4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan"

Transkripsi

1 36 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lokasi Penelitian Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan minyak Montara yang dipasang di Laut Timor. Laut Timor merupakan perairan yang dibatasi oleh kepulauan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste di bagian utara, laut Arafura di bagian timur, negara Australia di bagian selatan dan Samudera Hindia di bagian barat. Perairan ini merupakan perairan yang dilewati oleh lintasan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) dimana arus ini mengangkut massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati laut dan selat-selat perairan Indonesia (Illahude dan Nontji,1999). Angin yang bergerak di atas perairan Laut Timor merupakan salah satu faktor eksternal pembentuk arus permukaan. Angin musim peralihan II adalah angin yang membentuk arus permukaan di perairan Laut Timor pada saat satelit mengamati fenomena tumpahan minyak. Pada tipe angin musim peralihan II pergerakan arah angin didominasi oleh pergerakan arah angin yang berasal dari tenggara dengan melintasi Laut Arafuru, Laut Banda, Laut Jawa dan Samudera Indonesia menuju ke Barat, kemudian akan berbelok ke Utara setelah melintasi Ekuator. Angin muson juga dapat menimbulkan arus arus laut muson di Kepulauan Indonesia yang disebut Arus Monsun Indonesia atau ARMONDO (Illahude dan Nontji,1999). Arus ini mengalir dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa lewat Laut Natuna dan Selat Karimata, dari Laut Jawa arus ini masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Sesuai dengan angin muson sebagai pembentuknya, maka ARMONDO juga mengalami perubahan arah.

2 Penggabungan Citra ALOS yang Dikaji Upaya pendeteksian daerah tumpahan minyak Montara yang terjadi di laut Timor pada tahun 2009 yang lalu dilakukan dengan memanfaatkan data satelit ALOS PALSAR yang mengorbit bumi pada ketinggian 691,65 km di atas permukaan bumi. Satelit ALOS PALSAR diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) pada Januari Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua scene citra tanggal 2 September 2009 pukul 14:36 sampai 14:37, dengan scene ID citra ALPSRP dan ALPSRP path 218. Penggabungan kedua scene citra tipe polarisasi HHHV dilakukan sebelum koreksi nilai digital dan belum dapat diidentifikasi obyek pengamatan berupa minyak atau non minyak. Penggabungan data bertujuan untuk memperoleh cakupan obyek pengamatan lebih luas dan menormalisasi nilai digital dan kenampakan kedua scene citra tersebut. Gambar 10 menunjukkan tampilan citra sebelum dan sesudah penggabungan data citra. a b c Gambar 10. Citra ALOS PALSAR Pada Tanggal 2 September 2009 di Laut Timor (a). Citra dengan Path 6940, (b). Citra dengan Path 6930 dan (c). Citra Hasil Penggabungan Dua Citra dengan Path yang Berbeda

3 Analisa Area Hitam (Detection of Dark Slick) Citra ALOS PALSAR Tahapan analisis area hitam dilakukan setelah nilai digital pada citra ALOS PALSAR dikoreksi menjadi nilai intensitas hambur balik (db) dengan formula NRCS. Analisis area hitam dikonsentrasikan menjadi dua kriteria pengamatan yaitu obyek berupa non minyak dan minyak. Kriteria obyek non minyak dibagi menjadi dua macam yaitu perairan dan platform. Obyek minyak dikelaskan menjadi tiga jenis berdasarkan massa jenis minyak yaitu (1) minyak ringan, (2) minyak sedang dan (3) minyak berat. Secara visual ketiga kriteria ini dapat diasumsikan sebagai obyek minyak dengan melihat rona gelap dan pola penyebaran tumpahan minyak tersebut di atas permukaan laut, semakin dekat jarak antara minyak yang satu dengan yang lain maka obyek tersebut tergolong sebagai minyak dengan ikatan karbon yang berat begitu juga sebaliknya. Pada citra tampak beberapa tampilan pewarnaan target dengan tingkat keabuan yang berbeda yaitu abu-abu, hitam dan putih. Wilayah perairan yang tertupi oleh lapisan minyak akan memiliki pergerakan arus atau riak yang kecil akibat redaman dari lapisan minyak yang menutupi perairan sehingga nilai hambur balik akan semakin kecil dibandingkan lingkungan sekitar dan menyebabkan tampilan pada citra berona gelap. Hal ini merupakan landasan dalam analisis area hitam di suatu perairan, dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah ini yang menunjukkan perbedaan tampilan visual obyek non minyak dan minyak.

4 39 Gambar 11. Tampilan Obyek Minyak dan Non Minyak (Lautan dan Platform) Pada Citra Gambar 11 menunjukkan tahap pertama yang dilakukan pada analisis area hitam yaitu mengasumsikan daerah pengamatan menjadi obyek pengamatan berupa minyak dan non minyak yang didasarkan pada visualisasi kerapatan partikel zat dan warna grayscale yang dihasilkan dari nilai hambur balik obyek. Nilai hambur balik obyek minyak dan non minyak di suatu wilayah perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena angin dapat mempengaruhi penyebaran tumpahan minyak sehingga muncul riak-riak berupa gelombang yang tidak beraturan pada permukaan perairan. Nilai toleransi kecepatan angin dalam pengamatan wilayah perairan berada pada selang 1,5-6 m/s (Hu et al., 2003). Gambar 11 di atas citra yang ditandai dengan lingkaran diasumsikan sebagai obyek berupa anjungan karena obyek ini memiliki pewarnaan yang paling terang dan berdasarkan Brekke dan Solberg (2005) obyek dengan permukaan yang kasar akan menghambur balikkan sinyal dengan kuat. Asumsi adanya platform pada citra pengamatan didasari oleh informasi posisi koordinat anjugan Well Head Montara yang terletak pada ,5 LS dan ,3 BT (Asia Pacific

5 40 Applied Science Associates, 2010). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan memanfaatkan software Er Mapper koordinat yang diperoleh untuk anjungan yang berada di Laut Timor berada pada titik koordinat LS dan BT serta 12 7 LS dan BT. Dua koordinat ini menunjukkan bahwa anjungan yang berada pada titik koordinat LS dan BT merupakan anjungan yang dijadikan perusahaan PTTEP Australia sebagai penampung sementara minyak yang tidak tumpah. Hal ini diduga dilakukan untuk meminimalisir jumlah minyak yang dapat tumpah ke perairan. Perbedaan titik koordinat anjungan ini diasumsikan karena adanya kesalahan koreksi geometrik atau pada saat dilakukan tahapan registrasi citra. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan hasil pengolahan citra tanpa adanya koreksi nilai digital dengan citra yang dikoreksi nilai digital menjadi nilai intensitas hambur balik (db). Garis training area berwarna kuning dibuat pada visualisasi citra pada Gambar 12 di bawah ini untuk dijadikan acuan pengamatan nilai ekstraksi target pengamatan. Garis ini di buat pada daerah dengan visualisasi pewarnaan citra dengan rona gelap yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah dan diasumsikan obyek yang diamati berupa minyak ringan. Gambar 12 di bawah menampilkan grafik hasil ekstraksi citra berupa nilai hambur balik dan digital obyek pengamatan dari garis training area yang telah dibuat pada citra dengan obyek minyak yang diasumsikan sebagai minyak ringan (transek 1).

6 41 a b c Gambar 12. Visualisasi Area Gelap Pada (a). Citra, (b). Nilai Intensitas Hambur Balik (db) vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Hasil Koreksi Nilai Digital dan (c). Nilai Digital vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Tanpa Koreksi Nilai Digital Pendugaan obyek berupa minyak pada citra didasari oleh tingkatan rona gelap dan nilai hambur balik obyek di sekitar sumber tumpahan minyak. Perairan dengan tumpahan minyak berat akan tertutupi lapisan minyak yang pekat

7 42 sehingga energi gelombang mikro radar tidak dapat dihamburkan oleh permukaaan laut yang rata (massa jenis minyak lebih ringan dari air, sehingga minyak cenderung mengapung di atas air). Pendeteksian tumpahan minyak dengan memanfaatkan sistem penginderaan jauh tidak dapat mengetahui besaran massa jenis obyek yang diamati dan luasan penyebaran tumpahan minyak secara vertikal di perairan karena penelitian ini tidak disertai dengan sampel lapangan dan pengamatan hanya dilakukan secara jarak jauh. Oleh karena itu hal yang diamati pada penelitian ini yaitu prinsip dari massa jenis itu sendiri dimana massa jenis suatu obyek dipengaruhi oleh tingkat kerapatan antara molekul suatu zat. Pembuatan garis transek pada citra untuk mengekstrak nilai hambur balik dilakukan pada citra dengan dua hasil pengolahan yang berbeda yaitu dengan koreksi nilai digital dan tanpa adanya koreksi nilai digital. Sumbu y pada Gambar 12 b menunjukkan nilai intensitas dengan satuan db karena nilai digital pada citra terkoreksi dengan formula NRCS, sedangkan sumbu y pada Gambar 12 c menunjukan nilai digital citra tidak terkoreksi. Sumbu x pada kedua grafik mewakili informasi mengenai jumlah data pengamatan dengan posisi piksel bersebelahan secara berurut. Pada kedua grafik hasil ekstraksi nilai digital citra direpresentasikan oleh nilai digital hasil polarisasi HH (garis biru) dan HV (garis merah). Pada Gambar 12 b di atas diperoleh informasi bahwa garis transek di daerah minyak ringan menampilkan nilai hambur balik sebesar -32,5 db s.d. 20 db pada polarisasi HH dan -36 db s.d. 29,5 db pada polarisasi HV. Gambar 12 c di atas menampilkan nilai digital tanpa ada satuan pengukuran, informasi nilai digital obyek pengamatan yang ditandai dengan pembuatan garis transek memiliki

8 43 kisaran nilai digital sebesar pada polarisasi HH dan nilai digital untuk polarisasi HV sebesar Menurut Brekke dan Solberg (2005) tipe polarisasi sinyal radar sangat mempengaruhi sifat nilai hambur balik dari suatu materi atau obyek pada citra SAR. Hal ini terbukti pada tampilan kedua grafik tersebut bahwa nilai sinyal hambur balik ataupun nilai digital dari polarisasi HH (ditransmisikan dan diterima datar) cenderung lebih besar dibandingkan dengan polarisasi HV (ditransmisikan datar dan diterima tegak). Perbedaan nilai hambur balik dari polarisasi HH dan HV diasumsikan terjadi karena bidang pemancar dan penerima sinyal yang tidak sama sehingga mengakibatkan adanya keterbatasan sinyal yang diterima oleh sensor. Grafik 12 di atas menunjukkan bahwa semakin besar nilai selang hambur balik yang terekam maka visualisasi citra semakin jelas. Oleh karena itu nilai hambur balik yang dijadikan acuan pembentukan selang kelas berasal dari nilai yang ditampilkan oleh polarisasi HH. Nilai digital dan sinyal hambur balik hasil pengamatan garis transek di daerah minyak ringan tidak dapat dijadikan acuan secara langsung dalam membuat nilai selang kelas obyek minyak, karena penentuan nilai kelas membutuhkan tahapan perbandingan antara tampilan grafik nilai hambur balik dengan visualisasi wilayah pengamatan citra. Semakin gelap tampilan citra maka nilai rekaman hambur balik akan semakin kecil dan semakin terang tampilan citra maka nilai rekaman hambur balik akan semakin besar. Nilai hambur balik berupa intensitas dan nilai digital yang ditampilkan menunjukkan bahwa tahapan koreksi nilai digital merupakan tahapan yang perlu dilakukan agar menghasilkan nilai hambur balik yang sesuai dengan kenyataan

9 44 dan memiliki satuan yang terukur sehingga data yang digunakan dapat dijadikan acuan dalam pengolahan citra. Keputusan yang diambil pada penelitian ini yaitu sumber data citra yang digunakan untuk tahap penyaringan dan pengolahan data citra adalah citra yang telah dikoreksi nilai digital menjadi nilai intensitas hambur balik (db). Citra hasil koreksi ini akan disalin sebanyak tiga kali untuk mempermudah tahap penyaringan dengan tiga macam ukuran jendela pengamatan yang berbeda yaitu 3x3, 5x5 dan 7x7 pada tiap tahapan penyaringan dan analisis tekstur (Gambar 13). Nilai intensitas hambur balik yang akan diolah merupakan data polarisasi HH oleh satelit ALOS PALSAR. Hasil salinan data kemudian diberikan nama yang berbeda untuk meminimalisir adanya kesalahan peneliti dalam tahap ekstraksi nilai intensitas hambur balik dari citra hasil penyaringan yang berbeda. Hal ini dikarenakan setiap data hasil salinan hanya akan diolah sebanyak satu kali dengan ukuran jendela penyaringan yang berbeda dari metode penyaringan yang serupa misal frost atau gamma. Hasil pengolahan dengan ketiga jendela pengamatan yang berbeda kemudian dijadikan bahan perbandingan tipe penyaringan terbaik dalam memberikan tampilan visual dan nilai hambur balik obyek dalam bentuk grafik dengan speckle terendah dan tampilan yang halus.

10 45 a. 3x3 b. 5x5 c. 7x7 Gambar 13. Data Nilai Intensitas Hambur Balik (db) vs Jumlah Data Pengamatan Piksel untuk Pengolahan Citra dengan Jendela Pengamatan Ukuran (a).3x3, (b).5x5 dan (c). 7x7 4.4 Hasil Penyaringan Data Citra Satelit ALOS PALSAR Tahap kedua identifikasi minyak yaitu proses penyaringan atau dikenal sebagai adaptive filter. Fungsi tahap penyaringan nilai piksel pada citra untuk menghilangkan nilai gangguan dengan frekuensi tinggi (speckle noise) dan

11 46 mengetahui efek dari ukuran jendela pengamatan terhadap proses penghalusan dari karakteristik dan sisi-sisi obyek yang teramati. Penyaringan nilai piksel citra dilakukan pada dua tipe polarisasi yaitu polarisasi HH dan HV. Proses penyaringan citra dapat dilakukan pada dua macam piranti lunak yang berbeda yaitu ENVI 4.5 ataupun ER Mapper 6.4. Metode penyaringan citra pada penelitian kali ini berupa metode filter frost dan gamma dengan ukuran jendela pengamatan sebesar 3x3, 5x5 dan 7x Hasil Penyaringan Frost (Filter Frost) Metode penyaringan frost dengan ukuran jendela pengamatan sebesar 3x3, 5x5 dan 7x7 diaplikasikan terhadap citra hasil koreksi nilai digital tipe polarisasi HH. Tujuan dilakukan penyaringan data dengan tiga ukuran jendela pengamatan yang berbeda yaitu untuk membandingkan nilai intensitas hambur balik dengan nilai speckle yang rendah dari masing-masing pengamatan sehingga dapat dijadikan acuan data sumber ekstraksi nilai intensitas hambur balik obyek minyak maupun non minyak. Penentuan ukuran jendela pengamatan ditentukan oleh pengamat, dengan catatan semakin besar jendela pengamatan yang digunakan maka semakin lama waktu pengolahan yang dibutuhkan, semakin besar kapasitas penyimpanan data yang dibutuhkan dan semakin sempit selang nilai hambur balik yang terekam. Semakin sempit nilai selang hambur balik maka semakin baik nilai tersebut digunakan pada tahap penentuan tampilan klasifikasi obyek. Gambar 14 berikut menampilkan perbandingan hasil penyaringan data citra dengan metode penyaringan filter frost.

12 a b 3x3 Frost 3 x 3 5x5 7x7 Gambar 14. Hasil Penyaringan Data Filter Frost Secara (a). Spasial dan (b). Grafik Nilai Intensitas Hambur Balik (db) Obyek

13 48 Pada Gambar 14 menunjukkan tiga macam ukuran jendela pengamatan filter frost. Gambar di atas merupakan salah satu perwakilan contoh tampilan hasil penyaringan citra. Ketiga grafik pada Gambar 14 b mewakili informasi nilai intensitas hambur balik obyek dengan satuan db pada sumbu y dan pada sumbu x berupa jumlah data piksel pengamatan. Nilai intensitas hambur balik obyek pada citra hasil penyaringan frost pada polarisasi HH memiliki nilai kisaran sebesar - 32,5 s.d. -20 db untuk ukuran pengamatan 3x3, -32 s.d. -21 db untuk jendela pengamatan 5x5 dan -32 s.d. -22,5 db untuk jendela pengamatan 7x7. Berdasarkan tampilan grafik pada ketiga gambar tersebut, dapat dilihat bahwa semakin besar ukuran jendela pengamatan dalam menentukan suatu obyek di citra maka tampilan grafik akan lebih halus yang tampak pada masing masing puncak dan memiliki nilai selang kelas lebih kecil sehingga memudahkan pengamat untuk membaca dan menentukan nilai hambur balik obyek pengamatan untuk tahap segmentasi berikutnya. Penentuan jenis penyaringan pada tahap pengolahan citra ALOS PALSAR didasarkan pada dua faktor, yaitu (1) tingkat kejernihan atau kejelasan visualisasi citra hasil penyaringan dan (2) tingkat kehalusan pola grafik nilai hambur balik obyek pengamatan pada citra. Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa hasil penyaringan citra frost 7x7 menghasilkan tampilan citra paling jelas dan halus baik secara visual maupun grafik nilai intensitas hambur balik Hasil Penyaringan Gamma (Filter Gamma) Metode penyaringan kedua pada penelitian ini yaitu filter gamma 3x3, 5x5 dan 7x7 ditunjukkan pada Gambar 15 di bawah ini.

14 a b 3x3 5x5 7x7 ambar 15. Hasil Penyaringan Data Filter Gamma Secara (a). Spasial dan (b). Grafik Nilai Intensitas Hambur Balik (db) Obyek

15 50 Gambar 15 a menunjukkan visualisasi citra hasil penyaringan gamma dengan ukuran jendela pengamatan 3x3, 5x5 dan 7x7, dapat dilihat bahwa tampilan citra tampak semakin bertambah halus pada puncak grafik seiring bertambahnya ukuran jendela pengamatan. Tampilan grafik pada Gambar 15 b menunjukkan bahwa semakin besar ukuran jendela pengamatan maka puncak grafik akan terlihat lebih halus dan jelas. Pada tampilan pertama Gambar 15 b, dapat dilihat bahwa pola puncak grafik yang dihasilkan oleh gamma 3x3 memiliki tampilan yang kasar dan kurang jelas untuk diamati nilai hambur balik yang dimiliki oleh setiap obyek. Pada tampilan grafik 7x7, nilai hambur balik pada puncak grafik dari obyek pengamatan terlihat lebih halus dan teratur sehingga mempermudah pengamat dalam menentukan selang nilai intensitas hambur balik obyek. Penggunaan ukuran jendela pengamatan pada tahapan penyaringan memberikan informasi bahwa ukuran jendela pengamatan dalam tahap penyaringan data mempengaruhi hasil visualisasi dan nilai hambur balik obyek pengamatan. Kelebihan penggunaan ukuran jendela pengamatan yang semakin besar yaitu semakin akurat dan jelas data yang dihasilkan. Namun berdasarkan pengamatan jendela pengamatan juga memiliki batas toleransi maksimal untuk menghasilkan nilai intensitas hambur balik, karena ukuran jendela pengamatan yang telah melewati batas maksimum akan menghasilkan citra dengan visualisasi yang tidak jelas atau kabur. Kekurangan yang dimiliki oleh data dengan ukuran jendela yang besar yaitu semakin besar kapasitas penyimpanan data dan semakin lama waktu pengolahan data citra tersebut.

16 51 Penentuan jenis data citra hasil penyaringan yang akan digunakan untuk tahapan klasifikasi dan analisis tekstur dilakukan dengan cara dua citra hasil penyaringan antara metode yang berbeda yang menunjukkan informasi nilai intensitas hambur balik obyek terbaik dari masing-masing metode penyaringan yang telah diuji cobakan. Berdasarkan analisis hasil penyaringan citra antara dua metode, diperoleh informasi bahwa hasil penyaringan filter frost 7x7 dan gamma7x7 merupakan metode terbaik yang mewakili masing-masing metode dalam menghasilkan informasi visual dan nilai hambur balik yang jelas terhadap obyek yang diamati. Gambar 16 di bawah ini merupakan perbandingan hasil penyaringan metode frost dan gamma berupa tampilan grafik Gambar 16. Perbandingan Tampilan Grafik Nilai Hambur Balik Obyek Metode Penyaringan Frost 7x7 dan Gamma 7x7 Gambar 16 menunjukkan bahwa kedua grafik nilai hambur balik yang dihasilkan metode penyaringan frost dan gamma 7x7 menghasilkan nilai hambur

17 52 balik obyek dengan pola dan tingkat kehalusan yang sama. Hal ini dapat terjadi karena filter gamma memiliki fungsi penyaringan yang menyerupai dengan fungsi filter frost yaitu meminimalisir speckle ketika menghasilkan visualisasi obyek dengan nilai frekuensi yang tinggi. Speckle pada citra radar tampak sebagai tekstur dari butiran pasir pada gambar. Hal ini disebabkan oleh pembentukan yang tidak teratur dan keikutsertaan yang merusak dari gabungan nilai hambur balik yang kembali dihamburkan oleh obyek yang dapat terjadi pada setiap resolusi sel pengamatan (CCRS, 2005). Oleh karena itu dibutuhkan bahan pembanding lain dari kedua data tersebut yaitu berupa tampilan nilai intensitas hambur balik dalam tabulasi (Tabel 7). Tabel 7 di bawah ini merupakan salah satu contoh nilai HH yang terekam. Tabel di bawah ini menunjukkan selisih perbedaan yang kecil dari hasil ekstraksi nilai intensitas (db) dengan dua metode yang berbeda dimana nilai hambur balik pada metode filter gamma lebih besar dibandingkan frost. Tabel 7. Contoh Perbandingan Nilai Intensitas Hambur Balik Penyaringan Dua Filter F7_HH G7_HH SELISIH_HH Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat selisih nilai hambur balik antara metode frost dan gamma mencapai 0,0312 s.d. 0,0038 db. Oleh karena itu dibutuhkan data penguat pengambil keputusan mengenai jenis penyaringan yang terbaik untuk

18 53 pengolahan citra radar berupa perbandingan tingkat kehalusan dan tingkat kejelasan secara visual (Gambar 17). a b Gambar 17. Perbandingan Tampilan Citra Metode Penyaringan (a) Frost 7x7 dan (b) Gamma 7x7 Kedua tampilan citra secara sekilas memiliki tingkat kejelasan dan kehalusan yang sama dan cukup tinggi, hal ini akan memudahkan pengamat dalam langkah pengidentifikasian obyek yang teramati. Namun apabila diperhatikan lebih mendalam tampak pada citra gamma 7x7 tampilan citra terlihat lebih jelas dibandingkan frost 7x7 khususnya pada bagian tepian obyek. Hal yang mendukung pengambilan keputusan data penyaringan gamma 7x7 sebagai data acuan adalah fungsi dari metode penyaringan gamma yang menyaring data citra dengan mengasumsikan adanya gangguan data secara ganda. Hasil visualisasi ini menjadi landasan dalam penentuan keputusan tipe penyaringan yang digunakan dalam tahap pengolahan data citra radar sehingga nilai hambur balik dapat diekstrak dari citra tersebut. Percobaan pengolahan citra dengan tipe penyaringan frost dan gamma menunjukkan bahwa visualisasi citra pada hasil penyaringan gamma lebih jelas dibandingkan hasil penyaringan citra frost. Maka tahapan ekstraksi nilai hambur balik obyek pada citra dapat dilakukan dengan menggunakan citra radar hasil penyaringan gamma 7x7.

19 Analisa Tekstur Data Citra Satelit ALOS PALSAR Tekstur didefinisikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan piksel yang berdekatan dalam proses pengolahan data digital (Ganis Y et.al, 2008). Analisis tekstur merupakan tahapan penting yang perlu dilakukan dalam identifikasi obyek yang berada pada citra. Analisis ini dilakukan setelah tahapan penyaringan nilai citra atau dikenal sebagai SAR image adaptive speckle filtering. Nilai koefisien statistik yang dihasilkan pada adaptive speckle filtering memiliki sifat yang sensitif terhadap pola atau tekstur obyek beserta nilai speckle noisenya, namun nilai tersebut tidak memberikan informasi yang lebih jelas mengenai tekstur obyek tersebut secara langsung ataupun informasi yang terbatas mengenai hubungan antara nilai frekuensi tinggi (speckle). Selain itu nilai hambur balik yang dihasilkan pada tahapan penyaringan pertama memiliki nilai selang yang cukup besar, hal ini dapat menjadi halangan dalam penentuan nilai selang antar kelas untuk diaplikasikan dalam tahap klasifikasi obyek tumpahan minyak. Oleh karena itu tahapan analisa secara statistik tingkat kedua perlu dilakukan demi melengkapi pemulihan nilai hambur balik pada citra radar termasuk di dalamnya tingkat kekasaran dari obyek yang teramati dan nilai resolusi yang dijadikan sebagai contoh yang berhubungan dengan suatu fenomena. Analisa tekstur pada citra dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu secara struktural, statistika dan gabungan antara struktural dengan statistika (Tan, 2001). Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode Grey Level Cooccurence Matrix (GLCM) dimana matrix ini memiliki elemen-elemen yang

20 55 berasal dari penjumlahan beberapa pasang pixel yang memiliki tingkat kecerahan tertentu yang terpisah dengan jarak d dan dengan sudut inklinasi Ө. Penelitian mengenai matriks GLCM telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu diantaranya Nezry et.al, 1994; Septiadi dan Nasution, 2010 serta Purnomo A dan Puspitodjati, 2009, yang dibagi menjadi sembilan belas macam metode analisis tekstur untuk mengklasifikasikan obyek pada citra. Namun analisis tekstural citra yang diuji cobakan pada citra RADAR ALOS PALSAR kali ini sebanyak delapan macam antara lain (i) Second Moment, (ii) Contrast, (iii) Correlation,(iv) Dissimilarity, (v) Entropy,(vi) Homogeneity, (vii) Mean dan (viii) Variance. Setiap metode penyaringan memiliki keunikan dan batasan masing masing oleh karena itu penentuan jenis penyaringan yang akan digunakan dipengaruhi oleh kebutuhan peneliti akan data secara spesifik dan karakteristik dari data olahan. Suatu teknik penyaringan dapat digolongkan sebagai teknik yang baik untuk digunakan apabila hasil olahan teknik tersebut dapat mengurangi speckle noise tanpa menghilangkan batas tepi, informasi struktur dari obyek yang diamati dan tanpa mengubah pola nilai hambur balik obyek pengamatan. Speckle noise merupakan sebuah permasalahan paling utama dalam data citra SAR karena hal ini dapat mengurangi kualitas gambar secara serius sehingga dapat menghambat peneliti dalam menentukan nilai selang hambur balik obyek. Data citra yang dijadikan acuan dalam tahap pengolahan data analisis tekstur merupakan data citra hasil penyaringan gamma 7x7 tipe polarisasi HH. Gambar 18 di bawah ini menampilkan visualisasi hasil penyaringan citra dengan analisis tekstur dengan delapan metode yang berbeda.

21 56 Second Moment Contrast Correlation Dissimilarity Entropy Homogeneity Mean Variance Gambar 18. Perbandingan Tampilan Visual Citra Hasil Analisis Tekstural GLCM Gambar 18 di atas menampilkan hasil pengolahan tekstur citra dengan obyek yang sama namun menghasilkan visualisasi yang berbeda. Tujuan utama dalam tahap penyaringan analisis tekstur GLCM yaitu untuk mengurangi speckle noise pada citra tanpa menghilangkan batas tepi, informasi struktur dari obyek yang diamati dan tanpa mengubah pola nilai hambur balik obyek pengamatan. Berdasarkan delapan macam GLCM yang telah diuji cobakan dalam penelitian ini dapat dilihat terdapat dua macam analisis tekstur yang diasumsikan menghasilkan

22 57 tampilan citra visual terbaik yang menyerupai tampilan awal citra radar sebelum mengalami pengolahan, yaitu analisis tekstur correlation dan mean. Analisis correlation digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan linier derajat keabuan dari piksel yang saling bertetangga. Sedangkan analisis nilai tengah (mean) berguna untuk menampilkan nilai tengah transisi pada visualisasi tekstur yang menjelaskan nilai level keabuan pada citra. Namun dalam penetuan analisis tekstural yang akan digunakan untuk diekstrak nilai hambur balik yang disimpan tiap pikselnya tidak hanya dilihat dari tingkat kemiripan visualisasi citra namun juga hasil statistik pada grafik dengan nilai hambur balik obyek sebagai informasi utama. Oleh karena itu pada penelitian ini juga ditampilkan gambar grafik nilai hambur balik hasil pengolahan analisis tekstur dengan delapan macam metode yang ditunjukkan pada Gambar 19 dan 20 di bawah ini. Nilai hambur balik yang ditampilkan pada grafik di bawah ini merupakan salah satu contoh hasil ekstraksi data pada obyek yang diasumsikan sebagai minyak ringan. Penentuan tipe analisis tekstur yang akan digunakan dalam tahap pengolahan data dapat dilakukan apabila peneliti melakukan perbandingan dan pengamatan pola grafik intensitas nilai hambur balik yang dihasilkan dari tiap-tiap metode analisis tekstur dengan pola grafik nilai hambur balik yang dihasilkan dari ekstrasksi citra tahap penyaringan gamma 7x7. Tahap ini dilakukan agar dapat dilihat bahwa fungsi dari pengolahan analisis tekstur tidak mengubah nilai intensitas hambur balik obyek yang tersimpan dalam citra sehingga meminimalisir adanya kesalahan dalam interpretasi obyek.

23 Gambar 19. Perbandingan Tampilan Grafik Nilai Hambur Balik Analisis Tekstural GLCM Second Moment, Contrast, Correlation, dan Dissimilarity 58

24 Gambar 20. Perbandingan Tampilan Grafik Nilai Hambur Balik Analisis Tekstural GLCM Entropy, Homogeneity, Mean, dan Variance 59

25 60 Gambar 19 dan 20 di atas menunjukkan grafik nilai hambur balik obyek yang diasumsikan sebagai minyak ringan pada citra dengan analisis tekstur. Berdasarkan perbandingan pola grafik nilai hambur balik pada Gambar 19 dan 20, dapat dilihat bahwa nilai hambur balik yang ditampilkan pada analisis tekstur mean memiliki pola nilai hambur balik serupa dengan pola nilai hambur balik hasil penyaringan data citra gamma 7x7. Pola serupa pada grafik GLCM mean menunjukkan bahwa nilai hambur balik yang dianalisis tidak mengalami perubahan informasi obyek. Sedangkan grafik yang dihasilkan oleh correlation GLCM memiliki tampilan statistik dan pola yang berbeda dengan hasil penyaringan gamma 7x7. Berdasarkan hasil visualisasi dan grafik analisis tekstur, diputuskan data citra yang akan dijadikan acuan dalam ekstraksi nilai hambur balik untuk dijadikan nilai selang klasifikasi adalah citra dengan hasil pengolahan analisis tekstur GLCM mean. 4.6 Klasifikasi Obyek Minyak dan Non Minyak Pada citra radar ALOS PALSAR dapat dilihat bahwa perairan memiliki gradasi warna yang berbeda yaitu rona gelap (hitam), rona abu-abu dan rona abuabu yang terlihat samar- samar. Selain warna keabuan, tampak pula warna putih terang pada citra ALOS PALSAR, apabila dilakukan pembesaran obyek dengan pewarnaan yang terang merepresentasikan nilai hambur balik yang tinggi dari anjungan minyak Montara. Pewarnaan citra radar berupa grayscale, hal ini membatasi peneliti dalam mengasumsikan luasan penyebaran tumpahan minyak di perairan Laut Timor. Oleh karena itu dilakukan tahap klasifikasi yang dapat mengelompokkan seluruh piksel dalam beberapa kelas yang didasarkan pada nilai

26 61 spektral yang dimiliki tiap obyek. Tahap klasifikasi dapat dilakukan setelah nilai digital pada citra dikonversi menjadi nilai hambur balik kemudian tersaring dengan metode penyaringan dan metode analisis tekstur yang telah ditentukan berdasarkan percobaan yang telah dilakukan pada penelitian ini. Pada penelitian ini nilai hambur balik obyek pada citra ALOS PALSAR yang dijadikan acuan dalam penentuan nilai selang kelas berasal dari citra hasil HV penyaringan gamma 7x7 yang kemudian di analisis dengan analisis tekstur GLCM mean. Penentuan nilai selang hambur balik dari tiap obyek yang diamati diperoleh melalui tampilan grafik yang dihasilkan dari pembuatan garis training area pada tiap obyek yang diamati. Nilai selang diperoleh melalui pengamatan ekstraksi nilai hambur balik yang dihasilkan oleh mode polarisasi HH, karena nilai hambur balik yang dihasilkan citra pada polarisasi HH lebih besar dibandingkan dengan polarisasi HV sehingga tampilan citra akan semakin jelas. Jenis klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini berupa klasifikasi unsupervised dikarenakan data acuan primer tidak dilengkapi dengan data pengamatan secara in situ atau ground check. Tahapan yang perlu dilakukan analis sebelum menentukan nilai selang yaitu membuat jumlah kelas yang akan dibuat dari data yang diamati berjumlah lima buah yaitu obyek minyak berat, minyak sedang, minyak ringan serta obyek non minyak berupa perairan dan anjungan. Nilai selang kelas yang diperoleh kemudian akan diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi. Penentuan kelas diamati pada penelitian kali ini ditampilkan pada Gambar 21 di bawah ini.

27 62 Gambar 21. Pola Garis Transek untuk Penentuan Nilai Intensitas Obyek Pengamatan Keterangan Garis: Kuning : Minyak sedang; Pink : Perairan; Cyan : Minyak Ringan; Putih : Minyak berat; dan Merah : Anjungan Pada tahapan penyaringan gamma nilai hambur balik pada citra berkisar antara -35,0 db sampai dengan 15,0 db dimana nilai hambur balik obyek berupa minyak memiliki kisaran dari -35,0 s/d -21,0 db, perairan memiliki nilai yang lebih besar yaitu -20,0 s/d -10,0 db sedangkan obyek berupa anjungan memiliki nilai hambur balik sebesar -10,0 s/d 15,0 db. Pembuatan asumsi yang didasarkan pada nilai selang hambur balik menunjukkan bahwa obyek perairan yang tertutupi lapisan minyak akan memiliki nilai hambur balik yang lebih rendah dibandingkan lingkungan sekitar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brekke dan Solberg (2005) bahwa lapisan minyak yang menutupi permukaan laut akan meredam pergerakan

28 63 riak air berupa gelombang maupun arus akibat tekanan yang dimiliki oleh lapisan tersebut lebih besar dibandingkan tekanan air dan juga menyebabkan sinyal gelombang mikro yang dihambur balikkan menjadi lebih rendah akibat teredamnya sinyal tersebut. Namun untuk obyek yang tidak mengalami peredaman akibat lapisan minyak yang menutupi suatu permukaan perairan akan memiliki nilai hambur balik yang lebih besar. Nilai hambur balik yang diperoleh dari tahap penyaringan gamma 7x7 tidak dapat dijadikan acuan penentuan selang kelas dalam pewarnaan klasifikasi dari tiap obyek pada citra radar ini, karena nilai hambur balik pada tahap penyaringan ini memiliki selang nilai cukup besar sehingga mempersulit pengamat dalam menentukan nilai selang kelas yang dapat menghasilkan peta tematik tumpahan minyak yang sesuai. Hal ini dikarenakan satu piksel pada citra memiliki 16 bit data penyimpanan atau sama dengan tingkat keabuan, maka diasumsikan semakin besar nilai selang kelas suatu obyek akan mempersulit piranti untuk mengelompokkan seluruh piksel menjadi beberapa kelas. Oleh karena itu citra hasil penyaringan gamma 7x7 diolah kembali dengan analisis tekstur GLCM mean 7x7. Analisis tekstural GLCM Mean dengan ukuran jendela pengamatan sebesar 7x7 dilakukan untuk mempermudah penentuan nilai selang kelas obyek berupa minyak dan non minyak. Nilai hambur balik pada tahapan ini bernilai positif dengan informasi tambahan mengenai tipe kekasararan dari obyek yang diamati. Jumlah kelas klasifikasi pada tahapan GLCM mean kali ini sebanyak tujuh kelas dimana kelas satu menyatakan selang kelas untuk tampilan citra terkoreksi, kelas dua dan tiga merupakan selang kelas untuk minyak berat, kelas

29 64 empat merupakan selang kelas minyak sedang, kelas lima merupakan selang kelas minyak ringan, kelas enam merupakan selang kelas perairan dan kelas ketujuh merupakan selang kelas anjungan minyak. Pembuatan dua kelas untuk obyek minyak berat karena selang nilai hambur balik minyak berat cukup besar, yaitu 1,5 9,0 db, sehingga mempersulit tahapan klasifikasi yang dilakukan. Oleh karena itu pemecahan kelas untuk obyek minyak berat dilakukan sehingga menghasilkan tampilan yang lebih teratur dan sesuai. Pada citra hasil penyaringan tekstur GLCM ditemukan nilai hambur balik obyek sebesar 21,0 35,0 db belum terklasifikasi dengan baik, oleh karena itu dilakukan pengamatan posisi nilai hambur balik pada piksel citra. Nilai selang hambur balik ini ditemukan disekililing lokasi anjungan, sehingga diasumsikan bahwa nilai hambur balik tersebut berupa minyak berat. Perbedaan nilai hambur balik obyek minyak berat di sekitar anjugan dapat terjadi akibat pengaruh nilai hambur balik anjungan sumur Montara. Oleh karena itu dalam pengaplikasian nilai selang hambur balik obyek pada formula klasifikasi, nilai ini diklasifikasikan sebagai obyek minyak berat. Nilai selang hambur balik tiap kelas obyek pengamatan dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Kisaran Nilai Hambur Balik Klasifikasi Obyek Kelas Obyek Nilai Selang Hambur Balik (db) Kelas 1 Scene citra 0 s.d. 1,5 Kelas 2 dan 3 Minyak berat 1,5 s.d. 4,5 ; 6,0 s.d. 9,0 dan 21,0 s.d. 35,0 Kelas 4 Minyak sedang 9,0 s.d. 10,5 Kelas 5 Minyak ringan 10,5 s.d. 13,0 Kelas 6 Perairan 13,0 s.d. 21,0 Kelas 7 Anjungan 35,0 s.d. 50,5 Nilai selang hambur balik yang diperoleh pada penelitian ini tidak dapat dibandingkan dengan nilai hambur balik penelitian sebelumnya. Hal ini sesuai

30 65 dengan pernyataan Samad dan Mansor (2011) bahwa nilai hambur balik radar dari obyek berupa tumpahan minyak ataupun bukan minyak yang telah diidentifikasi oleh pengamat sebelumnya tidak dapat dijadikan acuan oleh peneliti selanjutnya, karena nilai hambur balik dari obyek minyak tidak selalu sama. Faktor faktor yang mempengaruhi koefisien nilai hambur balik minyak tidak konstan diantaranya tipe tumpahan minyak, ketebalan dari tumpahan minyak, metode pengolahan yang digunakan, jenis data penginderaan jauh yang digunakan berasal dari jenis satelit dan sensor dengan mode polarisasi dan cakupan satelit tertentu yang digunakan. Penentuan nilai selang hambur balik juga dilakukan pada citra hasil analisis tekstur agar memperkuat alasan pengambilan nilai selang hambur balik obyek dari satu metode analisis yang akan diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi. Tabel 9 di bawah ini menunjukkan perbedaan nilai selang hambur balik obyek yang diperoleh dari pengamatan nilai hambur balik puncak grafik hasil ekstrak citra pada garis training area yang telah dibuat. Tabel 9. Perbandingan Nilai Intensitas Hambur Balik Obyek dengan Metode Analisis Tekstur Mean dan Correlation Obyek Pengamatan Nilai selang hambur balik Nilai selang hambur balik (db) (db) pada analisis Mean pada analisis Correlation Minyak Berat 1,5 s.d. 4,5 ; 6,0 s.d. 9,0 12,5 s.d. 23,5; 23,5 s.d. 40,0; dan 21,0s.d. 35,0 dan 40,0 s.d. 74,6 Minyak Sedang 9,0 s.d. 10,5 4,5 s.d. 8,5 dan 8,5 s.d. 12,5 Minyak Ringan 10,5 s.d. 13,0 2,5 s.d. 4,5 Perairan 13,0 s.d. 21,0-4,5 s.d. 2,5 Anjungan 35,0 s.d. 50,5-33,0 s.d. -18,0 dan -18,0 s.d. - 4,0 Nilai selang hambur balik yang ditunjukkan pada analisis correlation menunjukkan nilai yang berbanding terbalik dengan teori Brekke dan Solberg (2005). Nilai hambur balik pada analisis tekstur correlation menunjukkan bahwa

31 66 obyek dengan tingkat kekasaran permukaan yang tinggi menghambur balikkan gelombang mikro yang rendah dan sedikit sedangkan obyek dengan tingkat kekasaran yang rendah, akibat adanya lapisan minyak, menghambur balikkan gelombang mikro yang tinggi. Nilai hambur balik yang dihasilkan analisis correlation akan mempengaruhi visualisasi pewarnaan pada citra sehingga akan mempersulit peneliti dalam menentukan obyek yang teramati. Hasil perbandingan nilai ekstraksi hambur balik obyek ini akan memperkuat alasan bahwa nilai selang hambur balik analisis tekstur mean merupakan nilai hambur balik yang sesuai dengan teori untuk diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi unsupervised. Gambar 22 di bawah menampilkan visualisasi pewarnaan klasifikasi obyek berdasarkan analisis tekstur mean pada citra. Gambar 22. Hasil Klasifikasi Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor

32 67 Gambar 22 di atas menunjukkan bahwa obyek berupa minyak ringan dengan warna pink tergolong cukup sedikit penyebarannya, sedangkan obyek berupa minyak berat dengan warna hijau dan minyak sedang dengan warna kuning lebih mendominasi penyebaran tumpahan minyak yang terekam pada tanggal 2 September Menurut Xiaojing L et.al., (2012) citra Radar ALOS PALSAR memiliki resolusi spasial yang tinggi sehingga untuk pemantauan tumpahan minyak di Laut Timor dibutuhkan tujuh buah path citra untuk melingkup daerah tersebut. Kesulitan dari penggunaan citra ini untuk kegiatan pemantauan yaitu waktu pemindaian dari masing-masing citra yang tidak dilakukan secara bersamaan. Fakta ini menyebabkan citra hanya dapat menampilkan keberadaan tumpahan minyak pada hari tertentu daripada memberikan informasi mengenai visualisasi tumpahan minyak tersebut untuk seluruh area yang tercemar. Oleh karena itu luasan tumpahan minyak dari tiap obyek yang terekam oleh satelit hanya memberikan informasi luasan penyebaran tumpahan minyak secara horizontal pada permukaan perairan dengan cakupan wilayah sesuai dengan titik koordinat citra pengamatan. Nilai kisaran luas peyebaran tumpahan minyak yang diperoleh pada citra pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Kisaran Hamburan Balik (db), Luas Tumpahan Minyak Berdasarkan Citra ALOS PALSAR Wilayah km 2 Kisaran Hambur Balik (db) Minyak Berat ,5 s.d. 9,0 db dan 21,0 s.d. 35,0 db Minyak Sedang ,0 s.d. 10,5 db Minyak Ringan ,5 s.d. 13,0 db Perairan ,0 s.d. 21,0 db Platform 10 35,0 s.d. 50,5 db

33 68 Luasan dari obyek yang diamati dapat dilihat pada Tabel 10 di atas, satuan pengukuran luasan dari obyek yaitu km 2. Tabel di atas memberikan informasi bahwa obyek berupa minyak sedang mendominasi wilayah penyebaran tumpahan minyak pada saat satelit merekam Laut Timor tanggal 2 September 2009 dibandingkan dengan obyek minyak berat yaitu seluas km 2. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor angin yang menyebabkan adanya pergerakan permukaan laut sehingga menyebabkan minyak yang tumpah terdistribusikan secara luas. Informasi luas obyek non minyak berupa platform merupakan gabungan nilai kisaran luas obyek untuk dua buah platform, namun nilai kisaran luas obyek yang dihasilkan terlalu besar. Hal ini dapat terjadi karena selang nilai intensitas hambur balik terlalu besar akibat tercampurnya nilai hambur balik obyek minyak yang berada di sekitar platform dengan nilai hambur balik dari anjungan itu sendiri. Sedangkan luas obyek pengamatan non minyak berupa perairan tergolong rendah dikarenakan luas obyek perairan yang tidak tercemar minyak yang terekam oleh satelit tergolong sempit atau sedikit. Informasi kisaran luasan penyebaran minyak yang diperoleh dari pengolahan citra tidak dapat dijadikan acuan peneliti untuk menangani tumpahan minyak Montara di Laut Timor karena cakupan luasan wilayah pengamatan satelit ALOS PALSAR lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang terkontaminasi. Namun informasi luasan tumpahan minyak secara horisontal ini dapat dijadikan acuan arah penyebaran tumpahan minyak untuk wilayah pengamatan yang sesuai dengan titik koordinat citra. Asumsi besaran tumpahan minyak Montara yang mencemari wilayah pengamatan citra di Laut Timor dapat bertambah atau berkurang karena informasi luasan lapisan minyak berat, minyak sedang dan

34 69 minyak ringan yang teramati merupakan informasi secara horizontal permukaan perairan, sehingga kemungkinan adanya luasan lapisan minyak dengan massa jenis berat, sedang ataupun ringan secara vertikal tidak dapat terdeteksi. Sehingga asumsi luasan secara horizontal tumpahan minyak berupa minyak sedang yang terhitung pada program sebesar km 2 memiliki kemungkinan pada data lapangan memiliki luas sebesar km 2. Asumsi nilai luasan ini diperoleh melalui perhitungan luasan tumpahan minyak sedang yang terekam ditambah dengan luasan tumpahan minyak berat karena massa jenis minyak sedang lebih rendah dibandingkan minyak berat sehingga adanya kemungkinan minyak sedang tertutupi oleh lapisan minyak berat. Asumsi luasan untuk obyek minyak ringan juga memiliki kemungkinan lebih besar dibandingkan nilai luasan penyebaran tumpahan minyak yang terekam oleh citra yaitu sebesar km 2.. Nilai akurasi suatu citra pengamatan diperoleh melalui data pengamatan secara in situ dan klasifikasi terbimbing (Prayudha, 2010). Menurut Prayudha (2010) nilai akurasi umum (Overall Accuracy) untuk hasil penafsiran visual pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m tahun 2009 adalah sebesar 62,75%. Nilai akurasi dipengaruhi oleh resolusi spasial suatu sensor, semakin tinggi resolusi spasial yang diamati maka nilai akurasi semakin tinggi begitu juga sebaliknya (Ristiana, 2011). Oleh karena itu dapat dikatakan nilai akurasi ALOS PALSAR dengan resolusi spasial 12,5 meter memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan nilai akurasi untuk resolusi 50 m namun persentase nilai ini tidak diketahui karena tidak adanya pengamatan obyek secara lapang.

35 Pola Pergerakan Angin di Laut Timor Tampilan warna gelap pada perairan tidak dapat dijadikan sebagai landasan pernyataan bahwa obyek yang berada pada wilayah tersebut adalah tumpahan minyak tanpa adanya pengamatan lebih lanjut mengenai keadaan lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan obyek lain yang menyerupai lapisan minyak seperti sperma organisme laut (ikan paus) serta keadaan perairan yang tenang akibat kecepatan angin yang rendah dapat menyebabkan tampilan pada citra berwarna lebih gelap dibandingkan lingkungan sekitar. Kriteria untuk mengetahui obyek yang teramati tergolong ke dalam tumpahan minyak apabila obyek yang teramati tampak berwarna lebih gelap dibandingkan sekitarnya pada saat lingkungan memiliki kecepatan angin yang tergolong ideal dan tetap. Lapisan minyak tersebut pada umumnya berada di sekitar kapal, daerah pemboran atau lokasi bongkar muat dan lalu lintas kapal. Sedangkan kriteria untuk obyek yang menyerupai (misal sperma organisme, kumpulan rumput laut) dapat terdeteksi pada daerah dengan kecepatan angin yang rendah, berada di zona pesisir hingga daerah yang terlindung dari angin, daerah gelap yang panjang dan diikuti dengan perubahan bentuk spiral, lapisan yang alami membentuk gabungan dengan arus atau daerah pemusatan, menyerupai kelompok titik hujan dimana bagian pusat memiliki hambur balik yang sangat rendah dan dikelilingi oleh obyek yang memiliki hambur balik yang sangat tinggi (Susantoro TM et.al, 2010). Tipe angin musim yang terjadi di Laut Timor pada saat satelit merekam lokasi penelitian ini adalah tipe angin musim peralihan dua karena perekaman data dilakukan pada bulan September. Tipe angin musim ini dapat dibuktikan dengan

36 71 menampilkan hasil visualisasi pola pergerakan angin di wilayah pengamatan. Satuan yang digunakan pada visualisasi kecepatan angin dapat berupa meter per satuan detik (m/s) ataupun knot (kn). Knot adalah satuan kecepatan yang sama dengan satu mil laut per jam atau sama dengan 1,852 km / jam (Endarko et. al., 2009). Namun untuk menyesuaikan nilai 1 knot dengan satuan m/s maka perlu dilakukan konversi data dengan membagi nilai variabel kecepatan angin m/s dengan nilai 0,5144 (Endarko et.al., 2009). Penggunaan satuan knot ditujukan untuk menyesuaikan format data kecepatan yang umum digunakan dalam dunia kelautan dan pelayaran. Pengolahan data angin yang pertama kali dilakukan adalah data angin yang diunduh selama satu minggu sebelum satelit ALOS PALSAR memindai lokasi Laut Timor pada path 6930 dan 6940 (Gambar 23). a b c Gambar 23. Visualisasi Pergerakan Angin Satu Minggu Sebelum Satelit Merekam Laut Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra dan (c). Windrose Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan

37 72 Gambar 23 a menunjukkan bahwa pola arah angin yang terjadi pada akhir Agustus merupakan pola arah angin muson peralihan yang ditandai dengan pergerakan angin dari benua Australia menuju arah Asia yang melewati Laut Timor dan Laut Jawa dengan kecepatan maksimal angin sebesar 6 m/s atau 11,6 knot yang tergolong sebagai kecepatan angin ideal untuk identifikasi tumpahan minyak pada citra menurut Hu et al (2005). Pola pergerakan angin yang tidak menentu akibat terjadinya angin muson peralihan II saat perekaman terjadi sehingga diasumsikan akan mempengaruhi pola penyebaran tumpahan minyak di permukaan perairan menjadi tidak beraturan yang akan mempersulit pembuatan asumsi luasan penyebaran tumpahan minyak oleh peneliti. Visualisasi arah angin yang ditunjukkan pada Gambar 23 b dan c merupakan pola arah angin yang khusus difokuskan untuk pengamatan wilayah Laut Timor sesuai titik koordinat perekaman citra satelit ALOS PALSAR dengan kecepatan angin berkisar antara 0 1,7 m/s. Pada skala Beaufort, kecepatan angin yang terekam pada 24 Agustus 30 Agustus 2009 memiliki kriteria angin lemah yang dapat menyebabkan munculnya riak kecil di atas permukaan sehingga kemungkinan adanya pengadukan obyek minyak ke dalam badan perairan kecil. Hal yang mempengaruhi lemahnya pergerakan angin karena adanya asumsi kedudukan matahari yang melewati garis ekuator mempengaruhi perbedaan suhu antara benua Asia dan Australia yang tidak terlalu besar sehingga pergerakan angin minim terjadi. Pengolahan data angin kedua dilakukan untuk data angin yang diunduh selama satu minggu saat satelit ALOS PALSAR memindai lokasi Laut Timor pada path 6930 dan 6940 yaitu pada tanggal 31 Agustus 6 September Nilai

38 73 angin yang diolah ini merupakan nilai rata-rata angin yang berhembus selama satu minggu pengamatan yang ditampilkan pada Gambar 24 di bawah. a b c Gambar 24. Visualisasi Pergerakan Angin Satu Minggu Saat Satelit Merekam Laut Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra dan (c). Windrose Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan Gambar 24 di atas menunjukkan pola pergerakan angin pada bulan akhir Agustus hingga awal September didominasi oleh pergerakan angin berasal dari arah tenggara dan menuju arah barat dan barat laut meskipun terdapat beberapa visualisasi pola pergerakan angin yang tidak mengikuti pola pergerakan angin musim yang terjadi di daerah Laut Timor. Pola pergerakan arah angin yang tidak beraturan ini sesuai dengan teori pergerakan angin pada angin musim peralihan II Pergerakan angin dari satu arah angin menuju arah angin lainnya disebabkan oleh perbedaan tekanan suatu wilayah yaitu dari wilayah bertekanan tinggi berhembus ke wilayah bertekanan rendah. Berdasarkan visualisasi di atas dapat dilihat bahwa tekanan angin di atas benua Australia lebih besar dibandingkan dengan tekanan

39 74 angin di atas benua Asia. Semakin tinggi tekanan di suatu wilayah maka suhu yang berada di atas wilayah tersebut akan rendah, hal ini dikarenakan fungsi antara tekanan dan suhu berbanding terbalik. Pola angin di atas wilayah pemindaian satelit pada bulan Agustus akhir hingga September awal ditunjukkan pada Gambar 24 b. Pergerakan pola angin yang menuju arah barat dan barat laut pada saat akhir Agustus hingga awal September 2009 mengakibatkan penyebaran tumpahan minyak menuju daerah Nusa Tenggara Timur cenderung melebar dengan kecepatan 1-6 m/s atau 1 14 knot. Pada Gambar 23 a terlihat kisaran kecepatan angin 0-8 m/s atau dalam satuan knot sebesar 15,6 knot. Pada tampilan Gambar 24 b tampak kecepatan angin yang bertiup di atas permukaan perairan di wilayah pengamatan citra memiliki kecepatan maksimum sebesar 2,4 m/s atau 4,6 knot. Berdasarkan kecepatan angin yang terekam pada tanggal 31 Agustus 6 September 2009 dikategorikan angin yang berhembus termasuk ke dalam angin ringan atau lemah dalam skala Beaufort yang berkisar antara knot atau 1 10 m/s yang akan memberikan efek kepada permukaan laut berupa riak kecil terbentuk namun tidak pecah serta permukaan tetap seperti kaca (Tjasyono, 2007). Keadaan ini akan menyebabkan perbedaan nilai hambur balik antara obyek perairan dan minyak tidak terlalu besar serta kemungkinan akan adanya penyebaran dan percampuran lapisan minyak di atas permukaan perairan kecil. Fakta keadaan permukaan perairan yang tenang inilah yang dijadikan asumsi dalam penentuan kecepatan angin ideal dalam identifikasi obyek lapisan minyak di atas permukaan perairan menurut Sitanggang (2004) dan Hu et.al., (2003).

3. METODE PENELITIAN. Daerah penelitian berlokasi di Laut Timor di sekitar Platform Montara dan

3. METODE PENELITIAN. Daerah penelitian berlokasi di Laut Timor di sekitar Platform Montara dan 23 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Daerah penelitian berlokasi di Laut Timor di sekitar Platform Montara dan Welhead Platform dengan koordinat 11 38 45,9 LS - 12 48 56,96 LS dan 124

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN TUMPAHAN MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR BERDASARKAN METODE PENGENALAN POLA SPEKTRAL CITRA SATELIT ALOS-PALSAR ANSTAYN NAMBERON SARAGIH

KAJIAN TUMPAHAN MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR BERDASARKAN METODE PENGENALAN POLA SPEKTRAL CITRA SATELIT ALOS-PALSAR ANSTAYN NAMBERON SARAGIH 1 KAJIAN TUMPAHAN MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR BERDASARKAN METODE PENGENALAN POLA SPEKTRAL CITRA SATELIT ALOS-PALSAR ANSTAYN NAMBERON SARAGIH DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULATAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 14 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2009 sampai November 2009 di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah pengamatan pada penelitian ini adalah perairan Laut Timor yang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah pengamatan pada penelitian ini adalah perairan Laut Timor yang 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Laut Timor Daerah pengamatan pada penelitian ini adalah perairan Laut Timor yang berbatasan dengan Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan bagian utara perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) G153 Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) Fristama Abrianto, Lalu Muhamad Jaelani Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DAERAH TERKENA BENCANA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

BAB II IDENTIFIKASI DAERAH TERKENA BENCANA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH BAB II IDENTIFIKASI DAERAH TERKENA BENCANA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang memegang peranan yang sangat penting dalam manajemen bencana salah

Lebih terperinci

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... v HALAMAN PERNYATAAN... vi HALAMAN PERSEMBAHAN... vii INTISARI... viii ABSTRACT... ix KATA PENGANTAR... x DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Lebih terperinci

Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total

Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total 8 Frekuensi siklon 160 140 120 100 80 60 40 20 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total Gambar 6 Frekuensi siklon tropis di perairan sekitar Indonesia (Pasifik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas teori yang berkaitan dengan pemrosesan data untuk sistem pendeteksi senyum pada skripsi ini, meliputi metode Viola Jones, konversi citra RGB ke grayscale,

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Angin Meridional. Analisis Spektrum menyebabkan pola dinamika angin seperti itu. Proporsi nilai eigen mempresentasikan seberapa besar pengaruh dinamika angin pada komponen utama angin baik zonal maupun meridional terhadap keseluruhan pergerakan

Lebih terperinci

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Image Enhancement Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Cara-cara yang bisa dilakukan misalnya dengan fungsi transformasi, operasi matematis,

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 Daftar Istilah

LAMPIRAN 1 Daftar Istilah 90 LAMPIRAN 1 Daftar Istilah No Istilah Definisi 1 ALOS Advanced Land Observing Satellite 2 AVNIR-2 Advanced Visible and Near-Infrared Radiometer type-2 3 Ballast Air laut yang dimasukkan ke dalam tangki

Lebih terperinci

III HASIL DAN PEMBAHASAN

III HASIL DAN PEMBAHASAN 25 3.1 Eksplorasi Data Lapangan III HASIL DAN PEMBAHASAN Data lapangan yang dikumpulkan merupakan peubah-peubah tegakan yang terdiri dari peubah kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, diameter

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Citra Citra merupakan salah satu komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang proses interpretasi salah satu citra NOAA untuk mengetahui informasi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pengolahan data Biomassa Penelitian ini dilakukan di dua bagian hutan yaitu bagian Hutan Balo dan Tuder. Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan diperoleh dari

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

Pertemuan 2 Representasi Citra

Pertemuan 2 Representasi Citra /29/23 FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING ) Pertemuan 2 Representasi Citra Representasi Citra citra Citra analog Citra digital Matrik dua dimensi yang terdiri

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital Istilah citra biasanya digunakan dalam bidang pengolahan citra yang berarti gambar. Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi, di mana dan adalah

Lebih terperinci

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Synthetic Aperture Radar (SAR) untuk Mendukung Quick Response dan Rapid Mapping Bencana (Studi Kasus: Deteksi Banjir Karawang, Jawa Barat) Oleh: Fajar Yulianto, Junita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra yang direkam oleh satelit, memanfaatkan variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Selain itu juga dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan atmosfer

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA HASNAH(12110738) Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika, STMIK Budidarma Medan Jl. Sisingamangaraja No. 338

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

MKB3383 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA Pemrosesan Citra Biner

MKB3383 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA Pemrosesan Citra Biner MKB3383 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA Pemrosesan Citra Biner Dosen Pengampu: Muhammad Zidny Naf an, M.Kom. Genap 2016/2017 Definisi Citra biner (binary image) adalah citra yang hanya mempunyai dua nilai derajat

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer Pengolahan Citra / Image Processing : Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer Teknik pengolahan citra dengan mentrasformasikan citra menjadi citra lain, contoh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Citra Citra menurut kamus Webster adalah suatu representasi atau gambaran, kemiripan, atau imitasi dari suatu objek atau benda, contohnya yaitu foto seseorang dari kamera yang

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA Oleh : Amelia Oktaviani dan Yarjohan Prodi Ilmu Kelautan Mahasiwa Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu *E-mail : ameliaoktaviani049@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 10 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini terdiri atas pengamatan di lapang dan analisis

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

Citra Digital. Petrus Paryono Erick Kurniawan Esther Wibowo

Citra Digital. Petrus Paryono Erick Kurniawan Esther Wibowo Citra Digital Petrus Paryono Erick Kurniawan erick.kurniawan@gmail.com Esther Wibowo esther.visual@gmail.com Studi Tentang Pencitraan Raster dan Pixel Citra Digital tersusun dalam bentuk raster (grid atau

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Uji Sensitifitas Sensitifitas parameter diuji dengan melakukan pemodelan pada domain C selama rentang waktu 3 hari dan menggunakan 3 titik sampel di pesisir. (Tabel 4.1 dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ekstraksi Citra TerraSAR-X Dual Polarization Citra RGB terbaik idealnya mampu memberikan informasi mengenai objek, daerah atau fenomena yang dikaji secara lengkap. Oleh karena

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel pengujian menggunakan sebanyak 1 buah sampel beras A, 7 buah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel pengujian menggunakan sebanyak 1 buah sampel beras A, 7 buah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data Sampel Sampel pengujian menggunakan sebanyak 1 buah sampel beras A, 7 buah sampel beras B, 1 buah sampel beras C, dan 2 buah sampel beras D. 1. Data Pengujian Mutu Beras

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROGRAM PENGOLAHAN CITRA BIJI KOPI Citra biji kopi direkam dengan menggunakan kamera CCD dengan resolusi 640 x 480 piksel. Citra biji kopi kemudian disimpan dalam file dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital LANDASAN TEORI 2.1 Citra Digital 2.1.1 Pengertian Citra Digital Citra dapat didefinisikan sebagai sebuah fungsi dua dimensi, f(x,y) dimana x dan y merupakan koordinat bidang datar, dan harga fungsi f disetiap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gempa bumi merupakan bencana alam yang berdampak pada area dengan cakupan luas, baik dari aspek ekonomi maupun sosial. Pada beberapa tahun terakhir, banyak peneliti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di KPH Banyumas Barat (Bagian Hutan Dayeuluhur, Majenang dan Lumbir). Penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan Citra SPOT 4 dan IKONOS yang digunakan merupakan dua citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda dimana SPOT 4 memiliki resolusi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

Pembentukan Citra. Bab Model Citra Bab 2 Pembentukan Citra C itra ada dua macam: citra kontinu dan citra diskrit. Citra kontinu dihasilkan dari sistem optik yang menerima sinyal analog, misalnya mata manusia dan kamera analog. Citra diskrit

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MACAN TUTUL DENGAN METODE GREY LEVEL COOCURENT MATRIX ( GLCM) Zuly Budiarso Fakultas teknologi Informasi, Univesitas Stikubank Semarang

IDENTIFIKASI MACAN TUTUL DENGAN METODE GREY LEVEL COOCURENT MATRIX ( GLCM) Zuly Budiarso Fakultas teknologi Informasi, Univesitas Stikubank Semarang IDENTIFIKASI MACAN TUTUL DENGAN METODE GREY LEVEL COOCURENT MATRIX ( GLCM) Zuly Budiarso Fakultas teknologi Informasi, Univesitas Stikubank Semarang Abstrak Tekstur (Textures) adalah sifat-sifat atau karakteristik

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA Copyright @ 2007 by Emy 2 1 Kompetensi Mampu membangun struktur data untuk merepresentasikan citra di dalam memori computer Mampu melakukan manipulasi citra dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Citra adalah gambar pada bidang dwimatra (dua dimensi). Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi menerus dan intensitas cahaya pada bidang dwimatra

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Citra Digital

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Citra Digital 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Bab ini berisi tentang teori yang mendasari penelitian ini. Terdapat beberapa dasar teori yang digunakan dan akan diuraikan sebagai berikut. 2.1.1 Citra Digital

Lebih terperinci

2.Landasan Teori. 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data.

2.Landasan Teori. 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data. 6 2.Landasan Teori 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data. Informasi Multi Media pada database diproses untuk mengekstraksi fitur dan gambar.pada proses pengambilan, fitur dan juga atribut atribut

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan dan Praproses Data Kegiatan pertama dalam penelitian tahap ini adalah melakukan pengumpulan data untuk bahan penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder

Lebih terperinci