Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian
|
|
- Herman Sasmita
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian (Review of Pharmacy Services in The Pharmacy Area of Banjarbaru Based on Government Pharmaceutical Services Standards) Nani Kartinah 1* ; Shofia Annisa 1 ; Thaita Yuniarti 1 & Hari Setyanto 2 1Farmasi Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 37 Banjarbaru, Kalsel, Indonesia 2 Puskesmas Sungai Rangas, Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalsel, Indonesia Corresponding nanikartinah@unlam.ac.id ABSTRAK Standar pelayanan kefarmasian merupakan acuan Apoteker untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran pelayanan kefarmasian di apotek wilayah kota Banjarbaru berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik menggunakan kuisioner pada bulan januari hingga maret 215. Sampel penelitian adalah 21 orang apoteker dan 42 orang asisten apoteker di Apotek wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan. Pengukuran yang dilakukan yaitu Frekuensi kehadiran Apoteker; Jumlah apoteker pendamping ; Jumlah asisten apoteker; Sarana dan prasarana (ruang racik dan ruang PIO); dan Penilaian pelayanan kefarmasian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Frekuensi kehadiran apoteker Frekuensi kehadiran Apoteker selama apotek buka (14,29%), setiap hari pada jam tertentu (14,29%), 2-3 kali seminggu (14,29%), 1 kali seminggu (28,57%), 1 kali sebulan (28,57%); Apoteker pendamping berjumlah 1 orang (19,5%), 2 orang (%), lebih dari 2 orang (%), tidak memiliki (8,95%); Asisten apoteker berjumlah 1 orang (%), 2 orang (66,67%), lebih dari 2 orang (33,33%), tidak memiliki (%); Memiliki ruang racik (1%) dan ruang PIO (38,1%); Pelayanan kefarmasian kategori baik (33,33%), cukup (47,62%), kurang (19,5%) Kata Kunci: Pelayanan Kefarmasian, Apotek, Banjarbaru PENDAHULUAN Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 29, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Anonim, 29). Pemerintah menetapkan Permenkes Nomor 35 tahun 214 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek yang berorientasi pada keselamatan pasien. Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek memiliki maksud dan tujuan, yaitu meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, serta melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (Anonim, 214) 245
2 P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r Hasil penelitian di kota Banjarmasin menunjukkan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian masih sangat kurang, dari total 3 apotek yang diteliti hanya 1 apotek yang termasuk kategori baik, 9 apotek kategori cukup dan 2 apotek termasuk kategori kurang (Mardiati, 211). Penelitian di 4 kota wilayah DKI Jakarta menunjukkan hampir 9% pelayanan swamedikasi dilakukan oleh asisten apoteker dan hanya 1% apoteker pengelola apotek (APA) yang ikut aktif dalam pelayanan informasi obat. Penelitian terhadap 19 APA di Jawa Tengah menyatakan bahwa sekitar 5% pengunjung belum pernah bertemu apoteker pengelola apotek dan hanya 5,3% apoteker pengelola apotek yang memberikan informasi (Sudibyo et.al., 211). Penelitian di kota Tegal menunjukkan dari 7 apotek yang diteliti 3 apotek termasuk kategori baik dan 4 apotek termasuk kategori kurang (Bertawati, 213). Penelitian di kota Surabaya menunjukkan 6% pelayanan kefarmasian masuk dalam kategori kurang (Darmasaputra, 214). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 189/MENKES/SK/III/26 tentang Kebijakan Obat Nasional (KONAS) pelayanan kefarmasian yang belum mengikuti pelayanan kefarmasian yang baik tidak hanya disebabkan oleh sistem pengelolaan obat, ketersediaan obat, tetapi juga ketersediaan, pemerataan, dan profesionalisme tenaga farmasi yang masih kurang (Anonim, 26 1 ). Untuk meningkatkan profesionalisme tenaga farmasi, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 29 (Anonim, 29), Permenkes Nomor 889/MENKES/PER/V/211 (Anonim, 211), dan Permenkes Nomor 35 tahun 214 (Anonim, 214). METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan jenis penelitian survey analitik Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan pada bulan Januari hingga Maret 215 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh Apoteker (43 orang) dan Asisten Apoteker (86 orang) yang bekerja di Apotek wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan. Sampel penelitian yaitu 21 orang Apoteker dan 42 orang Asisten Apoteker yang telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian berupa kuesioner yang telah diuji validasi dan reliabilitas. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan pada 2 orang (Ferguson & Cox, 1993) yang memiliki kesamaan ciri dengan sampel penelitian (Notoatmojo, 21). Hasil uji dikatakan valid jika r hitung > r tabel (Wasis, 28) dan dikatakan reliable jika nilai koefisien alpha >,6 (Aurelia, 213). Penilaian Pelayanan Kefarmasian Penilaian dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi, yaitu dilakukan dengan cara melihat skor atau nilai rata-rata dari variabel yang satu dengan skor rata-rata dari variabel yang lain (Notoatmojo, 21). Analisis kualitas pelayanan kefarmasian dibagi menjadi 5 aspek meliputi pelayana farmasi klinik, pengelolaan sediaa farmasi, administrasi, sarana 246
3 P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r dan prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian di apotek. Masing-masing skor penilaian dibagi menjadi 3 kategori yaitu baik, cukup, dan kurang yang mengacu pada Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Anonim, 26 2 ). Tabel 1. Skor Penilaian Pelayanan Kefarmasian Skor Nilai (%) Baik 81-1 Cukup 61-8 Kurang 2-6 HASIL DAN DISKUSI A. Frekuensi Kehadiran Apoteker Menurut Surat Keputusan Menteri kesehatan Nomor 1332 tahun 22 disebutkan bahwa waktu kerja apoteker pengelola apotek (APA) adalah selama apotek memulai aktivitas pelayanan sesuai dengan jam kerja setiap harinya (8 jam per hari) (Anonim, 22). Hasil penelitian tentang frekuensi kehadiran apoteker dapat dilihat pada Tabel 2. Frekuensi kehadiran apoteker yang tinggi akan memberikan pelayanan kefarmasian yang lebih tinggi di apotek, tetapi pada kenyataan sehari-hari tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan karena apoteker berhadir di apotek tidak selalu memberikan pelayanan kefarmasian (Darmasaputra, 214). Rendahnya frekuensi kehadiran apoteker disebabkan hampir sebagian besar apoteker memiliki pekerjaan lain selain menjadi Apoteker Pengelola Apotek (Kwando, 214). Kebanyakan apoteker pengelola apotek (APA) hanya berperan sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek dan bekerja di apotek hanya sebagai pekerjaan sambilan, sehingga jam bekerja apoteker tidak selama apotek buka (Ginting, 29) B. Jumlah Apoteker Pendamping Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332 tahun 22 menyebutkan apoteker pendamping merupakan apoteker yang bekerja di apotek disamping Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Hasil penelitian tentang jumlah apoteker pendamping dapat dilihat pada Tabel 3. Hadirnya apoteker pendamping membuat pelayanan kefarmasian di apotek berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan dan meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian apotek. Sebagian besar apotek tidak menunjuk apoteker pendamping karena pemilik sarana apotek (PSA) mempertimbangkan hasil pendapatan dari apotek, jika keuangan apotek belum stabil maka dengan penambahan apoteker pendamping akan membebani pendapatan apotek, usaha perapotekan bukan hanya mempunyai fungsi pelayanan kepada masyarakat, melainkan juga mempunyai fungsi bisnis untuk kelangsungan apotek (Yuliastuti, 212). C. Jumlah Asisten Apoteker Asisten apoteker merupakan tenaga kefarmasian yang bekerja membantu apoteker dalam melakukan kerja profesi farmasi, sehingga jumlah asisten apoteker setiap apotek diatur oleh kebijakan masing- 247
4 P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r masing daerah (Anonim, 22). Kebijakan daerah kota Banjarbaru menetapkan jumlah asisten apoteker untuk mendirikan apotek minimal 2 orang. (BPPTPM&PM, 213). Hasil penelitian tentang asisten apoteker dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan apotek di wilayah Banjarbaru sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan. D. Sarana dan Prasarana Pelayanan kefarmasian meliputi sarana dan prasarana, setiap apotek perlu menyediakan ruang konseling sekurangkurangnya satu set meja dan kursi konseling untuk memudahkan apoteker untuk memberikan informasi kepada pasien. (Anonim, 214). Hasil penelitian tentang sarana dan prasarana dapat dilihat pada Tabel 5. Pelayanan Informasi Obat (PIO) dilakukan pemberian informasi mengenai obat, baik obat resep, obat bebas seperti swamedikasi dan herbal. Konseling diperlukan terutama untuk pasien dengan kondisi khusus seperti pediatrik, geriatrik, ibu hamil dan menyusui; pasien dengan terapi jangka panjang seperti DM, TBC, epilepsi; pasien dengan obat yang perlu instruksi khusus seperti kortikosteroid; pasien dengan indeks terapi sempit seperti digoksin, teofilin, fenitoin; pasien dengan polifarmasi yaitu pasien menerima beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama; serta pasien dengan tingkat kepatuhan yang rendah (Anonim, 214). Hal ini yang menjadi dasar ditetapkannya kebijakan bahwa apotek harus memiliki ruang racik dan ruang konseling. Berdasarkan hasil diatas disimpulkan bahwa hanya sebagian apotek menyediakan ruang konseling dan PIO. Hal ini juga terjadi di daerah lain. Penelitian di kota Banjarmasin menunjukkan dari 3 apotek yang diteliti hanya 1% apotek yang memiliki ruang konseling dan PIO (Mardiati, 211). Penelitian di Apotek Kartens Manado menunjukkan belum memiliki ruang khusus untuk konseling dan PIO (Pojoh et.al., 213). Penelitian di kota Medan menunjukkan hanya 29,41% yang memiliki ruang konseling dan PIO (Ginting, 29). E. Penilaian Pelayanan Kefarmasian Pemerintah pada tahun 28 telah menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian, dimana dalam petunjuk teknis tersebut telah dijelaskan penilaian kinerja apotek kedalam 3 (tiga) kategori yaitu kategori baik, cukup baik, dan kurang baik. Peneliti masih mengacu pada petunjuk teknis tersebut dalam melakukan penilaian dengan menyesuaikan isi pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 35 tahun 214. Hasil penelitian tentang penilaian pelayanan kefarmasian dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa sebagian besar pelaksanaan pelayanan kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru masih pada kategori cukup. Penelitian yang dilaksanakan di kota Tegal juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Dari 7 apotek yang diteliti, ada 3 apotek masuk dalam kategori baik dan 4 apotek dalam kategori sedang (Bertawati, 213). Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori baik dilihat dari penilaian kegiatan pelayanan farmasi klinik, kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, kegiatan administrasi, kegiatan 248
5 P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r sarana dan prasarana, dan kegiatan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian di apotek yang telah dilaksanakan dengan baik. Apoteker pengelola apotek (APA) yang selalu berhadir di apotek, memiliki apoteker pendamping dan 2 orang asisten apoteker. Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori cukup mayoritas masih kurang maksimal pada aspek administrasi, sarana dan prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori kurang mayoritas tidak melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik seperti monitoring efek samping obat, pemantauan terapi obat, home care dan konseling. Kegiatan administrasi, evaluasi mutu pelayanan kefarmasian, dan sarana dan prasarana juga belum dilakukan dengan maksimal, sehingga penilaian keseluruhan menyebabkan apotek termasuk dalam kategori kurang. Faktor yang menyebabkan sebagian besar apotek di wilayah Banjarbaru berada pada kategori cukup terletak pada aspek administrasi, seperti belum melaksanakan kegiatan dokumentasi hasil monitoring penggunaan obat dan mendokumentasikan kegiatan pelayanan informasi obat (PIO) atau konseling. Faktor lain yaitu tidak tersedianya ruang pelayanan informasi obat (PIO) atau konseling, tidak tersedianya prosedur tetap dan tidak adanya mekanisme evaluasi seperti kotak saran. Prosedur Tetap (Protap) merupakan prosesproses yang dilakukan di apotek secara spontan sedangkan evaluasi merupakan proses yang dilakukan secara berkala terhadap semua komponen kegiatan yang dilakukan, sehingga menjadi dasar perbaikan terhadap pelayanan kefarmasian selanjutnya. Penelitian di apotek Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian besar apotek tidak memiliki protap dan sebagian lagi memiliki protap yang hanya tersimpan di komputer (Atmini et.al., 211). Evaluasi menggunakan kotak saran juga tidak banyak dilakukan karena masyarakat sendiri tidak mengisi kotak saran tersebut (Ihsan et.al, 214) Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yaitu apoteker tidak setiap saat hadir saat apotek buka (Ginting, 29) dan keterbatasan kemampuan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam farmasi klinik maupun manajerial apotek (Supardi et.al, 211). Jika seorang apoteker sedang tidak ada di apotek, maka pelayanan pun tidak akan berjalan. Tidak adanya apoteker pendamping menyebabkan tugas tersebut seringkali dilimpahkan pada asisten apoteker. Hal ini yang menyebabkan pelayanan kefarmasian belum berjalan sesuai standarnya (Sukrasno, 28). Tabel 2. Frekuensi Kehadiran Apoteker Frekuensi Kehadiran Jumlah Persentase (%) a. Selama apotek buka b. Setiap hari (kecuali hari libur) pada jam tertentu c. 2-3 kali seminggu d. 1x seminggu e. 1x sebulan
6 P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r Tabel 3. Jumlah Apoteker Pendamping Jumlah Apoteker Pendamping Jumlah a. 1 orang 4 b. 2 orang c. > 2 orang d. Tidak ada 17 Persentase (%) Tabel 4. Jumlah Asisten Apoteker Jumlah Asisten Apoteker a. 1 orang b. 2 orang c. > 2 orang d. Tidak ada Jumlah 14 7 Persentase (%) 66,67 33,33 Tabel 5. Sarana dan Prasarana Sarana dan Prasarana a. Terdapat ruang peracikan, penyimpanan dan penyerahan obat - Ya - Tidak b. Terdapat ruang konseling atau ruang PIO - Ya - Tidak Jumlah Persentase (%) 1 38,1 61,9 Tabel 6. Penilaian Pelayanan Kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru Penilaian Pelayanan Kefarmasian Jumlah Persentase (%) a. Kategori Baik b. Kategori Cukup 1 47,62 c. Kategori Kurang 4 19,5 KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu frekuensi kehadiran apoteker pada saat apotek buka sebesar 14,29%; Apoteker yang memiliki apoteker pendamping sebesar 19,5%; Apoteker yang memiliki 2 atau lebih asisten apoteker sebesar 1%; Apoteker yang memiliki ruang untuk melaksanakan konseling dan PIO sebesar 38,1%; dan hasil penilaian pelaksanaan pelayanan kefarmasian menunjukkan 47,62% masuk pada kategori cukup. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (22). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1332 tahun 22 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Anonim. (26 1 ). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 189 tahun 26 tentang kebijakan obat nasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (26 2 ). Surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 127/MENKES/SK/IX/24) tentang petunjuk teknis pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (29). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 29 tentang pekerjaan 25
7 P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (211). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 889 tahun 211 tentang registrasi, izin praktek, dan izin tenaga kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (214). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 35 tahun 214 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Aurelia, E. (213). Harapan dan kepercayaan konsumen apotek terhadap peran apoteker yang berada di wilayah Surabaya Barat. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2, 1-2. Bertawati. (213). Profil pelayanan kefarmasian dan kepuasan konsumen apotek di kecamatan Adiwerna kota Tegal. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2, 2-4 Darmasaputra, E. (214). Pemetaan peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian terkait frekuensi kehadiran apoteker di Apotek di Surabaya Barat. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 3, 1-5. Ferguson, E., & Cox, T. (1993). Exploratory factor analysis: A user s guide. International Journal of Selection and Assessment. 1, Ginting, A.BR. (29). Penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek di kota Medan tahun 28. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan Ihsan, S., Rezkya, P., & Akib, N.I. (214). Evaluasi mutu pelayanan di apotek komunitas kota Kendari berdasarkan standar pelayanan kefarmasian. Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 1, Kwando, R.R. (214). Pemetaan peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian terkait frekuensi kehadiran apoteker di apotek di Surabaya Timur. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.3, Mardiati, N. (211). Gambaran pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian apotek di kota Banjarmasin periode Maret-April 211. Skripsi. Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru Notoatmojo, S. (21). Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta Pojoh, J.A., Ulaen, S.P.J., & Sael, Y. (213). Penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek kartens Manado. Skripsi. Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes, Manado. Sudibyo, S.R., Handayani, Raharni, M., Herman, & Susyanti, A.L. (211). Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan pelatihan bagi apotekernya. Review : Sukrasno. (28). Pengembangan pendidikan profesi apoteker untuk mendukung eksistensi apoteker di apotek. Majalah Ilmu Kefarmasian. V, Supardi, S., Handayani, R.S., Raharni, Herman, M.I., & Susyanty A.L. (211). Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan pelatihan bagi apotekernya. Buletin Penelitian Kesehatan. 39, Wasis. (28). Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 251
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kefarmasian serta makin tingginya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, maka dituntut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian
Lebih terperinciPEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA TIMUR. Rendy Ricky Kwando, 2014
PEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA TIMUR Rendy Ricky Kwando, 2014 Fakultas Farmasi Rendy_kwa@yahoo.com Abstrak - Adanya standar-standar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan
Lebih terperinci2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot
No.906, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Kefarmasian. Puskesmas. Standar Pelayanan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN
Lebih terperinciPEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA BARAT. Erik Darmasaputra, 2014
PEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA BARAT Erik Darmasaputra, 2014 Fakultas Farmasi erikcinhong@yahoo.com Abstrak - Peran dan tanggung
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil dari tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, telinga
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapatkan
Lebih terperinciEVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI
EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI Oleh : DEWI MARYATI K 100 040 014 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila
Lebih terperinciLampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas Kegiatan
Lampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas No Kegiatan Helvetia Medan- Belawan Deli A. Kebijakan pelayanan kefarmasian 1. Penanggung jawab Apotek/Instalasi
Lebih terperinciTUJUAN. a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian. b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
TUJUAN a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan c. Melindungi pasiean dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud dalam Pancasila
Lebih terperinci2 Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lemb
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1162, 2014 KEMENKES. Kefarmasian. Apotek. Standar Pelayanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN
Lebih terperinciPROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN KEPUASAN KONSUMEN APOTEK DI KECAMATAN ADIWERNA KOTA TEGAL. Bertawati
PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN KEPUASAN KONSUMEN APOTEK DI KECAMATAN ADIWERNA KOTA TEGAL Bertawati Fakultas Farmasi Bertawati_ubaya@gmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui pelayanan kefarmasian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap masyarakat berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan terbaik bagi dirinya. Pengertian kesehatan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan serta didukung dengan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi memunculkan tantangan dan harapan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apotek merupakan bidang usaha yang sangat menjanjikan untuk digarap sebagai lahan bisnis saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan menjamurnya usaha apotek diberbagai
Lebih terperinciPENGARUH KEPUASAN TERHADAP KEMAUAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) JASA PELAYANAN KONSELING OLEH APOTEKER DI APOTEK
26 KARTIKA-JURNAL ILMIAH FARMASI, Jun 2016, 4(1), 26-30 p-issn 2354-6565 /e-issn 2502-3438 PENGARUH KEPUASAN TERHADAP KEMAUAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) JASA PELAYANAN KONSELING OLEH APOTEKER DI APOTEK
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah
Lebih terperinciLEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING Artikel yang berjudul Studi Pelaksanaan Konseling Obat Berdasarkan Penilaian Konsumen Pada Apotek Di Wilayah Kota Gorontalo Tahun 2014 Oleh : Minarti Abdul Majid Telah diperiksa
Lebih terperinciMedula Vol. 2 No. 1 Oktober 2014 ISSN
EVALUASI MUTU PELAYANAN DAN HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KONSUMEN DAN PELAKSANAAN PELAYANAN KEFARMASIAN OLEH APOTEKER PENGELOLA APOTEK DI APOTEK-APOTEK KOTA KENDARI Sunandar Ihsan, Putri Rezkya, Nur Illiyyin
Lebih terperinci2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144
No.206, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker PP 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker
Lebih terperinciKERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017
KERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017 Program : Program Pelayanan Kefarmsian Puskesmas Megang Hasil (Outcome) : Terselengaranya
Lebih terperinciTINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN MERTOYUDAN KABUPATEN MAGELANG
TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN MERTOYUDAN KABUPATEN MAGELANG Puspita Septie Dianita*, Elmiawati Latifah Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Menurut Undang-undang Republik
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha untuk mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan merupakan visi dari Kementerian Kesehatan RI dan telah dirumuskan dalam UU RI No. 36 tahun 2009
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung dan mempengaruhi pekerjaan
Lebih terperinciEvaluasi Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Kabupaten Magelang Berdasarkan Permenkes RI No.74 tahun 2016
Evaluasi Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Kabupaten Magelang Berdasarkan Permenkes RI No.74 tahun 2016 Puspita Septie Dianita 1*, Tiara Mega Kusuma 2, Ni Made Ayu Nila Septianingrum
Lebih terperinci2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Nega
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2017 KEMENKES. Standar Pelayanan Kefarmasian Apotek. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI
Lebih terperinciLampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK
Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK Jumlah tenaga teknis kefarmasian dan kualifikasi : Jumlah Apoteker : Orang Jumlah tenaga teknis kefarmasian (TTK) : Orang Jumlah tenaga
Lebih terperinci1.1. Keterlaksanaan standar pelayanan kefarmasian
Lampiran 1. Kuesioner penelitian 1.1. Keterlaksanaan standar pelayanan kefarmasian I. IDENTITAS APOTEKER PENANGGUNGJAWAB APOTEK (APA) 1. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 2. Pengalaman sebagai Apoteker
Lebih terperinciStabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit
Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kefarmasian serta makin tingginya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, maka dituntut
Lebih terperinciPENILAIAN TERHADAP PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK-APOTEK DI KOTA KETAPANG TAHUN 2016 NASKAH PUBLIKASI. Oleh: WIWIN ANDITASARI
PENILAIAN TERHADAP PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK-APOTEK DI KOTA KETAPANG TAHUN 216 NASKAH PUBLIKASI Oleh: WIWIN ANDITASARI NIM.I2111141 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
Lebih terperinciPELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN APOTEK DI WILAYAH KOTA BANJARMASIN
PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN APOTEK DI WILAYAH KOTA BANJARMASIN IMPLEMENTATION OF THE PHARMACEUTICALSERVICES STANDARD INTHE PHARMACY AREA OF BANJARMASIN Nurul Mardiati Sekolah Tinggi Ilmu
Lebih terperinciMAKALAH FARMASI SOSIAL
MAKALAH FARMASI SOSIAL KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DENGAN ASUHAN KEFARMASIAN DAN KESEHATAN DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 DIANSARI CITRA LINTONG ADE FAZLIANA MANTIKA JURUSAN FARMASI FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam melakukan kegiatan perlu memperhatikan masalah kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan dimana tubuh dan mampu melakukan kegiatan yang produktif, oleh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesejahteraan manusia tidak pernah terlepas dari kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan yang sehat secara fisik, mental, spiritual dan sosial yang memungkinkan setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah apoteker (PP 51, 2009 ; Permenkes RI, 2014). Apoteker sangat erat kaitannya
Lebih terperinciSri Hariati Dongge,S.Farm,Apt,MPH Dinas Kesehatan Kab. Konawe Sulawesi Tenggara
FORUM NASIONAL II : Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia PERSEPSI FARMASIS TENTANG KEBIJAKAN SUBSTITUSI GENERIK DAN PELAKSANAANNYA DI KABUPATEN KONAWE Sri Hariati Dongge,S.Farm,Apt,MPH Dinas Kesehatan
Lebih terperinciSOSIALISASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI SARANA KESEHATAN
SOSIALISASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI SARANA KESEHATAN Dinas Kesehatan Kabupaten Grobogan Disampaikan dalam Pertemuan Tri Wulan I PC IAI Grobogan Tahun 2016 Purwodadi, 12 Maret 2016 Pokok Bahasan
Lebih terperinciSURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN PERSEPSI APOTEKER TERHADAP KONSELING PASIEN DAN PELAKSANAANNYA DI APOTEK KABUPATEN SUKOHARJO
62 SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN PERSEPSI APOTEKER TERHADAP KONSELING PASIEN DAN PELAKSANAANNYA DI APOTEK KABUPATEN SUKOHARJO Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama :...
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode (Anonim. 2008 b ). 1. Periode zaman penjajahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas kehidupan manusia. Pembangunan
Lebih terperinci1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap mahluk hidup didunia memiliki hak untuk hidup sehat. Kesehatan merupakan suatu keadaan dimana tubuh dan jiwa yang tiap orang miliki mampu melakukan kegiatan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek jaringan di wilayah Surabaya Selatan sudah
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.
Lebih terperinciFakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan. Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien, Medan
PROFIL PEMENUHAN STANDAR PRAKTIK KEFARMASIAN BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN Oleh: Wiryanto 1), Juanita Tanuwijaya 1), Gracia 1), Sudewi 2) 1) Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan 2) Fakultas
Lebih terperinciFakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan. Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien, Medan
PROFIL PEMENUHAN STANDAR PRAKTIK KEFARMASIAN BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN Oleh: Wiryanto 1), Juanita Tanuwijaya 1), Gracia 1), Sudewi 2) 1) Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan 2) Fakultas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan setiap umat manusia karena aktivitasnya dapat terhambat apabila kondisi kesehatan tidak baik.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu unsur kesejahteraan dan hak asasi manusia adalah kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu aspek yang harus dipenuhi karena termasuk kebutuhan pokok manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang diatur dalam perundang-undangan, salah satunya yaitu hak mengenai kesehatan, sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 bahwa kesehatan
Lebih terperinciEVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016
EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016 Fitriana Yuliastuti 1, Heni Lutfiyati 2 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan standar
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju, berkembang pula akan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan diarahkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menunjang aktivitas sehari-hari. Kesehatan adalah kondisi yang terus
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah faktor terpenting dalam kehidupan sehari-hari karena kesehatan dapat mendukung kemampuan setiap manusia dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Kesehatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker (Presiden RI, 2009). Praktik kefarmasian meliputi pembuatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pada umumnya, mulai memperhatikan kesehatannya dengan cara mengatur pola makan serta berolahraga secara teratur. Kesadaran mengenai pentingnya kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakikatnya kesehatan adalah hak dasar yang senantiasa dimiliki oleh setiap manusia, tak terkecuali seluruh rakyat Indonesia. Menurut Undang - Undang Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang sangat penting bagi setiap orang. Tanpa adanya kesehatan yang baik, setiap orang akan mengalami kesulitan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pekerjaan Kefarmasian Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran
Lebih terperinciGAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI
GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: ROSY MELLISSA K.100.050.150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Lebih terperinciHUBUNGAN TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN DENGAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN APOTEK DI KABUPATEN REMBANG KOTA REMBANG NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN DENGAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN APOTEK DI KABUPATEN REMBANG KOTA REMBANG NASKAH PUBLIKASI Oleh: SALLY ASTYA UTAMI K 100 110 046 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan penting dari setiap manusia. Hidup sehat bukan hanya tujuan dari setiap individu melainkan juga tanggung jawab dan tujuan dari setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat seiring perkembangan zaman. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat senantiasa diupayakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesehatan masyarakat. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan sangat diperlukan bagi masyarakat untuk menjamin kesehatan masyarakat. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
Lebih terperinciPELAKSANAAN KONSELING OLEH APOTEKER DI APOTEK KECAMATAN TEMANGGUNG
PELAKSANAAN KONSELING OLEH APOTEKER DI APOTEK KECAMATAN TEMANGGUNG Heni Lutfiyati 1, Fitriana Yuliastuti 2, Puspita Septie Dianita 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan
Lebih terperinciTINGKAT PEMENUHAN STANDAR PRAKTIK BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN
TINGKAT PEMENUHAN STANDAR PRAKTIK BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN Wiryanto 1* dan Sudewi 2 1 Lab. Farmasi Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia 2 Lab. Farmasetika,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak paling mendasar yang harus dipenuhi setiap orang dalam mencapai kesejahteraan sosial dalam masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO),
Lebih terperinciPENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG
PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG Elmiawati Latifah 1, Prasojo Pribadi 2, Fitriana Yuliastuti 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerapan standar
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia dalam melakukan segala aktivitas dengan baik dan maksimal yang harus diperhatikan salah satu hal yaitu kesehatan. Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian berjudul Profil Penerapan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian berjudul Profil Penerapan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit Umum Daerah di Pulau Bangka merupakan penelitian noneksperimental. Metode dalam
Lebih terperinciEvaluasi Mutu Pelayanan Di Apotek Komunitas Kota Kendari Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian
30 Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.2, Desember 2014 Ihsan S., et.al. Evaluasi Mutu Pelayanan Di Apotek Komunitas Kota Kendari Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian Sunandar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang paling penting dan utama dalam kehidupan. Dengan menjaga kesehatan, manusia dapat memenuhi pekerjaan atau aktivitas sehari-hari dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah mengalami perubahan orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian non-eksperimental dan bersifat deskriptif. Data diambil
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan rancangan penelitian non-eksperimental dan bersifat deskriptif. Data diambil melalui pemberian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. obat (Drug Oriented) ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat (Drug Oriented) ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pemerintah telah menetapkan pola dasar pembangunan yaitu. pembangunan mutu sumberdayamanusia(sdm) di berbagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan tujuan pembangunan yang berwawasan kesehatan dan kesejahteraan, pemerintah telah menetapkan pola dasar pembangunan yaitu pembangunan mutu sumberdayamanusia(sdm)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan
Lebih terperinciBAB IV PEMBAHASAN. sakit yang berbeda. Hasil karakteristik dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Nama Rumah Sakit dan Tingkatan Rumah Sakit
BAB IV PEMBAHASAN A. Karakteristik Sampel Penelitian ini bertujuan untuk Rumah Sakit Umum Daerah Lombok untuk melihat gambaran Penerapan Farmasi Klinik rumah sakit sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Lebih terperinciOPINI APOTEKER DAN PASIEN TERHADAP PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MERAUKE DEASY ABRAHAM THOE, 2013
OPINI APOTEKER DAN PASIEN TERHADAP PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MERAUKE DEASY ABRAHAM THOE, 2013 Fakultas Farmasi Deasy_Abraham@yahoo.com Abstrak - Peran dan tanggung jawab
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. korelasi sebesar 72,2%, variabel Pelayanan informasi obat yang. mendapat skor bobot korelasi sebesar 74,1%.
67 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini antara lain adalah : 1. Kualitas pelayanan kefarmasian secara keseluruhan telah dinilai baik oleh para
Lebih terperinciLAPORAN KEMAJUAN. Ketua : Dr. rer.nat. I.M.A.G Wirasuta,M.Si.,Apt.
SUDUT PANDANG PASIEN DAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PELAYANAN KEFARMASIAN PADA FASILITAS KESEHATAN DI DAERAH DENPASAR, BADUNG, GIANYAR DAN TABANAN PADA ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL LAPORAN KEMAJUAN Ketua
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan memberikan pretest (sebelum perlakuan) dan. penelitian kuasi eksperimental dengan metode non-randomized
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (Quasy- Experiment) dengan metode pengumpulan data secara prospektif yang dilakukan dengan memberikan pretest
Lebih terperinciIJMS Indonesian Journal On Medical Science Volume 3 No 1 - Januari 2016
FAKTOR PELAYANAN KEFARMASIAN DALAM PENINGKATAN KEPUASAN PASIEN DI PELAYANAN KESEHATAN PHARMACEUTICAL SERVICES FACTOR in INCREASING PATIENT SATISFAC- TION in HEALTH CARE Imas Nurul Rahmawati 1, Sri Saptuti
Lebih terperinciApoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:
I.PENDAHULUAN Apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tempat dilakukannya praktik kefarmasian
Lebih terperinci5. Quality Assurance (QA) Peningkatan mutu dalam pelayanan kesehatan selain berorientasi kepada proses pelayanan yang bermutu,juga hasil mutu
5. Quality Assurance (QA) Peningkatan mutu dalam pelayanan kesehatan selain berorientasi kepada proses pelayanan yang bermutu,juga hasil mutu pelayanan kesehatan yang sesuai dengan keinginan pelanggan
Lebih terperinciHUBUNGAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA
HUBUNGAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA Novia Ariani * dan Aditya Maulana Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin Jl. Flamboyan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.
Lebih terperinci