TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Ternak Babi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Ternak Babi"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Ternak Babi Babi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan karena memiliki sifat-sifat menguntungkan, yaitu kesanggupan dalam mengubah bahan makanan secara efisien, siklus reproduksinya relatif pendek, dan bersifat prolifik yang ditunjukkan dengan banyaknya anak dalam setiap kelahiran yang berkisar antara 8-14 ekor dengan rata-rata dua kali kelahiran per tahunnya, lebih cepat tumbuh, dan cepat dewasa (Sihombing 2006). ebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan babi yang digemukkan untuk tujuan daging dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode prasapih (prestarter), lepas sapih (starter), pertumbuhan (grower), dan finisher. Babi periode finisher adalah babi setelah melewati periode pertumbuhan, yang dicirikan dengan bobot hidup kg, sedangkan pertambahan bobot badan babi periode finisher adalah g/hari. Soeparno (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh secara kumulatif mengalami pertambahan bobot selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan, jadi pertumbuhan mempengaruhi pula distribusi bobot dan komponen-komponen tubuh ternak, termasuk tulang, otot, dan lemak. Menurut Sutardi (1980), kecepatan pertumbuhan suatu ternak dipengaruhi berbagai faktor, antara lain bangsa, jenis kelamin, umur, makanan, dan kondisi lingkungan. Siklus Berahi Ternak Babi Berahi adalah periode yang ditandai oleh betina yang siap menerima pejantan, dimana tanda-tanda berahi yang dapat dilihat pada babi betina adalah perubahan tingkah laku (gelisah, menaiki babi betina lain, diam apabila dilakukan penekanan pada bagian punggung), perubahan pada vulva (membengkak, warna merah muda, dan kadang-kadang adanya sekresi dari vagina) (Hafez 1993). Menurut Toelihere (1979), perubahan tingkah laku pada babi yang menunjukkan gejala berahi adalah berdiam diri, tegak dan kaku bila punggungnya ditekan oleh pejantan atau tangan pekerja. Gejala berahi pada babi betina sangat spesifik, babi akan mengeluarkan suara-suara rendah dan

2 10 singkat serta akan mengambil posisi siap kawin apabila mendengar suara-suara babi jantan, baik secara langsung maupun melalui pita perekam. Menurut Walker (1972) dan Foote (1980), dengan menggunakan pejantan yang divasektomi ataupun yang tidak divasektomi dan menempatkannya pada kandang yang berdekatan dengan babi betina sangat membantu dalam menentukan berahi. Babi betina yang berahi akan cenderung mencari pejantan atau mau menerima kehadiran pejantan tersebut. Cara yang efektif untuk mendeteksi berahi ialah uji penekanan pada punggung babi betina dan menggunakan pejantan. Persentase keberhasilan deteksi berahi dengan menggunakan uji penekanan pada punggung babi pejantan adalah 100%. Persentase babi betina yang dideteksi berahi selama lebih dari satu hari dengan menggunakan uji penekanan pada punggung adalah 94% dan dengan menggunakan babi jantan adalah 83% (Gardner et al. 1990). ama berahi biasanya terjadi 2-3 hari dan pada periode tersebut betina memiliki penerimaan terhadap pejantan (Sihombing 2006), satu sampai empat hari (Day 1972), 50 jam atau berkisar jam (Alexander et al. 1980), 47 jam pada babi dara dan 56 jam pada babi induk (Anderson et al. 1990). Menurut Toelihere (1993), berahi pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, varietas, dan gangguan hormonal dapat mempengaruhi lamanya berahi. Babi dara sering tidak memperlihatkan berahi lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya menunjukkan berahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode berahi adalah 12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara, dan Belstra (2003) menyatakan bahwa periode berahi pada babi dara lebih singkat dibandingkan babi induk. Menurut Goodwin (1974), periode berahi pada babi dara selama jam. Selama waktu tersebut babi dara akan menerima pejantan dan sekitar sel telur fertil diproduksi dalam ovarium. Berdasarkan histologi, vagina siklus berahi dibagi menjadi empat stadium, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi, fase luteal terdiri atas metestrus yang diikuti oleh diestrus dan fase diestrus diakhiri dengan luteolisis (MacMillan dan Burke 1996). Beberapa penulis memilih pembagian siklus berahi atas dua

3 11 fase, fase folikular atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, dan fase luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus dan diestrus. Pada babi, rataan lama waktu periode proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus masingmasing adalah 3, 3, 4, dan 11 hari (Toelihere 1979). Siklus berahi pada babi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 2. Gambar 2 Siklus Berahi pada Babi. Proestrus adalah fase sebelum estrus, yaitu periode ketika folikel de graaf bertumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang makin bertambah (Toelihere 1979). Sistem reproduksi memulai persiapanpersiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Setiap folikel bertumbuh cepat selama dua sampai tiga hari sebelum estrus. Pada periode ini, sekresi estrogen ke dalam urine meninggi dan mulai terjadi penurunan konsentrasi progesteron di dalam darah. Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Folikel de graaf membesar dan menjadi matang (Toelihere 1979). Ovum mengalami perubahan ke arah pematangan. Selama periode ini, umumnya hewan betina mencari dan menerima pejantan untuk berkopulasi. Penerimaan terhadap pejantan selama estrus disebabkan oleh pengaruh estradiol pada sistem saraf pusat, yang menghasilkan pola penerimaan pejantan oleh betina. Pada kebanyakan ternak, ovulasi terjadi menjelang akhir periode estrus.

4 12 Metestrus atau postestrus adalah periode segera sesudah estrus dimana corpus luteum bertumbuh cepat dari sel-sel granulosa folikel yang telah pecah dibawah pengaruh H dari adenohyphophisa (Toelihere 1979). Metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohyphophisa sehingga menghambat pembentukan folikel de graaf yang lain dan mencegah terjadinya estrus. Selama metestrus uterus mengadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan embrio. Diestrus adalah periode terakhir dan siklus berahi terlama pada ternakternak mammalia (Toelihere 1979). Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada akhir periode ini, korpus luteum memperlihatkan perubahan-perubahan retrogresif dan vakuolisasi secara gradual. Endometrium dan kelenjar-kelenjar beregresi menjadi kembali ke ukuran semula. Pada periode ini juga mulai terjadi perkembangan folikel primer dan sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus. Pada spesies yang bukan poliestrus, dapat terjadi anestrus. Anestrus yang fisiologis umumnya ditandai oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. Fisiologi Reproduksi Pertumbuhan dan perkembangan konseptus mulai dari saat fertilisasi, menjadi zigot, berkembang menjadi embrio, fetus, dan siap lahir, dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terintegrasi. Faktor tersebut didukung oleh kelenjar hipofisis untuk mensekresikan hormon perangsang pertumbuhan folikel. Hormon adalah suatu zat atau bahan yang dihasilkan oleh kelenjar tertentu yang tidak mempunyai saluran, disebut kelenjar endokrin, dan disebarkan melalui peredaran darah untuk memberikan efek tertentu pada sel-sel jaringan tubuh (Hafez 1980). Hormon dapat dikelompokkan menurut tempat asalnya, yaitu dari hipotalamus, pituitari, gonad (testis dan ovarium), dan beberapa lainnya, seperti prostaglandin dari uterus, bermacam-macam hormon dari plasenta, atau yang dihasilkan oleh unit plasentafetus selama kebuntingan. Hormon-hormon hipotalamus yang diketahui sebagai hormon pelepas atau penghambat yang langsung berhubungan dengan reproduksi adalah Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang menyebabkan

5 13 dilepaskannya Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan uteinizing Hormone (H) (Toelihere 1979). Perlu dicatat bahwa ada satu hormon pelepas untuk FSH dan H. Follicle Stimulating Hormone pada babi adalah suatu glikoprotein dengan bobot molekul Hormon tersebut larut dalam air dan stabil pada ph 4-11, dan mempunyai titik isoelektrik pada ph 4,5 dengan mengandung heksosamin, heksosa, nitrogen, dan sulfur. Fungsi utama FSH adalah stimulasi pertumbuhan dan pematangan follicle de graaf di dalam ovarium dan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferi testis. uteinizing hormone (H) pada babi mempunyai bobot molekul uteinizing hormone bekerja sama dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen (Hafez 1980). Sesudah pematangan folikel, H menyebabkan ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding sel dan pelepasan ovum. Beberapa peneliti menyatakan H adalah bersifat luteotropik. Hormon dari pituitari anterior yang berhubungan dengan reproduksi diketahui merupakan gonadotropin (gonad-loving) (Hafez 1980). Hormon-hormon ini adalah FSH dan H. Semua hormon pituitari anterior adalah glikoprotein dan mempunyai struktur yang rumit. Hormon tersebut belum dapat disintesis secara buatan. Prolaktin (PR atau uteotropic Hormone atau TH) adalah suatu hormon protein dengan bobot molekul Hormon ini diinaktifkan oleh pepsin, tripsin, dan zat-zat lain yang bereaksi dengan kelompok-kelompok asam amino bebas. Prolaktin merangsang laktasi pada mammalia, memelihara aktivitas fungsional korpus luteum, menstimulir pelepasan progesteron, dan merangsang tingkah laku keibuan (Toelihere 1979). Pituitary posterior menyimpan dan mengeluarkan dua jenis hormon yang dihasilkan oleh neuron tertentu dalam hipotalamus, yang aksonnya menjalar dari hipotalamus sampai ke pituitari (Hafez 1980). Oksitoksin merupakan salah satu yang berhubungan dengan reproduksi. Oksitoksin adalah oktapeptida yang mengandung delapan asam amino dengan bobot molekul 1000 dan relatif bersifat basa dengan titik isoelektrik pada ph basa. Hormon tersebut merupakan peptida dengan sembilan macam asam amino dan dapat disintesis secara buatan. Fungsi utama hormon oksitoksin adalah membantu kontraksi uterus untuk memperlancar kelahiran dan menstimulir keluarnya air susu. Secara klinis, oksitoksin telah lama

6 14 digunakan untuk membantu induksi partus dengan menstimulir kontraksi uterus. Efek let down susu disebabkan oleh kerja oksitoksin pada sel-sel mioepitel kelenjar mammae. Sel-sel tersebut mengandung elemen-elemen kontraktil dan berkontraksi bila dirangsang oleh oksitoksin dengan akibat peningkatan tekanan air susu dalam kelenjar mammae (Toelihere 1979). Estrogen adalah hormon yang menimbulkan estrus atau berahi pada hewan betina (Hafez 1980). Estrogen adalah salah satu dari tiga kelompok hormon yang dihasilkan oleh ovarium. Kedua hormon lainnya adalah progesteron dan relaksin. Estrogen dan progesteron umumnya disebut hormon-hormon kelamin betina dan tergolong hormon steroid. Hormon estrogen mungkin disekresikan oleh teka interna dari folliclel de graaf. Jaringan ini kaya akan estrogen dan memperlihatkan aktivitas yang maksimum selama fase estrogenik dari siklus berahi (Toelihere 1979). Estrogen tidak disimpan dalam tubuh, akan tetapi disingkirkan melalui inaktivasi dan dikeluarkan melalui urine dan feses. Progesteron disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum (Hafez 1980). Di samping itu, hormon ini dihasilkan juga oleh plasenta. Progesteron juga tidak disimpan di dalam tubuh, ia dipakai secara cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah di dalam jaringan tubuh. Sesudah ovulasi, yang disebabkan oleh H, terbentuklah korpus hemorargikum di dalam ovarium yang kemudian berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum dibentuk dan dipertahankan oleh TH atau prolaktin. Di bawah pengaruh prolaktin, sel-sel lutein menghasilkan progesteron. Korpus luteum adalah esensial sepanjang masa kebuntingan pada babi (Toelihere 1979). Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari hormon-hormon lain, seperti estrogen. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa estrogen terutama menyebabkan proses-proses pertumbuhan, sedangkan progesteron menstimulir diferensiasi jaringan kelenjar mammae. Relaksin adalah hormon yang berfungsi mengendorkan simfisis pelvis. Relaksin adalah suatu polipeptida yang larut dalam air dengan bobot molekul kirakira (Toelihere 1979). Relaksin dihasilkan oleh korpus luteum selama masa kebuntingan. Di samping plasenta, uterus juga mungkin mensekresikan relaksin pada beberapa jenis hewan. Konsentrasi relaksin dalam ovarium babi sangat meninggi pada permulaan kebuntingan dan mencapai suatu ketinggian

7 15 kira-kira GPU per gram bobot basah ovarium yang dipertahankan sampai partus. Hormon relaksin bekerja sama sangat erat dengan hormon estrogen pada saat induk babi partus (Hafez 1980). Prostaglandin merupakan sekelompok lemak yang larut dalam asam yang banyak ditemui hampir di seluruh bagian tubuh (Toelihere 1979). Prostaglandin (PGF 2α ) diproduksi oleh uterus dan ditransportasikan oleh suatu mekanisme arus balik ke ovarium. PGF 2α dan PGE 2α juga dihasilkan oleh folikel-folikel sebelum ovulasi. Prostaglandin berbeda dari hormon biasa dalam hal fungsinya sebagai hormon lokal yang sangat kuat, efektif pada atau dekat lokasi pembentukannya. Konsentrasinya dalam darah sangat rendah karena cepat dipecah di paru-paru dan hati (Hafez 1980). Gonadotropin releasing hormone (GnRH) mempunyai daya kerja untuk merangsang sekresi follicle stimulating hormone (FSH) dan penstimulasi luteal uteinizing hormone (H) serta faktor pengatur lainnya. Sekresi FSH selanjutnya menstimulus pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi estrogen yang kemudian akan merangsang sekresi H yang selanjutnya akan merangsang ovulasi dan perkembangan korpus luteum dan melakukan fungsi utamanya mensekresi progesteron. Mekanisme tersebut didukung oleh sekresi H yang menstimulasi ovulasi atau pematangan oosit, pertumbuhan folikel, pembentukan dan fungsionalisasi korpus luteum untuk mensintesis dan membebaskan progesteron. Setelah ovum tersebut terfertilisasi, perkembangan zigot, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sangat bergantung pada dukungan korpus luteum mensekresi progesteron yang selanjutnya berperan mengawali dan menyiapkan lingkungan mikrouterus, merangsang perkembangan kelenjar uterus dan plasenta, serta mempertahankan kebuntingan (Niswender et al. 2000; Cardenas dan Pope 2002). Mekanisme kerja hormon reproduksi pada ternak domestikasi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 3. Korpus luteum merupakan suatu kelenjar endokrin yang secara khusus memproduksi progesteron dan memainkan peranan penting dalam pemeliharaan kebuntingan untuk mendukung perkembangan embrio (Rueda et al. 2000). Rentang hidup korpus luteum bervariasi antara satu spesies dan spesies yang lain,

8 16 dan dapat berubah secara dramatis melalui peristiwa seperti pengawinan dan kebuntingan. Gambar 3 Mekanisme Kerja Hormon Reproduksi. Pada dasarnya korpus luteum mengalami dinamika proses regresi dan kehilangan kapasitas untuk memproduksi progesteron dan mengalami involusi struktural, yaitu granulosa dan sel-sel teka folikel ditransformasi dan berkembang menjadi korpus luteum (Bao dan Garverick 1998). Hormone luteinisasi (H) dari pituitari anterior sangat berperan penting dalam perkembangan dan fungsi normal korpus luteum pada hampir semua mamalia, meskipun hormon pertumbuhan, prolaktin, dan estradiol juga berperan penting pada sejumlah spesies. Proses ini dimulai kirakira 1-2 hari sesudah terjadi pengawinan, selanjutnya korpus luteum memproduksi dan membebaskan progesteron yang responsif untuk mempertahankan kebuntingan. Jika terjadi konsepsi saat pengawinan, korpus luteum tetap berfungsi dan secara terus menerus akan memproduksi dan mensekresi progesteron (Wuttke et al. 1997). Dalam mekanisme tersebut, estrogen berperan penting dalam mempertahankan korpus luteum melalui aksi secara tidak langsung untuk

9 17 menstimulusi sekresi prolaktin (Geisert et al. 1990). Sebaliknya jika konsepsi tidak terjadi, prostaglandin (PGF2α) disekresi oleh uterus untuk meregresi korpus luteum dan terjadi penghentian produksi progesteron dan selanjutnya akan terjadi perkembangan folikel baru (Wuttke et al. 1997; Bao dan Garverick 1998; Niswender et al. 2000). Gangguan atau kegagalan reproduksi yang bermuara pada tingginya mortalitas, lambatnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan dapat berawal dari tidak didukung oleh pertumbuhan dan perkembangan korpus luteum atau terjadi gangguan perkembangan sel folikel yang diregulasi oleh hormon yang menstimulus FSH pada pituitari untuk memodulasi sekresi progesteron dan estradiol (Garret et al. 1998). aktasi Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar susu dari spesies mamalia selama masa laktasi (Shandolm dan Saarela 2003), yaitu ketika kelenjar susu mensekresikan air susu. Kelenjar susu adalah suatu organ kompleks yang tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel, dan sel sekretoris. Sel-sel ini tergabung dalam lobula alveoli, yang merespons dan bekerja harmonis selama laktasi (Delaval 2008). Pertumbuhan dan pembelahan kelenjar susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu beranak pertama. Pada spesies ternak peliharaan, estrogen, hormon pertumbuhan, dan kortisol diperlukan untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesteron dan prolaktin atau senyawa seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveoli (Delaval 2008). Struktur ambing selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 4. Pertumbuhan kelenjar susu merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan faktor-faktor intrinsik yang berpengaruh pada kelenjar susu atau pada semua hewan, maupun pengaruh eksternal, seperti lingkungan, iklim, dan makanan. Pada tingkat perkembangan yang paling pesat, yakni pada saat laktasi penuh, sebagian besar kelenjar susu ini akan mengalami spesialisasi bersamasama dengan jaringan ikat dan lemak, dan sekresi susu yang dihasilkan per hari bisa melebihi bobot kelenjar susu itu sendiri. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pertumbuhan seluruh kelenjar susu terjadi pada saat bunting.

10 18 Gambar 4 Struktur Ambing (Delaval 2008). Jumlah sel sekretori meningkat sangat drastis selama masa kebuntingan, akan tetapi pada beberapa spesies tertentu perkembangan ini tidak berhenti sampai di sini saja. Beberapa peneliti melaporkan bahwa proliferasi sel terjadi dua atau tiga hari setelah tikus beranak. Penelitian yang dilakukan Knight dan Parker (1982) menunjukkan bahwa, pada tikus, populasi sel sekretoris pada hari kelima setelah beranak akan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan pada hari terakhir kebuntingan. Jumlah DNA masih meningkat dalam bentuk logaritmik paling tidak selama lima hari masa laktasi pada tikus. Juga dilaporkan bahwa produksi air susu meningkat secara bertahap selama tujuh hari pertama laktasi. Mekanisme produksi susu melibatkan banyak faktor, seperti fisiologi, endokrinologi, dan biokimia. Faktor fisiologis meliputi frekuensi dan lamanya anak babi menyusu. Faktor endokrinologi meliputi hormon-hormon yang terlibat selama proses laktasi diantaranya oksitoksin dan prolaktin, sedangkan faktor biokimia meliputi proses metabolisme nutrisi selama laktasi. Selain tiga hal di atas, faktor psikologis dan nutrisi juga mempengaruhi produksi susu, yaitu kondisi

11 19 stress saat induk menyusui dan asupan nutrisi untuk induk selama menyusui (Delaval 2008). Proses sintesis dan sekresi susu sangat bergantung pada suplai prekursor ke sel epitel kelenjar susu, untuk dikonversi menjadi air susu dan dikeluarkan dari kelenjar. Susu dibentuk dari material yang datang secara langsung dari darah, yang kemudian menghasilkan susu dengan perubahan konsentrasi material. Perubahan ini membuktikan bahwa ada suatu proses yang unik yang terjadi dalam kelenjar susu sehingga prekursor yang sebelumnya tidak terdapat dalam darah dapat ditemukan dalam susu atau sebaliknya (arson 1985). Pembentukan susu dan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme keseluruhan sel sekretoris, didapat dari makanan yang dikonsumsi dan diekstrak ke dalam darah (Walstra 1999). Substrat utama yang diekstraksi dari darah oleh kelenjar susu ternak laktasi adalah glukosa, asam amino, asam lemak, dan mineral. Ovulasi Ganda Ovulasi ganda adalah suatu teknik untuk merangsang pembentukan sejumlah besar folikel di dalam ovarium dan mematangkannya lebih cepat daripada kemampuan alamiahnya (Toelihere 1981). Ovulasi ganda pada ternak babi dapat dirangsang dengan cara pemberian suntikan hormon gonadotropin. Termasuk ke dalam golongan hormon gonadotropin ini adalah luteinizing hormone (H), follicle stimulating hormone (FSH), human chorionic gonadotropin (hcg), pregnant mare's serum gonadotropin (PMSG), dan prolactin (Sherwood dan McShan 1977; Partodihardjo 1980). Hormon gonadotropin telah dikenal hampir 60 tahun yang silam, yaitu sejak ditemukan zat-zat di dalam kelenjar pituitari (hipofisis), darah, air seni, dan plasenta yang dapat mempengaruhi perkembangan alat kelamin primer (gonad). Isolasi hormon gonadotropin ini semula sangat sulit dilakukan karena jumlahnya sangat kecil, labil, dan polimorfik. Namun, sejak tahun 1960, beberapa ahli telah mampu mengisolasi beberapa preparat hormon ini dalam keadaan cukup murni (Partodihardjo 1980). Ovulasi ganda telah dicoba pada beberapa hewan ternak komersial maupun pada hewan model. Ovulasi ganda pada domba memperbaiki bobot lahir

12 20 dalam litter size (Manalu et al. 2000). Ovulasi ganda pada domba juga dapat meningkatkan jumlah korpus luteum yang selanjutnya meningkatkan sekresi progesteron, dan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus serta pertumbuhan dan perkembangan fetus (Sakai dan Takashi 1993; Manalu et al. 1999; Manalu 1999). Ovulasi ganda pada sapi diduga dapat mengontrol terjadinya kenaikan H pada preovulasi (Vos et al. 1994), sangat efektif untuk sinkronisasi yang memperbaiki target pengawinan dan dapat meningkatkan produksi per induk kambing (Goel dan Agrawal 1998). Ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan dapat memperbaiki produktivitas dalam hal ini merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus, plasenta, embrio dan fetus serta kelenjar susu (Mege et al. 2007). Hormon Ovulasi Ganda : PMSG dan hcg Pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) ditemukan pertama kali oleh Cole dan Hart pada tahun Pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) disekresi oleh mangkok-mangkok uterus kuda bunting, yaitu mulai umur kebuntingan enam minggu dan tetap ada sampai umur kebuntingan 12 minggu. Bobot molekul PMSG bervariasi dari sampai dan dapat dipisahkan menjadi subunit alfa dan beta PMSG yang memiliki sifat-sifat fisiologis, seperti FSH dan sedikit H. Seperti FSH, PMSG yang disuntikkan merupakan stimulator yang potensial terhadap pertumbuhan indung telur dan meningkatkan kadar estradiol di dalam darah, dan seperti H, PMSG juga bisa merangsang sel-sel granulosa dan ovulasi sel telur (Kaltenbach dan Dunn 1980). Fungsi PMSG dalam tubuh kuda yang sedang bunting adalah merangsang indung telur membentuk folikel-folikel baru, karena korpus luteum yang sudah terbentuk hanya berumur 40 hari. Folikel-folikel yang tumbuh tersebut ada yang matang sampai ovulasi dan ada juga bersifat atretik. Pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) merangsang dan meningkatkan laju pertumbuhan folikel, juga diduga mempengaruhi proses terjadinya reduksi folikel berukuran kecil yang bersamaan dengan itu terjadi peningkatan jumlah tipe folikel yang berukuran besar (Bates et al. 1991; Estiene dan Harper 2003).

13 21 Teknik ovulasi ganda pada umumnya hewan donor disuntik dengan preparat FSH dan PMSG atau kombinasi PMSG dengan hcg. Supriatna et al. (1998) menyatakan bahwa PMSG yang merupakan hormon gonadotropin mempunyai daya kerja biologi yang unik dengan aktivitas berpotensi ganda FSH dan H dalam satu molekul yang dapat merangsang pertumbuhan folikel. Selanjutnya Bindon dan Piper (1982) menyatakan bahwa PMSG mempunyai aktivitas biologis yang mirip dengan FSH dan H. Dijelaskan lebih lanjut bahwa PMSG dapat dikatakan sebagai gonadotropin yang lengkap, yang dapat meningkatkan pertumbuhan folikel, produksi estrogen, ovulasi dan luteinisasi, serta sintesis progesteron. Pregnant mare s serum gonadotropin mempunyai efektivitas yang tinggi dalam menimbulkan ovulasi ganda pada hewan bila diberikan dengan dosis yang tepat secara injeksi tunggal, karena PMSG mempunyai waktu paruh biologi yang panjang. ain halnya dengan FSH yang mempunyai waktu paruh yang pendek (sekitar lima jam), sehingga pemberiannya harus dua kali atau berulang kali selama tiga-empat hari (Armstrong et al. 1982). Menurut Menzer dan Schams (1979), PMSG mempunyai waktu paruh yang panjang yaitu mencapai 123 jam, sehingga walaupun pengaruh ovulasi ganda telah tercapai, PMSG masih dapat merangsang ovarium. Yadav et al. (1983) menyatakan bahwa residu PMSG yang beredar di peredaran darah dan masih memiliki potensi biologis akan terus merangsang aktivitas ovarium, sehingga menimbulkan negative rebound effect terhadap hipofisa yang berakibat pada penekanan sekresi H. Menurut Armstrong et al. (1982) ovarium yang terangsang disertai tidak adanya sekresi H akan menghasilkan folikel yang gagal berovulasi (persisten). Dampak lanjutan dengan beredarnya PMSG dalam sirkulasi darah adalah gangguan keseimbangan hormonal, gangguan ovulasi, gangguan pembuahan (fertilisasi) dan pengangkutan embrio di saluran telur. Pada hewan ternak yang diinduksi dengan ovulasi ganda pada saat fase yang tepat dari siklus estrusnya akan diperoleh hasil ovulasi ganda yang maksimum (Rajamahendran et al. 1987). Ovulasi ganda pada domba, kambing, dan sapi, PMSG biasanya diberikan pada fase folikuler, meskipun respon pada

14 22 masa ini terhadap jumlah ovulasi tidak dapat diprediksi dan tingginya variabel yang mempengaruhi pada hewan donor (Cahill et al. 1982). Pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) memiliki aktivitas biologi ganda, yaitu serupa dengan follicle stimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormon (H) sehingga disebut sebagai gonadotropin sempurna. Pengaruh yang ditimbulkan oleh PMSG antara lain: (1) menunjang produksi estrogen; (2) ovulasi; (3) luteinisasi; dan (4) merangsang sintesis progesteron pada ternak yang dihipofisektomi. Waktu paruh biologis PMSG adalah panjang sehingga dengan dosis tunggal melalui suntikan secara intramuskuler cukup untuk menimbulkan ovulasi berganda (Bates et al. 1991). Penggunaan PMSG dan human corionic gonadotropin (hcg) untuk merangsang ovulasi ganda, lebih sering digunakan daripada FSH dan H. Human Corionic Gonadotropin (hcg) adalah hormon yang ditemukan pada urin dan serum darah wanita yang sedang hamil. Hormon ini tidak berasal dari hipofisa melainkan disintesis dari villi-villi khorion (cytotrophoblast) yang kemudian disebut "anterior pituitary-like hormone " karena aktivitas biologisnya menyerupai H dan sedikit FSH (Hafez 1993). Human Corionic Gonadotropin merupakan hormon glikoprotein dengan berat molekul dalton, terdiri atas sub unit a dengan 92 asam amino dan dua rantai karbohidrat dan menyerupai sub unit a pada H. Sub unit o terdiri atas 145 asam amino dan lima rantai karbohidrat (Hafez 1993). Aktivitas biologis hcg menyerupai H, meskipun struktur kimianya berbeda. Human Corionic Gonadotropin (hcg) merangsang sel-sel interstisial pada ovarium dan menyebabkan ovulasi (Kaltenbach dan Dunn 1980). Reseptor untuk hcg sama dengan untuk H. Human Corionic Gonadotropin mempunyai ikatan yang lebih kuat terhadap sel-sel interstisial dan terbatas pada sel-sel teka. Selain itu, hcg diketahui berikatan dengan sel-sel granulosa sehingga peranan hcg juga membantu merangsang pembentukan folikel pada ovarium (Sherwood dan McShan 1977). Human Corionic Gonadotropin juga mempunyai daya kerja sedikit seperti FSH, maka pemberian hcg dengan dosis tinggi menyebabkan pertumbuhan folikel dalam ovarium. Selain itu, hcg bertanggungjawab atas luteinisasi sel-sel granulosa, memelihara fungsi korpus luteum dan meningkatkan sekresi progesteron (Sherwood dan

15 23 McShan 1977; Hafez 1993). Aktivitas luteinisasi hcg terlihat pada perpanjangan sekresi progesteron. Pemberian hcg akan memperpanjang hidup korpus luteum (Bennet dan aymaster. 1989). Hasil penelitian superovalasi pada domba telah dilaporkan berhasil meningkatkan konsentrasi estradiol dan progesteron dalam darah induk, peningkatan pertumbuhan jaringan uterus, embrio dan fetus (Manalu dan Sumaryadi 1999). Ovulasi ganda berhasil pula meningkatkan pertumbuhan diferensial kelenjar susu, pada waktu kebuntingan berdasarkan gambaran kandungan kolagen, DNA, RNA (Manalu et al, 1999). Selanjutnya, ovulasi ganda berhasil meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, produksi susu induk domba, dan menurunkan mortalitas, serta memperbaiki pertumbuhan prasapih dan bobot sapih anak domba (Manalu dan Sumaryadi 1998). Fase folikuler merupakan fase siklus yang singkat dimulai dari awal pembentukan folikel sampai pecahnya folikel de Graaf saat ovulasi. Fase luteal merupakan periode sekresi progesteron oleh korpus luteum yang meliputi lebih dari duapertiga siklus estrus (Hunter 1995). Human chorionic gonadotropin (hcg) adalah hormon yang ditemukan pada urin dan serum darah wanita yang sedang hamil. Hormon ini tidak berasal dari hipofisis, melainkan disintesis dari villi-villi khorion cytotrophoblast yang kemudian disebut anterior pituitary-like hormone karena aktivitas biologisnya menyerupai H dan sedikit mirip FSH (Hafez 1993). Human chorionic gonadotropin (hcg) dapat ditemukan kira-kira satu minggu setelah fertilisasi atau satu hari setelah implantasi. Human chorionic gonadotropin (hcg) adalah hormon glikoprotein terdiri atas subunit alfa dan beta dengan bobot molekul Human chorionic gonadotropin (hcg) memiliki aktivitas seperti H karena keduanya memiliki struktur yang hampir sama. Aktivitas hcg antara lain merangsang pertumbuhan sel-sel interstisial indung telur yang menyebabkan ovulasi dan meningkatkan sekresi progestin (Sherwood dan McShan 1977). Kadar hcg di dalam air seni wanita hamil terus meningkat dari minggu pertama kehamilan dan mencapai kadar maksimal pada umur kehamilan 10 sampai 12 minggu, dan setelah itu kadar hcg menurun (Sherwood dan McShan 1977). Kadar hcg tertinggi di dalam darah (120 i.u./m serum) didapatkan pada hari

16 24 ke-62 setelah menstruasi terakhir, dan kadar terendah (10 i.u./m serum darah) didapatkan pada hari ke-154, namun pada hari ke-200 meningkat lagi (20 i.u./m serum darah) dan kadar ini tetap tidak berubah sampai kehamilan berakhir (Partodihardjo 1980). Adanya kandungan asam sialat yang lebih tinggi pada PMSG dan hcg menyebabkan waktu paruhnya lebih panjang sehingga penggunaannya lebih efektif daripada FSH dan H (Sherwood dan McShan 1977). Faktor yang Mempengaruhi Penampilan Reproduksi Ternak Babi Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan jalan meningkatkan reproduktivitas ternak betina (Yoga 1988). Dikemukakan pula bahwa peningkatan reproduktivitas pada ternak babi guna mendapatkan jumlah anak sekelahiran (litter size) dan bobot lahir yang tinggi, laju pertumbuhan yang pesat, angka kematian yang rendah, dan lain sebagainya banyak diusahakan orang. Banyak peluang untuk meningkatkan kapasitas reproduksi pejantan maupun betina (Sihombing 2006). Hafez (1993) mengemukakan lama bunting ternak diukur dari saat terjadinya konsepsi (pembuahan) sampai terjadinya kelahiran. Kelahiran adalah suatu proses fisiologis yang berhubungan dengan pengeluaran anak dan plasenta dari organisme induk pada akhir masa kebuntingan (Toelihere 1981), sedang menurut Partodihardjo (1982) kelahiran adalah suatu proses mengeluarkan anak dan plasenta melalui saluran kelahiran. Tanda-tanda babi yang akan beranak ialah babi sangat gelisah, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan lendir, berusaha membuat tempat atau sarang untuk bakal anaknya, di dalam puting susu terdapat air susu dan urat daging di sekitar vulva mengendor (Eusebio 1980). Proses pembentukan dan pemeliharaan kebuntingan pada sebagian besar mamalia melibatkan integrasi fungsi antara ovarium, uterus, plasenta, dan konseptus itu sendiri serta ketersediaan nutrisi maupun dukungan stimulasi hormon-hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan (Bazer et al. 1982; Roberts et al. 1993). Kesemuanya itu merupakan faktor penentu untuk menghasilkan jumlah anak sekelahiran yang berbobot lahir optimal dan sangat substansial bagi efisiensi produksi babi (Geisert dan Schmitt 2002). Pertumbuhan dan

17 25 perkembangan embrio dimulai sejak blastosis menempel pada dinding uterus. Selsel blastosis tersebut akan membelah dengan cepat sehingga terjadi pertambahan jumlah dan masa sel disertai dengan diferensiasi sel. Mekanisme tersebut sangat dipengaruhi oleh hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan. Aksi hormon tersebut terjadi secara langsung dalam mekanisme pertambahan dan diferensiasi jaringan embrio dan fetus selama kebuntingan (Owens 1991; Anthony et al. 1995). Kapasitas uterus ternak babi mempengaruhi jumlah anak sekelahiran sesudah umur 25 hari kebuntingan (Fenton et al. 1972; Pope et al. 1990). Tingginya laju ovulasi yang dapat menghasilkan sejumlah embrio dan fetus yang tidak didukung oleh kapasitas uterus yang memadai menjadi penyebab kematian embrio dan fetus selama kebuntingan (Christenson et al. 1987; Wu et al. 1988; Sterle et al. 2003). Kapasitas uterus yang kurang memadai pada gilirannya berpengaruh pada dukungan fisiologis lingkungan internal uterus dalam mempertahankan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sampai lahir (Young et al. 1990; Wilson et al. 1999; Sterle et al. 2003). ingkungan internal uterus yang memadai bergantung pada dukungan dan perkembangan kelenjar-kelenjarnya yang mensekresi kebutuhan zat-zat makanan untuk konseptus selama kebuntingan (Bennet dan eymaster 1989; Vallet et al. 1998; Willis et al. 2003). Ketidaksiapan lingkungan uterus terutama dalam menyiapkan nutrisi melalui sekresi kelenjarnya berdampak pada tingginya kematian, lambatnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus (Wu et al. 1988), pada gilirannya berakibat pula pada rendahnya jumlah dan bobot anak yang lahir serta pertumbuhannya (Sterle et al. 2003). Sekresi kelenjar uterus sangat penting dalam memediasi pertumbuhan dan perkembangan konseptus (Yamashita et al. 1990; Gray et al. 2001). Kelenjar uterus yang kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan normal konseptus pada saat implantasi akan memicu terjadinya kegagalan reproduksi, yang digambarkan dengan kematian embrio yang tinggi pada kebuntingan dini (Pope dan First 1985; Geisert et al. 1990). Kematian ini dapat juga bermula dari ketidakcukupan kebutuhan nutrisi sejumlah konseptus untuk tumbuh dan berkembang dengan baik (Pope dan First 1985; Pope et al. 1990), sedangkan pada awal kebuntingan konseptus membutuhkan nutrisi yang cukup dan apabila

18 26 cadangan makanan dalam ovum tidak mencukupi akan berakibat pada daya tahan dan kesehatan embrio karena semuanya sangat bergantung pada sekresi kelenjar uterus (Vallet et al. 1998; Gray et al. 2001). Sekresi uterus sangat penting untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan konseptus pada ternak yang mempunyai periode kebuntingan yang panjang, seperti domba, kambing, sapi, dan babi (Roberts dan Bazer 1988). Mortalitas, pertumbuhan, dan perkembangan fetus selama periode kebuntingan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan kapasitas serta kemampuan plasenta menyediakan nutrisi melalui mobilisasi sirkulasi dari induk. Plasenta adalah organ yang mempunyai peran sebagai mediator pertukaran gas, nutrien, dan limbah antara induk dan sistem fetus. Fungsi utama plasenta adalah menyalurkan substrat metabolik yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan fetus. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan plasenta merupakan salah satu faktor penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan normal fetus (Reynolds dan Redmer 1995). Pertumbuhan dan perkembangan fetus sangat menentukan penampilan anak lahir dan merupakan faktor utama penentu kelangsungan hidup, dan pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan dan perkembangan fetus secara optimal sangat ditentukan oleh mekanisme sirkulasi nutrien baik yang dimediasi oleh protein transpor maupun melalui difusi, dan sangat bergantung pada hubungan fungsional antara permukaan dinding uterus di plasenta (Reynolds dan Redmer 1995) dalam uterus melalui perubahan mekanisme dan ekspresi gen jaringan fetus (Anthony et al. 1995; Fowden 1995). Peningkatan progesteron yang mempengaruhi pertumbuhan embrio dan fetus, juga merangsang sekresi protein oleh uterus (Vallet et al. 1998). Banyak protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal fetus pada babi yang disekresi oleh uterus, seperti uteroferin dan retinol-binding-protein (RBP). Uteroferin berperan untuk transpor besi, sedangkan RBP berperan untuk transpor retinol. Sekresi protein tersebut mengalami perubahan selama kebuntingan dan perubahan disini terutama berhubungan dengan perkembangan fetus. Sekresi protein melalui endometrium selama kebuntingan dikontrol oleh progesteron dan estradiol (Adams et al. 1981; Torut et al. 1992).

19 27 Pertumbuhan dan perkembangan fetus yang baik sampai akhir kebuntingan diharapkan akan memberikan bobot lahir yang baik walaupun dengan jumlah anak sekelahiran yang lebih tinggi dan pada akhirnya menghasilkan penampilan produksi yang lebih baik pula. Masalah rendahnya produksi tidak saja dipengaruhi oleh rendahnya produktivitas selama kebuntingan dan rendahnya bobot anak lahir sampai lepas sapih, tetapi merupakan akumulasi dari rendahnya pertumbuhan dan perkembangan embrio serta fetus selama kebuntingan dan jumlah anak yang dapat bertahan hidup selama prasapih, terutama pada minggu pertama setelah lahir (Bennett dan eymaster 1989). Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah ovulasi (Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999), baik melalui perbaikan pakan maupun dengan penggunaan hormon, seperti FSH dan H atau melalui tiruannya, seperti PMSG dan hcg serta kombinasi hormon gonadotropin lainnya. Menurut Eusebio (1980), litter size lahir adalah jumlah anak yang lahir per induk per kelahiran. Seekor induk babi dapat menghasilkan 8-12 ekor anak babi setelah periode kebuntingan selama hari. Seekor induk babi dapat menghasilkan anak babi sampai ekor anak dalam sekelahiran. itter size ini dapat digunakan sebagai indikator kemampuan reproduksi ternak babi karena anak yang banyak setiap kelahiran adalah esensial untuk produksi babi (Sihombing 2006). ebih lanjut dikemukakan bahwa kelahiran anak yang banyak disertai banyaknya anak yang hidup pada waktu disapih menunjukkan beberapa hal sebagai berikut; menandakan ovulasi yang tinggi dan kematian embrio rendah, air susu induk babi dapat berfungsi dengan baik dan kedua pernyataan ini menunjukkan kemampuan induk dalam mengasuh anak. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi litter size lahir, di antaranya jumlah sel telur yang dilontarkan indung telur (ovulasi), laju hidup embrio selama berkembang (Sihombing 2006), paritas (Hughes dan Varley 2004), umur (Singh dan Moore 1982), kemampuan kapasitas uterus, dan bangsa (eymaster dan Jhonson 1994). Menurut Milagres et al. (1983), bangsa babi andrace dapat menghasilkan litter size lahir sekitar ekor sedangkan bangsa babi Yorkshire

20 28 adalah 9.57 ekor (Park dan Kim 1983). Berdasarkan penelitian Tummaruk et al. (2000), rataan litter size lahir hidup andrace lebih banyak daripada Yorkshire, masing-masing dan ekor. Secara umum, litter size lahir dan sapih terus meningkat dari paritas pertama hingga keempat, kemudian menurun pada paritas selanjutnya. Induk babi pada paritas ketiga dan keempat memiliki penampilan terbaik, sedangkan paritas ketujuh memiliki penampilan terburuk. Perbedaan litter size lahir hidup antara partitas pertama dan ketiga dan keempat sebanyak 0.7 ekor sedangkan litter size sapih sekitar 0.2 ekor (Rodriguez-Zas et al. 2003). Bobot lahir adalah bobot badan yang ditimbang sesaat setelah hewan dilahirkan. Bobot lahir anak babi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain frekuensi induk babi beranak (parity), umur induk, bangsa, pejantan, ransum yang diberikan selama induk bunting, dan litter size pada waktu lahir (De Borsotti 1982). Bangsa babi mempengaruhi bobot lahir per ekor, yaitu pada babi Duroc 1.47 kg (Milagres 1983), 1.46 kg (opez et al. 1983), andrace 1.74 kg, dan Yorkshire 1.39 kg (Quintana dan opez 1983). Rataan bobot lahir bangsa murni dan persilangan Duroc, andrace, Yorkshire adalah 1.38±0.10 kg (De Borsotti 1982). Mati lahir adalah suatu kondisi yang anak babi dilahirkan sudah dalam keadaan mati. Huges dan Varley (2004) menyatakan bahwa kejadian mati lahir anak babi dapat mencapai 3-5%, sedangkan hasil penelitian Cole dan Foxcroft (1982) menyatakan angka kematian babi saat dilahirkan 4-8% dari semua anak yang dilahirkan. Menurut Bolet (1982) bahwa kematian anak babi akan meningkat dengan meningkatnya jumlah anak babi yang lahir per kelahiran, selanjutnya Benkov (1983) mengemukakan bahwa jika litter size lahir anak babi kurang dari 6 ekor, maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari adalah 1.78% dan jika litter size lahir anak babi 6-8.8, , dan ekor, maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari masing-masing 6, 18 dan 12.79%, bila litter size lahir 12 ekor, maka kematian pada 21 hari adalah 10.86%. Anak babi yang mempunyai bobot badan di bawah 1 kg pada waktu lahir lebih banyak mati karena kalah bersaing dengan anak babi yang lebih besar dalam menyatakan air susu (Bolet 1982). ebih lanjut dinyatakan bahwa tingkat kematian anak babi sebelum

21 29 disapih dapat mencapai 72% dengan empat penyebab utama, yaitu 35.4% akibat terinjak oleh induk, 14% kaki tidak lurus, 11% akibat agalactic, dan 11% akibat kelemahan pada waktu lahir, ini lebih sering berlaku pada induk yang beranak pertama. Cole dan Foxcroft (1982) menyatakan kematian anak babi pada waktu sebelum disapih sangat bervariasi, yaitu 12-30%, sedangkan periode menyusu rataan tingkat kematian adalah 20.8%. Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu dari induk dan kemampuan bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih anak babi adalah kesehatan anak babi, produksi susu induk, dan cara pemberian makan (Sihombing 2006). ebih lanjut dikatakan pada umur penyapihan tertentu, anak babi yang memiliki bobot badan yang tinggi di saat sapih akan bertumbuh lebih cepat mencapai bobot potong daripada anak babi yang bobot badannya lebih ringan. Bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot badan, umur induk, dan keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak, kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan, serta suhu lingkungan. Umumnya, kisaran bobot sapih adalah kg (Hafez 1993). Produksi Ternak Babi Produksi ternak babi mencakup pertumbuhan ternak babi, proses yang terjadi sangat kompleks, bukan saja pertambahan bobot badan, tetapi menyangkut pertumbuhan semua ogran tubuh secara serentak dan merata (Maynard et al. 1983). Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel serta peningkatan ukuranukurannya. Hyun et al. (1998) menyatakan bahwa faktor makanan sangat mempengaruhi pertumbuhan. Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk kebutuhan 24 jam (Anggorodi 1994). Ransum yang sempurna adalah kombinasi beberapa bahan yang bila dikonsumsi secara normal dapat mensuplai zat-zat makanan kepada ternak dalam perbandingan jumlah dan bentuk sedemikian rupa sehingga fungsifungsi fisiologis dalam tubuh berjalan secara normal (Parakkasi 1983). Adapun konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bobot badan, umur ternak, temperatur, jumlah ransum, serta bertambahnya umur (Sihombing 2006). Tingkat konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang

22 30 dimakan oleh ternak bila diberikan ad libitum (Cuncha 1980). Faktor penting yang menentukan tingkat konsumsi adalah palatabilitas dan palatabilitas yang bergantung pada bau, rasa, tekstur, dan beberapa faktor lain, seperti suhu lingkungan, kesehatan ternak, stress, dan bentuk ransum (Church 1984). Pada umumnya, konsumsi ransum per hari akan meningkat dengan meningkatnya frekuensi pemberian makan. Babi dengan bobot badan kg yang diberikan ransum dua kali sehari mengkonsumsi rataan 1.54 kg per ekor per hari, sedangkan pada pemberian tiga kali sehari, konsumsi ransum sebesar 1.92 kg dan pada pemberian ad libitum konsumsi ransumnya 2.61 kg per ekor per hari (Tillman et al. 1989). Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel (hiperplasia) serta peningkatan sel (hipertropi). Definisi pertumbuhan adalah pertambahan besar otot, tulang, organ-organ dalam, dan bagian tubuh lain (Cuncha 1980). ebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan merupakan fungsi dari konsumsi langsung yang dipengaruhi oleh nafsu makan dan diatur oleh pusat saraf hipotalamus (Goodwin 1974). Pertumbuhan umumnya diukur dengan kenaikan bobot badan yang dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan sebagai pertambahan bobot badan harian, minggu, atau tiap waktu lainnya (Tillman et al. 1989). Parakkasi (1983) mengemukakan bahwa untuk kebutuhan zat makanan, urutan yang paling penting adalah protein, karena dibutukkan untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi, di samping itu untuk sejumlah energi yang cukup untuk membantu proses pertumbuhan. Kebutuhan protein untuk periode starter 14-16% dengan bobot badan ternak babi kg. Menurut Sihombing (2006) periode pertumbuhan pengakhiran, yaitu babi yang memiliki bobot rata-rata kg. Periode ini merupakan periode yang harus diperhatikan akan kebutuhan zat makanannya dan ransum yang bermutu. Pertambahan bobot badan dan konversi ransum yang tinggi adalah satu faktor terpenting yang mempengaruhi performans babi grower. Pertambahan bobot badan mencapai 820 g/hr dan efisiensi ransum Efisiensi penggunaan makanan merupakan pertambahan bobot badan yang dihasilkan setiap satuan ransum yang dikonsumsi. Efisiensi penggunaan ransum bergantung pada kebutuhan ternak akan energi dan protein untuk pertumbuhan

23 31 hidup pokok dan fungsi lain, kemampuan ternak untuk mencerna makanan, jumlah makanan yang hilang melalui proses metabolisme, dan tipe makanan yang dikonsumsi (Campbell 1985). Faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum adalah nutrisi, bangsa ternak, lingkungan, kesehatan ternak, dan keseimbangan ransum yang diberikan (Devendra dan Fuller 1979). Efisiensi penggunaan makanan dapat digunakan sebagai parameter untuk seleksi terhadap ternak yang mempunyai pertambahan bobot badan yang baik (Bogart 1997). Bobot potong yang paling disukai konsumen berkisar kg, karena kisaran ini memberikan perbandingan antara daging dan lemak yang optimal dengan penilaian karkas sesuai dengan standar USDA (United State Development of Agriculture). Bobot potong yang paling optimum menurut Whittemore (1980) adalah kg. Untuk menghasilkan bobot karkas yang berkisar kg maka babi sebaiknya dipotong pada bobot hidup dengan kisaran kg (Sihombing 2006). Kualitas Karkas Babi Teknik ovulasi ganda pada induk melalui pemberian hormon eksternal PMSG dan hcg memungkinkan terjadinya peningkatan kualitas bakalan ternak babi. Kualitas bakalan dapat dilihat dari karakteristik karkas pada saat dipotong. Pada ternak babi, karkas yang dihasilkan berkisar 60-90% dari bobot hidup, bergantung pada kondisi ternak, kekenyangan, kualitas, dan cara pemotongan. Faktor kekenyangan pada babi kurang begitu penting pengaruhnya pada bobot karkas dibandingkan pada sapi karena babi mempunyai kapasitas lambung yang lebih kecil (Pond dan Maner 1974). Devendra dan Fuller (1979) mengemukakan bahwa persentase karkas adalah perbandingan bobot karkas dengan bobot hidup dalam persen. Persentase karkas ini dapat menggambarkan bagian daging yang dapat dimakan dan bobot hidup. Persentase karkas lebih tinggi pada babi dibandingkan pada sapi atau domba karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar (Blakely dan Bade 1998). Persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe ternak, penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya kotoran yang dikeluarkan (Campbell et al. 1985). Pemberian makanan yang bersifat bulky dan

24 32 lama pemuasaan sebelum ternak dipotong dapat berpengaruh pada persentase karkas yang dihasilkan (Devendra dan Fuller 1979). Krider dan Carroll (1971) menyatakan bahwa pengukuran tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas karkas karena dua pertiga bagian dari total lemak karkas merupakan lemak subkutan. ebih lanjut dinyatakan bahwa tebal lemak punggung memiliki hubungan dengan komposisi daging yang dihasilkan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. (Meat Evaluation Handbook 1988). Tabel 1 Hubungan antara Tebal emak Punggung dan Persentase Daging yang Dihasilkan dengan Golongan Ternak Menurut Mutunya Kelas Tebal emak Punggung (cm) Persentase Daging (%) US NO 1 < 3,56 >53 US NO 2 3,56-4, ,9 US NO 3 4,32-5, ,9 US NO 4 >5,08 < 47 Sumber : Meat Evaluation Handbook, 1988 Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh bobot lahir ternak babi. Dengan perkataan lain, anak babi yang mempunyai bobot lahir rendah akan memberikan kualitas karkas yang rendah pula. Rehfeldt et al. (2008) menyatakan bahwa anak babi yang lahir dengan bobot tubuh ringan akan menurunkan penampilan pertumbuhan sesudah lahir. Secara rinci dikatakan bahwa anak babi yang dilahirkan dengan bobot ringan akan menurunkan kualitas karkas, dalam hal ini mempunyai deposisi lemak tinggi dan EA yang rendah (Bee 2004). Rendahnya bobot lahir anak babi diketahui merupakan akibat dari terganggunya pertumbuhan selama periode kebuntingan (Rehfeldt et al. 2008). Karkas babi merupakan bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan pengeluaran darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut, dan isi rongga dada, sedangkan daging babi adalah bagian-bagian ternak babi yang disembelih yang dapat dikonsumsi oleh manusia, termasuk isi rongga perut dan dada. Karkas babi yang dihasilkan berkisar antara 60-90% dari bobot hidup bergantung pada kondisi, genetik, kualitas pakan, dan cara pemotongan (Forrest et al. 1975).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan diberi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Kelompok 3 Aswar Anas 111810401036 Antin Siti Anisa 121810401006 Nenny Aulia Rochman 121810401036 Selvi Okta Yusidha 121810401037 Qurrotul Qomariyah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor peternakan berperan penting melalui penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementrian Pertanian Tahun 2010-- 2014 (Anonim

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah sinkronisasi alami ini meliputi pengertian hormon reproduksi mulai dari definisi, jenis, macam, sumber, cara kerja, fungsi dan pengaruhnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yaitu sebagai tenaga kerja untuk mengolah sawah, penghasil daging dan susu, serta sebagai tabungan untuk keperluan dikemudian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam aliran darah

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba merupakan ruminansia kecil yang relatif mudah dibudidayakan oleh masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai pakan berupa

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Superovulasi Superovulasi merupakan suatu teknologi reproduksi yang mampu meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Manalu et al. 1996). Jumlah korpus luteum ini memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Ekstrak Metanol Buah Adas terhadap Lama Siklus Siklus estrus terdiri dari proestrus (12 jam), estrus (12 jam), metestrus (12 jam), dan diestrus (57 jam), yang secara total

Lebih terperinci

PERFORMANS BAKALAN YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK BABI YANG DIOVULASI GANDA DENGAN PMSG DAN hcg SEBELUM PENGAWINAN MIEN THEODORA ROSSESTHELLINDA LAPIAN

PERFORMANS BAKALAN YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK BABI YANG DIOVULASI GANDA DENGAN PMSG DAN hcg SEBELUM PENGAWINAN MIEN THEODORA ROSSESTHELLINDA LAPIAN PERFORMANS BAKALAN YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK BABI YANG DIOVULASI GANDA DENGAN PMSG DAN hcg SEBELUM PENGAWINAN MIEN THEODORA ROSSESTHELLINDA LAPIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan

Lebih terperinci

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMON REPRODUKSI JANTAN HORMON REPRODUKSI JANTAN TIU : 1 Memahami hormon reproduksi ternak jantan TIK : 1 Mengenal beberapa hormon yang terlibat langsung dalam proses reproduksi, mekanisme umpan baliknya dan efek kerjanya dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kambing Pada mulanya domestikasi kambing terjadi di daerah pegunungan Asia Barat sekitar 8000-7000 SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budi daya ikan adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Siklus Menstruasi Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2005), sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein. Salah satu komoditas yang menjadi primadona saat ini adalah ikan lele (Clarias sp.). Ikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perlakuan penyuntikan hormon PMSG menyebabkan 100% ikan patin menjadi bunting, sedangkan ikan patin kontrol tanpa penyuntikan PMSG tidak ada yang bunting (Tabel 2).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan Keadaan hewan pada awal penelitian dalam keadaan sehat. Sapi yang dimiliki oleh rumah potong hewan berasal dari feedlot milik sendiri yang sistem pemeriksaan kesehatannya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α Hasil penelitian didapatkan 13 dari 15 ekor domba (87,67%) menunjukan respon estrus dengan penyuntikan PGF 2α. Onset estrus berkisar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di Peternakan rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

Materi 5 Endokrinologi selama siklus estrus

Materi 5 Endokrinologi selama siklus estrus Materi 5 Endokrinologi selama siklus estrus MK. Ilmu Reproduksi LABORATORIUM REPRODUKSI TERNAK FAPET UB 1 Sub Pokok Bahasan Hormon-hormon reproduksi dan peranannya (GnRH, FSH,LH, estrogen, Progesteron,

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Sasaran Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan sistem reproduksi dan laktasi Materi Kontrol gonad dan perkembangan

Lebih terperinci

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian 2 2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan akan mempermudah dalam menentukan waktu yang tepat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang cukup banyak dan tersebar luas di wilayah pedesaan. Menurut Murtidjo (1993), kambing Kacang memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ASI Eksklusif 1. Pengertian Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik bagi bayi sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif yaitu pemberian ASI tanpa cairan atau makanan lain,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 A B Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-17 Gambar 8 Teknik penyuntian PGF 2α. (A) Penyuntikan pertama, (B) Penyuntikan kedua, (C) Pengamatan estrus yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pada

Lebih terperinci

Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan. Abstrak

Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan. Abstrak Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan Abstrak Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh ovulasi ganda babi dara sebelum dikawinkan pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad lalu. Beberapa sinonim sapi Bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu komoditi ikan yang menjadi primadona di Indonesia saat ini adalah ikan lele (Clarias sp). Rasa yang gurih dan harga yang terjangkau merupakan salah satu daya

Lebih terperinci

BAB II FAAL KELAHIRAN

BAB II FAAL KELAHIRAN BAB II FAAL KELAHIRAN A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah Faal kelahiran ini meliputi kelahiran seperti terjadinya inisiasi partus, tahapan partus, adaptasi perinatal dan puerpurium. Pokok bahasan ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menstruasi A. Pengertian Menstruasi Menstruasi merupakan keadaan fisiologis, yaitu peristiwa keluarnya darah, lendir ataupun sisa-sisa sel secara berkala. Sisa sel tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Lokasi Asal Induk Domba

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Lokasi Asal Induk Domba TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Asal Induk Domba Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) dibawah pengelola Fakultas

Lebih terperinci

VI. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VI. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VI VI. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Kebuntingan dan Kelahiran Kebuntingan Fertilisasi: Proses bersatunya/fusi antara sel kelamin betina (oosit)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Hasil percobaan perkembangan bobot dan telur ikan patin siam disajikan pada Tabel 2. Bobot rata-rata antara kontrol dan perlakuan dosis tidak berbeda nyata. Sementara

Lebih terperinci

Jenis hormon berdasarkan pembentuknya 1. Hormon steroid; struktur kimianya mirip dengan kolesterol. Contoh : kortisol, aldosteron, estrogen,

Jenis hormon berdasarkan pembentuknya 1. Hormon steroid; struktur kimianya mirip dengan kolesterol. Contoh : kortisol, aldosteron, estrogen, SISTEM ENDOKRIN Hormon adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh sebuah sel atau sekelompok sel dan disekresikan ke dalam pembuluh darah serta dapat mempengaruhi pengaturan fisiologi sel-sel tubuh lain.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran tubuh berlebihan, lebar dan dalam. 2). Meat type = pork type (babi tipe daging) Ukuran tubuh panjang, dalam dan halus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran tubuh berlebihan, lebar dan dalam. 2). Meat type = pork type (babi tipe daging) Ukuran tubuh panjang, dalam dan halus. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tipe Babi Pada pokoknya babi bisa dibedakan menjadi tiga tipe (Sihombing, 2006) : 1). Lard type (babi tipe lemak) Termasuk kelompok babi tipe lemak ialah yang memili ciri-ciri

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 8 No. 1, Maret 2014 ISSN : 1978-225X PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI The Effect of Pituitary

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Babi Babi adalah binatang yang dipelihara dari dahulu, dibudidayakan, dan diternakkan untuk tujuan tertentu utamanya untuk memenuhi kebutuhan akan daging atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang 16 PENDAHULUAN Latar belakang Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Senyawa Isoflavon Tepung Kedelai dan Tepung Tempe Hasil analisis tepung kedelai dan tepung tempe menunjukkan 3 macam senyawa isoflavon utama seperti yang tertera pada

Lebih terperinci