KARAKTERISASI OPTIK LAPISAN SEMIKONDUKTOR Cu 2 O YANG DIBUAT DENGAN METODE DEPOSISI KIMIA GERALD ENSANG TIMUDA G

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISASI OPTIK LAPISAN SEMIKONDUKTOR Cu 2 O YANG DIBUAT DENGAN METODE DEPOSISI KIMIA GERALD ENSANG TIMUDA G"

Transkripsi

1 KARAKTERISASI OPTIK LAPISAN SEMIKONDUKTOR Cu 2 O YANG DIBUAT DENGAN METODE DEPOSISI KIMIA GERALD ENSANG TIMUDA G DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 KARAKTERISASI OPTIK LAPISAN SEMIKONDUKTOR Cu 2 O YANG DIBUAT DENGAN METODE DEPOSISI KIMIA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Oleh : GERALD ENSANG TIMUDA G DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

3 Tulisan ini aku persembahkan untuk ibu.. abah & istriku Bahwasanya di dalam kejadian langit dan bumi, dalam pergantian malam dengan siang itu sudah dapat merupakan bukti kekuasaan Allah bagi orang yang suka menggunakan akalnya. Mereka itu ialah orangorang yang suka mengingat-ingat kepada Allah, baik di waktu berdiri atau duduk ataupun sedang tidur, lagi pula suka memikirkan perihal kejadian langit dan bumi. Ia pasti akan dapat mengatakan : Ya Tuhan kami, Engkau menciptakan semua itu tidaklah dengan sia-sia (tanpa ada kemanfaatannya), Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa api neraka. (Ali Imran : )

4 Judul : Karakterisasi Optik Lapisan Semikonduktor Cu 2 O yang Dibuat dengan Metode Deposisi Kimia Nama : Gerald Ensang Timuda NIM : G Menyetujui : Pemimbing I, Pembimbing II, Akhiruddin Maddu, M.Si. Drs. M. Nur Indro, M.Sc. NIP NIP Mengetahui : Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. NIP

5 Tanggal lulus :

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 8 Februari 1983, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, anak dari pasangan Edi Sangsoyo dan Sunartin. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan di kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Pendidikan dasar diselesaikan di SDN Pare X pada tahun 1995, pendidikan lanjutan pertama di SLTP Negeri 2 Pare pada tahun 1998, dan pendidikan lanjutan atas di SMU Negeri 2 Pare pada tahun Pada tahun yang sama, penulis lulus Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa di Jurusan Fisika Fakultas MIPA IPB. Selama kuliah di IPB, penulis berperan aktif di BEM TPB (periode ), Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Lawalata IPB (periode 2001 sekarang), BE Himafi (periode ), BSO Himafi Fun Physics (periode ). Penulis juga berperan aktif menjadi asisten praktikum Fisika Dasar & Fisika Umum (tahun ), Elektronika Dasar, dan Elektronika Digital (tahun ). Pada kegiatan Seminar Nasional Biofisika tahun 2005, penulis juga tercatat sebagai panitia.

7 ABSTRAK GERALD ENSANG TIMUDA. Krakterisasi Optik Lapisan Semikonduktor Cu 2 O yang Dibuat dengan Metode Deposisi Kimia. Dibimbing oleh : AKHIRUDDIN MADDU, M.Si. dan Drs. M. NUR INDRO, M.Sc. Semikonduktor Cu 2 O telah dipertimbangkan sebagai material yang digunakan untuk membuat sel surya dengan biaya rendah dan mudah dibuat dengan metoda deposisi kimia. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya perubahan sifat optik pada sampel dengan ketebalan yang berbeda dan pada sampel yang diberi perlakuan pemanasan (annealing). Ketebalan lapisan memberikan pengaruh terhadap beberapa sifat optik material antara lain absorbansi, transmitansi, reflektansi dan indeks bias. Semakin tebal lapisan akan menyebabkan nilai absorbansi, reflektansi dan indeks bias semakin besar, dan nilai transmitansi semakin kecil. Perlakuan panas juga merubah beberapa sifat optik yang dipelajari. Semakin panas suhu annealing yang diterapkan, menyebabkan nilai absorbansi, reflektansi dan indeks bias semakin kecil, sedangkan nilai transmitansi semakin besar. Pendugaan band gap menggunakan kurva (αhυ) 2 vs. hυ menunjukkan bahwa sampel semikonduktor Cu 2 O berada di antara 2,35 2,42 ev.

8 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang selalu mencurahkan karunia-nya sehingga tulisan ini bisa terwujud. Tulisan ini merupakan skripsi yang harus disusun setelah melaksanakan penelitian sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana Sains di Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor. Adapun topik dari penelitian yang kami laksanakan adalah Krakterisasi Optik Lapisan Semikonduktor Cu 2 O yang Dibuat dengan Metode Deposisi Kimia. Beberapa literature yang diambil telah membuat kami sadar bahwa bidang ini telah jauh berkembang, sehingga mungkin hasil penelitian ini tidak akan memberikan sumbangan yang terlalu besar nantinya. Namun demikian, sangat diharapkan penelitian ini bisa menjadi batu loncatan yang berarti bagi penyusun terutama untuk lebih bisa memahami konsep-konsep fisika yang ada di dalamnya. Terima kasih yang tidak terkira kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memungkinkan skripsi ini bisa terwujud, terutama kepada Ibu dan Abah yang selalu mendoakan dan mendukung di rumah, kepada keluarga besarku juga keluarga besar baruku, kepada my sweet special wife yang always special, kepada Bpk. Akhiruddin Maddu dan Bpk. M.Nur Indro selaku dosen pembimbing yang dengan sangat sabar melayani semua ketidaktahuan, keingintahuan, dan kekurangan saya tentang penelitian ini, keluarga Mafia 38 atas semua dukungan dan semangatnya. Fight it guys it s worth. Juga kepada teman-teman LAWALATA, always in my heart. Kepada teman-teman angkatan 34,35,36,37,38,39,40,41 serta semua dosen dan staff Departemen Fisika, dan pihak-pihak yang karena keterbatasan tempat, tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya karena hal ini. Akhirnya kami memmohon dengan ikhlas : masukan, kritik, saran, dalam bentuk apapun juga tentang tulisan ini, agar penelitian ini bisa lebih bermanfaat. Amin. Bogor, Juni 2006 ttd Penyusun (GET)

9 DAFTAR ISI Halaman Judul... Lembar Pengesahan... Abstrak... Kata Pengantar... Daftar Isi... PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 1 Tinjauan Pustaka... 1 Semikonduktor... 1 Sifat Optik... 2 Kedalaman Penetrasi Karakteristik (W)... 2 Absorbansi (A)... 2 Transmitansi (T)... 2 Reflektansi (R)... 2 Indeks Bias (n)... 3 BAHAN DAN METODE... 3 Tempat dan Waktu Penelitian... 3 Bahan dan Alat... 3 Metode Penelitian... 3 Penumbuhan Lapisan Cu 2 O... 3 Karakterisasi Optik... 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 5 Deposisi Kimia... 5 Sifat Optik... 5 Absorbansi (A)... 5 Pengaruh Ketebalan pada Absorbansi... 5 Pengaruh Pemanasan pada Absorbansi... 6 Transmitansi (T)... 7 Pengaruh Ketebalan pada Transmitansi... 7 Pengaruh Pemanasan pada Transmitansi... 7 Reflektansi (R)... 8 Pengaruh Ketebalan pada Reflektansi... 8 Pengaruh Pemanasan pada Reflektansi... 9 Indeks Bias (n)... 9 Pengaruh Ketebalan pada Indeks Bias... 9 Pengaruh Pemanasan pada Inseks Bias Konstanta Peredaman (k) Pengaruh Ketabalan pada Konstanta Peredaman Pengaruh Pemanasan pada Konstanta Peredaman Band gap (Eg) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA i ii iii iv v

10 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan manusia akan energi sangat besar, cadangan minyak bumi diperkirakan akan habis dalam abad ini. Kebutuhan energi di bumi diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini, sehingga akan terjadi kekurangan energi yang besar, kecuali energi terbaharukan bisa menutupi kekurangan pokok yang ditinggalkan oleh bahan baker fosil (minyak bumi). Untungnya, pasokan energi dari matahari ke bumi sangat besar : 3 x Joule setahun atau sekitar kali konsumsi populasi global saat ini. Dengan kata lain, andaikan kita dapat menutupi 0,1% permukaan bumi dengan sel surya yang memiliki efisiensi 10%, kebutuhan energi saat ini akan terpenuhi. (1) Karena itulah, studi tentang sel surya selalu menarik untuk dipelajari. Semikonduktor Cuprous Oxide, Cu 2 O, merupakan salah satu semikonduktor paling tua yang pernah dikenal. Semikonduktor ini telah dipertimbangkan sebagai material yang menjanjikan untuk pembuatan aplikasi sel surya dengan biaya rendah. (2) Sebagai material sel surya, cuprous oxide memiliki keuntungan biaya pembuatan yang rendah dan ketersediaan yang tinggi. Khususnya, karena ia mudah dihasilkan dari tembaga, dan karenanya, merupakan salah satu material semikonduktor yang paling tidak mahal dan paling tersedia untuk sel surya. Cuprous oxide memiliki band gap sekitar 2,0 ev yang merupakan rentang yang bisa diterima untuk konversi energi surya, karena semua semikonduktor dengan band gap antara 1 ev dan 2 ev adalah material yang disukai untuk sel photovoltaic. (3) Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Membuat lapisan semikonduktor Cu 2 O dengan metode deposisi kimia. 2. Melakukan karakterisasi optik pada lapisan semikonduktor Cu 2 O yang meliputi absorbansi, transmitansi, reflektansi, indeks bias, konstanta peredaman. 3. Menentukan band gap lapisan semikonduktor Cu 2 O. Tinjauan Pustaka Semikonduktor Pada semikonduktor, terdapat pita energi yang memperbolehkan keberadaan elektron, yaitu pita valensi dan pita konduksi. Yang memisahkan kedua pita ini adalah pita terlarang, yang disebut juga band gap (Eg). Ec E F E V E n e r g i Ec E D e - Tipe - n intrinsik Gambar 1. Diagram energi semikonduktor dengan sifat intrinsik, tipe n, dan tipe p. E C = energi pita konduksi, E D = energi pita donor E V = energi pita valensi, E A = energi pita akseptor E F = energi level Fermi Menurut teori pita, benda tegar dikarakterisasikan dengan spektrum elektron yang bersatu. Tiap elektron adalah milik keseluruhan benda tetapi bukan milik ikatan individu. Diagram pita energi dari bagian spektrum yang menentukan karakteristik optik dan listrik semikonduktor ditunjukkan pada gambar 1. (4) Ec E F E V E F E V elektron absorpsi hole Gambar 2. Absorpsi cahaya oleh semikonduktor intrinsik. Foton yang datang dengan energi hν E g menyebabkan transisi elektron dari pita valensi menuju pita konduksi, dan meninggalkan hole pada pita valensi. Ketika semikonduktor intrinsik diradiasi dengan cahaya yang energinya lebih besar daripada band gap semikonduktor Ec E F E V Eg = E V - E C E A Tipe-p foton ( h υ ) h + 1

11 hν E ( g ), elektron dari pita valensi bisa tereksitasi ke pita konduksi seperti pada gambar 2. (4) Sifat Optik Jika gelombang cahaya mengenai suatu material, maka intensitas gelombang cahaya tersebut akan diredam pada jarak yang pendek. Amplitudo gelombang akan berkurang secara eksponensial seperti diperlihatkan pada gambar 3. Pengurangan intensitas ini berbeda untuk material yang berbeda. Pada material logam pengurangannya kuat, tetapi kurang kuat untuk material dielektrik, misalnya gelas. (5) v a k u m Intensitas material ωkz exp c Gambar 3. Gelombang cahaya pada material dengan ketebalan z. Amplitudo menurun secara eksponensial. Kedalaman Penetrasi Karakteristik (W) Didefinisikan sebagai jarak ketika intensitas gelombang cahaya yang memasuki bahan menurun menjadi 1/e atau 37% dari nilai awalnya (5), yaitu ketika : I 1 1 = = e... (1) I 0 e dengan : I 0 = intensitas cahaya yang menuju sampel (awal) I = intensitas cahaya yang keluar dari sampel. Secara umum, fungsi intensitas terhadap jarak didefinisikan sebagai berikut : (5) I = I 0 exp 2 ωk z,... (2) c dengan : ω = 2πν adalah frekuensi angular z = jarak k = konstanta peredaman c = cepat rambat gelombang cahaya di udara = 3 x 10 8 m/s. Maka, berdasarkan definisi di atas didapatkan : z c c λ z = W = = =... (3) 2ω. k 4πν. k 4π. k dengan : ν = frekuensi λ = panjang gelombang. Kebalikan dari W sering disebut atenuasi eksponensial. (5) atau koefisien absorbsi, α : 1 2ω. k 4πν. k 4π. k = α = = =... (4) W c c λ Absorbansi (A) Didefinisikan sebagai : (6),(12) I 0 A = log... (5) I Karena untuk lapisan tipis berlaku : I 0 α. d = e I,...(6) maka : (6) α = 2,303 A/d... (7) dengan : α = koefisien absorbsi d = ketebalan film. Transmitansi (T) Didefinisikan sebagai rasio antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan intensitas cahaya yang menuju sampel. (5),(12) I T =... (8) I 0 Dengan melakukan substitusi persamaan (5) dan (8), didapatkan hubungan antara absorbansi dan transmitansi sebagai berikut : (12) A = log T...(9) Reflektansi (R) Didefinisikan sebagai rasio antara intensitas cahaya yang dipantulkan, I R, dengan intensitas cahaya awal, I 0. (5),(13) I R = R...(10) I 0 dengan : I R = intensitas cahaya yang dipantulkan. Reflektansi berhubungan dengan transmitansi dan koefisien absorpsi dengan hubungan sebagai berikut : (7) 2 1 ( 1 R) α =.ln...(11) d T atau bisa dituliskan kembali sebagai berikut. : R = T exp 1 α. d...(12). 2 [ ] 2

12 Indeks Bias (n) Ketika cahaya melewati medium yang, secara optik, renggang menuju medium rapat, cahaya akan dibiaskan dengan sudut bias r, (yaitu sudut yang dibentuk antara berkas sinar yang dibiaskan dengan garis yang tegak lurus permukaan) yang lebih kecil dibandingkan sudut datang i, seperti pada gambar 4. c vac i Gambar 4. Pembiasan berkas cahaya ketika datang dari medium lebih renggang menuju medium lebih rapat. n vac mewakili indeks bias vakum (udara) dan n med mewakili indeks bias medium. Sedangkan c vac mewakili cepat rambat cahaya di vakum (udara) dan n med mewakili cepat rambat cahaya di medium Fenomena ini digunakan untuk mendefinisikan kekuatan pembiasan suatu material dan dikenal sebagai hukum Snellius, (5),(13) sin i cvac nmed = = sin r cmed nvac = n...(13) dengan indeks bias vakum, n vac, ditetapkan bernilai satu. Indeks bias berhubungan dengan reflektansi dengan hubungan sebagai berikut (untuk berkas cahaya yang tegak lurus (5), (6) terhadap bidang batas) : 2 ( n 1) R = ( n + 1) 2...(14) atau bisa dituliskan kembali sebagai berikut : 1 + R n = 1 R...(15) BAHAN DAN METODE r c med n vac n med berlangsung mulai bulan Juni 2005 s.d. Mei Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan adalah larutan CuSO 4, Na 2 S 2 O 3, NaOH, NH 4 Cl, gelas preparat, dan air aquades. Alat yang digunakan adalah neraca elektronik, gelas ukur, gelas erlenmayer, pengaduk, hot plate, gelas pyrex, penjepit, furnace, sumber cahaya polikromatis, seperangkat komputer, compact monokromator + sensor + interface system. Metode Penelitian Penumbuhan Lapisan Cu 2 O Lapisan semikonduktor Cu 2 O ditumbuhkan pada substrat gelas preparat. Tiga buah gelas preparat dibersihkan dengan membasuhnya menggunakan air aquades, mencelupkannya ke dalam larutan H 2 SO 4 1M selama + 10 menit dan membilasnya menggunakan air aquades. Larutan NaOH 1M sebanyak 100 ml disiapkan ke dalam gelas pyrex, yang kemudian disebut larutan A dan dipanaskan sampai C. Larutan B, yaitu larutan kompleks tembaga tiosulfat (3Cu 2 S 2 O 3.2Na 2 S 2 O 3 ) (8), disiapkan dengan mencampur 1M natrium tiosulfat (Na 2 S 2 O 3 ) sebanyak 125 ml dengan 1 M larutan tembaga sulfat (CuSO 4 ) sebanyak 25 ml. Hasil dari pecampuran ini diencerkan dengan air aquades sebanyak 250 ml. (7) Setengah dari larutan B dipergunakan untuk deposisi. Proses deposisi dilakukan dengan mencelupkan ketiga gelas preparat yang telah dibersihkan secara bergantian ke dalam larutan A selama + 20 detik dan larutan B selama + 20 detik (tanpa ada jeda waktu antara kedua pencelupan). Dengan melakukan langkah ini berarti 1 siklus telah dlakukan. Percobaan dilakukan dengan mengulang siklus sebanyak 10 x untuk sampel 1, 20 x untuk sampel 2, dan 30 x untuk sampel 3. Semakin banyak pencelupan, semakin tebal lapisan yang terbentuk. Tiap pencelupan sebanyak 10 siklus, ketebalan bertambah sebesar 0,15 µm. (8) Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Instrumentasi dan Biofisika serta Laboratorium Fisika Lanjut Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor. Penelitian 3

13 + 20 s sampel + 20 s tempat sampel fiber optik A 70 0 C heater + B suhu ruang = 1 siklus Sumber cahaya (polikromatis) Ketika substrat gelas dicelupkan ke dalam larutan NaOH bersuhu C, ion OH - menempel pada permukaan substrat membentuk lapisan ionik. Pada larutan B, ion Cu + terbentuk akibat reaksi kesetimbangan ion tiosulfatcuprit(i) sebagai berikut : [Cu(S 2 O 3 )] - Cu + + S 2 O - 3. Setelah substrat dicelupkan ke dalam larutan B, ion ini beraksi dengan lapisan ionik OH - yang telah terbentuk pada substrat gelas dan membentuk Cu 2 O dengan reaksi sebagai berikut: 2Cu + + 2OH - Cu 2 O + H 2 O. (8) Khusus untuk sampel 2, setelah dilakukan karakterisasi optik, dilakukan proses annealing pada suhu C selama 1 jam. Kemudian, setelah dilakukan karakterisasi optik kedua, sampel ini dipanaskan lagi pada suhu C selama 1 jam untuk kemudian dilakukan karakterisasi optik ketiga. T a Gambar 5. Bagan Deposisi Kimia T ( 0 C) komputer Ocean Optic USB 2000 Fiber Optic Spectrometer Gambar 7. Bagan pengaturan alat untuk uji sifat optik Prosedur pengambilan data untuk menetukan nilai absorbansi pada software yang digunakan, mengharuskan dilakukannya pengambilan data intensitas referensi (dalam hal ini intensitas cahaya dengan sampel gelas preparat) atau I 0. Selain itu, juga mengharuskan pengambilan data intensitas gelap (I D ) yaitu intensitas ketika jalur cahaya dari sumber cahaya ke monokromator ditutup dalam keadaan lampu sumber cahaya menyala. Setelah kedua data tersebut diambil, baru bisa dilakukan pengukuran absorbansi dengan meletakkan substrat hasil deposisi ke tempat sampel. Oleh karena itu, perumusan yang digunakan untuk menghitung nilai absorbansi pada persamaan (5) mengalami modifikasi sebagai berikut : (10) I o I D A = log...(16) I I D T R t t (jam) Gambar 6. Kurva hubungan antara suhu annealing (T a ) dengan waktu annealing ( t) yang dilakukan pada sampel 2. T R adalah suhu ruang yang merupakan suhu awal sampel sebelum dipanaskan. Karakterisasi Optik Penelitian sifat optik dilakukan dengan menggunakan monokromator, sensor dan interface yang terhubung ke seperangkat komputer. Bagan setting alat ditunjukkan pada gambar 7. 4

14 Karakterisasi Optik Sampel 1,3 Deposisi Kimia Persiapan bahan Penumbuhan Lapisan Cu 2 O Sampel 1,2,3 Karakterisasi Optik Sampel 2 Annealing C 1 jam Karakterisasi Optik Annealing C1 jam Karakterisasi Optik Pengolahan Data Gambar 8. Alur Kerja Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil deposisi menunjukkan terjadinya perubahan warna pada substrat gelas preparat menjadi kekuning-kuningan. Perubahan warna ini merupakan indikasi terbentuknya lapisan Cu 2 O pada gelas. Semakin banyak siklus pencelupan dilakukan, semakin gelap warna yang terbentuk, yang berarti semakin tebal lapisan yang terjadi. Pada eksperimen ini terdapat 3 macam sampel seperti terdaftar pada tabel 1. Ketebalan yang didapatkan berdasarkan asumsi tiap pencelupan sebanyak 10 siklus ketebalan bertambah sebesar 0,15 µm. (8) Tabel 1. Sampel hasil deposisi Sampel Pencelupan Tebal lapisan (nm) 1 10 x 150 nm 2 20 x 300 nm 3 30 x 450 nm Pada sampel 2, dilakukan pemanasan (annealing) tiap kali selesai dilakukan karakterisasi optik. Perlakuan pemanasan yang diberikan tercantum pada tabel 2. Tabel 2. Perlakuan panas pada sampel 2. Sampel Suhu annealing Waktu annealing 2 Tanpa annealing - 2a C 1 jam 2b C 1 jam Sifat Optik Pengambilan data untuk pengujian sifat optik yang dilakukan secara langsung pada sampel adalah untuk uji nilai absorbansi. Untuk uji nilai yang lain, yaitu transmitansi, reflektansi dan indeks bias, dilakukan melalui perhitungan. Absorbansi (A) Nilai absorbansi yang terukur ditampilkan pada tabel L1, L2, L3, L4 dan L5 pada lampiran 1. Dari nilai tersebut dapat ditampilkan bentuk kurva hubungan antara absorbansi terhadap panjang gelombang pada gambar 9a dan 9b. Secara umum, nilai absorbansi menurun untuk panjang gelombang yang lebih besar. Hal ini merupakan karakteristik daerah penyerapan pada sampel. Pengaruh Ketebalan pada Absorbansi Untuk mengetahui pengaruh ketebalan pada sifat optik sampel, dibuat 3 sampel dengan ketebalan berbeda. Nilai absorbansi dari ketiga sampel tersebut ditampilkan pada tabel L1, L2, dan L3 lampiran1. menunjukkan hasil yang berbeda (mengalami pergeseran nilai), sebagaimana bisa dilihat pada gambar 9a. Nilai absorbansi pada daerah panjang gelombang 650 nm ditunjukkan pada tabel 3a. Dari tabel tersebut dapat perbandingan nilai absorbansi jika dibandingkan secara relatif terhadap sampel 1 (perkiraan ketebalan d 1 = 150 nm). Sampel 2 (perkiraan ketebalan 2d 1 ) menunjukkan nilai perbandingan 308,333% (menjadi sekitar 3 x nilai A sampel 1). Sedangkan sampel 3 (perkiraan ketebalan 3d 1 ) menunjukkan 5

15 perbandingan sebesar 527,083% (menjadi sekitar 5 x nilai A sampel 1). Tabel 3a. Nilai absorbansi untuk sampel 1,2,3 pada daerah λ = 650 nm Sampel A Perbandingan (%relatif terhadap sampel 1) Dari gambar 9a bisa diamati bahwa semakin tebal sampel, nilai absorbansi semakin tinggi. Hal ini dikarenakan semakin tebal sampel berarti semakin banyak lapisan yang terbentuk, sehingga semakin banyak molekul Cu 2 O yang terlibat dalam proses penyerapan. Sehingga, nilai absorbansi (untuk penyerapan pada panjang gelombang yang sama) akan lebih besar pada sampel dengan ketebalan lebih tinggi. Absorbansi λ (nm) Gambar 9a. Kurva absorbansi vs. panjang gelombang untuk sampel 1,2, dan 3. Pengaruh Pemanasan pada Absorbansi Untuk mengetahui pengaruh pemanasan pada sifat optik sampel, dilakukan proses annealing. Proses annealing dilakukan hanya pada sampel 2 sebesar C dan C masing-masing selama 1 jam. Pengambilan data absorbansi dilakukan tiap kali proses annealing selesai dilakukan. Adanya perlakuan panas pada sampel menghasilkan perubahan nilai absorbansi, sebagaimana bisa diamati pada gambar 9b. Secara keseluruhan, nilai absorbansi menjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai absorbansi pada sampel yang sama yang diambil sebelum proses annealing dilakukan. Pada daerah panjang gelombang 650 nm, setelah dilakukan annealing dengan suhu C (sampel 2a), nilai absorbansi berubah menjadi 57,730% nilai awal (nilai absorbansi sampel 2). Sampel setelah annealing C (sampel 2b) menunjukkan nilai absorbansi 47,230% nilai awal pada panjang gelombang ini (lihat tabel 3b). Tabel 3b. Nilai absorbansi untuk sampel 2, 2a, dan 2b pada daerah λ = 650 nm Sampel A Perbandingan (%relatif terhadap sampel 2) a b Absorbansi λ (nm) Gambar 9b. Kurva absorbansi vs. panjang gelombang pada sampel 2 sebelum dan sesudah dilakukan proses pemanasan (annealing). 2 2a 2b Perubahan ini kemungkinan diakibatkan karena ketika suhu dinaikkan selama proses annealing, terjadi proses pengembangan volume, dan kemungkinan terbentuknya kristal atau berubahnya orientasi kristal. Pada proses annealing, setelah suhu secara alami diturunkan sampai suhu ruang, terjadi penyusutan volume kembali. Tapi, volume akhir setelah annealing jika dibandingkan volume awal (sebelum annealing) bisa berbeda (lebih kecil atau lebih besar) ataupun sama. Pada percobaan ini, dipergunakan asumsi volume akhir setelah annealing lebih besar dibanding volume awal. Karena terjadi pengembangan volume, densitas massa akan menurun dan jarak antar molekul menjadi semakin lebar sehingga makin banyak terdapat rongga/ruang yang memungkinkan berkas cahaya bisa melewatinya. Akibatnya, fraksi energi yang diserap menjadi lebih kecil. Jika dibandingkan sampel dengan annealing antara C dan C, nilai absorbansi sampel C lebih kecil jika dibandingkan sampel C. Hal ini kemungkinan disebabkan volume akhir 6

16 sampel C mengembang lebih jauh jika dibandingkan sampel C. Sehingga, dengan alasan yang sama, nilai absorbansi menjadi lebih kecil. Kemungkinan terbentuknya orientasi kristal juga bisa dipergunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Jika diasumsikan sebelum annealing belum terbentuk kristal (masih dalam bentuk amorf), maka rongga antar molekul yang terbentuk kemungkinan tertutup oleh molekul lain akibat susunan yang tidak beraturan. Sehingga, berkas sinar yang melewati susunan tidak beraturan tersebut menjadi lebih kecil. Dengan kata lain, semakin banyak berkas sinar yang berinteraksi dengan molekul (untuk kemudian bisa diserap atau dipantulkan). Tapi, setelah terbentuk struktur kristal, semakin banyak rongga terjadi akibat susunan kristal yang teratur. Akibatnya, berkas sinar yang dilewatkan menjadi makin banyak. Atau dengan kata lain, makin sedikit berkas sinar yang bisa berinteraksi dengan molekul Cu 2 O. Sehingga, absorbansi menjadi lebih kecil. Transmitansi (T) Dari persamaan (9), didapatkan hubungan antara absorbansi terhadap transmitansi. Persamaan tersebut bisa dituliskan kembali dalam bentuk sebagai berikut : T = 10 A....(17) Transmitansi yang dihitung dengan persamaan (17) di atas dinyatakan ke dalam persen, dan ditampilkan pada tabel L1, L2, L3, L4 dan L5 lampiran 1. Hasil tersebut ditampilkan dalam kurva hubungan antara transmitansi terhadap panjang gelombang seperti gambar 10a dan 10b. Secara umum dapat diamati bahwa nilai transmitansi akan membesar untuk nilai panjang gelombang yang bertambah besar, yang merupakan karakteristik daerah transmitasnsi sampel. Pengaruh Ketebalan pada Transmitansi Hubungan antara transmitansi terhadap panjang gelombang untuk ketebalan berbeda diperlihatkan pada gambar 10a. Dari gambar tersebut dapat diamati bahwa sampel dengan ketebalan yang lebih besar memiliki nilai transmitansi yang lebih kecil. Pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai transmitansi sampel 2 menjadi 79,433% nilai transmitansi sampel 1. Sedangkan, transmitansi sampel 3, menunjukkan nilai 62,373% dari sampel 1 (lihat tabel 4a). Tabel 4a. Nilai transmitansi untuk sampel 1,2,3 pada daerah λ = 650 nm Perbandingan Sampel T (%) (%relatif terhadap sampel 1) Pada sampel lebih tebal, dari keseluruhan energi yang memasuki sampel, lebih banyak fraksi energi yang diserap dibandingkan yang diteruskan. Akibatnya, fraksi energi yang diteruskan menjadi lebih kecil. Sehingga, nilai transmitansi menjadi lebih kecil. Transmitansi (%) λ (nm) Gambar 10a. Kurva hubungan antara transmitansi vs. panjang gelombang untuk sampel 1,2, dan3. Pengaruh Pemanasan pada Transmitansi Pemanasan dengan proses annealing yang dilakukan mengakibatkan berubahnya nilai transmitansi seperti diperlihatkan pada gambar 10b. Pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai transmitansi setelah annealing C (sampel 2a) berubah menjadi 116,681% nilai transmitansi sebelum annealing (sampel 2). Dan, nilai transmitansi setelah annealing C (sampel 2b) berubah menjadi 119,674% nilai transmitansi sebelum annealing (lihat tabel 4b). Dari gambar tersebut dapat diamati bahwa nilai transmitansi meningkat setelah dipanaskan. Hal ini dikarenakan makin banyaknya berkas sinar yang diteruskan akibat terbentuknya rongga yang lebih banyak 7

17 setelah terjadinya pengembangan volume, sebagai akibat pemanasan. Tabel 4b. Nilai transmitansi untuk sampel 2, 2a, dan 2b pada daerah λ = 650 nm Perbandingan Sampel T (%) (%relatif terhadap sampel 2) a b Transmitansi (%) b 2a 2 λ (nm) Gambar 10b. Kurva transmitansi vs. panjang gelombang untuk sampel 2 sebelum dan setelah dikenai proses annealing Pengembangan volume yang terjadi pada sampel setelah annealing C kemungkinan lebih besar dibandingkan setelah perlakuan annealing C. Sehingga, nilai transmitansi makin meningkat pada sampel ini akibat rongga yang lebih banyak. Reflektansi (R) Nilai reflektansi diperoleh dengan menggunakan hubungan reflektansi, koefisien absorpsi, ketebalan film dan transmitansi pada persamaan (12). Nilai tersebut ditampilkan pada tabel L1, L2, L3, L4 dan L5 lampiran 1. Dengan menyatakan dalam persen, hubungan antara reflektansi terhadap panjang gelombang diperlihatkan pada gambar 11a dan 11b. Secara umum, nilai reflektansi lebih besar untuk panjang gelombang kecil dan semakin menurun terhadap panjang gelombang yang besar. Hal ini merupakan karakteristik daerah pemantulan sampel. Pengaruh Ketebalan pada Reflektansi Ketebalan memberikan pengaruh kepada nilai reflektansi, sebagaimana diperlihatkan gambar 11a. Semakin tebal sampel, nilai reflektansi semakin meningkat. Pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai reflektansi sampel 2 berubah menjadi 291,401% nilai reflektansi sampel 1. Dan, nilai reflektansi sampel 3 berubah menjadi 470,011% nilai reflektansi sampel 1 (lihat tabel 5a). Tabel 5a. Nilai reflektansi untuk sampel 1,2,3 pada daerah λ = 650 nm Perbandingan Sampel R(%) (%relatif terhadap sampel 1) Semakin tebal sampel, berarti semakin banyak molekul Cu 2 O yang terbentuk sehingga semakin banyak berkas sinar yang berinteraksi dengan molekul. Akibatnya, semakin banyak fraksi energi yang bisa dipantulkan. Reflektansi(%) λ (nm) Gambar 11a. Kurva hubungan antara reflektansi vs. panjang gelombang untuk sampel 1,2, dan 3. Pengaruh Pemanasan pada Reflektansi Pemanasan memberikan pengaruh terhadap nilai reflektansi sampel sebagaimana diperlihatkan pada gambar 11b. Nilai reflektansi lebih kecil pada sampel setelah dipanaskan dibandingkan sebelum dipanaskan. Pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai reflektansi setelah dipanaskan pada C (sampel 2a) menjadi 56,834% nilai reflektansi awal (sampel 2 sebelum dipanaskan). Sedangkan nilai reflektansi setelah dipanaskan pada C (sampel 2b) menjadi 49,423% nilai reflektansi awal (lihat tabel 4b)

18 Tabel 5b. Nilai reflektansi untuk sampel 2, 2a, dan 2b pada daerah λ = 650 nm Perbandingan Sampel R(%) (%relatif terhadap sampel 2) a b Reflektansi (%) λ (nm) Gambar 11b. Kurva reflektansi vs. panjang gelombang untuk sampel 2 sebelum dan setelah dikenai proses annealing. 2 2a 2b Akibat pemansan, terjadi ekspansi volume sehingga jarak antar molekul semakin lebar. Akibatnya, kemungkinan berkas sinar yang dapat berinteraksi dengan sampel menjadi lebih kecil. Sehingga, berkas sinar yang dapat dipantulkan pun menjadi lebih sedikit dibandingkan yang terjadi pada sampel sebelum dipanaskan. Indeks Bias (n) Nilai indeks bias bisa diperoleh dengan menerapkan hubungan antara reflektansi terhadap indeks bias pada persamaan (15). Hasil perhitungan ditampilkan pada tabel L1, L2, L3, L4 dan L5 lampiran 1. Hasil ini kemudian ditampilkan dalam bentuk kurva hubungan antara indeks bias terhadap panjang gelombang pada gambar 12a dan 12b. Tabel 6a. Nilai indeks bias untuk sampel 1,2,3 pada daerah λ = 650 nm Perbandingan Sampel n (%relatif terhadap sampel 1) Molekul Cu 2 O merupakan medium yang lebih rapat bagi cahaya jika dibandingkan dengan udara. Oleh karena itu selalu didapatkan nilai indeks bias yang lebih besar dari 1, yang merupakan konsekuensi hukum Snellius. Hal ini bersesuaian dengan hasil yang didapatkan pada semua sampel (semua sampel menunjukkan nilai indeks bias yang lebih besar dari 1), sebagaimana diperlihatkan pada gambar 11a dan 11b. Secara umum, keseluruhan sampel memperlihatkan nilai indeks bias yang cenderung menurun jika diberikan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih besar. Hal ini berarti, di dalam medium (sampel), cepat rambat cahaya dengan panjang gelombang rendah, lebih kecil dibandingkan cepat rambat cahaya dengan panjang gelombang lebih tinggi. indeks bias λ (nm) Gambar 12a. Kurva indeks bias vs. panjang gelombang untuk sampel 1,2, dan 3. Pengaruh Ketebalan pada Indeks Bias Pengaruh ketebalan terhadap sampel Cu 2 O diperlihatkan pada gambar 12a. Ketebalan yang semakin besar menghasilkan nilai indeks bias yang semakin besar. Pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai indeks bias sampel 2 menjadi 144,054% nilai indeks bias sampel 1. Sedangkan nilai indeks bias sampel 3 menjadi 188,411% nilai indeks bias sampel 1 (lihat tabel 6a). Semakin tebal sampel berarti semakin banyak molekul yang terbentuk. Sehingga, sampel menjadi semakin rapat. Semakin rapat medium berarti semakin kecil sudut bias yang berakibat nilai indeks bias semakin besar. PengaruhPemanasan pada Indeks Bias Pemanasan memberikan pengaruh pada nilai indeks bias sampel, sebagaimana

19 diperlihatkan gambar 12b. Setelah dipanaskan, indeks bias menjadi lebih kecil. Pada pemanasan C (sampel 2a), nilai indeks bias menjadi 80,105% nilai indeks bias sebelum dipanaskan (sampel 2). Sedangkan pada pemanasan C (sampel 2b), nilai indeks bias menjadi 76,663% nilai indeks bias sampel 2. Tabel 6b. Nilai indeks bias untuk sampel 2, 2a, dan 2b pada daerah λ = 650 nm Perbandingan Sampel n (%relatif terhadap sampel 2) a b Indeks bias λ (nm) Gambar 12b. Kurva indeks bias vs. panjang gelombang untuk sampel 2 sebelum dan setelah dikenai proses annealing. 2 2a 2b Secara fisis, sampel Cu 2 O tampak menjadi lebih terang dibandingkan sebelum dipanaskan. Hal ini merupakan indikasi berubahnya kerapatan sampel menjadi lebih renggang. Setelah proses annealing dilakukan, terjadi pertambahan volume akhir pada sampel sehingga sampel menjadi lebih renggang. Karena sampel menjadi lebih renggang, maka sudut bias menjadi lebih besar dibandingkan sebelum pemanasan. Sehingga, indeks bias akan mengecil. Konstanta Peredaman (k) Nilai konstanta peredaman bisa didapatkan dengan menerapkan hubungan antara koefisien absorbansi dan panjang gelombang pada persamaan (4). Persamaan tersebut bisa dituliskan kembali dalam bentuk sebagai berikut : αλ k =....(18) 4π Konstanta peredaman yang dihitung dengan persamaan (18) di atas ditampilkan dalam tabel L1, L2, L3, L4 dan L5 lampiran 1. Hasil tersebut ditampilkan dalam kurva hubungan antara konstanta peredaman terhadap panjang gelombang seperti gambar 13a dan 13b. Secara umum dapat dilihat bahwa secara umum nilai konstanta peredaman menurun untuk nilai panjang gelombang yang bertambah besar, yang merupakan karakteristik peredaman pada sampel. Pengaruh Ketebalan pada Konstanta Peredaman Hubungan antara konstanta peredaman terhadap panjang gelombang unutk ketebalan berbeda diperlihatkan pada gambar 13a. Dari gambar tersebut dapat diamati bahwa sampel dengan ketebalan yang lebih besar memiliki nilai konstanta peredaman yang lebih besar. Pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai konstanta peredaman sampel 2 menjadi % nilai konstanta peredaman sampel 1. Sedangkan konstanta peredaman sampel 3, menunjukkan nilai % dari sampel 1 (lihat tabel 7a). Tabel 7a. Nilai konstanta peredaman untuk sampel 1,2, dan 3 pada daerah λ = 650 nm Perbandingan Sampel k (%relatif terhadap sampel 1) E E E E-10 1E-10 8E-11 k3 6E-11 4E-11 2E λ (nm) Gambar 13a. Kurva hubungan antara konstanta peredaman vs. panjang gelombang untuk sampel 1,2, dan 3. Pada sampel lebih tebal, lebih banyak molekul yang terbentuk yang terlibat dalam proses penyerapan, sehingga semakin banyak fraksi energi yang bisa diserap atau

20 diredam oleh sampel. Oleh karena itu, nilai konstanta peredaman menjadi lebih besar. Pengaruh Pemanasan pada Konstanta Peredaman Pemanasan dengan proses annealing yang dilakukan mengakibatkan turunnya nilai konstanta peredaman seperti diperlihatkan pada gambar 13b. Pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai konstanta peredaman sampel 2a menjadi % nilai konstanta peredaman sampel 2. Dan, nilai konstanta peredaman sampel 2b menjadi % nilai konstanta peredaman sampel 2 (lihat tabel 7b). Akibat pemanasan, terjadi ekspansi volume akhir pada sampel yang mengakibatkan fraksi energi yang bisa diserap atau diredam oleh sampel menjadi semakin kecil. Akibatnya, nilai konstanta peredaman menjadi turun. Tabel 7b. Nilai konstanta peredaman untuk sampel 2, 2a, dan 2b pada daerah λ = 650 nm Perbandingan Sampel k (%relatif terhadap sampel 2) E a 2.144E b 1.853E k 9E-11 8E-11 7E-11 6E-11 5E-11 4E-11 3E-11 2E-11 1E λ (nm) Gambar 13b. Kurva hubungan antara konstanta peredaman vs. panjang gelombang untuk sampel 2, 2a, dan 2b. Band gap (Eg) Penentuan nilai band gap (celah energi) semikonduktor bisa dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara (αhυ) 2 terhadap hυ berdasarkan persamaan : 2 2a 2b dengan : A = konstanta n = bilangan yang tergantung sifat transisi. Dalam hal ini, n bernilai 1, yang mengacu pada transisi langsung dari pita valensi ke pita konduksi, karena nilai ini menghasilkan grafik linear terbaik antara (αhυ) 2 terhadap hυ. (2),(6) Hasil perhitungan ditampilkan pada tabel 3, 4, 5, 6 dan 7 lampiran 1, dan dalam bentuk kurva hubungan (αhυ) 2 terhadap hυ pada gambar 13a dan 13b. Dengan menarik garis linear pada kurva sehingga berpotongan dengan sumbu X (sumbu hυ) maka didapatkan nilai band gap pada titik perpotongan tersebut. Hasil perhitungan band gap ditampilkan pada gambar 12a dan 12b. Dari semua sampel didapatkan hasil nilai band gap sekitar 2,35 ev (semua sampel sebelum pemanasan) dan sekitar 2,42 ev (sampel 2 sesudah pemanasan). Hasil ini bersesuaian dengan nilai band gap Cu 2 O dari beberapa penelitian sebelumnya yaitu sekitar 2 ev; 2,1 ev; 2,2 ev; 2,35 ev; dan 2,45 ev. (8) (αhv)^2 1.2E-22 1E-22 8E-23 6E-23 4E-23 2E hv (ev) Gambar 14a. Kurva hubungan antara (αhv) 2 terhadap hv untuk sampel 1,2, dan3. Perpanjangan garis linear yang diambil yang memotong sumbu hv merupakan nilai band gap αhυ = A(hυ Eg) n/2...(19) 11

21 (αhv)^2 6E-23 5E-23 4E-23 3E-23 2E-23 1E hv (ev) Gambar 14b. Kurva hubungan antara (αhv) 2 terhadap hv untuk sampel 2 sebelum dan setelah dikenai proses annealing. Perpanjangan garis linear yang diambil yang memotong sumbu hv merupakan nilai band gap Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Ketebalan lapisan memberikan pengaruh terhadap beberapa sifat optik material antara lain absorbansi, transmitansi, reflektansi dan indeks bias. Semakin tebal dan rapat lapisan akan menyebabkan nilai absorbansi, reflektansi dan indeks bias semakin besar, dan nilai transmitansi semakin kecil. Jika dibandingkan pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai absorbansi pada sampel 1 sebesar 0,048, sampel 2 sebesar 0,148 (308,333 % nilai A sampel 1), dan pada sampel 3 sebesar 0,253 (527,083 % nilai A sampel 1). Nilai reflektansi sampel 1 sebesar 5,376 %, sampel 2 sebesar 15,666% (291,401% nilai R sampel 1), dan sampel 3 sebesar 25,269% (470,011% nilai R sampel 1). Nilai indeks bias sampel 1 sebesar 1,604, sampel 2 sebesar 2,310 (144,054% nilai n sampel 1), dan sampel 3 sebesar 3,022 (188,411% nilai n sampel 1). Nilai transmitansi sampel 1 sebesar 89,536%, sampel 2 sebesar 71,121% (79,433% nilai T 2 2a 2b sampel 1), dan sampel 3 sebesar 55,847% (62,373% nilai T sampel 1). Perlakuan panas juga merubah beberapa sifat optik yang dipelajari. Semakin panas suhu annealing yang diterapkan, menyebabkan nilai absorbansi, reflektansi dan indeks bias semakin kecil, sedangkan nilai transmitansi semakin besar. Jika dibandingkan pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai absorbansi pada sampel 2a sebesar 0,081 (54,730% nilai A sampel 2), dan pada sampel 2b sebesar 0,070 (47,230% nilai A sampel 2). Nilai reflektansi sampel 2a sebesar 8,904% (56,834% nilai R sampel 1), dan sampel 2b sebesar 7,743% (49,423% nilai R sampel 2). Nilai indeks bias sampel 2a sebesar 1,850 (80,105% nilai n sampel 2), dan sampel 2b sebesar 1,771 (76,663% nilai n sampel 2). Nilai transmitansi sampel 2a sebesar 82,985% (116,681% nilai T sampel 2), dan sampel 2b sebesar 85,114 (119,674% nilai T sampel 2). Nilai band gap semua sampel antara 2,35 ev sampai 2,42 ev yang mendekati nilai yang didapat dari beberapa penelitian sebelumnya. Saran Penelitian ini bisa dilanjutkan untuk oksida tembaga yang lain yaitu cuprit oxide, CuO, karena juga memiliki nilai band gap yang sesuai untuk aplikasi sel surya (sekitar 1,35 ev (8) ). Oksida ini bisa dibuat dengan metode serupa dengan perlakuan pemanasan (annealing) pada suhu di atas C. Selain itu, bisa pula dilakukan pengujian sampel pada sistem sel surya untuk menguji nilai efisiensi sel surya yang bisa dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA 1. Gratze, Michael Photoelectrochemical cells. insight review articles. NATURE. VOL 414 (2001) Georgieva, V., dan A. Tanusevski Optikal Band Gap Energy Determination of Thin Film of Cuprous Oxide. BPU-5: Fifth General Conference of the Balkan Physical Union, August 25-29, 12

22 2003, Vrjačka Banja, Serbia Montenegro Georgieva, V., dan A. Tanusevski. Ibid. 4. Wolfbauer, Georg The Electrochemistry of Dye Sensitized Solar Cells, their Sensitizers and their Redox Shuttles. Thesis. Department of Chemistry. Monash University Clayton Melbourne. Australia Hummel, Rolf E Electronic Properties of Materials, Third Edition. Springer Science+ Bussines Inc: Amerika Serikat. 6. Nadeem, M.Y., dan Waqas Ahmed Optikal Properties of ZnS Thin Films. Turk J Phy 24(2000), Petkov, P. et.al Optikal Band Gap of Gallium Containing Telluride Thin FilmS. Journal of Optoelectronics and Advanced Material. Vol. 5, No.5, 2003, p Serin, Necmi. et.al Annealing effects on the properties of copper oxide thin film prepared by chemical deposition. Semicond. Sci. Technol. 20 (2000) Ristov, M. et al Chemical deposition of Cu 2 O thin film. Elsevier Sequoia/Printed in Netherland USB 2000 Fiber Optic Spectrometer Operating Instructions. Ocean Optic, Inc. : USA. 11. Medina-Valtierra, Jorge. dkk Formation of copper oxide films on fiberglass by adsorption and reaction of cuprous ions. Thin Solid Films 460 (2004) Willard, Hobart H. dkk Instrumental Methods of Analysis, 7 th Edition. Wadsworth Publshing Company: Belmont, California, Amerika Serikat. 13. Hecht, Eugene Optics, Fourth Edition. Addison Wesley : San Francisco, Amerika Serikat. 13

23 14

24 Lampiran 1. Data pengukuran nilai A dan perhitungan nilai T, α, (αhv)^2, hv, R, n, k Tabel L1. Data pengukuran nilai A dan perhitungan nilai T, α, (αhv)^2, hv, R, n, k sampel 1 (tanpa annealing ) λ (nm) A T (%) α (αhv)^2 hv (ev) R n R(%) k E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E-11

25 lanjutan Tabel L E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E-11

26 Tabel L2. Data pengukuran nilai A dan perhitungan nilai T, α, (αhv)^2, hv, R, n, k sampel 2 sebelum annealing λ (nm) A T (%) α (αhv)^2 hv (ev) R n R(%) k E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E-12 2E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E-11

Pengaruh Ketebalan terhadap Sifat Optik Lapisan Semikonduktor Cu 2 O yang Dideposisikan dengan Metode Chemical Bath Deposition (CBD)

Pengaruh Ketebalan terhadap Sifat Optik Lapisan Semikonduktor Cu 2 O yang Dideposisikan dengan Metode Chemical Bath Deposition (CBD) Pengaruh Ketebalan terhadap Sifat Optik Lapisan Semikonduktor Cu 2 O yang Dideposisikan dengan Metode Chemical Bath Deposition (CBD) GERALD ENSANG TIMUDA Pusat Penelitian Fisika LIPI, Komplek PUSPIPTEK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan berkembangnya kehidupan manusia. Sehingga para peneliti terus berupaya untuk mengembangkan sumber-sumber energi

Lebih terperinci

SINTESIS LAPISAN TIPIS SEMIKONDUKTOR DENGAN BAHAN DASAR TEMBAGA (Cu) MENGGUNAKAN CHEMICAL BATH DEPOSITION

SINTESIS LAPISAN TIPIS SEMIKONDUKTOR DENGAN BAHAN DASAR TEMBAGA (Cu) MENGGUNAKAN CHEMICAL BATH DEPOSITION SINTESIS LAPISAN TIPIS SEMIKONDUKTOR DENGAN BAHAN DASAR TEMBAGA (Cu) MENGGUNAKAN CHEMICAL BATH DEPOSITION Yolanda Oktaviani, Astuti Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas e-mail: vianyolanda@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nanoteknologi adalah ilmu yang mempelajari, menciptakan dan merekayasa material berskala nanometer dimana terjadi sifat baru. Kata nanoteknologi berasal dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 - Juni 2011 di Laboratorium Biofisika dan Laboratorium Fisika Lanjut, Departemen Fisika IPB.

Lebih terperinci

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 3 Pendahuluan ZnO merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki lebar pita energi 3,37 ev pada suhu ruang dan 3,34 ev pada temperatur rendah dengan nilai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memasuki abad 21, persediaan minyak dan gas bumi semakin menipis. Sementara kebutuhan akan energi semakin meningkat, terutama dirasakan pada negara industri. Kebuthan

Lebih terperinci

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Henni Eka Wulandari Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Henni Eka Wulandari Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si SEMINAR TUGAS AKHIR Add Your Company Slogan STUDI AWAL FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) MENGGUNAKAN EKSTRAKSI BUNGA SEPATU SEBAGAI DYE SENSITIZERS DENGAN VARIASI LAMA ABSORPSI

Lebih terperinci

Karakterisasi XRD. Pengukuran

Karakterisasi XRD. Pengukuran 11 Karakterisasi XRD Pengukuran XRD menggunakan alat XRD7000, kemudian dihubungkan dengan program dikomputer. Puncakpuncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Listrik merupakan kebutuhan esensial yang sangat dominan kegunaannya

BAB I PENDAHULUAN. Listrik merupakan kebutuhan esensial yang sangat dominan kegunaannya λ Panjang Gelombang 21 ω Kecepatan Angular 22 ns Indeks Bias Kaca 33 n Indeks Bias Lapisan Tipis 33 d Ketebalan Lapisan Tipis 33 α Koofisien Absorpsi 36 Frekuensi Cahaya 35 υ BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEMANASAN TERHADAP SIFAT OPTIK LAPISAN TIPIS MnS YANG DITUMBUHKAN DENGAN METODE CHEMICAL BATH DEPOSITION DHONI SAPUTRA

PENGARUH SUHU PEMANASAN TERHADAP SIFAT OPTIK LAPISAN TIPIS MnS YANG DITUMBUHKAN DENGAN METODE CHEMICAL BATH DEPOSITION DHONI SAPUTRA PENGARUH SUHU PEMANASAN TERHADAP SIFAT OPTIK LAPISAN TIPIS MnS YANG DITUMBUHKAN DENGAN METODE CHEMICAL BATH DEPOSITION DHONI SAPUTRA DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

Distribusi Celah Pita Energi Titania Kotor

Distribusi Celah Pita Energi Titania Kotor Jurnal Nanosains & Nanoteknologi ISSN 1979-0880 Edisi Khusus, Agustus 009 Distribusi Celah Pita Energi Titania Kotor Indah Nurmawarti, Mikrajuddin Abdullah (a), dan Khairurrijal Kelompok Keahlian Fisika

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH SUHU SUBSTRAT TERHADAP SIFAT LISTRIK DAN OPTIK BAHAN SEMIKONDUKTOR LAPISAN TIPIS SnSe HASIL PREPARASI TEKNIK VAKUM EVAPORASI

STUDI PENGARUH SUHU SUBSTRAT TERHADAP SIFAT LISTRIK DAN OPTIK BAHAN SEMIKONDUKTOR LAPISAN TIPIS SnSe HASIL PREPARASI TEKNIK VAKUM EVAPORASI Studi Pengaruh Suhu Substrat. (Rully Fakhry Muhammad) 303 STUDI PENGARUH SUHU SUBSTRAT TERHADAP SIFAT LISTRIK DAN OPTIK BAHAN SEMIKONDUKTOR LAPISAN TIPIS SnSe HASIL PREPARASI TEKNIK VAKUM EVAPORASI STUDY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi yang terus meningkat dan semakin menipisnya cadangan minyak bumi dan gas alam menjadi pendorong bagi manusia untuk mencari sumber energi alternatif.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 11. Rangkaian pengukuran karakterisasi I-V.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 11. Rangkaian pengukuran karakterisasi I-V. 10 larutan elektrolit yang homogen. Pada larutan yang telah homogen dengan laju stirring yang sama ditambahkan larutan elektrolit KI+I 2 sebanyak 10 ml dengan konsentrasi 0.3 M tanpa annealing. Setelah

Lebih terperinci

ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN

ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN Tanggal Praktikum : Jumat, Oktober 010 Tanggal Pengumpulan Laporan : Jumat, 9 Oktober 010 Disusun oleh Nama : Annisa Hijriani Nim

Lebih terperinci

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi NURUL ROSYIDAH Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pendahuluan Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

Struktur dan konfigurasi sel Fotovoltaik

Struktur dan konfigurasi sel Fotovoltaik 9 Gambar 17. Struktur dan konfigurasi sel Fotovoltaik BST yang sudah mengalami proses annealing dipasang kontak di atas permukaan substrat silikon dan di atas film tipis BST. Pembuatan kontak ini dilakukan

Lebih terperinci

LAPORAN EKSPERIMEN FISIKA 2 FOTOKONDUKTIVITAS. Zudah Sima atul Kubro G DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

LAPORAN EKSPERIMEN FISIKA 2 FOTOKONDUKTIVITAS. Zudah Sima atul Kubro G DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM LAPORAN EKSPERIMEN FISIKA 2 FOTOKONDUKTIVITAS Rekan Kerja : 1. Aah Nuraisah 2. Mutiara Khairunnisa 3. Dedeh Nurhayati Zudah Sima atul Kubro G74120023 Asisten : Pramudya Wardhani (G74110008) Dadi Irawan

Lebih terperinci

BAB III METODE PELAKSANAAN. Metode penelitian yang dilakukan menggunakan eksperimen murni yang

BAB III METODE PELAKSANAAN. Metode penelitian yang dilakukan menggunakan eksperimen murni yang 25 BAB III METODE PELAKSANAAN Metode penelitian yang dilakukan menggunakan eksperimen murni yang dilakukan di laboratorium. Metode yang digunakan untuk penumbuhan film tipis LiTaO 3 adalah metode spin-coating.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan

Lebih terperinci

Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis

Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Kultivasi Spirulina fusiformis Pertumbuhan Spirulina fusiformis berlangsung selama 86 hari. Proses pertumbuhan diketahui dengan mengukur nilai kerapatan optik (Optical Density).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lapisan tipis adalah suatu lapisan yang sangat tipis terbuat dari bahan organik,

I. PENDAHULUAN. Lapisan tipis adalah suatu lapisan yang sangat tipis terbuat dari bahan organik, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lapisan tipis adalah suatu lapisan yang sangat tipis terbuat dari bahan organik, inorganik, logam maupun campuran metal organik dan memiliki sifat-sifat konduktor, semikonduktor

Lebih terperinci

Xpedia Fisika. Optika Fisis - Soal

Xpedia Fisika. Optika Fisis - Soal Xpedia Fisika Optika Fisis - Soal Doc. Name: XPFIS0802 Version: 2016-05 halaman 1 01. Gelombang elektromagnetik dapat dihasilkan oleh. (1) muatan listrik yang diam (2) muatan listrik yang bergerak lurus

Lebih terperinci

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS SKRIPSI Oleh : Ahsanal Holikin NIM 041810201063 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

F- 1. PENGARUH PENYISIPAN LOGAM Fe PADA LAPISAN TiO 2 TERHADAP PERFORMANSI SEL SURYA BERBASIS TITANIA

F- 1. PENGARUH PENYISIPAN LOGAM Fe PADA LAPISAN TiO 2 TERHADAP PERFORMANSI SEL SURYA BERBASIS TITANIA PENGARUH PENYISIPAN LOGAM Fe PADA LAPISAN TiO 2 TERHADAP PERFORMANSI SEL SURYA BERBASIS TITANIA Rita Prasetyowati, Sahrul Saehana, Mikrajuddin Abdullah (a), dan Khairurrijal Kelompok Keahlian Fisika Material

Lebih terperinci

Pengaruh Optis Kontak Belakang terhadap Parameter Optis Lapisan a-si:h

Pengaruh Optis Kontak Belakang terhadap Parameter Optis Lapisan a-si:h JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA VOLUME 8, NOMOR 2 JUNI 2012 Pengaruh Optis Kontak Belakang terhadap Parameter Optis Lapisan a-si:h Ismail dan Eddy Yahya Jurusan Fisika-FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan sumber energi merupakan masalah yang harus segera diselesaikan oleh masing-masing negara termasuk Indonesia. Untuk itu perlu dikembangkan suatu teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi cahaya (foton) menjadi energi listrik tanpa proses yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. energi cahaya (foton) menjadi energi listrik tanpa proses yang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sel surya merupakan suatu piranti elektronik yang mampu mengkonversi energi cahaya (foton) menjadi energi listrik tanpa proses yang menyebabkan dampak buruk terhadap

Lebih terperinci

PEMBUATAN SEL SURYA HYBRID p-n HETEROJUNCTION CADMIUM SULFIDE DAN CAMPURAN POLY(3-HEXYLTHIOPHENE)/KITOSAN SYAFWA OKTAWANDI

PEMBUATAN SEL SURYA HYBRID p-n HETEROJUNCTION CADMIUM SULFIDE DAN CAMPURAN POLY(3-HEXYLTHIOPHENE)/KITOSAN SYAFWA OKTAWANDI PEMBUATAN SEL SURYA HYBRID p-n HETEROJUNCTION CADMIUM SULFIDE DAN CAMPURAN POLY(3-HEXYLTHIOPHENE)/KITOSAN SYAFWA OKTAWANDI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur fungsional, maupun piranti alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur fungsional, maupun piranti alam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur fungsional, maupun piranti alam skala nanometer. Material berukuran nanometer memiliki

Lebih terperinci

Homogenitas Ketebalan, Konduktivitas Listrik dan Band Gap Lapisan Tipis a-si:h tipe-p dan tipe-p Doping Delta yang dideposisi dengan Sistem PECVD

Homogenitas Ketebalan, Konduktivitas Listrik dan Band Gap Lapisan Tipis a-si:h tipe-p dan tipe-p Doping Delta yang dideposisi dengan Sistem PECVD JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA VOLUME 8, NOMOR JANUARI 202 Homogenitas Ketebalan, Konduktivitas Listrik dan Band Gap Lapisan Tipis a-si:h tipe-p dan tipe-p Doping Delta yang dideposisi dengan Sistem PECVD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sel surya merupakan alat yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sel surya merupakan alat yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sel surya merupakan alat yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik DC secara langsung. Sel surya telah diaplikasikan dalam berbagai bidang, salah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ARUS DAN TEGANGAN SEL SURYA

KARAKTERISTIK ARUS DAN TEGANGAN SEL SURYA LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA EKSPERIMEN II KARAKTERISTIK ARUS DAN TEGANGAN SEL SURYA Oleh : 1. Riyanto H1C004006 2. M. Teguh Sutrisno H1C004007 3. Indri Kurniasih H1C004003 4. Gita Anggit H1C004014 Tanggal

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 12 Fisika

Antiremed Kelas 12 Fisika Antiremed Kelas 12 Fisika Optika Fisis - Latihan Soal Doc Name: AR12FIS0399 Version : 2012-02 halaman 1 01. Gelombang elektromagnetik dapat dihasilkan oleh. (1) Mauatan listrik yang diam (2) Muatan listrik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Energi cahaya matahari dapat dikonversi menjadi energi listrik melalui suatu sistem yang disebut sel surya. Peluang dalam memanfaatkan energi matahari masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karena tidak akan ada kehidupan di permukaan bumi tanpa energi matahari maka sebenarnya pemanfaatan energi matahari sudah berusia setua kehidupan itu sendiri.

Lebih terperinci

Gambar dibawah memperlihatkan sebuah image dari mineral Beryl (kiri) dan enzim Rubisco (kanan) yang ditembak dengan menggunakan sinar X.

Gambar dibawah memperlihatkan sebuah image dari mineral Beryl (kiri) dan enzim Rubisco (kanan) yang ditembak dengan menggunakan sinar X. EKO NURSULISTIYO Gambar dibawah memperlihatkan sebuah image dari mineral Beryl (kiri) dan enzim Rubisco (kanan) yang ditembak dengan menggunakan sinar X. Struktur gambar tersebut disebut alur Laue (Laue

Lebih terperinci

FOTOVOLTAIK PASANGAN ELEKTRODA CUO/CU DAN CUO/STAINLESS STEEL MENGGUNAKAN METODE PEMBAKARAN DALAM BENTUK TUNGGAL DAN SERABUT DENGAN ELEKTROLIT NA2SO4

FOTOVOLTAIK PASANGAN ELEKTRODA CUO/CU DAN CUO/STAINLESS STEEL MENGGUNAKAN METODE PEMBAKARAN DALAM BENTUK TUNGGAL DAN SERABUT DENGAN ELEKTROLIT NA2SO4 FOTOVOLTAIK PASANGAN ELEKTRODA CUO/CU DAN CUO/STAINLESS STEEL MENGGUNAKAN METODE PEMBAKARAN DALAM BENTUK TUNGGAL DAN SERABUT DENGAN ELEKTROLIT NA2SO4 Olly Norita Tetra*, Admin Alif dan Riana Marta Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 7 3. Pengenceran Proses pengenceran dilakukan dengan menambahkan 0,5-1 ml akuades secara terus menerus setiap interval waktu tertentu hingga mencapai nilai transmisi yang stabil (pengenceran hingga penambahan

Lebih terperinci

DAN KONSENTRASI SAMPEL

DAN KONSENTRASI SAMPEL PERANCANGAN SENSOR ph MENGGUNAKAN FIBER OPTIK BERDASARKAN VARIASI KETEBALAN REZA ADINDA ZARKASIH NRP. 1107100050 DAN KONSENTRASI SAMPEL DOSEN PEMBIMBING : DRS. HASTO SUNARNO,M.Sc Jurusan Fisika Fakultas

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN LAPISAN TIPIS TEMBAGA OKSIDA SEBAGAI BEAM DIVIDER PADA PERANGKAT PRAKTIKUM FISIKA (OPTIKA) DI MADRASAH/SEKOLAH

PENGEMBANGAN LAPISAN TIPIS TEMBAGA OKSIDA SEBAGAI BEAM DIVIDER PADA PERANGKAT PRAKTIKUM FISIKA (OPTIKA) DI MADRASAH/SEKOLAH PENGEMBANGAN LAPISAN TIPIS TEMBAGA OKSIDA SEBAGAI BEAM DIVIDER PADA PERANGKAT PRAKTIKUM FISIKA (OPTIKA) DI MADRASAH/SEKOLAH Bebeh Wahid Nuryadin Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan

Lebih terperinci

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT Desi Eka Martuti, Suci Amalsari, Siti Nurul Handini., Nurul Aini Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jenderal

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI

SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI Oleh Yuda Anggi Pradista NIM 101810301025 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

I. KEASAMAN ION LOGAM TERHIDRAT

I. KEASAMAN ION LOGAM TERHIDRAT I. KEASAMAN ION LOGAM TERHIDRAT Tujuan Berdasarkan metode ph-metri akan ditunjukkan bahwa ion metalik terhidrat memiliki perilaku seperti suatu mono asam dengan konstanta keasaman yang tergantung pada

Lebih terperinci

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Ana Thoyyibatun Nasukhah Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Ana Thoyyibatun Nasukhah Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si SEMINAR TUGAS AKHIR Add Your Company Slogan FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN MENGGUNAKAN EKTRAKSI DAGING BUAH NAGA MERAH (HYLOCEREUS POLYRHIZUS) SEBAGAI DYE SENSITIZER

Lebih terperinci

PENENTUAN PANJANG GELOMBANG EMISI PADA NANOPARTIKEL CdS DAN ZnS BERDASARKAN VARIASI KONSENTRASI MERCAPTO ETHANOL

PENENTUAN PANJANG GELOMBANG EMISI PADA NANOPARTIKEL CdS DAN ZnS BERDASARKAN VARIASI KONSENTRASI MERCAPTO ETHANOL PENENTUAN PANJANG GELOMBANG EMISI PADA NANOPARTIKEL CdS DAN ZnS BERDASARKAN VARIASI KONSENTRASI MERCAPTO ETHANOL Muhammad Salahuddin 1, Suryajaya 2, Edy Giri R. Putra 3, Nurma Sari 2 Abstrak:Pada penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan eksperimental. B. Tempat dan Waktu Tempat penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan

Lebih terperinci

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL 3 2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL Pendahuluan Bahan semikonduktor titanium oxide (TiO 2 ) merupakan material yang banyak digunakan dalam berbagai

Lebih terperinci

abc A abc a = koefisien ekstingsi (absorpsivitas molar) yakni tetap b = lebar kuvet (jarak tempuh optik)

abc A abc a = koefisien ekstingsi (absorpsivitas molar) yakni tetap b = lebar kuvet (jarak tempuh optik) I. NOMOR PERCOBAAN : 6 II. NAMA PERCOBAAN : Penentuan Kadar Protein Secara Biuret III. TUJUAN PERCOBAAN : Menentukan jumlah absorban protein secara biuret dalam spektroskopi IV. LANDASAN TEORI : Protein

Lebih terperinci

SURFACE PLASMON RESONANCE

SURFACE PLASMON RESONANCE SURFACE PLASMON RESONANCE Pribadi Mumpuni Adhi, Rahmat Mukti Ibrahim, Panji Achmari, Almas Hilman Muhtadi, Zamzam Ibnu Sina 10208069, 10208043, 10208040, 10208068, 10208098 Program Studi Fisika, Institut

Lebih terperinci

BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK

BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK I. SOAL PILIHAN GANDA Diketahui c = 0 8 m/s; µ 0 = 0-7 Wb A - m - ; ε 0 = 8,85 0 - C N - m -. 0. Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut : () Di udara kecepatannya cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar sumber energi yang dieksploitasi di Indonesia berasal dari energi fosil berupa

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar sumber energi yang dieksploitasi di Indonesia berasal dari energi fosil berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi merupakan masalah terbesar pada abad ini. Hal ini dikarenakan pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia sehingga kebutuhan manusia akan sumber energi pun meningkat.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakterisasi luas permukaan fotokatalis menggunakan SAA (Surface Area

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakterisasi luas permukaan fotokatalis menggunakan SAA (Surface Area BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini akan dibahas mengenai preparasi ZnO/C dan uji aktivitasnya sebagai fotokatalis untuk mendegradasi senyawa organik dalam limbah, yaitu fenol. Penelitian ini

Lebih terperinci

Kumpulan Soal Fisika Dasar II.

Kumpulan Soal Fisika Dasar II. Kumpulan Soal Fisika Dasar II http://personal.fmipa.itb.ac.id/agussuroso http://agussuroso102.wordpress.com Topik Gelombang Elektromagnetik Interferensi Difraksi 22-04-2017 Soal-soal FiDas[Agus Suroso]

Lebih terperinci

HASIL KELUARAN SEL SURYA DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER CAHAYA LIGHT EMITTING DIODE

HASIL KELUARAN SEL SURYA DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER CAHAYA LIGHT EMITTING DIODE HASIL KELUARAN SEL SURYA DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER CAHAYA LIGHT EMITTING DIODE A. Handjoko Permana *), Ari W., Hadi Nasbey Universitas Negeri Jakarta, Jl. Pemuda No. 10 Rawamangun, Jakarta 13220 * ) Email:

Lebih terperinci

Pembuatan Sel Surya Film Tipis dengan DC Magnetron Sputtering

Pembuatan Sel Surya Film Tipis dengan DC Magnetron Sputtering Pembuatan Sel Surya Film Tipis dengan DC Magnetron Sputtering Desty Anggita Tunggadewi 1, Fitria Hidayanti 1 1 Program Studi Teknik Fisika, Fakultas Teknik dan Sains, Universitas Nasional dtunggadewi@yahoo.co.id,

Lebih terperinci

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER)

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER) MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER) Oleh: Kusnanto Mukti / M0209031 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012 I. Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Zeniar Rossa Pratiwi,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Zeniar Rossa Pratiwi,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebutuhan akan energi yang terus meningkat memaksa manusia untuk mencari sumber-sumber energi terbarukan. Sampai saat ini sebagian besar sumber energi berasal

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI PREKURSOR TERHADAP SIFAT OPTOELEKTRONIK Mn 3O 4

PENGARUH KONSENTRASI PREKURSOR TERHADAP SIFAT OPTOELEKTRONIK Mn 3O 4 PENGARUH KONSENTRASI PREKURSOR TERHADAP SIFAT OPTOELEKTRONIK Mn 3O 4 Amiruddin Zainuddin *), Subaer, Abdul Haris Pusat Penelitian Geopolimer - Lab. Fisika Material Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan nanoteknologi terus dilakukan oleh para peneliti dari dunia akademik maupun dari dunia industri. Para peneliti seolah berlomba untuk mewujudkan karya baru

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS DISUSUN OLEH : NAMA : FEBRINA SULISTYORINI NIM : 09/281447/PA/12402 KELOMPOK : 3 (TIGA) JURUSAN : KIMIA FAKULTAS/PRODI

Lebih terperinci

KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2

KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2 KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2 Hendri, Elvaswer Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis, Padang,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Material Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor dimulai bulan Mei 2010 sampai Bulan Mei 2011 3.2.

Lebih terperinci

RANCANGAN SOFTWARE UNTUK DESAIN KRISTAL FOTONIK SATU DIMENSI BERBASIS GRAPHICAL USER INTERFACE DICKY ARDIYANTO WIBOWO

RANCANGAN SOFTWARE UNTUK DESAIN KRISTAL FOTONIK SATU DIMENSI BERBASIS GRAPHICAL USER INTERFACE DICKY ARDIYANTO WIBOWO RANCANGAN SOFTWARE UNTUK DESAIN KRISTAL FOTONIK SATU DIMENSI BERBASIS GRAPHICAL USER INTERFACE DICKY ARDIYANTO WIBOWO DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Laporan Kimia Analitik KI-3121

Laporan Kimia Analitik KI-3121 Laporan Kimia Analitik KI-3121 PERCOBAAN 5 SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM Nama : Kartika Trianita NIM : 10510007 Kelompok : 1 Tanggal Percobaan : 19 Oktober 2012 Tanggal Laporan : 2 November 2012 Asisten

Lebih terperinci

SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1

SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1 SOAL DAN PEMBAHASAN FINAL SESI I LIGA FISIKA PIF XIX TINGKAT SMA/MA SEDERAJAT PAKET 1 1. Terhadap koordinat x horizontal dan y vertikal, sebuah benda yang bergerak mengikuti gerak peluru mempunyai komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan yaitu eksperimen. Pembuatan serbuk CSZ menggunakan cara sol gel. Pembuatan pelet dilakukan dengan cara kompaksi dan penyinteran dari serbuk calcia-stabilized

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang yang kaya akan radiasi matahari yang tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang yang kaya akan radiasi matahari yang tinggi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara berkembang yang kaya akan radiasi matahari yang tinggi, sudah seharusnya Indonesia memanfaatkannya sebagai energi listrik dengan menggunakan sel surya.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini diulas dalam tiga subbab. Karakterisasi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari 3 macam, yaitu SEM-EDS, XRD dan DRS. Karakterisasi

Lebih terperinci

PEMBUATAN SUMBER TENAGA LISTRIK CADANGAN MENGGUNAKAN SOLAR CELL, BATERAI DAN INVERTER UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA. Skripsi.

PEMBUATAN SUMBER TENAGA LISTRIK CADANGAN MENGGUNAKAN SOLAR CELL, BATERAI DAN INVERTER UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA. Skripsi. PEMBUATAN SUMBER TENAGA LISTRIK CADANGAN MENGGUNAKAN SOLAR CELL, BATERAI DAN INVERTER UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA Skripsi Diajukan Oleh ANDA ANDYCKA S NIM. 090821016 DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Optik dan Fotonik, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Terpadu FMIPA UNS Jl. Ir. Sutami

Lebih terperinci

BAB I 1 PENDAHULUAN. kemampuan mengubah bentuk radiasi cahaya menjadi sinyal listrik. Radiasi yang

BAB I 1 PENDAHULUAN. kemampuan mengubah bentuk radiasi cahaya menjadi sinyal listrik. Radiasi yang BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Fotodiode merupakan sebuah peranti semikonduktor yang memiliki kemampuan mengubah bentuk radiasi cahaya menjadi sinyal listrik. Radiasi yang dapat diterima

Lebih terperinci

Oleh: Tyas Puspitaningrum, Tjipto Sujitno, dan Ariswan

Oleh: Tyas Puspitaningrum, Tjipto Sujitno, dan Ariswan Penentuan Band Gap... (Tyas Puspitaningrum) 166 PENENTUAN BAND GAP DAN KONDUKTIVITAS BAHAN SEMIKONDUKTOR LAPISAN TIPIS Sn(S 0,8 Te 0,2 ) DAN Sn(S 0,6 Te 0,4 ) HASIL PREPARASI DENGAN TEKNIK EVAPORASI TERMAL

Lebih terperinci

FABRIKASI KRISTAL FOTONIK ASIMETRIK SATU DIMENSI DENGAN DEFEK GEOMETRIS TAHYUDI

FABRIKASI KRISTAL FOTONIK ASIMETRIK SATU DIMENSI DENGAN DEFEK GEOMETRIS TAHYUDI FABRIKASI KRISTAL FOTONIK ASIMETRIK SATU DIMENSI DENGAN DEFEK GEOMETRIS TAHYUDI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 28 Tahyudi (G741328). FABRIKASI

Lebih terperinci

LAMPU TENAGA SINAR MATAHARI. Tugas Projek Fisika Lingkungan. Drs. Agus Danawan, M. Si. M. Gina Nugraha, M. Pd, M. Si

LAMPU TENAGA SINAR MATAHARI. Tugas Projek Fisika Lingkungan. Drs. Agus Danawan, M. Si. M. Gina Nugraha, M. Pd, M. Si LAMPU TENAGA SINAR MATAHARI Tugas Projek Fisika Lingkungan disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fisika Lingkungan yang diampu oleh Drs. Agus Danawan, M. Si M. Gina Nugraha, M. Pd, M. Si

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di lab. Fisika Material, Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas Lampung. Analisis XRD di Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA DASAR

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA DASAR LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA DASAR KECEPATAN REAKSI Disusun Oleh : 1. Achmad Zaimul Khaqqi (132500030) 2. Dinda Kharisma Asmara (132500014) 3. Icha Restu Maulidiah (132500033) 4. Jauharatul Lailiyah (132500053)

Lebih terperinci

PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI

PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI Oleh: ALETTA ANGGRAINI KANDI G74102025 PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

STUDI EFEK FOTOVOLTAIK DAN PIROELEKTRIK Ba 0,75 Sr 0,25 TIO 3 (BST) YANG DIDADAH GALIUM (BGST) DI ATAS SUBSTRAT SI (100) TIPE-P ERDIANSYAH PRATAMA

STUDI EFEK FOTOVOLTAIK DAN PIROELEKTRIK Ba 0,75 Sr 0,25 TIO 3 (BST) YANG DIDADAH GALIUM (BGST) DI ATAS SUBSTRAT SI (100) TIPE-P ERDIANSYAH PRATAMA STUDI EFEK FOTOVOLTAIK DAN PIROELEKTRIK Ba 0,75 Sr 0,25 TIO 3 (BST) YANG DIDADAH GALIUM (BGST) DI ATAS SUBSTRAT SI (100) TIPE-P ERDIANSYAH PRATAMA DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Spektrofotometer UV /VIS

Spektrofotometer UV /VIS Spektrofotometer UV /VIS Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan gabungan dari alat optic dan elektronika

Lebih terperinci

pembuatan sensor kristal fotonik pendeteksi gas ozon. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Transmitansi (%) Panjang gelombang (nm)

pembuatan sensor kristal fotonik pendeteksi gas ozon. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Transmitansi (%) Panjang gelombang (nm) 6 3.3.3. Pengenceran dan pembuatan kurva kalibrasi a) Optimalisasi alat spektrofotometer sesuai dengan petunjuk penggunaan alat. b) Larutan penjerap 1 ml yang sudah dilakukan penjerapan dibagi dua, 5 ml

Lebih terperinci

PREPARASI DAN KARAKTERISASI SIFAT OPTIK NANOPARTIKEL Cu 2O DENGAN METODE KOPRESIPITASI

PREPARASI DAN KARAKTERISASI SIFAT OPTIK NANOPARTIKEL Cu 2O DENGAN METODE KOPRESIPITASI PREPARASI DAN KARAKTERISASI SIFAT OPTIK NANOPARTIKEL Cu 2O DENGAN METODE KOPRESIPITASI Pintor Simamora dan Sinta Marito Siagian Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Medan Email : siagian.sinta@yahoo.co.id

Lebih terperinci

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK PERCOBAAN 3 PENENTUAN BILANGAN KOORDINAI KOMPLEKS TEMBAGA (II)

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK PERCOBAAN 3 PENENTUAN BILANGAN KOORDINAI KOMPLEKS TEMBAGA (II) LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK PERCOBAAN 3 PENENTUAN BILANGAN KOORDINAI KOMPLEKS TEMBAGA (II) OLEH : NAMA : IMENG NIM: ACC 109 011 KELOMPOK : 2 ( DUA ) HARI, TANGGAL : RABU, 8 JUNI 2011 ASISTEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dikawasan Asia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dikawasan Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dikawasan Asia Tenggara. Sebagai negara berkembang, Indonesia melakukan swasembada diberbagai bidang, termasuk

Lebih terperinci

Gravitasi Vol. 15 No. 1 ISSN:

Gravitasi Vol. 15 No. 1 ISSN: STUDI PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN DAUN PEPAYA TERHADAP SIFAT OPTIK DAN LISTRIK SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN LAPISAN TIPIS Ummu kalsum 1, Iqbal 2 dan Dedy Farhamsa 2 1 Jurusan Fisika Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK Nama : Idatul Fitriyah NIM : 4301412036 Jurusan : Kimia Prodi : Pendidikan Kimia Dosen : Ella Kusumastuti Kelompok : 7 Tgl Praktikum : 21 Maret 2014 Kawan Kerja : 1. Izza

Lebih terperinci

Gambar Semikonduktor tipe-p (kiri) dan tipe-n (kanan)

Gambar Semikonduktor tipe-p (kiri) dan tipe-n (kanan) Mekanisme Kerja Devais Sel Surya Sel surya merupakan suatu devais semikonduktor yang dapat menghasilkan listrik jika diberikan sejumlah energi cahaya. Proses penghasilan energi listrik itu diawali dengan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kupang, September Tim Penyusun

KATA PENGANTAR. Kupang, September Tim Penyusun KATA PENGANTAR Puji syukur tim panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-nya tim bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Optika Fisis ini. Makalah ini diajukan guna memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Graphene merupakan susunan atom-atom karbon monolayer dua dimensi yang membentuk struktur kristal heksagonal menyerupai sarang lebah. Graphene memiliki sifat

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 12 Fisika

Antiremed Kelas 12 Fisika Antiremed Kelas 12 Fisika Persiapan UAS 1 Doc. Name: AR12FIS01UAS Version: 2016-09 halaman 1 01. Sebuah bola lampu yang berdaya 120 watt meradiasikan gelombang elektromagnetik ke segala arah dengan sama

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN PENGGUNAAN SEL SILIKON SEBAGAI PENGUBAH ENERGI MATAHARI MENJADI ENERGI LISTRIK

STUDI KELAYAKAN PENGGUNAAN SEL SILIKON SEBAGAI PENGUBAH ENERGI MATAHARI MENJADI ENERGI LISTRIK 92 dari pelat kaca dan tertutup dari pelat kaca. Untuk dioda silikon yang sambungannya paralel terbuka dari pelat kaca besarnya adalah 352 x 10-4 Joule pada temperatur pengamatan 39 o C, sedangkan yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis. 33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi TiO2 Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis. TiO2 dapat ditemukan sebagai rutile dan anatase yang mempunyai fotoreaktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi listrik. Pemanfaatan energi listrik terus berkembang tidak hanya berfokus

BAB I PENDAHULUAN. energi listrik. Pemanfaatan energi listrik terus berkembang tidak hanya berfokus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring pertumbuhan penduduk di dunia yang semakin meningkat, kebutuhan akan sumber energi meningkat pula. Termasuk kebutuhan akan sumber energi listrik. Pemanfaatan

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH ILMU MATERIAL UMUM THERMAL PROPERTIES

TUGAS MATA KULIAH ILMU MATERIAL UMUM THERMAL PROPERTIES TUGAS MATA KULIAH ILMU MATERIAL UMUM THERMAL PROPERTIES Nama Kelompok: 1. Diah Ayu Suci Kinasih (24040115130099) 2. Alfiyan Hernowo (24040115140114) Mata Kuliah Dosen Pengampu : Ilmu Material Umum : Dr.

Lebih terperinci

PEMBUATAN KONDUKTOR TRANSPARAN THIN FILM SnO2 DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SPRAY PYROLYSIS

PEMBUATAN KONDUKTOR TRANSPARAN THIN FILM SnO2 DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SPRAY PYROLYSIS PEMBUATAN KONDUKTOR TRANSPARAN THIN FILM SnO2 DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SPRAY PYROLYSIS Syuhada, Dwi Bayuwati, Sulaiman Pusat Penelitian Fisika-LIPI, Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314 e-mail: hadda212@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modern pada fotokonduktor ultraviolet (UV) membutuhkan material

BAB I PENDAHULUAN. modern pada fotokonduktor ultraviolet (UV) membutuhkan material BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengembangan material semikonduktor tidak lepas dari perkembangan piranti elektronik diantaranya fotokonduktor ultraviolet (UV). Tuntutan aplikasi modern pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa dalam penerapan nanosains dan nanoteknologi di dunia industri. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa dalam penerapan nanosains dan nanoteknologi di dunia industri. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan sains dan teknologi pada bidang material dewasa ini sedang mengarah pada revolusi nanopartikel dimana dalam periode ini tejadi percepatan luar

Lebih terperinci