Variasi Lokal Dalam Visibilitas Hilaal: Observasi Hilaal di Indonesia Pada
|
|
- Handoko Salim
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 118 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY Variasi Lokal Dalam Visibilitas Hilaal: Observasi Hilaal di Indonesia Pada 7 9 Muh. Ma rufin Sudibyo Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LPIF RHI) Jl. Gejayan Soropadan CC XII/4 Depok Sleman Yogyakarta 5583 Telp. /Fax: (74) 5563 marufins@yahoo.com Abstrak Telah dilaksanakan observasi hilaal selama Januari 7 Desember 9 guna memperbaiki kriteria MABIMS (Imkan Rukyat) sekaligus menguji kriteria LAPAN. Selain menjadi basis kalender Hijriyyah nasional, kriteria MABIMS pun merupakan alat uji validitas laporan laporan visibilitas hilaal terutama kala Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun validitas kriteria MABIMS sendiri dipertanyakan mengingat homogenitasnya, pun kriteria LAPAN akibat keterbatasan datanya. Observasi dilakukan dengan bantuan alat optik (binokuler dan teleskop) maupun tidak dan telah menghasilkan 168 data visibilitas. Analisis variabel selisih terbenamnya Bulan dengan terbenamnya Matahari (Lag) dengan variabel waktu saat hilaal pertama terlihat (Best Time) menghasilkan definisi kuantitatif hilaal sebagai fungsi sederhana dari Lag. Hubungan Best Time dengan Lag memiliki bentuk sangat berbeda dibanding persamaan Yallop, namun pada Lag < 4 menit relatif mirip. Sementara analisis variabel selisih tinggi Bulan dan Matahari (a D ) terhadap variabel selisih azimuthnya (DAz) dengan metode least square menghasilkan persamaan visibilitas dua orde: a D,99DAz 1,49DAz + 1,38 yang kami usulkan dinamakan kriteria RHI. Bentuk kriteria RHI hampir sama dengan kriteria LAPAN meski lebih optimistik, namun berbeda bila dibandingkan dengan kriteria yang sejenis seperti dari Scoch, Maunder dan Fotheringham. Tetapi terhadap kriteria MABIMS sangat berbeda karena tinggi Bulan mar i minimum tidak homogen melainkan bervariasi antara 9,38 3,77 sesuai nilai selisih azimuth Bulan Matahari ( 7,5 ). Analisis komparatif dengan data visibilitas global menunjukkan konsistensi kriteria RHI khususnya bagi daerah tropis. Sehingga perbedaan bentuk kriteria RHI dibandingkan kriteria global dua orde sejenis merupakan variasi lokal visibilitas hilaal, yang hanya berlaku bagi daerah tropis. Kata kunci : Hilaal, kriteria MABIMS, kriteria LAPAN, kriteria RHI I. PENDAHULUAN Bulan sabit termuda (hilaal) merupakan fenomena fisis ekstraterestrial dan atmosferik yang menjadi penentu sistem kalender Hijriyyah yang digunakan Umat Islam [,4,7]. Pergantian antar bulan (lunasi) Hijriyyah yang diwujudkan dalam bentuk penentuan tanggal 1 tiap lunasi bergantung pada eksistensi hilaal. Namun berbeda dengan definisi kualitatifnya yang telah disepakati bersama, yakni sebagai Bulan dalam fase sabit yang paling tipis menyerupai sehelai benang melengkung, secara kuantitatif belum ada definisi hilaal yang bisa diterima seluruh komponen Umat Islam. Implikasinya memunculkan problem klasik: perbedaan dalam awal bulan suci Ramadhan atau dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) di seluruh dunia. Pun demikian di Indonesia. Salah satu sumber perbedaan adalah terjadinya pemisahan antara hisab (pemodelan matematis gerak Bulan) dan rukyat (observasi Bulan dengan metode tepercaya) sehingga keduanya seolah saling berseberangan dan berhadapan. Akibatnya eksistensi kriteria visibilitas hilaal, yakni hisab tentang batas minimum prediktif nan valid dan reliabel dalam kondisi ideal untuk terlihatnya hilaal yang disusun berdasarkan hasil hasil rukyat, terabaikan. Hal ini menyebabkan pergeseran paradigma dalam mendefinisikan hilaal, dari semula berparadigma empirik menjadi asumtif [9]. Dalam praktiknya paradigma hilaal asumtif kemudian terbagi dalam kubu wujudul hilaal (yang mendefinisikan hilaal sebagai Bulan pasca konjungsi yang terbenam lebih lambat dari Matahari) dan kubu imkan rukyat (mendefinisikan hilaal mirip dengan wujudul hilaal namun menambahkan ketentuan sudah menampakkan bentuk sabit tertipis yang bisa dilihat mata dalam kondisi ideal). Di Indonesia secara garis besar perbedaan itu mengkristal dalam dua kutub: kutub hisab haqiqi wujudul hilaal (yang dipelopori Muhammadiyah) dan kutub rukyatul hilaal (yang dipelopori Nahdlatul Ulama). Secara kuantitatif kedua ormas tersebut memiliki massa terbesar sehingga perbedaan antar keduanya membawa implikasi pada perbedaan signifikan dalam tubuh Umat Islam Indonesia. Kementerian Agama RI mencoba menjembataninya dengan menggagas kriteria visibilitas tiga orde sebagai merupakan derivasi kriteria MABIMS yang merupakan kesepakatan menteri menteri agama dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Indonesia, sehingga dikenal pula sebagai kriteria MABIMS (Imkan Rukyat). Kriteria ini memiliki ketentuan: a) umur Bulan 8 jam pasca konjungsi, b) tinggi Bulan mar i (toposentrik) dari horizon (a D 3 ), dan c) jarak Bulan Matahari (elongasi) 3 [1,9]. Kriteria ini menjadi dasar penyusunan kalender Hijriyyah nasional dan taqwim standar Kementerian Agama RI sekaligus alat evaluasi untuk laporan laporan rukyatul hilaal khususnya dalam forum sidang itsbat penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawwal maupun 1 Zulhijjah. Kriteria ini dibangun berdasarkan laporan rukyatul hilaal 9 Juni 1984 (penentuan 1 Syawwal 144 H) dimana hilaal dilaporkan teramati dari Jakarta, Pelabuhan Ratu dan Pare Pare. Belakangan kriteria ini didukung pula oleh laporan rukyatul hilaal 16 September 1974 (penentuan 1 Ramadhan 1394 H) dimana hilaal dilaporkan terlihat dari dua lokasi di Jakarta dan satu lokasi di Yogyakarta [1]. Namun demikian validitas kriteria ini sendiri banyak dipertanyakan karena bentuknya sangat berbeda dibandingkan kriteria visibilitas lainnya. Dalam perkembangannya aplikasi kriteria MABIMS (Imkan Rukyat) pun cenderung inkonsisten, sehingga dari tiga
2 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY 119 ketentuannya hanya dua yang sering diterapkan (yakni umur Bulan dan tinggi Bulan mar i). Begitupun bila hanya ada satu dari dua ketentuan yang memenuhi syarat maka kriteria dianggap telah terpenuhi [9]. Akibatnya kriteria ini sulit untuk membedakan apakah hilaal yang dilaporkan pengamat merupakan hilaal yang sebenarnya ataukah obyek terang di langit latar belakang maupun latar depan yang bentuknya menyerupai hilaal. Bangun dasar sebuah kriteria visibilitas senantiasa mengikutsertakan parameter iluminansi Bulan (jumlah cahaya yang jatuh di sebuah permukaan per unit area dari sebuah sumber cahaya) dan parameter kegelapan langit (meredupnya cahaya senja di langit latar belakang sebagai akibat kian turunnya Matahari di bawah horizon pasca terbenam). Rasio antara iluminansi Bulan dengan kegelapan langit dinamakan kontras hilaal [4]. Kriteria visibilitas empiris seperti kriteria Maunder Fotheringham, Schoch dan Bruin mengandung parameter kegelapan langit berupa selisih tinggi Bulan Matahari (a D ) dan parameter iluminansi Bulan berupa selisih azimuth Bulan Matahari (DAz) [1]. Tinggi Bulan mar i, meski adalah derivasi dari a D dalam bentuk a D 1, tidak pernah dikategorikan baik sebagai parameter kegelapan langit maupun iluminansi Bulan, mengingat acuan pengukuran tinggi Bulan mar i adalah horizon sehingga berpotensi bias. Observasi hilaal 6 Desember 1 oleh tim pengamat USM di Teluk Kemang (Malaysia) misalnya, baru berhasil mengidentifikasi hilaal ketika tinggi Bulan mar i 1,67 (atau di bawah angka versi kriteria Imkan Rukyat) namun sejatinya pada saat itu Bulan memiliki a D =8,14. Bilamana tinggi Bulan mar i hendak dijadikan parameter visibilitas hilaal, maka harus ditekankan tinggi Bulan mar i tersebut diukur tepat pada saat Matahari terbenam. Dan merujuk pada kriteria visibilitas empiris di atas, tinggi Bulan mar i saat visibilitas hilaal sangat dipengaruhi oleh nilai DAz. Dalam kriteria Maunder Fotheringham misalnya, tinggi Bulan mar i bervariasi antara 8,5 (DAz=1 ) hingga 1 (DAz= ). Hal senada juga nampak dalam kriteria Scoch dimana tinggi Bulan mar i bervariasi antara 8,3 (DAz=1 ) hingga 9,4 (DAz= ). Pendekatan fisis F. Bruin yang kemudian menjadi dasar bagi kriteria kiteria visibilitas fisis modern (seperti kriteria Schaefer, Yallop dan Odeh) pun menyajikan hasil yang mirip dimana tinggi Bulan mar i bervariasi antara 7,5 (DAz=1 ) hingga 9,1 (DAz= ) [1]. M. Ilyas memperlihatkan nilai a D minimal 4 namun hanya terjadi bila DAz besar [1,6]. Nampak bahwa kriteria kriteria itu menyaratkan perlunya DAz dipertimbangkan, bukannya dianggap homogen dan diabaikan seperti dalam kriteria MABIMS. Guna memperbaikinya Djamaluddin telah mengusulkan adanya kriteria LAPAN sebagai kriteria empiris hasil analisis data laporan rukyatul hilaal Kementerian Agama RI periode tanpa membedakan apakah visibilitas berdasarkan alat bantu optik (teleskop atau binokuler) maupun tidak. Hasilnya, tinggi Bulan mar i bervariasi antara,1 (DAz=6,5 ) hingga 8,1 (DAz= ) saat visibilitas hilaal. Seperti halnya MABIMS (Imkan Rukyat), kriteria LAPAN pun terdiri dari 3 ketentuan: a). umur Bulan 8 jam pasca konjungsi, b). elongasi Bulan Matahari 5,6 dan c). Tinggi Bulan Matahari mengikuti selisih azimuthnya (DAz), di mana untuk DAz 6 maka a D > 3 dan untuk DAz < 6 maka a D,14DAz 1,83DAz + 9,11. [1] Kriteria ini didasarkan pada data yang terbatas (11 data, sebagai hasil reduksi dari 38 data) namun 3 data diantaranya diragukan karena memiliki nilai elongasi Bulan Matahari (a L ) kurang dari batas Danjon. Djamaluddin berpendapat batas Danjon disebabkan sensitivitas mata manusia sehingga visibilitas hilaal pada saat a L < 7 (yakni nilai batas yang diusulkan Danjon) adalah memungkinkan, apalagi McNally telah menyarankan nilai batas Danjon seyogyanya lebih rendah yakni 5, sehingga ketiga data itu masih memenuhi syarat [3,5,8]. Dalam kondisi tersebut hilaal dianggap bisa terlihat sebagai titik cahaya mirip bintang (bukan lengkungan cahaya) sehingga mata manusia yang paling sensitif berkemungkinan melihatnya. Argumen ini dipatahkan oleh observasi Jim Stamm (13 Oktober 4), yang hanya bisa mengidentifikasi hilaal (pada a L =6,4 ) yang sangat tipis dengan teleskop pada lokasi dengan elevasi cukup tinggi (+.1 m dpl), sementara observasi serupa dengan mata telanjang dan binokuler gagal mengidentifikasinya. Dengan demikian batas Danjon termutakhir saat ini tidak lebih kecil dari 6,4 [8]. Observasi Stamm sekaligus menunjukkan adanya kebutuhan alat bantu optik (teleskop) dan lokasi berelevasi tinggi, hal mendasar yang tidak dijumpai dalam rukyatul hilaal yang menghasilkan ketiga data meragukan tersebut. Sebagai upaya memperbaiki kriteria MABIMS (Imkan Rukyat) dan sekaligus menguji kembali validitas kriteria LAPAN maka diselenggarakanlah kampanye observasi hilaal dengan tujuan: 1. Merekapitulasi data observasi hilaal di Indonesia sehingga terbentuk basis data lokal termutakhir.. Menyusun kriteria baru yang bertujuan memperbaiki kriteria MABIMS (Imkan Rukyat) maupun LAPAN. 3. Merumuskan definisi hilaal, khususnya untuk Indonesia. 4. Menguji variasi lokal terhadap visibilitas hilaal global. II. DATA Kampanye observasi dilaksanakan pada periode Zulhijjah 147 Zulhijjah 143 H (Januari 7 Desember 9) tiap menjelang lunasi Hijriyyah oleh relawan di jejaring titik observasi LPIF RHI yang secara geografis merentang dari garis lintang 5 LU (Lhokseumawe, NAD) hingga 3 LS (Perth, Australia) dengan titik observasi terbarat di garis bujur 97 BT (Lhokseumawe, NAD) dan titik tertimur di garis bujur 11,5 BT (Gresik, Jawa Timur). Target observasi berupa hilaal (Bulan sabit termuda dan tertipis yang hanya terlihat pasca terbenamnya Matahari) dan hilaal tua (Bulan sabit tertua dan tertipis yang hanya terlihat menjelang terbitnya Matahari). Observasi dilakukan dengan menggunakan alat bantu optik (binokuler dan teleskop) maupun tidak. Data primer berupa koordinat lokasi, elevasi, kapan Matahari teramati terbenam dan hilaal mulai terlihat (untuk hilaal) serta kapan hilaal tua terakhir kali terlihat dan Matahari terbit (untuk hilaal). Sementara data sekunder adalah kondisi kualitatif langit di atas horizon, orientasi serta citra (foto) hilaal dan hilaal tua. Reduksi data dilaksanakan dengan mempertimbangkan data sekunder. Data primer yang telah tereduksi lantas dibagi ke dalam kelompok data positif (hilaal/hilaal tua
3 1 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY teramati) dan data negatif (hilaal/hilaal tua tidak teramati). Keduanya lalu diolah dengan menggunakan software Moon Calculator v6. secara toposentrik, airless dan terbit/terbenamnya Matahari secara geometrik. Keluaran data berupa a D, DAz, a L dan Lag (interval waktu terbenamnya Matahari dan Bulan). Untuk data positif, perhitungan dilaksanakan saat Best Time (waktu saat hilaal dilaporkan pertama kali terlihat atau hilaal tua dilaporkan terakhir kali terlihat) sementara data negatif dihitung saat Matahari terbit/terbenam. Selama kampanye observasi berhasil terkumpul 174 data visibilitas yang membentuk basis data RHI, terdiri dari 17 data positif dan 67 data negatif. Data kemudian dianalisis menggunakan spreadsheet MS Excell. Sebagai pembanding digunakan data visibilitas dari basis data Yallop dan ICOP yang dibatasi hanya untuk lokasi di daerah tropis (antara garis lintang 3,5 LU hingga 3,5 LS). Data Yallop berjumlah 8 data (9,5 % dari basis data) yang terdiri dari 1 data positif dan 7 data negatf. Sedangkan data ICOP berjumlah 54 data (7,3 % dari basis data) yang terdiri dari 3 data positif dan 31 data negatif. Yallop mendefinisikan variabel Best Time (Tb) sebagai waktu saat hilaal mulai terlihat pasca Matahari terbenam sebagai fungsi dari variabel Lag. Baik Best Time maupun Lag diukur secara relatif sejak waktu terbenamnya Matahari. Plot data Best Time dan Lag disajikan dalam Gambar.1. sementara nilai minimum Best Time dan Lag dinyatakan dalam tabel (1). TABEL 1. BEST TIME DAN LAG. Best Time (menit) Lag (menit) Analisis linear menghasilkan persamaan (1): Tb =,4Lag + 16, (1) T sunset Mengikuti langkah al Biruni yang kemudian diikuti Fotheringham, Maunder dan Schoch di kemudian hari, kriteria visibilitas disusun dengan berdasarkan variabel a D (parameter kegelapan langit latar belakang) dan DAz (parameter iluminansi Bulan) [5]. Plot data a D dan DAz disajikan dalam Gambar.. sementara nilai minimum a D dan DAz dinyatakan dalam tabel (). Best time (menit) y = -.45x Lag (menit) Gambar 1. Best Time hilaal sebagai fungsi dari Lag. TABEL. a D DAN Daz. DAz ( ) a D ( ) 1,38 9, 7,8 6,8 6,1 5,41 Analisis polinomial menghasilkan persamaan a D,99DAz 1,49DAz + 1,38. () Berdasarkan persamaan () maka tinggi Bulan mar i pada saat Matahari terbenam yang memenuhi kriteria RHI bervariasi dari yang terkecil 3,77 (terjadi pada DAz=7,5 ) hingga yang terbesar 9,38 (terjadi pada DAz= ). III. PEMBAHASAN A. Definisi Hilaal Pada persamaan (1) untuk Tb= diperoleh Lag=4 menit, sehingga Bulan dengan Lag > 4 menit telah memperlihatkan bentuk sabitnya bahkan sebelum Matahari terbenam. Secara filosofis hilaal hanya akan terlihat setelah terbenamnya Matahari sehingga Lag=4 menit menjadi batas atas bagi hilaal. Sementara untuk Tb=Lag diperoleh Lag=1 menit maka Bulan dengan Lag < 1 menit takkan memperlihatkan bentuk sabitnya meskipun ditunggu sampai tiba waktunya Bulan terbenam. Namun data memperlihatkan nilai Lag minimum yang lebih besar, yakni 4 menit sehingga inilah batas bawah bagi hilaal. Lag ini tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan Lag minimum dalam basis data ICOP yakni 1 menit [8]. Menggunakan hubungan a D = a S cosϕ dengan ϕ=lintang pengamatan (yang mendekati nol bagi wilayah tropis sehingga cosϕ 1) dan a S ¼ Lag maka pada persamaan () untuk DAz= diperoleh Lag 41 menit yang tidak berbeda jauh dengan 4 menit, sedangkan pada a D terkecil (terjadi pada DAz=7,5 dan berkorelasi dengan a D =4,78 ) didapat Lag 19 menit. Dari data diketahui bahwa a D terkecil=5,8 yang menghasilkan Lag 3 menit yang tidak berbeda jauh dengan 4 menit. Dengan demikian hilaal secara kuantitatif dapat didefinisikan sebagai Bulan pasca konjungsi yang memiliki Lag 4 menit dan Lag 4 menit. Bulan dengan Lag < 4 menit diusulkan untuk diistilahkan sendiri sebagai Bulan gelap (dark moon), untuk membedakannya dengan hilaal [9]. Selisih altitude (derajat) Selisih azimuth (derajat) Gambar. a D dan DAz hilaal serta kriteria RHI.
4 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY 11 Persamaan (1) sekilas relatif berbeda bila dibandingkan dengan persamaan Best Time Yallop yang berbentuk Tb = 4 / 9 Lag + T sunset. Namun khusus pada Lag 4 menit terdapat kesesuaian antara persamaan Yallop dengan data, yang diperlihatkan oleh deviasi standar residual sebesar + 4 menit. Sehingga estimasi Best Time pada hilaal bisa berdasarkan pada persamaan (1) maupun persamaan Yallop. B. Kriteria RHI dan Variasi Lokal Persamaan () merupakan kriteria visibilitas hilaal yang diusulkan diberi nama kriteria RHI. Bentuk kriteria ini relatif sama dengan kriteria LAPAN yakni sebagai kurva terbuka ke atas, meskipun pada DAz < 11 kriteria LAPAN lebih pesimistik dibanding kriteria RHI. Namun apabila pada basis data kriteria LAPAN dilakukan eliminasi terhadap 3 data meragukan, maka yang tersisa akan bersesuaian dengan kriteria RHI. Sehingga bisa disimpulkan bila proses reduksi data dipertajam, maka kriteria LAPAN pada hakikatnya adalah kriteria RHI. Bentuk kriteria RHI berbeda dibanding kriteria visibilitas dua orde sejenis seperti kriteria Maunder Fotheringham, Schoch dan Bruin, seperti dalam tabel (3), terlihat perbedaan sangat mendasar dimana ketiga kriteria terakhir berbentuk kurva terbuka ke bawah sehingga tidak memiliki titik balik nyata. Mengingat basis data untuk kriteria RHI maupun LAPAN terbatas hanya dari Indonesia, perbedaan bentuk ini kemungkinan mengindikasikan adanya variasi lokal dalam visibilitas hilaal. TABEL 3. PERBANDINGAN KRITERIA RHI DENGAN MAUNDER FOTHERINGHAM, SCHOCH DAN BRUIN. a DAz D ( ) Maunder ( ) RHI Scoch Bruin Fotheringham 1,38 11, 1,37 1,14 1 9, 1,94 1,35 1,5 7,8 1,86 1,31 1,3 3 6,8 1,76 1,5 1,9 4 6,1 1,64 1,16 1, 5 5,41 1,5 1,6 1,9 6 5,1 1,34 9,94 8,94 7 4,8 1,16 9,8 8,8 8 4,8 9,96 9,64 8,64 9 5, 9,74 9,47 8,47 1 5,38 9,5 9,7 8,7 Bukti adanya variasi lokal dalam visibilitas hilaal nampak ketika kriteria RHI dibandingkan dengan data visibilitas hilaal global seperti dari basis data Yallop dan ICOP yang telah dibatasi hanya yang berasal dari daerah tropis. Keduanya ternyata bersesuaian dengan kriteria RHI seperti diperlihatkan Gambar.3. Sehingga sifat visibilitas hilaal seperti dinyatakan kriteria RHI adalah karakteristik daerah tropis, tidak hanya terbatas di Indonesia. Data visibilitas hilaal termutakhir seperti dihimpun tim pengamat USM dengan teleskop dari lokasi di Teluk Kemang, Negeri Sembilan (Malaysia) pun memperkuatnya. Besarnya selisih nilai a D dalam kriteria RHI dengan nilai a D dalam kriteria Maunder Fotheringham, Schoch dan Bruin khususnya pada DAz > akibat tidak dibedakannya visibilitas hilaal dengan ataupun tanpa alat bantu optik dalam kriteria RHI. Sementara pada tiga kriteria lainnya, data visibilitas hanya didasarkan pada mata tanpa alat bantu optik. Data visibilitas hilaal dari Teluk Kemang (observasi 1 Juli 1 dan 6 Desember 1) serta Semarang (observasi 19 September 9) yang diambil dengan teleskop dan dilengkapi citra fotografis membuktikan nilai a D yang lebih kecil seperti termaktub dalam kriteria RHI adalah mungkin. IV. KESIMPULAN Telah tersusun basis data RHI tentang visibilitas hilaal Indonesia yang terdiri dari 174 data dengan 17 data positif dan 67 data negatif sebagai hasil observasi hilaal secara tak teputus dalam periode Zulhijjah 147 Zulhijjah 143 H (Januari 7 Desember 9). Dari basis data ini tersusun definisi baru hilaal, yakni sebagai Bulan pasca konjungsi yang memiliki Lag 4 menit dan Lag 4 menit. Telah tersusun pula kriteria visibilitas baru yang diusulkan sebagai kriteria RHI, dalam bentuk: a D,99 DAz 1,49 DAz + 1,38, sehingga tinggi Bulan mar i pada saat Matahari terbenam kala visibilitas hilaal bervariasi dari yang terkecil 3,77 (DAz=7,5 ) hingga yang terbesar 9,38 (DAz= ). Perbedaan bentuk kriteria RHI dengan kriteria visibilitas sejenis seperti kriteria Maunder Fotheringham, Schoch dan Bruin memperlihatkan kiteria RHI merupakan variasi lokal dalam visibilitas hilaal yang hanya berlaku di daerah tropis, seperti diperlihatkan oleh basis data Yallop dan ICOP. Dengan kata lain, kriteria RHI hanya bisa digunakan di daerah tropis. Selisih altitude (derajat) Selisih azimuth (derajat) Yallop ICOP Gambar 3. Perbandingan kriteria RHI dengan data Yallop dan ICOP yang telah direduksi untuk daerah tropis. PUSTAKA [1] T. Djamaluddin. Visibilitas Hilal di Indonesia, Warta LAPAN, vol. no. 4, pp , Oktober. [] L.E. Dogget and B. E. Schaefer, Lunar Crescent Visibility, Icarus, vol. 17, pp , [3] L.J. Fatoohi, F.R. Stephenson and S.S. Dargazelli, The Danjon Limit of First Visibility of The Lunar Crescent, The Observatory, vol. 118, pp.65 7, April [4] R.E. Hoffman, Rational Design of Lunar Visibility Criteria, The Observatory, vol. 15, pp , 5. [5] M. Ilyas, Lunar Crescent Visibility Criterion and Islamic Calendar, Q.J.R. astr. Soc, vol. 35, pp , [6] M. Ilyas. Limiting Altitude Separation in The New Moon s Visibility Criterion, Astron. & Astophys, vol. 6, pp. 133, [7] J.S. Mikhail, A.S. Asaad, S. Nawar and N.Y. Hassanin. Visibility of The New Moon at Two Sites: I. Maryland Situated at Northern geographical Latitude. II. Sacramento Peak Situated at High Altitude Above Sea Level. Earth, Moon & Planets, vol.7, pp , [8] M.S. Odeh, New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Exp. astr, vol. 18, pp , 4.
5 1 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY [9] M.M. Sudibyo, M. Arkanuddin and A.R.S. Riyadi, Observasi Hilaal H (7 9 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas di Indonesia. Proceed. Sem.Nas Obs. Bosscha, 9. [1] B.D. Yallop. A Method for Predicting the First Sighting of The New Crescent Moon. NAO Technical Note, no.69, TANYA JAWAB Sismanto (UGM)? Apakah hasil perhitungan atau teori sudah dikonfirmasi dengan ciri-ciri dari syariat?? Seberapa beda tipis bulan sabit bisa dilihat sebagai tanda masuk bulan baru? M. Data diambil dari visibilitas hilal yang berdasarkan ciri-ciri syariat. Para pemantau telah mencocokkannya dengan ciri-ciri syariat sebelum dilaporkan ke pusat data, sehingga hasil perhitungan sebagai analisis terhadap data sudah memenuhi ciriciri Bangun dasar kriteria visibilitas mensyaratkan adanya parameter kecerahan langit (peredaman sinar matahari) dan kecerlangan bulan sebagai ukuran ketipisan Bulan. Persamaan ini sudah memenuhi syarat tersebut. Seberapa tipis bulan sabit bisa dilihat? Bergantung kepada azimuthnya. Misalnya pada suatu senja diperoleh Daz =, maka bulan tertipis yang dapat dilihat harus memenuhi a D = 1.3. Anonim? Alasan pengambilan persamaan kuadrat?? Apakah dicoba untuk persamaan lain? M. Persamaan yangdisusun hanyalah persamaan batas dan itupun belum diperhitungkan lebar ketidakpastiannya. Satu-satunya persamaan yang cocok hanyalah persamaan Sudah. Persamaan linear tidak match, karena terlalu lebar dibanding data; persamaan polinomial sudah, hasilnya chaotic; sedang persamaan kutub tidak biasa digunakan dalam astronomi.
HASIL OBSERVASI BULAN SABIT JANUARI 2007 JANUARI 2008 RUKYATUL HILAL INDONESIA
HASIL OBSERVASI BULAN SABIT JANUARI 7 JANUARI RUKYATUL HILAL INDONESIA M. Ma rufin Sudibyo Rukyatul Hilal Indonesia A. DATA No Tempat Lintang Bujur First / Best Umur Elevasi Sunset Moonset Lag s a o LU
Lebih terperinciPenentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis
Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis Judhistira Aria Utama 1,* dan Hilmansyah 1 1 Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia * Email:
Lebih terperinciPENENTUAN PARAMETER FISIS HILAL SEBAGAI USULAN KRITERIA VISIBILITAS DI WILAYAH TROPIS
122 J. A. Utama et al., Penentuan Parameter Fisis Hilal PENENTUAN PARAMETER FISIS HILAL SEBAGAI USULAN KRITERIA VISIBILITAS DI WILAYAH TROPIS Judhistira Aria Utama*, Hilmansyah Jurusan Pendidikan Fisika
Lebih terperinciKRITERIA VISIBILITAS HILAL RUKYATUL HILAL INDONESIA (RHI) (KONSEP, KRITERIA, DAN IMPLEMENTASI)
KRITERIA VISIBILITAS HILAL RUKYATUL HILAL INDONESIA (RHI) (KONSEP, KRITERIA, DAN IMPLEMENTASI) Mutoha Arkanuddin & Muh. Ma rufin Sudibyo Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Adanya perbedaan kriteria dalam menentukan awal bulan Hijriyah ditengarai menjadi penyebab umat Islam Indonesia dalam beberapa kesempatan tidak serentak dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu astronomi di Indonesia sudah terasa manfaatnya. Objek kajian yang diamatinya pun semakin berkembang, tidak hanya terbatas pada Matahari,
Lebih terperinci1 ZULHIJJAH 1430 HIJRIYYAH DI INDONESIA Dipublikasikan Pada Tanggal 11 November 2009
Risalah Elektronik RHI Nomor 2 Volume I Tahun 13 H 1 ZULHIJJAH 13 HIJRIYYAH DI INDONESIA Dipublikasikan Pada Tanggal 11 November 29 I. PENDAHULUAN Sistem kalender yang digunakan Umat Islam, selanjutnya
Lebih terperinciKONSEP BEST TIME DALAM OBSERVASI HILAL MENURUT MODEL VISIBILITAS KASTNER
KONSEP BEST TIME DALAM OBSERVASI HILAL MENURUT MODEL VISIBILITAS KASTNER Judhistira Aria Utama Laboratorium Bumi dan Antariksa, Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penentuan waktu merupakan hal yang sangat penting artinya dalam kehidupan manusia. Suatu peradaban dikatakan maju apabila peradaban tersebut memiliki penanggalan
Lebih terperinciANALISIS PEMIKIRAN KRITERIA IMKAN AR-RUKYAH. MOHD. ZAMBRI ZAINUDDIN dan APLIKASI di INDONESIA
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN KRITERIA IMKAN AR-RUKYAH MOHD. ZAMBRI ZAINUDDIN dan APLIKASI di INDONESIA A. Analisis Kriteria imkan ar-rukyah Mohd. Zambri Zainuddin Teori dan Tinjauan Astronomi Imkan ar-rukyah
Lebih terperinciIMKAN RUKYAT: PARAMETER PENAMPAKAN SABIT HILAL DAN RAGAM KRITERIANYA (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)
IMKAN RUKYAT: PARAMETER PENAMPAKAN SABIT HILAL DAN RAGAM KRITERIANYA (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA) T. Djamaluddin Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika, LAPAN Bandung Alhamdulillah,
Lebih terperinciLAMPIRAN FOTO 1. : Wakil Ketua Majelis Tarjih Tajdid PP. Muhammadiyah
LAMPIRAN FOTO 1 Narasumber Jabatan : M. Ma rifat Iman : Wakil Ketua Majelis Tarjih Tajdid PP. Muhammadiyah Lokasi : Jl. WR Supratman, Gg. Jambu No.83, RT/RW 005/06 Cempaka Putih Ciputat Timur, Tangerang
Lebih terperinciBAB III PEMIKIRAN MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI
BAB III PEMIKIRAN MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI A. Biografi Muh. Ma rufin Sudibyo Muh. Ma rufin Sudibyo lahir di Kebumen, pada 12 Desember 1977. Masa kecil dan remajanya
Lebih terperinciAbdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Disampaikan pada Diseminasi Hisab Rukyat di BPPR- LAPAN Pameungpeuk 30 Juli 2011
Lebih terperinciPENENTUAN AWAL BULAN QOMARIAH DI INDONESIA BERDASARKAN DATA PENGAMATAN HILAL BMKG
PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIAH DI INDONESIA BERDASARKAN DATA PENGAMATAN HILAL BMKG QOMARIAH MONTHS EARLIER DEFINITION IN INDONESIA UNDER THE SUPERVISION OF DATA HILAL BMKG Rukman Nugraha Pusat Seismologi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif. Dimana proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif,
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam
82 BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam Program Mawaaqit Mawaaqit merupakan salah satu contoh
Lebih terperinciHisab dan Rukyat Setara: Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah
I Hisab dan Rukyat Setara: Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah Diskusi soal penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah seringkali
Lebih terperinciOBSERVASI HILĀL DI INDONESIA DAN SIGNIFIKANSINYA DALAM PEMBENTUKAN KRITERIA VISIBILITAS HILĀL
Observasi Hilāl di Indonesia dan Signifikansinya. OBSERVASI HILĀL DI INDONESIA DAN SIGNIFIKANSINYA DALAM PEMBENTUKAN KRITERIA VISIBILITAS HILĀL Muh. Ma rufin Sudibyo Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS KONSEP MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI. A. Kriteria Visibilitas Hilal RHI Perspetif Astronomi
BAB IV ANALISIS KONSEP MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI A. Kriteria Visibilitas Hilal RHI Perspetif Astronomi Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa yang
Lebih terperinciAbdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Disampaikan pada Diseminasi Hisab Rukyat di BPPR- LAPAN Pameungpeuk 30 Juli 2011
Lebih terperinciKapan Idul Adha 1436 H?
Kapan Idul Adha 1436 H? Hari Raya Idul Adha 1436 H diprediksi akan kembali berbeda setelah Ramadhan 1436 H dan Syawwal 1436 H bisa serempak dirayakan ummat Islam di Indonesia. Penyebabnya karena posisi
Lebih terperinciTugas Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Materi : Batasan dan Ragam KTI)
Tugas Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Materi : Batasan dan Ragam KTI) NAMA : AYUB SIREGAR INSTANSI : DINAS PENDIDIKAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PANGKAT/GOL : PENATA MUDA TK.I / III.B Contoh Artikel/Makalah
Lebih terperinciKAJIAN ALGORITMA MEEUS DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN HIJRIYAH MENURUT TIGA KRITERIA HISAB (WUJUDUL HILAL, MABIMS DAN LAPAN)
KAJIAN ALGORITMA MEEUS DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN HIJRIYAH MENURUT TIGA KRITERIA HISAB (WUJUDUL HILAL, MABIMS DAN LAPAN) Oleh: Indri Yanti 1 dan Rinto Anugraha NQZ 2 1 Fakultas Teknik, Universitas Wiralodra,
Lebih terperinciUSULAN KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA DENGAN MODEL KASTNER CRITERIA OF HILAL VISIBILITY IN INDONESIA BY USING KASTNER MODEL
ISSN: 1693-146 Juli 013 USULAN KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA DENGAN MODEL KASTNER CRITERIA OF HILAL VISIBILITY IN INDONESIA BY USING KASTNER MODEL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpfi
Lebih terperinciPREDIKSI KEMUNGKINAN TERJADI PERBEDAAN PENETAPAN AWAL RAMADHAN 1433 H DI INDONESIA. Oleh : Drs. H. Muhammad, MH. (Ketua PA Klungkung)
PREDIKSI KEMUNGKINAN TERJADI PERBEDAAN PENETAPAN AWAL RAMADHAN 1433 H DI INDONESIA Oleh : Drs. H. Muhammad, MH. (Ketua PA Klungkung) Persoalan penentuan awal bulan qamariyah, khususnya bulan Ramadhan,
Lebih terperinciProposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global
Proposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global T. Djamaluddin Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama RI http://tdjamaluddin.wordpress.com/
Lebih terperinciIMPLEMENTASI KALENDER HIJRIYAH GLOBAL TUNGGAL
IMPLEMENTASI KALENDER HIJRIYAH GLOBAL TUNGGAL Revisi Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hisab Rukyah Kontemporer Dosen Pengampu : Dr. Rupi i, M. Ag Oleh: RIZA AFRIAN MUSTAQIM N I M : 1 6
Lebih terperinciAwal Ramadan dan Awal Syawal 1433 H
Awal Ramadan dan Awal Syawal 1433 H Kalendar Taqwim Standard merupakan rujukan resmi pemerintah Republik Indonesia dan sekaligus kalendar rujukan bagi umat Islam Indonesia. Walaupun dalam kalendar tersebut
Lebih terperinciImkan Rukyat: Parameter Penampakan Sabit Hilal dan Ragam Kriterianya (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)
Imkan Rukyat: Parameter Penampakan Sabit Hilal dan Ragam Kriterianya (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA) T. Djamaluddin LAPAN Bandung t_djamal@bdg.lapan.go.id, t_djamal@hotmail.com http://t-djamaluddin.spaces.live.com/
Lebih terperinciKetajaman Mata Dalam Kriteria Visibilitas Hilal
Ketajaman Mata Dalam Kriteria Visibilitas Hilal Muhammad Faishol Amin (Email: faisholamin2301@gmail.com) Abstrak Dalam kriteria visibilitas hilal, ada beberapa faktor yang seharusnya menjadi variabel pendukung
Lebih terperinciHisab dan rukyat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklop...
1 of 6 10/10/12 08:16 Hisab dan rukyat Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menggunakan metode yang berbeda dalam menetapkan awal bulan hijriyah.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertentangan antara hisab dan rukyat kembali menjadi polemik saat sidang Isbat 1 1 Syawal 1432 H. Lantaran, masing-masing ormas menggunakan metode yang berbeda
Lebih terperinciBAB II TEORI VISIBILITAS HILAL
BAB II TEORI VISIBILITAS HILAL A. Definisi Visibilitas Hilal Hisab Imkan Rukyah secara harfiah hisab imkan rukyah berarti perhitungan kemungkinan hilal terlihat. Dalam bahasa inggris biasa diistilahkan
Lebih terperinciASTRONOMI MEMBERI SOLUSI PENYATUAN UMMAT
ASTRONOMI MEMBERI SOLUSI PENYATUAN UMMAT Prof. Dr. Thomas Djamaluddin Profesor Riset Astronomi Astrofisika Deputi Sains, Pengkajian,dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian ex-postfacto yang merupakan penelitian dimana variabel-variabel bebas telah terjadi ketika peneliti
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id MODEL VISIBILITAS KASTNER DALAM KASUS HILAL REKOR DUNIA DENGAN MENYERTAKAN FAKTOR AKUITAS MATA PENGAMAT (KASTNER VISIBILITY MODEL
Lebih terperinciINFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H
INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS 1. Analisis Metode Perhitungan Irtifa al-hilal Perspektif Sistem Almanak Nautika Irtifâ al-hilâl, sesuai
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciANALISIS VISIBILITAS HILAL PENENTU AWAL RAMADHAN DAN SYAWAL 1433 H DENGAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER
Seminar Nasional Fisika 2012 Universitas Negeri Semarang 6 Oktober 2012 ISBN 978-602-97835-2-0 ANALISIS VISIBILITAS HILAL PENENTU AWAL RAMADHAN DAN SYAWAL 1433 H DENGAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER
Lebih terperinciHISAB RUKYAT DALAM ASTRONOMI MODERN. T. Djamaluddin 1
HISAB RUKYAT DALAM ASTRONOMI MODERN T. Djamaluddin 1 Pendahuluan Hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan) secara umum adalah bagian tak terpisahkan dari astronomi modern. Hisab yang formulasinya
Lebih terperinciModul Pelatihan HISAB - RUKYAT AWAL BULAN HIJRIYAH
Modul Pelatihan HISAB - RUKYAT AWAL BULAN HIJRIYAH Oleh : MUTOHA ARKANUDDIN ============================================================ HISAB AWAL BULAN HIJRIYAH Oleh : Mutoha Arkannuddin *) Sistem Kalender
Lebih terperinciLEBARAN KAPAN PAK?? Oleh : Mutoha Arkanuddin Koord. Rukyatul Hilal Indonesia (RHI)
LEBARAN KAPAN PAK?? Pertanyaan ini menjadi semakin ngetrend menjelang akhir Ramadhan ini. Hampir setiap hari saya dihujani pertanyaan seperti itu yang menurut saya jawabannya cukup mudah (1 Syawwal) tapi
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SUSIKNAN AZHARI TENTANG UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DAN PROSPEKNYA MENUJU UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SUSIKNAN AZHARI TENTANG UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DAN PROSPEKNYA MENUJU UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA A. Analisis Pemikiran Susiknan Azhari tentang Unifikasi Kalender
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan hari raya Islam (Idul fitri dan Idul adha) memang selalu diperbincangkan oleh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Polemik yang terjadi di Indonesia seputar masalah penetuan awal puasa dan hari raya Islam (Idul fitri dan Idul adha) memang selalu diperbincangkan oleh kalangan masyarakat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hal yang penting dalam ketepatan penentuannya. Hal ini dikarenakan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi umat Islam, penentuan awal bulan Kamariah merupakan suatu hal yang penting dalam ketepatan penentuannya. Hal ini dikarenakan pada bulan-bulan tertentu,
Lebih terperinciPENGERTIAN DAN PERBANDINGAN MADZHAB TENTANG HISAB RUKYAT DAN MATHLA'
PENGERTIAN DAN PERBANDINGAN MADZHAB TENTANG HISAB RUKYAT DAN MATHLA' (Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla' Wilayatul Hukmi) T. Djamaluddin Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional LAPAN-Bandung
Lebih terperinciBAB IV KELAYAKAN PANTAI PANCUR ALAS PURWO BANYUWANGI SEBAGAI TEMPAT RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH
BAB IV KELAYAKAN PANTAI PANCUR ALAS PURWO BANYUWANGI SEBAGAI TEMPAT RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH A. Analisis Latar Belakang Perekomendasian Pantai Pancur Alas Purwo Banyuwangi sebagai Tempat
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS KELAYAKAN BUKIT WONOCOLO BOJONEGORO SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH
BAB IV ANALISIS KELAYAKAN BUKIT WONOCOLO BOJONEGORO SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH A. Latar Belakang Digunakannya Bukit Wonocolo Bojonegoro sebagai Tempat Rukyat Sejak sebelum
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 18 AGUSTUS 2012 M PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1433 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 18 AGUSTUS 2012 M PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1433 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 24 SEPTEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1435 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 24 SEPTEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciBAB IV PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DALAM PENENTUAN AWAL BULAN SYAWAL 1992, 1993, 1994 M DAN AWAL ZULHIJAH 2000 M ANTARA NAHDLATUL ULAMA DAN PEMERINTAH
BAB IV PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DALAM PENENTUAN AWAL BULAN SYAWAL 1992, 1993, 1994 M DAN AWAL ZULHIJAH 2000 M ANTARA NAHDLATUL ULAMA DAN PEMERINTAH 1. Analisis Komparasi Metode Penentuan Awal Ramadan, Syawal
Lebih terperinciMengkaji Konsep Kalender Islam Internasional Gagasan Mohammad Ilyas
Mengkaji Konsep Kalender Islam Internasional Gagasan Mohammad Ilyas Siti Tatmainul Qulub UIN Sunan Ampel Surabaya nungky_diamond@yahoo.com Abstrak Bagi umat Islam, kebutuhan akan sebuah kalender yang universal
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 7 AGUSTUS 2013 M PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1434 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 7 AGUSTUS 2013 M PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1434 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 14 NOVEMBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1434 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 14 NOVEMBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1434 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 16 OKTOBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1433 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 16 OKTOBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1433 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 8 JULI 2013 M PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1434 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 8 JULI 2013 M PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1434 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciVISIBILITAS HILAL DALAM MODUS PENGAMATAN BERBANTUAN ALAT OPTIK DENGAN MODEL KASTNER YANG DIMODIFIKASI
Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor VISIBILITAS HILAL DALAM MODUS PENGAMATAN BERBANTUAN ALAT OPTIK DENGAN MODEL
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 5 OKTOBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1434 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 5 OKTOBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1434 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 29 MEI 2014 M PENENTU AWAL BULAN SYA BAN 1435 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 29 MEI 2014 M PENENTU AWAL BULAN SYA BAN 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 19 JULI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1433 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 19 JULI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1433 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 12 MARET 2013 M PENENTU AWAL BULAN JUMADIL ULA 1434 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 12 MARET 2013 M PENENTU AWAL BULAN JUMADIL ULA 1434 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 13 OKTOBER 2015 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1437 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 13 OKTOBER 2015 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1437 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciInilah Hisab 1 syawal 1430 dan prediksi 1 Syawwal 1430 H diperbagai negara «MUSLI...
Page 1 of 11 Inilah Hisab 1 Syawal 1430 Dan Prediksi 1 Syawwal 1430 H Diperbagai Negara Posted on September 15, 2009. Filed under: berita Tags: 'idul fitri, 1 syawal, afrika, asean, bulan, dunia, eropa,
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT DAN SABTU, 27 DAN 28 JUNI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAMADLAN 1435 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT DAN SABTU, 27 DAN 28 JUNI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAMADLAN 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 10 FEBRUARI 2013 M PENENTU AWAL BULAN RABI UTS TSANI 1434 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 10 FEBRUARI 2013 M PENENTU AWAL BULAN RABI UTS TSANI 1434 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 16 SEPTEMBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1433 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 16 SEPTEMBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1433 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 1 MARET 2014 M PENENTU AWAL BULAN JUMADAL ULA 1435 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 1 MARET 2014 M PENENTU AWAL BULAN JUMADAL ULA 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 29 APRIL 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1435 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 29 APRIL 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciBAB II RUKYAT AL-HILAL AWAL BULAN KAMARIAH. Rukyat al-hilal terdiri atas dua kata bahasa Arab, yakni rukyat dan
BAB II RUKYAT AL-HILAL AWAL BULAN KAMARIAH A. Pengertian Rukyat Al-Hilal Rukyat al-hilal terdiri atas dua kata bahasa Arab, yakni rukyat dan hilal. Secara etimologis, kata rukyat berasal dari kata ra a-
Lebih terperinciPenentuan Awal Bulan Qamariyah & Prediksi Hisab Ramadhan - Syawal 1431 H
Prolog Setiap menjelang Ramadhan & Syawal biasanya umat Islam disibukkan dengan persoalan hisab & rukyat berkaitan penentuan awal bulan yang telah lama menjadi perbincangan di negri ini. Perbedaan dan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU DAN KAMIS, 10 DAN 11 APRIL 2013 M PENENTU AWAL BULAN JUMADITS TSANIYAH 1434 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU DAN KAMIS, 10 DAN 11 APRIL 2013 M PENENTU AWAL BULAN JUMADITS TSANIYAH 1434 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT, 31 JANUARI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AKHIR 1435 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT, 31 JANUARI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AKHIR 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 4 NOVEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1435 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 4 NOVEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 3 DESEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN SHAFAR 1435 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 3 DESEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN SHAFAR 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 22 DESEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1436 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 22 DESEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1436 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 15 AGUSTUS 2015 M PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1436 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 15 AGUSTUS 2015 M PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1436 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 10 DAN SENIN, 11 JANUARI 2016 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AKHIR 1437 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 10 DAN SENIN, 11 JANUARI 2016 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AKHIR 1437 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi
Lebih terperinciDAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
DAFTAR ISI PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN INTISARI ABSTRACT vii x xii xiii xv xvii xviii xix BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 19 APRIL 2015 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1436 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 19 APRIL 2015 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1436 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT, 20 DAN SABTU, 21 MARET 2015 M PENENTU AWAL BULAN JUMADAL AKHIRAH 1436 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT, 20 DAN SABTU, 21 MARET 2015 M PENENTU AWAL BULAN JUMADAL AKHIRAH 1436 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 16 DAN JUMAT, 17 JULI 2015 M PENENTU AWAL BULAN SYAWAL 1436 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 16 DAN JUMAT, 17 JULI 2015 M PENENTU AWAL BULAN SYAWAL 1436 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 16 DAN RABU, 17 JUNI 2015 M PENENTU AWAL BULAN RAMADLAN 1436 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 16 DAN RABU, 17 JUNI 2015 M PENENTU AWAL BULAN RAMADLAN 1436 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet
BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet Pada dasarnya azimut planet adalah busur yang diukur dari titik Utara
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU DAN KAMIS, 1 DAN 2 JANUARI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1435 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU DAN KAMIS, 1 DAN 2 JANUARI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi
Lebih terperinciBAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis
63 BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis dan Interpretasi Data Pengamatan kecerlangan langit menggunakan
Lebih terperinciJADWAL IMSAKIYAH RAMADHAN 1433 H (2012 M)
JADWAL IMSAKIYAH RAMADHAN 1433 H (2012 M) UNTUK KABUPATEN KEBUMEN PROPINSI JAWA TENGAH Disusun Oleh : Muh. Ma rufin Sudibyo Disampaikan Kepada yang Terhormat : Kepala Kementerian Agama Kantor Kabupaten
Lebih terperinciMAKALAH ISLAM. Fenomena Gerhana 2014
MAKALAH ISLAM Fenomena Gerhana 2014 15 April 2014 Makalah Islam Fenomena Gerhana 2014 Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag (Kepala Subdit Binsyar dan Hisab Rukyat Kemenag RI Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia)
Lebih terperinciKaedah imaging untuk cerapan Hilal berasaskan Charge Couple Device (CCD) Hj Julaihi Hj Lamat,
Kaedah imaging untuk cerapan Hilal berasaskan Charge Couple Device (CCD) Hj Julaihi Hj Lamat, Brunei Institution of Geomatics (B.I.G), Brunei Darussalam Email: julaihi.lamat@gmail.com Kita maklum, penentuan
Lebih terperinciINFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 OKTOBER 2010 PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1431 H
INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 OKTOBER 2010 PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1431 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam
Lebih terperinciINFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 18 DAN SELASA, 19 MEI 2015 M PENENTU AWAL BULAN SYA BAN 1436 H
INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 18 DAN SELASA, 19 MEI 2015 M PENENTU AWAL BULAN SYA BAN 1436 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari
Lebih terperinciUnifikasi Kalender Islam di Indonesia Susiknan Azhari
Unifikasi Kalender Islam di Indonesia Susiknan Azhari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta siknanazmi@yahoo.com/susiknanazhari69@gmail.com +6285868606911/www.museumastronomi.com 1 Peristiwa Syawal 1428 Idul
Lebih terperinciDaftar Pustaka. Abdul Baqi, Muhammad Fuad, 1981, al-mu jam al-mufahras: Li al-faadi-l-qur anil-karim, Beirut: Daar al-fikr.
Daftar Pustaka Abdul Baqi, Muhammad Fuad, 1981, al-mu jam al-mufahras: Li al-faadi-l-qur anil-karim, Beirut: Daar al-fikr. Ainiy, Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad, al-, 1980, Al-Bayanah Fi Syarhi Al- Hidayah,
Lebih terperinciPerbedaan Penentuan Awal Bulan Puasa dan Idul Fitri diantara Organisasi Islam di Indonesia: NU dan Muhammadiyah
Perbedaan Penentuan Awal Bulan Puasa dan Idul Fitri diantara Organisasi Islam di Indonesia: NU dan Muhammadiyah Puasa merupakan rukun islam yang ke-tiga, di dalam islam puasa berarti menahan diri dari
Lebih terperinciMuchtar Salimi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
VISIBILITAS HILAL MINIMUM: STUDI KOMPARATIF ANTARA KRITERIA DEPAG RI DAN ASTRONOMI MINIMUM VISIBILITY OF CRESCENT: A COMPARISON BETWEEN DEPAG AND ASTRONOMY CRITERIA Muchtar Salimi Fakultas Agama Islam
Lebih terperinciINFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM 10 AGUSTUS 2010 PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1431 H
INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM 10 AGUSTUS 2010 PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1431 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan kelangsungan kegiatan peribadatan umat islam. Ketepatan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penentuan awal bulan Qamariah sangat erat sekali kaitannya dengan kelangsungan kegiatan peribadatan umat islam. Ketepatan dan keakuratan ibadah-ibadah tersebut
Lebih terperinciPRA RANCANGAN SATELIT MISI TUNGGAL HILALSAT. Untuk Keperluan Verifikasi Sistem Kalender Hijriah dan Penentuan Hari Hari Raya Keagamaan
PRA RANCANGAN SATELIT MISI TUNGGAL HILALSAT Untuk Keperluan Verifikasi Sistem Kalender Hijriah dan Penentuan Hari Hari Raya Keagamaan Muh. Ma rufin Sudibyo 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Permasalahan
Lebih terperinci