LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA PUBLIC PARTICIPATORY DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN MELALUI PENGADILAN TIM PENGUSUSUL Kadek Sarna, SH.,M.Kn I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA i

2 ii

3 RINGKASAN Membicarakan hubungan manusia dengan lingkungannya secara kodrati memiliki pertalian yang sangat erat. Manusia dengan komunitasnya selain diberikan hak untuk memanfaatkan, juga mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan, melestarikan dan menegakkan hak lingkungan. Hak ligkungan (environmental right) adalah salah satu hak yang perlu untuk kita perjuangkan mengingat lingkungan tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena sifatnya yang in-animatif (tidak dapat berbicara) sehingga diperlukan pihak lain yang memperjuangkan, jadi advokasi manusia terhadap lingkungan merupakan satu kesatuan kehidupan sebagai biotic community. Peradilan perdata dilakukan dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan seperti HIR (Het Herzeine Indonesish Reglement), Rbg (Rechtsreglemeent Buitengewesten), Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering), Undang-undang No. 20 Tahun 1947, Undangundang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada mulanya, pengajuan tuntutan hak yang dikenal hanya pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa, dimana pada diri pihak yang mengajukan tuntutan hak (gugatan) mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil sebagai akibatnya. Namun demikian, dalam perkembangannya, pengajuan tuntutan hak dapat diajukan melalui mekanisme class action, legal standing dan citizen lawsuit. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas beberapa permasalahan mengenai Bagaimana Peranan Masyarakat (Public Participatory) dalam penyelesaian sengketa lingkungan dan Bagaiamana Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan. Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di dalam tujuan penyusunan bahan analisis, maka dalam penulisan penelitian ini menggunakan metode pendekatan baik secara yuridis normatif. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah sejumlah instrument penyelesaian sengketa. Selanjutnya, Pendekatan sejarah (historical approach) diterapkan untuk mengetahui sejarah dan perkembangan penyelesaian sengketa. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan analisis (analytical or conceptual approach). Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi sejumlah instrumen nasional dan internasional, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang No. 20 Tahun 1947, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem kartu (card system). Untuk memenuhi hubungan hak dan kewajiban antara manusia dan lingkungan, manusia mimiliki peranan dalam pembelaan (Advokasi) lingkungan dengan salah satu cara proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Penyelesaian perkara perdata di pengadilan merupakan cara mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil yang dilanggar. Penyelesaian sengketa lingkungan di pengadilan dapat dilakukan dengan Pengajuan Gugatan Biasa/ Hak Gugat Orang Perorangan (Individual), Gugatan kelompok (Class Action) dan Pengajuan Gugatan oleh Lembaga Swadaya Mayarakat (Legal Standing). iii

4 PRAKATA Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang HyangWidhiWaca/ Tuhan Yang Maha Esa Laporan Kegiatan Penelitian dengan judul Public participatory dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan dapat terselesaikan pada waktunya. Kegiatan Penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar berkat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung, maupun tidak langsung dan secara moril maupun materiil. Untuk itu dalam kesempatan ini menyampaikan banyak terima kasih dengan segala hormat kepada: 1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana; 2. Nyoman A. Martana, SH., MH. Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana. 3. Dr. I Ketut Tjukup, SH., MH, Selaku Dosen Pembimbing dalam peneltian ini. 4. Para informan dan responden yang telah memberi keterangan ataupun penjelasan sehingga penelitian ini dapat diselesaiakan; 5. Pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini sampai dengan penyusunan laporan. Semoga Laporan Penelitian ini dapat berguna sebagai pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum pidana, sebagai sarana mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Akhir kata demikianlah Laporan Penelitian ini dapat terselesaikan dengan segenap kekurangannya. Denpasar, Oktober 2015 Ketua Pelaksana iv

5 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii RINGKASAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... v BAB 1. PENDAHULUAN... 1 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 6 BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN v

6 1.1.Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN Masyarakat Hindu di Bali memegang teguh ajaran Tri Hita Karana, selalu menjadi falsafah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali. Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yang berarti tiga, Hita yang berarti kebahagiaan dan Karana yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran tri hita karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi : 1. Hubungan manusia dengan tuhan 2. Hubungan manusia dengan sesama manusia, dan 3. Hubungan manusia dengan alam sekitar (lingkungan). Membicarakan hubungan manusia dengan lingkungannya secara kodrati memiliki pertalian yang sangat erat. Manusia dengan komunitasnya selain diberikan hak untuk memanfaatkan, juga mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan, melestarikan dan menegakkan hak lingkungan. Hak ligkungan (environmental right) adalah salah satu hak yang perlu untuk kita perjuangkan mengingat lingkungan tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena sifatnya yang in-animatif (tidak dapat berbicara) sehingga diperlukan pihak lain yang memperjuangkan, jadi advokasi manusia terhadap lingkungan merupakan satu kesatuan kehidupan sebagai biotic community. Dalam falsafah Hindu Bali manusia sebagai mikrikosmos dan alam merupakan bagian dari makrokosmos. Keberadaan keduanya merupakan satu kesatuan. Manusia memiliki tugas untuk memelihara dan memuliakan alam lingkungan yang kesemuanya bertujuan untuk kesejahteraan manusia sendiri. Permasalahan penelitian ini adalah manifestasi kekuatan otonomi masyarakat dalam melakukan pembelaan (advokasi) lingkungan, dan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Masyarakat yang menjadi korban yang mengalami kerugian akibat pencemaran lingkungan dengan didukung lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lingkungan berusaha melakukan pembelaan (advokasi) lingkungan, dan melakukan pilihan penyelesaian sengketa dengan mengajukan gugatan ke lembaga pengadilan. Dalam beberapa kasus penyelesaian vi

7 sengketa lingkungan yang dilakukan melalui lembaga pengadilan, keputusan pengadilan dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan keadilan lingkungan. Menurut Ton Dietz upaya yang dilakukan masyarakat pada mulanya murni lingkungan, yakni mereka yang memperjuangkan masalah lingkungan demi lingkungan sendiri. Dengan risiko apa pun lingkungan harus dilindungi. Di samping, itu terdapat kepentingan yang tidak untuk melindungi lingkungan itu sendiri, tetapi demi kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan penumpukan modal (kapitalisme) supaya terjamin keajegan pasokan bahan baku industri sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung. Selanjutnya berkembang keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan yang didasarkan pada lingkungan kerakyatan (eco populisme). Advokasi yang dilakukan diprakarsai oleh aktivis lingkungan yang sangat memihak kepada kepentingan rakyat banyak dan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. 1 Menurut Kirkpatrick Sale advokasi lingkungan di Amerika Serikat memperlihatkan hasil gemilang, tertanam dalam kehidupan rakyat di bidang hukum dan adat kebiasaan, tulisan maupun citra, dan kesadaran pentingnya lingkungan. Kesadaran lingkungan terpateri dalam undang-undang nasional dan lembaga-lembaga negara. Undang-undang dan pengadilan telah melindungi kepentingan masyarakat akan lingkungan dengan anggaran besar setiap tahun dan dalam keputusan-keputusan fundamental pengadilan yang menjelaskan dan memutus sengketa lingkungan dari sudut pandang hukum melalui sarana dan arena publik yang tidak terbilang banyaknya. 2 Indonesia merupakan Negara hukum, konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan katup penekan (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini tidak ada badan lain 1 Ton Dietz, 1998, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam, Pengantar Dr. Mansour Faakih, Refleksi Gerakan Lingkungan, Yogyakarta: Remdec, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. ix-x. 2 Kirkpatrick Sale, 1996, Revolusi Hijau, Sebuah Tinjauan Historis-Kritis Gerakan Lingkungan Hidup di Amerika Serikat, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, h vii

8 yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum. 3 Kekuasaan kehakiman adalah Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk penyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 4 Pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan, bahwa kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan pemerintahan dan Kekuasaan Perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan itu. Untuk hal tersebut dengan jelas dapat dijumpai dalam penjelasan resmi pasal 24 dan 25 UUD 45. Bahkan penjelasan tersebut masih menguraikan sebuah harapan yakni: Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukan para hakim. Jaminan tentang kedudukan para hakim yang dimaksud dalam kaitan ini tidak lain adalah jaminan kemandirian hakim sebagai aparatur penyelenggaraan peradilan. Proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan telah diatur dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata atau hukum formil perdata adalah alat untuk menyelenggarakan hukum materiil, sehingga hukum acara itu harus digunakan sesuai dengan keperluan hukum materiil dan hukum acara tidak boleh digunakan apabila bertentangan dengan hukum materiil. 5 Berdasarkan pengertian tersebut, maka esensi hukum acara Perdata adalah mengatur cara bagaimana orang yang kepentingan privatnya dilanggar oleh orang lain itu dapat diselesaikan, cara bagaimana seseorang dipulihkan haknya apabila dilanggar orang lain dan cara bagaimana yang berwenang atau pengadilan menyelesaikan atau memulihkan sengketa perdata. Untuk memulihkan hak seseorang yang dilanggar, maka dilakukan upaya hukum melalui pengajuan tuntutan hak melalui pengadilan. Tugas pengadilan, dalam hal ini adalah hakim, yaitu untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara perdata. Peradilan perdata dilakukan dengan 3 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LNRI Tahun 2009 No G. Wijers, 2000, Het Gezag van Gewijsde in Burgerlijke Landraad zaken, dalam Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 10 viii

9 mendasarkan pada peraturan perundang-undangan seperti HIR (Het Herzeine Indonesish Reglement), Rbg (Rechtsreglemeent Buitengewesten), Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering), Undang-undang No. 20 Tahun 1947, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada mulanya, pengajuan tuntutan hak yang dikenal hanya pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa, yaitu pengajuan tuntutan hak oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum lainnya atas suatu sengketa keperdataan, baik berupa wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, dimana pada diri pihak yang mengajukan tuntutan hak (gugatan) mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil sebagai akibatnya. Namun demikian, dalam perkembangannya, pengajuan tuntutan hak dapat diajukan melalui mekanisme class action, legal standing dan citizen lawsuit Rumusan Masalah Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas beberapa permasalahan mengenai: 1. Bagaimana Peranan Masyarakat (Public Participatory) dalam penyelesaian sengketa lingkungan? 2. Bagaiamana pengaturan dan perbedaan karakteristik antara pengajuan tuntutan hak dalam persidangan perkara perdata melalui mekanisme pengajuan gugatan, class action, legal standing dan citizen lawsuit? ix

10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Sengketa Lingkungan Costintino dan Merchant 6 mendefinisikan konflik Sebagai ketidak sepakatan mendasar antara dua pihak, dimana sengketa adalah satu bentuknya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Douglas Benang bahwa konflik adalah suatu keadaan, bukan proses. Orang yang menentang kepentingan, nilai, atau kebutuhan berada dalam keadaan konflik, yang mungkin laten (berarti tidak muncul ke permukaan, tidak ditindaklanjuti ataupun diselesaikan). Sedangkan konflik yang muncul ke permukaan yang ditindak lanjuti ataupun diselesaikan, salah satu bentuk prosesnya adalah (penyelesaian) sengketa,"konflik bisa saja terjadi tanpa perselisihan, tetapi perselisihan tidak bisa ada tanpa konflik." 7 Dalam sebuah konflik tidak tertutup kemungkinan terdapat beberapa sengketa yang memungkinkan untuk diselesaikan satu persatu, yang pada akhirnya akan menyelesaikan konflik tersebut. Sengketa menurut Witanto adalah konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atau suatu objek kepentingan yang bisa menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain 8. 6 Costintino, C.A. and Merchant C.S. 1996, Designing Conflict Management Systems: A Guide to Creating Productive and Healthy Organizations. Jossey-- Bass, San Francisco: h, Douglas H. Yarn, ed. 1999,"Conflict" in Dictionary of Conflict Resolution,Jossey-- Bass. San Francisco h D. Y Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasi (dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), Alfabeta, Bandung,, h. 2 x

11 Sedangkan Ali Achmat berpendapat sengketa adalah pertentangan antara dua belah pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum keduanya 9. Berdasarkan kedua pengertian sengketa diatas, maka dapat diuraikan menjadi beberapa elemen antara lain: Adanya dua pihak atau lebih; 2. Adanya Hubungan atau kepentingan yang sama terhadap objek tertentu; 3. Adanya pertentangan dan perbedaan persepsi; 4. Adanya akibat hukum. Sengketa bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan antara siapa saja serta menyangkut persoalan yang bervariasi. Orang-orang atau kelompok yang ada dalam situasi konflik bisa mempunyai ide atau cara yang berbeda dalam hal bagaimana menyelesaikan konflik tersebut. 11 Banyak cara dalam menyelesaikan suatu sengketa yang ada pada masyarakat namun pada umumnya di Indonesia menerapkan dua sistem penyelesaian sengketa Pada dasarnya salah satu fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa menghendaki bahwa proses penyelesaian sengketa tidak boleh dilakukan dengan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). 12 Soerjono Soekanto mengatakan bahwa fungsi hukum sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi social (law as a facilitation of human interaction) 13 Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum. Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan katup penekan (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari 9 Ibid, h Ibid, h I Made Widnyana,, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerjasama dengan Kantor Hukum Gani Djemat 7 Partners, Jakarta, h Sudikno Mertokusumo, 2008, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta h Soerjono Soekanto, 1981, Fungsi hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, h. 4 xi

12 penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum. 14 Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Sengketa lingkungan environmental disputes merupakan species dari genus sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan: Dispute. A conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other Terminologi penyelesaian sengketa rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam: dispute resolution, conflict management, conflict settlement, conflict intervention. 15 Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi perse1isihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang diiringi adanya tuntutan (claim). Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Dengan demikian, rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya mengartikan sengketa lingkungan sekedar perselisihan antara dua pihak atau lebih tanpa mencantumkan claim adalah kurang lengkap dan tidak merepresentasikan secara utuh keberadaan suatu sengketa. 2. Model Penyelesaian Sengketa Lingkungan melalui Lembaga Pengadilan Sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu : a. sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan; b. sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam; dan c. sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan. Sengketa yang berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi 14 M. Yahya Harahap, 2004, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, h TM. Lutfi Yazid, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmental Dispute Resolution), Airlangga University Press-Yayasan Adikarya IKAPI-Ford Foundation, Surabaya,h. 9 xii

13 di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan suber daya alam di sisi lain. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban pencemaran/perusakan. Penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia dapat dilakukan di dalam dan di luar pengadilan. Hal ini diatur dalam Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyelesaian Lingkungan Hidup melalui Pengadilan (litigasi) Berdasarkan metode penafsiran ( interpretatie methode), maka dapat di tentukan subyek sengketa lingkungan, yakni: para pihak yang berselisih. Meski disadari bahwa dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang paling penting adalah: how to prevent dispute, not how to settle dispute sesuai dengan adagium: prevention Is better than cure, dan pepatah yang tidak tersangkal kebenarannya: an ounce of prevention is worth a pound of cure. 16 Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara lain adalah agar pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat di hentikan, ganti kerugian dapat diberikan, penanggung jawab kegiatan menaati peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup dan Pemulihan lingkungan dapat dilaksanakan. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan dilakukan dengan mengajukan gugatan lingkungan berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyelesaian Lingkungan Hidup jo. Pasal 1365 BW tentang ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad). Atas dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan kalah perkara besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban pencemaran sebagai penggugat adalah antara lain : 1. pembuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan ( schuld ) dan unsur hubungan kausal. Pasal 1365 BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan kesalahan ( schuld aansprakelijkheid ), yang dapat 16 Siti Sundari Rangkuti, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga Universityt Press, Surabaya.h xiii

14 dipersamakan dengan Liability based on fault dalam sistem hukum Anglo Amerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan kerugian 11 penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk menerangkan dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah pada tempatnya. 2. masalah beban pembuktian (bewijslast atau burde of proof) yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat. Padahal, dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah. Berdasarkan kelemahan tersebut, Hukum Lingkungan Keperdataan (privaatrechtelijk miliuerecht) mengenal asaa tanggunggugat mutlak (strick liability-risico aansprakelijkheid) yang dianut pula oleh Pasal 35 UUPLH. Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah untuk memenuhi rasa keadilan; menyesuaikan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya. sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya. 17 Hukum Lingkungan Keperdataan tidak saja mengenal sengketa lingkungan antara individu, tetapi juga atas nama kelompok masyarakat dengan kepentingan yang sama melalui gugatan kelompok (class action/ actio popularis). Sementara itu, di Amerika Serikat, class action diterapkan terhadap pencemaran lingkungan tidak hanya menyangkut hak milik atau kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga masyarakat. Class action, penting dalam kasus pencemaran (perusakan) lingkungan yang menyangkut kerugian terhadap a mass of people yang awam dalam ilmu. Seseorang atau beberapa orang anggota kelompok dapat menggugat atau di gugat sebagai pihak yang mendapat kuasa atas nama semua, dengan syarat The class is so numerous that Joinder of all members is impracticable; There are guestions of law or fact common to the class; The claims or defenses of the representative parties are typical of the claims or defenaes of the class; The representative parties will fairly and adeguately protect the interestsof the class. 18 Pasal 37 UUPLH memberikan pengaturan gugatan perwakilan yang menjadi simbol kemajuan UUPLH 17 Mas Achmad Santosa et al., 1997, Penerapan Atas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta. h Siti Sundari Rangkuti, op.cit, h xiv

15 dan merupakan pengakuan pertama atas class action dalam peraturan perundang-undanga nasional di Indonesia. Class action berbeda dengan lus standi lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Organisasi Lingkungan Hidup (OLH) sebutan UUPLH. Pasal 38 UUPLH memberi pengaturan mengenai hak menggugat ius standi - standing to sue atau legal standing Organisasi Lingkungan Hidup. Definisi class action PERMA No 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Berdasarkan pengertian tersebut. Unsur-Unsur class action yaitu pertama, gugatan secara perdata gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang di berikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenechting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat. Pihak disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang. Kedua, adanya wakil kelompok dan anggota kelompok. Wakil kelompok (class representatif) merupakan satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan, maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif. Anggota kelompok (class members) Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif. Dengan demikian, atas sengketa lingkungan, masyarakat dapat mengajukan class action. Manfaat class action antara lain proses berperkara menjadi sangat ekonomis (judicial economy), mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten, akses terhadap keadilan (access to justice), mendorong bersikap hati-hati (behaviour modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran. Sebelum xv

16 proses persidangan dimulai, di lakukan proses Pemberitahuan (notifikasi). Pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara tersebut atau tidak menginginkan yaitu dengan cara menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok. Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah (pada tahap ini harus juga memuat mekanisme pernyataan keluar), pemberitahuan wajib dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kepada anggota kelompok. Proses pemeriksaan perkara sengketa lingkungan sama seperti dalam pemeriksaan perkara perdata pada umumnya, yaitu pertama, pembacaan surat gugatan oleh penggugat; kedua, jawaban dari tergugat; ketiga, replik (tangkisan penggugat atas jawaban yang telah disamapaikan oleh tergugat); keempat, duplik (jawaban tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik); kelima, pembuktian yang ditujukan untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang apa yang telah didalilkan oleh para pihak, maka kedua belah pihak menyampaikan bukti-bukti dan saksi-saksi; keenam, kesimpulan, merupakan resume dan secara serentak dibacakan oleh kedua belah pihak; ketujuh, putusan hakim, putusan hakim dapat berupa dikabulkannya gugatan penggugat atau gugatan penggugat tidak dapat diterima (ditolak). Terhadap putusan ini pihak yang dikalahkan dapat mengajukan upaya hukum banding. Apabila hakim mengabulkan gugatan Ganti rugi penggugat, maka hakim akan memutuskan jumlah ganti rugi, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelimpok dalam penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban kelompok; dan kedelapan, pendistribusian ganti rugi. Apabila gugatan dikabulkan, maka dilakukan tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian. Penanggung jawab usaha yang kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahanberbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Penanggung jawab usaha dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di berikut ini: adanya bencana alam atau peperangan; atau adanya keadaan terpaksa di luar xvi

17 kemampuan manusia; atau adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Selain mekanisme class action, Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) juga mengatur mekanisme pangajuan tuntutan hak oleh organisasi lingkungan hidup (OLH) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), sebagai mana telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UUPLH yang menentukan Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan tersebut (gugatan legal standing) apabila memenuhi persyaratan, pertama, berbentuk badan hukum atau yayasan; kedua, dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; ketiga, telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Tuntutan hak yang diajukan tidak dapat berupa permintaan ganti kerugian. Tuntutan hak yang diperbolehkan hanya berupa kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu, seperti reboisasi, memulihkan kondisi lingkungan seperti sediakala sebelum pencemaran dilakukan dan sebagainya. Proses pemeriksaan gugatan oleh organisasi lingkungan hidup (legal standing) maupun class action di pengadilan masih mengacu pada proses beracaranya perkara perdata yang bersumber pada HIR (het herzeine Indonesisch Reglement) Rbg (Reglement Buite Gewesten, serta Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering). Isi surat gugatan dalam sengketa lingkungan tidak diatur dalam UUPLH. Oleh karena itu masih mengacu pada peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu HIR, Rbg maupun Rv. Berkaitan dengan formulasi surat gugatan, HIR dan Rbg hanya mengatur tentang cara bagaimana mengajukan gugatan. Persyaratan mengenai gugatan terdapat dalam Ps. 8 no. 3 Rv. Pada dasarnya surat gugatan berisi : 1. identitas para pihak, berisi mengenai nama lengkap, umur/tempat tanggal lahir, pekerjaan dan alamat/domisili. Namun demikian, ada kalanya kedudukan sebagai xvii

18 penggugat/tergugat dilakukan oleh cabang suatu badan hukum, oleh karenya harus dijelaskan mengenai BH tersebut. 2. posita/fundamentum petendi. Posita merupakan dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alas an-alasan dari tuntutan (middelen van den eis). Posita terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadiankejadian/peristiwa hukum dan bagian yang menguraikan hukumnya, yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. 3. petitum. Petitum merupakan bagian dari surat gugatan yang berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim. Petitum terdiri dari dua bagian, yaitu: a. petitum pokok/primer yang berisi hal-hal/tuntutan pokok yang dimohonkan untuk dikabulkan oleh pengadilan, seperti menuntut putusnya perjanjian dengan ditambah ganti rugi atau menuntut pelaksanaan perjanjian dengan uang paksa. b. petitum subsidair, yang berisi hal-hal yang memberi kebebasan pada hakim untuk mengabulkan lain dari petitum primair. Lebih dari itu, mengingat bagian terbesar dari Hukum Lingkungan adalah Hukum Administrasi, maka perlu diketahui bahwa penyelesaian sengketa lingkungan dapat pula berupa gugatan oleh seseorang atau badan hukum perdata ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena kepentingannya (atas lingkungan hidup yang baik dan sehat) dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN izin) di bidang lingkungan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN). Gugatan ke PTUN berisi tuntutan agar KTUN (izin) dinyatakan batal atau tidak sah, sehingga putusan (hakim PTUN) segera menghentikan pencemaran lingkungan akibat izin lingkungan yang tidak cermat xviii

19 1.4. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rumusan masalah diatas dan di bagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai praktek penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha yang diatur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2.Tujuan Khusus Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui dan menganalisa modus operandi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha. b. Untuk mengetahui dan menganalisa faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Adapun manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat memberi masukan untuk pengembangan studi ilmu hukum terkait dengan penjualan Bahan Bakar Minyak xix

20 (BBM) tanpa ijin usaha yang diatur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta mengetahui faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khusnya pada bidang hukum pidana. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan secara praktis dapat menegakkan darma hukum, diantaranya: a. Bagi institusi penegak hukum, khususnya polisi, penelitian ini bermanfaat guna memberikan sumbangan pemikiran guna pengembangan studi di bidang hukum pidana, khususnya terkait dengan praktek penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha di tinjau dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. b. Bagi kalangan masyarakat termasuk mahasiswa, khususnya mahasiswa fakultas hukum dalam mendalami hukum pidana yang berkaitan dengan hal pemidanaan. BAB IV METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di dalam tujuan penyusunan bahan analisis, maka dalam penulisan penelitian ini menggunakan metode pendekatan baik secara yuridis normatif maupun secara yuridis empiris. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum, baik hukum dalam arti Law as it is written in the books (dalam peraturan perundang-undangan), maupun hukum dalam xx

21 arti Law as it is decided by judge through judicial process (putusan-putusan pengadilan). 19 Secara yuridis normatif maka penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan data yang bersumber dari data sekunder, seperti peraturan-peraturan baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah yang mengatur tentang penyelesaian sengketa Lingkungan dan buku literatur terkait. Dalam melengkapi data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, maka dilakukan pula penelitian lapangan karena sasaran penelitian hukum disamping kaedah atau das Sollen (penelitian hukum normatif), dapat berupa perilaku atau das Sein (penelitian lapangan) Jenis Pendekatan Dalam penelitian normatif dikenal beberapa metode pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan analisis /konsep (analytical or conceptual approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan kasus (case approach). 21 Adapun jenis pendekatan yang utamanya akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan analisis /konsep (analytical or conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah sejumlah instrument penyelesaian sengketa. Selanjutnya, Pendekatan sejarah (historical approach) diterapkan untuk mengetahui sejarah dan perkembangan penyelesaian sengketa. Pendekatan analisis/konsep (analytical or conceptual approach) dimaksudkan untuk menganalisis konsep-konsep hukum mengenaihak kolektif dalam perspektif penyelesaian sengketa. 3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dapat dibedakan antara bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kedua bahan hukum tersebut akan dipergunakan dalam penelitian ini. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi sejumlah instrumen nasional dan internasional, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang- 19 Enid Campbell, et.al., 1988, legal Research, Materials and Methods, Sydney : The Law Book Company Limited, h.1 20 Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, h Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet. 4, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h xxi

22 undang No. 20 Tahun 1947, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau bahan bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian, makalah dan bahan bacaan lainnya yang terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan serta bacaan lain yang menunjang penelitian ini. Selain bahan hukum primer dan sekunder, bahan hukum tersier juga akan digunakan dalam penelitian ini, Bahan hukum tersebut berupa kamus, baik kamus umum maupun kamus hukum dan dokumen-dokumen lainnya, serta bahan penunjang di luar bidang hukum, di antaranya bahan dari ilmu politik yang dapat mendukung dan memperjelas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah telaah pustaka dengan menggunakan sistem kartu (card system). Untuk mendapatkan data dari bahan hukum di atas, langkah awal yang akan dilakukan adalah kegiatan inventarisasi, kemudian dilakukan pengoleksian dan identifikasi bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi yang komprehensif sehingga memudahkan untuk melakukan penelusuran kembali bahan-bahan yang diperlukan. 5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan sistemisasi terhadap bahan-bahan hukum. Dalam hal ini bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan diklasifikasikan untuk mempermudah menganalisa bahan-bahan tersebut. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap bahan hukum yang diolah untuk dapat melakukan penelitian terhadap bahan-bahan yang diperoleh, sehingga dapat mengkaji penyelesaian sengketa lingkungan. Dalam penelitian ini, analisis terhadap peraturan perundang-undangan akan diinterpretasikan secara tekstual dan kontekstual. Suatu sistemisasi bahan hukum akan dilakukan 22 Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, h.41 xxii

23 pada saat mengakitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Peranan Masyarakat (Public Participatory) dalam penyelesaian sengketa lingkungan. Selama ini lembaga pengadilan sebagai lembaga negara penegak keadilan dalam melakukan penyelesaian sengketa lingkungan dinilai tidak memberi rasa keadilan masyarakat, dan keadilan lingkungan. Berbagai kasus penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan yang diajukan ke pengadilan keputusannya amat mengecewakan masyarakat, dan jauh dari rasa keadilan. Lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa lingkungan selama ini masih berorientasi pada hukum formal. Analasis studi menunjukan bahwa dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hakim masih belum mampu keluar dari pendekatan tek books yang memahami hukum sebatas aturan yang bersifat hitam putih. Menurut Satjipto Rahardjo, penanganan penyelesaian sengketa yang menempatkan masalah pada tataran yang simpel yang penyelesaiannya juga simpel, laksana menarik garis lurus antara dua titik. Karena itu, modus penanganannya menjadi linier, hitam putih, dan matematis. Dunia atau masyarakat dimasuk-masukan ke dalam rumusan peraturan, skema, atau bagan, dan pengotakan secara eksak. Di sini konstruksi mengabaikan realitas. 23 Kegagalan hukum untuk membawa pelaku ke penghukuman oleh pengadilan disebabkan oleh sikap submisif terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti prosedur, doktrin dan asas. Sebagai akibatnya hukum bisa menjadi safe haven bagi para pelaku. Jika dilihat dari optik hukum progresif, maka caracara dan praktek berhukum seperti itu sudah tergolong kontraprogresif Satjipto Rahardjo, 2004, Formal dan Non Formal dalam Ketatanegaraan, Kompas, 25 Oktober. 24 Sartjipto Rahardjo, 2004, Hukum Progresif sebagai Dasar Bangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum Progresif Indonesia, Kerjasama IAIN Walisongo dengan IKA Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 8 Desember, h 5. xxiii

24 Pendekatan progresif menempatkan paradigma manusia yang membawa pendekatan ini mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience). Pendekatan hukum progresif adalah hukum untuk manusia, sedang pada ilmu hukum praktismanusia adalah untuk hukum dan logika hukum. Hukum dan ilmu hukum progresif lebih cenderung ke kreativitas dan menolak rutinitas logika peraturan. Di sinilah letak pencerahan pendekatan ilmu hukum progresif. 25 Penyelesaian sengketa lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti pengadilan selama ini belum bergesar dari pendekaatan positifis formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon dan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukan sikap yang formalis, deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem lingkungan, sementara pencemaran lingkungan dalam proses waktu semakin sulit untuk dapat dikendalikan. Karena itu, pendekatan seperti itu kiranya perlu segera diakhiri, diganti dengan semangat pendekatan hukum progresif yang dimulai dari kesadaran yang tumbuh dari semua kalangan yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan untuk memahami bahwa persoalan lingkungan sudah mencapai tarap yang mengkhawatirkan. Karena itu, perlu ada terapi kejut yang segera digulirkan dalam berbagai upaya dan langkah dalam rangka memberikan dorongan yang lebih kuat lagi. Untuk mengatasinya perlu dilakukan gerakan penyadaran secara progresif dengan melibatkan pertisipasi masyarakat, aparat penegak hukum, dan pemerintah akan tugas dan tangung jawabnya dalam menyelesaikan dan memecahkan masalah-masalah lingkungan. Untuk dapat menjalankan hukum lingkungan di tengah masyarakat yang penuh dengan kompleksitas, dibutuhkan aparat penegak hukum yang mempunyai visi, komitmen yang kuat, dan pengetahuan yang memadai di bidang lingkungan. Karena itu, sudah saatnya perlu dilakukan rekrutmen dan pembinaan aparat penegak secara khusus, yang nantinya diharapkan dapat menjalankan tugas khusus dalam menangani sengketa ataupun pengaduan masyarakat masalah lingkungan, berupa perusakan atau pencemaran lingkungan. Hakim yang diangkat atau ditunjuk dapat saja direkrut dari kalangan akademisi atau pakar hukum lingkungan, praktisi yang mengetahui seluk-beluk masalah lingkungan, ataupun kalangan aktivis yang selama ini gigih memperjuangkan lingkungan. 25 Ibid, h 6. xxiv

25 Masyarakat mimiliki peranan dalam pembelaan (Advokasi) lingkungan, selain itu kekuatan otonomi masyarakat dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja lembaga pengadilan sebenarnya mempunyai harapan untuk didayagunakan. Namun demikian kemampuan untuk memahami hak-haknya yang dimilikinya atas lingkungan hidup masih belum memadai, sehingga dalam berbagai kesempatan menyelesaiakan sengketa lingkungan di pengadilan, lebih banyak dipasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lingkungan. Dalam hal ini menurut Mas Akhmad Santoso, masyarakat perlu meningkatkan kemampuannya, agar keterlibatanya di wilayah-wilayah publik, termasuk di bidang lingkungan menjadi lebih substansial dan terarah. Peran LSM dan Organisasi Lingkungan dituntut tidak hanya galak atau asal berbeda pandangan dengan pemerintah, akan tetapi diperlukan pemikiranpemikiran yang siap pakai untuk mengatasi berbagai masalah pembangunan dan lingkungan hidup Pengaturan dan perbedaan karakteristik antara pengajuan tuntutan hak dalam persidangan perkara perdata melalui mekanisme pengajuan gugatan, class action, legal standing dan citizen lawsuit a. Pengajuan Gugatan Biasa/ Hak Gugat Orang Perorangan (Individual) Tuntutan hak dapat dilakukan dengan gugat individual dapat bersifat Voluntair ataupun Contensia. Gugatan voluntair yang bersifat sepihak (ex parte), yaitu permasalahan yang diajukan untuk diselesaikan pengadilan tidak mengandung sengketa (undisputed matters), bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only), tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party), dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan (tergugat). Sedangkan gugatan contentiosa atau contentious jurisdiction adalah gugatan yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih. Pada dasarnya pihak yang bersengketa dalam perkara perdata terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Dalam hal ini, perkara tersebut mengandung sengketa, atau yang kemudian dikenal dengan peradilan contentiosa atau contentious jurisdiction, yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan (jurisdiction of court that is concerned with contested matters) 26 Mas Akhamd Santoso, 2001, Good Governace dan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, h. 55. xxv

26 antara pihak yang bersengketa (between contending parties) 27. Penggugat merupakan pihak yang merasa haknya telah dilanggar oleh pihak lain (tergugat). Pengajuan tuntutan hak dalam perkara perdata dapat diajukan secara lisan maupun tertulis. Bentuk tertulis inilah yang kemudian dikenal sebagai surat gugatan. HIR dan Rbg hanya mengatur tentang cara bagaimana mengajukan gugatan. Persyaratan mengenai gugatan terdapat dalam Pasal 8 no. 3 Rv, yang meliputi: Pertama, identitas para pihak, berisi mengenai nama lengkap, umur, tempat tanggal lahir, pekerjaan dan alamat atau domisili. Namun demikian, ada kalanya kedudukan sebagai penggugat/tergugat dilakukan oleh cabang suatu badan hukum, oleh karenya harus dijelaskan mengenai badan hukum tersebut. Kedua, posita/fundamentum petendi, posita merupakan dalildalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan (middelen van den eis). Posita terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian/peristiwa hukum dan bagian yang menguraikan hukumnya, yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Ketiga, petitum yang merupakan bagian dari surat gugatan yang berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim. 28 Petitum terdiri dari dua bagian, yaitu petitum pokok atau primer yang berisi tuntutan pokok yang di mohonkan untuk dikabulkan oleh pengadilan, seperti menuntut putusnya perjanjian dengan ditambah ganti rugi atau menuntut pelaksanaan perjanjian dengan uang paksa. Bagian kedua, yaitu petitum subsidair, yang berisi hal-hal yang memberi kebebasan pada hakim untuk mengabulkan lain dari petitum primair. Pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa merupakan suatu pengajuan tuntutan hak oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum lainnya atas suatu sengketa keperdataan, baik berupa wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, dimana pada diri pihak yang mengajukan tuntutan hak mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil sebagai akibatnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka unsur-unsur pengajuan gugatan biasa yang dikenal dalam HIR, Rbg maupun Rv meliputi, pertama, adanya tuntutan hak. Tuntutan hak dalam hal ini disebabkan tidak dilaksanakannya kewajiban oleh pihak lain secara sukarela atau sesuai dengan kesepakatan para pihak, sehingga terdapat pelanggaran hak pada pihak satunya. 27 Henry Campbell Black, 1978, Black Law Dictionary, West Publishing, St Paul Minn, h Sudikno Mertokusumo. Op. cit. h.54 xxvi

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN MELALUI GUGATAN CLASS ACTION MUHAMMAD EDWARD PONTOH / D

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN MELALUI GUGATAN CLASS ACTION MUHAMMAD EDWARD PONTOH / D TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN MELALUI GUGATAN CLASS ACTION MUHAMMAD EDWARD PONTOH / D 101 10 530 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui

Lebih terperinci

SISTEMATIKAN PEMBAHASAN I. ENVIRONMENTAL DISPUTE RESOLUTON SECARA UMUM 11/10/2011

SISTEMATIKAN PEMBAHASAN I. ENVIRONMENTAL DISPUTE RESOLUTON SECARA UMUM 11/10/2011 ENVIRONEMNTAL DISPUTE RESOLUTION Wiwiek iek Awiati SISTEMATIKAN PEMBAHASAN Environmental Dispute Resolution (EDR) secara umum Environmental Dispute Resolution (EDR) dalam sengketa Lingkungan Hak Gugat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk politik (zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan sesamanya, dan sebagai makhluk politik

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTIONS) 1. Definisi Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Actions)

BAB II PERKEMBANGAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTIONS) 1. Definisi Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Actions) BAB II PERKEMBANGAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTIONS) 1. Definisi Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Actions) Beberapa definisi yang mencoba menjelaskan istilah Class Actions, baik menurut kamus

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA 1 TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA Oleh Ade Risha Riswanti Pembimbing : 1. Nyoman A. Martana. 2. I Nym. Satyayudha Dananjaya. Program Kekhususan

Lebih terperinci

Sengketa Lingkungan PEMICU SENGKETA PENGERTIAN DASAR SENGKETA

Sengketa Lingkungan PEMICU SENGKETA PENGERTIAN DASAR SENGKETA Sengketa Lingkungan Harsanto Nursadi 1 Pemicu terjadinya sengketa bermacam-macam, misalnya: kesalahpahaman perbedaan penafsiran; ketidak-jelasan pengaturan; ketidak-puasan; ketersinggungan; kecurigaan;

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perbenturan kepentingan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan suatu norma hukum yang tegas dan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Disampaikan dalam Kuliah S2 KMPK-IKM UGM Hukum, Etika dan Regulasi Kesehatan Masyarakat Oleh : Dinarjati Eka Puspitasari, S.H., M.Hum Yogyakarta, 21 Maret 2016 Penegakan

Lebih terperinci

TUNTUTAN HAK DALAM PERSIDANGAN PERKARA PERDATA

TUNTUTAN HAK DALAM PERSIDANGAN PERKARA PERDATA 147 TUNTUTAN HAK DALAM PERSIDANGAN PERKARA PERDATA Rahadi Wasi Bintoro Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah e-mail: rahadiwasi@yahoo.co.id Abstract Procedure of private

Lebih terperinci

TUNTUTAN HAK DALAM PERSIDANGAN PERKARA PERDATA

TUNTUTAN HAK DALAM PERSIDANGAN PERKARA PERDATA 147 TUNTUTAN HAK DALAM PERSIDANGAN PERKARA PERDATA Rahadi Wasi Bintoro Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah e-mail: rahadiwasi@yahoo.co.id Abstract Procedure of private

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA

LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS (0014095303) 2. Dr. I Gede Artha, SH., MH (0022015803) 3. I Made Tjatrayasa,

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

SENGKETA LINGKUNGAN DAN PENYELESAIANNYA

SENGKETA LINGKUNGAN DAN PENYELESAIANNYA 163 SENGKETA LINGKUNGAN DAN PENYELESAIANNYA Handri Wirastuti Sawitri dan Rahadi Wasi Bintoro Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Jawa Tengah Abstract Continuation of the environment

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

J URNAL HUKUM ACARA PERDATA ADHAPER

J URNAL HUKUM ACARA PERDATA ADHAPER J URNAL HUKUM ACARA PERDATA ADHAPER Vol. 2, No. 1, Januari Juni 2016 Tuntutan Hak dalam Penegakan Hak Lingkungan (Environmental Right) I Putu Rasmadi Arsha Putra, I Ketut Tjukup, dan Nyoman A. Martana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada Pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. 1 Untuk mendapatkan pemecahan atau

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kepentingannya yang beranekaragam baik pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kepentingannya yang beranekaragam baik pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kepentingannya yang beranekaragam baik pemerintah maupun warga negaranya diatur oleh norma obyektif yang mengikat. Keanekaragaman kepentingan

Lebih terperinci

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh ACTIO POPULARIS (CITIZEN LAWSUIT ) DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA Efa Laela Fakhriah I. Pendahuluan Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCANTUMAN KETIDAKBERHASILAN UPAYA PERDAMAIAN (DADING) DALAM BERITA ACARA SIDANG DAN PUTUSAN

PENTINGNYA PENCANTUMAN KETIDAKBERHASILAN UPAYA PERDAMAIAN (DADING) DALAM BERITA ACARA SIDANG DAN PUTUSAN PENTINGNYA PENCANTUMAN KETIDAKBERHASILAN UPAYA PERDAMAIAN (DADING) DALAM BERITA ACARA SIDANG DAN PUTUSAN Oleh Nyoman Agus Pitmantara Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik langsung untuk kehidupan seperti bercocok tanam atau tempat tinggal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah terjadi perubahan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI ASPEK HUKUM PERDATA

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI ASPEK HUKUM PERDATA PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI ASPEK HUKUM PERDATA Oleh Made Nikita Novia Kusumantari I Made Udiana Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This writing is titled Enforcement

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak.

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam praktik sehari-hari, hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain maupun hubungan antara manusia dengan badan hukum atau badan hukum dengan badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

Eksistensi Lembaga Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) Dalam Hukum Positif di Indonesia

Eksistensi Lembaga Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) Dalam Hukum Positif di Indonesia Eksistensi Lembaga Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) Dalam Hukum Positif di Indonesia Mutia Ch. Thalib Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Abstrak: Gugatan Class Action melalui proses

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong dalam jenis

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong dalam jenis BAB III METODE PENELITIAN berikut: Metode penelitian yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013 Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013 Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013 Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan I. PEMOHON Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Din Syamsudin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan. ini dikarenakan seorang hakim mempunyai peran yang besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan. ini dikarenakan seorang hakim mempunyai peran yang besar dalam BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan otonom,salah satu unsur penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG UNDANG N0MOR 32 TAHUN TRIWANTO, SH SPnot. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG UNDANG N0MOR 32 TAHUN TRIWANTO, SH SPnot. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG UNDANG N0MOR 32 TAHUN 2009 TRIWANTO, SH SPnot. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract: UU No. 32 2009 utilizes various law requirement, either administrative

Lebih terperinci

Oleh. Dyah Putri Purnamasari, S.H. M.H. dan Prof. Dr. M. Khoidin, S.H. M.Hum., CN. Abstract

Oleh. Dyah Putri Purnamasari, S.H. M.H. dan Prof. Dr. M. Khoidin, S.H. M.Hum., CN. Abstract 1 ANALISIS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN HUKUM ACARA PERDATA Oleh Dyah Putri Purnamasari,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Vol. 5 No. 2 Maret 2001, Lembaga Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XV/2017 Hak Konstitusional Guru Dalam Menjalankan Tugas dan Kewajiban Menegakkan Disiplin dan Tata Tertib Sekolah (Kriminalisasi Guru) I. PEMOHON 1. Dasrul (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 92/PUU-XIII/2015 Prinsip Sidang Terbuka Untuk Umum Bagi Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang di Mahkamah Agung I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kita adalah negara hukum, demikianlah makna yang tersirat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti di negara Indonesia ada tata hukum

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI MEKANISME GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK ( CLASS ACTIONS

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI MEKANISME GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK ( CLASS ACTIONS 1 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI MEKANISME GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTIONS) Oleh: I Ketut Sedayatana Made Suksma Prijandhini Devi Salain Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Kemajuan tersebut antara lain dalam

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian dan Bentuk-bentuk Sengketa Konsumen Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

BAB I PENDAHULUAN. Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam dunia filsafat, para filosof, khususnya Aristoteles menjuluki manusia dengan zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kodratnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan haruslah hidup bersama dengan manusia lainnya. Proses tersebut dikenal dengan istilah bermasyarakat, dalam

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 91/Pdt.G/2009/PN.Ska) Oleh : Dyah Kristiani (12100038)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika. didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika. didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : I Gusti Ngurah Adhi Pramudia Nyoman A Martana I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati Bagian Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi perlindungan bagi

Lebih terperinci

HAK GUGAT ORGANISASI (LEGAL STANDING) PADA PERKARA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI NDONESIA ABSTRAK

HAK GUGAT ORGANISASI (LEGAL STANDING) PADA PERKARA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI NDONESIA ABSTRAK HAK GUGAT ORGANISASI (LEGAL STANDING) PADA PERKARA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI NDONESIA Annisa Dwi Laksana 1, Hamzah 2, Depri Liber Sonata 3. ABSTRAK Hak gugat organisasi (legal standing) merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebuah deklarasi bahwa negara ini berdiri dan berjalan berdasar pada ketentuan hukum. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut sekaligus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terlepas dari hubungan dengan manusia lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif mengkaji data-data sekunder di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara permohonan dan perkara gugatan. Dalam perkara gugatan sekurangkurangnya ada dua pihak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan negara dengan perantaraan pemerintah harus berdasarkan hukum. 1 Penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Oleh karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah UUD Negara Republik Indonesia 1945 didalam pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Oleh karena itu Negara tidak boleh melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara tegas tercantum dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. secara tegas tercantum dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

PENERAPAN ASAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN

PENERAPAN ASAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN PENERAPAN ASAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. VII No. 14, Agustus 2001, h. 44-51)

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akses kepada keadilan (access to justice) dan kesamaan di

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akses kepada keadilan (access to justice) dan kesamaan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yang mana hal itu terdapat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum 1. Dalam

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GUGATAN WARGA NEGARA ( CITIZEN LAWSUIT

KARAKTERISTIK GUGATAN WARGA NEGARA ( CITIZEN LAWSUIT KARAKTERISTIK GUGATAN WARGA NEGARA (CITIZEN LAWSUIT) DAN PERBANDINGANNYA DENGAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION) Oleh: Ni Luh Ayu Desi Putri Pratami I Nyoman Mudana Program Kekhususan Hukum Pidana

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Pasal 30 Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI Awal permasalahan ini muncul ketika pembayaran dana senilai US$ 16.185.264 kepada Tergugat IX (Adi Karya Visi),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen yang seharusnya dimiliki dan diakui oleh pelaku usaha 2. Oleh karena itu, akhirnya naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia memiliki beragam hak sejak ia dilahirkan hidup. Hak yang melekat pada manusia sejak kelahirannya ini disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL OLEH BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA (BAPMI)

WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL OLEH BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA (BAPMI) WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL OLEH BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA (BAPMI) Oleh: Syaichul Adha AA Sri Indrawati Program Kekhususan Hukum Bisnis,

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 1 PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI DALAM PERKARA WARISAN DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajad Sarjana Hukum dalam

Lebih terperinci

PENTINGNYA KREASI HAKIM DALAM MENGOPTIMALKAN UPAYA PERDAMAIAN BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK

PENTINGNYA KREASI HAKIM DALAM MENGOPTIMALKAN UPAYA PERDAMAIAN BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK PENTINGNYA KREASI HAKIM DALAM MENGOPTIMALKAN UPAYA PERDAMAIAN BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK Oleh I Dewa Made Nhara Prana Pradnyana I Dewa Gede Atmadja Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai peranan yang penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka sudah sewajarnya peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK

EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK Oleh I Putu Wahyu Pradiptha Wirjana I Gusti Nyoman Agung Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Decisions that legally

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Suatu penelitian agar dapat dipercaya kebenarannya, harus disusun dengan menggunakan metode yang tepat. Sebuah penelitian, untuk memperoleh data yang akurat dan valid diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berperan selama ini. Keberadaan lembaga peradilan sebagai pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. yang berperan selama ini. Keberadaan lembaga peradilan sebagai pelaksana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga penyelesaian sengketa yang berperan selama ini. Keberadaan lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN MELALUI PROSES PENGADILAN DAN DILUAR PENGADILAN

KEKUATAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN MELALUI PROSES PENGADILAN DAN DILUAR PENGADILAN 1 KEKUATAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN MELALUI PROSES PENGADILAN DAN DILUAR PENGADILAN Oleh : I Putu Agus Supendi Pembimbing Akademik Suatra Putrawan,SH.,MH, Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

ELIZA FITRIA

ELIZA FITRIA EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI BATUSANGKAR KLAS II (STUDI KASUS PERKARA PERDATA NO. 02/Pdt.G/2007/PN.BS) SKRIPSI DIAJUKAN GUNA MEMENUHI

Lebih terperinci