LAPORAN MENGENAI PERDAGANGAN ORANG, PEKERJA PAKSA, DAN KEJAHATAN PERIKANAN DALAM INDUSTRI PERIKANAN DI INDONESIA. IOM/KKP/Coventry University

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN MENGENAI PERDAGANGAN ORANG, PEKERJA PAKSA, DAN KEJAHATAN PERIKANAN DALAM INDUSTRI PERIKANAN DI INDONESIA. IOM/KKP/Coventry University"

Transkripsi

1 LAPORAN MENGENAI PERDAGANGAN ORANG, PEKERJA PAKSA, DAN KEJAHATAN PERIKANAN DALAM INDUSTRI PERIKANAN DI INDONESIA IOM/KKP/Coventry University 1

2

3 LAPORAN MENGENAI PERDAGANGAN ORANG, PEKERJA PAKSA, DAN KEJAHATAN PERIKANAN DALAM INDUSTRI PERIKANAN DI INDONESIA 3

4

5 International Organization for Migration (IOM) Misi di Indonesia Sampoerna Strategic Square, North Tower, 12A Floor Jl. Jend. Sudirman Kav , Jakarta Selatan Phone: ; Fax: IOM berkomitmen pada prinsip bahwa migrasi secara tertib dan manusiawi membawa keuntungan bagi para migran dan masyarakat. Sebagai badan antar-pemerintah, IOM bekerjasama dengan masyarakat internasional untuk membantu menjawab tantangantantangan operasional migrasi, memajukan pemahaman tentang isu-isu migrasi, mendorong pembangunan sosial dan ekonomi melalui migrasi, dan berupaya menciptakan penghormatan yang efektif terhadap martabat kemanusiaan dan kesejahteraan hidup para migran. Pendapat yang dikemukakan dalam laporan berikut adalah opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan dari International Organization for Migration (IOM). Penggunaan istilah dan pemaparan materi sepanjang laporan ini tidak mewakili pendapat apapun dari IOM sehubungan dengan status hukum dari negara, wilayah, kota atau daerah manapun, atau terkait dengan pihak berwenangnya, maupun sehubungan dengan perbatasan yang dimilikinya. Segala hak terlindungi International Organization for Migration Tidak diperkenankan untuk menerbitkan ulang bagian apapun dari buku ini, menyimpannya dalam sebuah sistem penyimpanan, atau dikirimkan secara elektronik, mekanik, fotokopi, merekam atau sebaliknya, tanpa izin tertulis lebih dahulu dari penerbit. Buku ini diterbitkan atas dukungan finansial dari Australian Government Department of Immigration and Border Protection

6 6

7 DAFTAR ISI Methodology and Research Limitations... 5 Introduction... 7 Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing and Maritime Security... 8 The Fishing industry in Indonesia Minister of Marine Affairs and Fisheries Policy in Releasing Moratorium on Fishing Vessels Enforcement of Criminal, Administrative and Civil Law The Relationship Between Market Demand, Overfishing, Illegal Fishing, and Human Trafficking Human Trafficking in the Fishing Industry Historical Background of Trafficking and Forced Labour in the Fishing Industry, Case Study: The Jermal Case Victim Profile and Data Foreign Victims of Trafficking in the Indonesian Fishing Industry Indonesian Victims of Trafficking in the Foreign Fishing Industry Education Promised Jobs Recruitment fee Movement Process Work Contract Document Falsification Quality of Life Mechanisms for Control Abuse Labour Exploitation

8 Age Family Situation Educational Level Economic Status Place of Origin Recruitment and Movement Foreign Victims of Trafficking in Indonesia: Pre-Departure Control Mechanisms Crimes Against the Person Working Conditions and Exploitation Assistance for Victims and the Legal Process Return Assistance Return Assistance for Victims to Countries of Origin Provision of Food and Non-Food Assistance Health Assistance Shelter Assistance Reintegration Assistance Legal Assistance Salary Settlement Analysis Overlapping Authority Lack of Strong International Legal Framework References

9 KATA SAMBUTAN Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga Penelitian Bersama tentang Kejahatan Perikanan, Perdagangan Orang dan Pekerja Paksa pada Industri Perikanan ini dapat tersusun. Penyusunan laporan yang merupakan kerjasama antara Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan International Organization for Migration (IOM Indonesia), patut diapresiasi, menginat laporan ini merupakan laporan pertama dan satu-satunya yang secara lengkap dan kritis dalam menggambarkan situasi perdagangan orang dan pekerja paksa pada industri perikanan di Indonesia. Dibawah kepempinan Pemerintahan Jokowi, KKP menetapkan tiga pilar utama yang menjadi misi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yaitu kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability) dan kesejahteraan (prosperity). 3 (tiga) pilar tersebut, kemudian diterjemahkan kedalam beberapa kebijakan yang diawali dengan kebijakan moratorium dan analisis dan evaluasi kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri. Melalui kebijakan ini, atas laporan dari Associated Press, Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan (Satgas Gahtas) Illegal Fishing menemukan praktik perbudakan di Benjina. Temuan tersebut yang kemudian diikuti 9

10 dengan kasus Ambon, merupakan temuan perbudakan pada industri perikanan yang menurut laporan tersebut sebagai kasus perbudakan terbesar pada abad 21. Upaya hukum dan non hukum telah dilakukan, agar pelaku mendapatkan hukuman setimpal, korban mendapatkan hak remediasi, restitusi dan repatriasi ke negara asal. Pada Maret 2016, 8 (delapan) terdakwa telah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Tual dan atas bantuan IOM Indonesia, 1500 korban telah kembari ke negara asal. Selain kasus perdagangan orang pada industri perikanan dalam negeri, perdagangan orang juga terjadi pada kapal ikan asing yang melibatkan ABK Indonesia. Melalui Satgas 115, Indonesia telah mengungkap dan melakukan proses hukum terhadap kasus perdagangan orang yang melibatkan kapal ikan pelaku illegal fishing internasional seperti FV. Viking, FV. Jiin Horng No.106 dan FV. Hua Li 8. Terakhir, pada Juli 2016, Satgas 115 telah menangkap pelaku perdagangan orang pada kapal perikanan Tiongkok yang beroperasi di Iran. Upaya ini merupakan langkah awal keseriusan KKP dalam melindungi ABK Indonesia di luar negeri. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia dan merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Sayangnya, isu perdagangan orang pada perikanan, belum teridentifikasi secara komprehensif, instrumen hukum belum memadai, sehingga pekerja pada kapal perikanan, rawan terhadap tindakan perbudakan. Alasan tersebut membuat Greenpeace mengkategorikan pekerjaan pada kapal perikaaan identik dengan 3D (dirty, dangerous and demeaning). Sebagai langkah awal keprihatinan saya terhadap permasalahan ini, pada hari HAM Internasional, saya telah menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Peraturan ini menjadi prasyarat penerbitan izin usaha perikanan dan izin penangkapan ikan dan mengharuskan pengusaha perikanan untuk patuh terhadap standar perlindungan HAM. Namun demikian, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah terhadap sekitar an ABK Indonesia pada kapal asing yang beroperasi lintas benua yang selama ini belum terlindungi. 10

11 Kedepannya, melalui laporan ini, dengan menggandeng kementerian dan lembaga lain, perlu dilakukan pembahasan bersama menyelesaikan permasalahan perdagangan orang yang melibatkan ABK Indonesia pada kapal ikan asing. Saya berharap, Penelitian Bersama tentang Kejahatan Perikanan, Perdagangan Orang dan Pekerja Paksa pada Industri Perikanan ini menjadi rujukan pemangku kepentingan lintas sektoral, dalam membangun sistem dan regulasi, dalam mencegah dan memberantas perdagangan orang pada industri perikanan. Jakarta, Agustus 2016 Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti 11

12 12

13 KATA SAMBUTAN Professor Mike Hardy Direktur Eksekutif Centre for Trust, Peace and Social Relations, Ruang maritim menciptakan kesempatan sekaligus tantangan bagi masyarakat pesisir dan juga masyarakat yang lebih luas di seluruh dunia. Penelitian yang digambarkan dalam Laporan ini menggarisbawahi masalah yang riil dan terukur dari ruang maritim yang tak terkelola dan jaringan kejahatan terorganisir yang berkembang dengan menyamar sebagai kegiatan usaha yang sah dalam bidang perikanan maupun lainnya. Kajian ini menyoroti bagaimana kelemahan dalam kebijakan keamanan maritim di belahan dunia ini menciptakan dampak yang negatif bagi berbagai komunitas dan juga bagi individual-individual yang rentan, mengakibatkan keduanya berisiko jatuh dalam cengkraman organisasi kejahatan. Keamanan maritim adalah tantangan bersifat multi-dimensi dan multi-aspek bagi ekonomi, dan bagi keamanan pangan, energy dan politik. Perikanan yang tidak sah, tak terlaporkan dan belum diatur (IUU Fishing) menunjukkan persilangan antara isu keamanan maritim dengan isu keamanan maritim, meliputi semua dimensi dan risiko. Persilangan ini menunjukkan arah pendekatan konseptual yang ingin diangkat oleh laporan ini. Sungguh sebuah 13

14 tragedi bahwa di abad ke-21 penyelundupan manusia, perdagangan orang dan kerja paksa masih terus berlangsung. Coventry University s Centre for Trust, Peace and Social Relations (CTPSR) bekerja erat dengan International Organization for Migration (IOM) Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beberapa tahun terakhir, untuk peningkatan kesadaran, pengembangan kapasitas di Indonesia, berkontribusi pada peningkatan pemahaman bersama tentang keamanan maritim melalui lensa keamanan manusia, serta menyebar luaskan hasil temuan penelitian yang dapat mendukung upaya bersama ini. Saya yakin bahwa laporan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam menempatkan isu ini secara kokoh dalam agenda internasional. Dengan menggapai khalayak multi-stakeholder yang mencakup pembuat kebijakan, praktisi, akademisi, LSM dan masyarakat sipil, kami mencoba untuk membangun sebuah komunitas praktis keamanan maritim, mengembangkan tata kelola dan kolaborasi antar-instansi, dan memperkuat keamanan maritim di negara kepulauan terbesar di dunia. Kami sangat senang dapat berjalan searah dengan visi Presiden Joko Jokowi Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah poros maritim dunia. Namun tanggung jawab kami yang paling utama adalah tetap kepada masyarakat dan komunitas yang rentan dan dalam mendukung pengentasan kesengsaraan manusia dan eksploitasi individual yang rentan oleh kegiatan tidak sah yang dilakukan oleh kejahatan transnasional terorganisir. Professor Mike Hardy Direktur Eksekutif Center for Trust, Peace & Social Relations Coventry University 14

15 FOREWORD KATA SAMBUTAN Mark Getchell Kepala Misi IOM Indonesia Pada tahun 2015, IOM Indonesia bekerja erat dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan instansi pemerintahan lainnya dalam operasi penyelamatan, pemberian bantuan, dan pemulangan nelayan asing di Benjina dan Ambon. Skala eksploitasi dan kesewenang-wenangan yang terjadi membuat kejadian tersebut sebagai salah satu kasus perdagangan orang bertujuan eksploitasi tenaga kerja terbesar yang pernah terungkap. Setelah operasi penyelamatan, IOM Indonesia melangsungkan wawancara dengan para nelayan dan mengumpulkan kesaksian tangan pertama tentang sistem perekrutan yang penuh tipu daya, sewenang-wenang, kerja tanpa bayaran, dan bahkan pembunuhan. Kisah-kisah memilukan para nelayan ini tak bisa kita diamkan. Oleh sebab itu, IOM Indonesia melangsungkan kolaborasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Satgas IUU Fishing, dan Universitas Coventry dalam menjalankan penelitian dan penyusunan laporan penting ini. Laporan ini mendokumentasikan eksploitasi dalam skala besar pada sebuah industri dimana penindasan masih terus berlangsung secara global. Kolaborasi unik antara IOM, pemerintah Indonesia dan Universitas Coventry telah membawa isu perdagangan orang, kerja paksa, kejahatan perikanan dan IUU Fishing dipandang dari perspektif multi-disiplin. Laporan ini menyajikan sebuah wawasan tentang industri perikanan, para nelayan, dan pelaku eksploitasi. 15

16 Sebagai Kepala Misi IOM Indonesia, saya mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu dengan para nelayan dan pergi ke tempat-tempat dimana eksploitasi terjadi. Saya juga mendapatkan kehormatan bekerja erat dengan Menteri Susi Pudjiastuti dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menjelajahi sejumlah cara untuk memberantas perdagangan orang dalam industri perikanan dan mempromosikan hak asasi manusia pra nelayan. Penting agar kejadian-kejadian tragis ini tidak dilupakan dan laporan ini digunakan oleh pemerintah untuk membantu kegiatan penegakan hukum dan penyusunan kebijakan. Laporan ini juga berguna bagi sektor sosial untuk mendorong penyediaan bantuan layanan bagi korban perdagangan orang dan kepada sektor swasta dan konsumen dalam rangka mengangkat isu tentang kegiatan kriminal dan eksploitasi yang bisa jadi menodai keuntungan yang mereka dapat atau ikan yang mereka makan. Penyelamatan para nelayan di Benjina dan Ambon mendorong pemerintah Asosiasi Negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) menfokuskan perhatian pada industri perikanan dan eksploitasi nelayan. Walaupun fokus ini masih dalam tahap awal, ada gejala yang menggembirakan bahwa pemerintah memang berniat untuk memerangi perdangangan orang dan IUU Fishing. Masih banyak yang perlu dilakukan. Saya berharap laporan ini dapat menjadi sebuah katalis bagi pemerintahan, organisasi non-pemerintah, sektor swasta, dan konsumen untuk mengambil langkah-langkah terpadu melawan perdagangan orang di industri perikananan. Kasus-kasus perdagangan orang yang terdokumentasi di Benjina dan Ambon, walaupun jumlahnya cukup signifikan, sebenarnya hanya potret kecil dari eksploitasi berskala global dan perlakuan sewenang-wenang terhadap nelayan. Skala eksploitasi yang demikian besar itulah yang membuat kita perlu menjalin kerjasama yang luas agar bisa memberantasnya secara efektif. Jakarta, Juli 2016 KEPALA MISI IOM INDONESIA MARK GETCHELL 16

17 Ringkasan Pelaksana Pada tahun 2015 penyelamatan besar-besaran terhadap nelayan asing yang dieksploitasi sebagai tenaga kerja bagi kapal penangkap ikan yang terlibat dalam penangkapan ikan yang illegal, tidak dilaporkan dan belum diatur (IUU Fishing) mencerminkan adanya kebijakan yang kurang memadai dari industri perikanan dan kurangnya perlindungan atas kondisi kerja di kapal dan di pabrik pengolahan ikan. Kasus ini menyoroti besarnya ruang lingkup bidang kejahatan transnasional ini. Korban direkrut dari berbagai negara dan dipaksa bekerja secara ilegal di Indonesia. Hukum dan peraturan nasional dilanggar dan konvensi internasional diabaikan. Perusahaan kedok (front company) didirikan dan pengalihmuatan (transshipment) ikan secara ilegal dilakukan di zona ekonomi ekslusif dan wilayah perbatasan Indonesia, sehingga menyulitkan pihak berwenang melakukan operasi pencegatan. Pada akhirnya penangkapan tersebut memasuki rantai pasokan global dan ditangani oleh pemasok ikan yang sah, tanpa menyadari asal-usul muatan dan korban manusia di baliknya. Situasi di Benjina dan Ambon adalah dampak dari perdagangan orang yang semakin meluas dan berbahaya, tidak hanya di industri perikanan Indonesia dan Thailand, tapi juga secara global. Penelitian ini memberikan wawasan lebih mendalam tentang industri kriminal yang memiliki jangkauan luas dan akar yang kuat, yang beroperasi berdampingan dengan industri perikanan yang sah, dan sering saling tumpang tindih. Situasi semacam ini menunjukkan ketersebaran kejahatan transnasional terorganisir di laut dan ancaman yang ditimbulkan pada keamanan maritim negara, dan ancaman keamanan manusia terhadap para nelayan, pelaut dan masyarakat komunitas nelayan. 17

18 Perdagangan Orang dan Kerja Paksa dalam industri perikanan Indonesia dicirikan oleh: Penangkapan ikan secara illegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur dicirikan oleh perekrutan yang sarat tipu daya dan eksploitasi nelayan dan pelaut yang sistematik dan sangat terorganisir dari berbagai negara di Asia Tenggara; Pengakuan saksi pembunuhan dan pembuangan mayat yang melanggar hukum; Kasus eksploitasi nelayan secara ekstrim yang melebihi 20 jam kerja per hari selama 7 hari berturut-turut dalam seminggu; dan Kurangnya kesadaran pada tingkat lokal masalah perdagangan manusia dan kegiatan kriminal terkait lainnya. Penangkapan Ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan belum diatur dicirikan oleh: Peraturan pemerintah Indonesia yang tumpang tindih dan undangundang yang menyebabkan kebingungan atas tanggung jawab pemerintah dalam pengawasan penerimaan tenaga kerja, kondisi dan pemantauan industri perikanan, agen pengawakan kapal, dan kapal penangkap ikan; Perpaduan lebih dari 2 orang: kapal berbendera ganda terdaftar di dua negara yang berbeda. Tindakan memalsukan sertifikat penghapusan setidaknya dilakukan oleh pemilik kapal, para pendukung dan pelaku langsung di lapangan; Dugaan tindak pidana pelanggaran serius: banyaknya nelayan ilegal yang melanggar hukum, dari menonaktifkan pemancar, menggunakan alat penangkap yang terlarang dan alat penangkap yang merusak, pengalihmuatan ilegal, pemalsuan dokumen kapal dan buku catatan; Nakhoda asing yang bekerja secara ilegal dalam jangka waktu tak tertentu: walaupun telah ada hukum nasional yang melarang penggunaan awak kapal asing, masih ada banyak pawang laut (fishing master) yang bekerja di atas kapal yang melakukan pelayaran panjang. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perencanaan yang cukup matang untuk melakukan tindak kejahatan; 18

19 Mengejar keuntungan dan/atau kekuasaan: alasan utama adanya kejahatan perikanan adalah untuk mendapatkan untung dan manfaat finansial yang besar dengan usaha yang minim dan memanfaatkan kecenderungan sejumlah pejabat tingkat tinggi dan para politisi untuk melakukan korupsi; Operasi pada tingkat internasional: nelayan ilegal beroperasi di beberapa negara, menangkap ikan di berbagai daerah, dengan menggunakan bendara kapal yang tidak sesuai dan menurunkan hasil tangkapannya langsung ke Negara lain, dan menjual ikan di pasar internasional dengan harga yang tinggi; Penggunaan struktur komersial atau bisnis: operasi penangkapan ikan ilegal dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar, seringkali didirikan oleh investasi asing, memiliki izin beroperasi, namun mereka melanggar hukum dan menghindari pajak. 19

20 20

21 Saran - Saran Otorita Pelabuhan harus mencatat setiap pergerakan kapal, terutama kapal asing; Penyidik Perikanan resmi Pelabuhan dapat dilatih dalam mengidentifikasi indikasi perdagangan manusia, kerja paksa dan pelanggaran IUU Fishing; Mengurangi kemungkinan adanya peraturan / kewenangan antar instansi pemerintah yang tumpang tindih; Setiap kematian yang terdapat di atas kapal ataupun di pelabuhan wajib diselidiki dan dilakukan otopsi; Bahwa negara bendera kapal mengambil porsi tanggung jawab lebih besar atas kegiatan IUU yang dilakukan oleh kapal yang menerbangkan bendera mereka. Dukungan atas upaya membuat pencatatan kapal secara global (pendaftaran); Mendukung peningkatan inspeksi dan akses terhadap kapal-kapal nelayan dan pabrik pengolahan ikan terpencil; Mendukung adanya peningkatan peran penyidik (Angkatan Laut, Polisi Air dan Perikanan) untuk melakukan pemeriksaan kapal penangkap ikan dalam membuktikan adanya perdagangan orang dan IUU Fishing; Menyelenggarakan uji kepatutan dan audit penegakan HAM terhadap perusahaan perikanan sebelum penerbitan izin operasi; Membangun pusat untuk nelayan dan pelaut di pelabuhan (pusat pengaduan untuk melaporkan tindakan sewenang-wenang, cidera, kematian, dan sebagai tempat mencari perlindungan); Mendukung inspeksi dan penyidikan multi-agensi di pelabuhan ; Memperkenalkan kebijakan pencatatan rekam-jejak untuk untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia dan mengurangi pelanggaran IUU Fishing; dan Meningkatkan kesadaran konsumen adanya perdagangan orang dalam industri perikanan. 21

22 22

23 Persembahan Laporan ini adalah hasil penelitian bersama oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Satuan Tugas Kepresidenan dalam Memerangi Penangkapan Ikan Ilegal, bersama dengan the International Organization for Migration (IOM) Indonesia, dan Universitas Coventry. Para pengarang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Satuan Tugas Kepresidenan untuk Memerangi Penangkapan Ikan Ilegal termasuk Dr. Mas Achmad Santosa, Dr. Yunus Husein, dan Pahrur Roji Dalimunthe dan Maria Anindita Nareswari. Dr. Ioannis Chapsos dari Universitas Coventry memberikan kontribusi berharga mengenai keamanan maritim dan keamanan manusia sebagai perwujudan dari praktek ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (IUU Fishing). Tim penulis dari IOM Indonesia termasuk Nurul Qoiriah, Dr. Peter Munro, Among Resi, Ricky Ramon, Gema Bastari, Justitia Veda, Dr. Wayne Palmer dan Elise Caron. Terima kasih juga untuk Shafira Ayunindya untuk bimbingan dan dukungan yang diberikan kepada tim anti perdagangan orang selama proses penulisan, dan Diah Zahara untuk pendalaman proses wawancara dengan para korban. Beberapa penulis IOM juga terlibat dalam usaha penyelamatan, wawancara, dan pemulangan nelayan. Terima kasih kepada Mr. Mark Getchell, Kepala Misi IOM Indonesia, yang telah memenangkan perjuangan nasib nelayan secara berkesinambungan dan dikelola tim anti perdagangan orang melalui proses penulisan utuh dan Menteri Susi Pudjiastuti untuk dukungan penekanan usaha memerangi penangkapan ikan secara illegal dan pelanggaran hak azasi manusia terhadap industri perikanan Indonesia dan dukungan tindak tegas pemerintah untuk membebaskan, menyelamatkan dan memulihkan korban dari Benjina dan Ambon. 23

24 Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada Mr. Steve Hamilton, Wakil Kepala Misi IOM Indonesia, yang berperan penting dalam menyelamatkan korban perdagangan di Benjina dan Ambon dan bersikeras agar penelitian ini dapat dijangkau oleh khalayak luas dalam rangka mencegah eksploitasi nelayan, baik di Indonesia mapun secara internasional, di masa mendatang. 24

25 Daftar Istilah AIS Automatic Information System AP Associated Press COI Certificate of Identity DIrjenim Direktorat Jenderal Imigrasi FAO Food and Agriculture Organization FOC Flags of Convenience GDP Gross Domestic Product ILO International Labour Organization INP Indonesian National Police IOM International Organization for Migration ITF International Transport Workers Federation IUU Illegal, Unreported and Unregulated (Fishing) Kemensos Kementerian Sosial KKP Kementerian Kelautan dan Perikanan Lao PDR Lao People s Democratic Republic MLC Maritime Labour Convention Nelayan Seseorang yang bekerja atau bergiat dalam kapasitas apa pun melakukan pekerjaan di atas sebuah kapal penangkap ikan (Kerja dalam Konvensi Perikanan) NGO Non-Government Organization Pelaut Setiap orang yang bekerja atau bergiat dalam kapasitas apa pun di atas kapal laut (Konvensi Buruh Maritim). PSC Port State Control PSMA Port State Measures Agreement RFMO Regional Fisheries Management Organisation Satgas Satuan Tugas SIKPI Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan SIPI Surat Izin Penangkapan Ikan SIUP Surat Izin Usaha Perdagangan TD Travel Document TPPO Tindak Pidana Perdagangan Orang 25

26 UN UNCLOS UNODC UPI VMS VoT ZEE United Nations United Nations Convention on the Law of the Sea United Nations Office on Drugs and Crime Unit Pengolah Ikan Vessel Monitoring System Victims of Trafficking Zona Ekonomi Ekslusif 26

27 metodologi dan Batas-Batasan Riset L aporan ini didasarkan pada penyelidikan yang dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Satuan Tugas Kepresidenan dalam Memerangi Penangkapan Ikan secara Ilegal (IUU Fishing) bersama dengan penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia terhadap nelayan dan awak kapal, baik yang berkebangsaan asing maupun Indonesia, yang teridentifikasi sebagai korban perdagangan manusia dan menerima bantuan IOM. Penelitian tentang perdagangan manusia dalam industri penangkapan ikan Indonesia khususnya menggunakan tiga sumber utama: 1. Wawancara yang dilakukan oleh IOM Indonesia terhadap orang nelayan yang berhasil diselamatkan dari Benjina dan Ambon pada tahun 2015; 2. Kuesioner yang diberikan pada 285 orang nelayan asing dari Benjina dan Ambon; dan 3. Wawancara oleh IOM Indonesia pada 283 orang nelayan dan awak kapal Indonesia yang dipulangkan. IOM Indonesia melakukan wawancara dengan salah satu nelayan (Sumber: IOM) 27

28 28

29 pendahuluan Selama tahun 2015 Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia merespon ulasan investigatif Associated Press (AP) tentang perdagangan orang dengan bekerja sama dalam operasi penyelamatan nelayan asing yang diperdagangkan dan dieksploitasi dalam industri penangkapan ikan Indonesia di Benjina dan Ambon. Para nelayan direkrut dari Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Republik Demokratik Rakyat Laos dan bekerja di dalam kondisi yang eksploitatif di perairan Indonesia. Ulasan AP tersebut mengidentifikasi nelayan yang diyakini merupakan korban perdagangan orang. Ketika KKP, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan IOM tiba di lokasi, lebih banyak nelayan berdatangan dari daerah sekitar, semuanya mengakui telah dieksploitasi dan diperlakukan tidak pantas. Diperkirakan sekitar orang nelayan meminta bantuan. Sayangnya perusahaan penangkap ikan yang terlibat eksploitasi pekerja telah memulangkan sebagian besar warga Kamboja dan Thailand sebelum mereka diwawancarai oleh polisi. Skala perdagangan tenaga kerja dalam industri penangkapan ikan diyakini luas berdasarkan pengalamannya hanya sedikit data empiris yang mendukung pengakuan ini. Menyusul operasi penyelamatan, IOM Indonesia melakukan wawancara terstruktur kepada 285 orang nelayan yang diperdagangkan. Hasil wawancara menjadi dasar riset dan analisis laporan ini. Laporan ini merupakan satu dari kajian-kajian kualitatif terbesar yang dilakukan terhadap para korban perdagangan tenaga kerja internasional. Wawancara tersebut juga menghasilkan informasi luas tentang dinamika penangkapan ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Belum Diatur (IUU Fishing). Hasil wawancara memberikan data berharga bagi instansi-instansi yang berusaha memberantas kejahatan lintas negara terorganisir di laut. 29

30 Kasus ini menyoroti luasnya ruang lingkup kejahatan lintas negara. Korban yang direkrut berasal dari berbagai negara dan dipaksa bekerja secara ilegal di Indonesia. Hukum dan peraturan perundang-uandangan dilanggar dan perjanjian internasional diabaikan. Perusahaan kedok (front company) didirikan dan ikan yang ditangkap secara illegal dipindahmuatkan ke kapal lain di wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia, sehingga mencegah penangkapan oleh pihak-pihak berwenang Indonesia. Pada akhirnya tangkapan memasuki rantai pasokan global dan ditangani oleh pemasok ikan yang sah, tidak mengetahui sumber asal dan korban manusia di balik tangkapan tersebut. Perdagangan manusia dalam industri penangkapan ikan bukan hal yang baru namun seringkali berlalu tanpa hukuman dalam waktu yang lama. Situasi di Benjina dan Ambon menunjukkan adanya gejala perdagangan manusia yang jauh lebih luas, tersembunyi dan membahayakan, tidak hanya dalam industri penangkapan ikan Indonesia dan Thailand, melainkan secara global. Laporan penelitian ini mencoba melihat bagaimana dampak-dampak internasional dari situasi di Benjina dan Ambon tersebut dapat menunjukkan sebuah industri kriminal yang berdaya jangkau luas dan berakar kuat dapat beroperasi berdampingan dengan industri perikanan yang legal, bahkan kerap saling tumpang tindih. Ini menandakan betapa meluasnya ancaman kejahatan lintas negara yang terorganisir dan ancaman keamanan manusia terutama bagi nelayan, awak kapal dan masyarakat penangkap ikan. Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (IUU Fishing) and Keamanan Laut Penangkapan ikan ilegal, Tidak dilaporkan dan Tidak Diatur merupakan ancaman bagi keamanan maritim dan perlu ditanggapi dengan sepantasnya. IUU Fishing saat ini belum dikategorikan sebagai kejahatan lintas Negara, namun kegiatan IUU Fishing sering melibatkan kejahatan yang bersifat lintas negara seperti perdagangan orang. Keseriusan kejahatan yang terjadi di laut menyebabkan pentingnya untuk memandang IUU Fishing di Indonesia sebagai ancaman keamanan laut yang secara serius. 30

31 Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam laporannya pada tahun 2008 kepada Majelis Umum, dengan judul Samudera dan hukum kelautan membahas tentang keamanan laut. 1 Setelah menjelaskan bahwa tidak ada definisi yang diterima secara universal, tetapi bahwa terdapat sejumlah versi dan arti yang tergantung pada konteks dan penggunanya, beliau menyebutkan tujuh ancaman serius terhadap keamanan laut: Perompakan dan perampokan bersenjata di laut; aksi teroris yang melibatkan pelayaran; instalasi lepas laut dan kepentingan maritim lainnya; perdagangan gelap senjata api dan senjata perusak massal; perdagangan narkoba dan obat-obat psikotropika terlarang; penyelundupan dan perdagangan manusia di laut; penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur; perusakan lingkungan laut yang disengaja dan melanggar hukum. 2 Sekretaris Jenderal PBB mendesak semua negara untuk memperluas pendekatan keamanan laut mereka dari yang berwawasan sempit dan terpusat pada negara menjadi pendekatan yang berpusat pada manusia. Beliau menekankan bahwa ancaman-ancaman baru yang berkembang tidak lagi hanya mengenai masalah perbatasan negara dan penggunaan kekuatan negara, melainkan lebih mencerminkan kondisi ketidakamanan manusia di darat; ancaman-ancaman ini tak lagi dapat ditangani melalui pendekatan tradisional, seperti dengan menurunkan dan menggunakan kekuatan angkatan laut, dan oleh sebab itu membutuhkan respon keamanan laut yang bersifat kolektif. 3 Keamanan laut merupakan tantangan keamanan kontemporer yang bersifat multi-dimensi, terdiri dari sejumlah hal (seperti perompakan di laut, perdagangan manusia, penyelundupan, dll.) yang dapat mengancam keamanan internasional. Metamorfosa bentuk-bentuk kejahatan tersebut menjadi bentuk yang lebih kontemporer dan dalam konteks lingkungan maritim yang terglobalisasi, mendorong proliferasi serta peningkatan keterlibatan pelaku non pemerintah dalam isu keamanan maritim. Semua itu pada akhirnya ikut mendorong peningkatan kejahatan transnasional terorganisir. Dalam hal ini, ketiadaan definisi yang dapat diterima secara 1 UN (2008). Samudera dan Hukum Kelautan. Laporan Sekretaris Jenderal PBB kepada Majelis Umum. A/63/63. 2 UN. (2008). Op Cit,hal UN. (2008). Op Cit. 31

32 internasional adalah refleksi dari sifat multidisiplin isu keamanan laut, serta beragamnya pemangku kepentingan yang terlibat. 4 Strategi keamanan laut yang ada dan digunakan saat ini mengkonsepkan dan mendekati isu keamanan maritim dengan sebuah lensa khusus, didasarkan pada kekhususan lokal/regional, prioritas kepentingan, dan signifikansi tiap ancaman dalam konteks tertentu. 5 Meskipun sebagian besar ancaman yang terpetakan memiliki posisi tertentu dalam kajian strategis, namun prioritasnya berbeda-beda. Tiap aktor akan mempertimbangkan tingkat ancaman yang berbeda, memperluas atau memperdalam konsep ancaman sesuai dengan ulasan risiko masing-masing, aktor yang terlibat, dan ancaman yang muncul. 6 Dalam kerangka pikir tersebut, isu IUU Fishing tetap menempati posisi teratas daftar ketidakamanan maritim, dan melibatkan jaringan tindakan dan entitas yang kompleks, yang bertentangan dengan upaya pelestarian dan pengelolaan internasional. 7 Membedakan dan mendefinisikan ketiga komponen dari undang-undang penangkapan ikan (IUU Fishing), istilah penangkapan ikan ilegal secara spesifik mengacu pada penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau asing di perairan yang berada di bawah kekuasaan hukum suatu negara, tanpa izin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dari Negara tersebut. 8 Penangkapan tidak dilaporkan mengacu pada kegiatan-kegiatan penangkapan ikan (yang disengaja dan tidak disengaja) yang tidak dilaporkan, atau telah dilaporkan dengan tidak sebagaimana mestinya kepada pihak berwenang nasional terkait, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional. 9 Pada akhirnya, penangkapan ikan tidak diatur adalah istilah lain yang lebih luas yang mencakup penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal tanpa kebangsaan, atau yang mengibarkan bendera Negara yang bukan memihak 4 Chapsos, I. (2016). Apakah keamanan Maritim Merupakan Tantangan Keamanan Tradisional? Penjelajahan Wawasan Keamanan: Tantangan Keamanan Tidak Tradisional. A. J. Masys, (ed). Switzerland, Springer International Publishing. hal.74 5 Uni Afrika (2014) Strategi Africa s Kelautan Terpadu (AIM), Uni Afrika; Uni Eropa (2014). Strategi Keamanan Maritim Uni Eropa, Uni Eropa /14; and UK (2014). Stretegi Nasional UK Keamanan Maritim untuk London. 6 Chapsos, I. (2016). Op Cit. hal74. 7 Komite Perikanan (2007). Pemberantasan penangkapan ikan illegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur tanpa Pemantauan, Pengendalian dan Pengawasan. Langkah-langkah Pelabuhan pada Negara dan sarana lainnya, Twenty Seventh Session edn., Translated by FAO. COFI/2007/7. 8 Bondaroff, P., et al. (2015). The Illegal Fishing and Organised Crime Nexus: Penangkapan Ikan Ilegal sebagai Kejahatan Lintas Negara, Inisiatif Memerangi Kejahatan Transnasional scara Global dan The Black Fish. hal12. 9 Ibid. 32

33 pada sebuah Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional 10 (Regional Fisheries Management Organization-RFMO), atau secara umumnya penangkapan ikan dengan cara yang bertentangan dengan peraturan-peraturan RFMO, [ ] atau dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggung jawab konservasi sumber daya laut hayati berdasarkan hukum internasional. 11 IUU Fishing merefleksikan situasi ketidakamanan laut yang bersifat transnasional dan lintas batas, terlepas dari wilayah kedaulatan sebuah negara, karena kasus-kasus IUU Fishing telah dilaporkan di banyak wilayah selain juga dilaporkan di wilayah perairan internasional serta zona-zona dalam wilayah hukum Negara pesisir. 12 Selanjutnya, pada beberapa kesempatan pelaku IUU Fishing telah membangun hubungan dengan jaringan dan kegiatan kejahatan terorganisir; satu prasyarat yang dibutuhkan adalah agar pelaku tetap berada di bawah radar dan menggunakan industri penangkapan ikan sebagai kedok usaha sah bagi kegiatan terselubung mereka. Kompleksitas dan sifat multidimensional keamanan maritim secara umum, dan kejahatan dalam industri perikanan pada khususnya, mendapatkan porsi khusus dalam sebuah kajian komprehensif oleh Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UN Office on Drugs and Crime-UNODC) yang memeriksa dan melaporkan kegiatan-kegiatan kejahatan dalam industri penangkapan ikan. Kajian tersebut menyingkap meluasnya praktek tenaga kerja paksa dan penyiksaan dalam industri perikanan, dimana anak-anak dan nelayan diperjualbelikan oleh jaringan kejahatan teroganisir. Jaringan-jaringan kejahatan teroganisir juga terlibat dalam penangkapan ikan ilegal - baik dalam hal ikut terlibat langsung dalam penangkapan illegal atau penangkapan spesies ikan yang hampir punah. Jaringan kejahatan terorganisir juga ikut terlibat dalam pencucian tangkapan-tangkapan ilegal di pasar perikanan internasional, yang dapat dilakukan hanya dengan pemalsuan dokumen, pemindahmuatan (transhipment) dan korupsi. Seakan belum cukup, kajian yang sama mengungkapkan bahwa dalam sebagian besar kasus, jaringan-jaringan kejahatan terorganisir ini mengeksploitasi keterampilan dan pengetahuan para penyelnggara industri penangkapan 10 Lihat Komisi Eropa, Regional fisheries management organisations (RFMOs), available online from ec.europa.eu/ fisheries/cfp/international/rfmo/index_en.htm [accessed March 2016]. 11 Bondaroff, P., et al. (2015). Op Cit. 12 Chapsos, I. (2016). Op Cit.p67 33

34 ikan dalam bidang kelautan dan merekrut mereka untuk meluaskan kegiatankegiatan kriminalnya. Kapal-kapal penangkap ikan yang sah sering digunakan sebagai kedok untuk memfasilitasi penyelundupan migran, dan perdagangan obat-obatan dan senjata. 13 Laporan lain dari UNODC tentang kejahatan lintas Negara di Asia Tenggara menyingkap sejauh mana perdagangan manusia, penyelundupan migran, kerja paksa dan eksploitasi seksual secara langsung dan/atau tidak langsung memiliki kaitan dengan industri penangkapan ikan. 14 Temuan-temuan yang dibahas membawa kita pada perbedaan yang nyata antara IUU fishing dan kejahatan perikanan. Meskipun keduanya memiliki keterikatan dan kaitan konseptual, kedua istilah tersebut berbeda karena lingkup dan sifatnya: IUU Fishing terkait dengan isu-isu pengelolaan perikanan seperti pemanfaatan sumber daya hayati laut dan berada dalam lingkup fokus Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization FAO). Sementara kejahatan perikanan, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, mencakup beragam tindak kejahatan, seperti pemalsuan dokumen, kejahatankejahatan terkait perdagangan dan penyelundupan manusia, pencucian uang, dll., yang terutama dilakukan oleh jaringan-jaringan kejahatan terorganisir, sehingga berada di bawah mandat UNODC. 15 Terlebih lagi, sebagaimana telah dibahas secara rinci terkait definisi keamanan laut, kejahatan perikanan tidak memiliki definisi hukum yang telah diterima oleh umum. Dengan demikian, kejahatan perikanan dapat didefinisikan sebagai tindak-tindak kejahatan sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang dalam negeri (termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pelanggaran-pelanggaran terhadap undangundang sumber daya hayati laut) yang dilakukan dalam sektor perikanan, dengan sektor perikanan mengacu pada keseluruhan rantai nilai mulai dari registrasi kapal hingga ke tahap penjualan. 16 Faktor lainnya adalah tidak efisien dan tidak memadainya pemantauan, pengendalian dan pengawasan yang dilakukan oleh negara-negara pesisir terlebih lagi negara-negara berkembang - terhadap kegiatan perikanan, 13 UNODC (2011). Transnational Organised Crime in the Fishing Industry. Vienna, United Nations Office on Drugs and Crime. 14 UNODC (2013). Transnational Organized Crime in East Asia and the Pacific: A Threat Assessment, United Nations Office on Drugs and Crime. Hal 6,7,9, Palma Robles, M. (2014). Fisheries crime: bridging the gap. Retrieved 17 March, 2016, from 16 Witbooi, E. (2015). Towards a new fisheries crime paradigm: challenges and opportunities with reference to South Africa as an illustrative African example. Marine Policy 55: pp

35 bahkan terhadap kapal-kapal yang mengibarkan bendera mereka. Kesulitan menangani IUU Fishing juga bertambah rumit dikarenakan praktik sejumlah kapal penangkap ikan yang terdaftar di negara-negara yang berbeda dengan negara pemilik kapal, lazim dikenal sebagai negara-negara anggota Bendera Kemudahan (Flag of Convenience/FOCs atau pendaftaran terbuka). Sebagaimana dilaporkan oleh Federasi Serikat Pekerja Transportasi Global (International Transport Workers Federation 17 - ITF), para pemilik kapal terdorong untuk mendaftarkan kapal-kapal mereka menjadi anggota FOC oleh karena biaya pendaftaran yang murah, pajak rendah atau bahkan bebas pajak, dan kemudahan untuk mempekerjakan tenaga kerja murah. Beberapa negara anggota memiliki standar keselamatan dan pelatihan yang rendah dan tidak memiliki batasan terkait kebangsaan awaknya, yang dari sudut pandang keamanan menciptakan kesenjangan keamanan. Oleh karenanya, kendali yang lebih efektif dari negara-negara yang memiliki bendera dan negara-negara pelabuhan, serta langkah-langkah terkait pasar, dapat secara signifikan membantu menghilangkan fenomena ini. Gambar 1: IUU Kapal Penangkap Ikan di Perairan Indonesia (Sumber KKP). Industri Penangkapan Ikan di Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau yang tersebar dengan garis pantai sepanjang kilometer, menjadikannya 17 Lihat International Transport Workers Federation (ITF), Defining FOCs and the problems they pose, dapat dilihat online pada [diakses 2016]. 35

36 garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas yaitu km2 atau 75% dari keseluruhan wilayah Indonesia. 65% dari keseluruhan 467 kabupaten/kota di Indonesia berlokasi di pesisir. Melihat konteks geografis ini, dapat disimpulkan bahwa kekuatan utama Indonesia adalah kelautan. Wilayah laut Indonesia yang sangat luas memberikan insentif dalam bentuk sumber daya laut dan perikanan yang berlimpah dan menjanjikan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi untuk mendukung pembangunan nasional. Kekayaan laut Indonesia antara lain adalah keanekaragaman hayati lautnya yang sangat kaya yang terbesar di dunia dengan spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies biota yang terhubung dengan terumbu karang. Indonesia memiliki potensi untuk membangun industri ikan tangkapnya. Data FAO dalam The State of World Fisheries and Aquaculture (Kondisi Perikanan dan Budidaya Perairan Dunia) 18 menunjukkan bahwa Indonesia adalah penghasil penangkapan ikan terbesar kedua di dunia setelah Cina dengan jumlah produksi ikan mencapai ton pada tahun 2012 (7,3% dari produksi ikan dunia). Ilustrasi 1. Rantai Nilai Sektor Perikanan (Source: Evading the Net: Tax Crime in the Fisheries Sector, OECD 2013) 18 FAO, 2014, The State of World Fisheries and Aquaculture, hal

37 Tabel 1. Marine capture fisheries: major producer countries 2012 Variasi Peringkat Negara Benua (per ton) (Persentase) 1 China Asia Indonesia Asia United States of America Americas Peru Americas Russian Federation Asia/Europe Japan Asia India Asia Chile Americas Viet Nam Asia Myanmar Asia Norway Europe Philippines Asia Republic of Korea Asia Thailand Asia Malaysia Asia Mexico Americas Iceland Europe Morocco Africa Total 16 negara utama Jumlah di dunia Membagi 18 negara utama (persentase)

38 Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Analisis Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2014, produksi perikanan tangkapan mencapai 6,20 juta ton, yang tertinggi di Asia Tenggara. Produksi ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara dalam bentuk ekspor perikanan senilai US$4,64 miliar. 19 Dari sudut pandang tenaga kerja, diperkirakan 3,8 juta penduduk Indonesia bekerja dalam industri perikanan hilir ke hulu. Jenis-jenis usaha perikanan meliputi kegiatan di laut (menangkap ikan), kegiatan di pelabuhan penangkapan ikan (melabuhkan, memroses dan menjual ikan) dan mengekspor ikan ke luar negeri (transportasi dan konsumsi). Dari 3,8 juta tenaga kerja, sebanyak tenaga kerja bekerja sebagai nelayan (awak kapal/kapten kapal/pawang laut) di laut dalam kapal penangkap ikan, dan sisanya tenaga kerja bekerja dalam industri perikanan lainnya seperti Unit Pengolahan Ikan (UPI). 20 Sumber daya perikanan Indonesia belum terkelola dengan baik di masa lalu. Sebagai akibatnya, potensi kekayaan alam dari sumber daya perikanan Indonesia belum memberikan keuntungan nyata kepada penduduk Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan IUU Fishing. Kegiatan-kegiatan IUU fishing telah menjadi kejahatan yang membahayakan perekonomian Indonesia serta melanggar kedaulatan negara. IUU Fishing menyebabkan kehilangan pendapatan yang diperkirakan senilai US$20 miliar 21 dan sekitar 65 persen terumbu karang Indonesia dianggap terancam karenanya. 22 IUU Fishing juga mengganggu usaha para nelayan kecil karena mengurangi stok yang tersedia bagi mereka secara signifikan. Karena IUU Fishing prospek nelayan Indonesia jatuh, dan profesi menangkap ikan tidak lagi dapat dijalankan sebagaimana sebelumnya. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa berdasarkan data Sensus periode , jumlah nelayan tradisional telah berkurang dari 1,6 juta menjadi orang keluarga. Menurut BPS, 0,9 juta penduduk (18%) dari 47,3 juta penduduk miskin bekerja sebagai nelayan. Sebagai produsen penangkap ikan terbesar kedua di dunia, Indonesia pada kenyataannya berada di luar dari sepuluh eksportir penangkap ikan terbesar di dunia oleh karena kegiatan-kegiatan IUU Fishing. 19 Pusat data dan Indormasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Analisis Data Pokok Kelautan dan Perikanan Greenpeace, 2013, Laut Indonesia dalam Krisis, hal Sri Mulyani Indrawati, The Case for Inclusive Green Growth (2015). source: speech/2015/06/09/the-case-for-inclusive-green-growth 22 ibid. 38

39 Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Penghentian Sementara (Morotarium) Kapal-Kapal Penangkap Ikan Sejak diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada bulan Oktober 2014, Susi Pudjiastuti telah memperkenalkan visi dari kebijakan kelautan dan perikanan Indonesia yang berfokus pada kedaulatan, kelestarian dan kemakmuran. Visi ini telah dirumuskan ke dalam berbagai kebijakan strategis termasuk kebijakan penghentian sementara bagi eks-kapal-kapal asing 23 yang diperkenalkan sejak Oktober 2014 sampai dengan April Kebijakan penghentian sementara tersebut kemudian diperpanjang sampai dengan Oktober Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut, moratorium terhadap eks-kapal-kapal asing tersebut merupakan penghentian sementara terhadap penerbitan dan perpanjangan izin-izin usaha bagi penangkapan ikan tangkap di dalam Wilayah Pengelolaan Penangkapan Ikan Negara Republik Indonesia yang dikenakan terhadap eks-kapal-kapal asing. 24 Kebijakan penghentian sementara tersebut hanya dikenakan terhadap ekskapal asing untuk alasan-alasan sebagai berikut: 1. Ex foreign fishing vessels have the ability to exploit marine resources greatly and could suppress the recovery cycle of the fishery ecosystem. As a country included in the Coral Triangle, I n d o n e s i a should preserve its sea ecosystem with their best efforts to ensure food availability for its people and for the rest of the world; 2. Ex foreign fishing vessels have an enormous plundering capacity. This decreases the number of fish available for the traditional fishermen. The country s commitment to provide prosperity through natural resources for its people becomes difficult to realize and social conflict can occur as a result of this reason (the capacity of ex foreign vessels is GT); and 3. Low compliance of ex foreign vessel operators with Indonesian legislation. 23 Eks kapal asing adalah kapal penangkap ikan yang dibuat di luar negeri menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (1) 39

40 Di samping pelaksanaan kebijakan penghentian sementara (moratorium), Menteri Kelautan dan Perikanan juga memberlakukan larangan terhadap pemindahkapalan (transshipment) dalam Keputusan Menteri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 57/PERMEN-KP/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Permen KP 57/2014). Larangan ini telah melarang kapal-kapal memindahkan tangkapan mereka di laut ke kapal-kapal transshipment. Seiring pelaksanaan penghentian sementara dan larangan pemindahkapalan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengeluarkan larangan penggunaan jaring ikan tidak ramah lingkungan yang dapat membahayakan ekosistem sumber daya laut seperti pukat hela dan pukat tarik. Larangan ini dikeluarkan melalui Keputusan Menteri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 2/ PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (Permen KP 2/2015). Gabungan kebijakan penghentian sementara, larangan pemindahkapalan dan larangan penggunaan peralatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan merupakan gabungan kebijakan untuk mencegah dan mengatasi eksploitasi sumber daya perikanan Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini adalah awal dari upaya mencapai visi sektor perikanan Indonesia di bawah kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti, yaitu kedaulatan, kelestarian, dan kemakmuran (Ilustrasi 2). Ilustrasi 2. 40

41 Kebijakan penghentian sementara mengamanatkan untuk dilaksanakannya analisis kepatuhan dan evaluasi kapal dan perusahaan penangkap ikan yang menggunakan kapal-kapal yang dibuat di luar negeri. Berdasarkan data perijinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan tertanggal 3 November 2014 ketika penghentian sementara dimulai, terdapat eks kapal asing yang beroperasi di Indonesia (Grafik 1). Grafik 1 Negara Asal USA (1) 0% Thailand (280) 25% Origin Country Vietnam (1) 0% Australia (25) 2% Belize (5) 0% China (374) 33% Taiwan (216) 19% Japan (104) 9% Honduras (4) 0% Singapore (2) 0% Philippines (98) 9% Panama (8) 1% Mexico (1) 0% Cambodia (1) 0% Malaysia (2) 0% Korea (10) 1% Analisis lingkungan dilakukan oleh perwakilan-perwakilan dari berbagai lembaga dalam Satuan Kerja gabungan Pencegahan dan Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (IUU Fishing) yang meliputi Kepolisian, Angkatan Laut, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tim tersebut melakukan audit kepatuhan terhadap perusahaan-perusahaan penangkap ikan dan kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi pada tahun Audit tersebut meliputi aspek-aspek kepatuhan sebagai berikut: 1. Legalitas pendirian perseroan terbatas / korporasi 2. Kepatuhan terhadap kepemilikan nomor identifikasi pajak 3. Validitas domisili perseroan terbatas / korporasi 41

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Australia begitu gencar dalam merespon Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing), salah satu aktivitas ilegal yang mengancam ketersediaan ikan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) A. Pendahuluan Wilayah perairan Indonesia yang mencapai 72,5% menjadi tantangan besar bagi TNI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN-KP/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 15/PERMEN-KP/2016 TENTANG KAPAL PENGANGKUT IKAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 22 Januari 2015; disetujui: 23 Januari 2015 Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang mengakibatkan kerugian lingkungan, sosial dan ekonomi yang signifikan (APFIC,2007).

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA Oleh : Dr. Dina Sunyowati,SH.,MHum Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum-Universitas Airlangga Email : dinasunyowati@gmail.com ; dina@fh.unair.ac.id Disampaikan

Lebih terperinci

JAKARTA (4/3/2015)

JAKARTA (4/3/2015) 2015/04/04 11:07 WIB - Kategori : Warta Penyuluhan KKP DAN LEMBAGA TERKAIT KOMITMEN DALAM PENEGAKAN HUKUM JAKARTA (4/3/2015) www.pusluh.kkp.go.id Dalam rangka menuju kepada cita-cita Indonesia sebagai

Lebih terperinci

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA Penyunting Humphrey Wangke Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2011

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1 ABSTRAK KAJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN DI SELAT MALAKA Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang masuk dalam wilayah teritorial

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS YURISDIKSI INDONESIA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh : Kadek Rina Purnamasari I Gusti

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

Marzuki Usman PENDIRI FIHRRST

Marzuki Usman PENDIRI FIHRRST HUMAN RIGHTS ON SUSTAINABLE BUSINESS Marzuki Usman PENDIRI FIHRRST J a k a r t a, 1 6 M a r e t 2017 fihrrst.org Improving Sustainable Business Actions: Exploring Alternative Way of Public Private Partnership

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN O L E H Puteri Hikmawati, SH., MH. Novianti, SH., MH. Dian Cahyaningrum, SH., MH. Prianter Jaya Hairi, S.H., L.LM.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini mengenai implementasi kebijakan publik. Penelitian implementasi kebijakan dilakukan atas kegiatan pemerintah dalam mengatasi fenomena penangkapan ikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

MEMPERKUAT MEKANISME KOORDINASI DALAM PENANGANAN ABK DAN KAPAL IKAN ASING

MEMPERKUAT MEKANISME KOORDINASI DALAM PENANGANAN ABK DAN KAPAL IKAN ASING MEMPERKUAT MEKANISME KOORDINASI DALAM PENANGANAN ABK DAN KAPAL IKAN ASING Andri Hadi Plt. Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Laut Teritorial: KEWENANGAN NEGARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 T

2017, No Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 T BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2017 KEMEN-KP. Sertifikasi HAM Perikanan. Persyaratan dan Mekanisme. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PERMEN-KP/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek BAB V KESIMPULAN Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KKP. Usaha Perikanan. Sertifikasi. Sistem. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. KKP. Usaha Perikanan. Sertifikasi. Sistem. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA No.1841, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KKP. Usaha Perikanan. Sertifikasi. Sistem. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2015 TENTANG SISTEM DAN SERTIFIKASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb No.1618, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Penangkapan. Ikan. Log Book. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/PERMEN-KP/2014 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN

Lebih terperinci

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja,

Lebih terperinci

Transnational Organized Crime

Transnational Organized Crime WILDLIFE CRIME Sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Transnasional Ani Mardiastuti aniipb@indo.net.id Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Transnational Organized Crime Terorisme Penyelundupan senjata

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.668,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PERSYARATAN DAN MEKANISME SERTIFIKASI HAK ASASI MANUSIA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang merupakan satu kesatuan dan harus dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara Indonesia yang

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.49/MEN/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN Pandapotan Sianipar, S.Pi Kasi Pengawasan Usaha Pengolahan, Pengangkutan, dan Pemasaran Wilayah Timur, Direktorat

Lebih terperinci

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM MUHAMMAD NAFIS 140462201067 PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM Translated by Muhammad Nafis Task 8 Part 2 Satu hal yang menarik dari program politik luar negeri Jokowi adalah pemasukan Samudera Hindia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu cepat diiringi dengan derasnya arus globalisasi yang semakin berkembang maka hal ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim terbesar ketiga di dunia yang memiliki luas laut mencapai 7.827.087 km 2 dengan jumlah pulau sekitar 17.504 pulau. Garis pantainya

Lebih terperinci

Jalan Perubahan Ketiga: Pemberantasan Kejahatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup PEMBANGUNAN SEBAGAI HAK RAKYAT

Jalan Perubahan Ketiga: Pemberantasan Kejahatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup PEMBANGUNAN SEBAGAI HAK RAKYAT Jalan Perubahan Ketiga: Pemberantasan Kejahatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup PEMBANGUNAN SEBAGAI HAK RAKYAT Permasalahan Terkait Kejahatan SDA-LH Karakteristik kejahatan SDA-LH: Kejahatan sumber

Lebih terperinci

Para Kepala Kepolisian, Ketua Delegasi, Para Kepala National Central Bureau (NCB),

Para Kepala Kepolisian, Ketua Delegasi, Para Kepala National Central Bureau (NCB), Sambutan Y. M. Muhammad Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Umum Interpol Ke-85 Dengan Tema Setting The Goals Strengthening The Foundations: A Global Roadmap for International Policing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

Kota, Negara Tanggal, 2013

Kota, Negara Tanggal, 2013 Legalitas Pengeksporan Hasil Hasil--Hasil Hutan ke negara--negara Uni Eropa negara Eropa,, Australia dan Amerika Serikat Kota, Negara Tanggal, 2013 Gambaran Umum Acara Hari Ini Perkenalan dan Sambutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimasukan kedalam kelompok Negara mega-biodiversity yang merupakan dasar dari

BAB I PENDAHULUAN. dimasukan kedalam kelompok Negara mega-biodiversity yang merupakan dasar dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia. luas wilayah lautnya mencapai 5,8 juta, sedangkan panjang garis pantainya 81.000 km merupakan ke

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona 54 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari apa yang telah tertulis dalam bab pembahasan, dapat disimpulkan bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona ekonomi eksklusif Indonesia yaitu

Lebih terperinci

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN ARAHAN UMUM MKP

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN ARAHAN UMUM MKP GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN ARAHAN UMUM MKP Jakarta, 21 April 2015 I. PENDAHULUAN 1. Hasil kajian KPK (Gerakan Nasional Penyelamatan SD Kelautan) merupakan

Lebih terperinci

BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL

BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL Isu imigran ilegal yang terus mengalami kenaikan jumlah di Indonesia yang juga turut menimbulkan dampak tersendiri

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laut sebagai anugerah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, harus senantiasa terjaga sumber daya alam kelautannya. Keberhasilan Indonesia untuk menetapkan identitasnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1072, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN PERIKANAN. Kapal Perikanan. Pendaftaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komparasi Port State Measures dengan Aturan Indonesia Indonesia telah memiliki aturan hukum dalam mengatur kegiatan perikanan, pelabuhan perikanan, dan hal lain terkait perikanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafiking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan

Lebih terperinci

Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia

Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia Indonesia merupakan negara maritim yang besar, kuat, dan makmur. Suatu anugerah yang sangat berharga yang dimiliki oleh bangsa kita. Potensi maritim Indonesia memiliki

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.81, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Usaha Perikanan Tangkap. Wilayah Pengelolaan Perikanan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau dalam bahasa

Lebih terperinci

Transnational Organized Crime (TOC)

Transnational Organized Crime (TOC) Hukum di Indonesia untuk Melindungi Satwa Liar Ani Mardiastuti aniipb@indo.net.id Fakultas Kehutanan IPB Transnational Organized Crime (TOC) Terorisme Penyelundupan senjata Narkoba Kejahatan dunia maya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya

Lebih terperinci

Prof. Melda Kamil Ariadno, Ph.D. Fakultas Hukum UI PUSANEV_BPHN

Prof. Melda Kamil Ariadno, Ph.D. Fakultas Hukum UI PUSANEV_BPHN Prof. Melda Kamil Ariadno, Ph.D. Fakultas Hukum UI Apakah sudah berdaulat dalam pangan laut? Berdaulat berarti tidak ketergantungan pada siapapun dan bebas menentukan pilihan Pangan laut sebagai pilihan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus tenggelamnya kapal penangkap ikan Oryong 501 milik Korea Selatan pada Desember tahun 2014 lalu, menambah tragedi terjadinya musibah buruk yang menimpa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap

Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP ) telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Nomor 56/Permen-KP/2014

Lebih terperinci

INDONESIAN MINISTER OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES REITERATED THE IMPORTANCE OF LAW ENFORCEMENT ON IUU FISHING PRACTICES IN INDONESIA March 27 2015

INDONESIAN MINISTER OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES REITERATED THE IMPORTANCE OF LAW ENFORCEMENT ON IUU FISHING PRACTICES IN INDONESIA March 27 2015 INDONESIAN MINISTER OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES REITERATED THE IMPORTANCE OF LAW ENFORCEMENT ON IUU FISHING PRACTICES IN INDONESIA March 27 2015 Efforts to eradicate Illegal, Unreported and Unregulated

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.862, 2013 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Wilayah Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolan. Pengawasan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia 0 P a g e 1 Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia Perdagangan manusia (atau yang biasa disebut dalam udang-undang sebagai perdagangan orang) telah terjadi dalam periode yang lama dan bertumbuh

Lebih terperinci

BAB 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1. Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas bahkan Indonesia dijuluki sebagai negara maritim karena wilayah lautnya yang lebih luas dibandingkan wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN I. UMUM Dalam memasuki milenium ketiga, yang ditandai dengan bergulirnya globalisasi di seluruh sektor kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci