VIII. ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG KAWASAN TAHURA DJUANDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII. ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG KAWASAN TAHURA DJUANDA"

Transkripsi

1 VIII. ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG KAWASAN TAHURA DJUANDA Abstrak Penataan ruang dalam suatu kawasan harus melibatkan seluruh stakeholder. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peran masyarakat dan pemerintah baik legislatif maupun eksekutif sangat dibutuhkan dalam pengelolaan kawasan disamping peran aktor lainnya melalui kerjasama yang baik. Penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan kebijakan pengendalian ruang di kawasan Tahura Djuanda. Untuk mengetahui prioritas kepentingan setiap stakeholder terhadap kebijakan pengendalian ruang di sekitar Kawasan Tahura Djuanda dapat dilakukan dengan menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai tujuan yang dapat dicapai dalam pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda dilihat dari aspek ekologi (lingkungan) pengelolaan diarahkan untuk mencapai tujuan terjaganya kelestarian daerah resapan air. Aspek ekonomi adalah keberlanjutan usaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tahura dan tersedianya infrastruktur yang memadai. Aspek sosial adalah peran masyarakat, budaya lokal dan penyediaan lapangan pekerjaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peran pemerintah sangat diharapkan baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota, dimana pemerintah kota memiliki kewenangan yang lebih besar di wilayahnya seiring dengan otonomi daerah. Selain itu peran pengusaha dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjamin iklim kondusif terhadap pelaksanaan pengelolaan sehingga dapat mengurai konflik kepentingan antar pihak yang terkait. Kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda agar dapat dikelola secara terpadu dan berkelanjutan, diarahkan pada penetapan peraturan zonasi secara partisipatif, mekansime perizinan yang transparan dan terpadu, pemberian insentif dan disinsentif kepada masyarakat dan pengusaha dalam pengendalian ruang, dan pemberlakuan sanksi yang jelas dan tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap tata ruang kawasan. Keywords: spatial controlling, stakeholder, policy, strategy, AHP Pendahuluan Keberadaan Tahura Djuanda memegang peranan sangat penting dalam pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung Utara. Peranan tersebut terdiri dari fungsi Tahura Djuanda pertama sebagai kawasan penyangga kebutuhan masyarakat khususnya dalam penyedia jasa lingkungan hidrologis berkonservasi tinggi dengan keanekaragaman flora-fauna dan ekosistemnya. Kedua upaya pelestarian sumberdaya alam serta penyelenggaraan kegiatan wisata sehingga memberikan manfaat baik secara ekonomi, lingkungan dan sosial kepada masyarakat dan pemerintah setempat.

2 154 Konversi lahan hutan dan pertanian menjadi penggunaan lainnya khususnya pemukiman di sekitar Tahura Djuanda sangat tinggi. Perubahan lahan yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar kawasan Tahura Djuanda terkait dengan tingginya pertumbuhan dan aktivitas ekonomi masyarakat kota Bandung. Pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan kegiatan pembangunan mengakibatkan pergeseran pola penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah penataan ruang dan kemampuan serta kesesuaian lahan sehingga timbul berbagai masalah. Permasalahan yang ditimbulkan diantaranya adalah pertama terbentuknya lahan kritis karena tingginya erosi dan limpasan air permukaan. Kedua hilangnya wilayah resapan air dan berkurangnya sumber mata air tanah. Ketiga hilangnya lahan pertanian yang subur dan berkurangnya kawasan yang memiliki nuansa hijau, sejuk dan segar. Keempat terjadinya pencemaran tanah karena aktivitas rumahtangga yang menghasilkan limbah. Kawasan lindung Tahura Djuanda yang berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman menyebabkan limpasan aliran permukaan air tanah tidak lagi terhambat dan meresap karena hilangnya vegetasi dan lahan tertutup bangunan pemukiman. Hal ini menyebabkan erosi permukaan tanah meningkat dan akibatnya terbentuk lahan-lahan kristis di sekitar pemukiman tersebut. Perubahan fungsi juga menyebabkan hilangnya wilayah resapan air yang mengkibatkan sumber-sumber mata air akan semakin menyusut dan lama kelamaan akan hilang. Kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan yang memiliki nuansa hijau, sejuk dan segar dan merupakan kawasan pertanian subur akan hilang ketika kawasan tersebut berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman. Perubahan fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman menyebabkan peningkatan aktivitas rumah tangga dan masyarakat yang menghasilkan limbahlimbah dan sampah-sampah yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan tanah, sehingga menurunkan mutu tanah. Penyimpangan penggunaan lahan yang telah terjadi dan jika dibiarkan terus berlanjut tanpa ada usaha pengendalian penggunaan ruang di kawasan Tahura Djuanda, maka fungsi kawasan tersebut sebagai wilayah hutan lindung, konservasi dan kawasan resapan air tidak dapat berjalan dengan semestinya. Hal ini akan berdampak pada kerusakan lingkungan khususnya krisis air, baik bagi kawasan itu sendiri maupun daerah cekungan Bandung secara keseluruhan.

3 155 Permasalahan perubahan fungsi lahan di sekitar kawasan Tahura Djuanda akan menimbulkan semakin banyak banyak permasalahan apabila tidak segera diatasi dengan kebijakan penataan ruang yang memadai. Dalam kaitannya dengan hal itu, permasalahan terbesar dalam penataan ruang adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Sekalipun rencana tata ruang dan program pemanfaatan ruang telah disusun dengan sangat baik, tujuan dari penataan ruang tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas, konsisten dan berkelanjutan. Yakin (1997) menyatakan semakin pesat pertumbuhan penduduk di suatu daerah atau wilayah akan berpengaruh buruk terhadap keberlanjutan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Masalah lingkungan timbul dari hasil interaksi antara aktivitas manusia dan sumberdaya alam. Interaksi ini timbul dari dua aspek yaitu mekanisme permintaan akan sumberdaya lingkungan dan mekanisme suplai atau penawaran sumberdaya lingkungan. Interaksi yang tidak seimbang dan harmonis antara kedua aspek tersebut bisa menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan. Tingginya permintaan sumberdaya lingkungan yang tidak bisa didukung oleh ketersediaan dan suplai sumberdaya lingkungan akan menyebabkan terjadinya eksploitasi lingkungan yang berlebihan. Degradasi lingkungan terjadi karena adanya eksploitasi sumberdaya lingkungan yang berlebihan. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka upaya pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda diperlukan untuk mempertahankan eksistensi kawasan tersebut sebagaimana fungsinya. Kerjasama yang baik seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) sangat dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut. Partisipasi seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan karena upaya penyelamatkan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Kelestarian lingkungan hidup di kawasan Tahura Djuanda dan sekitarnya sangat mempengaruhi kehidupan selanjutnya semua lapisan masyarakat dan institusi yang berada di wilayah Bandung khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan kebijakan pengendalian ruangnya di Kawasan Tahura Djuanda Metode Analisis Kebijakan Pengendalian Ruang Kawasan Tahura Djuanda Metode analytical hierarchy process (AHP) digunakan untuk menyusun rumusan arahan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda.

4 156 Penggunaan AHP dimaksudkan untuk membantu pengambilan keputusan memilih strategi terbaik dengan cara: (1) mengamati dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; (2) membandingkan secara kuantitatif dari segi biaya/ekonomis, manfaat dan resiko dari setiap alternatif; (3) memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan (4) membuat strategi secara optimal, dengan menentukan prioritas kegiatan. Tahapan AHP dimulai dengan yang bersifat umum, yaitu menjabarkan kedalam sub tujuan yang lebih rinci yang dapat menjelaskan apa yang dimaksud dalam tujuan umum dan penjabaran terus dilakukan hingga diperoleh tujuan yang bersifat operasional. Pada setiap hierarki dilakukan proses evaluasi atas alternatif. Tahap terpenting dari AHP adalah melakukan penilaian perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk mengetahui tingkat kepentingan suatu kriteria terhadap kriteria lain. Pada dasarnya perbandingan berpasangan merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar kriteria dalam suatu tingkat hirarki. Penilaian dilakukan dengan membandingkan sejumlah kombinasi kriteria yang ada pada setiap hierarki sehingga dapat dilakukan penilaian kuantitatif untuk mengetahui besarnya nilai setiap kriteria. Penilaian perbandingan berpasangan dilakukan melalui pendapat pakar. Menurut Saaty (1994) tahapan analisa data dengan AHP adalah: (1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah; (2) Membuat struktur hierarki yang dimulai dengan penentuan tujuan umum, sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam dengan pakar yang mengetahui persoalan yang sedang dikaji. Adapun struktur hierarki kebijakan pengendalian ruang di kawasan Tahura Djuanda seperti pada Gambar 42.

5 157 Gambar 42. Hirarki AHP penentuan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi masyarakat dan praktisi, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur (intangible) ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. AHP ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur, masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman atau intuisi. AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan (Saaty, 1994). AHP telah banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki oleh para pelaku pemain dalam situasi konflik. Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu alternatif. Menurut Saaty (1994), penggunaan AHP dimaksudkan untuk proses penelusuran permasalahan untuk membantu pengambilan keputusan memilih strategi terbaik dengan cara: (1) mengamati dan meneliti ulang tujuan dan

6 158 alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik, (2) membandingkan secara kuantitatif dari segi biaya/ ekonomis, manfaat dan resiko dari tiap alternatif, (3) memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan (4) membuat strategi secara optimal, dengan cara menentukan prioritas kegiatan. AHP memiliki kelebihan sekaligus kelemahan. Kelebihan AHP dibandingkan dengan mentode pengambilan keputusan lainnya adalah: (1) struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada sub-sub kriteria yang paling dalam, (2) memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan, dan (3) memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. Selain itu, AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-obyek dan multi-kriteria yang berdasar pada pertimbangan preferensi dari setiap kriteria dalam hirarki. Jadi, model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif. Kelemahan dari AHP diantaranya adalah metode ini memerlukan konsekuensi pendapat dari stakeholder untuk memberikan dukungan kebijakannya, sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam kebijakan publik. Oleh karena itu memerlukan persepsi pendapat para para pakar, tokoh organisasi yang terkait dalam pengembangan kawasan dan lingkungan hidup dan atau pejabat tertentu yang terkait dengan obyek penelitian (prominent person) yang dinilai kompeten pada bidangnya. Dalam konteks ini pemberian peran pada masyarakat (non-pemerintah) terkait untuk memberikan bobot pemilihan prioritas kriteria kebijakan dapat diakomodasikan. Model AHP digunakan untuk memilih alternatif prioritas kebijakan yang penting untuk dilaksanakan dan yang lebih aspiratif dari lima alternatif kebijakan yang telah dirumuskan seperti tersaji pada Gambar 45. Kriteria yang digunakan dalam model AHP untuk penentuan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda adalah kriteria manajemen pelaksanaan pembangunan, khususnya terkait dengan aktor pelaksana dalam pengendalian ruang, dimensi pembangunan berkelanjutan, dan kriteria pelaksanaan untuk masing-masing prinsip pembangunan untuk menentukan prioritas kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda.

7 159 Pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan disampaikan kepada stakeholder yang prominent di provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung. Keinginan dan preferensi stakeholder merupakan aspirasi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan pakar terhadap kebijakan yang diinginkannya terkait dengan pengendalian ruang kawasan, baik untuk kepentingan saat ini maupun dimasa yang akan datang. Penentuan prioritas kebijakan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. Pengumpulan persepsi yang merupakan pendapat para pakar dilakukan dengan pendekatan wawancara. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dan snowballing. Dalam penyusunan kriteria dan permasalahan serta memperoleh rumusan-rumusan awal dilakukan FGD. FGD dilakukan untuk menemukan alternatif penyelesaian secara partisipatif. Diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. FGD dilaksanakan di Bandung yang diikuti oleh stakeholder terkait. Selanjutnya berdasarkan hasil FGD awal disusun hirarki dan kriteria AHP sebagai bahan kuesioner untuk wawancara terhadap responden terpilih secara terpisah dalam pengisian matriks perbandingan berpasangan. Data hasil pengisian matriks perbandingan berpasangan wawancara diolah dengan alat bantu pengolahan data berbasis komputer Expert Choice Expert Choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi pengambilan keputusan yakni AHP. Setelah diperoleh hasil analisis sementara, dilakukan FGD lanjutan untuk pembahasan strategi implementasi kebijakan dilakukan dengan melibatkan pakar dan stakeholders. Analisis dilakukan pada setiap level dari hirarki penentuan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi gabungan dari pendapat dan penilaian seluruh stakeholder pada setiap matriks perbandingan berpasangan Prioritas Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Hasil analisis disajikan pada Gambar 46. Nilai indeks konsistensi adalah 0,03 (overall inconsistency), yang berarti nilai pembobotan perbandingan

8 160 berpasangan pada setiap matriks adalah konsisten. Hal ini juga berarti masingmasing responden telah memberikan jawaban yang konsisten. Gambar 43. Bobot faktor-faktor pada setiap level penentuan kebijakan Gambar 43 menunjukkan bahwa pada level 2 (aktor) diperoleh hasil analisis yaitu pemerintah provinsi (bobot 0,565) merupakan aktor yang paling berperan dalam penentuan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. Hal ini menujukkan bahwa aspirasi pemerintah provinsi menjadi fokus perhatian dalam penentuan kebijakan pengendalian ruang. Pemerintah provinsi dalam hal ini memegang otoritas dalam perencanaan dan pembangunan kawasan serta berperan menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah provinsi juga merupakan wakil pemerintah dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintah di tingkat provinsi dan urusan lintas kabupaten/ kota. Selain itu, pengelola kawasan Tahura Djuanda berada pada tingkat provinsi sehingga pemerintah provinsi merupakan aktor yang paling dominan pengaruhnya dalam pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. Pemerintah provinsi diharapkan mampu menfasilitasi setiap kegiatan

9 161 pengelolaan dan pemanfaatan kawasan tahura dalam bentuk program-program pengelolaan lingkungan yang dapat dilaksanakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang baik bagi pengelola maupun masyarakat sekitar misalnya kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga masyarakat mendapat manfaat baik secara pendidikan maupun ekonomi. Pemerintah provinsi juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi seluruh kegiatan tahura sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif baik untuk lingkungan maupun masyarakat. Pemerintah provinsi memiliki wewenang dan kapasitas dalam menentukan kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pemerintah provinsi mempunyai andil besar dalam penetapan pengelolaan lingkungan. Secara umum pemerintah provinsi berperan sebagai koordinator pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dari berbagai kabupaten/ kota selanjutnya kabupaten/ kota menjadi koordinator di daerah masing-masing. Sehingga ada kesamaan persepsi, dan semakin meningkatnya kemampuan serta mekanisme kerja dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara profesional dan memenuhi kriteria ekosentris. Dalam pengembangan kawasan tentunya didukung oleh para stakeholder yang terkait. Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah pemerintah kabupaten/ kota (bobot 0.262). Pemerintah kabupaten/ kota merupakan aktor yang terkait langsung dengan keberadaan kawasan Tahura Djuanda sehingga merupakan aktor yang perlu mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. Aktor pengusaha dan masyarakat merupakan prioritas ketiga dan keempat. Kedua aktor ini perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. Pada tahap implementasi, kedua aktor ini perlu dilibatkan dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Keberadaan pengusaha akan menjamin iklim kondusif terhadap pertumbuhan ekonomi di sekitar kawasan artinya pengusaha tetap menanamkan modalnya pada usaha perlindungan kawasan dampak merosotnya ekonomi dapat dihindarkan. Keterlibatan pengusaha tidak selalu memberikan dampak negatif terhadap pengendalian ruang kawasan selama usaha yang dilakukan memberikan konstribusi positif terhadap pelestarian lingkungan dan masyarakat sekitar. Sedangkan masyarakat merupakan kelompok yang akan merasakan dampak dari pembangunan itu baik dari segi ekonomi, lingkungan maupun sosial budaya, sehingga segala keputusan yang akan diambil dalam pengelolaan suatu

10 162 kawasan selayaknya masyarakat ikut dalam pengambilan keputusan tersebut termasuk melakukan pengawasan. Dalam pengendalian ruang kawasan tahura diperlukan tanggung jawab bersama artinya semua stakeholder mampu bekerjasama dengan prinsip keterpaduan secara simbiosis atau saling menguntungkan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan Tujuan Hasil diskusi dengan pakar, pihak terkait dan penelitian di lapangan, level tujuan diuraikan lagi menjadi beberapa sub level yaitu: Ekologi, Ekonomi, Sosial. Hasil analisis pendapat para pakar terhadap 3 (tiga) sub level tujuan tersebut diperoleh bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda adalah sub level ekologi dengan skor tertinggi yaitu 0,741, ekonomi dengan skor 0,512, dan sosial dengan skor 0,106. Tingginya nilai skor tujuan ekologi dibandingkan dengan tujuan lainnya menunjukkan bahwa ekologi menjadi perhatian utama pengendalian ruang kawasan tahura. Karena keberlanjutan ekologi sebagai parameter dan asset utama yang menyediakan kebutuhan manusia. Lingkungan menyediakan sistem pendukung kehidupan untuk mempertahankan keberadaan manusia dan keberlanjutan suatu aktivitas ekonomi jangka panjang. Diharapkan melalui kegiatan pengelolaan lingkungan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dapat diminimalkan. Dengan demikian keberlanjutan ekologi dalam pengendalian ruang kawasan tahura mempunyai implikasi yang luas menyebar ke hilir dan ke hulu karena tahura adalah sebuah ekosistem yang memiliki ketergantungan antara mahluk yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama dan hubungan simbiosis berbagai stakeholder dalam rangka mendukung pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. Berdasarkan uraian di atas bahwa dalam pengelolaan dan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda secara ekologi menunjukkan adanya keterkaitan dan ketergantungan antar ekosistem baik ekosistem yang berada dalam kawasan maupun di luar atau sekitar kawasan sehingga diperlukan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna tanah, tata guna air dan sumberdaya lainnya dalam suatu keterpaduan sebagai suatu kesatuan tatanan lingkungan hidup yang dinamis dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang, dilakukan secara terpadu, menyeluruh yang mencakup pertimbangan daya dukung lingkungan, berdaya

11 163 guna dan berhasil guna, penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan fungsi ruang sehingga dapat menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang serta kelestarian kemampuan daya dukung sumber alam dengan memperlihatkan kepentingan masa depan. Tujuan ekologi pengendalian ruang di Kawasan Tahura Djuanda diharapkan mampu mengkoordinasikan antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian fungsi dan tatanan lingkungan serta mencegah pengelolaan tanah oleh perorangan atau sekelompok orang yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan pembangunan berkelanjutan artinya dalam memanfaatkannya tidak boleh ditempuh cara-cara yang merusaknya (Sugandhy, 1999). Pada tujuan ekologi, manfaat yang diharapkan adalah terjaganya kawasan resapan air dengan nilai skor paling tinggi yaitu 0,557; kelestarian ekosistem hutan dan fungsinya (0,184); dan penggunaan lahan yang sesuai tata ruang (0.115); kualitas udara (0.080) dan daya dukung lingkungan (0.063) Terjaganya kawasan resapan air, kelestarian ekosistem hutan dan penggunaan lahan sesuai tata ruang menjadi prioritas utama dalam pengendalian ruang Kawasan Tahura Djuanda. Hal ini disebabkan karena pakar menilai bahwa air, vegetasi dan aktivitas manusia dalam pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan, yang satu sama lain membentuk hubungan timbal balik dalam sistem hidrologi. Aktivitas manusia yang membabat hutan, menebangi pohon pelindung, merusak sempadan sungai, serta membuang sampah sembarangan menyebabkan berkurangnya daya dukung lahan untuk menyerap air hujan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan hutan sehingga menimbulkan bencana alam seperti banjir, erosi, sedimentasi dan tanah longsor. Selama ini tingkat kesadaran masyarakat terhadap fungsi vegetasi, sungai, danau dan waduk sebagai daerah resapan air sangat rendah. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab besar bagi pemerintah sebagai pengelola kawasan konservasi air seperti Tahura Djuanda. Kondisi ini memaksa pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan tentang pentingnya menjaga kelestarian tahura sebagai daerah resapan air. Selain itu pelaku perusakan kawasan konservasi harus ditindak tegas dengan memberikan hukuman dan sanksi yang seberat-beratnya sehingga menimbulkan efek jera. Mengembalikan fungsi daerah resapan air dapat juga dilakukan melalui

12 164 penggunaan ruang sesuai dengan peruntukannya hal ini berarti bahwa kawasan tahura harus tetap dipertahankan keberadaannya dengan mengendalikan jumlah urban sprawl yang mengarah ke kawasan tahura melalui penerbitan peraturan yang melarang penduduk sekitar atau penduduk perkotaan untuk mengkonversi lahan menjadi daerah pemukiman atau lainnya yang tidak sesuai dengan peruntukan dan kesesuaian lahan. Pengaturan dapat dilakukan dengan memperketat sistem perizinan yang sudah ada sehingga mempersulit akses penduduk untuk mendapatkan ruang di sekitar kawasan. Dalam pengelolaan kawasan tahura secara berkelanjutan hal penting yang perlu juga diperhatikan adalah pemanfaatan ruang sebab apabila pengaturan ruang di kawasan tahura tidak terarah dengan baik akan menimbulkan konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat dari semakin meningkatnya jumlah penduduk urban ke kawasan tahura. Sebagaimana diketahui bahwa permasalahan utama dalam pemanfaatan ruang di sekitar kawasan tahura adalah belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor. Berbagai fenomena bencana seperti banjir, longsor dan kekeringan serta berkurangnya kawasan konservasi pada dasarnya merupakan indikasi yang kuat terjadinya ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, antara manusia dengan alam maupun antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Disisi lain dalam penerapannya sering terjadi inkonsistensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting penggunaan lahan/ pemanfaatan ruang yang tidak berwawasan lingkungan. Berbagai dampak yang timbul akibat ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang kawasan konservasi seperti hilangnya estetika tahura, pola pembangunan pemukiman yang mengarah ke sekitar kawasan, dan hilangnya akses masyarakat ke kawasan tahura. Untuk mengoptimalkan penggunaan di kawasan Tahura Djuanda ruang yang multiuse dalam rangka menghindari terjadinya kompetisi, konflik, dan perbedaan kepentingan, maka secara operasional perlu dilakukan penzonasian kawasan untuk menclusterkan kegiatan yang kompatibel dan memisahkan yang in compatible berdasarkan aktivitas dan fungsi-fungsi wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk memisahkan pemanfaatan sumberdaya yang saling bertentangan dan menentukan yang mana kegiatan-kegiatan dilarang dan diijinkan untuk setiap zona peruntukan. Atau dengan kata lain sebagai upaya

13 165 untuk menciptakan suatu keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan kegiatan konservasi di kawasan tahura. Selain tujuan ekologi, tujuan ekonomi juga sangat berpengaruh terhadap pengendalian ruang di kawasan tahura. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, subkriteria yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan usaha (0.358); peningkatan kesejahteraan masyarakat (0.218); dan penyediaan infrastruktur (0.174). Untuk mendukung pengendalian ruang kawasan tahura yang harus diprioritaskan adalah adanya pertumbuhan ekonomi yang mampu mendorong terbentuknya usaha-usaha kecil atau menengah yang didirikan oleh mayarakat secara swadaya dengan bantuan modal dari pihak pengelola dalam hal ini pemerintah daerah sehingga terjadinya simbiosis antara pihak-pihak yang terkait dan sinergi yang mempertinggi kinerja ekonomi masyarakat dan lingkungan. Sehingga dapat bekerjasama dan saling mengawasi secara menguntungkan. Adanya UKM akan mengoptimalkan ketersedian lapangan kerja artinya tenaga kerja yang tidak tertampung dapat dipekerjakan di UKM sehingga ketimpangan pendapatan dapat diperkecil. Selain itu dengan adanya UKM akan mampu memberikan konstribusi lebih kepada pemerintah daerah. Keberadaan tahura diharapkan mampu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya secara berimbang (balanced development) antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak sehingga memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sekitar serta dapat mencegah kegiatan perambahan ke arah hutan yang sifatnya merusak. Untuk meningkatkan PAD kegiatan wisata ke arah Tahura Djuanda harus mampu menarik perhatian pengunjung dengan menyediakan sarana dan prasarana penunjang yang memudahkan akses pengunjung tahura. Pengelolaa harus mampu memelihara, melindungi dan atau berkonstribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam sehingga memberikan nilai eksotik dan spesifik wilayah sebagai keunggulan kompetitif serta mampu bersaing yang pada akhirnya mampu menarik pengunjung lebih banyak sehingga pendapatan yang diperoleh oleh pihak pengelola dari penjualan tiket menjadi lebih tinggi. Keberadaan Tahura Djuanda diharapkan mampu menciptakan iklim kondusif terhadap tumbuhnya usaha perekonomian rakyat sekitar sehingga mampu meningkatkan taraf hidup dan kesempatan kerja. Peningkatan taraf hidup

14 166 akan sejalan dengan usaha penciptaan lapangan kerja melalui alokasi kegiatan yang tepat pada kawasan penyangga dan kawasan budidaya sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pengembangan keanekaragaman hayati terhadap kelangsungan usaha peningkatan produksi komoditi pertanian merupakan langkah peningkatan kemakmuran (prosperity) yang perlu dioptimalkan demi mencapai peningkatan pendapatan masyarakat sekitar dan PAD maka usaha tersebut, sejauh manfaat sosial ekonomi tinggi dan dampak negatif kendala lingkungan kecil, dimungkinkan pengupayaannya dengan dukungan keberlanjutan alokasi lahan dan pemanfaatan ruangnya. Kekhasan dan budaya yang dimiliki Tahura Djuanda harus disadari potensinya oleh seluruh lapisan masyarakat melalui gerakan sadar wisata. Gerakan sadar wisata bukan berarti menyadarkan masyarakat untuk giat berdarmawisata saja, melainkan lebih penting dari itu adalah menyadarkan masyarakat untuk bertindak menghargai keunikan alam dan budaya setempat agar tetap lestari dan indah untuk selanjutnya dapat nikmati oleh turis, baik asing maupun domestik untuk menjadi nilai tambah ekonomi (Sugandhy, 1999). Pengendalian ruang kawasan tahura dari dimensi ekonomi tentunya harus didukung oleh infrastruktur yang memadai. Keberadaan tahura di suatu daerah sangat terkait dengan wilayah sekitarnya. Keterkaitan tersebut dapat berupa keterkaitan secara fisik, sosial dan ekonomi seperti adanya jaringan jalan, jaringan telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya untuk mendukung pergerakan roda perekonomian masyarakat di sekitar kawasan. Ini berarti keberadaan tahura di suatu wilayah dituntut secara sukarela untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan baik yang dibutuhkan oleh tahura untuk aktivitasnya sendiri demi menjamin kelancaran usahanya maupun infratruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Tujuan lain yang berpengaruh dalam pengendalian ruang kawasan tahura Djuanda adalah keberlanjutan sosial. Manfaat yang diharapkan adalah meningkatnya peran masyarakat (0.467) dalam usaha pengendalian ruang di kawasan tahura sebagai langkah pelestarian dan perlindungan lingkungan. Dalam penyelenggaraan penataan ruang, pelaksanaan hak dan kewajiban serta peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk memperbaiki mutu perencanaan, membantu terwujudnya pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, serta menaati keputusan-keputusan dalam rangka penertiban pemanfaatan ruang. Dalam rangka memenuhi hak

15 167 masyarakat untuk mengetahui rencana tata ruang, pemerintah berkewajiban mengumumkan atau menyebarluaskan rencana tata ruang yang telah ditetapkan pada tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat mengetahui dengan mudah (Sugandhy, 1999). Keberadaan masyarakat di sekitar kawasan sangat penting untuk diperhatikan hal ini bertujuan untuk minimisasi konflik kepentingan dalam pengelolaan Kawasan Tahura Djuanda. Diharapkan keberadaan Tahura Djuanda mampu memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan sosial masyarakat khususnya sekitar tahura misalnya penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pengendalian ruang kawasan tahura diharapkan mampu bersimbiosis dalam penggunaan sumberdaya sehingga memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang bekerjasama secara harmonis dan serasi dalam ekosistem guna memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan dan keberadaan tahura jangka panjang. Pengelolaan dan pengendalian ruang kawasan tahura dapat memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitar kawasan. Pengendalian ruang kawasan tahura harus mampu memberikan dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar melalui program-program pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam kegiatan pemanfaatan atau budidaya, hal ini akan mampu meminimalisasi konflik dan kesenjangan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar kawasan sehingga menjamin stabilitas penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar dan memperhatikan keanekaragaman budaya lokal (0.194) dengan mengakui dan menghargai sistem sosial dan kebudayaan yang berlaku, mendorong partisipasi masyarakat lokal sehingga mampu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya melalui pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka, serta mengurangi angka kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal dengan nilai skor 0,155. Dalam pengendalian ruang kawasan tahura pertimbangan aspek sosial sangat penting karena pembangunan yang tidak sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat selain kurang memenuhi sasaran, juga mempengaruhi keadaan lingkungan. Perkembangan dan perubahan lingkungan yang terjadi menyebabkan menurunnya kondisi lingkungan, timbulnya ketegangan sosial dan

16 168 konflik yang menyebabkan tidak diindahkannya masalah-masalah yang bersifat persahabatan. Sehingga interaksi manusia dengan alam yang tadinya serasi dan seimbang menjadi destruktif sifatnya. Aspek sosial menyangkut sikap masyarakat dan individu dalam memandang kehidupan (norma budaya), kerja dan wewenang, struktur administrasi dan struktur birokrasi dalam sektor pemerintah/ publik maupun swasta, hukum, pola-pola kekerabatan dan agama, tradisi budaya, wewenang dan integritas instansi pemerintah, partisipasi masyarakat dalam perumusan keputusan dan kegiatan pembangunan serta keluwesan atau kekakuan (pola kelas-kelas) ekonomi dan sosial. Oleh karena itu pihak pengelola harus mengetahui aturan (karakteristik) masyarakat yang berlaku dikawasan yang akan dibangun sehingga pengalokasian sumberdaya dan distribusi pendapatan tepat sasaran dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kondisi ini memungkinkan untuk meminimisasi konflik agar terjaganya stabilitas sosial dalam masyarakat. Pihak pengelola harus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam seluruh kegiatan pemanfaatan yang berkaitan dengan keberadaan tahura. Sehingga tingkat penganguran dapat dikurangi dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hal ini akan mampu mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda. Penciptaan lapangan kerja juga dapat mempercepat laju pembangunan ekonomi. Terciptanya lebih banyak lapangan kerja dan kesempatan kerja berarti tersedianya lebih banyak sumber-sumber pendapatan potensial bagi kalangan penduduk miskin Prioritas Kebijakan Berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai serta peran para aktor dalam kebijakan pengendalian ruang Kawasan Tahura Djuanda seperti diuraikan di atas, berbagai alternatif strategi kebijakan pengendalian ruang Kawasan Tahura Djuanda adalah peraturan zonasi, perizinan, Insentif dan disinsentif dan sanksi 1. Penetapan peraturan zonasi secara partisipatif Peraturan zonasi disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk

17 169 setiap zona pemanfaatan ruang, yang ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/ zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/ kota dan peraturan zonasi yang melengkapi rencana rinci tersebut menjadi salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Peraturan pembagian zonasi mengisyaratkan adanya potensi ekosistem yang berbeda-beda dan menghendaki upaya pengelolaan yang berbeda pula. Sistem zonasi bertujuan untuk mengatur dan mengalokasikan sumberdaya alam pada suatu kawasan sesuai dengan peruntukkannya sehingga meminimalkan resiko terhadap penyalahgunaan sumberdaya alam. Peraturan zonasi bertujuan untuk mengarahkan dan mengatur secara optimal agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam melaksanakan aktivitas dan kebijakan serta memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan kegiatan pengelolaan dalam pembangunan yang lestari sehingga pemanfaatan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara adil, tertib, efisien, dan efektif. 2. Mekanisme perizinan yang transparan dan terpadu Perizinan adalah perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. Izin dimaksud adalah izin lokasi/ fungsi ruang, amplop ruang, dan kualitas ruang. Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/ atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Terhadap kerugian yang ditimbulkan

18 170 akibat pembatalan izin, dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin. Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur dan diterbitkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masingmasing. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda. Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak. Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Proses perizinan dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan suatu konfirmasi terhadap rencana atau usulan pemanfaatan ruang yang akan mengubah atau mempertahankan fungsi utama kawasan, guna lahan, dan intensitas kegiatan. Keputusan penertiban izin terhadap permohonan pemanfaatan ruang yang berlangsung harus mempertimbangkan 5 kriteria utama, yaitu: 1. Fungsi utama kawasan dengan kesesuaian lahannya. 2. Penggunaan lahan yang diperkenankan. 3. Intensitas pembangunan yang ditetapkan. 4. Penyesuaian/ pelandaian lahan yang diperbolehkan. 5. Konflik fungsional antara peruntukan dengan kecenderungan perkembangan yang terjadi. Izin pemanfaatan ruang terutama kawasan konservasi harus jelas dan tegas. Artinya perizinan harus menjelaskan tentang aturan main (rule of the game) yang berlaku sebelum izin dikeluarkan. Hal ini akan berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat tentang kewajiban dan hak atas pemanfaatan suatu kawasan atau sumberdaya alam. Disamping itu izin pemanfaatan ruang harus lebih diperketat yang didalamnya memuat sanksi atau denda yang cukup berat bagi pemanfaatan ruang yang tidak memenuhi kaidah pemanfaatan ruang yang lestari dan berkelanjutan. Ketatnya proses perizinan diharapkan mampu

19 171 meminimalkan penyimpangan terhadap pemanfaatan ruang yang bersifat mengeksploitasi secara berlebihan sumberdaya alam. 3. Pemberian insentif dan disinsentif kepada masyarakat dan pengusaha dalam pengendalian ruang Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/ atau disinsentif oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Insentif yang merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: (a) keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham; (b) pembangunan serta pengadaan infrastruktur; (c) kemudahan prosedur perizinan; dan/ atau (d) pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/ atau pemerintah daerah. Penerapan insentif atau disinsentif secara terpisah dilakukan untuk perizinan skala kecil/ individual sesuai dengan peraturan zonasi, sedangkan penerapan insentif dan disinsentif secara bersamaan diberikan untuk perizinan skala besar/ kawasan karena dalam skala besar/ kawasan dimungkinkan adanya pemanfaatan ruang yang dikendalikan dan didorong pengembangannya secara bersamaan. Disinsentif, yang merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: (a) pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/ atau (b) pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti. Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain, dapat berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, dan pemberian penghargaan. Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/ atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi,

20 172 pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan kompensasi dan penalti. Disinsentif berupa pengenaan pajak yang tinggi dapat dikenakan untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai rencana tata ruang melalui penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) dan nilai jual kena pajak (NJKP) sehingga pemanfaat ruang membayar pajak lebih tinggi. Insentif dapat diberikan antar pemerintah daerah yang saling berhubungan berupa subsidi silang dari daerah yang penyelenggaraan penataan ruangnya memberikan dampak kepada daerah yang dirugikan, atau antara pemerintah dan swasta dalam hal pemerintah memberikan preferensi kepada swasta sebagai imbalan dalam mendukung perwujudan rencana tata ruang. 4. Pengenaan sanksi yang proporsional terhadap pelanggaran penataan ruang kawasan Pengenaan sanksi merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dalam Undang-Undang Penataan Ruang pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Model AHP digunakan untuk memilih kebijakan yang penting untuk dilaksanakan dan yang lebih aspiratif dari lima alternatif kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kriteria yang digunakan dalam model AHP penentuan kebijakan adalah kriteria manajemen pelaksanaan pembangunan, khususnya terkait, yaitu aktor pelaksana dalam pembangunan wilayah, dimensi pembangunan berkelanjutan, dan kriteria pelaksanaan untuk masing-masing prinsip pembangunan untuk menentukan prioritas kebijakan pemanfaatan ruang. Hirarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas. Kriteria yang digunakan untuk pencapaian dimensi merupakan gabungan hasil analisis faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan dan analisis kebutuhan stakeholder yang dikelompokkan ke dalam enam dimensi sesuai

21 173 dengan dimensi pengembangan kawasan transmigrasi yang telah dianalisis sebelumnya. Pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan disampaikan kepada stakeholder yang prominent di provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bandung, dan 1 Kota Bandung. Keinginan dan preferensi stakeholder merupakan aspirasi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan pakar terhadap kebijakan yang diinginkannya terkait dengan pengendalian ruang kawasan, baik untuk kepentingan saat ini maupun di masa yang akan datang. Penentuan prioritas kebijakan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. 8.5 Kesimpulan Dalam pengendalian ruang kawasan tahura Djuanda aktor utama dalam penentuan kebijakan pengendalian tata ruang untuk mempertahankan Tahura adalah pemerintah propinsi, prioritas kedua aktor yang berperan adalah pemerintah Kabupaten atau Kota. Peran pemerintah dalam penentuan kebijakan pengendalian ruang dalam mempertahankan berjalanya fungsi Tahura. Berikutnya pemerintah Kabupaten, peran swasta dan masyarakat. Dalam kebijakan pengendalian Tahura aspek utama yang diperhatikan adalah fungsi ekologis sebagai dasar penetuan kebijakan pengendalian ruang, baru aspek ekonomi dan berikutnya aspek sosial. Dilihat dari aspek ekologi (lingkungan) pengelolaan diarahkan untuk mencapai tujuan terjaganya kelestarian daerah resapan air. Aspek ekonomi adalah keberlanjutan usaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tahura dan tersedianya infrastruktur yang memadai. Aspek sosial adalah peran masyarakat, budaya lokal dan penyediaan lapangan pekerjaan. Sedangakan alternatif kebijakan yang perlu dikembangkan diarahkan pada penetapan peraturan zonasi secara partisipatif, mekansime perizinan yang transparan dan terpadu, pemberian insentif dan disinsentif kepada masyarakat dan pengusaha dalam pengendalian ruang, dan pemberlakuan sanksi yang jelas dan tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap tata ruang kawasan.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA 114 VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA 8.1. Pendahuluan Upaya pemberantasan IL yang dilakukan selama ini belum memberikan efek jera terhadap pelaku IL dan jaringannya

Lebih terperinci

BAB II PENATAAN RUANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN A. Definisi Penataan Ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007

BAB II PENATAAN RUANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN A. Definisi Penataan Ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 18 BAB II PENATAAN RUANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 A. Definisi Penataan Ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Dengan diundangkannya UUPA itu, berarti sejak saat itu telah memiliki

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi BAB 5 PENUTUP Bab penutup ini akan memaparkan temuan-temuan studi yang selanjutnya akan ditarik kesimpulan dan dijadikan masukan dalam pemberian rekomendasi penataan ruang kawasan lindung dan resapan air

Lebih terperinci

Peran Pemerintah dalam Perlindungan Penataan Ruang

Peran Pemerintah dalam Perlindungan Penataan Ruang Peran Pemerintah dalam Perlindungan Penataan Ruang Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pranata (TKP162P) Dikerjakan Oleh Nur Hilaliyah 21040111060045 DIPLOMA III PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA

IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA Oleh: Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Dep. Pekerjaan Umum

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 10 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI CILEGON MENUJU ECO INDUSTRIAL PARK

VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI CILEGON MENUJU ECO INDUSTRIAL PARK VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI CILEGON MENUJU ECO INDUSTRIAL PARK Abstrak Pengembangan kawasan industri Cilegon menuju eco industrial park sangat memegang peranan penting dalam pembangunan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

Terjaganya fungsi lindung kawasan

Terjaganya fungsi lindung kawasan No Arahan Kebijakan Pengembngan 1. Pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman haati, memperthankan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan pertanian yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa air permukaan mempunyai peran

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENATAAN RUANG PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 0 BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta dan menerima cukup banyak pengaruh dari aktivitas ibukota. Aktivitas pembangunan ibukota tidak lain memberikan

Lebih terperinci

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penentuan karakteristik

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN I. UMUM Ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANJARMASIN 2013-2032 APA ITU RTRW...? Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan Pola Ruang Wilayah Kota DEFINISI : Ruang : wadah yg meliputi

Lebih terperinci

BAB III METODE KAJIAN

BAB III METODE KAJIAN 47 BAB III METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Meningkatnya aktivitas perkotaan seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat yang kemudian diikuti dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota

Lebih terperinci

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991); RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2011-2031 I. UMUM Sesuai dengan amanat Pasal 26 Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN 2009-2028 I. UMUM 1. Ruang wilayah Kabupaten Pacitan, baik sebagai kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan ruang wilayah nasional

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/35; TLN NO. 3441 Tentang: RAWA Indeks:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR Oleh : RIAS ASRIATI ASIF L2D 005 394 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan

Lebih terperinci

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP Ikhtisar Eksekutif Pembangunan sistem administrasi modern yang andal, professional, partisipatif serta tanggap terhadap aspirasi masyarakat, merupakan kunci sukses menuju manajemen pemerintahan dan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menciptakan wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG FASILITASI PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 SERI E NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KOTA Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, : a. bahwa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci