PELAKSANAAN PIDANA MATI DI TINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PELAKSANAAN PIDANA MATI DI TINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA"

Transkripsi

1 PELAKSANAAN PIDANA MATI DI TINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA JURNAL ILMIAH Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta Oleh : Andis Yuli Pamungkas FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2015

2 ABSTRAKSI Dalam hukum pidana yang tertuang didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan hukum yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial. Dalam hal ini penulis mencoba untuk mengangkat mengenai hukuman mati yang terdapat pada pasal 10 KUHP tentang pidana pokok dan Undang-undang diluar KUHP sebagai legalitas daripada hukuman mati di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui Bagaimanakah pelaksanaan Pidana Mati ditinjau dari prespektif Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia serta untuk mengetahui Apa yang menjadi hambatan terhadap pelaksanaan Pidana Mati. Disini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder, melalui literatur-literatur, karya tulis ilmiah dan perundang-undangan yang berlaku yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Dalam perkembangannya, hukuman mati seringkali menjadi perbincangan yang cukup serius di tingkat nasional maupun internasional. Oleh sebagian kalangan, hukuman mati khususnya di Indonesia dianggap sebagai hukuman yang kontroversial karena dianggap sangat tidak manusiawi dan itu sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan merujuk kepada Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang menekankan hak untuk hidup. namun dipihak yang lain ada yang berpendapat bahwa hukuman mati harus tetap dipertahankan, guna untuk mengatasi dan memberikan efek jera terhadap calon pelaku kejahatan berat, karena mereka mengganggap bahwa hukuman mati dirasa cukup adil untuk kemudian dijatuhkan kepada pelaku kejahatan berat, karena dalam Pasal 28j ditegaskan pula bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Adapun hambatan terhadap pelaksanaan hukuman mati yaitu terletak pada proses upaya hukum, seperti pada tingkat Banding, Kasasi, hingga pada proses permohonan grasi, karena pada proses upaya hukum ini sangat menentukan lamanya penundaan eksekusi mati. Sehingga faktor itulah yang dianggap sebagai pelanggaran HAM karena dengan jangka waktu yang sangat lama akan mengakibatkan pelaku mengalami penderitaan yang sangat luar biasa. Karena setelah melalui proses hukuman dipenjara, pelaku nantinya akan dieksekusi mati apabila tidak mendapatkan grasi dari presiden. Kata kunci : Hukuman mati, secara legalitas diakui dalam KitabUndang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang diluar Hukum Pidana, hambatan terdapat dalam proses upaya hukum.

3 A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam hukum pidana dikenal ada bermacam-macam sanksi pidana. Salah satu sanksi yang paling berat adalah pidana mati. Pidana mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka lakukan termasuk dalam kualifikasi kejahatan yang serius. Pidana mati disamping sebagai hukuman yang paling berat juga merupakan hukuman yang umunnya sangat menakutkan terutama bagi terpidana yang sedang menanti eksekusi. Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP, pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan. Adanya sanksi pidana mati dalam sistem hukum di Indonesia menjadi perdebatan diberbagai kalangan, ada yang berpendapat bahwa pidana mati tidak cocok lagi dengan keadaan zaman dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), bagi sebagian kalangan yang lain, pidana mati merupakan pidana yang pantas dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana berat. Pelaksanaan eksekusi pidana mati yang diberlakukan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964 dengan cara ditembak sampai mati dianggap sebagai suatu bentuk penyiksaan terhadap terpidana, yang kemudian adanya anggapan bahwa pidana mati merupakan salah satu bentuk pelanggaran 1

4 HAM sehingga timbulnya wacana untuk menghapuskan pidana mati dari sistem hukum di Indonesia. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas serta untuk memudahkan pemahaman terhadap masalah yang akan diteliti, maka penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan Pidana Mati ditinjau dari prespektif Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia? 2. Apa yang menjadi hambatan terhadap pelaksanaan Pidana Mati? C. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Hukum Jenis penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang berfokus pada hukum positif yang berupa perundangundangan dan penelitian ini memerlukan data sekunder sebagai data utama sedangkan data primer sebagai penunjang. 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif data utama yang digunakan berupa data sekunder yaitu, sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter). Dalam penulisan ini yang dipakai sebagai data utama, meliputi: 2

5 a. Bahan Hukum Primer, yaitu : Bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pidana mati di Indonesia. Dalam penelitian hukum ini, bahan hukum primer terdiri dari: 1) KUHP 2) Undang Undang di luar KUHP b. Bahan hukum Sekunder, yaitu : Bahan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis seperti buku literatur,pendapat hukum, majalah, jurnal, hasil laporan penelitian, makalah penelitian dan dari website yang berhubungan dengan pidana mati. c. Bahan hukum Tersier Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu Kamus Besar Bahsa Indonesia. d. Metode Pengumpulan data Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan, yaitu: Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan membaca buku-buku, surat kabar atau majalah, internet, dan semua bahan yang berkaitan dengan karya tulis ilmiah ini. e. Metode Analisis Dalam penelitian hukum ini, data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan merangkai dan memahami data yang telah dikelompokkan secara sistematis, setelah itu dengan pemikiran logis dan sistematis akan ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu pengambilan kesimpulan 3

6 dimulai dari pernyataan atau fakta-fakta umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus. D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pidana Mati dalam perspektif Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1. Pidana Mati dalam perspektif Hukum Positif Pidana mati yang tercantum dalam KUHP yang diwarisi dari Pemerintah Kolonial, dan tetap ketika dinasionalisasikan dengan Undang undang Nomor 1 Tahun Bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa Undang undang yang dikeluarkan kemudian, ternyata tercantum juga ancaman pidana mati didalamnya. Dengan demikian alasan pidana mati itu tercantum dalam W.v.S (KUHP) pada waktu diberlakukan oleh pemerintah kolonialdi dasarkan pada antara lain alasan berdasar factor rasial. Disamping KUHP pemerintah juga mengeluarkan Undang undang yang mengandung ancaman pidana mati. A. Landasan Hukum Pidana Mati Pasal 10 KUHP, Pidana terdiri dari : a. Pidana Pokok : 1. Pidana Mati. 2. Pidana Penjara. 3. Pidana Kurungan. 4. Pidana Denda. b. Pidana Tambahan : 1. Pencabutan hak-hak tertentu. 4

7 2. Perampasan barang-barang tertentu. 3. Pengumuman putusan hakim. Dilihat dari KUHP : 1. Pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat (3) KUHP Kejahatan terhadap keamanan negara 2. Pasal 140 (3) KUHP. kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden. 3. Pasal 185 KUHP. tentang perkelahian tanding 4. Pasal 340 KUHP. kejahatan terhadap kemerdekaan orang 5. Pasal 365 ayat (4) KUHP, tentang pencurian 6. Pasal 368 ayat (2) KUHP. tentang pemerasan, Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, keempat berlaku bagi kejahatan ini. 7. Pasal 444 KUHP. tentang kejahatan pelayaran 8. Pasal 479k (2) KUHP. tentang kejahatan penerbangan. Dilihat dari Pidana Khusus : 1. pada pasal 2 ayat (2). Dalam UU No 31 tahun 1999 jo. UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Pasal 113 Ayat 2, Pasal 114 Ayat 2, Pasal 118 Ayat 2, Pasal 119 Ayat 2, Pasal 121 Ayat 2, UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika 3. Pasal 59 ayat (2), UU RI No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika 4. Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Peraturan Pemerintah Pengganti UU RI No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 5

8 5. Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat (3), UU No 36 tahun 2000 tentang Pengadilan hak Asasi Manusia Dilihat dari Rancangan KUHP : Dalam konsep Rancangan KUHP tahun 2012 terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain: 1. Pasal 215, Makar terhadap Presiden atau Wakil Presiden 2. Pasal 228 ayat (2). tindak pidana terhadap pertahanan dan keamanan negara. 3. Pasal 242, Pasal 244. Pasal 247, Pasal 250 Ayat (2). Tindak Pidana Terorisme. 4. Pasal 262 Ayat (2), Pasal 269 Ayat (2). Tindak pidana terhadap penerbangan dan sarana penerbangan. 5. Pasal 394, Pasal 395 Ayat (1), Pasal 396, Pasal 397. Tindak pidana terhadap hak asasi manusia 6. Pasal 506 Ayat (2), Pasal 507 Ayat (2), Pasal 509 Ayat (2), Pasal 512 Ayat (2), Pasal 514 Ayat (2), Pasal 523 Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika Pasal 10 KUHP pertama tama menyebut pidana mati sebagai pidana pokok, yang dalam tahun 1870 dihapuskan di negeri Belanda. Politik hukum di negeri Belanda pada tahun 1870 itu, tidak diikuti didaerah koloni (Indonesia), karena menurut tanggapan kebanyakan ahli ahli hukum pidana, maka keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati (Andi Hamsyah dan A. 6

9 Sumangelipu, 1985: 23-24). Oleh karena itu, pidana mati masih dipertahankan dalam Kitab Undang undang Hukum Pidana yang berlaku sejak 1 Januari 1918 dengan persetujuan semua penasehat. Pada pokoknya pidana mati dalam memorie van toelichting di bela dengan mengajukan apa yang dikatakan oleh menteri kehakiman Modderman dalam parlemen bahwa Negara berhak untuk menjalankan semua itu tanpa hak hak mana negara tidak dapat memenuhu kewajiban kewajibanya dan termasuk ini pertama menjamin ketertiban hukum. Berikut adalah alasan alasan yang dikemukakan oleh para ahli hukum dalam memberikan pandangan terhadap pidana mati : De Bussy juga membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus(andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:24). Bahaya terhadap gangguan yang sangat terhadap ketertiban kukum di Indonesia adalah lebih besar. Lemaire bahwa Indonesia sebagai negeri jajahan yang memiliki ruang lingkup yang luas, dengan susunan penduduk yang sangat beraneka ragam yang pada hakikatnya memiliki keadaan yang berlainan dengan Nederland dan bahaya akan gangguan terhadap tertib hukum di Indonesia lebih besar dan lebih mengancam daripada di Nederland (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:24). Karena Indonesia adalah Negara yang luas dengan berbagai macam suku bangsa dimana bermacam macam pengaruh dapat menyebabkan ketegangan ketegangan serta kurangnya sarana dan prasarana pada kepolisian dan pemerintah, maka perlu adanya pidana mati. Bichon van Ysselmonde berkata, Saya masih selalu berkeyakinan, bahwa ancaman dan peleksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakanya (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:25). Kedua-duanya jure devino humano. Pedang pidana, seperti juga pedanmg harus ada pada Negara. hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkannya begitu saja, tetapi haruslah dipertahankannya dan dilaksanakannya. Jokers membela pidana mati dengan alasan bahwa, walaupun ada yang keberatan terhadap pidana mati yang sering kali diajukan, ialah bahwa pidana 7

10 mati itu tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan dan diakui, bahwa ada kekhilafan atau kekeliruan dalam keputusan hakim, lalu tidak dapat diadakan pemulihan hak selanjutnya. Terhadap orang mati ketidakadilan yang dialaminya tidak dapat diperbaiki lagi. Paling jauh namanya dibersihkan dari segala fitnah dan nista dari segala ketidak adilan (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:25-26). Meskipun cara tersebut sangat disesalkan tetapi tidak dibenarkan untuk menarik kesimpulan baawa pidana mati tidak dapat diterima. Lombroso dan garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin untuk diperbaiki lagi (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:27). Oemar senoadji berpendapat bahwa selama Negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertip masyarakat dikacaukan (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:28) dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati. Hertawi A.M. memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu Social Defence, pidana mati adalah (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:29-30) suatu pertahanan social untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan menggangu ketertiban serta keamanan masyrakat umum dalam pergaulan hidup manusia bermasyrakat dan beragama/bernegara. Van Veen menganggap pidana sebagai alat pertahanan bagi masyarakat musuh yang sangat berbahaya (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:32)dan juga pidana mati dapat dan boleh dipergunakan sebagai alat demikian. Nilai tidak tentu dari hasil pidana penjara menunjukkan pentingnya pidana mati. Mengenai mereka yang menentang pidana mati selain Beccaria, pada tahun 1864 seorang guru besar Australia Joseph von Sonnefels sedah menentang pidana mati, yang dipandangya bertentangan dengan tujuan pidana. Ing Oei Tjo Lam berpendapat bahwa tujuan pidana adalah memperbaiki individu yang telah melakukan tindak pidana disamping melindungi masyarakat. 8

11 Jadi nyata bahwa dengan adanya pidana mati, bertentangan dengan salah satu dari tujuan pidana. Suatu hal yang tak dapat disangkal bahwa kepentingan dari orang seoarang anggota masyarakat menjadi tanggung jawab Negara. Negara juga tidak hanya menjaga ketertiban umum, tetapi juga memajukan kesejahteraan masyarakat, implisit anggota-anggotanya. Pidana pun atas si penjahat. Tetapi dengan adanya pidana mati maka hal ini tak dapat terwujud, karena dengan adanya pidana mati tersebut, maka tamatlah riwayat orang itu dan tidak ada lagi soal pendidikan dan perbaikan terhadapnya. Beccaria menentang pidana mati dengan alasan bahwa proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap jean Callas yang dituduh telah membunuh anaknya sendiri. (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:37)Hakim menjatuhkan pidana mati. Beberapa kemudian seorang yang bernama Voltaire, dapat membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah, sehingga nama Jean Callas direhabilitasi, tetapi apa gunanya kalau ia telah mati, dimatikan akibat diperkenankanya pidana mati pada saat itu. Ferri (1900) berpendapat bahwa (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:38) untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati. Rolling (1933) menganjurkan suatu argument bahwa pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu apabila Negara tidak menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang pulalah hormat orang pada nyawa manusia(andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:38). 9

12 Disamping itu, masih ada lagi suatu bahaya yaitu bahwa perbuatan membunuh oleh Negara itu akan memancing suatu penyusulan pula terhadapnya. Van Bemmelen berpendapat bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah, pemerintah mengakui ketidakmampuanya dan kelemahannya. Ia tak dapat lagi menguasai keadaan dan tidak berusaha mencari jalan lain(andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:40). Dan sebab itu terjadilah keadaan bahaya yang definitif. Selama tidak ada keadaan ini problemnya adalah dapatkah dipertanggungjawabkan pidana mati itu sebagai pembalasan dendam atau alat untuk menakuti. Von Henting juga menambahkan bahwa (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:41) dengan menahan seseorang dalam penjara kita dapat mengadakan sesuatu eksperimen yang sangat berharga. Hal ini tidak ini tak mungkin ditemukan pada pidana mati. Is Cassutto yang juga kontra terhadap pidana mati, ia berpendapat bahwa pada pidana mati ditemui kesukaran-kesukaran yang serius(andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:42). Pertama-tama kami terbentur dengan kemungkinan terjadinya kekhilafan yang tak mungkin dapat diperbaiki. Dan mengenai Indonesia ditambahkanya bahwa suatu keadaan khusus di Indonesia ialah tak dapat dipercayai dan mudahnya disuap terhadap saksi-saksi. 2. Pidana Mati dalam perspektif Hak Asasi Manusia A. Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana kita adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli hukum dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan, bahkan ada gerakan menentang hukuman mati. Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini 10

13 semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya. Pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia. Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak azasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Pandangan konstitusi itu, menurut MK, diteruskan dan ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak azasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum. Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, terorisme, MK berpendapat Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun. Bahkan, MK menegaskan pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Sebaliknya, MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan kepada negara pesertanya untuk 11

14 memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika. Konvensi juga mengamanatkan negara peserta untuk mencegah serta memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai kejahatan sangat serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional. Dengan demikian, penerapan pidana mati dalam UU Narkotika bukan saja tidak bertentangan, dengan hukum-hukum internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Rome Statue of International Criminal Court, dan deklarasi HAM Eropa, menurut Mahkamah Konstitusi, masih memungkinkan diterapkannya hukuman mati. Pidana mati dalam Undang-undang tersebut juga disertai dengan ancaman pidana minimum, sehingga pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat bukti yang sangat kuat. Dengan demikian, jelaslah ancaman pidana mati tidak boleh sewenang-wenang dijatuhkan oleh hakim, pidana mati hanya dijatuhkan untuk pidana yang sifatnya khusus dan alternatif. Selain itu, pada pasal 89 RUU KUHP, pidana mati dapat diperingan melalui masa percobaan selama 10 tahun apabila pelaku menunjukkan kelakuan baik maka diubah menjadi hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun, serta dapat ditunda untuk ibu hamil atau orang sakit jiwa. B. Hambatan terhadap pelaksanaan Pidana Mati Dalam sistem hukum sekarang ini dapat kita lihat berbagai macam sanksi yang ada dan sebagai alat untuk menimbulkan efek jera bagi setiap orang yang melakukan 12

15 tindak kejahatan atau pencegahan setiap orang yang ingin melakukan kejahatan. Bentuk sanksi yang paling berat sebagai sarana pencegahan kejahatan adalah hukum mati, namun hukuman mati tidak lepas dari pro dan kontra karena menimbulkan problema di Indonesia yang disebabkan oleh persepsi hukuman mati dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pandangan hidup bangsa, dan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat. Keadaan seperti ini lah yang membuat Indonesia mendapat perdebatan konsepsual seputar penggunaan hukuman mati sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang muncul sejak perkembangan hukum pidana. Perdebatan tentang pidana mati semakin gencar seiring meningkatnya isu global tentang hak asasi manusia, permasalahan hukuman pidana mati sudah berlangsung lama yang pasang surutnya seirama dengan perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal hambatan, disini penulis mengambil sebuah contoh pada kasus Sumiarsih dan Sugeng yang dipidana mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada 19 Januari 1989 karena terbukti melakukan pembunuhan berencana yang menewaskan Letkol Marinir Purwanto, istri, dua anak dan satu keponakan, Agustus Semua korban dihabisi secara sadis: kepala dihantam lalu mayat dibuang di jurang Songgoriti, Batu, Malang. Selain Sumiarsih, kasus itu juga diotaki suaminya, Djais Adi Prayitno juga dipidana mati tetapi telah meninggal dunia karena sakit jantung di penjara Kalisosok Surabaya. Keduanya terbelit hutang pada Purwanto, yang sama-sama mengelola rumah bordil di kawasan Dolly, Surabaya. Sedang keterlibatan Sugeng karena menuruti permintaan dua orangtuanya itu. Begitu pula Sersan Dua (Pol) Adi 13

16 Saputro, menantu Sumiarsih-Djais, yang lebih dulu dieksekusi mati setelah divonis Mahkamah Militer Surabaya. Setelah kasasi ditolak Mahkamah Agung, Djais, Sumiarsih dan Sugeng meminta grasi Presiden Soeharto tapi ditolak 28 Juni Ketiganya mengajukan PK atau Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, 28 Agustus Upaya ini gagal. Menyusul pergantian rezim, mereka meminta grasi Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid. Permintaan grasi pada Presiden Megawati adalah yang keempat. Empat belas tahun sudah mereka menjalani hukuman penjara sembari menunggu seluruh upaya hukum itu, akhirnya sumiarsih dan sugeng di eksekusi mati pada sabtu 19 Juli 2008 dilapangan Mapolda Jawa Timur. Pelaksanaan teknis hukuman mati diatur Undang-Undang 2/PnPs/1964. Diantaranya menyebutkan, eksekusi harus dilakukan sampai terpidana sungguh mati. Batas waktu pelaksanaan yakni maksimal 30 hari sejak terpidana menerima salinan keputusan proses hukum terakhir. Bila terpidana hamil, hukuman dilaksanakan usai persalinan. Maksimal, 40 hari sejak melahirkan. Karena dianggap sebagai salah satu kejahatan yang paling serius (menghilangkan nyawa orang lain) maka hukuman mati pada komplotan mereka tidak disalahkan secara undang-undang. Namun seharusnya pelaksanaan eksekusi tidak perlu menunggu waktu yang lama apabila yang ingin disampaikan kepada publik adalah pembelajaran yang bersifat psikologis. Penundaan waktu eksekusi akan berdampak pada ketidakpastian hukum dan mental si terhukum itu sendiri yang semakin tersiksa menunggu ketidakpastian eksekusi. 14

17 Proses menunggu eksekusi yang sekian lama ini merupakan salah satu pelanggaran HAM yang merendahkan martabat manusia atau perlakuan lainnya. Penundaan eksekusi oleh negara terhadap terpidana mati disebut sebagai Fenomena Deret Kematian. Fenomena ini dilakukan oleh negara-negara yang masih mempraktikkan hukuman mati yang merupakan pelanggaran berat konstitusi negara tersebut. Seharusnya negara berpikir bahwa semakin lama eksekusi mati dilakukan, maka orang akan semakin lupa. Bukan lagi efek jera yang dimunculkan, namun sudah mengarah kepada simpati kepada si terpidana mati karena terkesan mendapat penghukuman ganda (hukuman mati dan penjara). Seperti Sumiarsih dan Sugeng, orang tentu sudah melupakan perbuatan mereka. Bahkan kalau tidak dipublikasikan di media bahwa mereka akan segera dieksekusi, masyarakat mungkin tidak mengetahui peristiwa yang menimpa keluarga Letkol Mar. Purwanto. Setelah hal ini dipublikasikan, orang malah akan mempertanyakan ada hal apa dibalik penundaan selama ini dan akhirnya berbalik menjadi simpati yang berbuntut pada penghapusan hukuman mati di Indonesia. Waktu 20 tahun bahkan sudah setara dengan penghukuman seumur hidup, apalagi selama 20 tahun pula Sumiarsih dan Sugeng sudah menunjukkan perilaku baik dan telah bertobat atas kesalahannya selama ini. Perilaku menyesal inilah yang oleh mazhab Eropa sebagai suatu sikap mulia yang merupakan harapan bagi seorang kriminal untuk berbuat baik pada masyarakat. Inilah sebab mengapa negara-negara Eropa sangat menentang pelaksanaan hukuman mati sebagai suatu penghukuman bagi seorang pelaku kejahatan. Kalau memang kendala utama penetapan waktu eksekusi adalah menunggu proses upaya hukum 15

18 mulai dari banding, kasasi, dan permintaan grasi, waktu yang ditempuh tidak perlu selama ini. Penundaan ini hanya akan merampas hak asasi manusia untuk mengetahui kapan tepatnya mereka akan dijemput maut. Oleh karena itu, seharusnya Presiden sebagai pengambil keputusan grasi mendapatkan laporan perilaku dari kepala lembaga permasyarakatan apakah selama pelaksanaan hukuman mereka menunjukkan penyesalan yang diikuti dengan sikap perilaku, serta perbuatan mereka telah dimaafkan oleh keluarga korban, sehingga nantinya grasi yang akan diberikan merupakan suatu peluang untuk memperbaiki diri sebagai bekal kembali kemasyarakat kelak. E. KESIMPULAN 1. Hukuman pidana mati sudah merupakan ketentuan hukum positif. Dan dipertahankannya pidana mati di Indonesia adalah alat untuk menakuti atau mencegah terjadi kejahatan berat dan bertujuan untuk menciptakan keteraturan kehidupan bermasyarakat, melalui saluran perundang-undangan. Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan. Hukuman mati dianggap masih relevan, walaupun sebagian kalangan menganggap pidana mati bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang menekankan hak untuk hidup. Akan tetapi Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD Dalam Pasal 28j 16

19 ditegaskan bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. 2. Faktor-faktor dalam hambatan, terdapat pada proses penundaan eksekusi pidana mati yaitu terdapat dalam upaya hukum biasa (pemeriksaan tingkat banding dan upaya hukum kasasi), upaya hukum luar biasa (pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap), dan yan terakhir adalah permohonan grasi. Sehingga faktor itulah yang dianggap sebagai pelanggaran HAM karena dengan jangka waktu yang sangat lama akan mengakibatkan pelaku mengalami penderitaan yang sangat luar biasa. Karena setelah melalui proses hukuman dipenjara, pelaku nantinya akan dieksekusi mati. 17

20 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU : Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia. Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian Jakarta : PT Bumi Aksara. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press. Surya kamal, 2009, Pelaksanaan Pidana Mati, Yogyakarta : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. B. INTERNET : Arriwp97.blogspot.com/2009/10/penundaan eksekusi hukuman mati sumiarsih dan sugeng perspektif HAM. Randy Piangga Basuki Putra,Penerapan Pidana Mati dalam Sistem Hukum di Indonesia. Purba/Konstitusionalitas Pidana Mati di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Sejarah hukum pidana mengungkapkan bahwa pada masa lampau terdapat sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila yang dimana dalam sila pertama disebutkan KeTuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa Negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mengedepankan hukum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai tujuan utama mengatur negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan

BAB V PENUTUP. pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijawab dalam pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan hukum ini antara lain sebagai berikut: 1. Awal mula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * Naskah diterima: 12 Desember 2014; disetujui: 19 Desember 2014 Trend perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

Oleh: Abdul Hakim G Nusantara SH, LLM. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Oleh: Abdul Hakim G Nusantara SH, LLM. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Komentar Atas Putusan Mahkamah Konstitusi No.2-3/PUU-V/2007 Perkara Konstitusi atas nama Edith Yunita Sianturi Cs, Permohonan pengujian pasal pidana mati Uu No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Oleh: Abdul

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 15/PUU-X/2012 Tentang Penjatuhan Hukuman Mati

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 15/PUU-X/2012 Tentang Penjatuhan Hukuman Mati RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 15/PUU-X/2012 Tentang Penjatuhan Hukuman Mati I. PEMOHON 1. Raja Syahrial alias Herman alias Wak Ancap.. Pemohon I; 2. Raja Fadli alias Deli...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari semakin memprihatinkan terlebih di Indonesia. Narkotika seakan sudah menjadi barang yang sangat mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN 76 BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menguraikan analisis terhadap hasil pemrosesan terhadap data yang didapatkan dalam penelitian melalui para informan. Analisis terhadap hasil penelitian bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Fransiska Novita Eleanora FH. Universitas Mpu Tantular Jakarta ABSTRACT The issue of capital punishment in Indonesia provided for in Article 10 of the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahkluk sosial yang artinya manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda, dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah

BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum adalah keseluruhan norma-norma yang hidup, berkembang, dan berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah dan larangan yang mengurus

Lebih terperinci

PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003

PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003 PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003 Pasal 1 (8) Pasal Potensi Pelanggaran HAM Kerangka hukum yang bertabrakan Tidak ada Indikator jelas mengenai keras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana dan pemidanaan) karya Cesare Beccaria pada tahun 1764 yang menjadi argumen moderen pertama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengakui bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

Lampiran Draff wawancara dengan Dosen Ilmu Pemerintahan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Lampiran Draff wawancara dengan Dosen Ilmu Pemerintahan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Lampiran Draff wawancara dengan Dosen Ilmu Pemerintahan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bapak Danang Wahyu Muhammad Dosen Fakultas Hukum 1. Bagaimana menurut bapak/ibu terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang didalamnya terdapat berbagai hubungan dari sebuah masyarakat tertentu yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap orang yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak merupakan semua hal yang harus kalian peroleh atau dapatkan. Hak bisa berbentuk kewenangan atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hak yang diperoleh merupakan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUUXIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati I. PEMOHON a. Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Pemohon I) b. Lembaga Pengawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

Pidana Mati Ditinjau Dari Prespektif Sosiologis dan Penegakan HAM. Auliah Andika Rukman Universitas Muhammadiyah Makassar

Pidana Mati Ditinjau Dari Prespektif Sosiologis dan Penegakan HAM. Auliah Andika Rukman Universitas Muhammadiyah Makassar Pidana Mati Ditinjau Dari Prespektif Sosiologis dan Penegakan HAM Auliah Andika Rukman Universitas Muhammadiyah Makassar auliah.andika113@gmail.com ABSTRAK Pidana mati merupakan salah satu jenis pidana

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang ada di sekitarmya, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan juga faktor

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

Moral Akhir Hidup Manusia

Moral Akhir Hidup Manusia Modul ke: 07Fakultas Psikologi Pendidikan Agama Katolik Moral Akhir Hidup Manusia Oleh : Drs. Sugeng Baskoro, M.M Program Studi Psikologi Bagian Isi TINJAUAN MORAL KRISTIANI AKHIR HIDUP MANUSIA (HUKUMAN

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak kejahatan narkotika. Hal tersebut dapat dilihat dengan dibentuknya Undangundang Nomor 35 Tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan 1 BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak terjadi sepanjang abad kehidupan manusia. Hal tersebut tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami abuse,

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

MASALAH PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

MASALAH PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA MASALAH PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Mia Amalia, SH, MH. Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur E-mail :amalia.amalia84@gmail.com Abstract If

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu menimbulkan keresahan serta rasa tidak aman pada masyarakat. Tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan pembinaan,sehingga anak tersebut bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tanpa beban pikiran

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini modus kejahatan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dalam perkembangannya kita dihadapkan untuk bisa lebih maju dan lebih siap dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab Program Studi Ilmu Hukum-Universitas Narotama Surabaya Abstrak Maraknya peredaran narkotika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Abstrak

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Abstrak KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Risva Fauzi Batubara 1, Barda Nawawi Arief 2, Eko Soponyono 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sudikno dalam bukunya yang berjudul Mengenal Hukum menyatakan. bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sudikno dalam bukunya yang berjudul Mengenal Hukum menyatakan. bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah bahwa: Sudikno dalam bukunya yang berjudul Mengenal Hukum menyatakan Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan kaidah dalam kehidupan bersama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan Narkotika merupakan masalah yang kompleksitasnya memerlukan upaya penanggulangan secara menyeluruh. Upaya penanggulangan tersebut dilakukan dengan melibatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Salah satu bentuk kekerasan yang ada justru dekat dan berada di

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara terperinci menyatakan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. secara terperinci menyatakan sebagai berikut : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Positif Indonesia mengenal berbagai macam sanksi pidana dan salah satunya yakni pidana penjara. Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA 1 Oleh : Gabriela Megawaty Runtunuwu 2

PENJATUHAN PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA 1 Oleh : Gabriela Megawaty Runtunuwu 2 PENJATUHAN PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA 1 Oleh : Gabriela Megawaty Runtunuwu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dasar pelaksanaan pidana mati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan

Lebih terperinci