BAB II. Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum Kewarisan Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum BW
|
|
- Agus Kurniawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum Kewarisan 2.1. Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum BW Pewarisan menurut hukum perdata diatur di dalam BW, Antara lain; 1. Pewarisan Berdasarkan Kedudukan Sendiri (uit eigenhoofde). Ahli waris menurut Undang-Undang (ab intestato) adalah ahli waris karena kedudukannya sendiri (uit eigenhoofde) demi hukum berhak mewarisi harta peninggalan pewaris, menurut BW, bahwa ahli waris menurut Undang- Undang harus memiliki hubungan darah dengan pewaris. Penggolongan ahli waris menurut hukum waris BW adalah sebagai berukut: a. Golongan pertama, yaitu terdiri dari suami/isteri, dan anak-anak pewaris beserta keturunannya dari anak-anak. Pasal yang mengatur golongan pertama ini adalah Pasal 852, 852a ayat 1, dan 852a ayat 2 BW. Pasal 852, bagian anak adalah sama besar walaupun anak-anak tersebut berasal dari perkawinan yang berbeda. Maksud dari Pasal 852 ini adalah hak mewaris dari anak-anak pewaris adalah sama, artinya mereka mendapatkan bagian yang sama besar walaupun mereka dilahirkan dari perkawinan yang berbeda. Pasal 852a ayat 1, bagian suami/isteri yang hidup terlama sama bagiannya dengan anak-anak. Maksud dari Pasal 852 ayat 1 adalah hak mewaris suami/isteri yang hidup terlama dalam perkawinan dimana terdapat anak-anak, bagiannya adalah sama dengan anak-anak sah dari pewaris. Pasal 852a ayat 2, bagian isteri/suami perkawinan kedua, tidak boleh melebihi bagian anak-anak dari perkawinan pertama, maksimal 1/4.
2 Maksud dari Pasal 852a ayat 2 ini adalah jika terjadi perkawinan kedua dan pewaris meninggalkan anak dan atau keturunannya dari perkawinan pertama, maka bagian suami/isteri perkawinan kedua tidak boleh melebihi bagian anak dari perkawian pertama. b. Golongan Kedua, yaitu terdiri bapak dan ibu, atau salah satu dari bapak/ibu, beserta saudara dan keturunannya. Pasal yang mengatur golongan kedua ini adalah Pasal 854, 855, 856, 857, BW. Pasal 854 BW tentang bagian warisan jika masih ada bapak dan ibu dan saudara. Bagian bapak dan ibu masing-masing 1/3 jika ada satu saudara, dan masingmasing ¼ jika ada dua saudara atau lebih. Pasal 855 BW tentang bagian warisan jika hanya terdapat bapak/ibu, maka bagian bapak/ibu yang hidup terlama adalah ½ jika mewaris bersama satu orang saudara, 1/3 jika mewaris bersama-sama dua orang saudara, ¼ jika mewaris bersama 3 orang saudara atau lebih. Pasal 856 BW, tentang tidak ada bapak/ibu, maka saudara berhak mewarisi seluruh harta warisan. Pasal 857 BW adalah mengenai pembagian saudara, adapun pembagian saudara terbagi dalam tiga macam saudara, yaitu saudara kandung, saudara sebapak, dan saudara seibu. Bagian saudara dari perkawinan yang sama maka bagiannya sama besar, sedangkan jika saudara-saudara berasal dari perkawinan yang berbeda, maka bagiannya harus dibagi dua (kloving) yaitu ½ bagian untuk saudara dalam garis sebapak, dan ½ untuk saudara garis seibu, saudara langsung memperoleh dua bagian, yaitu bagian dari garis sebapak dan bagian dari garis seibu.
