BAB II KONSEP KECERDASAN EMOSIONAL DAN PENYESUAIAN SOSIAL MAHASISWA. berarti menggerakan, bergerak, ditambah awalan e- untuk memberi arti

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KONSEP KECERDASAN EMOSIONAL DAN PENYESUAIAN SOSIAL MAHASISWA. berarti menggerakan, bergerak, ditambah awalan e- untuk memberi arti"

Transkripsi

1 BAB II KONSEP KECERDASAN EMOSIONAL DAN PENYESUAIAN SOSIAL MAHASISWA A. Konsep Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Emosi (emotion) berasal dari kata movere, kata kerja dalam bahasa latin yang berarti menggerakan, bergerak, ditambah awalan e- untuk memberi arti bergerak menjauh, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman, 2007: 7). Dalam makna paling harfiah, Oxford English Dictionary (Goleman, 2007: 411) mendefinisikan emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Lalu Ekman dan Epstein (Goleman, 2007: ) mengungkapkan beberapa ciri emosi diantaranya, yaitu respon yang cepat tetapi ceroboh; pertama adalah perasaan, kedua adalah pemikiran; realitas simbolik yang seperti kanak-kanak; masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang; dan realitas yang ditentukan oleh keadaan. Lebih lanjut Chaplin (2004: 163) menguraikan arti emosional sebagai suatu yang berkaitan dengan ekspresi emosi, atau dengan perubahan-perubahan yang mendalam yang menyertai emosi. Sedangkan kecerdasan diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan konsep abstrak serta menghadapi dan menyesuaiakan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif (Chaplin, 2004: 253). Disamping itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) mengartikan kecerdasan sebagai perihal cerdas; kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian dan ketajaman pikiran). 13

2 14 Gardner (Goleman, 2007) seorang ahli psikologi dari Harvard adalah orang yang melihat keterbatasan cara berpikir konvensional tentang kecerdasan. Dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind pada tahun 1983 (Goleman, 2007), Gardner menyatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolotik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spectrum kecerdasan yang lebar, dengan tujuh varietas utama yang dikenal sebagai multiple intelligence. Salah satu aspek kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang diungkapkan Gardner adalah kecerdasan pribadi yang terdiri dari kecerdasan intrapribadi dan kecerdasan antarpribadi. Gardner dalam Goleman (2007: 52) memberikan ringkasan pendek mengenai kecerdasan pribadi yaitu: Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain; yaitu kemampuan memahami apa yang memotivasi seseorang, memahami bagaimana mereka bekerja dan bagaimana bekerja bahumembahu dengan orang lain. Sedangkan kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan model tersebut sebagai alat ukur untuk menempuh kehidupan secara efektif. Goleman mengembangkan teori kecerdasan pribadi Gardner tersebut dengan mengenalkan istilah emotional intelligence. Istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John Mayer dari University of New Hampshire. Salovey dan Meyer (Goleman, 2005) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.

3 15 Sebuah model pelopor lain untuk kecerdasan emosi diungkapkan oleh seorang Psikolog Israel yaitu Reuven Bar-On. Bar-On (Goleman, 2005) menjabarkan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Sedangkan Goleman sendiri (2005: 512) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain. Dari beberapa definisi para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan dalam menggunakan perasaan secara optimal untuk mengenal dan mengatur diri sendiri serta mengelola emosi yang terdapat dalam diri sendiri dan orang lain agar energi emosi tersebut pada waktu yang tepat dengan frekuensi yang cukup dapat diterapkan secara efektif dalam membina hubungan yang baik dengan orang lain. 2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional terbagi dalam beberapa aspek kemampuan yang membentuknya. Aspek-aspek kemampuan yang membentuk kecerdasan emosional tidak seragam untuk setiap ahli tergantung dari sudut pandang dan pemahaman. Lima aspek utama yang terdapat dalam kecerdasan emosional menurut Salovey (Goleman, 2007: 58-59), adalah:

4 16 a. Mengenali emosi sendiri Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting dan ketidakmampuan untuk mencermati perasaan diri sendiri dapat membuat seseorang berada dalam kekuasaan perasaan. b. Mengelola emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan. c. Memotivasi diri sendiri Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berekreasi. Kendali diri emosional - menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati- adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan.

5 17 d. Mengenali emosi orang lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan keterampilan bergaul dasar. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. e. Membina hubungan Seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antarpribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi. Disisi lain Bar-On (Goleman, 2005: 580) membagi kemampuan pokok kecerdasan emosional ke dalam lima gugus umum sebagai berikut: a. Keterampilan intrapribadi Kemampuan menyadari diri, memahami emosi diri, dan mengungkapkan perasaan serta gagasan. b. Keterampilan antarpribadi Kemampuan menyadari dan memahami perasaan orang lain, peduli kepada orang lain secara umum, dan menjalin hubungan dari hati ke hati yang akrab.

6 18 c. Adaptabilitas Kemampuan menguji perasaan diri, kemampuan mengukur situasi sesaat secara teliti, dengan luwes mengubah perasaan dan pikiran diri, lalu menggunakannya untuk memecahkan masalah. d. Strategi pengelolaan stress Kemampuan mengatasi stress dan mengendalikan luapan emosi. e. Motivasi dan suasana hati Kemampuan bersikap optimis, menikmati diri sendiri, menikmati kebersamaan dengan orang lain, dan merasakan serta mengekspresikan kebahagiaan. Goleman mengadaptasi model teori Salovey dan Bar-On tersebut kedalam sebuah versi yang menurutnya paling bermanfaat untuk memahami cara kerja kecerdasan emosional dalam kehidupan individu. Adaptasi Goleman (2005: 513) meliputi lima dasar kecakapan emosional dan sosial yang dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial sebagai berikut: a. Kecakapan Pribadi 1) Kesadaran diri Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. 2) Pengaturan diri Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda

7 19 kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi. 3) Motivasi Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. b. Kecakapan Sosial 1) Empati Merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. 2) Keterampilan sosial Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim. Boyatzis kemudian melakukan penelitian untuk mendapatkan tingkat reliabilitas dan interkorelasi yang lebih baik daripada model kompetensi emosional yang dikemukakan oleh Goleman (Boyatzis & Goleman, 2005). Penelitian ini menghasilkan sebuah instrumen pengukuran kompetensi emosional yaitu Emotional Competence Inventory. Emotional Competency Inventory atau

8 20 disingkat ECI (Boyatzis & Goleman, 2005) merupakan alat ukur untuk menilai kompetensi emosional individu maupun organisasi yang didasarkan pada kompetensi emosional dari Goleman dalam bukunya Working With Emotional Intelligence dan Self-Assessment Questionnaire (SAQ) dari Boyatzis. ECI mengemukakan 18 kompetensi emosional yang dikelompokkan dalam 4 kerangka kerja (klaster) yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, kesadaran sosial, dan pengaturan hubungan. Instrumen ECI tersebut menjadi acuan peneliti untuk mengukur kecerdasan emosional dalam penelitian ini. Secara lebih rinci kerangka kerja (klaster) kecerdasan emosi dalam ECI (Boyatzis & Goleman, 2005) adalah sebagai berikut: a. Kesadaran diri: Mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya, dan intuisi. Klaster kesadaran diri terdiri dari tiga kompetensi sebagai berikut: a) Kesadaran emosi: Mengenali emosi diri sendiri dan efeknya. b) Penilaian diri secara teliti: Mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri. c) Percaya diri: Keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri. b. Pengaturan diri: Mengelola kondisi, impuls, dan sumber daya diri sendiri. Klaster pengaturan diri terdiri dari enam kompetensi sebagai berikut: a) Kendali emosi diri: mengelola emosi-emosi dan dorongan-dorongan yang mengganggu. b) Transparansi (sifat dapat dipercaya): menjaga integritas, berperilaku sesuai dengan nilai-nilai diri. c) Adaptabilitas: keluwesan dalam menghadapi perubahan.

9 21 d) Prestasi: berusaha keras untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan. e) Inisiatif: kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. f) Optimisme: kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan. c. Kesadaran Sosial: Menentukan bagaimana kita menangani suatu hubungan dan kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain. Klaster kesadaran sosial terdiri dari tiga kompetensi sebagai berikut: a) Empati: mengindra perasaan dan perspektif orang lain, dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka. b) Kesadaran politis: mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan. c) Orientasi membantu orang lain: mengantisipasi, mengenali dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. d. Pengaturan Hubungan: Kemampuan dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain. Klaster pengaturan hubungan terdiri dari enam kompetensi sebagai berikut: a) Mengembangkan orang lain: merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka. b) Kepemimpinan yang inspiratif: Membangkitkan inspirasi serta memandu kelompok dan orang lain. c) Katalisator perubahan: memulai dan mengelola perubahan.

10 22 d) Pengaruh: memiliki taktik yang efektif untuk membujuk seseorang (persuasi). e) Manajemen konflik: negosiasi dan pemecahan silang pendapat. f) Kolaborasi dan kooperasi: kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama. Menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Goleman (2007) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu: a. Faktor internal Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam individu yang dipengaruhi oleh anatomi saraf emosinya seperti korteks, neokorteks, lobus prefrontal, sistem limbik, amigdala dan hal-hal lain yang berada pada otak emosional. Korteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Neokorteks merupakan tempat pikiran, memuat pusat-pusat yang mengumpulkan dan memahami apa yang diserap oleh indra. Neokorteks menambahkan pada perasaan apa yang kita pikirkan tentang perasaan itu dan memungkinkan kita untuk mempunyai perasaan tentang ide-ide, seni, simbol-simbol, khayalan-khayalan. Lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. Sedangkan, sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi

11 23 otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan implus. Bila kita dikuasai oleh hasrat atau amarah, sedang jatuh cinta atau mundur ketakutan, maka system limbic itulah yang sedang mencengkeram kita. Selain itu ada amigdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak dan gudangnya ingatan emosional. b. Faktor eksternal Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar individu yaitu lingkungan keluarga dan non keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi yaitu belajar bagaimana merasakan dan menanggapi perasaan diri sendiri, berpikir tentang perasaan tersebut sehingga mengambil pilihan-pilihan yang dimiliki untuk akhirnya bertindak serta bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut. Sedangkan hal yang terkait dengan lingkungan non keluarga adalah lingkungan masyarakat, pendidikan dan media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit. 4. Kecerdasan Emosional pada Masa Remaja Salah satu tugas perkembangan yang penting pada masa remaja adalah mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan figur-figur otoritas. Namun, dikarenakan masa remaja merupakan masa badai dan tekanan, yaitu masa dimana ketegangan emosi meninggi sehingga remaja mengalami ketidakstabilan emosi yang menyebabkan emosi pada masa remaja menjadi mudah terangsang dan cenderung meledak-ledak (Hurlock, 1980). Emosi remaja seringkali sangat kuat dan tidak terkendali, tetapi pada umumnya pada tahun ke tahun remaja mulai

12 24 mampu mengendalikan emosi yang bergejolak di dalam dirinya dan berkurang menjelang berakhirnya masa remaja. Menurut Hurlock (1980: 213) remaja dikatakan mencapai kecerdasan atau matang secara emosional, apabila: 1. Pada akhir masa remaja tidak meledak emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. 2. Remaja menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. 3. Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. B. Konsep Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial berikut: Penyesuaian (adjustment) didefinisikan oleh Schneider (1964: 51) sebagai A Process, involving both mental and behavioural responses, by which an individual strives to cope successfully with inner needs, tensions, frustrations, and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by he objective world in which he lives. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa penyesuaian merupakan sebuah proses, yang melibatkan respon baik secara mental dan perilaku, yang merupakan

13 25 usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, frustrasi, dan konflik dari dalam dirinya, dengan tujuan untuk tercapainya keharmonisan antara tuntutan dari dalam dirinya dan tuntutan dari lingkungan di mana ia hidup. Individu dengan penyesuaian diri yang baik adalah individu yang memiliki: (a) pengetahuan dan wawasan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya, (b) objektivitas dan penerimaan diri, (c) kontrol dan pengembangan diri, (d) integrasi pribadi yang baik, (e) adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya, (f) adanya perspektif, skala nilai, filsafat hidup yang adekuat, (g) mempunyai rasa humor, (h) mempunyai rasa tanggung jawab, (i) menunjukkan kematangan respon, (j) adanya pengembangan kebiasaan yang baik, (k) adanya adaptabilitas, (l) bebas dari respon-respon yang simtomatis atau cacat, (m) memiliki kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap orang lain, (n) memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain, (o) adanya kepuasan dalam bekerja dan bermain, (p) memiliki orientasi yang adekuat terhadap realitas Schneiders (1964: 73-88). Menurut Schneiders (1964: 429) setiap individu memiliki pola penyesuaian yang khas terhadap setiap situasi dan kondisi serta lingkungan yang dihadapinya, salah satunya adalah penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial menurut Chaplin (2004; 469) adalah: (1) penjalinan secara harmonis suatu relasi dengan lingkungan sosial, (2) mempelajari pola tingkah laku yang diperlukan, atau mengubah kebiasaan yang ada, sedemikian rupa, sehingga cocok bagi satu masyarakat sosial. Sedangkan, Schneider (1964: 460) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai The capacity to react effectively and wholesomely to sosial realities, situations, and relations so that he requirements

14 26 for sosial living is fulfilled in an acceptable and satisfaktory manner. Penyesuaian sosial merupakan kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Jika individu ingin mengembangkan kemampuan dalam penyesuaian sosial maka ia harus menghargai hak orang lain, mampu menciptakan suatu relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, menghargai nilai-nilai dari hukum-hukum sosial dan tradisi. Apabila prinsip-prinsip ini dilakukan secara konsisten, maka penyesuaian sosial yang baik akan tercapai (Schneiders, 1964: 460). Schneiders (1964) membagi penyesuaian sosial menjadi tiga aspek yaitu penyesuaian sosial di lingkungan rumah dan keluarga, penyesuaian sosial di lingkungan sekolah (kampus), dan penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat. 2. Penyesuaian Sosial di Kampus Kehidupan sosial di sekolah merupakan salah satu kehidupan sosial bagi siswa disamping lingkungan keluarga dan masyarakat serta memerlukan pola penyesuaian. Hambatan yang dialami individu pada salah satu kehidupan sosial tersebut akan mempengaruhi pada kehidupan sosial lainnya. Schneiders (1964: 454) mengemukakan karakteristik dari siswa yang mampu menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan sekolah. Dalam penelitian ini karakteristik tersebut

15 27 adalah mahasiswa yang mampu memenuhi kriteria-kriteria dalam kehidupan sosial di kampusnya. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut: a. Menghargai dan mau menerima otoritas kampus Adanya otoritas baik berupa aturan-aturan yang mengatur kehidupan di kampus maupun dosen yang berkedudukan sebagai figur otoritas merupakan salah satu realitas yang harus dihadapi mahasiswa di kampus. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku menerima dan patuh terhadap peraturan yang berlaku serta menghormati dan menghargai dosen, seperti memakai pakaian dan sepatu yang sopan dan sesuai dengan aturan yang berlaku maupun memperhatikan dosen yang sedang menerangkan materi di depan kelas. b. Tertarik dan berpartisipasi dalam kegiatan kampus Mahasiswa yang memiliki minat dan mau terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan yang ada di kampus dapat menyalurkan aspirasinya dan memiliki kesempatan lebih luas untuk bergaul dengan teman sebaya. Misalnya, mahasiswa memiliki rminat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelompok atau diskusi belajar bersama teman, kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, seperti menjadi anggota kegiatan kemahasiswaan (UKM/BEM/DPM) di kampus. c. Mempunyai hubungan sosial yang sehat, bersahabat dengan teman, dosen dan unsur-unsur kampus lainnya Sebagai bagian dari kehidupan sosial di kampus, seorang mahasiswa tidak dapat menghindarkan diri dari relasi dengan orang lain, yaitu menjalin

16 28 hubungan dan interaksi yang baik, sehat, dinamis, dan bersahabat dengan teman-teman kampus, dosen, dosen pembimbing akademik, staf TU dan pegawai kampus lainnya baik pada waktu kegiatan perkuliahan maupun di luar jam perkuliahan. Seperti memiliki teman dekat di kampus, menyapa dosen yang ditemui meskipun di luar jam kuliah, dan bersikap sopan kepada pegawai yang bekerja sebagai staf TU, satpam maupun petugas kebersihan. d. Menerima batasan dan tanggung jawab sebagai mahasiswa Kemampuan mahasiswa untuk bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku dan juga untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Seperti selalu mempersiapkan ujian dengan baik, menggunakan fasilitas kampus dengan sebaik-baiknya, dan tidak makan di kelas jika kegiatan perkuliahan sedang berlangsung. e. Membantu kampus mencapai tujuan intrinsik dan ekstrinsik. Tercapainya tujuan kampus merupakan kepentingan bersama, tidak terkecuali para mahasiswa. Sikap dan perilaku yang dapat dilakukan mahasiswa untuk tercapainya tujuan intrinsik dan ektrinsik kampus beberapa diantaranya dengan menjaga nama baik kampus di dalam maupun di luar lingkungan kampus dan berusaha menampilkan yang terbaik saat mewakili kampus di kegiatan perlombaan antar kampus. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial Schneider (1964: 122) mengemukakan bahwa penyesuaian seorang individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

17 29 a. Kondisi Fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi hereditas, konstitusi fisik, kesehatan, sistem syaraf, kelenjar, dan otot. b. Perkembangan dan kematangan, khususnya intelektual, sosial, moral, dan emosi. c. Kondisi psikologis, meliputi pengalaman, proses belajar, pembiasaan, frustrasi, dan konflik. d. Kondisi lingkungan, khususnya lingkungan rumah, keluarga, sekolah, dan masyarakat. e. Faktor kebudayaan, termasuk agama. 4. Penyesuaian Diri yang Normal Seseorang dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang normal apabila mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah secara wajar, tidak merugikan diri sendiri dan lingkungannya. Schneiders (1964: 274) menjelaskan karakteristik penyesuaian diri yang normal sebagai berikut: a. Tidak adanya emosi yang berlebihan Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan adanya emosi yang tidak berlebihan atau tidak adanya gangguan dalam emosinya. Seseorang merespon lebih atau sedikit terhadap situasi normal dan masalah yang muncul, akan selalu ada tingkat tertentu mengenai ketenangan emosional dan kontrol, yang memungkinkan mereka untuk menilai situasi dengan baik dan mengatur mengatasi kesulitan apapun yang ada. b. Tidak adanya mekanisme psikologis

18 30 Pendekatan langsung terhadap permasalahan atau konflik lebih menunjukkan respon yang normal atau wajar daripada suatu reaksi yang diikuti dengan mekanisme-mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, proyeksi, atau kompensasi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai. c. Tidak adanya rasa frustrasi pribadi Penyesuaian yang normal adalah terhindar dari perasaan frustrasi pribadi. Perasaan frustrasi membuat individu mengalami kesulitan untuk bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya. Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku secara efisien dalam menghadapi situasi yang dihadapinya. d. Pertimbangan yang rasional dan pengarahan diri Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi pikiran, tingkah laku dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun menunjukkan penyesuaian yang normal. Individu tidak mampu melakukan penyesuaian diri yang baik apabila individu dikuasai oleh emosi yang berlebihan ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan konflik.

19 31 e. Kemampuan untuk belajar Proses penyesuaian yang normal dapat ditandai oleh pertumbuhan atau perkembangan yang terjadi dalam diri individu untuk mengatasi situasi yang penuh dengan konflik, frustrasi, atau stres. Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan belajar terus-menerus atau berkesinambungan, yang menjamin pengembangan kualitas pribadi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. f. Pemanfaatan pengalaman masa lalu Dalam proses pertumbuhan dan perubahan, pemanfaatan pengalaman masa lalu merupakan salah satu cara dimana individu dapat belajar mengenai pencapaian penyesuaian yang normal karena dalam banyak situasi ada beberapa hal yang menguntungkan dari pengalaman tersebut. g. Bersikap realistis dan objektif Penyesuaian yang normal secara konsisten dikaitkan dengan realistis, sikap objektif. Tetapi harus realistis dan objektif bukanlah hal yang sama dengan orientasi yang tepat terhadap realitas. Sikap realistis dan obyektif adalah salah satu yang didasarkan pada pembelajaran, pengalaman masa lalu, dan berpikir rasional, memungkinkan individu untuk menilai situasi, masalah, atau pembatasan pribadi seperti yang sebenarnya serta untuk apa yang benarbenar layak.

20 32 5. Penyesuaian Sosial pada Masa Remaja Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana status remaja tidaklah jelas dan menimbulkan keraguan akan peran yang dilakukan. Karena pada masa transisi ini, remaja tidak mau lagi diperlakukan oleh lingkungan keluarga dan masyarakat sebagian anak-anak, namun dilihat dari pertumbuhan fisik, perkembangan psikis (kejiwaan), dan mentalnya belum menjukkan tanda-tanda dewasa. Dalam masa tersebut banyak perubahan yang terjadi diantaranya adalah perubahan fisik, perubahan emosi dan perubahan sosial (Hurlock, 1980). Havighurst (Yusuf, 2001: 74) mengungkapkan beberapa tugas perkembangan sosial yang harus dicapai pada masa remaja, yaitu: a. Mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman-teman sebaya, baik dengan teman sejenis maupun dengan lawan jenis. b. Dapat menjalankan peran sosial menurut jenis kelamin masing-masing. Artinya mempelajari dan menerima peranan masing-masing sesuai dengan ketentuan atau norma yang berlaku di masyarakat. c. Memperlihatkan tingkah laku secara sosial dan dapat dipertanggung jawabkan, artinya ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial sebagai seorang dewasa yang bertanggung jawab, menghormati serta menaati nilai-nilai sosial yang berlaku dalam lingkungannya. Penyesuaian sosial terhadap orang lain dan lingkungan sangat diperlukan oleh setiap orang, terutama dalam usia remaja. Kemampuan dalam melakukan penyesuaian sosial pada remaja akan tercipta hubungan yang harmonis. Apabila

21 33 remaja tidak mampu akan mengakibatkan ketidakpuasan pada diri sendiri karena merasa dikucilkan dan mempunyai sikap-sikap menolak diri. Akibatnya remaja tidak mengalami saat-saat yang menggembirakan seperti yang dinikmati oleh teman-teman sebayanya (Hurlock, 1980). C. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Sosial Dalam salah satu tugas perkembangan, setiap individu diharapkan mampu melakukan penyesuaian sosial, baik itu di lingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat. Kemampuan individu untuk melakukan penyesuaian sosial dengan baik salah satunya tergantung pada keadaan emosi. Setiap individu memiliki kapasitas emosi dalam dirinya, ia dituntut untuk dapat mengenal emosi dirinya, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain dalam menghadapi tuntutan dan harapan dari lingkungan sekitarnya. Individu yang memiliki kestabilan emosi mampu mengendalikan diri dan memberikan respon-respon yang matang dan sesuai dengan tuntutan dan harapan lingkungan yang disebut dengan kecerdasan emosional. Lain halnya dengan individu yang tidak memiliki kestabilan emosi dengan menunjukkan ciri-ciri seperti kecemasan atau kesenangan yang berlebihan, kecurigaan, kegelisahan, ketakutan, depresi, selalu berperasaan negatif, dan merasa bersalah. Ketidakstabilan emosi tersebut dapat menimbulkan konflik, frustrasi, ketidakmatangan psikologis, dan gangguan emosional yang berkaitan dengan diri sendiri maupun orang lain serta kegagalan-kegagalan dalam menjalin kehidupan.

22 34 Thorndike dalam Goleman (2007: 56) mengungkapkan bahwa salah satu aspek dari kecerdaan emosional adalah kecerdasan sosial yaitu kemampuan untuk memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki peranan penting terhadap penyesuaian sosial individu yang baik. Lebih lanjut Goleman (2007) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan permasalahan banyak ditentukan oleh kualitas kecerdasannya, salah satunya adalah yang berkaitan dengan aspek emosional. Seseorang yang cerdas dalam mengelola emosinya akan meningkatkan kualitas kepribadiannya. Oleh karena itu diperlukan suatu kemampuan dalam diri individu untuk dapat memenuhi tuntutan lingkungan yaitu kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku, kematangan emosi serta dapat melaksanakan tugas, peranan dan tanggung jawabnya dengan baik di lingkungan tempat ia berada agar tercipta penyesuaian sosial yang sehat. D. Penelitian Terdahulu yang Relevan Terkait dengan Kecerdasan Emosional dan Penyesuaian Sosial Mahasiswa Beberapa penelitian mengenai kecerdasan emosional dan penyesuaian telah cukup banyak dilakukan dan sedikit banyaknya dapat memberikan gambaran bahwa kecerdasan emosional penting bagi penyesuaian sosial, termasuk penyesuaian sosial di perguruan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Effendi (2003) mengenai hubungan antara emotional intelligence dengan penyesuaian sosial di sekolah pada siswa kelas III SMUN 7 Bandung, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara emotional intelligence dengan

23 35 penyesuaian sosial, sehingga semakin rendah emotional intelligence yang dimiliki siswa kelas II SMUN 7 Bandung maka semakin rendah penyesuaian sosial yang dilakukan oleh siswa, baik di rumah, sekolah, dan masyarakat. Kamelia (2003) meneliti hubungan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian sosial di sekolah pada siswa kelas II SMU PGII II Bandung. Hasilnya, bahwa kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial di sekolah mempunyai korelasi yang cukup berarti (rs = 0,58), aspek mengenali emosi diri dengan penyesuaian sosial di sekolah (rs = 0,56), aspek mengelola emosi diri dengan penyesuaian sosial di sekolah (rs = 0,45), aspek motivasi diri dengan penyesuaian sosial di sekolah (rs = 0,51), aspek empati dengan penyesuaian sosial di sekolah (rs = 0,41), dan aspek membina hubungan dengan penyesuaian sosial di sekolah (rs = 0,44). Selain itu hasil penelitian Purnama (2008) mengenai hubungan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian sosial Siswa Sekolah Menengah Atas, menjelaskan bahwa: (1) sebagian besar kecerdasan emosional yang dimiliki oleh siswa berada pada kategori sedang yaitu sebesar 67,77%, (2) sebagian besar penyesuaian sosial yang dimiliki oleh siswa berada pada kategori cukup baik yaitu sebesar 67,78%, (3) terdapat hubungan yang kuat antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa, dengan koefisien korelasi sebesar +0,724. Hasil penelitian Fitriani (2009) mengenai hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas XI di SMA Negeri I Trenggalek menunjukkan bahwa siswa yang memiliki konsep diri sangat positif adalah berjumlah 14 siswa, yang memiliki konsep diri tinggi berjumlah 77 siswa,

24 36 dan yang memiliki konsep diri sedang berjumlah 5 siswa. Pada kecerdasan emosional, siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional sangat tinggi berjumlah 11 siswa, yang memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi berjumlah 78 siswa, dan yang memiliki tingkat kecerdasan emosional sedang berjumlah 7 siswa. Pada penyesuaian sosial, siswa yang memiliki tingkat penyesuaian sosial sangat tinggi berjumlah 14 siswa, dan siswa yang memiliki tingkat penyesuaian sosial yang tinggi adalah 82 siswa. Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda, diperoleh nilai R sebesar Hal ini berarti variabel penyesuaian sosial dapat dijelaskan oleh variabel konsep diri dan kecerdasan emosional sebanyak 93,1% sedangkan sisanya (6,9%) dijelaskan oleh sebab lain. Dengan kata lain, terdapat hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial. Namun, sumbangan konsep diri terhadap penyesuaian sosial lebih besar (69%) jika dibandingkan dengan kecerdasan emosional (27,8%). Pada penelitian Showi (2009) mengenai hubungan kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi SMUN 1 Malang diketahui bahwasanya kecerdasan emosional siswa akselerasi tergolong tinggi dengan persentase 45,16%. Untuk tingkat penyesuaian sosial siswa akselerasi SMUN 1 Malang berada pada kategori tinggi dengan persentase 54,84%. Hasil uji korelasi menunjukkan nilai r hit dengan probabilitas Hasil penelitian ini menyatakan ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi SMUN 1 Malang. Hal ini berdasarkan pada nilai r hit dan nilai r tabel adalah Berdasarkan taraf signifikansi 5% r hitung dari hasil

25 37 korelasi memiliki nilai r hit > r tabel Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional siswa, semakin tinggi pula tingkat penyesuaian sosial siswa akselerasi. E. Kerangka Berpikir Masa remaja merupakan salah satu periode yang penting dan mempunyai resiko dalam rentang kehidupan manusia. Pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan pada diri remaja mengalami perubahan yang sangat besar. Sebagai peralihan dari masa anak menuju masa dewasa, masa remaja merupakan masa yang penuh dengan kesulitan dan gejolak dalam diri, salah satunya adalah gejolak emosi. Goleman (2007) mengatakan bahwa emosi merupakan kekuatan pribadi (personal power) yang memungkinkan manusia mampu berpikir secara keseluruhan, mampu mengenali emosi diri sendiri dan orang lain serta tahu bagaimana harus mengekspresikannya secara tepat. Lalu dilanjutkan oleh Salovey dalam Goleman (2007) yang menempatkan kecerdasan emosional dalam lima wilayah utama, yakni, kemampuan untuk mengenal emosi dirinya, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Goleman (2005) menyatakan kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain agar dapat memotivasi diri dan mengelola emosi yang terdapat dalam diri sendiri dan orang lain secara efektif. Lalu dilanjutkan oleh Goleman & Boyatzis (2005) dengan menempatkan kecerdasan emosional dalam empat kompetensi yang dirangkum dalam Emotional

26 38 Competence Inventory (ECI), yakni, kemampuan dalam kesadaran diri, mengelola diri, kesadaran sosial, dan membina hubungan. Namun dikarenakan masa remaja merupakan masa badai dan tekanan, yaitu masa dimana ketegangan emosi meninggi sehingga remaja mengalami ketidakstabilan emosi yang menyebabkan emosi pada masa remaja menjadi mudah terangsang dan cenderung meledak-ledak (Hurlock, 1980). Ketidakstabilan emosi tersebut dapat menimbulkan konflik dan gangguan emosional yang berkaitan dengan diri sendiri maupun orang lain serta kegagalan-kegagalan dalam menjalin kehidupan. Pada saat remaja masuk ke dalam suatu lingkungan tertentu, remaja akan dihadapkan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan dan harapan lingkungannya yaitu penyesuaian sosial, termasuk penyesuaian sosial di kampus. Remaja dihadapkan pada tuntutan untuk menghargai dan mau menerima otoritas kampus, tertarik dan berpartisipasi dalam kegiatan kampus, mempunyai hubungan sosial yang sehat, bersahabat dengan teman, dosen dan unsur-unsur kampus lainnya, menerima batasan dan tanggung jawab sebagai mahasiswa, serta membantu kampus mencapai tujuan intrinsik dan ekstrinsik. Hurlock (1980) mengatakan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Masih terdapat remaja yang memiliki ketidakstabilan emosi, berperilaku tidak sesuai harapan, kurang berempati, dan sukar membina hubungan yang baik dengan orang lain. Apabila remaja memiliki kemampuan untuk mengelola emosinya dengan baik maka ia akan mampu menyesuaikan diri dan bertingkah laku sesuai dengan

27 39 tuntutan dan harapan kampus. Sebaliknya, remaja yang tidak mampu menyesuaikan diri dan bertingkah laku sesuai dengan tuntutan dan harapan kampus dapat diartikan remaja tersebut kurang mampu dalam mengelola emosinya. Sebagai gambaran untuk memperjelas kerangka berpikir yang telah diuraikan dapat dilihat dalam gambar berikut ini: Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Remaja Karakteristik Emosi Remaja: 1. Tidak stabil 2. Berubah-ubah 3. Sangat kuat 4. Tidak terkendali 5. Tidak rasional Kecerdasan Emosional: 1. Kesadaran diri 2. Pengaturan diri 3. Kesadaan sosial 4. Pengaturan hubungan Penyesuaian Sosial di Kampus Baik Buruk

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penyesuaian Sosial 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Schneider (1964) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa, Sosial adjustment signifies the capacity to react affectively

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan dan Emosi Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi: kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang merupakan keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional

15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional 15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional Saat ini kecerdasan emosional tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejak munculnya karya Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer

II. TINJAUAN PUSTAKA. Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KECERDASAN EMOSIONAL Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer pada Tahun 1990 (dalam Shapiro, 2001: 8), mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional ialah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis 2.1.1 Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan.

Lebih terperinci

PROFIL PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 35 JAKARTA

PROFIL PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 35 JAKARTA 95 PROFIL PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 35 JAKARTA Nur Asri Fitriani 1 Dra. Dharma Setiawaty 2 Drs. Djunaedi, M. Pd 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat profil penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Asertif 2.1.1 Pengertian Asertif Individu yang asertif menurut Sumihardja (Prabowo 2000) mempunyai pengucapan verbal yang jelas, spesifik dan langsung mampu mengungkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Secara umum kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami secara lebih efektif terhadap daya kepekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, seseorang tidak pernah lepas dari kehidupan emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu pengaruh kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja. Hal ini termasuk latar belakang penelitian, rumusan

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

Keterkaitan Kecerdasan Emosional dengan Kinerja SDM

Keterkaitan Kecerdasan Emosional dengan Kinerja SDM KeterkaitanKecerdasanEmosionaldenganKinerjaSDM Oleh: Dra. Maria F.Lies Ambarwati, M.M. Peran sumber daya manusia dalam sebuah organisasi sejak dulu hingga saat ini tidak pernah surut sedikitpun. Teknologi

Lebih terperinci

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR Laelasari 1 1. Dosen FKIP Unswagati Cirebon Abstrak Pendidikan merupakan kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditemukan berbagai masalah yang dihadapi peserta didik dalam berinteraksi di sekolah. Hal tersebut dialami oleh peserta didik SMP Negeri 2

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian Kepercayaan Diri Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kecerdasan Emosi 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA Ulil Nurul Imanah, M.Pd. Universitas Islam Majapahit ulil_math11@yahoo.co.id Abstrak Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kesuksesan (keberhasilan, keberuntungan) yang berasal dari dasar kata sukses yang berarti berhasil, beruntung (Kamus Bahasa Indonesia,1998), seringkali menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya akan melalui beberapa tahap perkembangan,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya akan melalui beberapa tahap perkembangan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya akan melalui beberapa tahap perkembangan, salah satunya yaitu masa remaja. Masa ini merupakan salah satu periode yang penting dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam perkembangan selama hidupnya, manusia dihadapkan pada dua peran yaitu sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia selalu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis. makna dan filosofisnya, maksud dan implikasi serta aplikasi-aplikasinya,

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis. makna dan filosofisnya, maksud dan implikasi serta aplikasi-aplikasinya, BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis Pemahaman atau comprehension dapat diartikan menguasai sesuatu dengan pikiran. Karena itu belajar berarti harus mengerti secara mental makna

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Musik Dalam Kehidupan Sehari-Hari 1. Definisi Musik Musik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara di urutan, kombinasi, dan hubungan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Populasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 3 Bandung yang beralamat di Jalan Belitung No. 8 Kota Bandung. Populasi penelitian adalah siswa berbakat

Lebih terperinci

Available online at Jurnal KOPASTA. Jurnal KOPASTA, 2 (2), (2015) 91-96

Available online at  Jurnal KOPASTA. Jurnal KOPASTA, 2 (2), (2015) 91-96 91 Available online at www.journal.unrika.ac.id Jurnal KOPASTA Jurnal KOPASTA, 2 (2), (2015) 91-96 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Penyesuaian Diri Siswa di Sekolah Sri Wahyuni Adiningtiyas * Division

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional Pada tahun 1990 psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pertama kali melontarkan istilah kecerdasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Konflik 1. Pengertian Manajemen Konflik Menurut Johnson ( Supraktiknya, 1995) konflik merupakan situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian kecerdasan emosional Kecerdasan emosional, secara sederhana dipahami sebagai kepekaan mengenali dan mengelola perasaan sendiri dan orang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KECERDASAN EMOSI a. Definisi Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1.1 Pengertian Pengambilan Keputusan. Kegiatan ini memegang peranan penting terutama bila manajer

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1.1 Pengertian Pengambilan Keputusan. Kegiatan ini memegang peranan penting terutama bila manajer BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengambilan Keputusan 1.1 Pengertian Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan adalah bagian kunci kegiatan manajer. Kegiatan ini memegang peranan penting terutama bila manajer

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya di antara

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya di antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana di dalam menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Semangat Kerja 1. Definisi Semangat Kerja Davis & Newstrom (2000) menyebutkan bahwa semangat kerja adalah kesediaan perasaan maupun perilaku yang memungkinkan seseorang bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami berbagai perubahan salah satunya perubahan emosi. Menurut Goleman

BAB I PENDAHULUAN. mengalami berbagai perubahan salah satunya perubahan emosi. Menurut Goleman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya akan melalui beberapa tahap perkembangan, salah satunya yaitu masa remaja. Masa ini merupakan masa peralihan dari masa anak menuju

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja selalu menjadi perbincangan yang sangat menarik, orang tua sibuk memikirkan anaknya menginjak masa remaja. Berbicara tentang remaja sangat menarik karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi (http://id.wikipedia.org). Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi (http://id.wikipedia.org). Mengenyam pendidikan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan mutu pendidikan formal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung secara aktif dan integratif untuk mencapai suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung secara aktif dan integratif untuk mencapai suatu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung secara aktif dan integratif untuk mencapai suatu tujuan. Salah satu tujuannya adalah pencapaian hasil belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan sosial (social skill) adalah kemampuan untuk dapat berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain. Keterampilan sosial meliputi beberapa hal, diantaranya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Keterampilan Sosial 2.1.1. Pengertian Keterampilan Sosial Penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek psikologis yang perlu dikembangkan dalam kehidupan individu, mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peneliti menganggap bahwa penelitian tentang kecerdasan emosional pada mahasiswa yang bekerja sangat penting, karena siapa pun dapat mengalami emosi, tak terkecuali

Lebih terperinci

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kondisi psikis atau mental akan mempengaruhi performa atlet baik saat latihan

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kondisi psikis atau mental akan mempengaruhi performa atlet baik saat latihan Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan emosi Kondisi psikis atau mental akan mempengaruhi performa atlet baik saat latihan maupun saat bertanding. Menurut Suranto (2005, dalam Anggraeni, 2013) mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Emosi remaja sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja berasal dari kata adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan bantuan orang lain. Oleh karena itu, setiap manusia diharapkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN AFEKTIF

PERKEMBANGAN AFEKTIF PERKEMBANGAN AFEKTIF PTIK PENGERTIAN AFEKTIF Afektif menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. daya tarik baginya. Menurut Slameto (Djamarah, 2008) minat adalah suatu

BAB II KAJIAN TEORETIK. daya tarik baginya. Menurut Slameto (Djamarah, 2008) minat adalah suatu BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Minat Belajar Minat merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam belajar. Apabila bahan pelajaran yang tidak sesuai dengan minat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stres Gibson menyatakan bahwa Stres adalah kata yang berasal dari Bahasa Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). Definisi ini menjelaskan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Penyesuaian Diri 1. Penyesuaian Diri Seorang tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikandiri atau tidak mampu menyesuaikan diri. Kondisi fisik, mental

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEMAMPUAN MENGENDALIKAN EMOSI DAN MOTIVASI PADA ATLET FUTSAL PUTERI UKM UPI

2015 HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEMAMPUAN MENGENDALIKAN EMOSI DAN MOTIVASI PADA ATLET FUTSAL PUTERI UKM UPI BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Futsal adalah permainan yang cepat dan dinamis, oleh karena itu apabila ingin mendapatkan permainan yang diharapkan dalam permainan tersebut, sebaiknya tidak

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH ( PROBLEM-BASED INSTRUCTION) DILIHAT DARI GAYA BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL

MODUL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH ( PROBLEM-BASED INSTRUCTION) DILIHAT DARI GAYA BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL MODUL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH ( PROBLEM-BASED INSTRUCTION) DILIHAT DARI GAYA BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL RATRI CANDRA HASTARI 1 1 STKIP PGRI TULUNGAGUNG 1 ratricandrahastari@gmail.com Abstrak

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Dalam suatu penelitian, metode sangat diperlukan karena bertujuan untuk memperoleh pemecahan masalah dari suatu masalah yang sedang diteliti agar mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional 1. Definisi kecerdasan emosional Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan terhadap frustasi, mengendalikan dorongan hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang dihadapi siswa dalam memasuki lingkungan sekolah yang baru adalah penyesuaian diri, walaupun penyesuaian diri tidak terbatas pada siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi mendefinisikan perkembangan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merantau merupakan salah satu fenomena sosial yang memiliki dampak luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong seseorang untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia 12 tahun sampai 21 tahun. Usia 12 tahun merupakan awal pubertas bagi seorang gadis, yang disebut remaja kalau mendapat menstruasi (datang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibandingkan pertengahan masa kanak-kanak bagi remaja itu sendiri maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibandingkan pertengahan masa kanak-kanak bagi remaja itu sendiri maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja sejak dahulu dianggap sebagai masa pertumbuhan yang sulit, dibandingkan pertengahan masa kanak-kanak bagi remaja itu sendiri maupun orang tua. Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi dalam hidupnya. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus dapat melakukan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

Interpersonal Communication Skill

Interpersonal Communication Skill Modul ke: 07 Dra. Fakultas FIKOM Interpersonal Communication Skill Kecerdasan Emosi Tri Diah Cahyowati, Msi. Program Studi Marcomm & Advertising Emotional Equotion (Kecerdasan Emosi) Selama ini, yang namanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi (Goleman, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi (Goleman, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar. Hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan,

Lebih terperinci

Hubungan Antara Kematangan Emosi Dan Kepercayaan Diri Dengan Penyesuaian Diri Pada Remaja Awal Di SMK PGRI 3 KEDIRI

Hubungan Antara Kematangan Emosi Dan Kepercayaan Diri Dengan Penyesuaian Diri Pada Remaja Awal Di SMK PGRI 3 KEDIRI Hubungan Antara Kematangan Emosi Dan Kepercayaan Diri Dengan Penyesuaian Diri Pada Remaja Awal Di SMK PGRI 3 KEDIRI Oleh: Hanggara Budi Utomo Dosen FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri Abstrak Seringkali

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Perilaku Belajar Mahasiswa Konsep tentang belajar yang dikemukanan Skinner adalah konsep belajar secara sederhana, namun komprehensif. Menurut Skinner

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelegensi atau akademiknya saja, tapi juga ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.

Lebih terperinci

DESKRIPSI PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIPA. Purwati 19, Nurhasanah 20

DESKRIPSI PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIPA. Purwati 19, Nurhasanah 20 DESKRIPSI PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIPA Purwati 19, Nurhasanah 20 Abstrak. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seseorang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KEIKUTSERTAAN DALAM EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KEIKUTSERTAAN DALAM EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan jasmani merupakan bagian dari proses pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki 5 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional bukanlah merupakan lawan dari kecerdasan intelektual yang biasa kita kenal dengan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN UMUR MAHASISWI SEMESTER I DIV KEBIDANAN TAHUN 2017

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN UMUR MAHASISWI SEMESTER I DIV KEBIDANAN TAHUN 2017 HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN UMUR MAHASISWI SEMESTER I DIV KEBIDANAN TAHUN 2017 Triwik Sri Mulati Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Kebidanan Abstract: Emotional Intelligence,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang. memuaskan dibutuhkan suatu proses dalam belajar.

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang. memuaskan dibutuhkan suatu proses dalam belajar. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cipta,2008), hlm. 2.

BAB I PENDAHULUAN. Cipta,2008), hlm. 2. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil bagi suatu kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang berkembang dan akan selalu mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab hakikat manusia sejak terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan dimana perubahan secara fisik dan psikologis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, 2006). Perubahan psikologis yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999).

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999). BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kematangan Emosional 2.1.1. Pengertian Kematangan Emosional Kematangan emosional dapat dikatakan sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau selalu membutuhkan orang lain dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini akan diuraikan beberapa teori yang menjadi landasan penelitian yang relevan dengan variabel yang diteliti yaitu teori persepsi, iklim sekolah dan teori penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa unggul merupakan salah satu Universitas swasta yang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa unggul merupakan salah satu Universitas swasta yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Universitas Esa unggul merupakan salah satu Universitas swasta yang terletak di daerah Jakarta Barat. Universitas yang telah berdiri sejak tahun 1993 telah berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci