PENDAHULUAN. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN. Latar Belakang"

Transkripsi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma pembangunan masa lalu yang menempatkan pemerintah sebagai aktor utama pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi terbukti tidak mampu mensejahterakan rakyat Indonesia. Maka diperlukan pergeseran paradigma pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, Supriatna (1997) mengatakan bahwa transformasi pembangunan sosial yang strategis harus diarahkan pada mewujudkan pelembagaan kelompok miskin guna memberi peluang tumbuhnya kegotong-royongan, keswadayaan serta partisipasi aktif selaku subjek pembangunan. Selain itu terciptanya akses yang terbuka dan sama dalam pelayanan publik kepada seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan dalam proses dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Hal ini dianggap penting karena kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan masyarakat dalam memperoleh akses, manfaat, kesempatan, kontrol dan kemampuan menggunakan pelayanan publik. Dengan demikian dalam rangka memberdayaakan masyarakat, perlu melakukan usaha-usaha mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Desentarlisasi adalah salah satu strategi dalam mendekatkan pelayanan publik sejalan dengan esensi dari adanya kebijakan politik tentang otonomi daerah (Sedarmayanti 2005), yaitu: 1) secara filosofis adalah mendorong terciptanya keanekaragaman dalam kesatuan ; 2) secara politik adalah mendorong terciptanya demokratisasi, pemerataan dan keadilan; 3) secara ekonomi adalah meningkatkan daya saing daerah dalam menghadapi persaingan global melalui pemberdayaan masyarakat; 4) secara administrasi adalah mendorong terciptanya efektifitas dan efisiensi dengan mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat sebagai fokus utama untuk mencapai hasil akhir berupa kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan program pemberdayaan secara terpadu dan berkelanjutan di Indonesia ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 1993 tentang peningkatan Penanggulangan Kemiskinan di Desa-desa Tertinggal, yang selanjutnya lebih populer dengan sebutan Program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Lalu disusul dengan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program

2 2 Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa (PMPD), Program Kemitraan dan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL), Program Pembangunan Pendukung Desa Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Program Pembangunan Prasarana Pedesaan (P2D), Program Pemberdayaan dan Reformasi Tata Pemerintahan dan Kelembagaan (P2RTPD), Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dan akhirnya muncul Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang lebih bernuansa charity. Secara lokal pun perhatian Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Nabire terhadap pemberdayaan kampung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini ditandai dengan adanya Progam Pemberdayaan Kampung (PPK) yang bersumber dana otonomi khusus Provinsi Papua sejak tahun Pada tahun 2007, seluruh Pemerintahan Kampung di Kabupaten Nabire telah menerima bantuan sebesar Rp ,00 (duaratus juta rupiah). Selain itu, Kampung Urumusu telah menerima juga hibah dari Pemerintah (APBN) sebesar Rp ,00 (duaratus juta rupiah) melalui Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP). Dengan demikian pada Tahun Anggaran 2007 Kampung Urumusu telah menerima dana pemberdayaan kampung sebesar Rp ,00 (empat ratus juta rupiah). Semua program pemberdayaan yang dilaksanakan Pemerintah seakan tidak pernah ada hasilnya dalam mengatasi masalah sosial di pedesaan. Hasil evaluasi Program Pemberdayaan Kampung (PPK) yang dilaksanakan pada Tahun Anggaran 2005 menunjukan bahwa tujuan PPK tidak tercapai karena realisasinya yang tidak demokratis, tidak prosedural, tidak terorganisir, tidak realistis dan tidak disertai dengan pendampingan serta mengabaikan proses belajar bagi multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dalam mengatasi masalah sosial secara terencana dan mandiri. PPK juga mengabaikan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung sebagai pelaksana program maupun pendamping pelaksanaan program pemberdayaan di kampung sehingga kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu tetap lemah. Lemahnya kapasitas tata kelola pemerintahan kampung berdampak pada ketidakmampuan pemerintahan kampung dalam memenuhi kebutuhan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu yang pada akhirnya memapankan kondisi ketidakberdayaan. Kondisi ketidakberdayaan multi-pihak di Kampung Urumusu dapat diukur dari hal-hal sebagai berikut: 1) aspek ekonomi, komoditi kakao sebagai produk unggulan

3 3 Kampung Urumusu mengalami penurunan tingkat produksi dan pertumbuhan ekonomi Kampung mengalami stagnasi, yang ditandai dengan belum adanya penambahan unit usaha ekonomi produktif maupun perlusan lahan kakao milik masyarakat kampung selama periode 3 tahun terakhir; 2) aspek sosial, multi-pihak di Kampung Urumusu sedang terjadi penurunan kualitas modal sosial sebagai energi sosial dalam mengatasi masalah ekonomi, sosial dan politik secara kolektif; dan 3) aspek politik, multi-pihak di Kampung Urumusu telah kehilangan ruang partisipasi aktif termasuk pengambilan keputusan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pengawasan pembangunan. Semua masalah ini adalah merupakan efek dari proses pembangunan dan program pemberdayaan kampung yang tanpa memberikan ruang untuk penguatan kapasitas pada pemerintahan kampung sebagai pengelola atas program yang masuk ke kampung. Jika kondisi ini tetap dibiarkan maka peluang tercipta kondisi seperti yang dikatakan Jamasi (2004) angka kemiskinan (ekonomi, sosial dan politik) di Indonesia sedang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sering perkembangan penerapan konsep partisipasi dan pemberdayaan dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Oleh sebab itu, menurut Putri (2006) dalam pelaksanaan program pemberdayaan, perlu memperhatikan aspek tata pengaturan (governance) atau sistem admnistrasi pemerintahan sebagai faktor penentu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu kawasan. Penguatan tata pemerintahan desa sebagai pengatur sama pentingnya dengan program pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Sedangkan Wasistiono (2007), keberhasilan suatu program di desa sangat ditentukan oleh kemampuan atau kapasitas tata kelola pemerintahan desa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintahan kampung sebagai mesin penggerak pengembangan wilayah harus kuat, kredibel, legitimate dan berkualitas agar dapat berperan sebagai agen pranata sosial, agen pembaharuan dan agen pembangunan. Dengan demikian pemerintahan kampung dapat mendorong partisipasi stakeholder yang lain dalam pembangunan kampung atas dasar kekuatan sendiri. Kekuatan kapasitas tata kelola Pemerintah Kampung sebagai eksekutif dan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) sebagai legislatif diharapkan dapat mendorong terselenggaranya tata pemerintahan kampung yang baik yang berprinsipkan keberpihakan pada peningkatan kualitas hidup; keterbukaan (transparansi), peran aktif berbagai

4 4 komponen masyarakat dalam pembangunan (partisipasi), membangun kondisi persaingan yang sehat (demokrasi), pembagian wewenang dan tanggung jawab (desentrasasi) untuk dapat mendorong produktivitas, pertanggungjawaban pekerjaan (akuntabilitas) agar dipercaya rakyat, dan keberlanjutan (pelestarian). Untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik di atas, perangkat pemerintahan kampung harus mempunyai kekuatan kapasitas tata kelola. Kapasitas tata Pemerintahan Desa tersebut menurut Wasistiono (2007) adalah: a) Kapasitas Pemerintah Desa, yang meliputi: kapasitas kewenangan, kapasitas keorganisasian, kapasitas personil, kapasitas keuangan, kapasitas perlengkapan, kapasitas fungsi perencanaan, kapasitas fungsi pengawasan dan fungsi pendokumentasian; serta b) Kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD), meliputi kapasitas fungsi agregasi, artikulasi dan fungsi legislasi. Dengan kekuatan kapasitas tata pemerintahan yang dimiliki Kampung diharapkan dapat melaksanakan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang diamanatkan melalui pasal 206 Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 jo pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 jo Permendagri Nomor 30 Tahun 2006, meliputi: 1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; 3) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan 4) urusan pemerintah lainya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa. Konsekuensi logis dari penyerahan urusan kewenangan ini adalah terjadinya desentralisasi fiskal, administrasitif dan politik kepada Pemerintahan Kampung dan diperkirakan bahwa Kampung akan menjadi pusat perhatian pembangunan, menyusul dikeluarkannya Instruksi Presiden 5 Tahun 2007 Tentang Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat yang mengistruksikan agar semua kementerian dan lembaga negara melaksanakan program percepatan pembangunan pada kedua provinsi tersebut. Desentralisasi tersebut jika tidak dikelola dalam suatu konsep pemberdayaan, sistem tata pemerintahan yang baik atas dukungan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang berkemampuan maka desentralisasi tersebut dapat menjadi sumber konflik baru pada aras mikro. Desentralisasi Kampung tidak akan membawa perubahan yang signifikan, terlebih masalah pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan. Kebijakan politik yang seharusnya dapat mendukung bagi percepatan pembangunan kampung justru

5 5 akan menjadi kontra-produktif terhadap proses percepatan pembangunan. Sumber konflik tersebut dapat berkembang ke tingkat regional bahkan nasional. Mashad et al. (2006) mengemukakan bahwa beberapa daerah yang sudah menyerahkan beberapa kewenangan kepada pemerintahan desa di Indonesia, telah menimbulkan konflik antar-elite desa maupun antar-masyarakat di tingkat desa yang pada akhirnya melumpuhkan seluruh proses penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat desa, termasuk program pemberdayaan masyarakat dan percepatan pembangunan di kampung. Untuk menghindari kemungkinan munculnya sumber konflik baru dan dalam rangka mengoptimalkan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan dan tugas pembantuan maka penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung tidak dapat ditunda lagi. Dalam kondisi kapasitas pemerintahan kampung yang kredibel dan berkemampuan (berdaya) maka: 1) program pemberdayaan yang berkualitas akan terlaksana sesuai tujuan dan sasarannya; 2) pemerintahan kampung dapat melaksanakan tugas pokoknya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; dan 3) mengkawal perubahan masyarakat secara terencana tanda menimbulkan konflik. Selain potensi sumber konflik yang bersifat internal di atas, potensi konflik lainnya adalah Rekomendasi No 7, Tap MPR No IV/MPR-RI/2000 tentang otonomi bertingkat tiga dalam sistem tata pemerintahan di Indonesia tidak di indahkan dalam pembuatan UU No. 32 Tahun 2004 sehingga otonomi desa dijadikan satu paket dengan otonomi Kabupaten/Kota. Konsekuensi logisnya adalah otonomi kampung akan ada jika ada pendelegasian kewenangan dari Bupati/Walikota. Oleh sebab itu, berbicara tentang upaya penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu, tentu saja akan menimbulkan potensi konflik karena berhubungan erat dengan masalah pembagian kekuasaan, terlebih keuangan dari Bupati Nabire kepada Pemerintahan Kampung Urumusu. Selain berpotensi mempertahankan status quo, kondisi politik saat ini di mana kompetisi antar-partai politik yang tidak sehat dan lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan masyarakat yang mulai merambah ke dalam ruang birokrasi serta para elite di birokrasi yang telah lama menikmati keuntungan dari lemahnya tata kelola pemerintahan telah memapankan kelemahan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Dalam kondisi kemacetan komunikasi politik antara rakyat, partai politik (DPRD) dan Pemerintah Daerah diperlukan strategi alternatif agar dapat menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan dan menjamin

6 6 kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan untuk mendorong terciptanya pemerataan pembangunan antara kampung dan kota. Oleh sebab itu, advokasi kebijakan publik merupakan salah satu strategi alternatif karena status quo dilakukan melalui proses-proses kebijakan publik di tingkat pemerintahan kabupaten seperti pada muatan materi naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati. LSM lokal diharapkan menjadi unjung tombak dan bersinergis dengan stakeholders lainnya dalam pembaharuan penguatan tata kelola pemerintahan kampung. Advokasi yang dilakukan secara bersinergis dengan multi-pihak diharapkan dapat menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan dan mendorong pelaksanaan kebijakan-kebijakan (Perda- Perda) yang mengatur tentang penguatan tata kelola pemerintahan kampung, khususnya dalam hal desentralisasi fiskal (kewenangan keuangan), desentralisasi administratif (kewenangan menyelenggarakan pelayanan publik) dan desentralisi politik (kewenangan pengambilan keputusan) sebagai prasyarat dalam penyelenggaraan tata Pemerintahan Kampung Urumusu yang berprinsipkan Good Governance dan Total Quality Governance (TQG) untuk memenuhi kebutuhan multi-pihak di Kampung Urumusu, yakni pemerintah, swasata dan masyarakat. Berdasarkan latar belakang kajian tersebut, pengkaji memandang perlu melakukan pengkajian melalui Tugas Akhir dengan judul Strategi Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung (studi Kasus di Kampung Urumusu, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire Provinsi Papua). Perumusan Masalah Yang menjadi pertanyaan dalam kajian ini adalah: 1. Bagaimana kondisi peta sosial tentang Kampung Urumusu? 2. Apakah Program Pemberberdayaan Kampung (PPK) yang pernah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire pada tahun 2005 telah menguatkan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu? 3. Bagaimana kondisi kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan? 4. Apa yang dibutuhkan Pemerintahan Kampung Urumusu dan bagaimana merancang strategi bagi penguatan kapasitas tata kelola secara partisipatif?

7 7 Tujuan Kajian Tujuan umum yang ingin dicapai dari Tugas Akhir ini adalah menyusun rencana strategis penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah : 1. Mendeskripsikan kondisi peta sosial tentang Kampung Urumusu. 2. Mengevaluasi Program Pemberberdayaan Kampung (PPK) yang pernah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire pada tahun 2005 dari perspektif penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. 3. Menganalisis kondisi kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. 4. Menyusun strategi penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu secara partisipatif. Manfaat Kajian Manfaat dari Kajian Tugas Akhir ini dapat ditinjau dalam perpektif praktis, akademis dan strategis, yaitu: 1. Manfaat akademis, mengkayakan literatur tentang teori dan praktek tentang konsep pengembangan kapasitas tata kelola pemerintahan. 2. Manfaat praktis, memberikan masukan tentang konsep pengembangan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung agar Kampung dapat melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. 3. Manfaat strategis, memberikan masukan tentang konsep pembangunan pedesaan yang memberdayakan kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Nabire dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN. Kesimpulan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN. Kesimpulan KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Kesimpulan Sebelum tahun 1984, masyarakat di Kampung Urumusu adalah penduduk Distrik Mapia. Mata pencaharian utama penduduk adalah petani kakao. Luas lahan kakao yang

Lebih terperinci

ANALISA KONDISI KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG URUMUSU

ANALISA KONDISI KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG URUMUSU ANALISA KONDISI KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG URUMUSU Melalui uraian peta sosial Kampung Urumusu dan evaluasi program PPK tergambar bahwa adanya ketidakmampuan Pemerintahan Kampung, yakni

Lebih terperinci

STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG

STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG (STUDI KASUS DI KAMPUNG URUMUSU DISTRIK UWAPA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA) ZAKEUS PETEGE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Hal ini terjadi

Lebih terperinci

Modul ke: OTONOMI DAERAH. 12Teknik. Fakultas. Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi MKCU

Modul ke: OTONOMI DAERAH. 12Teknik. Fakultas. Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi MKCU Modul ke: OTONOMI DAERAH Fakultas 12Teknik Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi MKCU Tujuan Instruksional Khusus 1. Menyebutkan pengertian otonomi daerah 2. Menjelaskan latar belakang otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Reformasi yang diperjuangkan oleh seluruh lapisan masyarakat membawa perubahan dalam kehidupan politik nasional maupun di daerah. Salah satu agenda reformasi

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN, SERTA PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 737 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 16 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA PERIMBANGAN DESA DI KABUPATEN SERANG BUPATI SERANG, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN Untuk memberikan gambaran yang jelas pada visi tersebut, berikut ada 2 (dua) kalimat kunci yang perlu dijelaskan, sebagai berikut : Masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pelayanan menjadi bahasan yang penting dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pelayanan menjadi bahasan yang penting dalam penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelayanan publik merupakan unsur yang penting dalam meningkatkan kualitas hidup sosial di dalam masyarakat manapun(saragih,2005). Dewasa ini kualitas pelayanan menjadi

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN 2011-2015 5.1. Visi Paradigma pembangunan moderen yang dipandang paling efektif dan dikembangkan di banyak kawasan untuk merebut peluang dan

Lebih terperinci

BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada

BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah, LKPJ Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : C. MISI UNIT

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang : bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan transparansi dan akuntabilitas sudah menjadi kewajiban yang harus

Lebih terperinci

Mata Kuliah Kewarganegaraan OTONOMI DAERAH. Modul ke: Panti Rahayu, SH, MH. Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi MANAJEMEN.

Mata Kuliah Kewarganegaraan OTONOMI DAERAH. Modul ke: Panti Rahayu, SH, MH. Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi MANAJEMEN. Mata Kuliah Kewarganegaraan Modul ke: OTONOMI DAERAH Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Panti Rahayu, SH, MH Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id OTONOMI DAERAH Otonomi daerah : pemberian wewenang pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang no 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no 25

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang no 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no 25 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berlakunya Undang-Undang no 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no 25 tahun 1999 merupakan titik awal berjalannya otonomi daerah (reformasi pemerintahan daerah dan reformasi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc. Modul ke: 11 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Otonomi Daerah Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Hubungan Masyarakat Ramdhan Muhaimin, M.Soc.Sc Sub Bahasan 1. Pengertian Otonomi Daerah 2. Latar Belakang Otonomi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 737 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 16 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA PERIMBANGAN DESA DI KABUPATEN SERANG BUPATI SERANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidaklah mudah untuk mewujudkan tujuan pembangunan tersebut, melainkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah

BAB V PENUTUP. menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada Bab IV, maka peneliti menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengakomodir prinsip-prinsip good governance:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era reformasi ini, pemerintah dituntut untuk melakukan perubahan mendasar pada sistem pemerintahan yang ada. Salah satu perubahan mendasar yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi diawal 1998 dapat dikatakan tonggak perubahan bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi diawal 1998 dapat dikatakan tonggak perubahan bangsa Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada era Orde Baru, pemerintah daerah tidak mempunyai kemandirian untuk berkembang. Semua kebijakan pemerintah daerah dikontrol oleh pemerintah pusat. Reformasi diawal

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpolitik di Indonesia baik secara nasional maupun regional. Salah satu agenda

BAB I PENDAHULUAN. berpolitik di Indonesia baik secara nasional maupun regional. Salah satu agenda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dengan bergulirnya era reformasi telah membawa perubahan dalam kehidupan berpolitik di Indonesia baik secara nasional maupun regional. Salah satu agenda reformasi

Lebih terperinci

BUPATI MURUNG RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI MURUNG RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG . BUPATI MURUNG RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI MURUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENEGUHKAN PROFESIONALISME DPRD SEBAGAI PILAR DEMOKRASI DAN INSTRUMEN POLITIK LOKAL DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN RAKYAT H. Marzuki Alie, SE. MM. Ph.D. KETUA DPR-RI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta ekonomi, sehingga menimbulkan tuntutan yang beragam terhadap pengelolaan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi termasuk di bidang keuangan negara. Semangat reformasi keuangan ini telah menjadi sebuah kewajiban dalam

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era reformasi ini tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia yang menyebabkan adanya aspek akuntabilitas dan transparansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari situasi sebelumnya. Otonomi Daerah yang juga dapat dimaknai

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari situasi sebelumnya. Otonomi Daerah yang juga dapat dimaknai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Perubahan paradigma dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik telah memberikan nuansa baru yang sama sekali berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional di Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 5 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN,PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pelaksanaan otonomi daerah, seorang kepala daerah dalam mengimplementasikan pola kepemimpinannya seharusnya tidak hanya berorientasi pada tuntutan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: Otonomi Daerah Pada Modul ini kita akan mempelajari tentang pengertian otonomi daerah pemahaman tentang alasan, tujuan, dan prinsip otonomi, penerapan otonomi daerah dan membedakan pembagian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 21 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 21 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, FINAL PANSUS 15 DES 2011 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 21 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

BAB I PENDAHULUAN. bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk melaksanakan hak dan kewajiban serta untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh rakyat, pemerintah daerah harus mempunyai suatu rencana yang matang untuk mencapai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN soloraya.net Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat 15 Agustus 2014, menyatakan bahwa selain dialokasikan

Lebih terperinci

B. Maksud dan Tujuan Maksud

B. Maksud dan Tujuan Maksud RINGKASAN EKSEKUTIF STUDI IDENTIFIKASI PERMASALAHAN OTONOMI DAERAH DAN PENANGANANNYA DI KOTA BANDUNG (Kantor Litbang dengan Pusat Kajian dan Diklat Aparatur I LAN-RI ) Tahun 2002 A. Latar belakang Hakekat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih 7 tahun dalam pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan pada tanggal 15 Januari

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM ATAS MEKANISME PENYALURAN, PENGGUNAAN, DAN PELAPORAN SERTA PERTANGGUNGJAWABAN DANA DESA. Sumber : id.wordpress.com

TINJAUAN HUKUM ATAS MEKANISME PENYALURAN, PENGGUNAAN, DAN PELAPORAN SERTA PERTANGGUNGJAWABAN DANA DESA. Sumber : id.wordpress.com TINJAUAN HUKUM ATAS MEKANISME PENYALURAN, PENGGUNAAN, DAN PELAPORAN SERTA PERTANGGUNGJAWABAN DANA DESA Sumber : id.wordpress.com I. PENDAHULUAN Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama

Lebih terperinci

RINA KURNIAWATI, SHI, MH

RINA KURNIAWATI, SHI, MH Modul ke: OTONOMI DAERAH Mengetahui wewenang daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat Fakultas FAKULTAS www.mercubuana.ac.id RINA KURNIAWATI, SHI, MH Program Studi Otonomi Daerah Otonomi daerah : pemberian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, terukur, dan legitimate

BAB 1 PENDAHULUAN. penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, terukur, dan legitimate BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa

Lebih terperinci

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM Oleh: Donny Setiawan * Pada era demokratisasi sebagaimana tengah berjalan di negeri ini, masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR Rancangan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Besarnya tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

Lebih terperinci

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan, dimana didalam negara kesatuan dibagi menjadi 2 bentuk, yang pertama adalah negara kesatuan dengan sistem sentralisasi

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas EKONOMI. Program Studi MANAJEMEN. Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas EKONOMI. Program Studi MANAJEMEN.  Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc. Modul ke: 11 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Otonomi Daerah Fakultas EKONOMI Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.Sc Sub Bahasan 1. Pengertian Otonomi Daerah 2. Latar Belakang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kemandirian. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 5 memberikan

BAB I PENDAHULUAN. dan kemandirian. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 5 memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berlakunya peraturan pemerintah mengenai otonomi daerah, hal tersebut merupakan sebuah indikasi bahwa rakyat menghendaki sebuah keterbukaan dan kemandirian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi, demokratisasi, terlebih dalam era reformasi. Bangsa dan negara Indonesia menumbuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

reformasi yang didasarkan pada Ketetapan MPR Nomor/XV/MPR/1998 berarti pada ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 menjadi dasar pelaksanaan

reformasi yang didasarkan pada Ketetapan MPR Nomor/XV/MPR/1998 berarti pada ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 menjadi dasar pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui agenda reformasi yang didasarkan pada Ketetapan MPR Nomor/XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi daerah,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 19 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya good governance. Hal ini memang wajar, karena beberapa penelitian

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya good governance. Hal ini memang wajar, karena beberapa penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan akuntabilitas sektor publik di Indonesia sangatlah diperlukan bagi terwujudnya good governance. Hal ini memang wajar, karena beberapa penelitian menunjukkan

Lebih terperinci

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di Indonesia, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan pimpinan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem kehidupan Negara. Dalam pemerintah sendiri, sudah mulai ada perhatian yang

BAB I PENDAHULUAN. sistem kehidupan Negara. Dalam pemerintah sendiri, sudah mulai ada perhatian yang BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, tuntutan terhadap reformasi politik di Indonesia telah merubah sistem kehidupan Negara. Dalam pemerintah sendiri, sudah mulai ada perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam masyarakat saat itu. Pemimpin-pemimpin formal, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam masyarakat saat itu. Pemimpin-pemimpin formal, bahkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Krisis multidimensi yang menghantam bangsa Indonesia yang dimulai tahun 1997 lalu telah mencerminkan adanya kegamangan masyarakat dalam mensikapi perubahan

Lebih terperinci

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, 2 Menimbang : a. bahwa salah satu sumber pendapatan

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 BAB 2 EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 Evaluasi Pelaksanaan Renja Tahun 2013 2.1 BAB 2 EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 DAN CAPAIAN RENSTRA SAMPAI DENGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberilakukannya otonomi daerah. Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hakekatnya ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

I. PENDAHULUAN. hakekatnya ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakekatnya ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi tercatat mengalami sejarah panjang di Indonesia. Semenjak tahun 1903, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan di daerah, Pemerintah Daerah wajib mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan pemerintahan disuatu Negara dapat dilakukan melalui sistem sentralisasi maupun desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi segala urusan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,

Lebih terperinci

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANGANDARAN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, membawa dampak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 11 Tahun 2007 Seri E Nomor 11 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 11 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 11 Tahun 2007 Seri E Nomor 11 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 11 TAHUN 2007 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 11 Tahun 2007 Seri E Nomor 11 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI POLEWALI MANDAR BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POLEWALI MANDAR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BUPATI LUWU UTARA PROPINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI LUWU UTARA PROPINSI SULAWESI SELATAN BUPATI LUWU UTARA PROPINSI SULAWESI SELATAN Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA, bahwa dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama masa Orde Baru, harapan yang besar dari pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak sendiri ternyata semakin jauh dari kenyataan,

Lebih terperinci

Arah Kebijakan Keuangan Daerah

Arah Kebijakan Keuangan Daerah XXI Arah Kebijakan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah meliputi keseluruhan kegiatan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan.seluruh pihak termasuk pemerintah sendiri mencoba mengatasi hal ini dengan melakukan

Lebih terperinci