BAB III GAMBARAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD)
|
|
- Teguh Cahyadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB III GAMBARAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD) Pada bab ini akan dijelaskan mengenai gambaran umum kawasan TNBD yang meliputi sejarah pembentukan TNBD dan usulan penataan zona di kawasan TNBD berdasarkan RPTNBD. 3.1 Sejarah TNBD Kawasan TNBD semula merupakan Cagar Biosfer Bukit Dua Belas yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 46/Kpts-II/1987 tanggal 12 Februari 1997 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Jambi seluas ± ha, diantaranya Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata seluas ha, dimana kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas termasuk didalamnya dengan fungsi HSAW seluas ± ha. Tujuan awalnya diusulkan sebagai cagar biosfer adalah untuk mempertahankan kawasan hidup Orang Rimba, yang sebagian besar terkonsentrasi di sana. Namun, surat usulan itu tidak ada tindak lanjut, karena pembentukan cagar biosfer belum diatur dalam peraturan pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam perkembangannya, di sebagian Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap disekitar Cagar Biosfer Bukit Duabelas telah dicadangkan untuk beberapa kagiatan antara lain: 1. Pembangunan HTI PT. Sumber Hutan Lestari dengan sistem tebang habis ± ha, dimana sebagian kawasannya adalah kawasan hutan produksi terbatas. 2. Pembangunan HTI Rotan PT. Inhutani V seluas ± ha letaknya berbatasan langsung dengan Cagar Alam Biosfer Bukit Duabelas, dan 500 ha diantaranya telah berupa tanaman rotan. 3. PT. Limbah Kayu Utama (HTI-Pertukangan) seluas ± ha (SK Menhut No. 327/Kpts-II/1998 yang letaknya cukup jauh dari Cagar Biosfer Bukit Dua Belas. 4. PT. Wana Perintis (HTI-Trans) seluas ± ha (SK. Menhut No. 781/Kpts- II/1996) telah ada pemukiman transmigrasi. 87
2 88 5. Disamping itu terdapat juga kegiatan pemanfaatan kayu dengan IPK yang dikeluarkan oleh Kanwil Dephutbun Prop. Jambi. Setelah pencadangan tersebut muncul masalah dimana areal tersebut merupakan wilayah hak ulayat adat/wilayah pengembaraan komunitas adat Orang Rimba. Akibat konversi hutan alam menjadi Hutan Tanaman Industri yang menggunakan Sistem Tebang Habis dengan Permudaan Buatan, telah menyebabkan komunitas adat Orang Rimba kehilangan sumber daya alam yang menjadi sumber kehidupannya. Kekhawatiran terhadap dampak negatif dari pembangunan HTI terhadap kehidupan Komunitas adat Orang Rimba, telah mendorong Komunitas adat Orang Rimba besama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mengusulkan penghentian kegiatan pembangunan HTI menjadi perluasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas. Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 781/Kpts-VIII/1999 tanggal 27 September 1999 membentuk Tim Peninjau Lapangan Terhadap Kawasan Hutan yang diusulkan untuk Perluasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas dengan tugas untuk melakukan pengumpulan data dan informasi yang lengkap dan obyektif atas aspek ekonomi, sosial dan ekologi terhadap kawasan hutan yang diusulkan untuk perluasan Cagar Alam Biosfer tersebut. Hasil akhir dari proses tersebut adalah telah dilakukan perubahan fungsi sebagian Hutan Produksi Terbatas Serengam Hulu seluas ± ha (dua puluh ribu tujuh ratus hektar) dan sebagian Hutan Produksi Tetap Serengam Hilir ± 11,400 ha (sebelas ribu empat ratus hektar) serta penunjukan sebagian Areal Penggunaan lainnya seluas ± ha (seribu dua ratus hektar) dan kawasan Suaka Alam dan pelestarian alam (Cagar Biosfir Bukit Dua Belas) seluas ± ha (dua puluh tujuh ribu tiga ratus hektar) yang terletak di Kab. Sarolangon Bangko, Batanghari dan Bungo Tebo, Prop. Jambi menjadi Taman Nasional Bukit Dua Belas seluas ± ha melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 258/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus Sejarah TNBD dapat dilihat dalam tabel 3.1.
3 89 TABEL III.1 SEJARAH TNBD NO. TAHUN STATUS LUAS (HA) LANDASAN HUKUM 1. Sebelum Kawasan hutan yang termasuk Tidak areal Hak Pengusahaan Hutan Diketahui (HPH) Cagar Biosfer Bukit Duabelas SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi No /1973/ Taman Nasional Bukit Duabelas SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 258/Kpts-II/2000 Sumber: Hasil Analisis, 2007 GAMBAR 3.1 KAWASAN TNBD Sumber: Hasil survei, 2007
4 Usulan Penataan Zona Di Kawasan TNBD Berdasarkan RPTNBD Sesuai dengan yang dijelaskan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, penataan zona di kawasan TNBD mengacu pada sistem zonasi tunggal dengan beberapa tipe zona Pertimbangan dan Kriteria Penetapan Tipe Zona Dalam penetapan sistem zonasi TNBD, faktor-faktor pertimbangan dan ukuran/kriteria yang dipakai adalah sebagai berikut: a. Aspek-Aspek Pertimbangan Aspek-aspek penting yang dipertimbangkan dalam perancangan tipe zona meliputi: Daya tahan ekosistem kawasan terhadap gangguan. Penyebaran sumber daya alam Tekanan dan ancaman (eksisting dan potensial) terhadap ruang dan sumber daya alam TNBD. Fungsi hidrologi kawasan terhadap kawasan bawahan. Kebutuhan ruang kehidupan dan penghidupan komunitas adat Orang Rimba. Potensi perolehan manfaat ekonomi dan sosial bagi warga masyarakat desa interaksi. Kelayakan penerapan. b. Kriteria Penentuan Ukuran atau kriteria yang dipakai dalam perancangan pembagian tipe zona adalah sebagai berikut: 1. Zona Inti Areal kawasan dengan ekosistem yang rapuh dan sangat rentan terhadap gangguan. Areal kawasan dengan ekosistem yang merupakan perwakilan semua ekosistem kawasan. Areal kawasan yang memiliki sumberdaya utama bagi kehidupan fauna. Areal kawasan habitat/tempat berlindung satwa yang terancam punah.
5 91 Areal kawasan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi kawasan bawahan. Areal kawasan yang memiliki nilai sakral bagi komunitas adat Orang Rimba, dan ditabukan/tertutup untuk pengunjung dari luar. 2. Zona Rimba Areal kawasan dengan ekosistem yang peka terhadap gangguan. Areal kawasan dengan ekosistem yang merupakan perwakilan sebagian besar ekosistem kawasan. Areal kawasan yang memiliki sumberdaya utama bagi kehidupan fauna kawasan. Areal kawasan habitat sebagian besar species yang ada di dalam kawasan. Areal kawasan habitat/tempat berlindung species satwa yang toleran terhadap ganguan terbatas. Areal kawasan habitat cadangan sumber genetik/plasma nutfah penting. Areal kawasan yang merupakan daerah tangkapan air bagi kawasan bawahan. Areal kawasan yang merupakan ruang kehidupan dan penghidupan komunitas adat Orang Rimba. 3. Zona Pemanfaatan Areal kawasan perladangan/perkebunan tradisional komunitas adat Orang Rimba dan atau yang diperuntukkan bagi kepentingan pemberdayaan komunitas adat Orang Rimba. Areal kawasan yang dulunya dirambah dan dijadikan lahan perladangan oleh warga masyarakat desa interaksi. Areal kawasan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi. Kriteria peruntukkan areal pariwisata alam dan rekreasi, meliputi: Memiliki ekosistem yang relatif kenyal Memiliki contoh representatif jenis flora dan fauna kawasan. Memiliki akss langsung (buatan atau alam) dengan pintu masuk kawasan.
6 92 4. Zona Rehabilitasi Areal kawasan yang sudah mengalami kerusakan ekosistem dan akan dipulihkan kembali melalui proses intervensi. GAMBAR 3.2 AKSES MENUJU KAWASAN TNBD Sumber: Hasil Survei, Pembagian Tipe Zona Melalui kajian komprehensif dengan sejumlah variabel yang terkait dengan aspek-aspek penting dan dengan mengacu pada kriteria-kriteria yang ditetapkan, penataan zona di dalam TNBD dibagi dalam enam tipe zona.
7 93 a. Zona Inti Zona inti mencakup seluruh areal perbukitan kawasan ex Cagar Biosfer dan sebagian dataran di kaki perbukitan. Fungsi utama zona inti adalah sebagai ruang pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem kawasan dan merupakan areal yang dilindungi sangat ketat. Kegiatan yang diperbolehkan pada zona ini hanya bersifat penelitian terbatas, atau yang berkaitan dengan kehidupan budaya komunitas adat Orang Rimba. b. Zona Rimba Zona Rimba melingkari areal zona inti sampai ke sisi batas luar kawasan, kecuali bagian-bagian ruang yang diperuntukkan untuk tipe zona lainnya. Fungsi utama zona rimba adalah sebagai: 1. Ruang pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 2. Ruang kehidupan dan penghidupan komunitas adat Orang Rimba. 3. Ruang kegiatan penelitian dan pendidikan. 4. Ruang kegiatan pariwisata terbatas/penyelenggaraan program interpretasi. c. Zona Pemanfaatan Untuk memfasilitasi kegiatan pemanfaatan, dirancang tiga tipe zona pemanfaatan, masing-masing: Zona Pemanfaatan Tradisional Zona ini diperuntukkan khusus untuk memfasilitasi kebutuhan kehidupan dan penghidupan komunitas adat Orang Rimba. Fungsi utama zona pemanfaatan tradisioanl adalah sebagai berikut: Ruang budidaya tanaman pangan, komoditi jual dan biota obat hutan (agroforesty). Ruang interaksi komunitas adat Orang Rimba dengan masyarakat luar. Ruang penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan komunitas adat Orang Rimba. Pada zona ini akan dikemabngkan agroforestry dan fasilitas untuk menunjang program pendidikan dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan lainnya (Orang Rimba community center) termasuk introduksi program interpretasi berikut sarana dan prasarana wisata untuk dikelola oleh komunitas itu sendiri.
8 94 Pemikiran di belakang konsep memasukkan kegiatan pariwisata di zona ini adalah untuk pengembangan kemampuan berusaha/bisnis parakader (meminjam istilah LSM SOKOLA) di bidang jasa lingkungan sekaligus memperluas kontak dengan masyarakat luar. Melalui konsep pengembangan zona pemanfaatan tradisional, akan terbangun suatu sistem pemberdayaan terpadu menuju pembentukan kemandirian dan keberdayaan. Zona Pemanfaatan Terbatas Fungsi utama zona pemanfaatan terbatas adalah untuk mengakomodasi pemanfaatan areal kawasan (ex cagar biosfer) yang dirambah pada masa-masa lalu dan sudah dijadikan lahan perkebunan rakyat oleh warga masyarakat desa interaksi. Dan, areal ex PT INHUTANI V dan PT Sumber Hutan Lestari yang sudah terlanjur dijadikan perkebunan rakyat sebelum TNBD. Pengecualian diberlakukan terhadap hal-hal berikut: Lahan perkebunan yang berada di Zona Inti Apabila lahan perkebunan berada di zona inti maka tegakan-tegakan tanaman akan dimusnahkan dan dilakukan pemulihanlingkungan melalui proses rehabilitasi. Pihak penggarap akan mendapatkan areal baru di zona pemanfaatan terbatas seluas lahan yang digarap sebelumnya, dan tidak mendapatkan ganti rugi atas tanaman yang dimusnahkan. Lahan perkebunan yang berada di Zona Rimba Lahan perkebunan yang berlokasi di zona rimba akan diizinkan sampai pada masa pemanenan produktif berakhir. Selanjutnya tegakan tanaman akan dimusnahkan dan dilakukan rehabilitasi untuk pemulihan lingkungan. Dan, untuk pihak penggarap tidak akan diberikan penggantian lahan. Pemberlakuan pengendalian yang ketat akan diterapkan di zona ini, seperti antara lain: tidak diperkenankan untuk diperluas, diperjualbelikan dan diwajibkan untuk melakukan pengkayaan jenis dengan menambahkan jenis-jenis tegakan endemik kawasan.
9 95 Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam Fungsi utama zona pemanfaatan pariwisata alam adalah untuk: 1. Pengembangan sarana dan prasarana ekowisata dan penyelenggaraan progrma interpretasi. 2. Pengembangan laboratorium alam terbuka. 3. Pengembangan budidaya biota obat hutan dan tanaman hias. 4. Pengembangan pusat penyelamatan satwa endemik Sumatera. 5. Sebagai wadah penampungan satwa liar endemik Sumatera bermasalah dan hasil sitaan dari masyarakat. 6. Pengembangan penangkaran satwa (endemik Sumatera). 7. Sebagai wadah pengadaan stok untuk: (1) kebutuhan masyarakat yang berminat mengembangkan kegiatan usaha penangkaran, dan (2) keperluan intervensi jenis satwa yang terancam, baik untuk kawasan TNBD maupun kawasan lainnya. Kedua wadah ini akan dimanfaatkan pula sebagai laboratorium untuk menunjang pendidikan dan penelitian serta untuk memperkenalkan kepada masyarakat akan jenis-jenis satwa endemik Sumatera. d. Zona Rehabilitasi Zona ini tertutup untuk semua kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan program pemulihan lingkungan. Setelah proses intervensi berakhir, tipe zona untuk ex areal rehabilitasi akan disesuaikan dengan keperluan konservasi kawasan Pengaturan-Pengaturan Kegiatan di dalam Zona TNBD Ketentuan-ketentuan yang diberlakukan untuk masing-masing tipe zona dan sub tipe zona adalah sebagai berikut: a. Zona Inti Areal kawasan ini tertutup untuk pengunjung, kecuali untuk keperluan: 1. Ritual adat komunitas Orang Rimba 2. Penelitian terbatas 3. Pemantauan oleh petugas TNBD Tidak diperkenankan untuk memamen, memindahkan atau menganggu sumber daya alam, kecuali untuk keperluan ritual adat komunitas Orang Rimba.
10 96 Tidak diperkenankan untuk mendirikan sarana dan prasarana umum, kecuali untuk kepentingan pengamanan kawasan. b. Zona Rimba Tidak diperkenankan memanen, memindahkan atau menganggu sumber daya alam, kecuali untuk keperluan memenuhi kebutuhan hidup akan komoditi pangan, komoditi jual dan biota obat hutan. Penyelenggaraan kegiatan pariwisata di zona ini bersifat terbatas (program interpretasi). c. Zona Pemanfaatan Tradisional Pemanfaatan zona ini terbatas hanya untuk kepentingan pemberdayaan komunitas Orang Rimba. d. Zona Pemanfaatan Terbatas Pemanfaatan zona ini terbatas hanya untuk perkebunan rakyat yang sudah ada selama ini serta tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan atau diperluas dan wajib melakukan pengkayan jenis dengan tanaman endemik kawasan. Kesepakatan pemanfaatan dilakukan melalui akte kesepakatan antara UPT TNBD dan penggarap bersangkutan dengan diketahui oleh pemerintah daerah bersangkutan. e. Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam Pemanfaatan zona ini diperuntukkan bagi: Pengembangan saran dan prasarana ekowisata. Penyelenggaraan program interpretasi dan kegiatan rekreasi. Pengembangan laboratorium alam terbuka. Pengembangan budidaya tanaman hias dan biota obat hutan. Pengembangan pusat penyelamatan sata endemik Sumatera. Pengembangan penangkaran satwa liar. Semua kegiatan pemanfaatan tersebut diverifikasi berdasarkan hasil-hasil AMDAL. f. Zona Rehabilitasi Zona ini tertutup bagi semua kegiatan kecuali intervensi pemulihan, pendidikan dan penelitian.
11 97 Ringkasan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dilihat pada tabel 3.6 berikut ini. TABEL III.2 RINGKASAN PEMBAGIAN ZONA DI TNBD No. Zona Kegiatan yang Diizinkan Kegiatan yang Dilarang 1. Semua Zona Penelitian Introduksi tanaman ex luar kawasan, kecuali Pemulihan habitat untuk: (1) pengkayaan jenis laboratorium alam terbukan; (2 menunjang penghidupan komunitas adat Orang Rimba; dan (3) regenrasi tanaman perkebunan rakyat. Introduksi satwa ex luar kawasan, kecuali untuk: (1) keperluan penangkaran; (2) ditampung di rescue center; (3) menujang penghidupan komunitas adapt Orang Rimba melalui sistem pemeliharaan dengan cara dikandang. Membuang limbah, kecuali ditempat ditentukan. Memanen, memindahkan, menganggu sumberdaya alam, kecuali untuk: (1) kebutuhan penghidupan Orang Rimba; (2) penangkaran atau satwa bermasalah; (3) laboratorium alam tebuka dan budidaya tanaman hias dan biota obat hutan; (4) penelitian; (5) keperluan intervensi pemulihan habitat. 2. Zona Inti Penelitian Terbatas Semua kegiatan lain dilarang kecuali hal-hal yang Pemulihan Habitat berkaitan dengan penyelenggaraan ritual adapt komunitas Orang Rimba 3. Zona Rimba Pendidikan dan penelitian Pariwisata terbatas Semua kegiatan lain dilarang kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan: Pemulihan habitat Komunitas adat Orang Rimba Laboratorium alam terbuka dan budidaya biota hutan dan tanaman hias Penangkaran atau satwa bermasalah Keperluan intervensi pemulihan habitat 4. Zona Semua kegiatan yang Semua kegiatan lainnya dilarang Pemanfaatan terkait dengan Tradisional pemberdayaan komunitas adapt Orang Rimba Pendidikan dan Penelitian Pariwisata yang dikelola Orang Rimba
12 98 No. Zona Kegiatan yang Diizinkan Kegiatan yang Dilarang Zona Pemulihan habitat Semua kegiatan lainnya dilarang kecuali yang Pemanfaatan Terbatas Perkebunan rakyat terkait dengan kepentingan komuntas adapt Orang Rimba Zona Pemanfaatan Pariwisata Pengembangan sarana dan prasarana pariwisata, rekreasi, program interpretasi laboratorium alam terbuka Budidaya tanaman hias dan biota obat hutan Semua kegiatan lainnya dilarang kecuali yang terkait dengan kepentingan komunitas adat Orang Rimba Zona Rehabilitasi Pusat penyelamatan satwa dan penangkaran Pemulihan habitat Pendidikan dan penelitian Sumber: RPTNBD Semua kegiatan lainnya dilarang Penataan Batas Antar Zona TNBD Mengingat masing-masing tipe zona mempunyai fungsi tersendiri dan menuntut perlakuan yang spesifik, maka untuk menghindari terjadinya tumpang tindih (fungsi dan perlakuan) batas antar zona perlu dipertegas secara visual, khususnya di bagian-bagian areal batas yang strategis dan atau raan terjadi tumpang tindih (fungsi dan perlakuan). Perlakuan yang sama diterapkan pula untuk mennadai batas luar kawasan TNBD. Adapun untuk penandaan batas kawasn dan antar tipe zona, dipakai jenis tegakan seperti terlihat dalam tabel 3.6 berikut ini. TABEL III.3 PENATAAN BATAS KAWASAN DAN ANTAR ZONA KAWASAN TNBD Batas Jenis Tegakan Batas Luar Kawasan TNBD Pinang, Bambu, Aren Antar Tipe Zona Zona Inti-Zona Rimba Sialang (kempas) Zona Rimba-Zona Pemanfaatan Gaharu, rotan, jernang, jelutung, petai Tradisional hutan, damar Zona Rimba-Zona Pemanfaatan Rotan Interval Tegakan (meter)
13 99 Terbatas Zona Rimba-Zona Pemanfaatan Pariwisata Antar Zona Pemanfaatan (ZP) ZP Pariwisata-ZP Tradisioanal ZP Pariwisata-ZP terbatas Sumber: RPTNBD Durian hutan, tampuy, rambay sama kandis Durian hutan, tampuy, rambay asam kandis Rotan Penting untuk dicatat bahwa seiring dengan berjalannya waktu, sejumlah pal batas di bagian selatan ex cagar biosfer tidak ditemukan lagi. Masalah ini menimbulkan kerancuan interpretasi di kalangan masyarakat desa atas letak batas kawasan. Untuk menghindari konflik tata batas, perlu segera dilakukan rekonstruksi (penataan ulang) tata batas di bagian kawasan ini. Sekaligus mengganti kode tegakan pal batas yang sekarang masin menggunakan kode CB.
STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR
STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
Lebih terperinciPENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA KOLABORATIF
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA KOLABORATIF (Studi Kasus Di Taman Nasional Bukit Duabelas) COLLABORATIVE MANAGEMENT OF NATIONAL PARK Case Study in Bukit Duabelas National Park Oleh: Waldemar Hasiholan
Lebih terperinciLampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi
I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam
Lebih terperinciPenjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG
Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,
Lebih terperinciPELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV
xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun
Lebih terperinciEkologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?
Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk
Lebih terperinci6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT
6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli
` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER
PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN KAYU PERTUKANGAN KEPADA PT. SUMATERA SYLVA LESTARI ATAS AREAL HUTAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada
82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan
Lebih terperinciNOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
Lebih terperinciPELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI
PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang
Lebih terperinciTENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN KEPADA PT. SATRIA PERKASA AGUNG ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 76.017
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG
PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA KEMITRAAN PEMANFAATAN HUTAN DI WILAYAH TERTENTU PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa kawasan konservasi di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN
PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang a. GUBERNUR
Lebih terperinciKonservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI
Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam
Lebih terperinciC. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN
C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.
Lebih terperinciC. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN
C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
Lebih terperinciPEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman
Lebih terperinciVI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA
VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan
Lebih terperinciKonservasi Lingkungan. Lely Riawati
1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah
Lebih terperinciSMP NEGERI 3 MENGGALA
SMP NEGERI 3 MENGGALA KOMPETENSI DASAR Setelah mengikuti pembelajaran, siswa diharapkan dapat mengidentifikasi pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam pelestarian ekosistem. Untuk Kalangan Sendiri
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kehutanan, 2008). Hutan Indonesia sebagai salah satu sub sektor pertanian
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki kawasan hutan yang sangat luas (120,35 juta Ha), setara dengan 4 negara besar di Eropa (Inggris, Jerman, Perancis, dan Finlandia) (Departemen Kehutanan,
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 444/KPTS-II/1997 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI POLA TRANSMIGRASI ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 21.870 (DUA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan
Lebih terperincihakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;
Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal
Lebih terperinciNOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
Lebih terperinciKAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN UMUM Bangsa Indonesia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 249/KPTS-II/1998 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 249/KPTS-II/1998 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 50.725 (LIMA PULUH RIBU TUJUH
Lebih terperinciKEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)
Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional 2.1.1 Definisi Taman Nasional adalah suatu kawasan yang diperuntukkan bagi perlindungan kawasan alami dan berpemandangan indah yang penting, secara nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Suaka margasatwa merupakan salah satu bentuk kawasan suaka alam. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah kawasan yang mempunyai fungsi
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015
Lebih terperinciTantangan Implementasi Peraturan Presiden No. 13/2012 tentang. RTR Pulau Sumatera dalam Upaya Penyelamatan Ekosistem Sumatera
Tantangan Implementasi Peraturan Presiden No. 13/2012 tentang RTR Pulau Sumatera dalam Upaya Penyelamatan Ekosistem Sumatera Lahirnya Peraturan Presiden No. 13/2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL
Lebih terperinciKRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010
KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciRENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal
Lebih terperinciLEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN
1 LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN SEKARANG KITA BERSAMA!!!! LANGKAH AWAL UNTUK PENGELOLAAN HUTAN KORIDOR SALAK-HALIMUN YANG ADIL, SEJAHTERA, DAN LESTARI Apa itu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
Lebih terperinci2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.407, 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. IUPHHK. Hutan Tanaman Rakyat. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.55/Menhut-II/2011 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pohon pohon atau tumbuhan berkayu yang menempati suatu wilayah yang luas dan mampu menciptakan iklim yang berbeda dengan luarnya sehingga
Lebih terperinciBAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN
BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPenyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera
Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Masyararakat desa hutan dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan aktivitas atau kegiatan yang berinteraksi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya
BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan
Lebih terperinciINTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)
INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) TUGAS AKHIR Oleh: LISA AGNESARI L2D000434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS
Lebih terperinci5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa keberadaan
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa
Lebih terperinciIV APLIKASI PERMASALAHAN
IV APLIKASI PERMASALAHAN Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar dengan aneka tipe ekosistem mulai dari pegunungan, hutan kapur, lahan basah, kawasan laut, terumbu
Lebih terperinci