|
|
- Herman Deddy Kusuma
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Teori Keagenan a. Pengertian Teori Keagenan Teori keagenan menyatakan hubungan keagenan merupakan sebuah persetujuan ( kontrak ) diantara dua pihak, yaitu prinsipal dan agen, dimana prinsipal memberi kewenangan kepada agen untuk mengambil keputusan atas nama prinsipal ( Jensen dan Mecking 1976 dalam Yovita 2011 ). Terdapat perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal, sehingga mungkin saja agen tidak selalu melakukan tindakan terbaik bagi kepentingan prinsipal. ( Bangun 2009 dalma Yovita ) menjelaskan bahwa teori keagenan merupakan cabang dari game theory yang mempelajari suatu model kontraktual yang mendorong agen untuk bertindak bagi prinsipal saat kepentingan agen bias saja bertentangan dengan kepentingan prinsipal. Prinsipal mendelegasikan pertanggungjawaban atas pengambilan keputusan kepada agen, dimana wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Kenyataannya, wewenang yang diberikan prinsipal kepada agen sering mendatangkan masalah karena tujuan prinsipal berbenturan dengan tujuan pribadi agen. Kewenangan yang dimiliki, manajemen bisa bertindak dengan hanya menguntungkan dirinya sendiri dan mengorbankan kepentingan prinsipal. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan informasi yang dimiliki oleh keduanya, 12
2 13 sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi (asymmetric information ). Bangun ( 2009 ) dalam Yovita ( 2011 ) menyatakan bahwa informasi yang lebih banyak dimiliki oleh agen dapat memicu untuk melakukan tindakantindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimalkan utylitynya. Sedangkan bagi prinsipal akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Teori keagenan yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual diantara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak ( principal ) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain ( agent ) dengan harapan bahwa agen akan bertindak /melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal. Hubungan antara keagenan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agen dan legislative adalah prinsipal ( Fozzard 2001 dalam Halim & Abdullah 2006 ). Seperti dikemukakan sebelumnya, diantara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang timbul diantara eksekutif dan legislative juga merupakan persoalan keagenan. Masalah keagenan paling tidak melibatkan dua pihak, yakni prinsipal, yang memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan dan agen yang menerima pendelegasian otoritas dari prinsipal, dalam konteks pembuatan kebijakan oleh legislative, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan
3 14 kewenangan kepada agen seperti pemerintah atau panitia di legislative untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan disini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak. b. Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik (Voters) Legislatif adalah agen dan public adalah prinsipal ( Fozzard 2001 dalam Halim & Abdullah 2006 ), dalam hal pembuatan kebijakan Von Hageen (2003) berpendapat bahwa hubungan prinsipal agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya menunjukan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya, pada kenyataannya legislatif sebagai agen publik tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dengan publik. Lupia & McCubbins (2000) dalam Halim & Abdullah (2006) mengingatkan bahwa pendelegasian memiliki konsekuensi tidak terkontrolnya keputusan agen oleh prinsipal dalam hubungan legislatifpublik. Mereka menyebutkan abdikasi (abdication), yakni adanya kondisi dimana agen tidak dipagari dengan aturan bagaimana tindakan mereka berpengaruh terhadap kepentingan prinsipal. Pemilih (voters) dicirikan sebagai pihak yang tidak peduli atau tidak berkeinginan untuk mempengaruhi perwakilan (anggota legislatif) yang mereka pilih.
4 15 Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya dengan publik menunjukan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak memiliki sarana atau institusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehingga perilaku moral hazard legislatif dapat terjadi dengan mudah. c. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di Indonesia Penyusunan APBD dilakukan terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang Kebijakan Umum APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda). Perspektif keagenan merupakanbentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (Halim & Abdullah 2006).
5 16 d. Masalah Keagenan di Eksekutif Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi disbanding legislatif (asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi factual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintah daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasari pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan dengan baik. Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual terjadi saat ini (asas maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung kesenjangan seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Kesenjangan tersebut terjadi karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relative aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (Halim & Abdullah 2006). Proses penyusunan anggaran (APBD) diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah daerah. Pemilihan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara bersama-sama dengan inisiatif terbesar ada dipihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap
6 17 kegiatan, program, dan prioritas anggaran. Rangkuman usulan kegiatan dan anggarannya ini kemudian disampaikan kepada legislatif untuk dibahas terle bih dahulu sebelum disahkan menjadi peraturan daerah (Perda). Realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam pengusulan belanja ini diantaranya adalah: 1. Mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas. 2. Mengusulkan kegiatan yang memiliki lucrative opportunities (peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi) yang besar. 3. Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan. 4. Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan anggaran setiap kegiatan. 5. Memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya (Halim & Abdullah 2006). e. Masalah Keagenan di Legislatif Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua porsi, yakni sebagai prinsipal dan juga sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat merealisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan diantara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui discretionary power yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh
7 18 eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif (Halim & Abdullah 2006). Agen bagi publik (pemilih), perilaku oportunistik legislatif lebih kelihatan jelas. Penganggaran legislatif semestinya membela kepentingan pemilihnya dengan mengakomodasi kebutuhan publik dalam anggaran. Usulan kegiatan yang akan dibiayai dengan anggaran seharusnya didasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang teridentifikasi ketika legislatif turun kelapangan melakukan penjaringan aspirasi masyarakat (Halim & Abdullah 2006). Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk merealisasi perilaku oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk pelayanan publik dalam bentuk titipan. Kondisi pertama, legislatif mengusulkan anggaran yang meningkatkan penghasilannya sehingga dapat memenuhi self-interestnya dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political corruption atas anggaran (Gramfalvi 1997 dalam Halim & Abdullah 2006). Sementara pada kondisi kedua, self-interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan adalah yang mengharumkan nama politisi diwilayah tertentu, sehingga cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya, pembangunan cenderung didaerah merupakan wilayah pemilihan politisia yang powerfull dilegislatif. Masyarakat sulit melihat dan memahami kecenderungan ini (Halim & Abdullah 2006).
8 19 2. Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah yang diperoleh dari sumber sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku ( Halim dalam Permana, 2013 ). Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerinta Pusat dan Daerah Pasal 6 bahwa Sumber Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut: 1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri yang sah: a. Hasil Pajak Daerah b. Hasil Retribusi Daerah c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. d. Lain lain pendapatan daerah yang sah. 2. Pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah, yang terdiri dari: a. Sumbangan dari pemerintah. b. Sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangan. c. Pendapatan lain lain yang sah. Berdasarkan Undang-Undang No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
9 20 dan retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah pembangunan daerah. Didalam Undang Undang nomor 28 tahun 2009 disebutkan bahwa jenis pajak daerah yaitu : 1. Jenis pajak daerah Tingkat I terdiri dari : a. Pajak kenderaan bermotor b. Bea balik nama kenderaan bermotor c. Pajak bahan bakar kenderaan bermotor 2. Jenis pajak dearah Tingkat II terdiri dari : a. Pajak hotel dan restoran b. Pajak hiburan c. Pajak reklame d. Pajak penerangan jalan, dan lain-lain. Disamping Pajak Daerah, Sumber pendapatan asli daerah yang cukup besar peranannya dalam menyumbang pada terbentuknya pendapatan asli daerah adalah retribusi daerah. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang No.28
10 21 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemda oleh kepentingan orang pribadi atau badan ( Permana, 2013 ). Jadi dalam hal retribusi daerah balas jasa dengan adanya retribusi daerah tersebut dapat langsung ditunjuk. Misalnya retribusi jalan, karena kendaraan tertentu memang melewati jalan di mana retribusi jalan itu dipungut, retribusi pasar dibayar karena ada pemakaian ruangan pasar tertentu oleh si pembayar retribusi. Tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jadi sesungguhnya dalam hal pemungutan iuran retribusi itu dianut asas manfaat (benefit principles). Dalam asas ini besarnya pungutan ditentukan berdasarkan manfaat yang diterima oleh si penerima manfaat yang dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah ( Permana, 2013 ) 3. Dana Alokasi Umum (DAU) a. Pengertian Dana Alokasi Umum ( DAU ) Dana alokasi umum ( DAU ) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang di alokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah
11 22 dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU tersebut di alokasikan untuk provinsi dan kabupaten / kota.berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Pasal 27 jumlah keseluruhan DAU ditetapkan dalam APBN, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang kurangnya 26 % dari Pendapatan Dalam Negeri Neto. 2. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten / kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten / kota. 3. Jika penentuan proporsi tersebut belum dapat di hitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten / kota ditetapkan dengan imbangan 10 % dan 90 %. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar Daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal ( fiscal gap ) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah ( fiscal need ) dan potensi daerah ( fiscal capacity ). Alokasi DAU bagi daerha yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
12 23 MenurutNordiawan( 2012;56 ) DAU untuk suatu daerah di alokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, sedangkan alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Formula penghitungan DAU adalah: DAU = CELAH FISKAL + ALOKASI DASAR Dimana, CELAH FISKAL = Kebutuhan Fiskal + Kapasitas Fiskal Kebutuhan fiskal daerahmerupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum ( antara lain kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pengentasan kemiskinan ). Setiap kebutuhan pendanaan tersebut diukur secara berturut turut menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, PDRB, dan IPM, sedangkan kapasitas fiskal daerah dihitung berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil ( Nordiawan, 2012 ). b. Dasar Hukum DAU 1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; dan 2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
13 24 c. Alokasi DAU DAU dialokasikan untuk daerah propinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Pasal 27 bahwa besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kotaditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara propinsi dan kabupaten/kota. 4. Dana Alokasi Khusus ( DAK ) a. Pengertian Dana Alokasi Khusus ( DAK ) Dana Alokasi Khusus ( DAK ) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan pada daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional. Daerah tertentu adalah daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Dan program yang menjadi prioritas nasional dimuat dalam Renja Pemerintah tahun anggaran bersangkutan. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. b. Tujuan Kebijakan DAK Dalam website kebijakan DAK bertujuan : 1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan
14 25 penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah. 2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/ terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata. 3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur. 4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasaranadasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan,pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan umurekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang. Dengan adanya pengalokasian DAK diharapkan dapat mempengaruhi pengalokasian anggaran belanja modal, karena DAK cenderung akan menambah aset tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan pelayanan publik. c. Penetapan Kegiatan Khusus Kegiatan khusus yang akan di danai dari DAK di usulkan oleh Menteri teknis dan baru ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan
15 26 Pembangunan Nasional, sesuai dengan Renja Pemerintah. Ketetapan tentang kegiatan khusus tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan. d. Penghitungan Dana Alokasi Khusus Setelah menerima usulan kegiatan khusus, Menteri Keuangan melakukan penghitungan alokasi DAK, yang dilakukan melalui dua tahapan, yaitu: 1. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK. Daerah tersebut harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. 2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah, yang ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. e. Penetapan dan Penggunaan Dana Alokasi Khusus Menurut Nordiawan ( 2012; 59 ) Alokasi DAK per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, Penggunaan DAK harus dilakukan sesuai dengan Petunjuk Teknis Penggunaan DAK yang dikeluarkan oleh Menteri teknis. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas. Ada beberapa kewajiban yang melekat pada daerah penerima DAK, yaitu: a. Daerah penerima DAK wajib mencantumkan alokasi dan penggunaan DAK-nya didalam APBD.
16 27 b. Kecuali untuk daerah dengan kemampuan keuangan tertentu, daerah penerima DAK wajib menganggarkan Dana Pendamping dalam APBD sekurang-kurangnya 10% dari besaran alokasi DAK yang diterimanya. Dana pendamping tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan yang bersifat kegiatan fisik. c. Kepala daerah penerima DAK harus menyampaikan laporan triwulan yang memuat Laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK kepada Menteri Keuangan, Menteri teknis, dan Menteri Dalam Negeri. Penyampaian laporan dilakukan selambat lambatnya 14 hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir. 5. Dana Bagi Hasil ( DBH ) a.pengertian Dana Bagi Hasil ( DBH ) Menurut Nordiawan ( 2012;49 ) Dana bagi hasil ( DBH ) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan angka persentase tertentu didasarkan atas daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Selain karena pertimbangan politis, alasan lain dari pemberian dana bagi hasil ini adalah untuk mengurangi ketimpangan vertikal ( vertical imbalance ). Dua sumber Dana Bagi Hasil adalah pajak dan sumber daya alam. Pajak sendiri atas Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ), serta Pajak Penghasilan ( PPh ), baik dari WP Orang Pribadi dalam Negeri maupun dari PPh 21. Sedangkan dana bagi hasil dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum,
17 28 perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, serta pertambangan panas bumi. DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Pembagian dan mekanisme penghitungan Dana Bagi Hasil, baik pajak maupun Sumber Daya Alam diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. A. Dana Bagi Hasil Pajak 1. DBH Pajak Bumi dan Bangunan Penerimaan Negara dari PBB dibagi dengan imbangan 10 % untuk Pemerintah Pusat dan 90 % untuk daerah. DBH PBB ntuk daerah tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut: a. 16,2 % untuk provinsi yang bersangkutan. b. 64,8 % untuk kabupaten/kota bersangkutan. c. 9 % untuk biaya pemungutan. Sedangkan bagian pemerintah pusat, yang 10 % dari seluruh penerimaan PBB dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan kota, dengan rincian sebagai berikut: a. 6,5 % dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota. b. 3,5 % dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan
18 29 Perkotaanpada tahun anggaran sebelumnya mencapai / melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. 2. DBH Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Penerimaan Negara dari BPHTB dibagi dengan proporsi 20 % untuk Pemerintah Pusat dan 80 % untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar 80 % tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut: a. 16 % untuk provinsi yang bersangkutan. b. 64 % untuk kabupaten / kota yang bersangkutan. Bagian Pemerintah Pusat yang sebesar 20 % tadi dibagikan secara merata untuk seluruh kabupaten dan kota. 3. DBH Pajak Penghasilan Penerimaan Negara dari PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri ( WPOPDN ) dan PPh 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20 % dan sisanya yaitu sebesar 80 %, untuk Pemerintah Pusat. DBH PPh untuk daerah dilokasikan ke provinsi dan kabupaten / kota dengan rincian sebagai berikut: a. 8 % untuk provinsi yang bersangkutan. b. 12 % untuk kabupaten/ kota dalam provinsi yang bersangkutan ( 8,4 % untuk kabupaten / kota tempat WP terdaftar, dan 3,6 % untuk seluruh kabupaten / kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar )
19 30 6. Pengertian Belanja Modal Dalam laporan keuangan Pemda, akun belanja modal memegang peran yang sangat penting karena menunjukan besarnya pengeluaran kas untuk pembelian aset tetap. Sedangkan pada kenyataannya aset tetap pemda mempunyai proporsi terbesar dalam neraca Pemda. Oleh karena itu akan diuraikan definisi dan karakteristik dari belanja modal untuk membedakannya dengan jenis belanja lainnya. Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari suatu periode akuntansi. Untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai belanja modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dari kriteria aset tetap. Aset tetap mempunyai ciriciri/karakteristik sebagai berikut: berwujud, akan menambah aset pema, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 ( satu ) tahun, nilainya relatif material. Dan ciri-ciri/karakteristi tersebut diatas, diharapkan entitas dapat menetapkan kebijakan akuntansi mengenai batasan minimal nilai kapitalisasi suatu aset tetap atau aset lainnya ( treshold capitalization ), sehingga pejabat/aparat penyusun anggaran dan/atau penyusun laporan keuangan pemda mempunyai pedoman dalam penetapan belanja modal baik waktu penganggaran maupun pelaporan keuangan pemerintah. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu belanja dapat dikategorikan sebagai belanja modal jika:
20 31 a) Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang dengan demikian menambah aset pemda. b) Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemda. c) Perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual. Konsep nilai perolehan sebenarnya tidak hanya berlaku pada aset tetap saja, melainkan berlaku juga untuk barang persediaan. Belanja modal meliputi antara lain: belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi dan jaringan, aset tetap lainnya dan aset lainnya. Komponen belanja modal untuk perolehan aset tetap meliputi harga beli aset tetap ditambah semua biaya lain yang dikeluarkan sampai aset tetap tersebut siap untuk digunakan, misalnya biaya transportasi, biaya uji coba, dan lain-lain. Demikian juga pengeluaran untuk belanja perjalanan dan jasa yang terkait dengan perolehan aset tetap atau aset lainnya, termasuk didalamnya biaya konsultan perencana, konsultan pengawas, dan pengembangan perangkat lunak ( software ), harus ditambahkan pada nilai perolehan. Komponen-komponen tersebut harus dianggarkan dalam APBD sebagai belanja modal dan bukan sebagai belanja operasional. Tentu harus diperhatikan nilai kewajaran dan kepatutan dari biaya-biaya lain diluar harga beli aset tetap tersebut. Disamping belanja modal untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya, belanja untuk pengeluaran pengeluaran sesudah perolehan aset tetap atau aset lainnya dapat juga dimasukkan
21 32 sebagai belanja modal. Pengeluaran tersebut dapat dikategorikan sebagai belanja modal jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas, dan volume aset yang telah dimiliki. b) Pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimal nilai kapitalisasi aset tetap/aset lainnya. Aset tetap yang dimiliki pemerintah daerah sebagai akibat adanya belanja modal merupakan syarat utama dalam memberikan pelayanan publik.untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintah daerah sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial. Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain dan membeli. Namun biasanya cara yang dilakukan dalam pemerintahan adalah dengan cara membeli. Proses pembelian yang dilakukan umumnya melalui sebuah proses lelang atau tenderyang cukup rumit. Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama (Syaiful, 2006) : 1. Belanja Modal Tanah
22 33 Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembeliaan/pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. 3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 4. Belanja modal jalan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan/ penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan,
23 34 dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. Penelitian tentang faktor yang mempengaruhi belanja modal sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian terdahulu yang menjadi rujukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut: TABEL 2.1 PenelitianTerdahulu No Peneliti Tahun Judul Hasil Penelitian 1 Nugraeni 2011 Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), DAN Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah 2 Sheila Ardhian Nuarisa 2013 Pengaruh PAD, DAU, dan DAK Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), DAN Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki hubungan positif dengan pengeluaran lokal dalam tahun berjalan t- 1 DAU, DAK t 1 dan PAD t 1 adalah faktor penting untuk memprediksi Anggaran belanja Daerah Pemerintah Daerah Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap belanja modal pada kabupaten/kota Jawa Tengah
24 35 No Peneliti Tahun Judul Hasil Penelitian 3 Mawarni, Darwanis, dan Syukriy Abdullah 4 Phungky Ardhani 2013 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Modal Serta Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Pada Kabupaten/Kota Aceh 2011 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Penelitian ini membuktikan bahwa PAD berpengaruh positif terhadap belanja modal dan pertumbuhan ekonomi, DAU berpengaruh negatif terhadap belanja modal dan berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara belannja modal tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini membuktikan bahwa Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus berpengareuh positif dan signifikan terhadap pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Sedangkan, Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal. 5 Maryadi 2014 Pengaruh PAD, DAU, DBH, SiLPA dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal ( Studi Empiris Pada Pemerintahan Provinsi Se Indonesia periode 2012 Penelitian Ini Menyimpulkan bahwa PAD, DAU, DBH, SiLPA dan Luas Wilayah berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal
25 36 No Peneliti Tahun Judul Hasil Penelitian 6 Arbie Gugus Wandira 2012 Pengaruh PAD, DAU, DAK, dan DBH terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Pemerintahan Provinsi Se Indonesia Penelitian Ini Menyimpulkan bahwa DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal, sedangkan DAU dengan arah negatif. Sumber : Dari beberapa jurnal B. Rerangka Pemikiran 1. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Pengalokasian Belanja Modal Daerah yang ditunjang dengan sarana dan prasarana memadai akan berpengaruh pada tingkat produktivitas masyarakatnya dan akan menarik investor untuk menanamkan modalnya pada daerah tersebut yang pada akhirnya akan menambah pendapatan asli daerah. Peningkatan PAD diharapkan mampu memberikan efek yang signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal oleh pemerintah. Peningkatan investasi modal (belanja modal) diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembanguna yang tercermin dari adanya peningkatan PAD (Mardiasmo, 2009). Dengan
26 37 kata lain, pembangunan berbagai fasilitas sektor publik akan berujung pada peningkatan pendapatan daerah. Pelaksanaan desentralisasi membuat pembangunan menjadi prioritas utama pemerintah daerah untuk menunjang peningkatan PAD. 2. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Belanja Modal Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah dapat menggunakan dana ini untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Pemerintah pusat mengharapkan dengan adanya desentralisasi fiskal pemerintah daerah lebih mengoptimalkan kemampuannya dalam mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga tidak hanya mengandalkan DAU. Dengan adanya transfer DAU dari Pemerintah Pusat maka daerah bisa lebih fokus untuk menggunakan PAD yang dimilikinya untuk membiayai kegiatannya dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal yang menunjang tujuan pemerintah yaitu meningkatkan pelayanan publik.
27 38 3. Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Belanja Modal DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan prioritas nasional. Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan publik dengan umur ekonomis panjang. Dengan diarahkannya pemanfaatan DAK untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan dalam belanja modal. 4. Pengaruh Dana Bagi Hasil terhadappengalokasian Belanja Modal DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang di alokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi ( UU No. 33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ). DBH yang ditransfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah terdiri dari 2 jenis, yaitu DBH pajak dan DBH bukan Pajak ( Sumber Daya Alam ). Berdasarkan UU PPh yang baru ( UU No. 17 Tahun 2000 ), mulai tahun anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan ( PPh ) orang pribadi ( personal income tax ), yaitu PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai
28 39 kompensasi dan penyelaras bagi daerah daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara ( APBN ). Volume perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan besarnya tingkat pendapatan sebagai basis pajak, dengan demikian daerah dengan tingkatpendapatan yang lebih tinggi cenderung akan memperoleh DBH pajak yang lebih tinggi pula ( Wahyuni & Adi, 2009 ). DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerinah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah akan mampu menetapkan belanja modal yang semakin besar jika anggaran DBH semakin besar pula, begitupun sebaliknya semakin kecil belanja modal yang akan ditetapkan jika anggaran DBH semakin kecil. DBH berpengaruh positif terhadap pengalokasian belanja modal. Berdasarkan uraian di atas maka kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
29 40 PENDAPATAN ASLI DAERAH DANA ALOKASI UMUM DANA ALOKASI KHUSUS H1 H2 H3 H4 BELANJA MODAL DANA BAGI HASIL GAMBAR 2.1 RERANGKA PEMIKIRAN C. Hipotesis Berdasarkan teori, bukti empiris dan permasalahan yang terjadi, maka dapat dikemukakan suatu jawaban yang bersifat sementara yaitu, sebagai berikut: Ha 1 : Ha 2 : Ha 3 : Ha 4 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Modal Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap Belanja Modal Dana Aloksi Khusus berpengaruh terhadap Belanja Modal Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap Belanja Modal
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi.
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua
BAB II LANDASAN TEORI A. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah (
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Agensi (Agency Theory) a. Hubungan Keagenan dalam Penganggaran Sektor Publik Teori keagenan yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen berakar pada
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka, akan dibahas lebih lanjut mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa Lebih Perhitungan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat menjadi APBD adalah suatu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menganalisis hubungan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. yang mana dinyatakan oleh Jansen dan Meckling (1976), bahwa hubungan
BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Agency Theory Grand Theory dalam penelitian ini menggunakan Agency Theory, yang mana dinyatakan oleh Jansen dan Meckling (1976),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim & Kusufi (2012) yaitu: Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN
44 BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN Adanya UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan desentralisasi setelah sebelumnya berdasarkan UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan pendekatan-pendekatan yang menjelaskan pengertian Belanja Modal, Fiscal Stress, Dana Bagi Hasil
Lebih terperinciDaerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,
APBD merupakan suatu gambaran atau tolak ukur penting keberhasilan suatu daerah di dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Artinya, jika perekonomian daerah mengalami pertumbuhan, maka akan berdampak
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:
Lebih terperinciHUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Belanja Modal Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang memanfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Konsep Pendapatan Asli Daerah 2.1.1.1 Pendapatan Asli Derah Setiap daerah memiliki wewenang dan kewajiban untuk menggali sumber sumber keuangannya sendiri
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi merupakan suatu langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya pada bidang pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan. Reformasi tahun
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. prinsipal dan agen untuk menganalisis hubungan antara perusahaan dengan
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Penggunaan teori keagenan telah dipergunakan secara luas baik di sektor privat maupun sektor publik. Para ekonom menggunakan struktur hubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah di Indonesia telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah Suparmoko (2002: 18) Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi Berdasarkan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Menurut Halim dan Abdullah (2006) Teori Keagenan yakni teori yang mengaitkan hubungan prinsipal dengan agen yang berasal
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah
Lebih terperinciANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH
ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH DEFINISI Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah suatu daftar atau penjelasan terperinci mengenai penerimaan dan pengeluaran negara untuk suatu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan. perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori ini, akan dibahas lebih jauh mengenai Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Belanja Modal. Kemudian
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORI
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2008:96) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok PAD dipisahkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Akuntansi Pemerintahan Saat ini terdapat perhatian yang lebih besar terhadap praktik akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberilakukannya otonomi daerah. Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26,
Lebih terperinciINUNG ISMI SETYOWATI B
PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA SE JAWA TENGAH PERIODE 2006-2007)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN
BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 memberikan dampak besar bagi semua aspek kehidupan, yakni era reformasi. Reformasi yang terjadi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan Indonesia menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya, penelitianpenelitian tersebut adalah : Darwanto dan Yustikasari (2014) yang meneliti
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan dalam dunia bisnis dapat dideskripsikan sebagai hubungan antara pemegang saham
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan
Lebih terperinciDANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH
DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN
BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 1.1 Tinjauan Teoretis 1.1.1 Otonomi Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan transparansi dan akuntabilitas sudah menjadi kewajiban yang harus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada
Lebih terperinciDANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
DANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN Dgchuank.blogspot.com I. PENDAHULUAN Dalam rangka menciptakan suatu sistem perimbangan keuangan yang proporsional, demokratis, adil,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kinerja Pelayanan Publik Otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia sampai saat ini merupakan wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
Lebih terperinci3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil peneletian ini diharapkan bisa menjadi. sumber referensi dalam melakukan peneletian lainnya yang sejenis.
modal sehingga Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan potensi daerah secara optimal. 3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil peneletian ini diharapkan bisa menjadi sumber referensi dalam melakukan peneletian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah sering
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU
Lebih terperinciA. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah dikenal dengan Anggaran Pendapatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Stewardship dalam Pemerintahan Teori stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Otonomi fiskal daerah Hubungan antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah biasanya ditandaidengan adanya peran yang dominan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kinerja Keuangan 1.1 Definisi Kinerja Keuangan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dinyatakan bahwa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pendapatan Asli Daerah a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Mardiasmo (2002:132), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dan sektor
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Stewardship Penelitian ini menggunakan teori Stewardship yang menjelaskan tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu melainkan
Lebih terperinciCAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN
CAPAIAN KINERJA Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Undang Undang Nomor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia pada tahun 1999 menjadi titik tolak tumbuh kembangnya desentralisasi fiskal yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Pelaksanaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang 22 tahun 1999 (direvisi menjadi UU 32 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah memisahkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam manajemen keuangan daerah, reformasi ditandai dengan pelaksanaan otonomi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam manajemen keuangan daerah, reformasi ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah wewenang yang dimiliki daerah otonom untuk mengatur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI tahun 1945, pemerintah daerah berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan
Lebih terperinci