BAB II IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HAK ATAS PENGELOLAAN PERTAMBANGAN SUMBER DAYA MINERAL DAN BATUBARA BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HAK ATAS PENGELOLAAN PERTAMBANGAN SUMBER DAYA MINERAL DAN BATUBARA BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP"

Transkripsi

1 BAB II IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HAK ATAS PENGELOLAAN PERTAMBANGAN SUMBER DAYA MINERAL DAN BATUBARA BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP A. Peraturan Perundang-Undangan Hak Atas Pengelolaan Pertambangan Sumber Daya Mineral dan Batubara. Dari segi peraturan atau hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan bijih-bijih dan Mineral dalam tanah. Definisi ini hanya difokuskan pada aktivitas galian atau pertambangan bijih-bijih.penggalian atau pertambangan merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang terkandung dalam perut bumi. 54 Sebagai sumber hukum pertambangan, pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1960 mengeluarkan PERPU Nomor 37 tahun 1960 tentang Pertambangan untuk mencabut peraturan Belanda Indische Mijnwet (Staatsblad 1899 Nomor 214 yang berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD RI 1945.Selanjutnya pada tahun 1967, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan dan menggantikan PERPU Nomor 37 tahun 1960, dengan alasan ketentuan tersebut tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin berusaha dalam pertambangan Salim HS, H, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm

2 Masyarakat menghendaki agar kepada pihak swasta lebih diberi kesempatan melakukan penambangan, sedangkan tugas Pemerintah dalam bidang pengaturan, bimbingan dan pengawasan. Pada undang-undang tersebut, pengelolaan pertambangan ditandai dengan rejim Kontrak Karya (KK), untuk pertambangan Mineral dan Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk pertambangan batubara serta kuasa pertambangan yang diberikan oleh pemerintah daerah. Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan hal ini terjadi akibat belum selesainya pembahasan RUU Pertambangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Selain itu, otonomi daerah juga menambah ketidakpastian berusaha karena banyaknya peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi, pembagian saham, serta peraturan lainnya yang memperpanjang rantai perijinan yang harus dilalui. Pada tanggal 12 Januari 2009 Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2009 No.2009 dan Tambahan Lembaran Negara No.4959, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan yang materi pengaturannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan masa depan.

3 Didalam point pertimbangan dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, menetapkan: - Bahwa Mineral dan Batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan; - Bahwa kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan; - Perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan Mineral dan Batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi Mineral dan Batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, terdiri atas Bab XXVI, 175, yang secara substansi memuat aturan-aturan sebagai berikut:

4 a. Ketentuan umum (Pasal 1); b. Asas dan Tujuan (Pasal 2 s/d Pasal 5); c. Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Pasal 6 s/d Pasal 8); d. Wilayah Pertambangan (Pasal 9 s/d Pasal 33); e. Usaha Pertambangan (Pasal 34 s/d Pasal 35); f. Izin Usaha Pertambangan (Pasal 36 s/d Pasal 63); g. Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan ( Pasal 64 s/d Pasal 65); h. Izin Pertambangan Rakyat (Pasal 66 s/d Pasal 72); i. Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan Khusus (Pasal 85 s/d Pasal 86); j. Data Pertambangan (Pasal 85 s/d Pasal 86); k. Hak dan Kewajiban (Pasal 90 s/d Pasal 112). l. Penghentian Sementara Kegiatan Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan khusus (Pasal 113 s/d Pasal 116); m. Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan khusus (Pasal 117 s/d Pasal 123); n. Usaha Jasa Pertambangan (Pasal 124 s/d Pasal 127); o. Pendapatan Negara dan Daerah (Pasal 128 s/d Pasal 133); p. Penggunaan Tanah Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan (Pasal 134 s/d Pasal 138); q. Pembinaan, Pengawasan, Dan Perlindungan Masyarakat (Pasal 139 s/d Pasal 145);

5 r. Penelitian dan Pengembangan Serta Pendidikan Dan Pelatihan (Pasal 146 s/d Pasal 148); s. Penyidikan (Pasal 149 s/d Pasal 150); t. Sanksi Administratif (Pasal 151 s/d Pasal 157); u. Ketentuan Pidana (Pasal 158 s/d Pasal 168). Agar ketentuan pertambangan yang terdapat dalam Undang-undang Pertambangan tersebut dapat di implementasikan harus dilengkapi dengan peraturan organik atau pelaksana, dan para aparat yang melaksanakan peraturan yang terdapat di provinsi, kabupaten dan kota. Namun dari hasil inventarisasi atas substansi dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, terdapat beberapa pasal yang harus diatur melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah. Beberapa pasal antara lain yang harus dilengkapi dan diatur kembali dengan Peraturan Pemerintah, antara lain : - Pasal 19 mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP. - Pasal 33 mengenai tata cara penetapan luas dan batas WIUPK - Pasal 34 ayat 3 mengenai penetapan suatu komoditas tambang - Pasal 65 ayat 2 mengenai persyaratan administratif, teknis, lingkungan dan finansial. - Pasal 71 ayat 2 mengenai persyaratan teknis pertambangan. - Pasal 84 mengenai tata cara memperoleh WIUPK - Pasal 86 ayat 2 mengenai persyaratan administratif, lingkungan dan finansial.

6 - Pasal 89 mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian. - Pasal 101 mengenai reklamasi pasca tambang dan dana jaminan reklamasi - Pasal 109 mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. - Pasal 111 ayat 2 mengenai bentuk, jenis, waktu dan tata cara penyampaian laporan. - Pasal 112 ayat 2 mengenai divestasi saham - Pasal,116 mengenai penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan. - Pasal 156 mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif. Sedangkan yang harus dilengkapi dengan Peraturan Menteri adalah pasal 127 mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan. Ketentuan yang harus ditindak lanjuti dengan Peraturan Daerah, antara lain : - Pasal 26 mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR. - Pasal 143 mengenai pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat. Selain ketentuan di atas, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan seperangkat peraturan yang berhubungan dengan Pertambangan sebagai berikut : - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan. - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

7 - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. - Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2010 tentang Reklamasi Pasca dan Tambang. - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. - Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang TIM Evaluasi Untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. - Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan dan Pengawasan Terkait Kegiatan Usaha Pertambangan Batubara. - Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara. - Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 tahun 2011 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Pertambangan dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara. - Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor 14 tahun 2011 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Energi dan

8 Sumber Daya Mineral kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dalam rangka Penyelenggaraan Dekonsentrasi Tahun Anggaran Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Republik Indonesia Nomor 07 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. - Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara. - Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 tahun2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi Pasca Tambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 1 (1) dari peraturan itu menyebutkan bahwa reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memelihara, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya. - Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara dan Panas Bumi Edaran Nomor 03.E/31/DJB/2009 tentang perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 tahun 2009.

9 Akibat hukum yang timbul jika pemerintah belum menerbitkan peraturan peraturan pelaksana atas substansi yang terdapat dalam beberapa pasal dari Undangundang Nomor 4 tahun 2009 maka ketentuan pertambangan belum bisa diimplementasikan secara optimal apalagi untuk mewujudkan tujuan dari undangundang tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3mendukung pembanguan nasional yang berkesinambungan. Terdapat beberapa ketentuan dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 yang dalam tahap implementasinya belum adanya ketentuan pelaksananya, antara lain tentang kewenangan pengelolaan pertambangan Mineral dan Batubara pada tingkat pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 6 dari ketentuan itu menetapkan ada 21 (dua puluh satu) kewenangan, Pasal 7 menetapkan kewenangan tingkat antara kabupatem 14 (empat belas) dan Pasal 8 menetapkan 12 (dua belas) kewenangan tingkat Kota. Diantara kewenangan tersebut yang belum optimal pengaturannya adalah pembuaatan peraturan perundang-undangan daerah baik pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Hal ini juga sesuai dengan hasil yang diperoleh pada instansi yang terkait di provinsi Sumatera Utara belum diterbitkannya peraturan - peraturan tersebut. 55 Demikian juga dengan kewenangan pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai. Kewenangan pada tingkat provinsi atas 55, Hasil data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara, tgl 21 April 2014.

10 pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil. Serta keweangan pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan dan/ atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil. Kewenangan pemerintah kabupaten/kota atas pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil. Selanjutnya dalam kaitan untuk mengimplemtasikan peraturan yang berhubungan dengan pertambangan dikemukakan uraian asas-asas sebagai berikut : 1. Asas- Asas Dalam Kegiatan Usaha Pertambangan Pertambangan secara etimologi kata berasal dari kata tambang 56, maksudnya adalah liang atau lubang dalam tanah tempat orang mengambil mineral dan bahan galian. Istilah tambang kemudian meluas mencakup usaha dibidang minyak dan gas bumi. Pengertian pertambangan adalah suatu kegiatan yang yang dilakukan dengan penggalian ke dalam tanah (bumi) untuk mendapatkan sesuatu yang berupa hasil tambang (Mineral dan gas bumi dan Batubara) Tambang dalam bahasa Belanda mijn, bahasa Inggris mine 57 Gatot Suparmono, Op Cit, hlm 6.

11 Batasan yuridis tentang pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan permurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. 58 Dari batasan tersebut, bahwa pengertian pertambangan mencakup berbagai kegiatan pertambangan yang meliputi sebelum proses atau pada tahap sebelum penambangan atau pra konstruksi, saat proses penambangan atau konstruksi, dan sesudah proses penambangan atau pasca konstruksi. Kegiatan pada tahap-tahap tersebut, telah melahirkan seperangkat peraturan yang tercakup dalam hukum Pertambangan. 59 Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan Mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panasbumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. 60 Sedangkan pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 59 Hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan bijih-bijih dan Mineral-Mineral dalam tanah. Penggalian atau pertambangan merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang terkandung dalam perut bumi..(h. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, HLM Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 61 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 4 tahun tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

12 Terdapat beberapa asas dan tujuan pertambangan Mineral dan Batubara, sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, bahwa pertambangan Mineral dan/atau Batubara dikelola bersasaskan: a. Manfaat, Keadilan, dan Keseimbangan. Asas manfaat dalam pertambangan adalah asas yang menunjukkan bahwa dalam melakukan penambangan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Asas keadilan adalah dalam melakukan penambangan harus mampu memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga negara tanpa ada yang dikecualikan. Sedangkan asas keseimbangan adalah dalam melakukan kegiatan penambangan wajib memperhatikan bidang-bidang lain terutama yang berkaitan langsung dengan dampaknya. b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa. Asas ini mengatakan bahwa di dalam melakukan kegiatan penambangan berorientasi kepada kepentingan negara. Walaupundi dalam melakukan usaha pertambangan dengan menggunakan modal asing, tenaga asing, maupun perencanaan asing, tetapi kegiatan dan hasilnya untuk kepentingan nasional.

13 c. Partisipatif, Transparansi, dan Akuntanbilitas. Asas partisipatif adalah asas yang menghendaki bahwa dalam melakukan kegiatan pertambangan dibutuhkan peran masyarakat untuk penyusunan kebijakan, pengelolaan, pemantauan, dan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Asas transparansi adalah keterbukaan dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan diharapkan masyarakat luas dapat memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur.sebaliknya masyarakat dapat memberikan masukan kepada pemerintah. Asas akuntanbilitas adalah kegiatan pertambangan dilakukan dengan caracara yang benar sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada negara dan masyarakat. d. Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. Asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan Mineral dan Batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang. 62 Selanjutnya pasal 3 dari undang-undang tersebut menetapkan tentang tujuan pengelolaan Mineral dan Batubara adalah : 62 Penjelasan pasal 1 huruf d Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

14 a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdayaguna, berhasil guna, dan berdaya saing. b. menjamin manfaat pertambangan Mineral dan Batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup. c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri. d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional. e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara. Prinsip-prinsip pengeloaan atau usaha pertambangan yang baik dan benar harus memuat semangat, maksud dan tujuan sebagai berikut : 63 a. mengendalikan distribusi pemanfaatan bahan galian, dengan prioritas utama dan pertama dan/atau terlebih dahulu diperuntukkan bagi kepentingan bangsa dan negara. b. Meningkatkanmining recovery atau perolehan bahan galian semaksimal mungkin. 63 Nandang Sudrajat, Op Cit, hlm 162.

15 c. meningkatkan efisiensi pemakaian bahan galian, sebagai upaya penghematan pemakaian bahan dasar industri berdimensi jangka panjang, hal ini berkaitan dengan keberadan bahan galian sebagai bahan yang tidak dapat terbarukan non renewable resources. Artinya penghematan juga berkaitan dengan kepentingan generasi yang akan datang. d. meningkatnya perolehan devisa negara dari sektor pertambangan, karena dengan adanya mining recovery berarti pula meningkatkan jumlah perolehan bahan galian dan memperpanjang umur tambang. Penerapan prinsip-prinsip pertambangan yang baik dan benar, bukan hanya merupakan konsep teknis dan ekonomis semata, tetapi sesuatu hal yang harus dilaksanakan, karena telah mempunyai landasan yuridis yang jelas, yang menegaskan bahwa IUP (Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan)/ IUPK (Izin untuk melaksanakan pertambangan khusus). Operasi produksi wajib memuat tentang penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik. 64, serta pemegang IUP dan IUPK wajib menerapkan kaidah teknis pertambangan yang baik. 65 Terdapatnya ketentuan kaidah teknik pertambangan yang baik, merupakan kemajuan signifikan dan merupakan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah 64 Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 79 huruf (u) Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 65 Pasal 95 huruf (a) Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

16 dalam melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan yang berada di wilayah hukum Indonesia. Agar ketentuan ini berjalan efektif maka dalam tataran implementasinya harus dilakukan secara terintegrasi dalam sebuah konsep dan program yang aplikatif, tidak lain karena industri pertambangan adalah industri yang banyak terkait dengan aspek-aspek lainnya, seperti lingkungan, ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan serta aspek kepentingan negara. 2. Ketentuan Bentuk Wilayah Usaha Pertambangan Wilayah Pertambangan(WP) adalah wilayah yang memiliki potensi Mineral dan/atau Batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. 66 Dalam pengertian tersebut dikatakan wilayah pertambangan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan, karena wilayah pertambangan tidak mengikuti wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota), sehingga diperlukan koordinasi dan kerjasama antar pemerintahan daerah apabila pertambangan terjadi di lintas batas pemerintah daerah. 67 Wilayah penambangan sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Penetapan wilayah pertambangan harus dilakukan berdasarkan dengan data yang diperoleh di lapangan dari hasil 66 Pasal 1 angka 29 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 67 Gatot Supramono, Op Cit, hlm 11.

17 penelitian terlebih dahulu. Oleh karena itu pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan wilayah pertambangan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 11 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan WP. Penetapan wilayah pertambangan dilakukan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan penetapan wilayah pertambangan dilakukan dengan cara : 68 a. transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan, dan c. memperhatikan aspirasi daerah. Di dalam Undang-undang nomor 4 tahun 2009 telah menetapkan bentuk wilayah pertambangan terdiri atas Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) adalah bagian dari Wilayah Pertambangan yanng telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi 68 Gatot Supramono, Ibid.

18 geologi. Penetapan WUP dilakukan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dan dapat dilimpahkan sebagian kewenangnya kepada pemerintah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 69 Untuk satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. 70 Luas dan batas WIUP untuk Mineral logam dan Batubara ditetetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah. 71 Selanjutnya mengenai kriterai sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, WUP bahwa kriteria untuk menetapkan 1 (satu) WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah sebagai berikut: a. letak geografis. b. kaidah konservasi. c. daya dukung lindungan lingkungan. d. optimalisasi sumber daya Mineral dan/atau Batubara, dan e. tingkat kepadatan penduduk. Selanjutnya Pasal 20 sampai dengan Pasal 26 dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, mengatur mengenai Wilayah Pertambangan Rakyat. WPR adalah bagian dari Wilayah Pertambangan 69 Pasal 15 dari Undang-undang Nomor 4 tahun Pasal 16 dari Undang-undang Nomor 4 Tahun Pasal 17 dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.

19 tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR. Pejabat yang berwenang menetapkan WPR adalah bupati/walikota setelah mengadakan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bupati/walikota. Kreteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut : a. mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;mengumum b. mempunyai cadangan primer logam atau Batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektare; e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang, dan/atauukurannya 15 (lima belas) tahun. Untuk menetapkan WPR tersebut bupati/walikota berkewajiban mengikuti asas publisitas yaitu dengan melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka. Pengumumannya dapat dilakukan dengan cara menempelkan pada pengumuman di kantor bupati/walikota yang bersangkutan yang mudah diketahui oleh masyarakat, mengumumkan melalui media surat kabar atau elektronik. Maksud dari pengumuman tersebut adalah memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk mengajukan keberatan apabila ada yang merasa

20 dirugikan, dan ini merupakan pengawasan dari masyarakat yang perlu mendapat perhatian.wilayah Pencadangan Negara (WPN) adalah bagian dari Wilayah Pencadangan Negara yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Pasal 27 dari Undang- Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, menetapkan bahwa; 1) Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. 2) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 3) WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan batas waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 4) Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berubah statusnya menjadi WUPK(Wilayah Usaha Pertambangan Khusus).

21 Untuk dapat melakukan perubahan status dari WPN menjadi WUPK dilaksanakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 72 a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri. b. sumber devisa negara. c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana. d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. e. daya dukung lingkungan; dan/atau f. penggunaan teknoklogi tinggi dan modal investasi yang besar. Persoalan utama sehubungan dengan WUPK berada pada pemerintah daerah yang akan diusahakan, pemerintah melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Di dalam pasal 30, menetapkan bahwa satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUPK yang beradapada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. Luas dan batas WIUPK Mineral logam dan Batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria dan informasi yang dimilki oleh Pemerintah. 73 Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK dalam 1 (satu) WUPK adalah sebagai berikut : 74 a. letak geografis; 72 Pasal 28 dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 2Kriteria untuk Pasal 31 Undang-undang Nomor 4 tahun Pasal 32 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009.

22 b. kaidah konservasi; c. daya dukung lingkungan; d. optimalisasi sumber daya Mineral dan/atau Batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk. Setelah diuraikan materi pengaturan yang berhubungan dengan bentuk wilayah pertambangan, Undang-undang nomor 4 tahun 2009, memberikan batasan tentang usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. 75 Usaha pertambangan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu pertambangan Mineral dan pertambangan Batubara. a. Pertambangan Mineral Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan Mineral yang berupa bijih atau batuan, diluar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Adapun golongan pertambangan Mineral, yaitu: 1) Pertambangan Mineral radio aktif. Untuk WUP Mineral radio aktif ditetapkan oleh Pemerintah dan pengusahaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 75 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009,

23 2) Pertambangan Mineral logam. Pertambangan Mineral logam adalah Mineral ikutannya. WIUPMineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang. Pemegang IUP Eksplorasi Mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit ha dan paling banyak ha.mengenai luas WIUP yang dapat diberikan kepada pemegang IUP Operasi Produksi Mineral dengan ukuran paling banyak ha. 3) Pertambangan Mineral bukan logam. Pada prinsipnya WIUPMineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan, prosedurnya dengan cara mengajukan permohonan wilayah kepada pejabat pemberi izin yang berwenang. Kepada pemegang IUP Operasi Produksi Mineral bukan logam dapat diberi WIUP dengan luas paling banyak sedikit 5 (lima) ha dan paling banyak ha.selanjutnya kepada pemegang IUP Operasi Produksi batuan dapat diberikan WIUP dengan luas paling banyak ha. b. Pertambangan Batubara. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Tidak seperti pada pertambangan Mineral, untuk pertambangan Batubaratidak dikenal adanya macam-macam penggolongan. WIUPbatubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara mengikuti lelang. Paling sedikitmegang IUP Eksplorasi batubara diberi WIUPdengan wilayah luas paling sedikit 5.000

24 ha dan paling banyak ha. Produksi Batubara dapat diberi WIUP dengan luas paling banyak ha. B. Penerapan Peraturan Perundang Undangan Pertambangan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup 1. Izin Lingkungan Hidup Dalam Kaitannya dengan pertambangan Sebagaiman telah diuaraikan, bahwa di dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, salah satu asasnya adalah asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan Mineral dan Batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang. Gagasan pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan (Environmentally sustainable development), yang dikembangkan para pakar ekonomi, ilmu sosial, dan merupakan alternatif terhadap model-model pembangunan yang sedang berjalan. Paradigma tersebut pada galibnya, merupakan suatu ikhtisar untuk meningkatkan standard dan kualitas hidup manusia tanpa mendegradasi lingkungan hidup yang sangat dibutuhkan demi menjaga survivalisme hidup manusia. Itulah suatu paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pusat (put the people first), mengutamakan persamaan dan keadilan, menghargai nilai-nilai sosial dan kultural, mengakui partisipasi rakya, pertumbuhan ekonomi yang lebih manusiawi bagi semua orang. Karena strategi pembangunan yang dilaksanakan

25 diharapkan untuk lebih berorientasi pada hak-hak asasi manusia dan pada ciri-ciri pembangunan berkesinambungan. 76 Asas dan paragdigma tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundangundangan di Indonesia, antara lain dalam Pasal 1 butir 3 dari Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menetapkan bahwa Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Salah satu instrumen dalam upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah perizinan 77. Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Izin dapat diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan. 78 Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap 76 Harman K Benny, Hak Asasi dan Pembangunan Berkesinambungan, Majalah Andal, No.7, hlm Pasal 14 Undang-undang nomor 32 tahun 2009, instrumen pencegahan dan pencemaran lingkungan hidup terdiri atas, KLHS, Tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, UKL-UPL, perizinan...dstnya. 78 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 168.

26 kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyrakat. Perizinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya pengawasan. Dengan demikian berarti, pada pokoknya izin, bahwa sesuatu tindakan dilarang kecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi bila kriteriakriteriayang telah ditetapkan penguasa tidak dipenuhi. Misalnya, tentang hal ini adalah dilarang mendirikan suatu bangunan atau dilarang untuk melakukan suatu kegitan usaha dalam pengelolaan Sumber Daya alam, kegiatan itu baru boleh dilakukan jika ada izin tertulis dari pejabat yang berwenang dengan ketentuan memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Salah satu bentuk yang berhubungan dengan substansi dari penulisan ini adalah izin lingkungan, yaitu izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. 79 Oleh karena itu setiap orang atau 79 Pasal 1 butir 35 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009.

27 perusahaan yang melakukan usaha dibidang apa saja terutama yang melakukan pengelolaan terhadap sumber daya alam wajib memiliki izin dari pihak yang berwenang yaitu Pemerintah. Sejalan dengan perkembangan keadaan dan semua kegiatan yang terdapat pada sektor-sektor terkait dengan diberlakukannya ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dimulai dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 1982, Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 setiap perusahaan wajib memiliki izin lingkungan hidup. Izin lingkungan diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, yang menyebutkan, bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL, wajib memiliki izin lingkungan. Kewajiban tersebut dilatarbelakangi, karena negara atau pemerintah berkeinginan agar setiap perusahaan untuk bersungguh-sungguh memperhatikan lingkungan hidup supaya dapat dicegah atau diminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tidak dapat hanya dibebankan kepada pemerintah tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat termasuk perusahaan. Di dalam pasal 68 dari Undang-undang nomor 32 tahun 2009 menyebutkan, bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban : a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu. b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

28 c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sebagai penjabaran dari ketentuan tersebut, adalah pengaturan yang mewajibkan pengusaha wajib memiliki izin lingkungan karena pemerintah bermaksud serius untuk mengawasi lingkungan hidup dan mewujudkan keadaan lingkungan hidup dan ingin mewujudkan keadaan lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat kemasa depan. Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan. 80 Selanjutnya menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penangung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 81 Berdasarkan uraian tersebut di atas, setiap kegiatan Usaha Pertambangan wajib memiliki izin lingkungan, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang nomor 32 tahun 2009, bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Pengaturan mengenai izin lingkungan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Pasal 72 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 81 Pasal 73 Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

29 27 tahun 2012, di dalam Pasal 1 butir 1 menetapkan, bahwa izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kejadian mengenai dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan. 82 Sedangkan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan. 83 Untuk dapat mengetahui, bahwa suatu usaha dan/ atau kegiatan dalam hal ini perusahaan, dampak 84 penting ditentukan berdasarkan kriteria : a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; 82 Pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, jo Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 20` Pasal 1 butir 12 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, jo Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

30 c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 85 Selanjutnya Pasal 23 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 menetapkan sebagai berikut:kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas : a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbaharukan maupun yang tidak terbarukan; c. proses & kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; 85 Pasal 22 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009.

31 h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup. Usaha di bidang pertambangan termasuk di dalam kriteria berdampak penting terhadap lingkungan hidup karena setidak-tidaknya memenuhi kriteria huruf a sampai dengan huruf d dari Pasal 22 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, dan juga kegiatan yang berdampak penting sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 23 ayat (1) pada huruf a sampai dengan huruf, e, karena inti dari usaha pertambangan adalah melakukan penggalian tanah dengan jumlah, kedalaman dan luas yang akan menimbulkan akibat besar antara ;lain tanah longsor, ambles, tidak subur, tidak mudah direklamasi, banjir dan berdampak akan merugikan kepada masyarakat luas yang ada disekitar pertambangan, serta akibat yang ditimbulkan pasca pertambangan. Tindak lanjut dari ketentuan di atas, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri NegaraLingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 05 tahun 2012 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal, dalam bidang Energi dan Sumber daya Mineral dan Batubara, jenis kegiatan Eksplorasi (operasi produksi) Mineral dan Batubara, terdiri dari luas perizinan dengan skala besar > 200 ha, luas daerah terbuka untuk pertambangan > 50 ha (kumulatif partikel) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Nomor 05 tahun 2012.

32 Setelah diketahui kegiatan apa saja yang wajib Amdal, maka di dalam Pasal 2 dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012, menetapkan : (1) Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL UPL wajib memiliki Izin Lingkungan. (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui tahapan, kegiatan yang meliputi : a. penyusunan Amdal dan UKL-UPL. b. penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL, dan c. permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan. Penyusunan Dokumen Amdal, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012, yaitu : (1) Amdal sebagai mana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disusun oleh Pemrakarsa pada tahap perencanaan suatu Usaha dan/atau Kegiatan. (2) Lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan sebagarencana tata imana dimaksud ayat (1) wajib sesuai dengan tata ruang. (3) Dalan hal lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa Dokumen Amdal terdiri atas, Kerangka Acuan, Andal; dan RKL-RPL, Pasal 5 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012.

33 Penilaian Amdal ini dimulai dari Kerangka Acuan, Andal, RKL-RPL yang telah disusun oleh Pemrakarsa diajukan keapada : a. Menteri melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal Pusat. b. Gubernur melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal procvinsi. c. Bupati/walikota melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal Kabupaten/Kota. Jika Kerangka Acuan, dapat disepakati, Komisi Penilai Amdal menerbitkan persetujuan Kerangka Acuan, selanjutnya pemrakarsa menyusun Andal, RKL-RPL yang juga diajukan dan dinilai melalui rapat Komisi Penilai Amdal, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 29 dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012, sebagai berikut: 1) Komisi Penilai Amdal, berdasarkan hasil penilaian Andal dan RKL-RPL menyelenggarakan rapat Komisi Penilai Amdal. 2) Komisi Penilai Amdal menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL, kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya. 3) Rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL dapat berupa: b. rekomendasi kelayakan lingkungan; atau c. rekomendasi ketidaklayakan lingkungan. 4) Rekomendasi ditetapkan berdasarkan pertimbangan paling sedikit meliputi: a. perkiraan secara cermat mengenai besaran dan sifat penting dampak dari aspek biogeofisik kimia, sosial, ekonomi, budaya, tata ruang, dan

34 kesehatan masyarakat pada tahap pra konstruksi, operasi dan pascaoperasi Usaha dan/atau Kegiatan. b. hasil evaluasi secara holistik terhadap seluruh Dampak Penting hipotetik sebagai sebuah kesatuan yang paling terkait dan saling mempengaruhi, sehingga diketahui pertimbangan Dampak Penting yang bersifat positif dengan yang bersifat negataif; dan c. kemampuan Pemrakarsa dan/atau pihak terkait yang bertanggung jawab dalam menanggulangi Dampak Penting yang bersifat negatif yang akan ditimbulkan dari Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan, dengan pendekatan teknologi, sosial, dan kelembagaan. 5) Dalam hal rapat Komisi Penilai Amdal menyatakan bahwa dokumen Andal dan RKL-RPL perlu diperbaiki, Komisi Penilai Amdal mengembalikan dokumen Andal dan RKL-RPL kepada Pemrakarsa untuk diperbaiki. Selanjutnya Menteri, gubernur atau bupati/walikota berdasarkan rekomendasi atau penilai akhir dari Komisi Penilai Amdal, menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup paling sedikit memuat : 88 a. dasar pertimbangan dikeluarkannya penetapan; b. pernyataan kelayakan lingkungan; c. persyaratan dan kewajiban Pemrakarsa sesuai dengan RKL-RPL; dan ayat (4) huruf c. 88 Pasal 32 dan Pasal 33 dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012.

35 Dalam Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, keputusan Kelayakan Lingkungan hidup harus mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Permohonan izin lingkungan diajukan secara tertulis oleh penanggungjawab Usaha dan/atau Kegiatan selaku Pemrakarsa kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Permohonan izin lingkungan disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Andal dan RKL-RPL. 89 Setelah menerima permohonan izin lingkungan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mengumumkan permohonan izin lingkungan. 90 Pengumuman dilakukan melalui multimedia dan papan pengumuman di lokasi Usaha dan/atau Kegiatan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen Andal dan RKL-RPL yang diajukan dinyatakan lengkap secara administrasi. Masyarakat dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap pengumuman dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diumumkan. Saran, pendapat, dan tanggapan dapat disampaikan melalui wakil masyarakat yang terkena dampak dan/atau organisasi masyarakat yang menjadi anggota Komisi Penilai Amdal Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun Pasal 45 dari Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2012.

36 Penerbitan Izin Lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, 92 dan kewajiban pemegang izin lingkungan adalah : a. menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuatdalam izin lingkungan dan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup b. membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan terhadap persyaratan dan kewajiban dalam izin lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan c. menyediakan dana penjamin untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Laporan disampaikan secara berkala setiap 6 (enam) bulan. 93 Berdasarkan uaraian di atas, dapat diketahui bahwa tujuan diterbitkannya izin lingkungan antara lain untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan, meningkatkan upaya pengendalian usaha dan/atau kegiatan yang berdampak negatif pada lingkungan hidup, memberikan kejelasan prosedur; mekanisme dan koordinasi antar instansi dalam penyelenggaraan perizinan untuk usaha dan/atau kegiatan, dan memberikan kepastian hukum dalam usaha dan/atau kekegiatan. Selain itu pula dengan diterbitkannya izin maka telah menimbulkan akibat hukum antara pemerintah dan perusahaan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan. 92 Pasal 47 dan Pasal 48 dari Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun Pasal 53 dari Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2012.

37 2. Ketentuan dalam pemberian Bentuk Izin Pertambangan Pengertian Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. 94 a. Perinsip Pemberian IUP Perinsip pemberian IUP yang diatur di dalam UU No. 4 Tahun 2009 adalah satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu jenis tambang.satu IUP diberikan untuk satu jenis Mineral atau Batubara.Pemberian IUP tidak boleh lebih dari satu jenis tambang. Penyimpangan terhadap prinsip tersebut dimungkinkan.hal ini dapat terjadi apabila orang yang sudah diberikan IUP, pada waktu melakukan penambangan menemukan Mineral lain di dalam WIUP yang dikelilanya.pemegang IUP yang bersangkutan dapat diberikan prioritas oleh Pemerintah untuk dapat mengusahakannya. Apabila pemegang IUP bermaksud mengusahakan Mineral lain yang ditemukantersebut, maka prosesnya tidak secara serta merta, di mana yang bersangkutan dapat langsung mengusahakannya.akan tetapi pemegang IUP wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada pejabat yang berwenang (menteri, gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya). Dapat pula sebaliknya pemegang IUP menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan Mineral lain yang ditemukan tersebut. Meskipun pemegang 94 Pasal 1 butir 7 dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009.

38 IUPtersebut tidak berminat untuk mengusahakan Mineral lain yang ditemukan, namun yang bersangkutan berkewajiban menjaga Mineral lain tersebut secara hukum melekat kepada penemunya karena sekaligus sebagai pengelola tambang di WIUP dan baru berakhir kewajibannya setelah habis masa IUP-nya. Oleh karena Mineral lain sebagai pertambangan yang dikuasai negara dan belum ada yang diberi IUP, maka dapat IUP tetap dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Pemberian IUP ada 2 (dua) macam yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi, yang penerbitan izinnya dilakukan secara bertahap IUP Eksplorasi IUP Eksplorasi merupakan pemberian izin tahap pertama dan kegiatannya meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Kegunaan IUP Eksplorasi dibedakan untuk kepentingan jenis pertambangan Mineral logam dan Mineral bukan logam.untuk jenis pertambangan Mineral logam IUP Eksplorasinya dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun.sedangkan untuk IUP Eksplorasi untuk pertambangan Mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.adapun IUP Eksplorasi untuk kepentingan pertambangan Batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun Pasal 36 dari Undang-undang Nomor 4 tahun Pasal 42 dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Mengingat : a. bahwa mineral dan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG /).' PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Meng ingat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SAWAHLUNTO, Menimbang : a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA No. 4959 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa potensi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA UTARA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara merupakan

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARA ENIM

PEMERINTAH KABUPATEN MUARA ENIM 1 PEMERINTAH KABUPATEN MUARA ENIM PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARA ENIM, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan pertambangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkatnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENETAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN DAN SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAUR, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Kaur

Lebih terperinci

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN PERATURAN DAERAH KOTA TIDORE KEPULAUAN NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG 1 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 47,2012 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL - 2 - LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL Tahun : 2013 Nomor : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa mineral

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT No. Urut: 03, 2012 LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI TAHUN 013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BUPATI BEKASI, Menimbang : a. bahwa bahan tambang merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN WILAYAH LAUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN WILAYAH LAUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang - 2 - Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33,

Lebih terperinci

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: -2-4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172); Dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjamin

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA UU No. 4/2009 Pertambangan Mineral dan Batubara. Usaha pertambangan dikelompokkan atas: a. pertambangan mineral; dan b. pertambangan batubara. Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada pertambangan

Lebih terperinci

2017, No sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peratur

2017, No sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peratur No.668, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa mineral

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT MINERAL LOGAM, MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DI KABUPATEN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. Mengingat : 1. BUPATI BANDUNG BARAT,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG : a. bahwa pertambangan merupakan salah satu sumber yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 20 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 20 TAHUN 2012 BUPATI KERINCI,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 20 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 20 TAHUN 2012 BUPATI KERINCI, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 20 Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, bahwa

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa dengan adanya perubahan kewenangan

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG IZIN LINGKUNGAN ` BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG DISUSUN OLEH : BAGIAN HUKUM SETDA KOLAKA UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PANAS BUMI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, bahwa

Lebih terperinci

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA NO PENJELASAN 1. Judul: Judul: PERATURAN PEMERINTAH PENJELASAN REPUBLIK INDONESIA ATAS NOMOR 23

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara `1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang kaya akan sumber daya alam (natural resources). Sumber daya alam itu ada yang dapat diperbaharui (renewable),

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA. pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat dalam bumi

BAB II PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA. pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat dalam bumi BAB II PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA A. Pengertian Kegiatan Usaha Pertambangan Usaha pertambangan merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tambang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN 2 Desember 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Nomor 1 Seri E

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya sumber daya, baik itu sumber daya manusia atau pun sumber daya alam. Dari aspek sumber daya alam, kekayaan yang dimiliki

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI MAMASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMASA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MAMASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMASA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAMASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMASA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAMASA Menimbang Mengingat : a. bahwa mineral merupakan

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Kewenangan Pengelolaan FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Kewenangan Pengelolaan FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA Kewenangan Pengelolaan 21 kewenangan berada di tangan Pusat 1. penetapan kebijakan nasional; 2. pembuatan peraturan perundang-undangan; 3. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria; 4. penetapan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.138, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. Reklamasi. Pasca Tambang. Prosedur. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Re

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Re BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKAA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa mineral merupakan

Lebih terperinci

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 20 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON 2 NOMOR 8 TAHUN 2010 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIREBON, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAN PERIZINAN PERTAMBANGAN MINERAL, DAN RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK PETA INFORMASI PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, 1 BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa pengaturan Air Tanah dimaksudkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

WALIKOTA KEDIRI PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN SALINAN WALIKOTA KEDIRI PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LAPORAN TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS

LAPORAN TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS Kepada Yth. Bapak Bupati Bengkulu Selatan di Manna LAPORAN TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS I. Pendahuluan : 1. Umum. Terkait dengan peralihan kewenangan penerbitan izin pertambangan rakyat untuk komoditas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 8/2015 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa kelestarian fungsi Lingkungan Hidup

Lebih terperinci

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 3.

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 3. GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMERINTAH DAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PADA SEKTOR PERTAMBANGAN

KEWENANGAN PEMERINTAH DAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PADA SEKTOR PERTAMBANGAN Penulis: Danni Aprianza Helmi KEWENANGAN PEMERINTAH DAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PADA SEKTOR PERTAMBANGAN Sumber gambar: www.tempo.co I. PENDAHULUAN Konstitusi Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Izin Khusus. Pertambangan. Mineral Batu Bara. Tata Cara.

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Izin Khusus. Pertambangan. Mineral Batu Bara. Tata Cara. No.1366, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Izin Khusus. Pertambangan. Mineral Batu Bara. Tata Cara. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DAFTAR ISI BAB I KETENTUAN UMUM... 2 BAB II LANDASAN PENGELOLAAN AIR TANAH... 3 Bagian Kesatu Umum... 3 Bagian Kedua Kebijakan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA 1 PEMERINTAH KABUPATEN TOLITOLI RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN, UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci