ANALISIS PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN SUAKA ALAM (STUDI KASUS CAGAR ALAM TANGKOKO-DUASUDARA, SULAWESI UTARA) SANDRA PONTONUWU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN SUAKA ALAM (STUDI KASUS CAGAR ALAM TANGKOKO-DUASUDARA, SULAWESI UTARA) SANDRA PONTONUWU"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN SUAKA ALAM (STUDI KASUS CAGAR ALAM TANGKOKO-DUASUDARA, SULAWESI UTARA) SANDRA PONTONUWU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi Kasus Cagar Alam Tangkoko- Duasudara, Sulawesi Utara) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2006 Sandra Pontonuwu NIM P

3 ABSTRAK SANDRA PONTONUWU. Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi Kasus Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, Sulawesi Utara). Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR dan SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI. Kegiatan ekowisata di Cagar Alam Tangkoko-Duasudara (CATDS) telah menimbulkan masalah yang kompleks, berkaitan dengan statusnya sebagai cagar alam sementara kegiatan ekowisata terus meningkat dan tidak mungkin untuk dihentikan. Untuk itu diperlukan tindakan kebijakan dalam merumuskan pengelolaan dan pengembangan ekowisata di CATDS. Metode yang digunakan adalah survei lapangan mengacu pada kriteria standar penilaian obyek dan daya tarik wisata alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan CATDS sangat potensial untuk pengembangan kegiatan ekowisata, dengan daya tarik obyek di CATDS, keunikan, dan endemisitas keanekaragaman flora dan fauna. Terdapat tiga jalur interpretasi yang potensial yaitu Jalur Lingkar; Jalur Puncak dan Jalur Kumeresot, dimana semua atraksi unik kawasan dapat dinikmati. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kebijakan dengan sistem zonasi menjadi pilihan pertama dalam rumusan pengembangan ekowisata di CATDS. Strategi yang perlu dilakukan adalah kerjasama dengan semua stakeholder dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya, meningkatkan pelayanan; akomodasi; sarana dan prasarana untuk menunjang pengembangan yang berkelanjutan. Perencanaan pengembangan yang terintegrasi dengan prinsip pengelolaan co-management dari semua stakeholder juga harus dilakukan.

4 ABSTRACT SANDRA PONTONUWU. Ecotourism Development Analysis in Nature Sanctuaries Areas (A Case Study of Tangkoko-Duasudara Nature Reserve, North Sulawesi). Supervised by ARIS MUNANDAR and SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI. Ecotourism operation in Tangkoko-Duasudara Nature Reserve (TDNR) has generated very complex problem due to its status as preservation area, while ecotourism activity increasing and was no longer possible to be discontinued. Therefore, a policy action formulating management and development of ecotourism in TDNR is needed. Field survey was used as a method concerning standard criterion assessment of objects and natural recreation fascination. Research result indicated that area of TDNR was high potency to be developed for ecotourism, with a lot of interesting objects within the TDNR, a unique and endemic biodiversity of flora and fauna. There are three potential interpretation paths i.e. Lingkar Path; Puncak Path and Kumeresot Path, where all unique attractions could be observed. It also indicated that policy zoning was become first order policy. Suggested strategies are cooperation among stakeholders in managing cultural and natural resources; improvement of service; improvement of accommodation; improvement of facilities and infrastructure to support going concern development. Planning of integrated development from all stakeholders with principles of co-management is also recommended.

5 Hak cipta milik Sandra Pontonuwu, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 ANALISIS PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN SUAKA ALAM (STUDI KASUS CAGAR ALAM TANGKOKO-DUASUDARA, SULAWESI UTARA) SANDRA PONTONUWU Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

7

8 Judul Tesis : Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi Kasus Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, Sulawesi Utara) Nama : Sandra Pontonuwu NIM : P Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. Ketua Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian: 13 Januari 2006 Tanggal Lulus:

9 PERSEMBAHAN Karya ilmiah ini kupersembahkan buat Mama & Papa terima kasih doanya untuk keberhasilanku dalam menyelesaikan studi dan biarlah doa kalian selalu menyertaiku dalam mewujudkan impian kalian menjadi anak perempuan yang selalu memancarkan keindahan dan membawa damai dimanapun aku berada, seperti kata pemazmur: Anak-anak perempuan kita seperti tiang-tiang penjuru, yang dipahat untuk bangunan istana! (Mazmur 144:12). Kakak-kakakku: Reine & Math terima kasih untuk doa, kasih sayang, bantuan moril maupun materinya bagiku, tanpa kalian aku tidak dapat mewujudkan impianku. Ritha & Ferry; Robert & Altje; Rudy & Winnie, terima kasih untuk doa dan kasih sayangnya. Keponakanku: Stevie, Stephani, Nikita, Cendy, Olda dan Rafael, kalian semua adalah malaikat kecil bagiku, terima kasih untuk doa setiap hari buat keberhasilanku. Semoga karya ini menjadi pendorong bagi kalian untuk menggapai cita-cita setinggi langit... Sahabat-sahabatku: Simon Awuy sahabatku yang terkasih terima kasih untuk doa, kasih sayang dan waktu yang diberikan buatku selama ini; Mapala Asteroida Fapet Unsrat (Romi, Chito, Maikel dan Roiyan) terima kasih atas doa dan dukungannya...viva Asteroida; PSL 2003/ganjil: Aini Muthmainah, Audy Supit, Triadi Lesmono terima kasih untuk persahabatan dan persaudaraan yang kalian berikan selama kuliah di PSL; Yaconias, Pak Luther, Pak Fikri dan Pak Hengky terima kasih selalu menjadi sumber inspirasi bagiku; Daud, Shinta, Theresa, Ibu Ida, Fauziah, Nur Indriyani, Wiwik, Arif, Pak Jemi, Pak Melky, Pak Saharin, Agustinus, Edward, Teguh, terima kasih telah memberi warna dalam hidupku. Semoga kasih Kristus selalu menyertai kita dalam menggapai cita-cita, Amin.

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan berkatnya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Oktober 2005 memilih tema ekowisata, dengan judul Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi Kasus Cagar Alam Tangkoko-Duasudara). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. dan Ibu Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc selaku pembimbing, serta WCS-IP Sulawesi dan BKSDA Sulawesi Utara atas bantuan selama penelitian. Penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh jagawana resort Batuputih, Pemerintah Kelurahan Batuputih, Big Antono (WCS-IP, Sulawesi), Andree Ekadinata (ICRAF), Noldi Kakauhe (KONTAK), serta Mapala Asteroida Fakultas Peternakan Unsrat Manado, yang telah membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada mama, papa, kakak-kakak, serta seluruh keluarga dan sahabat atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2005 Sandra Pontonuwu

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotamobagu, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal 4 September 1976 sebagai anak bungsu dari pasangan Markus Max Pontonuwu dan Telly Liuw. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri I Kotamobagu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado melalui Program Tumou Tou. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNSRAT, lulus pada tahun Pada tahun , penulis bekerja di Wildlife Conservation Society- Indonesian Programme (WCS-IP, Sulawesi). Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke program Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana IPB.

12 DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH BKSDA : Balai Konservasi Sumberdaya Alam CA : Cagar Alam CATDS : Cagar Alam Tangkoko-Duasudara HL : Hutan Lindung KONTAK : Tangkoko Ecotourism Guides Club LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MPE : Metode Perbandingan Eksponensial Pemkot : Pemerintah Kota PHKA : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam SDA : Sumberdaya Alam. SDM : Sumberdaya Manusia SM : Suaka Margasatwa Sulut : Sulawesi Utara TB : Taman Buru TN : Taman Nasional TNBNW : Taman Nasional Bogani Nani Wartabone TNL : Taman Nasional Laut TWA : Taman Wisata Alam Unsrat : Universitas Sam Ratulangi WCS-IP : Wildlife Conservation Society-Indonesian Programme

13

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ix x I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Manfaat Penelitian... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Konsep Ekowisata Pengembangan Ekowisata Kawasan Suaka Alam Peraturan-Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi III. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Analisis Data Analisis Penilaian Potensi Analisis Paket Kegiatan dan Analisis Sarana dan Prasarana Analisis Pengunjung Analisis Stakeholder Analisis Metode Perbandingan Eksponensial IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Fisik Flora dan Fauna Masyarakat dan Penggunaan Lahan vi

15 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian Potensi Sumberdaya Ekowisata Potensi Sumberdaya Alam Potensi Sosial, Budaya dan Ekonomi Potensi Pengunjung Analisis Stakeholder: Peranan dan Kepentingannya Evaluasi Jalur Interpretasi Evaluasi Alternatif Kebijakan Aplikasi dalam Rencana Pengembangan Ekowisata VI. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vii

16 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kriteria kawasan wisata Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan konservasi dan ekowisata Analisis stakeholder Bobot kriteria penilaian jalur interpretasi Bobot kriteria penilaian alternatif kebijakan Matriks MPE evaluasi jalur interpretasi Matriks MPE evaluasi alternatif kebijakan Tipe habitat di CA Tangkoko-Duasudara Hasil penilaian potensi sumberdaya ekowisata Sarana dan prasarana di kawasan CA Tangkoko-Duasudara Analisis stakeholder: peranan dan kepentingannya Matriks potensi atraksi di jalur interpretasi Hasil evaluasi jalur interpretasi Urutan bobot kriteria penilaian alternatif kebijakan Hasil evaluasi alternatif kebijakan viii

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan alir kerangka berfikir: tahapan dan proses penelitian Definisi ekowisata menurut Ziffer (1989) Peta lokasi penelitian Macaca nigra dan ternak babi Tarsius spectrum Macaca nigra Amorphophallus sp Beringin Lobang (Ficus altissima) Pengunjung yang berkemah di dalam kawasan Motor dan Macaca nigra Sunrise dan rumah terapung di depan Pos Kegiatan favorit yang dilakukan pengunjung di Pantai Tangkoko Menara Pengintai Maleo dan lomba perahu nelayan Jenis transportasi darat dan laut Pintu masuk utama kawasan CATDS dan TWA Batuputih Shelter di depan area camping ground Jumlah wisatawan asing sampai bulan Mei Jumlah wisatawan asing tahun 1995 sampai tahun Mobil dan motor yang diparkir di dalam kawasan Peta jalur interpretasi yang dievaluasi Peta Jalur Lingkar Peta Jalur Kumeresot dan Jalur Alang-alang Peta Jalur Puncak ix

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kawasan konservasi di Provinsi Sulawesi Utara Wilayah kerja BKSDA Sulawesi Utara Tabel kriteria penilaian dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam Daftar jenis vegetasi di CA Tangkoko-Duasudara Daftar jenis burung di CA Tangkoko-Duasudara Daftar jenis mamalia di CA Tangkoko-Duasudara Daftar jenis reptil di CA Tangkoko-Duasudara Tabel hasil penilaian potensi sumberdaya ekowisata a Obyek wisata darat b Obyek wisata pantai c Kondisi lingkungan sosial ekonomi d Pelayanan masyarakat e Kadar hubungan atau aksesibilitas f Akomodasi, sarana dan prasarana penunjang g Tersedianya air bersih h Hubungan obyek dengan obyek wisata lain dan keamanan Peta kawasan konservasi dan sebaran satwa liar di Minahasa, Manado dan Bitung Peta obyek wisata alam di Minahasa, Manado dan Bitung x

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk itu ekowisata dapat menjadi sarana berguna bagi pengelolaan sumberdaya alam secara lestari, sebagai bagian dari model terpadu yang mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, sosial budaya dan pelestarian (Lee et al. 2001). Secara teori, ekowisata dapat membantu pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (Jacobson 1994), yang kemudian dapat menjadi solusi ideal untuk menggabungkan tujuan dari pembangunan dan konservasi (Kinnaird & O Brien 1996). Dalam usaha untuk menggabungkan tujuan tersebut, Indonesia seperti negara maju lainnya mulai mengembangkan ekowisata (Ruschmann 1992; Giannecchini 1993; Weber 1993; Kinnaird & O Brien 1996). Cagar Alam Tangkoko-Duasudara (CATDS) salah satu contoh yang sangat nyata dari kawasan lindung di Indonesia yang mengalami pertumbuhan sangat dramatis dalam ekowisata (Kinnaird & O Brien 1996). Pengelolaan ekowisata di kawasan lindung di Sulawesi Utara (Sulut) ratarata kurang baik; dari potensinya, finansial, pendidikan dan promosi diperkirakan tidak ada (Lee et al. 2001). Saat ini ekowisata terpusat di tiga kawasan lindung di Sulut, yaitu CATDS, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) dan Taman Nasional Laut (TNL) Bunaken. Karena keunikannya CATDS banyak mendapat perhatian peneliti dan wisatawan, kegiatan wisata asing mulai populer pada tahun 80-an. Mackinnon J dan Mackinnon K (1980) mencatat hanya 50 wisatawan asing mengunjungi Tangkoko pada tahun Tahun 1990 jumlah wisatawan meningkat sampai 643 orang, dan akan terus meningkat (Kinaird & O Brien 1996). Pengalokasian sebagian kawasan hutan sebagai kawasan suaka alam merupakan langkah awal dalam upaya konservasi sumberdaya alam yang terintegrasi dalam strategi konservasi sumberdaya alam dunia, yaitu perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

20 2 secara lestari dan berkesinambungan (PHKA 1995). Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah terus berusaha menjaga agar fungsi kawasan CATDS sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya juga sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan tetap terjaga. Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Cagar Alam (CA) adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kegiatan ekowisata di CATDS telah mengubah pemahaman masyarakat lokal tentang fungsi kawasan. Masyarakat melihat wisatawan memasuki kawasan, sementara berulangkali disampaikan bahwa berdasarkan fungsi kawasan sebagai CA maka mereka tidak boleh masuk. Sementara itu Pemerintah Kota (Pemkot) Bitung melihat bahwa CATDS adalah sumberdaya yang tidak memberikan kontribusi apapun bagi daerah, karena CATDS tidak dapat dikelola secara langsung oleh Pemkot untuk mendapatkan pemasukan bagi daerah maupun bagi masyarakat sekitar kawasan. Banyaknya tekanan dan masalah yang dihadapi membuktikan bahwa status Tangkoko-Duasudara sebagai CA tidak menjamin kelestarian kawasan itu sendiri. Adanya opini yang berkembang di masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan para peneliti yang mempertanyakan apakah status kawasan Tangkoko-Duasudara masih sesuai dengan keadaannya saat ini atau apakah harus diubah menjadi Taman Nasional (TN) sebagai sister park TNL Bunaken untuk mengatasi semua permasalahan yang dihadapi, terutama masalah kegiatan ekowisata Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1 Menganalisis dan memetakan potensi ekowisata di Cagar Alam Tangkoko-Duasudara. 2 Merumuskan rencana pengembangan ekowisata yang sesuai dengan potensi, permintaan, tujuan pengelolaan, rencana pembangunan daerah sekitarnya dan status kawasan.

21 Kerangka Pemikiran Kegiatan ekowisata pada akhirnya memang tidak bisa terlepas dari dampak yang dapat ditimbulkan baik positif maupun negatif, sampai pada ambang batas tertentu dimana dampak yang terjadi sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Lebih baik untuk menentukan bagaimana ekowisata memberikan pengaruh pada setiap faktor secara relevan (biofisik, sosial budaya dan ekonomis) dan kemudian bergerak pada satu nilai keputusan hingga sampai berapa banyak perubahan dari masing-masing parameter tersebut dapat dipertimbangkan untuk diterima oleh kawasan dan masyarakat lokal. Adanya perubahan penggunaan dan fungsi CATDS akibat dari kebijakan masing-masing stakeholder yang pada akhirnya menimbulkan konflik karena perbedaan kepentingan dan persepsi tentang batas-batas kewenangan. Untuk mengatasinya diperlukan tindakan kebijakan dalam pengelolaan ekowisata di CATDS. Dalam pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan, langkah-langkah penting yang harus dipersiapkan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya dampak negatif adalah dengan melakukan kerja sama antara stakeholder seperti masyarakat lokal, pemerintah, swasta dan pihak-pihak lain yang terkait. Penelitian ini memadukan aspek biofisik, sosial budaya dan ekonomi serta stakeholder dalam menganalisis pengembangan ekowisata. Gambar 1 menunjukkan kerangka berfikir: tahapan dan proses dalam melaksanakan penelitian Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi CATDS sangat kompleks, ada kegiatan wisata dengan status tidak resmi dan pemerintah kesulitan membuat peraturannya. Taman wisata alam (TWA) Batuputih dengan luas 615 ha ditetapkan berdasarkan KEPMENTAN No Tahun 1981, niatnya jelas untuk pariwisata tetapi karena tidak disertai dengan rencana pengelolaan, kegiatan wisata akhirnya tumbuh secara alamiah dan berpotensi menjadi ancaman bagi kawasan CA. Kawasan TWA yang disediakan tidak layak untuk dijual, Taman Wisata Batuputih hanya alang-alang. Tidak ada satwa disitu (NRM 2002).

22 Perumusan Tujuan Survei dan Analisis Formulasi Kebijakan dan Rencana Rekomendasi BIOFISIK Geografi, Topografi, Geologi, Tanah, Iklim dan Gejala Alam Flora & Fauna Analisis Penilaian Potensi Jalur Interpretasi Evaluasi Jalur Interpretasi Rumusan Akhir Tujuan Pengembangan Objek & Daya tarik Manfaat Ekowisata yg optimal Tujuan-tujuan Pengembangan Pengunjung SOSBUD & EKONOMI Analisis Karakteristik Alternatif Kebijakan Evaluasi Alternatif Kebijakan Penduduk (sosial) Budaya Sarana Penunjang Analisis Sarana & Prasarana Ekonomi Kebijakan & Rencana Pengelolaan Kawasan Analisis Paket Kegiatan Stakeholder Analisis Stakeholder Umpan Balik Gambar 1 Bagan alir kerangka berfikir: tahapan dan proses penelitian. 4

23 5 Dengan segala kekayaan dan keunikannya, CATDS sangat potensial bagi kegiatan ekowisata, namun sangat disayangkan kegiatan ekowisata di kawasan ini tidak dikelola dengan baik dan sangat potensial bagi dampak negatif serta hilangnya pendapatan yang besar (Kinnaird & O Brien 1996). Hal ini terjadi karena tidak adanya batas kegiatan ekowisata yang jelas antara TWA Batuputih dan CATDS, sementara itu kegiatan ekowisata di CATDS terus meningkat. Hal ini memperjelas masalah yang dihadapi CATDS bahwa ada permintaan akan kegiatan ekowisata yang tinggi, didukung oleh obyek yang dapat dijual tetapi dibatasi oleh status kawasan sebagai CA. Untuk menganalisis kegiatan ekowisata di CATDS diperlukan identifikasi dan inventarisasi obyek wisata dan faktor-faktor pendukungnya yaitu biofisik, sosial budaya dan ekonomis yang disesuaikan dengan potensi, permintaan, tujuan pengelolaan, rencana pembangunan daerah sekitarnya dan yang lebih penting lagi status kawasan. Dengan demikian diharapkan manfaat ekowisata di kawasan dapat diperoleh secara optimal, yaitu secara sosial ekonomis memberikan keuntungan dan secara ekologis kawasan CATDS tetap lestari. Analisis pengembangan ekowisata di CATDS diharapkan dapat menjadi masukan penting dalam menentukan pemecahan masalah yang dihadapi CATDS. Dengan dukungan semua pemangku kepentingan (stakeholder) maka hasil yang diperoleh nanti dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam menetapkan kebijakan rencana pengelolaan dan pelestarian kawasan CATDS Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1 Memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan dalam pengelolaan ekowisata di CATDS. 2 Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan 3 Memberikan alternatif bentuk pengelolaan ekowisata yang secara ekonomis menguntungkan dan secara ekologis kawasan tetap lestari.

24 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Konsep Ekowisata Definisi dan konsep ekowisata masih terus menjadi bahan diskusi di dunia internasional, bahkan ada yang menyatakan bahwa ekowisata adalah sebuah konsep yang menggabungkan teori konservasi moderen dengan pembuatan uang (Ziffer 1989), dimana kapitalis dan konservasi bergabung memperjuangkan hal yang sama yaitu pelestarian hidupan liar untuk mendapatkan keuntungan. Penelitian-penelitian tentang pariwisata sejak tahun 1980 telah mengarah pada pariwisata yang bertanggung jawab, ramah lingkungan serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal, hal ini biasa disebut sebagai pariwisata alternatif (Krippendorf 1982 dalam Fennell 1999). Sebagai bagian dari kegiatan pariwisata, akar ekowisata terletak pada wisata alam (Priskin 2001). Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Hector Ceballos- Lascurain, setelah itu beberapa pakar mendefinisikan ekowisata yang masingmasing meninjau dari sudut pandang berbeda (Fennell 1999). Ekowisata umumnya didefinisikan sebagai perjalanan ke daerah yang masih alami untuk menikmati pemandangan dan hidupan liar (Boo 1990; Jacobson 1994), dengan asumsi bahwa sedikit atau tidak menimbulkan dampak pada lingkungan dan memberikan manfaat secara ekonomi dengan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat (Kinnaird & O Brien 1996; Fandeli 2000a). Ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial yang diberi batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya dan keberlanjutannya (Fandeli 2000b). Ekowisata merupakan pariwisata alternatif dalam dunia perjalanan dan konservasi (Western 1993 dalam Lindberg 1993). Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi, oleh karena itu ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab (Fandeli 2000a). Para konservasionis melihat ekowisata sebagai kegiatan yang mampu meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi dan meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi, sedangkan para

25 7 ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana 1999). Banyak orang menganggap bahwa ekowisata merupakan kesempatan untuk menghasilkan pendapatan dan lapangan pekerjaan di daerah-daerah yang masih alami, tetapi sedikit sekali uang dari pendapatan yang kembali ke tempat tersebut (Lindberg 1991; Boo 1990). Pembagian hasil dari keuntungan wisata dapat mengurangi konflik antara institusi pengelolaan kawasan dengan masyarakat lokal dan meningkatkan partisipasi lokal dalam pengelolaan kawasan (Archabald & Treves 2001). Teorinya, meningkatkan pariwisata di negara-negara berkembang dapat meningkatkan pendapatan lokal. Pendapatan lokal yang tinggi dapat menyumbangkan insentif untuk konservasi (Taylor et al. 2003; Wunder 2000), karena pendapatan wisata lokal sasarannya adalah mereka sendiri dan sebagai instrumen untuk konservasi (Wunder 2000). Menurut Ziffer (1989) relevansi dari ekowisata terletak pada tiga hal, yaitu 1 Ekowisata dapat memajukan dan membiayai konservasi, 2 Ekowisata dapat memajukan dan membiayai pembangunan ekonomi, dan 3 Ekowisata dapat menghancurkan sumberdaya alam yang dilindungi. Batasan Ekowisata secara nasional dirumuskan oleh Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam rencana strategis ekowisata nasional adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, berintikan partisipasi aktif masyarakat, dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah dan diberlakukan bagi kawasan lindung; kawasan terbuka; kawasan alam binaan serta kawasan budaya (Sekartjakrarini 2004). Banyaknya definisi ekowisata menunjukkan bahwa ekowisata sebenarnya masih merupakan suatu konsep yang akan terus berkembang. Menurut Ziffer (1989) lebih kurang ada 10 istilah dengan banyak variasi yang sering dipakai dalam ekowisata, substansi istilah tersebut berbeda dan terpisah. Kategori istilah ada yang bersifat deskripsi seperti ekspresi dari perjalanan-alam dan perjalanan petualangan, segmen wisata ini berbasis pada aktivitas dimana wisatawan berpartisipasi selama

26 8 kunjungan mereka. Kategori istilah yang lain berbasis nilai seperti wisata yang bertanggung jawab, perjalanan yang beretika, yang menekankan kebutuhan untuk mempertimbangkan pendekatan dan dampak perjalanan tanpa mempengaruhi aktivitas wisata. Definisi secara penuh dari konsep ekowisata (Gambar 2) harus meliputi motivasi, tingkah laku, dampak dan keuntungan yang diperoleh (Ziffer 1989). DESKRIPSI/AKSI Wisata berbasis alam Wisata sejarah alam Perjalanan budaya Perjalanan petualangan Perjalanan pengalaman Perjalanan menambah nilai/pendidikan NILAI Wisata alternatif Wisata yang bertanggung jawab Perjalanan etika EKOWISATA PENDEKATAN BERENCANA MOTIVASI TINGKAH LAKU DAMPAK KEUNTUNGAN Gambar 2 Definisi ekowisata menurut Ziffer (1989). Secara konseptual ekowisata adalah suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Supriatna et al. 2000).

27 Pengembangan Ekowisata Sebagai alat pembangunan, ekowisata dapat mewujudkan tiga tujuan dasar dari konservasi keanekaragaman hayati (UNEP 2003), yaitu 1 Melindungi keanekaragaman hayati dan budaya dengan penguatan sistem manajemen kawasan lindung (umum atau privat) dan meningkatkan nilai ekosistem. 2 Mendukung penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dengan menaikkan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam ekowisata dan jaringan usaha yang relevan. 3 Membagi keuntungan pengembangan ekowisata dengan masyarakat lokal, melalui partisipasi aktif dalam perencanaan dan pengelolaan dari kegiatan ekowisata. Dengan menyalurkan keuntungan wisata untuk masyarakat lokal, para konservasionis berharap dapat membangun sikap masyarakat lokal untuk mendukung konservasi dan dapat mengimbangi biaya-biaya pelestarian (Archabald & Treves 2001). Harus disadari bahwa walaupun ekowisata dapat menjadi alat berharga untuk melestarikan keanekaragaman hayati, juga mempunyai dampak negatif yang lama terhadap lingkungan (ekologis), satwa liar dan masyarakat lokal jika pengelolaannya kurang tepat (Kinnaird & O Brien 1996). Beberapa bahaya tertentu dapat timbul dari kegiatan ekowisata yang tidak dibatasi seperti masalah kesenjangan ekonomi dan perselisihan diantara anggota masyarakat, konflik budaya antara wisatawan dan masyarakat lokal dan gangguan ekologis yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Pengelolaan hutan untuk ekowisata merupakan pilihan yang prospektif (Fandeli 2000b), hal ini dilihat dari perubahan yang terjadi pada kurun waktu dua dekade terakhir ini yaitu telah terjadi pergeseran dari mass tourism ke customized tourism. Ekowisata dapat dikembangkan di kawasan hutan produksi; hutan lindung dan hutan konservasi, juga di desa-desa yang mempunyai kekhasan/keunikan. Ada empat prinsip yang harus menjadi pegangan dalam pengembangan hutan untuk ekowisata yaitu konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat dan ekonomi (Ridwan 2000).

28 10 Ketersediaan dan kualitas komponen produk wisata sangat ditentukan oleh kesiapan para pelaku wisata yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Keberhasilan dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata merupakan hasil kerja sama antara stakeholder, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat (Spoule 1996 dalam Fennell 1999). Menurut Fennel (1999) ada delapan prinsip untuk membangun kemitraan antara stakeholder. Prinsip tersebut adalah 1 Berdasarkan budaya masyarakat lokal. 2 Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat lokal. 3 Mempertimbangkan untuk mengembalikan kepemilikan daerah yang dilindungi kepada penduduk asli. 4 Memberikan insentif kepada masyarakat lokal. 5 Mengaitkan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang dilindungi. 6 Memberikan prioritas kepada masyarakat dengan skala kecil. 7 Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan. 8 Mempunyai keberanian untuk melakukan pelarangan. Tempat Tujuan Ekowisata Tempat tujuan wisata merupakan elemen yang penting karena tempat tujuan tersebut umumnya merupakan alasan utama bagi wisatawan untuk berkunjung (Cooper et al. 1993), jadi keadaan di tempat tujuan wisata seperti atraksi wisata, fasilitas, aksesibilitas, pelayanan dan keamanan akan sangat mempengaruhi jumlah pengunjung. World Tourism Organisation (WTO) dan United Nation Environmental Programme (UNEP) menetapkan kriteria-kriteria untuk suatu kawasan ekowisata (Tabel 1), kriteria-kriteria tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan lokasi tujuan ekowisata (Stecker 1996). Dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata sangat penting untuk mengetahui segmen pasar atau sisi permintaan dari ekowisata. Segmen pasar dari ekowisata dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan sosio-demografi, karakteristik dalam perjalanan, motivasi dan pengalaman pengunjung. Pengunjung yang memiliki kebutuhan tertentu, akan memilih tujuan wisata tertentu pula.

29 11 Tabel 1 Kriteria kawasan wisata No Kriteria 1 Kekhasan atraksi alam (Flagship attraction): tipe hutan, sungai, danau - keanekaragaman hayati - keunikan spesies tertentu - kemudahan mengamati flora dan fauna 2 Atraksi pendukung/pelengkap: berenang (air terjun, sungai, pantai)- kegiatan olahraga (jalan kaki, memancing, mendayung) - budaya lokal (kesenian, kebiasaan-kebiasaan tradisional) - peninggalan sejarah 3 Aksesibilitas dan Infrastruktur: jarak ke bandara international atau pusat-pusat wisata - akses (jalan raya, jalan kereta api, penerbangan, pelabuhan) - fasilitas kesehatan - komunikasi yang memadai 5 Iklim: cuaca yang mendukung kegiatan rekreasi - banyaknya curah hujan dan distribusinya 6 Kondisi politik dan sosial: adanya stabilitas sosial politik - terjaminnnya keamanan pengunjung pengunjung dapat diterima oleh masyarakat lokal Sumber: WTO/UNEP dalam Stecker (1996). Kusler (1991) dalam Fennell (1999) mengklasifikasikan ekoturis berdasarkan tujuan wisata, pengalaman yang diinginkan dan dinamika kelompok. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut 1 Ekoturis mandiri adalah orang-orang yang melakukan perjalanan secara individual, tinggal di berbagai tipe akomodasi yang berbeda-beda dan mempunyai mobilitas untuk mengunjungi berbagai tujuan wisata. Pengalaman mereka sangat fleksibel dan merupakan persentase terbesar dari semua ekoturis. 2 Ekoturis dalam tur adalah orang-orang yang melakukan perjalanan dalam kelompok dan mengunjungi objek wisata eksotik. 3 Kelompok ahli atau akademisi adalah orang-orang yang biasanya terlibat dalam penelitian baik sebagai individu maupun kelompok. Pada umumnya mereka tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu cukup panjang dan lebih bersedia mengalami kondisi kesusahan dibandingkan ekoturis yang lain.

30 12 Lindberg (1991) mengklasifikasikan ekoturis berdasarkan pada dedikasi, waktu, tujuan dari perjalanan, tempat dan cara melakukan perjalanan yang dibagi dalam empat kelompok. 1 Hard-Core Nature Tourist: para ilmuwan/peneliti. 2 Dedicated Nature Tourist: ekoturis yang ingin mengetahui tentang budaya masyarakat atau tempat-tempat yang dilindungi (cagar alam). 3 Mainstream Nature Tourist: ekoturis yang menghendaki tempat-tempat spesifik seperti cagar alam. 4 Casual Nature Tourist: ekoturis yang datang sekali-sekali ke tempat-tempat yang alami. Hard-core dan dedicated nature tourist tidak membutuhkan akomodasi yang lengkap, berbeda dengan mainstream dan casual nature tourist dimana tingkat pelayanan dan akomodasi harus disiapkan lebih baik. The Ecotourism Society (Eplerwood 1999 dalam Fandeli 2000a) menyatakan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata. 1 Mencegah dan menanggulangi aktivitas pengunjung yang mengganggu alam dan budaya. 2 Pendidikan konservasi lingkungan. 3 Pendapatan langsung untuk kawasan. 4 Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. 5 Meningkatkan penghasilan masyarakat. 6 Menjaga keharmonisan dengan alam. 7 Menjaga daya dukung lingkungan. 8 Meningkatkan devisa buat pemerintah. Pengembangan ekowisata melibatkan berbagai pihak seperti pengunjung, sumberdaya alam, pengelola, masyarakat lokal, kalangan bisnis termasuk biro perjalanan (tour operator), pemerintah, LSM, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya pengembangan ekowisata yang baik merupakan simbiosis antara konservasi dan pembangunan, namun kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara pelaku ekowisata bisa terjadi (Lindberg et al dalam Nugraheni 2002).

31 13 Kegiatan yang berdasarkan prinsip ekowisata tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kegiatan ekowisata di berbagai objek ekowisata. Usaha evaluasi kegiatan ekowisata telah banyak dilakukan dengan berbagai metode evaluasi, diantaranya yang dikembangkan oleh Wallace dan Pierce (1996) dengan enam kriteria utama evaluasi. 1 Berusaha meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. 2 Meningkatkan kesadaran dan pemahaman sistem alam dan budaya setempat serta keterlibatan pengunjung terhadap berbagai aspek yang mempengaruhi sistem tersebut. 3 Berkontribusi terhadap konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang dilindungi. 4 Memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal sejak awal dan dalam jangka panjang dalam proses pengambilan keputusan tentang jenis dan jumlah wisata yang ada. 5 Memberikan keuntungan ekonomis dan yang lainnya kepada masyarakat lokal yang melengkapi dan tidak menggantikan jenis mata pencaharian tradisional. 6 Menyediakan kesempatan bagi masyarakat lokal dan karyawan ekowisata untuk mengunjungi dan belajar lebih banyak tentang keindahan alam dan obyek wisata yang menjadi daya tarik pengunjung. Keenam kriteria utama tersebut dijabarkan dalam bentuk kriteria operasional praktis dan telah dipraktekkan untuk mengevaluasi beberapa obyek ekowisata seperti Amazon, Brazil (Wallace & Pierce 1996). Para peneliti lain melakukan evaluasi kegiatan ekowisata dengan kriteria sejenis dengan berbagai macam penekanan yang berbeda, seperti penekanan pada segi konservasi. Peranan masyarakat lokal harus dipertimbangkan karena mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem, sekaligus adalah pelaku yang berhak mengambil keputusan. Dalam prinsip ekowisata yang telah diterima secara umum, ekowisata berorientasi lokal dan melibatkan masyarakat lokal (Fennell 1999). Ekowisata harus bermanfaat bagi masyarakat lokal melalui keterlibatan aktif secara sosial ekonomi (Ceballos-Lascurain 1993) dan memaksimalkan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan sejak awal secara jangka panjang.

32 14 Partisipasi dan peran serta masyarakat lokal adalah salah satu alternatif untuk memperlambat hilangnya nilai-nilai keragaman biologi di bumi ini (Carlson 2001). Kedatangan pihak luar lebih cenderung memisahkan masyarakat lokal dengan hutan dan sebaliknya melakukan monopoli hutan, hal ini menyebabkan masyarakat mengalami disintegrasi hubungan dengan hutan yang selama ini telah menghidupi mereka (Liswanti 2004). Perencanaan dan pengelolaan ekowisata yang baik dapat menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk konservasi keanekaragaman hayati dalam jangka panjang dengan keadaan yang mendukung seperti kondisi pasar, manajemen di tingkat lokal dan hubungan yang harmonis antara pengembangan ekowisata dengan konservasi (UNEP 2003) Kawasan Suaka Alam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, menjabarkan pengertian hutan dan klasifikasinya. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan ditetapkan berdasarkan fungsi pokok sebagai (1) hutan konservasi, (2) hutan lindung (HL), dan (3) hutan produksi (PHKA 2005a). Kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang terdiri dari 1 Kawasan Hutan Suaka Alam: hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan. 2 Kawasan Hutan Pelestarian Alam; hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. 3 Taman Buru (TB): hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.

33 15 Ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya, kawasan konservasi diklasifikasikan sebagai berikut 1 Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan, yang mencakup: - Kawasan Cagar Alam: yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. - Kawasan Suaka Margasatwa (SM): mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. 2 Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup: - Kawasan Taman Nasional: mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. - Kawasan Taman Wisata Alam: dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. - Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura): dengan tujuan untuk koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian; ilmu pengetahuan; pendidikan; menunjang budidaya; budaya; pariwisata dan rekreasi. Pada tahun 1980, Commission on National Parks and Protected Areas (CNPPA) dan The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menyusun daftar kawasan yang dilindungi berdasarkan kriteria pengelolaan konservasi, dimana Indonesia ikut menerima kriteria tersebut (Daryadi

34 dalam Fandeli 2000c). Semua kawasan tersebut dapat dikembangkan untuk ekowisata (Fandeli 2000c). 1 Scientific Reserve/Strict Nature Reserve (Cagar Alam/Cagar Ilmiah). 2 National Parks/Provincial Parks (Taman Nasional/Taman Provinsi). 3 Natural Monuments/Natural Landmarks (Monumen Alam/Landmark Alam). 4 Nature Conservation Reserve/Managed Nature Reserves/Wildlife Sanctuaries (Suaka Margasatwa). 5 Protected Landscape (Bentang Alam Dilindungi). 6 Resource Reserve (Cagar Sumberdaya). 7 Anthropological Reserve/Natural Biotic Reserve (Cagar Budaya/Kawasan Biotis Alam). 8 Multiple Use Managemen Area/Managed Resource Areas (Kawasan Pengelolaan Manfaat Ganda/Kawasan Sumberdaya Dikelola). 9 Biosphere Reserve (Cagar Biosfir). 10 World Heritage Sites (Taman Warisan Dunia). Kawasan CA dan TWA dikelola oleh pemerintah berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Rencana pengelolaannya sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Upaya pengawetannya dilaksanakan dalam bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan serta penelitian dan pengembangan yang menunjang pengawetan (PHKA 2005b). Wilayah Sulut memiliki 10 kawasan konservasi yang terdiri dari CA Gunung Ambang (yang diperluas pada tahun 1984), CA Gunung Tangkoko dan CA Gunung Duasudara (yang lebih dikenal dengan nama Cagar Alam Tangkoko-Duasudara), CA Gunung Lokon, SM Gunung Manembo-Nembo, SM Karakelang Utara dan Selatan, TNBNW, TWA Batuangus, TWA Batuputih dan TNL Bunaken (Lampiran 1). Kawasan suaka alam khususnya CATDS berada di bawah Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulut. Wilayah kerja BKSDA Sulut sampai saat ini masih meliputi dua provinsi yaitu Sulut dan Gorontalo (lampiran 2).

35 17 Deskripsi Cagar Alam Tangkoko-Duasudara (CATDS) Kawasan yang terkenal sejak masa Wallace (1859) karena kelimpahan dan keunikan hidupan liarnya (Kinnaird & O Brien 1997), yang pada awalnya ditetapkan sebagai Monumen Alam Tangkoko pada tahun 1919 (GB No. 6 STBL 1919 Tgl. 12 Feb) seluas ha oleh pemerintah Belanda dan pada tahun 1942 ditetapkan sebagai CA oleh The Nature Protection Ordinance. Setelah kemerdekaan kawasan ini dipertahankan sebagai CA (Kinaird & O Brien 1996), dan diklasifikasikan sebagai hutan hujan dataran rendah (IUCN 1991). Pada tahun 1978 kawasan CA Duasudara ditetapkan seluas ha (KEPMENTAN 700/1978) 1. Sejak saat itu kedua kawasan ini disatukan dengan nama Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, tetapi lebih dikenal dengan nama CA Tangkoko dengan pintu masuk utama kawasan di wilayah Batuputih. Kawasan CATDS adalah tonggak sejarah pelestarian di Sulawesi Bagian Utara (Sulut dan Gorontalo) dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai laboratorium alam, sehingga sampai saat ini CATDS disebut oleh masyarakat sekitarnya sebagai Tanah Larangan (NRM 2002). Proyek konservasi pertama dilakukan oleh John dan Kathleen Mackinnon pada akhir tahun 1970 (Lee et al. 1999), setelah itu Tangkoko mulai dikenal oleh para peneliti dan dunia internasional. Untuk memfasilitasi kegiatan wisata yang berlangsung di kawasan maka pemerintah menetapkan TWA Batuputih seluas 615 ha berada di Kecamatan Bitung Utara dan TWA Batuangus seluas 635 ha di Kecamatan Bitung Timur (KEPMENTAN 1049/KPTS/UM/1981, Tgl. 21 Desember) 2. Kedua TWA ini berbatasan langsung dengan kawasan CA, tetapi usaha tersebut tidak dapat mengatasi masalah kegiatan ekowisata di CATDS. Kawasan CATDS dapat diakses dari laut dan dari semua desa di perbatasannya melalui jalan darat (Kinnaird & O Brien 1997; Lee et al. 1999), dengan jarak lebih kurang 60 km dari Kota Manado dan lebih kurang 20 km dari Kota Bitung. Dari Kota Manado melalui jalan darat memerlukan waktu lebih kurang 120 menit dan dari Kota Bitung dapat ditempuh lebih kurang 70 menit. Melalui jalur laut dengan menggunakan perahu motor 2 x 40 Pk dapat ditempuh 1 BKSDA Sulut (2004). 2 ibid

36 18 dalam waktu lebih kurang 90 menit dari pantai Bitung ke pantai Batuputih. Di dalam kawasan CA dapat dilakukan kegiatan pariwisata secara terbatas seperti menikmati panorama alam dan hidupan liar (BKSDA Sulut 1998) Peraturan-Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Sejumlah hukum dan kebijakan untuk melindungi kawasan dan spesies telah ditetapkan (Lee et al. 2001). Menurut Sembiring et al. (1999) peraturanperaturan perundangan tersebut dapat dimasukkan dalam dua kategori berikut ini 1 Peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi. 2 Peraturan yang secara tidak langsung mengatur atau terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi, termasuk didalamnya peraturan-peraturan pokok sektor sumberdaya alam. Peraturan-peraturan tersebut memiliki hubungan dan memberikan implikasi pada pengelolaan konservasi. Sampai tahun 2003 jumlah kawasan pelestarian alam yang boleh dimanfaatkan untuk pariwisata tercatat sebanyak 160 lokasi masing-masing TN 41 lokasi, Tahura 17 lokasi dan TWA 102 lokasi (Dephut 2003 dalam Sekartjakrarini 2004). Dari segi kebijakan, untuk mendukung komitmen mengintensifkan penerapan konsep ekowisata dalam pembangunan pariwisata nasional, pemerintah melalui sektor-sektor terkait telah mengeluarkan sejumlah kebijakan operasional-teknis 3, diantaranya 1 Pedoman Pengembangan Pariwisata Alam di TN, TWA, HL, SM, TB dan Hutan Produksi (2001 dan 1999) 2 Standar dan Kriteria Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam (2001) 3 Standar dan Kriteria Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (2001) 4 Pedoman Pengembangan Ekowisata (1998) 5 Pedoman Pengembangan Wisata Minat Khusus (2001) 6 Pedoman Pariwisata di Pulau-pulau Kecil (2003) 7 Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pengembangan untuk Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati di TN dan TWA (2001) 3 Sekartjakrarini, Bahan Kuliah Perencanaan Tata Ruang dan Ekowisata. Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor

37 19 8 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada seluruh Gubernur Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata Daerah (SE No /836/V/Bangda Tanggal 28 April 2000) 9 Pedoman Pengembangan Pariwisata di Kawasan Konservasi Laut (3003) 10 Pedoman Interpretasi di Kawasan Konservasi Laut (2004) Selain kebijakan operasional teknis tersebut, peraturan-peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan konservasi dan pariwisata alam juga ditetapkan (Tabel 2). Secara regional di bidang pariwisata, Indonesia telah mengikat kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan secara internasional ikut menandatangani dan terikat dengan beberapa kesepakatan antar bangsa (Fandeli 2000c), antara lain: 1 World Conservation Strategy (tahun 1980), merupakan landasan penanggulangan ancaman terhadap sumberdaya alam 2 United Nation Converence on Environment and Development (UNCED) di Rio de Jeneiro (tahun 1992) yang menghasilkan antara lain Rio Declaration, Forest Principles, Convention on Climate Change, Convention on Biodiversity dan Agenda 21 3 Commission on National Parks and Protected Areas (CNPPA) dan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) pada tahun 1980 menyusun daftar kawasan yang dilindungi berdasarkan kriteria pengelolaan konservasi (ada 10 kriteria kawasan yang dilindungi) Tabel 2 Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan konservasi dan ekowisata No Peraturan Perihal 1 UU No. 5 Tahun 1990 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati 2 UU No. 9 Tahun 1990 Kepariwisataan 3 UU No. 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup 4 UU No. 41 Tahun 1999 Kehutanan

38 20 Lanjutan No Peraturan Perihal 5 PP No. 28 Tahun 1985 Perlindungan Hutan 6 PP No. 18 Tahun 1994 Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan TN, Tahura dan TWA 7 PP No. 67 Tahun 1996 Penyelenggaraan Kepariwisataan 8 PP No. 68 Tahun 1998 Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 9 PP No. 59 Tahun 1998 Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan 10 PP No. 34 Tahun 2002 Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan 11 Keppres No. 32 Tahun KEPMENHUT No. 28 Tahun KEPMENHUT No. 441 Tahun KEPMENHUT No. 167 Tahun KEPMENHUT No. 446 Tahun KEPMENHUT No. 447 Tahun KEPMENHUT No. 348 Tahun 1997 Sumber: PHKA (2003); PKA (2000). Pengelolaan Kawasan Lindung Pembagian Rayon di TN, Tahura, TWA dan TB dalam Rangka Pengenaan Penerimaan Bukan Pajak Pengenaan Iuran dan Pungutan Usaha Hutan Wisata, TN, Tahura dan TWL Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestraian Alam Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam Pembinaan dan Pengawasan Pariwisata Alam Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No. 446 tahun 1996

39 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di CATDS (1º29 N, 125º11 E) wilayah Batuputih, Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara (121º-127º BT dan 0º30-4º0 LU), (Gambar 3). Wilayah Batuputih dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan pintu masuk utama kawasan dan kegiatan ekowisata terpusat di wilayah tersebut. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2005, meliputi survei pendahuluan, pengumpulan data di lokasi penelitian, analisis dan pengolahan data Metode Penelitian Penelitian ini merupakan suatu analisis pengembangan ekowisata di CATDS, dengan mengacu pada kriteria standar penilaian obyek dan daya tarik wisata alam (PHKA 2002). Penelitian ini menggunakan analisis penilaian potensi untuk sumberdaya ekowisata dan pengunjung, analisis stakeholder, untuk evaluasi jalur interpretasi dan evaluasi alternatif kebijakan menggunakan analisis metode perbandingan eksponensial atau MPE (Ma arif & Tandjung 2003). Penelitian dilakukan dengan metode survei (non experimental) dengan cara pengamatan langsung di lapangan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di lokasi penelitian. Pengumpulan data potensi ekowisata (atraksi alam, budaya dan jenis kegiatan wisata lainnya, akomodasi, fasilitas, pelayanan dan infrastruktur), potensi pengunjung dan stakeholder (elemen institusi dan masyarakat di sekitar kawasan) dilakukan dengan teknik in-depth interview dan observasi menurut Kusmayadi (2004). Data keadaan fisik kawasan (topografi; geologi; iklim), daftar jenis flora dan fauna, masyarakat dan penggunaan lahan (kondisi lingkungan sosial ekonomi) dikumpulkan dari sumber bahan dokumentasi dan hasil-hasil penelitian terdahulu serta sumber kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan tujuan-tujuan penelitian.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Konsep Ekowisata

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Konsep Ekowisata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Konsep Ekowisata Definisi dan konsep ekowisata masih terus menjadi bahan diskusi di dunia internasional, bahkan ada yang menyatakan bahwa ekowisata adalah sebuah

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN SUAKA ALAM (STUDI KASUS CAGAR ALAM TANGKOKO-DUASUDARA, SULAWESI UTARA) SANDRA PONTONUWU

ANALISIS PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN SUAKA ALAM (STUDI KASUS CAGAR ALAM TANGKOKO-DUASUDARA, SULAWESI UTARA) SANDRA PONTONUWU ANALISIS PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN SUAKA ALAM (STUDI KASUS CAGAR ALAM TANGKOKO-DUASUDARA, SULAWESI UTARA) SANDRA PONTONUWU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di CATDS (1º29 N, 125º11 E) wilayah Batuputih, Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara (121º-127º BT

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PRODUK INTERPRETASI WISATA KOTA MANADO PROVINSI SULAWESI UTARA

PENGEMBANGAN PRODUK INTERPRETASI WISATA KOTA MANADO PROVINSI SULAWESI UTARA PENGEMBANGAN PRODUK INTERPRETASI WISATA KOTA MANADO PROVINSI SULAWESI UTARA OLEH DIANE TANGIAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2007 ii SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PENETAPAN RAYON DI TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, TAMAN WISATA ALAM DAN TAMAN BURU DALAM RANGKA PENGENAAN

Lebih terperinci

2 dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

2 dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 752, 2014 KEMENHUT. Penetapan Rayon. Taman Nasional. Taman Hutan Raya. Taman Wisata Alam. Taman Buru. PNBP. Pariwisata Alam. Penetapan Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan 5 TINJAUAN PUSTAKA Danau Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba dengan luas areal 13.490 hektar merupakan salah satu kawasan konservasi darat di Bengkulu yang memiliki kekayaaan sumber daya dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR EKOWISATA. Chafid Fandeli *)

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR EKOWISATA. Chafid Fandeli *) Ekowisata, ekoturisme, ecotourism Ekowisata menurut The Ecotourism Society (1990) sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR Oleh: Nadya Tanaya Ardianti A07400018 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati dan dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas terbesar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu produk yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat dalam hal kesempatan kerja, peningkatan taraf hidup yaitu dengan mengaktifkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepariwisataan meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wisata, pengusahaan, objek dan daya tarik wisata serta usaha lainnya yang terkait. Pembangunan kepariwisataan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI *) PERLINDUNGAN PELESTARIAN MODERN Suatu pemeliharaan dan pemanfaatan secara bijaksana Pertama: kebutuhan untuk merencanakan SD didasarkan

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012).

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012). 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak di daerah tropis yang memiliki karakteristik kekayaan hayati yang khas dan tidak dimiliki oleh daerah lain di dunia. Keanekaragaman jenis flora dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata alam oleh Direktorat Jenderal Pariwisata (1998:3) dan Yoeti (2000) dalam Puspitasari (2011:3) disebutkan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP Ekowisata pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Sistematika presentasi

Sistematika presentasi Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan Wiwik D Pratiwi Sistematika presentasi Mengapa? Apa prinsipnya? Apa pertimbangannya? Apa elemen-elemen strategisnya? Apa hal-hal yang diperlukan bila berdasar pada

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Pariwisata merupakan salah satu hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Pertumbuhan pariwisata secara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

serta menumbuhkan inspirasi dan cinta terhadap alam (Soemarno, 2009).

serta menumbuhkan inspirasi dan cinta terhadap alam (Soemarno, 2009). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Alam Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, pasal

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Nilai Ekonomi Taman Nasional Alam seisinya memiliki nilai ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Nilai ekonomi ini dapat diperoleh jika alam dilestarikan

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 1 Pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA) Pengertian TAHURA Taman Hutan Raya adalah Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Untuk tujuan

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) TUGAS AKHIR Oleh: LISA AGNESARI L2D000434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PENILAIAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM DI TAMAN WISATA ALAM (TWA) SIBOLANGIT

PENILAIAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM DI TAMAN WISATA ALAM (TWA) SIBOLANGIT PENILAIAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM DI TAMAN WISATA ALAM (TWA) SIBOLANGIT SKRIPSI IRENA ASTRIA GINTING 081201017 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Judul... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Gambar... viii Daftar Tabel... xi Lampiran... xii

DAFTAR ISI Judul... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Gambar... viii Daftar Tabel... xi Lampiran... xii DAFTAR ISI Judul... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Gambar... viii Daftar Tabel... xi Lampiran... xii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 4 1.3. Tujuan Penulisan...

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

I. UMUM. Sejalan...

I. UMUM. Sejalan... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM I. UMUM Kekayaan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci