BAB II PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DI INDONESIA. A. Sejarah Lahirnya Asas Pembuktian Terbalik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DI INDONESIA. A. Sejarah Lahirnya Asas Pembuktian Terbalik"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DI INDONESIA A. Sejarah Lahirnya Asas Pembuktian Terbalik Pembuktian terbalik secara kronologis bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara yang menganut rumpun Anglo-Saxon dan hanya terbatas pada certain cases khususnya terhadap tindak pidana gratification atau pemberian yang berkorelasi dengan bribery (suap). 23 Hal ini dimungkinkan karena hampir tidak mungkin kejahatan tersebut dibuktikan dengan sistem pembuktian biasa. Perkembanganyang ada di beberapa negara telah menerapkan sistem pembuktian terbalik ini seperti di United Kingdom of Great Britain, Republik Singapura, Malaysia, Hongkong, Pakistan, India, dan lain sebagainya. Di United Kingdom of Great Britain atas dasar Prevention of corruption Act 1916 terdapat pengaturan apa yang dinamakan Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu (Presumption of corruption in certain cases). 24 Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 (1b) Prevention of Corruption Ordonance 1970, Added 1974: Pasal 11 ayat (1) Hong Kong Bill of Right Ordonance Di India pembalikan beban pembuktian diatur berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) of The Prevention of Corruption Art (II of 1947). 25 Di Malaysia, atas dasar Pasal 42 Akta Pencegahan Rasuah 1997 ( Anti Corruption 23 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman Ibid. 25 Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 8. No. 2-Juni diakses pada tanggal 7 Maret 2012, pukul 15:14 WIB.

2 Act 1997 (Act 575) ) yang mulai berlaku sejak tanggal 8 Januari 1998, dan di Singapura atas dasar Prevention of Corruption Act (Chapter 241). 26 Praktek di beberapa negara di atas, penggunaan pembuktian terbalik tersebut dilakukan secara seimbang, hal ini terjadi karena pembuktian terbalik tidak boleh melanggar hak terdakwa sehingga dalam prakteknya beban pembuktian yang digunakan menjadi beban pembuktian yang seimbang. Pembuktian terbalik untuk menetapkan perampasan aset tindak pidana di Amerika sejak tahun 2000, telah dipraktikkan dalam sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum keperdataan (civil based forfeiture atau non-conviction based forfeiture / NCB). Sebagaimana diketahui, sejak lama diakui sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana (criminal based forfeiture/cb) yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 27 Perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana yang dilaksanakan dalam sistem hukum di Indonesia memerlukan waktu yang relatif lama untuk sampai pada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Berbeda dengan perampasan aset melalui sarana hukum pidana yang memerlukan waktu yang lama, perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum keperdataan yang relatif lebih cepat karena penuntut umun dapat segara membawa terdakwa ke pengadilan dengan cara pembuktian terbalik atas aset terdakwa yag diduga berasal dari tindak pidana. 26 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit.

3 Praktik NCB di Amerika Serikat dan Inggris, juga di beberapa negara Uni Eropa, berhasil mengembalikan keuangan secara signifikan dari organisasi kejahatan, terutama yang berasal dari kejahatan narkotika dan pencucian uang. 28 Model perampasan aset NCB dengan pembuktian terbalik tidak melanggar HAM karena didasarkan pada teori balanced probability principle, yang memisahkan antara aset tindak pidana dan pemiliknya. Hal itu didasarkan premis bahwa perlindungan hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (praduga tak bersalah) dan prinsip non-self incrimination harus diimbangi kewajiban terdakwa membuktikan asal-usul aset yang dimilikinya. Teori ini masih memberikan jaminan perlindungan hak asasi tersangka untuk dianggap tidak bersalah, sebaliknya tidak memberikan jaminan perlindungan hak kepemilikan terdakwa atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, kecuali yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Lahirnya konsep NCB disebabkan perkembangan organisasi kejahatan transnasional pasca perang dingin telah meningkatkan aset organisasi kejahatan tiga kali APBN negara berkembang, terutama diperoleh dari kejahatan narkotika dan pencucian uang. Perkembangan itu dipandang sebagai ancaman terhadap ketenteraman dan ketertiban dunia. Fakta tersebut membuktikan bahwa efek jera penghukuman tidak cukup dan tidak berhasil secara tuntas memerangi kejahatan transnasional. Bahkan, di dalam penjara sekalipun, organisasi kejahatan dapat mengendalikan aktivitas kejahatannya, sedangkan ancaman hukuman mati dalam sistem hukum negara maju telanjur tidak diakui diakses pada tanggal 7 Maret 2012, pukul WIB.

4 Beranjak dari kenyataan tersebut, terjadi perubahan drastis dalam kebijakan kriminal, khususnya di negara maju, yaitu strategi perampasan aset organisasi kejahatan atau yang diduga berasal dari kejahatan terbukti lebih ampuh sehingga dapat mematikan kehidupan organisasi kejahatan. Pengalaman Drug Enforcement Admistration (DEA) menggunakan cara perampasan melalui sarana hukum perdata (civil based forfeiture) berhasil secara signifikan membekukan dan merampas aset organisasi kejahatan. Langkah hukum pembuktian terbalik dengan NCB, di Amerika Serikat berdasarkan UU Pembaruan tentang Perampasan Aset melalui Keperdataan (Civil Asset Forfeiture Reform Act/ CAFRA) Tahun 2000 dan di Inggris dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Proceed of Crime Act) Tahun Dasar lahirnya konstruksi beban pembuktian terbalik dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia pada awalnya dilatarbelakangi dari problem penegakan hukum dalam kasus korupsi. Korupsi kerap dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha yang secara politis dan ekonomi amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses peradilan. Akibatnya, pembuktian kasus tindak pidana korupsi di Indonesia sulit dilakukan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, salah satu upayanya adalah memformulasikan ulang pemenuhan beban pembuktian dalam proses peradilan yang dilakukan aparat penegak hukum, yakni dengan mengenalkan sistem beban pembuktian terbalik yang seimbang. 29 Ibid.

5 Diharapkan dengan menggunakan beban pembuktian terbalik (omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof/onus of proof) yang berasumsi dengan pembuktian terbalik maka diharapkan sebuah kasus dapat diberantas dengan maksimal. Pembalikan beban pembuktian dalam peraturan perundangundangan korupsi pada awalnya tidak ada diatur karena perspektif kebijakan legislasi memandang perbuatan korupsi sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara eksplisit telah diatur mengenai pembalikan beban pembuktian. Peraturan selanjutnya, pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun Kemudian beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memiliki kelemahan selanjutnya telah diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun Secara eksplisit ketentuan Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi: 31 (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaraan negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Yang bernilai Rp ,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakuakn oleh penerima gratifikasi; b. Yang nilainya kurang dari Rp ,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. 30 Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit. 31 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6 (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian secara terbatas di dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dianggap sebagai instrument luar biasa disebabkan karena cara ini menyimpang dari prinsip umum hukum pidana yang dirumuskan dalam KUHAP. 32 Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, sebagai instrument hukum ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, Pemerintah Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan penting yaitu: 33 Pertama, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tipikor yang mencantumkan kriminalisasi atas perbuatan (baru) tertentu ke dalam lingkup tindak pidana korupsi yaitu antara lain, perbuatan memperkaya diri sendiri secara ilegal (illicit enrichment); suap terhadap pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional (Bribery of Foreign Public Officials and Officials of Public International Organization), dan suap dikalangan sektor swasta (Bribery in the Private Sector); penyalahgunaan wewenang (Abuse of Function). Langkah kriminalisasi dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU TIPIKOR) dipersiapkan untuk mengganti dan mencabut pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun H. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit.

7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut memuat ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37 34, Pasal 37A 35 dan Pasal 38B 36. Kedua, pasca ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengganti Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebelumnya. Di dalam undang-undang tersebut 34 Pasal 37: (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 35 Pasal 37 A: (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. 36 Pasal 38 B (1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. (3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. (5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). (6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.

8 telah dicantumkan ketentuan pembuktian terbalik dalam beberapa pasal yaitu pasal 77 37, pasal 78 38, dan pasal B. Perbedaan Asas Pembuktian Terbalik dengan Asas Pembuktian di Indonesia Perbedaan asas pembuktian terbalik dengan asas pembuktian yang dalam KUHAP di Indonesia adalah dengan mengetahui tentang beban pembuktian. Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada salah satu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk membuktikan kebenaran atas suatu tuduhan atau pernyataan. Untuk dapat menbedakan pembuktian biasa dengan pembuktian terbalik dapat dilihat dari macam-macam pembuktian yang ada, yaitu: 1. Beban Pembuktian Biasa. Pembuktian dalam hukum pidana pada hakikatnya merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dikarenakan pembuktian merupakan suatu proses dalam menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang. Proses pembuktian harus dilakukan melalui proses peradilan sehingga akan menentukan apakah seseorang dapat dijatuhi pidana yang dalam hal ini melalui hasil 37 Pasal 77: Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. 38 Pasal 78 ayat (1): Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Ayat (2): Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. 39 Pasal 81: Dalam hal diperoleh bukti cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut.

9 pemeriksaan dalam persidangan terbukti secara sah dan menyakinkan pelaku melakukan tindak pidana, selain itu pelaku dapat juga dibebaskan dari segala tuntutan hukum apabila apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Dikaji secara umum, kata pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). 40 Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperhatikan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. 41 Menurut M. Yahya Harahap, memberikan pengertian pembuktian adalah: 42 Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang caracara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kasalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. Sedangkan membuktikan itu sendiri mengandung pengertian: memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman M. Yahya Harahap, Op. Cit., halaman Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, halaman 2.

10 Proses pelaksanaan pembuktian pada dasarnya sudah dapat dilaksanakan sejak proses penyidikan terhadap suatu perkara pidana dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilakukan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, dalam hal ini telah dilakukan suatu tahap pembuktian. Sama halnya dengan proses penyidikan, dalam melakukan penyidikan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Proses pembuktian pada dasarnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Proses pembuktian harus ada hubungan yang saling terkait mengenai apa yang akan diterapkan oleh hakim dalam menentukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut: 44 a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti. b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatanperbuatan yang didakwakan kepadanya. c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu. d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Berhubungan dengan yang telah diuraikan di atas, dalam proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksa yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara tersebut, kemudian ada penuntut umum yang 44 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 86.

11 melakukan penuntutan dan terdakwa beserta penasehat hukumnya. Pada majelis hakim melalui kegiatan memeriksa perkara melakukan kegiatan pembuktian dengan memeriksa fakta dan sekaligus menilai menyatakan kesalahan atau ketidaksalahan terdakwa tersebut dalam vonisnya. Penuntut umum maupun terdakwa dan penasehat hukum melakukan kegiatan pembuktian juga, hanya saja perspektif penuntut umum membuktikan keterlibatan dan kesalahan terdakwa dalam melakukan suatu tindak pidana, tetapi dari pihak terdakwa dan penasehat hukumnya melakukan suatu pembuktian yang berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh penuntut umum. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui apa yang menjadi tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan, yaitu: Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. Dalam hal ini pandangan penuntut umum adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif. 2. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang 45 Dalam-Perspektif-Hukum-Positif-Indonesia. diakses pada tanggal 8 Maret 2012, pukul WIB.

12 menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. Dalam hal ini pandangan terdakwa adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif. 3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alatalat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum / terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. Dalam hal ini pandangan hakim dinyatakan sebagai pandangan objektif dari sisi yang objektif pula. Penjatuhan pidana oleh hakim melalui proses hukum pembuktian ini secara umum berorientasi kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menentukan: 46 hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada hakikatnya hukum pembuktian dapat dikategorikan kedalam hukum pembuktian yang bersifat umum/konvensional dan khusus. Proses dari hukum pembuktian yang bersifat umum/konvensional, termasuk dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini, hukum pembuktian yang dilaksanakan dalam proses persidangan dilakukan secara aktif oleh jaksa penuntut umum untuk menyatakan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat 46 Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

13 dakwaan. Demikian juga yang dilakukan oleh terdakwa dan penasehat hukumnya dalam proses persidangan untuk membuktikan bakwa apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentang tindak pidananya tidak terbukti. Pasal 66 KUHAP dinyatakan bahwa: 47 tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Begitu juga yang diatur dalam beberapa ketentuan peraturan perundangundangan yaitu: Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 pasal 8 yang menyatakan: 48 setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempeloleh hukum yang tetap. Penjelasan pasal 66 KUHAP dinyatakan bahwa: ketentuan ini adalah penjelasan dari asas praduga tak bersalah. 49 Dalam hal ini berarti bahwa yang berhak dalam melakukan pembuktian adalah jaksa penuntut umum. Penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah menyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. 47 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 48 Pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1870 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun Penjelasan pasal 66 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.

14 2. Beban Pembuktian Terbalik (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof / Onus of Proof). Proses pembuktian dalam hal ini terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah yang akan menyiapkan segala beban pembuktian di depan sidang pengadilan, dan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Dengan kata lain bahwa penuntut umum dalam hal ini bersifat pasif sedangkan terdakwa bersifat aktif. Pada asasya beban pembuktian jenis ini dinamakan teori Beban Pembuktian Terbalik (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof / Onus of Proof). 50 Dalam prakteknya teori beban pembuktian ini dapat dibagi lagi menjadi pembuktian terbalik yang bersifat murni maupun bersifat terbatas. Dengan demikian dapat terlihat bahwa pembuktian terbalik merupakan suatu penyimpangan dari hukum pembuktian yang diterapkan terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. 3. Teori Pembalikan Beban Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan (Balanced Probability of Principles) Teori pembalikan beban pembuktian relatif pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan terhadap suatu kesalahan yang telah dilakukan oleh sesorang karena dapat mengakibatkan adanya pergeseran asas praduga tak bersalah menjadi asas praduga bersalah. Namun, dalam hal-hal tertentu hal tersebut dapat dilaksanakan seperti dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, yang 50 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 103.

15 dalam hal ini asas praduga tak bersalah dapat dikesampingkan dengan adanya asas praduga bersalah dimana terdakwa harus membuktikan bahwa apa yang didakwakan tersebut tidak benar. Pembuktian terbalik ini juga harus bersifat beban pembuktian berimbang. Proses pembuktian akan dilakukan oleh penuntut umum dan juga terdakwa dalam proses persidangan. Sebagaimana tugas dari penuntut umum akan membuktikan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan isi dakwaan, sedangkan terdakwa akan berusaha untuk membuktikan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya. Upaya untuk mengurangi dampak negatif dari teori pembalikan beban pembuktian maka harus dilakukan dengan menerapkan suatu teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan. Teori ini mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku yang diduga kuat berasal dari tindak pidana khusus seperti korupsi dan pencucian uang di sisi lain. 51 Dalam hal penanganan kasus tindak pidana korupsi misalnya kedudukan hak asasi pelaku tindak pidana korusi merupakan suatu perhatian yang serius dengan mempergunakan teori probabilitas berimbang yang paling tinggi dengan menggunakan sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif. Sedangkan dalam hal lain penggunaan asas pembuktian 51 Ibid, halaman 110.

16 terbalik dapat dilakukan terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi sehingga tidak berdasarkan asas pembuktian negatif. Penerapan asas pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang maka terdakwa akan membuktikan tentang asal asul harta kekayaannya yang diduga terkait dengan hasil kejahatan. Sedangkan penuntut umum juga akan tetap melakukan pembuktian terhadap tindak pidana yang diduga dilakukan terdakwa sesuai dengan surat dakwaan. Dalam hal tingkat penyidikan berlaku asas praduga bersalah dimana dengan adanya bukti hukum awal yang kuat maka penyidik akan menduga bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Namun ketika perkara tersebut telah diproses di pengadilan maka penerapan asas praduga bersalah harus dikesampingkan untuk mencapai suatu putusan yang adil. Salah satu bentuk penerapan asas praduga tak bersalah adalah pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum bukan terletak pada terdakwa. Namum karena sulitnya untuk membuktikan pada kasus-kasus korupsi dan pencucian uang, maka timbulah suatu upaya luar biasa, yaitu sistem pembuktian terbalik, dengan demikian maka beban pembuktian bukan lagi pada penuntut umum melainkan kepada terdakwa. C. Pererapan Asas Pembuktian Terbalik Di Beberapa Negara. Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu masalah yang sangat berbahaya bukan saja hanya pada negara pelaku tindak pidana tetapi jika pada dunia internasional. Hal ini dikarenakan dengan danya pencucian uang yang berasal dari hasil korupsi maupun narkotika pada akhirnya akan membuat tingkat pertumbuhan tindak pidana lain semakin pesat. Tindakan inilah yang pada

17 akhirnya akan mengakibatkan keamanan internasional akan terancam. Untuk mencegah hal tersebut beberapa negara telah membuat suatu aturan yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Sulitnya untuk mengungkap tindak pidana tersebut beberapa negara telah menerapkan asas pembuktian terbalik khususnya dalam tindak pidana korupsi, diantaranya adalah: a. Negara Malaysia Aturan yang ada di negara Malaysia, pasal yang mengatur mengenai pembuktian terbalik secara tegas dimuat dalam Pasal 42 yang menyangkut masalah pemberian (gratification). Pasal tersebut berbunyi: 52 Where in any proceedings against any person for an offence under section 10, 11, 13, 14, or 15 it is proved that any gratification has beenaccepted or agreed to be accepted, obtained, or attemped to beabtained, solicited, given or agreed to be given, promised or offered byor to the accused, the gratification shall be presumed to have beencorruptly accepted or agreed to be accepted, obtained or attempted tobe obtained, solicited, given or agreed to be given, promised, or offered as an inducement or a reward for or on account of the mattersset out in the particulars of the offence, unless the contrary is proved. Pengertian pada setiap proses terhadap setiap orang yang didakwa melanggar Pasal 10, 11, 13, 14, atau 15, telah dibuktikan bahwa suatu pemberian (gratification) telah diterima atau setuju untuk diterima, diperoleh, atau dicoba untuk diperoleh, didapatkan, diberikan atau setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau ditawarkan oleh atau kepada terdakwa maka pemberian itu dianggap secara korup telah diterima atau setuju untuk diterima, diperoleh atau dicoba untuk diperoleh, didapat, diberikan, atau setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau 52 Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 53.

18 ditawarkan sebagai suatu bujukan atau hadiah untuk suatu atau karena hal yang dinyatakan khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya. Rumusan ini ternyata bahwa pembuktian terbalik berlaku bagi penerima (passieveomkoping) dan pemberi (actieve omkoping). Pada ayat (2) Pasal 42 ACA dinyatakan, bahwa ketentuan tentang pembuktian terbalik berlaku juga bagi delik suap di dalam Penal Code (KUHP). Lengkapnya berbunyi: 53 Where in any proceedings against any person for an offence under section 161, 163, or 164 of the Penal Code, it is proved that such person has accepted or agreed to accept, or obtained or attempted toobtain any gratification, such person shall be presumed to have doneso as motive or reward for the matters set out in the particulars of theoffence, unless the contraty is proved. Pengertian pada semua proses terhadap semua orang yang didakwa melanggar Pasal 161, 162, atau 164 KUHP, telah dibuktikan bahwa orang itu telah menerima atau setuju menerima atau memperoleh atau mencoba untuk memperoleh suatu pemberian (gratification), maka orang itu dianggap telah melakukan perbuatan demikian sebagai motif atau hadiah atas hal-hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya. Berdasarkan ketentian pasal tersebut menyatakan bagian dari inti delik (bestanddelen) yang harus dibuktikan oleh penuntut umum, menjadi tidak usah dibuktikan tetapi terdakwalah yang membuktikan. Jika dibandingakn dengan ketentuan hukum yang mengatur hal yang sama di Indonesia, terdapat suatu perbedaan dimana dalam hal gratifikasi diterapkan dengan pembuktian terbalik yang berimbang, dimana gratifikasi dengan jumlah uang lebih dari Rp ,- (sepuluh juta rupiah) harus dibuktikan oleh terdakwa sendiri sebagai 53 Ibid, halaman 54.

19 penerima gratifikasi, sedangkan untuk gratifikasi dengan jumlah dibawah Rp ,- (sepuluh juta rupiah) maka harus dibuktikan oleh penuntut umum. Proses pembuktian terhadap kasus-kasus korupsi dalam konteks pembuktian terbalik di negara Malaysia adalah sebagai berikut: Harus dibuktikan terlebih dahulu oleh penuntut umum adanya sebuah keputusan yang aneh, dimana keputusan itu telah dipengaruhi oleh adanya pemberian hadiah; 2. Harus dibuktikan bahwa pada hari dan tanggal tertentu si pejabat telah menerima hadiah dari seseorang; 3. Polisi dan jaksa menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dakwaan yang menerangkan, bahwa keputusan pejabat itu telah dipengaruhi oleh pemberian hadiah dari seseorang; 4. Di muka pengadilan harus dibuktikan oleh terdakwa bahwa hadiah yang ia terima itu tidak mempengaruhi keputusannya, sehingga dengan demikian ia akan membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. b. Negara Singapura Singapura tergolong negara kecil dan paling kecil kasus korupsinya namun tetap menciptakan badan anti korupsi yang disebut CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau). Undang-undang anti korupsinya pun sudah ada sejak tahun Undang-undang ini telah berkali-kali diamandemen (tahun 1963, 1966,1972, 1981, 1989, dan 1991). Nama resmi undang-undangnya adalah Preventionof Corruption Act disebut PCA. Undang-undang tersebut memuat hukum pidana materil dan hukum acara pidana. Adapun rumusan delik umumnya diambil dari KUHP-nya tanpa diubah sanksinya menjadi lebih berat seperti halnya Indonesia. Dibentuknya komisi pemberantasan korupsi oleh negara Singapura hal ini berhubungan erat dengan keadaan salah satu priotitas dari kegiatan 54 H. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 215.

20 ekonominya yang berhubungan dengan perdagangan antar negara. Di dalam PCA diatur pembalikan beban pembuktian tetapi lain dari Malaysia yang mencantumkannya pada bagian acara (pembuktian). Singapura menjadikannya bagian dari rumusan delik, yang tercantum di dalam Pasal 8 PCA yang berbunyi: 55 Where in any proceedings against a person for an offence under section 5 or 6 it is proved that any gratification has been paid or givento or received by a person in the employment of the Government or any department there of or any public body, that gratification shall bedeemed to have been paid or given and received corruptly as an inducement or reward as here in before mentioned unless the contraryis proved. Pengertian yang berkaitan dengan pemerintah, yang berarti pemberian oleh seseorang kepada pejabat pemerintah yang mencari kontak dengan pemerintah atau departemen atau badan publik, dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Apabila dikaji, terdapat kebijakan formulasi dalam undang-undang negara Singapura hampir sama dengan kebijakan formulasi yang dirumuskan di Indonesia. Setiap pemberian akan dianggap sebagai suap apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa pemberian tersebut bukan suap. c. Negara Hongkong Pengaturan mengenai pembuktian terbalik yang dilaksanakan di Hongkong tertera dalam Prevention of Bribery Ordinance 1970 Pasal 10 (1b) yang berbunyi: 56 or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a 55 Ibid, halaman mberantasan%20korupsi_final_bab%201.pdf, diakses pada tanggal 9 Maret 2012, pukul WIB.

21 standard of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be guilty of an offence. Pengertian pengaturan mengenai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak seimbang dengan gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi pada masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kecuali kalau ia dapat memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu memperoleh standar hidup yang demikian itu dapat ia dikuasai. Ketentuan ini jelas menganut pembuktian terbalik, karena seseorang yang berada dalam posisi demikian dinyatakan bersalah melakukan korupsi, kecuali diadapat membuktikan sebaliknya, yaitu membuktikan kekayaan yang dimilikinya diperoleh secara sah. Kalau ia tidak dapat membuktikan, ia dinyatakan terbukti melakukan korupsi. Penerapan pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan di Hongkong dapat terlihat dari Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara The Attorney General of Hong Kong v Hui Kin Hong. 57 Berdasarkan putusan tersebut Pengadilan Tinggi Hong Kong menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Ordonansi Pencegahan Penyuapan Bab 201 meletakkan beban pembuktian kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. Dalam persidangan sebelum terdakwa melakukan pembuktian atas apa yang di dakwakan kepadanya maka penuntut umum terlebih dahulu harus melakukan pembuktian tentang standar hidup terdakwa yang disesuaikan dengan penghasilannya, yang dalam hal ini penuntut umum harus 57 Lilik Mulyadi, Op.cit., Halaman 145.

22 dapat membuktikan bahwa kehidupan terdakwa pada dasarnya tidak dapat terpenuhi dengan penghasilan yang diperolehnya. Setelah penuntut umum melakukan pembuktian barulah terdakwa harus membuktikan harta kekayaannya tersebut bukan merupakan hasil suatu tindak pidana korupsi. Pelaksanaan proses pembuktian yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Hong Kong pada dasarnya tidak sesuai dengan asas pembuktian yang telah berlaku selama ini di Hongkong, hal ini dikarenakan sistem pembuktian yang berlaku adalah prinsip pembuktian Due Procees of law, namun terdapat pengecualian terhadap tindak pidana tertentu seperti terhadap harta kepemilikan terdakwa dapat dipergunakan pembuktian terbalik yang bersifat berimbang atau balance probabilities. Teori ini secara imperatif adanya kewajiban penuntut umum untuk membuktikan secara negatif tentang aspek yang bersifat menyangkut status sosial terdakwa, sehingga apabila hal ini dapat dibuktikan, maka selanjutnya terdakwalah yang berkewajiban untuk melakukan pembuktian terhadap harta kekayaan tersebut. d. India Penerapan pembuktian terbalik telah dilaksanakan dalam proses peradilan di India dapat terlihat dari Putusan Mahkamah Agung India antara State of West Bengal v The Attorney General for India (AIR 1963 SC 255). 58 Putusan mahkamah agung India ini membawa suatu perubahan terhadap pelaksanaan pembuktian di negara tersebut. Ketentuan pembuktian untuk tindak pidana umum pelaksanaan pembuktiannya dilaksanakan oleh penuntut umum 58 Ibid. halaman 156.

23 untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Akan tetapi terhadap perkara korupsi pelaksanaan pembuktian tersebut tidak berlaku mutlak dan dapat dikesampingkan apabila berdasarkan fakta-fakta tertentu dapat dibuktikan adanya kesalahan terdakwa, sehingga beban pembuktian berada pada terdakwa bahwa walaupun harta kepemiikannya tidak sebanding dengan sumber pemasukannya, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa harta tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana. Putusan mahkamah agung tersebut menyatakan bahwa adanya pembuktian yang bersifat berimbang atau balance probabilities dapat diterapkan dalam kasus-kasus korupsi bahwa adanya kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan terdakwa sendiri juga harus berusaha untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi. D. Asas Pembuktian Terbalik Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Pengaturan mengenai pembuktian terbalik di Indonesia telah dilaksanakan untuk pertama kalinya untuk menangani masalah tindak pidana korupsi. Pengaturan mengenai tindak pidana yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi pada awalnya telah termuat dalam Bab XXVIII Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu khususnya terhadap perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu akta memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418, 419 dan 420 KUHP) serta

24 menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum (Pasal 423, 425 dan 435 KUHP). Pada hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata ternyata kurang efektif dalam menanggulangi Korupsi seperti yang dikatakan oleh Soedjono Dirdjosisworo yang dikutip oleh Lilik Mulyadi sebagai berikut: Tindak Pidana Korupsi yang dapat dikenakan dalam pasal-pasal KUHP saat itu dirasakan kurang bahkan tidak efektif menghadapi gejala-gejala korupsi saat ini. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat lebih memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-pelakunya. 59 Kebijakan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur tentang pembuktian terbalik dalam peraturan perundang-undangan korupsi hal ini dikarenakan sampa dengan sebelum tahun 1960 tindak pidana korupsi masih dipandang sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa. Kebijakan legislasi pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi mulai diterapkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan: 59 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 5.

25 Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta benda dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh jaksa. 60 Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa tersangka juga dapat memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya namun hal itu hanya dapat dilaksanakan jika diminta oleh hakim. Tanpa adanya permintaan dari hakim dalam hal pembuktian maka terdakwa tidak memiliki hak untuk memberikan keterangan atas harta bendanya. Secara implisit dapat ditarik suatu asumsi bahwa telah ada pada tataran kebijakan formulasi suatu upaya untuk mempermudah pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Seiring dengan masih kurangnya pengaturan dalam pemberantasan korupsi maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 inilah yang secara luas telah mengatur mengenai pembuktian terbalik dalam menangani masalah korupsi. Pada ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 mengatur tentang pembuktian tindak pidana korupsi di depan persidangan, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

26 1. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. 2. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti yang dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal: a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatan itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian Negara, atau b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum. 3. Dalam hal bahwa terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian, Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. 4. Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksudkan dalam ayat (1), keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian, Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian dalam ketentuan pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini dikenal dengan sistem pembagian pembuktian, yaitu merupakan suatu asas yang mewajibkan terdakwa untuk membuktikan ketidaksalahannya, tanpa menutup kemungkinan jaksa melakukan hal yang sama untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tegasnya, dari ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak menganut sistem pembuktian terbalik secara absolut karena terdakwa dan Penuntut Umum dapat saling membuktikan. 62 Kemudian pada pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tentang kepemilikan harta benda pelaku diatur sebagai berikut: Lilik Mulyadi, Op.Cit., halaman Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi.

27 1. Setiap terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang serta benda yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim. 2. Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Ketentuan pasal 17 dan pasal 18, disatu sisi menggambarkan penerapan pembuktian terbalik untuk membuktikan apakah si pelaku memiliki unsur kesalahan atau tidak dalam melakukan tindak pidana korupsi, dan juga bertujuan untuk pembuktian kepemiliakan harta kekayaan terdakwa tetapi penerapan pembuktian terbaliknya hanya diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan. Berdasarkan hal tersebut maka terdakwa tidak dapat memiliki hak secara utuh dalam hal pembuktian terbalik, karena terdakwa hanya dapat mempergunakan pembuktian terbalik didalam persidangan sepanjang hakim memperkenankan untuk kepentingan pemeriksaan. 64 Pembuktian terbalik juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan tersebut diatur pada pasal 37 yang berbunyi sebagai berikut: Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 64 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

28 bahwa: 66 Kemudian penjelasan otentik ketentuan Pasal 37 tersebut menentukan, 1. Ayat (1), pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Tersangka tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non selfincrimination). 2. Ayat (2), ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk). Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa pada pasal 37 tersebut menganut adanya dua sistem beban pembuktian yaitu: sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang dan sistem negatif yang terdapat dalam KUHAP sehingga jika dijelaskan maka sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, diartikan bahwa terdakwa berhak untuk memberikan pembuktian bahwa ia tidak melakukan tidak pidana korupsi. Sedangkan sistem pembuktian negatif berarti bahwa penuntut umum membuktikan unsur-unsur kesalahan terdakwa. Analisis hukum terhadap ketentuan pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, apabila didalam persidangan terdakwa dapat membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 66 Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 196.

29 Sistem pembuktian terbalik dalam pasal 37 berlaku sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang nilainya Rp ,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih (pasal 12 B ayat (1) huruf a) 67, merupakan kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka berdasarkan pasal 37 ayat (2) yakni hasil pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Ketentuan pasal 37 ayat (1) pada dasarnya merupakan penegasan terhadap hak terdakwa dalam hal pembuktian yang memang sudah ada sejak pelaku diangkat statusnya menjadi tersangka atau terdakwa. Sedangkan pasal 37 ayat (2) memiliki arti penting dalam hukum pembuktian terbalik, meskipun bersifat terbatas. Karena pada ayat (2) dicantumkan akibat hukumnya bila terdakwa berhasil membuktikan, ialah hasil pembuktian terdakwa tersebut dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Ketentuan pasal 37 ayat (2) ini sebagai dasar hukum pembuktian terbalik hukum acara pidana korupsi yang dalam penjelasan dikatakan sebagai sistem pembuktian terbalik yang terbatas. Pasal tersebut dikatakan terbatas karana sistem pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahan 1999 jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya diterapkan dalam tindak pidana gratifikasi yang terdapat dalam pasal 12 B dan terhadap tuntutan perampasan benda terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 67 Pasal 12 B ayat (1) huruf a: yang nilainya Rp ,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.

30 2, pasal 3, pasal 4, pasal 13, pasal 14, pasal 15 dan pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun E. Asas Pembuktian Terbalik Dengan Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Penggunaan asas pembuktian terbalik ternyata tidak hanya digunakan dalam menangani masalah tindak pidana korupsi saja, karena dalam menangani masalah tindak pidana pencucian uang sistem pembuktian terbalik juga di atur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diatur dalam pasal 35 yang menyatakan bahwa: 68 Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Berdasarkan ketentuan pasal 35 tersebut memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun Penerapan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang ini dapat dikatakan masih bersifat terbatas, yaitu berlaku pada sidang pengadilan bukan pada tahap penyidikan. Terbatasnya penerapan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang ini menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Dian Adriawan, berpendapat pembuktian terbalik yang diatur dalam pasal 35 dapat diberlakukan Uang. 68 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D101 11 005 ABSTRAK Korupsi telah dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa yang talah membawa bencana bagi kehidupan Perekonomian

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : KARYA ILMIAH SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Oleh I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha Anak Agung Gede Oka Parwata Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI Anjar Lea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan manusia dan termasuk jenis kejahatan yang tertua serta merupakan salah satu penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

MENGGAGAS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK YANG TEPAT DAN APLIKABEL DALAM MENUNJANG EFEKTIFITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

MENGGAGAS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK YANG TEPAT DAN APLIKABEL DALAM MENUNJANG EFEKTIFITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Menggagas Sistem Pembuktian Terbalik... (Tri Agus Gunawan) 45 MENGGAGAS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK YANG TEPAT DAN APLIKABEL DALAM MENUNJANG EFEKTIFITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh: Tri Agus

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016 PEMBUKTIAN TERBALIK ATAS HARTA KEKAYAAN SESEORANG TERSANGKA KORUPSI 1 Oleh: Nurasia Tanjung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian untuk mengetahui apakah alasan yuridis penerapan pembalikan beban pembuktian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016 BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Joshua Christian Korompis 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan beban pembuktian menurut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI Ardi Ferdian Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Email: ardi@ub.ac.id Abstract Burden of proof is part of proof law system. In the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ( MONEY LAUNDERING )

KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ( MONEY LAUNDERING ) KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ( MONEY LAUNDERING ) ABSTRACT : Oleh : Cok Istri Widya Wipramita Putu Tuni Cakabawa L. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor BAB 1V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan undang-undang pemberantasan korupsi yang berlaku

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB III PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG BAB III PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Pengertian Pembuktian Pada tanggal 31 Desember 1981, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UNDANG- UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB II PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UNDANG- UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG BAB II PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UNDANG- UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Sistem Pembuktian Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Oleh Suhadibroto Pendahuluan 1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN LUAR BIASA

TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN LUAR BIASA TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN LUAR BIASA Ifrani Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Jl. Brigjend H. Hasan Basry Kayutangi Banjarmasin Email: ifrani99@gmail.com Abstract The criminal

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hak negara

Lebih terperinci

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh Ayu Komang Sari Merta Dewi I Gusti Ayu Puspawati Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Corruption

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan istilah pencucian uang. Dewasa ini istilah money

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan istilah pencucian uang. Dewasa ini istilah money BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencucian uang atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah money laundering, merupakan istilah yang sering didengar dari berbagai media massa,

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015 PERBUATAN SUAP TERHADAP PEJABAT PUBLIK DAN TANGGUNG JAWAB MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 1 Oleh: Krisdianto Pranoto 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK (REVERSAL BURDEN OF PROOF) DALAM PEMERIKSAAN PERKARA GRATIFIKASI

TINJAUAN TENTANG SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK (REVERSAL BURDEN OF PROOF) DALAM PEMERIKSAAN PERKARA GRATIFIKASI TINJAUAN TENTANG SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK (REVERSAL BURDEN OF PROOF) DALAM PEMERIKSAAN PERKARA GRATIFIKASI Aldi Naradwipa Simamora, Reza Priyambodo, Edy Herdyanto Abstract The writing of this law aims

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana di dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut telah

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian (Omkering van Bewijslast) Pada Peradilan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Terdakwa

Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian (Omkering van Bewijslast) Pada Peradilan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Terdakwa Abstract Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian (Omkering van Bewijslast) Pada Peradilan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Terdakwa Oleh: Zainal Muhtar Corruption was considered detrimental

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan yang sangat marak terjadi dalam birokrasi pemerintahan mempunyai dampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat, salah satunya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran auditor investigatif dalam mengungkap tindak pidana khususnya kasus korupsi di Indonesia cukup signifikan. Beberapa kasus korupsi besar seperti kasus korupsi simulator

Lebih terperinci

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jl. MT. Haryono 169 Malang

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jl. MT. Haryono 169 Malang DISHARMONISASI PENGATURAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Erwin Adiabakti 1, Masruchin Ruba i 2, Yuliati 3 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jl.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam buku pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah

Lebih terperinci

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu BERITA NEGARA No.2041, 2014 MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Wewenang Praperadilan 1. Pengertian Praperadilan Kehadiran Lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015 SUATU KAJIAN TENTANG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SEBAGAI UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI (PASAL 2 DAN 3 UU NO. 31 TAHUN 1999) 1 Oleh : Rixy Fredo Soselisa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Hukum ISSN Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 9 Pages pp. 8-16

Jurnal Ilmu Hukum ISSN Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 9 Pages pp. 8-16 ISSN 2302-0180 9 Pages pp. 8-16 KEBERADAAN ALAT BUKTI SAKSI SINKRONISASI PEMBUKTIAN TERBALIK ANTARA UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK

Lebih terperinci

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN Oleh Maya Diah Safitri Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The right to obtain legal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DATA

BAB II IDENTIFIKASI DATA BAB II IDENTIFIKASI DATA 2.1. Definisi Buku Saku Secara umun buku adalah kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan A. Latar Belakang Korupsi merupakan permasalahan yang dapat dikatakan sebagai sumber utama dari permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

Masalah Gratifikasi. Roby Arya Brata ANGGOTA PENDIRI KELOMPOK KAJIAN KORUPSI DI NEGARA-NEGARA ASIA, ASIAN ASSOCIATION FOR PUBLIC ADMINISTRATION

Masalah Gratifikasi. Roby Arya Brata ANGGOTA PENDIRI KELOMPOK KAJIAN KORUPSI DI NEGARA-NEGARA ASIA, ASIAN ASSOCIATION FOR PUBLIC ADMINISTRATION Masalah Gratifikasi Roby Arya Brata ANGGOTA PENDIRI KELOMPOK KAJIAN KORUPSI DI NEGARA-NEGARA ASIA, ASIAN ASSOCIATION FOR PUBLIC ADMINISTRATION Dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Corruption

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci