HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice dan lama pembekuan Jumlah dry ice yang digunakan dalam proses pembekuan berpengaruh terhadap laju pembekuan. Semakin banyak dry ice yang digunakan, maka semakin cepat laju pembekuannya, sebaliknya semakin sedikit maka laju pembekuan akan semakin lambat atau mungkin tidak mencapai titik beku yang diharapkan. Namun bila terlalu banyak dry ice yang digunakan, akan menjadi tidak efisien karena banyak yang bersisa, seperti yang dinyatakan oleh Delgado et al., 2005, bahwa penentuan kondisi pembekuan sangat penting untuk mendapatkan proses pembekuan dengan efisiensi yang optimal. Pembekuan jamur pada umumnya dilakukan hingga suhu pusatnya di bawah -18 C dan disimpan pada suhu di bawah -18 C (Anonim, 2007). Berdasarkan literatur tersebut dibuat empat perlakuan untuk menentukan perbandingan jamur merang dan dry ice serta lama waktu pembekuan yang tepat untuk menghasilkan penurunan suhu pusat jamur mencapai -18 C. Hasil pengamatan terhadap penurunan suhu dan lama waktu yang dibutuhkan dapat dilihat pada Gambar 11. Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa terdapat dua pola kurva penurunan suhu yang hampir sama dari ke empat perlakuan. Pola penurunan suhu yang pertama dihasilkan oleh perbandingan 1:1/2 dan perbandingan 1:1, dengan kurva yang lebih landai. Kedua perlakuan tersebut tidak mampu mencapai suhu -18 C, terutama pada perlakuan 1:1/2, terlihat mengalami kenaikan suhu pada akhir fase pembekuan. Kondisi ini dapat disebabkan karena jumlah dry ice yang digunakan terlalu sedikit sehingga tidak mampu memindahkan seluruh panas yang berada di jamur merang hingga mencapai suhu yang diinginkan, bahkan mengakibatkan peningkatan suhu karena seluruh dry ice yang digunakan sudah habis tersublimasi pada menit ke 195. Pada perlakuan 1:1, pada akhir proses pembekuan terlihat masih mengalami penurunan suhu namun, belum mencapai -18 C. Jamur merang pada kedua perbandingan tersebut, tidak seluruhnya kontak dengan dry ice karena perbandingannya terlalu kecil, sehingga penurunan suhunya tidak seragam dan 29

2 merata. Menurut Fellows (2000), panas dari bahan pangan merupakan panas laten sublimasi bagi dry ice, dengan makin banyak kontak antara bahan pangan dan bahan pembeku, maka pindah panas juga makin cepat terjadi. Gambar 11 Penurunan suhu jamur merang pada 4 perlakuan Pada perlakuan 1:2 dan 1:3, kurva yang terbentuk terlihat lebih curam, menunjukkan penurunan suhu yang lebih cepat dan mampu mencapai suhu -18 C. Kondisi ini dapat disebabkan karena jumlah dry ice yang digunakan cukup untuk memindahkan panas pada jamur merang hingga mencapai suhu yang dikehendaki. Kedua perlakuan tersebut menghasilkan laju pembekuan yang sama, yaitu 0,27 C/menit seperti disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Laju pembekuan total dan pemakaian dry ice pada 4 perlakuan Perbandingan Selisih Waktu Laju Pemakaian Dry ice:jamur Suhu (⁰C) Pembekuan (menit) Pembekuan (⁰C/menit) dry ice (gram) ½ : : : : Bila dilihat dari kebutuhan dry ice-nya, perbandingan 1:2 membutuhkan jumlah dry ice yang lebih sedikit dibandingkan dengan perbandingan 1:3. Hal ini dapat disebabkan karena pada perbandingan 1:3, lebih banyak energi dry ice yang hilang akibat tersublimasi dibandingkan dengan energi yang digunakan untuk 30

3 membekukan jamur merang. Selain itu, pada perbandingan 1:3 lebih banyak dry ice yang tersisa, sehingga menjadi tidak efisien. Dari hasil penelitian tahap pertama ini, maka dapat disimpulkan bahwa perbandingan jamur merang dan dry ice yang memiliki laju paling cepat dan menggunakan dry ice paling sedikit adalah perbandingan 1:2, sehingga perbandingan tersebut dipilih untuk digunakan untuk kajian pada tahap berikutnya Perbandingan pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice Perbandingan pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice dilakukan pada proses pembekuan dan analisis parameter mutunya, berupa warna, kekerasan, bobot, uji organoleptik, dan histologi. Metode pembekuan yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan freezer, sedangkan metode pembekuan menggunakan dry ice sangat rendah. merupakan salah satu alternatif, karena suhunya yang Jamur merang merupakan produk yang perishable, sehingga apabila dibekukan, dibutuhkan pembekuan dengan laju yang cepat untuk mempertahankan mutunya. Pembekuan komoditas pertanian menggunakan freezer menurut literatur termasuk ke dalam laju pembekuan yang rendah, digunakan sebagai pembanding mutu jamur merang yang dibekukan dengan dry ice, selain digunakan juga jamur merang segar sebagai kontrol Perkiraan laju pembekuan jamur merang menggunakan rumus Plank Waktu pembekuan dapat diketahui dengan melakukan percobaan dan mengamati pusat jamur merang hingga mencapai suhu beku, sehingga dapat dihitung laju pembekuannya. Namun untuk memperkirakan waktu yang dibutuhkan proses pembekuan, juga dapat dilakukan dengan menghitung menggunakan rumus Plank. Hasil perhitungan waktu pembekuan dengan rumus Plank dan lajunya dapat dilihat pada Tabel 9. Perhitungan dengan rumus Plank adalah menghitung waktu pembekuan mulai dari freezing point jamur merang, yaitu -2.7 C hingga mencapai -18 C 31

4 Tabel 9 Perbandingan perkiraan waktu pembekuan dengan rumus Plank dan laju pembekuan Jenis Pembekuan Suhu Medium ( C) Waktu (menit) Laju ( C/menit) Freezer ,200 Dry ice ,874 Sedangkan hasil pengamatan waktu pembekuan jamur merang dan perhitungan lajunya berdasarkan percobaan dengan menggunakan suhu awal pada -2,7 C, dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Penurunan suhu, waktu, dan laju pembekuan menggunakan freezer dan dry ice dengan suhu awal 2,7 C Jenis Pembekuan Penurunan suhu ( C) Waktu (menit) Laju ( C/menit) Freezer ,027 Dry ice ,240 Dari Tabel 9 dan 10, dapat dinyatakan bahwa pembekuan menggunakan freezer termasuk dalam laju pembekuan lambat berdasarkan klasifikasi proses pembekuan menurut Delgado et al. (1999), baik secara teoritis maupun berdasarkan percobaan. Pembekuan jamur merang menggunakan dry ice, dengan perkiraan waktu pembekuan berdasarkan perhitungan dengan rumus Plank, termasuk dalam laju pembekuan cepat, sedangkan berdasarkan percobaan termasuk dalam laju pembekuan komersial. Hal ini dapat disebabkan karena metode pembekuan jamur merang menggunakan dry ice yang dilakukan pada percobaan masih sangat sederhana, sehingga lebih banyak dry ice yang menyublim dibandingkan dengan jumlah dry ice yang digunakan untuk memindahkan panas dari jamur merang. Proses pembekuan menggunakan dry ice bila dilakukan dengan cara dan metode yang lebih tepat, akan mampu mendekati laju pembekuan seperti pada perhitungan menggunakan rumus Plank. Misalnya seperti menggunakan isolator pada kotak styrofoam untuk menciptakan lingkungan pembekuan yang lebih kedap dan efisien dalam penggunaan dry icenya. Laju pembekuan secara nyata akan memiliki selisih dengan perhitungan menggunakan rumus, karena adanya perbedaan pada densitas, termal konduktivitas, panas spesifik, dan panas laten jamur merang antara kondisi segar dan kondisi beku. Menurut López-Leiva et al. (2003), penggunaan rumus Plank 32

5 untuk menghitung perkiraan waktu pembekuan pada kentang, ternyata memiliki perbedaan sebesar 51.1% lebih cepat daripada waktu pembekuan secara uji coba Laju pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice Pembekuan sangat dipengaruhi oleh laju pembekuannya. Makin cepat laju pembekuan, makin baik mutu produk beku yang dihasilkan. Hasil pengamatan penurunan suhu dan waktu pembekuan pada perlakuan menggunakan freezer dan dry ice disajikan pada Gambar 12. Penurunan suhu pada jamur merang melalui 2 tahap, yaitu fase pra pembekuan dan fase pembekuan. Fase pra pembekuan adalah menurunkan suhu jamur merang hingga mencapai titik pembekuan,-2,7 C. Sedangkan fase pembekuan dimulai dari suhu -2,7 C hingga mencapai suhu beku yang dibutuhkan. Gambar 12 Penurunan suhu jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer dan dry ice Grafik penurunan suhu pada Gambar 12 menunjukkan bahwa laju pembekuan pada fase pra pembekuan dari kedua perlakuan hampir sama, namun menjadi sangat berbeda ketika sudah melalui suhu 0 C, seperti disajikan pada Tabel 11. Pada tahap pra pembekuan terjadi precooling, yaitu penurunan suhu hingga suhu dingin dan terjadi supercooling dimana terjadi penurunan jamur 33

6 merang secara cepat hingga mencapai titik beku, namun kandungan air belum berubah menjadi es (Fellows, 2000). Memasuki tahap pembekuan, kristal es mulai terbentuk dengan adanya pelepasan panas laten, sehingga larutan menjadi jenuh dan mencapai suhu beku, dimana waktu yang dibutuhkan ditentukan oleh laju kehilangan panas. Tabel 11 Laju pembekuan jamur merang pada fase pra pembekuan dan pembekuan Pre pembekuan Pembekuan Perlakuan Suhu Waktu Laju Suhu Waktu Laju ( C) (menit) ( C/menit) ( C) (menit) ( C/menit) Freezer 17, ,36 15, ,028 Dry ice 29, ,42 19, ,26 Pada percobaan ini, perhitungan laju pembekuan dihitung dari awal proses penurunan suhu hingga beku, yang hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Penurunan suhu, waktu, dan laju pembekuan menggunakan freezer dan dry ice Jenis Pembekuan Penurunan suhu ( C) Waktu (jam) Laju ( C/jam) Laju ( C/menit) Freezer Dry ice Tabel 12 menunjukkan bahwa laju pembekuan jamur merang menggunakan dry ice sekitar 5 kali lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan freezer. Perlakuan menggunakan dry ice mengalami pelepasan panas yang lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan freezer. Hal ini dapat disebabkan karena suhu dry ice yang jauh lebih rendah dan panas dari jamur merang dapat menyediakan panas laten untuk sublimasi bagi dry ice. Dry ice yang kontak dengan jamur merang, secara cepat akan memindahkan panas dari permukaannya untuk menghasilkan koefisien pindah panas yang tinggi sehingga terjadi pembekuan yang lebih cepat. Sebagian besar kapasitas pembekuan dry ice (85%) berasal dari sublimasinya (Fellows, 2000). Selain berdasarkan laju pembekuannya, menurut Evan (2008), ukuran kristal es yang terbentuk di dalam jaringan bahan dipengaruhi pula oleh waktu yang 34

7 dibutuhkan bahan pangan untuk melalui zona kritis pembekuan. Kisaran suhu 1⁰C hingga -5 dapat menyebabkan kerusakan permanen pada bahan pangan sehingga sering disebut dengan zona kritis. Secara lebih tepat, kisaran suhu 0⁰C hingga -3,9⁰C harus dilampaui dalam waktu kurang dari 30 menit, dimana waktu yang dibutuhkan oleh masing-masing perlakuan untuk melampaui zona kritis disajikan pada Tabel 13. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pembekuan jamur merang menggunakan freezer membutuhkan waktu sekitar 155 menit untuk melampaui zona kritis, sedangkan pembekuan jamur merang menggunakan dry ice hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Hal ini mengindikasikan bahwa kristal es yang terbentuk pada pembekuan jamur merang menggunakan dry ice berukuran lebih kecil dibandingkan kristal es pada pembekuan menggunakan freezer, sehingga diharapkan pembekuan jamur merang menggunakan dry ice dapat mengurangi terjadinya penurunan mutu jamur merang. Tabel 13 Waktu yang dibutuhkan pada pembekuan jamur merang untuk melampaui zona kritis. Jenis Pembekuan Waktu (menit) Freezer 155 Dry ice Analisa mutu jamur merang Jamur merang memiliki beberapa parameter mutu penting. Pada percobaan tahap kedua diamati parameter mutu dalam kondisi beku dan pasca thawing. Pada kondisi beku hanya diamati perubahan bobot dan pada pasca thawing diamati kandungan protein, warna, kekerasan, ph, aroma, perubahan bobot pasca thawing, serta histologinya. Selain itu juga dilakukan pengujian secara subyektif menggunakan uji organoleptik untuk mengukur tingkat kesukaan konsumen. Kandungan protein jamur merang Secara umum, pembekuan berpengaruh terhadap penurunan kandungan protein, seperti dapat dilihat pada Gambar 13. Pada Gambar 13 terlihat bahwa kandungan protein jamur merang mengalami penurunan dengan adanya perlakuan pembekuan dan thawing. 35

8 Gambar 13 Kandungan protein jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan freezer dan dry ice, dan jamur merang segar. Kandungan protein pada pembekuan menggunakan freezer mengalami penurunan sebesar 7%, sedangkan pada pembekuan menggunakan dry ice hanya 1%. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya denaturasi protein pada bahan pangan. Dari hasil analisis ragam pada Lampiran 5, menunjukkan bahwa kandungan protein jamur merang segar tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan jamur merang pasca thawing yang dibekukan menggunakan freezer dan dry ice. Menurut Rahman, 2007, denaturasi protein pada proses pembekuan bahan pangan yang banyak mengandung protein akan terjadi walaupun perubahannya tidak terlalu nyata. Warna jamur merang Warna jamur merang dinyatakan dengan nilai L (Lightness/ kecerahan), nilai a, dan nilai b. Nilai L menyatakan tingkat kecerahan mulai dari angka 0 untuk warna hitam dan angka 100 untuk warna putih, sehingga bila terjadi penurunan nilai L, tingkat kecerahannya akan mendekati warna hitam atau menjadi lebih kusam. Warna jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer mengalami penurunan nilai L sebesar 7,19%, sedangkan pada pembekuan menggunakan dry ice mengalami penurunan nilai L sebesar 4,76%. Secara lebih jelas, tingkat kecerahan jamur merang dapat dilihat pada Gambar 14, yang menunjukkan bahwa pembekuan menggunakan freezer memiliki nilai L yang paling rendah, yang menandakan bahwa perlakuan tersebut memiliki warna yang 36

9 paling kusam atau paling gelap. Sedangkan pada pembekuan menggunakan dry ice memiliki nilai L yang lebih tinggi, menandakan bahwa warna jamur merang pada perlakuan tersebut lebih cerah daripada perlakuan menggunakan freezer, namun masih lebih kusam dibandingkan tingkat kecerahan jamur merang segar. Dari hasil analisis ragamnya pada Lampiran 4, tingkat kecerahan dari masingmasing perlakuan memiliki perbedaan yang nyata. Gambar 14 Nilai L (Kecerahan/Lightness) pada warna jamur merang Nilai a dari pengamatan warna jamur merang menyatakan warna hijau untuk angka 0 hingga -80 dan warna merah untuk angka 0 hingga 70, sehingga bila terjadi peningkatan nilai a positif, menandakan bahwa warna jamur merang mendekati warna merah. Hasil pengamatan nilai a untuk warna jamur merang dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Nilai a pada warna jamur merang 37

10 Warna jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer mengalami peningkatan nilai a sebesar 0,96% dan pada pembekuan menggunakan dry ice sebesar 0,83%. Peningkatan nilai a menjadi lebih berwarna kemerahan yang terjadi sangat kecil dan didukung dengan hasil analisis ragam (Lampiran 4), menyatakan bahwa semua perlakuan tidak memiliki perbedaan nilai a yang nyata pada warna jamur merang. Nilai b dari warna jamur merang menyatakan warna kuning untuk nilai 0 hingga 70 dan warna biru untuk nilai 0 hingga -70, sehingga bila terjadi peningkatan nilai b positif, menandakan bahwa warna jamur merang mendekati warna kuning. Warna jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer mengalami peningkatan nilai b sebesar 4,01% dan pada pembekuan menggunakan dry ice sebesar 6,7%. Peningkatan nilai b pada warna jamur merang dapat dilihat pada Gambar 16, dimana pembekuan menggunakan dry ice memiliki warna yang lebih kekuningan dibandingkan dengan pembekuan menggunakan freezer. Dari hasil analisis ragam (Lampiran 4) didapatkan hasil bahwa semua perlakuan menggunakan freezer dan dry ice serta jamur merang segar memiliki nilai b yang saling berbeda nyata. Gambar 16 Nilai b pada warna jamur merang Menurut Fellows (2000) perubahan warna yang terjadi pada proses pembekuan karena pada pembekuan dan pendinginan tidak dapat menginaktivasi enzim. Menurut Julianti (1997), perubahan warna pada penyimpanan jamur merang masih dapat terjadi walaupun sudah dikontrol dengan penggunaan suhu rendah. Menurut Chang et al. (1982) jamur merang banyak mengadung enzim 38

11 enzim polifenol oksidase. Enzim tersebut bila terpapar oksigen akan mengkatalisa oksidasi komponen fenolik menjadi quinon yang berwarna coklat, kemudian bergabung dengan asam amino derivatif membentuk kompleks melanoidin yang berwarna coklat dan disebut dengan enzymatic browning atau pencoklatan enzimatis. Selain itu, perubahan warna pada jamur merang pasca thawing merupakan salah satu indikator terjadinya kerusakan dingin pada jamur merang. Warna jamur merang yang dinyatakan dalam nilai L, a, dan b dapat dikonversi menjadi nilai X, Y, dan Z (Lampiran 11) seperti disajikan pada Tabel 14 dan dapat digambarkan dalam grafik CIE Lab pada Gambar 17. Tabel 14 Nilai XYZ warna jamur merang Nilai Freezer Dry ice Segar X Y Z x y = jamur merang dengan perlakuan freezer = jamur merang dengan perlakuan dry ice = jamur merang segar Gambar 17 Warna jamur merang dalam nilai X, Y pada grafik CIE Lab 39

12 Pencoklatan enzimatis dapat terjadi dengan cepat, terutama bila terjadi kerusakan pada bahan pangan, baik pada saat penanganan segar ataupun pada saat pengolahan. Bahan pangan yang mengalami kerusakan, sel-selnya yang pecah akan mengeluarkan enzim polifenol oksidase yang akan tercampur dengan oksigen dan substrat sehingga menghasilkan warna kecoklatan (Salunkhe, 1976), seperti dapat dilihat pada Gambar 18. A B C Gambar 18 Jamur Merang Pasca Thawing pada Pembekuan menggunakan (A) Freezer, (B) Dry ice, dan (C) Jamur Merang Segar Pada pembekuan jamur merang menggunakan freezer, pencoklatan enzimatis sudah terjadi pada saat pembekuan di dalam freezer saat kontak dengan oksigen. Sedangkan pada jamur merang yang dibekukan dengan dry ice, pencoklatan enzimatis saat proses pembekuan dapat dihambat, karena oksigen yang terdapat di dalam kotak styrofoam tergantikan oleh karbondioksida yang terbentuk dari hasil sublimasi dry ice. Karbodioksida memiliki bobot yang lebih berat daripada oksigen, sehingga mampu mengurangi kadar oksigen dalam kotak Styrofoam. Kondisi ini dapat mengurangi terpaparnya jamur merang dengan oksigen, sehingga memperlambat perubahan warna. Berdasarkan SNI , warna jamur merang segar berwarna putih bersih, sedangkan jamur merang pasca thawing berwarna kecoklatan. Kondisi ini menyatakan bahwa jamur merang pasca thawing tidak sesuai dengan SNI. Kekerasan Jamur Merang Tekstur merupakan salah satu kriteria kualitas jamur merang yang penting. Nilai kekerasan jamur merang pada perlakuan menggunakan freezer mengalami penurunan sebesar 71,18% dan perlakuan menggunakan dry ice sebesar 71,95%. Jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice terlihat memiliki tingkat 40

13 kekerasan yang paling rendah, atau paling lunak, seperti dapat dilihat pada Gambar 19. Jamur merang segar memiliki tingkat kekerasan paling tinggi dan perlakuan menggunakan freezer memiliki tingkat kekerasan di bawahnya. Dari hasil analisis ragam (Lampiran 5) diketahui bahwa kekerasan jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer dan dry ice memiliki perbedaan yang nyata dengan kekerasan jamur merang segar. Sedangkan kekerasan jamur merang pasca thawing tidak memiliki perbedaan yang nyata satu sama lain. Kekerasan jamur merang pasca thawing yang sudah dibekukan akan menjadi lebih lunak dan kenyal. Hal ini menunjukkan terjadinya kerusakan jaringan dan hilangnya tekanan turgor pada jamur merang. Gambar 19.Nilai kekerasan jamur merang Jaringan jamur merang disusun oleh sel yang merupakan bagian terkecil, yang integritasnya sangat mempengaruhi kualitas tekstur. Integritas dari komponen sel (dinding sel dan lamela tengah) dan tekanan turgor sel ditentukan oleh kandungan air dalam vakuola (Chassagne-Berces et al., 2009). Menurut Delgado et al. (2005) tekanan turgor sel sangat mempengaruhi tingkat kekerasan, dimana vakuola dan mebran sel dapat mencegah terjadinya osmosis.pada pembekuan terjadi perubahan kandungan air menjadi kristal es. Bila terjadi pertumbuhan kristal es yang lebih cepat daripada pembentukan inti kristal es, maka akan terjadi osmodehidrasi pada sel, yang mampu merusak vakuola dan dinding sel sehingga menyebabkan kerusakan struktur sel dan penurunan tingkat kekerasan sel. Akibat rusaknya jaringan jamur merang, menyebabkan hilangnya 41

14 water holding capacity yang menghasilkan cairan atau drip, yang tidak dapat diserap kembali oleh jaringan jamur merang, Secara umum, pembekuan mempengaruhi penurunan tingkat kekerasan jamur merang, sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Chassagne-Berces et al. (2009), bahwa pembekuan apel menyebabkan penurunan tingkat kekerasan sebesar 54% untuk pembekuan pada suhu -80 C, 79% untuk pembekuan pada suhu -20 C, dan 99% untuk pembekuan cepat menggunakan nitrogen cair pasca thawing. Selain itu Jaworska (2010) juga menyebutkan bahwa pembekuan menurunkan tingkat kekerasan jamur Boletus edulis sebesar 88%. ph Jamur Merang Hasil pengamatan ph jamur merang disajikan pada Gambar 20. Gambar 20 memperlihatkan bahwa jamur merang segar memiliki ph 8.28, berada pada kondisi basa. ph merupakan derajat keasaman yang dinyatakan oleh konsentrasi ion hidrogen (H + ) dan kondisi basa oleh ion hidroksil (OH - ) Jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice terlihat mengalami peningkatan ph yang cukup tinggi dibandingkan dengan pembekuan menggunakan freezer. Dari hasil analisis ragam (Lampiran 5) diketahui bahwa ph jamur merang segar tidak berbeda nyata dengan ph jamur merang yang dibekukan dengan freezer, sedangkan ph jamur merang yang dibekukan menggunakan dry ice berbeda nyata dengan kedua perlakuan sebelumnya. Gambar 20. ph jamur merang pasca thawing dan jamur merang segar 42

15 ph jamur merang yang dibekukan dengan dry ice menjadi lebih tinggi sebesar 6.5%. Hal ini dapat disebabkan karena jamur merang tersebut sudah terpapar oleh dry ice yang akan menyublim menjadi gas CO 2, sehingga mampu menaikkan ph jamur merang menjadi lebih tinggi. berhubungan dengan aroma pada kondisi pasca thawing. 43 ph pada jamur merang Aroma yang menyimpang pada kondisi thawing dapat disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang mampu menurunkan ph. Kondisi ini menyatakan bahwa jamur merang pasca thawing tidak mengalami kerusakan akibat mikroorganisme. Bobot Jamur Merang Beku dan Pasca Thawing Perubahan bobot jamur merang berhubungan dengan perubahan kandungan air, yang dapat terjadi pada proses pembekuan dan thawing. Pengukuran bobot jamur merang dilakukan pada kondisi segar, kondisi beku, dan pasca thawing setelah ditiriskan dari cairan drip, dimana hasil pengamatannya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Perubahan bobot jamur merang beku dan pasca thawing Perlakuan Perubahan Bobot (%) Perubahan Bobot (%) Jamur Merang Beku Jamur Merang Thawing Pembekuan freezer 0.53 a a Pembekuan dry ice b b Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa bobot jamur merang beku pada pembekuan menggunakan freezer mengalami peningkatan sebesar 0.53%, sedangkan pada pembekuan menggunakan dry ice mengalami penurunan sebesar 0,12%. Penambahan bobot jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer dapat disebabkan karena terjadi penyerapan uap air dari lingkungan freezer yang memiliki kelembapan tinggi dengan RH sekitar 85-95%. Sedangkan penurunan bobot pada jamur merang yang dibekukan menggunakan dry ice dapat terjadi karena adanya dehidrasi secara osmosis pada jamur merang akibat perbedaan kelembapan antara jamur merang dan dry ice. Menurut FAO (2009), kondisi penyimpanan yang disarankan untuk jamur adalah pada RH 95%. Jamur merang memiliki kadar air yang cukup tinggi, sedangkan dry ice tidak memiliki kelembapan sama sekali ( sehingga menyebabkan air yang terkandung oleh jamur merang tertarik keluar untuk

16 membuat kondisi equilibrium dengan lingkungannya. Kandungan air pada jamur merang yang tertarik keluar secara osmosis akan langsung membeku saat berada di permukaan jamur merang karena karena kontak dengan dry ice sehingga menghasilkan butiran-butiran kristal es pada pemukaannya. Kondisi ini hanya terjadi pada permukaan jamur merang yang dibekukan dengan dry ice seperti terlihat pada Gambar 21. Gambar 21 (A) Jamur merang beku pada pembekuan menggunakan freezer dan (B) Butiran-butiran es yang terbentuk pada permukaan jamur merang beku pada pembekuan menggunakan dry ice Kemasan digunakan sebagai pelindung bagi produk yang dikemas dari keruskan mekanik maupun untuk mengurangi terjadinya susut bobot. Plastik polietilen walaupun memiliki permeabilitas yang cukup tinggi terhadap CO 2, namun merupakan penahan yang baik terhadap uap air. Pada proses pembekuan yang dilakukan dengan dry ice, digunakan kemasan plastik polietilen yang berlubang, sehingga dehidrasi masih dapat terjadi. Menurut Dirim et al. (2004), laju uap air makin tinggi bila menggunakan kemasan yang berlubang. Menurut Fellows (2000), susut bobot dapat disebabkan oleh dehidrasi, yaitu kehilangan kehilangan kelembapan selama proses pembekuan ataupun penyimpanan beku. Hal ini dapat disebakan karena bahan pangan yang tidak dikemas ataupun terjadi perbedaan kelembapan yang cukup tinggi antara bahan pangan dengan lingkungan. Rahman et al. (2007) juga menyatakan bahwa pembekuan dapat mengakibatkan terjadinya dehidrasi, sehingga menyebabkan susut bobot. Pada kondisi pasca thawing, jamur merang mengalami penurunan bobot sebesar 15,76% untuk pembekuan menggunakan freezer dan 19,65% untuk pembekuan menggunakan dry ice. Pada kondisi thawing, penyusutan bobot yang terjadi dapat disebabkan oleh keluarnya cairan drip dari jamur merang. Cairan drip adalah cairan yang berasal dari kristal es yang meleleh di dalam jaringan 44

17 jamur merang, namun tidak dapat diserap kembali oleh jaringan tersebut. Makin rusak jaringan, maka makin banyak cairan drip yang dihasilkan. Hasil pengamatan penyusutan bobot jamur merang disajikan pada Gambar 22. Perubahan Bobot (%) ,53-0,12 Jamur Merang Beku Freezer Dry ice Jamur Jamur Merang merang Thawing pasca thawing -15,76-19,65 Gambar 22 Perubahan bobot jamur merang beku dan pasca thawing Gambar 22 menunjukkan bahwa penyusutan bobot jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan dry ice lebih besar daripada menggunakan freezer. Hal ini dapat disebabkan karena pada proses pembekuan menggunakan dry ice, jaringan jamur merang sudah mengalami kehilangan cairan akibat dehidrasi, sehingga jaringan kurang mampu menyerap kembali cairan dari kristal es yang meleleh dibandingkan dengan menggunakan freezer, terlebih lagi sudah ada sebagian kristal es yang berada di luar jamur merang dan menyebabkan kehilangan cairan drip yang lebih banyak, seperti terlihat pada Gambar 23. Dengan hilangnya cairan, maka bobot jamur merang pasca thawing akan mengalami penyusutan. A Gambar 23 Cairan drip yang dihasilkan dari jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan (A) freezer dan (B) dry ice 45 B

18 Menurut penelitian Alvarez (1997) cairan drip yang dihasilkan oleh jaringan kentang beku yang sudah di-thawing dipengaruhi oleh laju pembekuan, makin cepat laju pembekuan, makin sedikit cairan drip yang dihasilkan, walaupun tidak berbeda nyata secara statistik. Pengujian organoleptik. Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan konsumen terhadap parameter-parameter mutu jamur merang, yaitu warna, kekerasan, dan aroma. Uji kesukaan digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu produk (Setyaningsih et al., 2010). Warna Secara subyektif, warna jamur merang juga diuji untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen, dimana hasil pengujiannya ditampilkan pada Tabel 16. Dari Tabel 16 diketahui bahwa warna jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice lebih disukai daripada menggunakan freezer. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 6, diketahui bahwa warna jamur merang pada perlakuan menggunakan dry ice tidak berbeda nyata dengan warna jamur merang segar, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan menggunakan freezer, namun warna jamur merang pada perlakuan yang menggunakan freezer berbeda nyata dengan warna jamur merang segar. Kondisi ini menjelaskan bahwa walaupun warna jamur merang yang paling disukai adalah warna jamur merang segar, namun warna jamur merang pada perlakuan lainnya masih dapat diterima oleh konsumen. Tabel 16 Hasil uji organoleptik warna Perlakuan Nilai Deskripsi Kesukaan Thawing setelah pembekuan freezer 4.15 a Netral Thawing setelah pembekuan dry ice 4.55 ab Netral-agak disukai Segar 5.01 b Agak disukai Kekerasan Hasil pengujian organoleptik kekerasan jamur merang disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan Tabel 17, dapat diketahui bahwa pembekuan mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen terhadap kekerasan jamur merang 46

19 pasca thawing. Kekerasan jamur merang segar adalah yang paling disukai, dibandingkan dengan kekerasan jamur merang pasca thawing. Dari hasil analisis ragam pada Lampiran 6, dapat diketahui bahwa kekerasan jamur merang yang dibekukan berbeda nyata dengan kekerasan jamur merang segar, sedangkan kekerasan pada jamur merang yang dibekukan tidak berbeda nyata satu sama lain dengan nilai netral. Tabel 17 Uji organoleptik kekerasan Perlakuan Nilai Deskripsi Kesukaan Thawing setelah pembekuan freezer 4.43 a Netral Thawing setelah pembekuan dry ice 4.13 a Netral Segar 5.38 b Agak disukai Kondisi ini menjelaskan bahwa walaupun kekerasan jamur merang segar paling disukai oleh panelis, namun kekerasan jamur merang yang sudah dibekukan dan di thawing masih dapat diterima oleh konsumen. Kekerasan merupakan salah satu parameter mutu yang penting, namun bukan yang utama bila akan melalui proses pengolahan, sehingga walaupun sudah terjadi perubahan tingkat kekerasan yang cukup tinggi, tapi masih dalam batas dapat diterima oleh konsumen. Aroma Aroma merupakan salah satu parameter mutu yang sangat penting bagi jamur merang. Jamur merang memiliki komponen aroma volatil berupa limonene, octa-1,5-dien-3-ol, 3-octanol,1-octen-3-ol, 1-octanol, and 2-octen-1-ol, dengan senyawa utama berupa 1-octen-3-ol, sebesar 71,6 83,1% (Mau et al, 1997). Aroma jamur merang sangat khas dan paling baik berada pada fase pemanjangan dan dewasa saat tudungnya sudah mekar. Hasil pengujian organoleptik aroma disajikan pada Tabel 18. Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa aroma jamur merang yang paling disukai oleh konsumen adalah aroma jamur merang segar, sedangkan aroma jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer sudah tidak disukai oleh konsumen. Aroma jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice masih dapat diterima oleh konsumen, karena belum mencapai nilai 3,5. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 6, diketahui bahwa aroma jamur merang segar tidak berbeda nyata dengan aroma 47

20 jamur merang dengan perlakuan menggunakan dry ice. Sedangkan aroma jamur merang dengan perlakuan menggunakan freezer berbeda nyata dengan aroma jamur merang pada dua perlakuan lainnya. Tabel 18 Hasil Uji Organoleptik Aroma Jamur Merang Perlakuan Nilai Deskripsi Kesukaan Thawing setelah pembekuan freezer 3.39 a Agak tidak suka Thawing setelah pembekuan dry ice 3.75 b Agak tidak suka-netral Segar 3.86 b Agak tidak suka-netral Aroma jamur merang segar ataupun pasca thawing memiliki nilai di bawah netral, atau cenderung kurang disukai. Hal ini dapat disebabkan karena jamur merang memiliki aroma yang khas. Sebagian konsumen mencari aroma khas tersebut, namun ada pula yang kurang menyukai aroma tersebut. Pembobotan Nilai Organoleptik Pembobotan nilai organoleptik digunakan untuk melihat preferensi umum dari masing-masing parameter mutu, yaitu warna, kekerasan, dan aroma. Perhitungan nilai kepentingan dan pembobotan pada pengujian organoleptik dapat menyatakan perlakuan yang paling disukai oleh konsumen (Setyaningsih et al., 2010). Pada Tabel 19 disajikan dasar pertimbangan kepentingan dan nilai kepentingan dari pengujian organoleptik Tabel 19 Penilaian kepentingan pada pengujian kesukaan Parameter Warna Aroma Kekerasan Dasar Pertimbangan Warna merupakan kesan pertama yang akan berpengaruh terhadap kriteria mutu jamur merang Aroma merupakan parameter mutu yang cukup penting karena dapat mengindikasikan kerusakan Kekerasan akan diamati setelah warna dan aroma jamur merang Nilai kepentingan Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa warna memiliki bobot paling tinggi karena dianggap merupakan faktor utama yang menentukan tingkat kesukaan konsumen terhadap jamur merang, kemudian dilanjutkan dengan parameter aroma. Bila pada kedua parameter tersebut tidak ditemukan penyimpangan mutu, 48

21 parameter kekerasan menjadi faktor penting berikutnya. Hasil perhitungan nilai kepentingan pembobotan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Nilai total pembobotan uji organoleptik Parameter Preferensi Umum Freezer Dry ice Segar Warna Kekerasan Aroma TOTAL Tabel 20 menyatakan bahwa dari perhitungan preferensi umum dapat diketahui bahwa jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice lebih disukai daripada jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer, walaupun jamur merang segar adalah yang paling disukai. Histologi Jamur Merang Pengamatan histologi jamur merang sangat berguna untuk mengamati stuktur jaringan jamur merang dan mempelajari pengaruh dari perlakuan pembekuan dan thawing, yang dapat merupakan penjelasan mengenai nilai-nilai yang didapatkan dari hasil pengukuran menggunakan instrumen. Hal yang paling penting dalam pengamatan menggunakan teknik mikroskopi adalah penyiapan sampel yang benar, sehingga akan menghasilkan suatu visual yang menggambarkan pengaruh pembekuan sebenarnya. Pengamatan histologi untuk jamur merang dilakukan setelah mencapai suhu -18 C dan dilakukan thawing. Dari hasil pengamatan jaringan jamur merang yang disajikan pada Gambar 24 dan 25, terlihat bahwa jaringan jamur merang segar penuh dan kompak dimana ruang intersel dan intrasel yang terlihat buram, karena terisi penuh oleh cairan. 49

22 A B C Gambar 24 Histologi jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan (A) freezer, (B) dry ice dan (C) jamur merang segar (A1) (A2) (B1) (B2) (C1) (C2) Gambar 25 Histologi jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan (A) freezer, (B) dry ice dan (C) jamur merang segar di bagian (1) tepi dan (2) tengah 50

23 Sedangkan pada jaringan jamur merang pasca thawing, terjadi perluasan pada ruang interselnya, membentuk rongga-rongga kosong di antara jaringan yang makin membesar dengan warnanya yang terlihat lebih jelas dan tajam. Kondisi ini dapat disebabkan karena hilangnya cairan interseluler dari jamur merang, hingga ikatan interselnya berkurang, dan membesar. Jaringan terlihat mengalami penyusutan sehingga terjadi penempelan sel dan menyisakan ruang-ruang interseluler yang sangat besar. Kehilangan cairan tersebut dapat disebabkan karena pada proses pembekuan, kristal es yang terbentuk di ruang interseluler memiliki tekanan uap air yang lebih rendah dibandingkan air di dalam sel, sehingga air dari dalam sel keluar untuk menuju ke kristal es yang sedang terbentuk di ruang interseluler menghasilkan kristal es berukuran besar yang dapat menyebabkan kerusakan mekanik pada jaringan jamur merang. Hal ini terutama terjadi pada pembekuan dengan laju yang lambat, dimana pembekuan menggunakan freezer termasuk dalam laju pembekuan lambat. Menurut Sun et al. (2002), pada pembekuan lambat akan terjadi kerusakan berupa terbentuknya kristal es yang besar pada jaringan bahan pangan beku dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan mekanik, kehilangan cairan, dan penurunan mutu produk. Dari hasil penelitian Chassagne-Berces et al. (2009), dijelaskan bahwa perlakuan pembekuan, dengan laju lambat ataupun cepat, dan thawing, dapat menghilangkan lapisan tonoplas yang mengelilingi vakuola sehingga terjadi kerusakan membran sel. Pada jaringan jamur merang pasca thawing yang dibekukan dengan dry ice, terlihat kondisi kehilangan cairan yang cukup besar, didukung juga dari hasil pengamatan penyusutan bobotnya yang cukup besar, walaupun telah diasumsikan bahwa kristal es yang dihasilkan berukuran lebih kecil daripada menggunakan freezer. Hal ini dapat disebabkan karena terjadi dehidrasi yang berlebihan dan sangat cepat pada jaringan jamur merang yang dibekukan dengan dry ice, akibat perbedaan kelembapan seperti telah dijelaskan pada sub bab perubahan bobot jamur merang. Menurut Sun et al.(2002), dehidrasi pada pembekuan menyebabkan kerusakan jaringan akibat adanya transfer air secara osmosis dari intrasel, 51

24 sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi membran sel, gangguan sistem metabolism, denaturasi protein, reaksi enzim, dan kerusakan jaringan. Waktu sublimasi dry ice dan thawing jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice Pengamatan waktu thawing jamur merang pada perlakuan menggunakan dry ice, dilakukan dengan membekukan jamur merang hingga dry ice yang digunakan habis tersublimasi, kemudian di-thawing dalam kotak styrofoam. Hasil pengamatan waktu sublimasi dry ice dan thawing jamur merang pada perlakuan yang menggunakan dry ice disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Waktu sublimasi dry ice, waktu thawing, dan suhu terendah jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice. Waktu sublimasi dry ice Waktu thawing hingga titik leleh (-2,7 C) Waktu thawing hingga kristal es meleleh Suhu terendah 5.83 jam 1,75 jam 2,83 jam C Berdasarkan Tabel 21 diketahui bahwa dry ice seberat 1000 gram akan habis tersublimasi untuk membekukan jamur merang seberat 500 gram selama 5,83 jam. Sedangkan waktu thawing yang dibutuhkan untuk jamur merang beku mencapai titik leleh -2,7 C adalah 1,75 jam. Jumlah waktu sublimasi dan thawing sebelum kristal es meleleh tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan proses pembekuan menggunakan dry ice, sebelum memindahkan jamur merang beku ke tempat penyimpanan beku. Bila dalam waktu lebih dari 7,58 jam, jamur merang tidak dipindahkan ke dalam tempat penyimpanan beku, maka akan terjadi proses thawing dimana kristal es akan mulai meleleh, sehingga akan semakin menurunkan mutu jamur merang apabila dibekukan kembali. Jamur merang beku dapat dilihat pada Gambar 26. Dry ice tidak dapat membekukan bahan pangan dalam waktu yang lama, namun hanya mampu mempercepat laju pembekuan. Perubahan suhu pusat jamur merang proses pembekuan dan thawing pada pembekuan menggunakan dry ice dapat dilihat pada Gambar 27. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jamur merang pasca thawing mengalami penurunan mutu, baik warna, kekerasan, maupun jaringannya yang mengindikasikan terjadinya kerusakan dingin, tetapi 52

25 pembekuan masih dapat mempertahankan kandungan nutrisi pentingnya, yaitu protein. A B C Gambar 26 Jamur merang beku menggunakan (A) freezer, (B) dry ice, dan (C) jamur merang segar Pendinginan awal Pre cooling Pembekuan Thawing Gambar 27. Perubahan suhu pusat jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice dan thawing Analisis Biaya Analisa biaya yang dilakukan adalah menghitung biaya produksi pembekuan menggunakan freezer dan dry ice untuk tiap kg jamur merang. Dari hasil perhitungan analisis biaya pada Lampiran 10, biaya produksi pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice disajikan pada Tabel

26 Tabel 22 Tabel biaya produksi pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice No. Jenis Pembekuan Biaya (Rp/kg) Investasi (Rp/kg) 1. Freezer , ,- 2. Dry ice 38,600,- - Dari Tabel 22 terlihat biaya produksi pembekuan jamur merang menggunakan freezer lebih rendah dibandingkan menggunakan dry ice, masingmasing adalah Rp ,-/kg dan Rp ,-/kg, namun untuk pembekuan menggunakan freezer memiliki biaya investasi berupa freezer 163W sebesar Rp ,- dengan masa teknis 5 tahun. Pembekuan jamur merang menggunakan dry ice lebih mahal karena penggunaan dry ice yang hanya sekali pakai, dengan harga Rp ,- di distributor utama, dan mencapai Rp ,-/kg di tingkat pengecer. Harga dry ice mampu mencapai Rp ,-/kg pada musim-musim tertentu. Pembekuan jamur merang menggunakan dry ice walaupun memiliki biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan freezer, namun lebih fleksibel digunakan di lokasi-lokasi yang tidak terjangkau oleh freezer. Dry ice dan peralatannya yang sederhana, dapat digunakan untuk membekukan jamur merang di tingkat pengumpul, baik dalam kondisi terjadi kelebihan produksi atau kendala dalam distribusi sehingga dapat memperpanjang umur simpan jamur merang dalam kondisi beku. Penggunaan metode pembekuan menggunakan dry ice tidak dapat menggantikan fungsi freezer untuk penyimpanan beku, karena dry ice sangat cepat tersublimasi sehingga hanya digunakan untuk mempercepat pembekuan jamur merang untuk kemudian dipindahkan ke dalam freezer. Selain itu pembekuan menggunakan dry ice juga dapat menghasilkan kristal es yang berukuran lebih kecil, sehingga diharapkan mampu mengurangi terjadinya kerusakan mekanik akibat terbentuknya kristal es yang besar. Pembekuan jamur merang menggunakan dry ice memiliki peluang yang cukup baik karena mudah digunakan dengan peralatan sederhana untuk mempercepat proses pembekuan dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan pembekuan menggunakan freezer. Selain itu dry ice sebagai produk samping dari industri semen dan pupuk, juga dapat dimanfaatkan. 54

MUTU JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PASCA THAWING PADA PEMBEKUAN MENGGUNAKAN DRY ICE

MUTU JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PASCA THAWING PADA PEMBEKUAN MENGGUNAKAN DRY ICE MUTU JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PASCA THAWING PADA PEMBEKUAN MENGGUNAKAN DRY ICE Kurnia Novianti (1), Sutrisno (2), dan Emmy Darmawati (3). (1). Mahasiswa Pascasarjana PS Teknologi Pasca Panen

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Institut Pertanian Bogor, Dramaga Bogor, pada bulan November

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi Wortel Segar Nilai gizi suatu produk makanan merupakan faktor yang sangat rentan terhadap perubahan perlakuan sebelum, selama, dan sesudah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Merang 2.2. Fase Pertumbuhan dan Umur Panen Jamur Merang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Merang 2.2. Fase Pertumbuhan dan Umur Panen Jamur Merang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Merang Jamur merang (Volvariella volvaceae) termasuk dalam kingdom Mycetae, Divisi Amastigomycota dan sub divisi Basidiomycotina, kelas Basidiomycetes, subkelas Holobasidiomycetes,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN MBAHASAN A. SUSUT BOBOT Perubahan susut bobot seledri diukur dengan menimbang bobot seledri setiap hari. Berdasarkan hasil pengukuran selama penyimpanan, ternyata susut bobot seledri mengalami

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Konsentrasi O dan CO dalam Kemasan mempunyai densitas antara.915 hingga.939 g/cm 3 dan sebesar,9 g/cm 3, dimana densitas berpengaruh terhadap laju pertukaran udara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

Pendinginan dan Pembekuan. Kuliah ITP

Pendinginan dan Pembekuan. Kuliah ITP Pendinginan dan Pembekuan Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pendinginan dan pembekuan, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pendinginan dan pembekuan terhadap mutu pangan Indikator

Lebih terperinci

Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90

Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90 Firman Jaya Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90 Khamir memerlukan Aw minimal lebih rendah daripada bakteri ±0,88 KECUALI yang bersifat osmofilik Kapang memerlukan Aw minimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN II Disusun oleh : Nur Aini Condro Wibowo Rumpoko Wicaksono UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Laju Respirasi Wortel Terolah Minimal

HASIL DAN PEMBAHASAN. Laju Respirasi Wortel Terolah Minimal HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Respirasi Wortel Terolah Minimal cold chaín Perubahan laju produksi CO 2 pada wortel terolah minimal baik pada wortel utuh (W1) maupun irisan wortel (W2) pada penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. WARNA KULIT BUAH Selama penyimpanan buah pisang cavendish mengalami perubahan warna kulit. Pada awal pengamatan, buah berwarna hijau kekuningan dominan hijau, kemudian berubah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGERINGAN BEKATUL Proses pengeringan bekatul dilakukan dengan pengering rak karena cocok untuk bahan padat, suhu udara dapat dikontrol, dan terdapat sirkulator udara. Kipas

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pati bahan edible coating berpengaruh terhadap kualitas stroberi (Fragaria x

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pati bahan edible coating berpengaruh terhadap kualitas stroberi (Fragaria x 57 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jenis Pati Bahan Edible Coating terhadap Kualitas Stroberi (Fragaria x ananassa) Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa jenis pati bahan

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Konsentrasi KMnO 4 Terhadap Susut Berat Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap susut berat cabai merah berbeda nyata

Lebih terperinci

MUTU JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PASCA THAWING PADA PEMBEKUAN MENGGUNAKAN DRY ICE KURNIA NOVIANTI

MUTU JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PASCA THAWING PADA PEMBEKUAN MENGGUNAKAN DRY ICE KURNIA NOVIANTI MUTU JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PASCA THAWING PADA PEMBEKUAN MENGGUNAKAN DRY ICE KURNIA NOVIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Laju Respirasi dengan Perlakuan Persentase Glukomanan Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah sawo yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUKURAN LAJU RESPIRASI Setelah dipanen ternyata sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian masih mengalami proses respirasi oleh karena itu sayuran, buah-buahan dan umbiumbian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. freezer selama 5 hari, 10 hari, 15 hari dan 20 hari dapat dilihat pada table ini.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. freezer selama 5 hari, 10 hari, 15 hari dan 20 hari dapat dilihat pada table ini. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hasil perhitungasn jumlah bakteri pada ikan cakalang yang disimpan pada suhu freezer selama 5 hari, 10 hari, 15 hari dan 20 hari dapat dilihat pada table

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan mutu yang diamati selama penyimpanan buah manggis meliputi penampakan sepal, susut bobot, tekstur atau kekerasan dan warna. 1. Penampakan Sepal Visual Sepal atau biasa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGGORENGAN HAMPA TERHADAP MUTU DAN ORGANOLEPTIK KERIPIK IKAN LEMURU Penelitian tahap satu ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama penggorengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penyusunan Buah Dalam Kemasan Terhadap Perubahan Suhu Penelitian ini menggunakan dua pola penyusunan buah tomat, yaitu pola susunan acak dan pola susunan teratur. Pola

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat terhadap produk teh hijau. Analisis proksimat yang dilakukan adalah kadar air, kadar

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SUSUT BOBOT Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan mutu tomat. Perubahan terjadi bersamaan dengan lamanya waktu simpan dimana semakin lama tomat disimpan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

Blansing kemudian pembekuan Ditambahkan saus, keuntungannya : - memperbaiki flavor - menutupi off flavor - mencegah oksidasi - menambah kemudahan

Blansing kemudian pembekuan Ditambahkan saus, keuntungannya : - memperbaiki flavor - menutupi off flavor - mencegah oksidasi - menambah kemudahan A. Sayuran Blansing kemudian pembekuan Ditambahkan saus, keuntungannya : - memperbaiki flavor - menutupi off flavor - mencegah oksidasi - menambah kemudahan B. Buah-buahan Umumnya tanpa blansing Diberi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daya Rekat Telur Ikan Komet Daya rekat merupakan suatu lapisan pada permukaan telur yang merupakan bagian dari zona radiata luar yang mengandung polisakarida dan sebagian

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Parameter Fisik dan Organoleptik Pada Perlakuan Blansir 1. Susut Bobot Hasil pengukuran menunjukkan bahwa selama penyimpanan 8 hari, bobot rajangan selada mengalami

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT ABSTRAK

PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT ABSTRAK PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT Alsuhendra 1, Ridawati 1, dan Agus Iman Santoso 2 1 Staf Pengajar

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI Oleh : Rendra Eka A 1. Kemunduran mutu ikan segar secara sensori umumnya diukur dengan metode sensori

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

Beberapa ciri yang membedakan antara bahan baku agroindustri dengan bahan baku industri lain antara lain : bahan baku agroindustri bersifat musiman,

Beberapa ciri yang membedakan antara bahan baku agroindustri dengan bahan baku industri lain antara lain : bahan baku agroindustri bersifat musiman, Beberapa ciri yang membedakan antara bahan baku agroindustri dengan bahan baku industri lain antara lain : bahan baku agroindustri bersifat musiman, bulky/voluminous/menghabiskan banyak tempat, sangat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

Teti Estiasih - THP - FTP - UB

Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1 2 Pengeringan merupakan metode pengawetan dengan cara pengurangan kadar air dari bahan sehingga daya simpan dapat diperpanjang Perpanjangan daya simpan terjadi karena aktivitas m.o. dan enzim menurun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Daging itik mempunyai kualitas rendah karena bau amis, bertekstur kasar dan alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak Firman Jaya OUTLINE PENGERINGAN PENGASAPAN PENGGARAMAN/ CURING PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH Oleh : ROSIDA, S.TP,MP PENDINGINAN (Cooling / Refrigerasi) : Adalah penyimpanan bahan pangan (Nabati/Hewani) diatas suhu titik beku tetapi kurang dari 15oC Pendinginan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh normal dan sehat, karena bahan

Lebih terperinci

TIM DOSEN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

TIM DOSEN UNIVERSITAS BRAWIJAYA TIM DOSEN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 Pengeringan merupakan metode pengawetan dengan cara pengurangan kadar air dari bahan sehingga daya simpan dapat diperpanjang Perpanjangan daya simpan terjadi karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Kandungan β-karoten dan Aktivitas Vitamin A Selama Penyimpanan Metode pertanian mempengaruhi komposisi kandungan gizi pada produk buah dan sayuran segar (Worthington 2001),

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan.

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme menjadi lambat sehingga

Lebih terperinci

Tabel 1. Pola Respirasi Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna Hijau kekuningan (+) Hijau kekuningan (++)

Tabel 1. Pola Respirasi Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna Hijau kekuningan (+) Hijau kekuningan (++) V. HASIL PENGAMATAN Tabel 1. Pola Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna (++) Aroma Khas jeruk Khas jeruk Khas jeruk - - (++) Tekstur (++) Berat (gram) 490 460 451 465,1 450

Lebih terperinci

Bawang daun adalah salah satu sayuran yang diminati

Bawang daun adalah salah satu sayuran yang diminati Sri Mulia Astuti: Pengaturan suhu dan waktu pengeringan beku bawang daun 17 Buletin Teknik Pertanian Vol. 14 No. 1, 2009: 17-22 TEKNIK PENGATURAN SUHU DAN WAKTU PENGERINGAN BEKU BAWANG DAUN (Allium fistulosum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang dikonsumsi pada bagian umbi di kalangan masyarakat dikenal sebagai sayuran umbi. Kentang

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Ketebalan dan Rendemen pada Nata

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Ketebalan dan Rendemen pada Nata 4. PEMBAHASAN Nata merupakan senyawa selulosa yang dihasilkan dari fermentasi substrat dengan bantuan mikroba yaitu Acetobacter xylinum. Selama proses fermentasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dari A.

Lebih terperinci

Pembekuan. Shinta Rosalia Dewi

Pembekuan. Shinta Rosalia Dewi Pembekuan Shinta Rosalia Dewi Pembekuan Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Dengan membekunya sebagian kandungan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Permen Jelly Pepaya Karakteristik permen jelly pepaya diketahui dengan melakukan analisis proksimat dan uji mikrobiologis terhadap produk permen jelly pepaya.

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

Susut Mutu Produk Pasca Panen

Susut Mutu Produk Pasca Panen Susut Mutu Produk Pasca Panen Rini Yulianingsih Atribut Mutu Tekstur Aroma dan Rasa Warna Nilai Gizi 1 Reaksi Kimia dan Biokimia Lipid O 2, Panas Katalis Peroksida Karbohidrat Protein Panas, asam kuat,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. DOSIS DAN KEMASAN BAHAN PENYERAP Penentuan dosis dilakukan untuk memperoleh dosis zeolit yang paling optimal sebagai bahan penyerap etilen dalam penyimpanan buah salak pondoh

Lebih terperinci

PENYIMPANAN BUAH DAN SAYUR. Cara-cara penyimpanan meliputi : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN SEGAR (BUAH, SAYUR DAN UMBI)

PENYIMPANAN BUAH DAN SAYUR. Cara-cara penyimpanan meliputi : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN SEGAR (BUAH, SAYUR DAN UMBI) PENYIMPANAN BUAH DAN SAYUR FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN SEGAR (BUAH, SAYUR DAN UMBI) Cara-cara penyimpanan meliputi : 1. penyimpanan pada suhu rendah 2. penyimpanan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam 44 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci Hasil penelitian pengaruh konsentrasi garam terhadap rendemen kerupuk kulit kelinci tercantum pada Tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biji nangka merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal biji nangka memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu karbohidrat

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Keripik wortel sebagai bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil produksi sendiri yang dilakukan di laboratorium proses Balai Besar Industri

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Pendahuluan

BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Pendahuluan BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektra Buah Belimbing

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektra Buah Belimbing IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Spektra Buah Belimbing Buah belimbing yang dikenai radiasi NIR dengan panjang gelombang 1000-2500 nm menghasilkan spektra pantulan (reflektan). Secara umum, spektra pantulan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel. BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PRODUK 4.1.1 Fenomena dan penyebab terjadinya case hardening Pada proses pengeringan yang dilakukan oleh penulis khususnya pada pengambilan data

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

BLANSING. Teti Estiasih - PS ITP - THP - FTP - UB

BLANSING. Teti Estiasih - PS ITP - THP - FTP - UB BLANSING DEFINISI Merupakan proses termal yang menggunakan suhu 75-95 C selama 1-10 menit TUJUAN Mendapatkan kualitas yang baik untuk sayuran yang akan dikeringkan, dikalengkan atau dibekukan Menurunkan

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11A VI. PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11A VI. PEMBAHASAN VI. PEMBAHASAN merupakan proses katabolisme atau penguraian senyawa organik menjadi senyawa anorganik. sebagai proses oksidasi bahan organik yang terjadi didalam sel dan berlangsung secara aerobik maupun

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditi hasil perikanan yang banyak digemari oleh masyarakat karena selain rasanya enak juga merupakan sumber protein hewani. Kandungan protein

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aktifitas Air (Aw) Aktivitas air atau water activity (a w ) sering disebut juga air bebas, karena mampu membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

PENYIMPANAN SAYUR DAN BUAH TITIS SARI KUSUMA

PENYIMPANAN SAYUR DAN BUAH TITIS SARI KUSUMA PENYIMPANAN SAYUR DAN BUAH TITIS SARI KUSUMA Tujuan Pembelajaran Mahasiswa mengetahui prinsip penyimpanan sayur dan buah Mahasiswa mengetahui tujuan penyimpanan sayur dan buah Mahasiswa mengetahui jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan bahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom

Lebih terperinci