BAB I PENDAHULUAN. Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang bersifat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang bersifat"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang bersifat zoonosis (menular ke manusia). Lebih dari kasus rabies pada manusia dilaporkan setiap tahun di dunia (Rupprecht et al., 2001; Wilde et al., 2008; Bourhy et al., 2008). Rabies disebabkan oleh virus rabies, dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (OIE, 2008). Virus rabies termasuk virus yang memiliki genom RNA untai tunggal berpolaritas negatif (ss-rna virus), memiliki ukuran diameter 75 nm dan panjang 180 nm. Virus rabies memiliki lima jenis partikel protein yang berbeda yakni glikoprotein (G), matrik protein (M), RNA polymerase (L), nukleoprotein (N), dan phosphoprotein (P) (Coll, 1995). Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan ditularkan melalui gigitan, cakaran atau melalui kulit yang terluka (Bingham, 2005; Kang et al., 2007). Kasus klinis rabies pada hewan maupun manusia selalu berakhir dengan kematian. Penyakit Rabies menimbulkan dampak psikologis seperti kepanikan, kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan pada orang-orang yang terpapar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjadi karena biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya postexposure treatment. Disamping itu, kerugian akibat pembatalan kunjungan wisatawan, terutama di daerah yang menjadi tujuan wisata penting di dunia, seperti Bali, dapat saja terjadi jika tingkat kejadian rabies sangat tinggi. 1

2 Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah tersebar di sebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama kali oleh Stchorl pada tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh Eilerts de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon tahun Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar kebeberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953, Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI Yogyakarta tahun Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah di laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau tahun Pada dekade 1990-an dan 2000-an rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular, yaitu Pulau Flores tahun 1998, Pulau Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun 2005, Ketapang tahun 2005, serta Pulau Buru tahun Kemudian Pulau Bali dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di Propinsi Riau tahun 2009 (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006; Kepmentan, 2008). Bali merupakan propinsi terbaru tertular rabies di Indonesia dan Bali dinyatakan tertular secara resmi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember Secara laboratorium rabies pada anjing di Bali didiagnosis pertama kali pada tanggal 27 Nopember 2008 yaitu pada satu ekor anjing asal Kelurahan Kedonganan. Dengan mengkaji kasus pada 2

3 manusia dan hewan serta masa inkubasi rabies, rabies diduga masuk ke Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Propinsi Bali sekitar bulan April 2008 (Putra et al., 2009). Selanjutnya dalam beberapa bulan rabies sudah ditemukan menyebar kebeberapa wilayah antara lain di Kota Denpasar pada 19 Desember Pada pertengahan tahun 2009 wabah sudah menyebar ke Kabupaten Tabanan, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Bangli dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Klungkung tertular akhir Maret 2010, dan akhirnya bulan Juni 2010 Kabupaten Jembrana dinyatakan tertular rabies. Dengan demikian, saat ini, semua kabupaten/kota di Propinsi Bali sudah tertular rabies. Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan eliminasi anjing liar/diliarkan, disamping program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR). Vaksinasi massal merupakan cara yang efektif untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Di Kabupaten Badung, Propinsi Bali, vaksinasi rabies pada anjing, sudah dilakukan sejak tanggal 4 Desember 2008, yang dilanjutkan dengan vaksinasi massal pada tanggal 21sampai 22 Desember Vaksinasi massal terus dilakukan sampai saat ini (Juni 2011) di seluruh Bali. Vaksin rabies yang digunakan adalah vaksin Rabivet Supra92 dan Rabisin. Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil. Di daerah-daerah tertentu, kasus rabies bahkan semakin meningkat (Adjid et al., 2005). Demikian juga halnya yang terjadi di Bali. Itu terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena rabies. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang tidak 3

4 memadai. Cakupan vaksinasi merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pengendalian suatu penyakit, disamping kualitas vaksin, teknik aplikasi dan waktu pelaksanaan vaksinasi (Rahman dan Maharis, 2008; Touihri et al.,2011). Berdasarkan data yang ada di Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet Denpasar), 3 ekor anjing yang didiagnosis positif rabies ternyata sudah pernah mendapatkan vaksinasi rabies. Hal yang hampir sama juga dilaporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon (2010), bahwa 3 sampai 6% kasus anjing rabies di Thailand memiliki sejarah sudah pernah divaksinasi. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa kasus-kasus tersebut kemungkinan disebabkan oleh virus isolat vaksin itu sendiri. Penyebab lainnya yang perlu dikaji antara lain rentang waktu kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin yang dipakai terlalu singkat, penanganan vaksin yang tidak baik (misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi), salah aplikasi, ataukah terjadi perbedaan struktural gen pada glikoprotein virus rabies yang ada di Bali. Yang disebut terakhir itu dapat menyebabkan vaksin yang diberikan tidak mampu lagi memberikan protektivitas pada anjing yang divaksin. Seperti diketahui bahwa glikoprotein virus rabies merupakan protein yang berperan dalam menginduksi produksi antibodi netralisasi yang bersifat protektif setelah vaksinasi. Glikoprotein juga sebagai faktor penting dalam patogenisitas virus rabies (Benmansour et al., 1991; Susetya, 2005; Nagarajan et al., 2006; Maillard dan Gaudin, 2002). 4

5 Masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan surveilans serologis untuk deteksi antibodi pasca vaksinasi dan analisis genetika terhadap gen penyandi glikoprotein virus rabies yang ada di Bali. Deteksi antibodi rabies sangat penting dilakukan untuk mengetahui efektivitas vaksin rabies. Jenis vaksin tampaknya menghasilkan respon imun yang berbeda. Hasil penelitian Minke et al. (2009) menunjukkan bahwa vaksin Rabisin menginduksi respon kebal tertinggi pada hari 14 setelah vaksinasi yaitu 87%. Vaksin yang lain, yaitu Nobivac, disebutkan menginduksi kekebalan yang lebih seragam yang mencapai 100% (Minke et al. 2009). Penelitian yang dilakukan di Nigeria (Ohore et al. 2007) menunjukkan bahwa titer antibodi tertinggi dicapai antara 3 sampai 6 bulan pasca vaksinasi (PV) dan terendah antara 9 sampai 12 bulan PV. Metode uji untuk deteksi antibodi terhadap rabies yang sering digunakan adalah serum netralisasi (SN), yaitu Rapid Fluorscent Focus Inhibition Test (RFFIT) dan Fluorscent Antibodi Virus Neutralisation (FAVN) (OIE, 2008). Kedua metode uji tersebut menggunakan virus rabies hidup, sehingga pengerjaannya memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosekuriti yang memadai dan staf yang telah terlatih baik serta sudah divaksinasi. Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibodi pada serum hewan dan manusia sudah dikembangkan di beberapa negara. Kit ELISA untuk deteksi antibodi pada hewan telah diterima oleh OIE untuk uji sekrining atau uji alternatif dari FAVN. Kelebihan dari uji ELISA adalah dapat dilakukan dalam waktu empat jam, tidak menggunakan virus hidup, tidak memerlukan laboratorium 5

6 dengan fasilitas biosekuriti yang tinggi, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang lebih banyak. Hal ini terbalik dengan FAVN yang memerlukan waktu pengujian selama 4 hari (McElhinney et al., 2008). Pada penelitian ini metode ELISA digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap rabies pada anjing setelah divaksinasi dengan vaksin Rabivet Supra92 dan vaksin Rabisin. Kit ELISA yang digunakan adalah produksi Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya, merupakan produksi dalam negeri, lebih murah dibandingkan dengan Kit produksi luar negeri. Sejauh ini belum ada informasi tentang kualitas Kit ELISA rabies produksi Pusvetma tersebut. Untuk itu perlu dipelajari akurasi Kit yang digunakan, dengan membandingkan Kit ELISA produksi Pusvetma (lokal) dengan Kit ELISA yang sudah divalidasi oleh OIE (Platelia II rabies KIT produksi Bio-rad). 1.2 Rumusan Masalah 1. Berapa lamakah vaksin rabies Rabivet Supra92 dan vaksin Rabisin yang digunakan di Bali bisa memberikan kekebalan pada anjing?. 2. Bagaimanakah agreement between test (Kappa) KIT ELISA rabies produksi Pusvetma Surabaya dengan Kit PlateliaII rabies produksi Bio-Rad?. 3. Apakah sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali mempunyai kesamaan dengan isolat lainnya di Indonesia atau negara lain?. 6

7 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui rentang waktu kekebalan anjing yang divaksinasi rabies dengan vaksin Rabivet Supra92 dan vaksin Rabisin di Bali. 2. Untuk mengetahui agreement between test (Kappa) KIT ELISA rabies produksi Pusvetma Surabaya (lokal) dengan melakukan uji banding dengan KIT ELISA yang sudah divalidasi oleh OIE (Platelia rabies II produksi Bio-Rad) sebagai standard. 3. Untuk mengetahui sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali dan disepadankan dengan sekuen isolat lainnya di Indonesia atau negara lain. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengetahui berapa lama vaksin rabies yang digunakan bisa memberikan kekebalan pada anjing, serta agreement between test (Kappa) KIT ELISA Rabies produksi Indonesia (Pusvetma Surabaya). Dari hasil analisis gen penyandi glikoprotein yang didapat diharapkan dapat diketahui kekerabatan (jarak genetik) virus rabies isolat Bali. 7

8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Rabies Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis) (WHO, 2010). Rabies disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999). Virus rabies di keluarkan bersama air liur hewan terinfeksi dan ditularkan melalui luka gigitan atau jilatan. Rabies sangat penting artinya bagi kesehatan masyarakat, karena apabila penyakit tersebut menyerang manusia dan tidak sempat mendapat perawatan medis akan mengakibatkan kematian dengan gejala klinis yang mengharukan dan bersifat fatal (Adjid, et al., 2005; Bingham, 2005; Dietzschold et al., 2005; Miah et al., 2005; Rupprecht et al., 2001) Masa inkubasi dan gejala klinis rabies Masa inkubasi dan gejala klinis rabies bervariasi pada spesies satu dengan lainnya. Menurut Hiswani (2003), masa inkubasi rabies pada anjing dan kucing berkisar antara 10 hari sampai 8 minggu. Pada sapi, kambing, kuda, dan babi berkisar antara 1 sampai 3 bulan. Peneliti lain mengemukan bahwa massa inkubasi anjing penderita rabies kurang dari 10 hari (Tepsumethanon et al., 2004; 2008). Masa inkubasi rabies pada manusia juga bervariasi. Masa inkubasi rabies pada manusia kurang dari 30 hari ditemukan sebanyak 25%, 30 hari sampai 90 hari sebanyak 50%, 90 hari sampai 1 tahun sebanyak 20%, dan lebih dari 1 tahun 8

9 sebanyak 5% (Transfuzion, 2009). Peneliti lain mengemukakan bahwa masa inkubasi rabies pada manusia berkisar antara 30 hari sampai 90 hari, namun ada yang 4 hari sampai beberapa tahun, dan cendrung lebih singkat pada gigitan di muka dari pada di tungkai (WHO., 2010). Gejala klinis rabies pada anjing dan kucing hampir sama. Triakoso (2007), mengemukakan bahwa Gejala klinis rabies dikenal dalam dua bentuk yaitu bentuk ganas dan bentuk diam. Pada rabies bentuk ganas (furious rabies) masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam dua sampai lima hari setelah tanda-tanda rabies terlihat. Sedangkan pada rabies bentuk diam atau dungu (dumb rabies) terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat cepat menjalar keseluruh anggota tubuh dan masa eksitasi pendek. Perjalanan penyakit rabies pada anjing dan kucing dibagi dalam tiga tahap/phase (Triakoso, 2007; CIVAS., 2010) yaitu phase prodormal, dilanjutkan ke phase eksitasi, dan phase paralisa. Pada phase prodormal hewan mencari tempat dingin dan menyendiri, tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervus, pupil mata melebar, dan sikap tubuh kaku (tegang). Phase ini berlangsung selama satu sampai tiga hari. Pada phase eksitasi hewan menjadi ganas dan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan barang yang aneh-aneh. Selanjutnya mata menjadi keruh dan selalu terbuka serta tubuh gemetaran, kemudian masuk ke phase paralisa. Pada phase paralisa hewan mengalami kelumpuhan pada semua bagian tubuh dan berakhir dengan kematian. Gejala klinis rabies pada hewan pemamah biak adalah gelisah, liar, adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang, dan akhirnya 9

10 hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis biasanya tempratur normal, anorexia, ekspresi wajah berubah dari biasanya, dan sering menguak (Hiswani, 2003) Karakteristik virus rabies Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam ordo Mononegavirales, famili Rhabdoviridae (CDC., 2007). Genus virus yang termasuk dalam famili Rhabdoviridae antara lain genus Lyssavirus, genus Ephemerovirus, genus Vesiculovirus, genus Cytorhabdovirus, genus Dichorhabdovirus, genus Novirhabdovirus, dan genus Nucleorhabdovirus. Virus yang termasuk dalam Genus Lyssavirus adalah virus rabies, lagos bat virus, mokola virus, Duvenhage virus, European bat virus 1 & 2 dan Australian bat virus (Gould et al., 1998; Guyat et al., 2003; Sissoe et al., 2005; CDC., 2007; Metlin et al.,2007; Zee et al., 2004; Triakoso, 2007). Virus rabies memiliki bentuk seperti batang peluru (silindris) dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut (Gambar 2.1). Virus rabies berukuran diameter 75 nm dan panjang 180 nm, memiliki panjang genom sekitar 12 kilo base (CDC, 2010; Suwarno, 2005; Bourhy et al., 2008). Peneliti lain mengemukakan ukuran virus rabies mempunyai diameter 45nm sampai 100nm, panjang 100nm sampai 430nm, dan panjang genom 11,9 kb (Tranfuzion, 2009). Virus rabies memiliki lima jenis protein yang berbeda, yaitu dua protein berada pada amplop yakni glikoprotein (G) dan matrik protein (M), tiga pada nukleokapsid yakni nukleoprotein (N), phospoprotein (P), dan RNA-dependent 10

11 RNA polymerase (RdRp, L) (Metlin et al.,2007). Berat molekul masing-masing protein adalah glikoprotein 64 kd sampai 68 kd, matrik protein 24 kd sampai 25 kd, nukleoprotein 60 kd, phospoprotein 40 kd sampai 45 kd dan RNA-dependent RNA polymerase 190 kd. Panjang nukleotida (nt) masing-masing protein adalah glikoprotein 1575 nt, matrik protein 805 nt, nukleoprotein 1424 nt, phospoprotein 991 nt dan RNA-dependent RNA polymerase 6475 nt (Coll, 1995; Nagarajan et al., 2006; Nagaraja et al., 2008; Swarno, 2005; Ren, 2010; Tomar et al.,2010; Warrell, 2009) (Gambar 2.2). Gambar 2.1. Struktur Virus Rabies Sumber: 11

12 Gambar 2.2. Genom virus rabies Genom virus rabies adalah RNA untai tunggal, polaritas negatif, tidak bersegmen, dan mempunyai panjang sekitar 12 kb. Genom mempunyai leader-sequence (LDR) sepanjang 50 nukleotida yang diikuti oleh gen N, P, M, G, dan L (Sumber: Glikoprotein virus rabies Glikoprotein virus rabies merupakan protein penyusun permukaan virus yang berbentuk spike atau duri (berjumlah kurang lebih 400 duri) (CDC, 2010), dengan berat molekul sekitar 64 kd sampai 68 kd (Suwarno, 2005). Peneliti lain menyebutkan 65 kd (Sissoe et al.,2005). Glikoprotein virus rabies merupakan protein yang berperan dalam proses masuknya virus ke dalam sel inang dan merupakan protein yang menginduksi produksi antibodi netralisasi yang bersifat protektif (Benmansour et al., 1991; Langevin dan Tuffereau, 2002; Susetya, 2005; Nagarajan et al., 2006; Maillard dan Gaudin, 2002; Gupta et al., 2005; Sissoe et al.,2005). Glikoprotein juga sebagai faktor penting dalam patogenisitas virus rabies, terutama asam amino arginin pada posisi 333 (Ito et al.,2001; Susan et al.,2010). 12

13 Beberapa jenis vaksin virus rabies yang mengandung asam aspartat (Asp) atau asam glumaic (Glu), bukan sebuah arginin (Arg) pada posisi 333 dari glikoprotein virus rabies tidak patogen untuk tikus (Faber et al., 2005). Namun demikian peneliti lain mengemukakan bahwa patogenisitas strain virus rabies tidak hanya ditentukan oleh substitusi pada posisi G333. Substitusi lain dalam protein G, seperti N194K, juga mempengaruhi patogenisitas virus pada tikus (Tau et al., 2010). Hasil analisis genetika gen penyandi glikoprotein virus rabies Indonesia terhadap satu isolat asal Sumatra Barat, menunjukkan bahwa isolat tersebut mempunyai kekerabatan yang lebih dekat dengan isolat virus rabies asal China dibandingkan dengan isolat asal Thailand dan Malaysia (Susetya, 2005; Susetya et al., 2005). 2.2 Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies Strategi pengendalian dan pemberantasan rabies pada hewan umumnya dilakukan melalui program vaksinasi massal. Rabies dapat diberantas dengan cakupan vaksinasi yang memadai pada anjing berpemilik dan pengendalian populasi anjing jalanan (stray dog). Jepang berhasil bebas dari rabies sejak tahun 1957 dengan melakukan kontrol legislasi yang kuat, termasuk sistem karantina dan vaksinasi pada anjing setiap tahun (Inoue, 2003). Kunci utama dalam menangani rabies adalah mencegah pada sumbernya yaitu hewan. Sesuai dengan pedoman pengendalian rabies terpadu, metoda pemberantasan rabies dilakukan dengan a) vaksinasi dan eliminasi dilakukan pada anjing, kucing, dan kera dengan fokus utama pada anjing, b) vaksinasi dilakukan 13

14 terhadap anjing dan kera berpemilik, dan c) eliminasi dilakukan terhadap anjing tidak berpemilik dan anjing berpemilik yang tidak divaksinasi/diliarkan (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006). Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil, bahkan didaerah-daerah tertentu kasus rabies semakin meningkat (Adjid et al., 2005). Demikian juga halnya yang terjadi di Bali, terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena rabies. Secara laboratorium seluruh kabupaten/kota di Propinsi Bali sudah tertular rabies sejak Juni Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang rendah (kurang dari 70%) atau vaksin yang digunakan hanya mampu memberikan kekebalan dalam waktu yang relatif singkat. Cakupan vaksinasi minimal 70% telah dibuktikan di banyak negara berhasil mencegah terjadinya wabah. Namun demikian pemberantasan rabies tidak hanya tergantung pada masalah anjing, tetapi juga menyangkut masalah manusia. Pada dasarnya keberhasilan pengendalian dan pemberantasan rabies bergantung kepada tingkat kesadaran masyarakat. Perlu ada perubahan perilaku yang membuat masyarakat dapat menerima dan mematuhi berbagai kewajiban sesuai aturan yang berlaku. Kewajiban yang dimaksud antara lain mengandangkan atau mengikat anjing yang dimiliki, merawat dan menjaga kesehatannya, serta memvaksinnya secara rutin. Hal ini akan membantu petugas pengendali rabies menjadi lebih mudah mengatasi keadaan. 14

15 2.3 Vaksin Rabies Vaksin rabies sudah mengalami beberapa tahap perubahan dalam proses pembuatannya. Sejarah vaksin rabies diawali oleh Louis Pasteur yang membuat attenuated live vaccine pada tahun 1980-an. Seiring dengan berjalannya waktu vaksin rabies terus mengalami modifikasi. Pada tahun 1908 Enrico Fermi berhasil membuat killed vaccine yang pertama, menggunakan phenol untuk menginaktivasi virus (Wilde, 2009). Peneliti lain, Hiswani (2003) mengemukakan bahwa vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879, dibuat pertama kali oleh Victor Galtier. Kemudian pada tahun 1958 Kissling membiakkan virus rabies challenge virus standar (CVS) pada biakan sel ginjal anak hamster. Selanjutnya pada tahun 1963 Kissling dan Reese berhasil membuat vaksin rabies inaktif menggunakan virus rabies yang dibiakkan pada sel ginjal anak hamster (BHK). Di Indonesia vaksin rabies untuk hewan telah diproduksi sejak tahun 1967 oleh Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya, menggunakan fixed virus rabies. Sebagai media untuk membiakkan virus rabies digunakan otak kambing/domba umur 3 bulan. Vaksin yang dihasilkan diberi nama paten Rasivet. Aplikasi vaksin tersebut melalui suntikan dibawah kulit dengan dosis 4 ml. Masa kebal vaksin Rasivet relatif pendek yaitu 6 bulan (Hiswani, 2003). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sejak tahun 1983 pembuatan vaksin rabies di Pusvetma menggunakan biakan sel sebagai media pertumbuhan virus rabies. Setelah melalui rangkaian percobaan maka pada tahun 1984, Pusvetma telah mengeluarkan vaksin rabies yang menggunakan biakan sel sebagai tempat 15

16 pembiakan virus yaitu vaksin Rabivet. Namun vaksin ini menimbulkan masalah dilapangan yaitu beberapa daerah melaporkan adanya endapan warna hitam pada dasar vial. Selanjutnya Pusvetma memproduksi vaksin rabies yang diberi nama Rabivet Supra92. Dibandingkan dengan vaksin Rabivet maka vaksin Rabivet Supra92 mempunyai kandungan protein yang jauh lebih rendah yaitu 2 mg/ml. Dengan turunnya kandungan protein diharapkan tidak terjadi reaksi anafilaksis dan tidak menimbulkan rasa sakit pada suntikan. PH vaksin juga menunjukkan kestabilan yaitu kurang lebih 7 sesuai dengan ph tubuh (Hiswani, 2003). 2.4 Antibodi Antibodi juga dikenal sebagai immunoglobulin, sering disingkat dengan Ig. Antibodi dipergunakan oleh sistem imun untuk identifikasi dan netralisasi agen asing, seperti bakteri dan virus. Antibodi merupakan protein plasma globular dengan berat sekitar 150 kd. Berdasarkan isotipenya antibodi pada mamalia dapat dibedakan menjadi IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Unit Fungsional dari setiap antibodi adalah immunoglobulin (Ig). Bentuk monomer dari antibodi berisi hanya satu unit Ig seperti IgD, IgE, dan IgG. Antibodi juga bisa dalam bentuk dimerik dengan dua unit Ig seperti IgA, bentuk tetramerik dengan empat unit Ig seperti IgM pada ikan, atau pentamerik dengan lima unit Ig seperti IgM pada mamalia (Tizard, 2004, Roitt et al., 2000). 16

17 2.5 Diagnosa Serologis Rabies Beberapa metode uji telah dikembangkan untuk diagnosa rabies secara serologis. Metode uji untuk deteksi antibodi terhadap rabies yang sering digunakan adalah serum netralisasi (SN), yaitu Rapid Fluorscent Focus Inhibition Test (RFFIT) dan Fluorscent Antibodi Virus Neutralisation (FAVN) (OIE, 2008). SN merupakan uji gold standard dalam pemeriksaan antibodi netralisasi terhadap rabies (Moore dan Hanion, 2010). Metode uji tersebut menggunakan virus rabies hidup, sehingga pengerjaannya memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosekuriti yang memadai dan staf yang telah terlatih baik serta sudah divaksinasi. Complement fixation test dengan glikoprotein sebagai antigen juga dapat digunakan untuk deteksi antibodi netralisasi terhadap virus rabies (Cox et al., 1977). Enzym Linked Immunosorbent assay (ELISA) juga merupakan salah satu metode yang digunakan untuk deteksi antibodi pada serum hewan (anjing dan kucing) serta pada serum manusia. ELISA juga digunakan untuk deteksi antibodi pada hewan untuk uji sekrining atau uji alternatif dari FAVN (Cliquet et.al., 2004; Meslin dan Kaplan, 1996; OIE, 2008; Shanker, 2009). Kelebihan dari uji ELISA adalah dapat dilakukan dalam empat jam, tidak menggunakan virus hidup, tidak memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosekuriti yang tinggi. Hal ini terbalik dengan FAVN yang memerlukan waktu pengujian selama 4 hari (McElhinney et al., 2008). ELISA sudah banyak digunakan untuk deteksi antibodi rabies pada program vaksinasi di beberapa negara antara lain Nigeria, dengan hasil prevalensi 17

18 antibodi tertinggi 87,5% ditemukan pada periode 3 sampai 6 bulan PV (Ohoe et al., 2007), di Botswana 54% (148/276) sampel yang diuji mempunyai antibodi protektif (Sebunya, 2007), di Bangkok, Tanzania, dan negara lain (Adriana et al., 1999: Cleaveland et al., 1999; Kasempimolporn, 2006; Salina et al., 1992; Cliquet et al., 2000; 2003; Servat and Cliquet, 2006; Servat et al., 2006, 2007). Kit ELISA untuk deteksi antibodi terhadap rabies sudah tersedia di Indonesia yang diproduksi oleh Pusat Veterinaria Farma Surabaya. Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan reaksi pengikatan antara antigen dengan antibodi dengan bantuan enzyme sebagai penanda. ELISA merupakan teknik laboratorium yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen dalam sampel. Secara umum teknik ELISA yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi adalah indirect ELISA, sedangkan sandwich ELISA untuk deteksi antigen. Dalam indirect ELISA untuk deteksi antibodi, microplate 96-wells yang berbahan polystirene dilapisi dengan antigen dan diinkubasikan sebelum dicuci. Serum yang diuji ditambahkan ke microplate sehingga antibodi dalam serum dapat berikatan dengan antigen. setelah inkubasi dan pencucian untuk menghilangkan antibodi yang tidak terikat, kehadiran dari setiap antibodi terikat terdeteksi dengan penambahan antiglobulin kimia terkait dengan enzim (konjugat). Komplek ini mengikat antibodi, setelah inkubasi dan pencucian, dapat dideteksi dan diukur dengan penambahan substrat. Intensitas warna yang berkembang sebanding dengan jumlah antibodi yang hadir dalam serum yang diuji. Intensitas warna dapat diperkirakan secara visual atau 18

19 dengan spektrofotometri (Tizard, 2000). Secara singkat prinsip uji ELISA di sajikan pada gambar 2.3. Gambar 2.3. Indirect ELISA and Sandwich ELISA. A) Dalam indirect ELISA, kepekatan warna mengindikasikan jumlah antibodi yang berikatan dengan antigen. (B) Dalam sandwich ELISA, kepekatan warna mengindikasikan kuantitas antigen (Sumber : Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR), merupakan suatu metode yang sensitif untuk mendeteksi kadar ekspresi mrna. RT-PCR tradisional melibatkan dua langkah yaitu reaksi RT dan amplifikasi PCR. RNA pertama direverse transkripsi menjadi DNA complement (complementary DNA, atau cdna) menggunakan enzym reverse transcriptase. cdna yang dihasilkan digunakan sebagai template untuk amplifikasi PCR selanjutnya menggunakan primer spesifik untuk satu atau lebih gen. RT-PCR juga dapat dilakukan dalam 19

20 satu langkah RT-PCR (one-step PCR). Pada satu langkah RT-PCR semua komponen reaksi dicampur dalam satu tabung sebelum memulai reaksi (Protocolonline.org., 2011; McPherson and Moller, 2000). 2.7 Validasi Metode Validasi metode uji laboratorium sangat penting dilakukan sebelum digunakan di laboratorium. Menurut Putra (2009), validasi metode adalah suatu proses yang dilakukan untuk membuktikan bahwa suatu metode uji layak digunakan di laboratorium. Ada dua jenis validasi metode yaitu a) validasi primer dilakukan jika laboratorium menggunakan metode baru hasil pengembangan atau metode yang dimodifikasi terhadap suatu metode standard dan b) validasi sekunder dilakukan untuk verifikasi, jika laboratorium menggunakan atau mengadopsi metode yang telah divalidasi. Pelaksanaan validasi metode tergantung dari karakter yang dapat dideteksi oleh suatu metode uji. Beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan validasi suatu metode uji yaitu limit deteksi, selektivitas/spesivisitas, linearitas dan rentang, kekuatan/robustness, ketangguhan metode/ketidak mantapan (ruggedness), presisi/keseksamaan, dan akurasi/kecermatan (Harmita, 2004; Wahyuriadi, 2009). 20

21 BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis, disebabkan oleh virus rabies. Virus rabies memiliki lima jenis partikel protein yang berbeda yaitu glikoprotein (G), matrik protein (M), RNA polymerase (L), Nukleoprotein (N), dan phosphoprotein (P). Protein ini berperan dalam penularan dan keganasan virus Rabies. Upaya pengendalian dan pemberantasan rabies dilakukan dengan melakukan vaksinasi pada anjing, kucing dan kera, serta eliminasi terhadap anjing liar dan anjing yang tidak berpemilik. Untuk mengetahui keberhasilan program vaksinasi yang telah dilaksanakan, perlu dilakukan evaluasi dengan monitoring antibodi pasca vaksinasi. Dari hasil monitoring tersebut dapat diketahui profil immun respon dari HPR yang di vaksinasi. Profil respon imun pasca vaksinasi akan memberikan gambaran jangka waktu kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin. Metode uji yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antibodi pada serum adalah serum netralisasi (SN) dan enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Uji SN merupakan uji standard, tetapi uji ini sangat beresiko karena menggunakan virus hidup. Untuk dapat dilaksanakan uji SN memerlukan pasilitas laboratorium dengan biosekuriti yang memadai, staf yang telah terlatih serta sudah divaksinasi, memerlukan waktu sekitar 4 hari. ELISA merupakan uji yang lebih sederhana, lebih murah, tidak 21

22 menggunakan virus hidup sehingga keamanan pekerjanya lebih terjamin, lebih cepat (hanya memerlukan waktu sekitar 4 jam), dan saat ini sudah tersedia KIT secara komersial, baik produksi lokal maupun luar negeri. Namun demikian, untuk mengetahui sensitivitas dan spesivisitas kit yang diproduksi oleh Pusvetma Surabaya (produksi lokal Indonesia), supaya mendapatkan hasil yang valid, maka perlu dilakukan uji banding dengan kit yang sudah divalidasi. Berdasarkan data yang ada di laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar diketahui bahwa, beberapa kasus klinis rabies pada anjing adalah berasal dari anjing yang sudah mendapatkan vaksinasi rabies. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor antara lain mungkin strain virus vaksin yang digunakan tidak cocok dengan strain virus yang ada di Bali, handling vaksin yang tidak baik misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi, kemungkinan aplikasi vaksin yang tidak tepat, dan anjing dalam masa inkubasi. Adanya kasus positif rabies pada anjing yang sudah divaksinasi, menimbulkan pertanyaan apakah hal ini disebabkan oleh virus dari vaksin yang dipakai, ataukah ada perbedaan struktural gen penyandi glikoprotein rabies di Bali sehingga vaksin yang digunakan tidak mampu lagi memberikan proktektivitas pada anjing yang divaksin. Salah satu komponen virus rabies yang berperanan dalam pembentukan antibodi setelah vaksinasi adalah glikoprotein. Untuk itulah maka perlu dilakukan analisis genetika terhadap gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali. Secara singkat kerangka konsep dari usulan penelitian ini disampaikan pada Gambar

23 3.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : a. Tidak ada perbedaan kekebalan anjing yang divaksinasi dengan vaksin Rabisin dengan anjing yang divaksinasi dengan vaksin Rabivet Supra92. b. Tidak ada perbedaan kualitas/akurasi KIT ELISA Rabies produksi Pusvetma dengan KIT PLATELIA II Rabies produksi Bio-rad. c. Tidak terjadi perbedaan sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali dengan isolat Indonesia lainnya. 23

24 Program pengendalian & pemberantasan rabies di Bali Eliminasi Vaksinasi Pengendalian lalin HPR. Evaluasi program vaksinasi Respon kekebalan pada anjing perlu diketahui Metode Uji untuk deteksi antibodi Laporan kasus rabies pada anjing pasca vaksinasi / kegagalan vaksinasi Faktor Penyebab kegagalan SN ELISA Lebih murah, cepat, aman, dan tersedia kit komersial Handling vaksin dan atau aplikasi valksin tidak baik Strain vaksin yang dipakai tidak sesuai Aplikasi vaksin kurang tepat Uji banding kit perlu dilakukan kualitas kit diketahui sehingga hasil uji valid pengujian sampel serum anjing pasca vaksinasi profil imun respon anjing diketahui Glikoprotein virus rabies berperanan dalam menginduksi antibodi Analisis gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali perlu dilakukan sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali diketahui Gambar 3.1. Diagram Alir Kerangka Konsep Penelitian 24

25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Pengambilan sampel serum untuk penelitian profil imun respon terhadap rabies dilakukan di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Bali. Uji ELISA dilakukan di Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Pengujian sampel untuk isolasi RNA dan RT-PCR dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Sekuensing dilakukan di Eikjman Institute Jakarta. 4.2 Jenis dan Sumber Data Sampel otak positif rabies untuk analisis gen penyandi glikoprotein diambil dari arsif sampel di laboratorium BBVet Denpasar. Data primer berupa data sampel dari lapangan dan data hasil pengujian sampel di laboratorium. Data sekunder berupa data sekuen asam amino/susunan nukleotida gen penyandi glikoprotein virus rabies yang tersedia di Genbank. 4.3 Intrumen Penelitian Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung venoject, spuit, mesin pembaca ELISA (Reader 250 biomeureuck, Franch), mesin pencuci ELISA (Biomeureux, Franch), Mikropipet berbagai volume (0,5-5μl, 5 sampai 25 μl, 20 μl sampai 200 μl, 200 μl sampai 1000 μl), multicannel pipet volume 20 μl sampai 250 μl, (effendorf), inkubator 37 o C (B&T), Micro centrifuge (Thermo), Waterbath (B&T), tips pipet, PCR mesin (termocycle, programable 25

26 termal controler, MJ-Research ink, PTC-100), gel elektrophoresis (Bio-rad), camera, dan mesin sekuenser. Bahan yang digunakan antara lain serum sampel, sampel otak anjing positif rabies, serum reference rabies positif (Antirabies reference serum of dog origin, batch number , Maret 2010, titer 3UI/ml, produksi ANSES, Nancy laboratory for rabies and wild life, France, OIE reference laboratory for rabies), serum reference rabies negatif (Dog serum naive for rabies virus, batch number SR-07, 24/12/09, produksi ANSES, Nancy laboratory for rabies and wild life, France), kit ELISA rabies produksi bio-rad (Platelia Rabies II KiT Ref.: ), dan kit ELISA Produksi pusvetma Surabaya tahun 2010, Trizol (Invitrogen), primer, RNA isolation kit (Invitrogen), PCR reaktion kit (Invitrogen), enzym taq (Super Scrip III, One step RT-PCR mix Platinum Taq. Cat No Invitrogen), PCR Kit, Chlorofom, alkohol (Merck), 1% Agarose gel (Ultrapure TM agarose gel, Invitrogen, USA), TAE buffer (Invitrogen), 100 bp DNA ladder (Invitrogen), dan ethidium bromide solution (Promega Corp., Madison, USA). 4.4 Metode Penelitian Profil imun respon antibodi rabies pada anjing Sampel serum diambil dari anjing yang belum dan sudah mendapatkan vaksinasi rabies. Serum anjing diambil pada saat akan dilakukan vaksinasi atau booster vaksinasi menggunakan metode convenient sampling. Serum dikelompokkan berdasarkan status vaksinasinya yaitu belum divaksinasi 26

27 (pravaksinasi), satu bulan sampai dengan tiga bulan pasca vaksinasi, lebih dari tiga bulan sampai dengan enam bulan pasca vaksinasi, lebih dari enam bulan sampai dengan sembilan bulan pasca vaksinasi, dan lebih dari sembilan bulan sampai dengan dua belas bulan pasca vaksinasi. Selanjutnya semua sampel serum diuji menggunakan Kit ELISA produksi Pusvetma Uji banding kit ELISA Sampel serum yang diambil dari anjing yang sudah divaksinasi dengan vaksin rabies dan serum reference rabies positif dan negatif (produksi ANSES France, OIE reference laboratory for rabies) yang sudah diencerkan, diuji dengan Kit produksi Pusvetma Surabaya dan Platelia II rabies Kit produksi Bio-Rad, dengan prosedur yang sudah tersedia didalam Kit sebagai berikut: A. Prosedur uji ELISA Kit Rabies Pusvetma Surabaya Serum sampel di inaktivasi dengan memanaskan dalam penangas air dengan suhu 56 o C selama 30 menit, kemudian diencerkan 1:50 dengan menambahkan 5µl sampel serum dengan 245 µl pelarut. Selanjutnya diencerkan serum kontrol positif (sediaan 25 kali) dan serum kontrol negatif secara serial dari 50 kali, 100 kali, 200 kali dan 400 kali. Serum sampel dan kontrol dimasukkan pada lubang mikroplate masingmasing 100µl dan dua lubang dibiarkan tanpa serum sebagai kontrol konjugat. Kemudian mikroplate ditutup dengan plastik penutup dan diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 45 sampai dengan 60 menit. Selanjutnya cairan serum pada mikroplate uji dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak minimal 5 kali. Cairan pencuci yang tersisa dalam jumlah kecil dalam mikroplat dikeringkan dengan cara 27

28 membalikkan mikroplat di atas kertas tissue tebal. Kemudian tambahkan konjugat yang telah diencerkan sebanyak 100µl per lubang. Mikroplat ditutup kembali dan diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 45 sampai dengan 60 menit. Selanjutnya cairan dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak minimal 5 kali dan ditambahkan substrat ABTS sebanyak 100µl pada setiap lubang. Plate diinkubasikan pada suhu kamar, dalam kondisi gelap selama 30 menit. Terakhir ditambahkan 100µl stop solution pada setiap lubang. Pembacaan densitas optik (OD = Optical Density) pada pembaca (Reader) dengan panjang gelombang 405nm. Selanjutnya dihitung Equivalent Unit (EU) dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer serum 0,5 EU atau lebih dianggap protektif. B. Prosedur uji ELISA KIT Platelia II Kit Rabies Bio-Rad (Platelia Rabies II KiT Ref.: ) Mikroplate dikeluarkan dari kemasan, kemudian serum sampel, serum kontrol positif (R4a 0,5EU) dan kontrol negatif (R3) diencerkan dengan perbandingan 1: 100 dalam larutan pengencer (R6). Sedangkan serum kontrol positif standar (R4b), diencerkan 1:100 (sebagai S6 dengan titer 4EU) dalam larutan pengencer (R6), selanjutnya dari S6 tersebut diencerkan secara serial dua kali (500µl S6 ditambah 500µl R6) menjadi S5 (2EU), demikian seterusnya dengan cara yang sama menjadi S4(1EU), S3(0,5EU), S2(0,25EU) dan S1 (0,125EU). 28

29 Kemudian masing-masing serum sampel dan serum kontrol, dimasukkan 100µl ke dalam lubang mikroplate. Mikroplate ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 1 jam. Mikroplate dicuci sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan 100µl conjugate yang telah diencerkan pada semua lubang. Tutup mikroplate dan diinkubasikan 1 jam pada suhu 37 o C. Mikroplate dicuci sebanyak 5 kali. Kemudian ditambahkan 100µl substrat pada semua lubang, dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit dalam kondisi gelap. Kemudian ditambahkan 100 µl stop solution pada semua lubang. Setelah 30 menit, dilakukan pembacaan optical density pada panjang gelombang 450nm sampai 620nm. Penghitungan dilakukan ke dalam EU dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer 0,5 EU atau lebih dianggap protektif Analisis gen penyandi glikoprotein Sampel otak anjing diambil dari arsip sampel positif rabies (telah diuji FAT/ biologis) yang ada di laboratorium patologi Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Isolasi RNA dilakukan dengan melakukan ektraksi sampel otak dengan menggnunakan trizol (Invitrogen). Selanjutnya dilakukan uji Reverse transcription- polymerase chain reaction (RT-PCR) pada single-step reaction, dengan total volume 25 µl, menggunakan primer yang didisain oleh IGNK Mahardika dengan sofware primer 3, berdasarkan sekuen nukleotida glikoprotein (protein G) virus rabies yang tersedia di GenBank. Produk PCR divisualisasikan secara elektrophoresis dalam 1% agarose dengan ethidium bromide. Band DNA 29

30 hasil amplifikasi diobservasi dalam ruangan gelap menggunakan UV transluminator. Setelah produk PCR difurifikasi, selanjutnya dilakukan sekuen. Analisis sekuen nukleotida dari glikoprotein virus rabies isolat Bali dibandingkan dengan sekuen virus rabies isolat lain di Indonesia atau isolat negara lain. Data sekunder diperoleh dari GenBank. Data primer dan data sekunder disepadankan dan dianalisis dengan program Mega4. Parameter yang dianalisis adalah filogenetik dan jarak genetik. Prosedur inaktivasi virus, isolasi RNA dan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) adalah sebagai berikut : A. Inaktivasi virus Organ positif rabies dicuci dengan phospate buffer saline (PBS) ph 7,2 sebanyak tiga kali dan dimasukkan ke dalam tabung, kemudian digerus sampai halus. Selajutnya ditambahkan PBS sampai volume 500 µl dan ditambahkan 50 µl sodium dodecyl sulfate (SDS) 10% (dalam aquadest) sehingga konsentrasi SDS menjadi 1%. Selanjutnya divortex sebentar untuk mencampur, kemudian ditutup dan diselotip serta di desinfektan, terakhir disimpan pada suhu minus 20 o C sebelum dipakai. B. Isolasi RNA Sebanyak 250 µl suspensi sampel yang telah diinaktivasi ditambah 750 µl trizol, kemudian divortex selama 1 menit dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 5 menit. Selanjutnya ditambahkan 200 µl Chloroform, kemudian divortex selama 15 detik dan di inkubasikan pada suhu kamar selama 15 menit. Selanjutnya disentrifuge rcf ( rpm) selama 15 menit. Kemudian 30

31 dipisahkan supernatan ke tabung steril (yakinkan bahwa trizol tidak ikut terambil karena mempengaruhi Band menjadi tidak bersih) dan ditambahkan Isopropil alkohol (2 propanol) 500 µl. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar 10 menit, kemudian disentrifuge rcf selama 10 menit dan supernatannya dibuang, ditambahkan alkohol 70% (Pro analisis) sebanyak 1000 µl, dan dihomogenkan dengan tangan dengan cara membentuk angka 8. Kemudian disentrifuge 7500 rcf selama 5 menit dan supernatannya dibuang, kemudian dikeringkan (air dry) 5-10 menit pada inkubator dengan suhu 55 o C. Selanjutnya ditambahkan Treaded water (Aquadest injeksi/ nuklease free water) 20µl. Kemudian disimpan dalam lemari es selama 1 malam, selanjutnya disimpan dalam freezer sampai digunakan. C. Primer design Primer dirancang sendiri oleh IGNK Mahardika, menggunakan program Primer 3 ( Primer dirancang berdasarkan susunan nukelotida dari glikoprotein (protein G) virus rabies yang tersedia di GenBank. Primer dirancang khusus untuk mengamplifikasi sekitar 751bp, yaitu dari nukleotida nomor 688 sampai 1439 berdasarkan ORF protein G virus rabies 03003INDO-G/Padang Pariaman/Sumatera Barat/2003/acession number EU Primer tersebut adalah: BPRG : 5 CAACATGTCATTAGGAAAATTATCAACA 3 G688F : 5 GATGAAAGAGGATTGTAGAAGTC 3 31

32 D. Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) dilakukan pada single-step reaction, dengan total volume 25 µl yang mengandung PCR mix 12,5 µl, RNA sampel 2,5 µl, forward primer 1,5 µl, reverse primer 1,5 µl, enzym taq polymerase (Super Scrip TM III One-Step RT-PCR System with Platinum Taq DNA Polymerase Kit, Invitrogen, Carlsbad, CA, USA ) 0,5 µl dan 6,5 µl akuades dalam micro tube (PCR tube), kemudian dihomogenkan, selanjutnya di masukkan kedalam mesin PCR (Thermal cycler) untuk sintesis cdna yang diikuti dengan amplifikasi PCR, dengan program sebagai berikut: satu siklus untuk sintesis cdna pada suhu 50 o C selama 1 jam, satu siklus denaturasi pada suhu 95 o C selama 45 detik, kemudian diikuti dengan 40 siklus yang terdiri atas denaturasi pada suhu 94 o C selama 45 detik, anneling pada suhu 52 o C selama 45 detik dan ekstensi pada suhu 72 o C selama 1 menit. Setelah 40 siklus selanjutnya step terakhir adalah ekstensi pada suhu 72 o C selama 5 menit dan terakhir diinkubasi pada suhu 22 o C. E. Visualisasi produk PCR Produk PCR yang diperoleh divisualisasikan dengan elektrophoresis menggunakan 1% agarose (0,5 gram Ultrapure TM agarose gel, Invitrogen, dalam 50 ml TAE 1x buffer dan 5 µl ethidium bromide ). Kemudian pada setiap lubang agar gel diisi 3 µl campuran terdiri dari 1 µl Blue joice (loading day) dan 2 µl produk PCR. Running gel dalam waktu 30 menit, voltase 100 volt dan ampere 32

33 400mA. Pada setiap gel pada salah satu lubangnya diisi marker 100bp DNA lader (Invitrogen). F. Sekuensing Sekuensing dilakukan di Eijkman Institute Jakarta. Produk PCR dikirim bersama-sama dengan primernya. 4.5 Analisis data 1. Data hasil uji titer antibodi protektif dianalisis secara statistik dengan logistik regresi dan data parametrik (titer EU) dianalisis dengan analisis of variance (ANOVA), menggunakan program Epi Info version (CDC, 2009). 2. Data hasil uji banding 2 kit ELISA dianalisis berdasarkan agreement between test (kappa) (Viera dan Garrett, 2005, Robertson, 2008) dengan rumus sebagai berikut: Kappa = (Po Pe) (1 Pe) Keterangan : Po (Observed agreement) = (a+d)/n Pe (expected agreement) = [(a+c/n) x (a+b/n)] + [(b+d/n) x (c+d/n)] a = Jumlah hasil positif dengan kit PlateliaII dan kit Pusvetma, b = Jumlah Hasil positif dengan kit Pusvetma dan negatif dengan kit PlateliaII, c = Jumlah hasil uji positif dengan PlateliaII dan negatif dengan kit Pusvetma, d = Jumlah hasil uji negatif dengan kit 33

34 PlateliaII dan kit Pusvetma, dan n = Jumlah keseluruhan sampel yang diuji (a+b+c+d), secara ringkas disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Tabulasi hasil uji banding 2 kit ELISA rabies Hasil uji Kit Platelia II Kit Platelia II Total Positif Negatif Kit Pusvetma a b a+b Positif Kit Pusvetma Negatif c d c+d Total a+c b+d n(a+b+c+d) Interpretasi nilai Kappa adalah seperti berikut : >0,8 1,0 = Excelent agreement 0,6 0,8 = Substantial agreement 0,4 0,6 = Moderate agreement 0,2 0,4 = Fair agreement 0,0 0,2 = Slight agreement 0,0 = Poor agreement -1 0 = Disagreement 3. Data primer hasil sekuensing fragmen gen penyandi glikoprotein virus rabies (3 isolat Bali, 1 isolat Flores dan 1 isolat Sulawesi) dan data sekunder hasil sekuensing gen penyandi glikoprotein virus rabies yang ada di genbank (lampiran C1), disepadankan dan dianalisis dengan program MEGA4 (Tamura et al., 2007). Parameter yang dianalisis adalah filogenetik dan jarak genetik. 34

35 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Profil imun respon. Hasil pengujian antibodi terhadap rabies dari kelompok anjing yang divaksinasi Rabivet Supra92 yang diambil pada periode pasca vaksinasi (PV) yang berbeda ditampilkan pada Tabel 5.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa persentase anjing yang mempunyai kekebalan protektif tertinggi (75,83%) ditemukan pada kelompok anjing yang diambil 3 bulan sampai dengan 6 bulan PV. Persentase pada kelompok periode 3 minggu sampai dengan 3 bulan PV, >6 bulan sampai dengan 9 bulan, dan kelompok >9 bulan sampai dengan 12 bulan PV berturut-turut adalah 40,35%, 25,24%, dan 35,29%. Persentase kekebalan tersebut tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, status kastrasi, jenis anjing, dan kondisi anjing. Pengujian statistik dari pengaruh faktor tersebut ditampilkan pada Tabel 5.2. Tabel 5.1. Hasil uji antibodi terhadap rabies pada sampel serum anjing yang divaksinasi Rabivet Supra92 dengan kit ELISA Pusvetma. Periode Total Jumlah Persentase Rata-rata Standard Vaksinasi Sampel Protektif Protektif titer (EU) Deviasi 3 mg 3 bln PV ,35% a 0,5434 a 0,306 >3 s/d 6 bln PV ,83% b 1,2236 a 1,443 >6 s/d 9 bln PV ,24% c 0,4726 a 0,415 >9 s/d 12 bln PV ,29% ac 1,0789 a 2,229 Keterangan: Nilai dengan hurup yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan nilai dengan hurup yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). 35

36 Tabel 5.2. Hasil uji statistik pengaruh status kastrasi, kondisi anjing, jenis anjing dan jenis kelamin terhadap antibodi protektif pada sampel serum anjing PV Rabivet Supra92 yang diuji dengan kit ELISA Pusvertma. Variabel Odds Ratio 95% CI Coefficient SE Z- Statistik P-Value Status Kastrasi 1,9127 0,7583 4,8244 0,6485 0,4720 1,3739 0,1695 Kondisi Anjing 0,6943 0,4693 1,0277-0,3648 0,1998-1,8259 0,0679 Jenis Anjing 1,2686 0,9475 1,6985 0,2379 0,1489 1,5980 0,1100 Jenis Kelamin 0,7594 0,5099 1,1312-0,2752 0,2033-1,3537 0,1758 Hasil pengujian terhadap serum anjing yang divaksin dengan vaksin Rabisin ditampilkan pada Tabel 5.3. Hasil tersebut menunjukkan bahwa persentase antibodi protektif pada kelompok periode 3 minggu sampai dengan 3 bulan, >3bulan-6 bulan, >6-9 bulan, dan >9 bulan-12 bulan berturut-turut adalah 64,91%, 72,64%, 45,28%, dan 37,25%. Persentase tersebut juga tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, status kastrasi, jenis anjing dan kondisi anjing (P>0.05) seperti ditampilkan pada Tabel 5.4. Tabel 5.3. Hasil uji antibodi terhadap rabies pada sampel serum anjing yang divaksinasi Rabisin yang diuji dengan Kit Pusvetma. Periode Total Jumlah Persentase Rata-rata Standard Vaksinasi Sampel Protektif Protektif EU Deviasi 3 mg 3 bln PV ,91% a 2,6530 a 5,4790 >3 s/d 6 bln PV ,64% a 4,7898 a 7,8728 >6 s/d 9 bln PV ,28% b 1,3349 a 2,6114 >9 s/d 12 bln PV ,25% b 0,6195 a 0,8422 Keterangan: Nilai dengan hurup yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan nilai dengan hurup yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). 36

37 Tabel 5.4. Hasil Analisis Statistik pengaruh status kastrasi, kondisi anjing, jenis anjing dan jenis kelamin terhadap antibodi protektif pada sampel serum anjing yang divaksinasi Rabisin yang di uji dengan Kit Pusvetma. Variabel Odds 95% CI Coefficient SE Z- Statistik P-Value Ratio Status Kastrasi 0,5095 0,2194-0,6743 0,4299-1,5684 0,1168 Kondisi Anjing 1,3663 0,8444 0,3121 0,2456 1,2710 0,2037 Jenis Anjing 0,9553 0,5704-0,0458 0,2631-0,1739 0,8619 Jenis Kelamin 0,6139 0,3638-0,4879 0,2670-1,8271 0,0677 Perbandingan titer antibodi terhadap rabies dan persentase antibodi protektif terhadap rabies pada anjing yang divaksinasi Rabisin dan Rabivet Supra92 ditampilkan pada Tabel 5.5. Data tersebut menunjukkan bahwa titer antibodi yang diinduksi oleh vaksin Rabisin sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan titer antibodi yang diinduksi oleh vaksin Rabivet Supra92 (P<0.01). Sedangkan persentase kekebalan menunjukkan hasil yang tidak bebeda nyata antara anjing yang divaksin dengan Rabisin dan Rabivet Supra92 (P>0,05). Perbandingan persentase antibodi protektif pada berbagai kelompok anjing berdasarkan waktu pengambilan serum pasca vaksinasi ditampilkan pada Tabel 5.6. Data tersebut menunjukkan bahwa persentase antibodi protektif yang diinduksi oleh vaksin Rabisin pada periode >3 minnggu sampai dengan 3 bulan pasca vaksinasi nyata lebih tinggi dibandingkan dengan persentase antibodi protektif anjing yang divaksinasi dengan Rabivet Supra92 (P<0,05). Penampilan grafis titer antibodi terhadap rabies dan persentase kekebalan kelompok anjing yang divaksin dengan Rabisin dan Rabivet Supra92 ditampilkan pada Gambar 5.1 dan 5.2. Gambar 37

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999). Virus rabies

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999). Virus rabies 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Rabies Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis) (WHO, 2010). Rabies disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala

Lebih terperinci

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92 Darmawan, Dyah Estikoma dan Rosmalina Sari Dewi D Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK Untuk mendapatkan gambaran antibodi hasil vaksinasi Rabivet Supra

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada periode waktu Juni 007 sampai dengan Juni 008 di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus rabies sangat ditakuti dikalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut, merupakan suatu penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat yang dapat menyerang mamalia termasuk

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and 23 BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and Cancer Biology of the University of Indonesia (IHVCB-UI), Jl. Salemba

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel 7 IV. METODE PENELITIAN Ikan Lais diperoleh dari hasil penangkapan ikan oleh nelayan dari sungaisungai di Propinsi Riau yaitu S. Kampar dan S. Indragiri. Identifikasi jenis sampel dilakukan dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN Penelitian penanda genetik spesifik dilakukan terhadap jenis-jenis ikan endemik sungai paparan banjir Riau yaitu dari Genus Kryptopterus dan Ompok. Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR...... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVII, No. 87, Desember 2015 ISSN : X

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVII, No. 87, Desember 2015 ISSN : X Uji Banding Kit Elisa Untuk Deteksi Antibodi Penyakit Jembrana (The Comparative Elisa Test For Detection Antibodies of Jembrana Disease) Ni Luh Putu Agustini 1, dan Rosmiati Wisindie 2 1. Balai Besar Veteriner

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum Pendahuluan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

Serosurveilens Pascavaksinasi Rabies Tahun 2014 Di Wilayah Kerja UPT Veteriner Nusa Tenggara Timur

Serosurveilens Pascavaksinasi Rabies Tahun 2014 Di Wilayah Kerja UPT Veteriner Nusa Tenggara Timur Jurnal Kajian Veteriner Vol. 2 No. 2 : 119-126 ISSN : 2356-4113 Serosurveilens Pascavaksinasi Rabies Tahun 2014 Di Wilayah Kerja UPT Veteriner Nusa Tenggara Timur Feny A.L. Bili Unit Pelaksana Teknis Daerah

Lebih terperinci

ISSN situasi. diindonesia

ISSN situasi. diindonesia ISSN 2442-7659 situasi diindonesia PENDAHULUAN Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan asal ternak untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2007-2011

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Karakterisasi genetik Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) hasil tangkapan dari Laguna Segara Anakan berdasarkan haplotipe

Lebih terperinci

III. Bahan dan Metode

III. Bahan dan Metode III. Bahan dan Metode A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan Mei-Juli 2011 yang dilakukan di LPPT UGM Yogyakarta. B. Bahan Penelitian Sampel yang digunakan

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia memegang peran penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dibudidayakan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan terhadap sampel yang dikoleksi selama tujuh bulan mulai September 2009 hingga Maret 2010 di Kabupaten Indramayu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini (Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi,

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Peralatan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol sampel, beaker glass, cool box, labu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pada unggas yang sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian. Penelitian ini dapat menerangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini jenis sampel diambil berupa serum dan usap kloaka yang diperoleh dari unggas air yang belum pernah mendapat vaksinasi AI dan dipelihara bersama dengan unggas

Lebih terperinci

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml 36 Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer A. Pembuatan Larutan Stok Tris HCL 1 M ph 8.0 (100 ml) : Timbang Tris sebanyak 12,114 g. Masukkan Tris ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 80 ml aquades.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu,

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. 4.2 Alur Penelitian Kultur Sel dari Penyimpanan Nitrogen Cair Inkubasi selama 48 jam dalam inkubator dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rabies merupakan penyakit zoonosis yang mematikan dan tersebar di seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan 70.000 orang meninggal setiap tahun karena

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut :

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut : 25 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep berikut : Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai Manajemen Unggas di TPnA - Keberadaan SKKH - Pemeriksaan - Petugas Pemeriksa - Cara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor, mulai bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012. Bahan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN PENYIDIKAN PENYAKIT RABIES DALAM RANGKA PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES DI WILAYAH KERJA BPPV REGIONAL II BUKITTINGGI TAHUN 2013

LAPORAN KEGIATAN PENYIDIKAN PENYAKIT RABIES DALAM RANGKA PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES DI WILAYAH KERJA BPPV REGIONAL II BUKITTINGGI TAHUN 2013 LAPORAN KEGIATAN PENYIDIKAN PENYAKIT RABIES DALAM RANGKA PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES DI WILAYAH KERJA BPPV REGIONAL II BUKITTINGGI TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Rabies adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah berlangsung sejak bulan Januari 2012 - Juli 2012 di Laboratorium Mikrobiologi, Lab. Optik, Lab. Genetika dan Lab. Biologi Molekuler Jurusan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Dalam pengambilan sampel, bahan dan alat yang diperlukan yaitu media transport berupa Brain Heart Infusion (BHI) dalam tabung berukuran 2 ml, sampel usap steril,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2006 sampai dengan bulan April 2007. Penelitian dilakukan di rumah kaca, laboratorium Biologi Molekuler Seluler Tanaman, dan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN IV (ISOLASI RNA DARI TANAMAN) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI RNA DARI TANAMAN TUJUAN Tujuan

Lebih terperinci

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS FAISAL ZAKARIA, DINI W. YUDIANINGTYAS dan GDE KERTAYADNYA Balai Besar Veteriner Maros ABSTRAK Diagnosa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2013 sampai dengan April 2014. Sampel diambil dari itik dan ayam dari tempat penampungan unggas, pasar unggas dan peternakan

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di II. MATERI DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di enam desa yaitu tiga desa di Kecamatan Grokgak dan tiga desa di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 19 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian laboratoris. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental 4.2. Tempat Penelitian 1. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Biologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan 24 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan rancangan Post Test Only Control Group Design. Pengambilan data

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 9 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012. Kegiatan ekstraksi DNA sampai PCR-RFLP dilakukan di laboratorium Analisis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Uji serologi ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian serta pembacaan nilai absorban

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005)

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) 36 LAMPIRAN 37 Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) Nilai toksisitas Non-Manusia : Rat LD50 oral 5,3 g / kg; Mouse LD50 oral 2 g / kg; Ip Mouse LD50 0,9-1,3 g / kg; LD50

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian, sehingga dapat menerangkan arti

Lebih terperinci

Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA

Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA Dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Lektor mata kuliah ilmu biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler, dan Fisiologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi

Lebih terperinci

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( )

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( ) Pendahuluan : NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin (078114032) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Newcastle Disease (ND) juga di kenal

Lebih terperinci

1 0,53 0,59 2 0,3 0,2 3 0,02 0,02 4 0,04 0,04 5 0,3 0,3 Ilustrasi rangkaian isolasi DNA tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

1 0,53 0,59 2 0,3 0,2 3 0,02 0,02 4 0,04 0,04 5 0,3 0,3 Ilustrasi rangkaian isolasi DNA tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. PERBANDINGAN BEBERAPA METODE ISOLASI DNA UNTUK PENENTUAN KUALITAS LARUTAN DNA TANAMAN SINGKONG (Manihot esculentum L.) Molekul DNA dalam suatu sel dapat diekstraksi atau diisolasi untuk berbagai macam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer LAMPIRAN Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer 1. Pembuatan Larutan Stok a. CTAB 5 % Larutan dibuat dengan melarutkan : - NaCl : 2.0 gr - CTAB : 5.0 gr - Aquades : 100 ml b. Tris HCl

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 21 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai Maret sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Mikrobiologi Medis, laboratorium Terpadu unit pelayanan mikrobiologi

Lebih terperinci

II. METODELOGI PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN II. METODELOGI PENELITIAN 2.1 Metode Pengumpulan Data 2.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UPT Laboratorium Biosain dan Bioteknologi Universitas Udayana. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Perikanan dan Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi permasalahan utama di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue yang jika tidak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998).

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). B. Populasi dan Sampel 1. Populasi yang

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE. Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim

III. MATERI DAN METODE. Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Rabies Rabies atau penyakit anjing gila merupakan salah satu penyakit yang berbahaya karena dapat menyebabkan kematian. Rabies bersifat akut dan dapat menular melalui

Lebih terperinci