PANEN HUJAN UNTUK PENGEMBANGAN JAGUNG PADA LAHAN SAWAH IRIGASI TERBATAS DI SULAWESI SELATAN

Transkripsi

1 PANEN HUJAN UNTUK PENGEMBANGAN JAGUNG PADA LAHAN SAWAH IRIGASI TERBATAS DI SULAWESI SELATAN Faesal, Syuryawati, dan Zubachtirodin Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Sebagaimana halnya sawah tadah hujan, lahan sawah irigasi terbatas pada umumnya ditanami padi hanya satu kali dalam setahun. Dengan menampung air pada musim hujan maka lahan sawah irigasi terbatas dapat dimanfaatkan untuk menanam jagung di musim kemarau. Embung dibangun di lereng gunung yang berguna untuk menampung air ketika hujan terjadi terutama pada puncak hujan pertama (Desember) dan puncak hujan kedua (April) setiap tahun. Air yang tertampung dapat dimanfaatkan oleh petani di lahan sawah topografi agak landai atau sawah tangga sehingga mudah mengalirkan air dari embung sedikit demi sedikit untuk mengairi tanaman jagung yang berada di bawahnya sesuai keperluan. Dengan demikian kelembaban tanah di lahan sawah tersebut dapat dipertahankan sekitar kapasitas lapang. Hasil jagung varietas Lamuru yang dicapai petani di Kab. Sidrap Sulsel dengan memanfaatkan air embung pada lahan sawah irigasi terbatas berkisar antara 3,0-7,5 t/ha pipilan kering, sedangkan hasil hijauan segar untuk pakan ternak 8,08 t/ha. Hasil rata-rata biji jagung dari luasan 10 ha yaitu 4,53 t/ha dengan penerimaan pendapatan petani Rp , dan R/C Ratio = 1,56. Dengan demikian pengembangan jagung di wilayah ini memungkinkan ditunjang adanya embung tempat penampungan air pada musim hujan. Kata Kunci : Panen hujan, Sawah irigasi terbatas, Produksi, Jagung PENDAHULUAN Penggunaan air secara efisien sekarang dan masa akan datang tidak dapat dihindari, karena pertanian memerlukan air cukup besar dalam sistem produksi dan bersaing dengan keperluan air untuk rumah tangga, industri, dan lain-lain. Selain investasi irigasi dan proyek pengembangan pertanian, produksi pertanian masih sangat ditentukan oleh kondisi cuaca yang sesuai (EIU 1997) dalam Pandey et al. (2009). Sebagai ilustrasi untuk menghasilkan 1 kg beras dengan sistem sawah diperlukan air rata-rata liter, karena itu untuk menghasilkan beras dengan sistem sawah sangat boros air (Pirmadi dan Makarim 2006). Berdasar pada kondisi keairan yang sangat memprihatinkan tersebut, maka lahan sawah yang ketersediaan airnya terbatas sebaiknya tidak menanam padi pada MT. II dan MT. III, tetapi dianjurkan agar menanam palawija yang memerlukan air lebih sedikit. Kondisi seperti ini terjadi karena alokasi dana pemeliharaan prasarana irigasi hanya tersedia antara 15-40% membuat kinerja irigasi menurun hingga 22% (Syarif 2002). Hal ini mendorong petani menggunakan air tanah yang dipompa untuk mengairi tanaman padi atau palawija di lahan sawah dan pendapatan petani lebih tinggi dibandingkan irigasi dari sungai, meskipun penggunaan air tanah untuk irigasi di Indonesia relatif masih kecil (2-3%) dibanding negara lain (Pasandaran 1997). Kendala produksi yang sering menyebabkan gagal panen pada tanaman padi di lahan sawah irigasi di Kab. Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulsel umumnya pada MT. II dan MT. III karena debit air irigasi pada MT. II. Dengan menanam jagung di lahan sawah irigasi terbatas peluang keberhasilannya lebih tinggi. Tanaman jagung menghasilkan produk berupa biji dan hijauan untuk pakan yang dapat digunakan untuk mendukung program pengembangan sistem integrasi tanaman 150

2 jagung-ternak sapi. Di Sulawesi Selatan produksi hijauan pakan yang berasal dari padang penggembalaan diestimasi sebesar juta ton dapat menyediakan pakan untuk ternak ruminansia satuan ternak, sedangkan populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan sebesar satuan ternak. Dengan demikian daya dukung padang penggembalaan lebih rendah dibandingkan dengan jumlah populasi ternak ruminansia (Syamsu, 2008). Program ini telah dilakukan di Provinsi : Sulawesi Selatan, NusaTenggara Timur, Bali, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (Suryana dalam Rusastra et al. 2006) Pembuatan waduk/embung menjadi salah satu pilihan untuk mengatasi kekurangan air di musim kemarau, karena embung berfungsi sebagai pemanen dan penampung air hujan dimulai pada puncak hujan I (Desember) sampai puncak hujan II (April) di wilayah Kab. Sidrap Sulsel. Air hujan yang tertampung dapat dimanfaatkan oleh petani pada musim kemarau untuk mengairi pertanaman jagung, padi atau palawija lain di sekitarnya (Gambar 1 dan 2). Manfaat lain adalah banjir dan kekeringan yang biasanya terjadi dapat dicegah (Syamsuddin dan Karama 1997) CH HH Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Gambar 1. Rata-rata curah hujan dan hari hujan ( ) di Kec. Kulo, Kab. Sidrap Sulsel Gambar 2. Waduk atau Embung tempat penampungan air hujan yang berfungsi sebagai sumber air di musim kemarau Kondisi di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) diketahui bahwa luas tanam bukan jaminan meningkatnya produksi beras karena sering terjadi gagal panen padi yang disebabkan kekurangan air. Luas total lahan sawah di Kabupaten Sidrap ha yang terdiri atas lahan sawah irigasi teknis ha, sawah irigasi setengah teknis ha, sawah irigasi desa/sederhana ha, dan sawah tadah hujan ha (BPS Kab. Sidrap. 2007; Ranggong, 2008). Selama ini petani di Kab. Sidrap khususnya di Desa Mario menanam dua kali padi pada lahan sawah dan menanam jagung satu kali di tegalan. Namun beberapa tahun 151

3 terakhir ketersediaan air terbatas pada musim kemarau, sehingga petani tidak dapat menanam padi dua kali setahun di lahan sawah karena air irigasi dari embung yang terletak di bagian atas persawahan daya tampung airnya berkurang akibat curah hujan tidak menentu, pendangkalan dan pintu pengeluaran air mulai rusak. Menyimak kondisi sumber daya alam di wilayah yang kurang mendukung untuk tanaman padi maka jagung menjadi alternatif untuk ditanam pada musim kemarau (MT II) dengan pertimbangan bahwa kebutuhan air lebih sedikit jika dibandingkan tanaman padi. Berdasarkan hal ini, Balitsereal bekerjasama dengan Diperta Kabupaten Sidrap dalam hal ini Gapoktan di Desa Mario pada MK melakukan penelitian pemanfaatan air embung untuk pengembangan jagung di lahan sawah irigasi terbatas. Pengembangan jagung di lahan sawah irigasi terbatas pada musim kemarau melibatkan 27 orang petani koperator pada luas areal 10 ha. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan untuk efisiensi pemanfaatan embung dalam penampung air hujan untuk pengembangan jagung pada lahan sawah irigasi terbatas di Desa Mario, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan pada MK Penerapan teknologi produksi jagung dilakukan dengan menanam varietas unggul jagung bersari bebas yaitu Lamuru. Penyiapan lahan menggunakan herbisida Round Up 2 l/ha dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Penanaman benih secara ditugal segera setelah padi MT. I di panen, benih ditutup dengan pupuk kandang ayam sebanyak g/lubang atau setara dengan 1,5-3,0 t/ha. Dosis pupuk anorganik yang digunakan berdasarkan hasil analisis tanah yaitu: 300 kg urea, 100 kg SP36 dan 100 kg KCl/ha. Pemupukan pertama dilakukan pada umur 7-10 hari setelah tanam (hst) (50 kg urea kg SP kg KCl/ha). Pemupukan ke-2 pada umur hst (150 kg urea + 50 kg KCl/ha) dan pemupukan ke-3 pada umur hst (100 kg urea/ha). Pengairan bersumber dari hujan dan/atau air yang dialirkan dari embung yang terletak di bagian atas areal persawahan. Penyiangan menggunakan herbisida Ronstar dan Supremo. Pengendalian OPT, PHT dilakukan dengan cara pemantauan, dikendalikan jika terjadi gejala serangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan lahan sawah irigasi terbatas dapat membantu petani dalam memperoleh hasil produksi usahataninya setelah panen padi MT. I. Untuk menanam padi pada musim tanam berikutnya tidak menunjang karena ketersediaan air yang dibutuhkan tidak mencukupi, sehingga perlu menanam jagung. Menanam jagung di lahan sawah irigasi terbatas peluang keberhasilannya lebih tinggi karena jagung memerlukan air lebih sedikit dibandingkan padi. Di daerah tropis estimasi kebutuhan air bagi tanaman padi rata-rata antara l/kg gabah, sedangkan jagung memerlukan air rata-rata l/kg biji (Pinentel et al. 1997; Tuong dan Bhuiyan. 1992) dalam Syarif (2002). Untuk mengatasi kekurangan air di musim kemarau, di wilayah lokasi penelitian dibangun waduk atau embung yang berfungsi untuk menampung air hujan yang dapat digunakan petani untuk mengairi pertanamannya. Embung ini sangat membantu petani dalam penyediaan air yang diperlukan pertanamannya di musim kemarau. Sesuai informasi dari PU Pengairan Kab. Sidrap (2005) bahwa embung tersebut dalam kodisi normal dapat menampung air sekitar m 3 di musim hujan. Penerapan teknologi produksi jagung dengan pendekatan PTT jagung dilakukan di Desa Mario, Kec. Kulo Kab. Sidrap seluas 10 ha pada lahan sawah irigasi terbatas dalam 152

4 upaya pengembangan jagung. Varietas jagung yang ditanam adalah Lamuru karena varietas ini memiliki keunggulan spesifik toleran terhadap cekaman kekeringan. Hasil produksi yang dicapai varietas Lamuru di lahan sawah irigasi terbatas adalah jagung pipilan kering (kadar air 14%) berkisar antara 3,03-7,52 t/ha dengan rata-rata 4,53 t/ha (Tabel 1). Komponen teknologi produksi jagung yang diterapkan petani sebagaimana yang dianjurkan/disosialisasikan sudah berjalan, namun pelaksanaannya belum optimal karena beberapa hal, di antaranya petani baru pertama kali menanam jagung pada lahan sawah sehingga teknologi budi daya jagung belum sepenuhnya diterapkan. Petani masih melakukan waktu pemupukan terlambat dan dosis yang diberikan belum sesuai (masing kurang) serta pemeliharaan tanaman pun belum maksimal dilakukan. Selain itu, petani juga masih dibebani dengan pekerjaan sampingan yang cukup menyita waktunya. Produksi biji pipilan kering yang dicapai petani di Kab. Sidrap Sulsel rata-rata 4,53 t/ha, dapat memberikan penerimaan sebesar Rp ,-/ha dengan R/C Ratio=1,56 (Tabel 1). Ini menunjukkan bahwa usahatani jagung setelah padi di lahan sawah irigasi air terbatas menguntungkan bagi petani, berarti dapat dikembangkan pada daerah lain yang memiliki kondisi alam yang serupa dengan lokasi penelitian ini dengan syarat utama harus ada embung atau sumber air lain seperti mata air atau sumur gali/sumur bor untuk menjamin suplai kebutuhan air bagi tanaman jagung pada musim kemarau. Tabel 1. Analisis usahatani jagung pada lahan sawah irigasi terbatas. Sidrap, Sulsel, Produktivitas (kg) 2. Biaya produksi - Sarana produksi - Tenaga kerja Total biaya produksi 3. Penerimaan 4. R/C Ratio Harga jagung Rp ,-/kg Uraian Fisik Nilai (Rp) , , , , ,- 1,56 Tanaman jagung selain menghasilkan biji juga didapatkan hijauan segar untuk pakan terutama bagi ternak ruminansia seperti sapi dan kerbau. Hijauan segar ini diperoleh dari daun di bawah tongkol maupun bagian tanaman di atas tongkol. Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa rata-rata hasil hijauan yang diperoleh pada daun di bawah tongkol 3,22 t/ha dan bagian tanaman di atas tongkol 4,86 t/ha. Biomas hijauan ini sangat membantu petani terutama yang memiliki ternak. Ternak sapi atau kerbau biasanya dilepas di gunung-gunung pada saat ada pertanaman padi dan pada musim kemarau ternak sapi tersebut turun dari gunung menuju ke sawah untuk mencari makan dan minum karena rumput dan sumber air di gunung sudah mengering. Pada musim kemarau kebanyakan petani di Kab. Sidrap yang memiliki ternak ruminansia mengandangkan sapi atau kerbau di bawah kolong rumah di malam hari dan pada siang hari digembalakan di lahan sawah bero yang masih ada rumput atau ratun padi yang sudah mengering pada musim kemarau. Menanam jagung di lahan sawah pada musim kemarau dengan memanfaatkan air dari embung atau air tanah yang dipompa ke permukaan, maka persediaan hijauan pakan yang berasal dari daun di bawah dan bagian di atas tongkol sangat membantu petani. Daun di bawah tongkol dapat diambil mulai dari daun paling bawah secara bertahap pada saat tongkol terbentuk, sedangkan bagian tanaman di atas tongkol dapat dipotong setelah 153

5 pengisian biji sempurna (masak fisiologis). Total biomas hijauan untuk pakan ternak dari daun di bawah dan bagian tanaman di atas tongkol yang dapat dicapai pada pengembangan jagung di lokasi ini adalah 8,08 t/ha. Jadi untuk luasan pertanaman jagung 10 ha dapat diperoleh 80,8 ton hijaun pakan per musim tanam. Jumlah hijaun pakan ini dapat memberi makan sekitar 24 ekor sapi selama tiga bulan. Untuk pertanaman jagung seluas 1 ha dapat memberi makan 2 ekor sapi selama tiga bulan. Karena kebutuhan pakan per satuan ternak ruminansia seperti sapi rata-rata dalam satu tahun adalah 12,77 ton per ekor per tahun (Ditjen Peternakan 1985) dalam Syamsu (2008). Hal ini sangat membantu petani mengingat daya dukung lahan penggembalaan untuk menghasilkan pakan di Sulawesi Selatan termasuk Kab. Sidrap sudah menurun, salah satu penyebabnya adalah karena penurunan luasan padang penggembalaan. Jumlah ternak sapi dan kerbau di Kab. Sidrap masig-masing adalah ekor dan ekor (BPS Kab. Sidrap 2007). Jika disesuaikan dengan jumlah ternak sapi, maka kebutuhan hijauan pakannya sebanyak ton/tahun rumput alam ( ekor x 12,77 ton = ton/tahun). Apabila menanam jagung pada lahan sawah setelah padi yang selama ini dibiarkan bero pada musim kemarau maka tanaman jagung dapat memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap penyediaan hijauan untuk pakan di daerah ini. Untuk lebih meningkatkan hasil biji dan bobot serta kualitas biomas hijauan pakan, disarankan ke depan supaya menanam varitas unggul hibrida (Bima-1 s/d Bima-6) karena memiliki keunggulan selain hasil biji tinggi (10-11 t/ha) juga mempunyai sifat spesifik stay green yaitu daun masih tetap hijau meskipun tongkol sudah kering siap dipanen. KESIMPULAN Budi daya jagung pada lahan sawah irigasi terbatas diperoleh rata-rata hasil biji 4,5 t/ha dan pendapatan kepada petani sebesar Rp ,-/ha dengan R/C Ratio 1,56. Selain biji, dapat juga diperoleh hijaun pakan sabanyak 8,08 t/ha, masing-masing diperoleh dari daun di bawah tongkol 3,22 t/ha dan bagian tanaman di atas tongkol 4,86 t/ha yang dapat menyediakan hijauan pakan untuk 2 ekor sapi selama 3 bulan. Lahan sawah irigasi terbatas dapat dimanfaatkan secara optimal pada musim kemarau dengan bantuan embung sebagai tempat penampungan air hujan. DAFTAR PUSTAKA Pandey, P. R., H. Pandey dan N. Nakayama Assesment for rice and maize based cropping system for rural livelihood improvement in Nepal. Dalam: The Journal of Agricultural and Environment. Vol. 10 Jun BPS Kabupaten Sidrap Sidenreng Rappang dalam Angka Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sidenreng Rappang. Ranggong A.H Pengembangan dan pengelolaan irigasi mendukung ketahanan pangan di Kabupaten Sidenreng Rappang. Makalah disampaikan pada Lokakarya Kaji Ulang Arahan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air. Rusastra, I., T. A. Napitupulu, M. O. A. Manikmas, dan F. Kasim. Pengembangan agribisnis berbasis palawijia di Indonesia: Perannya dalam peningkatan ketahanam pangan dan pengentasan kemiskinan. Prosiding Seminar Nasional. Bogor. Pasandaran, E Economic value of water in facing the new era of water resources management. In Pawitan, H. et al (Editor). Efficient Water Use Movement. The National Resiliency Institute (LEMHANAS). 154

6 Pirmadi, K. dan Makarim, A. K Peningkatan produktivitas padi lahan sawah tadah hujan melalui pengelolaan tanaman terpadu. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 25 (2). Syamsu, Padang Pengembalaan sebagai Penyedia Hijauan Makanan Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Spesialisasi Pengelolaan Lahan dan Air. Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar, 4 Juni. Syamsuddin, E. and S. Karama Agricultural efficient wateruse movementand rain water harvesting. In Pawitan, H. et al (Editor). Efficient Water Use Movement. The National Resiliency Institute (LEMHANAS). Syarif, R Kebijakan pengelolaan sumberdaya air mendukung produksi pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Hari Pangan Sedunia XXII. Jakarta, 9 Oktober. 155