JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA"

Transkripsi

1 JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 19 Nomor 1 Maret 213 Nomor Akreditasi: 455/AU2/P2MI/LIPI/8/212 (Periode: Agustus Agustus 215) ISSN Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan hasil penelitian sumber daya, penangkapan, oseanografi, lingkungan, rehabilitasi lingkungan, dan pengkayaan stok ikan. Terbit pertama kali tahun Tahun 26, frekuensi penerbitan Jurnal ini tiga kali dalam setahun pada bulan April, Agustus, dan Desember. Tahun 28, frekuensi penerbitan menjadi empat kali yaitu pada bulan MARET, JUNI, SEPTEMBER, dan DESEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Wudianto, M.Sc Anggota: Prof. Dr. Ir. Ngurah Nyoman Wiadnyana, DEA Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Indra Jaya Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA Dr. Ir. Abdul Ghofar, M.Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. Redaksi Pelaksana: Dra. Endang Sriyati Arief Gunawan, S.Kom. Desain Grafis : Kharisma Citra, S.Sn Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 1443 Telp. (21) ; Fax. (21) drprpt29@gmail.com Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan- Kementerian Kelautan dan Perikanan.

2 Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Pedoman Bagi Penulis UMUM 1. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia memuat hasil-hasil penelitian bidang biologi perikanan, teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan, pengkajian potensi dan pemacuan sumberdaya ikan. 2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. 3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi, margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 1443, Telp.: (21) , Fax.: (21) 64264, dewanredaksi@yahoo.com. 5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. PENYIAPAN NASKAH 1. Judul : Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. 2. Abstrak : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 25 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah. 3. Kata Kunci : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs. 4. Pendahuluan : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab. 5. Bahan dan Metode : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. 6. Hasil dan Bahasan : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul. 7. Kesimpulan : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. 8. Persantunan : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. 9. Daftar Pustaka : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman. Contoh : Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 27. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3) Sadhotomo, B. 26. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2) Boyd, C.E Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 27. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 25. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Anderson, M.E, Satria F. 27. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes: Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: Tabel : Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. 11. Gambar : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital. 13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.

3 KATA PENGANTAR Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (JPPI) di tahun 213 memasuki Volume ke-19. Pencetakan jurnal ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan anggaran tahun 213. Semua naskah yang terbit telah melalui proses evaluasi oleh Dewan Redaksi dan editing oleh Redaksi Pelaksana. Penerbitan pertama di Volume 19 tahun 213 menampilkan tujuh artikel hasil penelitian perikanan di perairan laut Indonesia. Ketujuh artikel tersebut mengulas tentang: Karakteristik Teknis Alat Tangkap Pukat Cincin di Perairan Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur; Komposisi Tangkapan dan Laju Pancing Longline serta Daerah Penangkapannya di Perairan Laut Banda; Aktivitas Penangkapan Individu Kapal Purse Seine di Laut Maluku: Sistem Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer; Efisiensi Teknis Perikanan Rawai Tuna di Benoa (Studi Kasus: PT. Perikanan Nusantara); Perkembangan Perikanan Cumi-cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau; Efisiensi Penangkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone; dan Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia Berdasarkan Data Hook Timer dan Minilogger. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumber daya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Redaksi i

4 ISSN JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 19 Nomor 1 Maret 213 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI. Karakteristik Teknis Alat Tangkap Pukat Cincin di Perairan Teluk Apar, Kabupaten Paser- Kalimantan Timur Oleh : Mahiswara, Tri Wahyu Budiarti, dan Baihaqi Komposisi Tangkapan dan Laju Pancing Longline Serta Daerah Penangkapannya di Perairan Laut Banda Oleh : Umi Chodrijah dan Budi Nugraha Aktivitas Penangkapan Individu Kapal Purse Seine di Laut Maluku: Sistem Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer Oleh : Mohamad Natsir dan Suherman Banon Atmaja Efisiensi Teknis Perikanan Rawai Tuna di Benoa (Studi Kasus: PT. Perikanan Nusantara) Oleh : Budi Nugraha dan Hufiadi Perkembangan Perikanan Cumi Cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau Jawa Oleh : Suherman Banon Atmaja Efisiensi Penangkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone Oleh : Hufiadi dan Erfind Nurdin... Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia Berdasarkan Data Hook Timer dan Minilogger Oleh : Andi Bahtiar, Abram Barata, dan Dian Novianto i ii iii

5 Karakteristik Teknis Alat Tangkap Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.) KARAKTERISTIK TEKNIS ALAT TANGKAP PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TELUK APAR, KABUPATEN PASER - KALIMANTAN TIMUR TECHNICAL CHARACTERISTICS OF THE PURSE SEINE FISHING GEAR IN APAR BAY, DISTRIC PASER, EAST KALIMANTAN ABSTRAK Mahiswara, Tri Wahyu Budiarti dan Baihaqi Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta Teregistrasi I tanggal: 22 Oktober 212; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 Maret 213; Disetujui terbit tanggal: 5 Maret mahiswr@yahoo.com Pukat cincin merupakan salah satu alat tangkap yang dioperasikan nelayan di Perairan Teluk Apar, Kalimantan Timur. Pukat cincin Teluk Apar tergolong pukat cincin jaring lingkar dan menggunakan material sederhana dalam konstruksinya. Penelitian pukat cincin bertujuan untuk mengetahui karakteristik secara teknis. Metode deskriptif-observatif digunakan untuk menghimpun data. Analisis data digunakan untuk menentukan nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung. Hasil analisis menunjukkan bahwa, nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung pukat cincin Teluk Apar adalah 1,68. Penggunaan material polyvynil chloride (PVC) dan batu kali, mengurangi efektivitas pukat cincin. Penggunaan material yang tepat (kuningan untuk cincin, timah hitam untuk pemberat), penambahan waktu rendam rumpon dan meningkatkan kemampuan jangkauan daerah penangkapan dapat mengoptimalkan kinerja pukat cincin Teluk Apar. KATA KUNCI: Karakteristik, alat tangkap, pukat cincin, teluk apar ABSTRACT Purse seine is one of the fishing gear that operated in Teluk Apar water, East Kalimantan. Teluk apar purse seine is categorized a ring net and constructed by using simple materials. The aims of study is to determine the technical characteristics of teluk apar purse seine. Descriptive and observation methods are used to gather data. Analysis of the data used to determine the value of the ratio between the sinking force and buoyancy. The result showed that the ratio between the sinking force and buoyancy of teluk apar purse seine is 1,68. The use of polyvynil chloride (PVC) and the stone, reducing the effectiveness of purse seine. The use of appropriate materials (bronze for ring and plumbum for sinker), the addition of FADs soak time and improve the fishing ground coverage can optimize the performance of Teluk Apar purse seine. KEYWORDS: Characteristic, fishing gear, purse seine, apar bay PENDAHULUAN Perairan Teluk Apar merupakan salah satu daerah penangkapan utama kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Paser. Kabupaten Paser adalah salah satu wilayah di Provinsi Kalimantan Timur yang terletak di bagian paling selatan,yang secara geografis berada pada posisi antara 58 1, ,19 LS dan , ,3 BT. Sebagian besar produksi perikanan tangkap Kabupaten Paser berasal dari wilayah perairan laut Teluk Apar. Produksi perikanan dari perairan Teluk Apar dihasilkan dari berbagai jenis alat tangkap seperti; jaring insang, jaring trammel, pukat cincin, pancing tonda, rawai, bagan, sero, jermal dan berbagai tipe bubu. Kelompok alat tangkap jaring insang serta jaring trammel merupakan penyumbang utama produksi perikanan laut Kabupaten Paser, diikuti oleh pukat Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara cincin dan alat tangkap lainnya. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser menunjukkan bahwa, produksi perikanan laut pada tahun 29 sebesar ton. Jumlah unit penangkapan pukat cincin yang memberikan konstribusi produksi perikanan kedua terbesar (1.165 ton) pada tahun 29, dengan jumlah unit penangkapan tercatat sebanyak 32 unit (Anonim, 21). Alat tangkap pukat cincin mulai berkembang di wilayah Teluk Apar pada tahun 199-an. Jumlah unit penangkapan pukat cincin mengalami perkembangan mulai tahun 1996, dan mencapai puncaknya pada tahun 21 sebanyak 84 unit pukat cincin. Jumlah pukat cincin terus mengalami penurunan hingga mencapai setengahnya setelah hampir satu dekade. Meskipun dari sisi jumlah unit pada tahun 29 relatif kecil,.5% dari total unit alat tangkap yang ada di 1

6 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 1-7 Kabupaten Paser, namun pukat cincin di perairan Teluk Apar cukup produktif. Pukat cincin di Teluk Apar memiliki rancang bangun berbeda dengan yang umum dioperasikan di wilayah perairan Indonesia. Dalam rancangannya tidak menggunakan pemotongan jaring (tappering) khususnya untuk membentuk bagian bawah jaring. Hal lain yang membedakan pukat cincin yang dioperasikan nelayan Teluk Apar adalah penggunaan material dalam konstruksinya. Rancang bangun dan konstruksi alat tangkap akan menentukan kinerja produktif, disamping faktor eksternal lain seperti cara pengoperasian, ketrampilan nelayan dan kondisi daerah penangkapan. Unit penangkapan pukat cincin terdiri atas kapal motor, alat tangkap pukat cincin dan anak buah) serta dilengkapi dengan alat bantu pengumpul ikan (rumpon). Panjang tali ris atas atas pukat cincin antara 7-9 m. Material utama jaring adalah nylon (polyamida/pa). Sebagai penguat badan jaring bagian pinggir (srampat) digunakan jaring dari bahan polyethelene (PE). Pelampung berbentuk bola dari bahan plastik dan synthetic rubber dipasangkan di bagian ris atas. Pemberat jaring menggunakan batu (kali), sedangkan cincin tempat tali kerut (purse line) digunakan pipa paralon (polyvinylchloride) (Gambar 2). Penelitian pukat cincin di Teluk Apar bertujuan untuk mengetahui karakteristik yang menentukan kinerja alat tangkap dan produktivitanya. Tulisan ini berisi hasil analisis karakteristik teknis alat tangkap pukat cincin yang dioperasikan oleh nelayan di perairan Teluk Apar, Kalimantan Timur. Informasi terkait hasil tangkapan disajikan untuk memberikan gambaran mengenai tingkat produktivitas pukat cincin. BAHAN DAN METODE BAHAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret dan Agustus 211. Bahan penelitian adalah unit penangkapan pukat cincin, khususnya alat tangkap pukat cincin yang dioperasikan nelayan dan berbasis di Muara Pasir dan Tanjung Aru, Tanah Grogot - Kabupaten Paser (Gambar 1). Gambar 2. Bagian kontruksi alat tangkap pukat cincin Teluk Apar Figure 2. Construction Parts of Apar Bay purse seine BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data Latitude Longitude Longitude Latitude Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif, suatu pendekatan yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat keadaan tertentu. Data dan informasi terkait perikanan pukat cincin diperoleh dengan cara melakukan wawancara secara langsung, melakukan pengukuran dan penghitungan objek alat tangkap serta melakukan wawancara dengan nelayan pelaku usaha. Pengumpulan data perkembangan perikanan pukat cincin dihimpun dari institusi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser serta kelompok nelayan yang terdapat di Muara Pasir dan Tanjung Aru. Gambar 1. Wilayah perairan Teluk Apar, Kalimantan Timur Figure 1. Teluk Apar Waters, Esat Kalimantan Analisis Data Karakteristik pukat cincin didasarkan pada analisis parameter teknis alat tangkap. Perhitungan parameter alat tangkap didasarkan pada formula yang dikembangkan oleh Prado & Dremire (1991). Prinsip 2

7 Karakteristik Teknis Alat Tangkap Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.) perhitungannya adalah menentukan rasio antara daya apung dengan daya tenggelam seluruh komponen yang membentuk pukat cincin. Beberapa parameter yang dihitung adalah: Bobot Jaring (Bersimpul), W = H * L * Rtek/1 x K. (1) dimana: W = bobot jaring yang dihitung (Kg) H = jumlah baris simpul pada tinggi jaring L = panjang jaring (stretched mesh) (m) Rtex = ukuran benang jaring K = faktor koreksi simpul (sesuai dengan berat simpul) Daya Apung dan Daya Tenggelam, P = A * (1 DW/DM).(2) dimana: P = bobot dalam air (Kg) A = bobot di udara (Kg) DW = densitas air (g/cc); air laut = 1,26 DM = densitas material (g/cc) Kinerja produktivitas pukat cincin didasarkan pada rasio antara data hasil tangkapan per unit upaya. Data dan informasi yang digunakan adalah data statistik perikanan ditunjang dengan informasi yang berhasil dihimpun di lapang. HASIL DAN BAHASAN HASIL Pukat cincin Teluk Apar memiliki ukuran panjang (tali ris atas) antara 7-9 m, dengan tinggi jaring (bagian tertinggi) 45 m. Material utama jaring yang digunakan adalah nylon (PA=polyamida) multifilament. Beberapa bagian menggunakan jaring berbahan PE (polyethelene), berfungsi sebagai penguat bagian pinggir jaring. Tali temali menggunakan bahan PE. Pelampung yang digunakan pada pukat cincin teluk apar menggunakan bola berbahan plastik dan pelampung yang terbuat dari bahan synthetic rubber. Pemberat menggunakan bahan timah dan sebagian besar menggunakan batu kali. Cincin (ring) tempat alur tali kerut (purse line) menggunakan bahan PVC (polyvinyl chloride) berupa pipa pralon yang dipotong membentuk cincin. Secara terinci, spesifikasi alat tangkap pukat cincin Teluk Apar disajikan pada Gambar 3. Pengamatan dan pengukuran terhadap sampel unit penangkapan pukat cincin Teluk Apar yang dilakukan terhadap (KM Sapaat Marwah) diperoleh nilai-nilai spesifikasi material yang yang menentukan nilai rasio antara data apung (bouyancy) dan daya tenggelam (sinking force) seperti disajikan pada Tabel 1. Gambar 3. Deskripsi pukat cincin Teluk Apar Figure 3. Design of Apar Bay purse seine 3

8 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 1-7 Tabel 1. Daya apung dan daya tenggelam pukat cincin Teluk Apar Table 1. Bouyancy and sinking force of teluk apar purse seine Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan pukat cincin memiliki dimensi panjang (P), lebar (L) dan dalam (D) yang berkisar antara; (m) x 3.2-5,5 (m) x (m). Tenaga penggerak utama menggunakan mesin Mitsubishi PS 12 (4 sylinder), mesin gardan menggunakan Dongfeng 24 PK serta genset berkekuatan 1,5 kw. Pada umumnya pukat cincin Teluk Apar menggunakan mesin motor dalam. Pukat cincin Teluk Apar yang wilayah operasinya relatif masih di sekitar perairan pantai, memberikan konstribusi produksi yang signifikan terhadap perikanan di Kabupaten Paser. Pada tahun 29 dengan produksi perikanan laut sebesar ton, sebanyak 1% (1.164 ton) merupakan produksi yang didaratkan armada pukat cincin. Dalam kurun waktu antara 23 hingga 29 produksi pukat cincin cenderung mengalami perkembangan, meskipun jumlah unit penangkapan relatif tetap, seperti tersaji pada Gambar 4. Hasil pemantauan terhadap kinerja produksi unit penangkapan pukat cincin antara bulan April September 211, yang dilakukan terhadap pukat cincin yang berbasis di Tanjung Aru melalui kegiatan enumerasi, diperoleh gambaran produktivitas seperti tercantum dalam Tabel 2. Jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap pukat cincin utamanya adalah kelompok ikan pelagis kecil seperti layang (Decapterus spp), selar (Selaroides spp), tetengek, tembang (Sardinella spp.) dan siro (Amblygaster sp.p). Produktivitas unit penangkapan pukat cincin Teluk Apar pada musim timur (periode April September) berkisar antara 5 6 kg/unit Pukat cincin (unit) Produksi (ton) Gambar 4. Upaya (unit) dan produksi pukat cincin Teluk Apar Figure 4. Catches and effort of Apar Bay purse seine

9 Karakteristik Teknis Alat Tangkap Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.) Tabel 2. Produktivitas pukat cincin Teluk Apar bulan April September 211 Table 2. Productivity of Apar Bay rse seine April September 211 nd: tidak ada data BAHASAN Secara umum terdapat dua tipe pukat cincin yang telah dikembangkan di Indonesia, yaitu, pukat cincin tipe Amerika dan tipe Jepang. Letak perbedaan kedua tipe tersebut adalah pada posisi terbentuknya kantong. Pukat cincin tipe Amerika posisi terbentuknya kantong di bagian pinggir, sedangkan tipe Jepang di bagian tengah (Ayodhyoa, 1981; Brandt, 1984). Posisi terbentuknya kantong berada di bagian pinggir, menjadikan pukat cincin teluk apar dikategorikan sebagai pukat cincin tipe Amerika. Kebiasaan nelayan mengoperasikan jaring insang diduga menjadi pertimbangan utama pemilihan pukat cincin kantong pinggir. Pukat cincin dioperasikan dengan melingkarkan pada gerombolan ikan, baik yang sudah terkumpul dengan bantuan alat bantu penangkapan (rumpon, cahaya lampu), maupun yang dalam posisi bergerak dengan cara diburu (hunting system). Efektivitas pengoperasian pukat cincin ditentukan oleh kecepatan melingkar jaring, kecepatan tenggelam jaring untuk segera membentuk dinding guna menahan gerak kelompok ikan keluar secara horisontal, serta kecepatan untuk menarik tali kolor (purse line) untuk menahan larinya ikan ke arah vertikal (bagian bawah jaring) (Sainsbury, 1971). Rancang bangun pukat cincin teluk apar tergolong kelompok pukat cincin jaring lingkar (BBPPI, 21), dengan posisi pembentukan kantong di bagian pinggir jaring. Kelompok pukat cincin ini salah satunya dicirikan dengan bentuk bagian bawah yang tidak mengalami potongan (tapering), lembar jaring bagian bawah langsung dikerut untuk memperoleh nilai panjang tali ris bawah (Gambar 3). Penggunaan bahan jaring model ini lebih boros dibandingkan dengan model lain untuk ukuran panjang jaring sama. Seperti alat tangkap ikan pada umumnya, keberhasilan pukat cincin dalam menangkap ikan ditentukan oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal (rancang bangun dan konstruksi) maupun eksternal (ketersediaan sumberdaya, kondisi cuaca, arus, ketrampilan dalam pengoperasian. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang ditujukan untuk menangkap kelompok sumberdaya ikan pelagis. Rancang bangun dan konstruksi merupakan salah faktor internal yang menentukan keberhasilan pukat cincin. Penggunaan material nylon merupakan pilihan yang tepat untuk pukat cincin, oleh karena material nylon memliki kekuatan dan lebih baik serta mudah melepaskan air dibanding bahan dari kuralon, teteron maupun polyester (Klust, 1987). Kelemahan material nylon adalah nilai massa jenisnya yang rendah sehingga kecepatan tenggelamnya relatif rendah. Kondisi ini perlu diimbangi dengan pemilihan material yang tepat untuk bagian lain seperti, pemberat, cincin (ring) tali temali dan pelampung. Penggunaan material PVC untuk cincin (ring) suatu hal yang tidak lazim, meskipun merupakan pilihan yang mungkin sejauh parameter dasar alat tangkap pukat cincin (rasio daya apung dengan daya tenggelam) dapat dipenuhi. Kelemahan material PVC adalah massa jenisnya yang kecil, sehingga akan berpengaruh terhadap kecepatan tenggelamnya. Keunggulan material PVC adalah mudah diperoleh dan harganya relative murah dibandingkan dengan material logam. Material PVC juga memiliki kelebihan tidak bersifat korosive. Umumnya material cincin yang digunakan adalah kuningan, oleh karena disamping memiliki massa jenis yang besar, juga tidak bersifat korosif. Material pemberat yang digunakan pada pukat cincin Teluk Apar adalah batu (kali). Batu memiliki massa jenis yang relatif besar, kekurangan batu adalah sulit mendapatkan ukuran yang sama (bentuk dan berat). Pemasangan pemberat yang tidak merata di sepanjang tali ris bawah akan mempengaruhi tampilan jaring dan kinerja produksinya. 5

10 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 1-7 Berdasarkan aspek teknis alat tangkap, efektivitas pukat cincin ditentukan oleh nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung. Nilai daya tenggelam dan daya apung sangat ditentukan oleh material yang digunakan dalam pembuatan pukat cincin (Nomura & Yamazaki, 1975). Pada pukat cincin mini yang berbasis di Pemalang, Jawa Tengah dengan daerah pengoperasian di perairan utara Jawa, diperoleh nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung sebesar 2. (Nurdin & Hufiadi, 26). Hasil analisis terhadap seluruh komponen material yang digunakan pada pukat cincin teluk apar, diperoleh nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung sebesar 1,68. Nilai rasio yang diperoleh masih di dalam ambang kisaran nilai yang disyaratkan yaitu antara 1,5 2,5 (Prado & Dremier, 1991). Pemilihan material yang digunakan dalam mengkonstruski pukat cincin Teluk Apar memiliki keunggulan dan kelemahan yang secara keseluruhan berpengaruh terhadap performa jaring. Untuk jaring dengan dimensi yang sama, penggunaan jaring nylon tanpa simpul akan mengurangi total bobot jaring. Jenis dan dimensi pelampung yang digunakan menjadikan tampilan pukat cincin Teluk Apar baik, oleh karena tersebar secara merata dengan jarak antar pelampung yang cukup. Pilihan material PVC untuk untuk cincin kurang tepat, oleh karena massa jenisnya kecil, sehingga mengakibatkan kecepatan tenggelam jaring rendah. Sementara penggunaan batu kali sebagai pemberat, dengan bentuk dan ukuran yang tidak sama berpengaruh terhadap tampilan bagian bawah jaring. Meski secara perhitungan nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung pukat cincin teluk apar dalam batas kisaran yang disyaratkan, namun kecepatan tenggelam pada saat dioperasikan rendah. Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai jaring terentang sempurna secara vertikal. Kondisi ini dapat mengurangi efektivitas pukat cincin oleh karena terciptanya kesempatan ikan lolos lebih besar. Menilik pada dimensi kapal, tenaga penggerak yang digunakan dan jumlah ABK dalam satu unit penangkapan, pukat cincin teluk apar tergolong pukat cincin ukuran mini. Ukuran jaring yang relatif panjang tidak merupakan kendala dalam pengoperasiannya, khususnya saat penarikan jaring, oleh karena tinggi jaring yang relatif pendek. Potier & Sadhotomo (1995) menuliskan bahwa pukat cincin ukuran mini dioperasikan dengan menggunakan kapal kayu berukuran panjang antara 15-2 m, tenaga penggerak menggunakan mesin berkekuatan 35-1 HP. Kapal dilengkapi dengan palka berkapasitas 2-25 ton ikan segar. Operasi penangkapan dilakukan tidak jauh dari pantai pada perairan dengan kedalaman sampai dengan 3 m. Pada umumnya pukat cincin mini melakukan trip harian (one day trip). Pukat cincin Teluk Apar yang memiliki karakteristik teknis baik, dikaitkan dengan kinerja unit penangkapan dengan indikator hasil tangkapan, belum menggambarkan perolehan hasil yang optimal. Kuat diduga faktor teknis alat tangkap berkonstribusi nyata terhadap rendahnya kinerja produksi pada pukat cincin Teluk Apar. Mengamati kondisi perikanan pukat cincin di Teluk Apar, faktor lain yang diduga berpengaruh adalah ketrampilan ABK dan daerah penangkapan (ketersediaan sumberdaya ikan). Upaya untuk meningkatkan produktivitas pukat cincin perlu diketahui faktor yang berpengaruh terhadap total hasil tangkapan. Hasil penelitian pukat cincin yang berbasis di utara Jawa, menunjukkan bahwa kekuatan mesin kapal, kekuatan lampu dan volume pukat cincin (dimensi alat tangkap) merupakan factor yang secara signifikan berpengaruh terhadap daya tangkap (Purwanto & Nugroho, 212). Hasil penelitian ini masih relevan dengan hasil kajian produktivitas pukat cincin yang dilakukan sebelumnya, dimana faktor teknis alat tangkap memberikan pengaruh yang signifikan (Iskandar et al., 27). Perbaikan dalam system perakitan (rigging) untuk mendapatkan tampilan yang lebih baik alat tangkap pukat cincin di dalam air, serta penggunaan material yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kinerja produksinya. Analisis terhadap data produksi dan upaya (jumlah unit penangkapan) menunjukkan bahwa perikanan pukat cincin Teluk Apar, tidak mengalami perkembangan yang signifikan selama periode Lonjakan produksi tertinggi hasil tangkapan terjadi pada tahun 29 (Gambar 4). Pencatatan data produksi dan upaya pukat cincin melalui kegiatan enumerasi yang dilakukan antara bulan April Oktober 211 menegaskan bahwa produktivitas pukat cincin teluk apar belum optimal. Analisis terhadap data enumerator memberikan nilai CPUE antara kg/kapal/hari. Trip harian yang dilakukan nelayan pukat cincin Teluk Apar menjadikan jumlah rumpon yang terbatas mengalami intensitas pengoperasian yang tinggi. Keberadaan ikan di sekitar rumpon belum mencapai jumlah optimal pada saat dilakukan operasi penangkapan. Keterbatasan wahana kapal, menjadikan kemampuan untuk memperluas jangkauan daerah penangkapan menjadi hal yang tidak mungkin dilakukan. Ekploitasi berlebih pada daerah penangkapan yang terbatas mengakibatkan menurunnya kestersediaan ikan dan berkurangnya hasil tangkapan. 6

11 Karakteristik Teknis Alat Tangkap Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.) KESIMPULAN Pukat cincin Teluk Apar tergolong pukat cincin jaring lingkar dengan rancang bangun sederhana, tanpa menggunakan pemotongan jaring. Nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung pukat cincin adalah 1,68. Material sederhana yang digunakan (PVC untuk cincin dan batu kali untuk pemberat) mengurangi kecepatan tenggelam pukat cincin Teluk Apar, sehingga mempengaruhi efektivitasnya. Desain yang sederhana mempermudah dalam perakitan, sementara material yang digunakan sangat jamak ditemukan sehingga memudahkan dalam pemeliharaan. Dengan rancang bangun dan kosntruksi yang ada pukat cincin Teluk Apar produktivitasnya relatif rendah, berkisar antara 5 6 kg/unit/hari. Pukat cincin Teluk Apar dapat dioptimalkan kinerjanya melalui perbaikan system perakitan, penggunaan material yang tepat dalam konstruksinya (bahan kuningan untuk cincin, timah untuk pemberat), menambah durasi penanaman rumpon serta memperluas jangkauan daerah penangkapan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan konstribusi dari hasil kegiatan penelitian Kapasitas Penangkapan Perikanan Jaring Dogol di Perairan Selat Makasar dan Perikanan Pukat Cincin di Selat Makasar dan Teluk Bone, Tahun Anggaran 21 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa, A.U., Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 94 p. Anonim, 21. Statististik Perikanan Kabupaten Paser Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser. 76 p. Iskandar, B., Lilis, S., & Kusno, S., 26. Produktivitas Alat Tangkap Pukat cincin (Purse seine) Untuk Ikan Pelagis di Pantai Utara Jawa. Jur. Pen. Perik. Indonesia. Pusat Penelitian Perikanan Tangkap, Jakarta. 12 (1): Klust, Gerhard, Bahan jaring Untuk Penangkapan Ikan (Terjemahan dari Buku Asli Netting Material for Fishing Gear, Edisi 2). Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang. 187 p. Nurdin, E. & Hufiadi, 26. Karakteristik Pukat Cincin Mini di Pemalang, Jawa Tengah. Bawal, Widya Riset Perikanan Tangkap Vol.1 No.3, 26. Pus. Ris. Perik. Tangkap, Jakarta. p Prado, J. & P.Y. Dremiere, Fisherman Work Book. FAO Rome, Italia. 174 p. Potier, M. & B. Sadhotomo, Seine Fisheries in Indonesia in BIODYNEX, Editor Subhat Nurhakim and M. Potier. AARD Ministry of Agriculture, ORSTOM, European Community, Jakarta. p Purwanto & D. Nugroho, 211. Daya Tangkap Kapal Pukat Cincin dan Upaya Penangkapan Pada Perikanan Pelagis Kecil di Laut Jawa. Jur. Pen. Perik. Indonesia. Pusat Penelitian Perikanan Tangkap, Jakarta. 17 (1): Sainsbury, John C., Commercial Fishing Methods. Fishing News Ltd., London. 119 p. Von Brandt, Andres,1984. Fish Catching Methods of The World 3 rd Ediation. Fishing News Book Ltd. Farnham-Surrey-England. 418 p. 7

12 Distribusi Ukuran Tuna Hasil di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.) DISTRIBUSI UKURAN TUNA HASIL TANGKAPAN PANCING LONGLINE DAN DAERAH PENANGKAPANNYA DI PERAIRAN LAUT BANDA SIZE DISTRIBUTION OF TUNA CAUGHT BY LONGLINE AND ITS FISHING GROUND IN THE BANDA SEA WATERS Umi Chodrijah 1) dan Budi Nugraha 2) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta 2) Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa Bali Teregistrasi I tanggal: 2 Nopember 212; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 Maret 213; Disetujui terbit tanggal: 6 Maret umi_chodriyah@yahoo.co.id ABSTRAK Pemanfaatan sumber daya ikan tuna di perairan Laut Banda sudah berlangsung lama. Penelitian tentang komposisi jenis hasil tangkapan dan distribusi ukuran tuna hasil tangkapan longline di perairan Laut Banda yang didaratkan di Pelabuhan Benoa dilakukan pada bulan Februari, Juni, Oktober dan November 211. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tangkapan longline yang dominan dari perairan Laut Banda adalah madidihang dan tuna mata besar. Ukuran madidihang yang tertangkap berada pada kisaran cmfl dengan modus pada ukuran 15 cmfl dan tuna mata besar pada kisaran cmfl dengan modus 115 dan 125 cmfl. Daerah penangkapan kapal longline di perairan Laut Banda berada pada koordinat 5 6 LS dan BT. KATA KUNCI: Distribusi ukuran, daerah penangkapan, longline, tuna, Laut Banda ABSTRACT: Utilization of tuna resources in the Banda Sea waters had been conducting on since long time ago. Research on species composition and size distribution caught by tuna longline in the Banda Sea waters that landed in the port of Benoa was conducted in February, June, October and November 211. The results showed that the caught of dominant fish from longline in the Banda Sea waters were yellowfin and bigeye tuna. Size of yellowfin caught was cmfl with a mode size of 15 cmfl and bigeye tuna was cmfl with mode 115 and 125 cmfl. The fishing ground of longline vessels in the Banda Sea waters were 5 6 S and E. KEYWORDS: Size distribution, fishing ground, longline, tuna, Banda Sea PENDAHULUAN Sumberdaya tuna tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia mulai dari perairan Indonesia bagian barat (Samudera Hindia) sampai dengan kawasan timur Indonesia (Laut Banda dan Utara Irian Jaya). Eksploitasi sumberdaya tuna dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap, antara lain pukat cincin (purse seine), huhate (pole and line), rawai tuna (tuna longline) dan pancing ulur (hand line) (Diniah et al., 21). Laut Banda merupakan kawasaan perairan Indonesia Timur yang termasuk ke dalam perairan Samudera Pasifik Barat dan berbatasan dengan Samudera Hindia. Secara topografi, kawasan perairan Indonesia Timur memiliki kedalaman lebih dari 2. m bahkan di beberapa tempat mencapai m. Berdasarkan atas laporan PT. Perikanan Samodra Besar Benoa, Laut Banda merupakan salah satu daerah penangkapan yang cukup potensial. Hampir sepanjang tahun perusahaan tersebut melakukan penangkapan tuna di perairan Laut Banda (Uktolseja et al., 1991). Pemanfaatan sumberdaya tuna di perairan Laut Banda sudah berlangsung sejak lama. Sekitar tahun 1975 armada milik PT. Perikanan Samodra Besar (sekarang PT. Perikanan Nusantara) sudah mengoperasikan armada kapal rawai tunanya di perairan tersebut, bahkan sebelum tahun 1975 melalui perjanjian Banda Sea Agreement sekitar 1 armada rawai Jepang sudah beroperasi di perairan Laut Banda. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan ukuran ikan tuna hasil tangkapan longline serta gambaran daerah penangkapan di perairan Laut Banda. Data dan informasi tersebut merupakan bahan dasar untuk menganalisis status sumberdaya tuna di perairan Laut Banda. Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara 9

13 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 9-16 BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Pelabuhan Benoa pada bulan Februari, Juni, Oktober dan November 211. Jenis data yang dikumpulkan adalah data operasional penangkapan yaitu daerah penangkapan, komposisi hasil tangkapan serta data biologi yaitu frekuensi ukuran panjang cagak (fork length). Data daerah penangkapan dan komposisi hasil tangkapan diperoleh dari hasil observasi dengan mengikuti kapal longline KM. Bintang Samudera 1 milik PT. Gilontas pada bulan Oktober sampai November 211. Pengambilan data biologi berupa frekuensi ukuran panjang cagak dan berat terhadap dua jenis ikan tuna yang dominan tertangkap yaitu madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Pencatatan tuna hasil tangkapan longline dibantu oleh satu orang petugas enumerator di Pelabuhan Benoa, Bali. Data ukuran panjang (FL) digunakan untuk mengetahui sebaran panjang tuna yang tertangkap dari perairan Laut Banda dan dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Office Excel. Untuk mengetahui kelimpahan ikan tuna diukur dengan laju pancingnya (hook rate) dengan rumus : LP = x 1% dimana: LP = laju pemancingan (hook rate) E = jumlah ikan tuna yang tertangkap P = jumlah pancing yang digunakan HASIL DAN BAHASAN HASIL Deskripsi Longline Spesifikasi longline terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), pancing (hooks), tali pelampung (float line), pelampung (float) dan radio bouy. Tali utama dan tali cabang terbuat dari bahan monofilament dengan diameter 3,8 mm dan 1,8 mm. Panjang tali utama bervariasi, tergantung jumlah dan jarak antar pancing serta pelampung yang digunakan setiap kali tawur (setting). Tali utama panjangnya diperkirakan sekitar m, sedangkan panjang tali cabang 21 m. Tali pelampung terbuat dari PA monofilament dengan panjang 22,5 m dan berdiameter 5 mm. Pelampung terbuat dari bahan plastik berbentuk bulat. Terdapat 2 jenis pelampung yang digunakan yaitu yang memiliki diameter 18 cm dan 3 cm. Mata pancing yang digunakan adalah type J hook dan terbuat dari besi stainless. Jumlah pancing antar pelampung tetap yaitu 7 buah. Jumlah pancing dan jumlah pelampung yang digunakan setiap setting bervariasi. Jumlah pancing yang digunakan mulai dari 882 hingga 98 buah pancing, sedangkan jumlah pelampung 126 hingga 14 buah. Radio buoy yang digunakan berjumlah 5 buah merk ocean star buatan Taiwan. Umpan yang digunakan adalah ikan bandeng hidup (Chanos chanos Forskal), lemuru (Sardinella lemuru), cumi- cumi (Loligo sp.) dan ikan layang (Decapterus sp.). Konstruksi longline pada KM. Bintang Samudera 1 yang berbasis di Pelabuhan Benoa dapat dilihat pada Gambar 1. 22,5 m Tali pelampung Main line 52.5 m Branch line 21 m Gambar 1. Konstruksi longline KM. Bintang Samudera 1 yang berbasis di Pelabuhan Benoa Figure 1. Longline construction of KM. Bintang Samudera 1 based on Benoa Port 1

14 Distribusi Ukuran Tuna Hasil di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.) Distribusi Ukuran Pengukuran frekuensi panjang ikan dilakukan terhadap dua jenis tuna hasil tangkapan dari perairan Laut Banda dan yang dominan didaratkan di Pelabuhan Benoa, yaitu madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Dominasi kedua jenis tuna tersebut dikarenakan kedua jenis tuna tersebut merupakan target utama ekspor tuna dari Benoa. Menurut Nugraha dan Chodrijah (21), komposisi hasil tangkapan kapal longline yang diperoleh dari perairan Laut Banda dan didaratkan di Benoa didominasi oleh madidihang 49,69% dan tuna mata besar 11,74%. Distribusi panjang cagak ikan madidihang dan tuna mata besar disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Frekuensi (%) YFT n = 34 Feb. 211 Frekuensi(%) YFT n = 52 Mar Mid length FL (Cm) Mid length FL (Cm) Frekuensi (%) YFT n = 37 Mei 211 Frekuensi (%) YFT n = 47 Juni Mid length FL (Cm) Mid length FL (Cm) Frekuensi (%) YFT n = 33 Sep Mid length FL (Cm) Gambar 2. Distribusi bulanan panjang cagak madidihang hasil tangkapan longline yang didaratkan di Benoa pada bulan Februari September 211 Figure 2. Monthly distribution of fork length for yellowfin tuna caught by longline at Benoa in February September 211 Frekuensi (%) BET n = 57 Mar. 211 Frekuensi (%) BET n = 21 Mei Frekuensi (%) Mid length FL (Cm) BET n = 44 Juni 211 Frekuensi (%) Mid length FL (Cm) BET n = 23 Juli Mid length FL (Cm) Mid length FL (Cm) 11

15 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 9-16 Frekuensi (%) BET n = 8 Ags. 211 Frekuensi (%) BET n = 52 Sep Mid length FL (Cm) Mid length FL (Cm) Frekuensi (%) BET n = 4 Okt Mid length FL (Cm) Gambar 3. Distribusi bulanan panjang cagak tuna mata besar hasil tangkapan longline yang didaratkan di Benoa pada bulan Maret Oktober 211 Figure 3. Monthly distrbution of fork length for bigeye tuna caught by longline at Benoa in March October 211 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan utama (target species) kapal longline terdiri dari madidihang (yellowfin tuna; Thunnus albacares), tuna mata besar (bigeye tuna; Thunnus obesus), sedangkan hasil tangkapan sampingan (bycatch) diantaranya adalah lemadang (Coryphaena hippurus), ikan pedang (Xiphias gladius), bawal bulat (Taracticthys steindachneri), ikan naga (lancetfish; Alepisaurus sp.), pari lumpur (Dasyatis sp.), ikan gindara (oilfish; Ruvettus pretiosus), cakalang (Katsuwonus pelamis), setuhuk biru (Makaira mazara) dan setuhuk hitam (Macaira indica). Komposisi hasil tangkapan utama KM. Bintang Samudera 1 didominasi oleh madidihang (17,4%) dan tuna mata besar (7,4%), sedangkan hasil tangkapan sampingan didominasi oleh ikan pari lumpur (41,4%) dan ikan naga (19,8%) (Gambar 4). Laju Pancing (Hook Rate) Tuna Longline Laju pancing atau hook rate dalam perikanan rawai tuna adalah jumlah ikan yang tertangkap dalam 1 mata pancing. Daerah penangkapan berada pada koordinat 5 6 LS dan BT. Nilai hook rate tertinggi untuk jenis tuna mata besar adalah,31 dengan rata-rata,9, sedangkan untuk madidihang,41 dengan rata-rata,22 (Tabel 1) KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN Big eye tuna Yellow fin tuna Ikan pari Ikan naga Ikan meka Cakalang Gindara Ikan todak Marlin hitam Marlin biru Bawal Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan KM. Bintang Samudera 1 pada bulan Oktober November 211 di perairan Laut Banda Figure 4. Catch composition of KM. Bintang Samudera 1 at October November 211 from Banda Sea waters Tabel 1. Laju pancing hasil tangkapan utama KM. Bintang Samudera 1 Table 1. Hook rate of the target species from KM. Bintang Samudera 1 Jenis ikan Hook rate Min Max Rataan±SE Madidihang,1,41,22±,115 Tuna mata besar,1,31,9±,96 12

16 Distribusi Ukuran Tuna Hasil di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.) Daerah Penangkapan (Fishing Ground) Menurut Gunarso (1998), beberapa daerah penangkapan ikan tuna di Indonesia antara lain adalah Laut Banda, Laut Maluku dan perairan Selatan Jawa terus menuju Timur. Begitu pula di perairan Selatan dan Barat Sumatera serta perairan lainnya. Di Samudera Hindia dan Samudera Atlantik tuna menyebar di antara 4 LU dan 4 LS (Collette & Nauen, 1983). Daerah penangkapan KM. Bintang Samudera 1 berada di perairan Laut Banda pada koordinat 5 6 LS dan BT (Gambar 5). Daerah penangkapan ini dapat dikatakan merupakan daerah penangkapan potensial. Sejak adanya perjanjian Laut Banda (Banda Sea agreement), daerah ini merupakan daerah penangkapan yang diberikan kepada nelayan-nelayan Jepang untuk mengeksploitasi tuna di perairan Laut Banda. Berdasarkan perjanjian tersebut, areal Laut Banda yang diberikan kepada nelayan-nelayan Jepang adalah berada pada koordinat 2 8 LS dan BT (Jusuf, 1983). Eksploitasi sumberdaya tuna di perairan Laut Banda dilakukan sepanjang tahun. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh PT. Perikanan Samodra Besar dimana perusahaan tersebut melakukan penangkapan tuna di Laut Banda sepanjang tahun (Uktolseja et al., 1991). Hasil penelitian Sukresno & Suniada (27) menyebutkan bahwa koefisien korelasi antara hasil tangkapan dan perubahan musim menunjukkan nilai yang kecil yang berarti bahwa potensi perikanan di Laut Banda tidak berpengaruh terhadap perubahan musim sehingga dapat dikatakan bahwa potensi perikanan selalu tersedia dan dapat ditangkap sepanjang tahun. Gambar 5. Daerah penangkapan kapal longline di perairan Laut Banda Figure 5. Fishing ground of longline vessel in the Banda Sea Waters BAHASAN Distribusi ukuran panjang madidihang diperoleh dari bulan Februari September 211. Pada bulan Februari dan Maret 211 terlihat bahwa distribusi ukuran panjang madidihang yang tertangkap berkisar cmfl dengan modus pada ukuran 15 cmfl, sedangkan pada bulan Mei, Juni dan September 211 terdistribusi pada ukuran 135 cmfl. Anugrahawati (25) menyebutkan bahwa panjang madidihang yang tertangkap di perairan Laut Banda pada bulan September Desember 22 terbanyak terdapat pada selang 116,5 126,5 cm dan yang terpanjang mencapai 154 cm. Madidihang yang tertangkap memiliki ukuran yang hampir sama dengan hasil tangkapan longline yang didaratkan di Cilacap yaitu cmfl dan Muara Baru cmfl (Wudianto et al., 23) dan sebagian besar diduga telah matang gonad. Hal ini sesuai dengan penelitian Itano (24) dimana ukuran pertama kali matang gonad (size at first maturity) untuk madidihang di perairan Samudera Pasifik bagian tengah dan barat (termasuk perairan selatan Maluku) memiliki panjang 14,6 cm. Distribusi ukuran panjang tuna mata besar yang diperoleh dari bulan Maret Oktober 211 berkisar antara cmfl dengan modus 115 dan

17 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 9-16 cmfl (Gambar 3). Panjang tuna mata besar yang tertangkap di perairan Laut Banda dapat mencapai 183 cm (Anugrahawati, 25). Ukuran tuna mata besar yang tertangkap di perairan Laut Banda cukup besar dibandingkan dengan hasil tangkapan dari perairan Samudera Hindia. Hasil penelitian Faizah & Aisyah (211) diperoleh bahwa ukuran tuna mata besar hasil tangkapan hand line di Sendang Biru hanya berkisar 4 14 cm. Begitu pula dengan hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (211) yang melaporkan bahwa tuna mata besar hasil tangkapan longline dari perairan Samudera Hindia yang didaratkan di Cilacap memiliki ukuran antara cm. Menurut Lehodey et al., 1999, ukuran tuna mata besar dianggap dewasa apabila mencapai ukuran 91 1 cm dan setara dengan umur 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat ukuran tuna mata besar yang tertangkap didominasi oleh ukuran ikan yang sudah dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nootmorn (24) yang menyebutkan bahwa ukuran pertama kali matang gonad tuna mata besar di Samudera Hindia tercapai pada ukuran panjang 88,8 cm. Farley et al. (23) juga menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad untuk tuna mata besar di Samudera Hindia adalah 12,4 cm, sedangkan menurut Yuen (1955) ukuran pertama kali matang gonad tuna mata besar di Pasifik 91 1 cm dengan berat 14 2 kg. Begitu pula hasil penelitian Sun et al. (26) diperoleh bahwa ukuran pertama kali matang gonad tuna mata besar di barat Pasifik adalah 99,7 cm. Menurut Nugraha & Wagiyo (22), komposisi hasil tangkapan sampingan (HTS) tuna longline di perairan Laut Banda pada bulan Oktober Desember 22 didominasi oleh ikan pari lumpur (stingray) sekitar 38,52% dan diikuti oleh ikan naga (lancetfish) sekitar 33,52%. Hasil tangkapan sampingan longline di perairan Samudera Hindia juga didominasi oleh ikan naga dan pari lumpur (Setyadji & Nugraha, 212). Kedua spesies hasil tangkapan sampingan tersebut hampir ditemukan disemua perikanan longline. Menurut Romanov et al. (28) yang diacu dalam Setyadji & Nugraha (212), menyebutkan bahwa kedua spesies ini mempunyai peranan penting pada rantai makanan pelagis yakni sebagai predator pada organisme mikronekton dan juga sebagai mangsa dari jenis ikan berparuh dan tuna (Potier et al., 27 diacu dalam Setyadji & Nugraha, 212). Hasil penelitian Nugraha & Chodriyah (21) menyatakan bahwa nilai hook rate di perairan Laut Banda berkisar 1,19 1,48 dengan nilai rata-rata 1,34 pada koordinat 5 6 o LS dan o BT. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Balai Riset Perikanan Laut (22) yang menyatakan bahwa nilai rata-rata hook rate tuna di perairan Laut Banda yaitu,18 untuk tuna mata besar dan,2 untuk madidihang maka nilai hook rate di perairan Laut Banda pada tahun 211 ini lebih besar daripada nilai hook rate tahun 22. Perbedaan ini diduga karena daerah penangkapan longline pada tahun 22 berbeda dengan 21, dimana pada tahun 22 daerah penangkapan longline berada pada koordinat 6 7 o LS dan o BT (Gafa et al., 24). Amin & Nugroho (199) yang diacu dalam Suharsono (23), menyebutkan bahwa hasil tangkapan tuna di Perairan Laut Banda mencapai puncaknya pada awal musim barat yaitu antara bulan Oktober sampai bulan November. Hal ini bertepatan dengan saat dilakukannya operasi penangkapan ikan. Jadi dapat dikatakan bahwa hook rate tuna tersebut tergolong tinggi untuk kategori perairan Laut Banda, karena mungkin saja didapatkan hook rate tuna yang jauh lebih kecil dari,31 dan,41 apabila operasi penangkapan ikan dilakukan pada bulan yang berbeda. Selanjutnya menurut Collete & Nauen (1983), tuna banyak dieksploitasi pada musim semi dan panas di Samudera Pasifik Barat Laut dan Timur. Jadi berdasarkan acuan tersebut, penangkapan tuna efektif dilakukan pada musim panas, dimana suhu perairan akan naik dan bertepatan dengan musim pemijahan tuna. Dengan diketahuinya nilai hook rate dan musim penangkapan setiap daerah penangkapan, maka kapal longline yang akan melakukan operasi penangkapan dapat langsung menuju ke daerahdaerah yang memiliki nilai hook rate cukup tinggi, sehingga dapat menekan biaya operasional kapal. KESIMPULAN Hasil tangkapan utama longline dari perairan Laut Banda didominasi oleh madidihang dan tuna mata besar, sedangkan hasil tangkapan sampingan didominasi oleh ikan pari lumpur dan ikan naga. Madidihang yang tertangkap memiliki ukuran cmfl dengan modus pada ukuran 15 dan 135 cmfl, sedangkan tuna mata besar memiliki ukuran cmfl dengan modus pada ukuran 115 dan 125 cmfl. Perairan Laut Banda merupakan salah satu daerah penangkapan tuna yang potensial. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Indeks Kelimpahan Sumber Daya Ikan Pelagis Besar Dan Oseanografis di WPP Laut Banda T.A. 211, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta. 14

18 Distribusi Ukuran Tuna Hasil di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.) DAFTAR PUSTAKA Anugrahawati, N. 25. Kedalaman mata pancing tuna longline : Pengaruhnya terhadap komposisi hasil tangkapan tuna di Laut Banda. Skripsi. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 p. Balai Riset Perikanan Laut. 22. Penelitian produktivitas lapisan perairan terhadap penangkapan ikan yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan bigeye tuna (Thunnus obesus) dengan tuna longline di Laut Banda dan sekitarnya. Laporan Akhir Tahun 22. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta. 4 p. Balai Penelitian Perikanan Laut Riset perikanan tangkap di perairan Samudera Hindia. Laporan Akhir Tahun 211. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 258 p. Collete, B.B. & Nauen C.E FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world. an annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fish. Synop. 125 (2). Food and Agricultural Organization. Rome. 137 p. Diniah, M., Ali Yahya, S. Pujiyati, Parwinia, S. Effendy, M. Hatta, M. Sabri, Rusyadi, & A. Farhan. 21. Pemanfatan sumberdaya tuna cakalang secara terpadu. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 9 p. Faizah, R. & Aisyah Komposisi jenis dan distribusi ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, Jawa Timur. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (6): Farley J., Clear N., Leroy B., Davis T., & Mcpherson G. 23. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the Eastern and Western AFZ. Report No. 2/1. CSIRO Marine Research. Australia. 93 p. Gafa, B., Karsono W. & B. Nugraha. 24. Hubungan antara suhu dan kedalaman mata pancing terhadap hasil tangkapan ikan bigeye tuna (Thunnus obesus) dan yellowfin tuna (Thunnus albacares) dengan tuna longline di perairan Laut Banda dan sekitarnya. Prosiding Hasil-Hasil Riset. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. p Gunarso W Tingkah laku ikan dan perikanan pancing. Diktat Kuliah. Laboratorium Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 119 p. Itano, D.G. 24. The Reproductive Biology of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) in Hawaiian Waters and the Western Tropical Pasific Ocean: Project Summary. SOEST -1 JIMAR Contribution p. Jusuf, G.D.H Suatu studi perjanjian Indonesia- Jepang tentang penangkapan ikan tuna di Laut Banda (Banda Sea Agreement). Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 115 p. Lehodey, P., J. Hampton & B. Leroy Preliminary results on age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the Western and Cental Pacific Ocean as indicated by daily growth increments and tagging data. Working Paper BET-2. Standing Committee on tuna and Billfish. Tahiti June p. Nootmorn, P. 24. Reproductive biology of bigeye tuna in the Eastern Indian Ocean, IOTC. Proceedings 24. 7: 1-5. Nugraha, B. & K. Wagiyo. 22. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) tuna longline di perairan Laut Banda. Bawal. 1 (2) Nugraha, B. & Chodriyah, U. 21. Komposisi hasil tangkapan dan daerah penangkapan kapal tuna longline di perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 16 (4) Setyadji, B. & B. Nugraha Hasil tangkapan sampingan (HTS) kapal rawai tuna di Samudera Hindia yang berbasis di Benoa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 18 (1) Suharsono. 23. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Banda dan suksesi karang di bekas muntahan lahar Pulau Gunung Api. Jurnal Pesisir dan Lautan. ISSN (1). 5 (1) : 1-4. Sukresno, B. & K.I. Suniada. 27. Observasi pengaruh ENSO terhadap produktifitas primer dan potensi perikanan dengan menggunakan data satelit di Laut Banda. Publikasi Balai Penelitian dan Observasi Laut. kkp.go.id/publikasi/detail/3. 15

19 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 9-16 Sun C.L., Chu S.L., & Yeh S.Z. 26. The reproductive biology of female tuna (Thunnus obesus) in Western Pasific. Scientific Committee Second Regular Session. Manila, Philippines. 22 p. Uktolseja, J.C.B., B. Gafa & S. Bahar Potensi dan penyebaran sumberdaya ikan tuna dan cakalang. Di dalam: Martosubroto P, N Naamin, BBA Malik, editor. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta. p Wudianto, K. Wagiyo & B. Wibowo. 23. Sebaran daerah penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 9 (7): Yuen, H.S.H Maturity and fecundity of bigeye tuna in the Pacific. U.S. Fish Wild. Serv. Spec. Sci. Rept. Fish. 15: 3 p. 16

20 Aktivitas Penangkapan Individu Kapal. Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer (Natsir, M & Suherman, B.A.) AKTIVITAS PENANGKAPAN INDIVIDU KAPAL PURSE SEINE DI LAUT MALUKU: SISTEM PEMANTAUAN KAPAL (VMS) DAN OBSERVER FISHING ACTIVITY OF INDIVIDUAL PURSE SEINERS IN MOLUCCA SEA: VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) AND OBSERVERS ABSTRAK Mohamad Natsir 1) dan Suherman Banon Atmaja 2) 1) Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumerdaya Ikan Jakarta 2) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta Teregistrasi I tanggal: 21 Maret 212; Diterima setelah perbaikan tanggal: 21 Maret 213; Disetujui terbit tanggal: 22 Maret naseer.brpl@gmail.com Teknologi sistem pemantauan kapal (VMS) merekam waktu, lokasi, arah haluan, dan kecepatan kapal untuk memonitor kapal. Serial waktu data VMS digunakan untuk meningkatkan pendugaan aktivitas penangkapan dan merupakan salah satu perkembangan yang paling penting pada penelitian perikanan pada dekade terakhir ini. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keuntungan dari data VMS, untuk menguraikan definisi dan estimasi upaya penangkapan. Berdasarkan atas data VMS dan individu kapal contoh menunjukkan luas konsentrasi daerah penangkapan meningkat hampir 15 kali lipat, dari 92 mil 2 pada tahun 26 menjadi mil 2 pada tahun 21. Secara tidak langsung perikanan purse seine dengan rumpon laut-dalam telah menerapkan kebijakan berdasarkan atas alokasi hak eksklusif penangkapan ikan. Dari estimasi tawur data VMS yang telah divalidasi dengan aktivitas tawur kapal contoh diperoleh tingkat kesalahan deteksi kurang dari 1%, sehingga memungkinkan penggunaan data VMS untuk menyimpulkan informasi tentang aktivitas kapal dan upaya penangkapan. Secara keseluruhan hasil tangkapan per tawur (CPUE) selama 6 tahun menunjukkan tidak terjadi penurunan, artinya eksploitasi tidak mempengaruhi secara nyata terhadap kelimpahan stok ikan. KATA KUNCI: Aktivitas, individu, kapal purse seine, Laut Maluku, data VMS, observer ABSTRACT VMS technology records the time, location, heading, and speed for monitored vessels. Time series of VMS data are used to improve estimates of fishing activity and one of the most important developments in fisheries research in the last decade. The objective of this study is to know the benefit from VMS data to provide good description the definition and estimation of fishing effort. Based on data VMS and samples vessel showed that extensive concentration of fishing ground increased nearly 15-time from 92 mil 2 in 26 to mil 2 in 21. Indirectly, the purse seine fishery with drifting deepsea fish agregating device had implemented a policy based on the allocation of exclusive fishing rights. The estimates of the data hauling VMS that had been validated with hauling activity of sample vessel obtained misdetection less than 1%, thus allowing the use of the VMS data to infer information about vessel activity and fishing effort. The overall of catch per haul (CPUE) for 6 years showed no decline, which means that the exploitation does not significant influence in abundance of fish stocks. KEYWORDS: Fishing activity, individual, purse seiner, Molucca Sea, VMS data, observer. PENDAHULUAN Armada purse seine Filipina mulai berkembang di dalam negeri pada akhir tahun 197 setelah survei eksplorasi oleh dua kapal Kanada di perairan Filipina pada awal tahun 197. Sebagian besar armada Filipina menangkap hampir secara eksklusif pada rumpon laut dalam (drifting deepsea fish agregating device atau payaos). Keberhasilan rumponisasi di Hawaii dan Filipina telah memicu pengembangan program FAD Korespondensi penulis: Pusat Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara (fish agregating device) di seluruh Pasifik Selatan (Gillett, 27). Sejak akhir tahun 199, pemerintah Indonesia memberikan izin bagi purse seine Filipina dengan sistem charter untuk menangkap ikan cakalang dan tuna di ZEEI di Utara Sulawesi dan Utara Irian Jaya. Umumnya kapal purse seine ini merupakan kerjasama antara pengusaha swasta nasional dengan pengusaha dari Filipina (General Santos). Satu unit purse seine terdiri dari sebuah kapal penangkapan (1 15 GT) 17

21 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : dan cara operasi dibantu dengan alat bantu rumpon laut-dalam (payaos), 1-2 kapal lampu (light boat 2 3 GT). Dengan beroperasinya alat tangkap tersebut dan pemasangan 15 payaos di perairan ZEEI Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik berdampak negatif terhadap hasil tangkapan yang cenderung menurun pada perikanan huhate dan perikanan tradisional lainnya (Gafa et al., 1993). Pada pertengahan tahun 23, delapan kapal purse seine yang berasal dari Pontianak dan Pekalongan berpindah pangkalannya ke Bitung (Sulawesi Utara) untuk mengeksploitasi ikan cakalang dan tuna. Nelayan purse seine yang berasal dari Paparan Sunda (nelayan Pekalongan) hanya memiliki pengalaman di perairan dangkal, maka untuk dapat mengeksploitasi sumber daya cakalang dan tuna di Laut Maluku dan Laut Sulawesi (perairan laut-dalam), mereka berinteraksi dan belajar kepada nelayan Filipina. Dengan memodifikasi kedalaman jaring dan ditompang oleh penggunaan rumpon laut-dalam (payaos) (Nugroho & Atmaja, 28). Pada tahun 26 tercatat sebanyak 35 kapal registrasi Jakarta, Pekalongan dan Semarang merelokasi usaha penangkapan di Bitung. Relokasi usaha perikanan tersebut merupakan alternatif untuk menghindari kehilangan mata pencaharian dan keluar dari usaha perikanan, sebagai bagian dari suatu sistem dinamika perikanan di bawah ketiadaan atau tidak efektifnya pengelolaan. Kemajuan teknologi terbaru, sistem pemantauan kapal (VMS) secara otomatis merekam data posisi dari kapal penangkapan, lintasan individu kapal dan tidak secara langsung menunjukkan apakah kapal menangkap atau tidak. Data VMS menyediakan banyak data dalam jumlah besar dari gerakan kapal perikanan, belum digunakan secara maksimal dan analisis data tersebut masih dalam tahap awal perkembangan. Data serial waktu dari VMS dapat digunakan untuk memperhitungkan dimensi spasial dan temporal perikanan komersial, sehingga membuka cakrawala baru untuk analisis masa depan. Hal ini merupakan salah satu perkembangan yang paling penting dalam penelitian perikanan pada dekade terakhir. Sebagian besar potensi penggunaan VMS data tergantung pada kemampuan kita dalam menafsirkan catatan-catatan secara akurat, membedakan perilaku selama perjalanan kapal, seperti waktu perjalanan, mencari dan menangkap (Walker et al., 21). Analisis terintegrasi VMS dan data logbook akan memungkinkan data perikanan yang akan dianalisis pada skala spasial jauh lebih akurat dan membuka berbagai aplikasi yang potensial (Gerritsen & Lordan, 211.). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan data VMS dalam penyempurnaan definisi dan estimasi upaya penangkapan, perilaku aktivitas penangkapan dan indeks kelimpahan stok ikan. BAHAN DAN METODE Data yang digunakan dalam tulisan ini berdasarkan 2 sumber utama, yaitu 1) data aktivitas penangkapan dan hasil tangkapan harian melibatkan kapten KM Mahakam I sebagai observer selama 23 April -1 Agustus 26, Juni 21 Mei 211. Adapun data yang dicatat meliputi jumlah hasil tangkapan, spesies dominan dan posisi tawur, 2) Data VMS selama periode April 28 Mei 211, berupa posisi, kecepatan dan arah haluan kapal. Data tersebut digunakan untuk estimasi posisi tawur. Kapal purse seine contoh yang berbasis di Bitung memiliki ukuran kapal 68 GT, mesin 28 PK, jaring berukuran panjang 7 meter, dalam 9 meter dan mata jaring bagian kantong adalah 1inci. Alat bantu penangkapan adalah rumpon laut-dalam (payaos) sekitar 1 12 payaos untuk setiap kapal, under water lamp 8 buah dengan daya 2. watt/lampu yang dibawa oleh kapal bantu lampu (GT<2) dan lampu sorot (spotlight) berkisar watt. (Nugroho & Atmaja, 28). Lokasi penelitian berdasarkan plot antara aktivitas tawur kapal contoh dan data VMS yang menggambarkan konsentrasi pemasangan rumpon pada posisi antara 1 LU dan 125,5 126,5 BT atau di sekitar Laut Maluku (Gambar 1). Estimasi tawur ini ditentukan berdasarkan kecepatan kapal pada malam hari sampai jam 4-5 pagi, dengan mengabaikan keputusan nakhoda tidak melakukan aktivitas tawur karena kondisi cuaca yang buruk dan pada saat posisi kapal sedang berlindung. Data selanjutnya diolah dengan analisis secara kualitatif yang disajikan dalam bentuk analisis deskriptif. Analisis deskriptif berupa grafik berdasarkan atas estimasi posisi tawur dari data VMS dan aktivitas kapal contoh. Plot tumpang tindih (overlaping) dilakukan untuk mengetahui penyimpangan posisi estimasi tawur dengan tawur yang sebenarnya. Indeks kelimpahan stok ikan dihitung berdasarkan hasil tangkapan per tawur. 18

22 Aktivitas Penangkapan Individu Kapal. Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer (Natsir, M & Suherman, B.A.) Gambar 1. Lokasi daerah penangkapan kapal contoh berdasarkan atas estimasi tawur Figure 1. Fishing ground location of sample vessel based on.estimation of haul position HASIL DAN BAHASAN HASIL Berdasarkan atas data VMS, estimasi posisi tawur pada tahun menunjukkan pada tahun 29 terjadi pergeseran daerah penangkapan pada lintang 2 o 3 o LU dan bujur timur 128 o 129 o dan tiga tahun terakhir juga terjadi pergeseran daerah penangkapan ke lintang selatan 1 o 1,5 o (Kepulauan Sula). Namun secara keseluruhan konsentrasi daerah pengkapan berada pada o 1 o LU dan 125,5 o 126,5 o BT (Gambar 2). Sementara berdasarkan posisi aktivitas tawur dari kapal contoh selama Mei September 26, Juni Desember 21, Januari Mei 211 menunjukkan adanya perluasan daerah penangkapan. Pada Mei September 26 aktivitas penangkapan terkonsentrasi pada o,6 o LU dan ,5 o BT bergeser menjadi lintang o 1 o LU pada tahun 21 dan 211 (Gambar 3). Data VMS dan posisi tawur menunjukkan tujuan daerah penangkapan relatif sama. Selama 6 tahun konsentrasi daerah penangkapan tidak mengalami perubahan. Hal ini menegaskan bahwa perikanan purse seine yang beroperasi di perairan laut dalam didukung dengan keberadaan rumpon laut dalam (payao), dan penyebaran rumpon terkonsentrasi pada cangkup luas sekitar 3.6 mil 2 ( 1 o LU dan 125,5 126,5 o BT). Seperti halnya tingkah laku predator lainnya yang mencari makanan berupas sumber daya ikan yang memiliki pola kecenderungan spasial tertentu, perilaku spasial nelayan dapat memberikan informasi mengenai organisasi dan formasi ikan secara spasial di alam (Bertrand et al., 25). Secara tidak langsung perikanan purse seine dengan payaonya telah menerapkan kebijakan berdasarkan atas alokasi hak eksklusif penangkapan ikan. 19

23 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : Gambar 2. Estimasi posisi tawur selama tahun (sumber: PSDKP) Figure 2. Estimation of haul position during the year (source: PSDKP) Lintang 1,2 1,8,6,4 Mei -September 26 Juni - Desember 21 Januari-Mei 211 1,5 dan upaya 1 penangkapan.,5 Juni - Desember 21 cukup rendah memungkinkan penggunaan data VMS untuk menyimpulkan informasi tentang aktivitas kapal Lintang Estimasi Tawur Tawur, , ,5 127 Bujur , ,5 127 Bujur Gambar 3. Posisi tawur dari kapal contoh pada tahun 26, 21 dan 211 Figure 3. The position of haul from samples vessel in years 26, 21 and 211 Secara keseluruhan estimasi tawur data VMS yang telah divalidasi dengan aktivitas tawur kapal contoh diperoleh tingkat kesalahan deteksi (misdetection) sekitar 8,3%, sedangkan penyimpangan posisi estimasi tawur dengan aktivitas tawur sekitar 7,6%, (Gambar 4 dan Gambar 5). Dengan tingkat kesalahan deteksi tersebut yang Gambar 4. Plot tumpang tindih estimasi tawur dari data VMS dengan aktivitas tawur kapal contoh pada periode Juni Desember 21 Figure 4. Ploting overlapping estimation of haul position from VMS data versus haul position of sample vessel in the period Juni Desember 21 2

24 Aktivitas Penangkapan Individu Kapal. Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer (Natsir, M & Suherman, B.A.) Gambar 5. Plot tumpang tindih estimasi tawur dari data VMS versus aktivitas tawur kapal contoh pada periode Oktober 21 Mei 211 Figure 5. Ploting overlapping estimation of haul position from VMS data versus haul position of sample vessel in period October 21 May 211 Dari estimasi tawur dari data VMS versus aktivitas tawur kapal contoh pada Juni 21 Mei 211 memperlihatkan estimasi tawur lebih rendah dari pada aktivitas tawur, secara keseluruhan selisihnya sekitar 8% (Gambar 6). Perbedaan tersebut disebabkan transmitters VMS sering dimatikan, dari keterangan nelayan karena sumber listrik (power supply) digunakan secara bergantian dengan radio komunikasi. Atmaja et al. (211) melaporkan bahwa estimasi tawur dari data VMS kapal contoh yang beroperasi di Samudera Hndia cenderung lebih besar dari aktivitas penangkapan yang sebenarnya, alasan perbedaan berkisar 24% 43%. Hal ini diakibatkan lebih banyak kegagalan tawur dan tidak ada aktivitas penangkapan karena kondisi cuaca yang buruk ,5 Januari - Mei 211 Gambar 6. Perbandingan estimasi tawur versus aktivitas tawur kapal contoh pada Juni 21 - Mei 211 Figure 6. Comparison of estimation of haul from VMS data versus haul position of sample vessel in June 21 May Lintang Jumlah Tawur , ,5 Juni Juli Agus sep Okt Nov Des Jan Feb Mar April Mei Mei Mei Juni Juni Juni Juli Juli Juli Agus Agus Agus Sep Sep Estimasi Tawur26 21 Tawur B u l a n Estimasi Tawur Tawur -1,5 Gambar 7. Jumlah tawur kapal contoh pada bulan Figure 7. yang sama (Mei September Bujur 26, 21 dan 211) The Numbers haul of sample vessel in the same month (May 21 to September 26, 21 and 211) BAHASAN Analisis Distribusi Spasial Kegiatan Penangkapan dan Penyebaran Rumpon Penggunaan rumpon laut-dalam (drifting deepsea fish agregating device) telah lama dikenal di Kawasan Timur Indonesia sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan tuna dan cakalang dengan huhate dan pancing ulur. Rumpon sebagai alat bantu penangkapan dapat menahan untuk sementara ruaya ikan tuna dan cakalang. Hasil tagging di Teluk Tomini menunjukkan bahwa rumpon dapat menahan ikan cakalang sekitar 34 hari (Gafa & Subani, 1993). Lebih lanjut mereka menerangkan bahwa pola ruaya ikan cakalang dan madidihang, sebagian tetap berada di perairan Indonesia dan sebagian lagi keluar perairan Indonesia setelah tiga bulan. Pulau Morotai adalah 21

25 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : daerah lintasan ikan cakalang dan madidihang yang melakukan keluar-masuk perairan Kawasan Timur Indonesia. Diduga perairan antara Kepulauan. Sangir- Talaud dan Utara Halmahera merupakan gateway dari ruaya cakalang, sehingga penempatan rumpon di ZEEI Utara Sulawesi berdampak negatif terhadap perikanan pole & line di daerah teritorial, gejala overfishing ditunjukkan dengan ukuran ikan cakalang dan madidihang semakin kecil (Monintja, 1996). Upaya Penangkapan Dengan sistem tangkahan dan kapal angkut untuk memperoleh informasi tentang upaya penangkapan dan hasil tangkapan akan menghadapi kesulitan. Apalagi perkembangan perikanan purse seine saat ini cederung telah mengalami perubahan operasionalnya untuk maksimal hasil tangkapan, mereka dapat tinggal di laut selama berbulan-bulan dan hasil tangkapan dibawa kapal angkut. Selain itu, kapal angkut membawa ikan yang berasal dari beberapa kapal penangkap langsung masuk perusahaan. Naim (21) melaporkan bahwa kegiatan illegal fishing yang umum terjadi di perairan tersebut adalah penangkapan ikan tanpa izin, penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu, penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang, penangkapan ikan pada daerah yang tidak sesuai dengan daerah yang diizinkan dan penangkapan ikan yang hasil tangkapannya tidak dilaporkan. Pada kasus kapal purse seine skala industri mendefinisikan upaya penangkapan yang relevan adalah dilema, karena umumnya mereka dapat tinggal di laut berbulan-bulan, sebagai upaya mengoptimalkan waktu operasi penangkapan dan hasil tangkapan. Bez at al. (21) menyatakan bahwa upaya penangkapan merupakan masalah sangat penting dalam perikanan purse seine, karena: 1) model pendugaan stok digunakan secara rutin menggunakan CPUE sebagai indeks kelimpahan - definisi dari upaya penangkapan efektif sangat diperlukan, 2) tidak ada kebenaran lapangan untuk membantu dan memvalidasi definisi setiap indeks kelimpahan dan tidak dapat dievaluasi dengan benar, dan 3) kapal purse seine menggunakan dua motode penangkapan yang berbeda (mencari gerombolan ikan vs gerombolan ikan di rumpon). Indeks Kelimpahan Stok Ikan Peningkatan hasil tangkapan per tawur (CPUE) terjadi pada Mei 211 dibandingkan dengan Mei 26 dan penurunan terjadi pada Agustus 21 dibandingkan dengan kedua bulan yang sama pada tahun 26 dan 211. Secara keseluruhan, CPUE menunjukkan relatif sama dengan rata perbedaan CPUE sekitar,3 ton/tawur (Gambar 8). Hal ini dapat diartikan selama enam tahun tidak terjadi penurunan stok ikan atau eksploitasi tidak mempengaruhi secara nyata terhadap kelmpahan stok ikan. Namun demikian, luas konsentrasi daerah penangkapan meningkat hampir 15 kali lipat, dari 92 mil 2 pada tahun 26 menjadi 1421 mil 2 pada tahun 21. Pada tahap sekarang indeks kelimpahan masih belum membedakan antara spesies. Gambar 8. Perbandingan CPUE kapal contoh pada bulan yang sama (Mei September 26, 21 dan 211) Figure 8. The comparison of CPUE of sample 8 vessel in the same month (May to September 26, 21 and 211) Hasil tangkapan /tawur (ton) 6 Hasil penelitian sebelumnya berdasarkan atas data 4periode Mei September 26 (Nugroho & Atmaja, 28) menunjukkan adanya pergantian spesies 2 antara layang (Decapterus spp.) dengan kelompok (yellow-fin tuna, Thunus albacares) & cakalang (Katsuwonus pelamis). Kedua ikan-ikan Mei Mei Juni Juni Juni Juli Juli Juli Agus Agus Agus Sep Sep tersebut 26 adalah spesies open population memasuki B u l a n rumpon secara bergantian dan random. Pada Gambar 9 lebih menegaskan bahwa rumpon yang ditawur lebih dari satu kali menunjukkan adanya pergantian spesies dan ikan yang memasuki rumpon. Sementara perubahan hasil tangkapan secara keseluruhan (dc/ dt) menurut waktu menjelaskan perubahan hasil tangkapan tidak memiliki pola yang jelas. Perubahan hasil tangkapan yang positif menunjukkan adanya penurunan (depletion) dari stok ikan, sedangkan perubahan hasil tangkapan yang negatif menunjukkan adanya stok ikan yang memasuki rumpon (Gambar 1). Dengan demikian, hal ini dapat diartikan peningkatan hari tidak selalu meningkatkan hasil tangkapan, tetapi lebih dipengaruhi ada ikan yang memasuki rumpon secara random dan diduga adanya hubungan mangsa-pemangsa (layang-tuna). 22

26 Aktivitas Penangkapan Individu Kapal. Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer (Natsir, M & Suherman, B.A.) penurunan stok ikan atau eksploitasi tidak mempengaruhi secara nyata terhadap kelimpahan stok ikan. Namun cangkupan luas daerah penangkapan meningkat hampir 15 kali lipat, dari 92 mil 2 pada tahu 26 menjadi 1421 mil 2 pada tahun 21. PERSANTUNAN Gambar 9. Perubahan hasil tangkapan berdasarkan atas rumpon yang sama dan waktu (Keterangan: T adalah kelompok tuna (yellow-fin tuna, Thunus albacares) & cakalang (Katsuwonus pelamis); L adalah layang (Decapterus spp.) Figure 9. Change of catches based on same FADs and time (remarks: T is tuna groups (yellow-fin tuna, Thunus albacares) & cakalang (Katsuwonus pelamis); L is scads (Decapterus spp.) Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset dinamika perilaku pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya, T.A 21 di Balai Penelitian Perikanan Laut. Muara Baru. Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Atmaja S.B., M. Natsir & A. Kuswoyo. 211 Analisis Upaya Efektif dari data VMS (Vessel Monitoring System) dan Produktivitas Pukat Cincin Semi Industri di Samudera Hindia. J.Lit. Perikanan Ind. 17 (3): Bertrand S., J..M. Burgosb, F. Gerlottoa & J. Atiquipa 25. Lévy trajectories of Peruvian purse-seiners as an indicator of the spatial distribution of anchovy (Engraulis ringens) ICES J. Mar. Sci. 62(3): Gambar 1. Perubahan hasil tangkapan berdasarkan atas waktu Figure 1. Change of catches based on times KESIMPULAN Hasil tangkapan (ton) Bez, N., E T Walker, D G.J.,.Rivoirard & P. Gaspar From VMS data to Tuna distribution maps and indice of abundance. IOTC 21 T- WPTT L Gafa B.& W. Subani, Studi pengaruh rumpon 6 T T 4 terhadap T perilaku ruaya ikan cakalang T T T T T L L 2 (Katsuwonus pelamis) L T L L dan T madidihang T L T (Thunnus T T T T T L albacores) dengan metode tagging kawasan Indonesia Timur. JPPL. 73: Hari tawur Secara keseluruhan estimasi tawur data VMS yang telah divalidasi dengan aktivitas tawur kapal contoh diperoleh tingkat kesalahan deteksi (misdetection) dan penyimpangan posisi estimasi tawur dengan aktivitas tawur kurang dari 1%, sehingga memungkinkan penggunaan data VMS untuk menyimpulkan informasi tentang aktivitas kapal dan upaya penangkapan. Selain itu, penggunaan data VMS setidaknya memberi keuntungan untuk menetapkan waktu yang dihabiskan di laut dibandingkan dengan catatan observer dimana posisi kapal hanya dicatat satu titik per hari. Selama 6 tahun konsentrasi daerah penangkapan tidak mengalami perubahan, secara keseluruhan, nilai CPUE menunjukkan kecenderungan yang relatif sama, berarti selama enam tahun tidak terjadi Gafa B., G.S. Merta, H.R. Barus & E.D. Amin, Penurunan hasil tangkapan ikan tuna dan cakalang di perairan Sulawesi Utara dan faktor-faktor yang mempengaruhi. JPPL. 73: Gillett R., 27. A Short History of Industrial Fishing in the Pacific Islands. Bangkok: Asia-Pacific Fishery Commission, FAO Regional Office for Asia and the Pacific, RAP publication 27/22. Available: ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/1/ai1e/ ai1e. pdf. Access date: January 15, 21. Gerritsen H. & C. Lordan, 211. Integrating vessel monitoring systems (VMS) data with daily catch data from logbooks to explore the spatial distribution of catch and effort at high resolution. ICES Journal of Marine Science, 68:

27 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : Monintja,D.R.O., Pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI. Orasi ilmiah, IPB. 3 p. Naim A. 21. Pengawasan Sumberdaya Perikanan dalam Penanganan Illegal Fishing di Perairan Provinsi Maluku Utara. Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate). 3 (2):1-1. Nugroho D. & S.B.Atmaja, 28. Analisis Operasional Kapal Pukat Cincin di Laut Maluku: Relokasi Mandiri Kapal yang berasal dari Paparan Sunda. Makalah disampaikan pada: Seminar Nasional Kelautan IV, Dies Natalis Universitas Hang Tuah XXI. 24 April 28. Walker E., D. Gaertner, P. Gaspar & N. Bez, 21. Fshing activity of tuna purse seiners estimated from VMS data and Validated by observers data. Collect. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 65 (6):

28 Efisiensi Teknis Perikanan Rawai.. PT. Perikanan Nusantara (Nugraha, B & Hufiadi.) EFISIENSI TEKNIS PERIKANAN RAWAI TUNA DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) TECHNICAL EFFICIENCY OF TUNA LONGLINE FISHERIES IN BENOA (CASE STUDY OF PT. PERIKANAN NUSANTARA) ABSTRAK Budi Nugraha 1) dan Hufiadi 2) 1) Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali 2) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 25 Juli 212; Diterima setelah perbaikan tanggal: 13 Maret 213; Disetujui terbit tanggal: 15 Maret budinug3@yahoo.com Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Samudera Hindia telah mendorong pada peningkatan kapasitas upaya penangkapan yang menyebabkan terjadinya intensitas penangkapan yang tinggi dan inefisiensi usaha penangkapan. Kajian pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan merupakan alternatif pendekatan guna mengendalikan sumberdaya perikanan yang berkaitan dengan pembatasan kapasitas upaya penangkapan ikan. Penelitian efisiensi teknis tuna longline telah dilakukan pada tahun 211 dengan tujuan untuk mengetahui kapasitas penangkapan pada perikanan tuna longline, khususnya kapal-kapal tuna longline PT. Perikanan Nusantara yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Hasil penelitian diperoleh bahwa nilai efisiensi penangkapan tuna longline berdasarkan perhitungan single output (tangkapan tuna) dan multi output (tuna dan tangkapan sampingan) masing-masing sekitar,54 dan,64. Nilai ini menunjukkan bahwa armada tuna longline PT. Perikanan Nusantara adalah tidak efisien. KATA KUNCI : Efisiensi teknis, kapasitas penangkapan, tuna longline, Benoa, PT. Perikanan Nusantara ABSTRACT: Fisheries resource utilization in the Indian Ocean waters has pushed up the capacity of fishing effort in high level as well as inefficiencies of fishing business. Study of fisheries management based on fishing capacity is an alternative approach to control fishery resource related to the limitation of fishing effort capacity. Technical efficiency of tuna longline research has been conducted in 211 with the objective to estimate the tuna longline fishing capacity, especially tuna longline vessels of PT. Perikanan Nusantara operating in Indian Ocean waters. The results showed that the tuna longline fishing efficiency of PT. Perikanan Nusantara based on the calculation of single-output (catch of tuna) and multi-output (catch of tuna and by-catch) were.54 and.64, respectively. These means that the tuna longline vessel of PT. Perikanan Nusantara was not efficient. KEYWORDS : Technical efficiency, fishing capacity, tuna longline, Benoa, PT. Perikanan Nusantara PENDAHULUAN Perikanan rawai tuna (tuna longline) pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia sekitar tahun 1954 yang dirintis oleh Pusat Djawatan Perikanan Laut, dan untuk pertama kalinya pada tahun 1962 penangkapan ikan dengan tuna longline diusahakan secara komersil oleh BPU Perikanan yang kemudian berubah nama menjadi PN. Hasil Laut yang selanjutnya berganti menjadi PN. Perikani. Perikanan tuna longline di Indonesia khususnya di Samudera Hindia mulai berkembang sejak didirikannya perusahaan negara PT (Persero) Perikanan Samodra Besar pada tahun 1972 yang berlokasi di Benoa, Bali (Simorangkir, 2). Pelabuhan Benoa merupakan pelabuhan utama di Provinsi Bali dan menjadi salah satu basis pangkalan pendaratan ikan tuna di Indonesia selain Muara Baru (Jakarta), Pelabuhanratu (Jawa Barat) dan Cilacap (Jawa Tengah). Sebagai salah satu pelabuhan utama perikanan tuna, Pelabuhan Benoa menjadi basis pangkalan kapal-kapal penangkap ikan tuna berskala industri yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Berdasarkan data Asosiasi Tuna Longline Indonesia (212), kapal rawai tuna di Benoa yang tercatat menjadi anggota asosiasi tersebut berjumlah 693 kapal. Diduga jumlah kapal rawai tuna yang beroperasi di seluruh perairan Indonesia sekitar 1.4 unit, dimana sekitar 1.2 unit beroperasi di Samudera Hindia (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 22). Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa Komp. Pelabuhan Perikanan Tuna Benoa, Bali 25

29 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 25-3 Eksploitasi sumberdaya tuna di perairan Samudera Hindia dari tahun ke tahun cenderung meningkat sehingga terindikasi lebih tangkap (over fishing) atau mendekati titik jenuh. Selama kurun waktu lebih dari satu dasawarsa terakhir, rata-rata berat ikan tuna yang tertangkap, laju tangkap (hook rate) dan hasil tangkapan per satuan unit upaya (catch per unit effort, CPUE) cenderung menurun. Pada tahun 1995 tercatat bahwa rata-rata berat ikan tuna yang tertangkap 32 kg, laju tangkap,86 dan CPUE 28 kg/trip, menurun menjadi rata-rata berat ikan 29 kg, laju tangkap,45 dan CPUE 172 kg/trip pada tahun 25 (PT. Perikanan Samodra Besar, 26). Nilai hasil tangkapan per satuan upaya merupakan indeks kelimpahan stok ikan di suatu perairan. Nilai CPUE yang besar umumnya didapat dari usaha penangkapan yang dilakukan terhadap kelimpahan stok ikan yang tinggi pula, sebaliknya nilai CPUE yang kecil diperoleh dari kelimpahan stok yang rendah. Variabilitas CPUE menggambarkan indeks kelimpahan nisbi stok ikan di suatu perairan (Atmadja et al., 211b). Perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Samudera Hindia, telah mendorong peningkatan kapasitas upaya penangkapan. Saat ini, peningkatan permintaan ikan diduga telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan rawai tuna dari rawai tuna permukaan (surface tuna longline) ke rawai tuna laut dalam (deep tuna longline). Pengoperasian rawai tuna untuk menangkap tuna mata besar di Samudera Hindia hingga mencapai kedalaman meter (Nugraha et al., 21). Dengan semakin berkembangnya upaya penangkapan dengan menggunakan rawai tuna dan diduga telah terjadi peningkatan kapasitas berlebih. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat efisiensi penangkapan rawai tuna, khususnya kapal-kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Kajian pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan, khususnya rawai tuna di Indonesia, belum banyak dilakukan dan kajian ini merupakan alternatif pendekatan guna mengendalikan sumberdaya ikan yang berkaitan dengan pembatasan kapasitas upaya penangkapan ikan. BAHAN DAN METODE Data diperoleh melalui kegiatan penelitian di Pelabuhan Benoa dari bulan Maret sampai November 211. Data primer berupa faktor input unit penangkapan ikan yaitu tonase kapal (GT), ukuran kapal (L, B), umur kapal, jumlah pancing, hari operasi dan jumlah setting dan data faktor output yaitu jumlah hasil tangkapan ikan (kg) diperoleh dari hasil wawancara dengan pengusaha, nakhoda dan anak buah kapal serta karyawan PT. Perikanan Samodra Besar (PT. Perikanan Nusantara) sedangkan data sekunder berupa laporan pendaratan kapal-kapal rawai tuna milik PT. Perikanan Samodra Besar (PT. Perikanan Nusantara) selama tahun Penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan perikanan tuna longline dilakukan dengan pendekatan single output dan multi output. Pendekatan single output yaitu tingkat efisiensi dihitung berdasarkan hasil tangkapan tuna (target tangkapan). Sementara itu, pendekatan multi output, tingkat efisiensi dihitung berdasarkan hasil tangkapan tuna dan hasil tangkapan sampingan (HTS). Bahan kajian kapasitas penangkapan menggunakan sampel armada tuna longline sebanyak 17 trip dengan pendekatan single output dan 99 trip dengan pendekatan multi output. Analisis kapasitas penangkapan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) dengan pendekatan model the Banker, Charnes and Cooper (BCC model) (Cooper et al., 24). Model analisis DEA yang digunakan dalam analisis efisiensi bersifat variable return to scale (VRS). Data yang telah terkumpul kemudian ditabulasikan, diolah dan dianalisis dengan serangkaian nz j x, metode dan masing-masing disajikan v j = 12,,...,J, dalam bentuk tabel, gambar dan grafik. DEA adalah analisis λjn, program nmatematik = 12,,...,N, untuk mengestimasi efisiensi teknis kegiatan produksi secara simultan. Dalam analisis ini, pertama dilakukan penentuan vektor output sebagai u dan vektor inputs sebagai x. Ada m outputs, n inputs dan j unit penangkapan ikan atau pengamatan. Input dibagi menjadi fixed input (x f ) dan variable input (x v ). Kapasitas output dan nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fare et al., 1989): TE = Max q q,z,l 1... (1) dengan kendala θ 1 u jm z j u jm, J j= 1 J j= 1 z z J j j j=1 x x jn jn x jn, = λ x jn jn, (output dibandingkan DMU) n x f n xv 26

30 Efisiensi Teknis Perikanan Rawai.. PT. Perikanan Nusantara (Nugraha, B & Hufiadi.) dengan keterangan z j adalah variable intensitas untuk j th pengamatan; θ 1 nilai efisiensi teknis atau proporsi dengan mana output dapat ditingkatkan pada kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan λ* jn adalah rata-rata pemanfaatan variabel input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan input secara optimum x jn terhadap pemanfaatan inputan dari pengamatan x jn. DMU (decision making unit) adalah armada rawai tuna dengan mempertimbangkan faktor input dan output produksi penangkapan. Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output, TECU) kemudian ditentukan dengan menggandakan θ 1* dengan produksi sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas, berdasarkan pada output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan berikut: SAMODRA-46 SAMODRA-35 SAMODRA-45 S- 33 SAMODRA-47 SAMODRA-36 MAS - 2 SAMODRA-35 SAMODRA-36 SAMODRA-42 SAMODRA-43,,2,4,6,8 1, Efisiensi Gambar 1. Efisiensi antar kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara Figure 1. Efficiency among tuna longline vessels of PT. Perikanan Nusantara... (2) Nilai efisiensi teknis diperoleh melalui penghitungan dengan teknik DEA dengan bantuan software DEAP versi 2.1. Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar kapal yang dijadikan sebagai DMU (armada). Proses 4 2 penghitungan yaitu dengan menentukan nilai konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable input λ pada masing-masing DMU (armada) sehingga diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkantecu = u = tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU). HASIL DAN BAHASAN HASIL Penilaian efisiensi penangkapan dihitung berdasarkan data operasional kapal rawai tuna yang beroperasi di Samudera Hindia selama tahun 21. Angka efisiensi tiap kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara berdasarkan single output ditunjukkan pada Gambar 1 dan distribusi angka efisiensi ditunjukkan pada Gambar 2. Grafik distribusi menunjukkan bahwa dari 17 kapal, 18 kapal (17%) diantaranya memiliki nilai efisiensi kapasitas penangkapan (CU) = 1,, yang berarti kapasitas penangkapan optimal (1%), dan armada lainnya (89 kapal) tidak efisien dengan nilai efisiensi kapasitas penangkapan (CU) 1,. Rata-rata tingkat efisiensi rawai tuna,54 menunjukkan rata-rata input optimal yang digunakan adalah sekitar 54% dari rata-rata input aktual selama kapal beroperasi. Jumlah kapal (unit) <,7 1, >,7 Efisiensi Gambar 2. Distribusi 1 efisiensi kapal rawai tuna PT. q * 1 Perikanan u q* 1 Nusantara Figure 2. Efficiency distribution of tuna longline vessel of PT. Perikanan Nusantara Distribusi tingkat penggunaan input variabel rawai tuna dengan perhitungan single output dapat dilihat pada Gambar 3. Kondisi faktual penangkapan tuna dengan rawai tuna oleh PT. Perikanan Nusantara sebagian armada telah melebihi kapasitas (exces capacity) dalam penggunaan input variabel (VIU). Ratarata pemanfaatan input variabel VIU sebesar,89. Secara umum dalam pemanfaatan input variabel armada rawai tuna sekitar 57% berada pada tingkat yang optimal yang ditandai oleh sebagian besar jumlah armada yang mencapai nilai VIU = 1, dan armada yang lainnya 43% berada pada tingkat pemanfaatan input variabel tidak optimal (VIU 1). Pemanfaatan kapasitas penangkapan perikanan rawai tuna PT. Perikanan Nusantara dengan multi output dihitung berdasarkan tangkapan ikan tuna dan tangkapan sampingan. Angka efisiensi tiap kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara berdasarkan tersebut ditunjukkan pada Gambar 4. Dari perhitungan 27

31 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 25-3 secara multi output diperoleh rata-rata tingkat efisiensi rawai tuna sebesar,64. Pada Gambar 5 terlihat bahwa nilai efisiensi yang optimal ditunjukkan oleh beberapa armada dengan nilai efisiensi mencapai 1,. Secara detail hasil penghitungan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan atau tingkat efisiensi armada rawai tuna diperoleh nilai pemanfaatan kapasitas (CU) terendah adalah,63. Jumlah Kapal (unit) <,7 1, >,7 Efisiensi Umur Mata pancing HOP Setting Gambar 3. Distribusi nilai pemanfaatan variabel input rawai tuna PT. Perikanan Nusantara Figure 3. Distribution of variable input utilization value for tuna longline of PT. Perikanan Nusantara Perikanan Nusantara dalam pemanfaatan variabel input sebagian besar berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien yang ditandai oleh sebagian besar pencapaian nilai VIU = 1, (Gambar 6). Jumlah Kapal (unit) <,7 1, >,7 Efisiensi Gambar 5. Distribusi efisiensi kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara Figure 5. Efficiency distribution of tuna longline vessel of PT. Perikanan Nusantara SAMODRA-46 S- 33 MAS - 2 S- 33 SAMODRA-44 SAMODRA-47 SAMODRA-36 SAMODRA-42 SAMODRA-31 SAMODRA-35 SAMODRA-43,,2,4,6,8 1, Efisiensi Gambar 4. Efisiensi antar kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara Figure 4. Efficiency among tuna longline vessels of PT. Perikanan Nusantara Distribusi nilai pemanfaatan kapasitas (CU) dari 99 sampel kapal terdapat 24 kapal (24%) yang mempunyai nilai CU = 1, (tingkat pemanfaatan optimum) dan yang lainnya 75 kapal (78%) berada pada tingkat yang tidak optimum yang ditandai dengan perolehan nilai CU 1, (Gambar 5). Berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal dengan input aktual diperoleh tingkat pemanfaatan variabel input rata-rata VIU >,91. Berdasarkan nilai VIU tersebut secara umum armada rawai tuna PT. 8 Umur 71 7 Pancing 57 6 Setting 47 HOP Gambar 1 6. Distribusi nilai pemanfaatan variabel input (VIU) rawai tuna PT. Perikanan Nusantara Figure 6. Distribution <,7 of variable 1, input >,7 utilization Jumlah Kapal (unit) BAHASAN (VIU) value Efisiensi for tuna longline of PT. Perikanan Nusantara Nilai efisiensi kapasitas penangkapan rawai tuna berdasarkan perhitungan single output dan multi output masing-masing,54 dan,64. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara masih berada pada tingkat yang jauh dari efisien. Hal ini tentu sangat tergantung dari kebijakan dalam pengelolaan perikanan rawai tuna sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Misalnya efisiensi antar kapal tuna longline PT. Perikanan Nusantara di bawah,5 dianggap operasi kapal tersebut tidak menguntungkan. Dalam konteks ini angka efisiensi dapat dijadikan acuan untuk menentukan kebijakan pembatasan jumlah kapal. 28

32 Efisiensi Teknis Perikanan Rawai.. PT. Perikanan Nusantara (Nugraha, B & Hufiadi.) Analisis efisiensi antar kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara yang dihitung dengan pendekatan single output dan multi output masingmasing diperoleh nilai efisiensi rata-rata,54 dan,64. Hal ini menunjukkan rata-rata input optimal yang digunakan adalah masing-masing sekitar 54% dan 64% dari rata-rata input aktual selama kapal beroperasi atau armada rawai tuna tersebut hanya mampu mensupport sekitar 54% dan 64% dari sumberdayanya untuk mencapai kapasitas optimum. Dengan demikian untuk meningkatkan produksi perikanan rawai tuna agar dapat mencapai produksi yang potensial adalah dengan melakukan pengurangan kapasitas masingmasing sebesar 46% dan 36%. Hasil penelitian Atmadja et al., (211a) pada kasus pukat cincin di Laut Jawa, menjelaskan bahwa dalam merespon kelebihan kapasitas penangkapan armada purse seine besar di Laut Jawa mengakibatkan adanya perubahanperubahan radikal berupa relokasi beberapa pukat cincin ke wilayah perairan Indonesia Timur, transaksi jual beli ikan di laut dan perubahan input fisik berupa sistem pendingin (plate freezer). Berdasarkan tingkat pemanfaatan variabel input menunjukkan telah terjadi surplus penggunaan input sehingga perlu mengurangi input tersebut (Fare et al., 1994). Upaya perbaikan agar tingkat kapasitas pemanfaatan menjadi optimal dapat dilakukan dengan penambahan pada output atau pengurangan pada input (Kirkley & Squaire, 1999). Pada kondisi armada rawai tuna yang tidak efisien memungkinkan dilakukan pendekatan pengendalian input yang berlebih dan perlu mempertimbangkan optimalisasi penggunaan variabel input. Pemanfaatan variabel input rawai tuna dapat diukur berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi efisien teknis. Jika rasio VIU kurang dari satu maka telah terjadi surplus penggunaan input variabel sehingga perlu mengurangi penggunaan input tersebut (Fare et al., 1994). Berdasarkan tingkat pemanfaatan variabel input rawai tuna yang beroperasi di perairan Samudera Hindia baik dengan pendekatan single output dan multi output, dalam hal ini, umur kapal, jumlah pancing, hari operasi (HOP) dan jumlah setting merupakan input variabel yang dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas. Efisiensi rawai tuna PT. Perikanan Nusantara yang belum optimal berdasarkan single output dapat ditingkatkan dengan mengurangi input variabel hari operasi 24%, memperbaiki umur kapal 15%, mengurangi setting 22%, mengurangi bobot kapal (GT) 2%, mengurangi lebar kapal 12% dan mengurangi jumlah pancing 6%. Berdasarkan pendekatan multi output efisiensi rawai tuna dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi hari operasi sebesar 26%, mengurangi bobot kapal (GT) 21%, memperbaiki umur kapal 2%, mengurangi setting 18%, mengurangi lebar kapal 9% dan mengurangi jumlah pancing 3%. Mengurangi ukuran panjang atau lebar kapal secara langsung akan berimplikasi terhadap berkurangnya bobot kapal (GT). Ukuran kapal yang besar tidak serta merta mempunyai efisiensi yang tinggi. Secara teoritis menunjukkan bahwa besarnya ukuran kapal akan berimplikasi pada semakin jauhnya jangkauan daerah penangkapan dan kestabilan kapal relatif tinggi. Namun demikian, pengaturan atau pengurangan fixed input pada kenyataannya sangat kompleks dan sulit diterapkan. Oleh karena itu, untuk membangun atau membuat kapal rawai tuna saat ini atau dimasa yang akan datang harus memperhatikan hasil perhitungan pengaturan atau pengurangan fixed input yang telah dilakukan. Memperbaiki atau meningkatkan umur kapal (peremajaan kapal) juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi kapal rawai tuna. Secara teknis, kapal-kapal yang berusia muda atau baru secara ekonomi akan mempunyai tingkat efisien yang lebih tinggi dibanding kapal yang sudah tua. Kapal-kapal yang sudah tidak efisien atau memiliki efisiensi yang rendah dapat dipertimbangkan untuk tidak dioperasikan lagi, karena dianggap sudah tidak menguntungkan. Whitmars, (1998) dalam Muldoon, (29) menyebutkan bahwa teknologi adalah penyebab utama terhadap perubahan excess fishing capacity yang berdampak pada perikanan skala tradisional maupun industri. KESIMPULAN Kapasitas unit penangkapan rawai tuna telah berlebih (excess capacity), bahkan pada beberapa trip penangkapan, armada rawai tuna PT. Perikanan Nusantara telah berada pada tingkat yang jauh dari efisien. Untuk mencapai kapasitas penangkapan yang optimal diperlukan perbaikan terutama dengan cara mengurangi penggunaan input variabel. Berdasarkan single output dilakukan dengan mengurangi hari operasi (HOP) 24%, memperbaiki umur kapal 15%, jumlah setting 22%, dan mengurangi jumlah pancing 6%, sedangkan berdasarkan multi output dilakukan dengan mengurangi hari operasi sebesar 26%, meningkatkan umur kapal 2%, jumlah setting 18%, dan pengurangan jumlah pancing 3%. SARAN Manajemen penangkapan dapat dilakukan melalui pengaturan atau pengurangan input yang berlebih. Produksi yang potensial dapat dicapai dengan 29

33 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : 25-3 melakukan pengurangan kapasitas masing-masing sebesar 46% dan 36%. PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil Riset Perikanan Tangkap di Perairan Samudera Hindia sub kegiatan Riset Perikanan Tuna Skala Industri yang Berbasis di Perairan Samudera Hindia T.A. 211 di Balai Penelitian Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Tuna Longline Indonesia Daftar Kapal Anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia Berdasarkan Ukuran Kapal (GT) dan Jenis Kapal (Alat Tangkap). Benoa-Bali. 2 p. Atmadja, S.B., D. Nugroho & M. Natsir. 211a. Respons Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Armada Pukat Cincin Semi Industri di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 17 (2) Atmadja, S.B., M. Natsir & A. Kuswoyo. 211b. Analisis Upaya Efektif dari Data Vessel Monitoring System dan Produktivitas Pukat Cincin Semi Industri di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 17 (3) Fare, R.S., Grosskopf S. & Kokkelenberg E Measuring Plant Capacity Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. Int. Econ. Rev. 3. p Fare, R.S., Grosskopf S. & Lovel C.A.K Production Frontiers. Cambridge University Press. United Kingdom. 296 p. Kirkley, J.E. & Squires D.E Measuring Capacity and Capacity Utilization in Fisheries. Managing Fishing Capacity. FAO Fisheries Technical Paper Rome. 386: Muldoon, G.J. 29. Innovation and Capacity in Fisheries : Value-adding and the Emergence of the Live Reef Fish Trade as Part of the Great Barrier Reef Reef-Line Fishery. Phd thesis. James Cook University diacu dalam diunduh pada tanggal 1 Desember 212. Nugraha, B., R.I Wahju, M.F.A. Sondita & Zulkarnain. 21. Estimasi Kedalaman Mata Pancing Tuna Longline di Samudera Hindia: Metode Yoshihara dan Minilog. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (3) PT. Perikanan Samodra Besar. 26. Data Hasil Tangkapan Benoa-Bali. 12 p. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 22. Analisis Pengelolaan Perikanan Tuna di Samudera Hindia dan Perikanan Perairan Umum di Sumatera Barat. Laporan Teknis Tahun Anggaran 22. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Simorangkir, S. 2. Perikanan Indonesia. Bali Post. Denpasar-Bali. 294 p. 3

34 Perkembangan Perikanan Cumi-cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau Jawa (Atmadja, S.B.) PERKEMBANGAN PERIKANAN CUMI CUMI DI SENTRA PENDARATAN IKAN UTARA PULAU JAWA THE DEVELOPMENT OF SQUID FISHERIES IN THE CENTER OF LANDING FISH OF NORTH JAVA ISLAND Suherman Banon Atmaja Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 3 Agustus 212; Diterima setelah perbaikan tanggal: 2 Maret 213; Disetujui terbit tanggal: 21 Maret sba.bppl@gmail.com ABSTRAK Studi pendahuluan tentang perikanan cumi-cumi yang berasal dari kapal purse seine telah dilakukan di sentra pendaratan ikan utara Pulau Jawa. Setelah deplesi stok ikan pelagis di Laut Jawa, pada perikanan purse seine semi industri peralihan spesies target dan diversifikasi usaha penangkapan merupakan strategi dan respon adaptif pengusaha (pemilik kapal) dan nelayan terhadap perubahan dalam kelimpahan sumber daya, kondisi lingkungan dan hambatan peraturan. Berdasarkan atas data kapal keluar masuk di PPS Nizam Zachman Jakarta dan data sistem pemantauan kapal (VMS, vessel monitoring system) menunjukkan daerah penangkapan menyebar ke 5 wilayah pengelolaan perikanan, yaitu WPP 712 Laut Jawa, WPP 572 Samudera Hindia, WPP 711 Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, WPP 714 Selat Makassar dan Laut Flores, WPP 718 Laut Aru dan Laut Arafuru. Rata rata hari operasi di Laut Jawa dan Selat Karimata berkisar 4-11 hari, sedangkan rata rata hari operasi di Laut Aru dan Laut Arafuru berkisar hari. Perubahan kapal purse seine menjadi kapal cumi-cumi menunjukkan sinyal yang nyata mengenai terjadinya penurunan biomassa ikan-ikan tertentu dan kenaikan kelimpahan ikan lainnya. KATA KUNCI : Perkembangan, perikanan cumi-cumi, sentra pendaratan ikan, Utara P. Jawa ABSTRACT This paper presents a preliminary study of the squid fishery originally come from purse seiners in center of fish landing at Northern of Java Island. After depletion of pelagic fish stocks in the Java Sea, shift target species and fishing effort diversification of semi-industrial purse seine fishery is a strategy and an adaptive response of enterpreneur (owner s) and fishermen to changes in the abundance of the resources, environmental conditions and regulatory barriers. Based on data entry exit vessel in landing sites of Nizam Zachman Jakarta and VMS data showed that the fishing ground spreaded to five fisheries management areas, i.e., FMA 712 Java Sea, FMA 572 Indian Ocean, FMA 711 Karimata Strait and South China Sea, FMA 714 Macassar Strait and Flores Sea, FMA 718 Aru Sea and Arafuru Sea. The average day at sea in Java Sea and Karimata Strait ranges from 4 to 11 days, while the average day at sea in Aru Sea and Arafuru Sea ranges from 126 to 253 days. The change of purse seiners to be squid vessell indicated a significant signal in decreasing of certain fish biomass and increasing in the abundance of other fish. KEYWORDS : Development, Squid Fisheries, Center Landing Fish, Northern Java Island. PENDAHULUAN Cumi-cumi secara taxonomi termasuk ke dalam Chepalopoda, adalah salah satu sumber daya non ikan yang cukup penting dalam perikanan Indonesia. Cumi-cumi tertangkap hampir di seluruh perairan Indonesia dan biasanya tertangkap bersama-sama species ikan pelagis lainnya. Cumi-cumi yang tertangkap biasanya terdiri dari cumi-cumi (squid), sotong (cuttle fish) dan gurita (octopus) (Badrudin & Mubarak 1998; Djamali et al., 1998). Cumi-cumi adalah sumber makanan utama bagi ikan carnivorus Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara besar, sebagai mangsa utama bagi sedikitnya 19 spesies ikan, 13 spesies burung laut dan 6 mamalia laut (Zeidberg et al., 26). Selama ini, perikanan cumi-cumi hanya dikenal di Selat Alas, cumi-cumi ditangkap dengan jala-oras (sejenis payang dengan lampu sebagai alat bantu pengumpul), 9% tangkapan Cephalopoda berupa cumi-cumi yang terdiri dari 5 spesies (cumi-cumi jarum, the arrow squid Uroteuthis bartschi, cumi-cumi hiara, the common squid Loligo edulis, the Siboga squid Loligo sibogae & the hooked squid Abralia 31

35 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : spaercki) (Ghofar, 25). Sementara wilayah lain hanya merupakan hasil sampingan dari alat tangkap ikan demersal (arad, cantrang dan pukat harimau), alat tangkap ikan pelagis (bagan, payang dan pukat cincin). Hasil survei trawl di Laut Jawa menunjukkan cumi-cumi sekitar 2,4% dari rata-rata laju tangkap sebesar 195,7 kg (Martosubroto, 1982). Hasil tangkapan jaring arad yang beroperasi di sekitar perairan Pekalongan menunjukkan cumi-cumi sekitar 5% dari rata-rata 45 kg/trip, sedangkan hasil tangkapan cantrang berupa cumi-cumi sekitar 2,3% dari rata-rata sebesar 15 kg/trip. Hasil tangkapan cantrang di Banyutowo berupa cumi-cumi sekitar 2,8% dari rata-rata sebesar 388 kg/trip. Hasil tangkapan purse seine mini di Pekalongan selama periode menghasilkan cumi-cumi sekitar 2,4% dari ratarata hasil tangkapan sebesar 1.79 ton/trip. Banyak faktor yang mendorong nelayan masuk ke usaha perikanan, antara lain tersedianya modal, peralatan penangkapan ikan, pengetahuan tentang perikanan, lembaga yang mengatur, dan kondisi pasar. Perikanan cumi-cumi telah menarik minat di seluruh dunia pada dua dekade terakhir. Merosotnya hasil tangkapan pada banyak perikanan tradisional telah meningkatkan pemanfaatan potensi spesies non ikan, terutama invertebrata seperti Cephalopoda (Rodhouse, 25). Adanya pergantian kuantitas kelimpahan stok ikan utama akibat eksploitasi yang intensif, kerusakan struktur habitat (macroalgae, sponges, soft-coral sebagai tempat perlindungan untuk ikan-ikan muda) oleh pukat harimau, menyebabkan munculnya cumi-cumi (Sainsbury et al., 1993). Di Indonesia, perkembangan perikanan cumi-cumi secara drastis tidak terlepas dari krisis perikanan yang terjadi pada beberapa perikanan, seperti perikanan purse seine, perikanan rawai dasar di Laut Jawa dan perikanan tuna. Dalam konteks perikanan purse seine semi industri di Laut Jawa untuk mengamankan investasi agar tidak lenyap nilainya, kejadian penting untuk menghindari keluar dari usaha perikanan adalah mengalihkan target spesies dan alat tangkap. Beberapa kapal purse seine telah melakukan diversifikasi usaha menjadi kapal cumi-cumi, sebagai strategi rotasi eksploitasi menjadi pilihan regulasi perikanan tangkap. Selama ini, kajian pada perikanan cumi-cumi masih sangat terbatas dan kurang menjadi perhatian. Kendati perikanan cumi-cumi tersebut telah memainkan peranan penting dalam substitusi alat tangkap dan berkembang serta beroperasi antar wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Tulisan ini merupakan studi pendahuluan tentang perikanan cumi-cumi yang berasal dari kapal purse seine dengan pembahasan pada upaya penangkapan dan daerah penangkapan perikanan cumi-cumi dari data VMS. BAHAN DAN METODE Data yang dikumpulkan berasal dari kegiatan penangkapan melalui enumerasi, nakhoda kapal sebagai observer. Sebanyak 3 trip terdiri dari 1 trip dari Jakarta dan 2 trip dari Cirebon, sedangkan data yang dicatat berupa aktivitas tawur dan posisi tawur, serta hasil tangkapan. Data keluar masuk kapal dari PPS Nizam Zachman Jakarta untuk memetakan secara umum dari penangkapan selama 4 Januari Juli 28. Sementara rekaman data sistem pemantauan kapal (VMS, vessel monitoring system) yang mendekati waktu sebenarnya berupa posisi, kecepatan dan arah haluan kapal. Data tersebut digunakan untuk menentukan jalur lintasan kapal, mengidentifikasi trip dan estimasi posisi tawur. Estimasi tawur berdasarkan atas catatan dari nakhoda kapal, kapal cumi-cumi melakukan aktivitas tawur sebanyak 5 kali dalam semalam, yaitu jam 21, 23, atau 1, 2 atau 2:3 dan 3 atau 4:3 WIB. Data VMS dari dua kapal cumi-cumi yang beroperasi di Laut Jawa pada periode Desember 29 Mei 211 dan dua kapal lagi beroperasi di laut Aru dan Laut Arafuru pada periode Desember 28 April 21. Data selanjutnya diolah dengan analisis kualitatif yang disajikan dalam bentuk analisis deskriptif, berupa grafik berdasarkan atas data enumerasi dan data VMS untuk jalur lintasan kapal dan estimasi trip dan posisi tawur. HASIL DAN BAHASAN HASIL Perkembangan Perikanan cumi-cumi Sejak tahun 22 perikanan cumi-cumi mulai berkembang di beberapa sentra pendaratan ikan, seperti Indramayu, Juwana, Jakarta, Pontianak dan Benoa. Perikanan ini menggunakan alat tangkap jaring cumi (bouke ami dan cast net), dengan alat bantu cahaya (fishing light attractor) sebagai pengumpul cumi-cumi. Umumnya kapal dilengkapi jenis lampu fluoracent dengan daya sampai dengan 2 Kw. Daya lampu yang digunakan berkisar mulai dari 19. watt sampai 5. watt. Sumber tenaga lampu menggunakan dinamo yang mampu mensuplai daya mulai dari 25. watt sampai dengan 8. watt. 32

36 Perkembangan Perikanan Cumi-cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau Jawa (Atmadja, S.B.) Ukuran kapal kapal cumi-cumi sangat bervariasi, di Juwana sebagian besar peralihan dari kapal rawai dasar umumnya berukuran <3 GT, ukuran sama juga dijumpai di Muara Angke, umumnya menggunakan mesin penggerak dengan kekuatan mulai 12 PK (4 8 silinder). Sementara kapal cumicumi di Muara Baru berukuran GT, karena sebagian besar berasal dari kapal purse seine dan tuna. Pada tahun 28 tercatat sedikitnya ada 21 kapal purse seine yang berasal dari Tegal, Pekalongan dan Juwana telah diubah menjadi kapal cumi-cumi (Atmaja, 29). Dari tiga lokasi sentra perikanan, sebagian besar kapal cumi-cumi berada di Jakarta (Gambar 1). Jumlah kapal GT <3 GT >3 Jakarta Juwana Cirebon L o k a s i Gambar 1. Jumlah kapal cumi-cumi menurut lokasi tahun 21 Figure 1. The numbers of squid vessel by location in 21 Distribusi Spasial Upaya Penangkapan Berdasarkan atas data kapal keluar masuk di PPS Nizam Zachman Jakarta memperlihatkan perkembangan daerah penangkapan kapal cumi-cumi telah menyebar antar wilayah pengelolaan perikanan, yaitu WPP 712 Laut Jawa, WPP 572 Samudera Hindia, WPP 711 Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, WPP 714 Selat Makasar dan Laut Flores, WPP 718 Laut Aru dan Laut Arafuru (Gambar 2). Sementara berdasarkan atas hasil enumerasi memperlihatkan kapal cumi-cumi berasal dari Cirebon (GT<3), umumnya beroperasi di Laut Jawa dan sekitar Selat Karimata (Gambar 3), dengan rata rata hari operasi berkisar hari. Gambar 2. Jumlah trip kapal cumi-cumi menurut daerah penangkapan di PPS Nizam Zachman Jakarta selama 4 Januari Juli 28 (Atmaja, 29) Figure 2. The numbers trip of squid vessel by fishing ground in landing place of Nizam Zachman Jakarta during 4 January July 28 (Atmaja, 29) 33

37 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 213 : Gambar 3. Daerah penangkapan kapal cumi-cumi contoh (2 trip) di PPN Kejawanan Cirebon (Keterangan: merah = trip 1, biru = trip 2) Figure 3. Fishing ground of sample vessel of squid (2 trip) in Landing site of Kejawanan Cirebon (Remarks: red = trip 1, blue = trip 2) Daerah Penangkapan Versi Data VMS Berdasarkan atas rekaman data sistem pemantauan kapal (VMS) megambarkan lebih rinci daerah penangkapan, jalur lintasan kapal (vessel track) setiap trip dan aktivitas tawur. Kajian ini difokuskan terutama terhadap kapal cumi-cumi yang berasal dari kapal purse seine, sebagai bagian dari strategi rotasi eksploitasi dan keputusan interaktif jangka pendek nelayan untuk melakukan alokasi penangkapan. Daerah penangkapan telah menyebar ke WPP 712 (Laut Jawa), WPP 711 (Selat Karimata dan Laut Cina Selatan), WPP 718 (Laut Aru dan Laut Arafuru), terutama di sekitar perairan Pulau Kobroor, P. Trangan dan Merauke (Gambar 4). Sementara WPP 714 Selat Makasar dan Laut Flores tidak dapat dipetakan karena keterbatasan rekaman data VMS yang dianalisis. Dari dua kapal memperjelas lebih rinci aktivitas penangkapan, seperti jalur lintasan dan estimasi tawur. Kapal pertama, dari 8 trip memperlihatkan bahwa aktivitas penangkapan terkonsentrasi di Selat Karimata dan bagian barat Selatan Kalimatan Selatan (Gambar 5), variasi durasi per trip berkisar 42 hingga 57 hari (Tabel 1). Kapal kedua menunjukkan konsentrasi aktivitas penangkapan berada di Laut Jawa, terutama bagian barat Selatan Kalimatan (Gambar 6), variasi durasi per trip berkisar 4 hingga 58 hari (Tabel 2). Gambar 4. Penyebaran aktivitas penangkapan kapal cumi-cumi berasal dari purse seine Figure 4. Distribution of fishing activities of the squid vessels derived from purse seiners Tabel 1. Waktu aktivitas penangkapan dan jumlah hari laut Table 1. Fishing activities and day at sea Tabel 2. Table 2. Waktu aktivitas penangkapan dan jumlah hari laut Fishing activities and day at sea Trip Waktu Durasi di Laut 1 18 Mar -15 Mei Mei - 15 Jul Agus - 13 Okt Nop - 19 Des Jan - 26 Feb

Karakteristik Teknis Alat Tangkap Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.)

Karakteristik Teknis Alat Tangkap Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.) Karakteristik Teknis Alat Tangkap Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.) KARAKTERISTIK TEKNIS ALAT TANGKAP PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TELUK APAR, KABUPATEN PASER - KALIMANTAN TIMUR

Lebih terperinci

Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta 2)

Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta 2) Distribusi Ukuran Tuna Hasil di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.) DISTRIBUSI UKURAN TUNA HASIL TANGKAPAN PANCING LONGLINE DAN DAERAH PENANGKAPANNYA DI PERAIRAN LAUT BANDA SIZE DISTRIBUTION

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA SETTING DAN JUMLAH PANCING TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAWAI TUNA DI LAUT BANDA

PENGARUH LAMA SETTING DAN JUMLAH PANCING TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAWAI TUNA DI LAUT BANDA Pengaruh Lama Setting dan Jumlah... Rawai Tuna di Laut Banda (Triharyuni, S., et al.) PENGARUH LAMA SETTING DAN JUMLAH PANCING TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAWAI TUNA DI LAUT BANDA INFLUENCE OF SETTING TIME

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA

PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA Pengaruh Lampu terhadap Hasil Tangkapan... Pemalang dan Sekitarnya (Nurdin, E.) PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA Erfind Nurdin Peneliti

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA

TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA Agus Salim Teknisi Litkayasa pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 29 Mei 2008; Diterima

Lebih terperinci

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR ABSTRAK PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR Erfind Nurdin Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregristrasi I tanggal: 18 September 2007;

Lebih terperinci

HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN (BY CATCH) TUNA LONG LINE DI PERAIRAN LAUT BANDA

HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN (BY CATCH) TUNA LONG LINE DI PERAIRAN LAUT BANDA HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN (BY CATCH) TUNA LONG LINE DI PERAIRAN LAUT BANDA *) Budi Nugraha *) dan Karsono Wagiyo *) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta ABSTRAK Tuna long line merupakan

Lebih terperinci

Alat bantu Gill net Pengertian Bagian fungsi Pengoperasian

Alat bantu Gill net Pengertian Bagian fungsi Pengoperasian Hand line: Pancing ulur merupakan suatu alat penangkap ikan yang terdiri dari seutas tali dengan mata pancing berbentuk seperti jangkar. Pada mata pancing diikatkan umpan. Berdasarkan klasifikasi DKP tahun

Lebih terperinci

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA) Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/btl e-mail:btl.puslitbangkan@gmail.com BULETINTEKNIKLITKAYASA Volume 15 Nomor 2 Desember 2017 e-issn: 2541-2450 BEBERAPA JENIS PANCING

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA DISTRIBUTION OF THE HOOK RATE OF TUNA LONGLINE IN THE INDIAN OCEAN

SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA DISTRIBUTION OF THE HOOK RATE OF TUNA LONGLINE IN THE INDIAN OCEAN Sebaran Laju Pancing Rawai Tuna di Samudera Hindia (Bahtiar A, et al) ABSTRAK SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA DISTRIBUTION OF THE HOOK RATE OF TUNA LONGLINE IN THE INDIAN OCEAN Andi

Lebih terperinci

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN Enjah Rahmat ) ) Teknisi Litkayasa pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregristasi

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO Teknik Penangkapan Ikan Pelagis Besar... di Kwandang, Kabupaten Gorontalo (Rahmat, E.) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

Lebih terperinci

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA PENENTUAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA DETERMINATION OF FISHING CATCHING SEASON (Decapterus Sp.) IN EAST WATERS OF SOUTHEAST SULAWESI Eddy Hamka 1),

Lebih terperinci

PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP PANCING TONDA DI LAUT BANDA YANG BERBASIS DI KENDARI

PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP PANCING TONDA DI LAUT BANDA YANG BERBASIS DI KENDARI Pengoperasian Alat Tangkap Pancing Toda di Laut Banda yang Berbasis di Kendari (Rahmat, E & H. Illhamdi) PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP PANCING TONDA DI LAUT BANDA YANG BERBASIS DI KENDARI Enjah Rahmat dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel ikan tuna mata besar dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Oktober 2008 di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa

Lebih terperinci

Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis L.) di Perairan Sangihe Sulawesi Utara

Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis L.) di Perairan Sangihe Sulawesi Utara Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis L.) di Perairan Sangihe Sulawesi tara 1 Marline S. Paendong, 2 John Socrates Kekenusa, 3 Winsy Ch. D. Weku 1 Jurusan Matematika, FMIPA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Kotamadya Medan merupakan salah satu daerah penghasil ikan di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan penghasil ikan yang produktif di daerah ini ialah Kecamatan Medan Belawan. Kecamatan

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan SAMBUTAN Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayahnya serta kerja keras penyusun telah berhasil menyusun Materi Penyuluhan yang akan digunakan bagi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYANG (Decapterus russelli) DAN IKAN BANYAR (Rastrelliger kanagurta) YANG DIDARATKAN DI REMBANG, JAWA TENGAH

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYANG (Decapterus russelli) DAN IKAN BANYAR (Rastrelliger kanagurta) YANG DIDARATKAN DI REMBANG, JAWA TENGAH ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYANG (Decapterus russelli) DAN IKAN BANYAR (Rastrelliger kanagurta) YANG DIDARATKAN DI REMBANG, JAWA TENGAH ABSTRAK Wiwiet An Pralampita dan Umi Chodriyah Peneliti pada

Lebih terperinci

Laju tangkap dan musim penangkapan madidihang (Thunnus albacares) dengan tuna hand line yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung

Laju tangkap dan musim penangkapan madidihang (Thunnus albacares) dengan tuna hand line yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(4): 147-154, Desember 2016 ISSN 2337-4306 Laju tangkap dan musim penangkapan madidihang (Thunnus albacares) dengan tuna hand line yang didaratkan di Pelabuhan

Lebih terperinci

Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon

Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(Edisi Khusus): 1-5, Januari 2015 ISSN 2337-4306 Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon Distribution of caught trevally

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

PERIKANAN PANCING ULUR TUNA DI KEDONGANAN, BALI

PERIKANAN PANCING ULUR TUNA DI KEDONGANAN, BALI Perikanan Pancing Ulur Tuna di Kedonganan, Bali (Sulistyaningsih. R. K., et al.) PERIKANAN PANCING ULUR TUNA DI KEDONGANAN, BALI Ririk Kartika Sulistyaningsih, Abram Barata, Kiroan Siregar Peneliti pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR Pengaruh Penggunaan Mata Pancing.. terhadap Hasil Tangkapan Layur (Anggawangsa, R.F., et al.) PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCNG GANDA PADA RAWA TEGAK TERHADAP HASL TANGKAPAN LAYUR ABSTRAK Regi Fiji Anggawangsa

Lebih terperinci

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

Gambar 6 Peta lokasi penelitian. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dimulai dengan penyusunan proposal dan penelusuran literatur mengenai objek penelitian cantrang di Pulau Jawa dari

Lebih terperinci

Budi Nugraha 1) dan Hufiadi 2) 1) Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali 2)

Budi Nugraha 1) dan Hufiadi 2) 1) Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali 2) Efisiensi Teknis Perikanan Rawai.. PT. Perikanan Nusantara (Nugraha, B & Hufiadi.) EFISIENSI TEKNIS PERIKANAN RAWAI TUNA DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) TECHNICAL EFFICIENCY OF TUNA LONGLINE

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN UMPAN DAN WAKTU SETTING RAWAI TUNA TERHADAP HASIL TANGKAPAN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

PENGARUH PERBEDAAN UMPAN DAN WAKTU SETTING RAWAI TUNA TERHADAP HASIL TANGKAPAN TUNA DI SAMUDERA HINDIA Pengaruh Perbedaan Umpan dan Waktu... Tangkapan Tuna di Samudera Hindia. (Bram. A,. et,. al) ABSTRAK PENGARUH PERBEDAAN UMPAN DAN WAKTU SETTING RAWAI TUNA TERHADAP HASIL TANGKAPAN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

Lebih terperinci

JENIS DAN DISTRIBUSI UKURAN IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (BY CATCH) RAWAI TUNA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN BENOA BALI

JENIS DAN DISTRIBUSI UKURAN IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (BY CATCH) RAWAI TUNA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN BENOA BALI DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman 453-460 JENIS DAN DISTRIBUSI UKURAN IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (BY CATCH) RAWAI TUNA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN BENOA BALI Type

Lebih terperinci

KAPAL IKAN PURSE SEINE

KAPAL IKAN PURSE SEINE KAPAL IKAN PURSE SEINE Contoh Kapal Purse Seine, Mini Purse Seine, Pengoperasian alat tangkap. DESAIN KAPAL PURSE SEINE Spesifikasi kapal ikan yang perlu di perhatikan : 1. Spesifikasi teknis : khusus

Lebih terperinci

BEBERAPA JENIS IKAN BAWAL (Angel fish, BRAMIDAE) YANG TERTANGKAP DENGAN RAWAI TUNA (TUNA LONG LINE) DI SAMUDERA HINDIA DAN ASPEK PENANGKAPANNYA

BEBERAPA JENIS IKAN BAWAL (Angel fish, BRAMIDAE) YANG TERTANGKAP DENGAN RAWAI TUNA (TUNA LONG LINE) DI SAMUDERA HINDIA DAN ASPEK PENANGKAPANNYA Beberapa Jenis Bawal... di Samudera Hindia dan Aspek Penangkapan (Barata, A., Prisantoso, B.I.) BEBERAPA JENIS IKAN BAWAL (Angel fish, BRAMIDAE) YANG TERTANGKAP DENGAN RAWAI TUNA (TUNA LONG LINE) DI SAMUDERA

Lebih terperinci

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar 21 3METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada tanggal 15 September 11 Desember 2010 ini bertempat di TPI Palabuhanratu. Sukabumi Jawa Barat. Kegiatan penelitian meliputi eksperimen langsung

Lebih terperinci

PERIKANAN TUNA YANG BERBASIS DI KENDARI, SULAWESI TENGGARA

PERIKANAN TUNA YANG BERBASIS DI KENDARI, SULAWESI TENGGARA PERIKANAN TUNA YANG BERBASIS DI KENDARI, SULAWESI TENGGARA ABSTRAK Agustinus Anung Widodo 1) dan Budi Nugraha 2) 1) Peneliti pada Pusat Riset Perikanan Tangkap, AncolJakarta 2) Peneliti pada Balai Riset

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Teknik Unit penangkapan pancing rumpon merupakan unit penangkapan ikan yang sedang berkembang pesat di PPN Palabuhanratu. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan

5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan 5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan Spesifikasi ketiga buah kapal purse seine mini yang digunakan dalam penelitian ini hampir sama antara satu dengan yang lainnya. Ukuran kapal tersebut dapat dikatakan

Lebih terperinci

Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali 2)

Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali 2) Teknis Perikanan Rawai.. PT. Perikanan Nusantara (Nugraha, B & Hufiadi.) EFISIENSI TEKNIS PERIKANAN RAWAI TUNA DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) TECHNICAL EFFICIENCY OF TUNA LONGLINE FISHERIES

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai September 2010. Pengambilan data lapangan dilakukan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, sejak 21 Juli

Lebih terperinci

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU Akmaluddin 1, Najamuddin 2 dan Musbir 3 1 Universitas Muhammdiyah Makassar 2,3 Universitas Hasanuddin e-mail : akmalsaleh01@gmail.com

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TUNA DENGAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR DI LAUT BANDA OLEH NELAYAN AMBON (PROVINSI MALUKU)

TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TUNA DENGAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR DI LAUT BANDA OLEH NELAYAN AMBON (PROVINSI MALUKU) Pengamatan Kemunculan Hiu Paus... Perairan Teluk Tomini, Provinsi Gorontalo (Nugraha Y., dan A. Rudi) Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/btl e-mail:btl.puslitbangkan@gmail.com

Lebih terperinci

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa 2) Politeknik

Lebih terperinci

Tabel 1 Contoh spesifikasi kapal purse seine Pekalongan No. Spesifikasi Dimensi

Tabel 1 Contoh spesifikasi kapal purse seine Pekalongan No. Spesifikasi Dimensi 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Perikanan purse seine Pekalongan 4.1.1.1 Kapal purse seine Pekalongan Secara umum armada penangkapan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan adalah

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

KONSTRUKSI DAN PRODUKTIVITAS RUMPON PORTABLE DI PERAIRAN PALABUHANRATU, JAWA BARAT

KONSTRUKSI DAN PRODUKTIVITAS RUMPON PORTABLE DI PERAIRAN PALABUHANRATU, JAWA BARAT Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 5 No. 1 November2014: 117-129 ISSN 2087-4871 KONSTRUKSI DAN PRODUKTIVITAS RUMPON PORTABLE DI PERAIRAN PALABUHANRATU, JAWA BARAT CONSTRUCTION AND PRODUCTIVITY

Lebih terperinci

Teknis Perikanan Rawai.. PT. Perikanan Nusantara (Nugraha, B & Hufiadi.) EFISIENSI TEKNIS PERIKANAN RAWAI TUNA DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) TECHNICAL EFFICIENCY OF TUNA LONGLINE FISHERIES

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi Secara geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak antara 127 O 17 BT - 129 O 08 BT dan antara 1 O 57 LU - 3 O 00 LS. Kabupaten

Lebih terperinci

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN DRAFT Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/14 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Keywords: Konstruksi Alat Tangkap, Alat Tangkap Pukat Cincin (Purse seine), Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga

Keywords: Konstruksi Alat Tangkap, Alat Tangkap Pukat Cincin (Purse seine), Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga STUDI KONSTRUKSI ALAT TANGKAP PUKAT CINCIN (PURSE SEINE) DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) SIBOLGA KELURAHAN PONDOK BATU KOTA SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA Candra Silitonga 1*, Isnaniah 2, Irwandy

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penangkapan Ikan Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha manusia untuk menghasilkan ikan dan organisme lainnya di perairan, keberhasilan usaha penangkapan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6 0.57`- 7 0.25`

Lebih terperinci

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik :

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik : PENANGKAPAN DAN DISTRIBUSI HIU (APPENDIX II CITES) OLEH NELAYAN RAWAI DI PERAIRAN SELATAN TIMOR CATCH AND DISTRIBUTION OF SHARKS (APPENDIX II CITES) BY LONGLINE FISHERMEN IN SOUTH WATER OF TIMOR Oleh :

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

PENDUGAAN MUSIM IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR LIKUPANG, SULAWESI UTARA.

PENDUGAAN MUSIM IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR LIKUPANG, SULAWESI UTARA. @2003 Alfret Luasunaung Posted 10 December 2003 Makalah falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN ALAT CANTRANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN ALAT CANTRANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/btl e-mail:btl.puslitbangkan@gmail.com BULETINTEKNIKLITKAYASA Volume 14 Nomor 1 Juni 2016 p-issn: 1693-7961 e-issn: 2541-2450 PENGAMATAN

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Alat ini umumnya digunakan untuk menangkap ikan menhaden (Brevoortia

TINJAUAN PUSTAKA. Alat ini umumnya digunakan untuk menangkap ikan menhaden (Brevoortia TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Purse Seine Purse seine pertama kali dipatenkan atas nama Barent Velder dari Bergent, Norwegia pada tanggal 12 Maret 1858. Tahun 1860 alat tangkap ini diperkenalkan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN ASPEK BIOLOGI CAKALANG (Katsuwonus pelamis) HASIL TANGKAPAN HUHATE di BITUNG

DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN ASPEK BIOLOGI CAKALANG (Katsuwonus pelamis) HASIL TANGKAPAN HUHATE di BITUNG DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN ASPEK BIOLOGI CAKALANG (Katsuwonus pelamis) HASIL TANGKAPAN HUHATE di BITUNG 1 Agus Setiyawan, 2 A. Anung Widodo dan 3 Candra Nainggolan 12 Pusat Penelitian dan Pengelolaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

Sebaran Ikan Tuna Berdasarkan Suhu dan Kedalaman di Samudera Hindia

Sebaran Ikan Tuna Berdasarkan Suhu dan Kedalaman di Samudera Hindia ISSN 853-7291 Sebaran Ikan Tuna Berdasarkan Suhu dan Kedalaman di Samudera Hindia Abram Barata*, Dian Novianto dan Andi Bahtiar Loka Penelitian Perikanan Tuna. Jalan Raya Pelabuhan Benoa, Denpasar Bali

Lebih terperinci

PERIKANAN PANCING TONDA DI PERAIRAN PELABUHAN RATU *)

PERIKANAN PANCING TONDA DI PERAIRAN PELABUHAN RATU *) Perikanan Pancing Tonda di Perairan Pelabuhan Ratu (Rahmat, E. & A. Patadjangi) PERIKANAN PANCING TONDA DI PERAIRAN PELABUHAN RATU *) Enjah Rahmat 1) dan Asri Patadjangi 1) 1) Teknisi Litkayasa pada Balai

Lebih terperinci

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN: GAYA EXTRA BOUYANCY DAN BUKAAN MATA JARING SEBAGAI INDIKATOR EFEKTIFITAS DAN SELEKTIFITAS ALAT TANGKAP PURSE SEINE DI PERAIRAN SAMPANG MADURA Guntur 1, Fuad 1, Abdul Rahem Faqih 1 1 Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20. 1 Edisi Maret 2012 Hal. 89-102 SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI Oleh: Himelda 1*, Eko Sri Wiyono

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 30 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 HASIL 5.1.1 Unit penangkapan Pancing rumpon merupakan unit penangkapan yang terdiri dari beberapa alat tangkap pancing yang melakukan pengoperasian dengan alat bantu rumpon.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

Daerah penangkapan tuna hand liners yang mendaratkan tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung

Daerah penangkapan tuna hand liners yang mendaratkan tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(2): 33-37, Desember 2012 Daerah penangkapan tuna hand liners yang mendaratkan tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Fishing ground of tuna hand

Lebih terperinci

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Hubungan Panjang Alat Tangkap Purse Seine Dengan Hasil Tangkapan di Pelabuhan Perikanan Samudera (Pps) Lampulo, Aceh

Hubungan Panjang Alat Tangkap Purse Seine Dengan Hasil Tangkapan di Pelabuhan Perikanan Samudera (Pps) Lampulo, Aceh Hubungan Panjang Alat Tangkap Purse Seine Dengan Hasil Tangkapan di Pelabuhan Perikanan Samudera (Pps) Lampulo, Aceh The Correlation of The Purse Seine Long and Catches Volume in Lampulo Ocean Fishing

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOPERASIAN HUHATE (POLE AND LINE) DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPANNYA DI LAUT SULAWESI

TEKNIK PENGOPERASIAN HUHATE (POLE AND LINE) DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPANNYA DI LAUT SULAWESI TEKNIK PENGOPERASIAN HUHATE (POLE AND LINE) DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPANNYA DI LAUT SULAWESI Enjah Rahmat dan M. Fadli Yahya Teknisi Litkayasa Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 29

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad yang telah dilakukan di perairan pantai Cirebon, daerah Kecamatan Gebang, Jawa Barat

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keragaan Unit Penangkapan Ikan 5.1.1 Unit penangkapan ikan multigear (Kapal PSP 01) Penangkapan ikan Kapal PSP 01 menggunakan alat tangkap multigear, yaitu mengoperasikan alat

Lebih terperinci

Fishing Technology: Longline. Ledhyane Ika Harlyan

Fishing Technology: Longline. Ledhyane Ika Harlyan Fishing Technology: Longline Ledhyane Ika Harlyan Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa mampu: Menjelaskan bagian-bagian longline Menjelaskan alat bantu longline Mampu menganalisis teknis untuk mengukur

Lebih terperinci

Efektivitas Tali Cucut sebagai... Tuna dalam Penangkapan Cucut (Novianto, D., et al.) ABSTRAK EFEKTIVITAS TALI CUCUT SEBAGAI ALAT TAMBAHAN PADA PENGOPERASIAN RAWAI TUNA DALAM PENANGKAPAN CUCUT Dian Novianto,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan SAMBUTAN Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayahnya serta kerja keras penyusun telah berhasil menyusun Materi Penyuluhan yang akan digunakan bagi

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH Teknik Penangkapan Ikan Sidat..di Daerah Aliran Sungai Poso Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN IKAN PANCING ULUR (HANDLINE) TUNA DI PERAIRAN LAUT SULAWESI BERBASIS DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE

TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN IKAN PANCING ULUR (HANDLINE) TUNA DI PERAIRAN LAUT SULAWESI BERBASIS DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE Teknologi Alat Penangkapan Ikan... Berbasis di Kabupaten Kepulauan Sangihe (Rahmat, E & A. Salim) TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN IKAN PANCING ULUR (HANDLINE) TUNA DI PERAIRAN LAUT SULAWESI BERBASIS DI KABUPATEN

Lebih terperinci

Sukses pengoperasian pukat cincin Sinar Lestari 04 dengan alat bantu rumpon yang beroperasi di Perairan Lolak Provinsi Sulawesi Utara

Sukses pengoperasian pukat cincin Sinar Lestari 04 dengan alat bantu rumpon yang beroperasi di Perairan Lolak Provinsi Sulawesi Utara Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(3): 69-75, Juni 2013 ISSN 2337-4306 Sukses pengoperasian pukat cincin Sinar Lestari 04 dengan alat bantu rumpon yang beroperasi di Perairan Lolak Provinsi

Lebih terperinci

SPESIES TERKAIT EKOLOGI DALAM AKTIVITAS PENANGKAPAN HIU OLEH NELAYAN ARTISANAL TANJUNG LUAR

SPESIES TERKAIT EKOLOGI DALAM AKTIVITAS PENANGKAPAN HIU OLEH NELAYAN ARTISANAL TANJUNG LUAR SPESIES TERKAIT EKOLOGI DALAM AKTIVITAS PENANGKAPAN HIU OLEH NELAYAN ARTISANAL TANJUNG LUAR Agus Arifin Sentosa, Umi Chodrijah & Irwan Jatmiko Dipresentasikan dalam: SIMPOSIUM NASIONAL HIU DAN PARI KE-2

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun Cacth (ton) 46 4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Jumlah dan nilai produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru yang didaratkan di PPP Muncar dari tahun 24 28 dapat dilihat pada Gambar 4 dan

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA RIA FAIZAH

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA RIA FAIZAH BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA RIA FAIZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaman Unit Penangkapan Ikan Purse seine (1) Alat tangkap

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaman Unit Penangkapan Ikan Purse seine (1) Alat tangkap 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaman Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Purse seine (1) Alat tangkap Pukat cincin (purse seine) di daerah Maluku Tenggara yang menjadi objek penelitian lebih dikenal dengan sebutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sendang Biru merupakan salah satu kawasan pesisir yang menjadi prioritas dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa Tmur. Pengembangan

Lebih terperinci

KELOMPOK SASARAN. 1. Nelayan-nelayan yang telah mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam pengoperasian jaring trammel.

KELOMPOK SASARAN. 1. Nelayan-nelayan yang telah mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam pengoperasian jaring trammel. JARING TRAMMEL Trammel net (Jaring trammel) merupakan salah satu jenis alat tangkap ikan yang banyak digunakan oleh nelayan terutama sejak pukat harimau dilarang penggunaannya. Di kalangan nelayan, trammel

Lebih terperinci

KAJIAN UNIT PENANGKAPAN PURSE SEINE DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN (Catching Unit Studies of Purse Seine in Ocean Fishing Port of Belawan)

KAJIAN UNIT PENANGKAPAN PURSE SEINE DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN (Catching Unit Studies of Purse Seine in Ocean Fishing Port of Belawan) 61 KAJIAN UNIT PENANGKAPAN PURSE SEINE DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN (Catching Unit Studies of Purse Seine in Ocean Fishing Port of Belawan) 1) Fitria Ismy, 2) Budi Utomo & 3) Zulham Apandy Harahap

Lebih terperinci

Kesesuaian ukuran soma pajeko dan kapalnya di Labuan Uki Kabupaten Bolaang Mongondow

Kesesuaian ukuran soma pajeko dan kapalnya di Labuan Uki Kabupaten Bolaang Mongondow Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(3): 93-97, Juni 2013 ISSN 2337-4306 Kesesuaian ukuran soma pajeko dan kapalnya di Labuan Uki Kabupaten Bolaang Mongondow The suitability of purse seine and

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis masalah Kemiskinan dan Ketimpangan pendapatan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan dan memiliki peranan ganda sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

EFISIENSI PENANGKAPAN PUKAT CINCIN DI BEBERAPA DAERAH PENANGKAPAN WATAMPONE FISHING EFFICIENCY OF PURSE SEINE IN SEVERAL FISHING GROUNDS AT WATAMPONE

EFISIENSI PENANGKAPAN PUKAT CINCIN DI BEBERAPA DAERAH PENANGKAPAN WATAMPONE FISHING EFFICIENCY OF PURSE SEINE IN SEVERAL FISHING GROUNDS AT WATAMPONE Efisiensi Penagkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone (Hufiadi & E. Nurdin) EFISIENSI PENANGKAPAN PUKAT CINCIN DI BEBERAPA DAERAH PENANGKAPAN WATAMPONE FISHING EFFICIENCY OF PURSE

Lebih terperinci

Study Catches of Decpterus Fish (Decapterus Sp) With The Arrested Purse Seine in Samudera Fishing Port (Pps) Lampulo

Study Catches of Decpterus Fish (Decapterus Sp) With The Arrested Purse Seine in Samudera Fishing Port (Pps) Lampulo Studi Hasil Tangkapan Ikan Layang (Decapterus Sp) Dengan Alat Tangkap Pukat Cincin (Purse Seine) Yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (Pps) Lampulo Study Catches of Decpterus Fish (Decapterus

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

1) The Student at Faculty of Fisheries and Marine Sciences, University of Riau.

1) The Student at Faculty of Fisheries and Marine Sciences, University of Riau. THE COMPOSITION OF PURSE SEINE DURING THE DAY AND AT NIGHT IN THE SASAK JORONG PASA LAMO RANAH PASISIE, DISTRICT WEST PASAMAN, WEST SUMATERA PROVINCE BY : Agus Muliadi 1), ParengRengi, S.Pi, M.Si 2), and

Lebih terperinci