Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan L

Transkripsi

1 Pasal 11 PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG IJIN DAN REKOMENDASI SARANA KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan huruf B Sub Bidang angka 1 Sub Sub Bidang angka 4 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007; b. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Mojokerto Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan Sarana Kesehatan Swasta dan Peraturan Daerah Kabupaten Mojokerto Nomor 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Ijin Penyelenggaraan Sarana Kesehatan Swasta tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan penyelenggaraan urusan pemerintahan sehingga perlu dicabut dan disusun kembali; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Ijin dan Rekomendasi Sarana Kesehatan; : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur Juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495); 5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);

2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048); 7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); 8. Undang-Undang NAPZA 9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 11. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 12. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 13. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 14. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); 15. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 16. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 17. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258); 19. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637);

3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 21. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139); 22. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 23. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 24. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609); 25. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 26. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara; 27. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/MENKES/PER/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik; 28. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/MENKES/PER/XII/1988 tentang Rumah Sakit; 29. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 919/MENKES/PER/X/1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep; 30. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 921/MENKES/PER/X1993 tentang Pembuatan Obat Berdasarkan Kontrak; 31. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002; 32. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 514/MENKES/PER/VI/1994 tentang Laboratorium Kesehatan Swasta; 33. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 184/MENKES/PER/II/1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker; 34. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah; 35. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 175 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Retribusi Daerah; 36. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 916/MENKES/PER/VIII/1997 tentang Izin Praktek Bagi Tenaga Medis; 37. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1189A/1999 tentang Wewenang Penetapan Izin di Bidang Kesehatan; 38. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat; 39. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1392/MENKES/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Izin Kerja Perawat Gigi;

4 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 679/MENKES/SK/V/2002 tentang Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker; 41. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan; 42. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA; 43. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1424/MENKES/SK/XI/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Optikal; 44. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1540/MENKES/SK/XII/2002 tentang Penempatan Tenaga Medis Melalui Masa Bakti Dan Cara Lain; 45. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 81/MENKES/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan di Tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit; 46. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 131/MENKES/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional; 47. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007; 48. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/ 2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran; 49. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 548/MENKES/PER/V/2007 tentang Registrasi dan Izin Praktek Okupasi Terapis; 50. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 666/MENKES/SK/VI/2007 tentang Klinik Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar; 51. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/SK/X/2008 tentang Pedoman Teknis Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 52. Peraturan Daerah Kabupaten Mojokerto Nomor 20 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Mojokerto Tahun 2006 Nomor 14 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Mojokerto Nomor 17); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO dan BUPATI MOJOKERTO MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG IJIN DAN REKOMENDASI SARANA KESEHATAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Mojokerto. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Mojokerto. 3. Bupati adalah Bupati Mojokerto. 4. Dinas Kesehatan adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto. 5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto. 6. Kas Umum Daerah adalah Kantor Kas Daerah Kabupaten Mojokerto.

5 Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Retribusi Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Surat Ijin Praktek yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis yang menjalankan praktek setelah memenuhi persyaratan sebagai pengakuan kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan profesinya. 9. Standar profesi adalah pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. 10. Organisasi Profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 11. Upaya Pelayanan sarana kesehatan adalah merupakan bagian integral dari jaringan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh perorangan, kelompok atau yayasan yang meliputi terutama upaya penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). 12. Sarana Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. 13. Pelayanan Medik Dasar adalah pelayanan medik terhadap individu atau keluarga dalam masyarakat yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan maksimal dokter umum atau dokter gigi. 14. Pelayanan Medik Spesialistik adalah pelayanan medik terhadap individu atau keluarga dalam masyarakat yang dilaksanakan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis atau kelompok dokter spesialis. 15. Fungsi sosial adalah mencerminkan upaya pelayanan medik dengan mempertimbangkan imbalan jasa yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan menyediakan sebagian fasilitas pelayanan rawat inap untuk orang yang kurang dan/ atau tidak mampu membayar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 16. Rumah Sakit Umum adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat inap. 17. Rumah Sakit Khusus adalah Rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis pelayanan tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,organ dan jenis penyakit. 18. Klinik Rawat Inap adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar pada individu berupa rawat jalan dan rawat inap dengan kapasitas 10 (sepuluh) tempat tidur yang meliputi pelayanan promosi kesehatan, pencegahan penyakit, penegakan diagnosis, penyembuhan penyakit dan rehabilitasi. 19. Rumah Bersalin adalah fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang memberikan pelayanan medik dasar khususnya yang berkaitan dengan pelayanan kebidanan, keluarga berencana dan pelayanan kesehatan masyarakat yang dilakukan oleh dokter dan atau bidan dibawah pengawasan dan tanggungjawab dokter serta dilaksanakan secara menyeluruh/ komprehensif yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat inap dan menjalankan fungsi rujukan. 20. Praktek Perorangan adalah penyelenggaraan pelayanan medik oleh seorang tenaga medik yaitu : dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis dengan atau tanpa penunjang medik, praktek bidan, praktek asuhan keperawatan.

6 Praktek Dokter/Dokter Gigi Berkelompok adalah sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar yang dilakukan oleh sedikit-dikitnya 3(tiga) dokter/dokter gigi pada satu tempat yang dimiliki oleh perorangan dan atau badan hukum dengan atau tanpa menggunakan penunjang medik sederhana. 22. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak yang selanjutnya disingkat BKIA adalah tempat untuk memberikan pelayanan medik dasar kepada wanita hamil, bayi dan anak prasekolah dan pelayanan Keluarga Berencana. 23. Balai Pengobatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang memberikan pelayanan promotif, preventif,kuratif dan rehabilitatif. 24. Surat Penugasan atau Surat Ijin Kerja adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Departemen Kesehatan kepada tenaga medis, paramedis, apoteker dan asisten apoteker yang telah mendaftarkan diri (registrasi) sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. 25. Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. 26. Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. 27. Surat Ijin Apotek yang selanjutnya disingkat SIA adalah surat ijin yang diberikan kepada Apoteker atau Apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan Apotek di suatu tempat tertentu. 28. Apoteker Pengelola Apotek yang selanjutnya disingkat APA adalah Apoteker yang telah diberi Surat Ijin Apotek (SIA). 29. Visum adalah pernyataan yang berwenang tentang keabsahan Apoteker bekerja melaksanakan tugas keprofesian pada sarana kesehatan selama maupun setelah selesai masa bakti. 30. Apoteker Pendamping adalah Apoteker yang bekerja di Apotek disamping Apoteker Pengelola Apotek dan/ atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka Apotek. 31. Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan Apoteker Pengelola Apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tidak berada di tempat lebih dari 3 (tiga) bulan secara terus menerus, telah memiliki Surat Ijin Kerja dan tidak bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek. 32. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten Apoteker. 33. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. 34. Perbekalan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), bahan obat asli Indonesia (bahan obat tradisional), alat kesehatan dan kosmetika. 35. Perlengkapan Apotek adalah semua perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pengelolaan Apotek. 36. Laboratorium Kesehatan adalah sarana kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan, pengukuran, penetapan, dan pengujian terhadap bahan yang berasal dari manusia atau bahan yang berasal dari bukan manusia untuk penentuan jenis, penyebab penyakit, kondisi kesehatan atau faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada kesehatan perorangan dan masyarakat.

7 Laboratorium Klinik adalah laboratorium kesehatan yang melaksanakan pelayanan, pemeriksaan di bidang hematologi, kimia klinik, mikrobiologi klinik, imunologi klinik dan/ atau bidang lain yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan terutama untuk menunjang diagnosis penyakit upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan. 38. Laboratorium Kesehatan Masyarakat adalah laboratorium kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan di bidang mikrobiologi, fisika, kima dan/atau bidang lain yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan terutama untuk menunjang upaya pencegahan penyakit dan pemulihan kesehatan. 39. Toko Obat adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian yang meliputi pengadaan, penyimpanan, pendistribusian/ penyerahan dan pengedaran golongan obat dengan kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter. 40. Sarana pelayanan rehabilitasi adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya, berupa kegiatan Pemulihan dan pengembangan secara terpadu baik Fisik, Mental, Sosial dan Agama. 41. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 42. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis yang bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 43. Zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis. 44. Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan Narkotika atau Psikotropika tanpa indikasi medis dan tidak dalam pengawasan dokter. 45. Ketergantungan adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika atau psikotropika secara terus menerus, memerlukan jumlah yang makin bertambah (toleransi), dan menimbulkan gejala putus zat (withdrawal) jika pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan. 46. Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. 47. Optikal adalah sarana Kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan mata dasar, pemeriksaan refraksi serta pelayanan kacamata koreksi dan/atau lensa kontak. 48. Laboratorium optik adalah tempat yang khusus melakukan pembuatan lensa koreksi dan/atau pemasangan lensa pada bingkai kacamata, sesuai dengan ukuran yang ditentukan dalam resep. 49. Refraksionis optisien adalah tenaga kesehatan yang lulus pendidikan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang berwenang melakukan pemeriksaan mata dasar, pemeriksaan refraksi, menetapkan hasil pemeriksaan, menyiapkan dan membuat lensa kacamata atau lensa kontak, termasuk pelatihan ortoptik.

8 Pemeriksaan refraksi adalah pemeriksaan mata untuk mengetahui adanya kelainan refraksi dan menentukan ukuran koreksinya yang sesuai. 51. Pemeriksaan mata dasar adalah upaya untuk mengidentifikasi dan menentukan ada atau tidaknya kelainan atau penyakit mata yang perlu dirujuk ke dokter. 52. Lensa kontak adalah lensa yang dipasang menempel pada kornea atau sklera mata untuk memperbaiki tajam pengelihatan atau rehabilitasi kosmetik. 53. Kacamata koreksi adalah alat bantu untuk memperbaiki tajam pengelihatan dengan ukuran lensa tertentu yang dipasang di depan mata. 54. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin dan rekomendasi tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberi oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 55. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. 56. Pemilik ijin dan rekomendasi adalah perorangan atau badan yang telah diberi ijin dan rekomendasi untuk melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. 57. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. 58. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi. 59. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perijinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan. 60. Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah surat yang oleh Wajib Retribusi digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran Retribusi yang terutang ke Kas Daerah atau ke tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Bupati. 61. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya pokok Retribusi. 62. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang. 63. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKRDKBT adalah surat yang menentukan tambahan atas jumlah Retribusi yang telah ditetapkan.

9 Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. 65. Surat Pendaftaran Obyek Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SPdORD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Retribusi untuk melaporkan data objek Retribusi dan Wajib Retribusi sebagai dasar penghitungan dan pembayaran Retribusi yang terutang menurut peraturan perundang-undangan Retribusi Daerah. 66. Surat Pembetulan adalah surat yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan daerah yang terdapat dalam Surat Ketetapan Retribusi Daerah, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Nihil atau Surat Tagihan Retribusi Daerah. 67. Surat Keberatan adalah surat atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Retribusi Daerah, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Nihil atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Retribusi. 68. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/barang. 69. Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat DPA-SKPD merupakan dokumen yang memuat pendapatan dan belanja setiap SKPD yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran. 70. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. 71. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi. 72. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang Hukum Acara Pidana. 73. Penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi adalah serangkaian tindakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang Retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya. 74. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

10 Sarana Pelayanan Kesehatan, terdiri dari : a. Pelayanan Medik Dasar; b. Pelayanan Medik Spesialistik; c. Pelayanan Penunjang Kesehatan; d. Produksi sediaan/ perbekalan farmasi. BAB II SARANA PELAYANAN KESEHATAN Pasal 2 BAB III BENTUK SARANA PELAYANAN KESEHATAN Pasal 3 Bentuk Sarana Pelayanan Medik Dasar, meliputi : a. Praktek Bidan; b. Praktek Perawat; c. Praktek Perorangan Dokter Umum; d. Praktek Perorangan Dokter Gigi; e. Praktek Berkelompok Dokter Umum; f. Praktek Berkelompok Dokter Gigi g. Balai Pengobatan; h. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak; i. Rumah Bersalin; j. Klinik Rawat Inap; k. Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA. Pasal 4 Bentuk Sarana Pelayanan Medik Spesialistik, meliputi : a. Praktek Perorangan Dokter Spesialis; b. Praktek Perorangan Dokter Gigi Spesialis; c. Praktek Berkelompok Dokter Spesialis; d. Praktek Berkelompok Dokter Gigi Spesialis; e. Rumah Sakit Pemerintah Kelas C dan Kelas D; f. Rumah Sakit Swasta yang setara Rumah Sakit Pemerintah Kelas C dan Kelas D. Pasal 5 Bentuk sarana pelayanan penunjang kesehatan, terdiri dari : a. Laboratorium Kesehatan; b. Laboratorium Kesehatan Masyarakat; c. Apotek; d. Penyalur/Sub Penyalur dan Toko Alat Kesehatan; e. Toko Obat; f. Optikal; Pasal 6 Bentuk produksi sediaan/ perbekalan farmasi, terdiri dari : a. Sarana distribusi; b. Penyalur/Sub Penyalur dan Toko Alat Kesehatan; c. Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT); d. Industri Obat Tradisional (IOT).

11 BAB IV KETENTUAN PERIJINAN Pasal 7 (1) Setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha sarana kesehatan, wajib memiliki Ijin dan/atau rekomendasi dari Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. (2) Untuk mendapatkan ijin dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. (3) Ijin dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Ijin BKIA; b. Ijin Balai Pengobatan; c. Ijin Rumah Bersalin; d. Ijin Klinik Rawat Inap; e. Ijin Rumah Sakit Pemerintah Kelas C dan Kelas D; f. Ijin Rumah Sakit Swasta yang setara Rumah Sakit Pemerintah Kelas C dan Kelas D; g. Ijin Distributor/ penyedia alat-alat kesehatan; h. Rekomendasi ijin sarana kesehatan tertentu yang diberikan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi; i. Rekomendasi Pedagang Besar Farmasi (PBF); j. Rekomendasi Perusahaan Besar Alat Kesehatan (PBAK); k. Rekomendasi Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT); l. Rekomendasi Industri Obat Tradisional (IOT). (4) Ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pejabat yang ditunjuk meliputi : a. Ijin Praktek Bidan; b. Ijin Praktek Perawat; c. Ijin Kerja Perawat; d. Ijin Praktek Perorangan Dokter Umum; e. Ijin Praktek Perorangan Dokter Gigi; f. Ijin Praktek Berkelompok Dokter Umum; g. Ijin Praktek Berkelompok Dokter Gigi h. Ijin Praktek Perorangan Dokter Spesialis; i. Ijin Praktek Perorangan Dokter Gigi Spesialis; j. Ijin Praktek Berkelompok Dokter Spesialis; k. Ijin Praktek Berkelompok Dokter Gigi Spesialis; l. Ijin Laboratorium Kesehatan; m. Ijin Laboratorium Kesehatan Masyarakat; n. Ijin Apotek; o. Ijin Toko Obat; p. Ijin Optikal; q. Ijin Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA. (5) Ijin Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dan f terdiri dari Ijin Pendirian dan Penyelenggaraan Rumah Sakit dapat diproses lebih lanjut setelah memperoleh rekomendasi dari Dinas Kesehatan Provinsi. (6) Tata cara dan persyaratan permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Bupati. BAB V MASA BERLAKU DAN PENCABUTAN IJIN/ REKOMENDASI Pasal 8 (1) Masa berlaku ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a,b,c,d dan g dan ayat (4) huruf a, b dan d sampai dengan q selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan.

12 (2) Masa berlaku ijin Pendirian Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan. (3) Masa berlaku ijin Penyelenggaraan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan. (4) Masa berlaku ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf c selama pemilik ijin melaksanakan tugas sebagai perawat. (5) Masa berlaku rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf g, h, i, j, k dan l selama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. (6) Ijin dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3) dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum masa berlaku ijin atau rekomendasi berakhir. (7) Ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperoleh kembali apabila pemilik ijin melaksanakan tugas sebagai perawat dengan memberitahukan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 9 (1) Ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a,b,c dan f ayat (4) tidak berlaku apabila : a. Masa berlaku berakhir; b. Pemilik ijin meninggal dunia khusus pemegang ijin perorangan; c. Pemilik ijin tidak lagi melakukan kegiatan usaha. (2) Ijin Pendirian Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) tidak berlaku apabila : a. Masa berlaku berakhir; b. Pemilik ijin tidak lagi melakukan kegiatan usaha; c. Pembangunan Rumah Sakit dalam 1 (satu) tahun belum dilaksanakan; d. Pembangunan Rumah Sakit tidak ada kemajuan walaupun sudah 2 (dua) tahun; e. Pemilik menyatakan tidak meneruskan proses pendirian Rumah Sakit; f. Badan hukum pemilik bubar atau dibubarkan; g. Permintaan sendiri menghentikan kegiatan pelayanannya. (3) Ijin Penyelenggaraan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) tidak berlaku apabila : a. Masa berlaku ijin berakhir; b. Permintaan sendiri menghentikan kegiatan pelayanan. Pasal 10 (1) Ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf a,b,c,d,e dan f, dapat dicabut apabila: a. Atas permohonan pemilik ijin; b. Melakukan kegiatan usaha di luar yang telah ditetapkan dalam ijin; c. Melakukan pemindahtanganan dan pemindahan lokasi tanpa persetujuan Bupati atau pejabat yang ditunjuk; d. Tidak lagi melakukan kegiatan usaha selama 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan; e. Menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, dan ketentraman masyarakat; f. Tidak dipenuhinya ketentuan perijinan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2) Pencabutan ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah diberikan peringatan secara tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut.

13 BAB VI PERSYARATAN DAN TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN IJIN Pasal 11 Persyaratan ijin pendirian sarana kesehatan, sebagai berikut : a. Pemohon dilakukan oleh pimpinan yayasan atau pimpinan sarana kesehatan; b. Permohonan dalam bentuk tertulis dan bermaterai cukup ditujukan kepada Bupati dengan tembusan kepada Kepala Dinas disertai dengan berkas kelengkapan : 1) Salinan/ fotocopy Kartu Tanda Penduduk pemohon; 2) Salinan/ fotocopy akte pendirian yayasan/badan hukum; 3) Salinan/ fotocopy Ijin Mendirikan Bangunan; 4) Salinan/ fotocopy Ijin Gangguan; 5) Salinan/ Fotocopy status lahan sertifikat tanah dan/atau perjanjian kontrak; 6) Peta lokasi sarana kesehatan satu kecamatan; 7) Studi kelayakan/ master plan khusus untuk perijinan sarana Rumah Sakit; 8) Dokumen UKL-UPL khusus untuk perijinan BP dan RB, Klinik Rawat Inap dan Rumah Sakit. Pasal 12 Tata cara pengajuan ijin penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, sebagai berikut : a. Permohonan penyelenggaraan dapat diajukan apabila bangunan dan perlengkapan/ peralatan yang dipersyaratkan telah tersedia; b. Identitas lengkap pemohon dan salinan sah akte pendirian badan hukum dikecualikan bagi Balai Pengobatan (BP) tidak berlaku ketentuan tersebut karena Balai Pengobatan dapat dimilki perorangan; c. Salinan sah persetujuan lokasi dikecualikan untuk praktek perorangan; d. Salinan bukti hak pemilikan / penggunaan tanah bangunan; e. Surat pernyataan pemohon (bermaterai cukup) yang menyatakan akan tunduk dan patuh pada ketentuan peraturan perundangang-undangan yang berlaku; f. Data Direktur Rumah Sakit,Daftar tenaga medis, paramedis, non medis; g. Struktur Organisasi sarana kesehatan; h. Daftar peralatan medis dan peralatan penunjang; i. Daftar Isian Rumah Sakit; j. Denah bangunan beserta ukurannya; k. Hasil pemeriksaan air selama 6 (enam) bulan terakhir khusus untuk perijinan Rumah Sakit. Pasal 13 (1) Dalam mempertimbangkan pemberian ijin, melalui langkah-langkah sebagai berikut : a. Penelitian berkas kelengkapan persyaratan dari pemohon; b. Selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah berkas permohonan diterima, maka dilakukan peninjauan lapangan dengan menyertakan instansi terkait; c. Dalam peninjauan lapangan akan dilihat kelengkapan persyaratan sarana kesehatan sesuai dengan ketentuan standar masing-masing sarana kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada; d. Analisa laporan/ rekomendasi/ berita acara hasil peninjauan lapangan dari instansi terkait. (2) Apabila segala ketentuan telah dipenuhi dan memenuhi standar masing-masing sarana kesehatan, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan ijin penyelenggaraan sementara / tetap sarana kesehatan diterbitkan.

14 BAB VII PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN DI BIDANG MEDIK Pasal 14 (1) Untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan di bidang Medik harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang sesuai dengan standar sarana kesehatan yang ditetapkan dengan Peraturan Perundangan yang berlaku. (2) Upaya Pelayanan Kesehatan di bidang Medik diselenggarakan berdasarkan fungsi sosial dengan memperhatikan prinsip kelayakan. (3) Upaya Pelayanan Kesehatan di bidang Medik harus memberikan pertolongan pertama kepada penderita gawat darurat tanpa memungut uang lebih dahulu. (4) Upaya Pelayanan Kesehatan di bidang Medik yang dilengkapi dengan rawat inap harus menyediakan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah tempat tidur yang tersedia untuk orang yang kurang dan/ atau tidak mampu membayar. (5) Upaya Pelayanan Kesehatan di bidang Medik wajib membantu program pemerintah di bidang pelayanan kesehatan masyarakat, program kependudukan dan keluarga berencana. (6) Upaya Pelayanan Kesehatan di bidang Medik wajib bekerja sama dengan Upaya Pelayanan Kesehatan Pemerintah di Bidang Medik dalam rangka rujukan medik, pendayagunaan tenaga medis dan pendayagunaan peralatan medik canggih. Pasal 15 (1) Sarana kesehatan dalam bentuk rumah sakit wajib mempunyai sarana pengolahan air limbah/ Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan incenerator sesuai dengan kapasitas dari limbah yang dihasilkan. (2) Bagi rumah sakit yang belum memiliki IPAL dan incenerator dapat melaksanakan kerja sama dengan rumah sakit telah memiliki IPAL dan incenerator. (3) Dalam hal Rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dan/atau tidak memiliki IPAL akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku. BAB VIII TARIF (JASA) PELAYANAN KESEHATAN DI BIDANG MEDIK Pasal 16 (1) Komponen jasa pelayanan yang bisa diminta terdiri dari : a. Jasa konsultasi; b. Biaya obat-obatan dan alat kesehatan; c. Jasa tindakan medik; d. Jasa penunjang medik; e. Jasa perawatan (termasuk sewa kamar dan makan) khusus untuk Rumah Sakit, Klinik Rawat Inap, Rumah Bersalin, Sarana Pelayanan Penyalahgunaan NAPZA; f. Komponen lain untuk menunjang pelayanan kesehatan. (2) Rincian komponen dan besarnya tarif dari masing-masing komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk Pemerintah Daerah wajib disusun dan diajukan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk untuk memperoleh persetujuan. (3) Rincian komponen dan besarnya tarif dari masing-masing komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk non Pemerintah Daerah wajib melaporkan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.

15 Pasal 17 (1) Terhadap masyarakat yang tidak mampu (yang dinyatakan oleh pejabat berwenang) dan cacat veteran harus diberikan pelayanan dengan tarif seringanringannya. (2) Terhadap kasus kecelakaan terutama dalam keadaan darurat/ gawat darurat harus diberikan pelayanan sesuai dengan etika profesi kesehatan, tanpa terlebih dahulu memungut uang muka. BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN SARANA KESEHATAN DI BIDANG MEDIK Pasal 18 (1) Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan agar mutu pelayanan semakin meningkat dan tetap memenuhi persyaratan medik yang ditentukan serta semakin luas kearah : a. Penerapan fungsi sosialnya; b. Melakukan usaha promotif, preventif (termasuk KB-Kes terpadu) dan P3K; c. Menjalankan sistem rujukan dengan benar; d. Teratur dalam pencatatan dan pelaporan. (2) Pembinaan dan pengawasan Upaya Pelayanan Kesehatan di Bidang Medik Dasar menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten yang dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat dan tanggung jawab wilayah. (3) Pembinaan dan pengawasan Upaya Pelayanan Kesehatan di Bidang Medik Spesialistik menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten yang dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat dan tanggung jawab wilayah. (4) Tata cara serta bentuk pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3), diatur lebih lanjut oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 19 (1) Pembinaan terhadap praktek berkelompok Dokter/ Dokter Gigi/ Dokter Spesialis dan Rumah Sakit dilaksanakan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pembinaan terhadap BP/BKIA/RB/Klinik Rawat Inap/ Sarana Pelayanan Penyalahgunaan NAPZA swasta dilaksanakan oleh Kepala Puskesmas dan/atau Kepala Dinas. Pasal 20 Tata cara pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan melalui : a. Bimbingan berkala langsung; b. Pertemuan berkala; c. Latihan/ pendidikan; d. Bantuan sarana/ prasarana; e. Memberi dorongan yang mendidik. Pasal 21 (1) Pengawasan dilaksanakan agar teknis pelayanan diselenggarakan sesuai dengan prosedur teknis, etis dan jasa pelayanan yang diminta sesuai dengan Pasal 16 ayat (1). (2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk.

16 BAB X PENCATATAN DAN PELAPORAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN DI BIDANG MEDIK Pasal 22 (1) Upaya Pelayanan Kesehatan di Bidang Medik wajib melaksanakan pencatatan dan pelaporan. (2) Tata cara pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Bagi penyelenggaraan pelayanan medik dasar swasta (BP, BKIA, RB dan Klinik Rawat Inap, Sarana Pelayanan Penyalahgunaan NAPZA) wajib membuat cacatan medik dan membuat laporan setiap bulan ke Puskesmas setempat, tembusan ke Dinas Kesehatan dengan menggunakan format yang telah ditentukan. (4) Bagi penyelenggaraan pelayanan medik spesialistik wajib membuat cacatan medik dan membuat laporan setiap bulan ke Dinas Kesehatan dengan menggunakan format yang telah ditentukan. (5) Para dokter/ penanggung jawab BP, BKIA, RB, Klinik Rawat Inap, Sarana Pelayanan Penyalahgunaan NAPZA, Praktek Berkelompok Dokter/ Dokter Gigi/ Dokter Spesialis dan Rumah Sakit wajib membuat laporan yang menyangkut proses penyelenggaraan dan masalah pokok yang dihadapi setiap 3 (tiga) bulan sekali ke Bupati melalui Kepala Dinas. (6) Laporan yang dimaksud pada ayat (5), menyangkut proses penyelenggaraan dan masalah pokok yang dihadapi dalam lingkup tanggung jawabnya. (7) Apabila menghadapi kasus kejadian luar biasa (KLB) harus segera melaporkan ke Dinas Kesehatan dengan tembusan ke Puskesmas setempat. BAB XI PERLUASAN/ PENGEMBANGAN DAN PEMBUKAAN CABANG SARANA PELAYANAN KESEHATAN DI BIDANG MEDIK Pasal 23 (1) Perluasan bangunan di dalam lokasi sarana pelayanan kesehatan yang telah mempunyai ijin penyelenggaraan dan tidak terkait dengan peningkatan kelas, tidak memerlukan ijin mendirikan atau ijin penyelenggaraan baru, tetapi harus terlebih dahulu ada persetujuan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. (2) Perluasan bangunan (cabang) di luar lokasi sarana kesehatan yang telah memiliki ijin walaupun masih dalam kota kecamatan yang sama harus mengajukan ijin mendirikan dan ijin menyelenggarakan yang baru. (3) Pembukaan cabang di luar lokasi sarana kesehatan swasta harus mengajukan ijin sebagaimana sarana kesehatan yang baru. (4) Pengembangan sarana kesehatan menjadi sarana kesehatan lainnya harus mengajukan ijin pendirian sarana yang baru kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk yang dilampiri berkas : a. Studi kelayakan/ master plan pengembangan sarana kesehatan dimaksud; b. Rekomendasi dan berita acara dari Kepala Dinas; c. Fotocopy surat ijin menyelenggarakan yang masih berlaku; d. Hasil rapat pengurus badan hukum atau rapat umum pemegang saham yang menunjukkan tentang pengembangan pelayanan yang dituangkan dalam akte notaris.

17 BAB XII PENGALIHAN KEPEMILIKAN/ PERUBAHAN STATUS KEPEMILIKAN SARANA PELAYANAN KESEHATAN DI BIDANG MEDIK Pasal 24 (1) Pengalihan kepemilikan sarana kesehatan atau perubahan status dari badan sosial ke badan hukum lainnya atau dari badan hukum ke badan hukum lainnya harus memenuhi persyaratan/ ketentuan tentang proses pengalihan pemilikan yang terjadi. (2) Pemilik baru sarana kesehatan mengajukan permohonan ijin perubahan status kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. (3) Berkas/ data yang perlu dilampirkan adalah : a. Rekomendasi pengalihan/ perubahan status kepemilikan dari Kepala Dinas; b. Salinan yang sah akte notaris pemilik baru dan akte notaris pemilik lama; c. Salinan yang sah akte pengalihan kepemilikan dari pemilik lama ke pemilik baru sesuai dengan ketentuan yang berlaku; d. Data yang berubah dengan adanya perubahan pemilik/ status pemilik mengenai perubahan sarana, prasarana, peralatan dan kegiatan pelayanan kesehatan; e. Hasil keputusan rapat pengurus badan hukum/ rapat umum pemegang saham yang menunjuk tentang perubahan status kepemilikan. (4) Dalam waktu 75 (tujuh puluh lima) hari setelah berkas diterima Bupati atau Pejabat yang ditunjuk sudah harus menetapkan persetujuan atau penolakan perubahan kepemilikan tersebut. (5) Dengan peralihan kepemilikan maka ijin menyelenggarakan sarana kesehatan berpindah ke pemilik baru untuk jangka waktu sisa masa berlakunya ijin tersebut. BAB XIII TINDAKAN ADMINISTRATIF PELAYANAN KESEHATAN DI BIDANG MEDIK Pasal 25 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan perijinan dan penyelenggaraan dari Peraturan Daerah ini akan dikenakan tindakan : a. Teguran (lisan/ tertulis) oleh Kepala Puskesmas terhadap BP/ BKIA/ RB/Klinik Rawat Inap, Sarana Pelayanan Penyalahgunaan NAPZA; b. Teguran (lisan/ tertulis) oleh Bupati; c. Peringatan atau penutupan sementara oleh Kepala Dinas; d. Pencabutan ijin oleh Bupati. (2) Pembatalan/ pencabutan ijin pendirian sarana kesehatan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dengan alasan : a. Masa berlakunya telah habis; b. Dalam waktu 6 (enam) bulan sejak ijin diberikan belum dilakukan pembangunan BP/ BKIA/ RB/ Klinik Rawat Inap/ Sarana Pelayanan Penyalahgunaan NAPZA/ Praktek berkelompok; c. Dalam waktu 9 (sembilan) bulan sejak ijin diberikan tidak ada kemajuan dalam pembangunan; d. Dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak ijin diberikan belum dilakukan pembangunan Rumah Sakit; e. Dalam waktu 2 (dua) tahun sejak ijin diberikan tidak ada kemajuan dalam pembangunan Rumah Sakit; f. Atas kemauan pemohon untuk tidak meneruskan proses pendiriannya; g. Badan hukum pemilik bubar atau dibubarkan. (3) Pembatalan/ Pencabutan ijin penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh Menteri Kesehatan dengan alasan :

18 a. Telah habis masa berlakunya; b. Permintaan sendiri oleh pemiliknya; c. Apabila selama 1 (satu) tahun tidak menjalankan kegiatan pelayanan atau tidak menjalankan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya; d. Ada keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menetapkan melarang sarana pelayanan kesehatan menjalankan kegiatan; e. Melakukan pelanggaran etik dan profesi yang berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB XIV IJIN PRAKTEK TENAGA MEDIS Pasal 26 Tenaga medis yang akan melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan profesinya pada sarana pelayanan kesehatan, wajib memiliki Surat Ijin Praktek (SIP). Pasal 27 Sarana pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, meliputi sarana pelayanan kesehatan medik dasar dan sarana pelayanan kesehatan medik spesialistik milik Pemerintah, BUMN, BUMD, Lembaga maupun swasta. Pasal 28 (1) Untuk memperoleh Surat Ijin Praktek bagi tenaga medis, yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada pejabat yang ditunjuk. (2) Surat Ijin dapat diberikan apabila memenuhi persyaratan : a. Fotocopy surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang diterbitkan dan dilegalisir asli oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang masih berlaku; b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktik atau surat keterangan dari sarana pelayanan kesehatan sebagai tempat praktiknya; c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi, sesuai tempat praktik; d. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 3 (tiga) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar; e. Surat ijin dari pimpinan instansi/sarana pelayanan kesehatan dimana dokter dan dokter gigi dimaksud bekerja (khusus bagi dokter dan dokter gigi yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk pemerintah). Pasal 29 Surat Ijin Praktek dapat diberikan kepada tenaga medis lulusan luar negeri apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan memiliki Surat keterangan selesai melakukan adaptasi sesuai peraturan yang berlaku. Pasal 30 Surat Ijin Praktek dapat diberikan maksimal di 3 (tiga) tempat sarana pelayanan kesehatan kecuali apabila menurut penilaian Bupati masih kekurangan tenaga medis untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat setempat.

19 Pasal 31 Dalam pemasangan papan nama praktek swasta perorangan tenaga medis dengan ketentuan : a. Papan nama berukuran 40 x 60 cm, tidak boleh melebihi 60 x 90 cm cat putih dengan huruf hitam; b. Nama, gelar yang sah, jenis pelayanan sesuai dengan surat ijin praktek dan waktu praktek; c. Papan nama tidak boleh dihiasi warna atau penerangan yang bersifat iklan. Pasal 32 (1) Surat Ijin Praktek tenaga medis berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperbarui. (2) Permohonan perbaruan diajukan kepada Bupati dilampiri dengan rekomendasi organisasi profesi dan fotocopy SIP yang lama. (3) Permohonan Surat Ijin Praktek yang disetujui ataupun ditolak harus disampaikan oleh Bupati kepada tenaga medis pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan tersebut diterima. (4) Apabila permohonan Ijin Praktek ditolak, Bupati harus memberi alasan penolakannya. BAB XV PENCABUTAN IJIN PRAKTEK TENAGA MEDIS Pasal 33 (1) Bupati dapat mencabut SIP dokter/ dokter gigi dalam hal : a. Atas dasar rekomendasi Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI); b. Surat Tanda Regristrasi (STR) dokter atau dokter gigi dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia; c. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIP-nya; dan d. Dicabut rekomendasinya oleh organisasi profesi melalui sidang yang dilakukan khusus untuk itu. (2) Pencabutan SIP yang dilakukan Bupati wajib disampaikan kepada dokter dan dokter gigi yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan (3) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d tidak dapat diterima, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk diteruskan kepada Menteri Kesehatan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah keputusan diterima. (4) Menteri setelah menerima keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meneruskan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari. (5) Bupati melaporkan setiap pencabutan SIP dokter dan dokter gigi kepada menteri Kesehatan, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, serta tembusannya disampaikan kepada organisasi profesi setempat. BAB XVI SANKSI DAN LARANGAN PRAKTEK TENAGA MEDIS Pasal 34 Apabila dalam menjalankan kegiatan profesinya, tenaga medis melakukan Penyimpangan maka konsekwensinya adalah sanksi administrasi dalam bentuk pencabutan ijin praktek.

20 Pasal 35 Sanksi administrasi pencabutan ijin praktek dikelompokkan : a. Pelanggaran ringan, pencabutan ijin selama-lamanya 3 (tiga) bulan; b. Pelanggaran sedang, pencabutan ijin selama-lamanya 6 (enam) bulan; c. Pelanggaran berat, pencabutan ijin selama-lamanya 1 (satu) tahun. Pasal 36 Tenaga medis dilarang : a. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi; b. Menjalankan praktek diluar yang tercantum dalam Surat Ijin Praktek; c. Memberikan atau meracik obat kecuali suntikan; d. Menjalankan praktek dalam keadaan fisik dan mental terganggu; e. Mengijinkan penggunaan nama dan profesi untuk kegiatan kedokteran kepada orang yang tidak berhak; f. Mengiklankan diri/ usaha menarik perhatian umum dengan tujuan untuk keuntungan pribadi. BAB XVII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TENAGA MEDIS Pasal 37 (1) Bupati dan/atau organisasi profesi yang terkait melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga medis yang menjalankan praktek. (2) Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan agar mutu pelayanan semakin meningkat dan tetap memenuhi persyaratan medik yang ditentukan serta semakin luas kearah : a. Penerapan fungsi sosialnya; b. Melakukan usaha promotif, preventif (termasuk KB-Kes terpadu) dan P3K; c. Menjalankan sistem rujukan dengan benar; d. Teratur dalam pencatatan dan pelaporan. (3) Pembinaan dan pengawasan Upaya Pelayanan Kesehatan di Bidang Medik Dasar menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten yang dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat profesinya. (4) Tata cara serta bentuk pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 38 Kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dapat dilakukan melalui pemantauan yang hasilnya dibahas dalam pertemuan periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pasal 39 Pembinaan tenaga medis yang menjalankan praktek oleh organisasi profesi : a. Tenaga medis wajib mengumpulkan sejumlah angka kredit setiap tahun yang besarnya ditetapkan oleh organisasi profesi; b. Angka kredit yang dikumpulkan dari kegiatan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) atau Pendidikan Kedokteran Gigi Berkelanjutan (PKGB) dalam bentuk kegiatan ilmiah, pelatihan dalam bidang profesinya baik secara langsung maupun jarak jauh dengan menggunakan modul; c. Rincian dan tata cara pengumpulan angka kredit dari masing-masing unsur ditentukan oleh organisasi profesi;