3 c. Golongan ketiga, yang terdiri dari kakek, nenek dan seterusnya, beserta keluarga dalam garis lurus keatas, baik dalam garis sebapak maupun dalam garis seibu. Pasal-pasal yang mengatur golongan ketiga ini adalah Pasal 850,853,858 BW. Seperti halnya pembagian saudara dalam Pasal 857 BW, pembagian dalam ahli waris golongan ketiga juga harus dilakukan kloving terlebih dahulu, yaitu ½ bagian untuk ahli waris dalam garis sebapak, dan ½ bagian untuk ahli waris garis seibu. d. Golongan keempat, yang terdiri saudara dari kedua orang tua serta sekalian keturunan mereka sampai derajat keenam. Ahli waris golongan keempat ini termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam garis menyimpang yang lebih jauh. Pasal-pasal yang mengatur golongan keempat ini adalah Pasal 850, 858, 861, BW. Pembagian ahliwaris golongan keempat ini intinya sama dengan pembagian golongan ketiga, bahwa dalam pembagian warisan harus dikloving terlebih dahulu, yaitu 1/2 bagian untuk ahli waris dalam garis sebapak, dan ½ bagian untuk ahli waris dalam garis seibu. Hal penting yang patut diketahui bahwa yang berhak mewaris hanyalah sampai derajat keenam, setelah derajat keenam tidak akan tampil sebagai ahli waris. Sebagaimana terdapat pengaturan didalam Pasal 861 BW: Keluarga sedarah, yang dengan si meninggal bertalian keluarga dalam garis menyimpang lebih dari derajat keenam, tak mewaris Sudarsono. Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, Rineka Cipta, Jakarta;1993.h.129
4 2. Pewarisan Berdasarkan Penggantian Tempat Lembaga hukum waris penggantian tempat ditujukan untuk memberi perlindungan hukum kepada keturunan sah dari ahli waris yang telah meninggal lebih dulu, dengan cara menyerahkan hak ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunan yang sah. Penerimaan harta warisan oleh keturunan yang sah dari ahli waris yang telah meninggal tersebut bukan dalam kedudukan sebagai ahli waris melainkan sebagai pengganti dari ahli waris yang telah meninggal tersebut. Kedudukan sebagai ahli waris tetap pada si yang meninggal, sedangkan keturunan sah berkedudukan sebagai ahli waris pengganti. 15 Pengertian dari penggantian ini dapat kita temukan dari ketentuan Pasal 841 BW menurut ketentuan pasal tersebut, penggantian adalah memberikan hak kepada seseorang yang menggantikan, untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak dari orang yang digantikan. Dengan demikian, pengertian penggantian menurut ketentuan pasal tersebut diatas adalah memberikan hak kepada seseorang untuk bertindak sebagai penggantinya, baik dalam derajat maupun dalam segala hak dari orang yang digantikan itu, khususnya yang berkaitan dengan pembagian harta warisan. 16 Penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Boedel (beneficiare aanvaarding) pada umumnya dianjurkan dalam semua hal dimana yang meninggal dunia menjalankan pekerjaan yang penuh resiko. Sehingga dengan adanya hak istimewa mengadakan pendaftaran Boedel dalam penerimaan warisan secara otomatis akan mewujudkan suatu kewajiban 15 Ibid. h Benjamin Asri Dan Thabrani Asri, Dasar-Dasar Hukum Waris Barat (Suatu Pembahasan Teoritis Dan Praktek), Tarsito, Bandung, 1988, h. 37
5 menyusun daftar Boedel yang mana nantinya sang ahli waris berkewajiban mengurus barang-barang yang termasuk harta peninggalan dan menyelesaikan pembagian harta peninggalan pewaris. Jadi ia wajib bertanggungjawab atas pengurusan harta peninggalan tersebut. Masalah penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Boedel ini diatur dalam pasal 1075 BW. Dengan penerimaan warisan ini maka diterima pulalah akibat-akibat yang terkait dengan kedudukan ahli waris, yaitu: 1) Ahli waris tidak berkewajiban membayar hutang-hutang pewaris selain nilai barang-barang harta peninggalan; 2) Harta peninggalan tetap merupakan harta kekayaan yang dipisahkan walaupun hanya ada satu orang ahli waris yang bertindak. Hak memikir ialah hak diberikan oleh undang-undang kepada ahli waris untuk memikirkan dan meneliti keadaan harta peninggalan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk menerimanya atau menolaknya (pasal 1023 BW). Adapun ahli waris yang ingin memanfaatkan hak memikir tersebut maka harus menempuh langkah-langkah: 1) Mengajukan suatu pernyataan tertulis tentang maksud tersebut kepada Panitera Pengadilan Negeri wilayah di mana harta peninggalan itu berada; 2) Maka selama empat bulan terhitung mulai tanggal diajukannya pernyataan tersebut pihak yang bersangkutan diberi kesempatan mengadakan inventarisasi harta peninggalan dan melakukan pertimbanganpertimbangan. Jangka waktu empat bulan tersebut oleh Hakim dapat diperpanjang lagi karena alasan-alasan yang mendesak (pasal 1024 BW);
6 3) Setelah jangka waktu empat bulan berlalu maka Hakim menetapkan bahwa pihak yang mempergunakan hak memikir tersebut dapat dipaksa-kan untuk mengambil keputusan (pasal 1029 BW). Keadaan ahli waris pada masa berlangsungnya memanfaatkan hak memikir hanya berkewajiban mengurus harta peninggalan sebagai bapak rumah tangga yang baik dan keahliwarisannya dikatakan sedang tidur dan menyelesaikan urusan warisan itu selekas-lekasnya (pasal 1033 BW). Sedangkan ahli waris yang menggunakan hak memikir kemudian akhirnya dia menolak warisan, maka ia dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Penolakan warisan adalah keengganan ahli waris untuk menerima bagiannya karena suatu hal, adakalanya karena ia harus menerima warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran boedel sehingga ia merasa keberatan dan kesulitan karena harus bertanggung jawab atas pengurusan harta peninggalan atau juga karena rasa hormat kepada pewaris, atau juga karena ia mempunyai kepastian bahwa harta peninggalan tersebut akan mewujudkan saldo yang negatif, dan sebagainya. Sehingga ahli waris tersebut memutuskan untuk menolak warisan yang dinyatakan secara tegas melalui surat keterangan tertulis yang diberikan oleh Panitera Pengadilan Negeri wilayah dimana harta peninggalan tersebut berada. (H.F.A. Vollmar,1992) Di dalam BW diatur tentang penolakan warisan seperti terdapat pada pasal-pasal berikut;
7 1057 BW. Penolakan suatu warisan harus dilakukan dengan tegas, dan harus terjadi dengan cara memberikan pernyataan di kepaniteraan pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka BW. Ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. (BW. 833, 955, 1047, 1056.) BW. Bagian warisan dari orang yang menolak warisan jatuh ke tangan orang yang sedianya berhak atas bagian itu, andaikata orang yang menolak itu tidak ada pada waktu pewaris meninggal. (BW. 135, 832, 861, 914, 1002, 1052, 1054, 1060 dst., 1126.) 1060 BW. Orang yang telah menolak warisan sekali-kali tidak dapat diwakili dengan penggantian ahli waris; bila ia itu satu-satunya ahli waris dalam derajatnya, atau bila semua ahli waris menolak warisannya, maka anak-anak mereka menjadi ahli waris karena diri mereka sendiri dan mewarisi bagian yang sama. (BW. 840, 847, 1059.) BW. Para kreditur yang dirugikan oleh debitur yang menolak warisannya, dapat mengajukan permohonan kepada hakim, supaya diberi kuasa untuk menerima warisan itu atas nama dan sebagai pengganti debitur itu. Dalam hal itu, penolakan warisan itu hanya boleh dibatalkan demi kepentingan para kreditur itu dan sampai sebesar piutang mereka; penolakan itu sekali-kali tidak batal untuk keuntungan ahli waris yang telah menolak warisan itu BW. Wewenang untuk menolak warisan tidak dapat hilang karena kedaluwarsa. (1055 BW dst., 1967 BW).
8 1063BW. Sekalipun dengan perjanjian perkawinan, seseorang tidak dapat melepaskan diri dari warisan seseorang yang masih hidup, ataupun mengalihtangankan hak-hak yang akan diperolehnya atas warisan demikian itu di kemudian hari BW. Ahli waris yang menghilangkan atau menyembunyikan barangbarang yang termasuk harta peninggalan, kehilangan wewenang untuk menolak warisannya; ia tetap sebagai ahli waris murni, meskipun ia menolak, dan tidak boleh menuntut suatu bagian pun dari barang yang dihilangkan atau disembunyikannya. (BW 137, 1031, 1048.) BW. Tiada seorang pun dapat seluruhnya dipulihkan kembali dari penolakan suatu warisan, kecuali bila penolakan itu terjadi karena penipuan atau paksaan.( BW. 1053, 1321, 1323, 1328, 1449.). Didalam BW telah mengatur secara jelas bagaimana menolak warisan, akibat dari penolakan warisan dan lain-lain secara jelas namun dalam hal ini tidak dijelaskan secara terperinci bagaimana prosedur dalam mengajukan penolakan warisan Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum Kewarisan Islam Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh. 17 Berbicara mengenai warisan tidak lepas dari yang namanya harta kekayaan. Paling tidak ada dua fungsi harta kekayaan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemilik harta itu dan untuk menjalin hubungan h.3 17 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Airlangga University Press, Surabaya, 2003,
9 persaudaraan diantara sesama manusia. Bagi orang yang menerima limpahan harta kekayaan ada kewajiban memberikan sebagian kepada orang lain, terutama kepada mereka yang sedang sangat membutuhkan. Di samping kewajiban tersebut ada pula ajaran untuk saling memberikan hadiah, walaupun mereka tidak dalam keadaan membutuhkan. Dalam hal ini fungsi harta sebagai media untuk melanggengkan silaturrahmi di antara sesama warga masyarakat. Amanah atas harta kekayaan ini apabila tidak dilaksanakan secara baik akan dapat menjadi sumber ketidak harmonisan dalam kehidupan manusia bermasyarakat. 18 Dalam Islam mengenai harta warisan sudah diatur sedemikian rupa, akan tetapi dari pihak yang bersangkutan ada yang menolak atau menghendaki penolakan tersebut, bagaimana pandangan Islam dalam hal penolakan warisan dan bagaiman akibat hukumnya tidak diatur secara jelas mengenai hal penolakan waris secara khusus dalam Undang-Undang. Pelaksanaan syariat Islam termasuk pembagian harta warisan menurut faraid telah mendapat dasar hukum yang kuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Di dalam pasal 49 Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa pengadilan agama berwenang mengadili perkara warisan orang Islam. Berdasarkan ketentuan ini perkara warisan orang Islam akan diadili berdasarkan hukum Islam (Faraid). Dalam penjelasan pasal 49 huruf b dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan 18 Ibid., h. 1
10 pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Dari hal-hal tersebut di atas maka dalam pelaksanaan pembagian waris tidak dapat dipisahkan dengan azas-azas hukum waris Islam yang meliputi: 1. Azas Integrity: Ketulusan Integrity artinya: Ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. 2. Azas Ta' abbudi: Penghambaan diri Yang dimaksud azas Ta'abbudi adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT, yang akan berpahala bila ditaati seperti layaknya mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya. 3. Azas Hukukul Maliyah: Hak-hak Kebendaan Yang dimaksud dengan Hukukul Maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. 4. Azas Hukukun Thabi iyah: Hak-Hak Dasar Pengertian hukukun thabi iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia
11 masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. 5. Azas Ijbari: Keharusan, kewajiban Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. 6. Azas Bilateral Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. 7. Azas Individual: Perorangan Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masingmasing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. 8. Azas Keadilan yang Berimbang Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
12 9. Azas Kematian Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. 10. Azas Membagi Habis Harta Warisan Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah azas dari penyelesaian pembagian harta warisan. 19 Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersifat mengatur (regelend), tidak bersifat mutlak (dwingend) dalam arti para pihak dimungkinkan untuk membagi warisan di luar ketentuan itu, tentunya sepanjang kesepakatan dan kehendak masing-masing. Akan tetapi karena ketentuan hukum waris dalam Islam dalam pelaksanaannya merupakan pengabdian kepada Allah SWT dan sebagai salah satu bentuk ibadah. 19 Chatib Rasyid,(Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta),Makalah Azas-Azas Hukum Waris Dalam Islam, Yogyakarta, 8 Juli 2008.
13 Di dalam hukum Islam tidak mengenal penolakan waris sebagaimana ada didalam BW tetapi bagi para ahli waris yang ingin memberikan bagian harta warisannya pada ahli waris lainnya seperti yang terjadi dalam penolakan waris menurut hukum BW, hukum Islam mengatur tentang melakukan kerukunan dalam pembagian harta warisan yang dsebut dengan tashaluh (perdamaian) atau takharuj (sebagian ahli waris rela keluar dari penerimaan harta warisan baik untuk seluruh maupun sebagian). Menurut hukum Islam, pada dasarnya seorang pemilik harta dapat menggunakan harta miliknya sekehendak si pemilik sepanjang tidak dilarang oleh Syara (Agama). Atas dasar itu orang memperoleh bagian harta warisan dapat merelakan harta yang diterima itu utuk diberikan kepada ahli waris lain, baik seluruh maupun sebagian baik dengan imbalan atau tidak. Pembagian harta warisan dengan tashaluh ini, dilakukan setelah masingmasing ahli waris mengetahui bagiannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan pembagian harta waris menurut Hukum Islam. Dalam pasal 183 KHI ditegaskan bahwa ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Takharuj dapat diartikan pula mengeluarkan sebagian harta waris, karena salah seorang dari ahli waris memintanya, kemudian bersedia menggantinya. Hal tersebut diperbolehkan bila para ahli waris melakukanya dengan sukarela Kewenangan Notaris Dalam menerbitkan akta penolakan waris Demi untuk kepentingan Notaris dan untuk melayani kepentingan masyarakat Indonesia, maka pemerintah berupaya pada tanggal 6 Oktober 2004
14 telah disahkan Peraturan Jabatan Notaris yang kita sebut dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN). Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang pejabat Negara/pejabat umum yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Pengertian Notaris terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Bab I Pasal 1 ayat (1) yaitu, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang dan mewakili kekuasaan umum untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini, untuk kepentingan pembuktian atau sebagai alat bukti. Memperhatikan uraian Pasal 1 UUJN, dapat dijelaskan bahwa Notaris adalah: a. Pejabat umum b. Berwenang membuat akta c. Otentik d. Ditentukan oleh undang-undang Tugas Notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik. Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum. 20 Jabatan Notaris merupakan jabatan yang keberadaannya dikehendaki guna mewujudkan hubungan hukum diantara subyek-subyek hukum yang bersifat perdata. Notaris 20 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 2000, h. 159
15 sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting yang dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam melayani masyarakat dalam menjamin kepastian, ketertiban, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Notaris sebagai salah satu penegak hukum karena notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh notaris dalam aktanya adalah benar. 21 Notaris sebagai pejabat publik mempunyai karakteristik sebagai berikut : 22 a. Sebagai Jabatan UUJN merupakan unifikasi dibidang pengaturan jabatan notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undangundang yang mengatur Jabatan notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu 21 Liliana Tedjosaputro, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, Agung, Semarang, 1991, h.4 22 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2008, h.82
16 (kewenangan tertentu) serta sifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian, jika seorang pejabat (notaris) melakukan tindakan tidak diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang notaris tercantum dalam UUJN Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3). Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN, wewenang notaris adalah membuat akta, namun bukan membuat surat seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atau membuat surat lain, seperti Surat Keterangan Waris (SKW). Didalam hukum Islam tidak dikenal penolakan warisan namun di kenal tashaluh dan takharuj. Dalam hal ini notaris tidak dapat membuat akta penolakan waris namun notaris dapat membuat akta keterangan ahli waris dan akta keterangan hak waris adapun dasar hukumnya sebagai berikut: 1. Pasal 15 (1) UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris; Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
17 2. Pasal 42 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ; Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris. Atas dasar uraian tersebut, maka Surat Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tertanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 tentang surat keterangan warisan dan pembuktian kewarganegaraan juncto pasal 42 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Juncto ketentuan pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang merumuskan: - Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa: a. Wasiat dari pewaris, atau b. Putusan Pengadilan, atau c. Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan, atau bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia. bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa: Akta keterangan hak mewaris dari Notaris. bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: Surat Keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.
18 Tentang Bagaimana Tata Cara Permohonan Akta Penolakan Waris adalah sebagai berikut; 23 1) Pemohon mengajukan Surat Permohonan. 2) Pemohon menyerahkan : a. Surat Keterangan Waris dari Notaris b. Foto copy KTP keluarga dan Kartu Keluarga c. Foto copy Akta Kelahiran seluruh keluarga d. Foto copy Akta kematian Pewaris e. Foto copy Akta perkawinan pewaris f. Foto copy Surat Pernyataan Ganti Nama (jika ada) g. Materai Rp.6000,- sebanyak 2 lembar 3) Petugas Kepaniteraan Hukum memeriksa dan memproses 4) Proses Akta Penolakan Waris memakan waktu maksimal 1 hari 5) Membayar Biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)/ Leges sebesar Rp. 5000,- Notaris tidak berwenang membuat akta penolakan waris, karena Menurut Pasal 1057 BW, menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu. Dari pasal diatas dapat kita ketahui bahwa penolakan waris hanya dapat dilakukan melalui pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, oleh karena itu notaris 23 Apendaftaran-Perkara&Catid=15%3Apenolakan-Waris&Lang=Id.
19 tidak dapat membuat akta penolakan waris, karena notaries tidak dapat membuat akta yang berisi ahli waris menolak untuk menjadi ahli waris.
BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,
BAB I PENDAHULUAN Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan adanya kelahiran maka berakibat pada timbulnya hak dan kewajban baik dari
Lebih terperinciAZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM
AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM Pendahuluan Oleh : Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH. 1 Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari al-qur'an dan Hadist Rasulullah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai anggota dari masyarakat merupakan penyandang hak dan kewajiban. Menurut Aristoteles, seorang ahli fikir yunani kuno menyatakan dalam
Lebih terperinciBAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS
BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS A. Kedudukan Notaris Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), menyebutkan bahwa
Lebih terperinciLex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015
AHLI WARIS PENGGANTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Patricia Diana Pangow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan seseorang sebagai
Lebih terperinciBentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.
Lebih terperinciAZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM
1 AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM Oleh : Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Pendahuluan Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk dalam lapangan atau bidang hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang
Lebih terperinciHUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH
Hukum Keluarga dan Waris HUKUM WARIS ISTILAH Didalam hukum waris dikenal istilah-istilah seperti pewaris, ahli waris, harta waris, boedel, testament, legaat, dan legitieme portie[1]. Yang dimaksud Pewaris
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menurut Mr.A.Pitlo adalah rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia yang meninggal dunia maka hak dan kewajibannya demi hukum akan beralih kepada ahli warisnya. Hak dan kewajiban yang dapat beralih adalah hak dan kewajiban
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum faham terhadap pengertian, tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana yang menjadi
Lebih terperinciBAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR
BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah
Lebih terperinciHUKUM WARIS PERDATA BARAT
HUKUM WARIS PERDATA BARAT I. PENGERTIAN HUKUM WARIS Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan mengatur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan perlindungan hukum menuntut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia selain sebagai individu juga sebagai makhluk sosial, dimana dalam memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai saat ia akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang manusia yang lahir di dunia ini, memiliki hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya maupun kepada manusia-manusia lain disekitarnya dimulai kepadanya
Lebih terperinciBAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai
Lebih terperinciBAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN
BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
Lebih terperinciHUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA
HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA Dalam peradilan atau dalam hukum Indonesia juga terdapat hukum waris adat. Selama ini, khususnya sebelum munculnya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memang
Lebih terperinciPerbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia.
Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia. Hukum orang merupakan suatu hukum yang mempelajari ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum. Dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan mengenai
Lebih terperinciBAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan
46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia ( naturlijk person) sebagai subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban sehingga dapat melakukan perbuatan hukum. Mempunyai atau menyandang hak dan kewajban
Lebih terperinciBAB V. KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata
BAB V KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata Dalam pembahasan bab ini merupakan ulasan mengenai titik singgung antara pembagian kewarisan dalam KHI, CLD KHI dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pejabat berwenang, yang isinya menerangkan tentang pihak-pihak yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan mengenai waris merupakan persoalan yang tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terkait dengan bukti sebagai ahli waris. Bukti sebagai ahli waris
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam perjalanan hidupnya pasti akan mengalami peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah kejadian, keadaan atau
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2014 HUKUM. Notaris. Jabatan. Jasa Hukum. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki sistem hukum. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hal yang sangat diperlukan adalah ditegakkannya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang jabatan notaris.
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN WARIS UNTUK PENDAFTARAN TANAH SILVANA MUKTI DJAYANTI / D ABSTRAK
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN WARIS UNTUK PENDAFTARAN TANAH SILVANA MUKTI DJAYANTI / D 101 09 389 ABSTRAK Penulisan yang diberi judul Tinjauan Yuridis tentang Penggunaan Surat Keterangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan budaya manusia yang telah mencapai taraf yang luar biasa. Di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi seperti saat sekarang ini merupakan wujud dari perkembangan budaya manusia yang telah mencapai taraf yang luar biasa. Di dalamnya manusia bergerak
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPerpajakan 2 Pengadilan Pajak
Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan
Lebih terperinciBAB I TENJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS
BAB I TENJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS A. PENGERTIAN HUKUM WARIS Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian. Peristiwa kematian ini, terjadi pada seseorang anggota keluarga, misalnya ayah,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Lebih terperinciBAB II STATUS HUKUM HARTA WARIS YANG DIPEROLEH BERDASAR PADA WASIAT / TESTAMEN. hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris.
20 BAB II STATUS HUKUM HARTA WARIS YANG DIPEROLEH BERDASAR PADA WASIAT / TESTAMEN A. Perolehan Harta Waris Menurut BW Pewarisan berdasarkan undang-undang adalah suatu bentuk pewarisan dimana hubungan darah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tersebut juga termasuk mengatur hal-hal yang diantaranya hubungan antar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum, dimana hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam segala hal. Keberadaan hukum tersebut juga termasuk mengatur hal-hal
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga
BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga Masyarakat di Indonesia telah menganut tiga hukum mengenai hibah, yaitu Hukum Adat,
Lebih terperinciBAB VII PERADILAN PAJAK
BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan
Lebih terperinciBAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata
BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1 A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata Anak dalam kandungan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memiliki
Lebih terperinciMENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 174/PMK.06/2010 TENTANG PEJABAT LELANG KELAS I
SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 174/PMK.06/2010 TENTANG PEJABAT LELANG KELAS I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan
Lebih terperinciDimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum
PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai negara hukum pemerintah negara
Lebih terperinciNOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)
NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Untuk dapat mencegah permasalahan mengenai harta warisan tersebut, hukum
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Harta warisan terkadang menjadi permasalahan yang sangat rumit, bagi sebagian kalangan masyarakat, persoalan harta warisan ini bahkan bisa menimbulkan peperangan, perpecahan,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu perjanjian tertulis merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini
Lebih terperinciistilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst
Lebih terperinciPERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh
PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh Ahmad Royani Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan Abstrak
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian merupakan instrumen penting dalam membangun negara yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan tetapi perkembangan
Lebih terperinciBAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN
44 BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN 1. Tugas dan Wewenang Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Sebagai badan hukum, pengurus perhimpunan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diharapkan. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara berkembang yang masih berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pembangunan merupakan salah satu bentuk
Lebih terperinciPERANAN AKTA PERALIHAN HAK DENGAN GANTI RUGI OLEH NOTARIS DALAM PROSES PENDAFTARAN HAKNYA
30 BAB II PERANAN AKTA PERALIHAN HAK DENGAN GANTI RUGI OLEH NOTARIS DALAM PROSES PENDAFTARAN HAKNYA A. Fungsi Akta PHGR Oleh Notaris 1. Kewenangan Notaris dalam membuat Akta PHGR Notaris adalah pejabat
Lebih terperinciNomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010
Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010 Tanggal dibacakan putusan : 26 Mei 2010 Amar : Dikabulkan Kata Kunci : Polygami Jenis Lembaga
Lebih terperinciJudul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa
Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa Penerbit dan pencetak: PT Refika Aditama (Cetakan kesatu, Juni 2011. Cetakan kedua, April
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciPENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA
PENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA Oleh: Arya Bagus Khrisna Budi Santosa Putra I Gusti Agung Ayu Ari Krisnawati Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The
Lebih terperinciBerdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai berbagai macam profesi yang bergerak di bidang hukum. Profesi di bidang hukum merupakan suatu profesi yang ilmunya
Lebih terperinciBAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek
BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA A. Hukum kewarisan perdata Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek yang sering disebut BW adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan
Lebih terperinciANALISIS AKTA PEMBAGIAN WARISAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS MENURUT HUKUM ISLAM
ANALISIS AKTA PEMBAGIAN WARISAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS MENURUT HUKUM ISLAM Rosita Ruhani E-mail : rositaruhani@gmail.com Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Mohammad
Lebih terperinciLex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018
PELAKSANAAN SURAT WASIAT BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DALAM PRAKTEK KENOTARIATAN 1 Oleh: Karini Rivayanti Medellu 2 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Telly Sumbu, SH, MH Meiske T. Sondakh, SH,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis
Lebih terperinciBAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.
BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat memerlukan kepastian hukum. Selain itu, memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang, seiring meningkatnya kebutuhan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial. Artinya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sejak manusia lahir, hidup dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Upaya notaris..., Tammy Angelina Wenas-Kumontoy, FH UI, Baru van Hoeve,2007),hal.449. Universitas Indonesia
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterangannya dapat diandalkan dan dapat dipercaya. Figur itu juga harus seseorang yang tanda tangannya serta
Lebih terperinciHeru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa
Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK ANGKAT ATAS HARTA YANG DIPEROLEH DARI HIBAH SETELAH ORANG TUA ANGKATNYA MENINGGAL DUNIA RESUME TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK ANGKAT ATAS HARTA YANG DIPEROLEH DARI HIBAH SETELAH ORANG TUA ANGKATNYA MENINGGAL DUNIA RESUME TESIS OLEH : RYAN ADITYA, S.H NIM 12211044 PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT
79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT SUAMI ISTRI DALAM PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA MALANG Perkara Nomor:
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta otentik tersebut tidak dikhususkan kepada pejabat umum lainnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak pernah lepas dari interaksi dengan sesama. Bahkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu itu diharuskan bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Manusia di dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya senantiasa akan mempunyai kepentingan antara individu satu dengan yang lainnya. Untuk mengadakan ketertiban manusiawi
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENOLAK GUGATAN REKONVENSI DALAM. PUTUSAN No: 1798 / Pdt.G/2003/PA.Sby
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENOLAK GUGATAN REKONVENSI DALAM PUTUSAN No: 1798 / Pdt.G/2003/PA.Sby A. Dasar Hukum Majelis Hakim Menolak Gugatan Rekonvensi dalam Putusan No.
Lebih terperinciWaris Menurut BW Bab I Pendahuluan
Waris Menurut BW Bab I Pendahuluan Disusun Oleh: Dimas Candra Eka 135010100111036(02) Hariz Muhammad 135010101111182(06) Nyoman Kurniadi 135010107111063 (07) Edwin Setyadi K. 135010107111071(08) Dewangga
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
Lebih terperinciSeorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh
Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh mengikatkan diri dalam perkawinan dan untuk membuat perjanjian kawin mereka wajib didampingi oleh orang-orang yang wajib memberikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1 Hal itu menegaskan bahwa pemerintah menjamin kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
Lebih terperinciSALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 159/PMK.06/2013 TENTANG
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 159/PMK.06/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 175/PMK.06/2010 TENTANG PEJABAT LELANG
Lebih terperinciBAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN
28 BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN A. Karakter Yuridis Akta Notaris Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau diakui oleh hukum terdiri dari : a. Bukti tulisan;
Lebih terperinciRESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU
RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU Disusun Oleh : SIVA ZAMRUTIN NISA, S. H NIM : 12211037 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
Lebih terperincidiasuh oleh team-teaching PROGRAM PASCASARJANA USU Program Magister Kenotariatan
diasuh oleh team-teaching PROGRAM PASCASARJANA USU Program Magister Kenotariatan KEKELUARGAAN SEDARAH DAN SEMENDA (bloedverwantschap en zwagerschap) BAB-XIII BUKU-I BW (Pasal-290 dst BW) (1) KELUARGA SEDARAH
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara
Lebih terperinciLampiran 1 Pasal-Pasal KUHP Mengenai Pembuktian dengan Tulisan
104 Lampiran 1 Pasal-Pasal KUHP Mengenai Pembuktian dengan Tulisan Pasal 1867 berbunyi, Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. Pasal 1868 berbunyi
Lebih terperinciBAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN
31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan
Lebih terperinci