Vol. III No Mei Oleh Agus Yadi ABSTRAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Vol. III No Mei Oleh Agus Yadi ABSTRAK"

Transkripsi

1 Vol. III No Mei 2014 POTENSI PEKARANGAN SEBAGAI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PERUMAHAN KOTA KECAMATAN INDRAMAYU Studi Kasus di Perumahan BTN Lama dan BTN Bumi Mekar Kota Indramayu Oleh Agus Yadi ABSTRAK Penelitian ini didasarkan pada terjadinya konversi lahan pekarangan yang berfungsi sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota yang terdapat di perumahan kota kecamatan Indramayu. Tujuan penelitian adalah ingin mengetahui luas pekarangan yang potensial sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) berbagai tipe rumah dan luasan nya di perumahan kota kecamatan Indramayu, serta ingin mengetahui apa kah terdapat hubungan luas pekarangan se bagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan fungsi ekalogis pekarangan di perumahan kota kecamatan Indramayu. Hasil penelitian menunjukan bahwa luas pekarangan yang paling potensial sebagai RTH yang berfungsi sebagai fungsi ekalogis dan estetika terdapat pada tipe rumah 54 dengan luas pekarangan 27m 2, sedangkan tipe rumah 21, 27, 36 dan 45 yang masing-masing mempunyai luas pekarangan 7,5m 2, 9,0m 2, 9,0m 2 dan 13,5 m 2 kurang potensial sebagai RTH. Terdapat hubungan antara luas pekarangan sebagai RTH dan fungsi ekalogis pada luas pekarangan 7,5m 2, 9,0m 2, 9,0m 2, 13,5 m 2 dan 27 m 2 dengan tipe rumah 21, 27, 36, 45 dan 54 pada fugsi ekalogis yang berhubungan dengan fungsi konservasi fi sik kota dan fungsi pendukung pelestarian keanekaragaman hayati. Sedangkan untuk fungsi mikro untuk luas pekarangan 7,5m 2, 9,0m 2, 9,0m 2 dan 13,5 m 2 tidak bisa dianalisis, untuk tipe rumah 54 bisa dianalisis dengan hasil tidak ada hubungan antara luas pekarangan dengan fungsi iklimmikro. Kata kunci: Pekarangan Potensial sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat untuk menunjang RTH publik. PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk dan berkembangnya pusatpusat perkotaan, kebutuhan lahan untuk pemukiman pada saat ini cukup besar terutama di kota-kota, untuk memenuhi kebutuhan lahan pemukiman di perkotaan dan dengan keterbatasan lahan untuk pemukiman diatur oleh Keputusan Presiden RI Nomor 29/1974, Keputusan Presiden RI Nomor 34/1974 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : B/49/MK/N/I/1974 Universitas Wiralodra Indramayu 21

2 Wacana Didaktika Penugasan kepada Bank Tabungan Negara (BTN) untuk menyelenggarakan pemberian Kredit Pemilik Rumah (KPR) bagi perumahan yang di bangun pemerintah maupun swasta bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan adanya keputusan presiden maka pembuatan rumah untuk pemukiman tentang tipe rumah, luas lahan dan ruang terbuka kota (open spaces) sudah ditentukan oleh pengembang perumahan dan pemerintah. Untuk mewujudkan suatu kota yang sejuk, nyaman, indah dan memiliki udara yang bersih merupakan suatu dambaan yang diinginkan oleh masyarakat perkotaan. Untuk mewujudkan hal tersebut keberadaan ruang terbuka hijau menjadi bahan dan rencana tata ruang wilayah, dan dalam pelaksanaannya harus disusun berdasarkan kajian dan budaya setempat Supaya mendapatkan RTH yang fungsional dan estetika dalam suatu perkotaan, maka luas minimal RTH menurut Permendagri (2007) adalah 20 % dari luas kawasan perkotaan yang mencakup RTH milik umum, dan RTH milik privat / pribadi. Bentuk RTH publik berupa, taman-taman kota, jalur hijau jalan, dan tanaman-tanaman dalam komplek perumahan, sedangkan RTH privat berupa perkarangan yang berada di rumah-rumah perkotaan. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan baik RTH publik atau RTH privat keberadaannya susah diprediksi untuk bisa dipertahankan, karena banyak kendala seiring dengan berkembangnya pertambahan penduduk dan berkembangnya pusat-pusat perkotaan, kebutuhan lahan untuk pemukiman pada saat ini cukup besar. Sehingga sering meng ubah kualitas alami lahan/bentang alam perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentuk Ruang Terbuka Hijau lainnya. Kecamatan Indramayu merupakan kecamatan yang berada di Ibu Kota Kabupaten Indramayu. Sama halnya dengan kotakota di kabupaten lainnya yang terdapat di Jawa Barat mengalami permasalahan yang sama mengenai kebutuhan lahan pemukiman. Karena adanya keterbatasan lahan untuk pemukiman maka keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) milik umum dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) milik privat seperti pekarangan juga sangat terbatas. Perumahan-perumahan yang ada diperkotaan Indramayu yang terdiri dari berbagai tipe seperti tipe 21, 27, 36, 45, dan tipe 54 pada awalnya semua rumah memiliki pekarangan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) milik privat. Meskipun luas pekarangan tidak sama tergantung tipe rumahnya. Semakin besar tipe rumah yang dimiliki maka luas pekarangan sebagai RTH semakin besar pula ukuranya. Sebaliknya semakin kecil tipe rumah, maka luas pekarangan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin kecil luasnya. Seiring dengan lamanya waktu hunian dan kebutuhan lahan untuk pemukiman semakin meningkat, maka akan terjadi pula konversi lahan yang berfungsi sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) seperti lahan pekarangan. Sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) milik privat mengalami tekanan yang cukup serius yang ditunjukan dengan adanya fakta di lapangan bahwa pekarangan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH)milik privat banyak yang sudah 22 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

3 Vol. III No Mei 2014 beralih fungsi karena adanya tekanan untuk memenuhi kebutuhan untuk menambah ruang terbangun. Dengan adanya perubahan pekarangan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH), maka dilkhawatirkan terjadi pula perubahan fungsi pekarangan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) milik privat yang berfungsi sebagai penunjang RTH publik untuk mendukung terwujudnya suatu lingkungan yang dapat menopang kehidupan masyarakat kota dan fungsi ekologis di Kota Indramayu. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luas pekarangan yang potensial sebagai RTH pada berbagai tipe rumah dan luasnya, serta fungsi ekologis pekarangan. Maka pekarangan mempunyai potensi untuk di kembangkan atau di pertahankan sebagai RTH privat di perumahan kota dan dapat membantu RTH publik untuk memperbaiki lingkungan di wilayah perkotaan. Metode Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei deskriptif, teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik survei lapangan dengan pengukuran, menghitung dan mencatat sampel pekarangan yang diperoleh dengan cara wawancara dengan pemilik rumah, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data potensi pekarangan sebagai RTH dengan parameter luas pekarangan tersisa. Sedangkan untuk mendapat hubungan luas peka rangan se bagai RTH dengan fungsi Ekologis data yang dibutuhkan menghitung luas pekarangan yang masih ada dari tiap-tiap tipe rumah dalam bentuk persen dan meng hitung ada berapa fungsi ekologis di perumah an BTN lama dan BTN Bumi Me kar Kota Indramayu, Jenis data yang di kumpulkan sebagaimana terlihat pada tabel. Tabel I. Universitas Wiralodra Indramayu 23

4 Wacana Didaktika Dalam penelitian ini sampel yang di ambil dari populasi rumah yang berada di komplek perumahan BTN lama dan BTN Perumahan Bumi Mekar dimana letaknya berada di perkotaan yang termasuk kedalam kecamatan Indramayu. Sedangkan sampel rumah adalah bagian dari populasi yang diambil sebagai contoh dari kepala keluarga penghuni rumah type 21,27,36,45,dan,54 penarikan sampel di gunakan secara acak sederhana dengan menggunakan rumus Moh Nazir (1988), yaitu : Berdasarkan rumusan diatas diperoleh 120 responden dari 402 KK di pe rumah an BTN lama dan BTN Bumi Mekar kota Indramayu yang terdiri dari tipe 21 sebanyak 15 sampel, tipe 27 sebanyak 23 sampel, tipe 36 sebanyak 23 sampel dan tipe 45 sebanyak 15 sampel yang berasal dari perumahan BTN Bumi Mekar, sedangkan dari perumahan BTN Lama tipe rumah 54 sebanyak 44 sampel. Teknik analisis data yang di peroleh dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa luas pekarangan yang potensial sebagai RTH pada berbagai type rumah dan luasnya dilakukan dengan analisis deskriptip, untuk mempetakan apakah ada hubungan luas lahan pekarang an sebagai RTH dengan fungsi ekologis di perumahan kota kecamatan Indramayu melakukan uji sampel berhubungan yaitu uji rank spearman. HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Pekarangan Sebagai Estetika Pada Berbagai Tipe Rumah Berdasarkan hasil penelitian dari 5 tipe rumah, baik pekarangan yang masih utuh maupun pekarangan tersisa, semua pekarangan di tanami oleh berbagai jenis tanaman baik perdu, semak dan pohon semua tanaman yang ditanam didominasi oleh tanaman hias yang berfungsi sebagai tanaman estetika. Pada pekarangan tipe 21 dengan luas pekarangan 7,5 m² dari jumlah individu tanaman 35 tanaman terdapat 34 tanaman berupa tanaman hias (97,1%) dengan rata-rata 4 tanaman. Pada pekarangan tipe rumah 27 dengan luas pekarangan 9,0 m² dari jumlah individu tanaman yang tercatat 168 tanam an terdapat 153 tanaman berupa tanaman hias (91,1%), dengan rata-rata 8 tanaman. Pada pekarangan tipe rumah 36 dengan luas pekarangan 9,0 m² dari jumlah individu tanaman yang tercatat 161 tanam an terdapat 145 tanaman berupa tanaman hias (90 %), dengan rata-rata 10 tanaman. Pada pekarangan tipe rumah 45 dengan luas pekarangan 13,5 m² dari jumlah individu tanaman yang tercatat 134 tanaman terdapat 119 tanaman berupa tanaman hias (88,8 %), dengan rata-rata 11 tanaman. Sedangkan untuk pekarangan tipe rumah 54 dengan luas pekarangan 27 m² dari jumlah individu tanaman tanaman terdapat 972 tanaman berupa tanaman hias (90, 5 %), dengan rata-rata 22 tanaman. 24 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

5 Vol. III No Mei 2014 Dari uraian tersebut di atas dari 5 tipe rumah yang diteliti tentang pekarangan yang potensial sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berfungsi sebagai estetika, tipe rumah 54 dengan luas pekarangan 27 m² dinilai yang paling potensial sebagai RTH dengan fungsi estetika. Sedangkan untuk tipe 21, 27, 36 dan 45 kurang potensial untuk dikembangkan sebagai RTH yang berfungsi sebagai estetika. Potensi Pekarangan Sebagai Fungsi Ekologis Pada Berbagai Tipe Rumah. Fungsi Iklim Micro Berdasarkan hasil pengukuran pada tipe rumah 21, 27, 36, 45 dan 54 tentang iklim micro pada tipe rumah 21 dengan luas pekarangan 7,5 m² dari 8 responden yang masih punya pekarangan dan di tanami tanaman, untuk iklim micro tidak bisa diukur karena semua pekarangan tidak memiliki tanaman berupa pohon, hanya ada 1 responden yang pekarangannya ditanami tanaaman berupa pohon mangga, tetapi pohonnya masih kecil. Pada tipe 27 dengan luas pekarangan 9,0 m² dan 19 responden yang masih pu nya pekarangan dan ditanami, untuk fungsi iklim micro tidak bisa diukur karena hanya 2 responden yang mempunyai tanam an berupa pohon. Begitupun untuk tipe 36 dengan luas pekarangan 9,0 m² dari 16 responden yang ada tanamannya untuk iklim micro tidak bisa diukur karena hanya 3 responden yang ada tanaman berupa pohon. Untuk tipe 45 dengan luas pekarangan 13,5 m² dari 10 responden yang ada tanamannya tidak bisa diukur karena hanya ada 1 responden yang mempunyai pohon. Sedangkan untuk tipe rumah 54 dengan luas pekarangan 27 m² dari 43 responden terdapat 30 pekarangan yang dapat diukur temperatut dan kelembaban nya berdasarkan hasil pengukuran tem peratur pada pagi hari rata-rata suhu didalam pekarangan 28º C, suhu diluar pekarangan 29º C. Untuk siang hari rata -rata suhu didalam pekarangan 31º C, diluar pekarangan 33º C, sedangkan sore hari ratarata suhu didalam pekarangan 29º C, suhu diluar pekarangan 30º C. Untuk kelembaban pada pagi hari rata-rata didalam pekarangan 70% diluar pekarangan 71% untuk siang hari kelembaban rata-rata di dalam pekarangan 69% diluar pekarangan 67% sedangkan untuk sore hari ini kelembaban rata-rata didalam pekarangan 71% diluar pekarangan 70,5%. Dari hasil dan pembahasan bahwa fungsi iklim micro hanya terdapat pada tipe rumah 54 dengan luas lahan 27 m², sedangkan tipe lain tidak tercipta iklim micro kesimpulan bahwa luas pekarangan yang potensial sebagai RTH yang berfungsi sebagai fungsi iklim micro adalah tipe rumah 54 dengan luas lahan 27 m². Fungsi Konservasi Lingkungan Fisik Kota Berdasarkan hasil penelitian tentang potensi pekarangan sebagai RTH yang berfungsi sebagai konservasi lingkungan fisik kota ternyata semua responden yang ada pekarangannya dari berbagai tipe rumah dan dengan luasan yang berbeda masih ditanami oleh berbagai jenis tanaman berupa semak, perdu dan pohon yang didomi- Universitas Wiralodra Indramayu 25

6 Wacana Didaktika nasi oleh tanaman hias yang memberikan keindahan kesegaran dan kenyamanan. Pada tipe rumah 21 ditemukan jumlah individu tanaman 35 tanaman, tipe rumah 27 ditemukan jumlah individu tanaman 168 tanaman, tipe rumah 36 ditemukan jumlah individu tanaman 161 tanaman, tipe rumah 45 ditemukan jumlah individu tanamanan 134 tanaman, sedangkan untuk tipe rumah 54 ditemukan jumlah individu tanaman tanaman. Meskipun semua pekarangan yang masih ada dari berbagai tipe rumah sebagian besar sudah diperkeras, untuk tipe rumah 21 dari 8 responden yang masih memiliki pekarangan semua pekarangan sudah diperkeras (100%), untuk tipe 27 dari 19 responden yang masih memiliki pekarangan baik yang masih utuh dan tersisa semua pekarangan sudah diperkeras (100%), untuk tipe rumah 36 dari 16 responden, 14 responden pekarangannya sudah diperkeras (87,5%) dan 2 responden tidak diperkeras (12,5%), untuk tipe 45 dari 10 responden masih memiliki pekarangan baik yang masih utuh atau tersisa semua pekarangan sudah diperkeras ( 100% ), sedangkan untuk tipe rumah 54 dari 43 responden, 37 responden pekarangannya sudah diperkeras (86,0%) dan 6 responden tidak diperkeras (14,0%). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bah wa pekarangan yang potensial sebagai RTJ yang berfungsi sebagai fungsi konservasi lingkungan fisik kota adalah pekarangan pada tipe rumah tie 54 dengan luas pekarangan 27 m², sedangkan tipe rumah 21, 27, 36 dan 45 kurang potensial jika dibandingkan jumlah tanaman yang tercatat dari tiap tipe rumah dengan tipe rumah 54 jumlah tanaman lebih banyak sebagai indikator untuk memperbaiki lingkungan fisik kota. Mendukung Pelestarian eanekaragaman Hayati. Berdasarkan hasil penelitian tentang potensi pekarangan sebagai RTH yang berfungsi sebagai fungsi mendukung pelestari an keanekaragaman hayati pada berbagai tipe rumah seperti 21, 27, 36, 45 dan 54. Untuk tipe 21 dengan luas pekarangan 7,5 m² dari 8 responden yang mempunyai pekarangan ditemukan 17 jenis tanaman dengan 17 varietas, untuk tipe 27 dengan luas pekarangan 9,0 m² dari 19 responden yang masih utuh atau tinggal sisanya, ditemukan 30 jenis tanaman dengan 30 varietas, untuk tipe 36 dengan luas pekarangan 9,0 m² dari 16 responden yang masih memiliki pekarangan ditemukan 29 jenis tanaman dengan 29 varietas, untuk tipe 45 dengan luas pekarangan 13,5 m² ditemukian 24 jenis tanaman dengan 24 varietas. Sedangkan untuk tipe rumah 54 dengan pekarangan 27 m² ditemukan 76 jenis tanaman dengan varietas 76. Berdasarkan hasil penelitian dan pembhasan maka dapat disimpulkan bahwa pekarangan yang paling potensial sebagai RTH yang berfungsi sebagai fungsi mendukung pelestarian keanekaragaman hayati adalah pekarangan tipe 54 dengan luas lahan 27 m². Hubungan Luas Pekarangan Sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) Dengan Fungsi Ekologis Pada Berbagai Tipe Rumah 26 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

7 Vol. III No Mei 2014 Hasil pengukuran untuk 15 responden dengan tipe rumah 21 terhadap 3 fungsi ekalogis yang diteliti diperoleh pekarangan dengan luas 7,5 m2 ada 8 rumah yang memiliki pekarangan sedangkan 7 rumah lainnya tidak memiliki pekarangan. Untuk pencatatan suhu dan kelembaban tidak bisa diukur karena dari 8 responden yang ada pekarangan tidak ditemukan pohon yang besar. Sedangkan untuk konservasi fisik kota dan pelestarian keanekaragaman hayati, pengukuran dapat dilakukan dengan melihat jumlah tanaman, jenis tanaman dan varietas. Hasil perhitungan hubungan luas pekarangan dengan fungsi ekalogis dihitung dengan analisis korelasi rank spearman menggunakan bantuan spss 18. Diperoleh nilai korelasi luas pekarangan dengan konservasi lingkungan fisik kota yang dimiliki dari jumlah tanaman sebesar 0,915 dalam kategori kuat. Hasil ji t diperoleh nilai t hitung lebih besar dari t table (8,160 > 2,160). dinilai dari jenis tanaman sebesar 0,915 dalam kategori kuat.hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih besar dari t table (8,160 > 2,160). dinilai dari varietas sebesar 0,915 dalam kategori kuat.hasil uji t diperoleh nilai t hitung lebih besar dari t table (8,160 > 2,160). Kesimpulan pada tipe rumah 21 ada hubungan yang signifikan antara luas pekarangan dengan fungsi konservasi lingkungan fisik kota, fungsi pelestarian keanekaragaman hayati yang dinilai dengan varietas. Sedangkan untuk suhu dan kelembaban tidak bisa di analisis. Hasil pengukuran untuk 23 responden dengan tipe rumah 27 terhadap 3 fungsi ekalogis yang diteliti di peroleh pekarangan dengan luas 3m 2 dan 9m 2 untuk pencatatan suhu dan kelembaban hanya bisa di ukur untuk 2 pekarangan, sedangkan untuk konservasi fisik kota dan pelestarian keanekaragaman hayati pengukuran dapat dilakukan dengan melihat jumlah tanaman, jenis tanaman dan varietas. Hasil perhitungan hubungan luas pekarangan dengan fungsi ekalogis dihitung dengan analisis rank spearman menggunakan bantuan spss.18 Diperoleh nilai korelasi luas pekarangan dengan konservasi lingkungan fisik kota yang dinilai dari jumlah tanaman sebesar 0,689 dalam kategori kuat. Hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih besar dari t table ( 4,358> 2,080) Nilai korelasi dengan pekarangan dengan pelestarian keanekaragaman hayati yang di nilai dari jenis tanaman sebesar 0,700 dalam kategori kuat. Hasil uji t hitung lebih besar dari t table (4,495> 2,080). di nilai dari varietas sebesar 0,700 dalam kategori kuat. Hasil uji t diperoleh nilai t hitung lebih besar dari t table (4,495> 2,080). Kesimpulan pada tipe rumah 27 ada hubungan yang signifikan antara luas pekarangan dengan fungsi konservasi lingkungan fisik kota, fungsi pelestarian Universitas Wiralodra Indramayu 27

8 Wacana Didaktika keanekaragaman hayati dan fungsi pelestarian keanekaragaman yang di nilai dengan varietas, sedangkan untuk suhu dan kelembaban tidak bisa di analisis. Hasil pengukuran untuk 23 responden dengan tipe rumah 36 terhadap 3 fungsi ekalogis yang diteliti diperoleh pekarangan dengan luas 6m 2, 8m 2 dan 9m 2. Untuk pencatatan suhu dan kelembaban hanya bisa di ukur ujtuk 3 pekarangan, sedangkan untuk konservasi fisik kota dan pelestarian keanekaragaman hayati pengukuran dapat dilakukan pengukuran di lakukan dengan melihat jumlah tanaman, jenis tanaman dan variable. Hasil hubungan luas pekarangan dengan fungsi ekeologis di hitung dengan analisis korelasi rank spearman menggunakan bantuan spss.18. Diperoleh nilai korelasi luas pekarangan dengan konservasi lingkungan fisik kota yang dinilai dari jumlah tanaman sebesar 0,492 dalam kategori kuat. Hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih besar dari t tabel ( 2,399> 2,080 ) pelestarian keanekaragaman hayati yang di nilai dari jenis tanaman sebesar 0,464 dalam kategori kuat. Hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih besar dari t tabel (2,399> 2,080) di nilai dari jenis tanaman sebesar 0,464 dalam kategori kuat. Hasil uji t diperoleh nilai t hitung lebih besar dari t tabel ( 2,399> 2,080 ). dimiliki dari varietas sebesar 0,464 dalam kategori kuat. Hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih besar dari t tabel ( 2,399> 2,080 ). Kesimpulan pada tipe rumah 36 ada hubungan signifikan antara luas pekarangan dengan fungsi konservasi lingkungan fisik kota, fungsi pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsi pelestarian keanekaragaman hayati yang di nilai dengan varietas. Sedangkan untuk suhu dan kelembaban tidak bisa di analisis. Hasil pengukuran untuk 15 responden dengan tipe rumah 45 terhadap 3 fungsi ekalogis yang diteliti di peroleh pekarangan dengan lus 4,5 m 2, 7,5 m 2, 8,5 m 2 dan 13,5 m 2. Untuk pencatatan suhu dan kelembaban hanya bisa di ukur untuk 1 pekarangan, sedangkan untuk konservasi fisik kota dan pelestarian keanekaragaman hayati pengukuran dapat di lakukan. Pengukuran di lakukan dengan melihat jumlah tanaman, jenis tanaman dan varietas. Hasil perhitungan hubungan luas pekarangan dengan fungsi ekalogis di hitung dengan analisis korelasi rank spearman menggunakan bantuan spss 18. Diperoleh nilai korelasi luas pekarangan dengan konservasi lingkungan fisik kota yang dimiliki dari jumlah tanaman sebesar 0,545 dalam kategori cukup kuat. Hasil uji t diperoleh nilai t hitung lebih besar dari t tabel (2,341> 2,160) di miliki dari jenis tanaman sebesar 0,545 dalam kategori cukup kuat. Hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih besar dari t tabel ( 2,341> 2,160 ). 28 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

9 Vol. III No Mei 2014 pelestarian keanekaragaman hayati yang di nilai dari varietas sebesar 0,545 dalam kategori cukup kuat. Hasil uji t diperoleh nilai t hitung lebih besar dari t tabel (2,341> 2,160) Kesimpulan pada tipe rumah 45 ada hubungan yang signifikan antara luas pekarangan dengan fungsi konservasi lingkungan fisik kota, fungsi pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsi pelestarian keanekaragaman hayati yang di nilai dengan varietas. Sedangkan untuk suhu dan kelembaban tidak bisa di analisis. Hasil pengukuran untuk 44 responden dan dengan tipe rumah 54 terhadap 3 fungsi ekalogis yang di teliti di peroleh pekarangan dengan luas 8 m 2 sampai 27 m 2. Untuk iklim mikro pengukuran di lakukan dengan melihat, mencatat suhu dan kelembaban, konservasi fisik kota dan pelestarian keanekaragaman hayati pengukuran di lakukan dengan melihat jenis tanaman dan varietas. Hasil perhitungan hubungan luas pekarangan dengan fungsi ekalogis di hitung dengan analisis korelasi rank spearman menggunakan antuan spss 18. Diperoleh nilai korelasi luas pekarangan dengan menciptakan iklim mikro yang dinilai suhu sebesar 0,098 dalam kate gori sangat kecil. Hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih kecil dari t tabel (0,521< 2,048). Nilai korelasi luas pekarangan de ngan menciptakan iklim mikro yang di nilai kelembaban, sebesar 0,052 dalam kategori sangat kecil. Hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih kecil dari t tabel (0,786< 2,048). Kesimpulan tidak ada hubungan yang signifikan antara luas pekarangan dengan menciptakan iklim mikro yang di nilai dari suhu dan kelembaban. konservasi lingkungan fisik kota yang di nilai dari jumlah tanaman sebesar 0,3359 dalam kategori tidak kuat. Hasil uji t diperoleh nilai t hitung lebih besar dari t tabel (2,311> 2,018) pelestarian keanekaragaman hayati dinilai dari jenis tanaman sebesar 0,3361 dalam kategori tidak kuat. Hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih besar dari pada t tabel (2,313> 2,018) di nilai dari varietas sebesar 0,3361 dalam kategori tidak kuat. Hasil uji t di peroleh nilai t hitung lebih besar dari t tabel (2,313> 2,018) Kesimpulan pada tipe rumah 54 ada hubungan yang signifian antara luas pekarangan dengan fungsi konservasi lingkungan fisik kota, fungsi pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsi pelestarian keanekaragaman hayati yang di nilai dengan varietas. Dengan hasil uraian diatas dapat disimpulkan bahwa luas pekarangan yang luasnya 7,5 m 2, 9,0 m 2, 13,5 m 2 dan 27 m 2 sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdapat hubungan dengan fungsi ekalogis pada fungsi konservasi lingkungan fisik kota dan pelestarian keanekaragaman hayati. Fungsi iklim mikro untuk luas pekarangan 7,5 m 2, 9,0 m 2 dan 13,5 m 2 tidak bisa di analisis, untuk luas pekarangan 27,0 m 2 bisa di analisis dengan hasil tidak terdapat hubungan antra luas pekarangan sebagai RTH dengan menciptakan iklim mikro. Universitas Wiralodra Indramayu 29

10 Wacana Didaktika SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis dapat ditarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Luas pekarangan yang paling potensial sebagai RTH terdapat pada tipe rumah 54 dengan luas pekarangan 27 m2. 2. Terdapat hubungan luas pekarangan sebagai RTH dengan fungsi ekologis, fungsi konservasi lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati pada tipe rumah 21, 27, 36, 45 dan 54, ini artinya secara luas lahan pekarangan yang tersisa semakin yang tersisa, untuk tipe rumah rumah 45 tidak ada hubungan luas pekarangan sebagai RTH dengan fungsi konservasi lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian keaneka ragam an hayati. Sedangkan untuk iklim micro dari berbagai tipe rumah tidak terdapat hubungan luas pekarangan sebagai RTH dengan iklim micro. Saran Untuk pemerintah daerah dan pengembang bahwa luas pekarangan yang potensial sebagai RTH privat untuk dipertahankan dan dikembang adalah luas pekarangan 27 m 2 dengan tipe rumah 54. Sedangkan tipe rumah 21, 27, 36 dan 45 tidak potensial untuk dikembangkan sehingga yang perlu dikembangkan adalah RTH publik berupa taman-taman yang terdapat dikomplek perumahan. DAFTAR PUSTAKA Fidi Mahendra Sistem Agrotorestri dan Aplikasinya. Graha Ilmu. Hastuti, F., Utami, T Potensi Ruang Terbuka Hijau Dalam Penyerapan CO2 diperumahan. Moch.Nazir, Metode Penelitian Jakarta, Ghalia Indonesia Ramlan, A, Struktur Floristik Tanaman Pekarangan di Kodya Bandung dalam Rangka Usaha Penghijauan Jurusan Biologi FIPA UNPAD Bandung Rahardjo, S, Evaluasi Fisik Potensi Jalur Hijau Jalan pada Jalan di Kota Bandung Sebagai Ruang Terbuka Hijau Kota. Suhartati, Polusi Udara dan Solusinya, Info Hutan Tanaman Vol. 2 No. 3 November 2007 Silas Johan, Perjalanan Panjang Perumahan Indonesia, Naskah Disertasi Penulis di ITB Bandung Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor I Tahun 2001 Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan, Makalah Lokakarya Dalam Rangkaian Acara Hari Bakti Pekerjaan Umum Ke- 60 Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Yoga Nirwano dan Ismaun Iwan, 2011.RTH 30% Resolusi (Kota) Hijau. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 30 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan dan pengembangan suatu kota berjalan sangat cepat, sehingga apabila proses ini tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan hidup dikhawatirkan akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI Saat ini banyak kota besar yang kekurangan ruang terbuka hijau atau yang sering disingkat sebagai RTH. Padahal, RTH ini memiliki beberapa manfaat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) PENGADAAN TANAH UNTUK RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) Sekilas RTH Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah perkotaan pada umumnya tidak memiliki perencanaan kawasan yang memadai. Tidak terencananya penataan kawasan tersebut ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya tarik kota yang sangat besar bagi penduduk desa mendorong laju urbanisasi semakin cepat. Pertumbuhan penduduk di perkotaan semakin pesat seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN KAJIAN PERAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA Kajian Peran Faktor Demografi dalam Hubungannya Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada PENDAHULUAN Latar Belakang Kota adalah suatu pusat pemukiman penduduk yang besar dan luas.dalam kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Adakalanya kota didirikan sebagai tempat kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo Fungsi Ekologis Terciptanya Iklim Mikro 81% responden menyatakan telah mendapat manfaat RTH sebagai pengatur iklim mikro.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Sri Sutarni Arifin 1 Intisari Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, dan pendidikan, serta penyedia fasilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan kependudukan, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR Oleh : RIAS ASRIATI ASIF L2D 005 394 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang disebabkan oleh konversi lahan. Menurut Budiman (2009), konversi lahan disebabkan oleh alasan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL

PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL Ingerid Lidia Moniaga & Fela Warouw Laboratorium Bentang Alam, Program Studi Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA SALINAN NOMOR : 5 TAHUN 2010 Menimbang : PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN BUNDARAN MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA DENGAN

Lebih terperinci

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR Cesaria Wahyu Lukita, 1, *), Joni Hermana 2) dan Rachmat Boedisantoso 3) 1) Environmental Engineering, FTSP Institut Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang berkembang sangat pesat dengan ciri utama pembangunan fisik namun di lain sisi, pemerintah Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, jasa, dan industri. Penggunaan lahan di kota terdiri atas lahan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, jasa, dan industri. Penggunaan lahan di kota terdiri atas lahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas 42 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas Secara geografis, perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) terletak pada 06.53 LS-06.56 LS dan 106.78 BT sedangkan perumahan Taman Yasmin terletak pada

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran sebagai hasil pengolahan data penelitian dan pembahasan terhadap hasil analisis yang telah disajikan dalam beberapa bab sebelumnya.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting sebab tingkat pertambahan penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

: JONIGIUS DONUATA : : PERHUTANAN KOTA PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN LAHAN KERING

: JONIGIUS DONUATA : : PERHUTANAN KOTA PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN LAHAN KERING LAPORAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA ( Taman Nostalgia Kupang ) NAMAA NIM KELAS MK : JONIGIUS DONUATA : 132 385 018 : A : PERHUTANAN KOTA PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN JURUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena pemanasan bumi, degradasi kualitas lingkungan dan bencana lingkungan telah membangkitkan kesadaran dan tindakan bersama akan pentingnya menjaga keberlanjutan

Lebih terperinci

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO Ristanti Konofo 1, Veronica Kumurur 2, & Fella Warouw 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Sam Ratulanggi Manado 2 & 3 Staf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara

Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara C193 Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan, Jakarta Utara Shella Anastasia dan Haryo Sulistyarso Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan Kota memiliki keterbatasan lahan, namun pemanfaatan lahan kota yang terus meningkat mengakibatkan pembangunan kota sering meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan-lahan pertumbuhan banyak yang dialihfungsikan

Lebih terperinci

Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Ponorogo. Dirthasia G. Putri

Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Ponorogo. Dirthasia G. Putri Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Ponorogo Dirthasia G. Putri 1 Latar Belakang KOTA PONOROGO Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota merupakan kerangka struktur pembentuk kota. Ruang terbuka Hijau (RTH)

Lebih terperinci

ABSTRAK 1. PENDAHULUAN

ABSTRAK 1. PENDAHULUAN Kajian Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Pemukiman Di Kampung Brambangan Dan Perumahan Sambak Indah, Purwodadi Yakub Prihatiningsih 1, Imam Buchori 2, Hadiyanto 3 1 Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan UNDIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lingkungan adalah semua benda, daya serta kondisi, termasuk di dalamnya

I. PENDAHULUAN. Lingkungan adalah semua benda, daya serta kondisi, termasuk di dalamnya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan adalah semua benda, daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah-perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten Hotel Ledian, 14 oktober 2014 I. GAMBARAN UMUM 1. WILAYAH PERKOTAAN PROVINSI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 19 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENGHIJAUAN KOTA SAMARINDA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah TINJAUAN PUSTAKA 1. Lanskap Sekolah Menurut Eckbo (1964) lanskap adalah ruang di sekeliling manusia mencakup segala hal yang dapat dilihat dan dirasakan. Menurut Hubbard dan Kimball (1917) dalam Laurie

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : a. bahwa perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN

RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN Makalah Lokakarya PENGEMBANGAN SISTEM RTH DI PERKOTAAN Dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60 Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi t'r - PEMERINTAH KABUPATEN NGANJUK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 09 TAHUN 2OO5 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju berkurangnya ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan dimensi ekonomi

Lebih terperinci

6.1.1 Hasil Analisis RTH pada Kabupaten Mimika. b. Hasil perhitungan berdasarkan status kepemilikan RTH eksisting: ha dengan pembagian:

6.1.1 Hasil Analisis RTH pada Kabupaten Mimika. b. Hasil perhitungan berdasarkan status kepemilikan RTH eksisting: ha dengan pembagian: 6.1 Kesimpulan 6.1.1 Hasil Analisis RTH pada Kabupaten Mimika Berdasarkan hasil analisis diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni antara lain : a. Berdasarkan UU No. 26/2007 standar Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN JEMBATAN TENGKU AGUNG SULTANAH LATIFAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHM AT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota adalah sebuah tempat dimana manusia hidup, menikmati waktu luang, berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan manusia lain. Kota juga merupakan wadah dimana keseluruhan

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

Studi Peran & Efektifitas RTH Publik di Kota Karanganyar Isnaeny Adhi Nurmasari I BAB I PENDAHULUAN

Studi Peran & Efektifitas RTH Publik di Kota Karanganyar Isnaeny Adhi Nurmasari I BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terbitnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang seiring dengan makin menguatnya keprihatinan global terhadap isu pemanasan global dan pembangunan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN DAERAH SAMPANG NOMOR : 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMPANG, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi suatu negara, termasuk Indonesia. Dampak peningkatan jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. bagi suatu negara, termasuk Indonesia. Dampak peningkatan jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk bukan menjadi masalah baru bagi suatu negara, termasuk Indonesia. Dampak peningkatan jumlah penduduk ini sangat dirasakan di

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang Mengingat : : a. bahwa dengan terus meningkatnya pembangunan di

Lebih terperinci

Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun RUTRK Untuk RTH (ha)

Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun RUTRK Untuk RTH (ha) 80 Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun 1988 RUTRK Untuk RTH (ha) Kebutuhan RTH Berdasarkan Inmendagri No.14/88 Selisih (ha) Pekanbaru Kota 0 90-90 * Senapelan 0 266-266

Lebih terperinci

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D 300 377 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR (TA) RTH PRIVAT TEAM

TUGAS AKHIR (TA) RTH PRIVAT TEAM ANALISIS KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) PRIVAT PERMUKIMAN DALAM MENYERAP KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) DAN MEMENUHI KEBUTUHAN OKSIGEN (O 2 ) DI SURABAYA BARAT (STUDI KASUS: KECAMATAN LAKARSANTRI) Nama :

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa guna menciptakan kesinambungan dan keserasian lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang Terbuka Hijau atau RTH merupakan salah satu komponen penting perkotaan. Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pengalihan fungsi lahan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota semakin banyak terjadi pada saat sekarang. Hal ini seiring dengan permintaan pembangunan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan RTH sangat penting pada suatu wilayah perkotaan. Disamping sebagai salah satu fasilitas sosial masyarakat, RTH kota mampu menjaga keserasian antara kebutuhan

Lebih terperinci

Batu menuju KOTA IDEAL

Batu menuju KOTA IDEAL Batu menuju KOTA IDEAL 24 September 2014 Disampaikan dalam acara Sosialisasi Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu Dinas Perumahan Kota Batu Aris Subagiyo Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 21 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SAMARINDA, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 7 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN (RTHKP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencegah

Lebih terperinci

Penentuan Lokasi Alternatif Kawasan Hijau Binaan Di Jakarta Barat

Penentuan Lokasi Alternatif Kawasan Hijau Binaan Di Jakarta Barat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penghijauan dalam kota merupakan satu upaya yang dapat menanggulangi degradasi dari kualitas lingkungan, yang pada dasarnya penghijauan merupakan prioritas pembangunan

Lebih terperinci

METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu

METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu 19 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu Lokasi penelitian adalah Kelurahan Lenteng Agung RW 08. Waktu sejak pelaksanaan studi hingga pembuatan laporan hasil studi berlangsung selama 10 bulan (Maret 2011- Januari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Komputer sebagai alat bantu untuk analisis data

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Komputer sebagai alat bantu untuk analisis data BAB III METODE PENELITIAN 1.1 Waktu Dan Tempat Penelitian 1.1.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November 2016. 1.1.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakankan di Desa Kucur

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa perkembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci