SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) DISUSUN OLEH:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) DISUSUN OLEH:"

Transkripsi

1 TINJAUAN YURIDIS PEMENUHAN TRADE RELATED INVESMENT MEASURES (TRIMs) DALAM UU NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL (Studi Terhadap Penanaman Modal Asing) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) DISUSUN OLEH: HELNA PEBRUWENTI NIM : PROGRAM S1 JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2011

2 ABSTRAK Perjanjian TRIMs timbul sebagai reaksi terhadap meningkatnya kekhawatiran para investor asing dan negara-negara maju terhadap semakin banyaknya kebijakan-kebijakan penanaman modal khususnya di negara sedang berkembang. Indonesia telah mengikatkan dirinya didalam organisasi perdagangan dunia WTO, sehingga segala kewajiban yang disepakati dalam wadah organisasi tersebut menjadi kewajiban Indonesia untuk melaksanakannya. Khusus untuk kebijakan penanaman modal, maka Indonesia dalam menetapkan kebijakannya harus disesuaikan dengan aturan-aturan dalam TRIMs. Pasal 12 UUPM mengandung perlakuan yang berbeda antara PMDN dan PMA dan pasal 18 UUPM memuat tentang pemberian insentif yang didasarkan pada persyaratan. Hal ini merupakan hal yang dilarang oleh WTO yang dituangkan dalam perjanjian TRIMs. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan penanaman modal asing menurut TRIMs dan untuk mengetahui bagaimana penerapan aturan TRIMs dalam UU NO. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Sifat penelitian ini adalah deskriftif. Data dianalisa secara normatif-kualitatif yaitu analisa berdasarkan peraturan perundang-undangan dan buku-buku yang ada relevansinya dengan pembahasan penelitian ini. Pengaturan penanaman modal menurut TRIMs pada prinsipnya melarang performance requirement (persyaratan pelaksanaan) yang tidak sesuai dengan pasal III GATT tentang Perlakuan Nasional dan pasal XI GATT tentang Pembatasan Kuantitatif dalam peraturan penanaman modal, yaitu persyaratan menggunakan kandungan lokal (Local Content Requirement) dan persyaratan keseimbangan (Trade Balancing Requirement). Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal telah memiliki kesesuaian dengan TRIMs. Aturan-aturan TRIMs tentang upaya-upaya perdagangan dan penanaman modal telah diterapkan dalam UU NO 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 18 ayat (3) huruf j Undang -Undang Penanaman modal dalam hal ini dapat dikecualikan mengingat syarat diskriminasi tersebut dilakukan tidak secara spesifik dan hanya merupakan suatu pilihan bukan suatu keharusan yang memaksa untuk dilakukan. Setiap negara anggota memiliki kekuasaan untuk mengatur pelaksanaan dalam kegiatan penanaman modalnya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum internasional seperti WTO dan TRIMs. v

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI...iii ABSTRAK... v BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Permasalahan C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Metode Penelitian E. Sistematika Penulisan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENANAMAN MODAL ASING A. Pengertian Penanaman Modal Asing B. Dasar Hukum Penanaman Modal Asing C. Bentuk-bentuk Penanaman Modal Asing D. Bentuk hukum, kedudukan dan daerah berusaha BAB III TINJAUAN UMUM TRIMs A. Pengertian TRIMs B. Prinsip-Prinsip TRIMs C. Tujuan TRIMs D. Arti Penting TRIMs vi

4 BAB IV TINJAUAN YURIDIS PEMENUHAN TRIMs DALAM UU NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL A. Pengaturan Penanaman Modal Asing Menurut TRIMs Penanaman Modal Yang Terkait Perdagangan Perjanjian WTO Mengenai TRIMs B. Penerapan aturan TRIMs Dalam UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Perlakuan Sama Terhadap Penanaman Modal di Indonesia Perlakuan Khusus Terhadap Negara-Negara Tertentu Daftar Investasi Negatif Fasilitas Penanaman Modal BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 81 A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN vii

5 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dewasa ini negara Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan diberbagai bidang khususnya dibidang ekonomi, karena hal ini merupakan suatu upaya yang sangat penting dalam mempercepat pertumbuhan negara dan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Pembangunan membutuhkan modal, keterampilan dan teknologi, yang akan lebih ideal lagi jika pemenuhan kebutuhan pembangunan ini dapat disediakan melalui sumber dalam negeri. Namun kenyataannya akumulasi modal dalam negeri masih belum efektif dan efisien, keterampilan serta penguasaan teknologi masih belum memadai untuk menunjang proses pembangunan yang diharapkan. Permodalan yang diperlukan oleh negara kita untuk pencapaian pembangunan ekonomi adalah dalam bentuk investasi dengan pemupukan dan pemanfaatan modal dalam negeri dan modal luar negeri (penanaman modal) dengan cara modal yang berasal dari masyarakat umum dimobilisasikan secara maksimal. 1 Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia ), h Dhaniswara K.Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: RajaGrapindo Persada, 1

6 2 Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Penanaman modal dimungkinkan pelaksanaannya di Indonesia dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. 3 Selain itu penanaman modal asing diarahkan untuk memperkuat tumbuhnya ekonomi nasional dalam rangka mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. 4 Penanaman modal diharapkan juga dapat membantu pemerintah dalam pemecahan masalah lapangan pekerjaan. 5 Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi investasi, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor Politik Faktor ini sangat menentukan iklim usaha yang kondusif bagi usahausaha penanaman modal terutama penanaman modal asing. Kondisi politik Indonesia yang belakang ini kurang stabil dan tidak menentu telah mengakibatkan turunnya kegairahan investasi. 2. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi juga sangat menentukan bagi keinginan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Faktor politik dan faktor ekonomi akan saling 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI. Tahun 2007 No. 67, Tambahan Lembaran Negara No. 4724, Pasal 1 ayat (1). 3 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanamanm Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing, (Bandung: Bina Cipta,1970), Cet. ke-1 h.1. 5 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanamanm Modal di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h.185.

7 3 mempengaruhi dan mempunyai hubungan erat. Suhu politik dalam negeri yang memanas, sudah barang tentu menyebabkan iklim usaha akan berkurang dan kinerja perekonomian akan menurun. Dengan demikian apabila perekonomian suatu negara sangat mengkhawatirkan tentunya para investor akan sangat khawatir menanamkan modalnya. Sebagai bagian dari ekonomi, aspek moneter juga sangat mempengaruhi minat investor menanamkan modalnya. 3. Faktor Hukum Faktor hukum atau faktor yuridis juga sangat penting dan diperhatikan oleh investor. Hal ini berkaitan dengan perlindungan yang diberikan pemerintah bagi kegiatan investasi. Menurunnya wibawa hukum dalam negeri akan mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya. Daya tarik investor untuk menanamkan modalnya akan sangat tergantung pada sistem hukum yang diterapkan, dimana sistem hukum itu harus mampu menciptakan kepastian (predictability), keadilan (fairness), dan efisiensi (efficiency). 6 Indonesia perlu tampil dengan kebijakan-kebijakan yang berdampak bagi peningkatan gairah berinvestasi dalam upaya untuk merebut perhatian investor. Kewajiban pemerintah untuk merajut kebijakan seramah mungkin kepada 6 Dhaniswara K.Harjono, op cit., h. 8.

8 4 investor, dimana kebijakan-kebijakan yang digariskan oleh pemerintah harus mampu meningkatkan mobilitas investasi yang sangat tinggi. 7 Kebijakan-kebijakan penanaman modal tersebut harus mencerminkan prinsip-prinsip penanaman modal Internasional dalam Word Trade Organization (WTO) 8. WTO yang merupakan organisasi perdagangan Internasional, berfungsi untuk mengatur kebijakan-kebijakan perdagangan antara negara anggota sehingga kebijakan tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi negara lain, dan persaingan yang tidak sehat antar negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang sedang berusaha meningkatkan perekonomian negara menganggap WTO sebagai salah satu wadah yang tepat terutama dalam menjalankan hubungan perdagangan Internasional yang baik dan menguntungkan. Hal ini dibuktikan pada tahun 1995, Indonesia secara resmi menjadi anggota WTO dan telah meratifikasi kesepakatan pendirian WTO berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Estabilishing The Word Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) pada tanggal 02 November Karena Indonesia telah mengikatkan dirinya didalam organisasi tersebut sehingga segala kewajiban yang disepakati dalam wadah WTO, menjadi kewajiban Indonesia untuk melaksanakannya. Khusus untuk kebijakan penanaman modal, maka Indonesia dalam menetapkan kebijakannya harus disesuaikan dengan aturan- 7 Ibid. h Word Trade Organization untuk selanjutnya disingkat dengan WTO 9 Mahmul Siregar, UUPM dan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Dalam Kegiatan Penanaman Modal, (2002) 1 : 3, Jurnal Hukum Bisnis, h. 26.

9 5 aturan dalam Trade Related Investment Measures (TRIMs) 10, atau upaya-upaya investasi yang terkait dengan perdagangan. 11 Indonesia meratifikasi perjanjian TRIMs berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang termuat dalam Lampiran 1A ayat (7) Undang -Undang tersebut. Karena suatu Perjanjian Perdagangan Internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya, ketika suatu negara telah meratifikasinya, maka negara tersebut berkewajiban untuk mengundangkannya kedalam aturan hukum nasionalnya. 12 Di Indonesia, Penanaman Modal diatur dalam Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 13 Perjanjian WTO termasuk perjanjian TRIMs ditandatangani pada tanggal 15 April 1994 di Marakes, Maroko dan berlaku sejak tanggal 1 Januari Namun, Indonesia baru menerapkan aturan-aturan TRIMs dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal karena adanya perlakuan khusus ( special and differential treatment) bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam WTO umumnya dalam bentuk masa transisi yang lebih 10 Trade Related Investment Measures untuk selanjutnya disingkat TRIMs. 11 Dhaniswara K.Harjono, loc.cit. 12 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), h Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, 2007), h Ibid. h. 236.

10 6 lama daripada negara maju dalam mengimplementasikan kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian WTO. 15 Perjanjian TRIMs timbul sebagai reaksi terhadap semakin meningkatnya kekhawatiran para investor asing dan negara-negara maju terhadap semakin banyaknya kebijakan-kebijakan penanaman modal khususnya di negara sedang berkembang yang menganggap upaya-upaya atau kebijakan penanaman modal tersebut telah mempengaruhi atau berdampak terhadap perdagangan internasional. 16 Ketentuan TRIMs hanya memuat 9 (sembilan) pasal ditambah daftar ilustrasi TRIMs. Teks perjanjian TRIMs memuat upaya-upaya penanaman modal yang dilarang, jangka waktu transisi untuk negara-negara anggota untuk menghapus praktik-praktik yang dilarang. Perjanjian tersebut juga mengakomodasi kepentingan negara berkembang. Perjanjian membolehkan negara berkembang untuk tidak menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian untuk sementara waktu. Perjanjian juga memuat suatu ketentuan untuk meninjau kembali muatan TRIMs. 17 TRIMs melarang pengaturan-pengaturan penanaman modal asing yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 18. Pasal 1 TRIMs menyatakan: This agreement applies to gre emeasures related to trade in goods only refeered to in this agreement as TRIMs Ibid. h Ibid. 17 Ibid. h General Agreement on Tariffs and Trade untuk selanjutnya disingkat GATT.

11 7 Menurut Erman Radjagukguk, pasal 1 ini memiliki 2 (dua) alternati f, pertama, bahwa TRIMs berhubungan dengan perdagangan barang dan kedua, TRIMs meliputi peraturan-peraturan yang mempunyai akibat penyimpangan dari prinsip GATT dan merugikan perdagangan barang. Sementara pengertian kedua hal tersebut adalah mengurangi atau menghapus segala kebijakan investasi yang menghambat kegiatan perdagangan dan kebebasan kegiatan investasi dan menghapus aturan investasi yang dapat mengganggu dan menghambat perdagangan barang dagang pada TRIMs yang diidentifikasi. Pasal 2 TRIMS mengatur prinsip National Treatment dan Qualitative Restrictions, yang berbunyi: Without prejudice to other rights and obligations under GATT 1994, no Member shall apply by TRIMs that is inconsistent with the provisions of Article XI of GATT Pasal III GATT berhubungan dengan National Treatment di bidang perpajakan dalam negeri dan Pasal XI berhubungan dengan larangan umum pembatasan kuantitatif. Kedua pasal tersebut berhubungan dengan pemakaian instrumen tersebut untuk melakukan diskriminasi barang-barang impor, melarang perdagangan internasional atau melindungi produksi lokal. Pasal III menyatakan dengan jelas berhubungan dengan barang-barang impor dan barang dalam negeri. Pasal XI GATT mengeliminasi penggunaan pembatasan kuantitatif, bergantung kepada kekecualian yang tercantum dalam pasal tersebut. Bila dibaca dengan 19 H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, cet. II, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1998), h Ibid.

12 8 cermat, Pasal III GATT sepertinya tiba pada kesimpulan bahwa pasal ini ingin melarang atau mengeliminasi peraturan pajak, pungutan, hukum peraturan dan pembatasan kuantitatif yang dimaksudkan untuk merugikan produk luar negeri atau melindungi produk lokal. TRIMs berkaitan kepada Pasal III, sebab peraturanperaturan tersebut di atas menyimpang dan merugikan perdagangan internasional mengenai barang. Inilah sebabnya mengapa TRIMs diletakkan di dalam kerangka hukum dari GATT. Dapat dikatakan bahwa Pasal III GATT melarang negaranegara anggota menyimpang dari National Treatment pada saat menerapkan pajak dalam negeri, pungutan, undang-undang, peraturan-peraturan dan kewajibankewajiban untuk memproduksi, menjual, mengangkut, mendistribusikan, atau memakai produk dalam negeri atau produk impor. Kesesuaian dari Undang-Undang Penanaman Modal dengan TRIMs merupakan suatu kewajiban yang harus dipatuhi oleh tiap negara anggota. Indonesia sebagai negara berkembang kadangkala masih menerapkan kebijakankebijakan perdagangan yang proteksionis, dimana dimaksudkan untuk melindungi pengusaha dalam negeri dari persaingan dengan perusahaan-perusahaan asing di dunia. Secara umum tidak ada ketentuan perdagangan internasional yang melarang pemberlakuan insentif investasi berupa fasilitas penanaman modal. Akan tetapi, masalah dapat timbul apabila pemberian insentif investasi dikaitkan dengan Performance requirement (persyaratan pelaksanaan) yang bertentangan dengan perjanjian TRIMs. 21 Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Penanaman Modal menyebutkan: 21 Website Legalitas; http//; (Terakhir dikunjungi tanggal 15 Des 2010)

13 9 (1) : Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal. (2) : Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanam modal yang : a. Melakukan perluasan usaha b. Melakukan penanaman modal baru (3) : Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria huruf j yaitu Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. Pasal 18 ayat (30) huruf j tersebut mengkaitkan fasilitas penanaman modal yang demikian dapat berdampak pada perdagangan internasional, karena pemberian fasilitas tersebut didasarkan pada syarat yang dapat berakibat pada perbedaan perlakuan antara barang buatan dalam negeri dengan barang impor. 22 Larangan pengaturan kebijakan diskriminasi terkait dengan penggunaan produksi lokal dalam TRIMs, diatur sebagai kegiatan yang dipersyaratkan untuk mendapatkan kemudahan atau insentif. 23 Pasal 4 ayat (2) UUPM menyebutkan : Pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Pasal 12 UUPM menyebutkan : 22 Mahmul Siregar, loc.cit., 23 H.S.Kartadjoemena, loc.cit.,

14 10 (1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. (2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah : a. Produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang; dan b. Usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Pasal 12 UUPM mengandung perlakuan yang berbeda antara penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Hal tersebut dapat saja mendapat perhatian dari investor asing. Dengan adanya permasalahan atau fakta hukum diatas, negara Indonesia tidak sungguh-sungguh atau tidak sepenuh hati menerapkan aturan TRIMs dalam UUPM, hal tersebut yang melatarbelakangi dan yang menjadi alasan ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian dengan judul : TINJAUAN YURIDIS PEMENUHAN TRADE RELATED INVESMENT MEASURES (TRIMs) DALAM UU NO 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL (Studi Terhadap Penanaman Modal Asing). B. PERMASALAHAN 1. Batasan Masalah Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dipersoalkan, maka penulis membatasi penelitian ini pada tinjauan yuridis pemenuhan TRIMs dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Studi Terhadap Penanaman Modal Asing).

15 11 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah : 1. Bagaimana pengaturan penanaman modal asing menurut TRIMs? 2. Bagaimana penerapan aturan TRIMs di dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pengaturan Penanaman Modal Asing menurut TRIMs. b. Untuk mengetahui penerapan aturan TRIMs didalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 2. Kegunaan penelitian a. Sebagai sumbangsih penulis dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan hukum sekaligus sebagai bahan rujukan dalam wahana pengetahuan yang berkaitan dengan hukum. b. Sebagai informasi dasar dan perbandingan bagi penulis berikutnya yang menulis mengenai hukum penanaman modal. c. Penelitian ini dibuat untuk melengkapi persyaratan pengajuan proposal skripsi guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Syari ah dan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim RIAU.

16 12 D. METODE PENELITIAN 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang menggunakan literatur sebagai sumber datanya, sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriftif yaitu suatu penelitian yang menggambarkan bagaiman hukum memandang aturan TRIMs yang diterapkan dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 2. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder 24. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Bahan hukum Primer, yaitu data yang mengikat. Mengikat yang dimaksud adalah karena penelitian ini menyangkut aturan TRIMs dan penanaman modal asing, maka penulis mengkajinya berdasarkan perjanjian TRIMs dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 2. Bahan hukum sekunder adalah data-data yang memberikan penjelasan mengenai data primer berupa perundangan, buku-buku, teori-teori atau pendapat-pendapat para pakar hukum yang berkaitan dengan permasalahan pokok diantaranya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Hukum Investasi di Indonesia, Perdagangan Internasional dalam sistem GATT dan WTO, Hukum Ekonomi Internasional, dll. 24 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2009), ed-11, h.24.

17 13 3. Bahan hukum tertier adalah data-data yang mendukung terhadap data primer dan data sekunder berupa kamus maupun website. 4. Metode Analisa Data Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif-kualitatif yaitu analisa berdasarkan peraturan perundangundangan dan buku-buku yang ada relevansinya dengan pembahasan penelitian ini. 5. Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah: a. Deduktif yaitu analisa dengan berfikir dan bertolak dari pernyataan yang bersifat umum dan menarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus. b. Induktif yaitu analisa dengan berfikir dan bertolak dari pernyataan yang bersifat khusus dan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. c. Deskriftif yaitu analisa dengan menggambarkan secara jelas dan lengkap mengenai pemenuhan TRIMs dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. E. SISTEMATIKA PENELITIAN Untuk mempermudah dalam memahami penelitian ini, penulis memaparkan dalam sistematika sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan yang berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

18 14 BAB II : Tinjauan umum tentang penanaman modal asing terdiri atas pengertian, dasar hukum, bentuk-bentuk penanaman modal asing, bentuk hukum, kedudukan dan daerah berusaha penanaman modal asing. BAB III : Tinjauan umum tentang TRIMs terdiri atas pengertian TRIMs, prinsip-prinsip, tujuan dan arti penting perjanjian TRIMs. BAB IV : Tinjauan Yuridis Pemenuhan TRIMs Dalam UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Terhadap Penanaman Modal Asing) terdiri atas pengaturan penanaman modal asing menurut TRIMs dan penerapan aturan TRIMs dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. BAB V : Kesimpulan dan Saran.

19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENANAMAN MODAL ASING A. Pengertian Penanaman Modal Asing Istilah penanaman modal asing merupakan terjemahan dari bahasa inggris foreign investment. 25 Pengertian penanaman modal asing dapat kita baca dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal. Penanaman modal asing adalah : kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. 26 Kegiatan menanam merupakan kegiatan untuk memasukkan modal atau investasi, dengan tujuan untuk melakukan kegiatan usaha. Kegiatan penanaman modal ini dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan: Modal asing sepenuhnya; dan atau 2. Modal asing berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Modal asing yang berpatungan merupakan modal asing yang bekerja sama dengan penanam modal Indonesia, di mana saham yang dimiliki oleh pihak asing 25 Salim HS, Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta :RajaGrafindo Persada, 2007), h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, op.cit., Pasal 1 butir Salim Hs, Budi Sutrisno, loc.cit., 15

20 16 maksimal 95%, sedangkan pihak penanam modal Indonesia, minimal modalnya sebesar 5%. 28 M.Sornarajah 29 memberikan defenisi tentang penanaman modal asing sebagai berikut: penanaman modal asing merupakan transfer modal, baik yang nyata maupun yang tidak nyata dari suatu negara ke negara lain, tujuannya untuk digunakan di negara tersebut agar menghasilkan keuntungan di bawah pengawasan dari pemilik modal, baik secara total atau sebagian. 30 Dalam defenisi ini, Penanaman Modal Asing (PMA) dikonstruksikan sebagai pemindahan modal dari negara yang satu ke negara lain. Tujuan penggunaannya adalah mendapat keuntungan. 31 B. Dasar Hukum Penanaman Modal Asing 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing jo.undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 28 Ibid. 29 M. Sornarajah adalah Profesor pada Fakultas Hukum Universitas Nasional Singapura dan Universitas Malaya Kuala Lumpur. 30 Salim HS, Budi Sutrisno, op.cit., h Ibid.

21 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 terdiri atas 18 bab dan 40 pasal, mengatur dua macam investasi yaitu investasi asing dan investasi domestik Ketentuan-ketentuan yang mempunyai hubungannya dengan investasi asing terdiri atas: Pasal 1 angka 3, angka 6, dan angka 8 tentang pengertian penanaman modal asing, penanam modal asing dan modal asing; 2. Pasal 3 tentang asas dan tujuan penanaman modal; 3. Pasal 4 tentang kebijakan dasar penanaman modal; 4. Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) tentang bentuk badan usaha; 5. Pasal 6 tentang perlakuan terhadap penanaman modal; 6. Pasal 7 tentang pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilan hak; 7. Pasal 8 tentang kebebasan mengalihkan aset; 8. Pasal 9 tentang tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam mmodal; 9. Pasal 10 tentang penggunaa tenaga kerja, khususnya tenaga kerja asing; 10. Pasal 11 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial; 11. Pasal 12 tentang bidang usaha; 12. Pasal 15 sampai dengan pasal 17 tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal; 13. Pasal 18 sampai dengan pasl 24 tentang fasilitas penanaman modal; 14. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3) tentang penyelesaian sengketa; dan 32 Ibid.

22 Pasal 33 sampai dengan pasal 34 tentang sanksi. C. Bentuk-Bentuk Penanaman Modal Asing Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 pasal 5 ayat (2) menyatakan: penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 33 Ayat (3) menyatakan: Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan: a. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas; b. Membeli saham; dan c. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 34 Dalam pasal 5 ayat (2) tersebut dinyatakan bahwa PMA harus mempunyai badan usaha yang berbadan hukum, hal ini dikarenakan menyangkut dengan eksistensi perseroan terbatas (PT) 35 sebagai subyek hukum yang mandiri. Artinya PT dapat menggugat dan digugat di pengadilan. Berkaitan dengan pranata hukum PT merupakan badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai ciri tersendiri jika dibandingkan dengan badan usaha lainnya yakni PT mempunyai kekayaan sendiri 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, op.cit., Pasal 5 ayat(2). 34 Ibid. 35 Perseroan Terbatas untuk selanjutnya disingkat PT.

23 19 terlepas dari pemilik (pemegang saham); berhak menuntut dan dituntut di pengadilan, dan didirikan berdasarkan perjanjian. 36 Dari penjelasan diatas, kiranya dapat dikemukakan disini, apa pun bentuk usaha yang dipilih oleh para calon investor, kegiatan usahanya dilakukan di wilayah Republik Indonesia. Hal ini membawa konsekuensi hukum, segala aktivitas yang dilakukan oleh investor harus mengacu kepada norma-norma hukum yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Dalam hal ini dirasakan betapa pentingnya harmonisasi antara satu peraturan dengan peraturan lainnya agar tidak saling berbenturan. Dilihat dari sudut pandang ini adalah beralasan, jika berbagai pihak mengharapkan undang-undang penanaman modal dijadikan sebagai ketentuan hukum yang khusus (lex specialis) dalam bidang investasi. Namun terlepas dari ini semua, bila dicermati secara seksama apa yang dijabarkan dalam ketentuan UUPM, tampak bahwa bagi penanaman modal yang menggunakan jalur Penanaman Modal Asing, UUPM dengan jelas mengemukakan harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Untuk mendirikan badan usaha berbentuk PT menurut UU No. 40 Tahun 2007, harus memenuhi syarat tertentu. Tepatnya dalam pasal 7 UUPT dijelaskan sebagai berikut: (1): perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. 37 (2): perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan 36 Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, (Bandung:Nuansa Aulia, 2008) 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Pasal 7 ayat (1).

24 20 hukum perseroan. Untuk mendapatkan pengesahan status PT sebagai badan hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, pendiri harus mengajukan permohonan. Dalam permohonan tersebut, sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan tempat kedudukan perseroan, b. jangka waktu berdirinya perseroan, c. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor, e. alamat lengkap perseroan. D. Bentuk Hukum, Kedudukan Dan Daerah Berusaha Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang -Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan secara jelas tentang bentuk hukum perusahaan penanaman modal asing. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas. Secara lengkap bunyi Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal: penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 38 Unsur yang melekat dalam ketentuan ini meliputi: 1. Bentuk hukum dari perusahaan penanaman modal asing adalah perusahaan terbatas (PT); 2. Didasarkan pada hukum Indonesia; 3. Berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia. 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, op.cit., Pasal 5ayat (2).

25 21 Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun Pengertian perseroan terbatas diatur di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah: badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. 39 Ciri-ciri suatu perseroan terbatas disebut sebagai badan hukum, yaitu: 1. Didirikan berdasarkan perjanjian; 2. Melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham-saham; 3. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. Perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan perjanjian didepan notaris tidak cukup untuk dapat melakukan perbuatan hukum ke luar, tetapi perseroan itu harus disahkan akte pendiriannya oleh Menteri Hukum dan HAM RI. 40 Salah satu syarat dari badan hukum asing untuk menjadi perseroan terbatas adalah badan hukum asing itu harus melakukan kerja sama dengan badan hukum domestik. Kerja sama antara badan hukum asing dengan badan hukum 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, op.cit., Pasal Sentosa Sembiring, op.cit., h. 135.

26 22 domestik dituangkan dalam kontrak kerja sama. 41 Dalam kontrak ini diatur tentang pembagian saham. Pihak asing dapat memiliki saham maksimal 95% dan domestik, minimal 5%. Dari kerja sama ini akan membentuk badan hukum baru yang merupakan perpaduan antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik Salim HS, Budi Sutrisno, op.cit., h Ibid. 42 Ibid.

27 BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TRIMs A. Pengertian TRIMs TRIMs adalah perjanjian tentang aturan-aturan investasi yang menyangkut atau berkaitan dengan perdagangan. 43 Kesepakatan TRIMs dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapus kegiatan perdagangan dan meningkatkan kebebasan kegiatan investasi antar negara. Tujuan utama TRIMs adalah untuk menyatukan kebijakan dari negara-negara anggota dalam hubungannya dengan investasi asing dan mencegah proteksi perdagangan sesuai dengan prinsip-prinsip GATT. 44 Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi dasar perundingan yang mengarahkan negara-negara penerima modal mengatur investasi asing di negara tersebut. TRIMs melarang pengaturan-pengaturan penanaman modal asing yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GATT GATT merupakan suatu kesepakatan internasional yang dibentuk pada tahun 1994 yang memuat ketentuan umum perjanjian multilateral yang mengatur dasar hubungan antar negara dalam melakukan perdagangan internasional serta bagaimana suatu negara mengatur kebijakan perdagangan dalam negeri yang tidak bertentangan dengan kesepakatan dalam kesepakatan GATT tersebut. WTO atau organisasi perdagangan dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur 43 Riyanto Astim, World Trade Organization, (Bandung: YAPEMBO, 2003), Cet. 1, h Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional, (Aspek Hukum dari WTO), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), Cet. 1, hlm H.S. Kartadjoemena, loc.cit., 23

28 24 melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negaranegara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan di negaranya masing-masing. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun Oleh sebab itu, apapun alasannya, cepat atau lambat, kebijakan-kebijakan investasi di Indonesia harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam Konvensi Organisasi Perdagangan Dunia tersebut. B. Prinsip-Prinsip TRIMs Berikut adalah beberapa prinsip TRIMs dalam kerangka WTO dan GATT, yaitu sebagai berikut : 1. Prinsip National Treatment Prinsip National Treatment dalam TRIMs adalah bahwa tidak ada tindakan diskriminasi bagi penanam modal di negara-negara anggota. Semua negara pengekspor modal memandang sangat penting aturan dasar perlakuan nasional ini. 47 Prinsip ini mengharuskan negara tuan rumah untuk tidak membedakan perlakuan antara penanam modal asing dengan penanam modal dalam 46 Mahmul Siregar, loc.cit., 47 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, op.cit., h. 168.

29 25 negeri di negara tuan rumah tersebut. 48 Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor kedalam suatu negara harus diberlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutanpungutan lainnya dan berlaku pula terhadap perundang-undangan pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaru hi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produkproduk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juuga memberikan perlindungan terhadap proteksialisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif. 49 Di lain pihak sebenarnya beberapa negara sedang berkembang melihat dan menyadari adanya perbedaan-perbedaan cukup besar dalam tingkat modal dan teknologi antara perusahaan nasionalnya dengan investor asing. Karena itulah negara-negara sedang berkembang berupaya membatasi ruang lingkup aturan dasar perlakuan nasional ini. Jalan tengah yang acapkali ditempuh dengan adanya dua kepentingan ini adalah biasanya negara-negara tersebut menetapkan bidang-bidang ekonomi tertentu yang tertutup dan bidang-bidang yang terbuka bagi modal asing. Hakim Mosler, hakim Mahkamah Internasional menjelaskan unsurunsur penting yang terkandung dalam prinsip National Treatment adalah: a) Adanya kepentingan dari suatu negara; 48 Dhaniswara K. Harjono, op.cit., h Ibid.

30 26 b) Kepentingan tersebut terletak di wilayah dan termasuk yuridiksi suatu negara; c) Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingannya sendiri maupun terhadap kepentingan negara lain yang berada di wilayahnya; d) Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi negara tuan rumah sendiri dan merugikan kepentingan negara lain. Berkaitan dengan mekanisme perdagangan bebas multilateral, prinsip ini melarang negara-negara anggota GATT/WTO menerapkan kebijakan yang menyebabkan diskriminasi perlakuan antara produk impor dengan produk buatan sendiri. Dengan kata lain negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk tidak memperlakukan produk-produk impor secara berbeda dengan kebijakan terhadap produk-produk impor yang sama buatan dalam negeri. Ruang lingkup berlakunya prinsip ini juga berlaku terhadap semua diskriminasi yang muncul dari tindakan-tindakan perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini berlaku pula terhadap perundangundangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan hukum yang dapat mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionis sebagai akibat upayaupaya atau kebijakan administratif atau legislatif.

31 27 Dengan demikian bahwa prinsip ini menghindari diterapkannya peraturan-peraturan yang menerapkan perlakuan diskriminatif yang ditujukan sebagai alat untuk memberikan proteksi terhadap produk-produk buatan dalam negeri. Tindakan yang demikian ini menyebabkan terganggunya kondisi persaingan antara barang-barang buatan dalam negeri dengan barang impor dan mengarah kepada pengurangan terhadap kesejahteraan ekonomi. Dengan persaingan yang adil antara produk impor dan produk dalam negeri, maka terjadi perbaikan kinerja pada produksi dalam negeri untuk lebih efisien sehingga dapat bersaing dengan produk impor, sedangkan bagi konsumen hal ini akan lebih menguntungkan karena memungkinkan konsumen memperoleh barang yang lebih menguntungkan karena memungkinkan konsumen memperoleh barang yang lebih baik dan harga yang lebih wajar. Dalam perspektif lain disebutkan bahwa justru tindakan yang demikian dapat menyebabkan kurangnya minat investor untuk menanamkan modalnya, karena berkurangnya keleluasan investor untuk mengambil keputusan bisnis yang lebih bebas. 2. Prinsip Most Favoured Nation (MFN) Prinsip ini menuntut perlakuan yang sama dari negara tuan rumah terhadap penanam modal dari negara asing yang satu dengan penanam modal dari negara asing lainnya yang melakukan aktifitas penanaman modal di negara dimana penanaman modal tersebut dilakukan Dhaniswara K. Harjono., op. cit., h. 110.

32 28 Menurut prinsip ini, bahwa suatu kebijakan penanaman modal dan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif. Prinsip ini mewajibkan semua negara anggota WTO untuk memberikan negaranegara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dilakukan segera dan tanpa syarat. Oleh karena itu sebuah negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. 51 Pelaksanaan prinsip MFN dapat dikecualikan berdasarkan pada aturan dalam GATT, khususnya dalam menyangkut kepentingan negara sedang berkembang. Pengecualian atau penanggalan ( waiver) terhadap prinsip MFN dalam GATT berdasarkan Pasal XXIV. Pengecualian tersebut adalah sebagai berikut : a. Anggota-anggota GATT yang membentuk Free Trade Area (perdagangan bebas) yang memenuhi persyaratan Pasal XXIV tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya. Negara-negara yang membentuk pengaturan preferensial regional dan bilateral yang tidak memenuhi persyaratan Pasal XXIV, dapat membentuk pengecualian dengan menggunakan alasan penanggalan (waiver) terhadap ketentuan 51 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 109.

33 29 GATT. Penanggalan ini dapat dilakukan atau diminta oleh suatu negara anggota, memohon pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT ketika ekonominya atau keadaan perdagangannya dalam keadaan sulit. b. Pembentukan Custom Union (negara tetangga atau sesama negara anggota persatuan pabean), yang merupakan kesepakatan antara beberapa negara dengan batas-baats wilayah tertentu untuk memberikan keistimewaan berupa pembebasan bea masuk terhadap barang-barang impor dari negara-negara yang bergabung. c. Adanya perjanjian yang dikemudian hari akan berakibat pada adanya pembentukan Custom Union maupun Free Trade Area. d. Pemberian prefentif tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang beruntung melalui sitem prefensi umum. e. Negara memperoleh keuntungan dikarenakan adanya jarak lalu lintas. 52 MFN merupakan prinsip dasar WTO yang mengatur tentang perlakuan adil dalam perdagangan internasional. Rasionalisme dari pengaturan tentang MFN didalam GATT 1994, adalah bila seluruh negara anggota menerapkan hal yang sama didalam perdagangan dalam jangka 52 Ibid. h. 110.

34 30 panjang maka hal tersebut akan menciptakan efisiensi dari sumber daya yang diperlukan dalam perdagangan Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif (Quantitatif Restrictions) Prinsip ini melarang pembatasan kuantitatif terhadap ekspor dan impor dalam bentuk apapun, seperti penetapan kuota impor dan ekspor dan pembatasan penggunaan lisensi impor atau ekspor. Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan. 54 Paragraf 2 ilustrasi dari perjanjian TRIMs dalam pelarangan pembatasan kuantitatif hanya mengacu pada Pasal XI (1) GATT 1994, yang melarang tiga bentuk kegiatan yaitu politik keseimbangan perdagangan (trade balancing policies), pembatasan impor (foreign exchange restriction), dan pembatasan ekspor (exsport restriction). Namun demikian TRIMs juga memberikan pengecualian dalam penerapan ketentuan perlakuan yang sama bagi setiap penanam modal dan adanya larangan pembatasan kuantitatif, yaitu dalam hal: Pertama, untuk mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor; Kedua, untuk melindungi pasar dalam negeri dan terancamnya produksi dalam negeri; Ketiga, untuk melindungi neraca pembayaran. 53 Ibid. 54 Ibid. h. 115.

35 31 Bagi kepentingan negara berkembang, GATT menyelenggarakan konsultasi secara regular yang diadakan dengan negara yang mengajukan pembatasan impor untuk melindungi neraca pembayarannya. 4. Prinsip Perlindungan Melalui Tarif Pada dasarnya GATT membolehkan tindakan perlindungan terhadap industri lokal melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya perdagangan lainnya. Negara-negara anggota pada umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkkutan. Namun, meskipun diperbolehkan atau pengenaan tarif tidak boleh diskriminatif Prinsip Resiprositas Prinsip ini merupakan fundamental dalam GATT yang berlaku dalam perundingan-perundingan melalui tarif yang didasarkan atas timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak. 6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Berkembang Sebagian negara-negara anggota GATT adalah negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya. Keputusan akhir dalam Putaran Tokyo 1979 menyatakan pemberian yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dunia. Dengan adanya 55 Ibid. h. 114.

36 32 keputusan tersebut terdapat pengakuan bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku yang permanen dalam sistem perdagangan dunia. 56 C. Tujuan TRIMs TRIMs adalah perjanjian tentang aturan-aturan investasi yang menyangkut atau berkaitan dengan perdagangan. 57 Kesepakatan TRIMs dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapus kegiatan perdagangan dan meningkatkan kebebasan kegiatan investasi antar negara. Tujuan utama TRIMs adalah untuk menyatukan kebijakan dari negara-negara anggota dalam hubungannya dengan investasi asing dan mencegah proteksi perdagangan sesuai dengan prinsip-prinsip GATT. Tujuan di aturnya masalah penanaman modal di dalam WTO disebutkan dalam bagian konsiderans dari TRIMs yang meliputi: 58 a) Kebijakan penanaman modal yang diterapkan oleh negara anggota WTO yang dapat menimbulkan distorsi dalam perdagangan; b) Penyesuaian dengan pengaturan tentang pembatasan perdagangan yang terdapat didalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994; c) Meningkatkan kebijakan penanaman modal asing yang mendukung perdagangan bebas; d) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari negara anggota. Secara umum TRIMs, melarang kebijakan penanaman modal yang dilakukan tidak sesuai dengan GATT 1994 khususnya yang di atur didalam Pasal III dan XI GATT Dalam lampiran TRIMs terdapat daftar yang memuat 56 Ibid. h Munir Fuady, loc.cit. 58 Ibid.

37 33 kebijakan penanaman modal yang dilarang dilakukan yang antara lain mencakup yang memaksakan agar penanam modal asing menggunakan barang lokal dalam persentase tertentu, atau memaksakan untuk mengekspor sebagian barang tertentu dari barang produksinya. 59 D. Arti Penting Perjanjian TRIMS Dimasukkannya penanaman modal dalam perjanjian WTO merupakan hasil yang mendasar belum pernah ada aturan atau perjanjian yang sebelumnya memuat penanaman modal dikaitkan dengan perdagangan. Perjanjian penanaman modal (TRIMs) juga merupakan suatu aturan baru yang mengikat mayoritas negara di dunia. 60 Berlakunya perjanjian ini untuk pertama kalinya memperkuat asumsi dalam kenyataan bahwa terdapat hubungan yang erat antara perdagangan dan penanaman modal. Berhasilnya perundingan mengenai penanaman modal dalam Putaran Uruguay ini telah menciptakan suatu lembaga baru, yaitu WTO dengan badan khususnya Committee on TRIMs. Badan khusus ini bertugas mengawasi dan menjamin liberalisasi penanaman modal asing secara langsung. Hal ini merupakan sumbangan penting bagi perkembangan hukum internasional di bidang penanaman modal. Seperti diketahui sebelum tahun 1995 belum ada lembaga internasional yang menangani secara khusus masalah TRIMs. Selain itu pula, peran WTO mengenai masalah ini memiliki prosedur penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa-sengketa diantara negara anggota apabila salah 59 Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, Sekilas WTO, Ed.4, (Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, 2006), h Huala Adolf, op.cit.,

38 34 satu anggotanya melanggar perjanjian TRIMs atau komitmen di bidang penanaman modalnya. 61 Sebelumnya terdapat argumen mengenai tidak adanya lembaga internasional yang menangani masalah penanaman modal asing secara langsung. Ada yang berpendapat, WTO bukanlah lembaga yang tepat menangani masalah penanaman modal multilateral. Alasannya adalah karena terdapatnya pandangan yang berbeda mengenai muatan standar-standar subtantif yang akan diatur dalam Perjanjian TRIMs. Argumentasi tersebut ada benarnya, tetapi argumennya lemah. Eksistensi lembaga atau forum akan sangat berperan dalam menangani masalahmasalah perbedaan pendapat dan aturan standar subtantif di antara negara anggotanya. Oleh karena itu pembentukan dan keberadaan WTO tidak saja akan menangani masalah aturan penanaman modal tetapi juga dalam jangka panjang akan memastikan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati akan dihormati dan ditegakkan. Perjanjian TRIMs memberikan sumbangan penting terhadap pembangunan hukum internasional di masa depan di bidang penanaman modal. Karena itu perjanjian TRIMs, meskipun aturannya singkat dan sederhana, namun perjanjian tersebut sebenarnya membuka jalan lebih lanjut mengenai pembahasan aturan subtantif yang lebih komprehensif di masa depan. 62 Perjanjian TRIMs membantu negara anggotanya lebih transparansi dalam kebijakan hukum penanaman modalnya. Hal ini akan membentuk suatu kondisi 61 Ibid. 62 Ibid. h.125.

39 35 yang lebih terbuka dan mempunyai kepastian hukum bagi investor asing untuk melakukan usahanya di negara anggota WTO lainnya. 63 Perjanjian TRIMs juga memberi ketentuan yang berimbang di antara kepentingan negara maju dan sedang berkembang (dalam hal kebijakan penanaman modalnya). Perjanjian ini dipandang dari sudut kepentingan negara sedang berkembang memberikan keleluasan kepada negara yang sedang berkembang untuk melaksanakan perjanjian. Perjanjian mensyaratkan 5 (lima) tahun dan 7 (tujuh) tahun bagi negara sedang berkembang dan negara miskin untuk dapat melaksanakan perjanjian secara penuh. Perjanjian yang memberikan jangka waktu transisi ini menunjukkan bahwa WTO mempertimbangkan kedudukan negara berkembang dan miskin di dalam pelaksanaan perjanjian TRIMs. Dimasukkannya prosedur penyelesaian sengketa dalam perjanjian TRIMs merupakan suatu perkembangan baru di dalam hukum perdagangan internasional. Hal ini merupakan perkembangan penting, karena sepanjang menyangkut penanaman modal, masyarakat internasional selama ini menggunakan cara penyelesaian sengketa secara tradisional, antara lain arbitrase nasional dan internasional. Pada prinsipnya perjanjian TRIMs melarang performance requirement (persyaratan pelaksanaan) yang tidak sesuai dengan Pasal III GATT tentang Perlakuan Nasional dan Pasal XI GATT tentang Larangan Pembatasan Kuantitatif dalam peraturan penanaman modal. Perjanjian TRIMs tidak mengatur secara 63 Ibid. h.126.

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar guna melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar

BAB I PENDAHULUAN. besar guna melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang besar guna melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar tersebut diperlukan guna

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 PENANAMAN MODAL TERKAIT PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (THE TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES-TRIMs) A. Agreement on Trade

Lebih terperinci

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral

Lebih terperinci

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) BAHAN KULIAH PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 PRINSIP-PRINSIP

Lebih terperinci

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947 BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 6 GENERAL AGREEMENT on TARIFF and TRADE (GATT) A. Sejarah GATT Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA. 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI)

BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA. 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA A. Dasar Hukum dan Perkembangan 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) Adapun dasar hukum dari kebijakan Daftar Negatif Investasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION Oleh : A.A. Istri Indraswari I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Protection

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai Negara berkembang tentu sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai Negara berkembang tentu sedang giat-giatnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara berkembang tentu sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan demi menciptakan masyarakat yang makmur, yang dimana akan diwujudkan

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DASAR PEMERINTAH TERHADAP INVESTOR ASING DAN DOMESTIK BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

BAB II KEBIJAKAN DASAR PEMERINTAH TERHADAP INVESTOR ASING DAN DOMESTIK BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL BAB II KEBIJAKAN DASAR PEMERINTAH TERHADAP INVESTOR ASING DAN DOMESTIK BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL A. Kebutuhan Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing Indonesia

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan Nasional, perlu melakukan perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang ekonomi yang mengarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang saling mempengaruhi atau memperkuat satu dengan yang lainnya. Kedua hal tersebut pun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

ANALISIS PEMBERIAN INSENTIF KEPADA INVESTOR ASING MENURUT UU NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

ANALISIS PEMBERIAN INSENTIF KEPADA INVESTOR ASING MENURUT UU NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL ANALISIS PEMBERIAN INSENTIF KEPADA INVESTOR ASING MENURUT UU NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL Oleh : Any Prima Andari I Wayan Wiryawan Desak Putu Dewi Kasih Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di negara negara maju bidang hak kekayaan intelektual ini sudah mencapai suatu titik dimana masyarakat sangat menghargai dan menyadari pentingnya peranan hak kekayaan

Lebih terperinci

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT A. Pengertian Perseroan Terbatas Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan berasal dari kata Sero", yang mempunyai arti Saham.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh orang pribadi ( natural person) ataupun badan hukum (juridical

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh orang pribadi ( natural person) ataupun badan hukum (juridical 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang sedang membangun. Untuk membangun diperlukan adanya modal atau investasi yang besar. Secara umum investasi atau penanaman modal

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 BAHAN KULIAH WORLD TRADE ORGANIZATION Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 SEJARAH TERBENTUKNYA GATT (1) Kondisi perekonomian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mekanisme WTO (World Trade Organizations) dengan bentuk salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dan mekanisme WTO (World Trade Organizations) dengan bentuk salah satu 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perdagangan internasional dipengaruhi oleh sistem, ketentuan dan mekanisme WTO (World Trade Organizations) dengan bentuk salah satu aturan main adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG FASILITASI PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KONSEP PENANAMAN MODAL MAKALAH. Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis. Dosen Pengampu: Ahmad Munir, SH., MH.

KONSEP PENANAMAN MODAL MAKALAH. Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis. Dosen Pengampu: Ahmad Munir, SH., MH. KONSEP PENANAMAN MODAL MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis Dosen Pengampu: Ahmad Munir, SH., MH. Oleh: Eka Yatimatul Fitriyah (15053005) M. Bagus Bahtian (15053016)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penanaman modal juga harus sejalan dengan perubahan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penanaman modal juga harus sejalan dengan perubahan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan penanaman modal merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Lebih terperinci

HAK ISTIMEWA BAGI INVESTOR ASING DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

HAK ISTIMEWA BAGI INVESTOR ASING DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL HAK ISTIMEWA BAGI INVESTOR ASING DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL Oleh : Melya Sarah Yoseva I Ketut Westra A.A Sri Indrawati Hukum Bisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan ekonomi suatu negara saat ini tidak bisa terlepas dari negara lain. Perdagangan antar negara menjadi hal yang perlu dilakukan suatu negara. Disamping

Lebih terperinci

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI BAHAN KULIAH PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 HUBUNGAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha

I. PENDAHULUAN. yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha ke arah tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adanya karena dilengkapi oleh ketentuan-ketentuan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adanya karena dilengkapi oleh ketentuan-ketentuan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi Ekonomi dan liberalisasi perdagangan semakin berkembang adanya karena dilengkapi oleh ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang memberikan

Lebih terperinci

RELEVANSI KESEPAKATAN PAKET BALI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

RELEVANSI KESEPAKATAN PAKET BALI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL RELEVANSI KESEPAKATAN PAKET BALI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL Oleh I Putu Ananta Wijaya A.A Sagung Wiratni Darmadi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI)

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI) HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI) 1. Pembahasan HAKI Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan hak kekayaan intelektual yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM PAKISTAN TENTANG KEMITRAAN EKONOMI

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan hukum hak cipta terhadap produk digital. Hak cipta terhadap

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan hukum hak cipta terhadap produk digital. Hak cipta terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) adalah sistem hukum yang melekat pada tata kehidupan modern terutama pada perkembangan hukum hak cipta terhadap

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Tidak dapat kita pungkiri bahwa merek merupakan suatu aset yang sangat berharga dalam dunia perdagangan sehingga memegang peranan yang sangat penting. Oleh

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986 dimana saat itu WTO masih berbentuk GATT ( General Agreement On Tariffs and Trade ). Dengan tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sejalan dengan retifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan memperoleh dan meningkatkan kesejahteraan. 1 Mengingat prospek

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan memperoleh dan meningkatkan kesejahteraan. 1 Mengingat prospek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasar modal merupakan salah satu sumber pembiayaan perusahaan secara jangka panjang. Keberadaan institusi ini bukan hanya sebagai wahana sumber pembiayaan saja, tetapi

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN SECOND PROTOCOL TO AMEND THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION AMONG THE GOVERNMENTS OF THE MEMBER COUNTRIES OF

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM BAGI PENANAM MODAL ASING YANG MELAKUKAN PELANGGARAN KONTRAK DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA

AKIBAT HUKUM BAGI PENANAM MODAL ASING YANG MELAKUKAN PELANGGARAN KONTRAK DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA AKIBAT HUKUM BAGI PENANAM MODAL ASING YANG MELAKUKAN PELANGGARAN KONTRAK DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA Oleh Komang Hendy Prabawa Marwanto Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kepercayaan terhadap merek tersebut. untuk memperoleh/meraih pasar yang lebih besar. Berdasarkan hal tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. dan kepercayaan terhadap merek tersebut. untuk memperoleh/meraih pasar yang lebih besar. Berdasarkan hal tersebut, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika jaman perdagangan menjadi semakin luas dan persaingan usaha menjadi semakin kuat, merek mempunyai arti yang sangat penting, baik bagi produsen maupun

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia usaha yang memiliki persaingan usaha yang sangat ketat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia usaha yang memiliki persaingan usaha yang sangat ketat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia usaha yang memiliki persaingan usaha yang sangat ketat menuntut para pelaku ekonomi untuk mempertahankan usahanya. Pelaku usaha yang mengikuti trend

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH DAN PENANAM MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perseroan Terbatas (PT) sebelumnya diatur

Lebih terperinci

kata kunci: Hak Kekayaan Intelektual ; Merek

kata kunci: Hak Kekayaan Intelektual ; Merek PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG MEREK DAGANG ASING YANG ADA DI INDONESIA 1 Oleh : Maria Oktoviani Jayapurwanty 2 ABSTRAK Benda dalam arti kekayaan atau hak milik meliputi benda berwujud dan benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir kondisi ekonomi seperti globalisasi ekonomi, perdagangan barang selain produk seperti perdagangan jasa secara signifikan meningkat dengan pesat,

Lebih terperinci

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan bagi kekayaan intelektual merupakan langkah maju bagi Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu implementasi era pasar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan Kekayaan Intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perusahaan adalah suatu pengertian ekonomi yang banyak dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah memberikan penafsiran maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian, mengingat perjanjian sering digunakan oleh individu dalam aspek kehidupan. Salah satu

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

ANALISIS PENGATURAN KRITERIA FASILITAS PENANAMAN MODAL DIKAITKAN DENGAN PRINSIP MOST FAVORED NATION (MFN)

ANALISIS PENGATURAN KRITERIA FASILITAS PENANAMAN MODAL DIKAITKAN DENGAN PRINSIP MOST FAVORED NATION (MFN) ANALISIS PENGATURAN KRITERIA FASILITAS PENANAMAN MODAL DIKAITKAN DENGAN PRINSIP MOST FAVORED NATION (MFN) oleh : Ni Made Wulan Kesuma Wardani Kadek Sarna Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

PRINSIP WTO IKANINGTYAS

PRINSIP WTO IKANINGTYAS PRINSIP WTO IKANINGTYAS PERLAKUAN YANG SAMA UNTUK SEMUA ANGGOTA (MOST FAVOURED NATIONS TREATMENT-MFN). Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang dibuat atau ditandatangani

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 83, 2004 () KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA PERLINDUNGAN MEREK BAGI PEMEGANG HAK MEREK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK YAYUK SUGIARTI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep Yayuksugiarti66@yahoo.co.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk menyimpan dan meminjam uang. Namun, pada masa sekarang pengertian bank telah berkembang sedemikian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN PRINSIP NON DISKRIMINASI PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

PENGARUH PENERAPAN PRINSIP NON DISKRIMINASI PENANAMAN MODAL DI INDONESIA PENGARUH PENERAPAN PRINSIP NON DISKRIMINASI PENANAMAN MODAL DI INDONESIA Oleh: I Made Yoga Dharma Susila Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata. tahun jumlah masyarakat semakin bertambah banyak.

BAB I PENDAHULUAN. ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata. tahun jumlah masyarakat semakin bertambah banyak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Listrik memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Dapat dikatakan bahwa listrik telah menjadi sumber energi utama dalam setiap kegiatan baik di rumah tangga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

PENERAPAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI PELAKU USAHA PERDAGANGAN LUAR NEGERI

PENERAPAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI PELAKU USAHA PERDAGANGAN LUAR NEGERI PENERAPAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI PELAKU USAHA PERDAGANGAN LUAR NEGERI Oleh Ida Ayu Reina Dwinanda I Ketut Wirawan Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This article

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dunia perdagangan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang pelaksanaannya dititikberatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undangundang tentang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID Oleh : Aldo Rico Geraldi Ni Luh Gede Astariyani Dosen Bagian Hukum Tata Negara ABSTRACT This writing aims to explain the procedure

Lebih terperinci

BAB II. A. Perusahaan. Ada beberapa defenisi perusahaan menurut para ahli hukum, antara lain:

BAB II. A. Perusahaan. Ada beberapa defenisi perusahaan menurut para ahli hukum, antara lain: 31 BAB II HUBUNGAN HUKUM ANTARA ANAK PERUSAHAAN DENGAN INDUK PERUSAHAAN DAN SYARAT-SYARAT SERTA PROSES SUATU BADAN USAHA DISEBUT SEBAGAI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING A. Perusahaan Ada beberapa defenisi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar

BAB I PENDAHULUAN. modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebijakan dalam sektor ekonomi adalah pengembangan pasar modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar modal, merupakan suatu

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci