan Pasal 289 KUHP tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsurnya sebagai berikut (Adami Chazawi, 2005: 78): a) Perbuatannya: Perbuatan cabul dan memaksa caranya dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan b) Objeknya: Seseoarang untuk melakukan atau membiarkan melakukan.

24 37 2. Kerangka Pemikiran a. Bagan Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Pencabulan Anak Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 64 ayat (1) KUHP Hak Tersangka Pembuktian dalam Persidangan Hak Korban UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pertimbangan Hakim KUHAP Putusan PN

25 38 b. Keterangan: Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak. Tindak pidana dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang dapat menjadi sasaran kejahatan, baik itu orang dewasa maupun anak. Demikian sebaliknya bahwa pelaku tindak pidana bisa saja dilakukan oleh siapa pun baik itu orang dewasa maupun anak. Hal yang paling memprihatinkan ketika anak yang menjadi pelaku dari suatu tindak pidana. Salah satu tindak pidana kesusilaan adalah pencabulan, tindak pidana pencabulan bisa dilakukan orang orang dewasa maupun anak dibawah umur. Korbannya pun bisa orang dewasa maupun anak dibawah umur. Ketika korban dan pelaku tindak pidana pencabulan adalah anak dibawah umur maka tentunya perlindungan hukum yang diberikan kepada mereka tentu berbeda dengan orang dewasa, begitu juga dengan hak-hak mereka, baik di tingkat penyidikan di kepolisian maupun sampai persidangan dipengadilan. Hakim dalam memberikan putusan dalam persidangan anak harus mempertimbangkan kaidah dan norma-norma, khususnya yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 serta memperhatikan hak-hak anak baik korban maupun terdakwa yang masih berstatus anak dibawah umur. Sistem pembuktian dalam persidangan harus memperhatikan hak tersangka dan hak korban, selanjutnya dalam pertimbangan hakim, hakim dalam memberikan atau menjatuhkan putusan harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta dalam menjatuhkan putusan hakim juga harus sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga putusan yang dikeluarkan bias diterima oleh semua pihak dan memberikan efek jera kepada pelaku.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK TERSANGKA PADA PENYIDIKAN PERKARA PIDANA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK TERSANGKA PADA PENYIDIKAN PERKARA PIDANA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK TERSANGKA PADA PENYIDIKAN PERKARA PIDANA, SH.,MH 1 Abstrak : Hak warga negara merupakan hak konstitusional yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara. Hak konstitusional

Lebih terperinci

BAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA. seseorang yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya

BAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA. seseorang yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya BAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Tersangka 1. Pengertian Tersangka Tersangka menurut Pasal 1 ayat (14) KUHAP, adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 Oleh: Karen Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan berpartisipasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK A. Tindak Pidana Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Hak atas kemerdekaan, keamanan dan juga hak untuk memperoleh keadilan merupakan hak asasi bagi setiap orang sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE Oleh : Dheny Wahyudhi 1 Abstrak Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PENETAPAN TERSANGKA BERDASARKAN BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP 1 Oleh : Daud Lapasi 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PENETAPAN TERSANGKA BERDASARKAN BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP 1 Oleh : Daud Lapasi 2 PENETAPAN TERSANGKA BERDASARKAN BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP 1 Oleh : Daud Lapasi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah mekanisme penetapan tersangka berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan abad ke-21 ini, baik secara nasional maupun internasional. Hak Asasi Manusia telah

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 SKRIPSI PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 Oleh ALDINO PUTRA 04 140 021 Program Kekhususan: SISTEM PERADILAN PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No: 164/Pid.B/2009/PN.PL) SAHARUDDIN / D

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No: 164/Pid.B/2009/PN.PL) SAHARUDDIN / D PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No: 164/Pid.B/2009/PN.PL) SAHARUDDIN / D 101 07 502 ABSTRAK Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van 138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan adalah berada ditangan lembaga pengadilan berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki hak serta kewajiban yang harus dilindungi dari segala

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki hak serta kewajiban yang harus dilindungi dari segala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan tanggung jawab bangsa, negara dan orang tua yang memiliki hak serta kewajiban yang harus dilindungi dari segala ancaman, hambatan dan kejahatan yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak BAB I PENDAHUULUAN A. Latar Belakang Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang melangsungkan perkawinan pasti berharap bahwa perkawinan yang mereka lakukan hanyalah satu kali untuk selamanya dengan ridho Tuhan, langgeng

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB III PERANAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK SABAGAI DASAR HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN ANAK

BAB III PERANAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK SABAGAI DASAR HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN ANAK BAB III PERANAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK SABAGAI DASAR HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN ANAK 1.1 Peranan Undang-Undang Perlindungan Anak Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Anak Yang Menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN

BAB II PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN BAB II PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN A Pemeriksaan Tersangka di tingkat Kepolisian Berdasarkan KUHAP, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Kode Etik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Gambaran Umum Undang-undang perlindungan anak dibentuk dalam rangka melindungi hakhak dan kewajiban anak,

Lebih terperinci

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Jakarta 2005 I. Latar Belakang Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah

BAB II TINJAUAN UMUM. Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Korban Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang yang telah mendapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci