ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT"

Transkripsi

1 ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) MA SITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 29

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul : ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) adalah karya saya sendiri di bawah komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditujukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis dari perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Januari 29 Ma sitasari C2552

3 ABSTRACT MA SITASARI. Ecological Space Analysis of Small Islands Utilization for Seaweed Culture (Case Study of Salbangka Islands, Morowali Regency, Central Sulawesi Province). Supervised by LUKY ADRIANTO and AGUSTINUS M. SAMOSIR. The Salabangka Islands as on of the coastal zone that consist of small islands that lays in the Morowali Regency, Central Sulawesi Provice, have potential in nature resouces that can be use on supporting the development in this regency. It is a culture of seaweed. The aim of this research to identify suitable coastal of Salabangka Islands for culture of seaweed dan estimate carring capacity coastal of Salabangka Islands for develompment of seaweed culture by use of ecological footprint approach. The result of identify coastal showed that a spasial of ecology Salabangka Islands suitable to culture of seaweed, while estimate carring capacity of coastal that the ecological footprint (EF) of seaweed smaller than biocapacity (BC). Thus, the carring capacity of seaweed culture development bases ecological footprint are,8 ha/kapita. Key words : ecological footprint, biocapacity, small islands, suitable space, seaweed culture, salabangka islands.

4 RINGKASAN MA SITASARI, Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Untuk Budidaya Rumput (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan AGUSTINUS M. SAMOSIR. Gugus Pulau Salabangka sebagai salah satu wilayah pesisir terdiri dari pulau-pulau kecil, berada di Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah, memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan dalam menunjang pembangunan wilayah Kabupaten Morowali. Penelitian ini dimaksudkan sebagai kajian pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil untuk budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai dengan potensi dan daya dukung lingkungan dengan menggunakan pendekatan ecological footprint. Adapun tujuan yang ingin dicapai meliputi mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut dan mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan budidaya rumput laut. Waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu pada bulan Maret Mei 27. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dimana data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi pengambilan data biofisik dilakukan pada 5 stasiun pengamatan dan data sosialekonomi dilakukan berdasarkan batas administrasi desa. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan dari dinas atau instansi terkait. Dalam mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut dilakukan berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang (ecological footprint/ef) dan ketersediaan ruang (biocapacity/bc). Sedangkan estimasi daya dukung ruang ekologi untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada perbedaan tingkat konsumsi ruang ekologis (EF) terhadap ketersediaan ruang (BC) yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Hasil identifikasi kesesuaian ruang menunjukkan secara ekologi ruang perairan sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. Sedangkan estimasi daya dukung ruang ekologi berdasarkan tingkat kebutuhan ruang menunjukkan bahwa ruang perairan memiliki kelebihan ruang untuk pengembangan budidaya rumput laut dimana EF < BC disebut ekologi surplus. Agar pengembangan budidaya rumput laut dapat optimal dan berkelanjutan dilakukan berdasarkan biocapacity dengan tingkat kebutuhan ruang adalah,8 ha per kapita Kata Kunci : ecological footprint, biocapacity, gugus pulau kecil, kesesuaian ruang, budidaya rumput laut, gugus pulau salabangka.

5 @ Hak Cipta milik IPB, Tahun 28 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

6 ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) MA SITASARI Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 29

7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc

8 Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau- Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) : Ma sitasari : C2552 : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 5 Januari 29 Tanggal Lulus : 26 Februari 29

9 Dan Dia-la lah, Allah yang menundukkan lautan (untumu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari keuntungan) (keuntungan dari karunia-nya, dan supaya kamu bersyukur. (Q.S 6 : 4). Karya ini ku persembahkan kepada kedua orang tuaku atas kesabaran dan berkat doa, bimbingan dan semangat kepada ku dalam menghadapi tantangan selama melakukan kegiatan ini. Untuk adikku Farida atas bantuannya dalam penyelesaian tesisku Untuk adiku Abdullah dan kakakku Nur Afraeni serta kedua keponakan ku Nur Swentiana dan Muhammad Farid Khairul Ikhwan Hidayatullah yang membuat ku tetap bersemangat. Kalian semua adalah motivator ku.

10 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan keridhoan-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah). Tesis ini berisikan kajian dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi pemerintah daerah dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya berdasarkan potensi dan daya dukung lingkungan. Dari awal hingga akhir penulisan ini tidak lepas dari bantuan, dorongan, dukungan dan kerjasama berbagai pihak. Untuk itu, terima kasih dan penghargaan tinggi penulis ucapkan kepada :. Dosen Pembimbing Dr. Luky Adrianto, M.Sc dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil dalam membimbing penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir. M Mukhlis Kamal, M.Sc sebagai penguji luar komisi dalam ujian akhir dan atas saran perbaikannya. 3. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, dan para staf pemerintah daerah, dan semua pihak di Gugus Pulau Salabangka yang terkait dengan penyusunan tesisi ini. 4. Program Mitra Bagari-Coral reef Management Program II (PMB-CORMAP II) Tahun 28 atas beasiswa bantuan penulisan tesis Tahun Rekan-rekan SPL (angkatan -2) dan IKL, personil NYPAH, Baharuddin, Bapak Makmur Sek, Bapak Alimuddin Sek, Keluarga Lagalanti atas masukan dan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini. Rekan-rekan di twinhouse atas kebersamaannya. Dan semua rekan-rekan yang tidak tersebutkan namannya. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat. Bogor, Februari 29

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 3 November 98 dari ayah H. Idin Lagalanti dan ibu Rabea Kasim, sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak pada tahun 988 di TK Pertiwi Luwuk, dilanjutkan dengan pendidikan dasar ke SD 4 Impres Luwuk yang diselesaikan pada tahun 993, pendidikan menengah di SLTP Negeri 2 Luwuk diselesaikan pada tahun 996, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri Luwuk pada tahun 999. Tahun 23 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Strata Satu pada Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar. Selama pendidikan Strata Satu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah ekologi laut, telemetri dan eksplorasi sumberdaya hayati laut periode Tahun Tahun 25 penulis melanjutkan studi Strata Dua pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

12 xii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii I PENDAHULUAN.... Latar Belakang....2 Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaata Penelitian Kerangka Pemikiran... 5 II TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological Footprint) Budidaya Rumput Laut Sistem Informasi Geografis (GIS)... 8 III METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Penelitian Metode Pengumpulan Data Jenis Data Metode Pengambilan Data Analisis Data Analisis Kebutuhan Ruang Analisis Ketersediaan Ruang IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Daerah Geografis dan Topografi Sosial Budaya Masyarakat Keadaan Umum Iklim dan Cuaca Kondisi Oseanografi Perairaan Gelombang Pasang Surut Kecepatan Arus Kecerahan dan Kedalaman Keterlindungan Suhu Salinitas Derajat Keasaman/pH Oksigen Terlarut Nutrient Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut Pemanfaatan Lingkungan dan Sumberdaya Gugus Pulau Salabangka... 56

13 xiii 4.4. Perikanan Budidaya Rumpu Laut V HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kesesuaian Ruang Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Kebutuhan Ruang Perairan Ketersedian Ruang Perairan Daya Dukung Ruang Ekologi untuk Pengembangan Rumput Laut... 7 VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 8

14 xiv DAFTAR TABEL Halaman Jenis Data dan Parameter yang diukur Matriks Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Pulau-Pulau di Gugus Pulau Salabangka Jenis Lapangan Kerja Kecamatan Bungku Selatan Tingkat Konsumsi Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka 62 6 Produktivitas Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Gugus Pulau Salabangka Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka... 69

15 xv DAFTAR GAMBAR Halaman Bagan Alir Kerangka Pemikiran Interaksi antara Komponen PPK Komponen Penelitian Ecological Footprint Alur Kerangka Analisis Lokasi Penelitian Analisis Ruang Ekologi Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah Peta Sebaran Kecepatan Arus Peta Sebaran Kecerahan Peta Sebaran Substrat Peta Sebaran Kedalaman... 4 Peta Sebaran Keterlindungan Peta Sebaran Suhu Peta Sebaran Salinitas Peta Sebaran ph Peta Sebaran Oksigen Terlarut (DO) Peta Sebaran NO Peta Sebaran PO Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Gugus Pulau Salabangka Peta Pemanfaatan Ruang Perairan di Gugus Pulau Salabangka Produksi Hasil Laut Kecamatan Bungku Selatan Alur Penjualan Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka Impor Ekspor Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Peta Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Estimasi Ketersedian Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Perbandingan Ecological Footprint dan Biocapacity Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka 72

16 xvi 26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk Halaman Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka. 26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk 7 27 Budidaya Daya Dukung Rumput Ruang Laut Ekologi Gugus terhadap Pulau Salabangka Tingkat Kebutuhan.. Ruang 7 Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka 27 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Tingkat Kebutuhan Ruang 72 Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka. 72

17 xvii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Metode Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia 8 2 Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta tahun Peta Sebaran Arus di Perairan Laut Banda Hasil Pengukuran Rata-Rata Parameter Lingkungan untuk Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka Keanekaragaman Ikan Karang Kabupaten Morowali Data Luas Lahan dan Produksi Rumput Laut... 9

18 I PENDAHULUAN. Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga diperlukannya rencana pengelolaan dengan mempertimbangkan berbagai proses dinamis yang terjadi. Selain itu, karateristik sumberdaya baik lokal dan regional mempersulit kebijakan yang terkoordinasi antar berbagai sektor pembangunan. Untuk itu pengelolaan pesisir yang terintegrasi menjadi sangat penting. Demikian pula untuk wilayah pulau-pulau kecil (PPK). Berdasarkan Undang-Undang No 27 Tahun 27 menyebutkan pengelolaan wilayah pesisir dan PPK merupakan suatu proses, perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan PPK baik antar sektor, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, maupun antara ilmu pengetahuan dan manajemen dimana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat PKK. Yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2. km 2 yang terintegrasi dari beberapa komponen antara lain manusia, lingkungan perairan (biotik dan abiotik) dan lingkungan daratan, memiliki karateristik yang khas dimana masing-masing komponen secara fungsional saling mempengaruhi berserta kesatuan ekosistemnya (Adrioanto 24a; Bengen dan Retraubun 26; UU No.27 27). Wilayah Gugus Pulau Salabangka terdiri dari PPK dengan luas 2.352,7 km 2 Pada umumnya, PPK memiliki sumberdaya yang beragam dan memiliki keterbatasan baik secara fisik, ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan keterbatasan sumberdaya PPK, kecenderungan pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan masyarakat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup (DKP 23; Adrianto 24a) melalui aktivitas yang tidak ramah lingkungan, hal tersebut dapat menyebabkan kelangkaan sumberdaya di pulau-pulau kecil.

19 2 Beberapa kegiatan pemanfataan wilayah pesisir pulau-pulau kecil terbatas pada kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya kelautan, perikanan tangkap, dan pariwisata bahari (DKP 2 in Adrianto 24a ). Namun beberapa kegiatan pemanfaatan tersebut sangat selektif sesuai dengan karateristik wilayah dan membutuhkan kapitalisasi yang besar. Secara umum, pemanfaatan potensi perairan berdasarkan Ditjen Perikanan (999) diperuntukan untuk budidaya kelautan seluas ha antara lain untuk budidaya kakap dengan luas ha (29,85 %), budidaya kerapu seluas 46.6 ha (23,4 %), luas 59.8 ha (29,54 %) untuk budidaya kerang dan tiram, budidaya teripang seluas ha (3,33 %), kerang mutiara dan abalon seluas 62.4 ha (3, %) dan rumput laut seluas ha (, %). Secara khusus, sesuai dengan KepPres No. 23 Tahun 982, salah satu kegiatan budidaya laut yang dapat dikembangkan adalah budidaya rumput laut, dengan pertimbangan antara lain ketersediaan potensi sumberdaya rumput laut cukup besar, dapat dilakukan dengan teknologi budidaya yang sederhana, penggunaan modal relatif lebih kecil, lamanya waktu pemeliharaan lebih singkat dan menyerap tenaga kerja. Propinsi Sulawesi Tengah merupakan propinsi urutan ketiga penghasil rumput laut di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat, dan pemanfaatan luas perairan untuk budidaya rumput laut baru mencapai 39,6 persen. Kabupaten Morowali merupakan salah satu kabupaten sebagai sentra produksi rumput laut (Diskanlut Provinsi Sulawesi Tengah 28). Luas wilayah Kabupaten Morowali adalah ,6 km 2 meliputi luas daratan sebesar 5.49,8 km 2 (34,8 %) dan wilayah perairan seluas ,8 km 2 (65,92 %). Berdasarkan Diskanlut Kabupaten Morowali (28) menyebutkan potensi luas areal untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottono) 2.7,24 ha dengan areal terkelola baru mencapai 8,4 % atau 82, ha dan produksi rumput laut Kabupaten Morowali tahun 27 mencapai ton (kering) terdiri atas jenis Euchema cottoni ton dan jenis gracilaria sp ton. Wilayah Kecamatan Bungku Selatan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah terletak di Teluk Tolo terdiri dari pulau-pulau kecil. Daerah ini memiliki potensi pengembangan budidaya rumput

20 3 laut. Tahun 23 pemanfaatan wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya perikanan di Kecamatan Bungku Selatan adalah seluas.433,22 ha (,33 % dari total luas perairan laut Kabupaten Morowali), yang terbagi atas.43,7 ha untuk budidaya rumput laut dan 3,5 ha untuk usaha perikanan budidaya lainnya (pemeliharaan ikan dalam keramba dan budidaya teripang). Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Morowali Tahun dengan misi pembangunan yaitu memberdayakan pemerintah, masyarakat, wilayah agar mampu memanfaatkan seluruh sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta tata ruang wilayah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, seefektif dan seoptimal mungkin melaksanakan pembangunan yang merata, menyentuh seluruh wilayah dan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sesuai dengan misi pembangunan tersebut maka pendekatan penilaian daya dukung lingkungan menjadi sangat penting terkait dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam penelitian ini kegiatan pemanfaatan sumberdaya khususnya PPK dibatasai pada pemanfatan perairan untuk budidaya rumput laut melalui analisis ruang dengan pendekatan ecological footprint. Pendekatan ini didasarkan pada tingkat permintaan terhadap suatu sumberdaya (rumput laut) dan luas perairan yang tersedia (biocapacity). Dengan pendekatan ini dapat diketahui berapa maksimal pemanfaatan sumberdaya dengan luas perairan yang tersedia sehingga keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 26c)..2 Perumusan Masalah Berdasarkan potensi perairan ( ha) dan area lahan yang dikelola untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Morowali saat ini, maka pemanfaatan potensi perairan laut dan rata-rata produktivitas masih rendah. Secara umum usaha budidaya rumput laut terkonsentrasi pada beberapa kecamatan (hanya 3 kecamatan dari 7 kecamatan di Kab Morowali), terluas pengusahaannya di Kecamatan Bungku Selatan dan Menui Kepulauan. Berdasarkan kondisi geografis dan ekologis perairan, wilayah perairan laut Kabupaten Morowali terutama di kecamatan Bungku Selatan sangat memungkinkan untuk pengembangan rumput laut yang lebih intensif. Wilayah ini

21 4 merupakan gugusan pulau-pulau kecil di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Teluk Tolo dengan jarak dari wilayah daratan utama (mainland) lebih kurang 5 kilometer sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di daratan utama sangat kecil pengaruhnya terhadap kegiatan perikanan laut dan perikanan budidaya di Gugus Pulau Salabangka. Namun demikian, dengan bertambahnya jumlah penduduk di daerah pulau menyebabkan peningkatan pencemaran laut akibat pembuangan limbah rumah tangga. Kondisi ini menyebabkan terganggunya kualitas perairan laut yang secara langsung dapat mengganggu pertumbuhan biota laut terutama rumput laut. Selain itu, di beberapa tempat dalam wilayah kepulauan Salabangka masih terjadi kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (pengeboman), pembiusan ikan dan pengambilan karang atau sejenisnya. Secara histories, kegiatan ini mulai berlangsung sejak tahun 98-99an dalam intensitas yang tinggi sehingga menyebabkan penurunan kualitas perairan dan hancurnya biota laut termasuk terganggunya kegiatan pembudidayaan rumput laut yang dimulai tahun 99. Namun sejak Kabupaten Morowali berdiri sebagai salah satu kabupaten otonom di Provinsi Sulawesi Tengah dan penegakan hukum lebih intensif, lambat laun kegiatan yang bersifat destruktif tersebut mulai menurun dan usaha budidaya rumput laut mulai menunjukkan hasil yang lebih baik. Berdasarkan aspek sosial budaya, pada awalnya kegiatan budidaya rumput laut masih bersifat usaha sampingan, sementara usaha penangkapan ikan (nelayan) merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Namun dengan berkembangnya pasar dan meningkatnya harga rumput laut, maka lambat laun di beberapa desa kegiatan budidaya rumput laut dijadikan sebagai matapencaharian utama. Pergeseran jenis matapencaharian ini menyebabkan pula terjadinya perubahan kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir kepulauan Salabangka. Daerah operasi penangkapan ikan dijadikan sebagai kawasan budidaya rumput laut. Umumnya daerah yang dijadikan sebagai lokasi kegiatan budidaya adalah daerah bekas pemboman ikan yang sudah tidak dimanfaatkan selama beberapa tahun oleh nelayan karena berkurangnya ikan. Sisi positif dari pemanfaatan perairan ini adalah optimasi pemanfaatan ruang untuk kegiatan lain selain perikanan tangkap, semakin membaiknya kualitas perairan, dan semakin meningkatnya jumlah ikan

22 5 di kawasan tersebut. Sisi negatifnya, kondisi ini menyebabkan peningkatan luas areal budidaya rumput laut yang tidak tertata dengan baik sehingga mengganggu jalur transportasi, perikanan budidaya dan kembalinya kegiatan perikanan tangkap. Jika kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan tidak diikuti dengan penataan ruang kawasan pesisir dan pulau bagi seluruh kegiatan pemanfaatan akan melebihi daya dukungnya serta menyebabkan terjadinya konflik antar kegiatan pemanfaatan. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka perlu dilakukan pengkajian pemanfaatan ruang PPK bagi kegiatan budidaya rumput laut yang optimal dan sesuai dengan potensi serta daya dukung wilayah perairan kepulauan Salabangka..3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah :. Mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut. 2. Mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan budidaya rumput laut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembudidaya rumput laut dalam pemanfaatan lahan perairan untuk budidaya, para pengusaha, pemilik modal dan para pengambil kebijakan dalam usaha pengembangan budidaya rumput laut sesuai dengan ruang ekologis Gugus Pulau Salabangka..4 Kerangka Pemikiran Ruang perairan pulau-pulau kecil memiliki berbagai keterbatasan dan bersifat dinamis serta sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, sehingga diperlukan adanya upaya pengelolaan pemafaaatan sumberdaya pulau-pulau kecil agar menunjang kegiatan pemanfaatan yang berkelanjutan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan.

23 6 Pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada permintaan (demand) dan kapasitas lahan (biocapacity). Permintaan adalah kebutuhan pembudidaya terhadap perairan untuk budidaya rumput laut. Kapasitas lahan adalah wilayah perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Selanjutnya, dilakukan analisis ruang ekologis terhadap dua komponen yang digunakan yaitu permintaan dan kapasitas lahan untuk mengestimasi daya dukung lingkungan terhadap pengembangan budidaya rumput laut dalam konteks pemanfaatan sumberdaya yang berwawasan lingkungan. Alur pendekatan studi yang digunakan sebagaimana disajikan pada Gambar. Dengan demikian, analisis ruang ekologis merupakan salah satu cara dalam upaya pengelolaan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah. Ruang Perairan Pulau-Pulau Kecil Gugus Pulau Salabangka Pemanfaat Pesisir Permintaan (Demand) Kapasitas Lahan (Biocapacity) Budidaya Rumput Laut Analisis Ruang Ekologis Budidaya Rumput Laut Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Gambar Bagan Alir Kerangka Pemikiran

24 II TINJAUAN PUSTAKA 2. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Secara umum, pulau-pulau kecil (PPK) memiliki karateristik tersendiri meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati dan jasa lingkungan. Sumberdaya hayati di PPK antara lain terumbu karang, padang lamun, rumput laut mangrove, ikan dan biota laut lainnya. Di samping itu, berbagai keterbatasan di PPK baik dari segi fisik (ukuran), ekologi (sumberdaya), ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, upaya pengelolaan PPK menjadi sangat penting. Menurut Adrianto (25) bahwa dalam pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut PPK, perlu dipertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karateristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistemik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi. Selain itu, persoalan lingkungan merupakan salah satu problem dalam pengelolaan PPK. Permasalahan lingkungan PPK dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yakni () permasalahan lingkungan secara umum (common environmental problems), seperti limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan, penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau, dan (2) persoalan lingkungan lokal (local environmental problems) antara lain kekurangan air tawar, hilangnya tanah baik secara fisik maupun kualitas, limbah padat dan bahan kimia beracun dan problem spesies langka (Hall 999 in Adrianto 24a). Terkait dengan kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan merupakan indikasi umum terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di PPK. Terjadi berbagai kerusakan ekosistem PPK seperti terumbu karang rusak karena penambangan karang untuk bahan bangunan atau karena aktifitas penangkapan ikan seperti penggunaan bom dan racun. Selain itu, kegiatan pemanfaatan lahan di PPK memerlukan pengaturan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukannya serta tidak melebihi daya dukung lingkungannya (Adrianto 25). Wilayah PPK juga memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat, menyebabkan diperlukan subsidi yang tepat sasaran dalam upaya pengelolaan ekonomi PPK (Adrianto 24a). Beberapa hal

25 8 yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik (smallness) antara lain keterbatasan sumberdaya alam, ketergantungan terhadap komponen impor, terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau, kecilnya pasar domestik, ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau, ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi, terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal, keterbatasan kemampuan untuk menentukan skala ekonomi, keterbatasan kompetisi lokal dan persoalan yang terkait dengan administrasi publik (Adrianto 25). Karateristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas atau terpencil jauh dari daratan induknya (mainland). Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan insularitas, terutama berhubungan dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya alam kelautan dan dominasi sektor jasa. Awal pengelolaan PPK di Indonesia dilakukan sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat, terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu : () hak, (2) ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugusan pulau, dan (3) sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri 23). Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pemanfaatan antara lain untuk konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen 23).

26 9 Dalam arah pola pembangunan wilayah pesisir dan laut, terjadi perubahan paradigma dari pembangunan konvensional yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata menjadi pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kondisi ekologi dan sosial sebagai dasar dalam mencapai peningkatan ekonomi. Dalam United Nations Environment Programme (UNEP) dan Convention Biological Diversity (CBD) (24) menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan suatu usaha rekonsiliasi terhadap tiga komponen dasar utama pembangunan yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi, dimana ekosistem dan keragaman hayati sebagai inti dalam pengelolaan terpadu wilayah pesisir dengan mempertimbangkan tekanan aktivitas manusia, tanpa memperkecil pengembangan sosio-ekonomi. Menurut Cicin Sain (993) in Adrianto (24a) bahwa keseluruhan komponen kegiatan di PPK terkait satu sama lain (inextricably linked) dan interaksi serta hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai (multiple chain reactions) dari persoalan dan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di PPK. Cambers (992) in Adrianto 24a menyebutkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK, dengan menggunakan pendekatan yang terkoordinasi. Interaksi antar komponen dalam sistem PPK dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Interaksi antar komponen PPK (Debance 999 in Adrianto 24a) Dari gambar di atas dapat diidentifikasi bahwa dalam sistem PPK, terdapat paling sedikit 5 (lima) proses yaitu proses alam, proses sosial, proses ekonomi, perubahan iklim dan proses pertemuan antara daratan dan lautan (Debance 999),

27 yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen PPK yaitu sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut dan sistem aktivitas manusia. Secara umum, berdasarkan pengalaman-pengalaman dari berbagai negara dalam memanfaatkan sumberdaya alam bagi pertumbuhan ekonominya, kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan memberikan implikasi antara lain percepatan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya (Anwar dan Rustiadi 2). Selanjutnya dinyatakan bahwa penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut antara lain : () perbedaan hak-hak (entelimen) yang sangat mencolok antara berbagai lapisan masyarakat, (2) sumberdaya alamnya mengalami semacam akses terbuka (aquasi-open-access resources) yang semua pihak cenderung memaksimumkan keuntungan dalam pemanfaatannya, dan (3) kekurangan dalam sistem penilaian (undervaluation) terhadap sumberdaya alam dalam sistem ekonomi pasar yang terjadi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan aspek teknis-finansial dan aspek sosial-ekonomi budaya masyarakat setempat. 2.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological Footprint Analysis) Dalam memenuhi kebutuhan hidup kita menggunakan sumberdaya alam, kergantungan kita terhadap alam menimbulkan pertanyaan berapa kemampuan alam untuk memenuhi semua kebutuhan kita sampai masa yang akan datang. Secara perspektif ekologi, salah satu stategi yang dilakukan untuk tujuan keberlanjutan pemanfaatan melalui penilaian terhadap sumberdaya alam. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian sumberdaya melalui analisis Ecological Footprint (EF). Dasar pemikiran analisis pendekatan ini berasal dari konsep daya dukung (carrying capacity) kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Selain itu, pendekatan EF membantu dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan (Wackernagel dan Rees 996). Penilaian EF dan BC disebut pendekatan ruang ekologis/jejak kaki ekologis diperkenalkan Wackernagel dan Rees tahun 995 dimana tingkat kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam diterjemahkan kedalam luasan area yang

28 produktif sebagai penyedia sumberdaya dan sebagai tempat mengasimilasi sisa buangan akibat pemanfaatan sumberdaya. Menurut Ferguson (999) in Venetoulis dan Talberth (28) bahwa EF salah satu analisis yang telah digunakan dalam penilaian keberlanjutan dengan membandingkan permintaan sumberdaya suatu populasi dengan produktivitas secara global. Sedangkan Wakernagel dan Loh (22) in Venetoulis dan Talberth (28) menggunakan EF untuk menilai berapa banyak areal produktif (daratan dan perairan) yang diperlukan oleh perorangan, sebuah kota, satu negara atau suatu masyarakat untuk mengkonsumsi sumberdaya alam. Sebagaimana disebutkan Wilson dan Anielski (25) bahwa setiap orang akan memanfaatan ruang/suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan hidup melalui pemanfaatan sumberdaya alam, dengan pendekatan ini digunakan untuk menilai hubungan permintaan (demand) terhadap sumberdaya dan ketersediaan (supply) sumberdaya yang dikonversi menjadi luas area, sehingga dapat menggambarkan tingkat pemanfaatan sumberdaya telah melebihi atau belum optimal. Yang dimaksud ruang ekologi dalam penelitian ini adalah ruang perairan yang digunakan untuk budidaya rumput laut dan ketersediaan ruang yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Kecenderungan pemanfaatan ruang akan meningkat disebabkan perubahan pemanfaatan sumberdaya dimana sebelumnya masyakarat bermatapencaharian sebagai nelayan beralih menjadi pembudidaya rumput laut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden yang melakukan budidaya rumput laut sebagai kegiatan utama sebesar 79,45 % (2 orang) dan 2,55 % (52 orang) sebagai kegiatan sampingan. Dalam perhitungan daya dukung ruang ekologis terhadap pengembangan rumput laut di bagi kedalam dua bagian yaitu (i) permintaan terhadap ruang ekologi berdasarkan biomassa yang dihasilkan (EF) dan (ii) ketersediaan ruang perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut (BC). Sebagaimana disebutkan Schaefer et.al (26) perhitungan ruang ekologi dibagi kedalam dua bagian yaitu permintaan terhadap sumberdaya (EF) dan ketersediaan sumberdaya (biocapacity/bc). Ini merupakan gambaran penilaian terhadap periode waktu terpilih (misalnya dalam setahun).

29 2 Lebih lanjut, penilaian EF dalam pengembangan budidaya rumput laut merujuk pada konsumsi sumberdaya (ruang perairan). Perhitungan konsumsi ini didasarkan pada tiga komponen meliputi tingkat konsumsi (Domestic Extraction/DE), produktivitas baik lokal maupun regional (Yield/Y) dan kegiatan impor (IM) ekspor (EX). Tingkat konsumsi diperoleh dari jumlah produksi rumput laut (kering) per orang dalam setahun. Nilai produktivitas berasal dari perbandingan jumlah produksi rumput laut dengan luas perairan yang digunakan. Sedangkan impor ekspor berasal dari perdagangan rumput laut antar pulau di Gugus Pulau Salabangka. Komponen dalam penilaian EF di Gugus Pulau Salabangka dapat dilihat pada Gambar 3. DE Y regional Gugus Pulau Salabangka Yl okal P5 Koperasi IM P6 DE Yl okal Yl okal DE P4 EX EX DE P3 Yl okal IM P Keterangan : P : Jumlah pembudidaya DE : Tingkat Konsumsi (Domestic Exctraction) Y : Produktivitas IM : Impor EX : Ekspor Yl okal P2 DE Pasar DE Yl okal Gambar 3 Komponen Penilaian Ecological Footprint EF per kapita merupakan rata-rata ruang perairan yang digunakan per orang untuk budidaya rumput laut, sehingga total ruang ekologi (hektar) merupakan total luasan perairan diperlukan untuk memproduksi rumput laut berdasarkan jumlah pembudidaya rumput laut (Wang dan Bian 27). Menurut Venetoulis et.al (24) jika total nilai EF bernilai positif atau negatif mengindikasikan bahwa adanya kelebihan atau kekurangan luasan yang diperlukan untuk memproduksi sumberdaya.

30 3 Sedangkan pernilaian BC didasarkan pada ruang perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Total BC (hektar) menunjukkan total ruang perairan yang secara ekologi sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. BC per kapita menggambarkan ketersediaan ruang perairan budidaya rumput laut per orang (Wang dan Bian 27). Hasil analisis melalui pendekatan ruang ekologi dapat menggambarkan pemanfaatan terhadap sumberdaya belum optimal atau telah melebihi daya dukung ekologi. Meskipun suatu wilayah memiliki ketersediaan sumberdaya alam, tetapi secara lokal dapat mengalami defisit (Schaefer et.al 26). Menurut Chambers et.al (2) defisit ekologi suatu wilayah dimana tingkat kebutuhan terhadap sumberdaya melebihi kemampuan ekologis wilayah tersebut. Dengan kata lain, jika hasil penilaian EF lebih besar dibandingkan BC, maka kondisi ini disebut defisit. 2.3 Budidaya Rumput Laut Salah satu jenis kegiatan pemanfaatan sumberdaya PPK adalah budidaya perikanan. Jenis budidaya yang dikembangkan pada setiap pulau akan berbeda satu dengan yang lain tergantung dari kondisi biofisik pulau tersebut. Salah satu jenis budidaya yang mulai dikembangkan di Gugus Pulau Salabangka adalah budidaya rumput laut. Rumput laut (sea weed) merupakan alga makro bentik yang hidup di laut dan termasuk kedalam tumbuhan tingkat rendah (phylum thallophta), yang tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun atau dengan bagian tumbuhan secara keseluruhan merupakan batang yang disebut thallus. Kelompok tumbuhan ini memiliki bentuk beraneka ragam mulai dari bulat, silindris, pipih atau lembaran, filamen seperti rambut dan bersifat keras karena substansi mengandung zat kapur, lunak seperti tulang rawan, kenyal seperti gel atau fleksibel seperti bunga karang, serta mempunyai fungsi yang berbeda-beda sepeti perekat pada substrat, sebagai batang dan sebagai daun (Atmadja et.al in Sulistijo dan Atmadja 996).

31 4 Rumput laut terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya bersifat bentik di daerah perairan dangkal, berpasir, lumpur berpasir dan berlumpur, daerah pasut, jernih dan biasanya menempel pada karang mati, potongan kerang dan substrat yang keras lainnya, baik terbentuk secara alamiah atau buatan. Alga bersifat autotrop, yaitu dapat hidup sendiri tanpa tergantung makhluk lain. Proses pertumbuhan rumput laut sangat bergantung pada sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Jenis rumput laut yang dibudidayakan di wilayah kajian adalah Eucheuma sp. Pada umumnya, rumput laut hidup berasosiasi dengan hewan karang, sehingga habitat rumput laut senantiasa berada disekitar terumbu karang. Menurut Kadi dan Atmadja (988) in Iksan (25) menyebutkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma sp. memiliki thallus berbentuk bulat silindris dengan permukaan licin, berwarna merah/merah-cokelat atau hijau, memiliki percabangan tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan (blunt nodule) atau duri (spine) pada thallus, subtansi thallus gelatinus dan atau kartilagenus. Lebih lanjut disebutkan bahwa spesies ini lebih banyak terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam oleh air (subtidal) dengan melekat pada substrat dasar perairan yang berupa batu, karang mati, karang hidup, batu gamping atau cangkang moluska. Pertumbuhan jenis Eucheuma sp. di wilayah pesisir dipengaruhi oleh faktor oseanografi meliputi parameter fisika, kimia dan biologi (Puslitbangkan 99). Untuk Eucheuma alvarezii berwarna coklat memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan Eucheuma alvarezii berwarna hijau (Kadi 24). Terkait dengan kondisi lingkungan fisika untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan rumput laut dari pengaruh angin topan dan pergerakan air atau gelombang yang besar, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak seperti perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung oleh karang penghalang atau pulau didepannya (Puslitbangkan 99). Umumnya pertumbuhan Eucheuma sp. lebih baik pada dasar perairan yang stabil terdiri dari pecahan karang/potongan karang mati dan pasir kasar serta bebas dari lumpur. Kondisi dasar perairan yang demikian menunjukkan daerah tersebut selalu dilalui oleh arus yang cukup. Mempunyai gerakan air (arus) yang cukup berkisar 2 4 cm/dtk.

32 5 Dengan menggunakan metode rawai (longline) dan sistem jalur kedalaman perairan yang mendukung pertumbuhan Eucheuma sp. adalah > 5 m pada saat surut terendah. Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada saat surut terendah dan memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara langsung pada saat air pasang (Anonim 24c). Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan sehingga rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 2 28 o C dengan fluktuasi harian maksimum 4 o C (Puslitbangkan 99). Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya matahari dapat masuk kedalam perairan. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 m cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut (Puslitbangkan 99). Kondisi kimia perairan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Pertumbuhan rumput laut tidak dapat mentolerir salinitas dibawah 25 ppt. Beberapa penyebab penurunan salinitas antara lain adanya air tawar yang masuk ke perairan melalui aliran sungai dan adanya hujan, hal tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Selain itu faktor nutrient atau unsur hara dalam perairan sangat dibutuhkan oleh tumbuhan. Nutrient yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut meliputi kandungan nitrat dan fosfat. Menurut Sulistijo dan Atmadja (996) menyebutkan bahwa kisaran fosfat optimal untuk pertumbuhan rumput laut antara,2 ppm sampai, ppm, sedangkan kadar nitrat yang baik mendukung kehidupan alga, 5 mg/l (Luning 99). Faktor lainnya yang menjadi indikator kualitas perairan yang baik adalah perairan bebas dari bahan pencemar yang bersumber dari limbah rumah tangga, industri maupun limbah kapal. Hal tersebut dikarenakan bahan cemaran dapat menghambat pertumbuhan rumput laut (Anonim 24c).

33 6 Indikator biologi juga merupakan salah satu faktor dalam penentuan lokasi budidaya rumput laut, dimana perairan secara alami ditumbuhi oleh kominitas dari berbagai makro alga seperti Ulva sp., Caulerpa sp., Padina sp., Hypnea sp. dan lain-lain. Selanjutnya perairan lokasi budidaya harus bebas dari hewan air lainnya yang bersifat herbivora terutama ikan baronang/lingkis (Sigarus sp.), penyu laut (Chelonia mydas) dan bulu babi yang dapat memakan rumput laut (Puslitbangkan 99). Menurut Indriani dan Sumarsih (999) bahwa beberapa persyaratan yang perlu dipertimbangan dalam menentukan lokasi budidaya antara lain : () harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, (3) areal disekitarnya terdapat makanan untuk tumbuh rumput laut, (4) perairan harus berkondisi mudah menerapkan budidaya, (5) mudah terjangkau sehingga meminimalkan biaya transportasi, (6) dekat dengan sumber tenaga kerja. Penerapan metode budidaya yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi perairan. Beberapa metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut meliputi () metode lepas dasar, yang dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok/pancang; (2) metode rakit apung, dimana cara pembudidayaan dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu/kayu; (3) metode longline, dimana menggunakan tali panjang yang dibentangkan; (4) metode jalur merupakan kombinasi dari metode rakit dan metode longline; (5) metode keranjang (kantung) dimana rumput laut diletakkan dalam kantung dan metode ini tergolong baru (DKP 23). Dari kelima metode tersebut, metode long line sampai saat ini yang dipilih petani di wilayah Gugus Pulau Salabangka, karena metode ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain biaya yang dikeluarkan lebih murah dan masih terjangkau oleh pembudidaya, dan kemudahan dalam penanam, pemelihara serta panen. Lebih lanjut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga P2O-LIPI di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) dan Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah) bahwa jenis Eucheuma spinosum menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih baik dengan menggunakan metode apung dibandingkan dengan metode sistem lepas dasar (Iksan 25).

34 7 Berdasarkan penerapan tingkat teknologi, budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan menggunakan sistem teknologi sederhana yaitu dengan mengikatkan rumpun bibit rumput laut pada kerangka tali nilon atau dapat juga menggunakan sistem lepas dasar (patok dan tali), rakit (bambu dan tali) atau rawai (monoline dengan pelampung botol plastik) (Kadi 24). Selanjutnya dalam penggunaan bibit, kebutuhan bibit dalam setiap musim tanam tergantung dari luas areal budidaya dan jarak tanam antar bibit pada setiap liris. Setiap hektar luas areal budidaya dengan jarak tanam sekitar 2 cm, berat sekitar 5 gr per liris akan memerlukan bibit sekitar 2 kg. Sedangkan menurut Kadi (24) dengan menggunakan metode rawai, dengan panjang tali 5 m, jarak tanam 5 cm dan berat bibit per ikatan 2 3 gr akan memerlukan bibit sekitar 2 6 kg. Untuk masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen dengan metode lepas dasar umumnya berkisar antara,5 2 bulan (Kolang et al. 996 in Syahputra 25). Hasil produksi untuk jenis Euceheuma cottonii dengan berat awal + 25 gram menggunakan metode apung dapat mencapai sekitar 5 6 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 3 %, sehingga dalam setahun dengan 6 kali penanaman untuk luasan hektar dapat dihasilkan 44 ton rumput laut basah atau kurang lebih ton rumput laut kering (Aslan 998). Menurut Hidayat (994) hasil produksi dalam ton per hektar dengan metode apung adalah sebesar 54 ton berat basah atau 67,2 ton berat kering atau dengan perbandingan 3 :. Sedangkan menurut Indriani dan Sumarsih (999) perbandingan antara berat basah dengan berat kering apabila di panen pada usia dua bulan adalah 6 : dan jika dipanen pada usia bulan perbandingannya 8 :. 2.4 Sistem Informasi Geografis (Geografis Information System-GIS) Menurut Zetka (985) in Amarullah (27) menyebutkan bahwa ekosistem pesisir merupakan area yang luas meliputi daratan pesisir, estuaria dan perairan pesisir, sehingga sumber data yang dibutuhkan sangat bervariasi. Melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial dan spektral yang tinggi dapat diperoleh pemetaan wilayah pesisir.

35 8 Menurut Rice2; Gistut94 in Prahasta (22) definisi SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan (capturing), menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi permukaan bumi dan merupakan sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial serta mampu mengintegrasikan deskripsi-deskripsi lokasi dengan karateristikkarateristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi. Pemanfaatan SIG merupakan salah satu pilihan untuk menjawab permasalahan perencanaan terkait pemanfaatan ruang perairan untuk budidaya perikanan. SIG juga bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karateristik dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu mengintegrasikan beberapa data peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian rupa, sehingga data terserbut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan (Soebagio 25). Berbagai penelitian terkait dengan pemanfaatan SIG antara lain Radiarta et.al (23) mengaplikasikan SIG untuk penentuan lokasi pengembangan budidaya laut di Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat; Winarso et.al (999) in Trisakti et.al (24) melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian lahan tambak udang di Ketapang, Sulawesi Selatan; Bambang et.al (23) in Trisakti et.al (24) memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk analisis kesesuaian kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari untuk propinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan dan pariwisata, penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan dibandingkan dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual (survei langsung ke lapangan) yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan menggunakan penginderaan jauh dan SIG, objek yang diamati (lahan pesisir) di permukaan bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang luas (Trisakti et.al 24).

36 9 Dalam penelitian ini, SIG digunakan untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan perairan untuk budidaya rumput laut, dengan tujuan optimalisasi lahan perairan dalam budidaya rumput laut. Beberapa hasil penggunaan SIG dalam penelitian ini antara lain peta sebaran ekosistem pesisir, peta kontur kedalaman, peta-peta tematik untuk parameter fisika kimia yang mempengaruhi budidaya rumput laut dan luas area pemanfaatan perairan saat ini.

37 III METODOLOGI Penelitian ini dimasudkan sebagai kajian pemanfaatan ruang PPK untuk budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai potensi dan daya dukung lingkungan dengan pendekatan ecological footprint. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu pertama mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut dilakukan dengan cara menentukan kesesuaian perairan untuk budidaya berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang (ecological footprint rumput laut) dan ketersediaan ruang (biocapacity). Untuk menghitung kebutuhan ruang didasarkan pada tiga komponen meliputi tingkat konsumi, produktivitas dan kegiatan impor ekspor. Hasil yang diperoleh berupa besaran ha/kapita, yang berarti setiap orang membutuhkan area perairan untuk budidaya rumput laut didasarkan pada pemanfaatan saat ini. Sedangkan perhitungan ketersediaan ruang perairan didasarkan pada metode skoring dan tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang mendukung untuk budidaya rumput laut. Kemudian hasil yang diperoleh berupa besaran ha. Adapun masing-masing nilai EF dan BC dinormalisasikan dengan equivalence factor (EqF). Nilai EqF adalah,6 merupakan nilai EqF berdasarkan tipe ekosistem laut (Warren-Rhodes dan Koenig 2) Selanjutnya kedua mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada perbedaan tingkat kebutuhan ruang (EF) terhadap ketersediaan ruang (BC) yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Jika nilai EF > BC maka disebut overshoot dimana tingkat kebutuhan ruang telah melebihi kemampuan ruang untuk mendukung budidaya rumput laut, demikian pula sebaliknya jika nilai EF < BC maka disebut undershoot (Schaefer et.al 26). Alur kerangka analisis disajikan pada Gambar Waktu dan Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dimulai bulan Maret Mei 27, di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5.

38 2 Ruang Ekologi Pulau-Pulau Kecil (Gugus Pulau Salabangka) Analisis Kebutuhan Rumput Laut (Ecological Footprint/EF Rumput Laut) Identifikasi Pemanfaatan Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Analisis Ketersediaan Ruang (Biocapacity/BC Budidaya Rumput Laut) Data Footprint Rumput Laut : - Data Tingkat Konsumsi (Domestic Extraction/DE) - Data Produktivitas (Y) - Data Impor (IM) Ekspor (EX) Oseanografi : - Kecepatan arus - Kecerahan - Kedalaman - Keterlindungan - Dasar perairan - Salinitas - Suhu - ph - Oksigen Terlarut - Nutrient Data Primer Peta Tematik -i Data Digital Interpolasi Data Peta Tematik -ii Data Sekunder Peta Tematik -n Basis Data Kriteria Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Analisis Data Analisis Spasial Peta Kesesuaian Peraian untuk Budidaya Rumput Laut Kebutuhan Rumput Laut (Ecological Footprint/EF Rumput Laut) Ketersediaan Ruang (Biocapacity/BC Budidaya Rumput Laut) Analisis Ruang Ekologi Budidaya Rumput Laut EF > BC (Overshoot) atau EF < BC (Undershoot) Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Gambar 4 Alur Kerangka Analisis

39 Metode Penelitian Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan mempertimbangkan kondisi wilayah penelitian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dalam pemanfaatan sumberdaya PPK khususnya untuk budidaya rumput di Gugus Pulau Salabangka. 3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3. Jenis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Untuk data primer diperoleh langsung pada lokasi penelitian melalui wawancara, pengamatan langsung dan observasi terencana (menggunakan kuisioner). Sedangkan data sekunder dilakukan melalui penelusuran kepustakaan dari jurnal dan laporan, baik yang berasal dari instansi terkait (seperti BPS, Dinas Kelautan dan Perikanan) maupun lembaga pendidikan. Jenis data dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. Kelompok data primer terdiri dari data oseanografi (parameter fisika- kimia) dan data sosial ekonomi, yang meliputi tempat tinggal, jenis kelamin, umur, sumber pendapatan, pengalaman dan pengeluaran, kedua data tersebut bertujuan dalam identifikasi kesesuaian ruang budidaya rumput laut,. Sedangkan data sekunder mencakup data monografi, dan laporan hasil penelitian Metode Pengambilan Data Metode pengukuran parameter fisika-kimia (Lampiran ) perairan dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan tempat budidaya rumput laut dengan jumlah stasiun pengamatan adalah 5 buah (Gambar 4). Dalam metode ini, parameter yang dilakukan pengukuran meliputi parameter kecepatan arus, kecerahan dan kedalaman, dasar perairan/substrat, suhu, salinitas, ph, dan oksigen terlarut (DO) dengan menggunakan pengukuran in situ. Sedangkan parameter nitrat dan fosfat dilakukan pengukuran di laboratorium. Dalam pengambilan data sosial ekonomi, responden yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah pembudidaya dan pengumpul rumput laut di Gugus Pulau Salabangka yaitu pembudidaya 253 orang, dan pengumpul rumput laut sejumlah 38 orang, serta

40 23 didasarkan pada batas administrasi desa (Gambar 5). Dengan pertimbangan kondisi pengambilan sampel bersifat homogen, maka teknik pengambilan responden menggunakan teknik acak sederhana. Tabel Jenis Data dan Parameter yang diukur No Jenis Data Parameter Alat/Metode. Data Fisika - Kedalaman (m) - Kecepatan arus (cm/detik) - Keterlindungan - Dasar perairan - Kecerahan (%) - Suhu ( o C) - Salinitas (ppt) Data Kimia - Derajat keasaman/ph - Oksigen terlarut (mg/l) - Nitrat (mg/l) - Fosfat (mg/l) 2. Budidaya rumput laut 3. Kebutuhan Ruang Ekologis (Ecological Footprint) 4. Sosial Ekonomi - Jumlah petani rumput laut - Tenaga kerja - Jenis bibit rumput laut - Hasil panen (ton) dalam bentuk basah dan kering - Keuntungan (Rp/orang) - Luas lahan budidaya (ha) - Harga jual per kg (basah dan kering) - Produksi rumput laut (ton) - Luas lahan (ha) - Jumlah Pembudidaya (kapita) - Permintaan (ton) - Tempat tinggal - Umur - Sumber pendapatan - Pengalaman - Pengeluaran pembudiaya - Batu Duga dan Data Sekunder - Layang-layang arus (drift float), stop watch dan kompas geologi - Data Sekunder - Visual - Secchi Disk - Termometer - Salinometer - ph meter - Titrasi - Spektrofotometer (Laboratorium) - Spektrofotometer (Laboratorium) Kuisioner

41 2 LA U T SU LA WE SI PROV. S UL A WE S I B ARAT P ROV. SULA WES I T PROV. S ULA WES I SEL ATAN ENGAH PROV. S UL A WE S I T ENGGA RA TE LU K B O N E PROV. GO RONT ALO Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S UL A WE S I U TARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng k '3 " '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U S A B A L AN GK A K AB U P A T E N M O R O W AL I S U L AW E S I TE N G A H 2 59'2" 2 59'2" 2 km Tg. L a bo S kal a : 8. P. P ad op ad o c D o ng k a l a Ko l o n o 3 '3" 3 3'4" c b Selat Salabangka Kam pu h b a u c P. B ap a c b Pa d o p a d o c b Pa d a b a le P. P ad ab ale Tg. K a da ng a c c Tg. K ees a ha P. T a din an g Po b b Le m o P. W a ru w ar u b Bo e ta l is e W a ru w a ru c Ka l e ro a n g b c b Bu a j a n gk a P. K a lero an g b b La k o m b u lo Ba k a la Bu n g i n ke l a b b Pa k u Ja w i ja w i Tg. L o tor en de P. P aku Ko b u ru b c Bu to n c 3 '3" 3 3'4" Peta Indeks S EL AT MAK ASSAR L e g e n da Pe ta b c S ta siu n P ara m et er B io fi sik S ta siu n S o sek G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak Bel uk ar Dar at S u law e si 3 ' 3 2' 3 ' 3 2' c P. K a ra ntu c c Hu t an La ut P asi r/ke raka l P em u kim an Te ga l/l ad an g c Su m b e r :. P e ta R upa B um i Ind one s ia, le m b ar K a le ro a ng, B A K OS U R TA N AL, ta hun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an 3 5'5" K A B U P A TE N M O R O W A L I L A U T B A N D A 3 5'5" P : P u la u T g : T a n ju ng MA ' SIT A S A R I C U '3 " P E T A L O KA S I P EN E LIT IA N '4 " '5 " ' " Pr o g r a m S tu d i Pe ngelola a n S um b er da ya Pe s is ir d an Lautan Se k o la h P ar c a s a rja na In stitut Pe rta nia n B og or B o g or 2 7 Gambar 5 Lokasi Penelitian Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah 24

42 Analisis Data Menurut Wilson dan Anielski (25), ruang ekologis merupakan dampak yang ditimbulkan dari setiap kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan terhadap keberlanjutan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan pendekatan ecological footprint. Keberlanjutan dalam konteks ini, berarti untuk mencapai hidup yang memuaskan tanpa melampaui kapasitas regeneratif suatu lingkungan. Lebih lanjut Wackernagel menggunakan konsep ecological footprint untuk menghitung tingkat konsumsi terhadap sumberdaya, dan didasarkan pada pemikiran bahwa ketersediaan sumberdaya alam hayati (ruang) dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia, dihasilkan oleh suatu luasan bumi yang produktif secara biologis (Ludvianto 2). Selanjutnya Adrianto (26a) menyebutkan bahwa pendekatan ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi populasi, dimana perbedaan kebutuhan area dengan ketersedian ecological capacity dapat menunjukkan overshoot atau undershoot terhadap pemanfaatan sumberdaya. Analisis daya dukung ruang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan ecological footprint berdasarkan kebutuhan ruang ekologi untuk pengembangan rumput laut dimana perhitungan ecological footprint didasarkan tingkat kebutuhan rumput laut terhadap biocapacity yang didasarkan pada ketersediaan ruang yang secara ekologi mendukung budidaya rumput laut (Adrianto 26a) Analisis Kebutuhan Ruang Perairan Analisis kebutuhan ruang ini didasarkan pada tingkat kebutuhan rumput laut untuk menunjukkan area perairan dalam kegiatan budidaya (rumput laut) yang digunakan per kapita dari perhitungan terhadap populasi (pembudidaya) suatu wilayah. Model Haberl s digunakan sebagai model dasar perhitungan ecological footprint rumput laut (Haberl et al. 2 in Ditya 27 ), yaitu sebagai berikut :

43 26 EF i DEi IM i EX i = + dimana Y i Y i Y i lok reg lok EF lok = EF EqF i Dimana : EF i EF lok DE i IM i EX i Y lok i Y reg i EqF : Ecological Footprint rumput laut pulau ke-i (Ha/kapita) : Total Ecological Footprint (lokal) (Ha/kapita) : Tingkat Konsumsi rumput laut pulau ke-i (Ton/kapita) : Produksi rumput laut yang di impor dari pulau lain (Ton/Ha) : Produksi rumput laut yang di ekspor ke pulau lain (Ton/Ha) : Produktivitas rumput laut di pulau ke-i(ton/ha) : Produktivitas di gugus ke-i (Ton/Ha) : Equivalence Factor Analisis Ketersediaan Ruang Analisis ketersedian ruang (biocapacity) ini didasarkan pada kesesuaian perairan yang mendukung budidaya rumput laut. Kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut secara spasial menggunakan konsep evaluasi lahan. Konsep ini didasarkan pada parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang secara ekologi merupakan prasyarat kelayakan dalam budidaya rumput laut. Untuk itu digunakan teknik Sistem Informasi Geografis (SIG), guna melihat luas perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka. Dalam menentukan tingkat kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ditentukan dengan metode skoring dengan mengambil beberapa parameter dan menggunakan teknik tumpang susun (overlay) bertingkat. Selanjutnya menentukan tingkat kelayakan dengan memberikan bobot pada setiap parameter yang terukur berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari para pakar. Matriks kesesuaian perairan dapat dilihat pada Tabel 2. Bobot terbesar sampai terkecil diberikan berdasarkan besarnya pengaruh parameter terhadap kegiatan budidaya rumput laut. Nilai skor diperoleh dari hasil perkalian batasan nilai (setiap kategori) dan bobot, sehingga nilai skor yang diperoleh merupakan hasil kelayakan lokasi tersebut. Dalam penelitian ini kelas kesesuaian lahan/perairan dibedakan pada tiga tingkatan (FAO 976 yang diacu oleh Hardjowigeno et.al 2) dan didefinisikan sebagai berikut :

44 27 Kelas S : Kelas S2 : Kelas N : sangat sesuai, yaitu perairan tidak mempunyai faktor pembatas yang berat atau hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti (minor) dan secara nyata tidak akan menurunkan produktivitas perairan untuk budidaya rumput laut. Nilai scoring untuk kelas S sebesar 3. sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang agak berat dan akan mempengaruhi produktivitas perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut. Untuk itu, dalam pengelolaannya diperlukan tambahan masukan (input) teknologi dan tingkat perlakuan. Nilai scoring untuk kelas S2 sebesar 2. tidak sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang sifatnya permanen, sehingga tidak sesuai untuk budidaya rumput laut. Nilai scoring untuk kelas N sebesar. Nilai kesesuaian perairan yang diperoleh berkisar antara 3. Selanjutnya kisaran nilai ini di bagi ke dalam 3 kelas, sehingga diperoleh kisaran nilai kesesuaian sebagai berikut : Nilai 25 3 (S) = sangat sesuai Nilai 5 25 (S2) = sesui Nilai 5 (N) = tidak sesuai Kategori kelas kesesuaian yang digunakan untuk menghitung biocapacity meliputi kelas sangat sesuai dan kelas sesuai, dengan menggunakan rumus : BC k = Ak EqF dimana BC lok = BCk Keterangan : A k = Luas perairan budidaya rumput laut kategori ke - k(ha) EqF = Equivalence Factor

45 28 Tabel 2 Matriks Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut No Parameter Bobot Kategori dan Skor (%) S Skor S2 Skor N Skor. Kecepatan arus -9 atau < atau (cm/detik) 3-45 > Terlindung dari Sangat Tidak pengaruh angin 3 Terlindung 2 terlindung terlindung dan gelombang 3. Nitrat (ppm) 5,9-3 3,-<,9 <, atau 2 atau 3-3,5 > 3,5 4. Phosphat (ppm) 5,2-, 3,-<,2 <, atau atau,- 2 > 3,5 2, 5. Kecerahan (%) < 6 6. Salinitas (ppt) < 25 atau > Dasar perairan 8. Derajat Keasaman/pH Karang Berpasir 3 Pasir pasir berlumpur 2 Lumpur ,5 3 7,5 6,8 2 < 6,8 9. Suhu ( o C) < 25 atau > 32 DO (mg/l) 5 > < 2. Kedalaman air 3 atau <,5 atau (m) 3 4 >4 Jumlah Sumber :Sulistijo (22), Amarullah (27), Besweni (22), FAO (989) (diolah kembali).

46 IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4. Keadaan Umum Daerah 4.. Geografis dan Topografi Wilayah Kecamatan Bungku Selatan dengan ibukota Kaleroang, terletak di Pulau Kaleroang merupakan gugusan pulau yang dikenal dengan nama kepulauan Salabangka. Berdasarkan Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta (987) (Lampiran 2), Kepulauan Salabangka (Tabel 3) terdiri dari pulau-pulau Salabangka, pulau-pulau Umbele, dan pulau-pulau Sainoa. Wilayah penelitian dibatasi pada daerah Gugus Pulau Salabangka. Secara geografis, Kecamatan Bungku Selatan terletak pada lintang 22 o 8 BT 22 o 37 BT dan 2 o 53 LS 3 o LS, terdiri dari 33 desa diantaranya 2 desa tersebar di kepulauan dan sisanya terletak di wilayah daratan induk. Secara administratif, Kecamatan Bungku Selatan termasuk dalam pemerintahan Kabupaten Morowali dengan batas-batas wilayah, sebagai berikut :. Sebelah Utara dengan wilayah Kecamatan Bahodopi dan Perairan Teluk Tolo 2. Sebelah Selatan dengan wilayah Kecamatan Menui Kepulauan 3. Sebelah Timur dengan Laut Banda 4. Sebelah Barat dengan wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara Kecamatan Bungku Selatan merupakan daerah dengan luas wilayah pesisir terbesar ke dua seluas ha di Kabupaten Morowali. Dengan luas wilayah daratan adalah 8,7 % (3.78 ha) daratan induk dan 8,83 % (23.94 ha) daratan pulau-pulau kecil. Kecamatan ini mempunyai panjang garis pantai pesisir,9 km dan panjang garis pantai lingkar pulau 56,3 km (Anonim 24b). Sebagian besar wilayah pesisir daratan terdiri dari pegunungan dan perbukitan yang disusun oleh batuan beku dan batu gamping kristalin, dengan ketinggian dari permukaan laut antara 4 9 meter. Gunung tertinggi terletak di Desa Sambalagi dengan ketinggian 7 meter. Wilayah Kecamatan Bungku Selatan memiliki tiga sungai yaitu Sungai Mata Uso terletak di Desa Buleleng dengan panjang 7 km, Sungai Torete di Torete sepanjang 8 km, dan Sungai

47 3 Bahonimpa di Pungkeu dengan panjang 9 km. Pada musim penghujan Sungai Mata Uso mengalirkan lumpur dan sedimen ke laut, dan ini berdampak pada perairan di sekitar Pulau Bapa menjadi keruh (BPS 23). Bentuk pantai di daratan Kecamatan Bungku Selatan relatif lebih terjal dan sebagian wilayah terdiri dari hutan mangrove. Gugus Pulau Salabangka memiliki bentuk pantai relatif lebih datar, terbentuk dari terumbu karang dengan ketinggian rata-rata dari permukaan laut berkisar 2 meter. Tabel 3 Pulau-Pulau di Gugus Pulau Salabangka No Nama Gugus Nama Pulau Luas (Ha). Pulau Salabangka Paku*.9 Waru-waru*.89 Pado-pado*.383 Pulau bapa* 78 Padabale*.572 Tadingan 3,67 Kaleroang* 74 Karantu 8 Manuk - Jumlah Pulau Umbele Pulau Dua* 24 Pulau Umbele* 3.36 Pulau Raja Gunung - Pulau Buaya 8 Pulau Panimbawang * Pulau Panimbawang 2*.948 Pulau Tukoh Bonte - Pulau Boe Kocci - Pulau Tukoh Kocci - Pulau Tukoh Mangki - Pulau Tukoh Sipegang - Pulau Tokkajang - Pulau Lakatamba* 394 Jumlah Pulau Sainoa Pulau Tukoh Poadar - Pulau Tukoh Dilama - Pulau Tukoh Matingga - Pulau Sainoa Darat* Pulau Sainoa Mandilao* 522 Pulau Tukoh Besar - Pulau Bungitende* 44 Pulau Stagal 26 Jumlah.88 Keterangan : * pulau berpenghuni (inhabits island); - tidak ada data

48 Sosial Budaya Masyarakat Pada umumnya, masyarakat di Kecamatan Bungku Selatan berasal dari suku Bungku, Buton, Bajo dan Bugis. Kehidupan masyarakat, baik secara ekonomi dan sosial cukup baik, mereka hidup bersama-sama dan saling bekerja sama. Secara umum, mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Bungku Selatan sebagai nelayan. Berdasarkan Data BPS 23, penduduk yang bekerja sesuai jenis lapangan kerja yang tersedia di Kecamatan Bungku Selatan meliputi nelayan, petani, pegawai, pedagang, industri, jasa, angkutan dan lain-lain, seperti di tunjukkan pada pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis Lapangan Kerja Kecamatan Bungku Selatan No Jenis Lapangan Kerja Jumlah (jiwa) Persentase (%) Nelayan ,32 2 Petani.84 26,8 3 Pegawai 8 4,35 4 Pedagang 226 5,44 5 Industri 24 2,98 6 Jasa 249 5,99 7 Angkutan 2,48 8 Lain-lain 36 7,36 Jumlah 4.57 Sumber : Kecamatan Bungku Selatan dalam Angka 23 (Diolah) Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kecamatan Bungku Selatan bermata pencaharian sebagai nelayan, terutama masyarakat yang bermukim pada pulau-pulau dimana sebagian besar aktivitasnya berhubungan dengan lingkungan perairan seperti penangkapan ikan, budidaya rumput laut/ikan/teripang, transportasi dan lain-lain. Sebagian besar masyarakat di Gugus Pulau Salabangka (sekitar 98 %) adalah nelayan, baik nelayan penangkap ikan maupun nelayan pengumpul, dengan alat tangkap yang digunakan adalah pancing, pukat, alat tangkap bubu, dan sero. Adapun kegiatan ekonomi lain yang dilakukan selain menangkap ikan adalah budidaya rumput laut. Pada umumnya, masyarakat bekerja sebagai petani, pedagang, bergerak dalam bidang jasa dan angkutan laut memiliki pekerjaan sampingan sebagai nelayan atau sebagai pembudidaya rumput laut. Terdapat 28 % memiliki pekerjaan utama sebagai pembudidaya rumput laut, dan 26 % sebagai pekerjaan

49 32 sampingan (budidaya rumput laut). Masyarakat menyadari bahwa budidaya rumput laut dapat menjadi mata pencaharian alternatif dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Dengan adanya pengembangan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka, masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga keberadaan ekosistem, hal ini dapat dilihat semakin rendahnya penggunaan bom dan pembiusan dalam penangkapan ikan karang. 4.2 Keadaan Umum Iklim dan Cuaca Secara umum, Kabupaten Morowali memiliki dua musim dan dipengaruhi oleh angin monsoon, terdiri dari angin musim Utara (Oktober April), dan angin musim Selatan (Mei September). Kecepatan angin berkisar antara 2 knot per jam dan kecepatan maksimum per tahun antara 5 7 knot per jam. Temperatur udara rata-rata adalah 27,5 o C dengan variasi 25,8 o C pada bulan Agustus dan 28,4 o C pada bulan April. Kelembaban udara rata-rata per tahun sebesar 86,6 % dimana kelembaban udara setiap bulan berkisar antara 82,4 o C sampai dengan 9,37 o C. Dalam setahun, lamanya penyinaran matahari rata-rata adalah 44,8 % dengan nilai maksimum mencapai 7% dan nilai minimum sebesar 3,5%. Karena letaknya berdekatan dengan daratan induk, maka pola musim kepulauan Salabangka hampir mengikuti pola musim daratan induk (Anonim 2). Kabupaten Morowali memiliki dua musim tetap yaitu musim panas terjadi pada bulan April September dan musim hujan terjadi pada bulan Oktober Maret. Curah hujan rata-rata berkisar 3 mm dengan variasi antara 5 mm sampai dengan. mm. Demikian pula dengan Kepulauan Salabangka, tetapi pada musim panas kadang-kadang juga terdapat hujan dengan jumlah hari hujan antara 2 7 hari per bulan. Sedangkan musim hujan terjadi antara bulan Oktober Februari dengan hari hujan antara 2 2 hari per bulan. Dalam peralihan dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya, kondisi ini sering disebut dengan musim pancaroba. Musim pancaroba terjadi pada bulan Maret Mei (akhir musim hujan memasuki musim panas) dan bulan September November (akhir musim panas memasuki musim hujan), pada musim ini kondisi iklim dan

50 33 kondisi perairan tidak stabil. Pada bulan Maret sampai Mei intensitas curah hujan sangat sedikit dan biasanya terjadi pada siang hari, sedangkan bulan September sampai November intensitas curah hujan sedikit terjadi pada malam hari (Anonim 2). Berdasarkan hasil wawancara dan pola sebaran arus perairan Laut Banda (Lampiran 3) menggambarkan bahwa kegiatan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka dilakukan pada bulan Maret sampai bulan November. Pada musim pancaroba bulan Maret bulan Mei, umumnya wilayah perairan untuk budidaya rumput laut terletak pada bagian utara Gugus Pulau Salabangka, dan pada beberapa tempat di bagian Selatan (perairan Pulau Bapa, perairan Pulau Waru-waru dan Perairan Karantu). Pada bulan Juni sampai bulan Oktober sebagian besar wilayah perairan dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut. Sedangkan pada bulan November Februari, kondisi perairan kurang mendukung untuk budidaya rumput laut seperti adanya bercak-bercak putih atau sering disebut penyakit ice-ice pada rumput laut dan hanyutnya tanaman rumput laut akibat gelombang, khususnya pada wilayah bagian utara Pulau Paku. 4.3 Kondisi Oseanografi Perairan 4.3. Gelombang Gelombang laut di perairan Kepulauan Salabangka dipengaruhi oleh musim. Pada musim barat gelombang cenderung lebih besar, sedangkan gelombang cenderung lebih kecil pada musim timur. Periode ombak berkisar antara,2-,73 detik dengan panjang gelombang berisar antara,45,83 m dan arah ombak berkisar antara 55 o 32 o atau miring terhadap garis normal pantai (Anonim 2). Gelombang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap transportasi nutrien, pertukaran gas dan pengadukan air. Pada umumnya gelombang atau ombak terjadi karena adanya dorongan angin di atas permukaan laut dan terjadinya tekanan antara udara dan partikel air. Berdasarkan data Potensi Kelautan Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah menyebutkan bahwa tinggi ombak perairan Gugus Pulau Salabangka berkisar antara 5 5 cm. Nilai gelombang yang terukur lebih rendah dibandingkan gelombang yang terukur di

51 34 Biak Numfor Papua dengan kisaran,2 -,2 m (Soselisa 26 in Amarullah 27) dan gelombang yang terukur di Teluk Tamiang dengan kisaran 5 4 cm (Amarullah 27). Menurut Wahyunigrum (2) in Amarullah (27) menyebutkan bahwa ketinggian gelombang hingga mencapai meter masih baik untuk budidaya rumput laut terutama dengan metode apung, selain itu ketinggian gelombang akan mempengaruhi pertambahan tali pelampung dan kekuatan konstruksi budidaya Pasang Surut Berdasarkan data Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta untuk wilayah perairan Kabupaten Morowali diperoleh kisaran rata-rata pasang surut 44 cm, dimana nilai surut terendah sebesar 68 cm dan pasang tertinggi sebesar 22 cm Berdasarkan pengamatan fluaktuasi pasang surut pantai Kabupaten Morowali dan data dari DISHIDROS-AL menunjukkan bahwa tipe pasang surut perairan Kabupaten Morowali cenderung bertipe campuran condong ke harian ganda (Anonim 2). Menurut Aslan (998) in Amarullah (27) menyebutkan bahwa kedalaman perairan tidak boleh kurang dari 6 cm pada saat surut terendah sebab bila tidak demikian tanaman akan kekeringan pada saat air surut terendah dan akan mempersulit baik saat penanaman, pemeliharaan maupun pemanenan hasil Kecepatan Arus Kecepatan arus merupakan salah satu faktor penting mempengaruhi pertumbuhan rumput laut, secara tidak langsung mencegah peningkatan ph yang signifikan dan kenaikan temperatur serta berperan dalam pertukaran gas pada kolom air. Kecepatan arus di lokasi penelitian rata-rata berkisar antara 6,8 cm/dtk 7,7 cm/dtk dan arah arus berkisar antara nilai 5 o 35 o, kecepatan arus tertinggi 7,7 cm/dtk berada pada bagian timur-selatan Gugus Pulau Salabangka dan terendah 6,8 cm/dtk di daerah selatan-barat gugus. Peta sebaran kecepatan arus dapat dilihat pada Gambar 6.

52 35 Secara umum, kecepatan arus Gugus Pulau Salabangka terkategorikan sesuai untuk budidaya rumput laut, bila mengacu kepada Apriyana (26) in Kamlasi (28) kecepatan arus untuk budidaya Eucheuma spinosum di perairan Kecamatan Bluto adalah 3-39 cm/det. Kadi dan Atmadja (988); Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (24) menyebutkan bahwa kecepatan arus yang baik untuk budidaya Eucheuma adalah 2-4 cm/detik. Menurut Mubarak (98) menyatakan bahwa adanya arus air yang baik dapat menjamin tersedianya makanan yang tetap bagi rumput laut. Meskipun demikian, berdasarkan FAO (989) bahwa suatu lokasi budidaya rumput laut dapat memiliki kecepatan arus/gerakan air lebih rendah cm/detik dan memiliki nutrient yang tinggi (Lampiran 3 dan 4). Karena lokasi budidaya rumput laut dengan kekurangan nutrient akan membutuhkan arus yang lebih cepat, dimana kecepatan arus yang mendukung untuk pertumbuhan rumput laut tidak melebihi 3 cm/detik.

53 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH P ROV. GO RONT ALO PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" KA B U P AT E N M O R O W AL I Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k a la Ka m p u h ba u P. B ap a Selat Salabangka Ko lo n o Pa do p a do Tg. K a da ng a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pad a b a le P. P ad ab ale Le m o Po P. W a ru w ar u P. K a ra ntu Bo e ta lis e W a ru w aru Kal ero an g 5-2 Tg. L o tor en de Bak a la Bu a ja n gk a Pa k u P. P aku Lak o m b u lo Ko b u ru Bu n gi n kel a P. K a lero an g Bu to n Jaw ija w i LA U T B A N D A '2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" 2 km Skal a : 8. Peta Indeks 2 2 S EL AT MAKA SSA R Legenda P eta G aris pa n tai Se ba ran Arus ( cm /s ) Jalan lain 5 - Jalan setapak - 5 Bel uk ar 5-2 Dar at Sulawe si 2-25 Hu t an La ut 25-3 Pem u kim an 3-35 Te ga l/l ad an g Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an P : P ula u Tg : Ta nju ng 3 2' 3 ' 3 ' 3 2' MA'SI TA S AR I C U 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " P E T A S E B A R A N K E C E P A T A N A RU S Pro gra m S t ud i Pen g elo laa n Su mb e rda ya P esis ir d an L au t an Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bo g or 27 Gambar 6 Peta Sebaran Kecepatan Arus 36

54 Kecerahan dan Kedalaman Perairan Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya yang masuk kedalam kolom air. Kecerahan perairan yang ideal untuk kegiatan budidaya rumput laut adalah lebih dari m. Semakin tinggi nilai kecerahan maka semakin dalam penetrasi cahaya matahari yang memasuki perairan dan dapat membantu dalam proses fotosintesis. Kecerahan perairan pada lokasi penelitian adalah %. Peta sebaran kecerahan dapat dilihat pada Gambar 7, memperlihatkan bahwa perairan Gugus Pulau Salabangka memiliki tingkat kecerahan yang sesuai untuk budidaya rumput laut dengan nilai kedalaman optimum 5 m dan memiliki dasar perairan dengan substrat berpasir/kerakal (Gambar 8). Menurut Sulistijo dan Atmadja (996) bahwa kecerahan yang baik untuk kegiatan budidaya rumput laut berkisar,6 m 5 m atau dapat lebih. Kedalaman perairan mempunyai hubungan yang erat terhadap penetrasi cahaya, stratifikasi suhu vertikal, densitas dan kandungan oksigen serta zat-zat hara. Semakin bertambah kedalaman maka penetrasi cahaya akan semakin berkurang. Dalam kegiatan budidaya rumput laut, pengukuran kedalaman dilakukan pada saat surut terendah. Kisaran nilai kedalaman rata-rata pada lokasi penelitian antara 2,47 m 4,2 m (Gambar 9). Variasi kedalaman dipengaruhi topografi pantai, hal tersebut berhubungan dengan metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut. Kedalaman terendah pada Gugus Pulau Salabangka antara 5 m dan perairan yang sering digunakan untuk budidaya adalah gobah. Secara umum, perairan Gugus Pulau Salabangka memiliki kedalaman yang sesuai dalam budidaya rumput laut dengan menggunakan metode rawai. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (24) bahwa kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Euceheuma spp adalah 5 2 m dengan menggunakan metode rawai (long line). Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.

55 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI P ROV. GO RONT ALO Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" < KA B U P AT E N M O R O W AL I Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k a la Ka m p u hb a u P. B ap a Selat Salabangka Kol o no Pa do p a do Tg. K a da ng a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pad a b a le P. P ad ab ale Lem o Bo etal is e Po W a ruw a ru P. W a ru w ar u Ka le ro a n g P. K a ra ntu Tg. L o tor en de Ba k a la Bu a ja ngk a Pa k u P. P aku La k o m b ulo Ko b u ru Bu n gi nkel a P. K a lero an g Bu to n Ja w i jaw i LA U T BA N D A 2 59'2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" Sing ka t an GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H Peta Indeks S EL AT MAKA SSAR Legenda P eta Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 P : P ula u Tg : Ta nju ng 2 km 2 2 G aris pa n tai Jala n lain Jala n setapak Bel uk ar Dar at Sulawesi Hu t an La ut Pem u kim an Te ga l/l ad an g Skal a : 8. 3 ' 3 2' Sebaran Kecerahan (% ) < 3 ' 3 2' MA 'SITA S A R I C U 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " PET A S EB AR A N K EC E R AH A N Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar 7 Peta Sebaran Kecerahan 38

56 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI P ROV. GO RONT ALO Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2'4 " 22 23'5 " 22 26' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 2 59'2" 2 59'2" 2 km Skal a : 8. Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Ko lo n o Peta Indeks Kam pu h b au Pa d op a d o Tg. K a da ng a Tg. L o tor en de '3" P. B ap a Tg. K ees a ha Pa d a ba le P. P ad ab ale P. T a din an g Le m o Bo e ta lis e Bu a ja n gk a Ba k ala 3 '3" S EL AT MAKA SSAR 3 2' 3 ' 3 ' 3 2' Pa k u P. P aku Selat Salabangka Po P. W a ru w ar u W a ru w aru Lak o m b u lo Bu n gi nkel a Ko b uru Legenda P eta G aris pa n tai Jala n lain Jala n setapak Seba r a n Su bs tr a t Pa s ir d an Pe ca ha n K ar a ng 3 3'4" Ka l ero an g P. K a lero an g Jaw ija w i Bu to n 3 3'4" Bel uk ar Dar at Sulawe si Hu t an La ut Pasi r/ke raka l La ut P. K a ra ntu Pem u kim an Te ga l/l ad an g Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an 3 5'5" K A B U P A TE N M O R O W A L I L A U T B A ND A 3 5'5" P : P ula u Tg : Ta nju ng MA 'SITA S A R I C U 22 9'3 " PET A S EB AR A N S U BS TR AT 22 2'4 " 22 23'5 " 22 26' " Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Se k ola h P asc a s arja na In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar 8 Peta Sebaran Substrat 39

57 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI P ROV. GO RONT ALO Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" 5 - > > > 5 - KA B U P AT E N M O R O W AL I Selat Salabangka 5 - Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Ko lo n o Pa d o p ad o Kam pu h b au Tg. K a da ng a Tg. L o tor en de P. B ap a Tg. K ees a ha P. T a din an g > Pa d a ba le Bak a la P. P ad ab ale Le m o Bo e ta lis e Bu a ja ngk a Pa k u P. P aku Po W a ru w a ru Lak o m b u lo P. W a ru w ar u Kob u ru Bu n gi nkel a Ka l ero an g P. K a lero an g Bu to n Jaw ija w i P. K a ra ntu 5 - LA U T B A N D A > '2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" 2 km Skal a : 8. Peta Indeks 2 2 S EL AT MAKA SSA R Legenda P eta G aris pa n tai K ed ala m a n P e r air an (m ) Jala n lain - 5 Jala n setapak 5 - Bel uk ar - 2 Dar at Sulawesi 2-5 Hu t an 5 - La ut Pem u kim an > Te ga l/l ad an g Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an P : P ula u Tg : Ta nju ng 3 2' 3 ' 3 ' 3 2' U '3 " 22 2 '4 " '5 " ' " PET A S EB AR A N K ED A L AM AN MA 'SITA S A R I C Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar 9 Peta Sebaran Kedalaman 4

58 Keterlindungan Dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut, faktor keterlindungan perlu pertimbangan. Hal ini untuk menghindari kerusakan sarana budidaya dan tumbuhan rumput laut dari pengaruh angin dan gelombang yang besar. Gugus Pulau Salabangka merupakan daerah terbuka dan terlindung dari pengaruh gelombang dan arus, serta pengaruh angin (Gambar ). Daerah terbuka terdapat pada bagian utara hingga tenggara gugus ini, sedangkan bagian selatan hingga barat terkategorikan agak terlindung sampai terlindung. Pada daerah terbuka kecepatan arus permukaan cenderung lebih besar disebabkan oleh angin dan gelombang dari Laut Banda, selain itu daerah ini memiliki tumbuhan karang keras yang mengindikasikan wilayah ini mendapat pengaruh gelombang yang lebih besar, sehingga cenderung mengakibatkan rusaknya unit-unit rumput laut. Sedangkan pada daerah agak terlindung dan daerah terlindung dicirikan dengan dasar perairan berpasir kasar hingga berpasir halus. Daerah agak terlindung hingga terlindung disebabkan adanya pulau-pulau Salabangka sebagai penghalang. Berdasarkan musim keterlindungan wilayah perairan sedikit berbeda dimana pada musim barat arus Laut Banda dari arah utara timur laut memasuki perairan Gugus Pulau Salabangka dengan kecepatan berkisar antara 2 25 cm/dtk, pada musim ini wilayah perairan terlindung dari pengaruh arus yang besar atau mendukung untuk budidaya rumput laut. Sedangkan pada musim timur, arus dari Laut Banda cenderung lebih besar diatas 25 cm/dtk, sehingga bagian utara Gugus Pulau Salabangka cenderung agak terlindung hingga terbuka dari pengaruh arus, sebaliknya pada daerah bagian selatan (Lampiran 3). Pada musim timur wilayah perairan bagian timur cukup sesuai untuk budidaya rumput laut, bila dibandingkan wilayah perairan bagian selatan (sesuai untuk budidaya rumput laut) (Wyritki 96). Menurut Sulistijo (22) bahwa lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan ombak yang keras dan angin yang kuat, biasanya dibagian depan dari rataan lokasi budidaya mempunyai karang penghalang ataupun gosong yang dapat meredam kekuatan ombak.

59 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 LA U T SU LA W E SI ENGAH P ROV. GO RONT ALO PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" KA B U P AT E N M O R O W AL I Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Kam pu h b au P. B ap a Selat Salabangka Ko lo n o Pa d o p ad o Tg. K a da ng a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pa d a ba le P. P ad ab ale Le m o Bo e ta lis e Po W a ru w a ru P. W a ru w ar u Ka l ero an g P. K a ra ntu Tg. L o tor en de Bak a la Bu a ja ngk a Pa k u P. P aku Lak o m b u lo Kob u ru Bu n gi nkel a P. K a lero an g Bu to n Jaw ija w i LA U T B A N D A 2 59'2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" 2 km Skal a : 8. Peta Indeks 2 2 S EL AT MAKA SSA R Legenda P eta G aris pa n tai Ket erlind unga n Jala n lain Terbu k a Jala n setapak Aga k Te r lindun g Bel uk ar Terlind ung Dar at Sulawesi Hu t an La ut Pem u kim an Te ga l/l ad an g Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an P : P ula u Tg : Ta nju ng 3 2' 3 ' 3 ' 3 2' MA 'SITA S A R I C U 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " PET A D A E R A H KE T ER L IN D U N G AN Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar Peta Sebaran Keterlindungan 42

60 Suhu Kisaran suhu sangat spesifik dalam pertumbuhan rumput laut, disebabkan adanya enzim pada rumput laut yang tidak berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas (Dawes 98 in Amiluddin 27). Suhu perairan yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada rumput laut seperti dalam proses fotosintesis, kerusakan enzim dan membran sel yang bersifat labil. Sedangkan pada suhu rendah, membran protein dan lemak dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel, sehingga mempengaruhi kehidupan rumput laut (Luning 99). Gugus Pulau Salabangka memiliki kisaran suhu rata-rata antara 29,33 3,67 o C. Dari peta sebaran suhu (Gambar ) menggambarkan bahwa daerah dekat pantai memiliki suhu lebih tinggi dan semakin dekat daerah daratan induk suhu semakin rendah, utamanya bagian selatan selatan Gugus Pulau Salabangka. Fluktuasi suhu terjadi pada musim pancaroba diakibatkan kondisi cuaca terhadap perairan. Dengan demikian, kegiatan budidaya rumput laut dapat berlangsung pada wilayah Gugus Pulau Salabangka. Kisaran suhu untuk pertumbuhan rumput laut antara 2 3 o C, dimana daerah tersebut dibatasi antara satu kisaran pasang surut yang rendah dan dikelilingi terumbu karang atau daerah tersebut tidak mengalami kekeringan saat pasang surut ekstrim yang terjadi penuh atau pada bulan baru (FAO 989).

61 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI P ROV. GO RONT ALO Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ngk a la Ko lo n o Pa d o p ad o Kam pu h b au Tg. K a da ng a P. B ap a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pa d ab a le P. P ad ab ale Le m o Bo etal is e Po W a ru w a ru P. W a ru w ar u Ka le ro a n g Selat Salabangka P. K a ra ntu KA B U P AT E N M O R O W AL I Tg. L o tor en de Ba k a la Bu a ja ngk a Pa k u P. P aku La k o m b ulo Ko b u ru Bu n gi nkel a P. K a lero an g Bu to n Ja w i jaw i LA U T B A N D A '2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" Peta Indeks S EL AT MAKA SSAR Legenda P eta Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an P : P ula u Tg : Ta nju ng 2 km 2 2 G aris pa n tai Jala n lain Jala n setapak Bel uk ar Dar at Sulawesi Hu t an La ut Pem u kim an Te ga l/l ad an g Skal a : 8. 3 ' 3 2' Se ba ra n Su hu ( C ) 3 ' 3 2' MA 'SITA S A R I C U 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " PET A S EB AR A N S U H U P ER A IR A N Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar Peta Sebaran Suhu 44

62 Salinitas Nilai kisaran salinitas rata-rata pada lokasi studi antara 28,67 3, ppt, kisaran ini tergolong normal untuk perairan di Indonesia yang mendukung kehidupan biota perairan dan masih memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput laut. Nilai terendah (28,67 ppt) yang terdapat pada lokasi studi disebabkan daerah tersebut merupakan jalur transportasi sehingga adanya pergerakan air menghambat peningkatan suhu permukaan air yang dapat mempengaruhi nilai salinitas, dan adanya pengaruh aliran sungai terutama lokasi budidaya yang letaknya berhadapan dengan daratan induk (bagian barat daya Gugus Pulau Salabangka meliputi Pulau Pado-pado dan Pulau Bapa) atau terletak pada perairan Selat Salabangka, serta variasi intensitas curah hujan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Peta sebaran salinitas disajikan pada Gambar 2. Menurut Sulistijo (22) bahwa batas nilai salinitas terendah yang masih dapat ditolerir untuk kehidupan rumput laut jenis Eucheuma sp. pada salinitas 28 o / oo. Eucheuma sp. merupakan rumput laut yang bersifat stenohalin dimana jenis ini tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi dan kisaran salinitas yang mendukung pertumbuhan rumput laut ppt. Doty (987) menyebutkan salinitas yang mendukung petumbuhan Eucheuma alvarezzi berkisar antara ppt, sedangkan menurut Kadi dan Atmadja (988) bahwa kisaran salinitas yang dihendaki jenis ini ppt. Penelitian yang dilakukan oleh Iksan (25) di Maluku Utara menunjukkan kisaran salinitas 3 35 ppt. Berdasarkan hal tersebut, maka salinitas perairan Gugus Pulau Salabangka dapat dikatakan berada dalam batas yang layak untuk pertumbuhan rumput laut. Hal ini didukung oleh Wyrtki (96) menyebutkan bahwa variasi kisaran salinitas perairan Laut Banda antara lebih kecil atau lebih besar,4 o / oo dimana pada musim barat rata-rata salinits permukaan ~ 33,7 o / oo, sedangkan pada musim timur 34 o / oo. Menurut Wyrtki (96) in Bengen dan Retraubun (26) menyebutkan fluaktuasi salinitas dipengaruhi angin muson dan masukan dari sungai. Nilai salinitas tinggi terjadi pada saat musim kemarau, sedangkan pada musim hujan nilai salinitas lebih rendah. Sedangkan fluktuasi nilai salinitas pada musim pancaroba bervariasi dipengaruhi oleh tinggi rendah curah hujan yang terjadi.

63 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI P ROV. GO RONT ALO Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" Selat Salabangka Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Ko lo n o Pa d o p ad o Kam pu h b au Tg. K a da ng a P. B ap a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pa d a ba le P. P ad ab ale Le m o Bo e ta lis e Po W a ru w a ru P. W a ru w ar u Ka l ero an g P. K a ra ntu KA B U P AT E N M O R O W AL I Tg. L o tor en de Bak a la Bu a ja ngk a Pa k u P. P aku Lak o m b u lo Kob u ru Bu n gi nkel a P. K a lero an g Bu to n Jaw ija w i LA U T B A N D A '2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" Sing ka t an GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB UPATEN MO RO W ALI S U L AW E SI TE N G A H Peta Indeks S EL AT MAKA SSAR Le ge n da P eta Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 P : P ula u Tg : Ta nju ng 2 km 2 2 G aris pa n tai Jala n lain Jala n set ap ak Bel uk ar Dar at Sulawesi Hu t an La ut Pem u kim an Te ga l/l ad an g Skal a : 8. 3 ' 3 2' Sebaran Salinitas ( ppm ) ' 3 2' MA 'SITA S A R I C U 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " P E T A S E B A R A N S A L IN IT A S Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar 2 Peta Sebaran Salinitas 46

64 Derajat Keasaman/pH Salah satu faktor penting dalam kehidupan rumput laut, selain faktor-faktor lingkungan lainnya adalah ph. Pada setiap organisme laut akan mempunyai toleransi yang berbeda terhadap ph, demikian halnya dengan rumput laut. Kisaran rata-rata nilai ph pada lokasi studi antara 7,97 8,3 (Gambar 3). Nilai tersebut masih normal untuk mendukung kehidupan rumput laut. Menurut Chapman (962) in Amiluddin (27) hampir semua alga dapat hidup pada kisaran ph 6,8 9,6, sehingga ph tidak menjadi masalah bagi pertumbuhannya. Pada lokasi penelitian perubahan nilai ph relatif stabil dan berada pada kisaran yang mampu ditolerir oleh rumput laut. Hal ini disebabkan antara lain bahwa sumber bahan pencemar relatif lebih sedikit (berasal dari limbah domestik), tidak ada industiri sebagai penyumbang terbesar terhadap perubahan ph, dan adanya sirkulasi/pergerakan air yang baik. Menurut Kadi dan Atmadja (988) in Sirajuddin (29) nilai ph yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 9 dengan kisaran optimun 7,9 8,3. Lebih lanjut Luning (99) menyebutkan bahwa peningkatan nilai ph akan mempengaruhi kehidupan rumput laut dan kecenderungan perairan memiliki tingkat keasaman yang tinggi disebabkan masuknya limbah organik dalam jumlah besar.

65 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH P ROV. GO RONT ALO PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB UPATEN MO RO W ALI S U L AW E SI TE N G A H 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" KA B U P AT E N M O R O W AL I Selat Salabangka Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Ko lo n o Pa d o p ad o Kam pu h b au Tg. K a da ng a P. B ap a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pa d a ba le P. P ad ab ale Le m o P o Po P. W a ru w ar u P. K a ra ntu Bo e ta lis e W a ru w a ru Ka l ero an g Tg. L o tor en de Bak a la Bu a ja ngk a Pa k u P. P aku Lak o m b u lo Kob u ru Bu n gi nkel a P. K a lero an g Bu to n Jaw ija w i LA U T B A N D A '2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" 2 km Skal a : 8. Peta Indeks 2 2 S EL A T MAK ASSA R Le ge n da P eta G aris pa n tai Sebaran ph Jala n lain Jala n setapak Bel uk ar Dar at Sulawesi Hu t an La ut Pem u kim an Te ga l/l ad an g Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an P : P ula u Tg : Ta nju ng 3 2' 3 ' 3 ' 3 2' MA 'SITA S A R I C U P E T A S E B A R A N p H 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar 3 Peta Sebaran ph 48

66 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen merupakan bagian penting dalam proses reaksi kimia dan biologi terutama pada lingkungan perairan. Senyawa ini dihasilkan oleh tumbuhan air sangat diperlukan untuk kelanjutan kehidupan biota perairan karena sangat diperlukan baik hewan dan tanaman air termasuk bakteri untuk respirasi. Nilai rata-rata kisaran oksigen terlarut pada lokasi studi antara 4,83 6,35 mg/l. Nilai tesebut dapat dikatakan sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Peta sebaran DO dapat dilihat pada Gambar 4, karena Gugus Pulau Salabangka mendapat pengaruh gelombang dan arus yang berasal dari Laut Banda, sehingga penurunan kandungan oksigen dibawah normal jarang terjadi pada daerah ini. Menurut Mubarak et al. (99) bahwa sebagai tumbuhan, dalam jaringan rumput laut terjadi proses fotosintesis dan respirasi yang masing-masing memerlukan oksigen dan karbondioksida, kedua unsur tersebut jarang menjadi faktor pembatas karena jumlahnya berlimpah di air laut. Oksigen berasal dari atmosfir dan terdifusi karena angin, ombak dan arus. Sedangkan karbondioksida merupakan gas terlarut yang berkeseimbangan dengan senyawa karbonat.

67 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH P ROV. GO RONT ALO PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" KA B U P AT E N M O R O W AL I Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Kam pu h b au P. B ap a Selat Salabangka Ko lo n o Pa d o p ad o Tg. K a da ng a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pa d a ba le P. P ad ab ale Le m o Bo e ta lis e Po W a ru w a ru P. W a ru w ar u Ka l ero an g P. K a ra ntu Tg. L o tor en de Bak a la Bu a ja ngk a Pa k u P. P aku Lak o m b u lo Kob u ru Bu n gi nkel a P. K a lero an g Bu to n Jaw ija w i LA U T B A N D A '2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" 2 km Skal a : 8. Peta Indeks 2 2 S EL AT MAKA SSA R Le ge n da P eta G aris pa n tai Seba ra n Ok s ige n Te rla ru t (m g/l) Jala n lain Jala n setapak Bel uk ar Dar at Sulawesi Hu t an La ut Pem u kim an Te ga l/l ad an g Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an P : P ula u Tg : Ta nju ng 3 2' 3 ' 3 ' 3 2' MA 'SITA S A R I C U 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " PET A S EB AR A N O K SIG E N TE R L A R U T (D O ) Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar 4 Peta Sebaran Oksigen Terlarut (DO) 5

68 Nutrient Kesuburan dan kelimpahan stadia reproduksi alga dapat dipengaruhi oleh kondisi kandungan nitrat (N) dan fosfat (P). Kedua unsur tersebut diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan pembentukan cadangan makanan. Umumnya fosfat dapat diserap rumput laut dalam bentuk orto-fosfat sedangkan nitrogen di perairan diserap dalam bentuk nitrat. Kisaran nitrat yang mendukung kehidupan organisme laut adalah, 5 mg/l (Luning 99). Kisaran rata-rata kandungan nitrat pada lokasi penelitian antara,23,52 mg/l. Nilai nitrat terendah (,23 mg/l) terdapat pada bagian utara timur laut Pulau Paku dimana daerah ini berhadapan langsung dengan Laut Banda dan kandungan nitrat dianggap bukan merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan rumput laut khususnya pada Gugus Pulau Salabangka. Sedangkan nilai tertinggi terletak pada sebelah barat daya Gugus Pulau Salabangka. Menurut Anggoro (983) in Kamlasi (28), nitrat dapat menjadi faktor pembatas jika kosentarasi <, ppm dan > 4,5 ppm. Adapun peta sebaran nitrat dapat dilihat pada Gambar 5. Fosfat merupakan unsur penting dalam aspek kehidupan tumbuhan air seperti algae, kandungan fosfat pada lokasi penelitian rata-rata berkisar antara,36,75 mg/l. Nilai fosfat tertinggi terletak pada barat daya gugus pulau Salabangka sedangkan nilai fosfat terendah terletak pada bagian utara timut laut Pulau Paku. Sebaran kandungan fosfat disajikan pada Gambar 6. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari aliran Sungai Mata Uso sebagai sumber fosfat dari daratan. Kadar fosfat pada lokasi penelitian dapat dikatakan masih sesuai untuk petumbuhan rumput laut. Menurut Wardoyo (978) in Fatmawati (998) bahwa kandungan fospat dalam perairan lebih besar dari,2 mg/l adalah perairan dengan kesuburan sangat subur. Menurut Fritz (986) in Iksan (25) menyebutkan bahwa perairan memiliki kandungan nutrient dalam bentuk ortofosfat yang melimpah, tetapi karena senyawa ini dimafaatkan langsung oleh tanaman akuatik sehingga kecenderungan keberadaan ortofosfat di perairan cepat habis. Kondisi perairan kekurangan ortofosfat berdampak terhadap tanaman akuatik, apabila dibandingkan dengan kekurangan nitrat.

69 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI P ROV. GO RONT ALO Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" KA B U P AT E N M O R O W AL I Selat Salabangka Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Kam pu h b au P. B ap a Ko lo n o Pa d o p ad o Tg. K a da ng a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pa d a ba le P. P ad ab ale Le m o Bo e ta lis e Po W a ru w a ru P. W a ru w ar u Ka l ero an g P. K a ra ntu Tg. L o tor en de Bak a la Bu a ja ngk a Pa k u P. P aku Lak o m b u lo Kob u ru Bu n gi nkel a P. K a lero an g Bu to n Jaw ija w i LA U T B A N D A '2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" Sing ka t an GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H Peta Indeks S EL AT MAKA SSA R Le ge n da P eta Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 P : P ula u Tg : Ta nju ng 2 km 2 2 G aris pa n tai Jala n lain Jala n setapak Bel uk ar Dar at Sulawesi Hu t an La ut Pem u kim an Te ga l/l ad an g Skal a : 8. 3 ' 3 2' Sebaran N O (m g/l) ' 3 2' MA 'SITA S A R I C U PET A S EB AR A N N O '3 " 22 2 '4 " '5 " ' " Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar 5 Peta Sebaran NO 3 52

70 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH P ROV. GO RONT ALO PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" KA B U P AT E N M O R O W AL I Selat Salabangka Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Kam pu h b au P. B ap a Ko lo n o Pa d o p ad o Tg. K a da ng a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pa d a ba le P. P ad ab ale Le m o Bo e ta lis e Po W a ru w a ru P. W a ru w ar u Ka l ero an g P. K a ra ntu Tg. L o tor en de Bak a la Bu a ja ngk a Pa k u P. P aku Lak o m b u lo Kob u ru Bu n gi nkel a P. K a lero an g Bu to n Jaw ija w i LA U T B A N D A '2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" 2 km Skal a : 8. Peta Indeks 2 2 S EL AT MAKA SSAR Le ge n da P eta G aris pa n tai Se ba r a n PO 4 (m g/l) Jala n lain Jala n setapak Bel uk ar Dar at Sulawesi Hu t an La ut Pem u kim an Te ga l/l ad an g Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an P : P ula u Tg : Ta nju ng 3 2' 3 ' 3 ' 3 2' MA 'SITA S A R I C U P E T A S E B A R A N P O '3 " 22 2 '4 " '5 " ' " Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar 6 Peta Sebaran PO 4 53

71 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut Secara umum, ekosistem pesisir dan laut di Gugus Pulau Salabangka meliputi hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang (Gambar 7). Terumbu karang dan padang lamun merupakan ekosistem yang lebih mendominasi wilayah ini. Keberadaaan mangrove pada Gugus Pulau Salabangka dalam kondisi relatif baik, dengan luas sekitar 48,929 ha dapat dijumpai pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak, terdapat pada substrat berpasir dan lebih didominasi oleh jenis Avecenia, serta memiliki tingkat kerusakan rendah karena tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Berbeda dengan mangrove, luasan padang lamun pada daerah ini sekitar 999,838 ha. Keberadaan lamun lebih banyak dijumpai pada substat berpasir dan kondisi yang cukup baik. Jenis lamun yang dijumpai di perairan ini adalah jenis Enhalus. Terumbu karang pada wilayah ini memiliki luas 87,529 ha, pada beberapa lokasi terumbu karang banyak mengalami kerusakan karena aktivitas manusia seperti pemboman, peracunan, penambangan karang dan lain-lain. Akan tetapi beberapa lokasi masih dalam kondisi baik. Dengan profil kawasan yang relatif lebih dangkal dan kegiatan pemanfaatan relatif lebih tinggi, serta kondisi lingkungan yang fluktuatif, sehingga kondisi karang banyak mengalami kerusakan. Tutupan karang mati berkisar antara 5 4 %, sedangkan tutupan rubble (pecahan karang) berkisar antara (5 55 %) dan pasir (5 3 %). Karang keras dapat dijumpai pada Gugus Pulau Salabangka bagian utara dengan tutupan sekitar 5 %, berupa spot-spot diantara hamparan pasir dan pecahan karang, utamanya pada kedalaman 5 m. Bentuk pertumbuhan dari karang keras didominasi oleh bentuk Acropora Tabulate, Acropora Branching dan massive coral (Anonim 2).

72 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 LA U T SU LA W E SI ENGAH P ROV. GO RONT ALO PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB UPATEN MO RO W ALI S U L AW E SI TE N G A H 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" KA B U P AT E N M O R O W AL I Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Ka m p u hb a u P. B ap a Selat Salabangka Ko lo n o Pad o p ad o Tg. K a da ng a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pa d ab a le P. P ad ab ale Le m o Boe ta l is e Po W aruw a ru P. W a ru w ar u Ka le ro a n g P. K a ra ntu Tg. L o tor en de Ba k ala Bu aj an gk a Pa k u P. P aku La k om bu lo Ko bu ru Bu n g in ke la P. K a lero an g Bu to n Jaw ija w i LA U T BA N D A 2 59'2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" 2 km Skal a : 8. Peta Indeks 2 2 S EL A T MAK ASSA R Le ge n da P eta G aris pa n tai Se ba r a n Ek o sis te m P es isir Jalan lain Mang ro ve Jalan setapak La m un Bel uk ar Dar at Sulawe si K ar a ng Hu t an La ut Pasi r/ke ral Pem u kim an Te ga l/l ad an g Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an P : P ula u Tg : Ta nju ng 3 2' 3 ' 3 ' 3 2' MA'SI TA S AR I C U 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " P E T A S E B A R A N E K O S IS T E M P E S IS IR Pro gra m S t ud i Pen g elo laa n Su mb e rda ya P esis ir d an L au t an Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bo g or 27 Gambar 7 Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Gugus Pulau Salabangka 55

73 56 Tutupan karang hidup dengan persentase sekitar 65 % terdapat diantara bagian barat Gugus Pulau Umbele dan Gugus Pulau Salabangka bagian timur, pada kedalaman kurang dari 4 m. Kepadatan karang terjadi hanya pada bagian tepian terumbu saja dan pada kedalaman lebih dari 4 m banyak ditemui karang yang mengalami kematian. Bentuk pertumbuhan pada daerah tersebut didominasi oleh Acropora Tabulate, Acropora Branching, dan Acropora Foliose (Anonim 2). Gugus Pulau Salabangka bagian utara sampai timur banyak ditemui karang yang hancur/rusak. Hal ini disebabkan oleh pengeboman dan pembiusan dalam penangkapan ikan karang. Keanekaragaman ikan karang juga banyak dijumpai, terdiri 34 jenis dari 5 famili (Lampiran 5). Kelompok biota lain yang dapat ditemukan pada wilayah ini antara lain teripang, bintang laut, kima, dan berbagai organisme moluska lainnya. 4.4 Pemanfaatan Lingkungan dan Sumberdaya Gugus Pulau Salabangka Perkembangan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Morowali masih terbatas. Kabupaten ini memiliki potensi sumberdaya hayati dan belum termanfaatkan secara optimal tersebar pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Usaha perikanan beroperasi dalam usaha perikanan budidaya laut, perikanan tangkap dan perikanan air payau. Potensi perikanan berada pada wilayah pesisir dan laut, meliputi Kecamatan Bungku Tengah, Bungku Selatan, Bungku Utara, Menui Kepulauan dan Petasia, dengan total panjang garis pantai 35 km. Terdapat 2 kecamatan yakni Kecamatan Bungku Selatan dan Menui Kepulauan memiliki karateristik perikanan yang beragam dibandingkan kecamatan lainnya, dengan potensi pengembangan meliputi potensi perikanan tangkap (pelagis, demersal dan ikan karang) dan budidaya (laut dan payau). Secara spasial, pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Gambar 8.

74 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E 2 22 LA U T SU LA W E SI P ROV. GO RONT ALO Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2'4 " 22 23'5 " 22 26' " GU GU S P U L A U SA L A B AN GK A K A B U P AT E N M OR OW A L I SU L A W ES I T EN GA H 2 59'2" 2 59'2" 2 km Skal a : 8. Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k al a Ko lo n o Peta Indeks Kam pu h b au Pa d op a d o Tg. K a da ng a Tg. L o tor en de 2 2 P. B ap a 3 ' 3 ' 3 '3" Tg. K ees a ha Pa d a ba le P. P ad ab ale P. T a din an g Le m o Bo e ta lis e Bu a ja n gk a Ba k ala 3 '3" S EL AT MAKA SSAR 3 2' 3 2' Pa k u P. P aku 3 3'4" Selat Salabangka Po P. W a ru w ar u W a ru w aru Ka l ero an g Lak o m b u lo Bu n gi nkel a P. K a lero an g Jaw ija w i Ko b uru Bu to n 3 3'4" Le ge n da P eta G aris pa n tai Jalan lain Jalan setapak Darat Sulawesi Hu t an La ut P em u kim an Te ga l/l ad an g P asi r/ke raka l Pe m a nf at a n Pe r a ira n B udida y a R um put La ut (86 5,49 ha ) Pe m e liha raa n T eripa ng (3,3 ha ) Pemeliharaan Ikan (3,48 ha ) P. K a ra ntu Sum be r :. P e ta Rupa Bum i Ind one s ia, le m b ar K a lero a ng, B A K OS U R TA N AL, tahun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an 3 5'5" K A B U P A TE N M O R O W A L I L A U T B A ND A 3 5'5" P : P ula u Tg : Ta nju ng MA 'SITA S A R I C U 22 9'3 " P E T A P E M A N FA TA N R U A N G P E R A IR A N 22 2'4 " 22 23'5 " 22 26' " Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Sekolah P ascasarjana In s titut Pe rta nia n Bog or B ogor 2 7 Gambar 8 Peta Pemanfaatan Ruang Perairan di Gugus Pulau Salabangka 57

75 Perikanan Produksi perikanan Kabupaten Morowali terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat. Tercatat pada tahun 999, produksi perikanan laut terbesar dihasilkan dari Kecamatan Bungku Selatan dengan total produksi.452. ton. Meskipun demikian, ketersedian sarana produksi perikanan tangkap pada wilayah ini masih terbatas meliputi kapal motor, perahu motor, dan perahu tak bermotor, berjumlah.326 buah. Alat tangkap yang digunakan masih sederhana berupa alat pancing (pukat, pancing gurita, lobster, udang tombak, pancing tuna), jaring insang dan jaring angkat serta bubu (Anonim 24a; Anonim 24b). Berdasarkan data BPS 23, hasil produksi perikanan Kecamatan Bungku Selatan mengalami peningkatan, terutama pada hasil laut jenis ikan jika dibandingkan dengan jenis hasil laut lainnya seperti rumput laut, teripang dan lainnya (Gambar 9). Dengan demikian, peningkatan jenis hasil perikanan laut selain ikan, masih dapat dikembangkan dan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat dan pemasukan bagi pemerintah daerah Hasil Produksi (Ton) Tahun Ikan Rumput Laut Teripang Lainnya Gambar 9 Produksi Hasil Laut Kecamatan Bungku Selatan

76 59 Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa produksi hasil laut lebih didominasi oleh ikan ( ton), kemudian rumput laut (27-7 ton) dan teripang (-5 ton), dan lainnya (2-26 ton). Saat ini pengembangan pemeliharaan ikan dalam keramba mulai dikembangkan secara tradisional. Sebelumnya penangkapan ikan menggunakan bom dan racun telah mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang, hingga saat ini aktivitas penangkapan ikan dengan cara tidak ramah lingkungan mengalami penurunan dimana masyarakat dengan kegiatan ekonomi utama mencari ikan mulai melakukan aktvitas lain seperti budidaya rumput laut, pemeliharaan ikan dalam keramba dan budidaya teripang Budidaya Rumput Laut Salah satu kegiatan pemanfaatan sumberdaya pada pulau kecil adalah budidaya rumput laut. Pada lokasi studi, kegiatan ini telah berlangsung lama (sejak tahun 98), tetapi sebelum tahun 995 kegiatan ini hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat terutama masyarakat nelayan yang memiliki modal yang cukup besar. Peran pemerintah yang tidak sepenuhnya memperhatikan kegiatan tersebut, berakibat pada semakin sedikitnya masyarakat yang melakukan kegiatan penanaman rumput laut, selain itu sarana transportasi yang kurang memadai sehingga kegiatan ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat nelayan dan tidak menjadi sumber pendapatan yang utama. Setelah tahun 995, pihak pemerintah mulai memberikan respon yang cukup baik bagi masyarakat setempat dalam kegiatan penanaman rumput. Meskipun demikian, semakin panjangnya rente ekonomi dalam usaha budidaya rumput laut, berakibat pada semakin sulitnya para petani rumput laut dalam memperoleh harga yang pantas terhadap hasil rumput laut. Dari 253 reponden yang melakukan kegiatan penanaman rumput laut kurang lebih 64 persen menjual hasil panen mereka ke penampung/pengumpul, 8% ke pedagang, 8% di koperasi, sedangkan yang menjual hasi panen ke tengkulak dan lainnya masing-masing sebesar 5 persen. Kisaran harga rumput laut kering antara Rp.4. Rp.4.7 per kg pada tingkat lokal, sedangkan pada tingkat pengusaha harga komoditi ini sebesar Rp.5. Alur penjualan rumput laut dapat dilihat pada Gambar 2.

77 6 Kegiatan penanaman rumput laut didasarkan pada pengetahuan masyarakat dari generasi sebelumnya. Sebelumnya, penanaman rumput laut menggunakan metode rakit apung dari bambu karana keterbatasan modal dalam penyediaan bahan tersebut, sehingga metode penanaman rumput laut di Gugus Pulau Salabangka mengalami perubahan yaitu menggunakan metode longline, dengan pertimbangan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan metode rakit apung. Sebagian besar hasil panen di jual dalam bentuk kering, kemungkinan hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya harga rumput dan juga tidak di dukung dengan sarana perhubungan laut. P eta n i R u m p u t L au t R p.4.7 R p.4. - R p.4.2 R p.4.5 P en g u m p u l K ecil (d esa ) K o p erasi N elay an P e n g u m p u l B esa r (antar d esa ) R p.5. P engusa h a d i K en d a ri Gambar 2 Alur Penjualan Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka Adanya indikasi meningkatnya pemanfaatan perairan untuk budidaya rumput laut dimana tidak adanya penetapan aturan terhadap besarnya luas lahan yang dimanfaatkan, penetapan luas perairan budidaya lebih didasarkan besarnya jumlah modal pembudidaya. Hasil survei menunjukkan bahwa 98 persen luas perairan budidaya yang dimiliki berdasarkan besarnya jumlah modal, dan berdasarkan lainnya 2 %.

78 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Identifikasi Kesesuian Ruang Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka merupakan daerah pesisir terdiri dari pulau-pulau kecil, memiliki bentuk pulau yang relatif lebih kecil (< 2. ha) dan terbentuk dari pengangkatan terumbu karang, kurangnya ketersediaan air tawar, memiliki ekosistem (terumbu karang, padang lamun dan mangrove), dan memiliki ketersediaan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, serta wilayah ini juga memiliki kepadatan penduduk yang rendah dengan pemukiman berada pada daerah pantai. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya khususnya sektor perikanan meliputi perikanan tangkap, budidaya rumput laut, pemeliharaan teripang, dan keramba jaring apung. Untuk budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif sumber mata pencaharian masyarakat dengan pemanfaatan secara tradisional. Upaya peningkatan kesejehteraan masyarakat oleh pemerintah daerah mulai dilakukan melalui pemberian bantuan dalam kegiatan di sektor perikanan seperti penyediaan modal untuk budidaya rumput laut, akan tetapi belum adanya pengelolaan dalan kegiatan ini, dapat berakibat pada pemanfaatan lahan perairan untuk budidaya rumput laut yang melebihi kapasitas ruang ekologi Gugus Pulau Salabangka. Dalam identifikasi ruang perairan melalui pendekatan Ecological Footprint (EF) didasarkan pada kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply) ruang perairan. Sebagaimana disebutkan oleh Schaefer et.al (26) perhitungan ruang ekologi dibagi kedalam dua bagian yaitu permintaan terhadap sumberdaya (EF demand) dan ketersediaan sumberdaya (biocapacity/bc ). 5.. Kebutuhan Ruang Perairan Dalam pendekatan EF, kebutuhan ruang perairan merupakan ruang perairan yang dibutuhkan untuk budidaya rumput laut, dimana dapat dilihat berdasarkan tiga komponen yaitu tingkat konsumsi, produktivitas, dan impor-ekspor. Sebagaimana disebutkan oleh Haberl et.al (2) in Adrianto (24b)

79 62 bahwa terdapat tiga komponen digunakan dalam perhitungan EF yang meliputi komponen populasi, produktivitas (yield) baik lokal maupun regional dan komponen ruang ekologi (Impor-Ekspor) a. Tingkat Konsumsi Tingkat konsumsi (Domestic Extraction/DE) merupakan salah satu komponen dalam perhitungan EF. DE menunjukkan bahwa suatu populasi akan memanfaatkan sumberdaya (rumput laut) untuk menghasilkan barang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Secara spesifik pemafaatan ruang di Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut. Sebagaimana disebutkan Chambers et.al (2) bahwa berbagai aspek yang mendukung kehidupan merupakan fungsi dari konsumsi. Dalam perhitungan ini, DE rumput laut didasarkan pada hasil produksi pemanfaatan perairan saat ini (Lampiran 6). Tingkat Konsumsi rumput laut Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat Konsumsi Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka No Nama Pulau Pembudidaya (Kapita) Produksi (Ton/Tahun) Tingkat Konsumsi (DE) (Ton/Kapita) Paku ,82,2 2 Waru-waru 82 73,3,4 3 Kaleroang 29,4,36 4 Padabale 62 3,99,6 5 Pado-pado 6 9,46,32 6 Pulau Bapa 69 4,28,2 Jumlah 657 7,9,55 Sumber : Hasil Analisis (27) Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi rumput laut di Gugus Pulau Salabangka sangat bervariasi, dengan jumlah total sebesar 7,9 ton/tahun dan total pembudidaya adalah 657 kapita. Produksi rumput laut tertinggi terdapat Pulau Waru-waru sebesar 73,3 ton per tahun dan jumlah pembudidaya 82 kapita, sedangkan produksi terendah di Pulau Padabale 3,99 ton per tahun dengan jumlah pembudidaya sebesar 62 kapita.

80 63 Berdasarkan jumlah produksi saat ini, konsumsi rumput laut berkisar antara,6,4 ton/kapita, dengan total konsumsi rumput laut Gugus Pulau Salabangka adalah,55 ton per kapita atau sebesar.9,4 ton se tahun. Penyebab rendahnya konsumsi rumput laut disebabkan bentuk permintaan rumput laut terkatogorikan dalam bentuk bahan baku yaitu rumput laut bentuk kering. b. Produktivitas Dapat dikatakan bahwa produktivitas rumput laut di Gugus Pulau Salabangka lebih dipengaruhi oleh faktor kondisi perairan untuk pertumbuhan rumput laut dan topografi pantai. Selain itu, budidaya rumput laut dilakukan di Gugus Pulau Salabangka didasarkan pada pengalaman masyarakat, sehingga untuk meningkatkan hasil produksi dilakukan melalui menambah luas perairan sesuai dengan jumlah modal yang dimiliki. Berdasarkan data BPS (23) nilai produksi komoditas perikanan, terutama rumput laut di Kecamatan Bungku Selatan berkisar antara 7 ton (2,48 %) dari total komiditas perikanan (282 ton se tahun). Nilai produksi rumput laut Gugus Pulau Salabangka dalam satu tahun terakhir (27) sebesar 7,9 ton dibandingkan tahun 23. Adapun tingkat produktivitas rumput laut Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Produktivitas Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka No Nama Pulau Luas Perairan (Ha) Produksi (Ton/Tahun) Produktivitas (Ton/Ha) Paku 4,85 49,82 3,35 2 Waru-waru, 73,3 7,32 3 Kaleroang,64,4 6,36 4 Padabale 2,85 3,99,4 5 Pado-pado 3,3 9,46 6,43 6 Pulau Bapa 4,83 4,28 2,96 Jumlah 37,8 7,9 27,82 Sumber : Hasil Analisis (27) Tabel 6 memperlihatkan bahwa produktivitas lokal rumput laut terendah terdapat di Pulau Padabale,4 ton/ha dan tertinggi di Pulau Waru-waru sebesar 7,32 ton/ha. Sedangkan produktivitas regional Gugus Pulau Salabangka adalah 4,6 ton/ha. Rendahnya produktivitas Pulau Padabale dikarenakan beberapa faktor selain topografi areal budidaya rumput laut relatif lebih datar dengan kisaran kedalaman 5 meter, juga terletak pada daerah agak terlindung dari aktivitas

81 64 gelombang dan arus. Sedangkan tingginya produktivitas di Pulau Waru-waru disebabkan wilayah perairan mendukung untuk pertumbuhan rumput laut, letaknya lebih terlindung dari gelombang dan arus sehingga penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun. Secara umum, produktivitas regional rumput laut di Gugus Pulau Salabangka sangat rendah. Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas antara lain daerah lokasi budidaya merupakan lokasi daerah penangkapan ikan (menggunakan potas, racun dan bom), kondisi perairan dipengaruhi oleh musim yang berpengaruh terhadap pola tanam rumput laut dan topografi pantai yang relatif lebih datar dengan kedalaman -5 meter serta kondisi substrat menentukan metode budidaya yang digunakan. Lebih lanjut menurut Hidayat (994) dalam luasan hektar budidaya rumput laut dengan mengunakan metode apung produksi rumput laut yang dihasilkan 54 ton berat basah atau 67,2 ton berat kering. c. Impor-Ekspor Dalam kegiatan ekonomi, PPK memiliki karatersitik tersendiri dimana adanya saling ketergantungan antara satu pulau dengan pulau yang lain dalam memenuhi kebutuhan suatu komiditas dan memiliki ketergantungan terhadap subsidi dari luar. Demikian halnya Gugus Pulau Salabangka, terjadi interaksi baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi antara satu pulau dengan pulau yang lain. Diantaranya terdapat kegiatan pemafaatan sumberdaya perikanan berupa pemasaran hasil-hasil perikanan seperti ikan, rumput laut dan teripang. Khusus rumput laut hasil pemanfaatan hanya terbatas pada bahan mentah berupa rumput laut yang telah dikeringkan. Adrianto (25) menjelaskan bahwa upaya peningkatan ketahanan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan daya dukung antar pulau. Dalam pendekatan EF, yang dimaksud komponen ruang ekologi adalah kegiatan impor ekspor suatu komoditas. Lebih jelasnya kegiatan impor ekspor rumput laut di Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa adanya kegiatan impor ekspor rumput laut di Gugus Pulau Salabangka sebesar 5,5 ton/ha. Pada gugus ini, terdapat tiga pulau pengekspor rumput laut antara lain Pulau Padabale (3,5 ton/ha) dengan tujuan Pulau Waru-waru, Pulau Bapa (,24 ton/ha) dengan tujuan ekspor Pulau

82 65 Paku dan Pulau Waru-waru (,4 ton/ha) dengan tujuan Pulau Paku. Sedangkan Pulau paku, Waru-waru dan Pado-pado termasuk pulau pengimpor rumput laut (penerima ekspor). Ton/Ha 4,5 4, 3,5 3, 2,5 2,,5,,5, Impor Paku Waru-waru Kaleroang Padabale Pado-pado Pulau Bapa Ekspor Pulau Gambar 2 Impor-Ekspor Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Kegiatan impor-ekspor menunjukkan bahwa adanya ketergantungan kegiatan ekonomi antara pulau dalam Gugus Pulau Salabangka, sehingga perlu adanya kerjasama dan keterpaduan terkait dengan pengelolaan ruang, khususnya dalam pengembangan budidaya rumput laut secara berkelanjutan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Dari hasil perhitungan tiga komponen EF diperoleh bahwa secara lokal kebutuhan ruang ekologi mengalami kekurangan dan kelebihan. Lebih jelasnya estimasi kebutuhan ruang untuk budidaya rumput laut disajikan pada Gambar 22. Gambar 22 menunjukkan adanya pulau yang mengalami kekurangan ruang perairan dalam pemanfaatan sumberdaya (Padabale dan Pulau Bapa), dimana nilai EF bernilai negatif dan ada pula yang mengalami kelebihan (Paku, Waru-waru, Kaleroang dan Pado-pado) dimana EF bernilai positif. Hal ini sesuai dengan pendapat Wackernagel dan Ress (996) bahwa indikasi ruang ekologis mengalami kekurangan atau kelebihan, ditunjukkan dengan nilai negatif atau positif total ruang ekologis. Dengan jumlah pembudidaya saat ini (657 orang). Estimasi kebutuhan ruang ekologis disajikan pada Tabel 7.

83 66,,5 EF (ha/kapita), -,5 -, -,5-2, Paku Waru-waru Kaleroang Padabale Pado-pado Pulau Bapa -2,5-3, Pulau Gambar 22 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Tabel 7 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka No Nama Pulau Ecological Footprint Rumput Laut (Ha/Kapita) EF Rumput Laut (Ha) Paku,37.44,78 2 Waru-waru,76 745,69 3 Kaleroang,6 8,82 4 Padabale -2,46 254,3 5 Pado-pado,9 245,83 6 Pulau Bapa -,35 282,7 Jumlah 4, 2.69,85 Sumber : Hasil Analisis (27) Tabel 7 menunjukkan bahwa total ruang ekologi untuk budidaya rumput laut adalah 2.69,85 ha (4, ha/kapita), dimana kebutuhan ruang perairan untuk budidaya bervariasi antara pulau. Kebutuhan ruang perairan tertinggi adalah pulau Paku (38,8 %) dengan pembudidaya 255 orang, sedangkan yang terendah adalah Pulau Kaleroang (4,4%) dengan pembudidaya 29 orang. Dengan demikian, kebutuhan rumput laut di Gugus Pulau Salabangka dibandingkan rata-rata produksitivitas dunia adalah 6,5 ha.

84 Ketersediaan Ruang Perairan Secara geografis ruang perairan Gugus Pulau Salabangka memiliki luas 23.5,9 ha. Ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut diperoleh dari hasil analisis kesesuaian perairan menggunakan SIG (Tabel 8). Analisis kesesuaian ini didasarkan pada kriteria umum secara ekologi mendukung pertumbuhan rumput laut dari hasil tumpang susun parameter fisika kimia, selanjutnya hasil analisis berupa ruang perairan yang sesuai berdasarkan prasyarat ekologi menentukan ketersediaan ruang (biocapacity) untuk budidaya rumput laut. Secara spasial, perairan Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan rumput laut dikelompok dalam tiga kategori yaitu kelas sangat sesuai (S), kelas sesuai (S2) dan kelas tidak sesuai (N) sebagaimana disajikan pada Gambar 23.

85 PROV. SULA WESI B ARAT PROV. S UL A WE S I T PROV. SULA WESI SEL ATAN 2 ENGAH P ROV. GO RONT ALO PROV. SULA WESI T ENGGA RA TE LU K B O N E LA U T SU LA W E SI Ke p. S al ab an gk a LA U T FL O RE S PROV. S ULA WE S I U T ARA LA U T MAL U K U LA U T BA N D A ' PR O V. SU L A WE SI T EN G A H PR O V. SU L A WE SI T EN G G A R A 2 2 ' ' ' Ke p. Sa l aba ng ka 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A K AB U PA T EN M O R O W AL I S U L AW E SI TE N G A H 3 5'5" 3 3'4" 3 '3" 2 59'2" KA B U P AT E N M O R O W AL I Tg. L a bo P. P ad op ad o D o ng k a l a Kam pu h b au P. B ap a Selat Salabangka - 5 Ko lo n o Pa d o p a d o Tg. K a da ng a Tg. K ees a ha P. T a din an g Pa d a b a le P. P ad ab ale Le m o Bo e ta lis e Po W a ru w a ru P. W a ru w ar u Ka l e ro a n g P. K a ra ntu Tg. L o tor en de Ba k a la Bu a ja n gk a Pa k u P. P aku La k o m b u lo Ko b u ru Bu n g i n ke l a P. K a lero an g Bu to n Ja w ija w i LA U T B A N D A 2 59'2" 3 '3" 3 3'4" 3 5'5" 2 km Skal a : 8. Peta In d eks 2 2 S EL AT MAKASSA R Le ge n da P eta G aris pa n tai Kesesuaian Lahan Jala n lain Sa nga t Se s ua i Jala n set ap ak Se s ua i Bel uk ar Tidak S esuai Dar at S u law e si Hu t an La ut Pem u kim an Te ga l/l ad an g Sum be r :. P e ta R upa B um i Ind one s ia, le m b ar K a le ro a ng, B A K OS U R TA N AL, ta hun Survey lapangan tahun 26 Sing ka t an P : P ula u Tg : Ta nju ng 3 2' 3 ' 3 ' 3 2' - 2 MA 'SITA S A R I C U 22 9'3 " 22 2 '4 " '5 " ' " P E T A K E S E S U A IA N L A H A N B U D ID A Y A R U M P U T L A U T Pr ogr a m S tudi Pe nge lola a n S um b er day a Pe s is ir d an La uta n Se k ola h P as c a s a rja na In s titut Pe rta nia n B og or B ogor 2 7 Gambar 23 Peta Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka 68

86 69 Tabel 8 Kesesuian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka No Kesesuaian Perairan Luas (Ha) Sangat Sesuai 2.854,6 2 Sesuai 8.969,5 3 Tidak Sesuai.686,43 Jumlah 23.5,9 Sumber : hasil analisis spasial Tabel 8 menunjukkan bahwa kesesuaian perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut meliputi dua kategori yaitu (i) kelas sangat sesuai (2,4 %) dan kelas sesuai (38,5 %). Total ketersediaan ruang untuk budidaya rumput laut.823,66 ha, dengan membandingkan terhadap rata-rata produksi dunia maka luas pemanfaatan budidaya setiap kategori kesesuaian adalah 7,25 ha dan 538,7 ha. Dengan demikian, total ketersediaan ruang budidaya adalah 79,42 ha. Estimasi ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut pada wilayah ini, disajikan pada Gambar Luas (Ha) Biocapacity Kesesuaian Perairan Gambar 24 Estimasi Ketersediaan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Gambar 24 menunjukkan areal optimum untuk budidaya rumput laut (79,42 ha) atau sesuai dengan biocapacity (BC), dengan asumsi pembudidaya tetap, maka ketersediaan ruang budidaya rumput laut per kapita adalah,8 ha. Berdasarkan identifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka (Gambar 25) untuk budidaya rumput laut menunjukkan bahwa secara ekologis ruang perairan wilayah ini mengalami surplus, dengan kata lain bahwa kebutuhan ruang lebih kecil terhadap ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut

87 7 (6,5 ha < 79,42 ha). Sebagaimana disebutkan dalam WWF (25) bahwa suplus ekologi menunjukkan terdapat sisa ruang ekologi terhadap tingkat permintaan sumberdaya dalam suatu waktu tertentu atau disebut undershoot dimana tingkat konsumsi terhadap sumberdaya dibawah dari kemampuan ruang dalam menghasilkan sumberdaya Luas (Ha) Ecological Footprint Biocapacity Gambar 25 Perbandingan Ecological Footprint dan Biocapacity Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka 5.2 Daya Dukung Ruang Ekologi untuk Pengembangan Rumput Laut Secara umum, Gugus Pulau Salabangka memiliki potensi sumberdaya khususnya perikanan. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya didaerah ini antara lain budidaya rumput laut, teripang, perikanan tangkap dan keramba jaring apung. Hal ini di dukung dengan kondisi perairan yang cukup baik dan ketersediaan yang cukup besar, namun saat ini pemanfaatan sumberdaya belum optimal. Imlikasinya terlihat dengan tingkat pendapatan yang masih rendah. Berdasarkan hasil analisis ruang ekologis dengan pendekatan EF, diperoleh bahwa daya dukung ruang ekologis untuk pengembangan budidaya rumput laut berdasarkan tingkat kebutuhan ruang ekologi belum optimal dan memiliki tingkat keberlanjutan. Belum optimalnya tingkat pemanfaatan sumberdaya PPK untuk budidaya rumput laut ditunjukkan dengan ketersediaan ruang perairan lebih besar dibandingkan tingkat pemanfaatan saat ini (,8 ha /kapita >,6 ha/kapita), sebagaimana disajikan pada Gambar 26.

88 7,2, Biocapacity Ha/Kapita,8,6,4,2, Existing Luasan (Ha) Gambar 26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Beberapa penyebab belum optimalnya pemanfaatan ruang untuk budidaya rumput laut antara lain kondisi lingkungan perairan yang dipengaruhi oleh musim, keterbatasan modal, dan rendahnya harga rumput laut. Terkait kondisi lingkungan dimana perairan Gugus Pulau Salabangka dipengaruhi oleh musim (musim barat dan musim timur) dengan bentuk topografi pantai relatif lebih datar sehingga berpengaruh terhadap pola tanam, selain itu pemanfaatan perairan yang tidak ramah lingkungan (penangkapan ikan menggunakan racun dan bom; pengambilan karang) berakibat menurunnya kualitan peraian yang mempengaruhi pertumbuhan biota (rumput laut). Secara sosial, budidaya rumput laut telah dilakukan sejak lama dimana kegiatan ini dilakukan hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan rendahnya dukungan pemerintah terhadap kegiatan tersebut menyebabkan usaha ini dilakukan berdasarkan kemampuan (modal) pembudidaya. Berdasarkan hasil wawancara menyebutkan sumber modal untuk usaha budidaya rumput laut berasal dari modal sendiri (7,5 persen), pinjaman ke pengumpul (9,6 %), koperasi (2,77) dan lainnya (6,32 %). Sebagimana disebutkan bahwa budidaya rumput laut, baik dalam bentuk usaha rumah tangga maupun badan usaha, memerlukan modal antara lain untuk pengadaan bahan dan bibit yang jumlahnya ditentukan oleh metode, luas area budidaya dan target produksi serta upah tenaga kerja (Anonim 99).

89 72 Secara ekonomi rendahnya harga rumput laut berkisar antara Rp.3.8 Rp.4.7 di tingkat pembudidaya menyebabkan kegiatan ini bersifat usaha sampingan. Namun, adanya permintaan pasar untuk budidaya rumput laut, banyak masyarakat mulai melakukan budidaya rumput laut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa bahwa 79,45 persen pembudidaya melakukan budidaya rumput laut sebagai pekerjaan utama dan 2,55 % sebagai pekerjaan sampingan. Adapun bentuk permintaan rumput laut terkatogorikan dalam bentuk bahan baku yaitu rumput laut bentuk kering. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa perairan Gugus Pulau Salabangka mengalami surplus dan memiliki tingkat keberlanjutan untuk pengembangan budidaya rumput laut berdasarkan tingkat kebutuhan rumput laut lebih kecil dibandingkan daya dukung ruang untuk budidaya rumput laut (,25 ha/kapita <,8 ha/kapita) (Gambar 27).,2, Biocapacity Ha/Kapita,8,6,4,2 Ecological Footprint, Luasan (Ha) Gambar 27 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Tingkat Kebutuhan Ruang untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Beberapa faktor menunjukkan keberlanjutan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka antara lain adanya upaya pemerintah daerah terhadap kegiatan budidaya rumput laut antara lain peran pemerintah dalam penegakkan hukum terkait dengan pemanfaatan ruang perairan yang tidak ramah lingkungan, bantuan pemerintah berupa modal pada kelompok-kelompok pembudidaya berdasarkan batas administasi desa, lingkungan perairan yang mendukung untuk budidaya dimana tidak adanya industri sebagai sumber pencemaran, dan berdasarkan

90 73 Undang Undang No.27 tahun 27 bahwa pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam luasan dan waktu tertentu dengan mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, maka pengembangan budidaya rumput laut dapat diterapkan sesuai dengan biocapacity perairan Gugus Pulau Salabangka.

91 VI KESIMPULAN DAN SARAN 6. Kesimpulan Berdasarkan analisis ruang ekologis pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk budidaya rumput di Gugus Pulau Salabangka, dapat disimpulkan :. Identifikasi kesesuaian ruang perairan menunjukkan ruang perairan Gugus Pulau Salabangka sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. 2. Estimasi daya dukung ruang perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka menunjukkan ruang perairan Gugus Pulau Salabangka mengalami surplus dan memiliki tingkat keberlanjutan dimana tingkat kebutuhan ruang lebih kecil dibandingkan ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut. 6.2 Saran. Berdasarkan analisis ruang ekologis seyogyanya kebutuhan ruang Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut adalah,8 ha/kapita untuk pemanfaatan ruang yang optimal dan dapat berkelanjutan sesuai dengan kapasitas/ketersediaan ruang perairan. 2. Perlu penataan ruang laut dan gugus pulau kecil di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.

92 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. 24a. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan (Sustainable Small Islands Develompment and Management). Working Paper, PKSPL-IPB. Adrianto L. 24b. Fisheries Resources Appropriation as Sustainability Indicator : An Ecological Footprint Approach. Working Paper, PKSPL-IPB. Adrianto L. 25. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Working Paper, PKSPL-IPB. Adrianto L. 26a. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan : Tantangan Riset dan Akademik. Mukernas Himpunan Mahasiswa Teknologi Kelautan Indonesia, Bogor 6 Januari 26. PKSPL-IPB Adrianto L. 26b. Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut (Sinopsis). PKSPL-IPB Adrianto L. 26c. Model Ekonomi Ekologi Pulau-Pulau Kecil. Bahan Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amarullah. 27. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kota Baru Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonii). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amiluddin, NM. 27. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice-Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anonim. 99. Petunjuk Teknis Budidaya Rumpu Laut. Kerjasama Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan pengembangan Perikanan dengan Internasional Develompment Reasearch Centre.. 2. Laporan Akhir Penelitian Potensi Kelautan Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah dengan Laboratorium Geomorfologi dan Managemen Pantai (LGMP) Universitas Hasanuddin Makassar.. 24a. Kajian Daerah Kabupaten Morowali.. 24b. Profil Pulau-Pulau Kecil di Morowali Sulawesi Tengah. Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Makassar

93 76. 24c. Petunjuk Teknis Budidaya Laut : Rumput Laut Eucheuma Spp. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Pembudidaya. 8 2 hal. Anwar E, Rustiadi E. 2. Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Kebijakan Ekonomi Bagi Pengendalian Terhadap Kerusakannya. Makalah yang disajikan pada Lokakarya Nasional Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jakarta. Aslan IM Budidaya Rumput Laut Indoensia. Penerbit : Kanisius Yogyakarta. 44 hal. Bengen DG. 23. Definisi, Batasan dan Realitas Pulau-pulau Keci. Makalah disampaikan dalam seminar sehari Validasi Jumlah Pulau-pulau dan Panjang Garis Pantai di Indonesia. Jakarta. Bengen DG, Retraubun ASW. 26. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Besweni. 22. Kajian Ekologi Ekonimi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Kepulauan Seribu (Studi Kasus di Gugusan Pulau Pari). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 23. Kecamatan Bungku Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali. Chamber N, Simmons C, Warckernagel M. 2. Sharing Nature s Interest Ecological Footprint as an Indicator of Sustainability. Earthscan Publications Ltd, UK. [DisKanLut] Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Morowali. 28. Profil Perikanan Kabupaten Morowali. Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Morowali, Bungku. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Dahuri R. 23. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap bidang pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 23. Modul Sosialisasi Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, edisi 23. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjenkan. 24. Petunjuk Teknis Budidaya Laut : Rumput Laut Eucheuma

94 77 Cottonii Spp. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Ditya YC. 27. Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 3-3 hal. Doty MS The Production and Use of Eucheuma In Case Studies of Seven Commercial Seaweed Resources. Editor MS Doty, JF Caddy. B Sante Lices. FAO Technical Paper No 28 FAO Roma. P [FAO] Food Agriculture Organization Site Selection for Eucheuma spp. Farming. Fatmawati Studi Kesesuaian Budidaya Rumput Laut (Eucheuma) di Wilayah Perairan Laut Kab. Kota Baru Kalimantan Selatan. [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hardjowigeno S, Widiatmaka AS, Yogaswara. 2. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hutagalung HP, Setiapermana D, Riyono SH Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Jakarta: P3-O LIPI. Indriani H, Sumarsih E Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut. Jakarta: Penerbit Swadaya. Iksan KH. 25. Kajian Pertumbuhan Reproduksi Rumput Laut (Eucheuma cottonii), dan Kandungan Keraginan pada Berbagai Bobot dan Asal Thallus di Perairan Desa Guruaping Oba Maluku Utara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jawatan Hidro-Oseanogravi TNI AL. 27. Daftar Pasang Surut (Tide Tables) Kepulauan Indonesia (Indonesian Archipelago) Tahun 27. Jakarta. Kadi A, Atmadja WS Rumput Laut (Algae). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kadi A. 24. Rumput Laut Nilai Ekonomis dan Budidayanya. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kamlasi Y. 28. Kajian Ekologi dan Biologi untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggra Timur. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Luning K. 99. Sea Weeds Their Environment, Biogeography,and Ecophysiology. A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons, Inc.

95 78 Ludvianto B. 2. Ragam Mengurangi Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati dengan Konsep Tapak Ekologi. Ragam Warta Kehati. Mubarak H. 98. Kemungkinan-Kemungkinan Budidaya Rumput Laut di Kepulauan Aru, Maluku. Preparatory Assistance Seafarming Indonesia (UNDP/FAO INS/8/5). Training Workshop on Seafarming. Mubarak H et al. 99. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Pertanian,. Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali. 24. Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Morowali Tahun Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali. Prahasta E. 22. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Penerbit Informatika Bandung. Purwandani A. 2. Peta Benua Maritim Indonesia. Puslitbangkan. 99. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma sp) dengan Rakit dan Lepas Dasar. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Radiarta IY, Wardoyo SK, Priono B, Praseni O. 23. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat. J Penelitian Perikanan Indonesia Vol 9: 68. Schaefer F, Luksch U, Steinbach JC, Hanauer J. 26. Ecological Footprint and Biocapacity The World s Ability to Regenerate Resource and Absorb Waste in a Limited Time Periode. Working Paper and Studies. European Communities. P 5 7. Sirajuddin M. 29. Analisa Ruang Ekologi untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Waworanda Kabupaten Bima. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soebagio. 25. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sulawesi Pantai Timur Peta Kedalaman Tanjung Dongkala hingga Labengke Skala :2.. Jakarta: Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut Dinas Hidro-Oseanografi. Sulistijo, Atmadja WS Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Jakarta: Puslitbang-Oseanografi LIPI.

96 79 Sulistijo. 22. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Syahputra Y. 25. Pertumbuhan dan Kandungan Keraginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan Perlakuakn Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Trisakti B, Sucipto UH, Sari J. 24. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Sebagai Tahap Awal Pengembangan Budidaya Laut dan Wisata Bahari di Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian LAPAN. Jakarta. UNEP, CBD. 24. Integrated Marine and Coastal Area Management (IMCAM) Approaches for Implementing The Convention on Biological Diversity. CBD Technical Series No.4. Secretariat of the Convention Biological Diversity Venetoulis J, Chazan D, Gaudet C. 24. Ecological Footprint of Nationas. Sustainability Indicators Program. P 7. Venetoulis J, Talbert J. 28. Refining The Ecological Footprint. J. Environ Dev Sustain : [5 Desember 28]. Wackernagel M, Rees W Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. New Society Publishers, Philadelphia, PA. Wardoyo STH Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. PSLH-IPB. Bogor. Warren-Rhodes K, Koenig A. 2. Analysis Ecosystem Appropriation by Hong Kong and its Implications for Sustainable Development. J. Ecological Economics 39: 35. Elsevier Science B.V. Wang S, Bian X. 27. Synthesis Evaluation with Entri-Array-Polygon Method to Ecological Economic System of Funing County in Jiangsu Provice. Environ Monit Assess 27. P [5 Desember 28] Wilson J, Anielski M. 25. Ecological Footprint of Canadian Municipalities and Regions. The Canadian Federation of Canadian Municipalities. Canada. P 8. WWF. 25. Europe 25 The Ecological Footprint. World Wide Fund for Living Planet (WWF) European Policy Office, Brussels Belgium. P 2 2. Wyritki K. 96. Physichal Oceanography of Southest Asian Waters. Naga Report, Vol 2. La Jolla, California.

97 Lampiran

98 8 Lampiran Metode Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Metode Pengukuran Kecepatan Arus (cm/dtk) Pengukuran kecepatan arus permukaan dilakukan dengan layang-layang arus (drift float) (lihat Gambar ) dan stop watch, sedangkan arah arus diperoleh dengan menggunakan kompas geologi. Kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan persamaan Kreyzig, (993, dalam Rasyid, 2) : V = dimana V = Kecepatan arus (m/det) s = jarak/panjang tali (meter) t = Waktu yang ditempuh tali (detik) Pengukuran Kecepatan Arus Metode Pengukuran Kecerahan dan Kedalaman (m) Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disk yang diikatkan pada tali kemudian diturunkan perlahan-lahan kedalam perairan hingga tidak telihat lagi, selanjutnya lakukan hal serupa sampai kedalam perairan saat secchi disk terlihat. Kedua nilai kedalaman saat secchi disk tidak terlihat dan saat secchi disk terlihat ditambahkan kemudian dibagi 2 (dua) merupakan tingkat kecerahan perairan. Nilai kecerahan dalam skala cm dikonversikan kedalam nilai persen dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

99 8 Kecerahan Perairan (%) = Nilai Kecerahan (cm) Kedalaman (cm) x% Karena nilai kedalaman perairan untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka dapat terlihat atau tampak dasar perairan sehingga pengukuran kedalaman diperoleh dari pengukuran kecerahan. Metode Pengukuran Suhu Perairan ( o C) Suhu permukaan perairan diukur dengan menggunakan termometer batang. Sampel air laut dimasukkan ke dalam gelas piala, selanjutnya termometer batang dimasukkan kedalam sampel air. Air raksa dalam termometer batang menunjukkan nilai suhu permukaan perairan dalam satuan o C Metode Pengukuran Salinitas (ppt) Pengukuran salinitas permukaan menggunakan salinometer. Sampel air laut dimasukkan kedalam gelas ukur berskala, kemudian termometer dimasukkan kedalam gelas ukur hingga tenggelam. Salinometer akan tenggelam sampai batas tertentu. Nilai skala salinometer pada batas permukaan sampel air menunjukkan nilai salinitas permukaan perairan dalam satuan ppt. Pengukuran Salinitas Metode Pengukuran ph Paramater derajat keasaman/ph air laut diukur dengan menggunakan ph meter. Alat ini memiliki sensor, dimana sensor dimasukkan kedalam wadah berisi sampel air laut. Selanjutnya pembacaan nilai ph yang terdapat pada layar. Metode Pengukuran Oksigen Terlarut (mg/l) Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode titrasi jodometri yang pertama kali diperkenalkan oleh Winkeler (888) in Hutagalung

100 82 et.al (997). Sampel air laut dimasukkan kedalam botol terang (Gambar 27 (a)) telah diikat dengan larutan MnSO 4 sebanyak 2 ml, selanjutnya ditambahkan 2 ml NaOH + KI agar membentuk endapan kuning dan 8 ml H 2 SO 4 untuk melarutkan endapan yang terbentuk. Setelah itu, larutan dalam botol terang dimasukkan kedalam elenmeyer sebanyak ml (Gambar 27 (b)) kemudian dititrasi dengan Na 2 S 2 O 3 5 H 2 O,25 N (Gambar 27 (c)) sampai larutan kuning kecoklatan berubah menjadi kuning muda. Kemudian ditambahan 2 3 tetes indikator amilum sampai warna kuning muda menjadi biru. Larutan kembali dititrasi dengan Na 2 S 2 O 3 5 H 2 O,25 N sampai warna biru menjadi bening, jumlah Na 2 S 2 O 3 5 H 2 O,25 N terpakai merupakan nilai yang digunakan dalam perhitungan DO dengan rumus sebagai berikut : ml DO = Na SO4,6 2 (a) (b) (c) Pengukuran Oksigen Terlarut Metode Pengukuran Nitrat dan Fosfat Sampel air untuk analisis kadar Nitrat dan Fosfat diambil pada kedalaman dekat permukaan. Sampel air kemudian dimasukkan kedalam botol sampel untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium. Penentuan kadar fosfat dan nitrat menggunakan metode APHA (989)

101 Lampiran 2 Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta tahun

102 Lampiran 3 Peta Sebaran Arus di Perairan Laut Banda m/s m/s m/s Peta Sebaran A rus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Peta Sebaran A rus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Bulan : Desember Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani w 2) Bulan : Januari Bulan : Februari Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Musim Hujan : Desember-Januari Januari-Februari 84

103 Lampiran 3 (Lanjutan) m/s m/s m/s Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Bulan : Maret Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Bulan : April Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Bulan : M ei Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Musim Pancaroba : Maret-April April-Mei 85

104 Lampiran 3 (Lanjutan) m/s m/s m/s Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Bulan : Juni Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Bulan : Juli Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Bulan : Agustus Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Musim Panas : Juni-Juli Juli-Agustus 86

105 Lampiran 3 (Lanjutan) m/s m/s m/s Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Peta Sebaran Arus Di Perairan Laut BandaB, Keterangan : Bulan : September Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Bulan : Oktober Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Bulan : November Sumber : Peta Benua Maritim Indonesia (Purwandani 2) Musim Pancaroba : September-Oktober Oktober-November 87

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) MA SITASARI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Media Litbang Sulteng III (1) : 21 26, Mei 2010 ISSN : 1979-5971 PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Oleh : Novalina Serdiati, Irawati Mei Widiastuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk I. PENDAHULUAN Eucheuma cottonii merupakan salah satunya jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mengandung karaginan yang berupa fraksi Kappa-karaginan. Rumput

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara sebagai satu kesatuan wilayah akan memberikan peluang dalam keterpaduan perencanaan serta pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah rumput laut atau yang dikenal dengan sebutan ganggang laut atau alga laut. Beberapa diantaranya

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan 4.1. Laju Pertumbuhan Mutlak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pertumbuhan mutlak Alga K. alvarezii dengan pemeliharaan selama 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan pulau-pulau kecil (PPK) di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Banyak PPK yang kurang optimal pemanfaatannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kabupaten Bima sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa secara geografis terletak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jatinangor, 22 Juli Haris Pramana. iii

KATA PENGANTAR. Jatinangor, 22 Juli Haris Pramana. iii KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala Berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji 13 3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitiaan telah dilaksanakan di perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2). Jangka waktu pelaksanaan penelitian terdiri

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor. DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line Standar Nasional Indonesia Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Diketahui bahwa Papua diberi anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya hayati dan sumberdaya non-hayati. Untuk sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci