BAB I PENDAHULUAN. Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah karena koperasi merupakan sebagian dari tata perekonomian masyarakat Indonesia. Undang-undang yang mengatur Koperasi adalah Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Dalam pertimbangan Undang-Undang ini dikatakan bahwa koperasi baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD 1945) dalam tata perekonomian Nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi; bahwa koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi sehingga mampu berperan sebagai soko guru perekonomian nasional; bahwa pembangunan koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah dan seluruh rakyat. Koperasi Simpan Pinjam merupakan salah satu jenis koperasi yang peraturannya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut PP No 9 Tahun 1995) dan Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan

2 Menengah Republik Indonesia Nomor: 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut Kepmen No: 351/Kep/M/XII/1998). Kemudahan dalam perijinan pendirian koperasi telah mendorong semakin banyaknya berdiri koperasi, salah satunya adalah Koperasi Simpan Pinjam. Saat ini banyak kita jumpai Koperasi Simpan Pinjam yang bermunculan bak jamur di musim hujan. Ketentuan calon anggota dalam Pasal 18 ayat (2) PP No 9 Tahun 1995 ternyata telah dimanfaatkan oleh Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi Simpan Pinjam memanfaatkan ketentuan calon anggota untuk merekrut masyarakat dengan harapan mereka mau berinvestasi di Koperasi Simpan Pinjamnya sehingga semakin banyak masyarakat yang direkrut semakin banyak pula keuntungan yang didapat. Meskipun ketentuan tentang calon anggota telah diatur secara jelas, bahwa dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota. Namun kenyataanya setelah waktu yang ditentukan berakhir calon-calon anggota tersebut statusnya tidak berubah menjadi anggota. Kegiatan usaha Koperasi Simpan Pinjam telah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) PP No 9 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa: Kegiatan Usaha Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam adalah: a. menghimpun simpanan koperasi berjangka dan tabungan koperasi dari anggota dan calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya; b. memberikan pinjaman kepada anggota, calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya. Berdasarkan Kepmen No: 351/Kep/M/XII/1998, dalam melaksanakan kegiatan usaha penghimpunan dana, ada 2 (dua) bentuk simpanan yang diperbolehkan, yaitu tabungan koperasi dan

3 simpanan berjangka. Untuk melayani kebutuhan penyimpanan, koperasi dapat menciptakan berbagai jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Pemberian nama dan ketentuan mengenai jenis-jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka merupakan wewenang pengurus koperasi. Dikeluarkannya Inpres No. 18 Tahun 1998 berdampak pada banyaknya jumlah koperasi yang berdiri di Indonesia. Inpres No. 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah. Kebijakan tersebut tidak terlepas dari keinginan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian rakyat melalui koperasi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dinyatakan bahwa koperasi diselenggarakan berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi sebagai badan perusahaan yang berdasar atas asas kekeluargaan dianggap sebagai soko guru perekonomian nasional yang sesuai dengan sendi-sendi perekonomian Indonesia yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Namun dalam prakteknya, seringkali Koperasi Simpan Pinjam melakukan penghimpunan dana dari masyarakat yang jelas-jelas bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka dengan memberikan bunga kepada nasabahnya di atas bunga bank. Dengan menempatkan sejumlah uangnya pada koperasi, para calon nasabah diberikan harapan nantinya akan mendapatkan pengembalian yang

4 tinggi, tanpa harus bekerja keras keuntungan pun bisa didapat. Tawaran semacam ini sangat menggiurkan, karena orang akan lebih cenderung bersikap pragmatis untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Dorongan kuat akan memperoleh keuntungan tinggi mampu membuat orang tanpa perlu lagi mempertimbangkan secara masak terhadap rasionalitas usaha maupun kemungkinan resikonya. Sehingga banyak masyarakat yang kemudian tertarik dan menginvestasikan uangnya 1 Perizinan bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diawasi. Hal ini mengingat dalam kegiatan itu terkait perlindungan dana masyarakat yang disimpan. Terkait dengan kasus Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana dari masyarakat di luar anggotanya, hal tersebut mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 Undang-Undang No 17 Tahun 2012 juncto Pasal 18 ayat (1) PP No 9 Tahun Ditinjau dari Undang-Undang Perbankan, Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana masyarakat diluar anggota juga diindikasikan melanggar ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 21 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa salah satu bentuk hukum suatu bank yaitu koperasi. Berdasarkan ketentuan tersebut, secara normatif jika suatu koperasi ingin menghimpun dana dari masyarakat, maka koperasi tersebut harus mendapat izin sebagai bank dari Bank Indonesia. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dalamkoperasi-simpan-pinjam, 16 Maret 2014, pukul

5 16 ayat (1) Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa: Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Menteri, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undangundang tersendiri. Sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan Koperasi dalam perekonomian nasional, maka pemberdayaan tersebut perlu dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat secara menyeluruh, sinergi dan berkesinambungan. Dalam memberdayakan koperasi, seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan koperasi merupakan suatu kesatuan saling melengkapi dengan Undang- Undang ini. Kepailitan pada dunia usaha dimungkinkan dengan bentuk-bentuk usaha tertentu. Secara sederhana, perusahaan dapat diklasifikasikan ke dalam empat bentuk usaha, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole proprietorship), Persekutuan (partnership firm and limited partnership), Perseroan Terbatas (corporation), Koperasi (cooperative). 2 Pengertian perusahaan secara yuridis dapat ditemukan definisinya di dalam peraturan perundang-undangan, karena sesungguhnya perusahaan itu adalah sebagai lembaga ekonomi. Dengan kriteria tersebut maka dapat dengan 2 Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Bandung : Refika Aditama, 2006, hlm 21.

6 mudah mengklasifisikan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan dan dilakukan secara legal (tidak bertentangan dengan hukum), serta dimaksudkan untuk mencari laba, maka kegiatan itu adalah merupakan kegiatan usaha. Lembaganya adalah perusahaan tertentu. Dalam hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang menyatakan : Bahwa setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya. Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik memilih judul Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam Dalam Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut 1. Bagaimanakah Pengaturan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam? 2. Bagaimanakah kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam pailitnya koperasi simpan pinjam? 3. Bagaimanakah tanggung jawab koperasi simpan pinjam terhadap nasabah atas haknya yang tidak terpenuhi dalam penjualan asset?

7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Tujuan dari penelitian ini adalah a. Untuk mengetahui Pengaturan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam. b. Untuk mengetahui kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam pailitnya koperasi simpan pinjam c. Untuk mengetahui tanggung jawab koperasi simpan pinjam terhadap nasabah atas haknya yang tidak terpenuhi dalam penjualan aset? 2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis Diharapkan pembahasan terhadap masalah yang diangkat dan dibahas mampu melahirkan pemahaman mengenai akibat hukum dari putusan pernyataan pailit tersebut. b. Secara Praktis Secara praktis, skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembaca terutama sebagai para pelaku usaha agar memahami bagaimana Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam Dalam Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam D. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelusuran dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum, penulis

8 menemukan judul tentang Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam Dalam Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah : 1. Nama : Kemala Atika Hayati NIM : Judul : Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Jaminan Fidusia Karena Debiturnya Dinyatakan Pailit 2. Nama : Hendrika S R Sinaga NIM : Judul : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Pemegang Hak Tanggungan. 3. Nama : Rudi Sunardi NIM : Judul : Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan dan Nasabah dalam Koperasi Simpan Pinjam Syariah (Studi pada Kasus Syariah Mitra Amaliyah) Bila ternyata terdapat skripsi yang sama dengan skripsi ini sebelum dibuat penulis bertanggungjawab sepenuhnya

9 E. TinjauanPustaka 1. Pengertian Koperasi Koperasi secara etimologis terdiri dari 2 (dua) suku kata yaitu, co dan operation, yang mengandung arti bekerja sama untuk mencapai tujuan. 3 Oleh karena itu, koperasi adalah suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan usaha yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggota. Dasar hukum keberadaan Koperasi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian di Indonesia adalah : Badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hokum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Tujuan Koperasi sebagaimana dikemukan dalam Pasal 3 Undang - Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian di Indonesia adalah : Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Mengingat arti koperasi sebagaimana tersebut di atas maka koperasi mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyusun 3 Koermen, Manajemen Koperasi Terapan, Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, 2003, hlm. 37

10 usaha bersama dari orang-orang yang mempunyai kemampuan ekonomi terbatas. Usaha bersama dari orang-orang yang memenuhi kebutuhan yang dirasakan bersama, yang pada akhirnya mengangkat harga diri, meningkatkan kedudukan serta kemampuan untuk mempertahankan diri dan membebaskan diri dari kesulitan. Untuk mendirikan koperasi yang kokoh perlu adanya landasan tertentu. Landasan ini merupakan suatu dasar tempat berpijak yang memungkinkan koperasi untuk tumbuh dan berdiri kokoh serta berkembang dalam pelaksanaan usaha-usahanya untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Landasan hukum koperasi di Indonesia sangat kuat dikarenakan koperasi ini telah mendapatkan tempat yang pasti. Namun demikian perlu disadari bahwa perubahan sistem hukum dapat berjalan lebih cepat dari pada perubahan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat, sehingga koperasi dalam kenyataannya belum berkembang secepat yang diinginkan meskipun memiliki landasan hukum yang kuat. Dalam Pasal 4 Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2012, fungsi dan peranan koperasi adalah: Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan Anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan 2. Dasar Hukum Koperasi Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI 1945), menentukan, perekonomian disusun sebagain usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dalam penjelasan Pasal 33

11 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI 1945), 4 dikemukakan bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah penilikan anggota anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Untuk merealisasikan Pasal 33 ayat (1) U ndang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI 1945), pembentuk undang undang telah mengundangkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Kemudian undang undang ini diganti dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Berdasarkan undang-undang ini, apabila akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar koperasi disahkan oleh Pemerintah, maka koperasi ini telah memperoleh status badan hukum Pengertian Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Dalam Black s Law Dictionary pailit atau Bangkrupt adalah : the state or condition of e person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person againts whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bangkrupt 6 4 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 14

12 Dari pengertian yang diberikan dalam Black s Law Dictionary tersebut, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampun tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan. Sedangkan di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang sebagai pengganti dari UU No. 4 Tahun 1998 definisi mengenai kepailitan dapat kita lihat di dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu : Kapailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang 4. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Syarat-syarat permohonan pernyataan pailit dalam pasal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Syarat debitur mempunyai dua kreditur atau lebih (Concursus Creditorum) Dalam UUK dan PKPU disebutkan bahwa : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. 7 7 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UUK dan PKPU

13 Syarat debitur mempunyai dua kreditur atau lebih (Concursus Creditorum) Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undangundang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. 8 Sedangkan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undangundang yang dapat ditagih di muka pengadilan. 9 Dalam kepailitan ada 3 (tiga) golongan kreditur yaitu : 10 a. Kreditur konkuren/bersaing, yaitu kreditur-kreditur yang tidak termasuk golongan khusus dan golongan istimewa. Piutang mereka dibayar dengan sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan kreditur separatis dan kreditur preferen. Sisa penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditur konkuren (Pasal 1132 KUHPerdata). b. Kreditur yang mempunyai privilege atau hak istimewa sering disebut kreditur preferen, adalah kreditur yang mempunyai hak untuk didahulukan pembayaran piutangnya dari kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya yang diistimewakan. Hal tersebut dapat mengenai bendabenda tertentu saja atau dapat mengenai semua benda bergerak pada umumnya. Mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dari penjualan barang yang bersangkutan. Untuk mengetahui piutang-piutang mana yang diistimewakan dapat dilihat dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata. Menurut Pasal 1139, 8 Pasal 1 ayat (2) UUK dan PKPU 9 Pasal 1 ayat (3) UUK dan PKPU 10 Agus Sudradjat, Kepailitan Dan Kaitannya Dengan Lembaga Perbankan, Makalah Seminar Nasional Lembaga Kepailitan Dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi Di Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, 1996), hlm. 4

14 piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu, antara lain: 1) biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari semua piutang lainnya yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula daripada gadai dan hipotek; 2) uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa; 3) harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar; 4) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang; 5) biaya untuk melakukan pekerjaan pada suatu barang, yang masih harus dibayar kepada seorang tukang; 6) apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan sebagai demikian kepada seorang tamu; 7) upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan; 8) apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan lain-lain tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan benda-benda tidak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berutang;

15 9) penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya. Adapun Pasal 1149 KUHPerdata menentukan bahwa piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya adalah yang disebutkan di bawah ini, piutang-piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu menurut urutan sebagai berikut : 1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotek. 2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi. 3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan. 4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah menurut Pasal 1602 q. 5) Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan yang dilakukan kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir. 6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun yang penghabisan.

16 7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka. c. Kreditur separatis atau kreditur golongan khusus, adalah kreditur yang dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. 11 Kreditur golongan khusus ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan utang seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari hasil penjualan itu kreditur mengambil sebesar piutangnya sebagai pelunasan, sedang sisanya di setor ke kurator. Bila ternyata hasil penjualan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka ia dapat menggabungkan diri sebagai kreditur konkuren untuk sisanya. Kreditur separatis mempunyai ikatan tertentu dan hakhaknya dijamin dengan perjanjian tertentu, oleh karenanya kedudukan mereka diluar kepailitan. Artinya mereka tidak diverifikasikan tetapi dimasukkan ke dalam daftar pembagian dan didaftarkan pada kurator. Sedangkan yang termasuk kreditur preferen dan kreditur konkuren harus diverifikasikan dalam rapat verifikasi serta masuk dalam daftar pembagian 2) Syarat harus adanya utang Di bawah ini beberapa pendapat para pakar hukum mengenai pengertian utang, yaitu : a) Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, utang adalah perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dan bila tidak dipenuhi, kreditur berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitur. Pada dasarnya UUK dan 11 Pasal 55 UUK dan PKPU.

17 PKPU tidak hanya membatasi utang sebagai suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja. 12 b) Menurut Setiawan, utang seyogianya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu. 13 Kontroversi mengenai pengertian utang, akhirnya dapat disatuartikan dalam UUK dan PKPU, yaitu : Dari definisi utang yang diberikan oleh UUK & PKPU jelaslah bahwa definisi utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya meliputi utang yang timbul dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam-meminjam, tetapi juga utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang 3) Syarat satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya. Menurut penulis, syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna (adanya schuld dan haftung). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah (adanya schuld dan haftung) tidak dapat dimajukan untuk permohonan pernyataan pailit. Misalnya utang yang lahir dari perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah 12 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm Sjahdeini, Op.cit, hlm.108, mengutip dari Setiawan dalam buku Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang & Benny Ponto [Ed], Penyelesaian Utang Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 117

18 jatuh waktu, hal ini tidak melahirkan hak kepada kreditur untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian, meskipun debitur mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, kreditur tidak mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut. Dengan demikian, kreditur tidak berhak memajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari perjudian. F. Metode Penelitian 1. Jenis Pendekatan Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah penelitian yuridis normatif (Legal Research). Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisa berbagai kaidah dan pengaturan mengenai Hukum Kepailitan dan Hukum Perusahaan. Sedangkan pendekatan normatif digunakan untuk menambah pemahaman yang lebih luas terhadap Kepailitan dan PKPU Koperasi serta hal-hal yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian Spesifikasi Penelitian Spesifikasi Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini, penulis bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh, mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam pailitnya koperasi simpan pinjam 14 Ronny Hanitijo Sumitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1998), hlm 76.

19 3. Jenis dan Sumber Data Jenis sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro data sekunder adalah : 15 Data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan. Data sekunder dalam penelitian hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa : Norma Dasar Pancasila, UUD 1945, Undang-undang, Yurisprudensi dan traktat dan berbagai peraturan perundangundangan sebagai peraturan organilnya. Bahan hukum sekunder berupa: Rancangan peraturan perundang-undangan, buku-buku hasil karya para sarjana dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dan bahan hukum tersier berupa Bibliograf dan indeks komulatif. Dalam penelitian ini yang dijadikan data sekunder adalah data yang bersumber dari : a) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 3. Yurisprudensi. b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari : 15 Ibid

20 1) Hukum kepailitan, buku yang membahas tentang kepailitan. 2) Hukum perusahaan, buku-buku yang membahas tentang perkoperasian 4. Analisa Data Analisa data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara Normatif kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas. Pengertian analisa di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktifinduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan-laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara Deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti. 16 Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan ini. G. Sistematika Penulisan berikut: Dalam menyusun skripsi ini, penulis menguraikan bab demi bab sebagai BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan 16 H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif Bagian II, (Surakarta: UNS Press, 1988), hlm 37.

21 BAB II PENGATURAN KEPAILITAN KOPERASI SIMPAN PINJAM Pada bab ini akan membahas tentang jenis-jenis koperasi di Indonesia, Syarat kepailitan koperasi simpan pinjam, putusan kepailitan koperasi simpan pinjam dan akibat hukum pailitnya koperasi simpan pinjam. BAB III KEDUDUKAN NASABAH KOPERASI SIMPAN PINJAM DALAM PAILITNYA KOPERASI SIMPAN PINJAM Pada bab ini akan membahas tentang jenis-jenis kreditur dalam pailitnya koperasi simpan pinjam. Pengurusan dan pemberesan harta pailitnya koperasi simpan pinjam dan kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam pailitnya koperasi simpan pinjam BAB IV TANGGUNG JAWAB KOPERASI SIMPAN PINJAM TERHADAP NASABAH ATAS HAKNYA YANG TIDAK TERPENUHI DALAM PENJUALAN ASSET Bab ini akan membahas tentang pemenuhan hak-hak nasabah koperasi simpan pinjam setelah putusan pailit dan bentuk tanggung jawab koperasi simpan pinjam terhadap nasabah atas haknya yang tidak terpenuhi dalam penjualan asset BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian penelitian, kemudian

22 dilengkapi dengan saran yang mungkin bermanfaat di masa yang akan datang untuk penelitian lanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur

BAB I PENDAHULUAN. akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur 8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur yang sudah jatuh tempo,

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Pada kasus hukum kepailitan, setiap debitor yang dinyatakan pailit akan dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan pada karyawan. Jaminan tersebut diberikan dalam bentuk manfaat

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan pada karyawan. Jaminan tersebut diberikan dalam bentuk manfaat 8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dana pensiun diselenggarakan dalam upaya memberikan jaminan kesejahteraan pada karyawan. Jaminan tersebut diberikan dalam bentuk manfaat atau imbalan pensiun pada

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN 1.1 Hak Tanggungan 1.1.1 Pengertian Hak Tanggungan Undang-Undang Pokok Agraria menamakan lembaga hak jaminan atas tanah dengan sebutan Hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

BAB I PENDAHULUAN. nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembagunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman sekarang semua kegiatan manusia tidak lepas dari yang namanya uang. Mulai dari hal yang sederhana, sampai yang kompleks sekalipun kita tidak dapat lepas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. Pada awal kemerdekaan Indonesia, koperasi diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum perusahaan adalah semua peraturan hukum yang mengatur mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian perusahaan terdapat dalam Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pembangunan adalah proses yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Pembangunan Nasional merupakan usaha peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, pembangunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional. Salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal

BAB I PENDAHULUAN. Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal agar suatu kegiatan usaha atau bisnis tersebut dapat terwujud terlaksana. Dalam suatu kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia 7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya perekonomian suatu bangsa, menyebabkan pemanfaatan tanah menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini terlihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya perekonomian di suatu Negara merupakan salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN A. Kepailitan 1. Pengertian dan Syarat Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan pailit. Istilah pailit dijumpai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PERUM PEGADAIAN TERHADAP PENJUALAN (LELANG) BARANG GADAI

TANGGUNG JAWAB PERUM PEGADAIAN TERHADAP PENJUALAN (LELANG) BARANG GADAI TANGGUNG JAWAB PERUM PEGADAIAN TERHADAP PENJUALAN (LELANG) BARANG GADAI (Study Kasus Perum Pegadaian Cabang Cokronegaran Surakarta) Skripsi Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik, bahkan oleh gabungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur kepada Bank berupa tanah-tanah yang masih belum bersertifikat atau belum terdaftar di Kantor Pertanahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa, Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan. strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan. strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian bank sesuai dengan Pasal 1 butir 2 Undang-undang no.10 tahun 1998 yang merupakan perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu menunjukkan arah untuk menyatukan ekonomi global, regional ataupun lokal, 1 serta dampak terhadap

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai peranan penting dalam pembangunan adalah pajak. Menurut Rochmat

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai peranan penting dalam pembangunan adalah pajak. Menurut Rochmat BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu sumber utama Angaran Pendapatan dan Belanja Negara yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan adalah pajak. Menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. hukum dagang merupakan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian pada hakikatnya sering terjadi di dalam masyarakat bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu hubungan hukum yang biasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, dengan secara tepat dan cepat menyalurkan dana tersebut pada

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, dengan secara tepat dan cepat menyalurkan dana tersebut pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fungsi utama bank dalam suatu perekonomian adalah untuk memobilisasi dana masyarakat, dengan secara tepat dan cepat menyalurkan dana tersebut pada penggunaan atau investasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering dijumpai perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau disebut

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di pisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan para pelaku ekonomi yang secara terus menerus dari waktu

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D101 07 022 ABSTRAK Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Tanpa perjanjian kredit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini terlihat dalam pembukaan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini terlihat dalam pembukaan Undang- 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kemajuan perekonomian merupakan salah satu tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini terlihat dalam pembukaan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting bagi masyarakat, terutama dalam aktivitas di dunia bisnis. Bank juga merupakan lembaga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang keseluruhan bagiannya meliputi aspek kehidupan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan pembangunan merupakan dua variabel yang selalu sering mempengaruhi antara satu sama lain. Hukum berfungsi sebagai stabilisator yang mempunyai peranan menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN A. Pelaksanaan Penanggungan dalam Perjanjian Kredit di BPR Alto Makmur Bank Perkreditan Rakyat adalah bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK. keuangan (Financial Intermediary) antara debitur dan kreditur

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK. keuangan (Financial Intermediary) antara debitur dan kreditur BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK 2.1. Pengertian dan Fungsi Bank Bank adalah "suatu industri yang bergerak di bidang kepercayaan, yang dalam hal ini adalah sebagai media perantara keuangan (Financial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Bank selaku badan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Bank selaku badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan perekonomian nasional peran perbankan sangat penting sebagai jantung perekonomian nasional yang berfungsi sebagai lembaga penghimpun dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali )

PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali ) SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali ) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Serta Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakses pada tanggal 11 Agustus 2009 pukul WIB.

BAB I PENDAHULUAN. diakses pada tanggal 11 Agustus 2009 pukul WIB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu Negara adalah kesehatan perbankan. 1 Di Indonesia, industri perbankan sudah mulai bangkit dan berkembang terutama setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nopmor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mendefinisikan: Bank sebagai badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan

Lebih terperinci