REDD SEBAGAI POST AGREEMENT NEGOTIATION PASCA PROTOKOL KYOTO (STUDI KASUS : TINJAUAN PADA SEKTOR KEHUTANAN DI INDONESIA)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REDD SEBAGAI POST AGREEMENT NEGOTIATION PASCA PROTOKOL KYOTO (STUDI KASUS : TINJAUAN PADA SEKTOR KEHUTANAN DI INDONESIA)"

Transkripsi

1 ejournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (2): ISSN , ejournal.hi.fisip-unmul.org Copyright 2014 REDD SEBAGAI POST AGREEMENT NEGOTIATION PASCA PROTOKOL KYOTO (STUDI KASUS : TINJAUAN PADA SEKTOR KEHUTANAN DI INDONESIA) M. Ade Setiawan 1 NIM Abstract Complexity of various problems as a result of the influence of global warming and climate change has long been studied as well as being one of the main topics of the world since the activities of First Assessment Report of the Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC), the UN Conference on Environment and Development in Rio de Janeiro, Brazil in 1992.From the research, the IPCC then produce a treaty or protocol, known as the Kyoto Protocol. In the context of the Kyoto Protocol and climate change, forests can act both as a sink (absorber / carbon storage) and the source (emitter of carbon) are capable of reducing the concentration of greenhouse gases as causes of global warming and climate change. Indonesia ratified the Convention on Climate Change ( IPCC ) by Act 6 of 1994 and the ratification of the Kyoto Protocol, which was approved by Parliament on June 28, 2004 through Law no. 17 In 2004, Indonesia is implementing the Kyoto Protocol in some programs, such as mitigation and adaptation. In the mitigation and adaptation policies implementation, Indonesian government faced by many barriers. To the issues raised and the Kyoto Protocol is also not succeeded in achieving emission reduction targets the world because of the lack of commitment of countries - industrialized countries ( Annex I) to lower emissions as well as the Kyoto Protocol will end in 2012, proposed a mechanism that is a replacement for the Kyoto Protocol incentive mechanism for avoided deforestation, known as Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries ( RED ) at the Conference of the Parties ( COP ) to 11 in Montreal in 2005 and then followed up at COP 12 in Nairobi. Keywords : Global Warming, Kyoto Protocol, Forest, REDD, Indonesia. 1 Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. adesetiawan90@yahoo.com

2 ejournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: Pendahuluan Pemanasan global yang berlanjut pada perubahan iklim merupakan kecenderungan kondisi yang berkembang di bumi saat ini. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya penduduk dan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya hingga mampu menciptakan Revolusi Industri pada abad ke-18 dan berpengaruh buruk pada lingkungan. Perubahan iklim adalah fenomena yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan.(daniel Murdiyarso, 2003 : 1) Kegiatan industri pada kelanjutannya meningkatkan konsentrasi gas buang (CO 2,CH 4, N 2 O, HFCs, PFCs, SF 6 ) ke lapisan atmosfer dengan dampak penipisan lapisan ozon dan menimbulkan efek rumah kaca (GRK) yang menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global.( diakses pada 12 Agustus 2012) Kompleksitas berbagai masalah sebagai akibat pengaruh dari pemanasan global dan perubahan iklim sudah cukup lama diteliti serta menjadi salah satu topik utama dunia sejak kegiatan First Assessment Report of the Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) dalam Konferensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992.( diakses pada 12 Agustus 2012) Dari hasil penelitian IPCC kemudian menghasilkan sebuah perjanjian atau protokol yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan suatu dokumen yang diformulasikan di bawah perjanjian perubahan iklim PBB yaitu United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang. Dalam konteks protokol Kyoto dan perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon) yang mampu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Hutan adalah komponen penting dalam masalah karbon dan daur hidrologis dunia. Sekitar 18-20% dari emisi anthropogenic GRK (Gas Rumah Kaca) dunia berasal dari perubahan tata guna lahan dan sektor kehutanan khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (IPCC) melalui UU No.6 Tahun 1994 dan ratifikasi Protokol Kyoto yang disetujui oleh DPR pada tanggal 28 Juni 2004 melalui UU No. 17 Tahun 2004, artinya Indonesia membuka peluang ikut serta dalam arus perdagangan karbon. Indonesia mengimplementasikan Protokol Kyoto dalam beberapa program, diantaranya adalah mitigasi dan adaptasi. Dalam pelaksanaan kebijakan program mitigasi dan adaptasi, terdapat hambatan hambatan yang dihadapi pemerintah Indonesia seperti masih seringnya terjadi penebangan liar (Illegal Logging), tingginya tingkat kebakaran hutan dikarenakan pembakaran lahan untuk menyiapkan perkebunan skala besar, dan sasaran penyuluhan tentang kebakaran hutan dan lahan yang hanya terbatas pada masyarakat dengan kemampuan terbatas yang mengolah lahannya sendiri serta kurangnya perangkat hukum yang mengatur kebijakan tersebut. 330

3 REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan) Dengan permasalahan yang terjadi dan protokol Kyoto ini juga tidak berhasil mencapai target penurunan emisi dunia karena kurangnya komitmen negara negara industri (Annex I) untuk menurunkan emisinya serta seiring akan berakhirnya protokol Kyoto pada tahun 2012, diusulkan suatu mekanisme pengganti protokol Kyoto yaitu sebuah mekanisme insentif untuk pencegahan deforestasi yang dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (RED) pada Konferensi para Pihak (COP) ke 11 di Montreal pada tahun 2005 yang kemudian ditindaklanjuti pada COP ke 12 di Nairobi.(Fachrudin Mangunjaya, 2008: 59) Kerangka Dasar Teori Teori Internalisasi Eksternalitas Pengertian eksternalitas diberikan oleh Baumol (1978). Menurutnya, eksternalitas adalah efek yang timbul dari suatu kegiatan yang tidak dikompensasi ataupun diapreasiasi.(baumol, W. J. 1978) Sedangkan Kolm (1971) seperti dikutip oleh Simarmata (1994) mendefinisikan eksternalitas sebagai dampak dari keputusan seseorang pada orang lain tanpa melibatkan penerima dampak dalam proses pembuatan keputusan tersebut. Dengan kata lain eksternalitas adalah dampak negatif atau positif yang tidak memiliki harga dimana baik penghasil maupun penerimanya tidak merasa memilikinya. Eksternalitas adalah kegiatan atau tindakan yang membawa dampak bagi orang lain. Dalam ilmu ekonomi, eksternalitas dijelaskan sebagai dampak yang timbul akibat hasil pasar terhadap kelompok selain produsen dan konsumen. Adanya eksternalitas, menjadikan pasar tidak efisien sehingga menimbulkan kegagalan pasar. Konsep eksternalitas sering digunakan dalam ilmu ekonomi sebagai penentu dalam lahirnya suatu kebijakan, sebagaimana yang diketahui semua kebijakan yang diambil pemerintah selalu punya retorika tunggal yakni untuk kesejahteraan rakyat. Dengan memahami logika tentang eksternalitas ini, dalam hal isu lingkungan hidup dan implementasi protokol Kyoto di Indonesia dalam penerapannya menimbulkan eksternalitas negatif. Dalam menghadapi masalah ekternalitas negatif terdapat beberapa alternatif, salah satunya adalah internalisasi. Internalisasi merupakan salah satu instrumen untuk mengatasi eksternalitas. Pada intinya, internalisasi merupakan upaya memasukan biaya eksternal yang diakibatkan oleh suatu kegiatan produksi maupun konsumsi menjadi sebuah keputusan yang utuh dan menyatu dengan kegiatan produksi maupun konsumsi tersebut. Secara sederhana, hal ini bisa dipahami bahwa penghasil eksternalitas negatif memperhitungkan kerugian sosial akibat dari eksternalitas negatif. Dalam hal internalisasi eksternalitas negatif yang dihasilkan dari implementasi protokol Kyoto pada sektor kehutanan, Indonesia berupaya menegosiasikan REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) pada COP 13 pada tahun 2007 di Bali. Konsep Post Agreement Negotiation definisi konsep Post Agreement menurut Christer Jonsson dan Jonas Tallberg ialah : (Jonsson Christer and Jonas Tallberg, Hal.2) 331

4 ejournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: Post agreement is the more generic term, referring to all those processes which follow from the conclusion of an agreement. For instance, many international treaties are developed from general framework agreements to increasingly specific protocols and contracts through a sequence of bargaining processes. Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa post agreement merupakan suatu perjanjian baru yang lebih spesifik (specific protocols) yang berangkat dari perjanjian yang telah disepakati sebelumnya (general framework agreement), dimana dalam post agreement ini terdapat perubahan / revisi terhadap perjanjian yang telah ada sebelumnya, baik perubahan terkait dengan pihak pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut ataupun terkait permasalahan yang diatur dalam perjanjian sebelumnya. Sama halnya dengan perjanjian internasional, pihak pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut saling menyetujui dengan adanya perubahan terhadap perjanjian terdahulu sehingga menimbulkan hak dan kewajiban dalam hukum internasional.(mcgarry John, Hal.22) Dalam hal ini fase post agreement negotiation merupakan fase negosiasi lanjutan ketika suatu perjanjian telah ditandatangani dan disepakati sebelumnya sebagai review perjanjian yang telah ada sebelumnya tersebut. Dalam hal perjanjian REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) merupakan post agreement negotiation dari perjanjian protokol Kyoto, dimana tujuan dari post agreement negotiation adalah melanjutkan dialog untuk mendorong kemajuan dan perkembangan dari implementasi perjanjian yang telah disepakati. Metode Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe Deskriptif Analitik, dimana penulis memberikan penjelasan secara konkrit mengenai REDD sebagai Post Agreement Negotiation pasca protokol Kyoto. Jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, koran, internet dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pembahasan REDD sebagai Post Agreement Negotiation pasca protokol Kyoto dapat dijelaskan Berdasarkan konsep Internalisasi Eksternalitas dan konsep Post Agreement Negotiation. Maka eksternalitas negatif dari Industri protokol Kyoto dapat dijelaskan dengan adanya internalisasi eksternalitas sedangkan konsep Post Agreement Negotiation akan menjelaskan tentang perjanjian REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) merupakan post agreement negotiation dari perjanjian protokol Kyoto, dimana tujuan dari post agreement negotiation adalah melanjutkan dialog untuk mendorong kemajuan dan perkembangan dari implementasi perjanjian yang telah disepakati. Protokol Kyoto dan Implementasinya di Indonesia Protokol ini merupakan sebuah instrumen hukum yang dirancang untuk mengimplementasikan konvensi perubahan iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca agar tidak mengganggu sistem iklim di 332

5 REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan) bumi dan merupakan dasar bagi negara negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Protokol ini disusun untuk mengatur target penurunan emisi dan target waktu penurunan bagi negara maju. Sementara negara berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen untuk menurunkan emisinya. Protokol ini juga bertujuan untuk membantu negara negara berkembang dalam proyek proyek yang berhubungan untuk memperbaiki keadaan iklim bumi. Protokol Kyoto juga mencakup instrumen atau mekanisme fleksibel yang berbasis pasar yang dikenal sebagai Mekanisme Kyoto, yang memberikan kesempatan kepada negara negara untuk dapat membeli atau mendapat kredit pengurangan emisi melalui investasi dalam proyek proyek pengurangan efek negatif perubahan iklim. Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (IPCC) melalui UU No.6 Tahun 1994 dan Protokol Kyoto yang disetujui oleh DPR pada tanggal 28 Juni 2004 melalui UU No. 17 Tahun 2004, artinya Indonesia membuka peluang ikut serta dalam arus perdagangan karbon ( diakses pada 12 Agustus 2012). Berbagai kebijakan diterapkan dalam mendukung proses implementasi protokol Kyoto di Indonesia. Adapun kebijakan tersebut berupa upaya mitigasi dan adaptasi sesuai dengan anjuran pemerintah yang telah meratifikasi protokol Kyoto. Dalam hal ini, implementasi difokuskan pada sektor kehutanan di Indonesia. Adapun upaya tersebut mengenai pembalakan liar (Illegal Logging) maupun kebakaran hutan di Indonesia. Pembalakan liar atau penebangan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta US$ ( diakses pada 19 Juli 2013). Dalam mengimplementasikan protokol Kyoto baik dari segi mitigasi maupun adaptasi dari sektor kehutanan, maka pemerintah membuat Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Indonesia, merupakan landasan kordinasi penanggulangan Illegal Logging dengan fokus upaya percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan. Selain permasalahan penebangan liar atau Illegal Logging, kebakaran hutan di Indonesia juga menjadi permasalahan utama yang menjadi agenda dari implementasi protokol Kyoto di Indonesia.Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan manusia, dan pembakaran. Kebakaran hutan dan lahan sangat mengkhawatirkan dan sangat merugikan dalam berbagai hal, baik secara ekonomi dan sosial maupun secara ekologi. Dampak yang cepat terasa adalah asap, sampai negara tetangga juga merasakannya, apalagi yang dekat dengan sumbernya. Kemudian dampak yang harus diterima setelah kebakaran hutan dan lahan, yaitu rusaknya ekologi, yang dengan sendiri akan ditanggung oleh masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan secara 333

6 ejournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: langsung serta seluruh masyarakat secara tidak langsung. Dalam implementasinya, upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan, dan lain lain. REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto Kurangnya komitmen negara negara industri (Annex I) untuk menurunkan emisinya serta seiring akan berakhirnya protokol Kyoto pada tahun 2012, diusulkan suatu mekanisme pengganti protokol Kyoto yaitu sebuah mekanisme insentif untuk pencegahan deforestasi yang dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (RED) pada Konferensi para Pihak (COP) ke 11 di Montreal pada tahun 2005 yang kemudian ditindaklanjuti pada COP ke 12 di Nairobi. Skema ini mulai menjadi perdebatan yang hangat sejak Papua Nugini dan Kosta Rika menjabarkan proposal pengurangan emisi deforestasi pada diskusi konfrensi tersebut. Skema ini menjadi faktor penting dalam berbagai negosiasi internasional karena dianggap sebagai salah satu cara paling murah untuk memperlambat laju perubahan iklim. Mekanismenya menuruti prinsip common but differentiated responsibility, di mana negara maju, yang menghasilkan banyak emisi dalam proses industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi untuk negara berkembang sebagai bentuk komitmen mengurangi dampak emisi karbon mereka. Akhirnya pada konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Inisiatif REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan lahan. Perjanjian Kopenhagen secara terbuka menyebutkan REDD sebagai bagian dari portofolio mitigasi iklim untuk diimplementasikan di bawah perjanjian pasca Kyoto. Dalam konvensi perubahan iklim terakhir di Cancun tahun 2010, dunia telah sepakat untuk memasukkan REDD dalam mekanisme yang akan berlaku setelah Protokol Kyoto berakhir di tahun REDD adalah mekanisme pengurangan emisi yang khusus membahas deforestasi dan degradasi hutan. REDD merupakan pengadaan insentif bagi negara berhutan 334

7 REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan) tropis untuk melindungi hutan agar bisa mengurangi emisi gas rumah kaca, perlindungan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan peningkatan jumlah cadangan karbon. Strategi-strategi REDD bertujuan untuk membuat hutan lebih bernilai dari pada ketika hutan tersebut ditebang. Perdagangan karbon dalam skema REDD lebih dikenal sebagai carbon offset, yaitu program atau proyek untuk menyelamatkan terlepasnya emisi ke atmosfer yang berasal dari sector kehutanan. Ada tiga skema pendanaan yang ditawarkan pada REDD. Pertama, direct carbon market, yaitu skema yang hampir menyerupai skema pendanaan pada CDM. Dalam hal ini, Negara maju diizinkan untuk memproduksi emisi lebih dari yang dibatasi di negaranya asalkan dikompensasikan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang. Kedua market linked, yaitu skema yang merupakan pendanaan melalui pelelangan pendapat. Ketiga, voluntary market, yaitu skema pendanaan yang merupakan inisiatif dari investor atau dari negara industri lain, tetapi tidak dikaitkan dengan kegiatan pengurangan emisi di negaranya. Implementasi REDD pada sektor kehutanan di Indonesia Untuk menyongsong implementasi REDD di Indonesia, sejak beberapa tahun lalu Kementrian kehutanan sudah menyiapkan beberapa kebijakan. Selain peraturan nomor Permenhut No.36, telah ada aturan menteri nomor Permenhut No.30 tahun 2009 tentang mekanisme dan persyaratan untuk REDD serta nomor Permenhut No.68 tahun 2008 tentang implementasi dari demonstration activities REDD. ( diakses pada 13 Februari 2013) Permenhut No.68 tahun 2008 menguraikan prosedur permohonan dan pengesahan kegiatan demonstrasi REDD, sehingga metodologi, teknologi dan kelembagaannya dapat dicoba dan dievaluasi. Tantangannya adalah bagaimana kegiatan demonstrasi dapat dialihkan menjadi proyek REDD yang sesungguhnya di masa yang akan datang.( diakses pada 13 Februari 2013) Permenhut No.30 tahun 2009 mengatur tata cara pelaksanaan REDD, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi pengembang, verifikasi dan sertifikasi, serta hak dan kewajiban pelaku REDD.( diakses pada 13 Februari 2013) Hingga saat ini ketentuan mengenai penetapan tingkat emisi acuan sebagai pembanding belum ditetapkan. Berdasarkan peraturan ini, REDD merupakan semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Permenhut No.36 tahun 2009 mengatur izin usaha REDD melalui penyerapan dan penyimpanan karbon.( diakses pada 13 Februari 2013) Di dalamnya juga diatur perimbangan keuangan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan penggunaan penerimaan negara dari REDD. Peraturan ini membedakan antara kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di berbagai 335

8 ejournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: jenis hutan dan jenis usaha. Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya REDD sudah dapat dilaksanakan. Petunjuk teknis untuk hal hal tertentu akan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan REDD. Dengan telah terbentuknya tiga peraturan ini maka pada dasarnya REDD di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional seharusnya sudah dapat dilaksanakan. Namun pada kenyataannya tiga peraturan menteri kehutanan ini bukanlah undang undang dan tidak memiliki kekuatan hukum. Secara konseptual, Indonesia mempunyai hampir 60% luas daratan yang menjadi kewenangan Departemen Kehutanan. Meningkatnya kebutuhan lahan akibat peningkatan jumlah penduduk, desentralisasi, pertumbuhan ekonomi dan kepentingan pembangunan sektor lain seperti pertanian, perkebunan, perumahan, dan pekerjaan umum telah menekan kualitas sumber daya hutan dan luasan kawasan hutan tersebut. Kondisi ini berbenturan dengan penerapan mekanisme REDD. Oleh karena itu koordinasi, komunikasi dan sinergi dalam berbagai aspek menyangkut kegiatan pembangunan dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan di level nasional dan sub nasional harus terus dilaksanakan. Selain itu pemerintah juga berkomitmen menjaga hutan agar dapat berpartisipasi dalam mekanisme perdagangan karbon. Walaupun telah berkomitmen melalui berbagai persiapan regulasi dan kelembagaan, Indonesia juga berada dalam darurat protokol Kyoto. Terjadinya benturan kepentingan antar institusi pemerintah. Peningkatan perekonomian berhadapan dengan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan. Benturan ini melibatkan Kementrian Lingkungan Hidup dengan Kementerian ESDM, Kehutanan, Perkebunan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Secara konseptual, Indonesia mempunyai hampir 60% luas daratan yang menjadi kewenangan Departemen Kehutanan. Meningkatnya kebutuhan lahan akibat peningkatan jumlah penduduk, desentralisasi, pertumbuhan ekonomi dan kepentingan pembangunan sektor lain seperti pertanian, perkebunan, perumahan, dan pekerjaan umum telah menekan kualitas sumber daya hutan dan luasan kawasan hutan tersebut. Kondisi ini berbenturan dengan penerapan mekanisme REDD. Oleh karena itu koordinasi, komunikasi dan sinergi dalam berbagai aspek menyangkut kegiatan pembangunan dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan di level nasional dan sub nasional harus terus dilaksanakan. Indonesia merupakan contoh kasus dimana deforestasi terjadi baik secara terencana maupun tidak direncanakan. Lahan hutan konversi dan Areal Penggunaan Lain (APL) dapat diubah menjadi penggunaan lahan yang lain, dalam hal ini deforestasi yang dikategorikan sebagai yang direncanakan. Menipisnya kayu dari yang berasal dari hutan alam, di dorong oleh kebijakan pemerintah untuk memacu pembangunan hutan tanaman industri (HTI), sejumlah industri perkayuan terutama industri bubur kertas (pulp) membangun hutan tanaman dengan jenis-jenis cepat tumbuh untuk menjamin pasokan bahan kayu dari 336

9 REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan) sumbernya. Namun demikian, kecepatan pembangunan hutan tanaman tersebut masih belum mampu mengurangi tekanan terhadap hutan. Masalah utama di sektor kehutanan adalah deforestasi yang sangat besar sehingga kinerja kebijakan yang diterapkan tidak efektif. Melalui skema REDD sektor kehutanan diharapkan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 14%. Permasalahannya target kualitatif ini yang dijadikan basis kebijakan tidak disertai perhitungan yang akurat serta landasan ilmiah yang solid sehingga masa depan ekonomi kehutanan menjadi tidak jelas. Kementerian kehutanan sebagai lembaga pemerintah yang memiliki otoritas resmi untuk mengelola hutan perlu mengkaji kembali strategi dan pendekatannya, mengingat tingkat emisi terbesar berasal dari sektor ini. Berdasarkan catatan kementerian kehutanan sendiri, tingkat emisi di sektor kehutanan mencapai 60% dari total emisi nasional, oleh karena itu upaya penurunan emisi nasional oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditargetkan 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional difokuskan pada sektor kehutanan. Dilihat dari sektor kehutanan, kehutanan nasional mulai memasuki era baru ditengah isu perubahan iklim. Pembangunan kehutanan nasional kini lebih mengarah pada kebijakan yang memelihara dan menanam serta tidak lagi mengedepankan kebijakan ekstraktif yang menguras sumber daya alam. Konsep ekonomi hijau pada tahun 2009 juga ikut diaplikasikan pada sektor kehutanan. Tujuannya adalah melakukan pembangunan rendah karbon setelah traktat global protokol Kyoto tentang perubahan iklim makin sulit direalisasikan. Saat ini upaya mengatasi perubahan iklim lebih banyak dilakukan dalam kerangka bilateral, termasuk program REDD+. Pada bulan September 2010, Presiden Yudhoyono mendirikan Satuan Tugas REDD+ untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ berjalan dengan baik melalui Keputusan Presiden No.19/2010. Kemudian disusunlah strategi REDD Indonesia untuk Readiness Phase. Strategi ini dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan, dan infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDD+. Strategi ini juga untuk mengintegrasikan semua aksi terkait REDD/REDD+ termasuk kegiatan yang didanai dari sumber luar negeri. Strategi Readiness mencakup baik aspek metodologi maupun aspek kebijakan, serta kegiatan pendukung yaitu peningkatan kapasitas dan komunikasi stakeholders. Strategi Readiness REDD Indonesia (REDDI) ini tidak hanya bermanfaat dalam mendukung kesiapan Indonesia untuk implementasi REDD/REDD+ di bawah kerangka UNFCCC, melainkan juga merupakan bagian dari strategi dan upaya Indonesia untuk mewujudkan pembangunan kehutanan berkelanjutanan (Sustainable Forest Management/ SFM). ( diakses pada 13 Februari 2013) Pelaksanaan Strategi Nasional REDD+ dijalankan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan kesiapannya dan dipandu oleh dokumen Rencana Aksi Nasional 337

10 ejournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: untuk REDD+ dan dokumen Rencana Bisnis Nasional untuk REDD+ yang dibangun berdasarkan Strategi Nasional REDD+. Di tingkat nasional, dimulai dari penyusunan regulasi, penetapan REL/RL dan pembangunan sistem MRV. Di tingkat sub-nasional, pelaksanaan Demonstration Activities (DA) REDD merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Keputusan COP-13 di Bali tentang REDD yaitu mendorong negara berkembang dan negara maju untuk bekerjasama dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang, termasuk di dalamnya dukungan finansial, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi dari negara maju. Hambatan Dalam Pelaksanaan REDD Di Indonesia Indonesia menjadi berbeda dengan negara negara lain dalam pelaksanaan REDD karena di Indonesia ada mega biodiversity dan mega cultural diversity. Tentang masalah adat ada 3 hal yaitu tanah, darah dan adat. Suku bangsa tertentu belum tentu masih menjadi masyarakat adatnya karena mungkin sudah meninggalkan sistem adatnya. Berbagai aktifitas manusia masih sering dijumpai di dalam kawasan yang dilindungi seperti di cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya sehingga dapat mendorong peningkatan laju kerusakan di kawasan kawasan konservasi tersebut, selain kerusakan yang juga terjadi di kawasan hutan produksi. Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan telah berubah peruntukannya yang berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus dijaga kelestariannya menjadi tidak berfungsi lagi. Kerusakan sumber daya hutan akibat penebangan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen hutan mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke keadaan semula menjadi tidak mungkin lagi (irreversible). Permenhut yang mengatur sektor kehutanan nyatanya tidak cukup untuk mengembalikan lingkungan hutan yang rusak. Tidak tersedianya dana dan aturan yang pasti untuk menjaga kelestarian hutan menjadi salah satu pemicu rusaknya lingkungan hutan di Indonesia. Selain itu, pembahasan Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang penyelenggaraan Demonstration Activities pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan, Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Permenhut No. P. 36/Menhut II/2009 tentang tata cara perizinan usaha pemanfaatan penyerapan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung, pada satu sisi Indonesia memiliki regulasi yang berkaitan dengan MPB, seperti diberlakukan UU No. 32 Tahun 2009 perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang mengutamakan keseimbangan dalam aspek ekonomi, lingkungan dan sosial. Namun di sisi lain, 338

11 REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan) berbagai regulasi memacu peningkatan investasi (PMA dan PMDN) justru mengabaikan pertimbangan pelestarian lingkungan, misalnya bidang pertambangan.( diakses pada 13 Februari 2013) Target investasi bidang ini terus ditingkatkan dengan cara peningkatan target produksi dan penerimaan negara. Demikian juga dengan investasi perkebunan (utamanya kelapa sawit) dengan cara konversi kawasan hutan jutaan hektar, termasuk lahan gambut. Walaupun pemerintah telah berkomitmen melalui berbagai persiapan regulasi dan kelembagaan, masih terjadi ketidaksepahaman antar institusi pemerintah tentang berbagai kepentingan, yaitu peningkatan perekonomian berhadapan dengan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan. Ketidaksepahaman ini melibatkan Kementrian Lingkungan Hidup dengan Kementrian ESDM, Kehutanan, Perkebunan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Hal ini menjadi masalah ketika menyinergikan peraturan terkait REDD dengan kepentingan masing masing institusi pemerintah, termasuk penegakan peraturan selama program REDD berjalan yang akhirnya berdampak pada ketidakefektifan dari pelaksanaan REDD. Kesimpulan REDD adalah mekanisme pengurangan emisi yang khusus membahas deforestasi dan degradasi hutan. pelaksanaan Demonstration Activities (DA) REDD merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Keputusan COP-13 di Bali tentang REDD yaitu mendorong negara berkembang dan negara maju untuk bekerjasama dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang, termasuk di dalamnya dukungan finansial, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi dari negara maju. Indonesia telah membangun beberapa DA-REDD, yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia, Pemerintah Jerman, Pemerintah Korea, ITTO, dan TNC. Selain itu untuk menyongsong implementasi REDD di Indonesia, sejak beberapa tahun lalu Kementrian kehutanan sudah menyiapkan beberapa kebijakan. Selain peraturan nomor P.36, telah ada aturan menteri nomor P.30 tahun 2009 tentang mekanisme dan persyaratan untuk REDD serta nomor P.68 tahun 2008 tentang implementasi dari demonstration activities REDD. Dengan telah terbentuknya tiga peraturan ini maka pada dasarnya REDD di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional seharusnya sudah dapat dilaksanakan. Namun, dalam pelaksanaan REDD terhambat permasalahan sosial yang saling terkait dengan keberadaan masyarakat adat yang sebagian besar hidupnya tergantung dengan kawasan dan fungsi hutan. Kemudian 3 permenhut terkait dengan REDD juga berbenturan dengan peraturan pemerintah mengenai peningkatan investasi seperti di bidang pertambangan dan perkebunan. Ini menjadi masalah ketika menyinergikan peraturan terkait REDD dengan kepentingan institusi pemerintah tersebut, termasuk penegakan peraturan selama program REDD berjalan yang akhirnya berdampak pada ketidakefektifan dari pelaksanaan REDD karena terganjal dengan peraturan yang ada yang tentunya 339

12 ejournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: tidak sesuai dengan hukum. Jadi, peraturan yang ada terkait REDD tidak sesuai dengan komitmen dalam pelaksanaan mekanisme tersebut, peraturan yang ada hanya bersifat umum untuk mengatur sektor kehutanan yang ada di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Buku: Baumol, W. J. Economic Theory and Operation Analysis. Prentice-Hall of India, New Delhi Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto: Implikasinya Pada negara negara berkembang. KOMPAS, Jakarta, Fachruddin Mangunjaya, Bertahan di Bumi (Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim), Edisi Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Artikel, Jurnal: Jonsson Christer and Jonas Tallberg, Compliance and Post Agreement in Bargaining, European Journal of International Relations. McGarry John, Northern Ireland and The Devided World, The Northern Ireland Confict and The Good Friday Agreement in Comparative Perspective. Internet : http : // diakses pada 12 Agustus 2012 http :// diakses pada 12 Agustus 2012 http :// diakses pada 19 Februari 2013 http :// diakses pada 19 Februari

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa, telah membawa agenda baru dalam tatanan studi hubungan internasional (Multazam, 2010). Agenda yang awalnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK C'ONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

Kebijakan Pelaksanaan REDD

Kebijakan Pelaksanaan REDD Kebijakan Pelaksanaan REDD Konferensi Nasional terhadap Pekerjaan Hijau Diselenggarakan oleh Organisasi Perburuhan Internasional Jakarta Hotel Borobudur, 16 Desember 2010 1 Kehutanan REDD bukan satu-satunya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Lampiran 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses BAB V KESIMPULAN Dinamika hubungan diplomatik Indonesia dengan Jepang telah mengalami berbagai perkembangan, mulai dari masa penjajahan, kerjasama ekonomi hingga bidang politik dan keamanan. Politik luar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA

WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA Dr. Etti Ginoga Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan BADAN LITBANG

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam skenario BAU (Business As Usual) perdagangan karbon di indonesia, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010 STRATEGI REDD - INDONESIA FASE READINESS 2009 2012 dan progress implementasinya Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia Jakarta, 6 Januari 2010 AusAID KERJASAMA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010 STRATEGI REDD - INDONESIA FASE READINESS 2009 2012 dan progress implementasinya Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia Jakarta, 6 Januari 2010 AusAID KERJASAMA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PEKANBARU, JULI 2010 Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan TGHK SK Menhut No. 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986 No PERUNTUKAN LUAS (Ha) ( % ) 1. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih sebagai isu lingkungan global. Salah satu dampak perubahan iklim adalah meningkatnya suhu di bumi

Lebih terperinci

Pandangan Indonesia mengenai NAMAs

Pandangan Indonesia mengenai NAMAs Pandangan Indonesia mengenai NAMAs 1. Nationally Appropriate Mitigation Action by Non-Annex I atau biasa disingkat NAMAs adalah suatu istilah pada Bali Action Plan yang disepakati Pertemuan Para Pihak

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM Pokok Bahasan Tentang Konvensi Struktur Konvensi Peluang dukungan dan dana Tentang Protokol Kyoto Elemen & Komitmen Protokol Kyoto

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Oleh: Dr. Dolly Priatna Yayasan Belantara Seminar Nasional Perubahan Iklim Mengembangkan Program Pendidikan Konservasi dan Lingkungan Hidup Bagi Para Pihak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini dan perubahan tersebut terjadi akibat dari ulah manusia yang terus mengambil keuntungan dari

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai Para Peserta) Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini dibuat oleh Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) dan tidak bisa dianggap sebagai terjemahan resmi. CIFOR tidak bertanggung jawab jika ada kesalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi sudah dimulai sejak Revolusi Industri yang terjadi pada abad ke 18 di Inggris yang pada akhirnya menyebar keseluruh dunia hingga saat sekarang ini.

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Agreement. Perubahan Iklim. PBB. Kerangka Kerja. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 204) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa

Lebih terperinci

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+ MENTERI KEHUTANAN LETTER OF INTENT (LOI) ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH NORWEGIA TENTANG KERJASAMA PENGURANGAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI KEHUTANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1 BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1 ONRIZAL Staf Pengajar Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian: Ekologi dan Rehabilitasi Hutan dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia dalam pengurangan emisi gas karbon di Indonesia melalui kerjasama IAFCP terkait mekanisme

Lebih terperinci

Tata ruang Indonesia

Tata ruang Indonesia Tata ruang Indonesia Luas 190,994,685 Ha Hutan Produksi Kawasan Non-hutan Hutan Produksi Terbatas Hutan konservasi Hutan dilindungi Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia 2008, Departemen Kehutanan Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN PROTOKOL KYOTO DALAM MENGURANGI TINGKAT EMISI DUNIA MELALUI CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN PROTOKOL KYOTO DALAM MENGURANGI TINGKAT EMISI DUNIA MELALUI CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN PROTOKOL KYOTO DALAM MENGURANGI TINGKAT EMISI DUNIA MELALUI CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM Disusun oleh: DANIEL AGA ARDIANTO NPM : 02 05 08058 PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum PROGRAM

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun

Lebih terperinci

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemanasan Global Pemanasan global diartikan sebagai kenaikan temperatur muka bumi yang disebabkan oleh efek rumah kaca dan berakibat pada perubahan iklim. Perubahan iklim global

Lebih terperinci

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima No.161, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Perangkat REDD+. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Perubahan Iklim Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Lingkungan adalah semua yang berada di

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. /Menhut-II/2012 T E N T A N G MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. /Menhut-II/2012 T E N T A N G MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. /Menhut-II/2012 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM OUTLINE ISU PENDANAAN REDD+ PROGRESS PENDANAAN REDD+ di INDONESIA

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program

Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program Tujuan Tersedianya aliran finansial yang stabil untuk kegiatan konservasi dan pengembangan masyarakat melalui penciptaan kredit karbon

Lebih terperinci

GLOBAL. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Asti Istiqomah, SP, M.Si EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0)

GLOBAL. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Asti Istiqomah, SP, M.Si EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0) EKONOMI KEHUTANAN DAN GLOBAL BEBERAPA ISU Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Asti Istiqomah, SP, M.Si EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0) BEBERAPA ISU GLOBAL KEHUTANAN Jasa

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN. Kerangka Acuan Kerja PEGAWAI TIDAK TETAP (51) BIDANG

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN. Kerangka Acuan Kerja PEGAWAI TIDAK TETAP (51) BIDANG KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN Kerangka Acuan Kerja PEGAWAI TIDAK TETAP (51) BIDANG KEHUTANAN TAHUN ANGGARAN 2015 KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PTT (51) Bidang Kehutanan I. Pendahuluan Asisten

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Volume 5 No. 2 Tahun 2011 Transfer Fiskal antara Pemerintah

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil

Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Climate Summit 2014 merupakan event penting dimana negara-negara PBB akan berkumpul untuk membahas

Lebih terperinci

REDDI : FCPF-Readiness Plan/Readiness Preparation

REDDI : FCPF-Readiness Plan/Readiness Preparation DEPARTEMEN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA REDDI : FCPF-Readiness Plan/Readiness Preparation Proposal Jakarta, 14 September 2009 MINISTRY OF FORESTRY PENGERTIAN REDD (Reducing Emissions from Deforestation

Lebih terperinci

BAB III ISU LINGKUNGAN DAN KERJASAMA INDONESIA DENGAN JEPANG DALAM PENANGGULAN ISU LINGKUNGAN

BAB III ISU LINGKUNGAN DAN KERJASAMA INDONESIA DENGAN JEPANG DALAM PENANGGULAN ISU LINGKUNGAN BAB III ISU LINGKUNGAN DAN KERJASAMA INDONESIA DENGAN JEPANG DALAM PENANGGULAN ISU LINGKUNGAN Bab ini merupakan penjabaran substansial mengenai gambaran emisi karbon yang ditimbulkan oleh Jepang, serta

Lebih terperinci

Oleh/by: Nurlita Indah Wahyuni

Oleh/by: Nurlita Indah Wahyuni REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA Forest Rehabilitation and Forestry Climate Change Mitigation in North Sulawesi Oleh/by: Nurlita Indah Wahyuni BALAI PENELITIAN

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat. Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Daddy Ruhiyat news Dokumen terkait persoalan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalimantan Timur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN PARIS AGREEMENT TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PERSETUJUAN PARIS ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 6.1 Kesimpulan Perubahan iklim diperkirakan memberikan dampak pada perekonomian dan sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan iklim

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian dan terakhir adalah sistematika penulisan. jelas dirasakan oleh masyarakat dunia. Berbagai bencana seperti kekeringan,

BAB I PENDAHULUAN. penelitian dan terakhir adalah sistematika penulisan. jelas dirasakan oleh masyarakat dunia. Berbagai bencana seperti kekeringan, BAB I PENDAHULUAN Dalam bab I ini, dituliskan mengenai gambaran secara umum dari isi skripsi yang berjudul Kerjasama Indonesia dan Australia Dalam Kemitraan Karbon Hutan di Indonesia. Gambaran umum dari

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 68/Menhut-II/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 68/Menhut-II/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 68/Menhut-II/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN DEMONSTRATION ACTIVITIES PENGURANGAN EMISI KARBON DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Koordinasi Kelembagaan dan Kebijakan REDD Plus

Koordinasi Kelembagaan dan Kebijakan REDD Plus Koordinasi Kelembagaan dan Kebijakan REDD Plus Doddy S. Sukadri Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Disampaikan dalam rangka PELATIHAN MEKANISME PEMBAYARAN REDD PLUS Hotel Grand USSU, Cisarua, 21 Desember

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional UNFCCC dan juga telah menyepakati mekanisme REDD+ yang dihasilkan oleh rezim tersebut dituntut

Lebih terperinci

UPAYA JERMAN DALAM MENANGGULANGI PEMANASAN GLOBAL ( ) RESUME SKRIPSI

UPAYA JERMAN DALAM MENANGGULANGI PEMANASAN GLOBAL ( ) RESUME SKRIPSI UPAYA JERMAN DALAM MENANGGULANGI PEMANASAN GLOBAL ( 1998 2011 ) RESUME SKRIPSI Disusun Oleh : Pongky Witra Wisesa (151040295) JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Muhammad Ridwan 17 Maret 2010 Bahan disarikan dari beberapa tulisan

Lebih terperinci

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c No.163, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Inventarisasi GRKN. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.73/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) 1 seluas 140,4 juta hektar terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar

Lebih terperinci

Perlindungan Terhadap Biodiversitas

Perlindungan Terhadap Biodiversitas Perlindungan Terhadap Biodiversitas Pendahuluan Oleh karena kehidupan di dunia tergantung kepada berfungsinya biosfer secara baik, maka tujuan utama konservasi dan perlindungan adalah menjaga biosfer dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

Draft 10 November PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/ /Menhut- II/ TENTANG

Draft 10 November PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/ /Menhut- II/ TENTANG Draft 10 November 1 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/200930 /Menhut- II/20092009 TENTANG TATA CARA PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI

Lebih terperinci

Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung

Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung Dicky Edwin Hindarto Koordinator Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon Sosialisasi Skema Penilaian Kesesuaian Greenhouse Gases

Lebih terperinci

tersebut terdapat di atmosfer. Unsur-unsur yang terkandung dalam udara dan

tersebut terdapat di atmosfer. Unsur-unsur yang terkandung dalam udara dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Udara di bumi memiliki beberapa unsur yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan. Udara untuk kehidupan sehari-hari tersebut terdapat di atmosfer.

Lebih terperinci

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI TATA KELOLA SUMBERDAYA ALAM DAN HUTAN ACEH MENUJU PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DAN RENDAH EMISI VISI DAN MISI PEMERINTAH ACEH VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Endah Murniningtyas Deputi Bidang SDA dan LH Disampaikan dalam Forum Diskusi Nasional Menuju Kota Masa Depan yang Berkelanjutan dan Berketahanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20 di Pittsburg pada bulan September 2009, telah mencanangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menurunkan emisi Gas

Lebih terperinci

SAMBUTAN KETUA DPR-RI. Pada Jamuan Makan Siang dengan Peserta International Youth Forum on Climate Change (IYFCC) Jakarta, 28 Februari 2011

SAMBUTAN KETUA DPR-RI. Pada Jamuan Makan Siang dengan Peserta International Youth Forum on Climate Change (IYFCC) Jakarta, 28 Februari 2011 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN KETUA DPR-RI Pada Jamuan Makan Siang dengan Peserta International Youth Forum on Climate Change (IYFCC) Jakarta, 28 Februari 2011 Assalamu alaikum

Lebih terperinci

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI KONTRIBUSI NON-PARTY STAKEHOLDERS (NPS) DI KALIMANTAN TIMUR DALAM PEMENUHAN NDC FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI Niken Sakuntaladewi (niken_sakuntaladewi@yahoo.co.uk) Pusat Litbang Sosial,

Lebih terperinci

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM (RAD Penurunan Emisi GRK) Oleh : Ir. H. Hadenli Ugihan, M.Si Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumsel Pemanasan Global Pengaturan Perubahan Iklim COP 13 (2007) Bali menghasilkan

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu

Lebih terperinci