PENGARUH VARIASI KOMPOSISI DAN PROSES PENDINGINAN TERHADAP KARAKTERISTIK MAGNET BARRIUM FERRITE (Dyah Sawitri, ST, MT; Ratih Resti Astari)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH VARIASI KOMPOSISI DAN PROSES PENDINGINAN TERHADAP KARAKTERISTIK MAGNET BARRIUM FERRITE (Dyah Sawitri, ST, MT; Ratih Resti Astari)"

Transkripsi

1 PENGARUH VARIASI KOMPOSISI DAN PROSES PENDINGINAN TERHADAP KARAKTERISTIK MAGNET BARRIUM FERRITE (Dyah Sawitri, ST, MT; Ratih Resti Astari) Progra Studi S-1 Teknik Fisika Fakultas Teknologi Industri - Institut Teknologi Sepuluh Nopeber Kapus ITS Keputih Sukolilo Surabaya ABSTRAK Telah dilakukan proses pebuatan agnet Barriu Ferrite dengan enggunakan bahan dasar Fe 2 O 3 dan BaCO 3 dengan variasi Fe 2 O 3 dan BaCO 3 dan proses pendinginan. Untuk variasi dilakukan variasi persen assa BaCO 3 terhadap Fe 2 O 3 dan variasi proses pendinginan dilakukan dengan variasi edia pendinginan yang eninjau pada kecepatan pendinginannya. Dala penelitian ini variasi yang digunakan adalah 5%, 10 %, 15%, 16,98% ( ideal), 20%, 25% dan 30%. Sedangkan untuk variasi esia pendinginan yang digunakan adalah pendinginan di dala furnace, pendinginan di udara terbuka, pendinginan dengan air (suhu kaar), dan pendinginan dengan air 4 o C. Karakterisasi yang dilakukan terhadap agnet Barriu Ferrite eliputi induksi reanen (Br), densitas dan struktur ikro agnet. Nilai Br terbesar adalah 39,25 Gauss yang didapatkan pada ideal (berdasarkan stoikioetri) dan pada proses pendinginan paling cepat dengan edia air dingin 4 o C. Sedangkan dari hasil struktur ikro dapat dikaitkan hubungan antara ukuran butir dengan nilai induksi reanen yang dihasilkan oleh tiap sapel.. Kata kunci: Barriu Ferrite, Induksi Reanen, Struktur Mikro. I PENDAHULUAN Penelitian tentang agnet telah banyak dilakukan untuk engetahui karakteristik sifat agnet. Hal ini enjadi sangat penting, karena aplikasi agnet dala kehidupan anusia pun sangat luas. Bahan agnet ferrite di ala banyak terdapat pada bijih besi, biasanya berbentuk oksida besi (Fe 2 O 3 ) yang disebut heatite dan agnetite (Fe 3 O 4 ). Heatite dan agnetite eiliki karakteristik yang berbeda, diana heatite lebih sering digunakan sebagai bahan baku dari agnet keras sedangkan agnetite erupakan bahan baku dari agnet lunak. Perbedaan karakteristik dari agnetite dan heatite tidak hanya dari fisiknya naun juga struktur ato dan sifat keagnetannya. Magnetite eiliki kandungan besi yang lebih besar (72%) daripada heatite (70%). Pada pebuatan agnet keras, digunakan Fe 2 O 3 yang akan dicapur dengan zat aditif berupa BaCO 3 sehingga akan enghasilkan BaFe 12 O 19. Dari persaaan stoikioetri didapatkan perbandingan assa capuran antara Fe 2 O 3 dan BaCO 3. Dari perbandingan assa tersebut ditetapkan variasi Fe 2 O 3 dan BaCO 3 yang lain berdasarkan persen assa. Proses pebuatan agnet keras pada penelitian ini enggunakan etalurgi serbuk. Proses etalurgi serbuk eliputi proses preparasi serbuk, pencapuran serbuk, kalsinasi, kopaksi dan sintering. Pada penelitian-penelitian sebelunya telah banyak dianalisa pengaruh suhu kalsinasi, besarnya tekanan kopaksi aupun suhu sintering, aka pada penelitian ini akan difokuskan pada tahapan setelah sintering, yaitu proses pendinginan. Proses pendinginan yang berbeda akan diaplikasikan pada sapel yang telah disintering. Proses pendinginan yang digunakan adalah proses pendinginan sangat cepat (dengan edia air), pendinginan cepat (udara terbuka) dan pendinginan labat (tanpa udara luar/di dala furnace). Dari perlakuan yang berbeda ini diharapkan dapat dianalisa struktur ikro dan hubungan pengaruh perlakuan ini terhadap besarnya induksi reanen agnet. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat-sifat Magnet Sifat-sifat yang terdapat dala benda agnetik antara lain adalah : Induksi reanen (Br) Induksi agnetik yang tertinggal dala sirkuit agnetik (besi lunak) setelah eindahkan/ enghilangkan pengaruh bidang agnetik. Ketika arus dialirkan pada sebuah kuparan yang elilit besi lunak aka terjadi orientasi pada partikelpartikel yang ada dala besi. Orientasi ini engubah/ engarahkan pada kutub utara dan selatan. Pereabilitas agnet (μ) Daya hantar atau pereabilitas agnet (diberi labang μ) erupakan paraeter bahan yang enentukan besarnya fluks agnetik. Bahan feroagnetik eiliki pereabilitas yang tinggi. μ = μ o x μ r (2.1) diana μ o = 1,256 G.c/A Untuk bahan ferroagnetik, pereabilitas relatif μ r jenis bahan tersebut lebih besar daripada 1. Pereabilitas dari beberapa edia yang hendak diukur pada prinsipnya adalah dengan enepatkannya dala suatu kawat yang lurus dan panjang atau dala gulungan yang elingkar atau solenoida, keudian diukur resultante induksi keagnetannya, sehingga diperoleh sebuah tetapan baru µ dan diturunkan enjadi suseptibilitas relatif. Dengan nilai suseptibilitas inilah aka akan dapat diketahui jenis bahan agnet. = μ μo = 1 untuk vaku (2.2) 1

2 > 1 untuk bahan paraagnetik < 1 untuk bahan diaagnetik >> 1 untuk bahan ferroagnetik Gaya koersif (Hc) Medan daya yang diperlukan untuk enghilangkan induksi reanen setelah elalui proses induksi elektroagnetik. Pada besi lunak atau soft agnetic alloys besarnya gaya koersif yang diperlukan lebih kecil daripada agnet peranen. Gaya gerak agnetis (Θ) Gaya gerak agnetis ialah julah dari seua arus dala beberapa penghantar yang dilingkupi oleh edan agnet (atau oleh garis fluks agnet) Fluks agnetik (Φ) Fluks agnetik total ialah julah dari seua garis fluks agnetik; ini berarti bahwa fluks saa besar disebelah dala dala dan di sebelah luar kuparan. Reluktansi agnet (R ) Relukstansi agnet tergantung dari panjang jejak fluks agnetik, bidang penapang lintang A yang ditebus fluks agnetik dan sifat agnet bahan, tepat edan agnet. Suseptibilitas Magnetik Suatu solenoida panjang dengan n lilitan per panjang satuan, enyalurkan arus I. Medan agnetik akibat arus dala solenoida tersebut disebut sebagai edan yang dikerahkan, B o. Bahan berbentuk silinder keudian ditepatkan di dala solenoida. Medan yang dikerahkan solenoida ini akan eagnetkan bahan tersebut sehingga bahan tersebut eiliki agnetisasi M. Medan agnet resultan B di suatu titik di dala solenoida dan di tepat yang jauh dari ujung-ujungnya akibat arus dala solenoida ditabah bahan yang diagnetkan ini ialah [4] B = B 0 + μ 0 M (2.3) B = μ 0 H + μ 0 M (2.4) Untuk bahan paraagnetik dan feroagnetik, M epunyai arah yang yang saa dengan B 0. Untuk bahan paraagnetik dan feroagnetik peagnetan adalah berbanding lurus dengan edan agnetik yang dikerahkan untuk enghasilkan penyearahan dipol agnetik dala bahan tersebut. Dengan deikian dapat ditulis Dengan B0 0 M (2.5) erupakan bilangan tanpa diensi yang disebut suseptibilitas agnetik. Persaaan 2.6 dengan deikian dapat dituliskan B B d M B 1 e Suseptibilitas agnetik adalah ukuran dasar bagaiana sifat keagnetan suatu bahan yang erupakan sifat agnet bahan yang ditunjukkan dengan adanya respon terhadap induksi edan agnet yang erupakan rasio antara agnetisasi dengan intensitas edan agnet. Dengan engetahui nilai suseptibilitas agnetik suatu bahan, aka dapat diketahui sifat-sifat agnetik 2 lain dari bahan tersebut. Suseptibilitas agnetik sebagian besar aterial tergantung pada teperatur, tetapi beberapa aterial (feroagnetik dan ferrite) tergantung pada H. Secara uu dapat ditulis sebagai berikut: B 0( H M) 0H 0 H 0(1 ) H (2.7) dan 1 (2.8) r sehingga dari persaaan 2.1, 2.7 dan 2.8 didapatkan B = μ H (2.9) 0 adalah pereabilitas ruang hapa 1,256 gauss.c/apere. Loga feroagnetik eiliki pereabilitas agnetik sangat tinggi, ineral dan batuan eiliki suseptibilitas kecil dan pereabilitas agnetik 1. Untuk bahan paraagnetik, berupa bilangan positif kecil yang bergantung pada teperatur. Untuk bahan diaagnetik, berupa konstanta negatif kecil yang tidak bergantung pada teperatur. Persaaan (2.8) dan (2.9) tidak terlalu berguna untuk bahan feroagnetik karena bergantung pada B 0 dan pada keadaan peagnetan bahan itu sebelunya. Untuk edan agnet, H, yang berjenis solenoida bisa diketahui dengan persaaan H = N x I/L (2.10) Diana N adalah julah kuparan solenoida, I adalah arus yang egalir, dan L adalah panjang solenoida. Seua bahan dapat diklasifikasikan jenis keagnetannya enjadi lia kategori yaitu ferroagnetik, paraagnetik, diaagnetik, antiferroagnetik, dan ferriagnetik [Barsou, 1997]. Seuanya dibedakan dari keteraturan arah doain pada bahan agnet tersebut. a b c (2.6) Gabar 1. arah doain (a) diaagnetik (b) paraagnetik (c) ferroagnetic (d) antiferroagnetic (e) ferriagnetic 1. Diaagnetik Bahan diaagnetik adalah bahan yang resultan edan agnet atois asing-asing ato atau olekulnya nol, tetapi orbit dan

3 spinnya tidak nol (Halliday & Resnick, 1989). Bahan diaagnetik tidak epunyai oen dipol agnet peranen. Jika bahan diaagnetik diberi edan agnet luar, aka elektron-elektron dala ato akan berubah gerakannya sedeikian hingga enghasilkan resultan edan agnet atois yang arahnya berlawanan. 2. Paraagnetik Bahan paraagnetik adalah bahan yang resultan edan agnet atois asing-asing ato/olekulnya tidak nol, tetapi resultan edan agnet atois total seluruh ato/olekul dala bahan nol. Hal ini disebabkan karena gerakan ato/olekul acak, sehingga resultan edan agnet atois asing-asing ato saling eniadakan. Bahan ini jika diberi edan agnet luar, aka elektron-elektronnya akan berusaha sedeikian rupa sehingga resultan edan agnet atoisnya searah dengan edan agnet luar. Sifat paraagnetik ditibulkan oleh oen agnetik spin yang enjadi terarah oleh edan agnet luar. Pada bahan ini, efek diaagnetik (efek tibulnya edan agnet yang elawan edan agnet penyebabnya) dapat tibul, tetapi pengaruhnya sangat kecil. 3. Ferroagnetik Bahan ferroagnetik adalah bahan yang epunyai resultan edan atois besar. Hal ini terutaa disebabkan oleh oen agnetik spin elektron. Pada bahan ferroagnetik banyak spin elektron yang tidak berpasangan, isalnya pada ato besi terdapat epat buah spin elektron yang tidak berpasangan. Masing-asing spin elektron yang tidak berpasangan ini akan eberikan edan agnetik, sehingga total edan agnetik yang dihasilkan oleh suatu ato lebih besar. 4. Antiferroagnetik Jenis ini eiliki arah doain yang berlawanan arah dan saa pada kedua arah. Arah doain agnet tersebut berasal dari jenis ato saa pada suatu kristal. Contohnya MnO, MnS, dan FeS. Pada unsur dapat diteui pada unsur Croiu, tipe ini eiliki arah doain yang enuju dua arah dan saling berkebalikan. Jenis ini eiliki teperature Curie yang rendah sekitar 37º C untuk enjadi paraagnetik. 5. Ferriagnetik Jenis tipe ini hanya dapat diteukan pada capuran dua unsur antara paraagnetik dan ferroagnetik seperti agnet bariu ferrite diana bariu adalah jenis paraagnetik dan Fe adalah jenis unsur yang asuk ferroagnetik. 2.3 Kurva Histerisis Untuk bahan ferroagnetik agnetisasi bahan M tidaklah berbanding lurus dengan intensitas agnet H. Hal ini tapak dari kenyataan bahwa harga suseptibilitas agnetik K bergantung dari harga intensitas agnet H. Bentuk uu kurva edan agnet B sebagai fungsi intensitas agnet H terlihat pada gabar 2 kurva B(H) seperti ini disebut kurva induksi noral. Pada gabar 2 tapak bahwa kurva tidak berbentuk garis lurus sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan kenaikan harga H, ula-ula B turut naik dengan lancar, tetapi ulai dari satu titik tertentu harga H hanya enghasilkan sedikit kenaikan B dan akin laa B hapir konstan. Keadaan ini disebut dengan kedaan saturasi, yaitu keadaan di ana edan agnet B tidak banyak berubah. Harga edan agnet untuk keadaan saturasi disebut dengan Bs atau edan agnet saturasi. Gabar 2. Kurva induksi noral Gabar 3. Kurva Histeresis agnetik Pada gabar 2.7 tapak bahwa setelah encapai nol harga intensitas agnet H dibuat negatif (dengan ebalik arus lilitan), kurva B(H) akan eotong subu pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk ebuat rapat fluks B=0 atau enghilangkan fluks dala bahan. Intensitas agnet Hc ini disebut koersivitas bahan. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sapai encapai saturasi dan dikebalikan elalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada harga H positif hingga saturasi kebali, akakurva B(H) akan ebentuk satu lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang epunyai koersivitas tinggi keagnetannya tidak udah hilang. Bahan seperti itu baik untuk ebuat agnet peranen. 2.5 Teknologi Serbuk Secara prinsip ada dua etode utaa yang digunakan untuk ebuat agnet. Pertaa enggunakan teknologi pengecoran atau pelelehan, dan yang kedua adalah dengan enggunakan teknologi serbuk. Produksi agnet dengan teknologi pengecoran biasanya enghasilkan bahan agnet yang lebih baik, tetapi dala beberapa prosesnya eerlukan energi panas yang sangat besar sehingga dipandang tidak efisien. Sedangkan produksi dengan teknologi serbuk, eski sifat keagnetan yang diperoleh bukan yang tertinggi,tetapi dala pengerjaannya lebih udah dan lebih efisien. Dala prakteknya, pebuatan agnet 3

4 dengan cara kedua ini eerlukan bahan dasar berupa serbuk yang berukuran sangat kecil, yaitu dala orde icroeter (10-6 ). Ukuran serbuk sekecil ini diperlukan agar koponen-koponen pebentuk bahan agnet dapat saling berdeposisi (bereaksi) ketika bahan engalai peanasan (kalsinasi). Sebagaiana yang dilakukan oleh beberapa peneliti, penyediaan serbuk bahan agnetik yang halus biasanya dilakukan dengan enggunakan esin ball illing. Teknologi serbuk adalah teknik pebuatan loga dengan bahan dasar berupa serbuk halus yang keudian dipress dala suatu cetakan dan keudian disinter di bawah titik cairnya. Langkah langkah pada fabrikasi agnet dengan etode serbuk adalah: Preparasi serbuk Bahan untuk ebuat agnet disiapkan, yaitu Fe 2 O 3 dan BaCO 3. Bahan tersebut berupa serbuk yang dihaluskan terlebih dahulu hingga ukuran 400esh. Keudian ditibang sesuai perbandingan yang sesuai. Pencapuran serbuk Bahan bahan yang telah disiapkan keudian dilakukan pencapuran kering hingga erata. Keudian capuran tersebut ditabahkan larutan untuk eratakanya. Setelah itu hasil capuran yang berupa slurry (lupur) dikeringkan dala oven pada teperatur 100 C, dengan tujuan untuk enghilangkan alkohol. Kalsinasi Kalsinasi yaitu proses peanasan dengan enggunakan furnace untuk ebentuk senyawa dari bahan bahan yang telah dicapu.hasil kalsinasi berupa gupalan padat, sehingga perlu dihaluskan kebali dengan ortar agar enjadi serbuk kebali. Proses kalsinasi adalah peanasan pada suhu tinggi yang fungsinyauntuk enguraikan gara-gara enjadi oksida. Selain itu kalsinasi juga diaksudkan untuk eperbesar ukuran butir dari butiran halus yang sifat packingnya kurang baik dan proses ini juga sangat epengaruhi sifat akhir ferit. Kopaksi Kopaksi adalah erupakan proses pencetakan atau peletisasi bahan agnet keraik dengan tekanan. Bahan yang yang telah dihaluskan diasukkan cetakan keudian ditekan untuk beberapa waktu. Sehingga bahan yang berupa serbuk akan enyatu. Penekanan adalah salah satu cara untuk eadatkan serbuk enjadi bentuk yang diinginkan. Pensinteran Pensinteran adalah proses pengikatan partikel2 oleh panas. Pensinteran adalah proses agloerasi utaa untuk hapir seua jenis keraik (kecuali gelas), untuk ebuat produk-produk loga serbuk dan untuk engikat aterial polierik tertentu (isalnya teflon). tanpa adanya cairan saa dengan prinsip pertubuhan butir, yaitu pengurangan energi perukaan dan energi batas, sehingga akan einialkan daerah batas. III METODOLOGI PENELITIAN Diagra alir penelitian ini adalah sebagai berikut. PENGUJIAN INDUKSI REMANEN START Fe3O4 PENGAYAKAN PEMANASAN Fe3O4 Fe2O3 PENCAMPURAN Fe2O3 + BaCO3 KALSINASI KOMPAKSI SINTERING VARIASI PROSES PENDINGINAN MAGNETISASI PENGUJIAN DENSITAS ANALISA DATA KESIMPULAN STOP Gabar 6. Diagra alir penelitian PENGUJIAN STRUKTUR MIKRO 3.1 Peralatan dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dala penelitian ini adalah sebagai berikut : Fe 3 O 4 BaCO 3 Ayakan 400 esh Tibangan Mortar Cetakan Penekan hidrolik Furnace alat kopaksi 3.2 Langkah-langkah Pebuatan Sapel Langkah-langkah yang dilakukan dala pebuatan sapel ini adalah sebagai berikut : 1. Penghalusan Serbuk Fe 3 O 4 dihaluskan dengan enggunakan ortar hingga partikelnya encapai ukuran 400 esh atau 38 μ. Agar ukuran serbuk erata aka dilakukan pengayakan enggunakan ayakan dengan ukuran 400 esh. 2. Peanasan Fe 3 O 4 Setelah ukuran serbuk Fe 3 O 4 encapai 400 esh aka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah 4

5 eanaskan Fe 3 O 4 di atas suhu 300 o C agar Fe 3 O 4 berubah enjadi Fe 2 O 3 akibat proses peanasan tersebut. Hal ini ditandai dengan perubahan warna serbuk Fe 3 O 4 yang berwarna hita berubah enjadi Fe 2 O 3 yang berwarna erah bata. 3. Pencapuran bahan dasar Fe 2 O 3 hasil peanasan dicapur dengan serbuk BaCO 3 yang erupakan zat aditif dala pebuatan agnet peranen ini. Gabar 7. Fe 2 O 3 dan BaCO 3 Pencapuran dilakukan dengan evariasikan assa BaCO 3 dan Fe 2 O 3 yaitu sebesar 5%, 10%,15, 16,98% ( ideal), 20%, 25% dan 30%. Sedangkan variasi antara BaCO 3 dan Fe 2 O 3 sebagai berikut : Persentase (%) BaCO 3 (gr) Fe 2 O 3 (gr) ,67 1 4, Pencapuran dilakukan dengan enggerus BaCO 3 dan Fe 2 O 3 hingga tercapur rata dengan enggunakan ortar. Keudian pencapuran selanjutnya dilakukan di dala larutan alkohol. Dengan kondisi 40% padatan dan 60% alkohol dan dipanaskan di atas agnetic stirrer dengan suhu 100 o C untuk enghilangkan alkohol. Keudia hasilnya digerus dengan enggunakan ortar agar tidak enggupal. 4. Kalsinasi Setelah bijih besi dan BaCO 3 dicapur, dilakukan kalsinasi dikalsinasi dala furnace dengan laju peanasan 10 C/enit sapai teperatur 500 C ditahan selaa 30 enit. Peanasan dilakukan pada teperatur 1000 C ditahan selaa 3 ja, keudian peanasan turun sapai 475 C dengan laju 40 C/enit. Hasil kalsinasi berbentuk gupalan sehingga perlu digerus kebali hingga tidak enggupal lagi. T ( o C) 500 o C ½ ja 1000 o C 3 ja t (ja) Gabar 8. Diagra perlakuan panas pada kalsinasi 5. Kopaksi Serbuk capuran yang telah dikalsinasi dan telah dihaluskan kebali, diasukkan dala cetakan besi. Cetakan dapat enekan dua arah, berdieter 1,2 c. Tekanan kopaksi yang digunakan 4 ton dan ditahan sekitar 5 enit. 6. Sintering Hasil cetakan keudian diasukkan ke dala tungku Furnace pada teperatur 1200 C dengan holding tie 45 enit. Dengan laju peansan dan pendinginan sekitar 10 C/enit. Sebelu encapai suhu yang diinginkan, pada saat suhu sapai teperatur 500 C ditahan selaa 30 enit dengan laju peanasan 10 C/enit ketika suhu encapai 1100 C keudian ditahan selaa 45 enit, keudian peanasan turun sapai 475 C dengan laju 40 C/enit. T ( o C) 500 o C ½ ja 1100 o C 45 enit t (ja) Gabar 9. Diagra perlakuan panas pada proses sintering 7. Perlakuan pendinginan yang berbeda Setelah disintering aka sapel-sapel agnet dikenai perlakuan pendinginan yang berbeda. Terdapat tiga perlakuan proses pendinginan yaitu proses pendinginan labat, cepat dan sangat cepat. Pada proses pendinginan labat, sapel dibiarkan di dala furnace hingga encapai suhu ruang. Pada proses pendinginan cepat, sapel diletakkan di udara terbuka hingga encapai suhu noral. Sedangkan pada proses pendinginan sangat cepat, sapel diasukkan ke dala air suhu noral. 8. Magnetisasi Magnetisasi dilakukan dengan enggunakan solenoida yang enggunakan 750 lilitan selaa 10 enit dengan arus yang dikeluarkan sebesar 1 Apere. 9. Pengujian Pengujian yang dilakukan eliputi pengukuran induksi reanen, pengukuran densitas dan pengaatan struktur ikro agnet. Pengukuran induksi reanen dilakukan dengan enggunakan Gausseter. Gabar 10. Gausseter Pengukuran densitas dilakukan dengan etode sederhana yaitu dengan pengukuran assa dan volue sehingga dapat diketahui densitasnya. Untuk pengabilan data struktur ikro dilakukan dengan tahapan preparasi sapel agnet terlebih dahulu selanjutnya dilakukan pengabilan gabar struktur ikro agnet dengan enggunakan ikroskor digital dengan 5

6 perbesaran 400x. Zat etsa yang digunakan dala preparasi sapel adalah HNO 3. Pengukuran pereabilitas (μ) agnet dilakukan dengan ebandingkan nilai B dan H (persaaan 2.9). Nilai H diketahui dengan perhitungan saa dengan persaaan IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Data Pengujian yang dilakukan eliputi pengujian induksi reanen agnet, densitas, dan struktur ikro agnet hasil pengujian induksi reanen Pengujian induksi reanen dilakukan dengan enggunakan gausseter setelah sapel diagnetisasi. Berikut erupakan hasil pengukuran dengan enggunakan Gausseter. Tabel 4.1 Induksi Reanen Sapel Setelah Magnetisasi edia pendinginan Air Udara Furnace (suhu Terbuka kaar) Air (4 o C) 5% 2,67 3,83 4 8,37 10% ,1 15% 15, ,8 27,17 16,98% 17,7 24,78 29,3 39,25 20% 3, % 2,5 3, % Hasil pengukuran Gausseter terhadap sapel agnet yang telah dibuat enghasilkan nilai Br yang dapat dilihat pada tabel 4.1. Dibuat rata-rata nilai Br untuk tiap sapel yang engalai proses pendinginan yang saa. Hal ini dilakukan untuk eperudah dala penganalisaan data. Dari hasil pada tabel 4.1 inilah dibuat grafik 4.1 dan 4.2 sebagai proyeksi dari data yang ada. Br edia pendinginan 5% 10% 15% 16,98% 20% Gabar 4.1 Hubungan Proses Pendinginan terhadap Br Keterangan : Media Pendinginan 1 = furnace cooling, proses pendinginan sangat labat di dala furnace. Media Pendinginan 2 = air cooling, proses pendinginan labat di udara terbuka. Media Pendinginan 3 = water cooling, proses pendinginan cepat di dala air suhu kaar Media Pendinginan 4 = cold water cooling, proses pendinginan sangat cepat dengan enggunakan air 4 o C Br 15 (Gs) Koposisi (%) Gabar 4.2 Hubungan Koposisi terhadap Br Dari grafik 4.1, hubungan proses pendinginan terhadap induksi reanen (Br), terlihat bahwa grafik akan seakin naik untuk setiap, dengan edia pendinginan furnace hingga edia pendinginan air dingin 4 o C. Subu x pada grafik 4.1 erupakan variasi proses pendinginan yang dilakukan terhadap sapel setelah disintering, diana variasi proses pendinginan berdasarkan edia pendinginanya berpengaruh terhadap laju pendinginan sapel. Sehingga dari subu x paling kiri ke kanan engindikasikan laju peninginan yang seakin cepat. Nilai Br tertinggi didapatkan pada 16,98% dengan proses pendinginan di dala air suhu 4 0 C yaitu sebesar 39,25 Gs. Dan nilai Br terendah didapatkan pada 25% dengan proses pendinginan di dala furnace dengan nilai 2,5 Gs. Grafik 4.2 eproyeksikan nilai Br yang telah dirata-rata sebagai fungsi. Terlihat bahwa grafik ebentuk puncak, diana puncak tertinggi diperoleh pada 16,98%. Untuk persen assa BaCO 3 dari 5% hingga 16,98% engalai peningkatan, naun untuk di atas 16,98% yaitu 20%, 25% dan 30% engalai penurunan secara berturut-turut. Sehingga untuk grafik 4.1 dan grafik 4.2 eiliki kecenderungan bahwa Br akan seakin eningkat sesuai dengan peningkatan persen assa BaCO 3 dan seakin cepatnya proses pendinginan Hasil pengukuran densitas agnet Pengukuran densitas sapel agnet dilakukan dengan elakukan pengukuran assa dan volue sapel terlebih dulu. Pengukuran volue dilakukan dengan enggunakan huku Archiedes enggunakan gelas ukur yang diisi air dan volue sapel dihitung berdasarkan volue air yang naik 6

7 ketika sapel agnet dicelupkan. Berikut erupakan data-data hasil pengukuran sapel. Tabel 4.2 Densitas Sapel Magnet (gr/c 3 ) proses pendinginan udara Air (suhu Air furnace terbuka kaar) (4 o C) 5% 3,67 4,16 3,11 3,79 10% 3,65 3,84 4,03 3,76 15% 3,83 4,22 3,52 3,88 16,98% 4,21 4,14 4,23 3,9 20% 3,51 3,43 3,51 3,71 25% 3,81 3,46 3,61 3,87 30% 3,69 5,41 3,41 3, Densitas (gr/c3) Media Pendinginan 5% 10% 15% 16,67% 20% Gabar 4.3 Hubungan Proses Pendinginan terhadap Densitas Dari hasil perhitungangan perbandingan assa dan volue aka akan didapatkan densitas tiap-tiap sapel yang ada di tabel 4.2. Dari tabel ini dapat digabarkan hasilnya elalui grafik 4.3 yang enghubungkan antara proses pendinginan terhadap densitas. Terlihat bahwa grafik tidak stabil dan terus berosilasi tanpa enunjukkan pola tertentu sebagai fungsi pendinginan terhadap densitas. Nilai densitas tertinggi diiliki oleh 30% dengan proses pendinginan di dala air (suhu kaar) dengan nilai 5,41 gr/c 3. Sedangkan nilai densitas terendah diiliki oleh 5% dengan proses pendinginan di dala air (suhu kaar) dengan nilai sebesar 3,11 gr/c 3 dan nilai densitas tertinggi terdapat pada proses pendinginan di udara terbuka dengan nilai densitas 4,09 gr/c Hasil pengujian struktur ikro (terlapir) Pengujian struktur ikro dilakukan dengan enggunakan ikroskop digital (icro usb) yang ada di Laboratoriu Rekayasa Bahan dengan perbesaran 400x. Sebelunya dilakukan preparasi serbuk yaitu grinding, polishing dan etsa. Zat etsa yang digunakan adalah HNO 3. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada halaan lapiran. Untuk setiap jenis proses pendinginan akan enghasilkan ukuran butir yang berbeda.ukuran butir dari yang terhalus hingga yang terkasar berturut-turut terbentuk dari proses pendinginan paling cepat yaitu enggunakan air dengan suhu 4 o C, proses pendinginan dengan enggunakan air dengan suhu kaar, proses pendinginan di udara terbuka dan proses pendinginan di dala furnace Hasil pengukuran pereabilitas agnet Pereabilitas (μ) dapat diperoleh dengan ebandingkan nilai B dan H. Perhitungan nilai H adalah sebagai berikut. N = 750 I = 1A L = 3 c H = N. I L = = 250 A/c Sehingga nilai H adalah 250 A/c. Nilai B dapat dilihat pada tabel 4.3 berbeda dengan nilai Br yang ada pada tabel 4.1. Nilai B ini diperoleh dengan pengukuran dengan enggunakan Gausseter pada kondisi sapel agnet sedang diagnetisasi sehingga diperoleh nilai induksi. Sedangkan nilai Br erupakan nilai induksi reanen yang diukur pada saat agnetisasi telah dilepaskan. Dari nilai H yang telah dihitung di atas, aka dapat diperoleh nilai μ. Nilai μ yang dihitung adalah hasil terbaik dari pengukuran nilai Br. Tabel 4.3 Pereabilitas (μ) Magnet Induksi Pereabilitas, Magnet, μ B (gauss.c/a) (Gauss) 5% 440 1,76 10% 460 1,84 15% 465 1,86 16,98% 480 1,92 20% 465 1,86 25% 440 1,76 30% 425 1,7 Dari hasil pengukuran pereabilitas agnet yang ada, keudian dibandingkan dengan μ 0 yaitu sebesar 1,256 (gauss.c/a). Dari hasil pengukuran yang telah dilakukan, diperoleh hasil μ > μ 0. Dari teori yang ada, aka bahan dapat dikategorikan sebagai ferriagnetik, diana nilai μ nya lebih kecil jika dibandingkan bahan ferroagnetik dan lebih besar dari bahan paraagnetik. Bahan paraagnetik eiliki nilai μ > μ 0 sedangkan ferroagnetik μ >> μ 0. Bahan ferriagnetik erupakan capuran dua unsur, yaitu paraagnetik dan ferroagnetik. Diana Ba erupakan jenis paraagnetik dan Fe erupakan jenis ferroagnetik. Dari hasil perpaduan inilah aka akan enghasilkan agnet dengan arah doain agnetik yang berlawanan arah dan tidak seibang yaitu salah satu ato lebih leah dari ato yang lain. 7

8 4.2 Interpretasi Hasil Analisa Data Dari analisa data yang didapatkan dari pengujian di atas, aka dapat dilakukan pebahasan engenai pengaruh variasi dan proses pendinginan terhadap karakteristik agnet Barriu Ferrite Pengaruh variasi terhadap sifat agnet Telah dijelaskan sebelunya, bahwa dari grafik 4.1 dan 4.2 terlihat nilai Br akan seakin eningkat dari 5% hingga 16,98% dan akan engalai penurunan untuk di atas 16,98%. Terlihat jelas bahwa ideal berdasarkan stoikioetri (16,98%) enghasilkan induksi reanen yang terbesar. Hasil induksi reanen yang besar disebabkan karena 16,98% erupakan yang paling sepurna. BaCO 3 yang erupakan zat aditif berfungsi untuk enghabat tubuhnya doain agar tidak ebesar. Hal inilah yang enyebabkan seakin banyak capuran BaCO 3 aka seakin besar nilai induksi reanennya. Naun ini hanya berlaku untuk persen assa BaCO 3 di bawah ideal, yaitu di bawah 16,98%. Khususnya dala penelitian ini, 5%, 10% dan 15% eiliki nilai induksi reanen yang lebih rendah dibandingkan 16,98%. Untuk persen assa di atas 16,98% ternyata enghasilkan nilai induksi reanen seakin kecil sebanding dengan seakin eningkatnya persen assa BaCO 3. Koposisi ideal antara BaCO 3 dan Fe 2 O 3, ebuat kinerja reaksi BaCO 3 dala enghabat tubuhnya doain agar tidak ebesar seakin sepurna dan erupakan perbandingan yang paling baik dala penelitian ini. Naun untuk persen assa BaCO3 yang seakin besa atau di atas ideal ternyata seakin enurunkan nilai Br. Dari sini dapat terlihat bahwa batas penggunaan terbaik BaCO 3 untuk enghasilkan agnet dengan kualitas Br yang tinggi adalah pada ideal. Seakin besar persen assa BaCO 3 aka akan seakin kecil kadar Fe 2 O 3, dan ini enghasilkan capuran yang tidak baik. Sedangkan pada uji densitas, tidak terlihat pola kecenderungan tertentu pada grafik. Sehingga tidak dapat ditarik kesipulan engenai hubungan densitas sebagai fungsi untuk penelitian ini. Nilai densitas yang fluktuatif terhadap fungsi ini dapat disebabkan karena adanya pengotor di dala sapel agnet. Pengotor ini dapat disebabkan pada saat pencapuran bahan, pada saat kopaksi ataupun pada saat sintering. Sedangkan untuk elihat pengaruh variasi terhadap struktur ikro sapel agnet ebutuhkan kajian yang lebih endala lagi. Dala penelitian ini struktur ikro yang didapatkan sebagai hasil variasi tidak dapat dibandingkan satu saa lain, karena perbedaannya yang hapir tidak kelihatan. Untuk elihat struktur ikro akibat variasi diperlukan Scanning Electron Microscope (SEM). Hal ini berkaitan dengan perbesaran ikroskopnya yang lebih besar Pengaruh variasi proses pendinginan terhadap sifat agnet Dari hasil analisa data yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa proses pendinginan terbaik yang enghasilkan induksi reanen paling besar adalah pendinginan sangat cepat dengan enggunakan air dingin dengan suhu 4 o C. Dari grafik hubungan proses pendinginan terhadap induksi reanen (grafik 4.1) dapat dinyatakan bahwa antara proses pendinginan dan induksi reanen berbanding lurus. Yakni seakin cepat proses pendinginan yang dikenakan pada agnet aka seakin besar nilai induksi reanennya. Telah dijelaskan pada subbab bahwa variasi proses pendinginan yang berbeda berdapak pada pertubuhan ukuran butir agnet. Ukuran butir yang berbeda inilah yang epengaruhi perbedaan nilai induksi reanen untuk setiap sapel agnet. Pada proses pendinginan yang paling cepat yaitu enggunakan air dingin 4 o C epunyai ukuran butir paling halus dan eliki nilai induksi reanen yang paling besar, yaitu 39,25 Gauss. Pada saat agnetisasi dilakukan, sapel agnet BaFe 12 O 19 endapatkan edan eksternal yang engakibatkan garis-garis gaya yang berdekatan dihipun di dala aterial tersebut sehingga eningkatkan densitas fluks/terjadi peningkatan induksi agnetik. Untuk agnet keras, ketika edan agnet dihilangkan sebagian besar induksi dipertahankan agar enghasilkan induksi reanen Br. Doain-doain dari agnet keras inilah yang epertahankan agnetisasi setelah edan eksternal dihilangkan. Hal ini dikarenakan pada sapel dengan ukuran butir yang halus, batas doain tidak dapat bergerak secara udah elewati batas butir. Seakin kecil ukuran butir, aka akan seakin banyak batas butir, aka berakibat seakin banyak energi yang diperlukan untuk elewatinya sehingga ebuat batas doain terkunci dan terhalang pergerakannya. Hal inilah yang ebuat batas doain epertahankan agnetisasi yang ada. Dengan ikrostruktur butir yang seakin halus aka akan seakin besar keapuannya enghabat pergerakan batas doain. Seperti pada proses pengerjaan dingin pada baja, diana pengerasan regangan enghasilkan dislokasi-dislokasi yang engunci batas doain. Jadi reanensi Br tetap tinggi dengan H=nol, sehingga diperlukan edan koersif ayor, -Hc, untuk enghilangkan induksi. Maka dari itu, pergerakan batas doain bukan hanya suatu orientasi terhadap polaritas N-S, tetapi juga ebutuhkan perpindahan ato yang juga eerlukan suatu energi. Untuk endapatkan perbandingan yang lebih jelas, aka dapat dibandingkan agnet keras dan agnet lunak. Pada agnet lunak aterial yang baik untuk digunakan adalah yang berfasa tunggal, dianil serta berbutir kasar agar batas bisa bergerak dengan udah untuk encapai pereabilitas yang tinggi (saturasi oleh edan agnetik kecil). Agar doain dapat tubuh, batas-batas doain harus bergerak agar bisa eperbesar doain yang orientasinya lebih enguntungkan. Batas-batas ini dapat bergerak dengan udah di dala kristal tunggal, naun tidak bisa bisa 8

9 bergerak elintasi batas butir atau batas fasa. Deikian pula, dislokasi akan engunci batas doain dan encegah pergerakannya. Pergerakan batas doain yang udah diperlukan untuk enghasilkan reanen rendah dan edan koersif yang diperlukan agnet lunak Dari hasil analisa data yang didapatkan, ternyata pola yang dihasilkan oleh grafik tidak enyatakan kecenderungan tertentu. Densitas enyatakan kerapatan partikel di dala sapel agnet. Dengan pengukuran sederhana elalui perbandingan assa dan volue didapatkan nilai densitas sapel. Seakin tinggi nilai densitas sapel agnet, aka seakin bagus kualitas sapel agnet tersebut. Densitas agnet dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, isalnya adalah perlakuan pada saat kopaksi yaitu eliputi beban penekanan dan laa penahanan pada saat penekanan serta perlakuan panas/sintering yang eliputi teperatur peanasan, laa penahanan dan kecepatan pendinginan. Pada saat kopaksi, sapel diberikan beban penekanan dan waktu tahan penekanan yang saa, yaitu 4 ton dengan laa waktu tahan asing-asing 5 enit setiap sapel. Pada saat kopaksi terjadi suatu proses peadatan atau pengikatan seentara secara ekanik antara butiran partikel enjadi suatu assa yang kopak. Seakin tinggi nilai beban penekanan aka didapatkan sapel yang seakin padat dengan nilai densitas yang seakin tinggi pula. Pada saat proses sintering, teperatur dan waktu tahan diperlakukan saa yaitu pada suhu 1100 o C dengan waktu tahan 45 enit. Pada saat inilah terjadi eliinasi porositas. Proses penghilangan porositas dilakukan elalui transport assa. Jika dua partikel digabung dan dipanaskan pada suhu tertentu dua partikel ini akan berikatan bersaasaa dan akan ebentuk neck. Pertubuhan disebabkan oleh transport yang eliputi evaporasi, kondensasi, difusi. Hal inilah yang enyebabkan sapel agnet seakin kopak dan densitas bahan seakin eningkat. Selanjutnya adalah pada perlakuan pendinginan, sebenarnya terjadi penyusutan bahan, akibat kecepatan pendinginan yag berbeda akibat edia pendinginan yang berbeda. Naun berdasarkan hasil perhitungan densitas dan grafik 4.3, tidak terlihat hubungan antara proses pendinginan yang berbeda dengan nilai densitas sapel agnet. Hal ini dapat disebabkan akibat kurang sepurnanya proses pendinginan yang dilakukan terhadap sapel agnet dan adanya pengotor pada sapel agnet. Ataupun kekurangtelitian pengukuran volue sapel, hal ini dikarenakan gelas ukur yang digunakan eiliki ketelitian yang rendah. Sedangkan selisih antar sapel sangat kecil, dan ebutuhkan ketelitian yang tinggi. Hal ini enyebabkan kekurangakuratan dala perhitungan volue sapel sehingga nilai densitas sapel yang didapatkan kurang akurat. Karena ketidaksesuaian data aka tidak dapat dihubungkan antara hasil densitas sapel dengan nilai induksi reanen sapel agnet yang telah didapatkan. Dilakukannya uji struktur ikro ini bertujuan untuk elihat butir yang terbentuk pada sapel agnet dengan proses pendinginan yang berbeda. Dari hasil analisa data yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa seakin cepat proses pendinginan akan engakibatkan seakin halus butir/seakin kecil ukuran butir yang terbentuk. Hal ini berkaitan dengan pebutiran yang terjadi akibat perlakuan panas yang diberikan pada sapel. Pertubuhan butir terjadi pada saat sapel ulai disintering. Paraeter sintering diantaranya adalah teperatur, waktu penahanan, kecepatan pendinginan, kecepatan peanasan dan atosfir. Pada saat sintering butir ulai tubuh ebesar dan engalai necking seiring dengan bertabahnya teperatur. Dengan proses pendinginan yang berbeda, bertujuan untuk epengaruhi ukuran butir dari segi kecepatan pendinginan. Kecepatan pendinginan tercepat dengan ediu air dingin 4 o C enghasilkan ukuran butir yang paling halus di antara yang lain. Hal ini dikarenakan butir tidak sepat berkebang akibat proses pendinginan yang endadak sehingga butir enjadi halus. Proses pendinginan yang labat enyebabkan butir eiliki kesepatan untuk berkebang sehingga berukuran besar/kasar. Proses pendinginan di dala furnace adalah proses pendinginan yang paling labat, karena sapel didinginkan secara tertutup dari suhu sintering 1100 o C hingga encapai suhu noral/suhu kaar. Hal inilah yang enyebabkan butir pada sapel dengan jenis pendinginan ini dapat eiliki butir yang paling besar akibat proses pendinginan sepurna. Dapat dikatakan, bahwa untuk endapatkan ukuran butir sesuai dengan yang diinginkan, aka dapat diperoleh dari pengaturan kecepatan pendinginan elalui peilihan ediu pendinginan. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesipulan Pada penelitian tugas akhir ini telah dilakukan variasi dan proses pendinginan terhadap agnet Barriu Ferrite. Berdasarkan data yang diperoleh dan pebahasan aka dapat diabil kesipulan bahwa, Koposisi ideal Fe 2 O 3 dan BaCO 3 berdasarkan stoikioetri erupakan terbaik untuk enghasilkan nilai Br tertinggi. Seakin cepat laju pendinginan aka nilai Br akan seakin besar. Hal ini dikarenakan seakin cepat proses pendinginan, aka butir akan seakin kecil dan nilai Br pun akan seakin eningkat Nilai Br terbesar adalah 39,25 Gauss pada 16,98% BaCO 3 dan proses pendinginan dengan air dingin 4 o C. Nilai pereabilitas terbaik diperoleh pada 16,98% sebesar 1,92 G.c/A. Nilai pereabilitas yang diperoleh enunjukkan bahwa μ > μ 0, hal ini enunjukkan bahwa agnet Bariu Ferrite erupakan bahan ferriagnetik. 5.2 Saran Untuk endapatkan agnet Barriu Ferrite dengan karakteristik yang lebih baik, aka yang dapat enjadi asukan adalah sebagai berikut. 9

10 Proses sintering hendaknya dilakukan di dala furnace yang kondisinya benar-benar steril dan bebas dari pengotor sehingga tidak epengaruhi kualitas agnet yang dihasilkan. 5.1 DAFTAR PUSTAKA [1] Vlack, Lawrence H. Van Eleen-eleen Ilu dan Rekayasa Material. Diterjeahkan oleh Sriati Djaprie. Jakarta : Erlangga. [2] Cullity, B.D. 1972, Introduction to Magnetic Material. USA, Addison Wesley. [3] Kasap, S.O Principles of Electrical Engiineering Materials and Devices. Singapore. Mc Graw Hill. [4] Hidayat, Taufik Fabrikasi Magnet Peranen Berbahan Dasar Pasir Besi Luajang, Institut Teknologi Sepuluh Nopeber, Surabaya. [5] Setyoko, Agus Peningkatan Prosentase Fe 2 O 3 Dari Pasir Besi Sebagai Bahan Baku Magnet Peranen Keraik Dengan Metode Hydrotheral Oxidation, Institut Teknologi Sepuluh Nopeber, Surabaya. [6] Zulkifly, Akhad Pengaruh variasi pada pebuatan agnet peranen dengan bahan dasar pasir besi Luajang, Institut Teknologi Sepuluh Nopeber, Surabaya. [7] Idayanti,N., Dedi Pebuatan Magnet Peranen Ferit untuk Flow Meter. Prosiding Jurnal Fisika Hipunan Fisika Indonesia.1,Serpong,Tangerang [8] Paulus, Asyer. Pengaruh Tekanan Kopaksi dan Waktu Penahanan Teperatur Sintering Terhadap Sifat Magnetik dan Kekerasan pada Pebuatan Iron Soft Magnetic dari Serbuk Besi, Institut Teknologi Sepuluh Nopeber, Surabaya. BIODATA PENULIS Naa : Ratih Resti Astari NRP : TTL : Madiun, 01 April 1988 Alaat : Jl. Seangka 32 Madiun Riwayat Pendidikan : SDN 166/III Sungai Penuh,Jabi SLTP Negeri 1 Metro, Lapung SMA Negeri 3 Madiun Teknik Fisika ITS Eail : ti2h_sile@yahoo.co.id 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembekuan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembekuan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pebekuan Pebekuan berarti peindahan panas dari bahan yang disertai dengan perubahan fase dari cair ke padat dan erupakan salah satu proses pengawetan yang uu dilakukan untuk penanganan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. PENDAHULUAN Tujuan utaa dari penelitian tentang koposit lainat hibrid ini adalah eneukan etode baru pebuatan koposit lainat hibrid dala asa padat. Partikel SiC dan Al

Lebih terperinci

PEMETAAN MEDAN ELEKTROMAGNETIK PADA PEMUKIMAN PENDUDUK DI BAWAH JARINGAN SUTT 150 KV PLN WILAYAH KALIMANTAN BARAT

PEMETAAN MEDAN ELEKTROMAGNETIK PADA PEMUKIMAN PENDUDUK DI BAWAH JARINGAN SUTT 150 KV PLN WILAYAH KALIMANTAN BARAT PEMETAAN MEDAN ELEKTROMAGNETIK PADA PEMUKIMAN PENDUDUK DI BAWAH JARINGAN SUTT 5 KV PLN WILAYAH KALIMANTAN BARAT Baharuddin Progra Studi Teknik Elektro, Universitas Tanjungpura, Pontianak Eail : cithara89@gail.co

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI.1. Uu Transforator erupakan suatu alat listrik yang engubah tegangan arus bolak balik dari satu tingkat ke tingkat yang lain elalui suatu gandengan agnet dan berdasarkan prinsip-prinsip

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN SISTEM DINAMIK PLANT. terbuat dari acrylic tembus pandang. Saluran masukan udara panas ditandai dengan

BAB III PEMODELAN SISTEM DINAMIK PLANT. terbuat dari acrylic tembus pandang. Saluran masukan udara panas ditandai dengan BAB III PEMODELAN SISTEM DINAMIK PLANT 31 Kriteria rancangan plant Diensi plant yang dirancang berukuran 40cx60cx50c, dinding terbuat dari acrylic tebus pandang Saluran asukan udara panas ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENGUKURAN

BAB IV ANALISIS HASIL PENGUKURAN 35 BAB IV ANALISIS HASIL PENGUKURAN Skripsi ini bertujuan untuk elihat perbedaan hasil pengukuran yang didapat dengan enjulahkan hasil pengukuran enggunakan kwh-eter satu fasa pada jalur fasa-fasa dengan

Lebih terperinci

TERMODINAMIKA TEKNIK II

TERMODINAMIKA TEKNIK II DIKTAT KULIAH TERMODINAMIKA TEKNIK II TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DARMA PERSADA 2005 i DIKTAT KULIAH TERMODINAMIKA TEKNIK II Disusun : ASYARI DARAMI YUNUS Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB III METODE ANALISIS

BAB III METODE ANALISIS BAB III METODE ANALISIS 3.1 Penyajian Laporan Dala penyajian bab ini dibuat kerangka agar eudahkan dala pengerjaan laporan. Berikut ini adalah diagra alir tersebut : Studi Pustaka Model-odel Eleen Struktur

Lebih terperinci

BAB 21. INDUKSI ELEKTROMAGNETIK

BAB 21. INDUKSI ELEKTROMAGNETIK DAFTAR ISI DAFTAR ISI... BAB. INDUKSI EEKTROMAGNETIK.... Huku Faraday dan enz.... Generator istrik...6.3 Transforator...7.4 Indukstansi...9.5 Energi dala Medan Magnet....6 Rangkaian istrik AC...4.7 Osilator....8

Lebih terperinci

MODUL PERTEMUAN KE 6 MATA KULIAH : FISIKA TERAPAN

MODUL PERTEMUAN KE 6 MATA KULIAH : FISIKA TERAPAN 43 MODUL PERTEMUAN KE 6 MATA KULIAH : MATERI KULIAH: Mekanika klasik, Huku Newton I, Gaya, Siste Satuan Mekanika, Berat dan assa, Cara statik engukur gaya.. POKOK BAHASAN: DINAMIKA PARTIKEL 6.1 MEKANIKA

Lebih terperinci

PETUNJUK UMUM Pengerjaan Soal Tahap Final Diponegoro Physics Competititon Tingkat SMA

PETUNJUK UMUM Pengerjaan Soal Tahap Final Diponegoro Physics Competititon Tingkat SMA PETUNJUK UMUM Pengerjaan Soal Tahap Final Diponegoro Physics Copetititon Tingkat SMA 1. Ujian Eksperien berupa Naskah soal beserta lebar jawaban dan kertas grafik. 2. Waktu keseluruhan dala eksperien dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap pembuatan magnet barium ferit, tahap karakterisasi magnet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam skala prioritas pembangunan nasional dan daerah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam skala prioritas pembangunan nasional dan daerah di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pebangunan ekonoi erupakan asalah penting bagi suatu negara, untuk itu sejak awal pebangunan ekonoi endapat tepat penting dala skala prioritas pebangunan nasional

Lebih terperinci

Surya Darma, M.Sc Departemen Fisika Universitas Indonesia. Pendahuluan

Surya Darma, M.Sc Departemen Fisika Universitas Indonesia. Pendahuluan Surya Dara, M.Sc Departeen Fisika Universitas Indonesia Pendahuluan Potensial listrik yang uncul sebagai dapak dari perubahan edan agnet dala area tertentu disebut ggl induksi. Arus yang terjadi pada kawat

Lebih terperinci

PENENTUAN e/m Kusnanto Mukti W/ M Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta

PENENTUAN e/m Kusnanto Mukti W/ M Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta PENENTUAN e/ Kusnanto Mukti W/ M009031 Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Eksperien dala enentukan besar uatan elektron pertaa kali dilakukan oleh J.J.Thoson. Dala percobaanya,

Lebih terperinci

BENTUK GELOMBANG AC SINUSOIDAL

BENTUK GELOMBANG AC SINUSOIDAL BENTUK GELOMBANG AC SINUSOIDAL. PENDAHULUAN Pada bab sebelunya telah dibahas rangkaian resistif dengan tegangan dan arus dc. Bab ini akan eperkenalkan analisis rangkaian ac diana isyarat listriknya berubah

Lebih terperinci

REVIEW GERAK HARMONIS SEDERHANA

REVIEW GERAK HARMONIS SEDERHANA REVIEW GERAK HARMONIS SEDERHANA Di sekitar kita banyak benda yang bergetar atau berosilasi, isalnya assa yang terikat di ujung pegas, garpu tala, gerigi pada ja ekanis, penggaris elastis yang salah satu

Lebih terperinci

PENGARUH POSISI BEBAN DAN MOMEN INERSIA TERHADAP PUTARAN KRITIS PADA MODEL POROS MESIN KAPAL

PENGARUH POSISI BEBAN DAN MOMEN INERSIA TERHADAP PUTARAN KRITIS PADA MODEL POROS MESIN KAPAL PENGARUH POSISI BEBAN DAN MOMEN INERSIA TERHADAP PUTARAN KRITIS PADA MODEL POROS MESIN KAPAL Waris Wibowo Staf Pengajar Akadei Mariti Yogyakarta (AMY) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk endapatkan

Lebih terperinci

dimana p = massa jenis zat (kg/m 3 ) m= massa zat (kg) V= Volume zat (m 3 ) Satuan massa jenis berdasarkan Sistem Internasional(SI) adalah kg/m 3

dimana p = massa jenis zat (kg/m 3 ) m= massa zat (kg) V= Volume zat (m 3 ) Satuan massa jenis berdasarkan Sistem Internasional(SI) adalah kg/m 3 Zat dan Wujudnya Massa Jenis Jika kau elihat kapas yang berassa 1 kg dan batu berassa 1 kg, apa ada di benaku? Massa Jenis adalah perbandingan antara assa benda dengan volue benda Massa jenis zat tidak

Lebih terperinci

MENGUKUR MOMEN INERSIA BEBERAPA MODEL VELG SEPEDA MINI

MENGUKUR MOMEN INERSIA BEBERAPA MODEL VELG SEPEDA MINI KONSTAN: Jurnal Fisika dan Pendidikan Fisika (ISSN.460-919) Volue 1, No., Maret 016 MENGUKUR MOMEN INERSIA BEBERAPA MODEL VELG SEPEDA MINI 1 Suraidin, Islahudin, 3 M. Firan Raadhan 1 Mahasiswa Sarjana

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PH METER, PERSIAPAN LARUTAN PENYANGGAN, DAN PENGENCERAN

LAPORAN PRAKTIKUM PH METER, PERSIAPAN LARUTAN PENYANGGAN, DAN PENGENCERAN LAPORAN PRAKTIKUM PH METER, PERSIAPAN LARUTAN PENYANGGAN, DAN PENGENCERAN NAMA PRAKTIKAN : Raadhan Bestari T. Barlian GRUP PRAKTIKAN : Grup Pagi (08.00-11.00) KELOMPOK : 2 HARI/TGL. PRAKTIKUM : Kais, 17

Lebih terperinci

Analisis Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Line Suction Terhadap Performansi Mesin Pendingin 1)

Analisis Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Line Suction Terhadap Performansi Mesin Pendingin 1) JURNAL TEKNIK MESIN Vol 4, No 2, Oktober 2002: 94 98 Analisis Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Line Suction Terhadap Perforansi Mesin Pendingin ) Ekadewi Anggraini Handoyo Dosen Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MAGNET PERMANEN BAO.(6-X)FE2O3 DARI BAHAN BAKU LIMBAH FE2O3

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MAGNET PERMANEN BAO.(6-X)FE2O3 DARI BAHAN BAKU LIMBAH FE2O3 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MAGNET PERMANEN BAO.(6-X)FE2O3 DARI BAHAN BAKU LIMBAH FE2O3 Sri Handani 1, Sisri Mairoza 1 dan Muljadi 2 1 Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas 2 Lembaga Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

Hukum II Newton. Untuk SMA kelas X. (Modul ini telah disesuaikan dengan KTSP)

Hukum II Newton. Untuk SMA kelas X. (Modul ini telah disesuaikan dengan KTSP) Huku II Newton Untuk SMA kelas X (Modul ini telah disesuaikan dengan KTSP) Lisensi Dokuen: Copyright 008 009 GuruMuda.Co Seluruh dokuen di GuruMuda.Co dapat digunakan dan disebarkan secara bebas untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang-bidang lain, seperti sosial, politik, dan budaya. perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang-bidang lain, seperti sosial, politik, dan budaya. perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pebangunan ekonoi erupakan asalah penting bagi suatu negara, untuk itu sejak awal pebangunan ekonoi endapat tepat penting dala skala prioritas pebangunan nasional

Lebih terperinci

Asyer Paulus Mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri ITS

Asyer Paulus Mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri ITS PENGARUH TEKANAN KOMPAKSI DAN WAKTU PENAHANAN TEMPERATUR SINTERING TERHADAP SIFAT MAGNETIK DAN KEKERASAN PADA PEMBUATAN IRON SOFT MAGNETIC DARI SERBUK BESI Asyer Paulus Mahasiswa Jurusan Teknik Material

Lebih terperinci

1 1. POLA RADIASI. P r Dengan : = ½ (1) E = (resultan dari magnitude medan listrik) : komponen medan listrik. : komponen medan listrik

1 1. POLA RADIASI. P r Dengan : = ½ (1) E = (resultan dari magnitude medan listrik) : komponen medan listrik. : komponen medan listrik 1 1. POLA RADIASI Pola radiasi (radiation pattern) suatu antena : pernyataan grafis yang enggabarkan sifat radiasi suatu antena pada edan jauh sebagai fungsi arah. pola edan (field pattern) apabila yang

Lebih terperinci

BAB 4 KAJI PARAMETRIK

BAB 4 KAJI PARAMETRIK Bab 4 Kaji Paraetrik BAB 4 Kaji paraetrik ini dilakukan untuk endapatkan suatu grafik yang dapat digunakan dala enentukan ukuran geoetri tabung bujursangkar yang dibutuhkan, sehingga didapatkan harga P

Lebih terperinci

RANCANGAN ALAT SISTEM PEMIPAAN DENGAN CARA TEORITIS UNTUK UJI POMPA SKALA LABORATORIUM. Oleh : Aprizal (1)

RANCANGAN ALAT SISTEM PEMIPAAN DENGAN CARA TEORITIS UNTUK UJI POMPA SKALA LABORATORIUM. Oleh : Aprizal (1) RANCANGAN ALAT SISTEM PEMIPAAN DENGAN CARA TEORITIS UNTUK UJI POMPA SKALA LABORATORIUM Oleh : Aprizal (1) 1) Dosen Progra Studi Teknik Mesin. Fakultas Teknik Universitas Pasir Pengaraian Eail. ijalupp@gail.co

Lebih terperinci

SOAL UJIAN SELEKSI CALON PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2013 TINGKAT PROPINSI

SOAL UJIAN SELEKSI CALON PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2013 TINGKAT PROPINSI SOAL UJIAN SELEKSI CALON PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL 013 TINGKAT PROPINSI FISIKA Waktu : 3,5 ja KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE HOMOTOPI PADA MASALAH PERAMBATAN GELOMBANG INTERFACIAL

PENGGUNAAN METODE HOMOTOPI PADA MASALAH PERAMBATAN GELOMBANG INTERFACIAL PENGGUNAAN METODE HOMOTOPI PADA MASALAH PERAMBATAN GELOMBANG INTERFACIAL JAHARUDDIN Departeen Mateatika Fakultas Mateatika Ilu Pengetahuan Ala Institut Pertanian Bogor Jl Meranti, Kapus IPB Daraga, Bogor

Lebih terperinci

Gambar 1. Skema proses komunikasi dalam pembelajaran

Gambar 1. Skema proses komunikasi dalam pembelajaran 2 kurang tertarik epelajari pelajaran ilu pengetahuan ala karena etode pebelajaran yang diterapkan guru. Jadi etode pengajaran guru sangat epengaruhi inat belajar siswa dala epelajari ilu pengetahuan ala.

Lebih terperinci

MODUL 3 SISTEM KENDALI POSISI

MODUL 3 SISTEM KENDALI POSISI MODUL 3 SISTEM KENDALI POSISI Muhaad Aldo Aditiya Nugroho (13213108) Asisten: Dede Irawan (23214031) Tanggal Percobaan: 29/03/16 EL3215 Praktiku Siste Kendali Laboratoriu Siste Kendali dan Koputer - Sekolah

Lebih terperinci

Solusi Treefy Tryout OSK 2018

Solusi Treefy Tryout OSK 2018 Solusi Treefy Tryout OSK 218 Bagian 1a Misalkan ketika kelereng encapai detektor bawah untuk pertaa kalinya, kecepatan subu vertikalnya adalah v 1y. Maka syarat agar kelereng encapai titik tertinggi (ketika

Lebih terperinci

BAB III ANALISA TEORETIK

BAB III ANALISA TEORETIK BAB III ANALISA TEORETIK Pada bab ini, akan dibahas apakah ide awal layak untuk direalisasikan dengan enggunakan perhitungan dan analisa teoretik. Analisa ini diperlukan agar percobaan yang dilakukan keudian

Lebih terperinci

GETARAN PEGAS SERI-PARALEL

GETARAN PEGAS SERI-PARALEL 1 GETARAN PEGAS SERI-PARALEL I. Tujuan Percobaan 1. Menentukan konstanta pegas seri, paralel dan seri-paralel (gabungan). 2. Mebuktikan Huku Hooke. 3. Mengetahui hubungan antara periode pegas dan assa

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI TABUNG UDARA TERHHADAP DEBIT PEMOMPAAN POMPA HIDRAM

PENGARUH VARIASI TABUNG UDARA TERHHADAP DEBIT PEMOMPAAN POMPA HIDRAM 25 PENGARUH VARIASI TABUNG UDARA TERHHADAP DEBIT PEMOMPAAN POMPA HIDRAM Budi Hartono Fakultas Teknik, Universitas Ibnu Chaldun, Jl. Raya Serang Cilegon K.5, Serang Banten. Telp. 254-82357 / Fax. 254-82358

Lebih terperinci

Gerak Harmonik Sederhana Pada Ayunan

Gerak Harmonik Sederhana Pada Ayunan Gerak Haronik Sederhana Pada Ayunan Setiap gerak yang terjadi secara berulang dala selang waktu yang saa disebut gerak periodik. Karena gerak ini terjadi secara teratur aka disebut juga sebagai gerak haronik/haronis.

Lebih terperinci

PENJUMLAHAN MOMENTUM SUDUT

PENJUMLAHAN MOMENTUM SUDUT PENJUMAHAN MOMENTUM SUDUT A. Penjulahan Moentu Sudut = + Gabar.9. Penjulahan oentu angular secara klasik. Dua vektor oentu angular dan dijulahkan enghasilkan Jika oentu angular elektron pertaa adalah dan

Lebih terperinci

12 A 13 D 14 D. Dit. h maks =? h maks = h + y maks = 9,2 + 1,8 = 11 m 15 B. A = B P.C Q dimensinya L.T -2 = (L 2.T 1 ) P.(L.

12 A 13 D 14 D. Dit. h maks =? h maks = h + y maks = 9,2 + 1,8 = 11 m 15 B. A = B P.C Q dimensinya L.T -2 = (L 2.T 1 ) P.(L. PEMBAHASAN PROBEM SET FISIKA SUPERINTENSIF 07 D 4 E keepatan perpindaha n s AB = 5 k v salan = 54 k/ja v uar = 36 k/ja Jika keepatan - sebuah benda saa dengan nol, aka perpindahan benda saa dengan nol.

Lebih terperinci

Perancangan Sistem Tracking Quadrotor untuk Sebuah Target Bergerak di Darat Menggunakan Sistem Fuzzy

Perancangan Sistem Tracking Quadrotor untuk Sebuah Target Bergerak di Darat Menggunakan Sistem Fuzzy JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-58 Perancangan Siste Tracking Quadrotor untuk Sebuah Target Bergerak di Darat Menggunakan Siste Fuzzy Mochaad Raa Raadhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segi kuantitas dan kualitasnya. Penambahan jumlah konsumen yang tidak di ikuti

BAB I PENDAHULUAN. segi kuantitas dan kualitasnya. Penambahan jumlah konsumen yang tidak di ikuti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air erupakan kebutuhan yang penting bagi kehidupan anusia. Manusia tidak dapat elanjutkan kehidupannya tanpa penyediaan air yang cukup dala segi kuantitas dan kualitasnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Energi atahari sebagai suber energi pengganti tidak bersifat polutif, tak dapat habis, serta gratis dan epunyai prospek yang cukup baik untuk dikebangkan. Apalagi letak geografis

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN FISIKA 2017

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN FISIKA 2017 Peran Pendidikan, Sains, dan Teknologi untuk Mengebangkan Budaya Iliah dan Inovasi terbarukan dala endukung Sustainable Developent Goals (SDGs) 2030 ANALISIS INTENSITAS MEDAN MAGNET EXTREMELY LOW FREQUENCY

Lebih terperinci

Pembuatan dan Karakteristik Komposit Polimer Berpenguat Bagasse

Pembuatan dan Karakteristik Komposit Polimer Berpenguat Bagasse JURNL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-208 Pebuatan dan Karakteristik Koposit Polier Berpenguat Bagasse Eqitha Dea Clareyna dan Lizda Johar Mawarani Jurusan Teknik

Lebih terperinci

Kecepatan atom gas dengan distribusi Maxwell-Boltzmann (1) Oleh: Purwadi Raharjo

Kecepatan atom gas dengan distribusi Maxwell-Boltzmann (1) Oleh: Purwadi Raharjo Kecepatan ato gas dengan distribusi Mawell-Boltzann () Oleh: Purwadi Raharjo Dala proses odifikasi perukaan bahan, kita ungkin sering endengar teknologi pelapisan tipis (thin fil). Selain pelapisan tipis,

Lebih terperinci

ANALISA PENGGUNAAN GENEATOR INDUKSI TIGA FASA PENGUATAN SENDIRI UNTUK SUPLAI SISTEM SATU FASA

ANALISA PENGGUNAAN GENEATOR INDUKSI TIGA FASA PENGUATAN SENDIRI UNTUK SUPLAI SISTEM SATU FASA ANALISA PENGGUNAAN GENEATOR INDUKSI TIGA ASA PENGUATAN SENDIRI UNTUK SUPLAI SISTEM SATU ASA Maulana Ardiansyah, Teguh Yuwono, Dedet Candra Riawan Jurusan Teknik Elektro TI - ITS Abstrak Generator induksi

Lebih terperinci

SOAL OLIMPIADE SAINS NASIONAL (OSN) 2007 Bidang studi : FISIKA Tingkat : SMA Waktu : 4 jam

SOAL OLIMPIADE SAINS NASIONAL (OSN) 2007 Bidang studi : FISIKA Tingkat : SMA Waktu : 4 jam Dapatkan soal-soal lainnya di http://foru.pelatihan-osn.co SOAL OLIPIADE SAINS NASIONAL (OSN) 007 Bidang studi : FISIKA Tingkat : SA Waktu : 4 ja 1. (nilai 0) A. Sebuah obil bergerak enuruni suatu jalan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH GANGGUAN HEAT TRANSFER KONDENSOR TERHADAP PERFORMANSI AIR CONDITIONING. Puji Saksono 1) ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH GANGGUAN HEAT TRANSFER KONDENSOR TERHADAP PERFORMANSI AIR CONDITIONING. Puji Saksono 1) ABSTRAK ANALISIS PENGARUH GANGGUAN HEAT TRANSFER KONDENSOR TERHADAP PERFORMANSI AIR CONDITIONING Puji Saksono 1) ABSTRAK Kondensor erupakan alat penukar kalor pada sisti refrigerasi yang berfungsi untuk elepaskan

Lebih terperinci

ROTASI Volume 8 Nomor 1 Januari

ROTASI Volume 8 Nomor 1 Januari ROTASI Volue 8 Noor 1 Januari 2006 23 PENGARUH KECEPATAN AIR SIRKULASI SEBAGAI MEDIUM QUENCHING TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA AISI 4140 Gunawan Dwi Haryadi 1) Abstrak Baja karbon yang

Lebih terperinci

DINAS PENDIDIKAN PROPINSI DKI JAKARTA MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN FISIKA SMA MGMP FISIKA - SMA DKI

DINAS PENDIDIKAN PROPINSI DKI JAKARTA MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN FISIKA SMA MGMP FISIKA - SMA DKI DINAS PENDIDIKAN PROPINSI DKI JAKARTA MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN FISIKA SMA MGMP FISIKA - SMA DKI Sekretariat: SMAN 72, Jl.Prihatin Kodaar Kelapa Gading Barat Jakarta Utara Telp 021 4502584 Fax: 021-45850134

Lebih terperinci

Gambar A.1. Fix Dies.

Gambar A.1. Fix Dies. LAMPIRAN A. Gabar Teknik Dies Salah satu koponen dala esin HPDC yaitu cetakan (dies). Dies yang digunakan pada penelitian ini enggunakan aterial Baja ST 7 yang dibuat di Laboratoriu Proses Produksi Politeknik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BATAN Bandung meliputi beberapa tahap yaitu tahap preparasi serbuk, tahap sintesis dan tahap analisis. Meakanisme

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di Laboratorium Fisika Material FMIPA Unila, Laboratorium Kimia Instrumentasi

Lebih terperinci

SOAL SELEKSI TAHUN 2003 ( TINGKAT NASIONAL )

SOAL SELEKSI TAHUN 2003 ( TINGKAT NASIONAL ) SOAL SELEKSI TAHUN 2003 ( TINGKAT NASIONAL ) Bagian 1 ( Nilai : 20 point ) 1. Sifat-sifat di bawah ini,anakah yang erupakan sifat intensif suatu zat : a. Warna b. Sifat Magnit c. Kerapatan/densitas d.

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS DAN SIMULASI MODEL HODGKIN-HUXLEY

BAB 3 ANALISIS DAN SIMULASI MODEL HODGKIN-HUXLEY BAB 3 ANALISIS DAN SIMULASI MODEL HODGKIN-HUXLEY 3.1 Analisis Dinaika Model Hodgkin Huxley Persaaan Hodgkin-Huxley berisi epat persaaan ODE terkopel dengan derajat nonlinear yang tinggi dan sangat sulit

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN LEMBAR JAWABAN BABAK PENYISIHAN 21 September 2014

PETUNJUK PENGISIAN LEMBAR JAWABAN BABAK PENYISIHAN 21 September 2014 PETUNJUK PENGISIAN LEMBAR JAWABAN BABAK PENYISIHAN 1 Septeber 014 I. PETUNJUK UMUM: 1. Gunakan konstanta-konstanta berikut dala enyelesaikan soal. Konstanta Sibol Nilai Kecepatan cahaya c,00 10 8 /s Konstanta

Lebih terperinci

Bab III S, TORUS, Sebelum mempelajari perbedaan pada grup fundamental., dan figure eight terlebih dahulu akan dipelajari sifat dari grup

Bab III S, TORUS, Sebelum mempelajari perbedaan pada grup fundamental., dan figure eight terlebih dahulu akan dipelajari sifat dari grup GRUP FUNDAMENTAL PADA Bab III S, TORUS, P dan FIGURE EIGHT Sebelu epelajari perbedaan pada grup fundaental S, Torus, P, dan figure eight terlebih dahulu akan dipelajari sifat dari grup fundaental asing-asing

Lebih terperinci

Studi Eksperimen Pengaruh Alur Permukaan Sirip pada Sistem Pendingin Mesin Kendaraan Bermotor

Studi Eksperimen Pengaruh Alur Permukaan Sirip pada Sistem Pendingin Mesin Kendaraan Bermotor Jurnal Kopetensi Teknik Vol. 1, No. 1, Noveber 009 1 Studi Eksperien Pengaruh Alur Perukaan Sirip pada Siste Pendingin Mesin Kendaraan Berotor Sasudin Anis 1 dan Aris Budiyono 1, Jurusan Teknik Mesin,

Lebih terperinci

Implementasi Histogram Thresholding Fuzzy C-Means untuk Segmentasi Citra Berwarna

Implementasi Histogram Thresholding Fuzzy C-Means untuk Segmentasi Citra Berwarna JURNAL TEKNIK POMITS Vol., No., (03) ISSN: 337-3539 (30-97 Print) Ipleentasi Histogra Thresholding Fuzzy C-Means untuk Segentasi Citra Berwarna Risky Agnesta Kusua Wati, Diana Purwitasari, Rully Soelaian

Lebih terperinci

KAJIAN PERBANDINGAN KINERJA GRAFIK PENGENDALI CUMULATIVE SUM

KAJIAN PERBANDINGAN KINERJA GRAFIK PENGENDALI CUMULATIVE SUM KAJIAN PERBANDINGAN KINERJA GRAFIK PENGENDALI CUMULATIVE SUM (CUSUM) DAN EXPONENTIALLY WEIGHTED MOVING AVERAGE () DALAM MENDETEKSI PERGESERAN RATARATA PROSES Oleh: Nurul Hidayah 06 0 05 Desen pebibing:

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Data dan Variabel 2.1.1 Data Pengertian data enurut Webster New World Dictionary adalah things known or assued, yang berarti bahwa data itu sesuatu yang diketahui atau dianggap.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB LANDASAN TEORI. Beberapa Defenisi Pada analisa keputusan, si pebuat keputusan selalu doinan terhadap penjabaran seluruh alternatif yang terbuka, eperkirakan konsequensi yang perlu dihadapi pada setiap

Lebih terperinci

ISSN WAHANA Volume 67, Nomer 2, 1 Desember 2016

ISSN WAHANA Volume 67, Nomer 2, 1 Desember 2016 ISSN 0853 4403 WAHANA Volue 67, Noer 2, Deseber 206 PERBANDINGAN LATIHAN BOLA DIGANTUNG DAN BOLA DILAMBUNGKAN TERHADAP HASIL BELAJAR SEPAK MULA DALAM PERMAINAN SEPAK TAKRAW PADA SISWA PUTRA KELAS X-IS

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa pelat lantai gedung rawat inap RSUD Surodinawan Kota Mojokerto dengan enggunakan teori garis leleh ebutuhkan beberapa tahap perhitungan dan analsis aitu perhitungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsep teori graf diperkenalkan pertama kali oleh seorang matematikawan Swiss,

I. PENDAHULUAN. Konsep teori graf diperkenalkan pertama kali oleh seorang matematikawan Swiss, I. PENDAHULUAN. Latar Belakang Konsep teori graf diperkenalkan pertaa kali oleh seorang ateatikawan Swiss, Leonard Euler pada tahun 736, dala perasalahan jebatan Konigsberg. Teori graf erupakan salah satu

Lebih terperinci

PENYEARAH TERKENDALI SATU FASA BERUMPAN BALIK DENGAN PERUBAHAN GAIN PENGENDALI PI (PROPORSIONAL INTEGRAL)

PENYEARAH TERKENDALI SATU FASA BERUMPAN BALIK DENGAN PERUBAHAN GAIN PENGENDALI PI (PROPORSIONAL INTEGRAL) Media Elektrika, ol. 8, No. 1, Juni 015 ISSN 1979-7451 PENYEARAH TERKENDALI SATU FASA BERUMPAN BALIK DENGAN PERUBAHAN GAIN PENGENDALI PI (PROPORSIONAL INTEGRAL) Adhi Kusantoro, ST, MT [1] Ir.Agus Nuwolo,

Lebih terperinci

Studi Eksperimen Pengaruh Variasi Kecepatan Putaran Kompresor Pada Sistem Pengkondisian Udara Dengan Pre-Cooling

Studi Eksperimen Pengaruh Variasi Kecepatan Putaran Kompresor Pada Sistem Pengkondisian Udara Dengan Pre-Cooling JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No., (016) ISSN: 337-3539 (301-971 Print) F-84 Studi Eksperien Pengaruh Variasi Kecepatan Putaran Kopresor Pada Siste Pengkondisian Udara Dengan Pre-Cooling Fariz Ibrohi dan Ary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi, dan

BAB I PENDAHULUAN. daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pebangunan daerah sebagai bagian yang integral dari pebangunan nasional dilaksanakan berdasakan prinsip otonoi daerah dan pengaturan suber daya nasional yang

Lebih terperinci

BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK

BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK BAB GLOMBANG LKTROMAGNTIK Contoh. Hubungan dan B dari gelobang bidang elektroagnetik Suatu gelobang bidang elektroagnetik sinusoidal dengan frekuensi 5 MHz berjalan di angkasa dala arah X, seperti ditunjukkan

Lebih terperinci

STUDI SIFAT MEKANIK KOMPOSIT ALUMINIUM BERPENGUAT NANO SILIKA (Al/SiO2) HASIL FABRIKASI DENGAN METALURGI SERBUK

STUDI SIFAT MEKANIK KOMPOSIT ALUMINIUM BERPENGUAT NANO SILIKA (Al/SiO2) HASIL FABRIKASI DENGAN METALURGI SERBUK TESIS SF 092006 STUDI SIFAT MEKANIK KOMPOSIT ALUMINIUM BERPENGUAT NANO SILIKA (Al/SiO2) HASIL FABRIKASI DENGAN METALURGI SERBUK HANAFII NRP 1110201006 DOSEN PEMBIMBING Dr. Moch. Zainuri, M.Si PROGRAM MAGISTER

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Program Studi Kimia FMIPA ITB sejak September 2007 sampai Juni 2008. III.1 Alat dan Bahan Peralatan

Lebih terperinci

Oleh: Sudaryatno Sudirham

Oleh: Sudaryatno Sudirham Mesin Sinkrn Oleh: Sudaryatn Sudirha Kita telah elihat bahwa pada transfratr terjadi alih energi dari sisi prier ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transfratr tersebut saa bentuknya (yaitu energi

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI JENIS KAYU BERDASARKAN SIFAT ELEKTRIK QUANTIFICATION THE TYPES OF WOOD BASED ELECTRICAL PROPERTIES

KUANTIFIKASI JENIS KAYU BERDASARKAN SIFAT ELEKTRIK QUANTIFICATION THE TYPES OF WOOD BASED ELECTRICAL PROPERTIES ISSN : 2355-9365 e-proceeding of Engineering : Vol.4, No.3 Deseber 2017 Page 3906 KUANTIFIKASI JENIS KAYU BERDASARKAN SIFAT ELEKTRIK QUANTIFICATION THE TYPES OF WOOD BASED ELECTRICAL PROPERTIES Zeny Firdha

Lebih terperinci

Getaran adalah gerakan bolak-balik dalam suatu interval waktu tertentu. Getaran berhubungan dengan gerak osilasi benda dan gaya yang berhubungan

Getaran adalah gerakan bolak-balik dalam suatu interval waktu tertentu. Getaran berhubungan dengan gerak osilasi benda dan gaya yang berhubungan 2.1.2. Pengertian Getaran Getaran adalah gerakan bolak-balik dala suatu interval waktu tertentu. Getaran berhubungan dengan gerak osilasi benda dan gaya yang berhubungan dengan gerak tersebut. Seua benda

Lebih terperinci

PENGARUH GEOMETRI TERAS TERHADAP KINERJA NEUTRONIK PADA REAKTOR PEMBIAK CEPAT DENGAN SIKLUS BAHAN BAKAR TERTUTUP

PENGARUH GEOMETRI TERAS TERHADAP KINERJA NEUTRONIK PADA REAKTOR PEMBIAK CEPAT DENGAN SIKLUS BAHAN BAKAR TERTUTUP PEGARUH GEOMETRI TERAS TERHADAP KIERJA EUTROIK PADA REAKTOR PEMBIAK CEPAT DEGA SIKLUS BAHA BAKAR TERTUTUP Dian Fitriyani dan Anton Basri Jurusan Fisika Universitas Andalas Kapus Liau Manis UAD Padang difiaal@gail.co

Lebih terperinci

Studi Eksperimen Pengaruh Dimensi Pipa Kapiler Pada Sistem Air Conditioning Dengan Pre-Cooling

Studi Eksperimen Pengaruh Dimensi Pipa Kapiler Pada Sistem Air Conditioning Dengan Pre-Cooling JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No., (016) ISSN: 337-3539 (301-971 Print) A-918 Studi Eksperien Pengaruh Diensi Pipa Kapiler Pada Siste Air Conditioning Dengan Pre-Cooling Awan Satya Darawan dan Ary Bachtiar

Lebih terperinci

KAJI NUMERIK PORTABLE PORTABLE COLD STORAGE TERMOELEKTRIK TEC

KAJI NUMERIK PORTABLE PORTABLE COLD STORAGE TERMOELEKTRIK TEC KAJI NUMERIK PORTABLE PORTABLE COLD STORAGE TERMOELEKTRIK TEC1-12706 Denny M. E Soedjono (1), Joko Sarsetiyanto (2), Dedy Zulhidayat Noor (3), Davit Priabodo 4) 1),2),3),4) Progra Studi D3 Teknik Mesin

Lebih terperinci

PERCOBAAN 6 VOLTAGE RATION IN COAXIAL LINES

PERCOBAAN 6 VOLTAGE RATION IN COAXIAL LINES PERCOBAAN 6 VOLTAGE RATION IN COAXIAL LINES I. TUJUAN PERCOBAAN a. Mengukur distribusi tegangan pada kondisi diterinasi 60 oh, ujung saluran terbuka dan Short circuit b. Mengukur distribusi λ/4, λ/2 pada

Lebih terperinci

4.2 Hasil Karakterisasi SEM

4.2 Hasil Karakterisasi SEM 4. Hasil Karakterisasi SEM Serbuk yang melewati proses kalsinasi tadi selain dianalisis dengan XRD juga dianalisis dengan menggunakan SEM untuk melihat struktur mikro, sehingga bisa dilihat bentuk dan

Lebih terperinci

KAJIAN METODE ZILLMER, FULL PRELIMINARY TERM, DAN PREMIUM SUFFICIENCY DALAM MENENTUKAN CADANGAN PREMI PADA ASURANSI JIWA DWIGUNA

KAJIAN METODE ZILLMER, FULL PRELIMINARY TERM, DAN PREMIUM SUFFICIENCY DALAM MENENTUKAN CADANGAN PREMI PADA ASURANSI JIWA DWIGUNA Jurnal Mateatika UNAND Vol. 3 No. 4 Hal. 160 167 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Mateatika FMIPA UNAND KAJIAN METODE ZILLMER, FULL PRELIMINARY TERM, DAN PREMIUM SUFFICIENCY DALAM MENENTUKAN CADANGAN PREMI PADA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fe 2 O 3 dari Pasir Besi Partikel nano magnetik Fe 3 O 4 merupakan salah satu material nano yang telah banyak dikembangkan. Untuk berbagai aplikasi seperti ferrogel, penyerap

Lebih terperinci

PENGARUH WATER STORAGE VOLUME TERHADAP UNJUK KERJA SOLAR ASSISTED HEAT PUMP WATER HEATER (SAHPWH) MENGGUNAKAN HFC-134a

PENGARUH WATER STORAGE VOLUME TERHADAP UNJUK KERJA SOLAR ASSISTED HEAT PUMP WATER HEATER (SAHPWH) MENGGUNAKAN HFC-134a PENGARUH WATER STORAGE VOLUME TERHADAP UNJUK KERJA SOLAR ASSISTED HEAT PUMP WATER HEATER (SAHPWH) MENGGUNAKAN HFC-34a Wibawa Endra J, Tri Istanto Staf Pengajar - Jurusan Teknik Mesin - Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Simulasi dan Analisis Kinerja Prediktor Smith pada Kontrol Proses yang Disertai Tundaan Waktu

Simulasi dan Analisis Kinerja Prediktor Smith pada Kontrol Proses yang Disertai Tundaan Waktu 6 Siulasi dan Analisis Kinerja Prediktor Sith pada Kontrol Proses yang Disertai Tundaan Waktu Neilcy Tjahja Mooniarsih Progra Studi Teknik Elektro Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura

Lebih terperinci

APLIKASI INTEGER LINEAR PROGRAMMING UNTUK MEMINIMALKAN BIAYA PEMINDAHAN BARANG DI PT RST

APLIKASI INTEGER LINEAR PROGRAMMING UNTUK MEMINIMALKAN BIAYA PEMINDAHAN BARANG DI PT RST APLIKASI INTEGER LINEAR PROGRAMMING UNTUK MEMINIMALKAN BIAYA PEMINDAHAN BARANG DI PT RST Andry Budian Sutanto dan Abdullah Shahab Progra Studi Magter Manajeen Teknologi, Institut Teknologi Sepuluh Nopeber

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat yang Digunakan Alat yang akan digunakan dalam

Lebih terperinci

FISIKA. Sesi GELOMBANG CAHAYA A. INTERFERENSI

FISIKA. Sesi GELOMBANG CAHAYA A. INTERFERENSI FISIKA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 03 Sesi NGAN GELOMBANG CAHAYA Cahaya erupakan energi radiasi berbentuk gelobang elektroagnetik yang dapat dideteksi oleh ata anusia serta bersifat sebagai gelobang

Lebih terperinci

Perbandingan Mean Squared Error (MSE) Metode Prasad-Rao dan Jiang-Lahiri-Wan Pada Pendugaan Area Kecil

Perbandingan Mean Squared Error (MSE) Metode Prasad-Rao dan Jiang-Lahiri-Wan Pada Pendugaan Area Kecil Vol. 2, 2017 Perbandingan Mean Squared Error (MSE) Metode Prasad-Rao dan Jiang-Lahiri-Wan Pada Pendugaan Area Kecil Widiarti 1*, Rifa Raha Pertiwi 2, & Agus Sutrisno 3 Jurusan Mateatika, Fakultas Mateatika

Lebih terperinci

Dampak Pembangunan SMPN 3 Blitar Terhadap Kinerja Lalu Lintas Sekitarnya

Dampak Pembangunan SMPN 3 Blitar Terhadap Kinerja Lalu Lintas Sekitarnya Dapak Pebangunan SMPN 3 Blitar Terhadap Kinerja Lalu Lintas Sekitarnya Miftachul Huda 1), Dwi Muryanto 2) 1) Teknik Sipil, Teknik, Universitas Muhaadiyah Surabaya Jl. Sutorejo No. 59 Surabaya, 60113 Eail:

Lebih terperinci

Pengaruh Kadar TiO 2 Terhadap Kekuatan Bending Komposit Serbuk Al/TiO 2

Pengaruh Kadar TiO 2 Terhadap Kekuatan Bending Komposit Serbuk Al/TiO 2 Pengaruh Kadar TiO 2 Terhadap Kekuatan Bending Koposit Serbuk Al/TiO 2 Toto Rusianto Dosen Jurusan Teknik Mesin Institut Sains & Teknologi Akprind Yogyakarta Eail: totorusianto@yahoo.co, toto@akprind.ac.id

Lebih terperinci

BAHAN KUIS PRA-UTS MEKANIKA, Oktober 2011

BAHAN KUIS PRA-UTS MEKANIKA, Oktober 2011 tosi-ipb.blogspot.co ekanika I BAHAN KUIS PRA-UTS EKANIKA, 3-4 Oktober 0 Untuk kalangan sendiri Tidak diperjualbelikan Silakan kerjakan soal-soal berikut, pahai dengan baik. Soal Kuis akan diabil dari

Lebih terperinci

Perbandingan Bilangan Dominasi Jarak Satu dan Dua pada Graf Hasil Operasi Comb

Perbandingan Bilangan Dominasi Jarak Satu dan Dua pada Graf Hasil Operasi Comb Perbandingan Bilangan Doinasi Jarak Satu dan Dua pada Graf Hasil Operasi Cob Reni Uilasari 1) 1) Jurusan Teknik Inforatika, Fakultas Teknik, Universitas Muhaadiyah Jeber Eail : 1) reniuilasari@gailco ABSTRAK

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH KUALITAS UAP RATA-RATA TERHADAP KOEFISIEN PERPINDAHAN PANAS RATA-RATA PADA PIPA KAPILER DI MESIN REFRIGERASI FOCUS 808

ANALISIS PENGARUH KUALITAS UAP RATA-RATA TERHADAP KOEFISIEN PERPINDAHAN PANAS RATA-RATA PADA PIPA KAPILER DI MESIN REFRIGERASI FOCUS 808 Jurnal Mekanikal, Vol. No. : Juli 011: 10 16 ISSN 086-3403 ANALISIS PENGARUH KUALITAS UAP RATA-RATA TERHADAP KOEFISIEN PERPINDAHAN PANAS RATA-RATA PADA PIPA KAPILER DI MESIN REFRIGERASI FOCUS 808 Basri

Lebih terperinci

Respon Tanaman Jagung (Zea mays) pada Berbagai Regim air Tanah dan Pemberian Pupuk Nitrogen

Respon Tanaman Jagung (Zea mays) pada Berbagai Regim air Tanah dan Pemberian Pupuk Nitrogen Respon Tanaan Jagung (Zea ays) pada Berbagai Regi air Tanah dan Peberian Pupuk Nitrogen Burhanuddin Rasyid, Solo S.R. Saosir, Firan Sutoo Jurusan Ilu Tanah, Fak. Pertanian, Universitas Hasanuddin Jl. Perintis

Lebih terperinci

Dinamika 3 TIM FISIKA FTP UB. Fisika-TEP FTP UB 10/16/2013. Contoh PUSAT MASSA. Titik pusat massa / centroid suatu benda ditentukan dengan rumus

Dinamika 3 TIM FISIKA FTP UB. Fisika-TEP FTP UB 10/16/2013. Contoh PUSAT MASSA. Titik pusat massa / centroid suatu benda ditentukan dengan rumus Fisika-TEP FTP UB /6/3 Dinaika 3 TIM FISIKA FTP UB PUSAT MASSA Titik pusat assa / centroid suatu benda ditentukan dengan ruus ~ x x ~ y y ~ z z Diana: x, y, z adalah koordinat titik pusat assa benda koposit.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Graph Sebelu sapai pada pendefinisian asalah network flow, terlebih dahulu pada bagian ini akan diuraikan engenai konsep-konsep dasar dari odel graph dan representasinya

Lebih terperinci

PERFORMANSI MESIN REFRIGERASI KOMPRESI UAP TERHADAP MASSA REFRIGERAN OPTIMUM MENGGUNAKAN REFRIGERAN HIDROKARBON

PERFORMANSI MESIN REFRIGERASI KOMPRESI UAP TERHADAP MASSA REFRIGERAN OPTIMUM MENGGUNAKAN REFRIGERAN HIDROKARBON PERFORMANSI MESIN REFRIGERASI KOMPRESI UAP TERHADAP MASSA REFRIGERAN OPTIMUM MENGGUNAKAN REFRIGERAN HIDROKARBON Azridjal Aziz (1) (1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Universitas Riau ABSTRAK Julah assa

Lebih terperinci

= mv Momentum akhir setelah tumbukan pertama:

= mv Momentum akhir setelah tumbukan pertama: 1.79. Sebuah bola baja berassa = 50 g jatuh dari ketinggian h = 1,0 pada perukaan horisontal sebuah papan tebal. Tentukan oentu total yang diberikan bola pada papan setelah terpental beberapa kali, bila

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Mulai. Persiapan alat dan bahan. Meshing AAS. Kalsinasi + AAS. Pembuatan spesimen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Mulai. Persiapan alat dan bahan. Meshing AAS. Kalsinasi + AAS. Pembuatan spesimen BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian berikut: Pada penelitian ini langkah-langkah pengujian mengacu pada diagram alir Mulai Persiapan alat dan bahan Meshing 100 + AAS Kalsinasi + AAS

Lebih terperinci

PERENCANAAN ALTERNATIF STRUKTUR BAJA GEDUNG MIPA CENTER (TAHAP I) FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG JURNAL

PERENCANAAN ALTERNATIF STRUKTUR BAJA GEDUNG MIPA CENTER (TAHAP I) FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG JURNAL PERENCANAAN ALTERNATIF STRUKTUR BAJA GEDUNG MIPA CENTER (TAHAP I) FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG JURNAL Diajukan untuk eenuhi persyaratan eperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci