PENELUSURAN KONFLIK KOGNITIF SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENELUSURAN KONFLIK KOGNITIF SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA"

Transkripsi

1 ISBN: PENELUSURAN KONFLIK KOGNITIF SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA Andi Fajeriani Wyrasti 1 1 Universitas Negeri Papua 1 ichan80math@yahoo.com Abstrak: Konflik kognitif merupakan suatu kondisi yang sering dialami siswa. Konflik kognitif yang terjadi dalam struktur berpikir siswa penting untuk diekspos, sebab berbahaya bagi proses konstruksi pengetahuan yang dilakukan siswa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menelusuri konflik kognitif yang terjadi dalam struktur berpikir siswa ketika menyelesaikan masalah matematika khususnya pada materi geometri. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif eksploratif deskriptif yang dilaksanakan di SDI Surya Buana, Malang, dengan subjek berjumlah 2 orang. Peneliti menggunakan instrumen berupa hasil rekaman aktifitas siswa di kelas dan hasil kerja siswa pada pertemuan sebelumnya untuk menelusuri terjadinya konflik kognitif dalam struktur berpikir siswa. Peneliti menggunkan metode think aloud untuk menelusuri konflik yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik kognitif yang dialami siswa bersifat internal. Subjek berusaha menyelesaikan konflik yang terjadi, dan di akhir tahapan wawancara, subjek berhasil mengonstruksi sebuah informasi baru terkait materi jaring-jaring kubus. Kata Kunci: Konflik Kognitif, Struktur Berpikir (Zazkis, R. & Chernof, E.J., 2008) (Shahbari, J.A. and Peled, I., 2014) (Sigel, 1979) (Liu, 2010) (Sturmer, B., Sommer, W., Frensch, P.,, 2009) Konflik kognitif merupakan suatu kondisi ketidaksesuaian antara struktur kognitif siswa dengan lingkungan sekitarnya atau antara komponen-komponen dari struktur kognitifnya. Konflik kognitif dapat terjadi saat seseorang yang sedang belajar dihadapkan dengan suatu kontradiksi atau ketidakkonsistenan dalam ide-idenya. Menurut Lee & Kwon (2001), konflik kognitif merupakan suatu kondisi dimana seorang siswa memiliki pandangan yang berbada antara apa yang adal dalam struktur kognitifnya dengan lingkungannya atau informasi yang baru saja diperoleh, atau antar komponen yeng berbeda seperti konsep, keyakinan, substruktur, dan sebagainya. Konflik kognitif merupakan suatu keadaan dimana terdapat suatu perbedaan antara struktur kognitif seseorang dengan lingkungannya (informasi eksternal), atau komponen yang berbeda (misalnya konsep, kepercayaan, substruktur, dan sebagainya) dari struktur kognitif seseorang (Lee, et.al, 2003; Sturmer, et.al, 2009). Konflik kognitif juga merupakan sebuah analog dengan ketidakseimbangan, yang ditunjukkan pada suatu kondisi pembelajaran dan pembentukan kognitif siswa (Zazkis & Chernoff, 2006; Shahbari & Peled, 2014). (Baser, Saat siswa melakukan sebuah kesalahan atau saat kesalahan terjadi, merupakan waktu yang sangat tepat untuk menelusuri konflik kognitif yang terjadi pada struktur berpikir siswa tersebut. Sebab untuk mengembangkan perubahan konseptual siswa dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan konflik kognitif (Baser, 2006). Penelusuran terjadinya konflik kognitif penting untuk dilakukan, sebab konflik kognitif timbul akibat adanya ketidakseimbangan dalam mental dan kognitif siswa yang dapat mengakibatkan terjadinya kesulitan, masalah, dan bahkan berbahaya bagi proses konstruksi pengetahuan yang dilakukan siswa (Sela & Zaslavsky, 2007). Jika konflik yang terjadi berlebihan, dapat mengakibatkan siswa melarikan diri dari konflik yang terjadi, merasa cemas atau frustasi (Dreyfus, et.al, 1990).(Dreyfus, A., Jungwirth, E., Eliovitch, R., 1990) Jenis-jenis konflik kognitif diklasifikasikan secara berbeda oleh beberapa ahli. Strauss (1972) mengklasifikasikan konflik kognitif atas 2 jenis, yaitu konflik eksternal yang terjadi akibat adanya interaksi dan komunikasi antara struktur dengan lingkungan (atau yang dikenal sebagai adaptasi); dan konflik internal yang terjadi akibat adanya interaksi dalam strukturnya sendiri. Kwon (1989) 135

2 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur menyebutkan 3 jenis konflik kognitif, yaitu konflik kognitif tipe I (konflik yang terjadi prekonsepsi atau miskonsepsi siswa dengan akibat yang ditimbulkan oleh konsep yang akan dipelajari), konflik kognitif tipe II (Konflik yang terjadi antara konsep yang akan dipelajari dengan akibat yang ditimbulkan oleh prekonsepsi atau miskonsepsi) dan konflik kognitif tipe III (konflik kognitif yang terjadi antara prekonsepsi atau miskonsepsi dengan konsep yang akan dipelajari. (Lee, G. and Kwon, J., 2001) (Strauss, 1972) (Kwon, 1989) Timbulnya konflik kognitif ini dapat dikenali dengan adanya tanda atau isyarat atau penyataan verbal siswa saat menghadapi konflik. Saat siswa menyadari adanya kesalahan dalam interpretasi mereka terhadap suatu situasi dalam proses konstruksi pengetahuan yang dilakukannya, hal ini menunjukkan tanda terjadinya konflik kognitif (Stacey, 2009). Tanda-tanda terjadinya konflik kognitif antara lain menurut Lee & Kwon (2001), terdapat empat tanda terjadinya konflik kognitif. Pertama, adanya recognition of anomaly (menyadari terjadinya keanehan/keganjilan) yang ditandai dengan pernyataan siswa bahwa prediksi mereka tidak sesuai dengan hasil yang mereka pelajari. Hal ini terungkap berdasarkan hasil kajian terhadap penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lee pada Tahun 1990 dan Tanda pertama ini mengisyaratkan adanya konflik kognitif tipe I yang dikemukakan oleh Lee & Kwon (2001), yaitu terjadinya konflik antara prekonsepsi atau miskonsepsi siswa dengan akibat yang ditimbulkan oleh konsep baru yang dipelajari. Beberapa contoh aktifitas siswa yang menunjukkan tanda ini adalah dengan adanya pernyataan siswa seperti hmm (sambil menggosok dagu).. kenapa ini? atau oh ini adalah hasil yang sama, atau (dengan keluhan mendalam), ini aneh, atau saya tidak mengerti; ini aneh (sambil menatap guru). Kedua, adanya ketertarikan siswa terhadap masalah yang dihadapi. Ketertarikan siswa ditunjukkan dengan adanya perilaku siswa seperti tertawa, atau terlihat serius untuk mengetahui masalah yang terjadi setelah dihadapkan pada suatu situasi aneh/ganjil. Ketiga, adanya kekhawatiran. Kekhawatiran siswa ditandai dengan adanya pernyataan verbal siswa bahwa mereka merasakan kesulitan untuk menyelesaikan masalah tersebut, yang ditunjukkan dengan adanya pernyataan Ah! I know nothing about it, saya merasa bingung, Ah! Saya sakit kepala menghadapi masalah ini, saya tidak dapat memahami masalah ini, atau saya merasa terganggu dengan masalah ini. Keempat, adanya keraguan untuk menanggapi. Hal ini ditandai dengan munculnya pernyataan siswa seperti saya tidak dapat menjelaskan hasilnya dengan baik, tetapi, atau (dengan menggerutu seorang diri sambil mencoba memahami masalah) persegi satuan? kubus satuan? model jaring-jaring kubus yang lain? Jika siswa telah menunjukkan adanya konflik yang terjadi maka hal ini harus segera diselesaikan mengingat bahaya yang ditimbulkan akibat adanya konflik kognitif. Proses terjadinya konflik terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap pre-konflik (tahap sebelum konflik terjadi, yaitu penciptaan kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik kognitif), tahap konflik (tahap terjadinya konflik kognitif) dan tahap resolusi konflik (tahap penyelesaian konflik kognitif yang terjadi) (Shahbari & Peled, 2014). Sementara itu, Liu (2010) menyatakan bahwa salah satu tahap penting dalam proses pembelajaran dan konstruksi pengetahuan adalah penyelesaian konflik. Oleh karena itu, siswa harus diberi motivasi untuk mencapai tahap ini (Shahbari & Peled, 2014). Hasil observsi di SDI Surya Buana pada Tanggal 22 dan 29 April 2016, menunjukkan bahwa pada proses pembelajaran materi Geometri khususnya dalam proses penyusunan enam buah persegi satuan menjadi sebuah jaring-jaring kubus, siswa menunjukkan tanda-tanda terjadinya konflik kognitif. Tanda yang muncul antara lain siswa mengetuk-ngetuk meja dan memutar-mutarkan penghapus di atas meja, menunjuk hasil kerjanya sambil memegang dagu, mengatakan ada yang aneh dengan ini (sambil menunjuk hasil kerjanya). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menelusuri kemungkinan terjadinya konflik kognitif yang dialami siswa yang dilakukan dalam 3 tahap, yaitu pre-konflik (tahap pengenalan konflik oleh siswa), tahap konflik (tahap terjadinya konflik kognitif), dan resolusi konflik (tahap penyelesaian konflik). Semua aktifitas siswa dalam ketiga tahap ini serta perilaku-perilaku yang muncul akibat adanya konflik digambarkan dalam bentuk diagram konflik kognitif. (Lee, G., Kwon, J., Park, S.S., Kim, J.W., Kwon, H.G., Park, H.K., 2003) (Sela, H. and Zaslavsky, O., 2007) 136

3 ISBN: METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif eksploratif, yang dilaksanakan pada Kelas V A SDI Surya Buana selama ± 3 minggu yaitu mulai Tanggal 7 April 2016 hingga Tanggal 29 April Subjek pada penelitian ini terdiri atas 2 subjek, yang diberi kode M1 dan M2. Metode wawancara yang digunakan untuk menelusuri konflik kognitif yang terjadi dalam struktur berpikir siswa adalah metode think aloud, sebab dalam proses pemecahan masalah pembuatan jaring-jaring kubus terjadi sebuah proses kognitif. Dalam proses seperti ini, metode think aloud sering digunakan. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan kemampuan penyelesaian masalah siswa, perbedaan kesulitan masalah, dampak instruksi dan faktor lainnya yang muncul sebagai akibat dari pemecahan masalah (van Someren, et.al, 1994). Oleh karena itu untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan siswa saat menyelesaikan masalah geometri, khususnya dalam proses pembuatan jaring-jaring kubus, kedua subjek pada penelitian ini diwawancarai dengan menggunakan metode think aloud. Proses wawancara yang dilakukan didasarkan pada hasil kerja siswa sebelumnya, yaitu pada Tanggal 7 April 2016 untuk Subjek M1 dan Tanggal 22 April 2016 untuk Subjek M2. Wawancara terhadap kedua subjek ini dilaksanakan pada hari yang sama, dan tempat yang sama dengan memperhatikan setting ruang dan situasi pada saat wawancara berlangsung sehingga efektifitas penggunaan metode think aloud dapat diperoleh. van Someren, et.al (1994) mengemukakan bahwa hal utama yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode ini adalah menciptakan kenyamanan bagi subjek seperti ketenangan dalam ruang tempat wawancara berlangsung, tersedianya air minum, adanya tempat duduk yang nyaman. Kondisi seperti ini membantu menurunkan tingkat stres dan ketegangan pada siswa sehingga subjek tidak merasa tertekan saat proses wawancara berlangsung dan dapat mengungkapkan apa yang dipikirkananya dengan lancar. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti memperhatikan dan mencatat isyarat yang diperlihatkan/diungkapkan kedua subjek, yang menunjukkan ciri terjadinya konflik kognitif baik berupa gerakan tubuh yang diperlihatkan subjek maupun ungkapan-ungkapan tidak biasa yang lontarkan oleh subjek. Isyarat-isyarat ini yang selanjutnya digunakan oleh peneliti untuk menelusuri konflik yang terjadi dalam struktur kognitif subjek. Hasil wawancara ini kemudian dianalisis dan diungkapkan secara deskriptif dalam tulisan ini. (Stacey, K., Sonenberg, E., Nicholson, A., Boneh, T., Steinle, V.,, 2003) (van Someren, M.W., Barnard, Y.F., Sandberg, J.A.C., 1994) HASIL DAN PEMBAHASAN Penelusuran Konflik Kognitif Subjek M1 Subjek M1 adalah siswa yang memiliki kemampuan sedang di kelasnya. Subjek M1 terjaring berdasarkan hasil observasi pada Tanggal 7 April Subjek M1 tertangkap kamera ketika melakukan kesalahan saat menyusun jaring-jaring kubus. Berdasarkan pengamatan peneliti saat observasi berlangsung dan hasil rekaman berdurasi 5 menit yang diperoleh peneliti, subjek M1 menunjukkan beberapa kali isyarat terjadinya konflik kognitif dan berhasil keluar dari konflik yang dialaminya. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk menelusuri konflik yang terjadi dan apa yang dipikirkan siswa saat itu. Hasil rekaman ini yang selanjutnya dijadikan panduan untuk melakukan wawancara. Peneliti melakukan crosscheck hasil rekaman yang diperoleh dengan jawaban siswa saat proses wawancara berlangsung. Berikut ini transkrip hasil rekaman dan cuplikan wawancara yang dilakukan. 137

4 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur (a) (b) Gambar 1 Konflik Awal yang Dihadapi Siswa Gambar 1a memberikan informasi mengenai pembentukan jaring-jaring kubus yang dihasilkan Subjek M1. Setelah menyusun jaring-jaring kubusnya, gerakan tangan Subjek M1 mengisyaratkan upaya menegakkan persegi pada jaring-jaring kubus buatannya agar terbentuk sebuah kubus. Subjek M1 kemudian menyadari ada sesuatu dengan jaring-jaring kubus yang dibentuknya (Gambar 1b) dan menanyakan pendapat siswa lainnya terkait hasil yang dibuatnya sambil berkata coba lihat ini (sambil menunjuk pekerjaannya), aneh ndak?. Saat menyadari adanya keanehan ini, siswa A menunjukkan bahwa telah terjadi pertentangan antara konsep kubus yang dimiliki siswa dengan jaring-jaring yang dibuatnya. Hal yang sama juga dikemukakan siswa saat wawancara berlangsung. Berikut cuplikan hasil wawancara dengan Subjek M1. P : masih ingat kejadian ini? (sambil menunjukkan rekaman pada saat observasi berlangsung) M1 : (tersenyum) hehe, masih. Itu ibunya waktu datang rame-rame P : hmmm baiklah coba perhatikan ini, apa yang kamu pikirkan saat menyusun jaring-jaring ini? (sambil menghentikan rekaman pada bagian seperti pada gambar 1a) M1 : oh, saya harusnya membuat jaring-jaring kubus, tapi tabrakan P : tabrakan? M1 : iya, itu disitu coba ta berdirikan jaring-jaringnya, tapi ada yang tabrakan. Jadinya sisi P kubusnya berkurang 1 : baiklah, bagaimana dengan bagian ini? (menghentikan rekaman pada bagian seperti Gambar 1b) M1 : sebenarnya itu aku bingung, kenapa ada tabrakan. Seharusnya tidak terjadi tabrakan. Seharusnya jaring-jaring itu benar. Lalu apa yang salah ya? Jadi aku nanya cindy Dialog terakhir ini menggambarkan kegalauan yang dialami Subjek M1 saat proses pemecahan masalah yang dilakukan. Kegalauan ini diakibatkan adanya gap antara konsep yang dimiliki Subjek M1 dengan hasil kerjanya. Gap ini ditandai dengan kata-kata Subjek M1 aku bingung,, seharusnya, apa yang salah ya?. Selanjutnya Subjek M1 berusaha keluar dari konflik yang dialaminya dengan jalan menanyakan dan meminta bantuan rekan kelompoknya. Berikut cuplikannya wawancaranya. P : lalu? M1 : sama cindy, ditambahin1 perseginya di bagian bawah P : oh ya benar, saya punya gambarnya (melanjutkan video dan menghentikan pada bagian yang dimaksud (Gambar 2a)) M1 : iya, tapi justru aku jadi makin bingung, karena ta hitung perseginya sekarang malah jadi 7. Buat jadi kubus, harusnya cuma butuh 6 yang digandeng-gandengkan. Makax ta keluarin 1 yang ditambahin cindy P : oh ya, saya punya juga gambar kejadian itu (sambal menunjukkan lanjutan rekaman dan menghentikan pada bagian yang dimaksud (Gambar 2b)) 138

5 ISBN: (a) (b) Gambar 2 Semakin Kompleksnya Konflik yang Terjadi Subjek M1 mencoba menyelesaikan konflik awal yang dihadapinya dengan menanyakan pendapat rekannya yang bernama Cindy. Cindy memberikan bantuan (Gambar 2a). Subjek M1 memikirkan hasil bantuan Cindy, sambil mengetuk-ngetuk meja (berdasarkan hasil rekaman) pada bagian yang baru saja ditambahkan Cindy dan akhirnya menyadari bahwa hasil ini juga belum benar (Gambar 2b) dan mengembalikan bentuknya ke bentuk awal yang diperolehnya. Tahap dalam proses ini masih memperlihatkan konflik yang terjadi akibat adanya perbedaan antara konsep kubus/jaring-jaring kubus yang dimiliki siswa dengan bentuk jaring-jaring yang dihasilkan. Adanya konflik ditandai dengan adanya pernyataan verbal siswa seperti aku jadi makin bingung, sekarang malah jadi 7., harusnya cuma butuh 6 yang digandengkan. Konflik yang dialami Subjek M1 terkait bentuk jaring-jaring kubus belum berakhir dan belum terselesaikan saat observasi berlangsung. Subtek M1 cenderung melarikan diri dari konflik yang dialami. Berikut ini cuplikan wawancara mengenai upaya Subjek M1 menghindar dari konflik yang dialaminya. M1 : ternyata bentuk itu memang bukan jaring-jaring kubus. Tapi harusnya bisa jadi jaring-jaring kubus. Karena ndak ketemu, saya bongkar saja dan buat yang lain yang baru, dan itu berhasil (a) (b) Gambar 3 Subjek M1 Berupaya Melarikan Diri dari Konflik yang Dihadapi Hingga akhir tayangan rekaman ini, Subjek M1 masih bertahan dengan kebimbangannya mengenai bentuk jaring-jaring kubus yang dibuatnya. Subjek M1 sangat meyakini bahwa seharusnya bentuk itu adalah jaring-jaring kubus. Subjek M1 menyadari adanya keanehan, namun dimana letaknya tidak dapat dipecahkan oleh subjek sehingga subjek merombak bentuk jaring-jaringnya (Gambar 3a) dan menghasilkan bentuk jaring-jaring yang baru yang berbeda dengan pola yang sudah dibuatnya sebelumnya (Gambar 3b). Wawancara kemudian dilanjutkan dengan upaya peneliti untuk mengarahkan subjek untuk menyelesaikan masalah sebenarnya. Wawancara ini didasarkan pada informasi yang diperoleh dari wawancara sebelumnya yaitu siswa mengetahui bahwa untuk membentuk sebuah jaring-jaring kubus, dibutuhkan 6 buah persegi satuan yang terhubung. P : baiklah, kita tinggalkan ingatan tentang rekaman itu. Saya punya bentuk seperti ini (sambil membuat jaring-jaring kubus seperti jaring-jaring kubus yang dibuat subjek dalam tayangan 139

6 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur sebelumnya). Tolong bantu saya memikirkan dan mengungkapkan bagaimana seharusnya masalah ini (sambil menunjuk bentuk jaring-jaring yang telah jadi) Gambar 4 Bentuk yang Diyakini Sebagai Jaring-jaring Kubus oleh Subjek M1 M1 : hmmm iya, ini kan sebenarnya sudah benar, tapi (terlihat menggosok-gosokkan telunjuk pada hidungnya) Subjek masih mengalami konflik pada tahap ini. M1 : tapi ini ada yang tabrakan dan jadinya ndak ada tutup kubusnya P : baiklah, coba saya tambahkan sebuah persegi satuan disini. Sekarang kubus ini telah memiliki tutup (peneliti menambah sebuah persegi satuan) Gambar 5 Rekayasa 1 Bentuk Menyerupai Jaring-jaring Kubus Bagian yang diarsir merupakan bagian yang baru saja ditambahkan. Selanjutnya, peneliti mencoba memancing terciptanya konflik yang lebih kompleks. M1 : hmmm iya, tapi jadinya ada tujuh. Jadi yang ini tidak boleh (sambil mengeluarkan bagian yang peneliti tambahkan) P : bagaimana bila bagian yang tabrakan saya hilangkan salah satunya, jadi seperti ini (peneliti mengeluarkan salah satu bagian yang disebut bertabrakan oleh subjek) Gambar 6 Rekayasa 2 Bentuk Menyerupai Jaring-jaring Kubus Garis putus-putus dan bagian yang diarsir merupakan bagian yang dihilangkan M1 : podo, bu. Gak oleh. Gak iso dadi kubus P :??? (menunjukkan ekspresi kebingungan dengan maksud agar subjek mau menjelaskan apa yang disebut gak iso dadi kubus ) M1 : (tertawa, menyadari bahwa peneliti bukan berasal dari jawa) hehehe, sama aja bu, gak bisa dibuat kubus, kurang satu sisi jadinya M1 : (terdiam sambil menatap bentuk jaring-jaring yang disebutnya kurang satu) M1 : (tangan subjek bergerak-gerak) M1 : (tertawa kegirangan, menjentikkan jarinya dan nyaris melompat dari posisi duduknya) ah, aku tau, bu. Harusnya seperti ini Gambar 7 Real-Resolution Siswa Mengenai Jaring-jaring Kubus 140

7 ISBN: Subjek memindahkan posisi salah satu persegi. Garis putus-putus menunjukkan bagian yang dipindahkan dan bagian yang diarsir menunjukkan tempat baru untuk bagian yang dipindahkan tadi. Subjek berhasil menyelesaikan masalahnya. Cuplikan tambahan wawancara dengan subjek ini memperlihatan bahwa sesungguhnya subjek memiliki konsep dasar berupa syarat untuk membentuk jaring-jaring kubus yaitu adanya 6 persegi, dan keenam persegi ini harus terhubung. Subjek akhirnya bisa menemukan solusi sebenarnya (Real Solution) dari masalah yang dihadapinya dengan bantuan pernyataan-pernyataan untuk memancing terjadinya konflik dalam struktur kognitif subjek yang mengarahkan subjek pada penyelesaian. Secara umum, berdasarkan hasil analisis terhadap rekaman dan wawancara, subjek M1 mengalami konflik internal, yaitu konflik antara konsep awal yang dimilikinya tentang jaring-jaring kubus hasil kerjanya sendiri. Konflik yang terjadi dalam struktur kognitif subjek M1 terjadi secara internal tanpa intervensi dari luar. Strauss (1972) menyatakan bahwa konflik internal merupakan sebuah interaksi antara konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa dengan sttruktur dalam diri siswa sendiri. Konflik semacam ini ditunjukkan oleh Subjek M1. Subjek M1 meyakini bahwa seharusnya apa yang dikerjakannya adalah kebenaran berdasarkan konsep yang dimilikinya yaitu jaring-jaring kubus terdiri atas 6 buah persegi satuan yang saling terhubung dan pola jaring-jaring kubus harus seperti yang dibuatnya. Namun kebenaran itu terganjal oleh konsep lain yang dimilikinya bahwa untuk membentuk sebuah kubus, persegi satuan yang menyusun jaring-jaring kubus tidak boleh saling tumpang tindih. Hasil wawancara berdasarkan rekaman saat observasi menunjukkan bahwa subjek M1 memiliki keyakinan yang kuat terhadap konsep yang dimiliki dan kebenaran hasil kerjanya yang seharusnya terjadi saat itu. Hal ini ditunjukkan dengan adanya aktifitas subjek yang mengulang membuat bentuk yang sama hingga 2 kali. Subjek meyakini bahwa hasil kerjanya seharusnya benar, akan tetapi subjek sadar akan adanya keanehan dalam hasil kerjanya. Hal ini mengindikasikan terjadinya konflik kognitif dalam struktur berpikir subjek. Seperti yang diungkapkan oleh Stacey (2009) bahwa tanda terjadinya konflik adalah saat siswa menyadari adanya kesalahan menginterpretasi suatu konsep dalam proses konstruksi pengetahuan yang dilakukannya. Adanya konflik kognitif yang dialami Subjek M1 ini semakin diperkuat dengan adanya tanda-tanda yang ditunjukkan oleh subjek dalam rekaman dan wawancara baik dalam bentuk pernyataan verbal seperti aneh ndak?, aku bingung,, apa yang salah ya? (tanda pertama adanya konflik kognitif yang dikemukakan oleh Lee & Kwon (2001)),, harusnya cuma butuh 6 yang digandengkan, sekarang malah jadi 7, seharusnya, aku jadi makin bingung (merupakan tanda keempat adanya konflik kognitif yang dikemukakan oleh Lee & Kwon (2001)), maupun dalam bentuk isyarat tubuh subjek seperti mengetuk-ngetuk meja, menunjuk hasil kerjanya sambil memegang dagu, memandang temannya, menggosok-gosok hidung dengan telunjuknya, yang merupakan tanda pertama seperti yang dikemukakan oleh Lee & Kwon (2001), membongkar dan kembali mengulang membuat bentuk yang sama hingga dua kali (tanda kedua yang dikemukakan oleh Lee & Kwon (2001)), hingga merombak dan memperbaiki dalam bentuk yang lain (tanda keempat yang dikemukakan oleh Lee & Kwon (2001)). Merombak dan memperbaiki bentuk jaring-jaring kubus menjadi bentuk lain yang dilakukan oleh siswa memperlihatkan bahwa siswa mencoba menyelesaikan konflik yang dilakukannya, namun penyelesaian konflik dilakukannya dengan cara menghindar dari masalah yang sedang dihadapinya. Penyelesaian konflik seperti ini disebut penyelesaian semu (Pseudo-Resolution). Wawancara lanjutan dengan Subjek M1 memperlihatkan proses penemuan penyelesaian sebenarnya (Real-Resolution) yang berhasil diperoleh subjek M1 dengan panduan berupa pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan pertentangan dengan konsep yang dimiliki siswa. Perilaku siswa selama tahapan konflik dapat digambarkan seperti Gambar

8 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Gambar 8 Diagran Konflik Kognitif dan Aktifitas yang Dapat Diamati pada Subjek M1 Diagram ini memberikan gambaran tahapan konflik kognitif yang dialami subjek beserta aktifitas yang nampak pada subjek pada setiap tahapan konflik, diawali dari tahap pre-konflik hingga tahap penyelesaian konflik. Bagian yang diarsir merupakan fase resolusi konflik dan fase perubahan konsep yang diharapkan terjadi. Pada tahap prekonflik, subjek sangat aktif selama proses menyusun jaring-jaring kubus dan mampu memanfaatkan semua pengetahuannya terkait pembentukan jaring-jaring kubus, dan meyakini suatu model jaring-jaring kubus tertentu yang merupakan sumber terjadinya konflik dalam struktur kognitif subjek. Subjek menciptakan sendiri konflik kognitifnya, sehingga pada tahap konflik kognitif terjadi, subjek menunjukkan adanya ketertarikan untuk menyelesaikan masalahnya, timbul rasa penasaran dalam benak subjek yang ditandai dengan aktifitas subjek mengulang membuat bentuk yang sama. Pengulangan bentuk yang sama ini dilakukan subjek setelah subjek mencoba keluar dari konfliknya dengan membentuk pola jaring-jaring kubus yang lain (pseudo-resolution), dan akhirnya dengan terciptanya konflik kognitif yang lebih dalam, subjek mampu mencapai real-resolution. Subjek M1 pada akhir wawancara menyebutkan satu syarat tambahan untuk membentuk jaring-jaring kubus, yaitu persegi yang disusun tidak boleh tabrakan, sehingga konsep baru yang dimiliki subjek tentang syarat pembentukan jaring-jaring kubus menggunakan persegi satuan adalah (1) hanya terdiri atas enam buah persegi satuan, (2) keenam persegi satuan tersebut harus saling terhubung, dan (3) tidak terjadi tumpang tindih antar persegi satuan bila didirikan menjadi sebuah kubus/ Penelusuran Konflik Kognitif Subjek M2 Subjek M2 terjaring berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan pada Tanggal 22 April Pada Tanggal 22 April 2016, melalui sebuah wawancara, Subjek M2 diminta untuk menyelesaikan masalah seperti pada Gambar 9. Potongan soal pada Gambar 9 menunjukkan bahwa subjek diminta untuk menggambar jaring-jaring kubus berukuran, menghitung luas permukaan kubus menggunakan model jaring-jaring yang dibuat siswa, dan membuat kubus dari jaring-jaring kubus tersebut. Subjek M2 terdeteksi memiliki keyakinan yang kuat dan penuh percaya diri saat merubah ukuran panjang rusuk balok seperti Gambar 10 yang merupakan tampilan jawaban subjek. 142

9 ISBN: Gambar 9 Masalah Awal yang Dijadikan Dasar Pemilihan Subjek Subjek M2 dengan penuh kepercayaan diri mengatakan bahwa subjek menggunakan skala 1:3 saat menggambarkan jaring-jaring ini (Delastari, 2016). Jawaban ini salah, sebab hasil akhir yang diinginkan dari soal tersebut adalah sebuah kubus yang ukuran rusuknya. Hasil pekerjaan subjek inilah yang selanjutnya dijadikan dasar bagi peneliti untuk memilih Subjek M2, sebab peneliti menduga bahwa subjek akan melakukan kesalahan yang sama saat dihadapkan pada masalah seperti ini. Wawancara yang dilakukan terhadap Subjek M2 bermaksud untuk menelusuri konflik yang terjadi pada subjek dan menyadarkan subjek bahwa keyakinan yang dipegangnya terkait penggunaan skala merupakan kesalahan yang fatal. Gambar 10 Jaring-Jaring Kubus yang Dihasilkan Siswa Wawancara terhadap subjek dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan soal pada subjek dan memberikan waktu beberapa menit pada subjek untuk mencermati apa yang diinginkan dari soal tersebut. Selanjutnya peneliti meminta subjek untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya tentang soal tersebut. Berikut ini cuplikan soal dan transkrip wawancaranya 143

10 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur P : sudah dipahami apa yang diinginkan dari soal itu? (mencoba membuat dasar terjadinya konflik) M2 : (menganggukan kepala) P : dapatkah kamu katakan pada saya, apa yang diketahui dan apa yang diinginkan dari soal itu? M2 : ya diketahui panjang rusuk kubus 7 cm. Saya diminta membuat kubus dari jaring-jaring P kubus yang rusuknya 7 cm dan menghitung volume kubusnya : baiklah, saya memiliki selembar kertas, silahkan gunakan seefektif mungkin kertas ini untuk menyelesaikan soal itu (sambil menyerahkan selembar kertas A4 berukuran ) M2 : (mengambil kertas, memposisikan kertasnya memanjang ke bawah, mengambil penggaris dan pinsilnya, membuat beberapa titik dengan jarak tertentu ke arah bawah kertas, kemudian membuat garis melintang) (berhenti sejenak, terlihat berpikir sambil menggoyang-goyangkan pinsilnya) hmm Subjek mencoba membuat jaring-jaring kubus yang bentuknya seperti pada Gambar 11 Gambar 11 Jaring-jaring Kubus yang akan Digambar Oleh Subjek Peneliti membiarkan subjek berimajinasi agar dapat menemukan bentuk jaring-jaring yang tepat menurut subjek. M2 : (menghapus garis yang dibuatnya) (menggambar garis yang baru dan membuat titik-titik yang baru) gak muat (menghapus garis melintang dan titik-titik yang sudah dibuatnya) Subjek pada percobaan keduanya berencana membuat jaring-jaring kubus yang lain, yang bentuknya seperti pada Gambar 12 Gambar 12 Bentuk Jaring-jaring Kubus Lainnya yang Akan Digambar Subjek Subjek terfokus pada posisi kertas yang diposisikannya memanjang dan bentuk-bentuk jaring-jaring kubus yang memanjang. M2 : (termenung sesaat) (menggerutu) bu, gak bisa dibagi dua (menunjuk soal) Dugaan peneliti terkait miskonsepsi subjek tentang penggunaan skala dan perbandingan akhirnya terbukti. Subjek rupanya mencoba mengulangi apa yang dilakukannya sebelumnya, yaitu menggambar jaring-jaring kubus menggunakan skala. Hal ini menunjukkan bahwa subjek memiliki pengetahuan yang sangat baik terkait skala dan perbandingan yang belum lama dipelajarinya dan berusaha untuk menerapkan pengetahuan terdahulu yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah ini. P : dibagi dua??? Apa maksudnya dibagi dua? Apa yang akan dibagi dua? (sambil menunjukkan ekspresi bingung) M2 : (tersenyum melihat ekspresi kebingungan peneliti) hehe, maksudnya 7 yang di soal ini gak habis dibagi 2 P : apa maksudnya? M2 : saya harus membuat jaring-jaring kubus yang panjang rusuknya. Tapi kertasnya tidak akan muat jadi ukurannya harus dibuat lebih kecil dan supaya muat di kertas ini. Nah, yang bisa itu kalau panjangnya kelipatan dua 144

11 ISBN: Peneliti kemudian mengarahkan subjek pada sebuah konflik. P : hmmm OK, andaikan kubus yang diminta panjang rusuknya, dapatkah kamu gambarkan jaring-jaring kubusnya? M2 : pasti (sambil menggambarkan jaring-jaring kubus dengan ukuran yang lebih kecil) nih (menyerahkan gambar jaring-jaring kubus yang ukuran rusuknya seperti Gambar 13) P : hmm jadi seperti ini menggunakan perbandingan ya? M2 : iya, saya bagi 4 Gambar 13 Hasil Kerja Siswa Menggunakan Skala 1:4 Subjek M2 terlihat sangat yakin dengan jawabannya yang menggunakan skala/perbandingan. Peneliti mencoba memancing agar subjek memikirkan kembali keyakinan yang dimilikinya. P : baiklah jadi, ini adalah jaring-jaring kubus dengan ukuran rusuk? M2 : hmm iya (dengan anggukan ragu-ragu) M2 : eh (terlihat berpikir sambil mengetuk-ngetukan pinsilnya ke lantai) Anggukan ragu-ragu dan berpikir sambil mengetuk-ngetuk pinsil yang ditunjukkan subjek, merupakan tanda telah terjadinya konflik pada Subjek M2. Konflik ini harus terus digali. Peneliti melanjutkan menggali konflik lebih dalam. P : apakah jaring-jaring kubus ini dapat membentuk sebuah kubus yang panjang rusuknya? M2 : (berpikir) (tersenyum) tidak bisa P : lalu? M2 : tidak boleh dibagi dua P : OK, jadi kita kembali ke masalah pertama M2 : saya coba bentuk jaring-jaring yang lain (sambil mencoba menggambar kembali) (menggoyang-goyangkan pinsil) saya bingung, tetap saja tidak bisa. Tidak ada yang bisa (melepaskan pinsil dan penghapusnya) saya menyerah Subjek M2 pada tahap ini berusaha keluar dari konfliknya tanpa menyelesaikan konflik yang terjadi. Oleh karena itu, peneliti mencoba memberikan stimulus untuk membantu subjek menyelesaikan konfliknya dengan meminta subjek mengukur panjang dan lebar kertas. M2 : panjangnya 29 koma 7, lebarnya 21 P : hmm apakah tidak muat untuk menggambar jaring-jaring kubus dengan panjang rusuk? M2 : (termenung) (menggoyang-goyangkan pinsilnya) (membuat sketsa jaring-jaring pada secarik kertas (Gambar 14)) 145

12 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Gambar 14 Sketsa Jaring-jaring yang Dibuat Siswa M2 : ah, sepertinya bisa bu. Kertasnya harus dibalik (sambil memutar posisi kertasnya) M2 : (mengukur, membuat titik-titik tertentu pada kertasnya, dan menggambar sebuah jaring-jaring kubus seperti Gambar 15) Gambar 15 Jaring-jaring Kubus Buatan Subjek Siswa berhasil membuat jaring-jaring kubus dan kubus yang ukuran rusuknya. Karakteristik munculnya konflik pada Subjek M2 diakibatkan kesalahan pemanfaatan pengetahuan sebelumnya tentang skala dan perbandingan. Konflik yang dialami Subjek M2 merupakan konflik kognitif tipe II (Kwon, 1989) yaitu konflik yang terjadi akibat tidak padunya konsep jaring-jaring kubus (sebagai konsep yang akan dipelajari) dengan konsep skala dan perbandingan yang dimiliki subjek sebelumnya (sebagai akibat yang ditimbulkan opeh prekonsepsi subjek). Subjek dengan penuh kepercayaan diri menerapkan konsep skala dan perbandingan untuk menggambarkan sebuah jaring-jaring kubus. Kepercayaan diri yang ditunjukkan subjek ini dapat dipahami sebab berdasarkan informasi guru kelas subjek, subjek merupakan siswa yang tergolong pandai. Selama proses wawancara berlangsung, wajah subjek yang menggunakan kacamata ini terlihat sangat serius, yang merupakan salah satu tanda terjadinya konflik menurut Lee & Kwon (2001). Subjek menunjukkan ketertarikan untuk menyelesaikan soal dengan cepat, antusias, penuh percaya diri dan senantiasa serius dalam menjawab pertanyaan yang peneliti lontarkan. Perilaku subjek yang seperti ini 146

13 ISBN: menurut Lee & Kwon (2001) merupakan sebuah indikasi terjadinya konflik kognitif, yaitu ketertarikan subjek terhadap masalah yang dihadapi. Subjek menyadari terjadinya konflik. Saat menyadari telah terjadi konflik, subjek berusaha menyelesaikan konfliknya dengan cara menyelesaikan sumber terjadinya konflik yaitu masalah perbandingan. Kemudian subjek melakukan pengukuran, menggambar sketsa, dan akhirnya menemukan jawaban dari soal yang diberikan. Hingga akhirnya siswa menyadari dan membuat simpulan bahwa penggunaan perbandingan ukuran tidak boleh digunakan untuk menyelesaikan soal-soal seperti soal yang diberikan. Gambar 16 berikut memberikan informasi aktifitas-aktifitas selama tahapan konflik yang dialami oleh Subjek M2. Gambar 16 Aktifitas yang Dapat Diamati pada Subjek M2 PENUTUP Sumber pengetahuan awal atau Konsep awal atau keyakinan awal yang salah yang diyakini siswa sebagai suatu kebenaran atau konsep awal yang telah sempurna, namun mengalami pertentangan dengan hasil kerja siswa, seperti yang dialami kedua subjek pada penelitian ini, dapat memicu terjadinya konflik dalam struktur kognitif siswa. Tanda terjadinya konflik dapat berbentuk ungkapan secara verbal maupun perilaku siswa. Konflik subjek yang merupakan konflik internal diakibatkan adanya kesalahan konstruksi konsep berupa mis-analogical construction (Subanji, 2015), yaitu menganalogikan bentuk/pola tertentu sebagai bentuk/pola jaring-jaring kubus, sedangkan konflik subjek lainnya merupakan konflik kognitif tipe II yang diakibatkan oleh miskonsepsi mengenai penggunaan konsep skala dan perbandingan untuk menggambar jaring-jaring kubus. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesalahan konstruksi konsep matematika dan miskonsepsi siswa dapat digunakan untuk menelusuri konflik kognitif dalam struktur kognitif siswa. Siswa memiliki karakter tersendiri dalam menyelesaikan konflik yang dialami. Penyelesaian konflik yang dilakukan dengan cara mencari solusi dengan mengalihkan pada bentuk masalah yang lain yang ditemukan dalam penelitian ini disebut Pseudo-Resolution, sedangkan yang konflik yang diselesaikan dengan menyelesaikan akar masalah itu sendiri dalam penelitian ini disebut sebagai Real-Resolution. Setelah melalui tahap penyelesaian konflik, subjek akhirnya dapat membentuk sebuah konsep baru yang merupakan perbaikan dan penambahan terhadap konsep awal. Konflik kognitif yang terjadi dalm struktur kognitif siswa dapat berakibat fatal terhadap proses konstruksi konsep yang dilakukan siswa, oleh karena itu, sangat penting untuk menelusuri konflik kognitif dalam struktur kognitif siswa. 147

14 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur DAFTAR RUJUKAN Baser, M. (2006). Fostering Conceptual Change by Cognitive Conflict Based Instruction on Students' Understanding of Heat and Temperature Concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 2, No. 2, Delastari, L. (2016). Abstraksi Matematis dalam Menyelesaikan Masalah pada Siswa SD. (artikel dalam rencana publikasi). Dreyfus, A., Jungwirth, E., Eliovitch, R. (1990). Applying the "Cognitive Conflict" Strategy for Conceptual Change - Some Implications, Difficulties, and Problems. Science Education, 74 (5), Kwon, J. (1989). A Cognitive Model of Conceptual Change in Science Learning. Physics Teaching, 1-9. Lee, G. and Kwon, J. (2001). What Do We Know About Students' Cognitive Conflict in Science Classroom : A Theoretical Model of Cognitive Conflict Process. The Annual Meeting of The Association for The Education of Teachers in Science. Costa MEsa, CA: ERIC. Lee, G., Kwon, J., Park, S.S., Kim, J.W., Kwon, H.G., Park, H.K. (2003). Development of an Instrument for Measuring Cognitive Conflict in Secondary-Level Science Classes. Journal of Research in Science Teaching, 40, No. 6, Liu, T. (2010). Developing Simulation-Based Computer Assisted Learning to Correct Students' Statistical Misconceptions Based on Cognitive Conflict Theory, Using "Correlation" as an Example. Educational Technology and Society, 13 No. 2, Sela, H. and Zaslavsky, O. (2007). Resolving Cognitive Conflict With Peers - Is There A Difference Between Two and Four? Proceedings of The 31st Conference of The International Group for The Psychology of Mathematics Education. 4, pp Seoul: PME. Shahbari, J.A. and Peled, I. (2014). Resolving Cognitive Conflict in a Realistic Situation With Modeling Characteristics: Coping With a Changing Reference in Fractions. International Journal of Sciense and Mathematics Education. Sigel, I. (1979). On Becoming a Thinker: A Psychoeducational Model. Educational Psychologist, 14, Stacey, K., Sonenberg, E., Nicholson, A., Boneh, T., Steinle, V.,. (2003). A Teaching Model Exploiting Cognitive Conflict Driven by A Bayesian Network. P. Brusilovsky, et al. (Eds.) University of Melbourne, pp Strauss, S. (1972). Inducing Cognitive Development and Learning: A Review of Short-Term Training Experiments I. The Organismic Developmental Approach. Cognition, 1, No. 4, Sturmer, B., Sommer, W., Frensch, P.,. (2009). Conflict As Signals: Bridging The Gap Between Conflict Detection and Cognitive Control. Psychological Research, 73, Subanji. (2015). Teori Kesalahan Konstruksi Konsep dan Pemecahan Masalah Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang. van Someren, M.W., Barnard, Y.F., Sandberg, J.A.C. (1994). The Think Aloud Method, A Practical Guide to Modelling Cognitive Processes. London: Academic Press, London. Zazkis, R. & Chernof, E.J. (2008). What Makes a Counterexample Exemplary? Eductional Studies Mathematics, 68, doi: /s

15 ISBN: INTERPRETASI SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA Dona Afriyani IAIN Batusangkar donaafriyani@gmail.com Abstrak: Kegiatan interpretasi merupakan tindakan membaca untuk menemukan sense making dan memperoleh makna dalam pemecahan masalah matematika. Pemecahan masalah tentang situasi dunia nyata dan sebagian informasi disajikan pada tabel membutuhkan interpretasi terhadap tabel dan masalah yang berbentuk teks. Interpretasi tabel dirasa lebih sulit bagi siswa Sekolah Dasar dibandingkan dengan interpretasi terhadap teks. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini menggali interpretasi siswa selama pemecahan masalah matematika. Jenis penelitian ini adalah studi kasus terhadap dua orang siswa SD kelas IV. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa dapat membuat interpretasi kuantitatif dan kualitatif pada tabel harga makanan. Interpretasi siswa dalam pemecahan masalah terjadi pada tahap memahami masalah dan pengambilan keputusan. Terdapat dua jenis kesalahan yang menyebabkan siswa gagal memecahkan masalah yaitu kesalahan algoritmik dan kesalahan interpretasi kualitatif. Kata Kunci: Kemampuan membaca, interpretasi, tabel, pemecahan masalah. Interpretasi merupakan hasil dari kegiatan membaca. Objek bacaan pada pembelajaran matematika tidak hanya berbentuk teks matematika tetapi juga berbentuk tugas pemecahan masalah. Biasanya objek bacaan disajikan dalam berbagai bentuk representasi, misalnya teks (verbal), tabel, grafik, atau persamaan matematika. Tindakan membaca untuk menemukan sense making dan memperoleh makna yang terkandung pada objek bacaan disebut dengan interpretasi. Pandangan sebagian besar pendidik matematika bahwa kemampuan interpretasi belum dituntut pada pembelajaran matematika SD. Hal ini bertolak belakang dengan karakteristik pembelajaran matematika SD yang bersifat kontekstual. Menurut teori perkembangan kognitif (Sternberg, 2012), anak-anak usia 7-11/12 tahun berada pada tahap berpikir kongkrit dengan ciri pokok perkembangannya yaitu anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkrit. Artinya, siswa SD sudah harus membuat interpretasi melalui kegiatan membaca kejadian-kejadian konkrit yang dihadirkan dalam bentuk representasi verbal dan tabel. Aktivitas matematika seperti tersebut dapat mendukung untuk mencapai pemahaman bermakna terhadap konsep-konsep matematika. Selain itu, NCTM (2000) menyarankan bahwa guru harus menggunakan situasi dunia nyata dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat dalam mengartikulasikan dan memprediksi situasi-situasi tersebut. Sumarmo (2004) menambahkan bahwa kemampuan membaca mendukung pengembangan kemampuan matematis yang meliputi pemahaman konsep, pemecahan masalah matematis, penalaran matematis, koneksi matematis dan komunikasi matematis. Dapat dikatakan bahwa kemampuan membaca merupakan kemampuan dasar dan menjadi syarat bagi pencapaian kemampuan matematis. Situasi dunia nyata yang dihadirkan dalam pembelajaran matematika SD harus mempertimbangkan hal-hal yang akrab atau dekat dengan siswa. Tujuannya adalah agar siswa dapat menggunakan pengalaman hidupnya untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika yang berkaitan dengan situasi dunia nyata. Ini merupakan salah satu strategi agar pembelajaran 149

16 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur matematika menjadi bagian dari pengalaman hidup siswa dan konsep matematika menjadi lebih bermakna bagi mereka. Roth (dalam Wijaya, 2011) mendefinisikan situasi dunia nyata dari tiga sudut pandang. Pertama, situasi dunia nyata merupakan deskripsi situasional suatu masalah. Deskripsi situasional ini dapat disajikan dalam bentuk narasi tentang skenario suatu masalah nyata dan juga berbentuk grafik, simbolik dan tabel (Bosse, Adu-Gyamfi & Cheetham, 2011). Kedua. Situasi dunia nyata merupakan permasalahan kehidupan sehari-hari yang dapat diubah menjadi model matematika. Ketiga, situasi dunia nyata mengacu ke tema yang dekat dengan lingkungan anak. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa situasi dunia nyata dapat disajikan dalam berbagai bentuk representasi matematis yaitu representasi verbal, grafik, tabel dan simbolik. Dari keempat bentuk representasi tersebut, representasi verbal dan tabel yang diperkenalkan dalam pembelajaran matematika SD. Sementara itu, representasi simbolik dan grafik mulai diperkenalkan pada pembelajaran matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP). Alasannya, pembelajaran matematika SD untuk membangun number sense siswa sedangkan pembelajaran matematika SMP untuk membangun symbol sense siswa. Beberapa hasil penelitian (Wong, 2016; Reneau, 2012) menunjukkan bahwa ketidakmampuan siswa membaca dan menginterpretasi masalah menyebabkan mereka tidak bisa memecahkan masalah tersebut. Reneau (2012) mengidentifikasi tentang penyebab kegagalan siswa kelas lima sekolah dasar dalam memecahkan word problem tentang pecahan. Pada penelitian ini, siswa kelas lima diminta memecahkan word problem yang karakteristiknya dibuat berbeda dengan masalah yang biasa disajikan dalam pembelajaran, masih ekivalen. ketidakmampuan siswa memahami kosa kata dan informasi yang tidak relevan pada word problem membuat mereka tidak bisa memecahkan masalah. Wong (2016) meneliti tentang pengetahuan prosedural siswa kelas empat sekolah dasar dalam menjawab masalah pecahan senilai yang disajikan dalam bentuk representasi simbolik dan diagram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa dapat menggunakan pengetahuan proseduralnya untuk menjawab masalah pecahan senilai yang disajikan dalam bentuk representasi simbolik. Sebaliknya, siswa tidak dapat menjawab masalah pecahan senilai yang disajikan dalam bentuk diagram. Ini menunjukkan bahwa siswa belum fleksibel dalam menangkap infomasi, sifat atau relasi dari suatu konsep yang disajikan ke dalam bentuk representasi verbal dan tabel. Kesulitan siswa dalam membaca dan menginterpretasikan ide atau fenomena tertentu dari suatu representasi disebabkan karena siswa tidak memiliki keyakinan diri dengan kemampuan yang mereka miliki (Gagatsis, Panaoura & Elia, 2010). Siswa SD menganggap bahwa sajian masalah seperti deskripsi verbal situasi dunia nyata dan tabel belum familiar bagi mereka. Hal ini disebabkan karena pembelajaran matematika sekarang ini masih bersifat de-kontekstual. Pembelajaran matematika de-kontekstual lebih menekankan pada prosedur rutin, sehingga siswa hanya dilatih melakukan perhitungan matematika. Padahal teknologi dapat membantu untuk perhitungan matematika. Pembelajaran matematika de-kontekstual hanya melatih siswa melakukan matematika bukan berpikir matematika. Berpikir matematika diawali dengan kegiatan membaca, dilanjutkan dengan kegiatan identifikasi dan dianogsis sehingga siswa dapat membuat kesimpulan berupa konseptualisasi objek matematis yang disajikan dalam berbagai bentuk representasi. 150

17 ISBN: Sejumlah penelitian telah menyelidiki penggunaan representasi dapat membantu siswa memecahkan masalah, khususnya masalah kontekstual (misalnya, Morden-Sniper, dkk, 2014; Poch, dkk, 2015), keberhasilan dan kegagalan siswa memecahkan masalah yang disajikan dalam bentuk representasi verbal dan tabel (misalnya, Wong, 2016; Reneau, 2012), faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemecahan masalah siswa (misalnya, Gagatsis, Panaoura & Elia, 2010; Elia, 2006). Secara umum, penelitian-penelitian tersebut mengekplorasi kesulitan yang dihadapi siswa SD memecahkan masalah kontekstual. Belum ada penelitian yang fokus mengkaji atau menyelidiki kemampuan siswa menginterpretasikan masalah kontekstual yang disajikan secara verbal dan tabel. Padahal kegiatan interpretasi merupakan aktivitas dalam memahami masalah sehingga siswa dapat menentukan strategi pemecahan masalah dengan tepat. Kegiatan interpretasi tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan membaca. Dengan membaca informasi yang terkandung pada representasi, siswa dapat menemukan intisari dari konsep atau situasi. Kegiatan ini juga disebut dengan kegiatan mengekstraksi informasi dari representasi. Ekstraksi informasi dilakukan dengan cara membaca semua isi yang terkandung pada representasi baik yang tersurat (eksplisit) maupun yang tersirat (implisit) dan selanjutnya menarik kesimpulan berdasarkan isi representasi. Dengan demikian, interpretasi mengacu pada tindakan siswa menemukan sense making dan memperoleh makna dari representasi tertentu (Adu-Gyamfi, Bosse & Cheetham, 2011; Subanji, 2007; Leinhard, Zaslavsky & Stein,1990). Ditinjau dari kedalaman atau kekompleksitasan situasi yang terkandung dalam representasi yang akan dibaca, Sumarmo (2004) membagi kemampuan membaca menjadi dua tingkatan yaitu tingkat rendah dan tingkat tinggi. Membaca masalah berbentuk soal cerita (representasi verbal) memuat operasi hitung sederhana tergolong kemampuan membaca tingkat rendah. Sebagai contoh, membaca masalah ruangan kelasmu berbentuk persegi panjang dengan panjang 5 m dan lebar 4 m. Berapa luas ruangan kelasmu?. Informasi yang disajikan pada representasi verbal ini bersifat eksplisit, sehingga siswa mudah menangkap informasi yang disajikan dan menentukan konsep yang dapat diaplikasikan untuk menemukan jawaban. Higley (2009) menjelaskan bahwa representasi verbal yang lebih transparan daripada representasi non verbal (tabel, grafik, simbolik) karena langsung mevisualisasikan makna dari apa yang disajikan Membaca yang melibatkan kemampuan memahami secara mendalam, mengamati data dan menggali ide yang tersirat merupakan kemampuan membaca tingkat tinggi. Pada tingkat ini, objek bacaan tidak hanya berbentuk teks saja, tetapi juga terdapat data yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel memuat informasi tersurat dan tersirat. Adu-Gyamfi & Bosse (2013) menjelaskan bahwa tabel terdiri dari pasangan titik-titik yang disusun dalam bentuk kolom dan baris dan memiliki hubungan kuantitas antar dua variabel. Pasangan titik-titik merupakan informasi yang tersurat, sedangkan hubungan kuantitas antara dua variabel merupakan informasi tersirat. Oleh karena itu, membaca tabel tergolong kemampuan membaca tingkat tinggi. Sejauh ini, kegiatan membaca merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk membuat interpretasi dari representasi verbal atau tabel. Lebih lanjut, perbedaan antara membaca dan menginterpretasi dilihat dari hasil yang diperoleh. Sumarmo (2004) mengungkapkan bahwa kegiatan membaca bermakna apabila dapat mengungkapkan ide yang disampaikan oleh representasi secara benar dengan bahasanya sendiri. Ini merupakan indikator 151

18 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur keberhasilan kegiatan membaca representasi. Apabila kegiatan membaca ini melibatkan pengetahuan matematis siswa tentang konsep atau ide yang disajikan pada reprsentasi sehingga dapat ditarik kesimpulan berdasarkan objek tersebut maka kegiatan membaca seperti ini dikatakan kegiatan interpretasi. Samahalnya dengan kegiatan membaca, kegiatan interpretasi juga dipengaruhi oleh kekompleksitasan karakteristik representasi. Leinhard, Zaslavsky & Stein (1990) membagi kegiatan interprestasi menjadi dua kategori yaitu interpretasi lokal-global dan interpretasi kuantitatif-kualitatif. Interpretasi lokal dan global pada kategori pertama dibedakan berdasarkan apakah representasi memiliki informasi implisit atau tidak. Adu-Gyamfi, Bosse & Cheetham (2011) memberikan contoh aktivitas interpretasi siswa untuk membedakan interpretasi lokal dengan global. Ketika siswa mampu menyebutkan dengan bahasa sendiri tentang data pada tabel, maka siswa sedang melakukan interpretasi lokal. Apabila siswa membaca tabel dengan cara membandingkan setiap datum pada satu kolom atau satu baris, dan membandingkan data antar kolom atau baris maka kegiatan membaca dengan cara seperti ini tergolong interpretasi global. Interpretasi kuantitatif dan kualitatif dari suatu tabel mengacu pada kegiatan membaca dan menangkap makna hubungan kuantitatif atau kualitatif (Leinhard, Zaslavsky & Stein, 1990). Informasi yang disajikan secara implisit pada tabel biasanya menyatakan hubungan kuantitatif, sedangkan secara eksplisit menyatakan hubungan kualitatif antara dua variabel seperti linier, berbanding terbalik atau secara umum disebut dengan istilah kovariasi yaitu hubungan antar kuantitas (Subanji, 2007). Dengan demikian, interpretasi kuantitatif berkaitan dengan menemukan makna eksplisit pada tabel, sedangkan interpretasi kualitatif berkaitan dengan menemukan makna informasi implisit pada tabel. Tidak menutup kemungkinan interpretasi kualitatif dapat menafsirkan informasi eksplisit (Leinhard, Zaslavsky & Stein, 1990). Lokal-global dan kuantitatif-kualitatif hanya merupakan perspektif dari dimensi interpretasi informasi pada tabel. Sebenarnya, dua dimensi interpretasi ini ekivalen. Interpretasi lokal ekivalen dengan interpretasi kuantitatif, sedangkan interpretasi global ekivalen dengan interpretasi kualitatif. Selanjutnya, dalam tulisan ini lebih akan menggali interpretasi kuantitatif dan kualitatif pada tabel dan menggunakannya untuk memecahkan masalah yang diberikan. Tujuan penelitian yang spesifik adalah untuk mendeskripsikan interpretasi siswa terhadap tabel dalam pemecahan masalah?. METODE Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan tujuan untuk mengeksplorasi interpretasi siswa terhadap tabel untuk memecahkan masalah matematika. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN Ketawang Gede Malang yang berjumlah dua orang. Peneliti bertindak sebagai instrumen utama. Pengumpulan data dilakukan dengan cara meminta siswa menyelesaikan tugas pemecahan masalah kontekstual. Data deskriptif berupa gambaran proses berpikir siswa dalam menginterpretasikan tabel dan pemecahan masalah digali melalui wawancara. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan hasilnya disajikan dalam bentuk narasi dan skema proses berpikir siswa menginterpretasi dan memecahkan masalah. Tugas pemecahan masalah tentang berbelanja makanan yaitu; 152

19 ISBN: Perhatikan tabel di bawah ini Nama Makanan Daftar Harga Toko Rahmah Toko Rejeki Toko Rahayu Makaroni Goreng Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Tahu Bakso Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Keripik Singkong Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Kue Kering Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Sus Basah Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Jika Kamu ingin membeli kelima jenis makanan pada satu toko, tetapkan di toko mana kamu akan membelinya!. Jelaskan jawabanmu! HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi hasil penelitian ini terdiri dari dua hal. Pertama, deskripsi tentang gambaran interpretasi kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan siswa terhadap tabel pada tugas pemecahan masalah. Kedua, deskripsi tentang interpretasi siswa dalam pemecahan masalah matematika. Interpretasi Siswa Terhadap Tabel Mengacu pada jawaban tertulis siswa dan hasil wawancara dapat diketahui interpretasi siswa terhadap tabel dan masalah. Respon yang diberikan kedua subjek penelitian menunjukkan bahwa mereka mampu memberikan interpretasi kuantitatif dan kualitatif terhadap tabel. Pada awal wawancara, subjek diminta untuk menyampaikan apa saja informasi yang mereka peroleh dari tabel. Hasilnya tidak semua informasi mampu mereka sampaikan. Setelah diajukan pertanyaan tentang informasi yang belum disampaikan, mereka mampu menjawabnya. Secara keseluruhan, kedua subjek dapat membuat interpretasi (kuantitatif dan kualitatif) terhadap tabel. Deskripsi tentang interpretasi siswa tersebut disajikan dalam tabel berikut; Tabel 1.1. Deskripsi Interpretasi Siswa Jenis Deskripsi Respon Siswa Interpretasi Interpretasi Tabel Kuantitatif Harga masing-masing jenis makanan di setiap toko Ada tiga toko yang menjual lima jenis makanan yang sama Harga masing-masing jenis makanan di setiap toko Harga makanan terendah di masing-masing toko Harga makanan teringgi di masing-masing toko Soal Lima jenis makanan akan dibeli pada satu toko Sejumlah uang yang dimiliki untuk membeli makanan Banyak makanan yang dapat dibeli dari sejumlah uang yang dimiliki. Interpretasi Kualitatif Tabel Tabel berisi daftar harga makanan pada tiga toko Harga makanan pada masing-masing toko berbeda Harga makanan di toko rahayu lebih mahal dibandingkan di toko rejeki Harga makanan yang dijual di ketiga toko tidak lebih dari Rp ,00 Tidak ada harga makanan yang kurang dari Rp ,00 Soal Konsep matematika yang ada pada soal adalah operasi penjumlahan dan pengurangan serta perbandingan bilangan 153

20 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Interpretasi Siswa S1 dalam Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan hasil wawancara, S1 mampu menangkap pengertian/maksud informasi yang disampaikan pada tugas pemecahan masalah. P : Apa saja informasi yang kamu ketahui setelah membaca soal? S1: ada tabel dan pertanyaan. P : Apa saja yang ada pada tabel dan soal? S1: di tabel ada daftar harga makanan pada toko rejeki, rahayu dan rahmah. P : Berapa banyak makanan pada tabel? S1: lima dan harganya beda-beda. P : Apa yang akan kamu pecahkan sesuai permintaan soal? S1: Iya, saya diminta untuk menentukan dimana saya akan membeli makanan tersebut Cuplikan wawancara tersebut menunjukkan siswa mampu membuat interpretasi terhadap tabel dan soal yang diberikan pada tugas pemecahan masalah. Selain itu, S1 sudah dapat menyampaikan informasi kuantitatif dan kualitatif pada tabel. Berdasarkan hasil kerja S1 dapat dilihat bahwa ia menggunakan konsep penjumlahan dan perbandingan untuk mendapatkan jawaban soal. Hasil kerja siswa disajikan pada gambar 1 berikut; Gambar 1. Hasil Kerja Siswa S1 Dalam Memecahkan Masalah Pertama Salah hitung Pertama yang dilakukan siswa S1 adalah menjumlahkan kelima makanan di setiap toko, kemudian siswa membamdingkan hasilnya. Siswa S1 menetapkan dua toko yang ia pilih yaitu toko Rahmah dan toko Rejeki dengan alasan karena harga di kedua toko tersebut lebih murah dibandingkan dengan harga di toko Rahayu. Interpretasi kualitatif yang dibuat terhadap informasi kuantitatif pada tabel sudah benar yaitu memilih harga yang paling murah, namun karena terjadi kesalahan penjumlahan harga di toko Rejeki yaitu seharusnya Rp ,00 maka menyebabkan jawaban akhir siswa kurang tepat. Penggalian lebih lanjut proses berpikir siswa S1 dalam menyelesaikan masalah matematika ditelusuri melalui wawancara dan berikut cuplikan hasil wawancara; P : Mengapa Kamu menjumlahkan harga makanan di setiap toko? S1: untuk mendapatkan berapa harga kelima jenis makanan? P : mengapa dua toko yang kamu pilih? S1: Jumlah harga kedua toko sama dan lebih murah dibandingkan toko Rahayu. (memperhatikan dan menunjuk harga di toko Rahmah dan Rahayu) Tidak, oh ya Bu, saya salah menjumlah seharusnya di toko Rejeki Rp ,00 P : Jadi S1: Harga yang paling murah di toko Rahmah. 154

21 ISBN: Berdasarkan hasil wawancara, siswa S1 menyadari kesalahan operasi penjumlahan dan memperbaiki jawaban akhirnya, sehingga pemecahan masalah yang ia buat menjadi benar. Hasil kerja siswa S1 digambarkan pda skema struktur berpikir di bawah ini; Interpretasi Kuantitatif Informasi pada masalah Harga 5 jenis makanan di toko Rahmah Harga 5 jenis makanan di toko Rejeki Harga 5 jenis makanan di toko Rejeki Harga lima makanan adalah Rp ,00 Harga lima makanan adalah Rp ,00 Harga lima makanan adalah Rp ,00 Dipilih toko Rejeki karena paling murah Interpretasi Kualititatif Gambar 2. Struktur Berpikir Siswa S1 dalam Memecahkan Masalah Interpretasi Siswa S2 dalam Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan hasil wawancara, S2 mampu menangkap pengertian/maksud informasi yang disampaikan pada tugas pemecahan masalah. P : Apa saja informasi yang kamu ketahui setelah membaca soal? S1: Ada tabel berisi harga-harga makanan di tiga toko dan pertanyaan. P : Berapa banyak makanan dalam tabel? S1: Lima dan harganya tidak sama P : Kamu mengerti maksud soal? S1: iya yaitu menentukan toko tempat membeli makanan Sama halnya dengan siswa S1, siswa S2 juga memahami informasi yang tersedia pada tugas dan mengetahui soal yang akan ia pecahkan. Siswa S2 dapat membaca tabel dengan baik ditunjukkan dengan interpretasi kuantitatif dan kualitatif seperti yang terlihat pada cuplikan wawancara tersebut. Selanjutnya hasil kerja siswa dalam pemecahan masalah dapat dilihat pada Gambar 3 berikut; Gambar 3. Hasil Kerja Siswa S2 Dalam Memecahkan Masalah Salah hitung 155

22 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Berdasarkan hasil kerja siswa S2 terlihat bahwa siswa menggunakan konsep penjumlahan dan perbandingan untuk memutuskan toko mana yang dipilih. Hasil penjumlahan harga di masing-masing toko cukup mengherankan. Oleh karena itu, wawancara dilakukan dan hasilnya dapat dilihat pada cuplikan wawancara berikut; P : Bagaimana cara kamu menjumlahkan kelima harga makanan? S1: dibulatkan ke atas terlebih dahulu baru dijumlahkan. P : Mengapa dibulatkan? S2: karena harganya tidak bulat sehingga sulit menjumlahkannya P : Maksudnya tidak bulat? S2: Nilai tempat dan satuannya tidak nol P : Mengapa harus dibulatkan ke atas? S2: karena pembulatan ke atas merupakan taksiran terbaik untuk harga Hasil wawancara menunjukkan bahwa siswa S2 menggunakan pembulatan ke atas sebagai taksiran erbaik bagi harga untuk mempermudahnya dalam menjumlahkan. Namun hasil penjumlahan menggunakan harga taksiran tersebut keliru, seharusnya jumlah harga taksiran di toko Rahayu adalah Rp ,00 bukannya Rp ,00. Setelah diperoleh hasil penjumlahan harga masing-masing toko, siswa memilih Toko Rejeki. Pada bagian ini siswa melakukan kesalahan dalam menginterpretasikan harga yang paling murah, seharusnya harga termurah pada Toko Rahmah. Berikut hasil wawancara siswa S2 berkaitan dengan alasan pemilihan toko Rejeki. P : Mengapa Kamu pilih toko Rejeki? S2: Menggunakan taksiran Bu P : Maksudnya? S2: Harga makanan di toko Rejeki merupakan taksiran terbaik dibanding di toko lain karena angkanya banyak yang bulat Struktur berpikir siswa dalam memecahkan masalah disajikan pada Gambar 4. Interpretasi Kuantitatif Informasi pada soal Harga 5 jenis makanan di toko Rahmah Taksiran Harga lima makanan adalah Rp ,00 Harga 5 jenis makanan di toko Rejeki Taksiran Harga lima makanan adalah Rp ,00 Harga 5 jenis makanan di toko Rejeki Taksiran Harga lima makanan adalah Rp ,00 Interpretasi Kualitatif Dipilih toko Rejeki Kesalahan operasi hitung dan interpretasi Gambar 4. Struktur Berpikir Siswa S2 dalam Memecahkan Masalah. 156

23 ISBN: Penelitian ini telah mendapatkan gambaran tentang interpretasi siswa terhadap tabel dalam memecahkan masalah. Mengacu ke tingkat membaca Sumarmo (2004), kedua subjek berada pada level membaca tingkat tinggi. Pada tingkat ini, objek bacaan tidak hanya berbentuk teks saja, tetapi juga terdapat data yang disajikan dalam bentuk tabel. Selain itu, siswa dapat menangkap informasi implisit yang terkandung dalam tabel seperti menemukan harga terendah. Informasi tersebut tergolong interpretasi kualitatif yang terkandung pada tabel daftar harga makanan (Adu-Gyamfi, Bosse & Cheetham, 2011). Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Wong (2016) yang mengatakan bahwa siswa SD tidak fleksibel menangkap informasi yang disajikan dalam tabel. Keberhasilan siswa membuat interpretasi kuantitaif dan kualitatif terhadap tabel karena situasi pada tabel dan soal dekat dengan keseharian siswa. Artinya isi tabel sangat familiar atau akrab bagi siswa, sehingga siswa fleksibel menceritakan kandungan tabel tersebut (Roth & Bowen, 2001). Terkait dengan interpretasi dalam pemecahan masalah yang dilakukan kedua subjek penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa interpretasi terlibat dalam tahap memahami masalah dan tahap pengambilan keputusan. Tahap memahami masalah, siswa membaca dan menemukan informasi yang tersurat (eksplisit) pada masalah. Interpretasi yang dihasilkan dari kegiatan membaca pada tahap memahami masalah ini tergolong interpretasi lokal atau kuantitatif. Interpretasi kuantitatif terhadap data tabel dan interpretasi lokal terhadap soal yang aka dipecahkan. Pada tahap pengambilan keputusan, interpretasi yang dilakukan tergolong interpretasi kualitatif atau global. Interpretasi kualitatif yaitu menemukan hubungan harga yang lebih murah. Interpretasi kualitatif tersebut dihubungkan dengan konteks masalah yaitu berbelanja. Dari sajian hasil penelitian yang telah disampaikan terlihat adanya ketidakkonsistenan antara hasil interpretasi siswa terhadap tabel dengan hasil penyelesaian masalah. Hasil interpretasi kuantitatif dan kualitatif siswa pada Tabel 1 menunjukkan bahwa siswa dapat menggali informasi kuantitatif dan kualitatif yang terkandung pada tabel. Hal ini tidak sejalan dengan keberhasilan siswa memecahkan masalah. Seperti siswa S2 yang tidak benar dalam membuat interpretasi kualitatif yaitu tidak memilih toko Rejeki dengan alasan menggunakan taksiran terbaik. Penggunaan taksiran untuk mempermudah perhitungan merupakan konsep yang keliru. Konsep taksiran bukan suatu pengetahuan prosedural untuk mempermudah perhitungan (Anderson & Krathwohl, 2014). Mengacu pada beberapa penelitian (Subanji & Supratman, 2011; Subanji & Nusantara, 2016; Vinner, 1997) tentang pseudo dalam memecahkan masalah, hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya berpikir pseudo dalam pemecahan masalah. Jawaban akhir dari pemecahan maasalah siswa tidak benar, tetapi setelah diminta mereka menceritakan kembali proses pemecahan masalah yang telah mereka buat mereka menyadari bahwa telah salah menetapkan toko atau jenis makanan. Subanji dan Nusantara (2016) menyebut ini dengan pseudo salah dalam pemecahan masalah. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, siswa dapat membuat interpretasi kuantitatif dan kualitatif pada tabel harga makanan. Kedua, interpretasi siswa dalam pemecahan masalah terjadi pada tahap memahami masalah dan tahap pengambilan keputusan. Ketiga, terdapat dua jenis kesalahan 157

24 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur yang menyebabkan siswa gagal memecahkan masalah yaitu kesalahan operasi hitung dan kesalahan interpretasi kualitatif. Keempat, adanya berpikir pseudo salah dalam pemecahan masalah. Penelitian ini memiliki keterbatasan pada interpretasi tabel yang disajikan pada masalah, oleh karena perlu dilakukan penelitian tentang interpretasi terhadap bentuk representasi seperti grafik atau diagram. Tindak lanjut hasil penelitian ini perlu adanya penelitian tentang pengetahuan matematika yang terkait dengan interpretasi siswa terhadap beberapa bentuk representasi. Selain itu, perlu dipelajari tentang berpikir pseudo dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan kegiatan interpretasi. DAFTAR RUJUKAN Adu-Gyamfi. K.A & Bosse, M.J Processes and Reasoning in Representations of Linear Functions. International Journal of Science and Mathematics Education, 12(1), Anderson & Krathwohl. (2014) Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Bloom. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Jakarta:Pustaka Belajar. Bosse, M.J,. Adu-Gyamfi, K.A, & Cheetham, M.R Assessing the Difficulty of Mathematical Translations: Synthesizing the Literature and Novel Findings. International Electic Journal Of Mathematics Education, 6(3), Gagatsis, A, Panaoura, A, Deliyanni, E & Elia, I Students Beliefs about the Use of Represntations in The Learning of Fractions. Proceedings of CERME 6, January 28th-February 1st 2009, Lyon France. Higley, Keili Measuring Knowledge of Mathematical Functions: Validity of Scores and Profiles of Participants. Disertasi: Proquest (online). diakses 15 Februari Jao, Limin From sailing ship to subtraction symbols: Multiple representations to support abstraction. International Journal for Mathematics Teaching & Learning. Leinhard, G. Zaslavsky,O & Stein, M.K Functions, Graphs and Graphing: Task, Learning and Teaching. American Educational Research Association. 60(1): NCTM, Principles and standards for school mathematics. Reston, Virginia: NCTM Manfaat, Budi Membumikan Matematika Dari Kampus ke Kampus. Jakarta: Eduvision Publishing. Morden-Snipper, D Cognitif Factors and Representation Strategies in Sketching Math Diagram. Annual Meeting of The Cognitive Science Society Panasuk, R.M Taxonomy for assessing Conceptual Understanding in Algebra Using Multiple Representations. College Student Journal. Poch, A.L., Garderen, D.V., Scheuermann, A.M Students Understanding of Diagrams for Solving Word Problems: A Framework for Assessing Diagram Proficiency. TEACHING Exceptional Children. 47(3): Reneau, J.L Using the Concrete-Representational-Abstract Sequence to Connect Manipulatives, Problem Solving Schemas, and Equations in Word Problems with Fractions. Proquest. Roth, W. M., & Bowen, G. M. (2001). Professionals read graphs: A semiotic analysis. Journal for Research in Mathematics Education, 32, Sternberg, R.J & Sternberg, K Cognitive Psychology. Wardsworth Publisher. NewYork 158

25 ISBN: Subanji, Proses Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasional Mahasiswa dalam Mengonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamik. Disertastasi. Tidak dipublikasikan. UNESA Surabaya. Subanji & Supratman Pseudo-Cavariational Reasoning Thought Processes in Contructing Graph Function of Reversible Event Dynamics Based on Assimilation and Accomodation Frameworks. Journal of The Korean Society of Mathematical Education Series D: Research in Mathematical Education, 19(1), Subanji & Nusantara, T Thinking Process of Pseudo Contruction in Mathematics Concepts. International Education Studies, 9( 2), Sumarmo, Utari Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah Menengah. Seminar Nasional Pendidikan MIPA UPI. Vinner, Shalomo Pseudo-Conceptual and The Pseudo-Analitical Thought Processes in mathematics Learning. Educational Studies in Matkematics, 34: Wijaya, Ariyadi Pendidikan Matematika Realistik: Suatu alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wiryanto Level-Level Abstraksi Pemecahan Masalah Metematika. Jurnal Pendidikan Teknik Elektro, 3(3): Wong, M & Evans, D Students Conceptual Understanding of Equivalent Fractions. Mathematics: Essential Research, Essential Practice. 2:

26 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur MEMAHAMI KONSEP PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN NILAI MUTLAK MELAUI REPRESENTASI GARIS BILANGAN Aswinda Ria Agustin Universitas Negeri Malang Abstrak: Pemahaman konsep merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki dalam belajar Matematika. Demikian halnya dalam memahami persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak diperlukan adanya pengalaman belajar yang dapat mengkonstruksi konsep sehingga siswa tidak hanya menghafal rumus atau teorema saja. Permasalahan yang biasanya terjadi adalah siswa terampil dalam menentukan selesaian dari persamaan atau pertidaksamaan nilai mutlak tetapi siswa belum paham tentang bagaimana mendefinisikan secara verbal konsep persamaan atau pertidaksamaan nilai mutlak, mengapa menggunakan langkah-langkah tersebut dalam menentukan selesaian dan untuk apa kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami konsep persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak melalui representasi visual dari garis bilangan, konsep jarak dalam konteks verbal serta representasi simbolis. Penelitian ini menggunakan enam siswa kelas X MIA SMAN 1 Lawang sebagai subjek penelitian. Metode yang digunakan adalah dekriptif kualitatif. Hasil penelitian ini: 1) siswa dapat membuat hubungan antara konsep yang baru diperoleh dengan prosedur yang diperoleh sebelumnya yang berupa definisi atau teorema, 2) representasi memudahkan siswa untuk menetukan selesaian dari persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak. Kata kunci: persamaan dan pertidaksamaan,nilai mutlak,representasi, garis bilangan Menurut Kilpatrick, et al (2001:119) pengetahuan yang dibelajarkan dengan pemahaman memberikan dasar untuk menghasilkan pengetahuan baru serta dapat menyelesaikan permasalahan baru dan yang lebih kompleks. Ia juga menambahkan ketika siswa memperoleh pemahaman konseptual matematis, siswa dapat melihat hubungan antara konsep dan prosedur serta dapat memberi argumen untuk menjelaskan tentang suatu fakta yang merupakan hubungan dari yang lain. Berkaitan dengan pentingnya komponen pemahaman dalam matematika, pemahaman juga menempati urutan kedua pada proses kognitif dalam Taksonomi Bloom. Hal yang sama juga diperkuat oleh pendapat Kilpatrick, et al (2001:116) yang menyebutkan bahwa pemahaman konsep merupakan salah satu dari lima kecakapan matematis yang harus dikuasai oleh siswa. Penyajian konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis merupakan salah satu indikator dari pemahaman konsep. Seperti dijelaskan dalam Principle and Standards for School Mathematics (NCTM, 2000:280) Student can develop and deepen their understanding of mathematical concepts and relationship as they create, compare and use various representations. Kilpatrick, et al (2001:116) menambahkan bahwa indikator signifikan dari pemahaman konsep adalah kemampuan untuk menyajikan situasi matematika dengan cara yang berbeda dan mengetahui bagaimana representasi yang berbeda dapat bermanfaat untuk berbagai tujuan. Representasi dapat berupa kata-kata atau verbal, simbol matematika, tabel, grafik, gambar, garis bilangan, dan lain-lain. Pada Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014 Lampiran II tentang Silabus Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, dijelaskan bahwa salah satu Kompetensi Dasar tingkat Sekolah Menengah Atas kelas X mata pelajaran matematika untuk kelompok Matematika wajib dan ilmu-ilmu alam adalah KD 3.2 mendeskripsikan dan menganalisis konsep nilai mutlak dalam persamaan dan pertidaksamaan serta menerapkannya dalam pemecahan masalah nyata, KD 4.2 Menerapkan konsep nilai mutlak dalam persamaan dan pertidaksamaan linier dalam memecahkan masalah nyata. Pada kurikulum sebelumnya, KTSP, materi nilai mutlak hanya sebatas menentukan selesaian dari persamaan dan pertidaksamaan 160

27 ISBN: nilai mutlak. Pada Kurikulum 2013, materi nilai mutlak pada tingkat SMA selain menentukan selesaian dari persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak, siswa juga diharapkan dapat memahami dan menganalisis konsep nilai mutlak, yang tidak hanya berbekal menghafal definisi dan rumus saja, serta dapat menerapkannya dalam menyelesaikan permasalahan nyata. Ciltas & Tatar (2011, 464) mengemukakan bahwa salah satu materi Matematika yang dianggap sulit oleh siswa adalah konsep nilai mutlak. Basturk (dalam Ciltas & Tatar, 2011) berdasarkan pengamatannya, kesalahan yang dibuat oleh siswa dalam konsep nilai mutlak beragam, namun kesalahan yang biasa dilakukan oleh siswa yaitu ketika siswa menyelesaikan soal, mereka seolah-olah tidak memperhatikan tanda nilai mutlak. Ketika guru menyampaikan tujuan pembelajaran tentang nilai mutlak, dalam benak siswa satu hal yang akan muncul adalah nilai mutlak pasti selalu positif. Ketika siswa melihat x pada definisi berikut ini, banyak siswa yang mengalami kebingungan, karena hal tersebut nampak bertentangan dengan pengetahuan mereka sebelumnya bahwa hasil nilai mutlak selalu positif (Ponce: 2008). x x, jika x 0 x, jika x 0 Gambar 1. Definisi nilai mutlak Menurut Gibson (2008), hal yang biasa siswa lakukan yaitu ketika menentukan selesaian dari persamaan nilai mutlak, misalnya x 3 4, adalah menuliskan persamaan tersebut sebanyak dua kali, kemudian siswa menempatkan tanda negatif pada sisi kanan dari salah satu persamaan dan menghilangkan tanda mutlak dari dari dua persamaan tersebut sehingga diperoleh selesaian yang dicari. Dalam hal ini, siswa terampil dalam menghitung untuk menentukan nilai x tetapi siswa tidak paham tentang apa itu persamaan nilai mutlak, mengapa menggunakan langkah-langkah tersebut dan untuk apa kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini, peneliti mengembangkan ide dari artikel yang berjudul A Conceptual Approach to Absolute Value Equation and Equalities yang ditulis oleh Ellis dan Bryson (2011) untuk membantu siswa dalam memahami konsep persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwasannya salah satu strategi untuk memahami konsep dari persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak adalah penggunaan garis bilangan sebagai representasi visual. Pendekatan ini menghubungkan representasi visual dari garis bilangan, konsep jarak dalam konteks verbal serta representasi simbol abstrak. Dengan pendekatan ini, siswa diberi kesempatan untuk membuat hubungan antara konsep dan prosedur. Misalnya, untuk menentukan selesaian dari x 3 4, siswa dapat membuat garis bilangan untuk merepresentasikan bentuk persamaan tersebut seperti gambar 2 di bawah ini. Jika diterjemahkan dalam konteks verbal, x merupakan bilangan yang berjarak 4 satuan ke kiri dan 4 satuan ke kanan dari 3, sehingga dapat diketahui nilai x 7 atau x 1. Gambar 2. Garis bilangan membantu siswa dalam mevisualisasikan selesaian. 161

28 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan bagaimana siswa memahami konsep persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak serta strategi siswa dalam menyelesaikan permasalahan. Adapun untuk prosedur penelitian secara rinci: 1) menyiapkan lembar soal yang terkait dengan persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak, 2) memilih siswa sebagai subjek penelitian, 3) meminta siswa untuk mengerjakan soal tes awal, 4) menganalisis hasil pekerjaan siswa pada tes awal, 5) memilih beberapa siswa dari sampel yang ada untuk diwawancarai, 6) melakukan wawancara tahap 1 dengan siswa, 7) mengajarkan siswa tentang persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak melalui representasi garis bilangan, 8) meminta siswa untuk mengerjakan soal tes akhir, 9) melakukan wawancara tahap 2 dengan siswa, 10) membuat kesimpulan hasil pekerjaan, observasi dan wawancara dengan siswa. Subjek penelitian yaitu enam siswa kelas X MIA SMAN 1 Lawang yang telah memperoleh materi nilai mutlak. Pemilihan siswa dilakukan berdasarkan syarat yang ditetapkan oleh peneliti kepada guru bidang studi Matematika yaitu dengan keragaman kemampuan siswa. Instrumen penelitian berupa soal tes yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu tes awal dan tes akhir. Adapun tes awal yang diberikan yaitu: 1. Selidiki apakah persamaan berikut ini memiliki selesaian, jika iya tentukan selesaiannya! a. 2x 3 11 b. 3x Selidiki apakah pertidaksamaan berikut ini memiliki selesaian, jika iya tentukan selesaiannya! a. 3x b. 3x 5 4 Tes akhir yang diberikan yaitu: 1. Selidiki apakah persamaan berikut ini memiliki selesaian, jika iya tentukan selesaiannya! a. 3 2x b. 3x c. 4x Selidiki apakah pertidaksamaan berikut ini memiliki selesaian, jika iya tentukan selesaiannya! a. 2x b. 5 2x Dalam penelitian ini diharapkan dapat memudahkan siswa dalam memahami konsep persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak serta membantu siswa dalam menentukan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal yang terkait dengan persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak. Pada penelitian ini, data yang telah diperoleh dianalisis dari setiap pertemuan. Hasil tes berupa hasil pekerjaan siswa pada tes awal dan tes akhir yang digunakan untuk melihat adanya kemajuan pemahaman siswa. Observasi dilakukan pada saat mengajarkan siswa tentang persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak melalui representasi garis bilangan. Wawancara digunakan untuk mengetahui kesulitan siswa dan untuk mengetahui apakah siswa terbantu dengan adanya representasi garis bilangan dalam memahami konsep persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak. 162

29 ISBN: HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan selama tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama dilaksanakan tanggal 12 September Pada saat pertemuan pertama, peneliti meminta siswa untuk mengerjakan tes awal yang terdiri dari 2 soal dan dikerjakan selama 25 menit. Selanjutnya, hasil pekerjaan siswa pada tes awal kemudian dikoreksi dan dianalisis pada bagian mana saja siswa mengalami kesalahan. Dari hasil analisis pada hasil pekerjaan siswa pada tes awal, peneliti memilih siswa untuk diwawancarai dan selanjutnya memberikan siswa bantuan berupa bimbingan belajar tentang persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak melalui representasi garis bilangan. Berdasarkan hasil tes awal, keenam siswa perlu diberikan bimbingan belajar. Kesalahan yang dilakukan siswa beragaam. Berikut ini adalah beberapa contoh hasil pekerjaan siswa yang mengalami kesalahan. Gambar 3. Contoh kesalahan konsep untuk jawaban soal nomor 1a. Gambar 4. Contoh kesalahan konsep untuk jawaban soal nomor 1b. Gambar 5. Contoh kesalahan konsep untuk jawaban soal nomor 2a. (a) 163

30 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur (b) Gambar 6. (a) Siswa menganggap bahwa nilai c harus positif (soal 2b), (b) Contoh kesalahan konsep untuk jawaban soal nomor 2b Pada gambar 3, terlihat bahwa kesalahan konsep siswa adalah tidak paham dengan definisi nilai mutlak dimana nilai mutlak suatu bilangan selalu bernilai nol atau positif. Sehingga ketika menjumpai soal 1a siswa langsung menggunakan teorema dari nilai mutlak yaitu ax b c ekivalen dengan persamaan ax b c atau ax b c tanpa memperhatikan definisi. Pada gambar 4, jawaban siswa mungkin melibatkan definisi nilai mutlak, namun yang terjadi, ketika siswa tersebut membagi ke dalam dua kasus, 3x 5 ditulis sebagai 3x 5 atau 3x 5. Dalam hal ini, siswa kurang paham terhadap sifat distribusi perkalian terhadap penjumlahan. Pada gambar 5, siswa tidak paham tentang teorema pertidaksamaan nilai mutlak. Siswa juga menganggap bahwa tanda nilai mutlak tidak memiliki arti seperti halnya tanda kurung biasa. Pada gambar 6, untuk bagian a, persamaan 3x 5 4 dianggap tidak memiliki selesaian karena nilai c nya bilangan negatif. Sedangkan untuk bagian b, kesalahan siswa terletak pada penggunaan teorema dari pertidaksamaan nilai mutlak, dari kedua contoh jawaban ini, siswa belum bisa memahami dan menalar tentang konsep pertidaksamaan nilai mutlak. Berdasarkan definisi nilai mutlak, hasil dari 3x 5 pasti selalu positif, sehingga berapapun nilai x nya pasti memenuhi pertidaksamaan tersebut. Sehingga selesaian dari pertidaksamaan tersebut adalah semua himpunan bilangan real ( ). Pada pertemuan kedua, yaitu tanggal 18 September 2015, keenam siswa diberikan bimbingan dalam tiga tahapan. Pada tahap pertama, peneliti mengingatkan siswa tentang nilai mutlak suatu bilangan. Nilai mutlak suatu bilangan merupakan jarak antara bilangan tersebut dengan nol pada garis bilangan. Peneliti meminta siswa untuk membuat garis bilangan real. Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan ke siswa:1) bilangan apa yang berjarak 7 satuan dari titik nol? 2) bilangan apa yang berjarak 7 8 satuan dari titik nol?, Ada sebagian siswa yang menjawab pertanyaan 1 dan 2 dengan kurang tepat yaitu 7 dan 7. Kemudian peneliti memberi pertanyaan apakah suatu jarak 8 memperhatikan arah?. Akhirnya siswa menyadari bahwa bilangan yang berjarak 7 satuan dari titik nol adalah 7 dan -7, demikian juga untuk jawaban pertanyaan nomor 2. Peneliti kemudian menegaskan bahwa dari pertanyaan 1 dapat dikembangkan pertanyaan lagi menjadi bilangan apa yang nilai mutlaknya sama dengan 7?. Selanjutnya peneliti bertanya tentang apa makna dari 5 siswa yang menjawab bahwa 5 merupakan jarak dari -5 ke nol pada garis bilangan. Siswa. Hanya satu menganggap hasil dari nilai mutlak selalu positif akan tetapi belum memaknai arti dari konsep tersebut. Dari sini peneliti amati bahwa siswa baru paham tentang makna dari definisi nilai mutlak suatu bilangan yang biasanya langsung diberikan kepada siswa sehingga siswa tidak ada kesempatan untuk menalar konsep tersebut. 164

31 ISBN: Tahap kedua, siswa diingatkan kembali tentang sifat dari nilai mutlak a b b a. Melalui pendekatan secara induktif, siswa bisa membenarkan sifat tersebut. Peneliti bertanya kepada siswa apa arti dari a b. Tidak ada siswa yang bisa menjawab. Peneliti meminta siswa untuk membuat garis bilangan real dan kemudian siswa memilih dua titik. Dari kegiatan ini, siswa mulai memahami bahwa a b merupakan jarak dari titik a dan titik b. Selanjutnya, peneliti meminta siswa untuk mengartikan x b c secara verbal. Siswa dapat memaknai bahwa x b c merupakan jarak dari x dan b yang sama dengan c. Peneliti kemudian memberikan soal cerita kepada siswa sebagai berikut. Pak Mahmud dan Pak Sholeh bertempat tingggal di suatu perumahan dan blok yang sama. Rumah Pak Mahmud bernomor 13. Posisi rumah Pak Sholeh adalah rumah ke-6 dari Rumah Pak Mahmud. Dapatkah kalian menentukan nomor berapa Rumah Pak Sholeh? Ada berapa kemungkinan nomor rumah Pak Sholeh?? Untuk menyelesaikan permasalahan ini, peneliti meminta siswa untuk membuat garis bilangan sebagai representasi visual. Ada beberapa siswa yang langsung bisa menebak jawaban dari permasalahan tersebut yaitu ada dua kemungkinan nomor rumah pak Sholeh. Kemudian peneliti bertanya ke siswa kalau kita gambarkan pada garis bilangan, titik berapa yang menjadi titik acuan?. Siswa kebingungan dengan istilah titik acuan. Peneliti memberi pertanyaan ke siswa, Jika kita akan mencari nomor rumah Pak Sholeh, di posisi mana kita memulainya?. Siswa langsung menjawab ooo, brarti diposisi rumah Pak Mahmud, berarti 13 titik acuannya ya Bu?. Siswa memisalkan bilangan bulat pada garis bilangan sebagai nomor rumah. Selanjutnya, siswa menghitung langkah 6 satuan ke kiri dan 6 satuan ke kanan dari titik acuan yang telah ditentukan yaitu 13. Sehingga diperoleh dua kemungkinan nomor rumah Pak Sholeh yaitu 7 dan 19 Representasi visual untuk permasalahan ini, disajikan pada gambar berikut. Gambar 7. Titik 13 sebagai titik acuan untuk menentukan dua titik kritis yang dicari Selanjutnya, peneliti mengajak siswa untuk mengkoneksikan representasi garis bilangan yang telah dibuat dengan persamaan nilai mutlak x Peneliti bertanya, Apa makna dari x 13 6?. Melalui langkah ini, siswa diberi kesempatan untuk menghubungkan permasalahan nyata menuju konteks visual, mendeskripsikan secara verbal dan representasi simbolis, sehingga mengarahkan siswa menuju pemahaman konsep yang lebih mendalam (NCTM:2000). Setelah siswa diberikan masalah yang telah direpresentasikan secara visual, simbolis dan verbal, peneliti memberi penekanan kepada siswa pada titik acuan atau titik jangkar. Seperti yang dijelaskan oleh Ellis (2001:593) anchor point represents the offset from zero and is the point from which the two critical values are found by moving c units in the positive and negative direction. Dengan kata lain, titik acuan merupakan titik penyeimbang dan dari titik ini dua nilai kritis ditentukan dengan berpindah sejauh c satuan ke arah positif dan negatif. 165

32 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Gambar 8. Titik kritis yang dicari merupakan bilangan yang berjarak c satuan ke kiri dan c satuan ke kanan dari b. Dari sketsa garis bilangan di atas, peneliti meminta siswa untuk menentukan selesaian dari persamaan x b c sehingga diperoleh himpunan selesaian yaitu { b c, b c}. Selanjutnya, peneliti menananyakan titik acuan jika persamaannya menjadi x b c. Peneliti kemudian memberi bantuan dengan menuliskan x (...) c. Siswa langsung bisa menebak isi dari titik-titik tersebut b. Dari sini siswa langsung bisa menyimpulkan bahwa titik acuan untuk persamaan x b c adalah b. Berikutnya peneliti meperkenalkan persamaan nilai mutlak ketika koefisiennya lebih dari 1. Siswa kemudian diberikan persamaan 5x 9 16 serta mengartikannya secara verbal sebagai jarak dari 5x dan 9 adalah 16. Peneliti mengingatkan ke siswa bahwa menentukan selesaian dari persamaan ini berarti siswa harus mencari nilai x nya. Sehingga ketika siswa menentukan dua titik kritis dari jarak 5x dan 9 pada garis bilangan, siswa belum bisa menentukan selesaian sebelum membagi dua nilai kritis tersebut dengan 5. Gambar representasi visualnya adalah sebagai berikut. Gambar 9. Salah satu contoh representasi dari persamaan nilai mutlak ketika koefisiennya lebih dari 1. 7 Dengan demikian, selesaian dari persamaan 5x 9 16 adalah x 5 atau x. Dari tahap ini, 5 ada siswa yang mengajukan pertanyaan, Bu, koefisiennya kalau negatif bagaimana? Seperti x 6 9?. Peneliti kemudian menjelaskan bahwa siswa bisa mebagi dua nilai kritis yang didapat dengan -1, selain itu peneliti juga mengingatkan bahwa x 6 6 x x 6 dengan menggunakan sifat dari nilai mutlak a b b a. Dari sini, siswa langsung bisa menentukan selesaian tanpa membagi dengan -1 sebagai koefisien dari x. Peneliti kemudian memberi beberapa soal latihan untuk dikerjakan siswa tentang persamaan nilai mutlak dengan menggunakan representasi garis bilangan. Tahap ketiga, peneliti meminta siswa untuk menuliskan representasi secara verbal dari persamaan x 6 4. Berbekal dari konsep persamaan yang telah direpresentasikan secara verbal, 166

33 ISBN: siswa dengan mudah dapat merepresentasikan dengan kata-kata mereka sendiri bahwa x 6 4 dapat diartikan sebagai jarak x dan 6 yang kurang dari 4. Hal ini sependapat dengan pernyataan Ellis (2011:594) students readily catch on to this approach as an extension to their understanding of absolute value equations. Setelah siswa membuat representasi secara verbal dan visual, siswa kemudian dapat menentukan selesaian dari pertidaksamaan tersebut. Gambar representasi visualnya adalah sebagai berikut. Gambar 10. Salah satu contoh representasi garis bilangan pada pertidaksamaan nilai mutlak Jadi, selesaian dari pertidaksamaan x 6 4 adalah 2 x 10. Untuk menentukan selesaian dari pertidaksamaan nilai mutlak yang koefisiennya lebih dari 1, peneliti menjelaskan ke siswa bahwa pada saat menentukan selesaian dari pertidaksamaan nilai mutlak yaitu yang dicari adalah nilai x nya, sama halnya dengan menentukan selesaian dari persamaan nilai mutlak yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga siswa juga diingatkan agar membagi dua nilai kritis yang diperoleh dengan koefisien dari x. Sebagai contoh, siswa diberi latihan soal yaitu menentukan selesaian dari 2x 5 9. Gambar representasi visualnya adalah sebagai berikut. Gambar 11. Salah satu contoh representasi dari pertidaksamaan nilai mutlak ketika koefisiennya lebih dari 1. Jadi, selesaian dari pertidaksamaan 2x 5 9 adalah x 2 atau x 7. Pada pertemuan terakhir, yaitu tanggal 19 September 2015, siswa diberikan tes akhir dalam waktu 25 menit. Dari ketiga soal, ada 3 siswa yang masih terjebak dengan soal nomor 2a. Namun, setelah peneliti membandingkan hasil dari tes pertama dan tes terakhir, terlihat bahwa dengan menggunakan representasi garis bilangan siswa terbantu dalam menentukan selesaian dengan lebih mudah. Setelah tes akhir selesai, peneliti mengajukan pertanyaan ke siswa tentang beberapa kemungkinan selesaian dari persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak. Siswa sudah bisa menyimpulkan bahwa ada beberapa kemungkinan selesaian dari persamaan x b c, yaitu : 1) tidak memiliki selesaian ketika c negatif, 2) selesaiannya tunggal ketika c sama dengan nol, dan 3) memiliki dua selesaian ketika c positif. Begitu pula dengan kemungkinan selesaian dari pertidaksamaan nilai mutlak. Kebanyakan siswa menganggap selesaian dari pertidaksamaan nilai mutlak berupa selang. Padahal ada kemungkinan yang lain bahwa selesaian dari pertidaksamaan nilai mutlak bisa berupa himpunan bilangan real. Berikut ini adalah beberapa hasil pekerjaan siswa pada tes akhir. 167

34 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur (a) (b) (c) Gambar 12. (a),(b),(c) Jawaban siswa yang benar secara konsep untuk soal 1a,1b, dan 1c, akan tetapi ada prosedur yang terlewati pada bagian (c) belum menuliskan selesaian. Gambar 13. Kesalahan konsep untuk soal no. 2a yang menganggap bahwa nilai c harus positif. (a) (b) Gambar 14. (a) Siswa sudah benar secara konsep tetapi salah dalam menyimpulkan selesaian, (b) Jawaban siswa yang benar nomor 2b Selain dari melihat hasil tes, peneliti juga melakukan wawancara dengan siswa untuk mengetahui respon siswa setelah memperoleh pembelajaran. Dari hasil wawancara, dapat diketahui bahwa siswa merasa lebih paham tentang konsep persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak dan lebih cepat dalam menentukan selesaiannya. Siswa juga merasa lebih senang ketika menggunakan garis bilangan sebagai representasi visual karena menurut siswa lebih mudah diingat daripada menghafal rumus atau teorema yang kadang tidak bisa bertahan lama dalam ingatan siswa. PENUTUP Pemahaman konsep persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak yang telah siswa peroleh dengan bantuan representasi garis bilangan, memberi kesempatan mereka untuk menalar dan menghubungkan tentang prosedur yang berupa aturan atau teorema yang telah mereka peroleh 168

35 ISBN: sebelumnya. Hal ini menjadikan siswa lebih mudah dalam memaknai suatu konsep, bukan hanya sekedar menghafal. Dengan menghubungkan representasi visual berupa garis bilangan dan representasi verbal yang dihubungkan dengan konsep jarak, siswa lebih mudah dalam memahami konsep yang terkait persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak. Hal ini terlihat dari hasil pekerjaan siswa pada tes akhir yang sudah tidak banyak melakukan kesalahan, baik secara konsep dan prosedur. Selain itu, dengan menggunakan garis bilangan, siswa juga tidak mudah terkecoh ketika menghadapi soal persamaan nilai mutlak yang nilai c nya berupa bilangan negatif. Pada tes awal, siswa mengerjakan soal secara prosedural berdasarkan teorema yang telah diperoleh. Akibatnya, ketika diberikan soal untuk menyelidiki apakah persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak tersebut memiliki selesaian atau tidak, mereka langsung menerapkan teorema tanpa memahami konsep nilai mutlak itu sendiri. Berbeda pada hasil tes akhir, dengan garis bilangan, siswa lebih mudah dalam menelaah serta membuat kesimpulan dari konsep. Misalnya, siswa membuat kesimpulan dari langkah-langkah menentukan selesaian serta beberapa kemungkinan banyaknya himpunan selesaian dari persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak. Materi nilai mutlak pada Kurikulum 2013 mulai dibelajarkan di kelas X semester gasal untuk kelompok matematika wajib, termasuk persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak sederhana. Pembelajaran nilai mutlak hendaknya tidak hanya ditekankan pada aspek prosedural saja, dimana siswa terampil menggunakan rumus atau teorema akan tetapi mereka kurang memahami konsep yang mengakibatkan kesalahan dalam menjawab soal atau permasalahan. Peneliti menyarankan agar metode ini dapat digunakan oleh guru sebagai referensi dalam proses pembelajaran di kelas, khusunya dalam sub materi persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak dengan menggunakan representasi garis bilangan. DAFTAR RUJUKAN Ciltas, Alper & Tatar, Enver Diagnosing Learning Difficulties Related to The Equation and Inequality that Contain Terms with Absolute Value. International Online Journal of Education Sciences. Jurnal, (Online), 3(2): , ( diakses 7 Juni Ellis, Mark W. and Bryson, Janet L A Conceptual Approach to Absolute Value Equation and Equalities. Mathematics Teacher. Jurnal, (Online), 104(8): , ( ) diakses 8 Juni Gibson, Lisa and Walkup, Jhon R Conceptual Knowledge in the Mathematics Classrom. Kemendikbud. (2014). Permendikbud Nomor 59, Tahun 2014, Silabus Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Kilpatrick, J. et al Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. Washington, D.C: National Academy Press. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) Principle and Standards for School Mathematics. Reston,VA:NCTM. Ponce Ponce, Gregorio A Using, Seeing, Feeling, and Doing Absolute Value for Deeper Understanding. Mathematics Teaching in The Middle Scho (Journal). 14(4):

36 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur IDENTIFIKASI MASALAH DALAM IMPLEMENTASI RANCANGAN LINGKUNGAN BELAJAR KONSTRUKTIVIS: STUDI KASUS Kristina Widjajanti 1 ; Subanji 2 1 Politeknik Negeri Malang; 2 Universitas Negeri Malang 1 kristina_um@yahoo.com Abstrak: Tugas guru dalam merancang lingkungan belajar sangat penting dalam menentukan hasil belajar siswa. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi masalah yang muncul dalam implementasi rancangan lingkungan belajar konstruktivis (constructivist learning design) yang disusun oleh guru ditinjau dari aspek lingkungan belajar konstruktivis pembelajaran materi kubus pada kelas V di salah satu Sekolah Dasar Swasta di Kota Malang. Hasil penelitian menunjukkan adanya masalah dalam implementasi rancangan lingkungan konstruktivis oleh guru pada pembelajaran materi kubus yaitu pada aspek: 1) kurangnya tugas yang mendukung kegiatan investigasi oleh siswa tentang konsep kubus, dan 2) kurangnya tugas yang mendorong siswa untuk merefleksi dan memotivasi siswa dalam menemukan konsep kubus, dan 3) kurangnya tugas yang mendorong siswa untuk membentuk makna konsep kubus. Masalah yang terjadi dalam implementasi rancangan pembelajaran menyebabkan terjadinya kontra produktif terhadap efektifitas pembelajaran. Kata Kunci: lingkungan belajar konstruktivis, kubus. Guru mempunyai peran yang sangat penting dalam pembelajaran. Menurut Van de Walle (Gloria, Charina C., 2015), dalam proses pembelajaran terdapat empat komponen yang harus dimiliki guru yaitu: a) apresiasi terhadap disiplin matematika itu sendiri, b) pemahaman terhadap bagaimana siswa belajar dan cara siswa mengonstruksi ide, c) kemampuan memilih tugas sedemikian hingga siswa belajar dalam lingkungan penyelesaian masalah, dan d) kemampuan menilai proses mengajar sehingga dapat meningkatkan pembelajaran dan mengembangkan cara mengajar. Menurut National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000), guru perlu mengembangkan lingkungan belajar sedemikian hingga siswa aktif terlibat dengan matematika sehingga pembelajaran menjadi efektif. Menurut Bodner, G. M., Geelan, D. R., dan Shiland, T. W. dalam Sahin, Ümran (2013), teori belajar konstruktivis menyatakan bahwa informasi dibangun oleh siswa sendiri dengan teori dasarnya adalah: 1) belajar adalah proses, 2) pengetahuan yang sudah ada akan mempengaruhi belajar, 3) belajar terjadi ketika pengetahuan yang sudah ada belum mencukupi untuk menjelaskan pemahaman yang dibutuhkan saat ini, 4) belajar adalah proses sosial dan perkembangan kognitif dihasilkan dari interaksi sosial, dan 5) belajar membutuhkan konsep tambahan dan aplikasi baru yang memungkinkan siswa memperkuat pemahamannya tentang suatu topik. Lave & Wenger (Anthony, Glenda & Walshaw, Margaret, 2009) menyatakan bahwa pengetahuan individu dan pengetahuan kolektif muncul dan berkembang dalam ruang diskusi kelas yang dinamis dan ketika siswa berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran. Dukungan guru dalam proses pembelajaran di lingkungan kelas disebut dengan scaffolding. Wood, Bruner, & Ross (Bakker, A., Smit, J., Wegerif R., 2015) mendefinisikan scaffolding sebagai proses yang memungkinkan siswa mencapai tujuan belajarnya apabila didampingi oleh orang lain yang lebih mampu. Wood mengarakteristikkan scaffolding sebagai an interactive system of exchange in which the tutoroperates with an implicit theory of the learner s actsin order to recruit his attention, reduces degrees of freedom in the task to manageable limits, maintains direction in the problem solving, marks critical features, controls frustration and demonstrates solutions when the learner can recognize them. 170

37 ISBN: Interpretasi dari konsep scaffolding dalam penelitian ini adalah dukungan dari orang yang lebih mampu kepada siswa apabila siswa perlu dukungan sampai siswa mandiri. Williams dan Baxter (Bakker, A., Smit, J., Wegerif R., 2015) mendefinisikan scaffolding dalam dua jenis, yaitu scaffolding sosial dan scaffolding analitis. Scaffolding sosial adalah dukungan guru dalam menciptakan suasana diskusi di dalam kelas, sedangkan scaffolding analitis adalah dukungan yang berkaitan dengan konten matematis. Untuk mengimplementasi konsep scaffolding, strategi pembelajaran yang dapat dilaksanakan untuk mendukung pembelajaran adalah sistem REALs (Rich Environments for Active Learning) (Dunlap, J. C., & Grabinger, R. S., 1996), yaitu sistem yang: 1) mendukung suasana pembelajaran kolaboratif antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa, 2) meningkatkan kegiatan investigasi dalam konteks yang bermakna dan sarat informasi, dan 3) memanfaatkan partisipasi dalam kegiatan dinamis yang meningkatkan pemahaman. Dengan demikian, rancangan pembelajaran di kelas perlu disusun dengan baik sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai. Anthony, Glenda (1996) mengasumsikan bahwa: 1) belajar adalah proses konstruksi pengetahuan, bukan merekam atau menyerap pengetahuan, 2) belajar adalah pengetahuan yang tergantung, artinya bahwa seseorang menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk mengonstruk pengetahuan yang baru, dan 3) pebelajar menyadari dalam proses kognisi dan dapat mengontrol dan mengatur proses tersebut. Menurut von Glasersfeld (Anthony, Glenda, 1996), belajar bukanlah menerima pengetahuan yang sudah tersedia, akan tetapi merupakan proses konstruksi dimana siswa itu sendiri yang merupakan aktor utamanya. Pembelajaran aktif dapat diidentifikasi melalui kegiatan yang diberikan guru misalnya kegiatan belajar kelompok kecil, tugas yang bersifat investigasi, dan kegiatan eksperimen. Piaget (Verenikina, Irina, 2008) memandang bahwa siswa sebagai active constructer dari pengetahuan mereka sendiri. Sedangkan Vygotsky menitikberatkan pada peran interaksi sosial dalam pembelajaran dan pengembangan. Menurut Sahin, Ümran (2013), kemampuan merancang lingkungan belajar konstruktivis dapat ditinjau dari kemampuan dalam aspek: debat dan wawancara, penguasaan konsep, berbagi ide, penggunaan materi dan sumber, merefleksi dan memotivasi penemuan konsep, pemenuhan kebutuhan siswa, pembentukan makna, pengaitan materi dengan kehidupan sehari-hari. Fish dalam Evbuomwan, Dickson (2013) menyatakan bahwa geometry adalah cabang matematika yang berhubungan dengan pengukuran dan hubungan antar garis, sudut, permukaan, dan ruang. Salah satu materi geometri adalah bangun kubus. Menurut Sahin, O. (Aydoğdu, M. Z., Keşan, C., 2014), geometri merupakan salah satu cabang pendidikan matematika yang paling penting karena tujuan dari pembelajaran geometri adalah menyiapkan siswa dengan kemampuan berpikir kritis, dapat menyelesaikan masalah, dan mempunyai pemahaman yang baik pada materi matematika yang lain apabila siswa mempunyai ketrampilan berpikir geometris tingkat tinggi. Menurut Mashingaidze, Samuel (2012), geometri merupakan salah satu aspek matematika yang mempelajari berbagai bentuk. Mempelajari kubus melibatkan transformasi bentuk jaring-jaring kubus. Jaring-jaring kubus merupakan bidang yang berdimensi 2, sedangkan kubus adalah bangun berdimensi 3. Lingkungan belajar konstruktivis dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif yang berpusat pada siswa. Karakteristik lingkungan belajar efektif terdiri dari 10 prinsip-prinsip pedagogi matematika seperti disajikan pada Gambar 1 (Anthony, Glenda, & Walshaw, Margaret, 2009). Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari: teacher knowledge and learning yaitu mengembangkan pengetahuan dalam pembelajaran dan merespon kebutuhan matematis siswa; an ethic of care yaitu membawa komunitas belajar dalam mencapai tujuan pembelajaran; arranging for learning yaitu menyediakan kesempatan kepada siswa untuk bernalar baik secara individu atau kolaboratif; building on students thinking yaitu memfasilitasi kegiatan yang membangun pengetahuan; mathematical communication yaitu menyediakan dialog yang fokus pada argumentasi matematis; mathematical languange yaitu menggunakan bahasa matematis yang dipahami siswa; assessment for learning, worthwhile mathematical tasks yaitu menyeleksi tugas-tugas yang merangsang siswa bernalar; making connection yaitu menciptakan koneksi dalam berbagai cara penyelesaian masalah, antara topik-topik 171

38 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur matematis, dan antara matematika dengan pengalaman sehari-hari; serta tools and representation yaitu menyediakan alat dan penyajian yang mendukung proses berpikir siswa. Prinsip-prinsip tersebut tidak terpisah satu dengan lainnya, akan tetapi masing-masing prinsip tersebut merupakan bagian kompleks suatu jaringan yang dapat mempengaruhi belajar siswa. Praktek dari setiap elemen berhubungan dengan komunitas kelas, komunikasi kelas, jenis tugas yang meningkatkan berpikir siswa, dan peran pengetahuan guru. Prinsip-prinsip yang dikembangkan tersebut didasarkan kenyataan bahwa pembelajaran di kelas merupakan aktivitas yang kompleks. Gambar 1. Prinsip-prinsip Pedagogi Matematika yang Efektif (Anthony, Glenda & Walshaw, Margaret, 2009) Korpershoek, H., Harms, T., de Boer, H., van Kuijk, M. Doolaard, S. (2014) menyatakan bahwa pembelajaran yang efektif merujuk pada keberhasilan pada pencapaian tujuan pembelajaran. Perancangan lingkungan belajar ditentukan oleh guru dalam menciptakan lingkungan yang mendukung dan memfasilitasi belajar baik dalam bidang akademik, sosial, maupun emosi. Melalui lingkungan, akan terjadi interaksi yang dapat meningkatkan ketrampilan dan disposisi terhadap cara berpikir dan bernalar secara matematis sehingga setiap siswa dapat meningkatkan kemahiran matematisnya serta mempunyai kesempatan untuk meningkatkan pandangan terhadap dirinya sebagai pebelajar matematika yang tangguh (Walshaw, M., & Anthony, S., 2006). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Masalah apa saja yang teridentifikasi pada implementasi rancangan lingkungan belajar konstruktivis yang disusun oleh guru dalam pembelajaran materi kubus ditinjau dari aspek: wawancara, penguasaan konsep, berbagi ide, penggunaan materi dan sumber, merefleksi dan memotivasi penemuan konsep, pemenuhan kebutuhan siswa, pembentukan makna, pengaitan materi dengan kehidupan sehari-hari Sejalan dengan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi masalah yang terjadi pada implementasi rancangan lingkungan belajar konstruktivis yang disusun oleh guru dalam pembelajaran materi kubus ditinjau dari aspek: wawancara, penguasaan konsep, berbagi ide, penggunaan materi dan sumber, merefleksi dan memotivasi penemuan konsep, pemenuhan kebutuhan siswa, pembentukan makna, pengaitan materi dengan kehidupan sehari-hari. Manfaat hasil penelitian adalah sebagai informasi untuk bahan pertimbangan bagi guru dalam merancang lingkungan belajar konstruktis yang efektif dalam pembelajaran materi kubus. METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif deskriptif, yaitu mendeskripsikan masalah pada rancangan lingkungan belajar konstruktivis oleh guru dalam pembelajaran materi jaring-jaring kubus. Subjek penelitian adalah 1 orang guru dan 22 orang siswa kelas V pada salah satu sekolah swasta di Kota Malang. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah video recorder dan catatan lapangan. Data yang dikumpulkan adalah masalah yang terjadi pada implementasi rancangan 172

39 ISBN: lingkungan belajar konstruktivis yang disusun oleh guru berdasarkan aspek-aspek model dari Sahin, Ümran (2013) yaitu ditinjau dari aspek: wawancara, penguasaan konsep, berbagi ide, penggunaan materi dan sumber, merefleksi dan memotivasi penemuan konsep, pemenuhan kebutuhan siswa, pembentukan makna, pengaitan materi dengan kehidupan sehari-hari. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan dilakukan pada kegiatan pembelajaran materi kubus selama 90 menit. Sebelum pembelajaran, guru telah mempersiapkan materi dengan baik. Guru meminta siswa membawa alat dan bahan untuk membuat jaring-jaring kubus dan contoh benda berbentuk kubus yang terdapat di sekitar siswa. Guru juga telah menyiapkan kubus dari bahan kertas, blok-blok persegi, dan lembar kegiatan siswa. Pengaturan kelas adalah berkelompok. Satu kelompok terdiri dari 3-4 siswa. Tempat duduk diatur sedemikian hingga siswa mudah untuk berinteraksi. Di awal pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu belajar membuat jaring-jaring kubus apabila diketahui volume kubus. Guru juga menyampaikan penilaian kinerja berupa reward berupa kue dan punishment (pengurangan poin nilai) baik pada kelompok maupun pada individu. Reward diberikan untuk siswa atau kelompok yang memperoleh poin penialain tertinggi, sedangkan punishment diberikan kepada siswa atau kelompok yang tidak dapat memenuhi tugas tepat waktu. Penilaian dilakukan pada poin kerjasama, kecepatan, ketepatan jawaban, keaktifan, dan kebersihan. Pada setiap kegiatan, guru meminta siswa untuk memperhatikan poin-poin penilaian dalam rangka memotivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Penilaian ditulis di papan tulis, sehingga semua siswa mengetahui skor yang diperolehnya. Menurut Mashingaidze, Samuel (2012) penilaian dalam pembelajaran kubus perlu mendapat perhatian dari guru. Penilaian tidak hanya fokus pada hasil, akan tetapi juga pada proses selama pembelajaran berlangsung. Sebagai awal kegiatan pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu mempelajari bagaimana membuat kubus apabila diketahui volumenya, dengan cara menunjukkan salah satu wadah yang dibawa siswa seperti ditunjukkan pada Gambar 2a. Agar siswa mempunyai pemahaman tentang konsep membuat kubus, guru mengambil contoh benda yang dibawa oleh salah satu siswa seperti pada Gambar 2b, kemudian bertanya kepada siswa seperti dialog di bawah ini: [1] Guru : Anak-anak, coba dipikirkan. Untuk membuat ini (sambil menunjuk isi dan wadah pada Gambar 2b, kira-kira mana yang didulukan..isinya atau wadahnya? [2] Siswa : Isinya. (a) (b) Gambar 2. Contoh Wadah Kemudian guru meminta siswa menggunting salah satu wadah berbentuk kubus (Gambar 3) untuk menunjukkan jaring-jaring kubus dengan dialog seperti berikut. [3] Guru : Coba perhatikan Apa namanya ini? Gambar 3. Jaring-jaring Kubus dari Wadah Stiker 173

40 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur [4] Siswa : Jaring-jaring kubus. [5] Guru : Betul. Ini adalah kerangka kubus. Jadi, produsen membuat jaring-jaring wadahnya dulu sebelum membuat wadah. Ada berapa persegi ini? [6] Siswa : Enam. [7] Guru : Bagaimana keadaan sisi-sisi semuanya? [8] Siswa : Sama [9] Guru : Kira-kira, bagaimana cara produsen mengepaskan (ukuran) wadah dengan isinya? [10] Siswa : Menentukan sisi-sisinya. [11] Guru : Betul sekali luar biasa Guru meminta salah kelompok menunjukkan unsur pada jaring-jaring kubus. Gambar 4 Identifikasi Unsur Jaring-jaring [12] Guru : Coba tunjukkan mana bagian sisi (sambil menunjukkan jaring-jaring kubus) [13] Siswa : Ini Bu (sambil menunjuk bagian sisi pada jaring-jaring kubus seperti ditunjukkan pada Gambar 4 ) [14] Guru : (Luas) ini sebenarnya adalah panjang kali lebar (sambil menunjuk persegi pada jaring-jaring kubus seperti pada Gambar 5), tapi karena (panjang dan lebar) sama, maka kita menulis [15] Siswa : Sisi kali sisi. Gambar 5. Bagian Sisi pada Persegi [16] Guru : Misalnya diketahui volume tempat stiker cm 3. Kemudian kalian diminta untuk mencari: a) ukuran panjang sisi-sinya, b) jaring-jaring kubus, dan c) membuat kubus. Bagaimana dengan soal ini? Siapa yang mau mencoba? Berapa panjang sisi-sinya? [17] Siswa : 10. [18] Guru : Dari mana 10? Guru kemudian mengundang salah satu siswa untuk maju ke depan untuk menjelaskan jawaban pertanyaan (a). Karena siswa tidak bisa menjawab, guru membimbing siswa untuk menulis rumus panjang sisi: [19] Guru : Coba ditulis s sama dengan apa tadi rumus sisi pada kubus? Salah satu siswa yang lain menjawab: [20] Siswa : sisi sama dengan akar pangkat tiga dari seribu. Guru kemudian menulis jawaban pertanyaan (a) yaitu: Dialog [1] sampai [2] merupakan upaya guru untuk mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari (Sahin, Ümran, 2013) seperti ditunjukkan Gambar pada Gambar 2. Dari dialog [16], terdapat kesalahan 174

41 ISBN: konsep guru dalam pembelajaran. Guru menjelaskan panjang rusuk sebagai panjang sisi. Hal ini menyebabkan pemahaman konsep kubus menjadi kabur. Setelah menjelaskan rumus untuk mencari panjang rusuk pada kubus, guru kemudian memberikan tugas untuk mengamati kubus dari bahan kertas. Guru meminta menggunting kubus yang sudah jadi (Gambar 6a) untuk memperoleh suatu jaring-jaring kubus. Setelah itu siswa diminta untuk menggambar jaring-jaring kubus yang diperoleh dari hasil kegiatan menggunting. Kemudian guru meminta mengembalikan jaring-jaring ke bentuk kubus dengan cara merekatkan setiap sisinya dengan selotip. Untuk mendapatkan jaring-jaring kubus yang lain, siswa diminta menggunting kembali kubus tersebut. Jaring-jaring yang sudah ditemukan kemudian digambarkan pada lembar kegiatan siswa (Gambar 6b). (a) (b) Gambar 6. Memperoleh Jaring-jaring Kubus Kegiatan ini sesuai dengan pendapat Clements and Sarama (Shiakalli, M. A., Zacharos, K., Markopoulos, C.,2015) yang merekomendasikan bahwa anak-anak seharusnya tidak asing dengan bentuk bangun dimensi 3 dan sifat-sifatnya, memanipulasi menggunakan material yang sesuai untuk menciptakan bentuk bangun ruang dan mengaitkannya dengan jaring-jaring bangunnya. Menurut standar isi dari NCTM, siswa penting untuk menganalisis karakteristik bentuk geometris dan membuat argumen geometris menggunakan visualisasi dan penalaran spasial. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan mengerjakan tugas mandiri pada lembar kegiatan siswa, yaitu membuat kubus sesuai tugas jika diketahui volume kubus 216 cm 3 seperti disajikan pada Gambar 7. Siswa diminta menentukan terlebih dahulu panjang rusuk kubus, kemudian menggambarkan jaring-jaring kubus pada milimeter blok. Setelah digambarkan pada milimeter blok, kemudian kertas tersebut digunting dan ditempelkan pada kertas asturo untuk selanjutnya dibuat kubus dengan menggunakan lem atau selotip. Kubus yang telah dibuat kemudian diberi nama dan dikumpulkan. Gambar 7. Lembar Kegiatan Siswa Pada lembar kegiatan siswa (Gambar 7), tertulis sebagai berikut: Soal: Sebuah kubus memiliki volume 216 cm 3. a. Hitunglah sisi kubus tersebut Soal yang dibuat guru adalah meminta siswa menghitung sisi kubus. Pada kenyataannya, yang diminta guru adalah mencari panjang rusuk kubus. Hal ini akan menyebabkan konsep yang dipahami siswa menjadi kabur karena yang dimaksud dengan sisi pada bidang dimensi 2 dan bangun dimensi 3 adalah berbeda. Dari Gambar 7, tampak jawaban siswa yang menulis bahwa volume sama dengan sisi pangkat 3 sehingga sisi kubus adalah akar pangkat tiga dari volume. Konsep tentang pengukuran juga menjadi kabur yang dapat dilihat dari jawaban siswa untuk satuan panjang adalah cm 3. Pemberian tugas dari guru mendorong siswa untuk berdiskusi dalam kelompok kecil dalam rangka menyelesaikan masalah yang diberikan. Dalam mengelompokkan, guru kurang memperhatikan 175

42 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur tingkat kemampuan anggota kelompoknya, sehingga terdapat kelompok yang sangat pasif. Kegiatan diskusi mendorong siswa untuk saling berbagi ide dengan cara berkomunikasi secara matematis (Gambar 8). Menurut NCTM, komunikasi matematis merupakan cara untuk berbagi gagasan dan menglarifikasi pemahaman. Melalui komunikasi, gagasan-gagasan menjadi objek refleksi dan bahan diskusi yang mencerminkan proses berpikir siswa. Marshman, Bev, & Morrow, Lorna (2010) menyatakan bahwa diskusi dalam pembelajaran materi kubus akan mendorong siswa untuk menggunakan bahasa matematis dalam mendeskripsikan gagasan geometris serta menjelaskan sifat-sifat geometris yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Gambar 8. Kegiatan Diskusi Kelompok Sebagai penutup kegiatan pembelajaran, guru mengingatkan kembali apa saja yang telah dipelajari, yaitu bagaimana cara membuat kubus dengan urutan: 1) mengetahui volume kubus, 2) menentukan sisi kubus dengan cara menarik akar pangkat tiga dari volume yang diketahui, 3) merancang jaring-jaring kubus, 4) menyusun kubus, 5) menanyakan kesan pembelajaran yang dialami siswa apakah menyenangkan bagi siswa. Kesimpulan yang diberikan guru merupakan upaya guru untuk memperkuat kembali konsep tentang kubus. Kesan pembelajaran yang diberikan siswa merupakan upaya guru untuk memperoleh informasi dalam memperbaiki rancangan pembelajaran berikutnya. Di dalam proses pembelajaran kubus, guru telah merancang lingkungan pembelajaran konstruktivis. Contoh dialog [1] sampai dengan [20] mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Noddings (Anthony, Glenda & Walshaw, Margaret, 2009), pembelajaran yang efektif memperhatikan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Sahin, Ümran (2013) menyatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan pendapat, persepsi, dan tingkah laku yang terjadi pada seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut teori kognitif, belajar adalah proses mental dan ini terjadi melalui pemahaman informasi yang mencapai pikiran. Perubahan pemahaman terjadi tergantung pada pengalaman siswa itu sendiri yaitu melalui interaksi siswa dan perannya dalam proses pembelajaran. Pengaturan tempat duduk dan pengaturan diskusi dalam kelompok kecil memungkinkan siswa dalam keterlibatannya selama proses belajar. Menurut Walshaw, M., & Anthony, S. (2006), pengaturan kelas mempengaruhi keaktifan siswa dalam belajar. Dialog [1] sampai [20] menunjukkan bahwa guru melakukan penilaian selama proses pembelajaran seperti diutarakan oleh Mashingaidze, Samuel (2012) bahwa guru perlu menilai apa yang siwa ketahui dan bagaimana siswa berpikir tentang matematika. Penilaian juga dilakukan terhadap kinerja siswa dalam berbagai cara misalnya dengan wawancara maupun dalam bentuk demonstrasi (Gambar 3 dan Gambar 4). Apresiasi guru (contoh dialog [11]) membangkitkan motivasi siswa untuk lebih aktif terlibat dalam interaksi kelas. Dari dialog tersebut guru mendorong siswa untuk merefleksi dan memotivasi penemuan konsep serta sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan siswa terkait konsep kubus. Pemanfaatan media belajar berupa kubus dari bahan kertas dan contoh wadah yang berbentuk kubus sangat membantu siswa untuk mengenal konsep kubus. Menurut Luneta, K. (2015), pengembangan ketrampilan pengetahuan konseptual tentang konsep geometri akan meningkat dengan cara memanipulasi bentuk geometris. Lingkungan belajar geometri perlu menawarkan kesempatan yang mengekspoitasi berpikir visual. Visualisasi menurut Bansilal, Sarah, & Naidoo, Jayaluxmi (2012) 176

43 ISBN: merupakan konstruksi mental. Bansilal, Sarah, & Naidoo, Jayaluxmi (2012). Pendekatan visual digunakan untuk mempelajari karakeristik suatu bidang atau bangun. Penggunaan manipulatif konkrit membantu siswa dalam memahami unsur-unsur suatu bidang atau bangun geometri. Dreyfus (Bansilal, Sarah, & Naidoo, Jayaluxmi, 2012) menyatakan bahwa penggunaan visualisasi dalam belajar matematika merupakan alat yang dapat membantu proses pembelajaran. Davis dan Hyun (Shiakalli, M. A., Zacharos, K., Markopoulos, C., 2015) menyatakan bahwa kegiatan kolaboratif akan memotivasi siswa untuk saling berbagi ide dan mencoba saling memahami pemahaman yang berbeda dari suatu situasi berkaitan dengan relasi antara bentuk jaring-jaring dan bentuk bangun kubus. Penggunaan bahan manipulatif dalam proses pembelajaran kurang dimanfaatkan sebagai media yang dapat memperkuat siswa dalam memahami makna terkait konsep kubus. Shiakalli, M. A., Zacharos, K., Markopoulos, C. (2015) menyatakan bahwa tugas seharusnya mengombinasikan tiga karakteristik yaitu: 1) tugas yang diberikan harus sesuai dengan pengetahuan siswa yang sudah ada sehingga dapat meningkatkan berpikir siswa, 2) konten masalah adalah fokus utama dari proses pemecahan masalah. Penggunaan bahan manipulatif akan mendukung proses memori yang akan membantu mengumpulkan informasi sehingga memungkinkan siswa dalam memvalidasi kebenaran yang telah diasumsikan, dan 3) tugas yang baik menawarkan solusi yang tidak tunggal dan pada saat yang bersamaan siswa mempunyai kesempatan untuk dapat merefleksi jawabannya. Tugas yang diberikan guru kepada siswa untuk mencari bentuk jaring-jaring kubus kurang dapat dimanfaatkan dalam memperkuat konsep terkait dengan sifat jaring-jaring misalnya sifat kekongruenan dan transformasi bidang dimensi 2 ke bidang dimensi 3 atau sebaliknya. Guru lebih fokus mengingatkan siswa tentang pengerjaan tugas dengan cepat sehingga siswa fokus pada penyelesaian tugas dibandingkan dengan pemahaman terhadap apa yang terkandung dalam tugas. Dalam pemberian tugas, terdapat kekurangan dalam memanfaatkan diskusi yang mendorong siswa untuk menginvestigasi konsep yang berkaitan dengan kubus. Bassarear (Luneta, K., 2015) menyatakan bahwa geometri mempelajari tentang bentuk dan hubungannya dengan sifat-sifatnya. Menurut Jeon, Kyungsoon (2009), dalam memahami sifat jaring-jaring, siswa perlu dibimbing untuk menganalisis jaring-jaring. Guru dapat menugaskan siswa untuk memberi alasan mengapa kubus mempunyai luas permukaan 6 satuan persegi dan mengapa setiap kubus mempunyai keliling 14 satuan. Selanjutnya melalui diskusi, dengan bimbingan guru, siswa dapat memberi alasan bahwa kubus mempunyai luas permukaan 6 satuan persegi karena kubus mempunyai 6 permukaan. Sedangkan untuk memperoleh pemahaman tentang keliling kubus, siswa dibimbing untuk memperhatikan banyak lipatan jaring-jaring ketika jaring-jaring tersebut ditransformasi menjadi kubus, yaitu 5 sisi lipatan kubus. Siswa kemudian dibimbing untuk memperhatikan banyak rusuk kubus, yaitu terdapat 12 rusuk. Selanjutnya, untuk memperoleh 7 rusuk sisanya dapat diperhatikan ketika jaring-jaring ditransformasi ke bentuk kubus. Setiap segmen garis yang merupakan bagian dari keliling jari-jari akan bertemu dengan segmen garis yang lain sehingga membentuk rusuk kubus. Menurut Musser, G.L., Burger, W. F., Peterson, B. E. (2014), daerah poligon dari polihedron disebut sisi yang merupakan bidang batas kubus, segmen garis yang memasangkan sisi-sisi disebut rusuk, dan titik dari interseksi rusuk-rusuk disebut titik sudut. Jika diketahui bangun kubus ABCD.EFGH, ABCD adalah sisi, AB dan CD adalah rusuk, dan A, B, C, D adalah titik sudut. Kubus mempunyai 6 sisi, 12 rusuk, dan 8 titik sudut. Bodrova & Leong; Fleer; Tharp & Gallimore (Verenikina, Irina, 2008) menyatakan pentingnya kualitas dialog dalam proses pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan siswa. Confrey (Luneta, 2015) menyatakan bahwa miskonsepsi dalam berpikir akan menyebabkan deretan kesalahan berikutnya sebagai akibat dari kesalahan konsep yang dipelajari sebelumnya. Apabila terdapat kesalahan konsep yang diberikan oleh guru, akan menyebabkan kontra produksi dalam pemahaman konsep oleh siswa tentang konsep yang berkaitan dengan kubus. 177

44 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur PENUTUP Hasil penelitian menunjukkan adanya masalah dalam implementasi rancangan lingkungan konstruktivis oleh guru pada pembelajaran materi jaring-jaring kubus yaitu pada aspek: 1) kurangnya tugas yang mendukung kegiatan investigasi oleh siswa tentang konsep kubus, dan 2) kurangnya tugas yang mendorong siswa untuk merefleksi dan memotivasi siswa dalam menemukan konsep kubus, dan 3) kurangnya tugas yang mendorong siswa untuk membentuk makna konsep kubus. Guru lebih fokus pada kecepatan penyelesaian tugas. Masalah yang terjadi dalam implementasi rancangan pembelajaran menyebabkan terjadinya kontra produktif terhadap efektifitas pembelajaran. Pembelajaran akan efektif apabila guru memperhatikan pengaturan waktu dalam setiap kegiatan serta memperhatikan: 1) tingkat kemampuan anggota kelompok yang heterogen sehingga memungkinkan siswa yang mempunyai kompetensi lebih tinggi dapat membantu teman yang tingkat kompetensinya lebih rendah, 2) merancang tugas yang mendorong siswa untuk memahami unsur-unsur kubus melalui investigasi, dan 3) memanfaatkan partisipasi siswa dalam memahami konsep kubus. DAFTAR RUJUKAN Anthony, Glenda & Walshaw, Margaret Characteristics of Effective Teaching of Mathematics: A View from the West. Journal of Mathematics Education Education for All. December 2009, Vol. 2, No. 2, pp Anthony, Glenda Active Learning in a Constructivist Framework. Educational Studies in Mathematics, Vol. 31, No. 4. (Dec., 1996), pp Aydoğdu, M. Z., Keşan, C., A Research on Geometry Problem Solving Strategies Used By Elementary Mathematics Teacher Candidates. Journal Of Educational And Instructional Studies In The World. February 2014, Volume: 4 Issue: 1 Article: 07. ISSN: Bakker, A., Smit, J., Wegerif R Scaffolding And Dialogic Teaching In Mathematics Education: Introduction And Review. ZDM Mathematics Education (2015). 47: DOI /s Bansilal, Sarah, & Naidoo, Jayaluxmi Learners Engaging With Transformation Geometry. South African Journal of Education, Volume 32(1), February Dunlap, J. C., & Grabinger, R. S Constructivist Learning Environments. Educational Technology Publications. New Jersey: Englewood Cliffs. Evbuomwan, Dickson An Investigation Into The Difficulties Faced By Form C Students In The Learning Of Transformation Geometry In Lesotho Secondary Schools. Submitted in accordance with the requirements for the degree of Master Of Education - With Specialization In Mathematics Education at the University Of South Africa. Gloria, Charina C Mathematical Competence and Performance in Geometry of High School Students. International Journal of Science and Technology. Volume 5 No.2, February ISSN IJST. All rights reserved Jeon, Kyungsoon Mathematics Hiding in the Nets for a Cube. Korpershoek, H., Harms, T., de Boer, H., van Kuijk, M. Doolaard, S Effective Classroom Management Strategies And Classroom Management Programs For Educational Practice. GION onderwijs/onderzoek. Rijksuniversiteit, Grote Rozenstraat 3, 9712 TG Groningen. Luneta, K Understanding Students Misconceptions: An Analysis Of Final Grade 12 Examination Questions In Geometry. Pythagoras, 36(1), Art. #261, 11 pages. Marshman, Bev, & Morrow, Lorna Invitations to Mathematics Investigations in Geometry: Net Quest. The Centre for Education in Mathematics and Computing Faculty of Mathematics University of Waterloo, Ontario Canada N2L 3G1. Mashingaidze, Samuel The Teaching of Geometric (Isometric) Transformations at Secondary School Level: What Approach to Use and Why? Asian Social Science; Vol. 8, No. 15; ISSN E-ISSN Published by Canadian Center of Science and Education. Musser, G.L., Burger, W. F., Peterson, B. E Mathematics For Elementary Teachers. John Wiley & Sons, Inc. 178

45 ISBN: Sahin, Ümran The classroom teachers skılls to organıze constructıvıst learnıng envıronment. International Journal of Elementary Education 2013; 2(2): Published online June 10, 2013 ( doi: /j.ijeedu Shiakalli, M. A., Zacharos, K., Markopoulos, C Creating Cube Nets By Using Educational Tools In Pre-School. International Journal for Mathematics Teaching and Learning, 17 December, pp Verenikina, Irina Scaffolding and Learning: Its Role in Nurturing New Learners. Faculty of Education - Papers (Archive). Library: research-pubs@uow.edu.au Walshaw, M., & Anthony, S Classroom Arrangements That Benefit Students. MERGA Australia

46 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur TINGKATAN ABSTRAKSI MATEMATIS DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PADA SISWA SEKOLAH DASAR Lusiana Delastri Universitas Kristen Indonesia Toraja Abstrak: Pemahaman konsep merupakan bagian yang paling penting dalam pembelajaran matematika. Tingkatan Abstraksi menunjukkan pergerakan siswa dari tingkat pemahaman konsep matematika yang konkrit ke suatu konsep umum yaitu konsep yang lebih abstrak. Untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap suatu konsep, guru perlu tingkatan abstraksi siswa dalam menyelesaikan masalah. Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk mengidentifikasi tingkatan abstraksi matematis siswa dalam menyelesaikan masalah. Wawancara berbasis tugas digunakan untuk mengumpulkan data. Subjek penelitian ini adalah dua siswa kelas V SDI Surya Buana Malang. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkatan abstraksi matematis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang mengikuti tingkatan abstraksi yang terdiri atas tingkatan I adalah pengenalan (Recognition) struktur matematika melalui abstraksi persepsi/perseptual, tingkatan II adalah penerapan struktur matematika melalui internalisasi, dan tingkatan III adalah konstruksi struktur matematika baru. Kata Kunci: Abstraksi Matematis, Tingkatan abstraksi matematis, Penyelesaian masalah Kubus merupakan salah satu bagian dari materi geometri ruang yang dipelajari di Sekolah Dasar. Setelah mempelajari materi kubus, siswa dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menghitung luas permukaan dan volum kubus. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa materi kubus merupakan materi pokok yang banyak mengandung konsep. Apabila siswa belum memahami konsep-konsep pada materi kubus, maka mereka akan kesulitan dalam mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan materi tersebut. Pemahaman konsep merupakan bagian yang paling penting dalam pembelajaran matematika. Purwanto (1994) menyatakan bahwa pemahaman sebagai tingkat kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Siswa yang tidak memahami konsep matematika, mereka akan kesulitan ketika dihadapkan pada masalah matematika. Kubus merupakan salah satu bagian yang dipelajari dalam matematika maka pemahaman konsep kubus merupakan salah satu tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran matematika untuk Sekolah Dasar. Dewan Nasional Guru Matematika (NCTM, 2000) mendorong para guru untuk menciptakan lingkungan di mana siswa belajar matematika dengan pemahaman. Pemahaman yang benar terjadi ketika siswa dapat menggunakan apa yang mereka ketahui dan menerapkannya ke situasi baru (Perkins, 1993). Siswa menunjukkan pemahaman saat "mereka mampu melaksanakan berbagai tindakan atau petunjuk melalui cara berpikir kritis: menjelaskan, menerapkan, generalisasi, mewakili cara baru, membuat analogi dan metafora" (Alagic, 2003 ). Untuk alasan ini, guru harus menciptakan situasi di mana siswa diberi kesempatan untuk menunjukkan pemahaman mereka dalam berbagai konteks. Siswa dengan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep akan mampu memahami konsep-konsep berikutnya lebih efisien (Alagic, 2003). Istilah "abstraksi" melibatkan pergerakan siswa dari tingkat pemahaman konsep matematika yang konkrit ke suatu konsep umum yaitu konsep yang lebih abstrak (Sfard, 1991). "Abstraksi", berasal dari kata "abstrak", dalam istilah matematika dapat dinyatakan sebagai proses untuk memperoleh intisari konsep matematika, menghilangkan kebergantungannya pada objek-objek dunia nyata yang pada mulanya mungkin saling terkait, dan memperumumnya sehingga ia memiliki terapan-terapan yang lebih luas atau bersesuaian dengan penjelasan abstrak lain untuk gejala yang setara (Wikipedia, 180

47 ISBN: ). Proses abstraksi matematika dimulai dengan penelaahan masalah-masalah dunia nyata, sebelum aturan-aturan dan konsep-konsepnya diidentifikasi dan didefinisikan sebagai struktur abstrak. Abstraksi merupakan suatu proses yang penting dalam belajar matematika. Ferari (2003) menyatakan bahwa abstraksi adalah proses mendasar dalam pembelajaran matematika. Hazzan dan Zazkis (2005) menyatakan bahwa kemampuan Abstraksi merupakan keterampilan penting dalam pembelajaran matematika yang bermakna. Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika, Siswa harus terlibat dalam proses abstraksi karena mereka terlibat dalam trasformasi persepsi mereka menjadi gambaran dalam pikiran dengan cara representasi yang berbeda. Abstraksi dalam bidang penelitian pendidikan matematika telah diteliti dari perspektif yang berbeda-beda, seperti Hong dan Kim (2015), Hassan dan Mitchelmore (2006), serta Van Oers dan Poland (2007). Hong dan Kim (2015) meneliti 20 siswa kelas lima dan yang dianalisis adalah tiga tingkat abstraksi matematika siswa dalam memecahkkan masalah ill-structured. Hassan dan Mitchelmore (2006) membandingkan model abstraksi daalam matematika, yaitu abstraksi empiris dan model RBC (Recognizing, Building-with, Constructing) serta melihat model mana yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep. Hassan dan Mitchelmore mewawancarai 14 siswa dan diperoleh bahwa model RBC memiliki potenssi untuk membantu siswa memahami konsep dan abstraksi empiris lebih baik digunakan pada siswa di bawah 11 tahun. Proses abstraksi dalam matematika Mithelmore dan White (2004) menyatakan bahwa objek kajian matematika adalah objek yang abstrak (abstract-apart). Objek yang abstrak ini dapat berupa konsep-konsep, ide-ide, gagasan-gagasan, serta hubungannya. Untuk mempelajari objek yang abstrak tersebut diperlukan adanya suatu proses atau aktivitas. Proses atau aktivitas tersebut disebut sebagai abstraksi. Hershkowitz, Schwarz dan Dreyfus (2001) mendefinisikan abstraksi sebagai suatu kegiatan yang secara vertikal mengorganisir pengetahuan matematika yang dibangun sebelumnya menjadi struktur matematika baru. Istilah "vertikal", dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa konsep baru yang ada pada tingkat yang lebih tinggi dibangun dari konsep-konsep sebelumnya. Panasuk (2011) menyatakan bahwa abstraksi dalam matematika merupakan kegiatan mengintegrasikan potongan informasi (fakta) pengetahuan matematika yang sebelumnya dibangun dan mengorganisir mereka ke dalam struktur matematika yang baru. Berdasarkan pendapat diatas, maka abstraksi merupakan langkah dasar dalam menciptakan konsep-konsep baru. Objek-objek matematika baru dikonstruksi melalui pembentukan hubungan sedemikian hingga menemukan generalisasi, bukti, atau strategi baru pada penyelesaian masalah. Ada dua jenis abstraksi, yaitu abstraksi empiris dan abstraksi teoritis (Mitchelmore dan white, 2007). Piaget yang diulas oleh Dubinsky (2001) yang membedakan tiga bentuk abstraksi, yaitu: Abstraksi empiris (empirical abstraction) yang fokus pada objek serta sifat mereka, abstraksi empiris semu (Pseudo-empiris abstraction) yang berfokus pada tindakan pada objek dan sifat-sifat tindakan dan abstraksi reflektif (reflective abstraction) yang befokus pada abstraksi dari tindakan subjek pada objek. Sehubungan dengan abstraksi dalam studi matematika, peneliti membagi prosedur menjadi beberapa tingkatan. Dreyfus, Hershkowitz & Schwartz (2001) memisahkan tingkatan abstraksi matematis menjadi tiga tingkatan: kebutuhan untuk struktur baru, pembangunan entitas abstrak baru, dan konsolidasi entitas/ struktur abstrak. Mengenali (Recognizing), membangun-dengan (Building with) dan merekonstruksi (Constructing) disajikan oleh Hershkowitz, Schwarz & Dreyfus (2001). Battista (1999) menyajikan Tingkat [I] sampai [IV] abstraksi matematika, yaitu tingkat persepsi, tingkat internalisasi, tingkat interiorization, dan tingkat kedua interiorization. Hong dan Kim (2015) menyajikan tingkat I sampai Tingkat III abstraksi matematika. Tingkat I adalah pengenalan (recognition) struktur matematika melalui persepsi atau absstraksi perseptual. Tingkat II adalah 181

48 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur penerapan struktur matematika melalui internalisasi. Tingkat III adalah Konstruksi struktur matematika baru melalui interiorizasi. Tingkatan abstraksi matematika dan konten dari Hong dan Kim Tingkat I abstraksi matematika, merupakan pengakuan struktur matematika melalui abstraksi perseptual, dimana siswa mengakui perlu adanya struktur matematika untuk memecahkan masalah yang diberikan dan memahami masalah dengan menerapkannya pada matematika. Pada tingkat ini, siswa mengenali kebutuhan untuk abstraksi perseptual dan mengungkapkannya sebagai bentuk abstraksi matematika seperti struktur matematika atau atribut pengenalan. Tingkat II abstraksi matematika adalah penerapan struktur matematika melalui internalisasi, di mana siswa mengekspresikan berbagai bagian dari soal atau menyederhanakan hubungan atau struktur matematika secara ringkas. Tingkat III abstraksi matematika adalah mengembangkan strruktur matematika baru melalui interiorisasi, yang artinya seseorang membentuk sstruktur pengetahuan baru melalui pemecahan masalah dan generatisasi untuk masalah dengan konteks kehidupan nyata yang berbeda. Mitchelmore dan Tall (2007) menyebutkan bahwa abstraksi memiliki peran penting dalam pembelajaran geometri yang terkait dengan pembentukan segitiga dan konsep segiempat, ketika siswa mempelajari bentuk segitiga atau segiempat. Mereka mengidentifikasi bentuk dengan mengamati kesamaan, melakukan klasifikasi berdasarkan karakteristik objek, menemukan sifat-sifat yang terkandung konsep, dan membangun konsep masing-masing bentuk. Terkait dengan fakta-fakta, itu perlu untuk mengidentifikasi Tingkatan abstraksi siswa Sekolah Dasar (SD) dalam proses menyelesaikan masalah pada materi kubus. METODE Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif-kualitatif, artinya menggambarkan atau mendeskripsikan kejadian-kejadian yang menjadi pusat perhatian (tingkatan abstraksi siswa) secara kualitatif. Subjek penelitian ini adalah 2 siswa kelas V Sekolah Dasar Islam (SDI) Surya Buana. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara berbasis tugas, yaitu siswa diberikan tugas yang memuat penyelesaian masalah dan diberikan waktu untuk menyelesaikannya. Setelah itu, subjek diwawancarai berdasar pekerjaan yang dilakukan. Wawancara dilakukan untuk mengetahui tingkatan abstraksi siswa dalam menyelesaikan masalah. Analisis data hasil wawancara dilakukan dengan langkah (1) reduksi data, (2) pemaparan data yang meliputi pengklasifikasi dan identifikasi data, dan (3) penarikan kesimpulan. Instrumen utama penelitian adalah pewawancara (peneliti sendiri) yang dibantu dengan instrumen berupa tugas tertulis dan pedoman wawancara. Contoh tugas tertulis ditunjukkan sebagai berikut. Sebuah kubus memiliki panjang rusuk 6 cm a. Gambarlah 1 jaring-jaring kubus dengan ukuran tersebut diatas! b. Hitunglah luas permukaan kubus dengan menggunakan jaring-jaring tersebut! Penelitian ini menggunakan standar analisis dimodifikasi berdasarkan tingkatan abstraksi matematika dan konten dari Hong dan Kim Tingkat abstraksi matematis dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel

49 ISBN: Tabel 1 : Standar Analisis untuk Tingkat Abstraksi Matematis Siswa Tingkat abstraksi matematika Bentuk abstraksi matematika TK I : Pengenalan (Recognition) Struktur Matematika melalui a. Abstraksi Perceptual : Siswa menyadari kebutuhan tentang struktur matematika dalam menyelesaikan masalah serta mampu menerapkannya. abstraksi persepsi/perseptual. b. Pengenalan (Recognition) kebutuhan untuk struktur matematika: siswa menyadari struktur matematika yang dipelajari sebelumnya (termasuk pengetahuan matematika, konsep dan prinsip) dan dapat mengidentifikasinya dalam masalah yang diberikan. c. Pengenalan (Recognition) struktur matematika dan atribut: siswa mengenali atribut matematika yang terlibat dalam masalah yang didasarkan pada pengalaman dan intuisi sendiri serta dengan memanfaatkan benda-benda fisik TK II : Penerapan Struktur Matematika Melalui Internalisasi TK III: Konstruksi Struktur Matematika Baru a. Internalisasi (Penyederhanaan, Formalisasi): siswa menyederhanakan masalah menjadi bentuk yang ringkas serta mampu mengungkapkannya menggunakan hubungan dan struktur matematika b. Aplikasi dan pemanfaatan struktur matematika: siswa memanfaatkan dan menerapkan struktur matematika yang dipelajari sebelumnya (termasuk pengetahuan matematika, konsep dan prinsip-prinsip) untuk menyelesaikan masalah. a. Generalisasi Struktur Matematika : siswa menyelesaikan dengan menggeneralisasi konsep matematika yang dimasukkan ke dalam masalah b. Rekonstruksi vertikal dari Struktur Matematika: siswa membentuk pengetahuan dan struktur matematika baru saat menyelesaikan dan dapat menggeneralisasi untuk masalah. siswa mengembangkan struktur baru berdasarkan struktur matematika yang dipelajari sebelumnya (termasuk pengetahuan matematika, konsep dan prinsip) HASIL DAN PEMBAHASAN Data dari pekerjaan siswa dan wawancara dianalisis berdasarkan aspek abstraksi yang muncul selama proses penyelesaian masalah pada materi kubus. Tingkat I abstraksi matematika, diperoleh melalui wawancara tentang pemahaman soal yang diberikan, persepsi pengetahuan dan konsep matematika yang ada dalam soal dan aplikasinya dalam menyelesaikan soal. Tingkat I abstraksi matematis pada Rasyid disimpulkan berdasarkan petikan wawancara antara Peneliti (P) dengan Rasyid (R) berikut: P : Coba Rasyid sebutkan ciri-ciri benda yang bentuknya seperti kubus R : Ukuran panjang, lebar dan tinggi benda sama; sisi-sisinya terdiri dari 6 persegi. P: Dengan melihat soal, bagaimana rumus luas untuk salah satu sisi pada kubus? R : Luas salah satu persegi adalah. P : Satuan luasnya adalah... R : cm 2 P : Mengapa? R : Karena satuan ukuran rusuk adalan cm P: Jadi luas jaring-jaringnya adalah... R : Jumlah semua luas persegi 183

50 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur P : Apakah luas jaring-jaring sama dengan luas permukaan kubus? Mengapa? R : Iya, sama. Karena jaring-jaring itu adalah permukaan kubus yang dibuka Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa Rasyid menunjukkan tingkat 1 (a, b, c) abstraksi matematika. Tingkat 1 (a), yaitu menyadari kebutuhan struktur matematika (Konsep persegi, rumus untuk menghitung luas persegi dalam menentukan luas permukaan kubus). Tingkat I (b), yaitu Rasyid mengakui struktur matematika yang dipelajari sebelumnya (Karakteristik kubus, konsep persegi, luas permukaan kubus) dan ada dalam soal. Tingkat I (c), yaitu Rasyid dapat menunjukkan sisi, rusuk, serta karakteristik kubus dengan menunjuk gambar dan menunjuk benda yang bentuknya seperti kubus. Berdasarkan wawancara dengan abel maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Abel mengakui konsep persegi sebagai sisi yang membangun kubus. Abel juga mengetahui karakteristik dari kubus (ukuran panjang, lebar dan tinggi kubus adalah sama, banyaknya persegi yang membangun kubus adalah 6 buah), mengetahui rumus untuk menghitung luas bidang datar yaitu tetapi Abel kurang memahami tentang satuan ukuran yang digunakan (satuan luas kubus berdasarkan soal adalah cm karena satuan panjang rusuknya cm). Namun Abel salah saat memahami tentang panjang rusuk 6 cm setelah menggambar jaring-jaring. Abel mengetahui bahwa luas permukaan kubus adalah adalah tetapi tidak memahami bahwa luas jaring-jaring kubus sama dengan luas permukaan kubus(tidak dapat menentukan luas permukaan kubus dengan memanfaatkan persegi pada jaring-jaring). Jadi Abel menunjukkan tingkat 1 (b) pada abstraksi matematika. Abel menyadari kebutuhan struktur matematika (Konsep persegi, rumus untuk menghitung luas persegi dalam menentukan luas permukaan kubus dan satuan ukuran ) tetapi tidak dapat menerapkannya. Tingkat I (b), yaitu Abel mengakui struktur matematika yang dipelajari sebelumnya (Karakteristik kubus, konsep persegi, luas permukaan kubus) yang ada dalam soal. Namun saat Abel salah dalam menunjukkan rusuk, serta karakteristik kubus dengan menunjuk gambar dan menunjuk benda yang bentuknya seperti kubus. Tingkat abstraksi II dan III abstraksi matematika dapat diamati dalam proses pengumpulan informasi dan mengidentifikasi solusi yaang tepat. Hasil tugas yang dibuat Rasyid (R) Gambar 1. Hasil Pekerjaan Rasyid Tingkat II abstraksi dapat disimpulkan berdasarkan berdasarkan pekerjaan Rasyid pada gambar 1. Hasilnya adalah Rasyid menentukan unsur yang diketahui pada soal dan menentukan hal 184

51 ISBN: yang ditanyakan (Luas Permukaan Kubus L). Rasyid menentukan Luas permukaan kubus dengan menggunakan jaring-jaring ( ; Luas jaring-jaring sama dengan luas permukaan kubus, yaitu jadi ). Rasyid juga dapat menggambarkan jaring-jaring kubus dengan panjang sisi 6 cm. Yang menarik adalah ketika rasyid menuliskan ukuran setiap sisi pada jaring-jaring dengan 2 cm seperti pada gambar berikut: P : Mengapa panjang sisinya ditulis 2 cm? R : Ukuran untuk 6 cm terlalu panjang dan kertas tidak cukup (ukuran kertas kecil) sehingga ukurannya dibuat dalam skala yang lebih kecil (Ukuran setiap sisi dibagi 3 atau 6 cm : 3 = 2 cm) Berdasarkan wawancara dapat diketahui bahwa Rasyid telah mengingat dan menggunakan materi yang sebelumnya telah dipelajari yaitu materi Skala. Rasyid menunjukkan tingkat II (a, b) abstraksi matematika. Tingkat II (a), yaitu Rasyid menyederhanakan soal menjadi bentuk yang ringkas (Misalnya Luas Persegi 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan luas jaring-jaring di singkat secara berturut-turut dengan menggunakan simbol, serta ukuran rusuk dengan r). Tingkat II (b), Rasyid menggunakan Luas tiap persegi untuk menghitung luas permukaan kubus dan juga menggunakan skala. P : Luas salah satu sisi kubus adalah. Luas kubus tersebut adalah... R : P : Ibu mempunyai Sebuah kotak kue yang bentuknya seperti kubus. Jika luas permukaan 384 cm 2. Tentukan panjang rusuk kotak tersebut! R : Panjang rusuk kotaknya 8 cm, diperoleh dari Berdasarkan wawancara diatas, disimpulkan bahwa Rasyid dapat menyelesaikan soal dengan menggunakan luas tiap persegi pada jaring-jaring (Luas untuk persegi I adalah ) dan Luas seluruh jaring-jaring sama dengan luas permukaan kubus yaitu. Saat rasyid diberikan soal lain, Rasyid dapat menemukan panjang rusuk yaitu 8 cm, yang diperoleh dengan menggunakan rumus luas permukaan. Rasyid berada pada tingkat III (a), yaitu dapat menyelesaikan soal lain dengan rumus yang telah diperoleh sebelumnya. Tingkat III (b), yaitu menentukan luas pemukaan kubus dengan menjumlahkan luas persegi yang membangun kubus. 185

52 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Hasil tugas yang dibuat Abel (A) Gambar 2. Hasil pekerjaan Abel Tingkat II abstraksi dapat disimpulkan berdasarkan berdasarkan pekerjaan Abel pada gambar 2. Abel menentukan unsur yang diketahui pada soal dan menentukan hal yang ditanyakan (Luas Permukaan Kubus L ). Abel menentukan luas tiap persegi dalam jaring-jaring tetapi gagal dalam menentukan luas jaring-jaring kubus ( ). Abel juga dapat menggambarkan jaring-jaring kubus tetapi kurang paham dengan ukuran rusuk kubus (6 cm). Berikut adalah kutipan wawancara tentang pemahaman Abel (A) tentang ukuran rusuk. P : Dengan melihat gambar Abel, yang mana rusuknya? A: (Abel menunjukkan rusuk pada gambar kubus) P : Jadi ukuran rusuk 6 cm, yang mana? A: 6 cm adalah jumlah sisi pada persegi (sambil menunjuk semua sisi pada persegi) Dari kutipan wawancara Peneliti (P) dengan Abel (A), ternyata Abel menyatakan bahwa 6 cm adalah jumlah seluruh sisi untuk tiap persegi yang membangun kubus. Dari hasil pekerjaan dan hasil wawancara dengan Abel, Abel menunjukkan tingkat II (a) abstraksi matematika. Tingkat II (a), yaitu Abel menyederhanakan soal menjadi bentuk yang ringkas (Misalnya Luas Persegi 1,2,3,4,5, 6 dan luas jaring-jaring di singkat secara berturut-turut dengan menggunakan simbol, serta ukuran rusuk dengan s). Abel gagal dalam mengitung luas permukaan kubus dengan menggunakan jaring-jaring. Yang artinya bahwa Abel gagal dalam memanfaatkan dan menerapka struktur matematika (Konsep dan prinsip persegi) untuk menyelesaikan masalah. Abel gagal menentukan luas permukaan kubus dengan menggunakan jaring-jaring, walaupun Abel tahu bahwa sisi-sisi yang membangun kubus adalah persegi. Abel hanya menghafal rumus luas permukaan kubus dan rumus luas persegi. Saat Almas diberikan soal lain (Sebuah kotak kue yang bentuknya seperti kubus. Jika luas permukaan 384 cm 2. Tentukan panjang rusuk kotak tersebut!), Almas dapat menentukan panjang rusuk yaitu 8 cm, yang diperoleh dengan menggunakan rumus luas permukaan. Almas berada pada tingkat III (a), yaitu dapat menyelesaikan soal lain dengan rumus yang telah diperoleh sebelumnya. Tetapi abel gagal merekonstruksi rumus luas permukaan kubus dengan menggunakan rumus luas persegi. Secara ringkas, Tingkatan abstraksi matematis pada Rasyid dan Abel ditunjukkan pada tabel 2 berikut. 186

53 ISBN: Tabel 2 : Tingkat Abstraksi Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Tingkat abstraksi Siswa Bentuk abstraksi matematika matematika Rasyid Abel TK I : Pengenalan a. Abstraksi Perceptual : Siswa menyadari (Recognition) kebutuhan tentang struktur matematika dalam Struktur Matematika menyelesaikan masalah serta mampu - melalui abstraksi persepsi/perseptual. b. menerapkannya. Pengenalan (Recognition) kebutuhan untuk struktur matematika: siswa menyadari struktur matematika yang dipelajari sebelumnya (termasuk pengetahuan matematika, konsep dan prinsip) dan dapat mengidentifikasinya dalam masalah yang diberikan. c. Pengenalan (Recognition) struktur matematika dan atribut: siswa mengenali atribut matematika yang terlibat dalam masalah yang didasarkan pada pengalaman dan intuisi - sendiri serta dengan memanfaatkan benda-benda fisik TK II : Penerapan Struktur Matematika Melalui Internalisasi TK III: Konstruksi Struktur Matematika Baru a. Internalisasi (Penyederhanaan, Formalisasi): siswa menyederhanakan masalah menjadi bentuk yang ringkas serta mampu mengungkapkannya menggunakan hubungan dan struktur matematika b. Aplikasi dan pemanfaatan struktur matematika: siswa memanfaatkan dan menerapkan struktur matematika yang dipelajari sebelumnya (termasuk pengetahuan matematika, konsep dan prinsip-prinsip) untuk menyelesaikan masalah. a. Generalisasi Struktur Matematika : siswa menyelesaikan dengan menggeneralisasi konsep matematika yang dimasukkan ke dalam masalah b. Rekonstruksi vertikal dari Struktur Matematika: siswa membentuk pengetahuan dan struktur matematika baru saat menyelesaikan dan dapat menggeneralisasi untuk masalah. siswa mengembangkan struktur baru berdasarkan struktur matematika yang dipelajari sebelumnya (termasuk pengetahuan matematika, konsep dan prinsip) PENUTUP Kesimpulan Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tingkatan abstraksi matematis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang mengikuti tingkatan abstraksi yang terdiri atas tingkatan I adalah pengenalan (Recognition) struktur matematika melalui abstraksi persepsi/perseptual, tingkatan II adalah penerapan struktur matematika melalui internalisasi, dan tingkatan III adalah konstruksi struktur matematika baru. Tingkatan abstraksi matematis yang siswa tunjukkan selama penelitian ini

54 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur diperhitungkan, maka abstraksi matematika saat mereka mencoba menyelesaikan soal berlangsung seperti bagan berikut: Gambar 3: Abstraksi Matematika Dalam Menyelesaikan Masalah Pada Materi Kubus Pertama, siswa mengakui adanya kebutuhan akan struktur matematika. Setelah itu, struktur matematika tersebut di manfaatkan dalam proses mencari solusi, untuk menghitung panjang rusuk kubus. Siswa menunjukkan tingkat I, II Daan III abstraksi matematika selama proses menyelesaikan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan menyelesaikan masalah dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan abstraksi matematika mereka. Saran Berdasarkan pada hasil, pembahasan dan pengalaman selama proses penelitian berlangsung ini maka peneliti menyarankan kepada guru agar dalam penerapan pembelajaran matematika yang melibatkan penyelesaian masalah untuk mendorong pemahaman siswa terhadap suatu konsep matematika. Kepada peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian lanjutan ataupun penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, disarankan melihat dampak abstraksi dari berbagai metode pembelajaran, supaya dapat menjadi alternatif baagi guru untuk meningkatkan aspek abstraksi yang lemah. DAFTAR RUJUKAN Hong, Y. J., Kim, K. M., Mathematical Abstraction in the solving of Ill-Structured Problems by Elementary school Students in Korea, Eurasia Journal of mathematic, Science & Technology Education. Rohana Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Pemahaman Konsep Mahasiswa FKIP Universitas PGRI. Palembang : Prosiding PGRI Van Oers, B., & Poland, M Schematising activities as a means for encouraging young children to think abstractly. Mathematics Education Research Journal Mitchelmore, M., White, P., Abstraction in Mathematics Learning. Mathematics Education Research Journal. Vol. 19, No. 2, 1 9 Depdiknas, 2006 b. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 tentang Standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas Zulkardi Pendidikan Matematika di Indonesia : Beberapa Permasalahan dan Upaya Penyelesaiannya. Palembang: Unsri. French, Doug Theaching and Learning Algebra. London: Continuum Hershkowitz, R., Schwarz, B. B., & Dreyfus, T. (2001). Abstraction in context: Epistemic actions. Journal for Research in Mathematics Education, 32, Dreyfus, T., Hershkowitz, R., & Schwarz, B The construction of abstract knowledge in interaction. In M. van den Heuvel-Panhuizen (Ed.), Proceedings of the 25th conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (Vol. 2, pp ). Utrecht, The Netherlands: PME. 188

55 ISBN: PENYAJIAN SPASIAL PADA PENYUSUNAN JARING-JARING KUBUS DAN BALOK Shinta Wulandari mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang shintaw@borneo.ac.id Abstrak: Jaring-jaring adalah bentuk dua dimensi yang dapat dilipat membentuk obyek tiga dimensi. Penyajian spasial diperlukan siswa untuk mengkomunikasikan jaring-jaring yang disusunnya kepada orang lain. Tujuan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan penyusunan jaring-jaring kubus dan balok serta penyajian spasial jaring-jaring kubus dan balok oleh siswa. Data diambil pada enam siswa kelas 5 tingkat sekolah dasar. Kemampuan visualisasi spasial, orientasi spasial dan relasi spasial terlihat pada aktivitas penyusunan jaring-jaring kubus dan balok. Tiga langkah pada proses pengukuran perlu ditingkatkan untuk mendukung penyajian spasial pada jaring-jaring. Kata kunci: penyajian spasial, jaring-jaring, kubus, balok Geometri merupakan bagian dari matematika yang mempelajari tentang bentuk baik dua dimensi maupun tiga dimensi. Geometri dapat dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan sekitar dan dunia nyata (Howse dan Howse, 2014). Informasi dari lingkungan dan dunia nyata memerlukan penyajian spasial (spatial representation) sehingga informasinya dapat disimpan, dianalisis, dikomprehensikan dan dikomunikasikan ke orang lain (NRC, 2006). Penyajian spasial dibedakan menjadi dua yaitu penyajian secara internal dan eksternal (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011). Penyajian spasial secara internal fokus pada formasi dan manipulasi bayangan spasial di dalam pikiran, yang memerlukan kemampuan spasial pada visualisasi, orientasi dan relasi spasial, sedangkan penyajian spasial secara eksternal mengacu pada pengorganisasian, pemahaman dan pengkomunikasian informasi dengan peta, gambar dan grafik. Kemampuan spasial dipergunakan untuk mengetahui obyek dalam ruang, menggunakan penyajian dan melakukan penalaran spasial. Wang dan Carr (2014) menyampaikan bahwa kemampuan spasial mengacu pada kemampuan seseorang dalam merepresentasikan secara mental bayangan dua dimensi dan tiga dimensi. Sedangkan Hegarty dan Waller (2005) menyatakan bahwa spatial ability involves the ability to represent, modify, generate, and recall symbolic, non-linguistic information. Seseorang yang memiliki kemampuan spasial, ketika menerima informasi non linguistic yaitu informasi yang bukan dari bahasa,dia dapat menyajikan, memodifikasi, membangun dan mengingat kembali secara simbolik. Informasi non linguistic berupa gambar dua dimensi atau tiga dimensi. Sedangkan menurut Linn dan Petersen (dalam Gecu et.al, 2015), kemampuan spasial didefinisikan sebagai berikut : spatial ability defined as the mental process to perceive,store, recall, edit and communicate spatial images based on three factors, mental rotation, spatial visualization and spatial perception. Seseorang yang memiliki kemampuan spasial maka dia akan mengalami proses-proses mental untuk mengenali, menyimpan, mengingat, memperbaiki dan mengomunikasikan bayangan spasial berdasarkan tiga faktor yaitu rotasi mental, visualisasasi spasial dan persepsi spasial. Berdasarkan dua definisi tersebut, kemampuan spasial adalah proses-proses mental untuk mengenali, menyimpan, 189

56 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur mengingat, memperbaiki dan mengomunikasikan bayangan spasial berupa dua dimensi dan tiga dimensi. Keterampilan kognitif spasial membuat seseorang memiliki kemungkinan untuk membayangkan representasi secara mental obyek dunia nyata dari perspektif yang berbeda (Gecu et al, 2015). Kemampuan spasial terdiri dari visualisasi spasial, orientasi spasial dan relasi spasial (Wakabayashi dan Ishikawa,2011 dan Oostermeijer et.al, 2014). Visualisasi spasial secara umum berhubungan dengan tugas yang lebih kompleks, dan ada manipulasi tahapan informasi yang disajikan. Orientasi spasial merupakan pemvisualisasian obyek yang diberikan sebagai hasil pengamatan obyek dari perspektif yang berbeda. Sedangkan relasi spasial merupakan kemampuan untuk membentuk hubungan secara mental antara obyek-obyek. Jaring-jaring merupakan salah satu materi geometri yang dipelajari di kelas 5 sekolah dasar. Jaring-jaring adalah bentuk dua dimensi yang dapat dilipat membentuk obyek tiga dimensi (Jeon, 2009). Jaring-jaring kubus adalah bentuk dua dimensi berupa persegi-persegi yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat dilipat membentuk kubus. Sedangkan jaring-jaring balok adalah bentuk dua dimensi berupa persegi panjang dan/atau persegi yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat dilipat membentuk balok. Jaring-jaring dapat membantu siswa membangun kepekaannya pada bentuk nyata benda tiga dimensi. Tujuan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan penyusunan jaring-jaring kubus dan balok serta penyajian spasial jaring-jaring kubus dan balok oleh siswa. METODE Data diambil pada enam siswa kelas 5 SDI Surya Buana Malang terdiri dari 2 perempuan dan 4 laki-laki. Pengambilan data dilakukan dua kali selama dua minggu. Pengambilan data pertama fokus pada penyusunan jaring-jaring kubus, sedangkan data kedua focus pada penyusunan jaring-jaring balok. Pada pengambilan data pertama, enam siswa dikelompokkan menjadi dua, kelompok pertama terdiri dari dua laki-laki dan satu perempuan sedangkan kelompok lainnya dua laki-laki dan satu perempuan. Masing-masing kelompok diberikan media berupa persegi-persegi berukuran sama yang terbuat dari kertas berwarna sama sebanyak 60 persegi. Kemudian siswa diminta menyusun persegi-persegi sedemikian rupa sehingga ketika dilipat dapat membentuk kubus dan hasilnya ditempel pada kertas yang telah disediakan. Masing-masing kelompok diminta untuk menyusun jaring-jaring kubus sebanyak mungkin. Waktu pengerjaan setiap kelompok selama 50 menit. Pengambilan data kedua, dilakukan dua minggu kemudian. Dari enam siswa, dua siswa tidak hadir. Empat siswa diminta untuk menyusun jarring-jaring balok secara individu sebanyak mungkin, dan menggambar jarring-jaring balok pada kertas. Pada pengambilan data kedua, disediakan persegi panjang sebanyak 12 yang terbuat dari kertas dua warna, alat tulis dan alat ukur berupa penggaris. Media persegi panjang dirancang dapat membentuk dua balok yang sama dan ukuran panjang,lebar dan tinggi baloknya berbeda. Waktu yang disediakan selama 50 menit. Setelah menyusun jarring-jaring balok, siswa diwawancarai untuk mendapatkan konfirmasi terhadap jarring-jaring yang telah disusun. Data yang diperoleh baik data pada pengambilan pertama maupun data pengambilan kedua selanjutnya dideskripsikan berdasarkan penyajian jarring-jaring kubus dan balok, penjelasan lisan yang direkam, catatan selama pengamatan dan beberapa foto. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penyusunan jaring-jaring kubus dan jaring-jaring balok, rekaman suara, catatan lapangan, wawancara dan foto, diperoleh hasil berupa pola jaring-jaring kubus dan jaring-jaring balok yang disusun siswa. 190

57 ISBN: Analisis penyusunan jaring-jaring kubus Penyusunan jaring-jaring kubus oleh siswa menghasilkan disajikan pada Tabel 1. beberapa pola. Pola yang dihasilkan Tabel 1 Data Jaring-jaring kubus yang disusun oleh kelompok Kelompok Hasil Jaring-jaring kubus Pola Jaring-jaring kubus yang benar , 1-4-1(5 pola) (2 pola), 2-2-2, (3pola), 3-3 Jaring-jaring kubus yang disusun oleh kelompok 1, dari tujuh jaring-jaring terdapat dua jaring-jaring dengan pola yang sama dan kedua jaring-jaring kubus tersebut merupakan rotasi dari jaring-jaring yang lain (gambar 1). Pada kelompok 1 terdapat susunan persegi-persegi yang bukan jaring-jaring kubus karena tersusun oleh 7 persegi (gambar 2). Ketika diminta untuk melakukan pengecekan terhadap susunan persegi, kelompok 1 melakukannya dengan cara mencocokkan dengan pola jaring-jaring kubus yang ada pada buku ajarnya. Gambar 1. Pola jaring-jaring kubus yang sama Gambar 2. Pola jaring-jaring dengan tujuh persegi Kelompok 2 memperoleh jaring-jaring kubus lebih banyak daripada kelompok 1. Ketujuh jaring-jaring kubus yang disusun oleh kelompok 2 semuanya merupakan jaring-jaring kubus yang berbeda dan sesuai dengan pola jaring-jaring kubus. Pada saat melakukan pengecekan terhadap susunan persegi-persegi, kelompok 2 melakukan penghitungan persegi untuk setiap jaring-jaring yang disusunnya (gambar 3). Mereka juga melakukan pengecekan secara mental dengan membayangkan seolah-olah jaring-jaring tersebut dilipat. Pada saat membayangkan terlihat posisi tangan yang mewakili persegi-persegi yang disusunnya (gambar 4). Gambar 3. Menghitung persegi Gambar 4. Posisi tangan yang seolah-olah melipat persegi pada saat melakukan pengecekan 191

58 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Analisis penyusunan jaring-jaring balok Data kedua adalah tentang penyusunan persegi yang memungkinkan untuk dilipat membentuk balok. Tabel 2 merupakan data pola jaring-jaring balok berdasarkan subyek yang diamati. Tabel 2. Data Hasil Penyusunan Jaring-jaring Balok Subyek Jaring-jaring yang digambar Iz 3 Cn 2 Pt 5 Ab 9 Pada saat siswa diminta untuk menyusun enam persegi panjang yang membentuk jaring-jaring balok, masing-masing memulai untuk menggambar susunan persegi panjang di kertas yang disediakan. Sebelum menggambar, Ab dan Pt mengambil potongan persegi untuk membantu membentuk jaring-jaring balok. Setelah menyusun potongan persegi panjang di meja, kedua subyek memulai untuk memindahkan pola yang dibuat di kertas yang telah tersedia. Sedangkan Iz dan Cn memulai menggambar jaring-jaring dengan mengingat pola jaring-jaring kubus yang memiliki pola yang telah dipelajari sebelumnya. Kedua subyek memutuskan untuk menggambar jaring-jaring tanpa menggunakan media persegi panjang. Berikut kutipan transkrip wawancara Peneliti (P) dengan Cn, yang mengilustrasikan bahwa Cn membayangkan secara mental persegi panjang-persegi panjang yang dapat membentuk balok. P : Mengapa tidak perlu media pada saat menggambar jaring-jaring kubus? Cn : Iya, tidak perlu Bu, karena bisa dibayangkan bentuk jaring-jaringnya, jadi ndak pakai kertas itu (sambil menunjuk media persegi panjang) P : Coba, apa sih yang dibayangkan? Cn : Jaring-jaring kubus, kalau pakai kubus enak, tinggal diganti dengan persegi panjang. Penyajian Spasial pada Penyusunan Jaring-jaring Kubus dan Balok Seseorang yang melakukan aktivitas penyajian spasial, memerlukan kemampuan spasial berupa visualisasi spasial, orientasi spasial dan relasi spasial. Siswa yang memiliki kemampuan dalam visualisasi spasial berarti siswa tersebut dapat memindahkan dan membuat suatu obyek dari satu bagian atau lebih menjadi terlihat di ruang tiga dimensi yang ada di pikirannya (Turgut, 2007). Visualisasi spasial pada artikel ini dianalisis berdasarkan pada bentuk, ukuran, penggunaan bilangan, penggunaan alat ukur serta pengecekan pada hasil visualisasinya. Penyusunan jaring jaring kubus dan balok merupakan aktivitas yang memerlukan visualisasi spasial, karena secara mental siswa membayangkan bahwa jaring-jaring yang disusunnya memungkinkan untuk dilipat sehingga membentuk kubus dan balok. Kelompok 1 pada tugas penyusunan jaring-jaring kubus tidak melakukan visualisasi spasial pada salah satu hasil kerja jaring-jaring. Hal itu nampak pada banyaknya persegi pada saat menyusun jaring-jaring tidak menjadi perhatian, sehingga jaring-jaring kubus yang seharusnya terdiri dari 6 persegi, ternyata terdiri dari 7 persegi (gambar 2). Kemudian ada dua pola yang ternyata merupakan rotasi dari pola yang lainnya. Kelompok 1 tidak melakukan rotasi secara mental pada dua pola tersebut. Tugas penyusunan jaring-jaring kubus oleh Kelompok 2, menggambarkan bahwa mereka telah menggunakan kemampuan visualisasi spasialnya. Salah satu anggota kelompok 2 nampak melakukan pemvisualisasian spasial pada saat mengecek susunan persegi dengan membayangkan bahwa persegi-persegi dapat dilipat membentuk kubus (gambar 4). Visualisasi spasial nampak pada saat siswa menggambar jaring-jaring balok. Semua subyek mengatakan bahwa mereka membayangkan susunan persegi panjang dan ketika dilipat secara mental membentuk balok, maka mereka memutuskan untuk menggambar polanya. Orientasi spasial terlihat pada saat siswa memutar-mutar persegi panjang untuk melihatnya dari berbagai perspektif. Ab dan Pt yang paling sering menggunakan kemampuan orientasi 192

59 ISBN: spasialnya, karena sering menggunakan persegi panjang dan memutarnya untuk selanjutnya dikaitkan dengan persegi panjang yang lainnya. Kemampuan mengaitkan antar persegi panjang merupakan kemampuan relasi spasial. Gambar 4 (a) mengilustrasikan Ab bersama dengan Pt melakukan kegiatan melihat persegi panjang dari berbagai perspektif kemudian mengaitkan dengan persegi lainnya. Gambar 4 (a). Siswa sedang menyusun jaring-jaring balok Bentuk Penyajian spasial pada tugas penyusunan jaring-jaring kubus dan balok berbentuk dua dimensi yaitu persegi pada kubus dan persegi panjang pada balok. Pada saat siswa menyajikan kembali jaring-jaring dalam bentuk gambar, terlihat bahwa bentuk persegi dan persegi panjang ada yang tidak memenuhi sifat kedua bangun datar tersebut. Gambar 5 adalah contoh bentuk persegi hasil penyajian spasial yang sisi-sisinya tidak sama panjangnya. Gambar 6 merupakan contoh bentuk persegi panjang hasil penyajian spasial oleh Pt. Dua sisi vertikal pada persegi panjang tidak sejajar dan dua sisi yang sejajar tidak sama panjang. Gambar 5. Persegi pada jaring-jaring kubus Gambar 6. Persegi panjang pada jaring-jaring balok Ukuran dan Penggunaan Alat ukur Proses pengukuran pada saat menyajikan suatu bentuk dua dimensi merupakan aktivitas yang perlu menjadi perhatian, karena penyajian berupa gambar dapat mewakili informasi yang ingin disampaikan. Ketika ingin menyampaikan bentuk lingkaran maka gambar yang disajikan juga berupa lingkaran yang memenuhi sifat-sifat lingkaran. Sehingga penerima informasi juga menangkap bahwa yang ingin disampaikan adalah lingkaran. Menurut Musser, Burger dan Peterson (2011) proses pengukuran melalui tiga langkah yaitu : 1. memilih sebuah obyek dan sebuah atribut yang akan diukur misalnya panjang, luas, volume, berat atau suhu. 2. memilih satuan yang sesuai dengan atributnya 3. mendeterminasikan banyaknya satuan yang diperlukan untuk mengukur atribut yang dipilih ( dalam hal ini diperlukan alat ukur yang sesuai). 193

60 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Pada saat menggambar persegi untuk jaring-jaring kubus oleh siswa pada kelompok 1, pada awalnya sisi-sisi horisontal diukur sepanjang 1,5 cm menggunakan alat ukur berupa penggaris namun pada sisi vertikal kedua sisinya lebih dari 1,5 cm (gambar 5). Siswa tersebut memiliki orientasi spasial bahwa dua pasang sisi yang sejajar terlihat sama panjang. Kemudian pada saat menggambar persegi panjang pada tugas menggambar jaring-jaring balok, Iz menggunakan penggaris sebagai alat ukur. Dalam hal ini Iz memilih untuk mengukur panjang sisi-sisinya. Namun penggunaan penggaris tidak diikuti dengan ukuran yang sama pada persegi panjang yang digambar serta atribut lain berupa besar sudut. Pada penyajian persegi panjang oleh Iz sudut tidak melalui proses pengukuran. Gambar 7 (a) menunjukkan persegi panjang oleh Iz, nampak bahwa panjang sisi sejajar tidak sama dan sudutnya tidak siku-siku. Dalam hal ini Iz ingin menyampaikan persegi panjang sebagai bagian dari jaring-jaring balok namun terdapat kekurangan dalam penyajiannya. (a) Gambar 7. Persegi panjang yang disajikan oleh siswa (b) Proses pengukuran oleh Ab dimulai dengan memilih atribut persegi panjang yang dapat membentuk suatu jaring-jaring balok. Ab melakukan pemilihan satuan berupa satuan garis tercetak pada kertas kerja (gambar 7 (b)). Namun Ab tidak melakukan pengukuran menggunakan alat ukur padahal Ab memiliki alat ukur berupa penggaris. Ab mengatakan bahwa yang diperlukan adalah susunan persegi panjangnya bukan atribut persegi panjangnya. PENUTUP Penyajian spasial pada penyusunan jaring-jaring baik kubus maupun balok memerlukan kemampuan spasial berupa visualisasi spasial, orientasi spasial dan relasi spasial. Visualisasi spasial nampak pada saat siswa melakukan aktivitas penyusunan enam persegi sehingga ketika dilipat akan membentuk kubus serta penyusunan enam persegi panjang untuk balok. Visualisasi spasial juga nampak pada saat siswa melakukan pengecekan pada saat persegi-persegi telah disusun dan persegi panjang persegi panjang telah digambar. Relasi spasial nampak pada saat siswa mengaitkan antara persegi dengan persegi dan antara persegi panjang dengan persegi panjang sehingga ketika disusun sisi-sisi yang berimpit memiliki panjang yang sama. Orientasi spasial nampak pada saat siswa melihat persegi dan persegi panjang dari berbagai perspektif sehingga dapat disusun menjadi jaring-jaring. Penyajian spasial pada jaring-jaring memerlukan keterampilan mengukur dan menggunakan alat ukur sehingga penyajian yang telah dibuat dapat dikomunikasikan dengan orang lain. DAFTAR RUJUKAN Cohen, Hegarty. Visualizing cross sections: Training spatial thinking using interactive animations and virtual objects. Learning and Individual Differences 33 p , ;2014 Gecu. Zeynep. Effects of computer game experiences on children s spatial abilities. International J. Soc. Sci. & Education Vol.5 Issue 4 p ,

61 ISBN: Howse dan Howse, Linking the Van Hiele Theory to Instruction, Teaching Children Mathematic Vol. 21 no. 5, Jeon, Kyungsoon, Mathematics Hidingin The Nets for a Cube, Teaching Children Mathematically p , 2009 Möhring, Newcombe, Frick.The relation between spatial thinking and proportional reasoning in preschoolers, Journal of Experimental Child Psychology 132 (2015) Moss et. al. Adapting Japanese Lesson Study to enhance the teaching and learning of geometry and spatial reasoning in early years classrooms: a case study, The International Journal On Mathematics Education DOI: /s , www. researchgate.net/publication; 2015 Musser.G, Burger W.F dan Peterseon B.E, Mathematics for Elementary Teachers a Contemporary Approach Ninth Edition, John Wiley and Son,California;2011 Newcombe, N. S., Shipley, T. F. Thinking about Spatial Thinking: New Typology, New Assessments. In J. S. Gero (Ed.), Studying visual and spatial reasoning for design creativity (pp ). Netherlands: Springer; 2015 NRC (National Research Council). Learning to think spatially. Washington DC: National Academies Press; Oostermeijer et.al. The relation between children's constructive play activities, spatial ability, and mathematical word problem-solving performance: A mediation analysis in sixthgrade students, Frontier in Psychology vol.5 artikel 782 p.1-7, Uttal, Cohen. Spatial Thinking and STEM Education: When, Why, and How? To appear in B. H. Ross (Ed.), The Psychology of Learning and Motivation; 2013 Uttal, Miller,Newcombe. Exploring and Enhacing Spatial Thinking: Links toachievement in science, Technology, Engineering and Mathematics?. Psycological Science 22(5) Wai, Lubinski dan Benbow. Spatial Ability for STEM Domains : Aligning Over 50 Years of Cumulative Psychological Knowledge Solidifies It s Importance. Journal of Educational Psychology Vol.101. No , Wang et.al. Spatial ability at two scales of representation: A meta-analysis, Learning and Individual Differences Nov, DOI: /j.lindif , Wang dan Carr. Working Memory and Strategy Use Contribute to Gender Differences in Spatial Ability, Educational Psychologist, 49(4), , Wakabayashi, Ishikawa. Spatial Thinking in Geographic Information Science:a Reviewof Past Studies and Prospect for The Future, Procedia Social and Behavioral Sciences 21 p , Elsevier Ltd;

62 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur KOMUNIKASI MATEMATIS MELALUI GESTURE SISWA PADA MATERI JARING JARING KUBUS Sumaji Universitas Muria Kudus Abstrak: Komunikasi matematis melalui gesture siswa penting untuk dikaji karena pembelajaran menjadi bermakna dan mengurangi miskonsepsi. Penelitian ini mendeskripsikan komunikasi matematis melalui gesture pada materi jaring-jaring kubus. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas V SD Surya Buana Malang. Peneliti adalah sebagai instrumen utama, karena peneliti sendiri yang merancang penelitian, mengumpulkan dan menganalisis data melalui observasi. Untuk memperkuat data dalam penelitian ini, diperlukan instrumen pendukung yaitu camera digital-tape recorder yang akan merekam secara audio visual komunikasi matematis melalui gesture yang diperoleh saat pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan singkat melalui deictic gesture (gesture menunjuk objek), (2) siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan tepat melalui deictic dan beat gesture (gesture menunjuk yang dilakukan secara berulang-ulang), (3) siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan bebas (freedom) melalui iconic dan deictic gesture (gesture menempel dan menunjuk objek). Kata Kunci: Komunikasi Matematis, Gesture Komunikasi matematis memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Dengan komunikasi matematis akan membantu siswa dalam memahami konsep, sehingga memudahkan siswa dalam pemecahan masalah matematika. Jung & reifel (2011) menjelaskan bahwa komunikasi matematis dapat mengembangkan pemahaman konsep, pemecahan masalah dan penalaran matematis. Viseu & Oliviera (2012) menemukan bahwa dengan komunikasi matematis memberikan peluang kepada siswa untuk memahami tentang konsep yang diskusikan. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika di kelas komunikasi matematis siswa perlu ditumbuhkan. NCTM (2000) menyatakan bahwa untuk menumbuhkan komunikasi matematis siswa setrategi yang dilakukan guru antara lain: memberi dukungan, dorongan, dan peluang untuk terlibat dalam komunikasi matematis. Siswa dapat terlibat dalam komunikasi matematis dengan baik apabila didukung oleh tugas-tugas yang memadai dan lingkungan belajar yang kondusif. Kaya & Aidyn (2014) menyatakan bahwa strategi yang pelu dilakukan guru untuk menumbuhkan komunikasi matematis siswa antara lain: (1) memberi contoh kehidupan nyata, (2) teknik tanya jawab, (3) teknik pembelajaran sebaya dan (4) kegiatan dan permainan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menumbuhkan komunikasi matematis siswa perlu strategi antara lain dengan tugas-tugas yang memadai dan lingkungan belajar yang kondusif. Komunikasi matematis merupakan kegiatan diskusi/pertukaran ide dan mengklarifikasi pemahamannya agar diperoleh pemahaman bersama. Guerreiro & Serrazian (2010) menjelaskan bahwa komunikasi matematis merupakan proses interaksi sosial yang memungkinkan siswa untuk mengekspresikan ide atau gagasannya dan mempertahankan pemahamannya. Dengan berbagi ide maka akan terjadi proses asimilasi sehingga dapat menggabungkan pengetahuan baru bagi siswa dengan struktur pengetahuan yang sudah ada. Hiebert & Grouws (2007) menemukan bahwa komunikasi matematis merupakan kegiatan secara tertulis, lisan dan representasi visual. Ide/gagasan matematika agar mudah dipahami perlu dikomunikasikan dengan singkat dan tepat. Kongtip & Imprasita (2012) 196

63 ISBN: mengidentifikasi karakteristik komunikasi matematis antara lain: (1) Rigorousness (tepat), (2) economy (singkat) dan (3) freedom (bebas). Dalam mengkomunikasikan ide matematis agar mudah dipahami dan dapat mengurangi keliru diperlukan gesture. McNeill (1992) menyatakan bahwa gesture adalah gerakan spontan & disingkronkan dengan bicara. Gesture merupakan gerakan spontan yang merupakan perwujudan dari komunikasi untuk menekankan ide matematis yang disampaikan. Dengan gesture membantu komunikasi untuk mengurangi keliru/miskonsepsi. Lozano & Tversky (2006) menyatakan bahwa gesture adalah bagian dari komunikasi matematis untuk mengurangi keliru/miskonsepsi. Bjuland, dkk (2007) menjelaskan bahwa gesture seperti sebuah jembatan yang menghubungkan berbicara, dan diasosiasikan tindakan, melihat, memori, bahasa, dan deskripsi sehingga memudahkan proses komunikasi. Ketika ide matematis disampaikan tanpa diikuti gesture maka ada kemungkinan akan terjadi miskonsepsi. Kongthip & inprastha (2012) menjelaskan terdapat 4 jenis gesture antara lain: (1) deictic gesture (gesture menunjuk objek), (2) iconic gesture (gesture menggambar/menempel), (3) beat gesture (gesture berirama/berulang), dan (4) methaporic gesture (gesture yang menjelaskan konten abstrak). Penelitian tentang komunikasi matematis melalui gesture banyak mendapat perhatian dari beberapa peneliti (Edwards, 2009, Kongthip & Inprasitha, John, 2015). Dari hasil kajian tersebut diperoleh beberapa temuan antara lain: siswa dalam mengkomunikasikan ide matematis dihasilkan 235 gesture saat menjawab pertanyaan pewawancara, terdapat 7 (tujuh) jenis komunikasi matematis melalui gesture siswa, dan siswa dapat mengkomunikasikan pemahaman matematika mereka menggunakan representasi secara isan, tertulis, gambar dan gesture. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kongtip & Inprasitha (2012), yang meneliti tentang jenis-jenis komunikasi matematis dengan gesture siswa, dalam penelitiannya dihasilkan 7 (tujuh) jenis komunikasi matematis dengan gesture antara lain: (1) mengkomunikasikan dengan tepat (rigorousness) melalui gesture berulang/berirama (beat gesture), (2) mengkomunikasikan dengan tepat (rigorousness) melalui gesture yang menjelaskan konten abstrak (metaphoric gesture), (3) mengkomunikasikan dengan singkat (economy) melalui gesture menunjuk obyek/gambar (deictic gesture), (4) mengkomunikasikan dengan singkat (economy) dengan gesture menggambar konten pelajaran (iconic gesture), (5) mengkomunikasikan dengan bebas (freedom) melalui gesture menunjuk obyek/gambar (deictic gesture), (6) mengkomunikasikan dengan bebas (freedom) melalui gesture menggambar konten pelajaran kemudian (iconic gesture), dan (7) mengkomunikasikan dengan bebas melalui gesture menggambar dan menunjuk obyek (iconic dan deictic gesture). Berdasarkan hasil penelitian di atas peneliti ingin mengkaji lebih dalam jenis-jenis komunikasi matematis melalui gesture siswa yang lain yang berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Oleh karena itu peneliti ingin mengeksplorasi komunikasi matematis dengan gesture pada siswa SD kelas V pada materi jaring-jaring kubus. METODE Jenis penelitian ini adalah eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Creswell (2012) menguraikan beberapa karakteristik penelitian dengan pendekatan kualitatif, yaitu proses penelitian selalu berkembang dinamis artinya setiap dalam proses penelitian dimungkinkan berubah setelah peneliti masuk ke lokasi penelitian dan mulai mengumpulkan data. Penelitian dilakukan di kelas V SD Surya Buana Malang, pada materi jaring-jaring kubus. Subjek penelitian ini adalah 24 siswa kelas V SD Surya Buana Malang. Pengumpulan data dilakukan di kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Peneliti adalah sebagai instrumen utama, karena peneliti sendiri yang merancang penelitian, mengumpulkan dan menga-nalisis data. Penelitian menghasilkan data deskriptif berupa uraian yang menjelaskan komunikasi matematis dengan gesture siswa. 197

64 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Untuk memperkuat data dalam penelitian ini, diperlukan instrumen pendukung yaitu camera digital-tape recorder yang akan merekam secara audio visual komunikasi matematis dengan gesture yang diperoleh saat pembelajaran. Teknik analisis data meliputi kegiatan sebagai berikut: Creswell (2012) menyatakan bahwa analis data kualitatif meliputi langkah-langkah antara lain: (1) mengolah dan mempersiapkan data, (2) membaca keseluruhan data dengan menelaah data dari berbagi sumber, yaitu dari rekaman audio visual, wawancara dan catatan lapangan; (3) melakukan reduksi data demgan membuat abstraksi. Abstraksi adalah usaha untuk membuat inti rangkuman, proses dan pernyataan-pernyataan yang relevan dengan tujuan penelitian; (4) mengcoding data, (5) menggunakan kode untuk membuat deskripsi, (6) melaporkan temuan dengan menggambarkan proses komunikasi matematis siswa, (7) memberikan interpretasi terhadap temuan, dan (8) kesimpulan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Selama proses pembelajaran berlangsung digunakan camera digital-tape recorder untuk merekam semua sesi aktivitas (komunikasi matematis melalui gesture) yang terjadi dikelas. Berdasarkan analisis video, diperoleh semua komunikasi matematis melalui gesture siswa ditranskripsikan, (yang diambil sesuai dengan yang dibutuhkan). Beberapa temuan hasil observasi selama proses pembelajaran sebagai berikut. 1. Siswa mengkomunikasikan ide matematis dengan singkat melaui deictic gesture (menunjuk objek). Berikut adalah hasil observasi ketika guru mewawancarai perwakilan siswanya untuk menpresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Guru : Dapatkah anda memberi contoh model kubus? Siswa A : Ini bu (menunjuk model kubus). Guru : Dapatkah anda menjelaskan pengertian kubus? Siswa A : Belum bu Guru : Berbentuk apakah masing-masing sisi kubus? Siswa A : Persegi panjang (menunjuk masing-masing sisi) Guru : Apakah betul? Mengapa? Siswa G : Salah bu, bukan persegi panjang tapi berbentuk persegi karena kalau berbentuk persegi panjang nanti tidak membentuk kubus. Guru : Apakah masing-masing sisi ukurannya sama atau kongruen? Siswa A : Ya Guru : Bagaimana anda menjelaskan pengertian kubus? Siswa A : Kubus merupakan bangun ruang yang masing-masing sisinya berbentuk persegi dan kongruen. Guru : Ada berapakah jumlah sisi kubus? Siswa A : Ada 6 sisi (menunjuk tiap sisi kubus) Guru : Apakah betul? Siswa H : Betul bu Guru : Ada berapakah jumlah rusuk kubus? Siswa A : Ada 12 (menunjukan masing-masing rusuk kubus) Siswa H : Betul bu 198

65 ISBN: Berdasarkan hasil observasi di atas siswa A sudah dapat memberi contoh model kubus. tetapi masih belum bisa menjelaskan dengan singkat pengertian kubus. Siswa A juga masih belum mengetahui bahwa sisi-sisi kubus adalah persegi, dia menganggap sisi-sisi persegi berbentuk persegi panjang. Hal ini disebabkan karena mereka masih belum memahami perbedaan persegi dan persegi panjang. Siswa G sebagai anggota kelompok A sudah mengetahui bahwa sisi-sisi kubus berbentuk persegi, dia juga dapat memberikan alasan bahwa jika sisi-sisi kubus berbentuk persegi panjang maka bangun yang terbentuk adalah balok. Selanjutnya setelah siswa G memberi penjelasan akhirnya siswa A mengerti bahwa sisi-sisi- kubus berbentuk persegi yang kongruen. Pada akhirnya siswa A dapat menjelaskan pengertian kubus. Siswa A juga dapat menjelaskan dengan singkat bahwa terdapat 6 (enam) sisi kubus yang masing-masing persegi dan kongruen (dengan menunjuk semua sisi-sisi kubus). Siswa A dapat menjelaskan dengan singkat bahwa terdapat 12 rusuk pada kubus (dengan menunjuk masing-masing rusuk pada kubus). Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa mengkomunikasikan ide matematis dengan singkat melalui deictic gesture (gesture menunjuk objek). Hal ini sejalalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kongthip & Imprasita (2012) yang menyatakan bahwa siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan singkat melalui deictic gesture (gesture menunjuk). 2. Siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan tepat melalui dietic dan beat gesture (gesture menunjuk objek secara berulang-ulang). Berikut adalah hasil observasi ketika guru mewawancarai perwakilan siswanya untuk menpresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Guru : Manakah sisi alas kubus pada jaring-jaring no 1! Siswa B : Ini adalah sisi alas (menunjuk salah satu sisi kubus secara berulang-ulang) pada jaring-jaring kubus. Guru : Mengapa? Siswa B : Belum tahu bu Guru : Dapatkah anda membedakan sisi alas dengan tutup? Siswa B : Sisi alas di bagian bawah, tetapi sisi tutup dibagian atas. Guru : Manakah sisi alas kubus pada jaring-jaring no 2? Siswa B : Ini adalah sisi bagian alas (menunjuk salah satu sisi kubus secara berulang-ulang) pada jaring-jaring kubus. Guru : Apakah betul? Mengapa? Siswa F : Betul bu? belum tahu bu. Siswa B : Karena sisi tersebut terletak pada bagian bawah/alas. Guru : manakah sisi tutup pada jaring-jaring kubus no 2? Siswa B : Ini adalah sisi bagian tutup (menunjuk salah satu sisi kubus secara berulang-ulang pada jaring-jaring kubus). Guru : Apakah betul? Mengapa? Siswa F : Karena sisi tersebut terletak pada bagian atas/tutup.. 199

66 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Berdasarkan hasil observasi di atas bahwa siswa B dapat menjelaskan secara tepat posisi sisi alas kubus (dengan menunjuk secara berulang-ulang sisi alas kubus), tetapi belum bisa memberi alasan mengapa disebut sisi alas. Selanjutnya guru memberikan scaffolding, sehingga dapat memberikan alasan mengapa disebut sisi alas dan dapat membedakan antara alas dan tutup. Siswa B sudah dapat menjelaskan secara tepat posisi sisi tutup/atas kubus (dengan menunjuk secara berulang-ulang sisi alas kubus). Siswa F anggota kelompok siswa B juga sudah tahu tentang sisi alas, tetapi dia belum bisa memberi alasan mengapa disebut sisi alas. Selanjutnya siswa B memberikan penjelasan kepada siswa A disebut sisi alas karena terletak pada bagian alas/ bawah pada kubus. Pada akhirnya siswa F juga dapat memberi alasan tentang sisi tutup pada kubus. Berdasarkan temuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa siswa mengkomunikasikan ide matematis dengan tepat melalui dietic dan beat gesture (gesture menunjuk objek secara berulang-ulang). Hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Kongthip & Inprasitha (2012) yang menemukan bahwa (1) siswa dapat mengkomunikasikan dengan tepat ide matematis melalui beat gesture (gesture berulang/berirama), (2) siswa dapat mengkomunikasikan dengan tepat ide matematis melalui metaphoric gesture (gesture yang menjelaskan konten abstrak). 3. Siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan bebas (freedom) melalui iconic gesture dan deictic gesture (gesture menempel satuan persegi membentuk jaring-jaring kubus dan gesture menunjuk objek). Berikut adalah hasil observasi ketika guru dan siswa berdiskusi dalam kelompok. Guru : Temukan macam-macam jaring-jaring kubus dari satuan-satuan persegi yang sudah tersedia! Siswa C : Siswa mencoba menemukan bermacam-macam jaring-jaring kubus (menempel satuan persegi menjadi bermacam-macam jaring-jaring kubus) Guru : Dapatkah anda membayangkan jaring-jaring kubus? 200

67 ISBN: Siswa C : Belum bu Guru : Ada berapa persegi satuan yang dapat membentuk kubus? Siswa C : Ada 4 bu Guru : Apakah betul? Siswa D : Balah bu, yang benar ada 6 Guru : Tahukah anda mana bagian alas dan tutup kubus jaring-jaring kubus yang kamu susun? Siswa C : Tahu bu Siswa C : Ini bu (menempel dan menunjuk sisi alas dan tutup) Guru : Sekarang, susunlah kembali persegi satuan menjadi jaring-jaring kubus. Manakah jaring-jaring kubus yang kamu temukan? Siswa C : Ini bu (menempel dan menunjuk satu persatu jaring-jaring kubus). Berdasarkan obsrvasi di atas dalam satu kelmopk yang terdiri dari siswa C, D dan E. Siswa C sudah mencoba menemukan menjadi bermacam-macam jaring-jaring kubus (dengan menempel bermacam-macam satuan persegi menjadi jaring-jaring kubus) tapi belum dapat membanyangkan untuk membuat jaring-jaring kubus. Guru berusaha mengarahkan mereka untuk dapat membuat jaring-jaring kubus yang ditemukan. Dengan arahan guru siswa D sudah dapat mengetahui bahwa jaring-jaring kubus terdiri dari 6 persegi satuan (dengan menunjuk masing-masing persegi satuan). Siswa E juga sudah dapat membedakan sisia alas dan tutup kubus. Dengan arahan guru akhirnya ketiga siswa tersebut dapat meyususun jaring-jaring kubus (dengan menunjuk masing-masing jaring-jaring kubus yang terbentuk). Berdasarkan temuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa siswa mengkomunikasikan ide matematis dengan bebas (freedom) melalui iconic gesture dan deictic gesture (gesture menempel satuan persegi membentuk jaring-jaring kubus dan gesture menunjuk objek). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kongthip & & Inprasitha (2012) yang menyatakan 201

68 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur bahwa siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan bebas dengan iconic dan deictic gesture (gesture menempel kemudian menunjuk masing-masing objek) PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan antara lain: (1) siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan singkat melalui deictic gesture (gesture menunjuk objek), (2) siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan tepat melalui deictic dan beat gesture (gesture menunjuk yang dilakukan secara berulang-ulang, dan (3) siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis dengan bebas (freedom) melalui iconic dan deictic gesture (gesture menempel dan menunjuk objek). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka peneliti mengharapkan pada penelitian selanjutnya untuk mengeksplorasi lebih dalam komunikasi matematis melalui gesture siswa pada materi matematika lainnya dan kelas yang berbeda. DAFTAR RUJUKAN Creswell, Jhon W Educational Research: Planning, Conducting, And Evaluating, Quantitative And Qualiitative Research Fourth Edition. Boston: Pearson Education, Inc. Bjuland, R., Cestari, ML., & Erik, BH Pupils mathematical reasoning expressed through gesture and discourse: A case study from a sixth-grade lesson. In D. Pitta-Pantazi, & G. Philippou (Eds.), Proceedings of the 5th Conference of the European Society for Research in Mathematics Education, Larnaca, 2-26 Feb-ruary 2007, Edwards, Laurie, D Gestures and conceptual integration in mathematical talk. Educ Stud Math. 70: DOI /s Guerreiro, A., & Serrazina, L Communication As Social Interactions Primary School Teacher Practices. Proceedings of CERME 6, January 28th-February 1st 2009, Lyon France. Hiebert, J., & Grouws, D The effects of classroom mathematics teaching on students learning. In F. Lester (Ed.), Second handbook of research on teaching and learning mathematics (Vol. 1, pp ). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. John, K How Do Kindergarteners Express Their Mathematics Understanding?, Universal Journal of Educational Research 3(12): , DOI: /ujer Jung, H.Y & Reifel, S, (2011). Promoting Children s Communication: A Kingdergarten Teacher s Conception and Practice of Effective Mathematics instructions. Journal of research in Childhood Educations, 25: DOI: / Kaya, D & Aidyn, H, ( 2014). Elementary Mathematics Teachers' Perceptions and Lived Experiences on Mathematical Communication. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 10 (6), Kongthip, Y & Inprasitha, M Mathematical Communication by 5th Grade Students Gestures in Lesson Study and Open Approach Context. Psychology Journal, 3(8), Lozano, SC., & Tversky, B Communicative gestures facilitate problem solving fro both communicators and recipients. Journal of Memory and Language, 55, doi: /j.jml McNeill, D Hand and Mind: what Gestures reveral about thought. Chicago,IL: The University of Chicago Press. National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards for schoolmathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Viseu, F & Oliviera, I.B, (2012). Open-ended Tasks in the Promotion of Classroom Communication in Mathematics. International Electronic Journal of Elementary Educatio, 4(2),

69 ISBN: PROSES BERPIKIR KRITIS DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN MATEMATIKA: STUDI KASUS DI SEKOLAH DASAR Rahaju Universitas Kanjuruhan Malang ayu.rakoep@gmail.com Abstrak: Berpikir kritis merupakan keterampilan yang sangat dibutuhkan siswa untuk menghadapi berbagai masalah. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan berpikir kritis harus dilakukan baik secara mandiri maupun terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembelajaran yang mendukung pengembangan keterampilan berpikir kritis pada pembelajaran matematika. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif jenis studi kasus. Data dikumpulkan dengan teknik observasi dan wawancara tidak terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media pembelajaran yang berisi uraian materi secara lengkap kurang mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Bangun kubus tanpa disertai penjelasan tertulis secara lengkap justru mendorong siswa mencari informasi yang relevan, sehingga memungkin siswa melakukan aktivitas berpikir kritis. Pembelajaran yang melibatkan siswa dalam mencari informasi dan mempresenatisikan hasil kerja siswa dapat mendorong perilaku dan aktivitas berpikir kritis. Kata Kunci: berpikir kritis, pembelajaran matematika, sekolah dasar. Berpikir kritis merupakan keterampilan yang sangat penting. Zamroni dan Mahfudz (2009) mengatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat memudahkan siswa dalam mencari informasi dari berbagai sumber. Informasi yang dapat diakses dari ribuan situs tidak dapat dikontrol oleh siapapun. Oleh karena itu, siswa harus mampu memilih dan memilah informasi yang baik dan benar. Selain itu, setiap saat manusia (termasuk siswa) selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan. Hal ini menuntut siswa terampil dalam berpikir kritis agar mendukung proses pengambilan keputusan. Tsui (dalam Vieira, Tenreiro-Vieira, Martins, 2011) menyatakan bahwa berpikir kritis penting bagi masa depan siswa karena keterampilan berpikir kritis membekali siswa dengan keterampilan menghadapi tantangan kehidupan, karier, kewajiban, dan tanggung jawabnya. Begitu pentingnya keterampilan berpikir kritis, Melhem dan Isa (2013) mengadakan penelitian untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada siswa yang mengalami kesulitan belajar. Sehubungan dengan pentingnya keterampilan berpikir kritis, maka konsep berpikir kritis menjadi salah satu bagian penting dalam pendidikan (Mason dalam Lunenburg, 2011). Menurut Larsen (2002) pengembangan kurikulum pendidikan harus menyediakan program untuk proses pengajaran berpikir kritis bagi semua individu, bukan hanya untuk kelompok elit. Pengembangan keterampilan berpikir kritis juga menjadi bagian dari misi pendidikan di Australia (Thomas, 2011). Di Turki, keterampilan berpikir kritis diintegrasikan dalam pembelajaran matematika (Aktas, 2012). Pengembangan berpikir dalam segala bentuknya untuk semua individu menjadi tujuan tertinggi pendidikan di abad kedua puluh satu (Melhem dan Isa, 2013: Kalelioğlu dan Gülbahar, 2013). Besarnya keinginan meningkatkan keterampilan berpikir kritis belum diimbangi dengan aktivitas dalam praktik pembelajaran. Proses pembelajaran belum memberikan situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa melakukan proses berpikir kritis. Pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika di sekolah dasar (SD) cenderung dilakukan guru dengan cara menjelaskan materi dan memberikan contoh cara mengerjakan soal yang bersifat rutin dan prosedural. Setelah itu, siswa diberi tugas mengerjakan soal-soal sejenis yang terdapat dalam lembar kerja siswa atau buku paket. Soal-soal yang diberikan seringkali tidak bermakna, misalnya: 2 x 4 =..., FPB (6, 12) =.... Siswa menjawab 203

70 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur soal-soal tersebut melalui prosedur yang telah diajarkan guru tanpa memahami konsep yang terkandung dalam 2 x 4 atau untuk apa harus mencari FPB dari 6 dan 12. Hal ini menyebabkan pembelajaran matematika terkesan monoton, membosankan, sarat dengan hafalan tentang prosedur pengerjaan soal dan rumus. Kondisi di atas juga menyebabkan pembelajaran matematika masih sekedar melatih keterampilan berpikir recall. Pembelajaran matematika masih sekedar menyelesaikan soal-soal matematika secara prosedural. Pembelajaran matematika belum melatih siswa untuk mengaplikasikan konsep matematika dalam penyelesaian permasalahan nyata. Pembelajaran matematika masih jauh dari tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, sehat, mandiri, dan percaya diri (PP No. 17 tahun 2010). Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengekplorasi praktik pembelajaran matematika yang mendukung pengembangan keterampilan berpikir kritis. Proses pembelajaran difokuskan pada masalah media dan langkah-langkah pembelajaran serta dampaknya bagi pengembangan berpikir kritis siswa. Temuan penelitian ini diharapkan memberi gambaran mengenai cara mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa melalui pemilihan dan penggunaan media pembelajaran serta urutan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Berpikir Kritis Pembahasan tentang berpikir kritis tidak dalam dipisahkan dengan keberadaan John Dewey. John Dewey adalah seorang filsuf, psikolog, dan edukator berkebangsaan Amerika yang dianggap sebagai bapak tradisi berpikir kritis modern. John Dewey menyebut berpikir kritis dengan istilah berpikir reflektif. Menurut Dewey (dalam Hyytinen, 2015) berpikir reflektif adalah pertimbangan aktif, terus menerus, dan teliti mengenai suatu keyakinan atau pengetahuan berdasarkan alasan yang mendukung kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya. Definisi ini menegaskan bahwa berpikir kritis adalah proses aktif dalam menerima informasi. Pemikir kritis tidak sekedar menerima informasi, melainkan mempertanyakan dan memilih informasi yang relevan dengan dirinya. Proses aktif tersebut dilakukan secara terus menerus atau berkesinambungan agar kesimpulan yang diyakini benar-benar didasarkan pada alasan yang tepat. Berpikir kritis merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dengan pengambilan keputusan. Walker (2006) mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses intelektual dalam membuat konsep, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan/atau mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil observasi, pengalaman, dan refleksi yang digunakan sebagai dasar pengambilan tindakan. Ennis (dalam Hyytinen, 2015) mendefinisikan berpikir kritis sebagai reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe or do. Pendapat ini didukung Terry & Ervin (2012) yang mengatakan Critical thinking is characterized as the process of purposeful, self-regulatory judgment. Critical thinking, so defined, is the cognitive engine, which drives problem solving and decision-making. Dengan demikian, berpikir kritis sangat penting dalam pengambilan keputusan. Carol (2004) mengatakan bahwa pemikir kritis akan menjadi pemecah masalah dan pembuat keputusan yang baik. Keterampilan berpikir kritis individu dapat diketahui dari tingkah laku yang diperlihatkannya. Menurut Facione (1991), sikap atau tindakan pemikir kritis dalam menghadapi masalah, pertanyaan, dan peristiwa seperti berikut ini. 1) Jelas dalam menyatakan pertanyaan. 2) Tertib bekerja dengan kompleksitas. 3) Tekun mencari informasi yang relevan. 4) Wajar dalam memilih dan menerapkan kriteria. 5) Cermat dalam memfokuskan perhatian pada masalah. 6) Pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan. 204

71 ISBN: ) Cermat menghadapi situasi sesuai dengan subjek dan keadaan. Fisher (2011) mengemukakan aktivitas pokok dalam keterampilan berpikir adalah sebagai berikut. a. Mengidentifikasi alasan dan kesimpulan dalam bernalar. b. Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi. c. Mengklarifikasi dan menginterpretasikan pernyataan dan ide. d. Menilai kredibilitas pernyataan. e. Menganalisis, mengevaluasi, dan membuat penjelasan f. Menganalisis, mengevaluasi, dan membuat keputusan. g. Menggambarkan/mendeskripsikan kesimpulan. h. Membuat argumen-argumen. Konsensus APA (dalam Facione, 1996) menetapkan enam keterampilan berpikir kritis inti, yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, eksplanasi, dan regulasi diri. Masing-masing keterampilan masih dapat dirinci seperti dipaparkan berikut ini 1) Keterampilan interpretasi mencakup kegiatan mengategorisasikan, memecahkan kode kalimat, dan mengklarifikasi makna. 2) Keterampilan menganalisis, mencakup kegiatan memeriksa gagasan, mengidentifikasi argumen, dan menganalisis argumen. 3) Keterampilan evaluasi mencakup kegiatan menilai pernyataan dan menilai argumen. 4) Keterampilan inferensi mencakup kegiatan mempertanyakan bukti, menduga alternatif, dan menarik kesimpulan 5) Keterampilan eksplanasi mencakup kegiatan menyatakan hasil, membenarkan prosedur, dan menyajikan argumen. 6) Keterampilan regulasi diri mencakup kegiatan memeriksa diri dan mengoreksi diri Komunitas berpikir kritis (dalam Facione, 2013) menggambarkan pemikir kritis yang ideal seperti berikut ini. a. Meningkatkan pertanyaan penting dan masalah, merumuskan dengan jelas dan tepat. b. Mengumpulkan dan menilai informasi yang relevan, menggunakan ide-ide abstrak untuk menafsirkan secara efektif. c. Mengarahkan pada penyelesaian dan kesimpulan yang beralasan, menguji dengan kriteria dan standar yang relevan. d. Berpikir terbuka dengan pikiran dalam sistem alternatif pemikiran, mengakui dan menilai, sebagai kebutuhan akan asumsi, implikasi, dan konsekuensi praktis mereka e. Berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dalam mencari tahu solusi untuk masalah yang kompleks. Berpikir Kritis dan Matematika Matematika merupakan salah satu pelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis (de Bono, 1990). Menurut Syaban (dalam Hariyani, 2011), sikap dan cara berpikir kritis dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran matematika karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan antarkonsep yang kuat dan jelas, sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional, logis, dan kritis. Lambertus (2009) menegaskan bahwa keterampilan berpikir kritis tidak dapat dipisahkan dengan materi matematika. Materi matematika dipahami melalui berpikir kritis dan berpikir kritis dilatihkan melalui belajar matematika. Keterampilan berpikir kritis sebaiknya dilatihkan sejak sekolah dasar. Subanji (2011) mengemukakan bahwa matematika dapat dipandang sebagai ilmu tentang pola keteraturan dan urutan yang logis. Proses penemuan dan pengungkapan pola keteraturan atau urutan, kemudian pemberian makna merupakan hakikat belajar matematika. Hakikat paling mendasar 205

72 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur matematika adalah matematika dapat dipahami dan masuk akal. Oleh karena itu, pembelajaran matematika menuntut siswa dapat berpikir masuk akal atau logis. Hal ini juga yang dilakukan pada proses berpikir kritis. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif jenis studi kasus. Data yang dideskripsikan adalah proses pembelajaran yang mendukung proses berpikir kritis siswa. Data diambil dari kasus yang terjadi pada pembelajaran yang dilakukan oleh dua orang guru (KN dan NV). Melalui penelitian studi kasus ini, peneliti berusaha memaparkan data dengan kata-kata, kalimat, dan gambar secara mendalam mengenai proses pembelajaran yang dilakukan KN dan NV. Kedua guru yang menjadi subjek penelitian mengajarkan materi yang sama, yaitu membuat jaring-jaring kubus. Dua kelas yang diajar oleh KN dan NV berada dalam satu sekolah. KN mengajar di kelas VA, sedangkan NV mengajar di kelas VB. Buku paket yang digunakan siswa pada kedua kelas tersebut sama. Kedua guru menyiapkan bahan-bahan untuk praktik pembuatan jaring-jaring kubus. Selain buku paket, KN menambahkan media pembelajaran berupa Lembar Kerja Kelompok (LKK), sedangkan NV menambahkan media pembelajaran berupa materi dalam dikemas dalam bentuk power point dan alat peraga berupa bangun kubus. Secara umum, langkah pembelajaran yang dilakukan KN dan NV sama, yaitu menjelaskan dan memberi contoh jaring-jaring kubus, memberikan tugas membuat jaring-jaring kubus, memeriksa hasil pekerjaan siswa, dan menyimpulkan materi. Perbedaan proses pembelajaran terletak pada keterlibatan siswa dalam setiap tahapan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara tidak terstruktur. Observasi dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Observasi langsung menggunakan instrumen lembar observasi dan catatan lapangan untuk mencatat aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran. Selain itu, lembar observasi untuk mencatat peran masing-masing media yang digunakan KN dan NV serta dampaknya terhadap perilaku atau aktivitas siswa, Observasi tidak langsung dilakukan dengan melihat kembali hasil rekaman proses pembelajaran kedua guru. Peneliti melakukan wawancara tidak terstruktur mengenai hal-hal yang tidak dapat diamati, misal: menanyakan proses penemuan jawaban oleh siswa, tanggapan guru terhadap perilaku, sikap, atau aktivitas siswa.. Data dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif diawali dengan mendeskripsikan data hasil pengamatan yang tertulis pada lembar observasi dan catatan lapangan. Setelah itu dilakukan pencocokan dengan hasil rekaman pembelajaran. Selanjutnya, deskripsi data observasi dilengkapi dengan data hasil wawancara. Data yang telah lengkap dan valid, dipaparkan untuk penarikan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Praktik pembelajaran yang disajikan pada bagian ini dibedakan menjadi 2, yaitu pembelajaran guru KN dan pembelajaran guru NV. Pembelajaran yang dilkukan kedua guru disajikan berdasarkan urutan kronologisnya. Berikut paparan proses pembelajaran yang dilakukan oleh kedua guru tersebut. Pembelajaran Guru KN KN mengawali pembelajaran dengan membagikan LKK yang berisi uraian materi dan dilengkapi gambar bermacam-macam jaring-jaring kubus dan beberapa soal. Setelah itu, KN menunjukkan gambar jaring-jaring kubus dan menanyakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat jaring-jaring kubus. Berikut dialog guru dan siswa. KN : Anak-anak, kalau kubus dibuka, maka akan berbentuk seperti ini (menunjuk gambar di papan tulis). Setelah ini, kalian akan membuat jaring-jaring kubus. Apa yang diperlukan untuk membuat jaring-jaring kubus? 206

73 ISBN: Siswa : Kertas manila, lem, persegi (menjawab bersahut-sahutan) Setelah itu, KN meminta perwakilan kelompok mengambil bahan-bahan tersebut. Selanjutnya, KN menugasi kelompok membuat berbagai macam jaring-jaring kubus. KN juga mengingatkan siswa agar tidak membuka LKK, terutama pada halaman 2 (halaman yang berisi gambar jaring-jaring kubus). Berikut arahan guru kepada siswa. KN : Anak-anak, silakan mengatur persegi-persegi kecil itu agar membentuk jaring-jaring kubus. Bisa seperti ini, (menunjuk kembali gambar yang terdapat di papan tulis) bisa juga berbentuk lain. Perseginya diatur di atas kertas manila dan tidak perlu dilem dulu. Siswa 1 : Lho Bu, kog tidak dilem? KN : Tidak. Nanti saja setelah diperiksa dan dinyatakan benar. Setiap anggota kelompok bekerja sama menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Guru berkeliling melihat kinerja siswa. Gambar di samping merupakan salah satu hasil kerja kelompok. Kegiatan berikutnya, KN meminta siswa memeriksa jaring-jaring kubus yang telah dibuat oleh kelompok lain. Kelompok I memeriksa hasil kerja kelompok II, kelompok II memeriksa hasil kerja kelompok III, dan seterusnya. Pada saat memeriksa hasil kerja kelompok lain, siswa mencocokkan hasil kerja kelompok tersebut dengan gambar jaring-jaring kubus yang terdapat dalam LKK. Akan tetapi, siswa tidak memberikan tanda pada hasil kerja dan gambar jaring-jaring kubus yang telah diperiksa, sehingga terjadi jaring-jaring yang sama diperiksa lebih dari satu kali. Sebagai contoh, siswa AG memeriksa jaring-jaring kubus (b) lebih dari satu kali karena lupa bahwa jaring-jaring tersebut sudah pernah diperiksa. Selain itu, terjadi pula siswa dari kelompok yang sama, misalnya BG memeriksa jaring-jaring (b) karena tidak mengetahui bahwa jaring-jaring tersebut sudah periksa oleh teman sekelompoknya, yaitu AG. Kondisi ini mengakibatkan banyak waktu yang dibutuhkan untuk memeriksa pekerjaan kelompok lain. Beberapa kali guru menanyakan apakah sudah selesai memeriksa pekerjaan kelompok lain? Siswa menjawab belum selesai. Oleh karena itu, KN mengarahkan siswa agar memberi tanda pada jaring-jaring kubus yang telah diperiksa. Kegiatan selanjutnya, KN menanyakan banyaknya jaring-jaring yang telah dibuat dengan benar. KN mempercayakan pada hasil pekerjaan kelompok kepada kelompok lain dan tidak mengecek kembali. Setelah itu, siswa kembali ke kelompok masing-masing untuk menempelkan persegi-persegi kecil yang telah berbentuk jaring-jaring kubus. Ada kelompok yang memperbaiki jaring-jaring yang salah, kemudian menempel persegi-persegi tersebut. Akan tetapi, ada pula kelompok yang tidak peduli bahwa jaring-jaring yang dibuat salah dan tetap menempelkan persegi-persegi kecil sesuai dengan hasil kerjanya. Setelah itu, guru meminta siswa mengerjakan soal pada LKK seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini. Siswa mengerjakan soal tersebut dengan sangat cepat. Untuk mendapatkan informasi lebih mendalam mengenai cara siswa mendapatkan hasil tersebut, peneliti melakukan tanya jawab seperti berikut ini. 207

74 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Peneliti : Bagaimana cara mendapatkan s = 7? Siswa : Volum kubus adalah s 3. Volum kubus sama dengan 343. Jadi s 3 = 343. s sama dengan akar pangkat 3 dari 343. Akar pangkat tiga dari 343 adalah 7. Peneliti : Dari mana tahu kalau akar pangkat tiga dari 343 adalah 7? Siswa : Ini (menunjukkan buku catatannya yang berisi 1 3 = 3, 2 3 = 8,,..., 10 3 = 1000). Semua kelompok mengerjakan soal (a). Beberapa kelompok tidak mengerjakan soal (b) karena guru tidak memberikan kertas asturo seperti tuntuan soal. Ada juga kelompok yang mengerjakan soal (b) pada kertas manila yang telah digunakan untuk menempel jaring-jaring kubus. Semua kelompok belum mengerjakan soal (c) karena waktu belajar sudah berakhir. Pada akhir pelajaran, KN menanyakan jawaban soal bagian (a). Setelah siswa menjawab 7, KN tidak menanyakan lebih lanjut cara memperoleh hasil tersebut. KN tidak memeriksa hasil pekerjaan siswa pada bagian (b). Selanjutnya, KN menyampaikan bahwa soal (c) dikerjakan nanti saja atau di rumah. Guru mengakhiri pembelajaran dengan merangkum kembali materi yang telah dipelajari secara lisan. Pembelajaran Guru NV NV mengawati pembelajaran dengan mengajak siswa mengingat kembali bentuk kubus. Berikut dialog guru dan siswa. NV : Anak-anak, kalian masih ingat dengan kubus? Siswa : Masih Bu. NV : (mengambil model bangun ruang kubus dari lemari kemudian menunjukkan kepada siswa) Ini kubus ya anak-anak? Masih ingat bagian-bagian kubus? Siswa : Masih Bu. NV : (menunjuk salah satu siswa) Coba jelaskan bagian-bagian kubus! Siswa yang ditunjukkan menjelaskan bagian-bagian (unsur-unsur) kubus dengan menunjuk langsung pada bagian yang dimaksud. Setelah itu, NV mengulang kembali bagian-bagian kubus melalui dialog berikut ini. NV : Ini tadi apa anak-anak? (menunjuk titik sudut) Siswa : Titik sudut. NV : Ada berapa banyaknya? Siswa : Delapan Bu. NV : Ya betul. Coba, yang mana saja? Siswa : Itu Bu (menunjuk dari tempat duduk masing-masing) NV : Ya, ini... satu... dua... tiga (sambil menunjuk semua titik sudut) NV memberi pertanyaan serupa untuk menunjukkan banyak rusuk dan sisi kubus. Siswa secara serentak menjawab pertanyaan NV. Selanjutnya, NV menjelaskan cara membuat jaring-jaring kubus seperti berikut ini. Nv : Kalau kubus ini dibuka dengan cara menggunting pada rusuk-rusuknya (menunjuk rusuk yang harus digunting), maka jadilah jaring-jaring kubus. Itu salah satu bentuk jaring-jaring kubus (menunjuk pada slide). Setelah ini, 208

75 ISBN: silakan kalian membuat jaring-jaring kubus dengan menggunakan bahan-bahan yang Ibu bagikan. NV membagikan bahan-bahan untuk membuat jaring-jaring kubus. Siswa bekerja bersama kelompok masing-masing dan guru berkeliling memantau kinerja masing-masing kelompok. NV tidak memberikan komentar apa pun mengenai hasil kerja kelompok. Kelompok I membentuk jaring-jaring kubus sambil melihat gambar berbagai jaring-jaring kubus yang ada pada selembar kertas. Gambar ini hanya dimiliki oleh kelompok I. Oleh karena itu, peneliti menanyakan hal tersebut. Peneliti : Gambar ini diberi Bu guru ya Nak? (menunjuk gambar berbagai model jaring-jaring kubus) Siswa : Tidak Bu. Peneliti : Terus, dapat dari mana? Siswa : Ngeprint Bu. Peneliti : Kapan? Siswa : Kemarin, di rumah. Peneliti : Disuruh guru? Siswa : Tidak Bu. Ya, mau saya sendiri. Kelompok II membuat jaring-jaring kubus dengan melihat contoh yang ada di buku. Ternyata ada anggota kelompok II yang mempunyai buku penunjang selain buku paket yang dimiliki semua siswa. Selanjutnya, peneliti menanyakan kondisi yang terjadi pada kelompok I dan II kepada guru. NV menyatakan tidak pernah menugasi siswa mencari gambar atau membawa buku rujukan lain. Hal ini sering dilakukan siswa karena mengetahui materi yang akan dipelajari hari ini. NV tidak melarang kelompok I dan II karena bahwa hal tersebut merupakan insiatif siswa yang menunjukkan keantusiasan untuk belajar. Kelompok lain, termasuk kelompok V mengerjakan tugas membuat jaring-jaring kubus tanpa melihat contoh. Ketika ditanya mengenai salah satu jaring-jaring yang dibuatnya, anggota kelompok V mampu menjelaskan dan memeragakan letak masing- masing sisi, jika jaring-jaring tersebut dibentuk menjadi kubus. Ada pula anggota kelompok IV yang menunjukkan rusuk-rusuk yang harus dipotong agar terbentuk jaring-jaring seperti yang mereka buat. Setelah semua kelompok selesai mengerjakan tugas, NV meminta kelompok V mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. NV juga meminta siswa menjelaskan bagian yang merupakan alas kubus dan tutup kubus. Anggota kelompok V dapat menjelaskan hasil kerjanya dengan baik. Kadang-kadang NV meminta anggota kelompok lain untuk menilai ketepatan jawaban V. NV juga meminta anggota kelompok lain menunjukkan alas dan tutup kubus dari jaring-jaring yang dibuat kelompok V atau kelompok lain yang sedang mempresentasikan hasil kerjanya. Semua kelompok mendapat kesempatan mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas. Pada akhir pembelajaran NV menyimpulkan bahwa ada banyak model jaring-jaring kubus yang dapat dibuat. Untuk mendukung kesimpulan tersebut, NV menampilkan gambar jaring-jaring kubus melalui slide seperti gambar di samping. 209

76 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Berpikir Kritis pada Pembelajaran KN dan NV Pembelajaran yang dilakukan oleh KN dan NV mempunyai langkah-langkah sedikit berbeda dan didukung oleh beberapa media yang berbeda. KN menyediakan bahan ajar yang lengkap berupa LKK, sedangkan NV menyediakan power point untuk menampilkan materi yang perlu dijelaskan kepada siswa. Selain itu, NV menggunakan model kubus untuk memvisualkan bagian-bagian kubus. KN memberikan LKK pada awal pembelajaran. LKK tersebut berisi materi yang merupakan kunci jawaban dari tugas yang akan diberikan guru. Setelah membagikan LKK, KN menjelaskan sedikit materi dan menggambar jaring-jaring kubus di papan tulis. Pemberian LKK yang tidak tepat waktu dapat mengganggu perhatian siswa pada saat mendengar penjelasan guru. Hal ini juga memungkinkan siswa membuka LKK yang berisi kunci jawaban tugas guru. Dengan demikian, siswa mengerjakan tugas dengan mencontoh kunci jawaban yang diberikan guru. Kondisi ini tentunya bukan menjadi tujuan pembelajaran dengan penekanan pada proses berpikir kritis karena tidak mendukung terjadinya aktivitas berpikir kritis yang mencakup kegiatan: (1) mengidentifikasi alasan dan kesimpulan dalam bernalar; (2) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi; (3) mengklarifikasi dan menginterpretasikan pernyataan dan ide; (4) menilai kredibilitas pernyataan; (5) menganalisis, mengevaluasi, dan membuat penjelasan; (6) menganalisis, mengevaluasi, dan membuat keputusan; (7) menggambarkan/mendeskripsikan kesimpulan; dan (8) membuat argumen-argumen (Fisher, 2011). NV mengawali pembelajaran dengan cara berbeda. NV menyampaikan materi dengan bantuan bangun kubus dan gambar jaring-jaring kubus yang ditampilkan pada slide. Bangun kubus digunakan untuk mengingatkan kembali unsur-unsur kubus. Selanjutnya, bangun kubus juga digunakan untuk menjelaskan bagian-bagian yang dipotong/digunting agar terbentuk jaring-jaring kubus. Setelah itu, NV menunjukkan gambar jaring-jaring kubus sebagai hasil memotong kubus pada rusuk-rusuknya. Penggunaan media pada saat yang tepat dan sesuai dengan hakikat materi lebih membantu siswa dalam memahami materi. Kedua media tersebut memberi kesempatan siswa untuk memfokuskan perhatian pada masalah secara cermat. Facione (1991) mengatakan bahwa salah satu sikap atau tindakan pemikir kritis adalah cermat dalam memfokuskan perhatian pada masalah. Kedua guru (KN dan NV) memberikan contoh bentuk jaring-jaring kubus yang sama, seperti ditunjukkan pada gambar di samping. Gambar semacam ini juga yang sering ditampilkan dalam berbagai buku pada pembahasan jaring-jaring kubus. Ketika guru menugasi siswa membuat jaring-jaring kubus, bentuk ini pula yang dibuat pertama kali oleh semua kelompok. Hal ini menyebabkan banyak siswa yang tidak mampu mengenali jaring-jaring kubus yang lainnya. Pada kelas yang diajar KN, terdapat kelompok yang membuat jaring-jaring kubus semacam itu sebanyak dua buah. Hal ini menunjukkan tidak terjadi proses regulasi diri, yaitu memeriksa dan menilai hasil kerja sendiri (Facione, 1996). NV tidak memberikan LKK secara lengkap, sehingga siswa berupaya mencari informasi lain, misalnya mencari gambar jaring-jaring kubus dari internet, membaca buku rujukan selain yang wajib dimiliki siswa. Hal ini sesuai dengan sikap atau tindakan pemikir kritis dalam menghadapi masalah atau pertanyaan, yaitu tekun mencari informasi yang relevan (Facione, 1991). Komunitas berpikir kritis (dalam Facione, 2013) juga mengatakan bahwa pemikir kritis yang ideal berusaha mengumpulkan dan menilai informasi yang relevan. Dalam hal ini, siswa mampu memilih informasi yang sesuai dengan kebutuhan belajarnya di antara ribuan informasi yang terdapat dalam internet. Proses penentuan pilihan ini juga melibatkan keterampilan berpikir kritis inti. Adapun keterampilan berpikiri kritis inti yang digunakan adalah keterampilan menganalisis dalam bentuk memeriksa gagasan, keterampilan mengevaluasi yang meliputi kegiatan menilai pernyataan dan argumen, serta keterampilan inferensi dalam bentuk mempertanyakan bukti dan menarik kesimpulan (Facione, 1996). 210

77 ISBN: LKK yang diberikan KN digunakan pada kegiatan menilai hasil kerja kelompok. Siswa menilai hasil kerja kelompok lain hanya dengan mencocokkan hasil kerja tersebut dengan kunci jawaban yang terdapat dalam LKK. Kondisi ini kurang memberi kesempatan siswa dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi, sehingga proses pembelajaran kurang mendukung terjadinya proses berpikir kritis. Fisher (2011) mengatakan bahwa salah satu aktivitas pokok dalam keterampilan berpikir kritis adalah mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi. Kurangnya kesempatan mengembangkan keterampilan berpikir kritis mengakibatkan siswa belum tertib dalam menghadapi pekerjaan yang kompleks dan kurang cermat menghadapi situasi yang sesuai dengan keadaan. Hal ini ditunjukkan dengan kinerja siswa yang mengulang-ulang memeriksa pekerjaan yang sama. Siswa belum menemukan cara agar dapat bekerja secara efektif. Siswa masih membutuhkan arahan guru. Selain itu, KN tidak melakukan pembahasan secara menyeluruh terhadap hasil kerja siswa. Pemeriksaan ketepatan jawaban diserahkan kepada kelompok penilai dan tanpa dilakukan komunikasi mengenai pemikiran siswa dalam membuat jaring-jaring kubus serta alasan untuk menyalahkan jawaban kelompok lain. Hal ini tidak memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis inti yang mencakup kegiatan: mengklarifikasi makna, memeriksa gagasan, menganalisis argumen, mempertanyakan bukti, menyajikan hasil, membenarkan prosedur, menyajikan argumen (Facione, 1996). NV menggunakan cara yang berbeda pada saat menilai hasil kerja siswa. NV meminta siswa menilai sendiri ketepatan jawabannya dengan mempresentasikan hasil kerjanya dan memberikan penjelasan lebih mendalam. Kegiatan ini memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis inti, yang mencakup keterampilan analisis, evaluasi, inferensi, eksplanasi, dan regulasi diri (Facione, 11996). Pada kegiatan menilai ketepatan jawaban, siswa berkesempatan untuk melakukan eksplanasi, yaitu menjelaskan atau mengomukasikan hasil kerjanya secara jelas dan efektif kepada teman-temannya. Facione (2013) menggambarkan pemikir kritis yang ideal mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dalam mencari solusi untuk masalah yang kompleks. Pada saat menjelaskan, siswa juga memperoleh kesempatan mengembangkan keterampilan analisis, yaitu memeriksa kembali gagasan dan argumen yang mendasari gagasan tersebut. Siswa menunjukkan jaring-jaring kubus yang dibuat bersama kelompok, kemudian menunjukkan sisi yang menjadi alas dan tutup kubus. sehingga terjadi pula proses pengembangan keterampilan regulasi diri, yaitu memeriksa dan mengoreksi hasil kerja sendiri. Siswa yang memperhatikan presentasi juga mempunyai kesempatan mengembangkan keterampilan evaluasi, inferensi, ekplanasi, dan regulasi diri. Siswa dapat menilai pertanyaaan dan argumen serta membenarkan prosedur yang dikemukakan kelompok lain. Setelah itu, siswa menarik kesimpulan berdasarkan proses yang dilakukan kelompok lain kemudian melakukan regulasi diri dengan cara memeriksa dan mengoreksi hasil kerjanya sendiri. Tindakan NV yang secara tiba-tiba meminta anggota kelompok lain untuk menunjukkan sisi yang merupakan tutup dan alas kubus pada jaring-jaring kubus secara tidak langsung memaksa siswa memperhatikan dengan cermat permasalahan yang sedang didiskusikan. Setelah memeriksa hasil kerja kelompok, KN memberikan soal agar siswa lebih memahami konsep kubus, sedangkan NV tidak melakukan hal tersebut. Soal tambahan yang harus dikerjakan siswa yaitu: (a) menentukan panjang rusuk kubus jika diketahui volum kubus, (b) menggambarkan jaring-jaring kubus sesuai dengan panjang rusuk yang diperoleh pada soal sebelumnya, dan (c) membuat kubus dari jaring-jaring tersebut. Akan tetapi terdapat kesalahan pada cara menyampaikan pertanyaan. Soal (a) sebenarnya menanyakan panjang rusuk, tetapi tertulis sisi (bukan panjang sisi). Siswa juga tidak menanyakan maksud pertanyaan ini. Hal ini merupakan indikasi bahwa siswa belum memahami konsep sisi pada bangun ruang dan pada bangun datar atau kurang teliti dalam membaca soal. Ini tidak menunjukkan sikap cermat yang dimiliki pemikir kritis (Facione, 1991). Pada akhir pembelajaran, KN menyimpulkan materi secara lisan dan cepat dan ada permasalahan yang belum dapat terselesaikan karena keterbatasan waktu. NV menyajikan kesimpulan 211

78 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur materi yang dipelajari dengan menunjukkan berbagai bentuk jaring-jaring kubus. Kegiatan yang dilakukan NV memberi kesempatan siswa untuk memeriksa dan mengoreksi diri, sedangkan KN tidak memberikan kesempatan tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, maka media dan tahapan pembelajaran yang dilakukan guru NV lebih memungkinkan terjadinya pengembangan keterampilan berpikir kritis. Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan NV tidak terlalu rumit dan banyak, tetapi setiap tahapan memberi kesempatan siswa untuk memikirkan hal-hal yang dilakukan. Media pembelajaran yang digunakan NV juga tidak terlalu sulit untuk disiapkan dan diberikan pada saat yang tepat serta sesuai dengan karakteristik materi, sehingga mendukung proses pengembangan keterampilan berpikir kritis. PENUTUP Pengembangan keterampilan berpikir kritis dapat diintegrasikan dalam pembalajaran matematika dengan memanfaatkan media dan melakukan langkah-langkah pembelajaran yang tepat. Penggunaan LKK yang berisi uraian materi lengkap dan diberikan pada saat yang kurang tepat menyebabkan siswa tidak mendapat kesempatan mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi, sehingga siswa belum tertib dalam menghadapi pekerjaan yang kompleks dan kurang cermat menghadapi situasi. Penggunaan bangun kubus membantu siswa memfokuskan pada masalah secara cermat. Media power point yang tidak berisi uraian materi lengkap mendorong siswa berinisiatif dan tekun mencari informasi yang relevan. Selain itu, memberi kesempatan siswa untuk memeriksa gagasan, menilai pernyataan dan argumen, serta mempertanyakan bukti dan menarik kesimpulan. Pembelajaran yang kurang memberi kebebasan siswa untuk mencari informasi tidak memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan mengklarifikasi makna, memeriksa gagasan, menganalisis argumen, mempertanyakan bukti, menyajikan hasil, membenarkan prosedur, dan menyajikan argumen. Pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan mencari informasi dan mempresentasikan hasil kerjanya memberi kesempatan siswa untuk melatih kemampuan berkomunikasi secara efektif, memeriksa kembali gagasan dan argumen yang mendasari gagasan tersebut, menilai pertanyaaan dan argumen, membenarkan prosedur, menarik kesimpulan, serta memeriksa dan mengoreksi hasil kerjanya sendiri. Penegasan guru berupa kesimpulan mengenai materi yang dipelajari pada akhir pembelajaran melatih siswa untuk memeriksa dan mengoreksi hal-hal yang telah dilakukan. Penelitian ini merupakan studi kasus dengan subjek penelitian yang sangat terbatas. Perluasan subjek penelitian akan memberikan informasi lebih mendalam mengenai dampak pemilihan media yang tepat serta ketepatan langkah-langkah pembelajaran. Materi yang dipelajari siswa pada penelitian ini mengenai geometri. Hal ini pun dapat diperluas dengan mengambil materi-materi lain yang memiliki karakter berbeda dengan geometri. Karakter materi yang berbeda menuntut media yang berbeda pula. Dengan mengekplorasi media dan tahap pembelajaran pada materi yang berbeda, maka dapat ditemukan media yang cocok untuk materi tertentu dalam matematika. Penelitian ini dapat dikembangkan atau dilanjutkan dengan melakukan eksplorasi terhadap berbagai media dan proses pembelajaran yang memunkingkan terjadinya proses berpikir kritis. DAFTAR RUJUKAN Aktas, Gülfem Sarpkaya dan Ünlü, Melihan. Critical Thinking Skills of Teacher Candidates of Elementary Mathematics dalam 3rd World Conference on Learning, Teaching and Educational Leadership WCLTA 2012 Carrol, T Becoming a Critical Thinker: A guide for The Millennium. London: Pearson Education De Bono, E Mengajar Berpikir (Terjemahan oleh Soemardjo). Jakarta: Erlangga. 212

79 ISBN: Facione, P. A Critical Thinking: A Statement of Expert Consensus for Purposes of Educational Assessment and Instruction. Institute for Critical Thinking Resource Publication, Series 4, No. 6, Upper Montclair, NJ: Montclair State University. Facione, N. C. and Facione P. A Externalizing The Critical Thinking in Knowledge Development and Clinical Judgment dalan Nursing Outlook, vol.44, no. 3, pp , National Postsecondary Education Cooperative, The NPEC. Facione, P.A Critical Thinking: What it is and Why it counts, 2010 update. Insight Assessment. [Online]: files/what&why2006. pdf?) diakses 12 April 2015 Fisher, A Critical Thinking: An Introduction. Cambridge: Cambridge University press Hariyani, Desti Pembiasaan Berpikir Kritis dalam Belajar Matematika sebagai Upaya Pembentukan Individu yang Kritis dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Hyytinen, Heidi Looking Beyond the Obvious: Theoretical, Empirical and Methodological Insights into Critical Thinking. (Disertasi) Athena: Universitas of Helsinki. Kalelioğlu, Filiz and Gülbahar, Yasemin The Effect of Instructional Techniques on Critical Thinking and Critical Thinking Dispositions in Online Discussion dalam Educational Technology & Society, 17 (1), Lambertus Pentingnya Melatih Keterampilan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika di SD dalam Forum Kependidikan, Volume 28, Nomor 2, Maret Larsen, J The Promotion of Social Acceptance of Students with Learning Disabilities Through Friendship Skill Ttraining and Disability Awareness: California State University, Fullerton. Lunenbrug, Fred C Critical Thinking and Constructivism Techniques for Improving Student Achivement dalam National Forum of Teacher Educational Journal. Volume 21 Number 3. Melhem, Tareq YM dan Isa, Zainudin Mohd Enhancing Critical Thinking Skills among Students with Learning Difficulties dalam International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, Volume 2 Nomor 4, Oktober 2013 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. diakses 5 Mei 2016 Subanji Matematika Sekolah dan Pembelajarannya dalam J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei Terry, N. & Ervin, B Student Performance On The California Critical Thinking Skills Test dalam Academy of Education Leadership Journal, 16, Thomas, Theda Developing First Year Students Critical Thinking Skills dalam Asian Social Science Vol. 7, No. 4; April Vieira, R. M., Tenreiro-Vieira, C., & Martins, I. P Critical Thinking: Conceptual Clarification and Its Importance in Science Education dalam Science Education International. 22, (1), Walker, Paul & Finney, Nicholas Skill Development and Critical Thinking in Higher Education. Higher Education Research & Development Unit, University College, London WC1E 6BT, UK. Zamroni & Mahfudz Panduan Teknis Pembelajaran Yang Mengembangkan Critical Thinking. Jakarta. Depdiknas. 213

80 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBANTUAN HANDS ON ACTIVITY (HOA) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA Ratna Titi Wulandari, Akbar Sutawidjaja, Susiswo Universitas Negeri Malang Abstrak. Hasil belajar siswa SMP N 3 Grabag pada materi garis dan sudut relatif rendah sehingga perlu pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar tersebut. Pembelajaran tersebut adalah pembelajaran berbantuan HOA. Kegiatan HOA yang dilakukan adalah siswa praktek menggunakan alat atau benda manipulatif dalam menemukan konsep pada materi garis dan sudut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripksikan pembelajaran berbantuan HOA yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas, yang dilakukan di SMP N 3 Grabag, kabupaten Magelang, tahun pelajaran 2015/2016. Dalam pembelajaran tersebut peneliti membuat desain agar siswa menemukan suatu konsep pada materi garis dan sudut dengan kegiatan HOA. Peneliti mengaktifkan setiap siswa untuk melakukan kegiatan HOA di lembar kerja masing-masing. Kegiatan pembelajaran berbantuan HOA tersebut ternyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal tersebut dilihat dari hasil tes bahwa siswa yang memperoleh nilai mencapai 83,33%. Hal ini menunjukkan keefektifan pembelajaran berbantuan HOA pada materi garis dan sudut. Kata Kunci: Efektif, HOA, Hasil belajar Agar siswa mendapat hasil belajar baik maka dalam belajar siswa diarahkan untuk menemukan suatu konsep secara aktif. Pemahaman konsep matematika dapat diperoleh siswa dengan maksimal melaui proses menemukan kembali konsep matematika tersebut yang dilakukan siswa secara aktif dengan bimbingan peneliti. Hal ini seperti yang dinyatakan Freudenthal dengan istilah guided reinvention. Siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru yang didukung pengalaman sebelumnya (Balka, Hull, and Harbin Miles). Pada kenyataannya siswa SMP N 3 Grabag, kabupaten magelang khususnya kelas VII E cenderung pasif dan kurang perduli terhadap pelajaran matematika. Oleh karena itu perlu diciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan bisa meningkatkan keaktifan siswa dalam menemukan suatu konsep. Karena dengan suasana yang menyenangkan belajar akan lebih efektif. Hal ini seperti yang diungkapkan Dryden (2001: 22) bahwa dengan suasana yang menyenangkan belajar akan lebih efektif dan akan mengakibatkan pemahaman konseptual meningkat (Rayner, 2009:64). Untuk memberikan suasana belajar yang menyenangkan dan meningkatkan hasil belajar siswa, maka perlu adanya inovasi pembelajaran yang bisa menyenangkan dan meningkatkan keaktifan siswa. Yaitu pembelajaran yang melibatkan siswa untuk mengalami proses belajar sendiri bukan hanya transfer ilmu dari peneliti (Gravemeijer, 2016 dan Freudenthal dalam Wijaya, 2012: 20). Oleh karena itu siswa diarahkan untuk melakukan proses belajar sendiri (praktek ) dalam menemukan konsep matematis dan menjadikan matematika sebagai aktivitas manusia (Freudenthal, 2002:14). Hal ini juga sesuai dengan ungkapan Dryden (2001: 100) bahwa siswa diarahkan untuk mempraktekkan apa yang sedang dipelajari, karena kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20 % dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan kita dengar, 70% dari apa yang kita katakan dan 90% dari apa yang kita katakan dan kita lakukan. Hal seperti ini tertuang juga dalam pepatah China yang artinya: saya dengar dan saya lupa, saya melihat dan saya ingat, saya lakukan dan saya paham (David,1994), sehingga dalam peroses pembelajaran tersebut siswa mengalami pembelajaran bermakna 214

81 ISBN: karena siswa tidak menerima begitu saja konsep yang sudah jadi, akan tetapi siswa harus memahami bagaimana dan dari mana konsep tersebut terbentuk melalui kegiatan mencoba dan menemukan. Reys (2009: 24) mengemukakan bahwa pengetahuan bukan didapat secara pasif, melainkan ditemukan atau diciptakan secara aktif oleh siswa, dan membangun pengetahuan matematika baru dengan merefleksikan kegiatan fisik dan mental. Menurut Hudojo (2001: 71) siswa yang masih dalam tahap perkembangan congcrete operations adalah tahap permulaan berfikir matematik logik. Sehingga siswa diarahkan pada kejadian riil yang bisa diamati oleh siswa dalam membuat kesimpulan atau menemukan suatu konsep geometri karena siswa dimungkinkan untuk menangani, memanipulasi atau mengamati proses suatu konsep (David:1994). Kegiatan yang diarahkan pada kejadian riil, menangani dan memanipulasi tersebut adalah kegiatan matematika sebagai Math Wise, artinya Hands On Activity sebagai cara mengenalkan pemahaman matematika secara real (Overholt, 2010: v). Cook (1995) menyebutkan bahwa penerapan Hands on Activity merupakan involving students in really doing mathematics, experimenting first-hand with physical objects in the environment and having concrete experience before learning abstract mathematical concepts, maksudnya bahwa penerapan Hands on Activity melibatkan siswa secara nyata melakukan matematika, berawal bereksperimen dengan benda-benda fisik pada lingkungan sehingga siswa memiliki pengalaman konkret sebelum belajar konsep-konsep matematika yang abstrak. Hal ini juga didukung teori Bruner bahwa proses belajar yang harus dilalui siswa adalah enaktif (benda fisik), ikonik (pemodelan dari benda fisik) dan simbolik (konsep matematika yang abstrak). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripksikan pembelajaran berbantuan HOA yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam penelitian ini dipilih materi garis dan sudut karena terdapat beberapa kesalahan konsep siswa dalam aplikasi sifat sudut pada hubungan antar sudut atau sifat sudut pada garis sejajar dipotong garis lain. Siswa masih melakukan kesalahan ketika menyelesaikan persamaan linear satu variabel sebagai aplikasi sifat-sifat sudut tersebut, sehingga hasil belajar siswa masih rendah. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan pembelajaran berbantuan HOA, diharapkan peneliti dapat mertencanakan pembelajaran yang menyenangkan dan dapat menumbuhkan semangat belajar siswa (Vogt, 2006), serta dapat meningkatkan pemahaman konsep dan merupakan pembelajaran dengan pengalaman yang efektif (Husain, 2013). Selanjutnya dampak dari seluruh kegiatan tersebut adalah meningkatnya hasil belajar siswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan di SMP N 3 Grabag kabupaten Magelang, kelas VII E sebanyak 30 orang. Sebelum pelaksanaan tindakan, peneliti melakukan tes awal untuk melihat materi prasyarat yang sudah dikuasai siswa. Selanjutnya, berdasarkan diskusi bersama guru yang bersangkutan, yaitu guru matematika VII E, hasil tes awal, serta berdasarkan keheterogenan siswa, maka dibentuk kelompok yang selanjutnya akan digunakan selama proses pembelajaran berlangsung. Selanjutnya peneliti melaksanakan pembelajaran matematika sesuai dengan RPP yang disusun berdasarkan HOA. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran tersebut peneliti sudah mempersiapkan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang di dalamnya terdapat kegiatan HOA untuk menemukan konsep matematis yang telah ditentukan. Selanjutnya peneliti dan observer berdiskusi tentang hasil observasi yang telah dilakukan. Di akhir pembelajaran diakhiri dengan tes berupa pilihan ganda dan uraian untuk melihat pemahaman konsep siswa terhadap materi yang sudah didiskusikan. Hasil nilai tes tersebut selanjutnya digunakan untuk melihat peningkatan hasil belajar siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini lebih ditekankan pada tingkat keefektifan pembelajaran matematika berbantuan HOA. Untuk mendapatkan kesamaan pengertian pada penelitian perlu pendefinisian keefektifan. Pembelajaran berbantuan HOA akan dikatakan efektif jika nilai siswa yang mencapai minimal 215

82 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur 75%. Siswa melakukan HOA dalam menemukan konsep garis dan sudut, diantaranya siswa dapat menyelesaikan persamaan linear satu variabel untuk aplikasi soal sudut saling berkomplemen, bersuplemen, bertolak belakang, dan sifat sudut yang terbentuk pada dua garis sejajar jika dipotong garis lain. Di siklus I, peneliti menyediakan alat yang digunakan untuk menemukan istilah-istilah dasar geometri yaitu titik, garis, ruas garis, dan bidang, serta kedudukan dua garis. Selanjutnya peneliti menyiapkan kertas disetiap kelompok untuk dipotong sesuai ukuran sudut yang ada dalam soal untuk membuat persamaan linear satu variabel dari potongan kertas tersebut. Pada awalnya siswa belum bisa menghubungkan sifat sudut saling berkomplemen dengan potongan kertas yang membentuk persamaan linear satu variabel seperti tampak pada Gambar 1 Siswa yang terbiasa secara langsung diberi contoh dalam belajar, menimbulkan kesulitan ketika mereka harus memahami LKS secara mandiri. Hal ini menimbulkan ketergantungan dalam memahami suatu konsep. Akibatnya siswa bingung ketika melakukan HOA dan peneliti harus mendukung agar siswa berani mencoba tanpa ada rasa takut salah mengerjakan. Karena jika ada rasa takut maka siswa tidak akan belajar dengan maksimal. Rasa takut membuat prestasi matematika akan menurun (Krause, 2007). Hal ini juga dinyatakan Rubinsten (2010) bahwa terdapat hubungan antara ketakutan matematika dan prestasi matematika yaitu hubungan yang negatif. Ketakutan tersebut diindikasikan pada siswa yang takut untuk bertanya, sehingga berakibat pada jawaban siswa yang belum sesuai dengan yang ditanyakan. Siswa lebih baik diam dan mencoba lain waktu dari pada bertanya. Hal ini dapat dilihat dari jawaban siswa yang belum menggunakan potongan kertas sesuai dengan instruksi peneliti yang juga dituangkan dalam LKS. Siswa belum menggunakan potongan kertas dengan dengan tujuan yang tepat. Siswa hanya memindah soal di kertas warna dan persamaan yang terbentuk tidak berdasarkan potongan kertas tetapi dengan cara penyelesaian biasa, sehingga antara potongan kertas dan persamaan linear yang dibentuk tidak ada hubungannya. Hal ini belum sesuai dengan tujuan peneliti yaitu agar siswa membuat persamaan linear dari potongan kertas tersebut sehingga siswa melakukan kegiatan kongkret untuk menemukan konsep matematika yang abstrak. Gambar 1 Hasil HOA Siswa yang Belum Tepat Selain itu, dalam menyelesaikan persamaan linear satu variabel siswa terbiasa menggunakan cara langsung, yaitu memindah bilangan yang posisi awalnya terletak di ruas kanan langsung dipindah saja ke ruas kiri atau sebaliknya tanpa memperhatikan tanda operasi bilangan tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa konsep dalam memindah suatu bilangan belum dipahami dengan tepat. Tampak pada Gambar 2 berikut. 216

83 ISBN: Gambar 2 Hasil Kerja Siswa dalam Menyelesaikan Persamaan Linear Walaupun siswa sudah mulai memahami hubungan sudut saling bersuplemen dan membuat hubungan tersebut dalam persamaan linear satu variabel, tetapi pada langkah-langkah selanjutnya masih terdapat kesalahan konsep, yaitu dalam memindah suatu bilangan ke ruas yang berbeda, seperti tampak pada Gambar 2 di atas. Selain itu penulisan tanda sama dengan juga masih belum tepat. Siswa menuliskan tanda sama dengan ada di sebelah kiri dan tengah. Hal ini mengindikasikan juga bahwa siswa belum memahami secara penuh arti dari tanda hubung sama dengan tersebut. Pertemuan selanjutnya, dengan bimbingan peneliti, siswa diarahkan agar melakukan aktifitas algoritma, tidak hanya belajar algoritma. Belajar melakukan algoritma lebih penting dari pada belajar algoritma itu sendiri karena siswa secara tidak langsung akan belajar menemukan konsep bagaimana algoritma, dalam hal ini algoritma untuk menyelesaikan persamaan linear satu variabel (Gravemeijer, 2016). Formula (dalam hal ini adalah algoritma) dipelajari siswa dengan menerapkan dan praktek langsung (Ozerem, 2012:31). Berdasarkan bimbingan peneliti tersebut, siswa sudah mulai bisa menghubungkan potongan kertas untuk dibentuk ke persamaan linear satu variabel dan menyelesaikannya. Siswa sudah mulai paham jika, maka nilai, tanpa harus membagi kedua ruas dengan tujuh. Hal ini ketika di awal pertemuan masih dilakukan sebagian besar siswa. Artinya siswa sudah menyelesaikan dengan lebih singkat dan paham. Berikut gambar hasil kerja siswa yang menunjukkan proses penemuan konsep bahwa mencari suatu variabel langsung tanpa membagi dengan koefisien dari variabel tersebut. Gambar di samping adalah besar sudut dengan ukuran dan diketahui untuk. Dengan bimbingan peneliti, siswa diminta untuk membuat ukuran sudut yang sesuai dengan yang diketahui di soal, kemudian memotongnya menjadi dua bagian yang sama ukuran sudutnya dan terakhir membagi lagi masing-masing potongan tadi menjadi dua bagian yang sama ukuran sudutnya, sehingga tampak ukuran sudut yang besarnya akan terbagi menjadi 4 bagian yang sama ukuran sudutnya. Dari contoh sederhana ini siswa diarahkan untuk mencari nilai suatu variabel dengan potongan kertas. Gambar 3 Proses HOA untuk Memperoleh Pengalaman Mencari Nilai Suatu Variabel dengan Langkah Lebih Cepat 217

84 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Gambar 4 Proses HOA untuk Memperoleh Pengalaman Mencari Nilai Suatu Variabel dengan Langkah Lebih Cepat Pengalaman tersebut di atas adalah membagi sudut dengan ukuran tertentu untuk menentukan variabel. Jika dibandingkan Gambar 3 dan Gambar 4, maka pada Gambar 4 siswa sudah tidak membagi sudut asal menjadi sejumlah variabel yang diketahui. Dari proses inilah ternyata siswa menemukan konsep sendiri bahwa untuk mencari nilai suatu variabel tidak perlu dibagi terlebih dahulu dengan koefisien variabel yang dicari tersebut. Pengalaman ini mengindikasikan bahwa siswa sudah memahami cara mencari nilai suatu variabel dengan lebih cepat. Pemahaman ini dapat diperoleh siswa setelah melalui proses melakukan HOA seperti pada Gambar 4. Pembelajaran seperti ini adalah pembelajaran yang didesain peneliti agar siswa belajar menemukan suatu konsep melalui praktek karena hasilnya akan lebih maksimal. Hal tersebut sesuai yang nyatakan (Dryden, 2001: 100), bahwa Siswa belajar 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan. Dalam hal ini siswa dilatih untuk melakukan HOA. Hal senada dinyatakan oleh David (1994) dan Bacer (2004: v) yaitu, I do and I understand. Belajar dengan cara tersebut di atas akan lebih mudah untuk diingat dan untuk menyimpannya karena telah melakukan belajar bermakna. Orton (1992: 25) menyatakan bahwa menyimpan dan mengingat akan lebih mudah jika belajarnya bermakna dalam kegiatan yang sudah dilakukan dalam pikiran siswa. Pertemuan-pertemuan selanjutnya di suklus II, peneliti meminta kembali agar siswa menggunakan potongan kertas dengan ukuran sudut yang tepat untuk mencari nilai suatu variabel. Tampak pada Gambar 5 berikut. 218

85 ISBN: Gambar 5 Hasil HOA dalam Membuat Persamaan Linear Satu Variabel. Gambar 5 di atas, siswa membentuk persamaan linear satu variabel masih menggunakan potongan kertas dengan ukuran sudut tertentu, tetapi dengan hasil yang lebih baik lagi jika dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Siswa menggunakan potongan sudut tertentu tersebut sesuai dengan langkah-langkah dalam menyelesaikan persamaan linear satu variabel. Setelah siswa bisa membuat potongan kertas tersebut dalam menyusun persamaan linear satu variabel dan menyelesaikannya, selanjutnya peneliti meminta siswa agar mengerjakan soal aplikasi sifat-sifat sudut yang telah dipelajari tersebut tidak menggunakan potongan kertas dalam membentuk persamaan linear satu variabel tersebut, tetapi sudah langsung persamaan linear dengan penyelesaiannya. Ternyata siswa bisa melakukannya dengan baik serta cara penulisannya tepat, tanda hubung sama dengan yang tadinya ada dua yaitu di sebelah kiri dan tengah sekarang sudah tidak ditemui lagi. Hasil jawaban siswa juga dapat menggambarkan bahwa siswa mengalami peningkatan pemahaman konsep matematika. Gambar 5 tersebut menunjukkan bahwa siswa sudah paham cara menulis yang tepat, langkah-langkah yang benar, dan sistematis. Gambar 6 adalah contoh lain dari hasil kerja siswa dalam menyelesaikan persamaan linear satu variabel secara langsung tanpa potongan kertas. Gambar 6 Hasil Kerja Siswa dalam Menyelesaikan Persamaan Linear Gambar 6 menunjukkan bahwa konsep siswa dalam memindah suatu bilangan sudah tepat yaitu dengan penjumlahan lawan bilangannya. Cara penyelesaian seperti itu masih banyak digunakan untuk 219

86 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur siswa kategori rendah, tetapi untuk siswa kategori tinggi sebagian besar sudah tidak menggunakan lagi, walaupun masih ada yang menggunakannya, tetapi dalam kondisi siswa sudah paham. Mereka hanya lebih berhati-hati. Berikut contoh lain yang menunjukkan bahwa siswa paham cara memindah suatu bilangan dan cara menemukan suatu variabel secara langsung tanpa proses membagi dengan koefisien dari variabel tersebut. Gambar 7 Hasil Kerja Siswa Kondisi Gambar 7 menunjukkan kemajuan belajar karena siswa dalam menemukan konsep sendiri melalui HOA. Penemuan konsep dengan bimbingan peneliti melalui potongan kertas adalah cara menemukan konsep melalui benda kongkrit untuk visualisasi sehingga siswa lebih memahami konsep yang bersifat abstrak. Proses yang dikondisikan peneliti agar siswa mengalami dalam membentuk persamaan linear (simbolik) dari potongan kertas dengan ukuran tertentu (ikonik) adalah proses bereksperimen dengan benda-benda fisik (enaktif) pada lingkungan sehingga siswa memiliki pengalaman konkret (potongan kertas) sebelum belajar konsep-konsep matematika yang abstrak (persamaan linear satu variabel) (Cook, 1995). Hal ini didukung dalam teori Bruner bahwa dalam melakukan proses belajar harus melalui tiga tahap yaitu enaktif, ikonik dan simbolik (Brahier: 50). Proses belajar seperti itu juga yang dinamakan pembelajaran bermakna (Shaw, 1990) karena siswa menemukan pengetahuan baru dalam proses tersebut (Reys, 2009:24). Pemahaman konsep yang sudah diperoleh siswa tersebut selanjutnya bisa diaplikasikan dalam soal-soal sifat sudut yang lain. Siswa mulai menghubungkan bahwa dalam sudut saling bertolak belakang terdapat sifat sudut saling bersuplemen, dalam sifat sudut pada dua garis sejajar yang dipotong garis lain terdapat bermacam-macam sifat sudut yang terbentuk, yaitu sudut saling bertolak belakang, berpelurus, sepihak, sehadap, dan berseberangan. Selanjutnya, siswa dapat membuat hubungan berdasarkan sifat yang sudah diperoleh siswa tersebut, dan dapat direpresentasikan dalam hasil kerja siswa dalam mengerjakan soal yang diberikan peneliti. Gambar 8 menunjukkan hasil kerja siswa yang menggunakan sifat-sifat sudut yang telah dipelajari sebelumnya. Siswa bisa menghubungkan. Siswa secara tidak langsung sudah memahami bahwa yaitu sudut saling sehadap, yang ukuran sudutnya sama. Penalaran siswa digunakan dalam menyelesaikan soal tersebut, dan siswa menggunakan hubungan dalam soal tersebut tersebut adalah sama dengan. Langkah-langkah yang digunakan dalam menyelesaikan soal tersebut juga sudah tepat dan penulisannya juga rapi. Hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah meningkat pemahaman konsep matematikanya, khususnya materi garis dan sudut. 220

87 ISBN: Gambar 8 Hasil Kerja Siswa dalam menghubungkan sifat sudut Keberhasilan siswa dalam menyelesaikan permasalahan tersebut terlihat pada tes akhir siklus II, bahwa siswa yang memperoleh nilai mencapai 83,33% atau 25 siswa, sedangkan untuk siklus I siswa yang mendapat nilai hanya mencapai 53,33% atau 16 siswa, Hasil peningkatan belajar siswa dapat dilihat dari hasil kerja siswa yang dapat menyelesaikan soal mulai diketahui, dintanyakan, strategi dan solusinya. Strategi dan solusi menggambarkan pemahaman siswa dalam menjawab soal. Dalam menjawab dengan lengkap seperti itu berati siswa paham alasan menjawab sehingga terdapat hubungan antara jawaban dan alasan. Keberhasilan tersebut sesuai dengan kriteria keberhasilan penelitian yaitu 75% siswa yang mendapat nilai. Pencapaian tersebut, sebagai hasil dari kegiatan pembelajaran berbantuan HOA yang dilakukan siswa dalam menemukan konsep matematika karena siswa diarahkan agar belajar tidak langsung menerima bentuk jadi, melainkan sebagai suatu bentuk aktivitas atau proses dengan bimbingan peneliti (Freudenthal 2002: 14). Berikut adalah salah satu wawancara peneliti dengan salah satu siswa yang kemajuan belajarnya sangat baik sebagai konfirmasi dari hasil kerja yang telah dilakukan. Berikut mewakili Peneliti dan mewakili Siswa. P : Bagaimana kamu bisa menjawab soal nomor 19 tadi? S : saya cari nilai dulu bu. P : Kenapa nilai dahulu? S : karena suplemen dari P : Terus apa lagi? S : Kemudian menentukan nila m dan n. Ini lho bu...kan sehadap dengan jadi besarnya sama (siswa sambil menunjukkan bahwa dengan m +n adalah sudut sehadap) 221

88 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur P : Lalu...? S : Ini tanda sudutnya sama to bu jadi (siswa sambil menunjukkan sudut m dan n yang bertanda sama), besarnya sama P : Jadi dioperoleh berapa nilai m dan n? S : Jadi nilai m dan n masing-masing adalah P : Untuk nilai p dan r bagaimana? S : Untuk p sama dengan m karena sudut saling bertolak belakang, jadi p = 75 0 P : Nilai r bagaimana? S : Karena ini (siswa sambil menunjukkan sudut dalam segitiga dengan masing-masing sudutnya p, q, dan r) jumlahnya 180 0, maka r nilainya 75 0, tadi q=30 0 dan q = P : Wah hebat kamu ya...tetap semangat. Dari hasil wawancara tersebut, menunjukkan bahwa siswa sudah dapat menggabungkan beberapa sifat sudut yang sudah dipelajari dan sudah mengaplikasikannya dalam soal. Pertama, siswa sudah paham arti sudut saling bersuplemen, selanjutnya sudut sehadap. Jika siswa belum menguasai konsep, maka siswa tidak akan bisa menemukan sifat sudut sehadap pada soal tersebut dan selanjutnya tidak akan bisa menemukan nilai dan, serta nilai sebagai akibat dari nilai m yang telah ditemukan. Selain itu siswa sudah paham arti dari tanda sudut yang mempunyai besar sama. Soal tersebut menggunakan tanda titik untuk menyatakan bahwa dua sudut tersebut mempunyai ukuran yang sama. Ternyata siswa bisa mencari semua nilai dari suatu variabel yang ditanyakan. Hal ini menunjukkan siswa paham sifat-sifat sudut dan dapat mengapkikasikannya dalam soal. Berikut adalah hasil rekap nilai tes akhir sikklus I dan akhir siklus II yang menunjukkan peningkatan hasil belajar siswa. Tabel 1. Ketuntasan Belajar Siswa Siklus I dan Siklus II Kegiatan Rantang Nilai Jumlah Persentase Keterangan (N) Siswa Siklus I 1 3,33% Siswa yang memperoleh 14 46,67 % nilai hanya 12 40,00% mencapai 53,33%, 3 10,00% sehingga harus dilakukan perbaikan pembelajaran 0 0% di siklus II Siklus II 11 36,67 % Siswa yang memperoleh 14 46,67% nilai sudah 4 13,33 % mencapai 83,33%, karena 1 3,33% sudah mencapai kriteria keberhasilan, maka tidak 0 0% perlu diadakan perbaikan pembelajaran. PENUTUP Pembelajaran berbantuan HOA merupakan pembelajaran yang didesain oleh peneliti agar siswa melakukan aktivitas tangan secara langsung dalam menemukan suatu konsep matematika. Dalam pelaksanaan pembelajaran tersebut siswa diminta melakukan praktek menemukan istilah-istilah dasar geometri yaitu titik, garis, ruas garis, dan bidang, serta kedudukan dua garis. Selanjutnya peneliti 222

89 ISBN: mendesaian pembelajaran agar siswa dapat membuat persamaan linear satu variabel sebagai aplikasi sifat-sifat sudut yang telah didiskusikan dari potongan kertas yang telah disiapkan peneliti. Dari potongan kertas tersebut siswa membentuk persamaan linear satu variabel dan sekaligus menyelesaikannya. Siswa diarahkan agar melakukan aktifitas algoritma, tidak hanya belajar algoritma. Belajar melakukan algoritma lebih penting dari pada belajar algoritma itu sendiri karena siswa secara tidak langsung akan belajar menemukan konsep bagaimana algoritma, dalam hal ini algoritma untuk menyelesaikan persamaan linear satu variabel. Dalam hal ini siswa diarahkan belajar dengan menemukan sendiri melalui benda kongkrit, agar pemahaman lebih maksimal karena sesuai dengan tingkat berfikir siswa. Secara umum bisa dikatakan bahwa pemahaman konsep siswa sudah baik dan menunjukkan bahwa dengan HOA siswa dapat menemukan konsep bahwa suatu bilangan atau variabel jika dipindah ruas akan bertanda operasi berbeda; menyelesaikan persamaan linear satu variabel sebagai aplikasi sifat sudut saling berkomplemen, bersuplemen, dan sifat sudut pada dua garis sejajar jika dipotong garis lain lebih cepat; terampil dalam menghubungkan berbagai sifat sudut yang telah dipelajari dalam menyelesaikan permasalahan garis dan sudut. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil tes, yang terdiri dari pilhan ganda dan uraian. Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh nilai mencapai 83,33% atau sebanyak 25 orang. Siswa sudah bisa menjawab soal dimulai dengan diketahui, ditanyakan, strategi dan solusinya. Cara menjawab seperti itu dapat digunakan untuk melihat penguasaan konsep siswa dalam menyelesaikan soal, yang akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar. Hal tersebut menunjukkan keefektifan pembelajaran berbantuan HOA pada materi garis dan sudut. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa pembelajaran berbantuan HOA dikatakan efektif. Untuk peneliti lain yang akan melakukan penelitian juga maka seharusnya mempersiapkan tahap-tahap dalam mengajar sehingga dapat meningkatkan pengetahuan peneliti tersebut yang akibatnya pada proses pembelajaran akan lebih baik. Selain itu peneliti merencanakan pembelajaran dengan baik agar tujuan pembelajaran tercapai, mempersiapkan media manipulatif atau alat-alat yang lain yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran berbantuan HOA harus direncanakan sebaik mungkin agar tujuan pembelajaran tercapai dengan baik. Bagi peneliti lain yang akan melakukan kegiatan pembelajaran berbantuan HOA, dalam menyusun LKS menyesuaikan kondisi siswa. Selanjutnya, materi prasyarat harus sudah dikuasai siswa agar pelaksanaan pembelajaran berdasarkan HOA dapat berjalan sesuai waktu yang telah direncanakan. DAFTAR RUJUKAN Bacer, Kathleen Fletcher. Hands-On Math Learning Addition and Subsraction Trough Manipulative Activities. Trafford: Canada. Brahier, Daniel J Taching Secondary and Midle School mathematics Fourth edition. Pearson: New Jersey. Balka, Hull, and Harbin Miles. What Is Conceptual Understanding? onceptual-understanding.pdf?sfvrsn=2 Cook Helping children Learn mathematics. Pearson: New Jersey. David, L. H dan Peter Rillero Perspectives of Hands-On Science Teaching. Dryden, Gordon The Learning Revolution (Revolusi Cara Belajar). Mizan Media Utama: Bandung. Freudenthal, Hans Refisiting Mathematics Education. Dordrecht. Kluwer Academic Publisher. Gravemeijer, K. (2016). Real, Meaningful Mathematics. Springer. Hudojo, Herman Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Malang. 223

90 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Hussain, Munir and Mumtaz Akhtar, Impact of Hands-On activities on Student s Acchievement in Science. Middle-East Journal of Scientific reseach. Vol. 16 No.5. Krause, M. H. (2007). Working Memory, Math Performance, and Math Anxiety. Psychonomic society. Orton, A. (1992). Learning Mathematics, Issues, Theory and Clasroom Practice Second Edition. New York: Cassel Education. Overhollt, Jim dan Laurie Kincheloe Math Wise! Over 100 Hands-On Activities That Promote Real Math Understanding. Jossey: USA. Ozerem, A. (2012). Misconception In Geometri And Suggested solutions For Sevent Grade Student. International Journal of New Trends in Art, Sport & Science Education (IJTASE), Volume 1 issue 4. Reys, Robert Helping Children Learn Mathematics 9th edition. Wiley: USA. Rayner, Vanessa Mathematics Anxiety in Preservice Teachers: Its Relationship to their Conceptual and Procedural Knowledge of Fractions. Mathematics Education Research Journal. Vol. 21, No. 3, Rubinsten, Orly and Tannock, O. R. (2010). Mathematics Anxiety in Children With Developmental Dyscalculia. BioMedCentral, 6/1/46. Shaw, M Jean Exploring mathematics: Activities for Concept and Skill Development, K-3. The Aritmetic Teacher. Vol. 38. No. 1. P. 46. Wijaya, Ariyadi Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Jogjakarta: Graha Ilmu. Vogt, Kimberly J The Effects of Hands-On Activities on Student Understandingand Motivation un Science. E-Journal for student Teachers and New Teacher. Vol. 1. No

91 ISBN: PENERAPAN PEMBELAJARAN PROBLEM POSING BERBANTUAN MEDIA POWERPOINT ANIMATIF UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA Rizal Ekaputra 1), Subanji 2), Swasono Rahardjo 3) 1) Mahasiswa PPs UM 2,3) Dosen Jurusan Matematika FMIPA UM rizal.ekaputra246@gmail.com Abtsrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran problem posing berbantuan media powerpoint animatif yang dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari 2 siklus dengan subyek kelas VIII B di SMPN 3 Pangkalan Banteng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran problem posing berbantuan media powerpoint animatif yang dilakukan dengan langkah-langkah: a) Aperseption and motivation, yaitu memberikan apersepsi dan motivasi kepada siswa, b) present information, yaitu menyajikan materi dengan bantuan media powerpoint, c) team work and problem posing activity, yaitu siswa belajar secara berkelompok dengan aktivitas problem posing, d) rolling a problem, yaitu bertukar masalah antar siswa maupun antar kelompok serta menyelesaikannya, (e) Correcting answers, yaitu mengoreksi jawaban dari kelompok lain dan memberikan perbaikan apabila terdapat kesalahan, (f) Test on the materials, diakhir pertemuan/siklus siswa diberikan tes untuk mengukur kreativitasnya, dapat meningkatkan kreativitas siswa. Kata kunci: problem posing, media powerpoint animatif dan kreativitas Matematika merupakan pelajaran yang dapat melatih siswa dalam menumbuh kembangkan cara berpikir logis dan kreatif. Belajar matematika berkaitan erat dengan aktivitas dan kreativitas berpikir karena karakteristik matematika merupakan suatu ilmu dan human activity. Matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis, yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat (Sabandar, 2008:1). Irwan (2011) menyatakan bahwa dengan belajar matematika, siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, berpikir kreatif, sistematis, dan logis. Hal itu dikarenakan matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional. Namun, berdasarkan hasil observasi di SMPN 3 Pangkalan Banteng khususnya kelas VIII, mengembangkan kemampuan berpikir siswa belum menjadi perhatian utama dalam pembelajaran matematika di sekolah. Berdasarkan hasil pengamatan selama proses pembelajaran, guru hanya menjelaskan materi, memberikan contoh soal, dan latihan mengerjakan soal yang ada di buku atau LKS. Guru masih cenderung berkonsentrasi pada latihan penyelesaian soal yang bersifat prosedural dan kurang mengembangkan kemampun berpikir kritis dan kreatif siswa. Guru tidak mengembangkan soal-soal yang menuntut kreativitas siswa, kontekstual, menuntut penalaran, argumentasi dan kreativitas dalam menyelesaikannya. Menurut Silver (Turmudi, 2009) aktivitas guru dalam pembelajaran, umumnya menyelesaikan soal-soal di papan tulis kemudian meminta siswa bekerja sendiri dalam buku teks atau lembar kerja siswa (LKS) yang disediakan. Guru meminta siswa untuk menyelesaikan soal yang diberikan sesuai dengan contoh yang telah diberikan. Selanjutnya, siswa diminta untuk menyelesaikan soal-soal latihan secara individu maupun secara kelompok, kemudian salah seorang siswa atau salah satu kelompok diminta menuliskan jawabannya di papan tulis. Pembelajaran yang demikian berakibat pada sebagian besar siswa di kelas hanya meniru pola atau cara yang dicontohkan guru. Ketika soal tersebut diubah bentuknya dan strukturnya, maka siswa akan kesulitan dalam menyelesaikannya. Berdasarkan kondisi diatas selayaknya guru harus mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dalam pembelajaran matematika di kelas, salah satunya adalah kemampuan 225

92 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur berpikir kreatif. Menurut Sumarmo (2000), untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematis dalam pembelajaran, guru juga perlu mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, kreatif, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan. Anderson (2004) menyatakan apabila kemampuan berpikir kreatif dikembangkan, seseorang akan cenderung untuk mencari kebenaran, penuh rasa ingin tahu, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir terbuka dan toleran terhadap ide-ide baru, berpikir secara sistematis, dewasa dalam berpikir, dan dapat berpikir kritis secara mandiri. Pembelajaran matematika bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan pola berpikir kritis dan kreatif (Suherman (Khususwanto, 2013)). Siswa harus dibiasakan untuk diberi kesempatan bertanya dan berpendapat sehingga diharapkan proses pembelajaran matematika lebih bermakna. Dengan demikian, siswa dapat menggali kemampuan kreativitasnya ketika menghadapi berbagai persoalan matematika yang konstekstual, menuntut penalaran, argumentasi dan berpikir kreatif. Salah satu indikator kreativitas dalam belajar adalah siswa mampu mengajukan atau membuat masalah/pertanyaan, menjawab, serta mengembangkan masalah tersebut. Dalam MEPRC, 2003 (Xia, et al, 2008) dijelaskan bahwa secara spesifik target kurikulum adalah siswa harus belajar bagaimana untuk menimbulkan masalah matematika, memahami dan menyelesaikannya dari sudut matematika. Sehingga perlu menerapkan model pembelajaran yang tepat yang dapat mengakomodasi siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat mengembangkan berpikir kreatif siswa adalah dengan pendekatan Problem Posing. Problem posing adalah membentuk masalah baru dari suatu situasi atau pengalaman tertentu (NCTM, 2000). Leung, S.S. (Kar, 2010) menyatakan Problem posing adalah menggorganisasikan masalah yang baru. English, at al (Cankoy, 2010) mendefinisikan problem posing sebagai memproduksi masalah baru dan merestrukturisasi dari masalah saat ini. Dari definisi di atas disimpulkan bahwa problem posing adalah mengajukan masalah atau membuat soal matematika berdasarkan informasi yang diberikan, serta menyelesaikannya. Pentingnya problem posing diterapkan dalam pembelajaran matematika disampaikan oleh beberapa ahli, diantaranya (Bonotto, 2010; Lavy, 2010; Cildir dan Sezen, 2011; Van Harpen dan Sriraman, 2011). Bonotto (2010), menyatakan bahwa problem posing memiliki pengaruh positif pada kemampuan siswa untuk memecahkan masalah dan menambah wawasan siswa tentang pemahaman konsep dan proses matematika. Menurut Lavy (2010), problem posing sangat penting dalam disiplin matematika dan dalam sifat pemikiran matematika. Cildir dan Sezen (2011) menyatakan bahwa problem posing merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam pemecahan masalah. Van Harpen dan Sriraman, (2011) tindakan mencari dan merumuskan (Problem Posing) masalah adalah aspek kunci dari pemikiran kreatif dan kinerja kreatif dalam berbagai bidang, suatu tindakan yang berbeda dari siswa mungkin lebih penting daripada pemecahan masalah. Menurut Haylock (1997); Krutetski (1976); Pehkonen (1997) dan Silver (1997) berpikir kreatif dalam matematika merupakan kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan intuisi dalam kesadaran yang memperhatikan keluwesan (flexibility), kelancaran atau kefasihan (fluency) dan kebaruan (novelty). Untuk menilai kreativitas berpikir siswa yang meliputi kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan, digunakan acuan yang dibuat Silver (Siswono, 2005:4-5), sebagai berikut. Tabel 1. Kriteria Penilaian Kreativitas Berpikir Siswa Komponen Pemecahan Masalah Kreativitas Siswa menyelesaikan soal/masalah dengan bermacam-macam interpretasi Kefasihan solusi dan jawaban Pengajuan Masalah Siswa membuat banyak soal/masalah yang dapat dipecahkan Siswa berbagi soal/masalah yang diajukan 226

93 ISBN: Siswa menyelesaikan (atau menyatakan atau justifikasi) dalam satu cara, kemudian dengan cara lain Siswa mendiskusikan berbagai metode penyelesaian Siswa memeriksa berbagai metode penyelesaian atau jawaban-jawaban (pernyataan-2 atau justifikasi-2) kemudian membuat metode lain yang berbeda. Fleksibilitas Kebaruan Siswa mengajukan soal/masalah yang dapat dipecahkan dengan cara-cara yang berbeda. Siswa menggunakan pendekatan what-if-not? untuk mengajukan masalah. Siswa memeriksa beberapa soal/masalah yang diajukan kemudian mengajukan suatu masalah yang berbeda. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir dan pemecahan masalah siswa. Kreatifitas siswa akan terbangun dengan lebih mudah apabila pembelajaran matematika disampaikan dengan cara dan bahasa yang menarik sesuai dengan realitas yang ada berdasarkan keterampilan dasar yang dimiliki siswa. Sehingga, siswa akan menjadi lebih aktif dan berpikir lebih kreatif. Guru yang menerapkan kegiatan problem posing selama di kelas membuat siswa aktif dan memungkinkan mereka berpikir lebih analitis (Cildir dan Sezen, 2011). Guru dituntut untuk merancang proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan kreatifitas berfikir dan meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan. Kegiatan pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi (Sadiman,1993: 6). Proses komunikasi yaitu proses menyampaikan pesan dari sumber pesan melalui saluran atau media tertentu kepada penerima pesan. Media pembelajaran adalah sarana penyampai informasi atau pesan pembelajaran pada siswa. Menurut Sadiman (2003:6) media pembelajaran adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Penggunaan metode dan strategi secara optimal didukung oleh media yang dikembangkan akan membangkitkan motivasi siswa dalam belajar Matematika (Boggan. M., et all, 2006). Siswa akan mudah menerima, mengingat, dan terangsang kreativitasnya, jika media pembelajaran yang digunakan semakin menarik. Sehingga, pada akhirnya media dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih baik lagi. Media pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah media powerpoint. Powerpoint merupakan salah satu software dalam komputer, yang bisa digunakan untuk presentasi dengan tampilan slide show yang menarik dan animatif. Menurut Yung (2011:1), powerpoint adalah program yang digunakan untuk membuat dan mengolah presentasi interaktif yang menawarkan kemudahan dan banyak digunakan saat ini. Jadi, powerpoint merupakan salah satu media dalam proses pembelajaran, yang berbentuk tampilan slide dengan berbagai animasi yang dapat membuat siswa termotivasi dalam belajar. Kelebihan powerpoint yaitu pada setiap halaman presentasi (slide), dapat disisipkan komponen-komponen yang berupa teks, grafik, gambar, foto, suara dan film, sehingga dapat menarik perhatian siswa yang akhirnya berdampak pada hasil belajar. Selain itu, powerpoint juga dapat dihubungkan dengan LCD sehingga lebih menarik untuk pembelajaran kelas besar. Begitu juga, seperti yang dinyatakan oleh (Chen, 2012) bahwa by adding hyperlinks with slide, the teacher can easily create an interactive presentation that provides a non-linear learning environment for student to interact with the program and make choices. Sedangkan, kelemahan dalam powerpoint adalah apabila dalam pembelajaran hanya menggunakan powerpoint saja maka seperti pembelajaran ceramah, Sehingga, diperlukan solusi untuk mengatasinya seperti pada penelitian ini dengan menggunakan powerpoint berdasarkan teori beban kognitif yang divariasi dengan LKS. Sehingga dalam proses pembelajaran siswa tidak hanya mendengarkan, namun siswa juga aktif. 227

94 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Powerpoint yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan teori beban kognitif dengan prinsip-prinsip perpaduan dari pendapatnya (Plass, 2010) dan Mayer & Moreno (dalam Chipperfield, 2004), yaitu (1) prinsip koherensi, (2) prinsip redudensi, (3) prinsip isyarat, (4) prinsip hubungan sementara, (5) prinsip hubungan penyebaran, (6) prinsip pembagian, (7) prinsip pretraining, (8) prinsip modalitas, (9) prinsip multimedia, (10) prinsip personalisasi, (11) prinsip aktivitas pemandu, (12) prinsip umpan balik, (13) prinsip refleksi, (14) prinsip representasi ganda, (15) prinsip pembagi perhatian. Dimana prinsip-prinsip tersebut dapat mengelola tiga beban kognitif dalam memori kerja, yaitu beban kognitif intrinsic, beban kognitif germany, dan beban kognitif extraneous. Media pembelajaran merupakan wahana dan penyampaian informasi atau pesan pembelajaran pada siswa. Adanya penggunaan media pada proses belajar mengajar, diharapkan dapat membantu guru dalam meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa. Oleh karena itu, guru hendaknya menghadirkan media dalam setiap proses pembelajaran demi tercapainya tujuan pembelajaran. Sehingga dalam penelitian ini menerapkan pembelajaran problem posing menggunakan media powerpoint. Tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan penerapan pembelajaran problem posing berbantuan media powepoint animatif yang dapat meningkatkan kreativitas siswa SMPN 3 Pangkalan Banteng. METODE Penelitian yang dilakukan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus. Siklus 1 dilaksanakan sebanyak 4 pertemuan sedangkan siklus 2 sebanyak 3 pertemuan. Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini dikembangkan berdasarkan model penelitian tindakan kelas menurut O Leary (2004). Setiap siklus terdiri dari perencanaan (planning), tindakan pelaksanaan tindakan (acting), pengamatan (observing), melakukan refleksi (reflecting). Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2015/2016. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari-Februari Subyek peneliti adalah siswa kelas VIII-B SMP Negeri 3 Pangkalan Banteng yang beralamat di Jalan Ahmad Yani Km.71 Amin Jaya, Kab. Kotawaringin Barat. Jumlah siswa kelas VIII-B sebanyak 29 siswa yang terdiri dari 16 siswa perempuan dan 13 siswa laki-laki. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Tes tertulis, tes yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes tipe problem posing; b) Lembar observasi yang berfungsi untuk merekam aktivitas yang terjadi dalam pembelajaran; dan c) data hasil dokumentasi, yaitu foto maupun vidio untuk merekam selama proses pembelajaran yang berfungsi untuk mengvover semua aktivitas pembelajaran yang tidak terekam dalam lembar observasi. Analisis data dalam penelitian ini berupa deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara deskriptif kualitatif ditempuh dengan tahapan sebagai berikut: 1) reduksi data, 2) Penyajian data, 3) Penarikan Kesimpulan. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk menentukan validitas perangkat dan instrumen pembelajaran, serta menghitung rata-rata semua hasil observasi aktivitas guru dan siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah pembelajaran problem posing berbantuan media powerpoint animatif yang dapat meningkatkan kreatifitas siswa SMPN 3 Pangkalan Banteng diterapkan, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Siklus I Tahap aperseption and motivation. Proses pembelajaran ini diawali dengan menyampaikan tujuan pembelajaran serta menjelaskan mekanisme pembelajarannya. Guru memberikan apersepsi dan motivasi kepada siswa dengan menggunakan media powerpoint animatif. Apersepsi pada awal pembelajaran bertujuan untuk mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran serta meraih perhatian dari siswa. Apersepsi dapat menciptakan pembelajaran efektif karena apersepsi dapat mengantarkan 228

95 ISBN: peserta didik pada zona (kondisi) alfa, yaitu kondisi terbaik untuk berlajar sehingga peserta didik lebih mudah menyerap materi pelajaran (Chatib,2012:92) Selanjutnya peneliti melakukan tanya jawab dengan siswa untuk melihat respon kesiapan awal siswa. Berikut salah satu petikan tanya jawab guru dengan siswa. Guru : Di kelas 1 kalian sudah mempelajari materi ini. Coba kalian perhatikan slide tersebut, adakah yang masih ingat dengan bentuk ini? (sebagian besar siswa terlihat bingung, tetapi ada beberapa siswa yang mengangakat tangan) Guru : coba DP menurutmu bentuk apa itu? DP : Aljabar pak Guru : Bagus, ada yang punya jawaban lain? NA : Persamaan linear pak Guru : persamaan linear apa? NA : Persamaan linear satu variabel pak Guru : Iya, betul. Yang lain sudah ingat kan tentang persamaan linear satu variabel? (secara klasikal siswa menjawab ingat) Guru : Sekarang kalian lihat persamaan yang pertama! Berapa nilai n yang memenuhi? IA : Hasilnya 2 pak Guru : Darimana kamu mendapatkan 2? IA : Kedua ruas dibagi 2, jadi ruas kiri itu 2 :1=1 terus ruas kanan 4:2=2 maka hasilnya n=2. Guru : Iya, bagus. Bagaimana dengan persamaan 2 dan 3? (secara klasikal siswa menjawab x=2 dan y=4) Dari tanya jawab tersebut bisa disimpulkan bahwa siswa sudah siap untuk mengikuti pelajaran. Tahap present information. Pada tahap ini guru menjelaskan materi dengan menggunakan media powerpoint. Pada saat penyajian materi siswa terlihat tertarik dan lebih terfokus untuk memperhatikan penjelasan guru, sehingga siswa lebih termotivasi untuk belajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2010:143), menyajikan informasi dapat diartikan sebagai menyampaikan dan memperoleh fakta, konsep dan prinsip ilmu pengetahuan dalam bentuk audio, visual ataupun audio visual, sehingga siswa mudah dalam memahami konsep yang diberikan dan membuat siswa lebih terfokus. Tampilan powerpoint yang animatif bertujuan agar materi yang disampaikan lebih manarik dan memotivasi siswa, sehingga mereka lebih terfokus untuk belajar. Powerpoint dapat dijadikan sebagai alat presentasi, dimana kemampuan pengolahan teks, warna, gambar, serta animasi-animasi yang bisa diolah sendiri sesuai kreativitas penggunanya (Daryanto, 2009:163). Guru membimbing siswa menemukan konsep persamaan linear dua variabel dengan menggunakan ilustrasi pada slide powerpoint. Supaya lebih terarah, pembelajaran dibantu dengan menggunakan LKS. Siswa berdiskusi mengerjakan LKS sesuai dengan kelompok yang sudah ditetukan sebelumnya, yaitu dibagi dalam 7 kelompok yang terdiri dari 4 5 siswa secara heterogen. Pada saat diskusi kelompok, siswa kurang bisa bekerja sama, mereka hanya mengandalkan temannya yang pandai. Hal ini disebabkan bahwa siswa belum bisa memahami langkah-langkah kegiatan karena siswa belum terbiasa dengan adanya kegiatan tanpa dituntun satu persatu langkah-langkahnya. Sehingga, selama kegiatan diskusi, guru harus berkeliling ke setiap kelompok untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada kelompok-kelompok yang mengalami masalah. Guru melakukan pendekatan dan memberikan motivasi kepada siswa yang tidak aktif agar ikut ambil bagian dalam menyelesaikan tugas dan meminta siswa yang mendominasi kelompoknya agar mau berdiskusi. Berikut hasil diskusi dari beberapa kelompok. 229

96 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Gambar 1a. Hasil jawaban kelompok 2 Gambar 1b. Hasl jawaban kelompok 5 Berdasarkan hasil jawaban kelompok 5 dapat disimpulkan bahwa mereka salah melakukan operasi pengurangan dengan bilangan negatif, yaitu 4y (-3y) = y. Kemudian guru memberikan bantuan dengan menggunakan garis bilangan. Berikut cuplikan percakapan guru dengan siswa. Guru : Apa benar 4y (-3y) = y? Klp 5 : Sepertinya benar pak Guru : Coba jelaskan bagaimana caranya sehingga jawabannya y CDP : Kan 4 dikurang 3 hasilnya 1 pak, jadi jawabannya y Guru : Coba kalian perhatikan (sambil menjelaskan dengan menggunakan garis bilangan) Klp 5 : Berarti kalau mengurangkan dengan bilangan negatif sama dengan ditambah ya pak? Guru : Iya, sekarang sudah ngerti kan caranya? Klp 5 : Sudah pak Selanjutnya guru memberikan contoh pengajuan masalah (problem posing) berdasarkan informasi yang disajikan pada slide powerpoint. Tahap problem posing activity. Pada tahap ini diawali dengan guru membimbing siswa untuk membuat soal berdasarkan informasi yang diberikan. Selanjutnya guru meminta siswa untuk membuat soal sebanyak-banyaknya berdasarkan informasi yang diberikan pada LKS secara individu berikut jawabannya. Guru memantau dan membimbing siswa secara merata kepada siswa. Beberapa siswa terlihat serius dan berhasil membuat soal sesuai dengan konteks yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah lancar dalam membuat soal berdasarkan informasi yang diberikan (fluency). Sebagian siswa juga sudah dapat membuat soal secara bervariasi (flaxibility) dan bahkan ada beberapa siswa yang mampu membuat soal lain yang berbeda dan tidak biasa (novelty). Sebagai contoh ajuan soal yang dibuat siswa dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini. Gambar 2b.Soal yang dibuat siswa berinisial RA Gambar 2a. Soal yang dibuat siswa berinisial WAL Sebagian siswa yang lain masih terlihat kebingungan dan bahkan ada yang tidak mampu membuat soal dari konteks yang disajikan. Hal ini dikarenakana mereka tidak terbiasa mengajukan pertanyaan/soal dari konteks yang diberikan. Dibutuhkan usaha keras dari guru untuk membimbing dan melatih kebiasaan berpikir siswa tersebut supaya mampu membuat pertanyaan/soal dari konteks yang diberikan. Dari soal-soal yang telah dibuat siswa, sebagian ada yang mampu menyelesaikan berikut jawabannya (fluency), bahkan ada beberapa siswa yang mampu menjawab dengan cara yang berbeda (flexibility). Tetapi ada beberapa siswa yang tidak mampu menjawab soal yang dibuatnya sendiri. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan siswa tidak bisa menjawab soal yang dibuatnya, 230

97 ISBN: diantaranya: 1) tidak terbiasa membuat dan menjawab soal sendiri, 2) tidak memahami materi, 3) soal yang telah dibuatnya hasil mencontek dari temannya. Aktivitas mengajukan atau membuat soal merupakan inti dalam pembelajaran probem posing. Kegiatan problem posing merupakan inti dalam kegiatan pembelajaran matematika, sehingga siswa perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengajukan soal (As ari, 2000:20). Salah satu kelebihan dari pengajuan soal adalah siswa dapat melatih dan meningkatkan kreativitas berpikirnya. Kemampuan siswa dalam membuat atau mengajukan soal harus diawali dengan memahami konsep dari konsteks yang diberikan, kemudiaan siswa mencoba mengaitkan prinsip, aturan atau teori yang dipahaminya. Menurut Muriadi (2013:16), syarat yang harus dimiliki agar siswa dapat membuat soal adalah kemampuan memahami materi yang dibaca, informasi yang didengar/dilihat dan kemampuan mengomunikasikan pola pikir bertanya dalam bentuk lain. Kemampuan siswa dalam mengajukan atau membuat soal dari konteks yang diberikan akan mampu meningatkan daya ingat siswa dalam mempelajari konsep matematika. Menurut Posamentier (Siswono, 1993:30), wujud pola pikir bertanya kedalam bentuk tulisan berupa pembuatan soal dapat meningkatkan daya ingat siswa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tahap rolling a problem. Pada tahap ini, setiap kelompok saling bertukar soal dan mengerjakan soal yang didapat kelompoknya. Tahap ini identik dengan pembelajaran silih tanya, dimana siswa saling mengajukan soal untuk diselesaikan teman/pasangannya. Menurut Cholisoh (Aminaturrokhiyah, 2013), metode silih tanya merupakan suatu bentuk metode pembelajaran yang memiliki empat karakteristik yang meliputi problem posing, kompetisi, kerjasama dan permainan. Problem posing dalam pembelajaran silih tanya tidak hanya sekedar mampu membuat soal tetapi juga dituntut untuk bisa mengerjakan soal yang dibuat oleh temannya. Aktivitas silih tanya ini melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran sekaligus dapat meningkatkan kreativitasnya. Pembelajaran silih tanya dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa (Munawaroh, 2009). Dari soal-soal yang telah dibuat siswa tersebut, guru meminta kelompok memimilih 2 soal terbaik untuk di kerjakan oleh kelompok lain. Sebagian siswa belum memahami soal yang dibuat kelompok lain, karena tulisan dan tatabahasanya yang kurang jelas, sehingga mereka saling tanya. Guru memastikan semua kelompok menukarkan soal dan menjawab soal yang didapatnya sambil memantau jalannya kegiatan diskusi. Berikut salah satu jawaban yang dibuat kelompok 1 dari soal yang dibuat kelompok 2. Gambar 3. Hasil jawaban kelompok 1 Dari jawaban kelompok 1 tersebut, terlihat mereka sudah lancar dalam dalam menentukan selesaian dari sistem persamaan linear dua variabel menggunakan metode eliminasi (fluency). Menurut Hashimoto (Silver dan Cai, 1996), pendekatan problem posing memberikan dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal. Problem posing juga dapat mempertajam pemahaman soal, dapat menumbuhkan berbagai variasi penyelesaian soal dan dapat mengaktifkan siswa dalam belajar matematika (Herawati, dkk., 2010). Aktivitas siswa dalam mengajukan dan menjawab soal pada pembelajaran problem posing dapat mendorong peningkatan kreativitas berpikir siswa. Tahap correcting answer. Pada tahap ini, setelah setiap kelompok selesai mengerjakan jawaban dari soal yang didapatnya, kemudian mengembalikan kepada kelompok pembuat soal. Guru meminta 231

98 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur setiap kelompok untuk mengoreksi jawaban yang dibuat kelompok lain. Guru mendorong siswa untuk berani mengoreksi jawaban temannya jika menemukan kesalahan serta memberikan penilaian. Hal ini dimaksudkan untuk melatih daya kritis siswa. Sebagian kelompok masih belum terbiasa dalam memberikan koreksi pada proses pengerjaanya, kebanyakan mereka hanya mengoreksi hasil akhirnya saja kemudian memberikan penilaian. Selanjutnya guru memberikan penguatan pada materi dengan menampilkan dan membahas beberapa jawaban yang dibuat siswa. Guru bersama siswa melakukan refleksi dan membimbing siswa membuat rangkuman dari materi yang telah dipelajari. Purwanto (2008:19) menyatakan bahwa saling koreksi sesama teman merupakan kegiatan atau aktivitas siswa dalam membaca tulisan temannya kemudian membuat respon (berupa koreksi) dalam posisinya sebagai pembaca. Proses tersebut merupakan tukar-menukar jawaban dengan teman atau kelompok lain untuk dikoreksi. Jadi, antara siswa atau kelompok yang satu dengan yang lain saling mengoreksi jawaban yang telah dibuat oleh temannya. Walz (1982:17) menyebutkan beberapa manfaat yang bisa didapat dari penerapan teknik koreksi sesama teman antara lain : (a) akan dapat memperkuat motivasi siswa dalam proses pembelajaran, (b) koreksi yang diberikan akan lebih mudah dipahami oleh siswa-siswa lainnya, dan (c) dengan diterapkannya teknik koreksi sesama teman maka siswa akan lebih banyak berperan untuk lebih aktif dalam pembelajaran. Tahap test on material. Diakhir pertemuan siklus I, siswa diberi tes untuk mengukur kreativitasnya. Bentuk soal yang diberikan adalah problem posing berdasarkan informasi yang diberikan. Pada saat tes, ada beberapa siswa yang masih belum bisa untuk bekerja secara mandiri, masih banyak yang tengok kanan kiri dan bertanya kepada temannya. Hasil tes akhir siklus I menunjukkan kemampuan kreativitas siswa secara klasikal dari 29 siswa yang mengikuti tes adalah sebesar 54,33% (cukup baik). Hasil ini belum memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan, yaitu pada kategori baik atau nilai rata-rata 75% sesuai dengan kriteria ketuntasan belajar yang ditetapkan kurikulum sekolah. Namun, berdasarkan hasil observasi selama proses pembelajaran, terlihat keberhasilan tindakan guru dengan persentase rata-rata sebesar 91% (sangat baik). Sedangkan hasil observasi terhadap aktivitas siswa menunjukkan rata-rata persentase sebesar 87,5% (sangat baik). Berdasarkan hasil diatas, tindakan pembelajaran yang dilaksanakan pada siklus I sudah baik, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, yaitu: 1) lebih mengontrol alokasi waktu yang sudah ditentukan sehingga tidak menggangu kegiatan yang lain, 2) guru harus lebih memberikan perhatian yang merata kepada seluruh siswa ketika kegiatan diskusi kelompok. Siklus II Tahapan proses pembelajaran pada siklus II, tidak berbeda dengan siklus I. Pada saat penyajian materi siswa terlihat tertarik dan lebih terfokus untuk memperhatikan penjelasan guru, sehingga siswa lebih termotivasi untuk belajar. Guru membimbing siswa menemukan konsep selesaian dari sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan berbagai metode melalui ilustrasi pada slide powerpoint dan juga LKS. Siswa berdiskusi mengerjakan LKS sesuai dengan kelompok pada siklus I, yaitu dibagi dalam 7 kelompok yang terdiri dari 4 5 siswa secara heterogen. Pada saat diskusi kelompok, siswa sudah bisa bekerja sama, mereka tidak lagi hanya mengandalkan temannya yang pandai. Hal ini disebabkan mereka sudah terbiasa dengan kegiatan pembelajaran yang diterapkan, sehingga diskusi kelompok menjadi lebih hidup dan terarah. Pada siklus ini hampir semua kelompok bisa mengisi LKS tepat waktu serta bisa menjawab dengan benar. Pada tahap problem posing activity sebagian besar siswa sudah mampu dan lancar membuat lebih dari 2 soal yang berbeda (fluency dan flexibility). Hanya 20% sisa yang mampu membuat soal baru dan berbeda dari umumnya (novelty), tetapi jumlah ini jauh lebih banyak dibanding dengan siklus I. Contoh ajuan soal yang dibuat siswa dapat dilihat pada gambar 4 berikut. 232

99 ISBN: Gambar 4. Soal yang dibuat siswa berinisial YJ Dari soal ajuan siswa pada gambar di atas, terlihat siswa tersebut lancar dalam membut soal berdasarkan informasi yang disampaikan (fluency), kemudian soal yang diajukannya berbeda-beda (flexibility), serta ada soal yang berbeda dan tidak biasa dibuat oleh siswa seusianya (novelty). Dari soal-soal yang telah dibuat, sebagian besar siswa mampu menyelesaikan berikut jawabannya (fluency), bahkan ada beberapa siswa yang mampu menjawab dengan cara yang berbeda (flexibility). Tetapi ada beberapa siswa yang tidak bisa menyelesaikan soal yang dibuatnya sendiri, dengan alasan kehabisan waktu. Tahap selanjutnya yaitu roling a problem. Dari soal-soal yang telah dibuat siswa tersebut, guru meminta kelompok memimilih 2 soal terbaik untuk di kerjakan oleh kelompok lain. Guru memastikan semua kelompok menukarkan soal dan menjawab soal yang didapatnya sambil memantau jalannya kegiatan diskusi. Berikut salah satu jawaban yang dibuat kelompok 4 dari soal yang dibuat kelompok 1. Gambar 5. Hasil jawaban kelompok 4 Dari jawaban kelompok 4 tersebut, pada nomor 3 terlihat mereka sudah lancar dalam menentukan selesaian dari sistem persamaan linear dua variabel menggunakan metode campuran (fluency). Pada jawaban soal nomor 4, terlihat mereka mampu memberikan beberapa alternatif jawaban yang benar (flexibility). Pada tahap correcting answer, setelah setiap kelompok selesai mengerjakan jawaban dari soal yang didapatnya, kemudian mengembalikan kepada kelompok pembuat soal. Hal ini dimaksudkan untuk melatih daya kritis siswa. Setiap kelompok sudah terbiasa dalam memberikan koreksi terhadap jawaban yang diberikan kelompok lain serta memberikan penilaian. Selanjutnya guru memberikan penguatan pada materi dengan menampilkan dan membahas beberapa jawaban yang dibuat siswa. Guru bersama siswa melakukan refleksi dan membimbing siswa membuat rangkuman dari materi yang telah dipelajari. Diakhir pertemuan siklus II, siswa diberi tes untuk mengukur kemampuan kreativitasnya. Bentuk soal yang diberikan adalah problem posing berdasarkan informasi yang diberikan, tang bertujuan untuk mengukur kreativitas siswa. Hasil tes akhir siklus II menunjukkan kemampuan kreativitas siswa secara klasikal dari 29 siswa yang mengikuti tes adalah sebesar 78,5% (baik). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan kreativitas siswa dibanding siklus I, yaitu sebesar 33,17% serta memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan, yaitu nilai rata-rata 75% (baik). 233

100 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Berdasarkan hasil observasi selama proses pembelajaran, terlihat keberhasilan tindakan guru dengan persentase rata-rata sebesar 93,35% (sangat baik) dan meningkat sebesar 2,35%. Sedangkan hasil observasi terhadap aktivitas siswa menunjukkan rata-rata persentase sebesar 92,33% (sangat baik) dan meningkat sebesar 4,83%. PENUTUP Hasil penelitian menyimpulkan bahwa langkah-langkah pembelajaran problem posing berbantuan media powerpoint animatif yang dapat meningkatkan kreativitas siswa, adalah sebagai berikut: (1) Aperseption and motivation, yaitu melalui tanya jawab dengan bantuan media powerpoint, guru memberikan apersepsi dan motivasi kepada siswa dengan mengingatkan kembali materi prasyarat atau materi sebelumnya; (2) Present information, yaitu guru menyajikan informasi (menyajikan materi dan tanya jawab) dengan bantuan media powerpoint, selanjutnya memberikan contoh problem posing; (3) Team work and problem posing activity, siswa belajar secara berkelompok dengan aktivitas problem posing, yaitu a) siswa membuat soal/pertanyaan berikut jawabannya berdasarkan informasi atau konteks yang diberikan pada LKS secara individu, tetapi masih tetap berkelompok, b) soal-soal yang dibuat siswa tersebut dipilih 2 soal terbaik oleh kelompoknya untuk di rolling dengan kelompok lain; (4) Rolling a problem, yaitu setiap kelompok bertukar masalah/soal yang sudah dipilihnya dan menyelesaikan soal yang didapat kelompoknya; (5) Correcting answers, yaitu setiap kelompok mengoreksi jawaban dari kelompok lain dan memberikan perbaikan apabila terdapat kesalahan. (6) Test on the materials, diakhir siklus siswa diberikan tes untuk mengukur kemampuan berpikir kreatifnya yang terdiri dari dua bentuk soal, yaitu soal problem posing dan soal pemecahan masalah. Dari enam tahap proses pembelajaran yang dilaksanakan, terdapat dua aktivitas inti yang sangat berpengaruh untuk meningkatkan kreativitas siswa, yaitu: 1) Tahap Team work and problem posing activity, siswa belajar secara berkelompok dengan aktivitas problem posing. Kegiatan problem posing merupakan inti dalam kegiatan pembelajaran matematika, sehingga siswa perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengajukan soal (As ari, 2000:20). Salah satu kelebihan dari pengajuan soal adalah siswa dapat melatih dan meningkatkan kreativitas berpikir serta meningkatkan daya ingatnya. Menurut Posamentier (Siswono, 1993:30), wujud pola pikir bertanya kedalam bentuk tulisan berupa pembuatan soal dapat meningkatkan daya ingat siswa jauh lebih baik dari sebelumnya; 2) Tahap Rolling a problem, yaitu setiap kelompok bertukar masalah/soal yang sudah dipilihnya dan menyelesaikan soal yang didapat kelompoknya. Aktivitas siswa dalam mengajukan dan menjawab soal pada pembelajaran problem posing dapat mendorong peningkatan kreativitas berpikir siswa. Pembelajaran silih tanya dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa (Munawaroh, 2009). Persentase rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa ada siklus I sebesar 54,33% (cukup baik) dan pada siklus II sebesar 78,5% (baik). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa sebesar 33,17% serta memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan, yaitu pada kategori baik. Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran yang diajukan yaitu: (1) penerapan pembelajaran problem posing berbantuan medi powerpoint animatif dapat dijadikan alternatif dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa; (2) dalam pembuatan powerpoint, hendaknya guru memberikan beberapa animasi dan gambar-gambar yang relevan dan tidak berlebihan yang mengacu pada teori beban kognitif. Sehingga dapat mengelola tiga beban kognitif dalam memori kerja, yaitu beban kognitif intrinsic, beban kognitif germany, dan beban kognitif extraneous; (3) untuk peneliti selanjutnya yang ingin mengadakan penelitian dengan menggunakan penerapan pembelajaran problem posing berbantuan media powerpoint animatif seperti pada penelitian ini disarankan pada materi yang sudah diampu siswa, karena siswa sudah mempunya modal dasar dan akan mempermudah dalam proses pembelajaran. 234

101 ISBN: DAFTAR RUJUKAN Anderson, T. at al Critical Thinking, Cognitive Presence, Computer Conferencing in Distance Learning. (Online). Diakses tanggal 28 November 2015). Aminaturrokhiyah, D Pengaruh Metode Intersita (Inkuiri Terbimbing dan Silih Tanya) Terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Segitiga Siswa Kelas VII SMP NU Panjomblangan. Tesis tidak diterbitkan. PPs IAIN Walisongo. As ari, A.R Problem Posing untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru Matematika. Jurnal Matematika. Tahun V, no. 1, April. Boggan, M., Harper, S., Whitmire, A Using Manipulative to Teach Elementary Mathematics. Journal of Instructional Pedagogies. p.1-6. Bonotto, C., Engaging Students in Mathematical Modeling and Problem Posing Activities. Journal of Matematical Modelling and Aplication, vol.1(3), p Cankoy, O., Darbaz, S Effect of a Problem Posing Based Problem Solving Instruction on Understanding Problem. H.U. Journal of Education. Vol. 38, p.1-4. Chatib, Munif Gurunya Manusia. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Chen, Yuh-Tyng A Study of Incorporating Multimedia Technology in Powerpoint on Demand. The New Education Review, vol. 27(1), p Chipperfield, Brian Cognitive Load Theory and Instructional Design. (Online).( Diakses tanggal 28 November 2015). Cildir, S., Sezen, N A Study on the Evaluation of Problem Posing Skills in Terms of Academic Success. Procedia Social and Behavioral Sciences, Vol. 15, p Daryanto Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif. Jakarta: Buku yang Cerdas dan Mencerdaskan. Dimyati dan Mudjiono Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Garfield, J Exploring the Impact of Lesson Study on Developing Effective Statistics Curriculum. (Online): Diakses tanggal 29 November 2015). Haylock, D. (1997). Recognizing mathematical creativity in schoolchildren. Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM), Volum 29 (June 1997) Number 3. Herawati, O.D.P., dkk Pengaruh Pembelajaran Problem Posing terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas XI IPA SMAN 6 Palembang: Jurnal Pendidikan Matematika. vol.4 (1). Juni. Irwan Pengaruh Pendekatan Problem Posing Model Search, Solve, Create and Share (SSCS) dalam upaya Meningkatkan Kemampuan Penalararan Matematika Mahasiswa Matematika. Journal Penelitian Pendidikan, vol 12 (1). Kar, Turgul, at al The Relaions Between the Problem Posing and Problem Solving Skills of Prospective Elementary Mathematics Teachers. Procedia Social and Behavioral Sciences. Vol. 2(2010), p Khususwanto, Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Resource-Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kratif Matematis dan Self Confidence Siswa SMP. (online). Krutetskii, V.A. (1976). The psychology of mathematical abilities in schoolchildren. Chicago: The University of Chicago Press. Lavy, I., Shriki, A Engaging in Problem Posing Activities in a Dinamic Geometri Setting and The Develovment of Prospective eachers Matematical Knowledge. The Journal of Mathematical Behavior. Vol. 29, p Munawaroh, S Metode Silih Tanya berbantuan Kartu Model Sebgai Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Kreativitas Siswa dalam Pembelajaran Matematika Kelas VII A MTsN Godean Yogyakarta. Tesis. Digital Library UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (online). Diakses tanggal 9 April

102 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Muriadi, K.H Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Tipe Problem Posing untuk Meningkatkan Pengguasaan Konsep Operasi Bentuk Aljabar. Tesis tidak diterbitkan. Malang. PPs UM. National Counsil of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Standard for school mathematics. Reston, VA: National Counsil of Teachers of Mathematics. Pehkonen, E. (1997). The state-of-art in mathematical creativity. Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM), vol. 29 (3), p Plass, J.L, dkk Cognitive Load Theory. Cambridge: Cambridge University Press. Purwanto dan Alim Metode Pengajaran Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: PT. Rosda Jaya Pura. Sabandar, J Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah Pada Seminar Matematika. Bandung. Sadiman, A.S Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sadiman, A.S Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Silver, E. A. & Cai, J An Analysis of Aritmatic Problem Posing by Middle School Students. Journal for Research in Mathematics Education, vol. 2(5), p Silver, E.A.,1997. Fostering Creativity Through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. ZDM: International Reviews on Mathematical Education. Vol. 29 (3), p Siswono, T.Y.E Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun X, No. 1, hal1 9 Subanji Teori Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasional. Malang : Universitas Negeri Malang. Sumarmo, U., et al. (1998, 1999, 2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian. Turmudi, Landasan Filsafat dan Teori pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigative). Jakarta: PT. Leuser Cita Pustaka. Van Harpen, X.Y., Sriraman, B Creativity and Mathematical Problem Solving. Cross National Studies of Temperamental Styles are Typically Based on MBTI. Vol. 20, p Walz, Joel C. (1982). Correction Techniques for the Foreign Language Classroom. Language in Education: Theory and Practice Series No. 50. Washington D.C.: Center for Applied Linguistics. Xia, X., Lu, Wang Research on Mathematics Intruction Experiment Based Problem Posing. Journal of Mathematics Education, vol. 1(1), p Yung, Kok. (2011). 350 Profesional &Easy Steps Power Point. PT Elex Media Komputindo: Jakarta. 236

103 ISBN: PENINGKATAN HASIL BELAJAR FPB DAN KPK MENGGUNAKAN MEDIA NGUNTAR PELANGI SISWA KELAS VI SDN SIDOMULYO 03 KOTA BATU Aina Asmarani SDN Sidomulyo 03 Kota Batu jodaasmarani@gmail.co.id Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar FPB dan KPK siswakelasvi SDN Sidomulyo 03 Kota Batu menggunakan media NGUNTAR PELANGI.Penelitian ini dilakukan dengan rancangan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dengan model kolaborasi, dalam dua siklus. Siklus I dilakukan dalam satu kali pertemuan, sedangkan pada siklus II dilakukan dalam dua kali pertemuan.hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran FPB dan KPK dengan menggunakan media NGUNTAR PELANGI dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil belajar tersebut diperoleh dari nilai uji kompetensi dan penilaian proses selama kegiatan pembelajaran berlangsung.hasil belajar siswa pada siklus I diperoleh rerata 6,3 sedangkan hasil rerata pada siklus II adalah 7,3. Hal ini adanya kenaikan yang signifikan. Kata Kunci: peningkatan hasil belajar, FPB dan KPK, media NGUNTAR PELANGI Tidak dapat dipungkiri masih banyak peserta didik yang menganggap pelajaran matematika adalah pelajaran yang sulit, membosankan, menakutkan, apalagi kalau pendidik tidak memiliki inovasi dalam pembelajaran. Guru mengajar bukan hanya memindahkan ilmu pengetahuan dari guru kepeserta didik,tetapi guru juga harus dapat membangun konsep dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Mengajar juga melibatkan partisipasi peserta didik dalam membangun pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersifat kritis dan mengadakan justifikasi ( pembenaran ). Peran guru sebagai mediator dan fasilitator (Depdiknas, 2005 ). Dengan demikian guru dalam menyampaikan materi pembelajaran harus dapat melihat karakteristik para siswa ditinjau dari pengembangan kognitifnya, sehingga dalam penyampaian materi bisa tepat sasaran dan dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk tingkat Sekolah Dasar memuat kompetensi-kompetensi minimal yang diharapkan dimiliki oleh siswa sekolah dasar (SD). Untuk mencapai harapan tersebut diperlukan kompetensi guru yang profesional dalam pembelajaran. Salah satu ciri guru yang profesional adalah guru selalu membuat inovasi-inovasi baru dalam bidang pembelajaran. Contoh inovasi yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan membuat dan menggunakan media pembelajaran. Pembelajaran matematika di sekolah dasar kelas 6, banyak memuat materi materi yang sudah diajarkan di kelas sebelumnya.walaupun demikian, ternyata masih banyak siswa yang belum paham terhadap Kompetensi Dasar (KD) tertentu. Salah satu materi yang belum dipahami oleh siswa adalah materi FPB dan KPK. Materi ini sebetulnya sudah diajarkan di kelas 4, tetapi yang diajarkan hanya dasar-dasarnya saja., Sementara itu di kelas 6 siswa sudah harus dapat menentukan nilai FPB dan KPK. Peserta didik harus bisa menentukan nilai FPB dan KPK, baik dengan cara pohon faktor maupun dengan cara tabel. Permasalahan tersebut juga terjadi di SDN Sidomulyo 03 Kota Batu, yaitu dari 24 siswa hanya 25% yag sudah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimial (KKM) yang ditetapkan pada materi FPB dan KPK yaitu 65. Hal ini diduga karena siswa belum menguasai pembagian, bilangan prima, dan faktorisasi. Sebagai akibatnyadalam menentukan FPB dan KPK banyak siswa yang mengalami kesulitan. Dalam pembelajaran matematika, peneliti sering mengalami kesulitan dalam 237

104 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur menyampaikan materi yang sesuai dengan karakteristik kecerdasan yang dimiliki siswa. Selama ini yang sering diajarkan kepada siswa dalam penyampaian materi ini adalah dengan cara pohon faktor. Dengan cara ini sering terjadi kesalahan persepsi siswa dalam penyelesaian akhir. Menurut Piaget (dalam Hudojo, 2001) perkembangan kognitif siswa tingkat sekolah dasar berada pada taraf operasi kongkrit. Untuk itu pembelajaran matematika SD disarankan menggunakan benda-benda kongkrit. Contoh benda konkrit yang dapat digunakan berupa alat peraga. Hal ini akan mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran yang diajarkan. Guru juga harus dapat mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa. Menurut Briggs (dalam Mauludiyah, 2009) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi / materi pembelajaran, seperti buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan National Education Association (dalam Fatmawati 2010) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri siswa. Hal ini yang mendasari peneliti untuk melakukan inovasi pembelajaran dengan berupaya semaksimal mungkin menciptakan alat peraga educatif yang dapat membantu siswa mengubah matematika yang abstrak menjadi lebih konkrit s esuai dengan perkembangan intelektual mereka. Untuk itu peneliti memandang perlu adanya suatu media pembelajaran yang dinamakan NGUNTAR PELANGI. Diharapkan dengan media NGUNTAR PELANGI siswa dapat dengan mudah memahami materi FPB dan KPK. Sehingga berdampak pada hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan standar ketuntasan minimal yang ditetapkan.berdasarkan pendapat di atas maka peneliti tertarik untuk menerapakan media pembelajaran NGUNTAR PELANGI dalam rangka mengatasi kesulitan siswa menentukan FPB dan KPK. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas, yang dilakukan dengan 2 siklus. Tahapan masing-masing siklus antara lain: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan di SDN Sidomulyo 03 Kota Wisata Batu, yang terdiri dari 24 siwa dengan rincian 12 siswa perempuan dan 12 siswa laki-laki. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Siklus I Perencanaan Peneliti mulai melakukan identifikasi masalah-masalah pembelajaran di kelas VI SDN Sidomulyo 03 Kota Batu. Penulis melakukan wawancara dan diskusi dengan kolaborator untuk dapat menemukan permasalahan dalam pembelajaran matematika. Setelah permasalahan teridentifikasi, maka penulis juga mengidentifikasi ketersediaan media pembelajaran yang ada di SDN Sidomulyo 03 Kota Batu. Dalam pembelajaran ini dilakukan dengan menggunakan media NGUNTAR PELANGI dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Guru mengenalkan media NGUNTAR PELANGI, (2) Guru mendemonstrasikan penggunaan media NGUNTAR PELANGI, (3) Salah satu yang ditunjuk maju untuk mendemontrasikan media NGUNTAR PELANGI, (4) Siswa yang di tunjuk medeskripsikan penggunaan media NGUNTAR PELANGI, (5) Guru menawarkan pada siswa yang bersedia maju,untuk mendemontrasikan media NGUNTAR PELANGI, (6) Guru Membagikan Lembar Kerja Siswa. Hasil belajar yang diukur pada penelitian ini diperoleh melalui tes tulis dengan jumlah 10 soal, untuk menentukan FPB dan KPK. 238

105 ISBN: Adapun peran kolaborator dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi masalah bersama penulis, mendiskusikan media yang akan digunakan, mendiskusikan model pembelajaran yang akan dilaksanakan, serta membantu dalam pelaksanaan observasi. Penulis juga merumuskan permasalahan yang muncul dalam pembelajaran di kelas. Serta membuat rencana tindakan untuk menyelesaikan permasalahan rendahnya hasil belajar siswa dengan menggunakan media NGUNTAR PELANGI.Diharapkan dengan menggunakan media NGUNTAR PELANGI akan meningkatkan hasil belajar siswa sesuai dengan KKM yang di tetapkan. Pelaksanaan Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran oleh guru diawali dengan menyanyikan lagu-lagu matematika yang ada hubungannya dengan rumus, satuan panjang, satuan berat, satuan luas, satuan volum., luas bangun datar, ukuran kuantitatif, satuan waktu (abad, windu, lustrum, dekade/dasawarsa), pasangan bilangan akar pangkat tiga, bilangan bulat, debit. Kemudian guru melakukan apersepsi dengan melakukan tanya jawab tentang faktor, faktor dari, faktor prima, faktor persekutuan, faktorisasi prima, kelipatan, kelipatan persekutuan. Pada kegiatan inti guru mengenalkan media NGUNTAR PELANGI kepada siswa. Kemudiandilanjutkan dengan mendemontrasikan cara penggunaan media NGUNTAR PELANGI sesuai dengan RPP yang telah di buat oleh penulis. Selanjutnya guru meminta salah siswa untuk untuk mendemonstrasikan media pembelajaran Nguntar Pelangi di depan kelas. Siswa yang lain memperhatikan demontrasi yang dilakukan temannya. Guru membagi menjadi 6 kelompok dengan masing-masing terdiri dari 4 siswa. Setelah itu guru meminta siswa untuk berkumpul sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Setelah siswa berada kelompoknya, guru membagikan lembar kerja siswa pada masing-masing kelompok. Siswa mengerjakan lembar kerja siswa secara berkelompok. Guru berkeliling mengamati aktivitas siswa pada tiap-tiap kelompok. Guru meminta kelompok yang sudah menyelesaikan soal nomor 1 untuk mempresentasikan ke depan kelas. Guru meminta kelompok lain untuk memperhatikan kelompok yang sedang mempresentasikan di depan. Setelah kelompok yang mempresentasikan selesai, guru meminta semua kelompok untuk melanjutkan mengerjakan soal nomor 2. Guru juga memberitahukan bahwa kelompok yang selesai terlebih dahulu untuk maju ke depan kelas. Begitu seterusnya sampai soal nomor 5. Setelah semua soal selesai dipresentasikan, guru memberikan tugas untuk dikerjakan secara individu. Guru juga menginformasikan untuk mengerjakan soal inisiswa boleh menggunakan media Nguntar Pelangi ataupun tidak. Setelah siswa selesai mengerjakan soal, maka guru meminta siswa mengumpulkan hasil pekerjaannya. Pada kegiatan akhir guru mengajak siswa untuk menyimpulkan materi pembelajara hari ini. Guru juga menguatkan bahwa dalam menentukan FPB dicari bangun yang sama, kemudian dilihat bilangannya, selanjutnya bilangan-bilangan tersebut dikalikan. Untuk menentukan KPK bilangan pada bangun yang paling banyak dikalikan dengan bilangan yang ada pada bangun yang berbeda. Sebelum mengakhiri pembelajaran guru mengingatkan siswa untuk terus belajar dan memberikan pekerjaan rumah (PR) sebagai latihan. Pengamatan Pengamatan pada siklus I ini dilakukan oleh penulis bersama-sama kolaborator sebagai pengamat. Pada kegiatan pengamatan ini peneliti juga dibantu oleh teman sejawat sebagai pengamat. Para pengamat menggunakan lembar pengamatan (lembar observasi) ketika melakukan pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan mengamati keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Hasil pengamatan aktifitas siswa dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut: dalam proses pembelajaran ada 2 kelompok yang masih pasif, dalam setiap kelompok masih ada siswa yang pasif bergantung pada temannya, ada siswa yang mendominasi kelompok, pembagian media pembelajaran 239

106 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur untuk bangun datar tidak memadai yaitu pada bilangan prima angka 5 bangun lingkaran warna kuning, sehingga kelompok yang kurang media pembelajarannya hasilnya kurang maksimal. Refleksi Setelah pembelajaran berakhir dilaksanakan diskusi antara peneliti, kolaborator, observer dan nara sumber. Hal-hal yang direfleksikan meliputi semua temuan hasil pengamatan yang dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung.refleksi ini bertujuan untuk melihat apakah proses pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan media Nguntar Pelangi sudah dapat meningkatkan hasil belajar siswa materi FPB dan KPK. Pada refleksi ini juga didiskusikan hal-hal yang merupakan kekurangan kekurangan terhadapproses pembelajaran yang dilakukan. Hal ini dilakukan dalam rangka mencari pemecahan dan penguatan penguatan terhadap apa yang masih dipandang kurang. Hasil refleksi sebagai berikut: ada 2 kelompok yang pasif, ada kelompok yang kekurangan kartu media, ada kelompok yang salah satu siswanya terlalu mendominasi sehingga berdampak pada kelompok yang lain merasa terpengaruh, pengelompokan siswa kurang heterogen, dan hasil belajar siswa diperoleh rerata 6,3 padahal KKM yang ditetapkan adalah 6,5. Berdasarkan hasil refeksi tersebut maka perlu dilakukan siklus II Upaya perbaikan Untuk Siklus II Berikut ini terdapat beberapa hal yang direncenakan untuk diperbaiki di siklus II antara lain : (1) menyederhanakan RPP, menyanyikan lagu matematika di awal di singkat.tidak semua dinyanyikan akan tetapi di ambil lagu-lagu nyanyian matematika yang terbaru.(2). Memberikan tambahan media kartu bilangan prima angka 5. Yang pada siklus I kurang memadai. (3).Merubah komposisi kelompok menjadi lebih heterogen, supaya siswa yang aktif bisa menstimulus teman yang lainnya. (4). Memberi kesempatan pada siswa untuk mendemonstrasikan media NGUNTAR PELANGI.dengan di bantu siswa yang lain jika ada kesulitan. (5) Merubah alur pembelajaran dengan cara penanaman konsep terlebih dahulu, walau sifatnya hanya mengulang saja.(6) memberi penghargaan pada siswa yang menyelesaikan tugas tepat waktu dengan memberikan reward. Berupa bintang-bintang dari kertas warna-warn.i.(7) meningkatkan ketertiban pada saat ada kelompok lain maju presentasi.(8). Mengidentifikasi LKS individu dan LKS kelompok. SIKLUS II Perencanaan: Kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan pada siklus II antara lain (1) Pembuatan RPP untuk siklus II.(2). Menyiapkan LKS individu.(3). Menyiapkan media pembelajaran yang memadai. Pelaksanaan dan tindakan Observasi : Siklus II dilaksanakan dengan penerapan RPP, Pembelajaran merupakan upaya perbaikan dan penyempurnaan dari siklus I. Pertemuan I. Pertemuan pertama di awalai dengan penanaman konsep dasar FPB dan KPK yang meliputi: Faktor dari, faktorisasi, faktor prima, bilangan prima, faktor persekutuan, kelipatan,kelipatan persekutuan.cara mencari FPB dan KPK dengan cara mendaftar faktor-faktornya. Dan menekankan mengapa kalau FPB ddi ambil faktor terbesarnya. Kalau KPK di ambil kelipatan terkecilnya. Menjelaskan kembali cara kerja media NGUNTAR PELANGI. Dengan cara tanya jawab pada siswa, yaitu menanyakan tentang : bangun datar persegi warna merah mewakili bilangan prima berapa?. Bangun persegi panjang warna jingga mewakili bilangan prima berapa?.bangun lingkaran warna kuning mewakili bilangan prima angka berapa?. Bangun trapesium warna hijau mewakili bilangan prima berapa?. Bangun jajargenjang warna hijau mewakili 240

107 ISBN: bilangan prima berapa? Bangun segitiga sama sisi warna nila mewakili bilangan prima berapa? Dan bangun layang-lanya warma ungu, mewakili bilangan prima angka berapa? Tanya jawab ini di ikuti gerakan guru dengan menunjukkan bangun datar nya. Pembelajaran dilanjutkan dengan penanaman konsep tentang cara menentukan FPB dan KPK dengan menggunakan media NGUNTAR PELANGI. Bahwa untuk menentukan FPB dengan menggunakan media NGUNTAR PELANGI yaitu bangun yang sama.di ambil kemudian di kalikan. FPB ( Fokoe Podo Bangune ). Sedang untuk mencari KPK Yaitu : bangun yang sama yang paling banyak. Dan bangun tidak sama. ( Kudu Pek Kabeh ). Bisa juga disimpulkan bahwa KPK itu sisa dari bangun yang telah di ambil FPB. Suasana belajar sudah menyenangkan,terbukti dengan antusiasme siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Kelompok siswa yang pasif pada saat siklus I.di silkus II semua kelompok sudah terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Pertemuan II. Pertemuan kedua pembelajaran dilanjutkan dengan menggunakan media NGUNTAR PELANGI. Tiap kelompok di sediakan satu media NGUNTAR PELANGI dengan kartu bilangannya. Diberikan LKS Kelompok, setiap kelompok mengerjakan LKS yang telah di berikan.di beri waktu 30 menit. Setelah itu hasil kerjanya di presentasikan ke depan, oleh masing-masing kelompok. Rafleksi: Pelaksanaan pembelajaran pada siklus IIsudah lebih baik di banding pada siklus I. Siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Hasil belajar siswa juga meningkat di banding pembelajaran pada siklus I. Siswa mampu mengerjakan tugas sampai tunta secara tepat ( waktu dan hasil ). Siswa yang bertanya sudah berkurang. Siswa yang mampu menjawab pertanyaan guru sudah lebih banyak. PEMBAHASAN Peningkatan hasil belajar siswa kelas 6 SDN Sidomulyo 03 Kota Batu terhadap materi FPB dan KPK dengan menggunakan media NGUNTAR PELANGI sebagai berikut : Dari hasil penelitian tindakan dapat diketahuibahwa terdapat peningkatan hasil belajar siswa antar siklus I dan siklus II. Dari nilai rerata hasil belajar 6,3 di siklus I meningkat menjadi 7,3 di siklus II. Terdapatnya peningkatan hasil belajar tersebut karena dalam pembelajaran materi FPB dan KPK menggunakan media NGUNTAR PELANGI. Media NGUNTAR PELANGI dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena media ini sangat menarik, mudah di pahami, dan mudah penggunaannya. Disamping itu siswa dapat belajar sambilbermain memasangkan bangun-bangun warna-warni. Siswa akan tertarikdan tidak bosan pada saatpembelajaran berlangsung. Karena pembelajaran berpusat pada aktifitas siswa. Pada siklus I rerata hasil belajar siswa adalah 6,3, atau masih di bawah KKM yang ditetapkan, hal ini disebabkan karena kurang optimalnya penggunaan media NGUNTAR PELANGI, serta ada 2 kelompok yang tidak kebagian bilangan prima angka 5. Siswa baru pertama kali mengenalnya, sehingga siswa kurang terlibat didalamnya. Untuk itulah pada siklus II dilakukan perbaikan penggunaan media tersebut, dengan cara setiap kelompok di beri satu media tiruannya secara lengkap. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran materi FPB dan KPK menggunakan media NGUNTAR PELANGIdapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas 6 SDN Sidomulyo 03 Kota Batu. Kemampuan siswa dalam menentukan faktor persekutuan terbesar dan kelipatan persekutuan terkecil meningkat. Hal ini dibuktikan dengan rerata siswa pada siklus I 6,3 meningkat menjadi 7,3 pada siklus II. Terdapat kenaikan yang signifikan. 241

108 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Saran Berdasarkan simpulan hasil penelitian, disarankan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran FPB dan KPK di Sekolah Dasar. Guru menggunakan media pembelajaran yang sesuai, misalnya NGUNTAR PELANGI. Selain itu, guru perlu mempersiapkan rancangan pem-belajaran dengan mempersiapkan berbagai media yang digunakan sebagai alat dalam pembelajaran. Bagi yang tertarik dengan penelitian ini dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian berikutnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran materia dengan materi ataupun subjek yang berbeda. Daftar Rujukan Departemen Pendidikan Nasional,2005, Matematika I, Materi Pelatihan Terintregasi, Jakarta. Mauludiyah, Helmina, 2009, Penggunaan Multi Media Interaktif serta Kegiatan Pratikum Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Materi Batuan Siswa kelas VC SD Kauman I Kota Malang, Laporan Pemantapan Kemampuan mengajar Universitas Negeri Malang, FIP Program sertifikasi Guru SD dalam jabatan melalui Jalur Pendidikan Hudojo, Herman Dasar-dasar pendidikan Matematika. Surabaya: Nasional. Fatmawati, Ety Coklak Bicara. Karya Tulis Ilmiah. Olympiade conference, Jaring Pengembang Sekolah Muhammadiyah. 242

109 ISBN: IMPLEMENTASI TEORI BRUNER PADA MATERI LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS III SDN TORONGREJO 01 KOTA BATU Yuyun Ani Faturohmah SDN Torongrejo 01 Kecamatan Junrejo Kota Batu yuyunani82@gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ketuntasan belajar dan aktivitas siswa pada pembelajaran luas persegi dan persegi panjang dengan implementasi teori Bruner. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas yang bertempat di SDN Torongrejo 01 kelas III berjumlah 33 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar dari 72% pada siklus I menjadi 90 % pada siklus II. Kesimpulan dari penelitian ini adalah implementasi teori Bruner dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa pada materi luas bangun datar Kata kunci: Luas persegi dan persegi panjang, hasil belajar, teori Bruner Pendidikan sering kali menjadi komponen utama dalam memajukan suatu negara. Perkembangan peradaban bangsa sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Hal ini terjadi karena pendidikan sebagai pondasi utama untuk meningkatkan sumber daya manusia. Semakin maju suatu negara maka sumber daya manusianya pun semakin bagus. Oleh karena itu, Indonesia berupaya dalam memperbaiki sumber daya manusia dengan cara memperbaiki sistem pendidikannya. Hal ini tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperluka dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang baik dapat dimulai dari dasarnya yaitu dari jenjang sekolah dasar karena apabila penanamannya baik dari awal maka hasilnya pun akan memuaskan. Sekolah dasar merupakan suatu jenjang dimana anak belajar meniru atau mencontoh sehingga penanamannya pun harus benar. Pada jenjang ini anak-anak belum dapat berpikir secara abstrak. Perkembangan kognitif yang terjadi antara usia 7 dan 11 tahun disebut oleh piaget sebagai tahap operasi konkret (concrete operations stage). Pada tahap operasi konkret, anak-anak belum dapat berpikir baik secara logis maupun abstrak. Anak usia ini dibatasi untuk berpikir konkret/nyata, pasti, dan tepat. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir siswa. Menurut Prasetyono (2015), mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta mampu bekerja sama. Hal ini sangat diperlukan oleh siswa agar mereka memiliki kemampuan untuk memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah dan kompetitif. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran matematika di Kelas III SDN Torongrejo 01. Pembelajaran matematika sampai sekarang ini masih merupakan momok yang sangat menakutkan bagi siswa Sekolah Dasar. Siswa kelas III SDN Torongrejo 01 masih kurang dapat memahami konsep-konsep matematika sehingga, pada pembelajaran siswa masih rancu dalam memahami keliling dan luas Persegi serta Persegi Panjang. Sehingga, hasil belajar yang dicapai belum memuaskan. Oemar Hamalik (dalam Rusnita, 2015) mengemukakan hasil belajar adalah terjadinya 243

110 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan, sikap, serta keterampilan. Bagi guru hasil belajar mempunyai arti yang sangat penting sebagai bahan evaluasi dan refleksi mengenai proses belajar yang telah dilaksanakannya. Apa saja kekurangan pembelajaran dan kelebihannya, bagaimana untuk mencari cara memperbaiki dan mengembangkan pembelajaran Pembelajaran matematika di sekolah dasar seperti tertuang dalam GBPP Sekolah Dasar tahun 2004 bertujuan melatih cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten (Depdikbud, 2004:75). Oleh karena itu konsep-konsep matematika haruslah dipahami oleh siswa sekolah dasar secara dini, hingga akhirnya terampil dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (Ekawati,2015). Pada saat Pembelajaran sebaiknya siswa tidak hanya di beri konsep tetapi juga diberikan benda konkret. Peran pengajar di sini sangat penting dalam menyampaikan materi, pengajar harus dapat memberikan contoh nyata dalam pembelajaran dan pengajar juga harus mampu membuat suasana kelas menyenangkan. Pada saat proses pembelajaran, anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi bendabenda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu, menggunakan tiga tahapan menurut Bruner (dalam Zulkifli dkk, 2013) yaitu tahap enaktif, ikonik dan tahap simbolik. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik dengan Teori Bruner. Untuk itulah judul yang dipilih dalam penelitian tindakan kelas ini adalah Implementasi Teori Bruner Pada Materi Luas Persegi dan Persegi Panjang Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas III SDN Torongrejo 01 Batu METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), pendekatannya deskriptif kualitatif yang bersifat alamiah atau apa adanya dan tidak ada manipulasi data. Penelitian tindakan kelas terletak pada adanya tindakan dalam situasi alami untuk memecahkan permasalan-permasalahan praktis dalam pengajaran. Secara umum, Penelitian Tindakan Kelas dilaksanakan dalam bentuk siklus berulang-ulang, empat bagian utama yang ada dalam setiap siklus adalah sebagai berikut: perencanaan (planing), pelaksanaan (acting), observasi (observing), dan refleksi (reflecting). Tahap perencanaan dilakukan dengan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dan dilanjutkan dengan mengembangkan media yang akan digunakan. Tahap pelaksanaan pembelajaran dilakukan di kelas III SDN Torongrejo 01 Kota Batu dengan jumlah siswa 33 orang, yang terdiri dari 18 laki-laki dan 15 perempuan mulai bulan Pebruari sampai Maret Dalam pelaksanaan pembelajaran sekaligus dilakukan observasi yang dibantu oleh teman sejawat. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari 4 pertemuan (@ 2 jam pelajaran ). Siklus pertama dilakukan pada tanggal 9-19 Februari 2016 dan siklus kedua dilaksanakan pada tanggal 22 Februari 7 Maret Setiap akhir siklus dilakukan refleksi, untuk mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan memperbaikinya. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Siklus I Siklus I pembelajaran 1 Pembelajaran siklus I pertemuan 1 berlangsung selama 70 menit. Pelaksanaan proses pembelajaran ini adalah dengan mengimplementasikan teori Bruner, dengan tahapan sebagai berikut: Pembelajaran diawali dengan mengucap salam dan memperhatikan kondisi kelas untuk memulai pelajaran kemudian berdo a, mengambil absen, tanya jawab serta memberi motivasi dengan 244

111 ISBN: bernyanyi. Kemudian menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu: menemukan rumus luas persegi dan persegi panjang. Pada kegiatan inti guru menggali potensi siswa dengan meminta siswa mengamati lingkungan sekitar untuk mengelompokkan bangun. Guru menanyakan benda-benda di lingkungan sekitar dan mengelompokkan benda-benda yang termasuk bangun datar. G : Benda apa saja yang termasuk bangun datar? S : papan tulis, buku, pintu G : iya benar sekali Salah satu siswa ada yang menyebutkan balok. Sehingga guru menjelaskan yang termasuk bangun ruang dan bangun datar. Guru meminta salah satu siswa menggambar bangun persegi dan persegi panjang. Kemudian guru menjelaskan cara menentukan luas persegi dan persegi panjang dengan satuan-satuan persegi yang terbuat dari kertas lipat. Guru akan membagi siswa secara berkelompok. Tiap kelompok mendapat lembar kerja dan amplop yang berisi potongan satuan persegi. Dengan satuan-satuan persegi yang diberikan, secara kelompok siswa menyusun bangun datar persegi dan persegi panjang dengan ukuran yang telah ditentukan (tahap enaktif). Setelah itu siswa menghitung banyaknya persegi satuan yang digunakan dalam tiap bangun (tahap ikonik). Dari hasil menghitung siswa dapat menentukan panjang, lebar, maupun sisi pada bangun datar (persegi dan persegi panjang) dengan menuliskan rumus luas kedua bangun tersebut (tahap simbolik). Kegiatan diskusi belum berjalan dengan baik karena siswa masih belum terbiasa. Kemudian perwakilan tiap kelompok melakukan presentasi, terlihat masih ada siswa yang belum berani tampil ke depan kelas. Diakhir pembelajaran diadakan tes secara individu yang selanjutnya dilakukan refleksi, guru bersama siswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari. Hasil tes yang dilakukan secara individu pada siklus I pembelajaran 1 menunjukkan bahwa skor yang diperoleh masih banyak yang di bawah KKM, pada waktu diskusi siswa kurang bekerjasama, motivasi dalam belajar juga kurang. Siklus I pembelajaran 2 Proses pembelajaran diawali dengan memberi salam dan memperhatikan kesiapan untuk memulai pelajaran, berdo a sebelum memulai pelajaran, absensi siswa, memotivasi siswa dengan yel-yel, menyampaikan tujuan pembelajaran. Pada awal pembelajaran untuk mengembangkan pemikiran siswa mengamati lingkungan sekitar. G S G : masih ingat cara menentukan luas persegi dan persegi panjang? : ingat Bu : Rumusnya apa? Ada beberapa anak keliru menyebutkan antara luas dengan keliling. Sehingga guru memberikan penguatan.tahap selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan, guru memberikan lembar kerja, siswa menyiapkan potongan satuan-satuan persegi untuk disusun ke dalam persegi dan persegi panjang sesuai dengan lembar kerja yang dibagikan guru. Kemudian siswa menghitung banyak persegi satuan yang digunakan dalam tiap bangun. Dari hasil menghitung siswa dapat menentukan panjang, lebar, maupun sisi pada kedua bangun tersebut. sehingga siswa dapat menerapkannya ke dalam rumus luas. Setelah itu siswa mempresentasikan hasil kerjanya. Diakhir 245

112 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur pembelajaran pada siklus I pembelajaran 2 dilakukan evaluasi untuk mengukur tingkat pemahaman siswa terhadap materi luas persegi dan persegi panjang. Kegiatan penutup guru dan siswa membuat kesimpulan terkait dengan rumus luas persegi dan persegi panjang. Kemudian melakukan refleksi diakhir pertemuan. Sebagai tindak lanjut siswa mendapat tugas rumah. Hasil evaluasi pada siklus I menunjukkan skor yang diperoleh siswa belum mengalami peningkatan. Penyebabnya adalah kurang bimbingan guru dalam penanaman konsep bangun datar, siswa kurang menguasai materi. 2. Siklus II Karena pada siklus I masih terdapat permasalahan tentang kurangnya bimbingan dan motivasi siswa dalam menguasai materi maka perlu diadakan perbaikan agar hasil belajar siswa lebih baik Siklus II pembelajaran 1 Langkah awal pembelajaran guru mengucap salam, berdo a sebelum memulai pelajaran, mengabsen siswa, menyampaikan tujuan pembelajaran. Memotivasi siswa dengan bernyanyi. Pada kegiatan inti siswa diajak tanya jawab dan mengulas materi yang dipelajari sebelumnya. G S : siapa yang bisa menulis rumus luas persegi panjang dan persegi? : saya bu Gambar Siswa menggambar dan menuliskan rumus luas G : benar sekali Guru menjelaskan materi luas persegi dan persegi panjang kemudian memberikan contoh soal. Bandingkan luas kedua bangun di bawah ini! Setelah itu guru meminta siswa untuk berpasangan kemudian siswa memperoleh lembar kerja. Secara berpasangan siswa menyusun potongan satuan persegi yang telah disiapkan menjadi bangun datar. Setelah itu siswa menghitung luasnya. dari hasil yang diperoleh siswa dsuruh mengurutkan bangun persegi dan persegi panjang dari yang paling luas atau sebaliknya. Kemudian siswa menukar hasil kerjanya dengan siswa yang lain. Kegiatan inti ini diakhiri dengan pemberian tes secara individu. Pada kegiatan akhir guru bersama siswa menyimpulkan materi tentang luas persegi dan persegi panjang, kemudian diadakan refleksi. sebagai tindak lanjut siswa diberi tugas rumah. Hasil tes secara individu sudah menunjukkan adanya peningkatan. 246

113 ISBN: Siklus II pembelajaran 2 Pada pembelajaran ke 2 guru didampingi oleh seorang observer dalam hal ini adalah teman sejawat. Proses pembelajaran dimulai dengan apersepsi. Kemudian guru menyampaikan tujuan pembelajaran sehingga siswa mengetahui pembelajaran yang hendak dicapai pada saat itu.untuk memotivasi siswa guru memberikan sebuah yel-yel. Langkah pertama mengembangkan pemikiran siswa dengan cara siswa mengamati lingkungan sekitar sekolah untuk menentukan luas ruang kelas, meja, buku, dan sebagainya. G : coba kalian tentukan panjang dan lebar buku tulis kalian! Semua siswa mencoba mengukur panjang dan lebar buku tulisnya. G : Setelah itu hitung luasnya! S : menghitung luas buku tulisnya dengan menggunakan rumus luas persegi panjang. Guru memberikan lembar kerja secara kelompok untuk menghitung luas persegi dan persegi panjang. Kemudian siswa menukarkan hasil kerjanya dengan kelompok lain. Kegiatan diskusi sudah menunjukkan peningkatan, siswa lebih berantusias untuk melaporkan hasilnya ke kelompok lain. Kegiatan akhir pada siklus II pembelajaran 2 dilakukan evaluasi untuk mengetahui keberhasilan implementasi teori Bruner pada materi luas persegi dan persegi panjang dengan memberikan latihan sebanyak 5 buah soal essay. Hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus 2 menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan dibanding hasil evaluasi pada siklus 1. Setelah dilakukan tindakan sebanyak dua siklus, terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada materi luas persegi dan persegi panjang. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar dari 72% pada siklus I menjadi 90 % pada siklus II. Menurut Dimyati dan Mudjiono (dalam Risliana, 2013) peningkatan hasil belajar berarti perubahan kemampuan ke arah yang lebih baik dan bermutu. Dengan implementasi teori Bruner pada materi luas persegi dan persegi panjang siswa lebih mudah memahami konsep-konsep dasar matematika dan motivasi siswa mengalami peningkatan yang sangat signifikan. KESIMPULAN Implementasi teori Bruner dalam pemahaman konsep pada materi Luas persegi dan persegi panjang yang meningkatkan hasil kerja siswa kelas III sebagai berikut: penggunaan satuan-satuan persegi sebagai alternatif pembelajaran dalam materi luas persegi dan persegi dalam proses belajar mengajar dapat meningkatkan hasil belajar dengan tahapan-tahapan enaktif, ikonik, dan simbolik. Melalui langkah-langkah siswa diberikan satuan-satuan persegi kemudian menyusun, menuliskan rumus, dan menghitung luas bangun datar persegi dan persegi panjang. Dengan cara mengotak-atik sendiri motivasi, minat dan hasil belajar siswa kelas III SDN Torongrejo 01 Kecamatan Junrejo Kota Batu mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari presentase siklus I 72 % dan siklus II 90 %. DAFTAR RUJUKAN Ekawati,Y Meningkatkan Kemampuan Menghitung Luas Permukaan Bangun Ruang Melalui Benda Konkret Di Sekitar Siswa Kelas VI SDN 2 Tijue Percontohan. Prosiding Seminar Nasional TEQIP. Garis-garis Besar Haluan Negara Sekolah Dasar Tahun 2004 Tentang Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Jakarta: Depdikbud. 247

114 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Pramono, A.E Pembelajaran Matematika Berasosiasi Paikem Dengan Menerapkan Teori Belajar Brunner Guna Meningkatkan Hasil Belajar Dalam Membaca Tanda Waktu Pada Siswa Kelas III SDN 4 Penganjuran. Prosiding Seminar Nasional TEQIP Prasetyono,2015. Penggunaan Media Persegi Satuan dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas III SDN Kwangsen 02 Kec. Jiwan kab. Madiun Tahun Pelajaran 2014/2015. Prosiding Seminar Nasional TEQIP Risliana Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Pada Materi Bangun Ruang Melalui Model Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) Siswa Kelas IV SDN 001 Kuaro Kab. Paser Tahun Pelajaran 2012/2013. Prosiding 2 TEQIP 2013 Rusnita, D Meningkatkan Hasil Belajar Matematika tentang Faktor Bilangan dan FPB melalui Media Kertas di Kelas IV B SD Negeri 08 Kepahiang Semester I Tahun Pelajaran 2014/ Prosiding Seminar Nasional TEQIP Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Jakarta: Depdikbud. Zulkifli, Adi Sukarmin,2013. Penggunaan Media Manipulatif Pada Pembelajaran Penjumlahan Dan Pengurangan Bilangan Bulat Siswa Kelas V SDN 087 Panyabungan Mandailing Natal. Prosiding 2 TEQIP

115 ISBN: PENERAPAN OPEN-ENNDED UNTUK MENGEMBANGKAN KREATIVITAS SISWA DALAM MENYELESAIAKN SOAL VOLUM BANGUN RUANG DI SMP N 04 BATU Ulfa Rahayu SMPN 4 Batu ulfarhysmpn4@gmail.com Abstrak:Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penerapan open ended untuk mengembangkan kreativitas siswa. Jenis penelitian adalah PTK dengan 2 siklus,siklus pertama terdiri dari 2 pertemuan, dan siklus kedua terdiri dari 2 pertemuan.subyek penelitian adalah 32 siswa kls VIIIC SMPN 4 Batu, 16 laki-laki 16 perempuan,pemilihan subyek didasarkankarena siswa masih belum kreatifitas dalam mengerjakan soal.hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kreatifitas siswa.menyelesaikan soal Kata kunci:open-ended, kreatifitas, volum, kubus, balok Pada tahun 2013, pemerintah membuat terobosan baru yakni denganmemberlakukan kurikulum baru yang diberi nama kurikulum 2013 sebagai lanjutan dari kurikulum sebelumnya (KTSP). Alasan diberlakukanya kurikulum ini salah satunya adalah diharapkan adanya perubahan proses pembelajaran (dari pesertadidik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu) Oleh karena itu, guru dan peserta didik diharapkan dapat mengimplementasikan dari kurikulum baru ini. Pada kurikulum 2013 khususnya pada pelajaran matematika tingkat SMP dan sederajat, pemerintah sudah menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)=75 SMP Negeri 04 Batu juga sudah menerapkan kurikulum Diterapkanya kurikulum 2013 ini diharapkan bisa meningkatkan kualitas peserta didik maupun guru di SMPN 04 Batu, baik dilihat dari proses pembelajaran maupun dari hasil belajar. Adapun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang digunakan oleh SMPN 04 Batu untuk pelajaran matematika sesuai dengan yang ditentukan oleh pemerintah yakni 75. Di dalam proses pembelajaran, guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pembelajaran. Karena guru dalam proses pembelajaran diibaratkan sebagai sutradara yang mana mengatur semua jalanya proses pembelajaran. Oleh sebab itu, guru harus membuat perencanaan pembelajaran untuk meningkatkan kesempatan belajar bagi peserta didik dan memperbaiki kualitas mengajarnya serta menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Dari hasil tes tentang pengetahuan awal peserta didik mangenai materi konsep dasar volum kubus dan balok yang dilakukan pada tanggal Maret 2016 didapatkan hasil belajar peserta didik kelas VIII semester genap tahun pelajaran di SMPN 04 Batu masih rendah yakni 13 dari 32 peserta didikyang nilainya memenuhi KKM. Diperoleh presentasi ketuntasan klasikal sebesar 40,63 %, sehingga dapat dianalisisi bahwa ketuntasan klasikal masih tergolong rendah. Rendahnya prestasi belajar disebabkan oleh kurangnya minat belajar malasnya siswa dalam belajar. Selain itu juga kurang adanya inovasi guru dalam proses belajar mengajar, sehingga peserta didik merasa jenuh, bosan dan kurang bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Selama ini pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru adalah menjelaskan materi prasarat,memberikan contoh,mengerjakan soal dibuku,dilanjutkan mengerjakan LKS dan tes. pembelajaran yang monoton tersebut mengakibatkan siswa menjadi bosan. Akibatnya siswa menjadi malas belajar matematikadan akhirnya prestasinya rendah. Untk itu perlu inovasi pembelajaran. Guru perlu menciptakan suasana belajar yang lebih menarik supaya peserta didik lebih nyaman dalam mengikuti proses belajar mengajar dan memahami 249

116 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur materi yang sedang disampaikan oleh guru. Salah satu yang dapat dilakukan adalah pembelajarn dengan pendekatan open ended. open ended, merupakan pendekatan pembelajaran yang dilakukan dengan menyajikan masalah yang memiliki jawababan tidak tunggal atau cara menyelesaiakn tidak tunggal. Open ended dapat dikelompokkan menjadi dua model : (1) masalah dirancang dengan jawaban tidak tunggal dan (2) masalah yang memililki jawaban tunggal tetapi cara penyelesaiannya tidak tunggal.ketika masalah dirancang dengan jawaban tidak tunggal,maka proses berfikir siswa akan bebas menentukan bentuk jawabannya, asalkan jawaban tersebut logis dan rasional.begitupula untuk masalah yang memiliki jawaban tunggal tetapi cara penyelesaiannya tidak tunggal.maka siswa dapat mentelesaikan dengan berbagai bentuk,yang penting proses penyelesaianya tersebut logis dan rasional.dengan jawaban atau proses tidak tunggal tersebut dapat mendorong siswa untuk berfikir kreatif (Subanji. 2013). Penjelasan singkat yang dilakukan oleh guru berupa materi pelajaran yang akan disajikan saat itu, yaitu tentang Volum kubus dan balok), tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, tatacara melaksanakan diskusi kelompok, termasuk mengatur pelaksanaan presentasi kelas, serta diakhiri dengan pembagian LKS. Salah satu tujuan pendidikan matematika adalah mengembangkan keterampilan tingkat tinggi siswa ( Lloyd Munroe, 2015 ). Upaya yang dapat dilakukan guru untuk membuat siswa tidak merasa takut dengan matematika adalah dengan memberikan permasalahan yang jawabannya tidak hanya satu (Subanji. 2013: 139) dan penugasan open-ended juga dapat menumbuhkan berfikir kreatif yang ditandai dengan kefasihan, fleksibitas, dan originalitas( Kwon,O.N., Park,J.S., dan Park, J.H.(2006)). Viseau Oliveira, I.B mengatakan bahwa strategi open-ended mendorong komunikasi kelas dan memicu adanya diskusi antar individu,tugas open-ended juga dapat menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan masalah (Sullivan,dkk) penggunaan strategi open-ended juga mempunyai dampak positip untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa(al-asbi,m, 2012) dan diagram terstruktur dari open-ended problem menurut Takahashi, A (2006 ) adalah sebagai berikut : PROBLEM SOLUTION METHOD SOLUTION METHOD COMPARING-DISCUSSING IDEAS -QUESTONS Dengan memberikan permasalahan yang jawabannya tidak tunggal membuat siswa menjadi percaya diri sehingga mereka tidak takut lagi dengan matematika. Berdasarkan pendapat Subanji(2013) diatas, penulis mengangkat judul PENERAPAN OPEN ENDED DAPAT MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA DALAM MENYELESAIKA N SOAL VOLUME KUBUS DAN BALOK DI KELAS VIII -C SMP NEGERI 4 BATU METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang terdiri dari 2 siklus. Siklus pertama 2 pertemuan, dan siklus kedua 2 pertemuan. Dengan rincian satu kali pertemuan pembelajaran dan 250

117 ISBN: satu kali pertemuan tes. Menurut Kemmis & Mc Taggart( 1997), PTK dilakukan dengan menggunakan beberapa siklus, diagram alur PTK seperti gambar 1. Permasalahan Siklus I Perencanaan tindakan I Refleksi tindakan I Pelaksanaan tindakan I Pengumpulan data tindakan I Siklus II Perencanaan tindakan II Refleksi tindakan II Pelaksanaan tindakan II Pengumpulan data tindakan II Dilanjutkan ke siklus berikutnya Subyek penelitian adalah siswa kelas 8C SMP Negeri 4 Batu sebanyak 32 orang siswa, 16 orang siswa laki-laki dan 16 orang siswa perempuan. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret tahun pelajaran Peneltian ini menggunakan metode open ended dengan langkah-langkah sebagai berikut (1) menjelaskan materi (2) Memberikan masalah (3) mendiskusikan masalah dan (4) memberikan tes. Materi yang diteliti adalah materi volume kubus dan balok. Kegiatan pembelajaran berbasis kelompok. Penulis membentuk 8 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4 orang, dan anggota kelompok dipilih secara heterogen. Setelah terbentuk kelompok guru menjelaskan kepada siswa tentang tujuan pembelajaran yaitu menentukan volume kubus dan balok metode open ended yaitu mencari volume kubus dan balok dengan dua atau lebih cara. Kemudian guru membagikan lembar kerja kepada setiap kelompok. siswa mulai menyelesaikan masalah yang terdapat pada Lembar Kerja yang sudah diberikan pada masing masing kelompok setelah waktu diskusi habis, dilanjutkan tes pengetahuan yang dikerjakan secara individu. HASIL DAN PEMBAHASAN Perencanaan pada setiap siklus berlangsung dua kali pertemuan,masing-masing 80 mnit,dengan menggunakan pendekatan open-ended.pertemuan pertama untuk kegiatan pembelajaran,dan pertemuan ke dua untuk melanjutkan kegiatan pembelajaraan dan melakukan tes akhir siklus Siklus I Pertemuan I Kegiatan Awal Guru mengawali pembelajaran dengan mengucap salam dan berdoa yang dipimpin oleh siswa di lanjutkan memberi apersepsi dengan memberi pertanyan kepada siswa. G: berapa jumlah rusuk dalam kubus? S: jumlahnya ada 12 G: berapa jumlah rusuk pada balok? S: jumlahnya ada 12 G:Bagaimana menurutmu tentang rusuk sebuah kubus dan rusuk sebuah balok jelaskan 251

118 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur S:panjang Rusuk kubus lebih pendek dari panjang rusuk balok G: Bagaimana perbedaan bentuk sisi-sisi dari kubus dan balok S:Sisi kubus berbentuk persegi dan sisi balok berbentuk persegin panjang Dari Tanya jawab diatas dapat diketahui bahwa siswa mulai mengingat kembali bahan pelajaran sebelumnya. Kemudian guru memberikan manfaat untuk belajar bahan berikutnya kepada siswa terkait dengan volume kubus dan balok. Selanjutnya guru menuliskan topik yang akan di pelajari hari ini di papan tulis dan menjelaskan tujuan pembelajaran pada hari ini. Sebelum masuk pada kegiatan inti guru membagi 8 kelompok dengan jumlah tiap kelompoknya terdiri dari 4 siswa. Kegiatan inti *. Pembelajaran di lanjutkan dengan kegiatan inti, yakni penyajian materi yang di lakukan dengan penggunaan media Kubus dan Balok secara berkelompok dan tanya jawab kepada siswa untuk menemukan konsep menentukan volume Kubus dan Balok *. Siswa diminta mengamati dan membaca buku paket halaman 128 s/d 130,gambar tersebut menunjukkan sebuah kubus satuan dengan panjang rusuk satuan panjang melalui kegiatan tersebut Siswa berdiskusi dan saling menanya dalam kelompok S 1 :Berapakah kubus satuan yang dibutuhkan untuk mengisi balok sehingga penuh? S 2 :Berapa banyak kubus satuan yang memenuhi balok sehingga penuh merupakan volume balok? Secara berkelompok siswa menuliskan kedalam lembaran kertas dan guru berkeliling untuk membimbing kelompok yang masih mengalami kesulitan * Setelah semua kelompok menyelesaikan hasil diskusinya, kemudian hasilnya ditukar dengan kelompok lain untuk dikomentari 252

119 ISBN: * secara individu siswa mengerjakan soal pada buku paket latihan 4.4 halaman 134 no 4 dalam waktu 15 menit.kemudian langsung dikoreksi bersama dan hasilnya dibacakan. 2 siswa tidak menjawab 3 siswa menjawab kurang tepat 15 siswa menjawab lebih dari 5 cara 12 siswa menjawab lebih dari 7 cara * Penutup: Guru memimpin diskusi kelas untuk membuat kesimpulan dan guru memberi tugas untuk dikerjakan di rumah,guru menyampaikan kepada siswa untuk pertemuan berikutnya ulangan tentang volume Refleksi Setelah melaksanakan pembelajaran siklus 1 pertemuan 1 dilakukan kegiatan refleksi dengan observer yang membantu melakukan pengamatan pada saat pelaksanaan pembelajaran. Pada pelaksanaan pembelajaran siklus 1 terdapat beberapa temuan sebagai berikut no Temuan-temuan pada siklus 1 1 Iteraksi siswa dalam proses belajar kurang muncul dan keaktifan siswa belum merata 2 Kurang mampu mengelola waktu 3 Ada beberapa siswa belum bias menghitung siklus 1 pertemuan ke 2 Kegiatan Awal(5 ) Guru mengawali pembelajaran dengan mengucap salam dan berdoa yang dipimpin oleh siswa di lanjutkan memberi apersepsi dengan memberi pertanyan kepada siswa. G:bagaimana dengan pelajaran tentang volume kubus dan balok ada yang masih bingung dalam menentukan ukurannya? S. Tidak! buuu G: Ada yang ditanyakan mengenai pelajaran minggu lalu S: Ada bu bagaimana caranya menghitung volume balok jika salhsatu ukuran nya tidak diketahui G:memberikan pertanyaan tersebut kepada kelompok lain jika ada yang mengerti S.: FASYA SYAFARAH (namanya) mengangkat tangan menjawab Kegiatan berikutnya dilakukan tes untuk memperoleh nilai siswa menyelesaikan soal open ended secara 253

120 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur individu. 1. diketahui MBalok ABCD.EFGH dengan luas bidang ABCD= 150 cm 2,luas bidangabfe=80 cm 2,dan luas BCGF =120 cm 2 hitunglah: a.panjang AB,BC,dan CG b.volume balok tersebut penilaian pengetahuan dilakukan melalui tes uraian. Penilaian dilakukan menggunakan rubrik sesuai dengan yang tercantum dalam RPP dan hasil penilaian sebagai berikut Hasil tes siklus 1 NO NILAI FREKUENSI NX FREKWENSI =25% =19% =16% =19% =16% =6.3% ,12 PENUTUP Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended diharapkan dapat meningkat partisipasi aktif dari siswa,karena mereka memiliki kesempatan menyelesaikan permasalahan sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.dengan open-ended kreativitas siswa lebih terlatih,karena mereka bisa menyelesaiakan permasalahan dengan lebih dari satu cara. Kesimpulan Dari penelitian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Penggunaan metode open-ended dapat meningkatkat kreativitas siswa dalam menyelesaikan soal volume bangun ruang sisidatar pada siswa kelas VIII C SMP Negeri 4 Batu tahun pelajaran Tindakan menggunakan metode open-ended dapat meningkatkan hasil belajar dari segi kognitif. Hal ini dapat dilihat dari hasil rata rata ulangan formatif tiap-tiap siklus. Rata rata hasil tes formatif siklus I sebesar 65,65 dan rata rata hasil tes formatif siklus II sebesar 80,33 jadi ada kenaikan 14,68 3. Ditinjau dari ketuntasan klasikal belajar tuntas tercapai sehingga pembelajaran bisa dilakukan pada materi selanjutnya. 4. Penguasaan siswa terhadap kompetensi menentukan volume kubus dan balok dapat dilihat dari banyaknya siswa yang melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal semakin berkurang pada setiap siklus. Saran Dengan metode pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru (ceramah, tanya jawab, diskusi dan lain-lainnya) mungkin alokasi waktu cukup 5 jam untuk menyelesaikan kompetensi tersebut, Tetapi jika kita ingin memberi pengalaman yang menantang bagi siswa dalam belajar matematika, menunjukkan kepada siswa bahwa pelajaran Matematika sangat menarik, serta memupuk rasa tanggung jawab siswa lewat pembelajaran Matematika maka cara/ metode ini perlu dicoba. Dengan pendekatan open-ended guru harus lebih benyak mengetahui sampai sejauh mana konsep- konsep dasar yang harus terlebih dahulu dikuasai siswa. 254

121 ISBN: DAFTAR RUJUKAN Dewi, R.A.K. & Chandra,T.D Deskripsi Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Kelas 8.1 SMPN 21 Malang. Prosiding Seminar Nasional TEQIP. 31 Oktober 2015 Subanji Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang : UM PRESS Kwon,O.N.,Parj,J.S., Park,J.H. (2006).Clivating Divergent Thingking in Mathematics Through An Open-Ended Approach. Asia Pasific Education Review,2006,Vol.7,No.1, Al-Absi, M. (2012). The Effect Of Open-Ended Tasks As An Assesment Tool on Fourth Grader s Mathematics Achievement, And Assesing Student s Perspective About It. Jourdan Journal Of Educational Sciences Vol. 9, No. 3, Kwon, O.N., Park, J.S., and Park, J.H. (2006). Cltivating Divergent Thingking in Mathematics Through An Open-Ended Approach. Asia Pacific Education Review, 2006, Vol.7, No. 1, Viseau,F and Oliveira, I.B.(2012).Open- ended Tasks In The Promotion of Classroom Communication in Mathematics. International ajournal of Elementary Education, 2012, 4(2),

122 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur PENGGUNAAN MEDIA KARTU KOIN POSITIF NEGATIF UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR HITUNG BILANGAN BULAT PADA SISWA KELAS IV SD PLUS AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH KECAMATAN BATU KOTA BATU Eny Isnaini Guru SD Plus Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kecamatan Batu Kota Batu Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa pada pengurangan bilangan bulat di kelas IV SD Plus Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kecamatan Batu Kota Batu Tahun 2015/2016. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menggunakan 2 siklus. Tiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu: perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, refleksi. Subyek penelitian adalah siswa kelas IV SD Plus Al-Irsyad al-islamiyyah Kecamatan Batu Kota Batu sejumlah 25 siswa. Tenik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi,dokumentasi,dan tes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan dengan jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas KKM pada siklus I ada 13 siswa (52%) dan siklus II ada 20 siswa (80%) jadi terdapat peningkatan 28%. Kata Kunci : Kartu Koin Positif Negatif, Hasil Belajar Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan secara menyeluruh meliputi aspek pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan nilai nilai Pancasila. Pengembangan aspek-aspek tersebut dilakukan untuk meningkatkan dan mengembangkan kecakapan hidup (life skills) yang diwujudkan melalui seperangkat kompetensi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat bertahan hidup serta dapat menyesuaikan diri dan berhasil dalam kehidupan di masa yang akan datang. Untuk itu sekolah diharapkan dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut. Salah satu pelajaran yang penting di sekolah dasar adalah matematika. Pelajaran ini nantinya sangat diperlukan dalam kehidupan sehari- hari. Oleh karena itu sangat memerlukan kejelian dan kesungguhan agar siswa benar-benar menguasai pelajaran tersebut.karena secara umum matematika merupakan pelajaran yang dianggap sulit dan dibenci oleh siswa, ini terbukti dari hasil pembelajaran matematika tidak sesuai dengan yang diharapkan.hal ini penyebabkanya bukan kesalahan siswa saja melainkan juga adanya kesalahan guru sebagai pendidik, karena pada saat pembelajaran guru hanya berpedoman pada buku pegangan,penyampaian konsep sarat dengan hafalan hafalan saja dan pembelajaran masih monoton, kurang memanfaatkan media. Salah satu materi matematika adalah bilangan bulat.secara ideal dalam melakukan pembelajaran bilangan bulat seorang guru hendaknya menggunakan media konkret yang sesuai dan mudah dipahami oleh siswa. Tahap operasi konkret dinyatakan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang langsung dialami. Anak masih menerapkan logika berpikir logika berpikir pada barang-barang yangkonkret, belum bersifat abstrak maupun hipotesis (Jean Piaget). Seperti yang dialami Siswa SD Plus Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kota Wisata Batu dari hasil tes formatif pelajaran matematika kelas IV semester II Tahun Pelajaran 2015/2016 pada KD pengerjaan hitung bilangan bulathasil yang diperoleh belum sesuai dengan yang diharapkan, karena dari 25 siswa hanya 8(32%) siswa yang nilainya di atas KKM, sedang 17 (68 % ) siswa nilainya masih di bawah KKM.Kondisi ideal yang diharapkan oleh lembaga adalah minimal 75 % siswa menguasai minimal 65% kompetensi dasar.berdasarkan hal ini idealnya minimal 20 siswa kelas IV SD Plus Al-Irsyad As- 256

123 ISBN: Islamiyyah Kecamatan Batu Kota Batu memperoleh hasil tes formatif sama atau di atas KKM 65 untuk Kompetensi dasar hitung bilangan bulat. Rendahnya pemahaman konsep matematika dikelas IV akan mempengaruhi pemahaman konsep matematika dikelas selanjutnya, mengingat konsep hitung bilangan bulat dikelas IV merupakan konsep dasar untuk mempelajari konsep bilangan bulat dikelas berikutnya.ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar konsep bilangan bulat pada siswa kelas IV SD Plus Al-Irsyad Al-Islamiyyah, baik dari sisi siswa, guru, dan media pembelajaran.dari sisi guru, guru masih monoton dan kurang variatif, dari sisi siswa, siswa belum terlibat aktif, sedang dari media,guru belum menggunakan media yang tepat dalam pembelajaran. Oleh karena itu, untuk membantu siswa memahami operasi hitung bilangan bulat, materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif siswa yang meliputi tahap enaktif, ikonik, dan simbolik (Wiranataputra, 2007).Tahap penyajian enaktif yaitu penyajian yang dilakukan melalui tindakan, memiliki karakter manipulasi yang tinggi (Wiranataputra, 2007). Pada tahap ini, siswa mempelajari matematika dengan menggunakan sesuatu yang konkret atau nyata yang berarti dapat diamati dengan panca indera (Shadiq dan Mustajab, 2011). Tahap penyajian ikonik yaitu penyajian yang dilakukan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang menggambarkan suatu konsep tetapi tidak mendefinisikannya (Wiranataputra, 2007).Pada tahap simbolik, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Bistari, 2012).Teori tersebut lebih dikenal dengan teori Bruner. Bruner (dalam Bistari, 2012), berpendapat bahwa dalam proses belajar,anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda atau alat peraga. Jadi, untuk mendukung tahap pembelajaran Bruner, maka digunakanlah suatu media atau alat peraga yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep pengurangan bilangan bulat.salah satunya adalah media kartu koin positif negatif. Media kartu koin positif negatif yakni media berbentuk kertas karton yang berbentuk koin yang diberi warna merah, putih sebagai tanda positif dan tanda negatif. Penggunaan media kartu koin positif negatif bertujuan mempermudah pemahaman siswa tentang penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Penjumlahan artinya menggabungkan sejumlah kartu koin yang bertanda sama atau berbeda tanda sehingga diperoleh pasangan kartu koin bertanda positif dan koin bertanda negatif. Kemudian, menuliskan sisa kartu koin kartu koin yang tidak mendapatkan pasangan sebagai hasil akhir. Operasi pengurangan bilangan cacah merupakan kebalikan dari operasi penjumlahan. Bilangan cacah mendefinisikan pengurangan dengan menggunakan penjumlahan. Jika bilangan cacah a dikurangi dengan bilangan cacah b menghasilkan bilangan cacah c (dilambangkan dengan a b = c), maka operasi penjumlahan yang terkait adalah b + c = a. Bilangan bulat mendefinisikan pengurangan dengan cara yang sama dengan bilangan cacah yaitu dengan penjumlahan. Definisi pengurangan bilangan bulat sebagai berikut: jika a dan b bilangan bulat, yang disebut a -b adalah sebuah bilangan bilangan bulat x yang bersifat b + x = a. Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa a b = x jika dan hanya jika a = b + x. Sifat pengurangan bilangan bulat jika a dan b bilangan bulat, maka a b = a + (b). Contoh:1. (-2) 3 = -5 sebab 3 + (-5) = -2, 2. (-6) (-2) = -4 sebab (-2) + (-4) = -6 Media kartu koin termasuk ke dalam jenis media grafis karena mediakartu koin memuat simbol positif dan negatif. Media kartu koin positif negatif berfungsi untuk membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang belum jelas sehingga pencapaian hasil belajar yang diharapkan dapat tercapai melalui proses pembelajaran. Media kartu koin positif negatif disajikan seperti gambar di bawah ini. Kartu Koin positif kartu koin negatif Gambar : 1: Simbul bilangan positif dan negatif 257

124 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Berdasarkan teori belajar matematika tersebut, maka dalam pembelajaran perlu menggunakan media pembelajaran benda konkrit, seperti koin, mobil-mobilan, kelereng, dan lain lain.oleh karena itu dalam Penelitian Tindakan Kelas ini penulis mengambil judul Penggunaan Media Kartu Koin Positif Negatif Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Hitung BilanganBulat Pada Siswa Kelas IV SD Plus Al-Irsyad Al-IslamiyyahKecamatan Batu Kota Batu Tahun pelajaran 2015/2016. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif untuk mendapatkan gambaran data yang berhubungan dengan permasalahan rancangan pembelajaran guru (RPP), permasalahan yang berhubungan dengan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika materi pengurangan bilangan bulat di kelas IV SD Plus Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kecamatan Batu,Kota Batu. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ) dengan subyek 25 siswa kelas IV SD Plus Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kecamatan Batu Kota Batu. Penelitian Tindakan kelas(ptk) dilakukan dengan menggunakan 2 siklus dengan masing masing siklus dilakukan 2 kali tatap muka.lokasi penelitian dilakukan di SD Plus Al-Irsyad al- Islamiyyah Kecamatan Batu Kota Batu. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I Perencanaan Tahap ini berupa menyusun rancangan tindakan yang menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan tersebut akan dilakukan. Adapun langkahlangkah yang peneliti lakukan pada tahap perencanaan sebagai berikut:a). Menganalisis kurikulum untuk menetapkan SK dan KD, b) Menyusun Indikator dan Kompetensi Dasar, c) Menyusun silabus pembelajaran, d) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran(RPP), e) Menyiapkan sumber belajar dan meia pembelajaran yangakan digunakan,f) Menyusun alat evaluasi,baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil,g) Menyusun lembar observasi yang akan digunakan untuk mengobservasi kegiatan guru, h) Menyusun lembar observasi yang akan digunakan untuk mengobservasi kegiatan siswa dalam belajar bersama. Pelaksanaan Dalam tahap ini, guru kelas melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan media kartu koin positif negatif sesuai rencana yang telah disusun.siklus I dilaksanakan selama 2 kali pertemuan. Pada pertemuan pertama materi yang yang diajarkan adalah Pengurangan bilangan bulat dengan indicator mengurangkan bilangan bulat positif dengan positif, mengurangkan bilangan bulat positif dengan negatif, Kegiatan diawali dengan berdoa bersama, kemudian dilanjutkan dengan mengabsen siswa.sebagai kegiatan awal, guru melakukan apersepsi dan menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.pada kegiatan inti, guru membentuk siswa menjadi 4 kelompok masing masing kelompok terdiri dari 6 siswa dan ada 1 kelompok berjumlah 7 siswa, menjelaskan penggunaan kartu koin positif negatif dalam pengurangan bilangan bulat, 5 - ( - 4 ) = n, guru mengambil 5 kartu koin merah, karena diambil 4 dan belum ada kartu koin putih,maka diambil 4 pasang kartu koin putih dan merah sehingga terdapat 9 kartu koin merah dan 4 kartu koin putih, kemudian baru bisa diambil 4 kartu koin putih,yang tersisa tinggal 9 kartu koin merah, maka hasil dari 5 - (-4) = 9, guru membagi kartu koin positif negatif kepada kelompok untuk memperagakan proses pengurangan bilangan bulat, membagikan LKS, dan memantau siswa mengerjakan LKS.Pada kegiatan akhir, guru membimbing siswa membuat simpulan, memberikan soal evaluasi, menilai, dan memberikan tindak lanjut. Pada pertemuan kedua, materi yang yang diajarkan adalah Pengurangan bilangan bulat dengan indicator Pengurangan bilangan bulat negatif dengan negatif, pengurangan bilangan negatif 258

125 ISBN: dengan positif. Kegiatan diawali dengan berdoa bersama, kemudian dilanjutkan dengan mengabsen siswa.sebagai kegiatan awal, guru melakukan apersepsi dan menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.pada kegiatan inti, guru menjelaskan dan mendemontrasikan penggunaan kartu koin positip negatip dalam pengurangan bilangan bulat,membagi kartu koin positip negatif kepada kelompok untuk memperagakan proses pengurangan bilangan bulat,dalam pengurangan bilangan bulat jika terdapat soal =... maka siswa disuruh menyiapkan kartu koin putih sebanyak 2 karena diambil positif 3,sedangkan kartu koin merah belum ada maka perlu disiapkan 3 pasangan Kartu Koin positif negatif, maka terdapat 5 kartu koin putih dan 3 kartu koin merah kemudian diambil 3 kartu koin merah, maka yang tersisa 5 kartu koin putih, jadi hasil dari = - 5, pada saat itu siswa bertanya mengapa diambilkan 3 pasangan kartu koin positif dan negatif, guru menjelaskan bahwa pada pertemuan awal sudah pernah dijelaskan bahwa pasangan bilangan positif negatif adalah nol, sehingga ketika maka untuk menyediakan kartu putih harus disiapkan 3 pasangan kartu Seperti : = - = Dengan disiapkan 3 pasangan kartu baru bisa diambil 3 kartu koin merah,sehingga yang tersisa adalah 5 kartu koin putih. Guru membagikan LKS, dan memantau siswa mengerjakan LKS.Pada kegiatan akhir, guru membimbing siswa membuat simpulan, memberikan soal evaluasi, menilai, dan memberikan tindak lanjut. Pengamatan Dalam tahap ini, guru kelas secara kolaboratif dengan guru lain melaksanakan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu berupa lembar observasi dan perekaman dengan kamera photo dan daftar nilai. Hasil Observasi:1) Kegiatan Siswa: Siswa aktif memperhatikan penjelasan guru, beberapa siswa aktif menjawab pertanyaan guru, Rasa ingin tahu dan keberanian siswa cukup tinggi, Kreatifitas dan inisiatif beberapa siswa meningkat, Siswa aktif mengerjakan tugas individu maupun kelompok. 2) Kegiatan Guru: Guru sudah menyesuaikan kegiatan apersepsi dengan materi Pelajaran;Guru sudah menyampaikan kompetensi yang akan dicapai; Guru sudah menguasai materi pelajaran; Guru sudah melaksanakan pembelajaran inovatif; Guru sudah menggunakan alat peraga yang efektif dan efisien akan tetapi demonstrasi pemnggunaan koin hanya didominasi oleh guru dan beberapa anak saja;guru sudah membuat beberapa siswa aktif dalam pembelajaran;guru sudah memantau kemajuan belajar siswa;guru sudah menggunakan bahasa yang baik, benar, dan sesuai;guru sudah melakukan refleksi dan tindak lanjut. Refleksi Berdasarkan masukan dari supervisor, bahwa hasil belajar siswa belum maksimal disebabkan oleh:jumlah kartu koin positif negatif yang dibagi guru tidak sesuai dengan jumlah kelompok sehingga ada siswa yang tidak aktif karena tidak mendapat bagian kartu koin positif negatif,jumlah anggota kelompok terlalu banyak sehingga kurang merata untuk melakukan percobaan, karena baru pertama siswa mengenal kartu koin positif negatif untuk menyelesaian hitung bilangan bulat, maka pada saat menggunakan masih ada beberapa siswa yang bingung/ belum paham. Hasil Belajar Pengurangan Bilangan Bulat:Pada siklus I pertemuan 1 dan 2 ini hasil belajar hitung bilangan bulat juga meningkat. Hal ini terlihat dari hasil penilaian Matematika siswa kelas IV SD Plus Al-Irsyad Al- 259

126 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Islamiyyah yang menunjukkan ada peningkatan hasil dari 25 siswa yang mendapatkan nilai di atas KKM ada 13 siswa atau 52%, dan 12 siswa atau 48% masih dibawah KKM. Dari masalah tersebut di atas, maka pada siklus II disarankan:guru menyediakan kartu koin positif negatif sesuai dengan jumlah kelompok untuk mengatasi kekurangan pada pertemuan sebelumnya. Untuk mengatasi terlalu banyaknya anggota setiap kelompok maka yang tadinya hanya dibagi 4 kelompok di ganti menjadi 6 kelompok,untuk mengatasi adanya siswa yang belum paham menggunakan media maka dalam pembagian kelompok hendaknya diperhatikan kemampuannya sehingga siswa yang mempunyai kemampuan lebih dapat membimbing temannya.secara keseluruhan pelaksanaan tindakan siklus I dikatakan berjalan cukup baik, lancer tetapi hasil belajar juga ada peningkatan walaupun belum sesuai dengan harapan,oleh karena masih ditemukan beberapa hal yang membutuhkan perbaikan, dan peningkatan hasil,maka peneliti dan observer sepakat untuk melaksanakan tindakan siklus II. SIKLUS II Perencanaan Tindakan Pada tahap ini, disusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) siklus II. RPP siklus II dirancang mengacu pada perbaikan hasil refleksi dari siklus I.Hal yang kurang maksimal pada siklus I diperbaiki pada siklus II beserta kelengkapannya yaitu LKS.Pembelajaran pada siklus II ini dibuat dengan rencana pembelajaran yang sama pada siklus I. Tindakan dalam pembelajaran disiklus II ini direncanakan dengan memperhatikan kelemahan yang masih ada pada siklus sebelumnya. Pada siklus ke-2 peneliti menyediakan jumlah koin sesuai dengan jumlah kelompok agar semua kelompok dapat melakukan demontrasi penggunaan koin positif negatif, jumlah anggota dalam satu kelompok diperkecil dan dibagi secara heterogen kemampuannya dengan harapan siswa yang memiliki kemampuan lebih dapat membimbing temannya yang belum bisa,guru lebih banyak menyuruh siswa untuk memperagakan penggunaan koin di depan kelas agar mereka lebih terlatih dan paham. Pelaksanaan Tindakan Siklus II dilaksanakan pada hari Rabu dan Kamis, tanggal 6 dan 7 April Sebelum pelaksanaan pembelajaran dimulai, observer menempati posisi untuk melakukan pengamatan dan mempersiapkan lembar observasi kegiatan siswa dan guru, alat perekam berupa kamera, dan daftar nilai. Pada saat pembelajaran di siklus II peneliti melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disusun.hanya pada saat proses pembelajaran guru menambah jumlah koin, membagi jumlah kelompok dari 4 kelompok menjadi 6 dengan demikian anggota masing masing kelompok mempunyai kesempatan untuk melakukan demonstrasi penggunaan koin,beberapa siswa juga lebih banyak diberi kesempatan untuk maju ke depan kelas untuk mendemonstrasikan cara menggunakan koin positif negatif untuk menyelesaikan soal, sedang siswa yang kurang paham akan dijelaskan oleh temannya dalam kelompok tersebut yang memiliki kemampuan lebih, sehingga pembelajaran pada siklus II sangat aktif dan suasana kelas semakin hidup. Pengamatan Dalam tahap ini, guru kelas secara kolaboratif dengan Bu Indah siswanti untuk melaksanakan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu berupa lembar observasi dan perekaman dengan kamera photo dan daftar nilai. Hasil Observasi:1) Kegiatan Siswa: Siswa aktif memperhatikan penjelasan guru, Siswa aktif dalam mengunakan media untuk menyelesaikan soal yang diberikan guru, Rasa ingin tahu dan keberanian siswa cukup tinggi, Kreatifitas dan inisiatif siswa meningkat, Siswa aktif mengerjakan tugas individu maupun kelompok. 2) Kegiatan Guru: Guru sudah menyesuaikan kegiatan apersepsi dengan materi Pelajaran;Guru sudah menyampaikan kompetensi yang akan dicapai; Guru membagi siswa menjadi 6 260

127 ISBN: kelompok, Guru membagi koin positif negatif sesuai dengan jumlah kelompok, Guru sudah menguasai materi pelajaran; Guru sudah melaksanakan pembelajaran inovatif; Guru sudah menggunakan alat peraga yang efektif dan efisien;guru sudah membuat siswa aktif dalam pembelajaran karena dalam kemampuan siswa dalam kelompok heterogen;guru sudah memantau kemajuan belajar siswa;guru sudah menggunakan bahasa yang baik, benar, dan sesuai;guru sudah melakukan refleksi dan tindak lanjut. Refleksi Berdasarkan masukan dari supervisor, bahwa hasil belajar siswa ada peningkatan disebabkan oleh: Jumlah kartu koin positif negatif yang dibagi guru sesuai dengan jumlah kelompok sehingga semua siswa aktif karena mendapat bagian kartu koin positif negatif,jumlah anggota kelompok diperkecil sehingga semua anggota mempunyai peluang untuk melakukan percobaan mendemonstasikan penggunaan kartu koin positif negatif untuk menyelesaian hitung bilangan bulat, jika pada saat menggunakan kartu koin positif negatif masih ada siswa yang bingung, maka akan dibantu oleh temannya yang sudah paham. Hasil Belajar Pengurangan Bilangan Bulat:Pada siklus II pertemuan 1 dan 2 ini hasil belajar hitung bilangan bulat menunjukkkan adanya peningkatan yang sangat baik. Hal ini terlihat dari hasil penilaian Matematika siswa kelas IV SD Plus Al-Irsyad Al- Islamiyyah yang menunjukkan ada peningkatan hasil dari 25 siswa yang mendapatkan nilai di atas KKM ada 20 siswa atau 80 %, dan 5 siswa atau 20 % masih dibawah KKM. Setelah dievaluasi, diperoleh beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan siklus II, yaitu: 1) penambahan jumlah koin positif negatif mengakibatkan semua anggota kelompok terlihat aktif memperagakan penggunaan koin positif negatif. Bagi salah satu siswa yang tidak bisa akan dijelaskan oleh anggota kelompok karena pembagiannya sudah dibuat heterogen sehing akan terjadi tutor sebaya. Dari masalah tersebut di atas, maka pelaksanaan siklus II dikatakan sudah berhasil. Pembahasan Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan perbaikan pembelajaran pada siklus I dan siklus II dapat dinyatakan terjadi peningkatan hasil belajar matematika dengan menggunakan kartu koin positif negatif. Peningkatan hasil belajar dapat dilhat dari ketuntasan belajar dan nilai rata-rata yang diperoleh oleh siswa pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Hasil Belajar Siswa Pada Siklus I dan Siklus II Skor Siklus I Siklus II Jumlah Persen Jumlah Persen Siswa Siswa 100-0% 3 12% 90-0% 4 16% % 6 24% % 7 28% % 4 16% % 2 8% 40-0% - 0% % - 0% 20-0% - 0% 10-0% - 0% 0-0% - 0% 261

128 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Hasil analisis pada tabel di atas menunjukkan adanya hasil belajar pada siklus I ada 13 siswa atau 52 % yang mendapatkan nilai di atas KKM,sedangkan pada siklus II terdapat 20 siswa atau 80 % yang memperoleh nilai di atas KKM,peningkatan jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas KKM pada siklus I dan siklus II dalah 28%. Peningkatan ini dikarenakan adanya penggunaan media kartu koin positif negatif dalam pembelajaran. Hal ini memperkuat pendapat Bruner (dalam Bistari, 2012) bahwa dalam proses belajar, anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda atau alat peraga.demikian juga sejalan dengan penelitian Sadi yang menyatakan bahwa penggunaan media manic manic efektif dapat meningkatkan pemahaman konsep penjumlahan bilangan bulat pada siswa kelas IV SD Negeri 05 Bandarbolang Kabupaten pemalang. PENUTUP Berdasarkan penelitian tindakan yang telah dilakukan, secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan media koin positif negatif dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV Sekolah Dasar Plus Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kecamatan Batu Kota Batu Tahun Pelajaran 2015/2016. Secara Khusus,simpulan yang dapat diambil dari masalah adalah bahwa penggunaan media kartu koin positif negatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika hitung bilangan bulat kelas IV SD Plus Al-Irsyad Al-Islamiyyah kecamatan Batu Kota Batu Tahun Pelajaran 2015/2016.Pada siklus I diperoleh hasil belajar Siswa 52 % yang mendapat nilai di atas KKM. Pada siklus ke-2 diperoleh hasil belajar siswa 80 % yang mendapat nilai di atas KKM. Dari data yang diperoleh maka menunjukan adanya peningkatan hasil belajar siswa pada siklus II, dari data yang diperoleh selama pengamatan siklus II telah disepakati bahwa tidak akan dilakukan perbaikan lagi, meskipun peningkatannya belum 100% akan tetapi sudah dianggap mencapai hasil yang diharapkan.setelah melihat kesulitan-kesuliatan yang dialami pada saat penelitian, maka ada beberapa saran dari penelitian ini,sebagai berikut: (1)hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran pengurangan bilangan bulat di kelas IV SD Sekolah Dasar.(2) dalam pembelajaran pengurangan bilangan bulat sebaiknya diajarkan dengan menggunakan media kartu koin positif negatif supaya pembelajaran siswa lebih aktif, sehinga dapat meningkatkan hasil belajar.(3) dalam pembelajaran pengurangan bilangan bulat hendaknya guru lebih banyak memberian kesempatan kepada siswa untuk mendemonstrasikan penggunaan kartu koin positif negatif,agar siswa lebih aktif dan hasil belajar meningkat,(4) agar penggunaan kartu koin positif negatif ini lebih dikenal,terutama bagi guru hendaknya perlu ada penelitian lanjutan oleh pihak lain. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bistari Strategi Pembelajaran Matematika Konteporer. Pontianak: FKIP UNTAN. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan Penelitian Tindakan Kelas. Dinas Pendidikan Nasional Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Wiranata Putra,Udin dkk.,2007. Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: UT 262

129 ISBN: PENGGUNAAN KARTU WARNA UNTUK MENINGKATKAN HASIL PEMBELAJARAN PEMBAGIAN PECAHAN DESIMAL PADA SISWA KELAS V A SDN NGAGLIK 01 KOTA BATU Juliati SDN Ngaglik 01 Kota Batu acprijuliati@gmail.com Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan hasil belajar pembagian pecahan desimal pada siswa kelas VA dengan jumlah siswa 29 pada SDN Ngaglik 01 Batu menggunakan media kartu warna. Teknik yang dipakai untuk penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan 2 siklus.siklus 1 terdiri dari 2 pertemuan dan siklus 2 hanya 1 kali pertemuan.berdasarkan hasil siklus 1 siswa masih belum tuntas karena masih ada 16 siswa yang nilainya dibawa KKM dengan rata-rata kelas 65,69 dan siklus 2 ada 5 siswa dengan nilai 60,0 sedangkan 24 siswa yang lain nilainya diatas KKM rata-rata kelas 78,27 berarti 82,75 % sudah berhasil mencapai KKM. Kata kunci: kartu warna, pecahan desimal. Sekolah Dasar merupakan pendidikan dasar yang memegang peranan penting dalam dunia pendidikan,guna memberikan dasar terhadap tingkat pendidikan pada berikutnya.sehingga keberhasilan pendidikan di Sekolah Dasar merupakan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu pengelolaan dan penanganan pendidikan yang memadai demi peningkatan mutu pendidikan sangat diperlukan. Pembelajaran Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di Sekolah Dasar mempunyai peranan penting,sebab mata pelajaran ini bertujuan untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan agar berkompeten.hal ini juga dapat digunakan oleh siswa dalam mengembangkan kemampuan dan sikap rasional tentang gejala-gejala yang berkembang di masyarakat baik di masa kini maupun masa yang akan datang. Pembelajaran Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berfikir. Pembelajaran matematika disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual siswa, obyek-obyek Matematika dan lingkungan dan lingkungan sekitar siswa sebagai sumber belajar. Namun keberhasilan pembelajaran Matematika banyak dikeluhkan oleh para guru,karena berbagai macam penyebab. Keluhan tersebut biasanya disampaikan melalui pertemuan-pertemuan di gugus dan pertemuan nonformal lainnya.untuk mendapatkan hasil yang akurat maka guru perlu melakukan refleksi guna memenuhi faktor yang mempengaruhi penyebab tersebut. Penyebab kesulitan belajar Matematika pada siswa misalnya lebih seringnya guru mengajar tanpa menggunakan media atau alat peraga apapun,kurangnya penggunaan model dan teknik belajar yang belum bisa diikuti oleh siswa.kurangnya langkah yang diambil oleh guru dalam memilih media / alat peraga dan pemilihan model / teknik belajar yang variatif dan inovatif dari pembelajaran yang konvensional masih sangat dominan.guru kurang menguasai media dan model pembelajaran akan berpengaruh terhadap sikap siswa dalam pembelajaran. Padahal penguasaan model dan media sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan professional guru dan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Padahal kita ketahui bersama bahwa tahap berpikir siswa-siswa SD adalah tahap berpikir konkret dan semi konkret. Siswa SD tentu akan mengalami kebingungan jika hanya selalu diberikan pelajaran abstrak, terutama pelajaran Matematika diperlukan penanaman konsep terlebih dahulu 263

130 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur dengan menggunakan media / alat peraga yang akan membantu siswa untuk lebih mengerti tentang pelajaran yang akan mereka pelajari. Dengan penggunaan media akan memberikan pengalaman belajar yang mengesankan bagi siswa. Karena dengan penggunaan media siswa lebih bersemangat dan tidak mengalami kebosanan pada saat pelajaran berlangsung. Menurut Sadiman, dkk (2008:7) Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran,perasaan,perhatian,dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Guru dapat mengoptimalkan pembelajaran di kelas sesuai dengan isi kurikulum KTSP, menurut Slameto (2010 :2) Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Hasil belajar dapat kita lihat secara proses maupun hasil akhir. Pengalaman belajar siswa didesain dengan baik agar menghasilkan hasil belajar yang maksimal. Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran.hasil belajar juga dapat kita lihat dari hasil perolehan nilai baik dalam proses maupun tes akhir secara individu. Setiap satu KD atau lebih dari satu KD guru selalu memberikan tes guna untuk mengetahui sejauhmana kemampuan siswa dalam menyerap pembelajaran yang dilakukan selama ini. Kondisi yang sama juga terjadi di SD tempat penulis bekerja khususnya kelas VA, hasil pengamatan sebelumnya perolehan hasil pembelajaran Matematika menunjukkan indikasi adanya daya pemahaman dan prestasi siswa dalam belajar masih kurang dengan rata-rata nilai 68,0 padahal nilai KKM-nya 70,0. Berdasarkan hal tersebut diatas maka guru perlu memikirkan pemecahan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar khususnya Matematika. Sebagai salah satu treatmen untuk mengatasi problematika Matematika peneliti akan meneliti pembelajaran Matematika kelas VA SDN Ngaglik 01 tentang pembagian pecahan desimal dengan menggunakan media kartu warna. Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan hasil pembelajaran operasi pembagian pada pecahan desimal. Sebelumnya siswa mengalami kesulitan dalam menentukan hasil pembagian pecahan desimal dengan cara paragapit seperti pada pembagian bilangan bulat positif. Kalau pembagian pecahan desimal dikerjakan dengan cara paragapit maka harus melihat berapa angka yang ada di belakang koma. Misalnya : 0,2 : 0,25 =., maka bilangan pecahan desimal tersebut dapat menggunakan paragapit dengan masing-masing dikalikan dengan 100, karena kita ambil banyaknya bilangan yang ada di belakang koma.siswa selalu bingung dan hasilnya tidak benar. Hal inilah yang sulit dipahami oleh siswa, untuk itu penulis mencoba menerapkan penggunaan kertas warna merah, hijau dan kuning sebagai penyebut sepuluh, seratus dan seribu. Sebagai prasyarat siswa harus dapat menguasai perkalian berbagai macam pecahan. Dengan ini diharapkan siswa dapat dengan mudah untuk menentukan hasil pembagian pecahan desimal dengan benar dan tepat. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dipakai adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yaitu penelitian yang menggunakan tindakan tindakan tertentu yang terdiri dari siklus-siklus agar dapat memperbaiki atau meningkatkan kualitas pembelajaran. Tahapan masing-masing siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V A SDN Ngaglik 01 yang berjumlah 29 siswa yang terdiri dari 12 siswa laki-laki dan 17 siswa perempuan. 264

131 ISBN: HASIL PENELITIAN Siklus 1 Perencanaan Pada tahap perencanaan peneliti melakukan kegiatan menyusun RPP, mengembangkan media pembelajaran, menyusun lembar kerja siswa, dan menyusun pedoman observasi. Menyusun RPP antara lain dengan mengembangkan KD menjadi indicator yaitu 5.3. Mengalikan dan membagi berbagai bentuk pecahan dengan indicator melakukan operasi hitung pembagian pada bilangan pecahan desimal.menyusun scenario pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti dan penutup. Mengembangkan media pembelajaran berupa kartu warna yang terdiri dari warna merah untuk penyebut sepuluh, warna hijau untuk penyebut seratus dan warna kuning untuk penyebut seribu. Yang digunakan untuk siswa kelas V A dengan jumlah 29 siswa. Menyusun lembar kerja siswa baik yang secara individu maupun secara kelompok. Secara kelompok siswa menyelesaikan soal pembagian pecahan desimal yang terdiri dari 5 soal dan membuat soal pembagian pecahan desimal sendiri. Sedangkan secara individual dilakukan pada pertemuan kedua dengan mengerjakan soal pembagian pecahan desimal. Menyusun pedoman observasi baik untuk siswa maupun untuk guru, yang dilakukan oleh guru sebagai peneliti dan guru lain sebagai observer.lembar observasi untuk siswa meliputi tingkat keaktifan siswa, keikutsertaan dan berkerja sama dalam kelompok maupun dengan pasangannya.sedangkan untuk guru mulai dari rancangan Rencana Persiapan Pembelajaran, pelaksanaan yang diawali dari apersepsi sampai dengan penutup.untuk itu dalam tahap perencanaan ini guru dan observer harus selalu saling berkoordinasi untuk menyusun lembar observasi. Pelaksanaan Pada pertemuan ke-1,pelaksanaan diawali dengan kegiatan awal dimulai dari berdoa bersama, menyanyikan lagu wajib Padamu Negeri dan memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar lebih giat lagi serta menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dipelajari tentang pembagian pecahan desimal yaitu siswa dapat membagi pecahan desimal dengan benar dan tepat. Pada kegiatan inti, guru memberikan penjelasan tentang mengenal arti pembagian pecahan desimal.kemudian siswa memperhatikan penjelasan guru,kalau satu angka dibelakang koma berarti penyebut sepuluh, dua angka dibelakang koma menunjukkan penyebut seratus dan tiga angka dibelakang koma menunjukkan penyebut seribu. Setelah itu siswa dan guru membuat kesepakatan untuk warna merah penyebut sepuluh, warna hijau penyebut seratus dan warna kuning untuk penyebut seribu kemudian siswa memperhatikan penjelasan guru tentang penggunaan media kartu warna. Selanjutnya guru mengajak siswa untuk membuat contoh soal. Pada kegiatan berikutnya guru membagi siswa menjadi 6 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 atau 5 siswa. Kemudian guru memberikan lembar kerja kepada masing-masing kelompok. Siswa secara berkelompok mengerjakan 5 soal yang ada pada lembar kerja siswa dalam waktu 10 menit, kemudian mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas secara bergiliran, sedangkan kelompok lain menanggapi.guru memberikan apresiasi kepada kelompok yang mempresentasikan hasil pekerjaannya. Setelah presentasi selesai, selanjutnya siswa kembali ke tempat semula.hasil pekerjaan siswa secara kelompok dipajang di papan pajangan kelompok. Di kegiatan akhir guru memberikan penguatan terhadap materi yang dipelajari hari ini dan siswa memberikan refleksi pembelajaran, kemudian siswa diberi tugas untuk mengerjakan tugas / PR untuk dikerjakan di rumah. Pada pertemuan ke-2,kegiatan diawali dengan memotivasi siswa untuk mempelajari pembagian pecahan decimal dan guru menyampaikan tujuan pembelajaran hari ini. Guru mengingatkan kembali materi yang dipelajari pada pertemuan yang lalu. Guru memberi tugas kepada siswa untuk membuat soal sendiri tentang pembagian pecahan desimal kemudian dengan memberi 265

132 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur kartu warna pada penyebut yang sesuai dengan kesepakatan secara berpasangan dengan teman terdekatnya. Kemudian hasil pekerjaan siswa ditukarkan kepada pasangan yang lain untuk saling memberikan saran dan koreksinya. Hasil pekerjaan yang siswa yang telah dikoreksi dipajang di tempat pajangan. Guru melihat hasil pekerjaan siswa yang dipajang sekaligus memberikan penilaian terhadap hasil pekerjaan tersebut. Pada kegiatan akhir guru memberikan penguatan terhadap materi yang dipelajari hari ini. Pada kegiatan ini guru juga memberikan refleksi tentang kegiatan yang dilaksanakan hari ini. Pada akhir pertemuan yang kedua guru memberikan tes akhir secara individu. Sebelum kegiatan diakhiri guru juga memberi tugas yang berupa pekerjaan rumah (PR). Pengamatan Pengamatan dilakukan oleh observer yang merupakan teman sejawat peneliti, untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran selama berlangsung baik guru maupun siswa dengan panduan lembar observasi.hasil pengamatan yang diperoleh sebagai berikut: di kegiatan awal guru kurang dapat memotivasi siswa sehingga kurang timbul motivasi untuk belajar, siswa menanyakan pada guru : Untuk apa kertas warna dan kecil-kecil ini, bu?. Hal ini berarti siswa belum paham apa yang diperintahkan oleh guru. Dari hasil pengamatan oleh observer juga diperoleh informasi ada sebagian anggota kelompok yang tidak mau bekerja sama dengan anggota kelompok lainnya, ada kelompok yang aktif sekali dan bersaing dengan kelompok lainnya. Siswa masih terobsesi dengan kegiatan lainnya, belum fokus pada pembelajaran karena ada pekerjaan lain yang harus dikumpulkan hari itu juga. Siswa masih belum maksimal dalam mengerjakan soal-soal baik secara kelompok maupun individu. Refleksi Pada tahap ini guru bersama observer melakukan refleksi atas proses pembelajaran yang dilakukan untuk melihat langkah-langkah yang sudah dicapai dan melihat kekurangan langkahlangkah atau tindakan yang sudah dilakukan. Pada kegiatan refeksi ini diperoleh informasi: guru kurang memberikan motivasi atau semangat kepada siswa untuk belajar tentang pembagian pecahan desimal, solusinya berarti guru harus lebih menarik perhatian siswa dengan membawa buah atau benda yang lain yang dapat dipecah sebagai kegiatan apersepsi.masih adanya anggota kelompok yang masih belum aktif,solusinya sebaiknya anggota kelompok yang heterogen dan anggota kelompok lebih sedikit lagi sekitar 3 siswa untuk lebih mudah mengamati dan memantau siswa dalam bekerja kelompok.hasil kerja kelompok masih belum maksimal sehingga perlu adanya perhatian khusus. Dari hasil tes individu masih menunjukkan nilai rata-rata masih 65,69 padahal nilai KKM-nya 70,0.Dengan rincian sebanyak 16 siswa masih di bawah KKM, 5 siswa yang nilainya kurang 60,0. Melihat hasil refleksi tersebut maka perlu dilakukan perbaikan tindakan yang dilaksanakan pada siklus 2. Siklus 2 Perencanaan Pada tahap perencanaan peneliti melakukan kegiatan menyusun RPP, mengembangkan media pembelajaran, menyusun lembar kerja siswa, dan menyusun pedoman observasi. Menyusun RPP antara lain dengan mengembangkan KD menjadi indicator yaitu 5.3. Mengalikan dan membagi berbagai bentuk pecahan dengan indicator melakukan operasi hitung pembagian pada bilangan pecahan desimal.menyusun scenario pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti dan penutup. Mengembangkan media pembelajaran berupa kartu warna yang terdiri dari warna merah untuk penyebut sepuluh, warna hijau untuk penyebut seratus dan warna kuning untuk penyebut seribu. Yang digunakan untuk siswa kelas V A dengan jumlah 29 siswa. 266

133 ISBN: Menyusun lembar kerja siswa baik yang secara individu maupun secara kelompok. Secara kelompok siswa menyelesaikan soal pembagian pecahan desimal yang terdiri dari 10 soal pembagian pecahan desimal. Sedangkan secara individual dilakukan diakhir pembelajaran dengan mengerjakan soal pembagian pecahan desimal. Menyusun pedoman observasi baik untuk siswa maupun untuk guru, yang dilakukan oleh guru sebagai peneliti dan guru lain sebagai observer.lembar observasi untuk siswa meliputi tingkat keaktifan siswa, keikutsertaan dan berkerja sama dalam kelompok maupun dengan pasangannya.sedangkan untuk guru mulai dari rancangan Rencana Persiapan Pembelajaran, pelaksanaan yang diawali dari apersepsi sampai dengan penutup.untuk itu dalam tahap perencanaan ini guru dan observer harus selalu saling berkoordinasi untuk menyusun lembar observasi. Pelaksanaan Pelaksanaan diawali dengan kegiatan awal dimulai dari berdoa bersama, menyanyikan lagu wajib Garuda Pancasila dan memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar lebih giat lagi serta menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dipelajari tentang pembagian pecahan desimal yaitu siswa dapat membagi pecahan desimal dengan benar dan tepat.siswa diajak untuk mengiris buah apel misalnya : satu apel diiris menjadi 4 bagian yang sama, satu apel dibagi menjadi 6 bagian yang sama dan seterusnya.hal ini dilakukan agar siswa merasa termotivasi dan semangat untuk mempelajari pecahan desimal. Pada kegiatan inti, guru memberikan penjelasan tentang mengenal arti pembagian pecahan desimal.kemudian siswa memperhatikan penjelasan guru,kalau satu angka dibelakang koma berarti penyebut sepuluh, dua angka dibelakang koma menunjukkan penyebut seratus dan tiga angka dibelakang koma menunjukkan penyebut seribu. Setelah itu siswa dan guru membuat kesepakatan untuk warna merah penyebut sepuluh, warna hijau penyebut seratus dan warna kuning untuk penyebut seribu kemudian siswa memperhatikan penjelasan guru tentang penggunaan media kartu warna. Selanjutnya guru mengajak siswa untuk membuat contoh soal. Pada kegiatan berikutnya guru membagi siswa menjadi 10 kelompok yang masing-masing terdiri dari 3 siswa secara heterogen. Kemudian guru memberikan lembar kerja kepada masing-masing kelompok. Siswa secara berkelompok mengerjakan 10 soal yang ada pada lembar kerja siswa dalam waktu 15 menit,soal ada di LKS sedangkan jawaban sudah tersedia dalam bentuk kartu warna. Siswa secara kelompok memilih jawaban yang sudah tersedia. Kemudian siswa mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas secara bergiliran, sedangkan kelompok lain menanggapi.guru memberikan apresiasi kepada kelompok yang mempresentasikan hasil pekerjaannya dan sekaligus memberikan penilaian dari hasil kerja kelompok. Setelah presentasi selesai, selanjutnya siswa kembali ke tempat semula.hasil pekerjaan siswa secara kelompok dipajang di papan pajangan kelompok. Di kegiatan akhir guru memberikan penguatan terhadap materi yang dipelajari hari ini dan siswa memberikan refleksi pembelajaran, kemudian siswa diberi tes secara individu untuk mengerjakan lembar kerja individu.setelah selesai guru menutup pelajaran dan memberi tugas PR pada siswa dan diakhiri dengan salam. Pengamatan Pengamatan dilakukan oleh observer yang merupakan teman sejawat peneliti, untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran selama berlangsung baik guru maupun siswa dengan panduan lembar observasi.hasil pengamatan yang diperoleh sebagai berikut: di kegiatan awal cara memotivasi siswa sudah ada perbaikan karena guru motivasi siswa dengan menggunakan buah apel yang dipecah-pecah untuk menyatakan pecahan dalam pembagian pecahan desimal. Karena merasa sudah bisa ada sebagian siswa yang menyelesaikan pekerjaannya secara cepat-cepat. Dari hasil pengamatan oleh observer juga diperoleh informasi ada sebagian anggota kelompok yang tidak mau 267

134 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur bekerja sama dengan anggota kelompok lainnya, ada kelompok yang aktif sekali dan bersaing dengan kelompok lainnya.siswa masih ada yang belum maksimal dalam mengerjakan soal-soal baik secara kelompok maupun individu. Refleksi Pada tahap ini guru bersama observer melakukan refleksi atas proses pembelajaran yang dilakukan untuk melihat langkah-langkah yang sudah dicapai dan melihat kekurangan langkahlangkah atau tindakan yang sudah dilakukan. Pada kegiatan refeksi ini diperoleh informasi: guru sudah memberikan motivasi atau semangat kepada siswa untuk belajar tentang pembagian pecahan desimal, solusinya berarti guru harus lebih menarik perhatian siswa dengan membawa buah atau benda yang lain yang dapat dipecah sebagai kegiatan apersepsi.masih adanya anggota kelompok yang masih belum aktif,solusinya sebaiknya perlu perhatian khusus untuk memantau siswa dalam bekerja kelompok.siswa terlihat antusias dan bersemangat untuk belajar pembagian pecahan desimal karena pengembangan media kartu warna yang berbeda dengan siklus 1.Sebagian besar masingmasing kelompok saling bersaing dengan kelompok lain.hasil kerja kelompok sudah baik,sudah ada peningkatan jika dibandingkan dengan siklus 1. Dari hasil tes individu masih menunjukkan nilai ratarata masih 78,27 dengan nilai KKM-nya 70,0.Dengan rincian sebanyak 5 siswa masih di bawah KKM dengan nilai sudah mencapai 60,0, sedangkan 24 siswa sudah mencapai nilai diatas 70,00. Melihat hasil refleksi tersebut maka penelitian sudah selesai karena 82,75 % siswa sudah menguasai materi pembelajaran. Untuk itu siklus penelitian sudah selesai dan pembelajaran tentang pembagian pecahan desimal sudah tuntas. PEMBAHASAN Pada awalnya pembelajaran pembagian pecahan desimal memang mengalami kesulitan karena belum adanya media yang dipakai atau kurang tepatnya strategi pembelajaran.untuk itu media sangat diperlukan, dan dapat dilihat pada siklus 1 masih adanya siswa yang nilainya dibawa 50 dan belum mencapai ketuntasan belajar.ketidakberhasilan siklus 1 disebabkan karena guru kurang dapat memberikan motivasi pada siswa.selain itu juga jumlah anggota kelompok masih terlalu besar yaitu 4-5 siswa perkelompok.pada siklus 1 pembagian siswa belum hiterogen, ada 3 kelompok yang anggotanya kebetulan lambat dalam berpikir.kekurangan ini telah diperbaiki pada siklus 2. Perbaikan pada siklus 2 adalah guru sudah memperbaiki cara memotivasi siswa yaitu dengan cara membawakan buah apel untuk diiris menjadi beberapa bagian.dengan cara ini siswa termotivasi untuk mengikuti pelajaran tentang pembagian pecahan desimal.siswa mempunyai semangat dan keantusiasan karena langsung berhubungan dengan pembagian buah apel.perubahan lain adalah merubah jumlah anggota kelompok yaitu hanya terdiri 3 siswa dan secara heterogen.sehingga anggota kelompok semua ikut berperan aktif.juga adanya pengembangan media pembelajaran yang berupa kartu warna.soal ada di Lembar Kerja Siswa sedangkan jawaban siswa memilih di kartu yang sudah tersedia.karena kelompok kecil sehingga mudah untuk memantau antar anggota kelompok. Sehingga pada siklus 2 sudah adanya peningkatan hasil belajar siswa yang mencapai rata-rata 78,27 dengan rincian 5 siswa mendapat nilai 60,0 sedangkan 24 siswa sudah mencapai nilai diatas KKM. Dengan demikian menunjukkan prosentase 82,75 % pembelajaran tentang pembagian pecahan desimal sudah berhasil. Siklus sudah dapat dihentikan. Dengan demikian maka selain media pembelajaran yang bervariatif sesuai dengan kompetensi dasar, guru dalam membuat perencanaan yang matang,dan pelaksanaan yang efektif, juga adanya peran serta keaktifan siswa dalam pembelajaran baik secara kelompok maupun individu. Semua itu saling keterkaitan antara siswa,guru,media juga strategi yang dipakai sehingga dapat mempengaruhi hasil pembelajaran pembagian pecahan bilangan desimal. 268

135 ISBN: KESIMPULAN dan SARAN Simpulan Berdasarkan dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pembagian pecahan desimal dapat berhasil apabila ada media yang menunjang dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang terdapat pada Kompetensi Dasar. Peningkatan kemampuan siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh guru dan juga sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai oleh siswa.siswa lebih aktif, kreatif dan tertantang untuk lebih belajar lebih lanjut lagi.selain peningkatan kemampuan siswa juga peningkatan guru dalam pembelajaran Matematika dengan menggunakan media agar siswa dapat dengan mudah menyerap pelajaran, juga dapat membangkitkan semangat belajar.guru dapat melakukan refleksi kepada siswa diakhir pembelajaran sehingga dapat mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dan dapat memberi pemantapan pemahaman tentang pembagian pecahan desimal. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian disarankan hendaknya guru dapat memanfaatkan media sebagai salah satu sumber pembelajaran terutama pembelajaran Matematika di SD. Guru hendaknya mempersiapkan rancangan pembelajaran dengan sebaik mungkin dan mempersiapkan media yang akan digunakan dan sesuai dengan kompetensi yang ada. DAFTAR RUJUKAN Badan Standart Nasional Pendidikan (BNSP),2006. Standart Isi Mata Pelajaran Matematika, Jakarta: Deppennas. Sadiman,dkk 2008 : 7. Media Pembelajaran, Jakarta : Rajagrafindo Persada. Slameto,2010. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi, Jakarta: Rineka Cipta. Tim Bina Karya Guru Terampil Berhitung Matematika untuk SD Kelas V, Jakarta: Erlangga. 269

136 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur MENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI BILANGAN LONCAT DENGAN MENGGUNAKAN TABEL BILANGAN 1 SAMPAI 50 PADA KELAS I SD NEGERI SISIR 03 BATU Siti Nurul Jiroidah Sd Negeri Sisir 03 Batu gmail. Com Abstrak: Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting dan sangat mendasar untuk dipelajari mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah.namun pretasi nilai matematika masih rendah, terutama dalam membilang loncat untuk siswa kelas I banyak mengalami kesulitan dan kesalahan dalam membilang loncat.untuk permasalah tersebut maka perlu dilakukan penelitian tindakan kelas. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatakan hasil belajar siswa kelas I SD untuk pelajaran matematika terutama untuk materi membilang loncat melalui metode permainam dengan menggunakan tabel bilangan. 1 sampai 50. Penelitian ini dengan menggunakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan dengan dua siklus yang setiap siklusnya dilakukan dalam dua pertemuan, melalui tahapantahapan yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan /obsevasi dan refleksi. Subyek penelitaannya adalah siswa kelas I SD Negeri 03 Kota Batu semester II tahun ajaran 2015/2016 dengan jumlah siswa sebanyak 30 siswa hanya 11 siswa = 36,6 pada pra siklus. setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50 dengan cara bermain hasil pembelajaran sisswa mengalami peningkatan, pada siklus I siswa yang mencapai KKM ada 18 siswa = 80% dan pada siklus II siswa yang mencapai KKM ada 28 = 93,3%. Kata kunci: Membilang loncat, permainan, tabel bilangan 1 sampai 50. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mempersiapkan diri dalam kehidupannya. Pendidikan seumur hidup mulai manusia dilahirkan di dunia sampai akhir hayat. Pendidikan diawali dari pedidikan keluarga dilanjutkan pedidikan di sekolahan selain itu pendidikan dipengaruhi juga oleh masarakat sekitar, yang hasilnya nanti akan dipergunakan oleh diri pribadi, keluarga, masarakat sekitarnya, agama dan negara. Pendidikan bukan tanggung jawab pemerintah saja tapi juga menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat sekitarnya. Tetapi pendidikan tidak selalu berjalan mulus lancar melainkan banyak masalah yang timbul dan banyak kendala yang terjadi dan ditemui baik di masyarakat, sekolah dan keluarga Salah satu masalah yang timbul dalam pendidikan adalah rendahnya mutu pendidikan atau lulusan yang dihasilhan oleh lembaga pendidikan formal. Jika ini terjadi maka yang dipersalahkan adalah guru sebagai pendidik di lembaga pendidikan formal, padahal lingkungan keluarga dan kondisi lingkungan sekitar sangat menentukan tentang keberhasilan pendidikan. Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang utama dalam kurikulum pendidikan di Indonesia mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi dan merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan. oleh karena itu perhatian guru lebih tinggi terhadap mata pelajaran matematika dan senantiasa ada upaya untuk meningkatkan prestasi siswa. Salah satu upaya yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkat prestasi siswa adalah dengan memilih metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan karakter siswa. Dalam standar isi (Permendiknas 2006) dinyatakan bahwa pembelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa peserta didik mulai dari sekolah dasar.pembelajaran matematika 270

137 ISBN: diperlukan untuk membekali peserta didik dalam kemampuan berfikir logis, analisis, sistematis,kritis dan kreatif serta mempunyai kemampuan bekerja sama. Cornelius (dalam Abdurrahman, 2003: 253) mengemukakan lima alasan perlunya belajar matematika yaitu matematika: (1) Merupakan sarana berfikir yang jelas dan logis (2) Merupakan sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman (3)merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari (4)Merupakan sarana untuk mengembangkan kreatifitas dan (5)Merupakan sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya. Pada pembelajaran Matematika di kelas I SD Negeri Sisir 03 Batu dengan materi Bilangan loncat ternyata banyak siswa kelas I mendapat nilai yang kurang dari KKM yang telah ditentukan. Nilai yang diperoleh siswa kelas I dalam pembelajaran Matematika khususnya dalam pembelajaran Bilangan loncat sebagai berikut: dari 30 siswa yang memperoleh nilai diatas 70 sebanyak 11 siswa = 36,6 % dan yang memperoleh dibawah 70 sebanyak 19 siswa = 63,3 %. Dengan kondisi nilai tersebut guru sebagai peneliti merasa pembelajaran matematika khususnya Bilangan loncat kurang berhasil. Selama ini peneliti (guru) dalam menyampaikan pelajaran masih menggunakan metode tanya jawab dan ceramah saja. Guru belum menggunakan metode dan media yang sesui secara maksimal untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Soetomo (dalam Desi Rosdiana dan Siti Rodiah 2010) menyatakan bahwa seorang guru dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya karena melupakan salah satu factor dalam pembelajaran, yaitu motivasi pada peserta didik. Menurut beberapa pakar mengartikan bahwa media merupakan alat untuk memberikan perangsang bagi siswa supaya terjadi proses belajar menurut Briggs (dalam,da u tahun 2014). Menurut Miarso (dalam, Da u 2014) media adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan,perhatian dan kemampuan siswa untuk belajar. Pembelajaran terjadi ketika seseorang pembelajar memadukan pengetahuan dan ketrampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru,tetapi sejauh ini pendidikan kita didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat yang dihafalkan,kelas masih berfokus pada guru sebagi sumber utama pengetahuan.. Ceramah dan tanya jawab menjadi pilihan utama dalam dalam strategi pembelajaran. Dengan hal tersebut maka diperlukan strategi pembelajaran untuk mengaktitkan siswa.setrategi yang tidak mengharuskan siswa menghalkan fakta fakta melainkan strategi yang membuat siswa aktif dan kreatif dan nantinya menemukan sendiri fakta. Dalam upaya tersebut guru bertindak sebagai sebagai pengarah dan pembimbing siswa untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Guru harus lebih banyak berurusan dengan strategi dan alat bantu yang dibutuhkan oleh siswa dan hal hal yang ada di sekitarnya. Siswa kelas I Sekolah Dasar masih belum bisa melepaskan diri dengan dunia bermainnya. Menurut Deines (dalam, Da u 2014) dalam pembelajaran Matematika harus dengan permainan/bermain dengan menggunakan media, karena dengan permainan menggunakan media yang dipergunakan siswa sendiri ilmu yang diterima lebih menarik dan meresap pada jiwa, pikiran, atau otak siswa dari pada hanya dengan kata kata /ceramah. Berangkat dari latar belakang masalah di atas peneliti ingin meningkatkan kemampuan belajar siswa kelas I SD Negeri Sisir 03 dalam membilang loncat pada mata pelajaran Matematika dengan bantuan tabel bilangan 1 sampai 50 dan dadu, yang dilakukan dengan metode permaianan, mengingat siswa kelas I dunianya masih bermain karena permainan adalah salah satu kegiatan yang menyenang dan menggembirakan yang akan memberikan motivasi kepada siswa dan hasilnya akan memberikan konsep yang lebih kuat pada siswa. Selain itu siswa akan lebih cepat menyerap dan mengerti tentang materi yang dipelajari khususnya mengenai materi yang dibahas yaitu bilangan loncat. 271

138 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dengan tahapan tahapan sebagai berikut perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Penelitian dilaksanakan di kelas I SDN Sisir 03 Batu kota Batu yang terdiri dari 30 siswa 14 laki laki dan 16 perempuan Penelitian dilaksanakan pada tanggal 27 Pebruari samapai dengan tanggal April Data diambil dengan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pelaksanaan pembelajaran, evaluasi, analisis dan refleksi pada siklus I untuk selanjutnya pelaksanaan pembelajaran, evaluasi,analisis, intepretasi data dan refleksi pada siklus II. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I Perencanaan: Padatahap perencanaan peneliti melakukan kegiatan sebagai berikut: 1. Menentukan materi pembelajaran membilang loncat. 2. Menyusun rencana pembelajaran 3. Menentukan media yang akan digunakan dalam pembelajaran dalam hal ini menggunakan media tabel bilangan 1 sampai 50 Pelaksanaan: Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan dalam tiga kegiatan, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir. Kegiatan awal: menyanyikan lagu-lagu wajib.apersepsi yang berkaitan dengan materi dan tanya jawab mengenai bilangan loncat. Kegiatan Inti: (1). Guru mengajak siswa membilang urut bersama sama 1 sampai 50 secara klasikal kemudian menunjuk salah seorang siswa untuk hal yang sama. (2) guru menunjukkan tabel bilangan 1 sampai 50 dan menanyakan kepada siswa, guru : anak anak coba perhatikan bu guru bawa apa ini?. siswa a : membawa tulisan angka bu guru siswa b : catatan angka-angka bu. guru : ya benar ada lagi yang lain siswa c : bilangan 1 sampai 50 guru : ya benar anak anak ini ada bilangan 1 sampai 50 dan ini disebut tabel bilangan 1 sampai 50 guru : kita akan belajar mengenai bilangan loncat dengan menggunakan tabel bilangan dan apa ini anak anak.(guru menunjuk dua buah dadu). Hampir semua siswa menjawab dadu. Guru : benar anak anak ini dadu.baiklah anak-anak ibu disini akan menjelaskan pembejaran membilang loncat dengan menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50 dan dadu. Guru : coba anak-anak sekarang ibu akan perhatikan cara kalian nanti menggunakan tabel bilangan ini, coba Risa kamu maju kesini, siswa yang dimaksud maju ke depan. Guru : sekarang kamu kocok dadu ini 272

139 ISBN: kemudian Riza mengocok dadu tersebut dan mendapt jumlah 7, kemudian guru memanggil siswa lain untuk membilang loncat berdasarkan angka yang diperoleh dengan menghitung menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50.(3) guru menjelaskan pembelajaran / kegiatan yang akan dilakukan siswa. (4) Siswa dibagi dalam enam kelompok tiap kelompok terdiri dari lima siswa. (5) Setiap kelompok diberi tabel bilangan 1 sampai 50, kartu bilangan dan papan untuk menempel kartu bilangan. (6) Salah satu siswa disuruh maju ke depan untuk mengocok dadu, angka berapa yang diperoleh.(7) Siswa mengerjakan secara kelompok bilangan loncat berdasarkan angka yang diperoleh dari pengocokan dadu dengan menggunakan tabel bilangan dengan cara menempel kartu bilangan pada papan untuk menempel. (8) Salah seorang wakil dari kelompok mempresentasikan hasil yang dikerjakan secara kelompok. (9) Kembali salah satu siswa disuruh maju kedepan untuk mengocok dadu dan kemudia siswa mengerjakan secara kelompok lagi berdasarkan angka yang diperoleh dalam pengokan tadi, hal ini dilakukan diulang lagi sampai sejumlah kelompok. Dan setelah semua kelompok maju (10) Guru membagikan lembar kerja individual kepada tiap siswa dan memberikan tabel bilangan kepada setiap siswa. (11) Siswa mengerjakan tugas yang diberikan secara individual. (12) Siswa mengumpulkan lembar kerja yang telah dikerjakan C. Kegiatan akhir: Pada kegiatan akhir dengan bantuan guru siswa menyimpulkan kegiatan belajar matematika bilangan loncat dengan menggunakan tabel bilangan dan guru juga menanyakan kepada siswa apakah ada kesulitan. Apabila tidak ada kesulitan guru melanjutkan dengan memberi pekerjaan rumah. Pengamatan: Kegiatan pengamatan dilakukan oleh guru sendiri dan teman sejawat. Kegiatan pengamatan yang dilakukan adalah guru mencatat setiap aktifitas dan tingkah laku siswa selama proses pembelajaran berlangsung.temuan dalam pengamatan selama proses pembelajaran adalah sebagai berikut:(1) Guru menggunakan metode yang menyenangkan bagi anak seusia kelas I (2) Guru menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50 untuk lebih memperjelas pembelajaran bilangan loncat.(3) Dalam menjelaskan penggunaan tabel bilangan sudah jelas. (4) Dalam pemberian soal membilang loncat tdk selalu berangkat dari angka 1 tapi berfariasi ada yang dari angka 5,7,12 dan lain lain (5) Guru kadang memberikan pujian kepada siswa yang mengerjakan dengan benar, tidak selalu memberikan pujian. Sedangkan temuan dari siswa adalah sebagai berikut: (1) Siswa mayoritas mengikuti pembelajaran dengan senang dan bersemangat(2) Dalam kerja kelompok ada siswa yang tidak ikut bekerja (3) ada siswa yang asik sendiri mainan alat tulisnya(4) pada saat tugas individual ada siswa yang tidak mempergunakan tabel bilangan dan jawaban anak tersebut salah (7) sebagaian siswa menyelesaikan tugas cepat dari waktu yang ditentukan, Refleksi Pada tahap refleksi ini observer menyampaikan hasil pengamatannya yang dilakukan setelah guru (peneliti) selesai melakukan pembelajaran, disampaikan melalui diskusi dan temua yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1)Guru tidak hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab saja, tapi sudah menggunakan metode permaianan dengan menggunakan tabel bilangan yang menarik untuk siswa. (2) Siswa menunjukkan semangat dalam mengikuti proses pembelajaran. (3) Siswa sudah menunjukkan keaktifannya dalam mengikuti proses pembelajaran walaupun tidak maksimal. (4) Keberanian siswa semakin meninggkat dalam bertanya dan berpendapat. Hal-hal yang belum dicapai adalah sebagai berikut: (1)Tidak semua siswa aktif, masih ada beberapa siswa yang belum aktif.(2) Ada siswa yang belum menggunakan tabel bilangan dalam menyelesaikan soal bilangan loncat terutama saat mengerjakan tugas individual. (3) Penjelasan guru mengenai penggunaan tabel bilangan 273

140 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur belum maksimal. (4)Nilai siswa belum seluruhnya meningkat seperti yang diharapkan, yaitu semua memperoleh nilai diatas KKM. Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, peneliti melakukan beberapa perbaikan untuk meningkatkan proses pembelajaran terutama yang berkaitan dengan cara menjelaskan kepada siswa oleh guru. Kegiatan yang akan dilaksanakan untuk memperbaiki siklus I dilakukan pada tanggal 11 April Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Siklus II Perencanaan (1)Mempersiapkan perangkat kegiatan pembelajaran, seperti Rencana Pelaksanaan Pendidikan (RPP), media, dan lembar tugas/ lembar kerja siswa. (2) Menyiapkan sumber belajar. (3) Membuat ringkasan materi tentang pokok bahasan yang akan disampaikan(4) menyiapkan alat evaluasi/ soal. (5) Melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dibuat. Pelaksanaan Pelaksanaan tindakan II dilakukan dengan menyajikan tentang pokok bahasan membilang loncat dan kegiatannya sebagai berikut: A. Kegiatan Awal: (1) Menyanyikan lagu wajib. (2) Apersepsi mengingatkan mengenai pelajaran yang yang lalu atau tanya jawab pelajaran yang lalu. (3) Guru menjelaska kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa. B. Kegiatan Inti: (1) guru menjelaskan cara menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50(2) tanya jawab mengenai cara pengguaan tabel bilangan 1 sampai 50 kalau ada siswa yang belum jelas. (3) meminta salah satu siswa untuk mencoba menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50 ganti lagi siswa yang lain sampai beberapa kali. (4) membagikan tabel bilangan pada tiap siswa. (5) kemudian salah satu siswa diminta untuk mengocok dadu, kemudian secara bersama sama semua siswa mencoba membilang loncat berdasarkan angka perolehan dalam pengocokan dadu dengan menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50 yang dibimbing guru. (5) guru memberikan lembar kerja kepada siswa untuk dikejakan secara individual yang dikerjakan dengan mengguanakan tabel bilangan 1 sampai 50. (6) salah seorang siswa mempresentasikan kedepan dan yang lain mecocokan dengan jawabannya sendiri. (7) membahas bersama-sama antara guru dan siswa mengenai tugas yang sudah dikerjakan.(8) memberikan kesempatan lagi kepada siswa untuk bertanya mengenai pembelajaran yang belum dimengerti/difahami. C. Kegiatan Akhir: pada kegiatan akhir guru dan siswa membuat kesimpulan mengenai pembelajaran yng sudah dilakukan dan tanya mengenai pembelajaran yanga sudah dilakukan. a. Pengamatan Dari hasil pengamatan selama kegiatan pembelajaran silkus II diperoleh hal-hal sebagai berikut: (1)Penjelasan guru sudah jelas, guru juga memberikan contoh menggunakan tabel bilangan. (2) Alat peraga (tabel bilangan 1 sampai 50) sudah digunakan secara maksimal. (3) Siswa aktif selama mengikuti kegiatan pembelajaran dan dapat mempresetasikan mengenai hasil yang telah dikerjakan mengenai bilangan loncat. (4) Prestasi siswa telah mencapai apa yang diharapkan, yaitu diatas KKM yang sudah ditentukan. (5) Tidak semua siswa dipantau/dilihat dalam mengerjakan tugas. (6)Pada siswa yang betul dalam mengerjakan tidak selalu diberikan rewart/ pujian, rewart/pujian hanya diberika sekali- 274

141 ISBN: kali tidak tiap kali ada siswa menjawab dengan benar. (7) Masih ada siswa yang memperoleh nilai di bawah KKM yaitu 2 siswa. b. Refleksi I Pada pelaksanaan siklus II pembelajaran berlangsung dengan baik dan hal-hal hal yang sudah dicapai adalah sbagai berikut: (1)Guru sudah menerapkan metode dan alat peraga yang sesuai dengan baik. (2) Siswa sudah mengguanakan alat peraga (tabel bilangan 1 sampai 5) dengan maksimal. (3) Penjelasan guru mengenai penggunaan tabel bilangan diulang dan memberi contoh penggunaannya. (4) Guru mengajak siswa secara bersama sama mengerjakan contoh soal.untuk mencoba mengerjakan. (5)Siswa dalam mengikuti pelajaran begitu aktif dan mandiri. (6) Guru memberikan penguatan kepada siswa yang telah menerjakan soal dengan benar untuk memotivasi siswa yang lainnya. (7)Prestasi belajar siswa menunjukkan adanya peningkatan mulai dari pra siklus, siklus I sampai dengan siklus II. (8)Peningkatan prestasi belajar siswa bisa dilihat sebagai berikut: Tabel: Pencapain KKM nilai matematika Bilangan loncat No Kegiatan Capaian KKM Prosentase Rata-rata nilai kelas 1 Pra Siklus 11 siswa 36,6 % 57,60 2 Siklus I 18 siswa 80 % 78,87 3 Siklus II 28 siswa 93,20% 93,20 PEMBAHASAN Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti sekaligus guru melakukan observasi awal (pengamatan awal) tehadap sikap siswa dalam pembelajaran dan hasil belajar siswa dalam membilang loncat yang dijadikan sebagai dasar penelitian. Pada pra siklus siswa dalam mengikuti pembelajaran tidak aktif mereka hanya mendengarkan saja dan nilai siswa pada pembelajaran pra siklus jauh dari ketuntasan rata rata kelas 57,60, dari 30 siswa yang tuntas dalam belajar membilang loncat hanya ada 11 siswa = 36,6 % yang berarti siswa yang belum tuntas 19 siswa = 64.4% sedangkan syarat yang ditentukan adalah 80 % siswa harus tuntas Pada proses pembelajaran siklus I pada pembelajaran membilang loncat dengan menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50 yang dilakukan dengan bermain siswa sudah mulai terlihat aktif tapi belum maksimal dan ketuntasan siswa sudah mengalami peningkatan walaupun hanya sedikit dan siswa yang mencapai KKM yang telah ditentukan meningkat yaitu dari 30 siswa ada 18 siswa = 60% yang belum tuntas sebanyak 12 siswa= 40% walaupun nilai rata-rata kelas sudah mencapai KKM yaitu tapi siswa yang sudah mencapai KKM belum 80% hal tersebut karena masih ada beberapa siswa yang tidak memakai tabel bilangan dalam menyelesaikan soal yang dikerjakan jadi penggunaan tabel bilangan belum maksimal digunakan oleh siswa. Untuk siswa yang menjawab dengan benar tidak selalu diberi pujian dan guru juga dalam memotifasi siswa yang tidak aktif masih kurang. Dengan perolehan tersebut maka guru yang sekaligus peneliti memutuskan untuk melakukan tidakan lebih lanjut ke siklus II. Berdasarkan hasil pengamatan nilai siswa yang dilakukan oleh guru yang sekaligus peneliti terhadap siswa dalam mengikuti pembelajaran pada siklus II nilai yang diperoleh oleh siswa adalah sebagai berikut: dari 30 siswa yang tuntas dalam pembelajaran membilang loncat sebanyak 28 siswa = 93.3% dengan rata-rata nilai kelas = 93,20 masih ada 2 siswa yang belum tuntas dalam pembelajaran membilang loncat, berdasarkan hal tersebut peneliti yang sekaligus guru memutuskan hanya sampai pada siklus II dan tidak melanjutkan pada siklus berikutnya. 275

142 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Untuk penilaian guru dalam pembelajaran membilang loncat yang diobservasi oleh teman sejawat sebagai observer, guru sudah baik dalam menjelasan pada siswa dan memberikan contoh berulangulang dalam penggunaan tabel bilangan pada pembelajaran membilang loncat. Guru sudah menggunakan metode permainan dalam pembelajaran membilang loncat hal ini memotivasi siswa untuk belajar lebih semangat guru juga sudah sering bahkan selalu memberi pujian atau reward pada siswa yang menjawab dengan benar hal tersebut memberikan semangat kepada siswa mengerjakan tugas sebaik baiknya dan menggunakan tabel bilangan dengan benar. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan paparan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika materi membilang loncat dengan menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50 yang dilaksanakan dengan permainan telah berhasil sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50 yang dilakukan dengan cara bermain yang menyenangkan mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam membilang loncat. Peningkatan ini juga terjadi pada guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika membilang loncat dengan menggunakan tabel bilangan 1 sampai 50. Peningkatan tersebut meliputi membangkitkan keaktifan dan semangat siswa dalam mengikuti pelajaran matematika khususnya membilang loncat, memberikan motivasi dan memberikan respon yang positif kepada siswa. Berdasarkan simpulan hasil penelitian, diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternative strategi pembelajaran membilang loncatdi kelas I Sekolah Dasar.Dalam pembelajaran matematika membilang loncat menggunakan metode yang menyenangkan dan menggunakan media.selain itu guru perlu mempersiapkan rancangan pembelajaran dan berbagai media yang digunakan dalam pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Da u Siti Aisah, 2014, Upaya Meningkat hasil Belajar Matemateka melalui membangun diding pecahan pada materi pemahaman konsep penjumlahan pecahan. Prosiding Seminar Nasional Exchanga of Experiences TEQIP. Mulyadi, Indra. 2014, Penggunaan lembar Kegiatan Siswa untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bilangan Bulat. J TEQIP, Tahun V nomor 1 hal BSNP Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Formal. Jakarta: Badan Standart Nasional Pendidikan. Rusmita, Desi & Rodiah, Siti Penggunaan LKS pada Pembelajaran Matematika Kelas V. J TEQIP Tahun 1 Nomor 1 Nopember (halaman 90 96). 276

143 ISBN: MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGIPROBLEM POSING SISWA KELAS VI SDN SUMBEREJO 03 BATU Sukinem SDN Sumberejo 03, Jln. Metro no. 22 Batu sukinem68@gmail.com Abstrak: Artikel ini mengungkapkan upaya yang dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita pada siswa kelas VI SDN Sumberejo 03 Batu. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita dengan menggunakan strategi problem posing siswa kelas VI SDN Sumberejo 03 Batu.Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, dengan hasilpada siklus I mencapai ketuntasan belajar 8 siswa dari 27 siswa, dan pada siklus II mencapai ketuntasan belajar 25 siswa dari 27 siswa.hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan strategi problem posing dalam pembelajaran terbukti signifikan mampu meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa kelas VI SDN Sumberejo 03 Batu. Kata Kunci: Soal Cerita, Strategi Problem Posing. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa di semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Tujuan mata pelajaran matematika diberikan di sekolah dasar diantaranya adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (Depdiknas, 2004:2).Tujuan tersebut dijabarkan dalam bentuk standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik. Oleh karena itulah peserta didik harus dapat mencapai ketuntasan dalam mempelajari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditentukan tersebut. Pada kenyataannya,prestasi belajar mata pelajaran matematika di kelas VI SDN Sumberejo 03 Batu, terutama tentang kemampuan menyelesaikan soal cerita, saat ini masih jauh dari kriteria ketuntasan minimal yang telah ditentukan yaitu 75. Pencapaian ketuntasan belajar matematika mereka tentang soal cerita hanya 36 % dari 27 siswa yang tuntas. Berdasarkan fakta ini, penulis melakukan diskusi dengan teman sejawat tentang kendala yang sering dihadapi selama proses pembelajaran berlangsung. Hampir semua teman berkomentar betapa sulit siswanya dalam setiap menyelesaikan soal cerita. Jika kenyataan ini dibiarkan, maka siswa akan semakin sulit untuk memperbaiki prestasi belajarnya bahkan mungkin akan menjadikan siswa semakin tidak suka pada matematika. Padahal dalam kehidupannya sehari-hari matematika sangat berguna. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh penulis dengan teman sejawat, ditemukan adanya beberapa kesulitan yang dialami siswa, diantaranya : kesulitan siswa dalam memahami kalimatkalimat dalam soal cerita, rendahnya kemampuan siswa dalam mengubah kalimat dalam soal cerita menjadi kalimat matematika, sulitnya menemukan strategi- strategi penyelesaian suatu permasalahan dalam soal cerita, menentukan kesimpulan, dan kurang adanya kemauan untuk mengembalikan ke dalam soal semula. Permasalahan tersebut muncul diduga sebagai akibat dari : (1) Kesalahan dalam teknik membaca soal cerita, biasanya siswa membaca soal cerita mulai dari awal hingga akhir, tanpa ada jeda berhenti untuk mengontrol diri apakah sudah paham maksud soal atau belum, (2) Kurang jelinya siswa mencari kata kunci dari soal cerita tersebut, sehingga sulit untuk menentukan solusi soal cerita tersebut, (3) Guru selama ini dalam mengajarkan pemecahan soal cerita tidak melatihkan secara khusus bagaimana memahami informasi yang bisa diperoleh dari soal cerita. Guru 277

144 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur mengajarkan dengan memberi contoh soal dan menyelesaikannya secara langsung, serta tidak memberi kesempatan siswa menunjukkan ide atau representasinya sendiri, (4) Pola pengajaran selama ini masih dengan tahapan memberikan informasi tentang materi (termasuk memotivasi secara informatif), memberikan contoh-contoh dan berikutnya latihan-latihan, tetapi jarang menggunakan soal cerita, dan (5) Dalam merencanakan penyelesaian masalah tidak diajarkan strategi-strategi yang bervariasi atau yang mendorong ketrampilan berpikir siswa untuk menemukan jawaban masalah. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi di atas, dapat dilaksanakan perbaikan dari berbagai segi, misalnya dari segi materi, proses pembelajaran, perbaikan dan dukungan sarana prasarana, peningkatan kemampuan guru dalam mengajar melalui penataran atau pelatihan, danpengurangan atau pembagian materi menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana (penyederhanaan muatan materi dalam kurikulum) atau peningkatan mutu input (siswa) di sekolah. Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti lebih menekankan pada proses pembelajaran, karena proses tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab profesional guru sehari-hari dan akan berdampak pada tugas-tugas di kelas berikutnya. Bila mengacu pada identifikasi penyebab kesulitan tersebut, maka dalam proses pembelajaran diperlukan cara yang mendorong siswa untuk memahami masalah, meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam menyusun rencana penyelesaian dan melibatkan siswa secara aktif dalam menemukan sendiri penyelesaian masalah, mendorong pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan guru hanya sebagai fasilitator. Model pembelajaran yang dipilih oleh peneliti untuk mengatasi masalah tersebut adalah model pembelajaran problem posing. Hal tersebut dipilih karena model ini dianggap dapat mendorong dan meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, yang mempunyai beberapa padanan dalam bahasa Indonesia. Suryanto (1998:1) dan As ari (2000:4) memadankan istilah problem posing dengan pembentukan soal. Sedangkan Sutiarso (1999:16) menggunakan istilah membuat soal, Siswono (1999:7) menggunakan istilah pengajuan soal, dan Suharta (2000:4) menggunakan istilah pengkonstruksian masalah. Problem posing memiliki beberapa pengertian. Pertama, problem posing ialah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit. Kedua, problem posing ialah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (Silver & Cai, 1996:294). Ketiga, problem posing ialah perumusan soal dari informasi atau situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah penyelesaian suatu soal (Silver & Cai, 1996:523). Menurut Brown dan Walter (1993:15) informasi atau situasi problem posing dapat berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga, soal, atau selesaian dari suatu soal. Selanjutnya Suryanto (1998:3) menyatakan bahwa soal dapat dibentuk melalui soal-soal yang ada dalam buku. Stoyanova (1996) mengklasifikasikan informasi atau situasi problem posing menjadi situasi problem posing yang bebas, semiterstuktur, dan terstruktur. Pada situasi problem posing yang bebas, siswa tidak diberikan suatu informasi yang harus ia patuhi, tetapi siswa diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan dalam pembentukan soal. Sedangkan dalam situasi problem posing yang semi terstruktur, siswa diberi situasi atau informasi yang terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mencari atau menyelidiki situasi atau informasi tersebut dengan cara menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, siswa harus mengaitkan informasi itu dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika yang diketahuinya untuk membentuk soal. Pada situasi problem posing yang terstuktur, informasi atau situasinya berupa soal atau selesaian dari suatu soal (Yuhasriati, 2002:12). Pada penelitian ini, problem posing yang digunakan adalah perumusan soal yang sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar menjadi lebih sederhana dan 278

145 ISBN: dapat dipahami dalam rangka menyelesaikan soal cerita tentang debit yang berkaitan dengan masalah sehari-hari. Penelitian ini menggunakan informasi problem posing yang terstruktur, yaitu informasi berupa soal yang perlu diselesaikan oleh siswa. Berdasarkan soal cerita yang diberikan, siswa menyusun informasi dan kemudian membuat soal berdasarkan informasi yang telah disusun. Selanjutnya, soal-soal tersebut diselesaikan dalam rangka mencari selesaian sebenarnya dari pertanyaan soal cerita yang diberikan. Jika memperhatikan cara pembelajaran yang diharapkan itu, maka peneliti menduga untuk mengatasinya dengan menggunakan pendekatan pembelajaran pengajuan masalah (Problem Posing). Pembelajaran pengajuan masalah ini pada intinya meminta siswa untuk mengajukan atau membuat masalah (soal) baru sebelum, selama, atau sesudah menyelesaikan masalah awal yang diberikan. Untuk menjawab itu, maka penulis melakukan penelitian dengan judul Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita dengan Menggunakan StrategiProblem Posing Siswa Kelas VI SDN Sumberejo 03 Batu. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di SDN Sumberejo 03 Kecamatan Batu Kota Batu, dengan subjek penelitian adalah siswa kelas VI semester I tahun pelajaran 2015/2016 dengan jumlah siswa sebanyak 27orang.Jenis penelitian yang akan dilakukan merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian tindakan termasuk dalam rumpun penelitian kualitatif-interaktif (Akbar, 2009:102). Penelitian tindakan kelas bertujuan memperbaiki dan atau untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa dengan menerapkan tindakan-tindakan tertentu. Penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilaksanakan dalam 2 siklus. Kehadiran peneliti berperan mengamati secara partisipatif untuk mengumpulkan data penelitian. Kondisi tersebut, memerlukan sasaran penelitian yang menjadi objek penelitian. Oleh karena itu, peneliti berperan juga sebagai sasaran penelitian yang memerankan diri sebagai pengajar yang menerapkan model Problem Posing pada mata pelajaran Matematika. HASIL PENELITIAN Siklus I Perencanaan Tahap perencanaan dilakukan dengan cara menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Kelompok(LKK),Soal evaluasi individu dan Lembar pengamatan. RPP dibuat oleh penulis dengan bimbingan bapak pembimbing, yang pertama dilakukan adalah menetapkan SK dan KD, dari KD tersebut oleh peneliti dijabarkan menjadi 1 indikator yang selanjutnya diuraikan menjadi 2 tujuan pembelajaran, menetapkan metode pembelajaran dan menyusun skenario pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran yang akan dikaksanakan adalah sebagai berikut, kegiatan awal yang meliputi apersepsi dan motivasi lalu kegiatan inti yang meliputi mengamati video, membuat soal cerita secara kelompok yang berhubungan dengan tayangan video dan setelah selesai ditukarkan ke kelompok lain, untuk dikerjakan secara berkelompok,kemudian wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok, sedangkan kelompok lain menanggapi kemudian memberi reward bagi kelompok yang aktif dan benar dalam pembuatan soal cerita maupun penyelesaian soal cerita.dilanjutkan dengan kegiatan akhir yang terdiri dari membuat rangkuman guru bersama siswa dan refleksi oleh guru. Pelaksanaan Pembelajaran pada siklus 1dilakukan dengan langkah-langkah: Kegiatan awal; Guru mengucapkan salam, siswa menjawab salam. Guru meminta siswa memimpin doa, salah satu siswa 279

146 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur maju untuk memimpin doa. Guru meminta salah satu siswa memimpin untuk menyanyikan salah satu lagu wajib, siswa yang ditunjuk maju memimpin menyanyikan salah satu lagu wajib. Guru menjelaskan tentang tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Guru memotivasi siswa untuk belajar. Guru mengajak siswa mengamati masalah-masalah di lingkungan sekitar siswa yang berkaitan dengan satuan debit dan mempelajari cara pemecahan masalahnya. Pada kegiatan inti guru menyajikan informasi tentang materi yang akan dipelajari yaitu tentang debit. Guru memberi contoh bagaimana membuat soal dari informasi yang diberikan.siswa memperhatikan pemberian contoh oleh guru. Berikutnya guru membentuk kelompok belajar yang terdiri 4 siswa untuk tiap kelompok yang bersifat heterogen baik kemampuan dan jenis kelaminnya. Pada langkah selanjutnya guru menanyangkan video yang berhubungan dengan debit, sedangkan siswa dalam kelompok mengamati tayangan video tentang debit air.guru membagikan lembar kerja kelompok, tiap kelompok mengerjakan lembar kerja kelompok. Selama kerja kelompok berlangsung guru membimbing kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan dalam membuat soal. Setelah masing-masing kelompok selesai membuat soal, maka hasilnya saling ditukarkan pada kelompok lain. Masing-masing kelompok mengerjakan soal yang diberikan oleh kelompok lain, guru keliling mengamati kerja kelompok dan membimbing kelompok yang mengalami kesulitan. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan cara masing-masing kelompok mempersentasikan hasil pekerjaannya, kelompok lain memperhatikan dan menanggapi. Guru memberi reward kepada kelompok 6 dan 7 yang telah menyelesaikan tugas membuat soal yang diberikan dengan baik. Guru memberikan test individu sebagai bahan refleksi, siswa mengerjakan lembar evaluasi individu. Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa, siswa bertanya; bagaimana cara mengubah menit ke jam?, guru menawarkan ke siswa siapa yang bisa menjawab, ada siswa yang mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan temannya. Guru bersamasama siswa bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahamam, memberikan penguatan. Kegiatan penutup ; Guru bersama siswa merefleksikan pembelajaran hari ini. Dengan cara membuat kesimpulan materi pembelajaran yang telah dipelajari. Guru memberikan tugas membuat soal cerita sekaligus menyelesaikannya untuk mengerjakan di rumah. Guru menutup pelajaran dengan salam, siswa menjawab salam. Pengamatan Pengamatan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan pembelajaran. Observer melakukan observasi terhadap guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung dengan bantuan pedoman observasi. Hasil observasi dapat bermanfaat untuk pengambilan keputusan,apakah pelaksanaan pembelajaran sudah sesuai dengan RPP, apakah siswa dapat memahami materi yang telah diajarkan, apakah perludilakukan perbaikan, apakah dalam pembelajaran siswa dapat berpartisipasi secara aktif sesuai harapan. Refleksi Refleksi adalah autokritik ataumerenungkan kembali apa yang belum dicapai, apa yang sudah dicapai, apa yang perlu dilakukan untuk perbaikan-perbaikan (Akbar, 2009:42). Refleksi dilakukan untuk melihat keseluruhan RPP yang dibuat peneliti, proses pelaksanaan tindakan, aktivitas siswa dan hasil belajar siswa. Merefleksi dengan cara menganalisis data yang diperoleh dari wawancara, observasi, dokumentasi dan tes pada siklus I ini. Tahapanrefleksi meliputi kegiatan memahami, menjelaskan, dan menyimpan data. Penelitibersama observer merenungkan hasil tindakan I sebagai bahan pertimbanganapakah siklus I sudah sesuai dengan rencana yang telah dibuat atau masih perluperbaikan-perbaikan. Hasil refleksi adalah sebagai berikut :dari hasil evaluasi individu dari 27 siswa 8 siswa hasilnya di atas KKM, sedangkan 19 siswa hasilnya masih di bawah KKM, pada waktu siswa kerja kelompok yang aktif baru 2 kelompok sedang kelompok yang lain masih pasif, sebagian besar siswa tidak mau bertanya meskipun belum jelas 280

147 ISBN: padahal guru sudah memberi waktu bertanya, hasil belajar siswa masih belum dapat dikatakan mencapai tujuan pembelajaran walaupun sudah ada sedikit peningkatan dibandingkan dengan sebelum dilakukan perbaikan,perlu peningkatan upaya guru dalam menyajikan dan mengemas pembelajaran menggunakan media yang lebih menarik, dan metode problem posing. Oleh sebab itu, penulis melakukan perbaikan pada siklus II. SIKLUS II Perencanaan Tahap perencanaan dilakukan dengan cara menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Kelompok(LKK), Soal evaluasi individu dan Lembar pengamatan. RPP dibuat oleh penulis dengan bimbingan bapak pembimbing, yang pertama dilakukan adalah menetapkan SK dan KD, dari KD tersebut oleh peneliti dijabarkan menjadi 2 indikator yang selanjutnya diuraikan menjadi 4 tujuan pembelajaran, menetapkan metode pembelajaran dan menyusun skenario pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran yang akan dikaksanakan adalah sebagai berikut, kegiatan awal yang diawali apersepsi, dilanjutkan kegiatan inti melakukan eksperimen percobaan tentang debit air menggunakan bahan-bahan sederhana, kemudian dalam kelompok siswa membuat soal cerita yang berhubungan dengan percobaan sederhana tentang debit air dan setelah selesai ditukarkan ke kelompok lain, untuk dikerjakan secara berkelompok,kemudian wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok, sedangkan kelompok lain menanggapi kemudian memberi reward bagi kelompok yang aktif dan benar dalam pembuatan soal cerita maupun penyelesaian soal cerita. Dilanjutkan dengan kegiatan akhir yang terdiri dari membuat rangkuman guru bersama siswa dan refleksi oleh guru. Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran pada siklus IIdilakukan dengan langkah-langkah: Kegiatan awal ; Guru mengucapkan salam, siswa menjawab salam. Guru meminta siswa memimpin doa, salah satu siswa maju untuk memimpin doa. Guru meminta salah satu siswa memimpin untuk menyanyikan salah satu lagu wajib, siswa yang ditunjuk maju memimpin menyanyikan salah satu lagu wajib. Guru menjelaskan tentang tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Guru memotivasi siswa untuk belajar. Guru mengajak siswa mengamati masalah-masalah di lingkungan sekitar siswa yang berkaitan dengan satuan debit dan mempelajari cara pemecahan masalahnya. Pada kegiatan inti guru menyajikan informasi tentang materi yang akan dipelajari yaitu tentang debit. Guru memberi contoh bagaimana membuat soal dari informasi yang diberikan. Siswa memperhatikan pemberian contoh oleh guru. Berikutnya guru membentuk kelompok belajar yang terdiri 4 siswa untuk tiap kelompok yang bersifat heterogen baik kemampuan dan jenis kelaminnya. Pada langkah selanjutnya guru memberikan alat dan bahan kepada kelompok untuk memeragakan debit air sederhana. Guru membagikan lembar kerja kelompok, tiap kelompok mengerjakan lembar kerja kelompok. Selama kerja kelompok berlangsung guru membimbing kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan dalam membuat soal. Setelah masing-masing kelompok selesai membuat soal, maka hasilnya saling ditukarkan pada kelompok lain. Masing-masing kelompok mengerjakan soal yang diberikan oleh kelompok lain, guru keliling mengamati kerja kelompok dan membimbing kelompok yang mengalami kesulitan. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan cara masing-masing kelompok mempersentasikan hasil pekerjaannya, kelompok lain memperhatikan dan menanggapi. Guru memberikan test individu sebagai bahan refleksi, siswa mengerjakan lembar evaluasi individu. Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa. Guru bersama-sama siswa bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahamam, selanjutnya siswa diberikan penguatan oleh guru. Kegiatan penutup ; Guru bersama siswa merefleksikan pembelajaran hari ini. Dengan cara membuat kesimpulan materi pembelajaran yang telah dipelajari. Guru memberikan tugas membuat 281

148 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur soal cerita sekaligus menyelesaikannya untuk mengerjakan di rumah. Guru menutup pelajaran dengan salam, siswa menjawab salam. Pengamatan Pengamatan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan pembelajaran. observer melakukan observasi terhadap guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung dengan bantuan pedoman observasi. Hasil observasi dapat bermanfaat untuk pengambilan keputusan tentang kesesuaian rencana pembelajaran dengan kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Dalam siklus kedua ini peneliti dibantu oleh teman sejawat untuk menjadi observer selama pembelajaran siklus kedua ini berlangsung. Refleksi Refleksi dilakukan untuk melihat keseluruhan RPP yang dibuat peneliti, proses pelaksanaan tindakan, aktivitas siswa dan hasil belajar siswa. Merefleksi dengan cara menganalisis data yang diperoleh dari wawancara, observasi, dokumentasi dan tes pada siklus II ini. Tahapanrefleksi meliputi kegiatan memahami, menjelaskan, dan menyimpan data. Penelitibersama observer merenungkan hasil tindakan II sebagai bahan pertimbanganapakah siklus II sudah sesuai dengan rencana yang telah dibuat atau masih perlu perbaikan-perbaikan. Hasil refleksi adalah sebagai berikut : dari hasil evaluasi individu dari 27 siswa, 25 siswa hasilnya di atas KKM, sedangkan 2 siswa hasilnya masih di bawah KKM, pada waktu siswa kerja semua kelompok telah mampu bekerja secara aktif, siswa telah mau bertanya pada saat guru sudah memberi waktu bertanya, hasil belajar siswa dapat dikatakan mencapai tujuan pembelajaran karena sudah ada peningkatan dibandingkan dengan pelaksanaan siklus I. Pemanfaatan media pembelaran debit air sederhana ini lebih efektif mendukung motede Problem Possing daripada hanya menggunakan penayangan video tentang debit air. PEMBAHASAN Berdasarkan pada kenyataanprestasi belajar mata pelajaran matematika di kelas VI SDN Sumberejo 03 Batu, terutama tentang kemampuan menyelesaikan soal cerita saat ini masih kurangmaka dirancang tindakan sebagai upaya meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan soal cerita dengan pendekatan pembelajaran problem posing. Dengan menerapkan pembelajaran problem posing diharapkan dapat melatih siswa membuat soal cerita dan menyelesaikan soal cerita. Proses pembelajaran meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita dengan menggunakan stategi problem posing ini dilaksanakan dua tindakan, yaitu tindakan siklus I dan tindakan siklus II. Dalam setiap tidakan dilakukan satu kali pertemuan ada tiga tahapan, yaitu tahap mengidentifikasi lingkungan sekitar pada kegiatan awal, saat siswa melakukan percobaan sederhana tentang debit kemudian dilanjutkan membuat soal cerita kemudian menyelesaikannya pada kegiatan inti, dan setelah mengerjakan soal cerita kepunyaan kelompok lain pada kegitan akhir dalam pembelajaran.berdasarkan paparan data dan temuan penelitian dapat dikatakan bahwa penggunaan strategi problem posing dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa kelas VI SDN Sumberejo 03 Batu. Peningkatan tersebut terdapat pada aspek proses dan hasil pembelajaran. Proses meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita dengan menggunakan strategi problem posing, baik tindakan siklus I maupun siklus II dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu sebelum membuat soal cerita pada kegiatan awal, saat membuat soal cerita dan menyelesaikan soal cerita pada kegiatan inti, dan setelah membuat soal dan menyelesaikan soal cerita pada kegiatan akhir pembelajaran. Kegiatan awal meliputi mengamati masalah-masalah di lingkungan sekitar siswa yang berkaitan dengan satuan debit dan memotivasi siswa tentang pembuatan soal cerita. Kegiatan inti memeragakan debit air dengan menggunakan alat sederhana dilanjutkan membuat soal cerita kemudian hasilnya ditukarkan ke kelompok lain untuk dikerjakan. Tahapan tersebut dilakukan dengan penuh antusias. Dengan melakukan percobaan tentang debit air siswa lebih semangat dibandingkan dengan melihat tayangan percobaan tentang debit air di LCD. Kegiatan penutup 282

149 ISBN: merupakan refleksi dari pembelajaran yang telah dilaksanakan. Dari kegiatan ini dapat diketahui bahwa dengan menggunakan strategi problim posing dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita.perubahan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran mengalami kemajuan yang cukup bagus. Tergambarkan bahwa pada siklus I aktivitas siswa 29,6 % termasuk dalam kategori baik dan amat baik, sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 92,6 % yang termasuk dalam kategori baik dan amat baik. KemampuanSiswa dalam menyelesaikan soal ceritadan aktifitas siswa dalam pembelajaran mengalami kemajuan yang sangat berarti, hal ini terlihat dari perubahan siswa dalam memecahkan masalah tiap siklus. Hasil ini memberi gambaran tentang hubungan antara aktivitas belajar siswa dengan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. PENUTUP Simpulan Berdasarkan rumusan masalah, hipotesis tindakan, serta temuan hasil penelitian tindakan yang telah terurai, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut ; (1) Strategi problem posingdapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam menyelesaikan soal cerita, (2) Strategi problem posingdapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita, (3) Strategi problem possing akan memperoleh hasil yang lebih maksimal apabila dipadukan dengan metode eksperimen. Aktivitas belajar siswa akan lebih meningkat seiring dengan kegiatan eksperimen sederhana tentang percobaan debit air sederhana pada siklus II, bila dibandingkan dengan aktivitas siswa yang hanya mengamati tayangan video tentang debit air pada siklus I. Saran Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menawarkan beberapa solusi di antaranya ; (1) bagi guru pemanfaatan strategi pembelajaran problem posing dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita tentang materi debit air pada kelas VI, (2) bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dikembangkan dengan metode yang berbeda dan populasi yang lebih luas. DAFTAR RUJUKAN Sa'dun Akbar Penelitian Tindakan Kelas: filosofi, metodologi & Implementasi. Yogyakarta: Cipta Media Aksara. Departemen Pendidikan Nasional Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Trianto Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. Suyati, Pelajaran Matematika Penekanan Pada Berhitung Jilid 6. Jakarta: Erlangga. (Online). Diakses 10 Maret

150 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PERSAMAAN KUADRAT DI SMPN 02 BATU Wulan Handayani SMPN 2 Batu w03lanh@yahoo.com Abstrak: Tujuan Penelitian ini adalah mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa kelas 8 dalam memfaktorkan berbagai bentuk persamaan kuadrat melalui metode pembelajaran Kooperatif Jigsaw. Jenis penelitian adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan 2 siklus, siklus pertama 2 Pertemuan, siklus kedua 2 Pertemuan. Subyek penelitian adalah 32 siswa kelas 8F SMPN 02 Batu, 12 laki-laki dan 30 perempuan. Subyek dipilih karena mereka masih banyak yang mengalami kesulitan tentang memfaktorkan bentuk kuadrat. Metode Pembelajaran yang digunakan adalah Metode Pembelajaran Jigsaw.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan ketuntasan sebesar 40,625 % Kata kunci: Kooperatif, Jigsaw, Persamaan Kuadrat Matematika adalah ilmu yang penting. karena matematika diperlukan dalam setiap bagian kehidupan. Untuk berbelanja ke pasar, orang perlu menggunakan Matematika, untuk mengukur diperlukan Matematika, untuk membangun rumah menggunakan Matematika, untuk meracik obat menggunakan Matematika dan sebagainya (Dewi & Candra. 2015). Hasil belajar Matematika merupakan salah satu tolok ukur di dunia, dimana nilai keberhasilan diukur dari nilai Matematika. Di Indonesia, nilai keberhasilan pendidikan ditentukan juga oleh nilai Matematika. Bahkan Ujian Nasional di semua jenjang dari SD, SMP hingga SMA juga menyertakan nilai Matematika. Sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan, nilai Matematika di berbagai sekolah cenderung rendah. PISA 2012 menunjukkan bahwa kemampuan level 5 dan level 6 siswa Indonesia hanya dicapai oleh sebanyak 0,1% siswa. Hal ini cukup memprihatinkan dan hal ini disebabkan oleh berbagai factor, antara lain lingkungan belajar, motivasi belajar, model pembelajaran dan strategi belajar. Rendahnya hasil belajar Matematika itu juga terjadi di SMPN 2 Batu. Dalam pembelajaran Materi Persamaan Kuadrat, hasil belajar siswa di kelas 8F sangat rendah. Siswa kesulitan dalam memfaktorkan berbagai macam bentuk persamaan kuadrat. Hal ini merupakan suatu masalah dan harus dicarikan solusinya. Oleh karenanya guru sebagai peneliti berkolaborasi dengan guru lain untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dengan mencoba menerapkan strategi belajar yang lain. Dalam penelitian ini, guru sebagai peneliti menerapkan model pembelajaran kooperatif Jigsaw. Guru sebagai peneliti menggunakan model pembelajaran Kooperatif Jigsaw karena model pembelajaran ini memaksa siswa yang kurang mampu untuk menguasai materi belajar karena dia mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan kepada teman-temannya di kelompok asal (Subanji. 2013). Menurut Arends (Karuru 2002) langkah-langkah model pembelajaran kooperatif meliputi 6 fase yaitu (1)menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, (2)menyajikan informasi, (3) mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar, (4)membimbing kelompok bekerja dan belajar, (5) evaluasi dan (6) memberikan penghargaan Dengan alasan di atas, guru sebagai peneliti berkolaborasi dengan guru lain untuk mengadakan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas 8F SMPN 02 Batu Dalam Memfaktorkan Berbagai Bentuk Persamaan Kuadrat Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw 284

151 ISBN: METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran kooperatif jigsaw untuk meningkatkan hasil belajar persamaan kuadrat di SMPN 02 Batu. Penelitian ini menggunakan model Penelitian Tindakan Kelas yang dikenakan kepada 32 siswa SMPN 02 Batu kelas 8 D, 20 siswa putri dan 12 siswa putra. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret PTK ini menggunakan 4 tahapan, dan menurut Lewin (Kemmis dan Mc Taggar. 1992) 4 tahapan PTK adalah Perencanaan (planning), Tindakan (action), Pengamatan (observasi) dan Refleksi (reflection). Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus. Siklus pertama 2 pertemuan, dan siklus kedua 2 pertemuan dimana setiap siklus terdiri dari satu kali pertemuan pembelajaran dan satu kali pertemuan test. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Siklus 1 terdiri atas satu pertemuan pembelajaran dan satu pertemuan tes. Siklus 2 dilakukan dalam satu pertemuan pembelajaran dan satu pertemuan tes. Pelaksanaan pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut. Siklus 1 pertemuan 1 : Kegiatan Awal : Pembelajaran diawali dengan guru mengkondisikan siswa dengan memberikan motivasi dan semangat untuk lebih meguasai pemfaktoran. G: anak-anak. ada yang ingin jadi insinyur? S : saya bu G : kalau mau jadi insinyur, belajarnya harus mulai dari sekarang. Syarat jadi insinyur itu kalian harus bersekolah di jurusan ipa. Nah, untuk masuk ipa salah satu syaratnya kalian harus menguasai pemfaktoran Guru juga menceritakan bahwa dengan menguasai pemfaktoran maka nalar siswa bisa lebih terasah sehingga mengembangkan kemampuan berpikir dan membuka peluang menguasai materi-materi matematika yang berikutnya. Kegiatan Inti : Guru memberikan penjelasan materi awal pada siswa tentang pemfaktoran persamaan kuadrat. Guru menjelaskan sedikit tentang pemfaktoran persamaan kuadrat dengan bentuk ax 2 + bx = 0 dan ax 2 + c 2 = 0 Untuk memperkuat penjelasan tersebut, guru memberi contoh soal sebagai berikut : Untuk bentuk ax 2 + bx = 0 diberi contoh soal 3x x = 0 dapat diselesaikan dengan cara sbb : 3x x = 0 3x ( x + 25 ) = 0 3x = 0 atau x + 25 = 0 x = 0 atau x = -25 Untuk bentuk ax 2 + c 2 = 0 diberi contoh soal 4x = 0 dapat diselesaikan dengan cara sbb : 4x = 0 4x = 0 (2x + 7) (2x 7 ) = 0 2x + 7 = 0 atau 2x 7 = 0 2x = -7 atau 2x = 7 x = atau x =

152 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Pembelajaran dilanjutkan dengan memberikan 4 masalah pada tiap-tiap kelompok. Siswa berdiskusi di kelompok asal untuk membagi materi yang harus dikuasai oleh masing-masing anggota kelompok. Diberikan 4 soal untuk tiap kelompok, sehingga masing-masing anggota kelompok mendapat 1 soal yang menjadi tanggung jawabnya untuk dipelajari dan dikuasai. Soal jenis 1 dan jenis 2 adalah soal pemfaktoran persamaan kuadrat bentuk ax 2 + bx = 0 sedangkan soal 3 dan soal 4 adalah soal pemfaktoran persamaan kuadrat bentuk ax 2 + c 2 = 0. Siswa diberi kebebasan untuk membagi soal dalam kelompok. Siswa dengan kemampuan rendah diharapkan mendapat soal yang mudah dan siswa dengan kemampuan tinggi diharapkan mendapat soal yang sulit. Siswa berkumpul di kelompok ahli berdasarkan pilihan soal masing-masing kemudian berdiskusi untuk menyelesaikan soal yang sudah dipilih. Mereka saling mengajari sehingga benarbenar menjadi ahli untuk soal tersebut. Pada saat diskusi di kelompok ahli, ada kelompok yang mengalami kesalahan dalam menyelesaiakn masalah yang diberikan. Guru melihat ada kelompok yang melakukan kesalahan dalam proses memfaktorkan bentuk 4x 2 25 = 0. Bentuk tersebut seharusnya difaktorkan menjadi bentuk (2x + 5)(2x 5) tetapi difaktorkan menjadi (2x 5)(2x 5). Guru memberikan bantuan dengan mengadakan dialog sebagai berikut. G : kenapa kok difaktorkan menjadi bentuk seperti itu? S : karena bentuk pengurangan bu. G : apakah bentuk pengurangan selalu seperti itu? S : ya bu. G : coba sekarang bentuk perkalian pengurangan itu diubah ke dalam bentuk penjumlahan S : ya bu G : sudah selesai? sekarang bandingkan dengan bentuk persamaan kuadrat semula. apakah sama? perbedaan terletak dimana? S : tidak sama bu. perbedaan karena kami salah dalam memfaktorkan. G : bagus. sekarang sudah bisa memfaktorkan ya. S : ya bu terima kasih. Siswa kembali ke kelompok asal kemudian siswa bekerja di kelompok asal. Siswa yang ahli dalam satu persoalan mengajari siswa yang ahli dalam masalah lainnya. Demikian dilakukan secara bergantian sehingga setiap siswa mendapat penjelasan dari temannya bagaimana cara menyelesaikan pemfaktoran persamaan kuadrat. Kegiatan Penutup : Setelah semua siswa sudah mendapat giliran untuk menjelaskan keahliannya pada temannya yang tidak ahli dalam masalah tersebut, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing kemudian guru member penjelasan tentang hasil kerja siswa dan guru memberikan kuis secara perorangan. Selesai kuis, guru memeriksa hasil kuis secara cepat dan mengumumkan hasilnya pada saat itu juga. Guru memberi penghargaan pada siswa yang memperoleh skor sama dengan atau lebih dari 80. Penghargaan itu berupa pengumuman di depan kelas oleh guru dan pujian serta tepuk tangan dari teman-temannya. Penghargaan ini dimaksudkan untuk mendorong siswa lebih giat lagi dalam belajar. Siklus 1 pertemuan 2 : Kegiatan pertemuan 2 adalah guru memberikan test. Bentuk test adalah test uraian, jumlah soal 5, skor minimal 11, skor maksimal 100, dan waktu pengerjaan 60 menit. 286

153 ISBN: Hasil test pada siklus 1 adalah sebagai berikut Rentang nilai Nilai = n Banyak siswa = f Prosentase n. f ,375 % 136, ,5 4 12,5 % , % ,5 5 15,625 % 377, ,5 7 21,875 % 598, ,5 5 15,625 % 477,5 Jumlah % rata rata nilai siswa = 73 nilai di atas kkm yang diharapkan = 37, 5 % Tabel 1 menunjukkan bahwa ada 20 siswa yang mendapat nilai kurang KKM ( 80 ) dan 12 siswa yang mendapat nilai diatas KKM (80) sehingga ketuntasan klasikal nya hanya 37,5 %. Pembelajaran dikatakan tuntas secara klasikal apabila mencapai minimal 85 %, yang mendapat nilai lebih dari atau sama dengan 80 adalah 12 siswa. Karena masih 62,5 % belum tuntas maka penelitian perlu dilanjutkan ke siklus 2. Refleksi : Setelah selesai melakukan pembelajaran siklus 1, guru melakukan refleksi yang didasarkan pada temuan-temuan. Hasil temuan untuk refleksi adalah : NO TEMUAN ALTERNATIF SOLUSI 1 Ada siswa yang tidak berkumpul di kelompok ahli yang sama Siklus berikutnya akan diberikan kertas dengan warna berbeda untuk soal yang berbeda 2 Ada kelompok yang tidak bekerja karena tidak menguasai materi Siklus berikutnya akan dibentuk kelompok dengan anggota lebih heterogen 3 Ada kelompok yang salah konsep Mendampingi kelompok tersebut sampai mendapat pemahaman yang benar Alternatif solusi dalam temuan akan digunakan sebagai tindakan pada siklus 2. Siklus 2 pertemuan 1 : Kegiatan Awal : Pembelajaran diawali dengan guru mengkondisikan siswa dengan memberikan motivasi dan semangat untuk lebih meguasai pemfaktoran. G: anak-anak. masih ingat pertemuan yang lalu? S : masih ingat bu G : dalam pertemuan yang lalu, kalian sudah belajar tentang pemfaktoran bentuk ax 2 + bx = 0 dan bentuk ax 2 + c 2 = 0. Dari pertemuan yang lalu kalian bisa melihat bahwa ternyata pemfaktoran itu tidak sesulit yang kalian kira. sudah ada peningkatan hasil belajar kalian, tetapi hasilnya belum sesuai harapan. hari ini kita akan melanjutkan pembelajaran dan ibu harap hasilnya nanti bisa sesuai harapan. Kegiatan Inti : Guru memberikan penjelasan materi awal pada siswa tentang pemfaktoran persamaan kuadrat. Guru menjelaskan sedikit tentang pemfaktoran persamaan kuadrat dengan bentuk ax 2 + bx + c = 0, a = 1 dan ax 2 + bx + c = 0, a 1 287

154 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Untuk memperkuat penjelasan tersebut, guru memberi contoh soal sebagai berikut : Untuk bentuk ax 2 + bx + c = 0, a = 1 diberi contoh soal x 2 + 5x + 6 = 0 dapat diselesaikan dengan cara sbb : x 2 + 5x + 6 = 0 ( x + 3) ( x + 2) = 0 x + 3 = 0 atau x + 2 = 0 x = -3 atau x = -2 Untuk bentuk ax 2 + bx + c = 0 diberi contoh soal 2x 2 + 5x + 3 = 0 dapat diselesaikan dengan cara sbb : 2x 2 + 5x + 3 = 0 2x 2 + 2x + 3x + 3 = 0 (2x 2 + 2x) + (3x + 3) = 0 2x (x + 1) + 3(x + 1 ) = 0 (2x + 3) (x + 1) = 0 2x + 3 = 0 atau x + 1 = 0 2x = -3 atau x = -1 x = atau x = -1 Guru membagi siswa kedalam 8 kelompok dimana masing-masing kelompok beranggotakan 4 siswa dengan cara berhitung. siswa diminta berhitung dari 1 sampai dengan 8, demekian seterusnya. Siswa yang menyebut angka 1 berkumpul dengan siswa yang menyebut angka 1, siswa yang menyebut angka 2 berkumpul dengan siswa yang menyebut angka 2 dan seterusnya. hal ini dilakukan agar siswa tidak memilih anggota kelompoknya dan diharapkan anggota kelompok bisa lebih heterogen. Pembelajaran dilanjutkan dengan memberikan 4 masalah pada tiap-tiap kelompok. Siswa berdiskusi di kelompok asal untuk membagi materi yang harus dikuasai oleh masing-masing anggota kelompok. Diberikan 4 soal untuk tiap kelompok, sehingga masing-masing anggota kelompok mendapat 1 soal yang menjadi tanggung jawabnya untuk dipelajari dan dikuasai. Soal jenis 1 dan jenis 2 adalah soal pemfaktoran persamaan kuadrat bentuk ax 2 + bx + c = 0, a = 1 sedangkan soal 3 dan soal 4 adalah soal pemfaktoran persamaan kuadrat bentuk ax 2 + bx + c = 0, a 1. Untuk memudahkan pemantauan guru agar siswa nantinya benar- benar berkumpul di kelompok ahli dengan masalah yang sama, masing-masing soal diberikan pada kertas yang berbeda warna. soal 1 diberikan di kertas berwarna merah, soal 2 diberikan di kertas berwarna kuning, soal 3 diberikan di kertas berwarna hijau dan soal 4 diberikan di kertas berwarna biru. Siswa diberi kebebasan untuk membagi soal dalam kelompok. Diharapkan siswa dengan kemampuan rendah mendapat soal yang mudah dan siswa dengan kemampuan tinggi mendapat soal yang sulit. Siswa berkumpul di kelompok ahli berdasarkan pilihan soal masing-masing kemudian berdiskusi untuk menyelesaikan soal yang sudah dipilih. Mereka saling mengajari sehingga benarbenar menjadi ahli untuk soal tersebut. Di siklus 2 ini, guru dapat memantau siswa yang berkumpul dengan siswa lain yang mendapat soal sejenis dari kertas warna yang dibawanya. Guru juga lebih aktif ebrkeliling memeriksa kegiatan siswa di kelompok agar tidak ada kelompok yang salah dalam menyelesaikan soalnya. Siswa kembali ke kelompok asal kemudian siswa bekerja di kelompok asal. Siswa yang ahli dalam satu persoalan mengajari siswa yang ahli dalam masalah lainnya. Demikian dilakukan secara bergantian sehingga setiap siswa mendapat penjelasan dari temannya bagaimana cara menyelesaikan pemfaktoran persamaan kuadrat. Agar siswa mau mendengarkan penjelasan temannya, di siklus 2 ini masing-masing siswa diminta menuliskan hasil penjelasan dari teman-temannya untuk dikumpulkan. 288

155 ISBN: Kegiatan Penutup : Setelah semua siswa sudah mendapat giliran untuk menjelaskan keahliannya pada temannya yang tidak ahli dalam masalah tersebut, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk menuliskan laporan penyelesaian dari semua soal. Setelah siswa mengumpulkan laporannya, dipilih 4 orang siswa dari masing-masing soal yang berbeda untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya untuk kemudian guru memberi penjelasan tentang hasil kerja siswa dan guru memberikan kuis secara perorangan. Selesai kuis, guru memeriksa hasil kuis secara cepat dan mengumumkan hasilnya pada saat itu juga. Guru memberi penghargaan pada siswa yang memperoleh skor sama dengan atau lebih dari 80. Penghargaan itu berupa pengumuman di depan kelas oleh guru dan pujian serta tepuk tangan dari teman-temannya. Penghargaan ini dimaksudkan untuk mendorong siswa lebih giat lagi dalam belajar. Siklus 2 pertemuan 2 : Kegiatan pertemuan 2 adalah guru memberikan test. Bentuk test adalah test uraian, jumlah soal 5, skor minimal 11, skor maksimal 100 dan waktunya 60 menit. Hasil test pada siklus 2 adalah sebagai berikut Rentang nilai Nilai = n Frekuensi = f Prosentase n.f ,5 1 3,125 % 55,5 x 1 = 55, ,5 1 3,125 % 65,5 x 1 = 65, ,5 5 15,625 % 75,5 x 5 = 377, , ,5 % 85,5 x 12 = , ,625 % 95,5 x 13 = 1.241,5 Jumlah % rata rata nilai siswa = 86,4375 nilai di atas kkm yang diharapkan = 78,125 % PENUTUP Kesimpulan Dari penelitian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 5. Penerapan pembelajaran kooperatif Jigsaw dapat meningkatkat hasil belajar siswa dalam memfaktorkan persamaan kuadrat pada siswa kelas VIII D SMP Negeri 2 Batu tahun pelajaran Hal ini dapat dilihat dari hasil rata-rata test formatif tiap siklus. Rata-rata skor hasil test formatif siklus 1 adalah 73 dan rata-rata skor hasil tes formatif siklus 2 adalah 86,4375 sehingga ada peningkatan skor sebesar 13, Ketuntasan klasikal belajar tuntas juga mengalami peningkatan. Ketuntasan klasikal pada siklus 1 sebesar37,5 % dan ketuntasan klasikal pada siklus 2 sebesar 78,125 %. Sehingga terdapat peningkatan ketuntasan sebesar 40,625 %. Karena ketuntasan tercapai maka pembelajaran bisa dilakukan pada materi selanjutnya. Saran : 1. Siswa perlu dilatih untuk presentasi di depan kelas agar siswa semakin percaya diri. 2. Pengaturan mebeler di dalam kelas perlu dilakukan untuk memudahkan pergerakan siswa dalam perubahan kelompok. 3. Perlu pengadaan LCD projector di kelas untuk memudahkan pembelajaran. 289

156 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur DAFTAR RUJUKAN Dewi, R. A. K. & Candra, T. D Deskripsi Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Kelas 8.1 SMPN 21 Malang. Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna pada 31 Oktober Karuru Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif. (Online), ( pembela jaran.com/penelitian/300905) diakses 9 April 2016 Kemmis,s. & Mc Taggart, R. (1983) The Action Research Planner. 3rd ed. Victoria, Australia : Deakin University Program International For Student Assessment 2012, PISA 2012 Subanji Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang : UM Press 290

157 ISBN: PENGEMBANGAN MEDIA TELUR NAGA UNTUK PEMBELAJARAN PENJUMLAHAN BILANGAN BULAT PADA KELAS IV SDN PUNTEN 02 KOTA BATU Qoriatul Azizah SDN Punten 02 Kota Batu Qory25@g.mail.com ABSTRAK: Bilangana bulat adalah bilangan yang terdiri dari bilangan positif dan bilangan negatif. Penjumlahan bilangan bulat adalah penggabungan dua bilangan positif dan negatif, apabila bilangan dengan nilai yang sama di gabung maka akan bernilai nol. Penelitian ini bertujuan meningkatkan pemahaman konsep penjumlahan bilangan bulat dengan media telur naga. Media Telur Naga adalah media yang dirancang memanfaatkan bahan bekas yang terbuat dari kertas duplek, kertas warna,bekas tempat telur (tre) dan mainan telur plastik.tempat telur (tre) akan mewakili bilangan negatif dan bola plastik mewakili bilangan positif, lalu akan dipasangkan atau digabungkan.setelah digabungkan akan ditaruh di tempat yang di desain seperti bentuk naga. Pasangan tre dan telur bernilai nol dan yang tidak berpasangan menunjukkan jawaban, jika yang tidak ada pasangannya adalah tre maka bernilai negatif dan jika telur plastik yang tidak berpasangan maka bernilai positif. Hasil pengembangan media dalam penelitian ini mendapat nilai validasi konstruk rata-rata 3,4 (85%), dan validasi isi rata-rata 4 (100%). Hal ini menyatakan bahwa media layak dipergunakan dalam pembelajaran. Penggunaan media telur naga ini sangat menarik di gunakan pada sekolah dasar karena media di desain sesuai karakteristik siswa sekolah dasar.media telur naga juga mampu meningkatkan pemahamn konsep penjumlahan bilangan bulat. Kata Kunci: bilangan bulat, media telur naga Permendikbud No. 65 Tahun 2013 kurikulum 2013 tentang standart proses,diharuskan dalam pembelajaran menekankan pendekatan saintifik yang meliputi proses mengamati, menanya, mencoba, menalar dan mengkomunikasikan. Maka sangat diharapkan pembelajaran menghasilkan karya berbasis penemuan masalah. Pada Sekolah Dasar (SD) usia 6 12 tahun adalah masa operasional konkret (Piageut,2006). Pentingnya pembelajaran yang berbasis nyata dan sesuai dengan dunia siswa sangat memudahkan siswa untuk memahami konsep konsep dalam muatan materi mata pelajaran. Pembelajaran Matematika di sekolah dasar adalah salah satu mata pelajaran yang berpedoman pada kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa matematika SD memiliki ciri, yaitu:(1) memiliki obyek kajian yang abstrak (2) memiliki pola berpikir deduktif konsisten Suherman(2006:55). Matematika sebagai studi tentang objek abstrak tentu saja sangat sulit untuk dapat dipahami oleh siswa SD yang belum mampu berpikir formal, sebab orientasinya masih terkait dengan benda-benda konkret. Mengingat pentingnya matematika untuk siswa di sekolah dasar, perlu dicari suatu cara mengajarkan matematika yang lebih menarik dan tidak membosankan, sesuai kaidah PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Disamping itu, matematika juga harus bermanfaat dan relevan dengan kehidupan siswa. Subanji (2013), lebih lanjut menjelaskan bahwa pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar harus ditekankan pada penguasaan keterampilan dasar dari matematika itu sendiri. Keterampilan yang menonjol adalah keterampilan terhadap penguasaan operasi-operasi hitung dasar (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian).untuk itu dalam pembelajaran matematika terdapat dua aspek yang perlu 291

158 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur diperhatikan, yaitu:(1) matematika sebagai alat untuk menyelesaikan masalah, dan (2) matematika merupakan sekumpulan keterampilan yang harus dipelajari. Kedua aspek matematika yang dikemukakan di atas perlu mendapat perhatian yang proporsional. Konsep yang sudah diterima dengan baik dalam benak siswa akan memudahkan pemahaman konsep-konsep berikutnya. Untuk itu dalam penyajian topik-topik baru hendaknya dimulai pada tahapan yang paling sederhana ke tahapan yang lebih kompleks, dari yang konkret menuju ke yang abstrak, dari lingkungan dekat anak ke lingkungan yang lebih luas. Maka disinilah pentingnya menggunakan media dalam pembelajaran matematika. Media pembelajaran adalah segala bentuk yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran,merangsang pikiran,perasaan dan perhatian siswa Ibrahim dan Syaodih (2003:112). Bendabenda fisik atau manipulatif untuk memodelkan konsep-konsep matematika merupakan alat-alat yang penting untuk membantu siswa belajar matematika. Dalam mempelajari matematika, bahan-bahan atau benda-benda manipulasi merupakan benda konkrit yang dirancang khusus dan dapat diotak-atik dalam usaha untuk memahami suatu konsep matematika. Estiningsih dkk (2005) menegaskan bahwa objek-objek yang dapat dimanipulasi siswa sangat bermanfaat untuk menyelesaikan masalah bilangan dan pengembangan ide-ide matematika. Permasalahan yang sering dialami siswa cenderung kurang tertantang ketika harus belajar matematika,karena matematika diaanggap sulit dan membosankan. Pembelajaran yang terjadi siswa cenderung menghafalkan konsep-konsep dan tidak konstektual. Kurang optimalnya guru dalam menggunakan media pembelajaran adalah salah satu faktor penyebab matematika kurang diminati di kalangan siswa. Di SDN Punten 02 pada kelas IV, di tahun pelajaran 2015/2016 nilai matematika di bawah KKM 7.0 yaitu rata rata 5.6.Pada semester II ketika KD. Operasi hitung bilangan bulat siswa mengalami kebingungan dan tidak mengerti. Sehingga berdampak rendahnya nilai pada materi bilangan bulat yaitu rata rata 5.2. Pada saat menyelesaisaikan operasi penjumlahan siswa belum bisa mengerjakan dengan benar. berdasarkan angket yang di sebar hanya 3 siswa yang memilih matematika sisanya adalah pelajaran lain.hal ini menunjukkan bahwa mereka kurang berminat pada pelajaran matematika. Berdasarkan latar belakang dan pemikiran diatas maka tujuan penelitian pengembangan ini adalah meningkatkan pemahaman konsep penjumlahan bilangan bulat dengan media telur naga. Telur naga di rancang menggunakan bahan bekas yang manfaatkan kembali (reuse) yang mudah di dapatkan. Bahan dan alat yang dibutuhkan diantaranya tempat telur (tre), kertas duplek, bola/telur plastik kertas warna lem dan gunting.pada konsep penjumlahan bilangan bulat tempat telur yang sudah di potong potong mewakili bilangan negatif dan bola plastik mewakili positif. Ketika menyelesaikan soal penjumlahan tempat telur dan bola plastik akan di pasangkan, kemudian di tempatkan di badan naga dan yang tidak mendapatkan pasangannya menunjukkan jawaban dari soal tersebut. Sehingga penelitian ini mengangkat judul Pengembangan Media Telur Naga Untuk Pembelajaran Penjumlahan Bilangan Bulat Pada Kelas IV SD, yang memotivasi penulis sekaligus guru kelas IV di SDN Punten 02 untuk memperbaiki pemahaman konsep tentang operasi hitung bilangan bulat. Untuk melengkapi penelitian ini dikembangkan media pembelajaran yang di beri nama Telur Naga. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini mendeskripsikan penelitian pengembangan pembelajaran yang menggunakan media telur naga pada konsep penjumlahan bilangan bulat menggunakan pendekatan saintifik dengan metode demonstrasi dan kooperatif. Rancang Bangun 292

159 ISBN: Tahap awal kegiatan adalah merancang bangun media Telur Naga yang terdiri atas bilangan positip diwakili bola plastik dan negatif diwakili potongan tre telur (gambar 1.) Gambar 1.Media Telur Naga Naga dibuat dari kertas duplek yang di potong-potong terpisah, dan di tempel kertas warna agar lebih menarik dan dapat digabungkan sesuai kebutuhan jumlah bilangannya.tempat telur (tre) juga di potong potong menjadi satu buah dalam jumlah yang banyak yang mewakili bilangan negatif. Dan telur plastik mewakili bilangan positif. Gambar 2. Skema Media Telur Naga dan Cara Mengoperasikannya Tahap berikutnya merancang pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang terdiri dari (1) Siswa mengamati cara menggunakan Media Telur Naga yang didemontrasikan oleh guru(2) Siswa di beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang apa yang belum di pahami atau hipotesis sementara(3) Siswa mencoba melakukan hitung penjumlahan bilangan bulat dengan angka yang di tentukan sendiri menggunakan Media Telur Naga.(4) membuktikan konsep bahwa penjumlahan adalah penggabungan atau penambahan sekelompok bilangan atau lebih menjadi suatu bilangan yang merupakan jumlah yang dikonkretkan dengan Media Telur naga. Potongan tre adalah mewakili bilangan positif dan bola plastik mewakili bilangan negatif yang apabila di gabungkan maka akan di temukan hasil penjumlahan bilangan bulat.tre dan bola plastik apabila dipasangkan akan bernilai nol dan apabila tidak ada pasangan menunjukkan jawaban.jika yang tidak ada pasangannya bola plastik maka hasil penjumlahan positif,dan apabila yang tidak ada pasangannya tre maka hasil penjumlahan negatif.(5) Siswa mengerjakan di papan tulis secara bergantian dan saling mengoreksi hasil karya teman lainnya baik secara individu maupun kelompok. Metode dalam pembelajaran ini menggunakan demonstrasi dan kooperatif, peneliti membagi kelompok untuk penyebaran media. Siswa secara bergantian dan mandiri mengerjakan soal secara 293

160 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur individu,setelah itu akan disajikan masalah tentang penjumlahan bilangan bulat setiap kelompok untuk diselesaikan secara berkelompok. PELAKSANAAN UJICOBA I Pertemuan ujicoba ke I dilaksanakan pada Hari Rabu,Tanggal 19 Februari 2016 satu kali tatap muka 3 x 35 dengan jumlah 20 siswa terdiri atas : 1. Perencanaan (Planning) dalam tahap perencanaan ini guru membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) semester II dengan SK.5. Menjumlahkan dan mengurangkan bilangan bulat. KD.5.1. Menjumlahkan bilangan bulat. Selain RPP juga disiapkan lembar validasi media,dan lembar penilaian. 2. Pelaksanaan Tindakan (Action). Dalam melaksanakan tidakan pembelajaran di mulai pada pukul WIB (3 X 35 ) dengan langkah langkah sebagai berikut: a.kegiatan Pendahuluan Membuka pembelajaran dengan salam,berdo a,presesensi siswa, senam otak dan menyanyikan lagu 1,2 dan 3, menyampaikan tujuan pembelajaran dan kegiatan yang akan dilakukan siswa. b.kegiatan Inti Siswa dibagi menjadi 5 kelompok kemudian mengamati demonstrasi cara penggunaan Media Telur. Siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan melakukan hitung penjumlahan bulat dengan media Telur naga. Siswa menukarkan hasil karya dan mengerjakan di papan tulis. Siswa mendiskusikan soal cerita tentang penjumlahan bilangan bulat dan mempresentasikan. c. Kegiatan Penutup Siswa dan guru melakukan kesimpulan pembelajaran,penguatan dan refleksi serta umpan balik 3. Pengamatan /Observasi Pada tahap observasi peneliti dibantu oleh dua observer dari teman sejawat,dengan menggunakan lembar uji validitas Media telur Naga yang meliputi aspek isi dan konstruk (1) Kesesuaian dengan karakter siswa(2) Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran (3) Kesesuaian media dengan materi pembelajaran(4) Kesesuaian media dengan kondisi lingkungan. 4.Refleksi(reflection) Berdasarkan data dari lembar pengamatan peneliti melakukan refleksi untuk memperbaiki penggunakan dan konstruksi media Telur Naga pada pertemuan berikutnya. HASIL KEPRAKTISAN MEDIA Uji kepraktisan media Telur Naga yang telah digunakan pada pembelajaran matematika KD. Penjumlahan bilangan bulat pada tanggal 19 Februari Berdasarkan pengamatan dari observer dan respon siswa ada ketidak praktisan pada konstruk Telur Naga yaitu ukuran tinggi kotak telur 6 cm,hal ini ternyata ukuran terlalu dalam sehingga ketika digunakan untuk tempat tidak tampak pada saat anak menaruh pasangan telur dan tre didalamnya.sehingga di praktiskan dengan mengganti tinggi kotak telur naga menjadi 3 cm. Bilangan bulat positif yang diwakili dengan bola tenis kurang praktis karena bola tenis bisa memantul.hal ini memberi peluang kepada siswa untuk menggunakan sebagai alat mainan,kondisi ini sangat mempengaruhi situasi pembelajaran dan akan mengganggu konsentrasi belajar siswa.maka pada uji coba berikutnya perlu adanya revisi pada ujicoba media Telur Naga. Respon siswa menunjukkan media telur naga sangat mudah digunakan,siswa tertarik namun pada saat menempatkan telur dan tre di badan naga terlalu dalam sehingga tidak tampak dari samping HASIL VALIDASI EFEKTIFITAS MEDIA Dari hasil observasi validasi isi dan konstruk media menggunakan skala likert rentang 1-5 diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 1.) dan (Tabel 2.) 294

161 ISBN: Tabel.1. Skor rata-rata validasi isi VALIDATOR NO ASPEK I II 1. Media menunjang siswa menemukan konsep; - Penjumlahan adalah proses penggabungan - Pasangan tre dan bola plastik = 0 - Sisa yang tidak berpasangan adalah hasil penjumlahan Media memudahkan siswa memahami konsep penjumlahan bilangan bulat Media menunjang siswa dalam memudahkan menyelesaikan masalah tentang penjumlahan bilangan 4 3 bulat 4. Media memberikan pengalaman nyata bagi siswa 4 4 TOTAL RERATA 4 4 RERATA VALIDATOR 4 Dari uji coba pada pemahaman konsep penjumlahan bilangan bulat menunjukkan hasil belajar siswa sebagai berikut : NO NILAI JUMLAH SISWA PERSENTASE % % % Tabel.2. Skor rata-rata validasi konstruk VALIDATOR NO ASPEK I II 1. Ukuran media sesuai dengan fisik siswa Warna sesuai dengan karakteristik siswa Memanfaatkan bahan ramah lingkungan Mudah dioperasikan oleh anak Pemanfaatan tidak mengganggu PBM kelas lainnya 4 4 TOTAL RERATA RERATA VALIDATOR 3.4 Validasi media = skor isi + skor konstruk 2 Hasil penggunaan media pada ujicoba 1 untuk efektifitas isi memperoleh skor 4.Pada efektifitas konstruk menunjukkan skor 3,4, Menurut Arikunto.2002, jika skor validasi media 2,6 3,4 maka media itu cukup valid dan dapat digunakan dengan sedikit revisi. 295

162 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur HASIL REVISI 1. Mengubah tinggi kotak tempat telur naga dan tre yang semula berukuran 6 cm menjadi 3 cm. 2. Mengganti bola pingpong dengan telur mainan dari plastik yang mewakili bilangan positif Gambar 3. Telur Naga setelah direvisi PELAKSANAAN UJICOBA II Uji coba media pada pembelajaran yang ke dua dilaksanakan pada Hari Sabtu,Tanggal 5 Marert 2016 satu kali tatap muka 3 x 35 dengan jumlah 20 siswa terdiri atas : 1. Perencanaan (Planning) dalam tahap perencanaan ini guru membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) semester II dengan SK.5. Menjumlahkan dan mengurangkan bilangan bulat. KD.5.1. Menjumlahkan bilangan bulat. Selain RPP juga disiapkan lembar validasi media dan lembar penilaian. 2. Pelaksanaan Tindakan (Action) Dalam melaksanakan tidakan pembelajaran di mulai pada pukul WIB (3 X 35 ) dengan langkah langkah sebagai berikut: a.kegiatan Pendahuluan Membuka pembelajaran dengan salam,berdo a,presesensi siswa, senam otak dan menyanyikan lagu 1,2 dan 3, menyampaikan tujuan pembelajaran dan kegiatan yang akan dilakukan siswa. b.kegiatan Inti Siswa dibagi menjadi 5 kelompok kemudian mengamati demonstrasi cara penggunaan Media Telur. Siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan melakukan hitung penjumlahan bulat dengan media Telur naga. Siswa menukarkan hasil karya dan mengerjakan di papan tulis. Siswa mendiskusikan soal cerita tentang penjumlahan bilangan bulat dan mempresentasikan. c. Kegiatan Penutup Siswa dan guru melakukan kesimpulan pembelajaran,penguatan dan refleksi serta umpan balik 3. Pengamatan /Observasi Pada tahap observasi peneliti dibantu oleh dua observer dari teman sejawat dan dari ahli validitas dari pergfuruan tinggi, menggunakan lembar uji validitas Media telur Naga yang meliputi aspek (1)Kesesuaian dengan karakter siswa (2) Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran (3) Kesesuaian media dengan materi pembelajaran (4) Kesesuaian media dengan kondisi lingkungan. 296

163 ISBN: Gambar 4. Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran 4.Refleksi(reflection) Berdasarkan data dari lembar pengamatan peneliti melakukan refleksi pembelajaran dengan menggunakan media telur naga yang dapat meningkatkan pemahaman konsep penjumlahan bilangan bulat. HASIL UJICOBA II KEPRAKTISAN MEDIA Uji kepraktisan media Telur Naga yang telah digunakan pada pembelajaran matematika KD. Penjumlahan bilangan bulat pada tanggal 5 Maret 2016.Berdasarkan pengamatan dari observer dan respon siswa menunjukkan media telur naga sangat mudah digunakan,siswa tertarik karena warna dan bentuk sesuai dengan karakteristik siswa.hal ini ini karena media telur naga sudah di revisi.siswa mudah memahami konsep penjumlahan bilangan bulat. HASIL VALIDASI EFEKTIFITAS MEDIA Dari hasil observasi validasi isi dan konstruk media menggunakan skala likert rentang 1-5 diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 1.) dan (Tabel 2.) Tabel.1. Skor rata-rata validasi isi VALIDATOR NO ASPEK I II 1. Media menunjang siswa menemukan konsep; - Penjumlahan adalah proses penggabungan - Pasangan tre dan bola plastik = 0 - Sisa yang tidak berpasangan adalah hasil penjumlahan Media memudahkan siswa memahami konsep penjumlahan bilangan bulat Media menunjang siswa dalam memudahkan menyelesaikan masalah tentang penjumlahan bilangan 4 4 bulat 4. Media memberikan pengalaman nyata bagi siswa 4 4 TOTAL RERATA RERATA VALIDATOR

164 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Dari uji coba pertemuan II pada pemahaman konsep penjumlahan menunjukkan hasil belajar siswa sebagai berikut : NO JUMLAH SISWA NILAI PROSENTASE % % % bilangan bulat Tabel.2. Skor rata-rata validasi konstruk VALIDATOR NO ASPEK I II 1. Ukuran media sesuai dengan fisik siswa Warna sesuai dengan karakteristik siswa Memanfaatkan bahan ramah lingkungan Mudah dioperasikan oleh anak Pemanfaatan tidak mengganggu PBM kelas lainnya 4 4 TOTAL RERATA 4 4 RERATA VALIDATOR 4 Validasi media = skor isi + skor konstruk 2 Hasil penggunaan media pada ujicoba II untuk efektifitas isi memperoleh skor 4. Pada efektifitas konstruk menunjukkan skor 4, Menurut Arikunto (2002), jika skor validasi media maka media itu valid dan dapat digunakan tanpa revisi. KESIMPULAN DAN SARAN Media telur naga dirancang dengan menggunakan bahan yang ramah lingkungan dan cukup sederhana dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman konsep penjumlahan bilangan bulat. SARAN Guru harus lebih kreatif untuk membuat dan merancang media yang bermanfaat untuk memudahkan dalam menyampaikan materi pembelajaran.sebaiknya tidak terfokus pada penjumlahan saja tetapi bisa digunakan pada pengurangan bilangan bulat. DAFTAR RUJUKAN Arikunto,S.2013.Dasar dasar penilaian.jakarta.bumi Aksara Subanji,2013.Pembelajaran Matematika Kreatif Dan Inovatif Malang. Universitas Negeri Malang. PT Pertamina Ibrahim dan Saodih Pentingnya Media Dalam Pembelajaran Matematika. Jakarta.Gramedia Jaab G & JaabDeW.2014.What Is RealisticMathematic Education Roterdam. Roterdam University. 298

165 ISBN: PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA KLAS 8C SMP PGRI 01 BATU MATERI KELILING DAN LUAS DAERAH LINGKARAN MELALUI PEMBELAJARAN SILIH TANYA Sugiono SMP PGRI 01 BATU sugionopgri01batu@gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pembelajaran silih tanya yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa materi keliling dan luas daerah lingkaran. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan dalam dua siklus. Masing-masing siklus terdiri dari 3 pertemuan. Penelitian dilakukan di kelas 8 C SMP PGRI 01 Batu yang terdiri dari 34 siswa. Hasil penelitian menunjukan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan langkah-langkah: menyajikan masalah, menyusun masalah dan jawabanya, membentuk kelompok, mengajukan soal dan menjawab, mengoreksi dan menilai, mendiskusikan masalah yang sulit dapat meningkatkan hasil belajar siswa materi keliling dan luas daerah lingkaran. Hasil belajar meningkat dari siklus I dengan skor 72 menjadi 78 pada siklus II. Kata kunci: Hasil belajar, silih tanya, luas daerah lingkaran Berdasarkan pengalaman penulis, hasil belajar siswa pada kompetensi menghitung keliling dan luas daerah lingkaran di kelas 8C SMP PGRI 1 Batu selama ini sangat rendah. Hal ini ditunjukkan pada kompetensi siswa pada saat menjawab pertanyaan tentang keliling dan luas daerah lingkaran. Ketika siswa menjawab pertanyaan tentang keliling dan luas daerah lingkaran hanya 35% siswa yang menjawab secara benar. Rendahnya hasil belajar siswa tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1) motivasi belajar rendah yang ditunjukkan dengan kurang aktifnya siswa pada saat kegiatan pembelajaran; (2) pembelajaran monoton; (3) suasana belajar kurang menarik; (4) sarana belajar terbatas; (5) pembelajaran yang selama ini dilakukan berpusat pada guru (teacher center). Pembelajaran yang dilakukan guru selama ini, menanyakan PR yang sulit kemudian dicocokan bersama (pada kegiatan pendahuluan). Pada kegiatan inti guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada saat itu, menjelaskan konsep, memberi contoh soal, memberi latihan soal kemudian dicocok dan memberi PR, pembelajaran tersebut menyebabkan motivasi siswa rendah. Dari hal tersebut berdampak pada hasil belajar siswa kurang memuaskan (di bawah KKM dengan nilai KKM = 67). Karena itu, perlu upaya meningkatkan proses pembelajaran dengan melibatkan siswa secara aktif. Salah satu pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa adalah pembelajaran silih tanya. Model pembelajaran Silih Tanya memadukan unsur-unsur kooperatif, kreatif, kompetitif dan suasana menyenangkan dengan permainan (Subanji 2013: 146). Metode Silih Tanya merupakan bentuk pembelajaran yang terdiri dari empat unsur pokok yaitu : (1) mendorong siswa untuk kreatif melalui proses problem solving ; (2) mengkondisikan siswa untuk berkompetensi baik individu maupun kelompok; (3) membiasakan siswa untuk saling membantu mengajari temannya yang mengalami kesulitan dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan Lebih jauh Subanji (2013) menjelaskan bahwa salah satu unsur pembelajaran silih tanya adalah siswa didorong untuk kreatif melalui proses problem solving. Problem solving merupakan inti dari pembelajaran matematika, kemampuan problem solving dapat ditransfer untuk memecahkn masalah lain dalam kehidupan. Semakin baik kemampuan problem solving semakin besar peluangnya untuk mampu 299

166 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur menghadapi tantangan kehidupan yang selalu berubah.masalah yang dimaksud adalah masalah non rutin,karakteristik kusus masalh non rutin adalah untuk menyelesaikanya membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Hal ini menunjukan bahwa problem solving penting dalam pembelajaran matematika dan dapat ditingkatkan melalui pembelajaran silih tanya. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam pembelajaran dan siswa menjadi pusat kegiatan (Nurhadi 2003 : 33). Metode silih tanya mengantarkan siswa untuk memiliki kompetensi problem solving dan problem solving merupakan kompetensi tertinggi dalam belajar matematika yang harus dimiliki oleh siswa (Subanji 2013: 147). Pembelajaran silih tanya dapat meningkatkan kreatifitas siswa,hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa silih tanya dikembangkan dengan dua landasan yaitu open ended dan problem posing. Open ended adalah pendekatan pembelajaran yang dilakukan dengan menyajikan masalah yang memiliki jawaban tidak tunggal (Subanji,2013). Problem Posing adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan siswa untuk mengajukan soal-soal atau berbagai pertanyaan. Sehingga dengan metode silih tanya kreatifas meningkatkan. Siswa diharapkan tidak hanya menjadi pengguna tapi juga pencipta, tidak menjadi generasi konsumtif tapi menjadi generasi produktif (Subanji 2013: 146). Pembelajaran dengan metode silih tanya diharapkan dapat mendorong terjadinya pembelajaran yang bermaka. Menurut Subanji ( 2013) pembelajaran bermakna merupakan proses sistematis dan terencana untuk membelajarkan siswa sehingga terjadi kontruksi pengetahuan melalui pengaitan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama sehingga dapat terintegasi menjadi kepribadian diri. Berdasarkan latar belakang di atas perlu dilakukan penelitian tindakan kelas dengan judul Peningkatan Hasil Belajar Siswa Dalam Menghitung Keliling dan Luas Lingkaran dengan Metode Silih Tanya Siswa Kelas 8C SMP PGRI 1 Batu Tahun Pelajaran Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran silih tanya yang dapat meningkatkan hasil belajar. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang dilakukan dalam dua siklus. Setiap siklus dilakukan dalam 3 pertemuan. Tiap siklus terdiri dari empat tahap kegiatan yaitu: (1) perencanaan (planning); (2) tindakan (action); (3) observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Lokasi dan subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas 8C SMP PGRI 1 Batu. Jumlah siswa yang dijadikan subjek penelitian adalah 34 orang. Dalam perencanaan dilakukan langkah-langkah menyusun RPP dan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk kompetensi menghitung keliling dan luas lingkaran, menyusun alat evaluasi berupa soal, membuat lembar pengamatan motivasi siswa, membuat lembar observasi/pengamatan kegiatan guru, dan membuat lembar angket sikap. Dalam kegiatan pelaksanaan dilakukan aktifitas praktik pembelajaran. Kegiatan observasi melibatkan observer. Kegiatan refleksi dilakukan dengan diskusi antara peneliti dan observer kemudian peneliti melakukan perbaikan terhadap RPP dan LKS sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi dan rencana untuk melakukan siklus berikutnya Hasil dan Pembahasan Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran silih tanya yang dilakukan dalam 2 siklus. Masingmasing siklus dilakukan dalam 3 pertemuan. 300

167 ISBN: Siklus I Pertemuan 1 Pertemuan 1 diawali dengan dialog antara guru dan siswa mengenai pengetahuan awal siswa tentang lingkaran,khususnya mengenai jari-jari, keliling dan luas daerah lingkaran. Adapun dialog yang ada seperti berikut ini: Guru : apa yang kamu ketahui tentang lingkaran Siswa : benda yang bundar Guru : Berilah contoh benda yang berbentuk lingkaran Siswa : Roda sepeda,tutup kaleng, jam dinding Guru : sebutkan unsur-unsur lingkaran Siswa : jari-jari, keliling, luas daerah lingkaran, diameter Selanjutnya guru menjelaskan tentang unsur-unsur lingkaran. Mulai dari pusat lingkaran, jarijari lingkaran, keliling lingkaran, dan luas lingkaran. Setelah menjelaskan materi guru memberi kesempatan pada siswa untuk bertanya pada hal-hal yang belum jelas. Langkah selanjutnya siswa diberi contoh masalah yang berhubungan dengan lingkaran dan memberi kesempatan pada salah satu siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya siswa yang lain memberikan tanggapan. Kemudian guru memberi penguatan. Pertemuan 2 Kegiatan pendahuluan dimulai dengan berdoa bersama dengan membaca Al Fathihah. Sebagai apersepsi guru (peneliti) melakukan apersepsi untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dengan dialog sebagai berikut Guru Siswa : Apa yang kamu ketahui tentang unsur-unsur terkait lingkaran : jari-jari, diameter, luas lingkaran, luas juring panjang busur dan tembereng. Dari dialog tersebut di atas terlihat bahwa siswa sudah memiliki pengetahuan prasyarat yang cukup baik untuk digunakan dasar melaksanakan pembelajaran silih tanya dengan kompetensi menghitung keliling dan luas lingkaran.oleh karena itu dapat dilanjutkan kegiatan inti selanjutnya sesuai dengan RPP dengan langkah pembelajaran sebagai berikut : (1).membagi siswa menjadi 7 kelompok (terdiri dari 4 siswa); (2)masing-masing anggota kelompok membuat 2 soal yang berbeda dan setiap soal dibuat 3 lembar yang akan diberikan kepada anggota kelompok yang ada dikelompoknya masing-masing; ((3)permainan dimulai dengan hompimpa yang menang memberikan soal kepada temannya untuk dikerjakan,waktu disepakati bersama sesuai dengan tingkat kesulitanya begitu seterusnya sampai soal itu habis ; (4)setelah soal dikerjakan maka setiap anggota menilai hasil pekerjaan temanya dan merekap nilai yang di peroleh disetiap kelompok kemudian merekapnya dalam daftar rekapitulasi yang telah disiapkan; (5) yang mendapat nilai tertinggi dari seluruh anggota dalam kelompok disebut sebagai pemenang. Kegiatan silih tanya Kegiatan ini dimulai siswa mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses pembelajaran yaitu kertas HVS, kertas karton, gunting, lem spidol dan lain-lain. Selanjutnya setiap siswa diarahkan untuk berlatih membuat soal yang berhubungan dengan jari-jari, diameter, luas lingkaran dan keliling lingkaran beserta jawabannya serta penskorannya masing- masing minimal 3 soal. Dengan hompimpa permainan dimulai yang menang memberikan soal kepada anggota kelompoknya, selanjutnya diselesaikan sampai semua anggota kelompok membagi soal kepada temannya. 301

168 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Yang pertama menang dalam hompimpa adalah S1 (bukan nama sebenarnya). S1 mengajukan 2 soal terkait dengan diameter keliling dan luas daerah lingkaran. Soal pertama diberi jari-jari 200 cm,dan ditanyakan diameter,keliling dan luas. Untuk menjawab soal pertama digunakan Phi 3,14. S1 mencoba membuat soal yang penyelesainya menggunakan phi 22/7. Karena itu soal kedua diberikan informasi jari-jari 210 cm. Peneliti mendalami proses siswa dalam membuat soal. Untuk menelusuri proses siswa membuat soal, guru melakukan dialog seperti berikut. Guru : Kamu akan membuat soal tentang apa? Siswa : tentang keliling, kalau jari-jarinya diketahui Guru :Kamu tulis dahulu jari-jarinya selanjutnya tanyakan kelilingnya. Siswa yang lain (S2) membuat soal berkaitan dengan phytagoras dan lingkaran. Soal yang dibuat S2 diketahui segitiga siku-siku,salah satu sisi siku-siku sudah diketahuidan sisi terpanjang juga diketahui, siswa menanyakan apotema, hal itu menunjukkan kesalahan. 302

169 ISBN: Guru juga merunut proses pembuatan soal dari siswa kedua dengan melakukan dialog seperti berikut. Guru Siswa Guru Siswa : kamu membuat soal tentang apa : pytagoras : kita sekarang membahas tentang unsur lingkaran. :ya,pak sekarang saya membuat soal tentang luas lingkaran Dalam proses pembuatan soal, ada siswa yang mengalami kesulitan, seperti yang dialami oleh S3 yaitu siswa belum bisa melakukan sesuatu untuk memulai membuat soal. Bantuan yang dilakukan guru adalah memberi contah soal sebagai pancingan sehingga siswa mendapat pengetahuan tentang contoh soal yang berhubungan dengan keliling dan luas daerah lingkaran. Siswa membuat soal dan jawabannya menjadi satu lembar kertas. Guru memberi pengertian bahwa lembar soal dan lembar jawaban dipisah, karena lembar soal diberikan kepada temannya sedangkan lembar jawaban disimpan untuk dijadikan acuan mengoreksi jawaban temannya. Langkah berikutnya masing-masing anggota mengkoreksi pekerjaan temannya dan direkap pada lembar rekapitulasi, begitu seterusnya sampai selesai kemudian hasil direkap dalam satu kelompok, anggota kelompok yang mempunyai skor tertinggi merupakan pemenang. Ada kelompok tidak dapat memulai karena ada anggota kelompok yang belum berhasil membuat soal. Guru Siswa Guru : kenapa permainan kok belum dimulai : A an belum selesai pak : Kalau begitu satu soal dimulai sampai Aan dapat membuat soal yang kedua Pada kegiatan refleksi guru memberikan umpan balik kepada siswa tentang pembelajaran yang dilakukan melalui dialog : Guru : Apa kelebihan pembelajaran dengan metode silih tanya hari ini! Jawaban beberapa siswa sebagai berikut : Siswa 1 : Belajar dalam kebersaman. Siswa 2 : Belajar dalam situai menyenangkan. Siswa 3 : Belajar bekerja sama dalam kelompok. Siswa 4 : Menambah pengetahuan. Siswa 5 : Saling menghargai setiap anggota kelompok. Siswa 6 : Belajar rukun dalam kelompok. Siswa 7 : Menumbuhkan kreatifitas Guru : Apa kelemahan pembelajaran silih tanya! Siswa 1 : Siswa masih kesulitan membuat soal. Siswa 2 : Siswa kurang konsentrasi. Siswa 3 : Ada siswa yang terlambat membuat soal, kelompok menjadi terhambat. Siswa 4 : Bobot soal bervariasi. Dari refleksi yang dilakukan guru bersama siswa melalui dialog di atas dapat disimpulkan metode silih tanya memiliki kelebihan sebagai berikut: (1) menumbuhkan rasa kebersamaan (2) belajar dam suasanya yang menyenangkan (3) belajar bersama dalam kelompok (4) menambah pengetahuan tentang metode pembelajaran (5) belajar saling menghargai (6) memupuk rasa kerukunan (7) menumbuhkan kreatifitas siswa. 303

170 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Sedangkan kelemahan metode silih tanya sebagai berikut: (1)siswa harus menguasai kompetensi prasarat,(2) siswa terganggu konsentrasinya karena kelas menjadi ramai, (3)jJika dalam satu kelompok ada yang kesulitan membuat soal anggota kelompok yang lain terhambat. Hasil Refleksi untuk memperbaiki pembelajaran No Kendala Penyebab Alternatip Perbaikan 1. Masih ada siswa yang kurang menguasai materi Media pembelajaran kurang maksimum Melengkapi media pembelajaran 2 Ada siswa yang belum bisa cara membuat soal Kurangnya pengetahuan tentang ketrampilan membuat soal dilatih untuk membuat soal yang baik 3 Banyak waktu yang terbuang dalam proses pembelajaran Alat tulis yang dibawa siswa kurang lengkap Pembelajaran berikutnya harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya Pertemuan III Pertemuan ketiga digunakan untuk melalukan evaluasi dalam bentuk ulangan harian, Bentuk tes berupa tes tulis. Ulangan harian memuat lima soal esay dengan skor maksimal 100. Dari hasil ulangan harian siklus I didapat nilai rata-rata 72 Siklus II Pertemuan 1 Pertemuan 1 diawali dengan dialog guru dan murid mengenai pengetahuan awal murid tentang lingkaran, khususnya mengenai sudut pusat, sudut keliling dan luas juring lingkaran. Adapun dialog yang ada seperti berikut ini: Guru : apa yang kamu ketahui tentang sudut pusat Siswa : sudut yang ada di pusat lingkaran Guru : apa yang kamu ketahui tentang sudut keliling Siswa : sudut yang ada di keliling lingkaran Guru : apa yang kamu ketahui tentang juring lingkaran Siswa : bagian dari lingkaran Selanjutnya guru menjelaskan tentang sudut pusat, sudut keliling dan juring lingkaran. Setelah menjelaskan materi guru memberi kesempatan pada siswa untuk bertanya pada hal-hal yang belum jelas. Langkah selanjutnya siswa diberi contoh masalah yang berhubungan sudut pusat, sudut keliling dan juring lingkaran dan memberi kesempatan pada salah satu siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaanya siswa yang lain memberikan tanggapan. Kemudian guru memberi penguatan. Pertemuan 2 Kegiatan pendahuluan dimulai dengan berdoa bersama dengan membaca Al Fathihah. Sebagai apersepsi guru (peneliti) melakukan apersepsi untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dengan dialog sebagai berikut Guru Siswa : Apa kamu sudah bisa mencari besar sudut pusat dan sudut keliling dan luas juring : bisa pak 304

171 ISBN: Dari dialog tersebut di atas terlihat bahwa siswa sudah memiliki pengetahuan prasyarat yang cukup baik untuk digunakan dasar melaksanakan pembelajaran silih tanya dengan kompetensi menghitung keliling dan luas lingkaran.oleh karena itu dapat dilanjutkan kegiatan inti selanjutnya sesuai dengan RPP dengan langkah pembelajaran sebagai berikut : (1)membagi siswa menjadi 7 kelompok (terdiri dari 4 siswa); (2) masing-masing anggota kelompok membuat 2 soal yang berbeda dan setiap soal dibuat 3 lembar yang akan diberikan kepada anggota kelompok yang ada dikelompoknya masing-masing; (3) permainan dimulai dengan hompimpa yang menang memberikan soal kepada temannya untuk dikerjakan,waktu disepakati bersama sesuai dengan tingkat kesulitanya begitu seterusnya sampai soal itu habis ; (4) setelah soal dikerjakan maka setiap anggota menilai hasil pekerjaan temanya dan merekap nilai yang di peroleh disetiap kelompok kemudian merekapnya dalam daftar rekapitulasi yang telah disiapkan; (5) yang mendapat nilai tertinggi dari seluruh anggota dalam kelompok disebut sebagai pemenang. Kegiatan silih tanya Kegiatan ini dimulai siswa mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses pembelajaran yaitu kertas HVS, kertas karton, gunting, lem spidol dan lain-lain. Selanjutnya setiap siswa diarahkan untuk berlatih membuat soal yang berhubungan dengan jari-jari, diameter, luas lingkaran dan keliling lingkaran beserta jawabanya serta penskorannya masing- masing minimal 3 soal. Dengan hompimpa permainan dimulai yang menang memberikan soal kepada anggota kelompoknya, selanjutnya diselesaikan sampai semua anggota kelompok membagi soal kepada temannya. Siswa Mengerjakan Soal Yang Diberikan Oleh Teman Dalam Satu Kelompok Dalam proses pembuatan soal, ada siswa yang mengalami kesulitan, seperti yang dialami oleh S3, yaitu siswa membuat kunci jawaban yang salah. Bantuan yang dilakukan guru adalah membetulkan kunci jawaban yang salah. 305

172 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Dari refleksi yang dilakukan guru bersama siswa melalui dialog di atas dapat disimpulkan metode silih tanya memiliki kelebihan sebagai berikut: (1) menumbuhkan rasa kebersamaan (2) belajar dam suasanya yang menyenangkan (3)bajar bersama dalam kelompok (4) menambah pengetahuan tentang metode pembelajaran ((5)belajar saling menghargai (6)memupuk rasa kerukunan (7)menumbuhkan kreatifitas siswa. Pertemuan III Pertemuan ketiga digunakan untuk melalukan evaluasi dalam bentuk ulangan harian, Bentuk tes berupa tes tulis. Berdasarkan hasil tes ulangan harian siklus II didapatkan hasil rata-rata nilai siswa 78 sehingga secara rata-rata nilai siswa naik 10% dari siklus I SIMPULAN Berdasarkan diskripsi kegiatan pembelajaran mulai siklus I sampai dengan siklus II dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif silih tanya pada kelas 8 C SMP PGRI I Batu Tahun Pelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada kompetensi Lingkaran, hal ini dibuktikan nilai ratarata ulangan harian siklus I sebesar 72 naik menjadi 78 pada siklus II DAFTAR RUJUKAN Harianto dkk, Matematika SMP Jilid II. Depdiknas Jakarta Subanji, Pembelajaran Matematika Kreatif Dan Inovatif. UM Press. Malang Subanji, Matematika Sekolah dan Pembelajaranya. Jurnal Peningkatan Kualitas Guru J-TEQIP Tahun II Nomer 2 Nopember 2011 Subanji, Pengembangan Aktivitas Matematika Problim Solving mengacu pada Meaning Based Approach. Jurnal Peningkatan Kualitas Guru, J-TEQIP.Tahun III, Nomer 2 Nopember

173 ISBN: PENERAPAN BIMBINGAN PROBLEM SOLVING UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR STATISTIK DI SMP NEGERI 3 BATU Tri Sumardiyaningsih SMP Negeri 3 Batu trisumardiya66@gmail.com Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penerapan bimbingan Problem solving untuk peningkatan hasil belajar statistik. Jenis penelitian adalah PTK dengan dua siklus. Siklus pertama terdiri dari dua pertemuan dan siklus kedua terdiri dari dua pertemuan. Subyek penelitian adalah 28 siswa kelas IX- C SMP Negeri 3 Batu, 11 laki-laki dan 17 perempuan. Pemilihan subyek berdasarkan fakta bahwa kelas IX-C mengalami kesulitan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan konsep rata-rata dan median. Metode penelitian yang digunakan adalah bimbingan problem solving. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar statistik meningkat berdasarkan nilai rata-rata tiap siklus. Pada siklus satu nilai rata-rata 76,0 dan pada siklus dua nilai rata-rata 86,6. Jumlah siswa yang tuntas pada siklus satu 14 siswa, meningkat menjadi 24 siswa pada siklus dua. Kata Kunci: bimbingan problem solving, statistik. SMP Negeri 3 Batu sudah menerapkan kurikulum Penerapan kurikulum 2013 ini diharapkan bisa meningkatkan kualitas peserta didik maupun guru di SMPN 3 Batu, baik dilihat dari proses pembelajaran guru maupun dari hasil belajar siswa. Adapun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang digunakan oleh SMPN 3 Batu untuk pelajaran matematika, sesuai dengan yang ditentukan oleh pemerintah, yakni ketuntasan setiap siswa adalah lebih dari atau sama dengan 75 dan ketuntasan secara klasikal 85% memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 75. Di dalam proses pembelajaran, guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pembelajaran karena guru adalah sutradara yang mengatur semua jalannya proses pembelajaran. Sebagai sutradara guru harus membuat perencanaan pembelajaran untuk meningkatkan kesempatan belajar bagi peserta didik dan memperbaiki kualitas mengajarnya, serta menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, guru harus bekerjasama dengan sekolah untuk mencoba berbagai macam cara mengajar dengan tujuan memperoleh perubahan yang lebih baik yaitu semua siswa hasil belajarnya meningkat. Usaha untuk mencoba cara mengajar sering mengalami hambatan yaitu (1) guru belum cukup pengalaman tentang pembelajaran yang sesuai, (2) siswa belum terbiasa dengan cara baru yang digunakan. Kurikulum 2013 mengharuskan guru sebagai tenaga pendidik yang berperan langsung dalam proses pencapaian kualitas belajar, dan menuntut guru untuk terus meningkatkan profesionalisme dengan jalan mengembangkan cara-cara baru dalam pembelajaran. Hasil tes try out yang dilakukan tanggal 2 Pebruari 2016 tentang pengetahuan awal statistik menunjukkan bahwa kelas IX - C mempunyai ketuntasan klasikal 64,28%, yang mana hanya 18 siswa dari 28 siswa yang memenuhi KKM 75. Diperoleh prosentase ketuntasan klasikal sebesar 64,28 %, sehingga dapat dianalisis bahwa ketuntasan klasikal masih tergolong rendah. Menurut peneliti, nilai tersebut masih tergolong rendah dan faktor penyebabnya diduga adalah 1) siswa kurang berminat atau malas belajar sehingga hasil yang dicapai kurang maksimal, 2) guru kurang inovatif dalam proses belajar mengajar sehingga peserta didik merasa jenuh, bosan dan kurang bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Usaha yang diduga dapat dilakukan guru untuk meningkatkan hasil belajar adalah menciptakan suasana belajar yang lebih menarik supaya peserta didik lebih nyaman dalam mengikuti proses belajar mengajar dan memahami materi yang sedang disampaikan oleh guru. 307

174 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Rendahnya hasil belajar matematika siswa SMPN 3 Batu terletak pada problem solving. Siswa sering mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematika yang memiliki ciri khas non-rutin (problem solving). Menurut Subanji (2012), kesulitan pemecahan masalah terjadi karena pembelajaran kurang bermakna dan siswa jarang dihadapkan pada soal-soal non rutin, sehingga perlu perubahan pembelajaran matematika kearah problem solving. Salah satu yang dapat dilakukan adalah pembelajaran melalui pengembangan aktifitas problem solving yang intensif. (Subanji. 2012). Metode Problem Solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar satu metode mengajar tetapi juga merupakan metode berfikir kritis, kreatif dan analitik sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya yaitu mencari data sampai membuat kesimpulan. Peneliti ingin mengubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif melalui bimbingan memecahkan masalah. Bimbingan pemecahan masalah didasarkan pada pendapat George Polya, yaitu (1) Understand the problem, (2) Devise a plan, (3) Carry out the plan, dan (4) Look back. peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul Penerapan bimbingan problem solving untuk peningkatan hasil belajar statistik Di SMP Negeri 3 Batu. METODE PENELITIAN Penilitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) tentang tahapan menyelesaikan masalah menurut Polya yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana dan memeriksa/mengecek kembali. PTK terdiri dari dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari dua pertemuan. Pertemuan pertama tiap siklus digunakan untuk menjelaskan materi dan memberikan soal cerita (problem solving), dan pertemuan ke dua tiap siklus digunakan untuk evaluasi dalam bentuk tes tulis. Subyek penelitian adalah 28 siswa kelas IX-C SMP Negeri 3 Batu tahun pelajaran , 11 laki-laki dan 17 wanita kondisi kemampuan siswa adalah heterogen. Kelas IX-C dipilih karena mereka masih banyak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Maret sampai dengan April tahun 2016, dan materi pelajaran yang diteliti adalah materi statistik tentang rata-rata dan median. Kegiatan pembelajaran yang digunakan penerapan problem solving terbimbing dengan langkah langkah sebagai berikut: 1. Menyampaikan kompetensi yang akan dicapai. 2. Pembahasan materi dengan berbagai strategi 3. Mengerjakan soal pada Lembar Kerja (LK) secara kelompok dengan cara Polya 4. Presentasi hasil kelompok 5. Guru membimbing siswa menyimpulkan dan memberi penguatan tentang langkah-langkah menyelesaikan soal 6. Evaluasi bentuk tes tulis Kegiatan akhir dalam pembelajaran memeriksa hasil tes berdasarkan (skor) atau rubrik penilaian pengetahuan tiap item Dalam menyelesaikan masalah (problem solving) lebih efektif dengan mengubah ke kalimat matematika dan diselesaikan sesuai kaidah-kaidah matematika, selanjutnya penyelesaian matematika tersebut digunakan untuk menginterprestasikan masalah awal. Proses tersebut dapat digambarkan seperti berikut. 308

175 ISBN: Masalah Asli Translate Pematematikaan masalah Chek Solve Jawaban untuk masalah Asli Interpret Solusi dalam matematik Diadopsi dari Peterson, dkk (2011) HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini adalah PTK (Penelitian Tindakan Kelas) yang terdiri dari dua siklus, setiap siklus terdiri dari dua pertemuan. Siklus satu pertemuan satu untuk membahas materi dan siklus satu pertemuan dua untuk evaluasi. Siklus dua pertemuan satu untuk memperbaiki langkah dan pembahasan materi yang belum tercapai, siklus dua pertemuan dua untuk evaluasi. Siklus satu pertemuan satu. Kegiatan awal guru adalah memberikan apersepsi melalui tanya jawab untuk mengetahui kemampuan dan pengetahuan siswa secara individu dan klasikal yang berkaitan dengan konsep ukuran pemusatan data statistik yang sudah dipelajari baik dikelas VII, VIII dan IX semester ganjil. G: Anak-anak masih ingat cara menyajikan data Statistik? S: iya bu yaitu menggunakan diagram. G: coba Dimas sebutkan diagram apa saja? S: diagram batang, diagram garis, diagram lingkaran dan tabel. G: Apa yang dimaksud ukuran pemusatan data statistic? (Siswa agak lama menjawab, guru mengingatkan lagi dengan memberi contoh nilai ulangan) G: nilai ulangan biasanya dicari apanya? S: rata-ratanya. G: Nilai yang sering muncul disebut apa? S: modus. G: kalau median apa? S: nilai tengah setelah data diurutkan. Dari dialog tersebut terlihat bahwa siswa sudah mengenal diagram, modus, median dan rata-rata. Kegiatan berikutnya dilakukan dengan memberi masalah kepada siswa untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah yang sesuai dengan ciri soal problem solving. Guru memberikan empat masalah sesuai dengan urutan tingkat kesulitan. Adapun empat masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Diberikan tabel frekuensi disamping. Tentukan : a. Siswa yang mendapat nilai lebih dari rata-rata b. Siswa yang mendapat nilai kurang dari rata-rata c. Median nilai ulangan matematika Nilai Ulangan matematika Banyak siswa (anak)

176 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur 2. Rata-rata penghasilan 40 keluarga adalah Rp ,00. Jika rata-rata penghasilan 12 Orang Rp ,00, rata-rata penghasilan 15 orang lainnya Rp ,00, maka rata-rata penghasilan 13 orang tersisa adalah Nilai rata-rata matematika dalam suatu kelas 72, sedangkan nilai rata-rata siswa pria 69 dan nilai rata-rata siswa wanita 74. Jika banyak siswa dalam kelas 40 orang, banyak siswa pria adalah.orang 4. Perhatikan diagram batang berikut Th 2012 Th 2013 Th 2014 Th 2015 Pemasukan Pengeluaran Column1 Pemasukan dan pengeluaran keuangan (dalam puluhan juta rupiah) dari suatu perusahaan selama 4 tahun disajikan dengan diagram Batang diatas. Tentukan : a. Pada tahun berapa dan besar prosentase kenaikan pemasukan terbesar b. Pada tahun berapa dan besar prosentase penurunan pengeluaran terkecil Soal no 1 terkait dengan menentukan banyaknya siswa yang nilainya lebih dari dan kurang dari rata-rata serta median dari data yang disajikan dalam tabel. Soal no 2, terkait dengan menentukan rata-rata berkaitan dengan penghasilan dari 40 keluarga yang terbagi dalam tiga kelompok dengan rata-rata berbeda. Soal no 3, terkait dengan menentukan banyaknya siswa pria dalam suatu data yang sudah diketahui rataratanya dan banyaknya data. Soal no 4, terkait dengan menentukan prosentase kenaikan dan penurunan serta rata-rata selisih pemasukan dan pengeluaran keuangan suatu perusahaan yang dinyatakan dalam diagram batang. Ketiga melaksanakan rencana skenario pembelajaran sebagai berikut : Pendahuluan 1. Memberikan appersepsi dengan meminta siswa 2-3 siswa untuk mejawab pertanyaan tentang penyajian data(tabel,grafik, diagram) 2. Mengkomunikasikan kompetensi yang akan dicapai. 3. Menyampaikan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan yaitu a.mengerjakan Lembar Kerja (LK) b.memberi kesempatan siswa untuk bertanya. c.menyampaikan soal yang bersifat problem solving 4. Guru membentuk 7kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 Siswa dengan kemampuan heterogen Kegiatan Inti 5. Guru meminta siswa untuk mengidentifikasi: yang diketahui, yang ditanyakan, informasi tambahan. 6.Guru meminta siswa untuk mencari keterkaitan semua informasi. 7. Siswa diminta membuat pertanyaan tentang langkah-langkah apa yang 310

177 ISBN: diperlukan untuk menyelesaikan soal. 8.Guru meminta siswa untuk mencari jumlah data (k)dan banyaknya data awal(n 1 ) 9.Guru meminta siswa untuk memisalkan tambahan jumlah data(t) dan banyaknya data baru(n 2 ). 10.Menuliskan rumus hubungan antara k dan n 1 ( k/n 1 = x 1 ) 11. Menuliskan rumus hubungan antara k,t dan n 2 ( (k+t)/n 2 = x 2 ) 12.Guru menunjuk salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya, kelompok lain menanggapi. Penutup 13.Guru membimbing siswa menyimpulkan dan memberi penguatan tentang langkah-langkah menyelesaikan soal Hasil pembahasan dari empat soal pemecahan masalah secara kelompok diperoleh data sebagai berikut : 1. Dari tujuh kelompok, ada 5 kelompok menjawab dengan benar dan caranya berbeda dan 2 kelompok masih ada kesalahan untuk no 1 yaitu kurang teliti dalam perhitungan. Dalam menentukan rata-rata dan median suatu data dalam bentuk tabel, siswa masih banyak yang menggunakan cara panjang. Dalam hal ini guru berharap untuk membiasakan anak dengan langkah pendek dan memanfaatkan tabel dalam melakukan perhitungan. 2. Hasil pembahasan no.2, dari tujuh kelompok terdapat 4 kelompok menjawab benar sesuai dengan konsep mencari rata-rata, 3 kelompok menjawab salah. Kesalahan jawaban dari tiga kelompok tersebut siswa masih belum memahami konsep rata-rata gabungan dan menuliskan soal cerita ke dalam kalimat matematika atau ke persamaan. 3. Hasil pembahasan no.3 dari tujuh kelompok yang menjawab benar hanya dua kelompok dan sesuai dengan konsep, sedangkan lima kelompok menjawab salah. Kesalahan jawaban no.5 dari lima kelompok hampir sama yaitu terletak pada pemahaman konsep dan membentuk kalimat dengan pemisalan dari data yang belum diketahui. 4. Hasil pembahasan no.4 dari ketujuh kelompok benar semua dan hanya satu kelompok yang kurang teliti dalam membaca diagram batang Secara kelompok dapat diketahui bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep rata-rata dan median dari data statistic, masih belum dapat dikatakan berhasil atau tuntas secara klasikal karena masih terdapat kesalahan-kesalahan dalam mengerjakan beberapa soal. Siklus satu pertemuan kedua Kegiatan pembelajaran pada siklus satu pertemuan kedua adalah mengadakan evaluasi dengan memberikan tes tulis untuk mengetahui kemampuan dan pengetahuan siswa secara individu. Hasil dari tes tulis diperoleh rata-rata ketuntasan pada siklus satu 53,84%. Jumlah siswa yang tuntas pada siklus satu 14 siswa, dan rata-rata kelas diperoleh pada siklus satu 76,0. Refleksi Siklus I Pelaksanaan pembelajaran pada siklus I, terdapat temuan temuan permasalahan yang mengakibatkan masih rendahnya hasil ketuntasan belajar siswa baik individu maupun secara klasikal. Adapun temuantemuan permasalahan sebagai berikut : 311

178 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur No Kendala Solusi 1 Dengan membaca materi dibuku, beberapa siswa masih kesulitan memahami soal. Lembar Kerja 2. Hasil kerja individu tidak didiskusikan dalam kelompok, hal ini disebabkan alokasi waktu yang belum jelas. 3 Pada saat diskusi, beberapa anggota keliling kekelompok lain untuk menanyakan caranya. 4 Ada kecenderungan dengan membagi tugas siswa tidak mau mempelajari soal-soal yang lain 5 Hasil evaluasi masih ditemukan kesalahan konsep, notasi, dan kurang teliti dalam penghitungan 6 Kemampuan siswa memahami kalimat dan mengubah ke kalimat matematika kurang 7 Kemampuan siswa mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan ratarata gabungan masihkurang Perlu ada perbaikan dalam pembelajaran selanjutnya dengan menggunakan Ada pembagian alokasi waktu yang jelas untuk individu dan waktu diskusi. Guru perlu keliling memberikan bantuan pada kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan Setiap siswa mengumpulkan lembar kerja hasil diskusi kelompok. Lembar Kerja disempurnakan Membimbing tiap-tiap kelompok yang mengalami kesulitan Perlu memantapkan konsep mean (ratarata) gabungan Dari evaluasi tes siklus I diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Pada soal nomor 1, dari banyaknya siswa yang sudah memahami cara menentukan rata-rata dan median dan menjawab dengan benar ada 16 anak dari 28 anak atau 61,53%, 2. Pada soal nomor 2, banyaknya siswa yang sudah memahami cara menentukan rata-rata gabungan tentang pengahasilan relatif sangat kecil 26,93% menjawab dengan benar ada 7 anak dari 28 anak 3. Pada soal nomor 3, banyaknya siswa yang sudah memahami cara menentukan rata-rata dan median dan menjawab dengan benar ada 12 anak dari 28 anak atau 42,86%, dan 4. Pada soal nomor 4, banyaknya siswa yang sudah memahami cara menentukan selisih rata-rata hasil pemasukan dan pengeluaran perusahaan yang belum diketahui sangat kecil 61,53% menjawab dengan benar ada 16 anak dari 28 anak Jadi hasil evaluasi siklus I tingkat ketuntasan masih rendah baik secara individu maupaun secara klasikal. Maka perlu adanya perubahan atau perbaikan pada pembelajaran selanjutnya. Siklus II Berdasarkan hasil tes dan temuan-temuan pada siklus I, maka guru perlu mengadakan pembelajaran siklus II. Pada siklus II langkah-langkah pembelajaran sama dengan siklus I dan pada kegiatan inti guru memperhatikan temuan Ketiga melaksanakan rencana skenario pembelajaran sebagai berikut : Pendahuluan 1. Memberikan appersepsi dengan meminta siswa 2-3siswa untuk mejawab pertanyaan tentang penyajian data(tabel,grafik, diagram) 2. Mengkomunikasikan kompetensi yang akan dicapai. 3. Menyampaikan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan yaitu a.memberikan lembar kerja (LK) b.memberi kesempatan siswa untuk bertanya. 312

179 ISBN: c.menyampaikan soal yang bersifat problem solving 4.Guru membentuk 7 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan heterogen Kegiatan Inti 5. Guru meminta siswa untuk mengidentifikasi: yang diketahui,yang ditanyakan, informasi tambahan. 6. Guru meminta siswa untuk mencari keterkaitan semua informasi. 7. Siswa diminta membuat pertanyaan tentang langkah-langkah apa yang diperlukan untuk menyelesaikan soal. 8. Guru meminta siswa untuk mencari jumlah data (k)dan banyaknya data awal(n 1 ) 9. Guru meminta siswa untuk memisalkan tambahan jumlah data(t) dan banyaknya data baru(n 2 ). 10.Menuliskan rumus hubungan antara k dan n 1 ( k/n 1 = x 1 ) 11. Menuliskan rumus hubungan antara k,t dan n 2 ( (k+t)/n 2 = x 2 ) 12.Guru memberi bimbingan pada kelompok yang mengalami kesulitan dan menunjuk salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya, kelompok lain menanggapi. Penutup 13.Guru membimbing siswa menyimpulkan dan memberi penguatan tentang langkah-langkah menyelesaikan soal 14. Hasil lembar kerja dikumpulkan secara individu. Kegiatan pembelajaran pada siklus II pertemuan kedua adalah mengadakan evaluasi dengan memberikan tes tulis untuk mengetahui kemampuan dan pengetahuan siswa secara individu. Hasil dari tes tulis siklus satu dan siklus dua diperoleh sebagai berikut, siswa yang mencapai KKM (75) pada siklus satu 53,84% menjadi 85,71%, pada siklus dua, rata-rata kelas pada siklus satu 76,0 meningkat menjadi 86,6 pada siklus dua Siklus I Siklus II Tuntas Tidak Tuntas Rata-rata Gambar.1 Hasil tes siklus satu dan siklus dua Refleksi Siklus II Pada siklus dua diperoleh temuan-temuan yang relative lebih kecil sebagai berikut : 1. Masih ada siswa yang mengerjakan soal tidak tuntas relativ sangat kecil 2 anak dari 28 siswa 313

180 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur 2. Ketidak telitian dalam penghitungan 3. Ketidak telitian dalam membaca grafik PENUTUP A.KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembelajaran dengan menggunakan metode penerapan bimbingan problem solving yang dilakukan, peneliti dapat menyimpulkan bahwa hasil belajar siswa di kelas IX-C SMP Negeri 3 Batu meningkat dari hasil rata-rata pada tiap-tiap siklus yaitu siklus satu 76,0 dan siklus dua rata-rata 86,6. Jumlah siswa yang tuntas siklus satu 14 siswa, meningkat menjadi 24 siswa pada siklus dua. B. SARAN Penerapan bimbingan problem solving dapat meningkatkan kemampuan Berfikir kritis, kreatif, inisiatif peserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar dan dapat mengembangkan interpersonal dalam bekerja kelompok. Metode problem solving lebih tepat digunakan di kelas tinggi atau untuk pengayaan DAFTAR RUJUKAN Subanji Matematika Sekolah Dan Pembelajarannya. J-TEQIP, edisi Tahun II,Nomor 1, Mei 2011 G.Polya (dalam Musser, G.L. dkk 2004:5) Subanji Pembelajaran MatematikaKreatif dan Inovatif. Malang (UM PRESS) Subanji Mengembangkan Aktivitas Matematika Problem Solving, J-TEQIP, Tahun III, Nomor 2, Nopember

181 ISBN: UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATERI PENYAJIAN DATA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TGT BERBANTUAN MEDIA LKS PADA SISWA KELAS VI SDN PENDEM 02 Erna Minarti Ningsih SDN PENDEM 02 Junrejo Kota Batu Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran Kooperatif TGT berbantuan media LKS yang dapat meningkatakan hasil belajar siswa. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang dilakukan 2 siklus pada kelas VI SDN Pendem 02 Junrejo Kota Batu,dengan jumlah siswa sebanyak 32 orang.hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif TGT berbantuan media LKS yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dilakukan dengan langkah: (1) penjelasan materi,(2) diskusi kelompok berbantuan LKS, (3) pelaksanaan kompetisi, (4) penilaian.penerapan pembelajaran kooperatif TGTberbantuan LKS meningkatkan hasil belajar sebesar 18,8 % yaitu dari siklus 1 sebesar 68,7% menjadi 87,5% pada siklus 2. Kata Kunci: Hasil belajar, metode kooperatif TGT, Berbantuan media LKS Belajar adalah sebuah proses yang berkelanjutan untuk mencapai sebuah perubahan yang diharapkan dari sesuatu yang tidak tahu menjadi tahu. Sesuai cita cita bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat adil dan makmur maka anak anak negeri sebagai penerus / generasi bangsa hendaklah berkopeten. Karena di tangan anak anak bangsa inilah bangsa Indonesia bisa lebih maju dan mendunia. Permasalahan klasik seorang guru adalah bagaimana guru bisa menyampaikan materi supaya bisa dipahami dan dipraktikkan langsung oleh peserta didik melalui latihan-latihan soal yang diberikan maupun pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari Windari.A (2015) Keberhasilan siswa dalam belajar tidak terlepas dari peran aktif guru yang mampu memberi motivasi dan dapat menciptakan iklim belajar yang harmonis, kondusif, menyenangkan (Jamil & Sutarni. 2011). Oleh karena itu di butuhkan guru yang selalu mampu memberi motivasi, kreatif, inovatif,dalam proses pembelajaran. Guru harus bisa menjadi fasilitator yang baik dan benar bagi peserta didiknya. Di sinilah guru dituntut untuk selalu belajar mengikuti perkembangan iptek demi kesuksesan anak didik nya. Matematika adalah ilmu yang universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, dan mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu untuk memajukan daya pikir manusia. Wall (2007) Berpendapat bahwa dalam belajar matematika anak harus percaya bahwa ia mampu memahami dan ia harus yakin dengan kemampuannya dalam memahami dan mengerjakan matematika. Dalam pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi sehingga dalam mengajukan masalah konstektual, peserta didik dibimbing secara bertahap untuk menguasai konsep matematikanya. Menurut (Rokhmah& Wati Y.E 2011) Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. 315

182 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Menurut Jenning dan Dunne (dalam Maja, 2007) dalam pembelajaran matematika, penyampaian guru cenderung bersifat monoton, hampir tanpa variasi kreatif, kalau saja siswa ditanya ada saja alasan yang mereka kemukakan seperti matematika sulit, tidak mampu menjawab, takut disuruh guru ke depan dan seba-gainya, sehingga menimbulkan adanya gejala phobia (ketakutan anak terhadap matematika) yang melanda sebagian besar siswa. Guru dalam kelas tidak mengaitkan dengan konsep awal yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Dalam proses pembelajaran guru hanya menjelaskan dan memberikan latihan yang berulang, sehingga terkesan monoton dan anak cepat bosan pelajaran terkesan tidak bermakna. Hal ini diketahui dari hasil tes yang dilakukan guru ternyata nilai siswa tidak sesuai yang diharapkan. Masalah inilah yang digunakan sebagai landasan guru melakukan perubahan dalam proses pembelajaran. Menurut Dwiyana (2015) Di dalam proses pendidikan, guru merupakan komponen yang sangat penting. Hal ini dikarenakan guru yang membuat segala kebijakan di dalam kelas termasuk perencanaan bagaimana cara mengimplementasikan kurikulum. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui pembelajaran kooperatif TGT. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa salah satu pembelajaran yang mengaktifkan siswa dalam berkelompok adalah kooperatif Teams-Games Tournament (TGT). Dalam TGT ada komponen persaingan antar siswa untuk mendapatkan nilai yang terbaik. Menurut Slavin (2008) persaingan itu tidak selalu salah, jika diatur dengan baik, persaingan diantara para siswa yang sesuai dapat menjadi sarana yang efektif dan tidak berbahaya. Namun bentuk-bentuk yang biasanya digunakan di dalam kelas jarang sekali bersifat efektif dan sehat. Disinilah peran guru menjadi sangat penting untuk mengatur persaingan menjadi semangat belajar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru adalah dengan mengkondisikan persaingan menjadi lingkungan belajar yang efektif dan sehat. Hal inilah yang menjadi ciri khas model pembelajaran kooperatif tipe Teams- Games Tournament (TGT). Model pembelajaran yang menggunakan kooperatif tipe TGT ini sudah dilakukan oleh Al Hafis Fajri (2015) dan mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT menggunakan turnamen akademik dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka. Untuk meningkatkan pemahaman konsep serta menambah minat dan motivasi siswa dalam pembelajaran, model pembelajaran ini menjadi salah satu pilihan yang bisa diterapkan di kelas karena kondisi belajar lebih menyenangkan dimana setiap siswa dilibatkan aktif dalam kegiatan permainan turnamen tim. Lizawati (2005) menjelaskan bahwa dalam kooperatif siswa terlibat aktif dalam pembelajaran yang ditunjukkan keaktifan dalam kerjasama kelompok dan hasil belajar juga meningkat. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini mengaji penerapan pembelajaran TGT berbantuan media LKS yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut Marshall (1993;116) Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan lembaran penugasan yang dibuat dan disusun secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami. Lembaran kerja yang disiapkan sebagai alat bantu dalam pelaksanaan pembelajaran dengan metode TGT dalam proses pembelajaran ini diharapkan mampu memotivasi, meningkatkan kerjasama antar siswa, mampu menumbuhkan kepercayaan diri siswa, mampu menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif, mampu menjadikan suasana belajar lebih menyenangkan, mampu meningkatkatkan kompetisi yang positif. METODE PENELITIAN Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran kooperatif TGT materi penyajian data berbantuan lembar kerja yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena itu penelitian ini 316

183 ISBN: tergolong pada penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas dengan tahapan perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Tahap perencanaan dilakukan dengan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran yang mengacu pada sintak TGT dan dilanjutkan dengan mengembangkan media LKS untuk membantu siswa mengonstruksi materi penyajian data. Tahap pelaksanaan pembelajaran dilakukan di kelas VI SDN Pendem 2 Kota Batu dengan jumlah siswa 32 orang, yang terdiri dari 11 laki-laki dan 21 perempuan mulai bulan Februari sampai Maret Dalam pelaksanaan pembelajaran sekaligus dilakukan observasi yang dibantu oleh taman sejawat. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari 3 pertemuan (@2 jam pelajaran). Siklus pertama dilakukan pada tanggal 9 19 Februari 2016 dan siklus kedua dilaksanakan pada tanggal 22 Februari 7 Maret Setiap akhir siklus dilakukan refleksi, untuk mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan memperbaikinya untuk siklus berikutnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dipaparkan berdasarkan tahapan pelaksanaan pembelajaran kooperatif TGT. Dalam hal ini dilakukan dalam dua siklus. Persiapan dilakukan dengan menyiapkan RPP yang menggunakan metode TGT berbantuan media LKS. Siklus 1 Siklus pertama terdiri dari 2 kali pembelajaran dan satu kali tes. Pelaksanaan pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut. Siklus 1 pertemuan 1 Pada pertemuan pertama ini dimulai dengan memberikan support untuk menimbulkan semangat dalam memulai pembelajaran matematika yang menurut anak anak membosankan. Setelah anak terpokus dan bersemangat maka guru memulai memberikan apersepsi tentang pelajaran yang lalu dan memancing ke pembelajaran yang akan di bahas. Guru mengajak siswa untuk, menciptakan suasana hening, lalu siswa diajak untuk menemukan sesuatu yang sengaja diletakkan guru (kertas yang bertuliskan angka angka) pada bawah kursi / meja. Anak anak yang menemukan kartu angka tersebut maju ke depan dan menunjukkan nya. Selanjutnya anak anak yang di depan kelas memegang kartu dan saling pindah posisi mengurutkan angka yang di pegang berdasarkan dari urutan kartu angka yang terkecil. Bersama sama siswa menyebutkan urutan kartu angka dari yang terkecil. Siswa yang lain maju ke depan untuk menuliskan urutan angka tersebut. G: Adakah diantara kalian yang bisa menuliskan data tersebut dalam kolom table data? S: Tidak bu? G: Baiklah ibu beri contoh, tolong perhatikan ke papan tulis dan konsentrasi penuh. S: Siap Bu, tugas dilaksanakan. Sejenak guru memperhatikan kesiapan siswa, semua tampak tenang dan memperhatikan papan tulis. Guru menjelaskan bagaimana cara membuat table data dan mulai menggambarkan table data dari data yang di tuliskan siswa di papan. G: Apakah anak anak sudah mengerti cara membuat table datanya? S : Mengerti Bu. G: Yakin, anak anak semua paham? S : Iya Bu.. 317

184 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Guru menjelaskan proses belajar dengan cara kompetisi (TGT) dan membagikan lembaran kerja siswa. Proses pembelajaran berjalan lancar dan terlihat semua siswa antusias dalam menyelesaikan soal soal yang disiapkan guru. Selesai 1 soal mereka mencari kelompok lain yang juga sudah selesai untuk mempresentasekan hasil kerja kelompoknya. Bila menurut mereka sudah benar maka mereka menunjukkan hasil kerja kepada guru untuk mendapatkan soal berikutnya. Untuk kelompok yang berhasil menyelesaikan soal terbanyak dan benar maka mendapatkan reward berupa bintang yang dipasangkan pada papan kelompok. Pada pengerjaan LKS kelompok Kerucut berhasil menyelesaikan 8 soal, kelompok tabung juga 8 soal tetapi dalam proses penyelesaian soal waktu yang di butuhkan kelompok kerucut lebih cepat disbanding kelompok tabung. Kelompok kubus berhasil menyelesaikan 7 soal, kelompok kubus 6 soal dan kelompok prisma 5 soal. Jadi pada proses pembelajaran kali ini bintang reward di berikan kepada kelompok kerucut. Lalu guru memberikan Lembaran Kerja Individu. Pada proses pengerjaan Lembar kerja Individu kelihatan siswa antusias dan berebut untuk mendapatkan soal soal berikutnya. Guru memberikan batasan waktu dalam proses penyelesaian Lembar Kerja Individu. Dari data yang di peroleh dengan jumlah 5 soal maka siswa yang mendapat nilai 10 ada 5 siswa, nilai 8 ada 7 siswa, nilai 6 ada 8 siswa, nilai 4 ada 6 siswa dan nilai 2 ada 4 siswa. Siklus l pertemuan 2 Pada pertemuan kedua guru akan menyajikan diagram garis dan diagram batang dari data yang ada pada table data. Guru menyiapkan perangkat pembelajaran RPP dengan metode TGT berbantuan media LKS, LCD untuk menginformasikan materi yang akan diajarkan hal ini agar pembelajaran lebih menarik perhatian siswa. Dalam proses pembelajaran kali ini untuk mengkonsentrasikan siswa guru mengajak siswa untuk bernyanyi bersama, tanya jawab tentang materi yang lalu dan menggali tentang materi yang akan diajarkan. G: Kita sudah belajar table data. Selanjutnya yang akan kita pelajari pagi ini apa anak anak? S: Kata ibu kemarin, habis table data buat diagram Bu! G: Ya, jadi pagi ini kita akan belajar membuat diagram garis dan diagram lingkaran. Nah, anak anak perhatikan layar monitor di depan. Karena siswa sudah siap untuk belajar, maka guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan menyampaikan materi diagram garis dan diagram batang pada layar monitor. Guru mengimformasikan tugas yang akan dikerjakan siswa secara berkelompok ataupun secara individu. Dengan tanya jawab guru menggali pemahaman siswa tentang cara membuat diagram garis dan diagram batang. Guru membagikan Lembaran Kerja Siswa yang sama pada tiap kelompok, kelompok yang sudah selesai mencocokkan hasil kerjanya pada kelompok yang lain. Selesai dipresentasekan jawaban dikumpulkan ke guru untuk mendapatkan soal berikutnya. Setelah kegiatan inti maka diumumkan kelompok terbaik yang paling banyak menyelesaikan soal pada LKS. Pada pertemuan kali ini kelompok tabung unggul karena berhasil menyelesaikan 8 soal dan benar semua jadi skornya 80 untuk kelompok kerucut berhasil menyelesaikan 7 soal dan mendapat skor 70, kelompok kubus dan balok menyelesaikan 6 soal dan skor 60 kelompok prisma menyelesaikan 5 soal dan skornya 50. Kelompok yang mendapat bintang kuning sebagai reward (goal star) adalah kelompok tabung. Kelompok kerucut mendapat blu star, kelompok kubus dan balok green star, dan kelompok kerucut mendapat red star. Saat diskusi antara sesama siswa sudah ada interaktif, ada saling kerja sama walaupun masih ada beberapa siswa yang hanya diam dan melihat temannya kerja.siswa yang antusias dan bersemangat ingin menguasai soal yang di dapat dan siswa yang kurang hanya ikut ikutan saja. 318

185 ISBN: Dari data hasil penilain yang di peroleh dengan jumlah 5 soal maka siswa yang mendapat nilai 10 ada 8 siswa nilai 8 ada 16 siswa, nilai 6 ada 6 siswa, nilai 4 ada 1 siswa dan nilai 2 ada 1 siswa. Siklus 1 pertemuan 3 Pemberian soal tes Dari hasil tes pada siklus 1 pertemuan ke 3 dapat di peroleh data sebagai berikut: Dari perolehan data nilai hasil tes maka ketuntasan siswa dengan KKM 6,5 hanya (68,7 %) jadi yang tidak tuntas (31,2 %). Dari hasil pengamatan yaitu siswa masih belum berani dalam mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan sehingga membuat guru kesulitan dalam mendeteksi kemampuan prasyarat awal siswa untuk mengetahui bagian mana materi yang sulit. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk diperbaiki pada siklus kedua, di antaranya (1) Siswa masih kurang berani untuk bertanya kepada guru tentang masalah yang dihadapi atau materi yang dirasa sulit, (2) Masih ada beberapa siswa yang kurang peduli dalam proses pembelajaran, (3) Pengelolaan kelas belum maksimal,(4) Perlu pembimbingan khusus untuk beberapa siswa yang membutuhkan pendampingan, (5) Guru masih sulit mendeteksi kesulitan yang dialami siswa, (6) Bahasa soal dalam LKS harus mudah dipahami, (7) LKS perlu diperbanyak. Siklus ll pertemuan 1 Pembelajaran diawali dengan tanya jawab antara guru dan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri kesiapan siswa dalam belajar. G: anak-anak kemarin kita sudah belajar diagram batang dan diagram garis, dan bu guru sudah meminta kalian untuk belajar diagram lingkaran. Jadi hari ini akan belajar apa anak-anak? S: diagram lingkaran bu Dari dialog tersebut menunjukkan bahwa siswa telah siap belajar matematika khusunya materi diagram lingkaran. Kegiatan pembelajaran masuk pada kegiatan inti, dilakukan dengan penyajian materi tentang penyajian data dengan LCD. Sambil menayangkan LCD, guru melakukan tanya jawab dengan siswa. G: kalau kita ingin menyajikan data dalam diagram lingkaran, satu lingkaran penuh berapa prosen? S: 100% G: bagaimana kalau siku-siku? Sebagian siswa masih ragu-ragu dan sebagian yang lain menjawab 25%. Akhirnya guru menegaskan kepada siswa bahwa Seper-empat lingkaran / membentuk sudut siku-siku menyatakan 25%. Selanjutnya guru memberikan permasalahan terkait dengan diagram lingkaran sebagai berikut. kambing kerbau 15% sapi 25% kelinci 15% ayam 10% Banyak hewan ternak keluarga Wawan sebanyak 500 ekor. Jika kerbau 15%, sapi 25%, ayam 10%, kelinci 15%. Berapa jumlah kambingnya? 319

186 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Dari masalah tersebut guru mengajak siswa berdialog seperti berikut. G: apa yang diketahui dari permasalahan tersebut? Apa kata kunci dari permasalahan tersebut? S: yang diketahui ada 500 ekor. G: bagaimana cara menghitung banyak kambing? S: 35/100 * 500 G: mengapa dibagi seratus? S: karena seratus menyatakan keseluruhan satu lingkaran G: kenapa harus dikali dengan 500? S: karena jumlah seluruh ternak 500 ekor Dari dialog tersebut terlihat bahwa siswa sudah memahami secara bermakna tentang makna proses dalam diagram lingkaran. Dengan mengetahui bahwa siswa sudah memahami konsep prosen dalam diagram lingkaran, guru memutuskan untuk melanjutkan dengan memberikan masalah di kelompok, berpasangan, dan selanjutnya dikompetisikan antar kelompok. Jumlah seluruh siswa kelas VI ada 60 orang. 15% siswa gemar drama,20% siswa gemar menyanyi,40% olahraga, dan sisanya music. Berapa siswa yang gemar olah raga? Salah satu kelompok langsung merespon pertanyaan yang diberikan guru dengan menghitung prosentase siswa yang gemar music (karena prosentase siswa yang gemar music belum diketahui). Jawaban kelompok tersebut diilustrasikan sebagai berikut. % siswa gemar music = = 25% Siswa gemar music = 25/100 * 60 = 15 siswa Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan tukar jawaban ke kelompok lain untuk saling mengoreksi. Ditemukan oleh kelompok balok bahwa jawaban kelompok kubus salah. Akhirnya terjadi interaksi antara kelompok balok dan kelompok kubus. Kelompok kubus menjadi sadar akan kesalahannya dan memperbaiki jawabannya. Di akhir kegiatan kelompok dilakukan evaluasi, yakni setelah siswa menyelesaikan 10 soal dalam waktu 45 menit. Dari hasil evaluasi diperoleh bahwa kelompok tabung mendapatkan skor 90, kelompok kerucut dan balok mendapat skor 80, kelompok kubus mendapat skor 70, dan kelompok prisma mendapat skor 50. Kegiatan akhir dilakukan dengan memberikan 5 soal untuk dikerjakan secara individu. Hasil evaluasi individu diperoleh hasil 6 mendapat skor 100, 18 orang mendapat skor 80, 6 orang mendapat skor 60, dan 2 orang mendapat skor 40. Dari hasil tes terlihat bahwa pembelajaran belum berhasil sesuai dengan harapan (belum mencapai ketuntasan minimal yang diharapkan), dan setelah direfleksikan ada beberapa langkah pembelajaran yang perlu diperbaiki, antara lain: (lembar kerja perlu ditambah, bahasa soal perlu lebih diperjelas, perlu pembimbingan khusus pada anak-anak yang kemampuannya di bawah rata-rata, pendampingan pada kelompok yang belum aktif perlu lebih diintensifkan. Siklus ll pertemuan ke 2 Pada siklus ini pembelajaran dirancang sebaik mungkin mulai dari perangkat pembelajaran sampai strategi yang akan digunakan. Perangkat pembelajaran yang digunakan dirancang oleh peneliti yang memuat informasi berharga yang dibutuhkan guru dan siswa. Strategi yang beragam, metode TGT, serta sumber belajar yang sangat mudah dilihat dan mudah di pahami. Perangkat pembelajaran disertai alternative strategi pengajaran yang dilengkapi LKS. 320

187 ISBN: Kelompok dibentuk secara heterogen sehingga siswa yang pandai akan menyebar pada beberapa kelompok. Dengan demikian komunikasi matematika siswa pada tiap kelompok akan lebih baik, karena siswa biasanya tidak segan bertanya kepada kawannya dalam kelompok tersebut. Selain itu, bahasa siswa yang sebaya dalam ber-komunikasi sering mudah dicerna oleh siswa yang sebaya umurnya. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Selanjutnya pada pertemuan ini diawali dengan tebakan, tanya jawab untuk mengkondisikan siswa, dan menarik minat dalam pembelajaran matematika tabel data /diagram lingkaran. Setelah siswa terkonsentrasi guru memulai pembelajaran dengan tanya jawab untuk menggali pengetahuan siswa tentang materi yang sudah di pelajari dan materi yang akan dibahas. Untuk mengatasi permasalahan pada pertemuan yang lalu dan untuk mencarikan solusinya, maka guru lebih memperhatikan kelompok yang kurang aktif dan menyiapkan 2 soal pada tiap lembar LKS. Lembaran LKS disiapkan lebih banyak. Intinya siswa tidak di beri kesempatan untuk bermain karena dalam setiap kelompok LKS dibagikan minimal 3 lembar, jadi semua anak bekerja untuk menyelesaikan LKS. Pada siklus ini proses pembelajaran masih pada diagram lingkaran tetapi tentang derajad. Dengan tayangan LCD ditampilkan cara menyelesaikan masalah diagram lingkaran dengan derajad. Terlihat siswa lebih antusias berusaha menyelesaikan soal secara berpasangan dan mencocokkan jawaban pada kelompok dan bila ada jawaban yang salah, teman dikelompok saling membantu untuk menyelesaikan soal dengan mencari jawaban yang benar. Setelah mereka menyepakati jawaban, maka mereka mencari kelompok lain yang juga sudah selesai untuk menukar dan mengoreksi jawaban. Lalu mereka mengumpulkan LKS kepada guru dan mengambil soal LKS berikutnya. Kelompok yang berhasil menyelesaikan soal terbanyak dan dinyatakan benar maka menjadi pemenang dan mendapatkan penghargaan goal star yang di pasang pada baju siswa. Untuk penilaian individu guru membagikan LKI yang berisi 3 soal jika sudah selesai siswa boleh mengumpulkan dan mengambil LKI berikutnya. Dari waktu yang dibatasi dalam menyelesaikan soal maka hasil jawaban siswa melalui LKI di peroleh data berikut: siswa yang berhasil menyelesaikan 5 soal dan mendapat skor 100 ada 16 siswa dan menyelesaikan 4 soal dengan skor 80 ada 12 siswa dan yang mampu menyelesaikan 3 soal dengan skor 60 ada 2 siswa dan yang mampu menyelesaikan 2 soal ada 3 siswa dengan skor 60 dan satu siswa mendapat skor 40. Dari data ini maka 87,5 % siswa di nyatakan tuntas dengan KKM 6,5 dan 1,28 yang belum tuntas. Untuk mengetahui hasil sepenuhnya maka guru akan melanjutkan siklus ll pertemuan ke 3 dengan memberikan tes tertulis. Pertemuan ke 3 pemberian soal tes. Setelah melakukan tes pada pertemuan ketiga ternyata hasil perolehan nilai siswa meningkat pesat. Dari perolehan data nilai hasil tes maka ketuntasan siswa dengan KKM 6,5 mencapai (87, 5 %) jadi yang tidak tuntas (12,5 %) SIMPULAN Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif TGT Berbantuan Media LKS yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI SDN Pendem 02 pada materi penyajian data dilakukan dengan langkah: (1) penyampaian materi, (2) diskusi kelompok berbantuan LKS, (3) pelaksanaan kompetisi, (3) Penilaian Peningkatan hasil belajar siswa pada materi penyajian data melalui pembelajaran kooperatif TGT berbantuan media LKS sebesar 18,8% yaitu dari siklus 1 sebesar (68,7%) pada siklus 2 menjadi (87,5%) 321

188 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur RUJUKAN Anita, W. & Indarini Game Koin Sibilbul Pada Pembelajaran Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat di Kelas VIII D SMPN Sanggau. Prosiding Seminar Nasional Exchange of Experiences TEQIP. 31 Oktober Dwiyana Lesson Study Meningkatkan Kwalitas Guru Dalam Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Exchange of Experiences TEQIP. 31 Oktober Fajri. A Penggunaan Speed Test Pada Pembelajaran Team-Game- Turnament Pokok Bahasan Gerak Di Kelas X Smk Negeri 6 Batam. Prosiding Seminar Nasional Exchange of Experiences TEQIP. 31 Oktober Iran Penerapan Metode Jigsaw Berbantuan Media Dakon untuk Meningkatkan Hasil Belajar FPB dan KPK. Prosiding Seminar Nasional Exchange of Experiences TEQIP. 31Oktober Jamill & Sutarni Peningkatan Hasil Belajar dan Sikap Siswa Kelas VI SDN 135/V Makmur Jaya TEQIP 2011 Maja & Rusnita Penerapan Pendekatan konstruktivisme Melalui LKS Berbasis Konstektual untuk Meningkatkan Hasil Brelaja Matematika Siswa kelas III SDN 08 Kepahing. J TEQIP Jurnal Peningkatan Kualitas Guru. 2 Nopember Mulyati.I Penggunaan LKS untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bilangan Bulat Siswa SD Negeri Muara Badak. Prosiding Seminar Nasional Exchange of Experiences TEQIP. 31Oktober Ruslah Upaya meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Dalam Menentukan KPK dan FPB Melalui Pembelajaran Kooperatif dengan Bantuan Media Miscin pada Siswa Kelas VII. Prosiding Seminar Nasional Exchange of Experiences TEQIP. 31Oktober 2015 Rokhmah &Wati EY Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model STAD untuk Meningkatkan Pemahaman Materi Pencerminan Siswa Kelas V di SDN Kauman l Bojonegoro. Prosiding Seminar Nasional Exchange of Experiences TEQIP. 31Oktober

189 ISBN: PENERAPAN METODE TWO STAY & TWO STRAY PADA MATERI PECAHAN MENGGUNAKAN MEDIA KARTU SOAL UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN KEAKTIFAN SISWA KELAS V DI SDN TORONGREJO 03 Tutik Indrawati SDN Torongrejo 03 Kecamatan Junrejo Kota Batu indrafidianto@gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan metode Two Stay and Two Stray berbantuan media kartu soal yang dapat meningkatkan hasil belajar.penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dilakukan 2 siklus.penelitian ini dilaksanakan di SDN Torongrejo 03 kelas V dengan jumlah siswa sebanyak 24 anak.hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran Two Stay & Two Stray yang dapat meningkatkan hasil belajar dilakukan dengan langkah-langkah:1) penjelasan materi, 2)diskusi kelompok, 3)saling berkunjung, 4) presentasi. Hasil belajar siswa meningkat 25,25 dari siklus 1 dengan ratarata nilai 56,75 menjadi nilai rata rata 82 di siklus 2 Kata kunci: metode two stay & two stray,kartu soal,materi pecahan Pelajaran matematika selama ini terkesan dengan hal yang menakutkan bahkan pelajaran paling sulit bagi siswa.askury (2015) menjelaskan bahwa matematika yang diajarkan di SD kadangkadang masih membingungkan murid dan muridpun tidak mau bertanya takut kalau dimarahi. Hal ini yang menyebabkan nilai matematika selalu di urutan paling akhir di antara mata pelajaran lainnya. Sebagai contoh kasus di kelas V SDN Torongrejo 03, dari jumlah 24 siswa lebih dari 50% (14 siswa) nilai matematikanya kurang dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Selain itu, antusias siswa juga masih kurang. Hal ini terlihat ketika guru memberi pertanyaan kepada siswa, sangat jarang siswa mau menjawab. Ketika pelajaran matematika siswa terlihat malas dan merasa terbebani.akibatnya nilai siswa tidak bisa maksimal. Rendahnya nilai siswa juga terjadi pada saat belajar materi pecahan. MenurutEma Thabita Nenoliu (2015) pecahan merupakan materi yang sulit kalau dibandingkan dengan bilangan bulat. Banyak guru yang mengalami kesulitan dalam mengajarkannya di sekolah dasar terutama pada saat mempelajari operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan.sebagai contoh siswa diberi masalah menghitung pecahan dengan penyebut berbeda siswa kesulitan. Ketika guru memberikan soal ½ + 1/3,masih ada siswa yang menjawab 2/5.Hal ini terjadi karena siswa berpikir bahwa menjumlahkan pecahan itu dilakukan dengan menjumlahkan pembilang dengan pembilang dan menjumlahkan penyebut dengan penyebut.kesalahan siswa tersebut tergolong pada kesalahan konsep, siswa tidak memahami konsep menjumlahkan pecahan yang seharusnya disamakan penyebut terlebih dahulu. Kesalahan siswa tersebut tidak lepas dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Askury (2015) menjelaskan bahwa masih banyak guru dan siswa yang tidak memahami makna pecahan secara benar. Guru dan siswa yang mampu mengoperasikan penjumlahan atau pengurangan pecahan ternyata hanya memahami secara prosedural. Karena itu diperlukan pembelajaran secara bermakna (Subanji, 2014) untuk mengatasi kesulitan belajar siswa materi pecahan. Sebagai seorang guru dan juga sebagai pendidik diharapkan mampu mengelola strategi yang menarik dalam proses pembelajaran. Guru sebagai tenaga profesional, dituntut tidak hanya mampu mengelola pembelajaran saja tetapi juga harus mampu mengelola kelas, yaitu menciptakan dan mempertahankan kondisi belajar yang optimal bagi tercapainya tujuan pembelajaran. 323

190 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Penggunaan metode two stay & two stray memungkinkan siswa berperan aktif bahkan dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran.metode ini memungkinkan siswa untuk lebih mamahami konsep pecahan secara maksimal. Penelitian terkait dengan penerapan metode two stay & two stray yang telah dilakukan oleh Albertus Alvoublun (2015) menunjukkan bahwa mampu merubah pola didik pada siswa yang biasanya cenderung guru menjelaskan,kemudian memberikan contoh soal di rubah dengan siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran. Selain itu pembelajaran matematika agar lebih bermakna, siswa diharapkan tak hanya mampu memahami secara prosedural tetapi harus memahami secara konseptual.pemahaman secara konseptual perlu dibantu dengan menggunakan media pembelajaran (Zainudin & Sadri,2015).Media pembelajaran sering menjadikan materi lebih mudah dipahami oleh siswa. Proses siswa membangun koneksi antar materi matematika dan antara matematika dengan kehidupan juga akan terbangun secara baik. Dalam penelitian ini media yang digunakan adalah kartu soal.dzakirul Husni (2014), menunjukkan bahwa metode bermain kartu soal sangat bermanfaat dalam meningkatkan belajar siswa bahkan pembelajaran menjadi lebih aktif dan menarik.kartu soal berisi tentang soal-soal cerita yang dimodifikasi sedemikian rupa dalam sebuah kartu yang menarik sehingga anak-anak akan lebih kreatif dalam bermain kartu soal. Kolaborasi antara metode dan media yang tepat dalam hal ini metode two stay & two stray serta media kartu huruf memungkinkan pembelajaran berjalan maksimal dan mampu meningkatkan kekatifan siswa.berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitiandengan menerapkan metode Two Stay dan two Stray menggunakan media kartu soal pada materi pecahan di kelas V SDN Torongrejo 03. METODE PENELITIAN Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran matematika dengan metode Two Stay & Two Stray materi penjumlahan dan pengurangan pecahan berbantuan kartu soal yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena itu penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas dengan tahapan perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Tahap perencanaan dilakukan dengan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran yang mengacu pada sintak TS & TS dan dilanjutkan dengan mengembangkan media kartu soal untuk membantu siswa mengonstruksi materi penjumlahan dan pengurangan pecahan. Tahap pelaksanaan pembelajaran dilakukan di kelas V SDN Torongrejo 03 Kota Batu dengan jumlah siswa 24 orang, yang terdiri dari 13 laki-laki dan 11 perempuan mulai bulan Februari sampai Maret Dalam pelaksanaan pembelajaran sekaligus dilakukan observasi yang dibantu oleh taman sejawat. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari 4 pertemuan (@2 jam pelajaran). Siklus pertama dilakukan pada tanggal 9 19 Februari 2016 dan siklus kedua dilaksanakan pada tanggal 22 Februari 7 Maret Setiap akhir siklus dilakukan refleksi, untuk mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan memperbaikinya untuk siklus berikutnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dipaparkan berdasarkan tahapan pelaksanaan pembelajaran TS & TS. Dalam hal ini dilakukan dalam dua siklus. Siklus 1 Siklus pertama terdiri dari 2 kali pembelajaran dan satu kali tes. Pelaksanaan pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut. Siklus 1 pertemuan 1 324

191 ISBN: Pembelajaran diawali dengan tanya jawab anat guru dan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri keiapan siswa dalam belajar G:anak-anak sekarang kita akan membahas tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan. kalian ingat dulu dikelas tiga sudah pernah di ajari tentang materi ini? S: ingat bu G: coba kalian hitung bagaimana cara menyelesikan soal ini ¾ + 2/4 = S: jawabannya 5/4 bu Dari dialog diatas guru menyimpulkan bahwa siswa sudah siap untuk belajar materi pecahan khususnya penjumlahan dan pengurangan. Guru memutuskan untuk masuk kegiatan inti dengan menggali kemampuan siswa dengan soal yang bebeda penyebutnya G: Benar,sekarang bu guru punya contoh lain bagaimana cara menghitung soal ini ¾ + 2/3 = S: Sebagian besar siswa menjawab 5/7 tapi sebagian lagi menjawab ragu-ragu bahkan ada yang tidak menjawab sama sekali Guru menjelaskan secara singkat tentang menghitung pecahan apabila penyebutnya berbeda harus dicari dahulu KPK nya.siswa mengamati penjelasan guru dan saling bertanya jawab tentang materi yang disampaikan.kemudian guru membagikan kartu soal untuk dikerjakan secara kelompok. Setelah selesai mengerjakan soal secara berkelompok,dua siswa berkunjung ke kelompok lain untuk mendiskusikan hasilnya seperti tampak pada gambar dibawah ini 325

192 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Ditemukan bahwa kelompok kura-kura dan kelompok kucing masih belum memahami materi. Guru melakukan pendampingan dan menjelaskan ulang konsep hitung pecahan. Di akhir kegiatan guru melakukan evaluasi,ditemukan bahwa kelompok kucing dan kura-kura masih belum memahami materi bahkan kesulitan ketika harus berdiskusi dengan kelompok lain sehingga skor yang di dapat masih nol,kelompok garuda,singa dan rajawali memperoleh skor 60,dan terakhir kelompok kancil mendapat skor 80 Dari hasil tes terlihat bahwa pembelajaran belum berhasil sesuai dengan harapan (belum mencapai ketuntasan minimal yang diharapkan), dan setelah direfleksikan ada beberapa langkah pembelajaran yang perlu diperbaiki, antara lain: (lembar kerja perlu ditambah, bahasa soal perlu diperjelas, perlu pembimbingan khusus pada anak-anak yang kemampuannya di bawah rata-rata, pendampingan pada kelompok yang belum aktif perlu diintensifkan. Siklus 1 pertemuan 2 Pembelajaran diawali dengan tanya jawab antara guru dan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri kesiapan siswa dalam belajar. G: Anak-anak minggu lalu kita sudah belajar tentang pecahan.nah sekarang kita akan mempelajari apa? S: Penjumlahan dan pengurangan pecahan bu Dari dialog diatas menunjukkan bahwa anak-anak sudah siap untuk belajar materi pecahan khususnya pengurangan dan penjumlahan pecahan Kegiatan pembelajaran masuk pada kegiatan inti, dilakukan dengan penjelasan materi penjumlahan dan pengurangan secara singkat G: anak-anak bu Indra akan menjelaskan kembali tentang penjumlahan pecahan apabila empat per sembilan ditambah dua per tiga maka yang harus didahulukan apa?? S : Menyamakan penyebutnya bu G: menyamakan penyebut harus dicari KPK dari 4 dan sembilan berapa KPK 4 dan 9 Kemudian guru memberikan konsep menghitung pecahan baik penjumlahan maupun pengurangan Dari dialog tersebut terlihat bahwa siswa sudah memahami secara bermakna tentang makna proses menghitung penjumlahan dan pengurangan pecahan. Dengan mengetahui bahwa siswa sudah memahami konsep, guru memutuskan untuk melanjutkan dengan memberikan masalah di kelompok melalui kartu soal setelah itu siswa mengerjakan kemudian kalau sudah selesai di tukarkan dengan kelompok lain untuk didiskusikan seperti tampak pada gambar disbawah ini 326

193 ISBN: Ditemukan bahwa kelompok garuda dan kelompok rajawali cara mngerjakan sama tetapi jawaban berbeda ternyata kelompok singa belum disederhanakan pecahannya,kemudian kelompok singa segera memperbaiki kesalahannya. Di akhir kegiatan kelompok dilakukan evaluasi, yakni setelah siswa menyelesaikan 5 soal dalam waktu 20 menit. Dari hasil evaluasi diperoleh bahwa kelompok Garuda dan singa mendapat mendapatkan skor 100, kelompok kancil dan kucing mendapat skor 80, kelompok kura-kura mendapat skor 60, dan kelompok rajawali mendapat skor 40. Kegiatan akhir dilakukan dengan memberikan 5 soal untuk dikerjakan secara individu. Hasil evaluasi individu diperoleh hasil 2anak mendapat skor 100, 5 anak mendapat skor 84, 5 anak mendapat skor 64, 7 anak mendapat skor 46, dan 5 anak mendapat skor 20 sehingga diperoleh rata-rata nilai pada siklus 1 adalah 56,75 Dari hasil tes terlihat bahwa pembelajaran belum berhasil sesuai dengan harapan (belum mencapai ketuntasan minimal yang diharapkan), dan setelah direfleksikan ada beberapa langkah pembelajaran yang perlu diperbaiki, antara lain: (lembar kerja perlu ditambah, bahasa soal perlu diperjelas, perlu pembimbingan khusus pada anak-anak yang kemampuannya di bawah rata-rata, pendampingan pada kelompok yang belum aktif perlu diintensifkan. Siklus 2 Siklus kedua dilaksanakan dalam dua kali pertemuan,pelaksanaan pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut: Siklus 2 pertemuan 1 Pembelajaran diawali dengan tanya jawab antara guru dan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri kesiapan siswa dalam belajar G: anak-anak kemarin b indra sudah menjelaskan konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan pecahan,kalian masih ingat? S : ingat bu G: apa yang harus kita lakukan terlebih dahulu apabila kita menemukan soal penjumlahan maupun pengurangan pecahan S: dengan menyamakan penyebutnya bu Dari dialog diatas menunjukkan bahwa anak-anak sudah siap untuk mengikuti kegiatan pembelajaran selanjutnya Guru memutuskan untuk masuk kedalam kegiatan inti: G: Anak-anak b indra punya contoh soal seperti ini 0,2 + = 50 % + = Ada yang bisa menghitungnya? S: sebagian siswa menjawab ragu ragu,sebagian lagi tidak menjawab Guru menjelaskan bahwa caranya sama tetapi bentuk desimal dan persen harus diubah dahulu kebentuk pecahan.anak anak d ingatkan kembali merubah bentuk desimal dan persen ke bentuk pecahan,kemudian cara menghitungnya sama persis dengan materi minggu lalu. 327

194 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Dirasa cukup paham dengan penjelasan guru, secara berkelompok siswa di beri tugas untuk menyelesaikan soal melalui kartu soal. Setelah mengerjakan siswa berkunjung ke kelompok lain untuk mendiskusikan hasilnya. Ditemukan bahwa kelompok garuda dan kelompok kucing,hampir seluruh jawaban berbeda karena kelompok garuda salah dalam mencari KPK ketika menyamakan penyebutnya,begitu juga di kleompok kura-kura dan rajawali terdapat perbedaan jawaban karena kelompok garuda belum menyederhanakan hasil pecahannya. Guru dibantu dengan teman sejawat menjelaskan konsep kepada kelompok yang mengalami kesulitan seperti tampak pada gambar di bawah ini Setelah siswa selesai kerja kelompok,salah satu perwakilan dari tiap tiap kelompok mempresentasikan hasilnya didepan kelas,tampak seperti gambar dibawah ini Di akhir kegiatan,guru melakukan evaluasi,ditemukan bahwa kelompok garuda mendapatkan skor 60,kelompok kura-kura,kucing dan singa mendapat skor 80 sedangkan kelompok rajawali dan kucing mendapat skor 100. Selain itu guru juga melakukan evaluasi untuk tugas individu Siklus 2 pertemuan 2 Pada pertemuan kedua guru lebih intensif mengingatkan kembali materi yang telah diajarkan pada siklus sebelumnya tentang penjumlahan dan pengurangan berbagai bentuk pecahan, Kegiatan awal pembelajaran,dimulai dengan guru mengingatkan kembali materi sebelumnya 328

195 ISBN: G:Anak-anak kalian ingat minggu kemarin kita telah membahas penjumlahan dan pengurangan berbagai bentuk pecahan,coba kalian hitung misal Bu Indra punya soal seperti ini - 60 % = Bagaimana caranya menghitungnya anak- anak? S: Dengan merubah persen menjadi pecahan biasa bu G: Bagus,kalau sudah dirubah ke bentuk pecahan,jangan lupa biar menghitungya mudah harus di ubah ke bentuk pecahan yang paling sederhana Guru kemudian mengingatkan kembali cara merubah persen kebentuk pecahan paling sederhana kemudian di hitung seperti biasanya dengan menyamakan dahulu penyebutnya. Dirasa penjelesan guru cukup membuat anak-anak paham,guru memutuskan untuk masuk ke kegiatan inti. Guru membagikan kartu soal ditiap-tiap kelompok,kemudian anakl-anak segera mengerjakannya. Di tengah pembelajaran,ditemukan bahwa kelompok garuda mengalami kesulitan karena lupa merubah bentuk desimal ke bentuk pecahan biasa.dengan dibantu teman sejawat,guru melakukan pendampingan pada kelompok yang menagalami kesulitan. Setelah selesai anak-anak segera mendiskusikan jawabannya dengan kelompok lain. Ditemukan bahwa kelompok kucing masih banyak yang salah karena lupa tidak disederhanakan.kelompok,begitu juga dengan kelompok singa ada satu soal yang tidak disedeerhanakan jawabannya. Selesai berdiskusi,perwakilan dari tiap-tiap kelompok mempresentasikan hasil kerja didepan kelas,tampak seperti gambar dibawah ini Diakhir pembelajaran,guru melakukan evaluasi,ditemukan bahwa kelompok garuda,kancil dan rajawali betul semua,kelompok singa salah satu,kelompok kelompo kura-kura salah tiga dan kelompok kucing salah 4. Selain evaluasi kelompok,guru juga melakukan tes individu,ditemukan bahwa dari 24 siswa,sebanyak 6 anak mendapat nilai 100,10 siswa mendapatkan nilai 84,7 anak mendapat nilai 68,1 anak mendapat nilai 52, se hingga diperoleh nilai rat-rata sebesar 82. Berdasarkan hasil tes kemampuan siswa pada siklus 2 dapat dilihat,sebanyak 23 siswa(96 %) mendapat nilai diatas KKM dan hanya 1 anak (4 %) mendapat nilai dibawah KKM. Berdasarkan hasil siklus 1 dan siklus 2 dapat dilihat bahwa pembelajaran menggunakan metode Two Stay & Two Stray dengan menggunakan media kartu soal dapat meningkatkan kekatifan siswa serta meningkatkan hasil belajar siswa terhadap materi pecahan.hal ini sejalan dengan penelitian Albertus Avloubun (2015) yang menyatakan bahwapenggunaan metode Two stay dan Two Stray dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 329

196 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur KESIMPULAN Langkah langkah pembelajaran materi pecahan menggunakan metode Two Stay Dan two stray dengan bantuan media kartu soal yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa adalah:1)siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok untuk berdiskusi, 2) Dalam kelompok dibagi tugas ada yang diam di tempat sebagai tuan rumah dan adapula yang berkunjung /bertamu ke kelompok lain, 3) Tugas tuan rumah menjelaskan hasil diskusinya kepada setiap tamu yang datang sedangkan tugas tamu adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya materi yang didiskusikan tentangoleh kelompok tersebut, 4)Setelah dirasa cukup memperoleh informasi,anggota kelompok yang jadi tamu bertugas menyebarkan informasi yang diterimanya ke keklompoknya sendiri, 4)Siswa melakukan presentasi di depan kelas. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan hasil belajar yang signifikan pada materi penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan menggunakan metode Two Stay & Two stray berbantuan media kartu soal pada siswa kelas V SDN Torongrejo 03.Hal ini terbuktu dengan diperolehnya nilai rata-rata pada siklus 1 yaitu 56,75 naik pada siklus 2 menjadi 82,maka diperoleh selisih nilai rata-rata sebesar 25,25. DAFTAR RUJUKAN Albertus A, 2015.Penerapan pembelajaran Two Stay & Two Stray berbasis lesson study pada materi sifat operasi bilangan bulat siswa kelas V.Prosiding Seminar Nasional TEQIP Depdiknas,2008.Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidkan Pedoman Pengembangan Silbus BSNP.Jakarta:Depdiknas Askury, Sekitar pembelajaran Matematika SD dan kesalahannya. Prosiding Seminar Nasional TEQIP Dzakirul Husni, 2014.Meningkatkan hasil belajar matematika melalui metode bermain kartu soal pada siswa kelas VI A MIN Tanah Grogol Tahun pelajaran Prosiding Seminar Nasional TEQIP Ema T, 2015.Penerapan Metode STAD pada materi penjumlahan pecahan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDK Leob. Prosiding Seminar Nasional TEQIP Siswanti, 2015.Meningkatkan pembelajaran matematika materi operasi hitung penjumlahan pecahan melalui metode demonstrasi dan latihan siswa kelas IV SDN 008 kecamatan Tanah Grogot Kabupaten Paser. Prosiding Seminar Nasional TEQIP Subanji, 2011.Matematika Sekolah dan Pembelajarannya.Jurnal TEQIP Mei 2011 Zainuddin & Sadri, 2013.Meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV sekolah dasar.prosiding 2 TEQIP

197 ISBN: UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PECAHAN MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW SISWA KELAS IV SDN TORONGREJO 02 KECAMATAN JUNREJO KOTA BATU Sutrisno SD Negeri Torongrejo 02 Kecamatan Junrejo Kota Batu Abstrak : Penelitian ini bertujuan meningkatkan pemahaman konsep pecahan melalui pembelajaran kooperative Jigsaw.Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Torongrejo 02 Kecamatan Junrejo Kota Batu, dengan jumlah siswa sebanyak 10 anak, dengan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa langkahpembelajaran kooperatif Jigsaw yang meningkatkan pemahaman siswa adalah; 1) penjelasan materi pembelajaran; 2) membentuk kelompok ahli; 3) diskusi kelompok.peningkatan pemahaman siswa dalam konsep pecahan dapat dilihat dari hasil belajar. Siklus I dengan rata-rata nilai 76,5meningkat menjadi 8,6 ketuntasan dari siklus I 76, 5 % menjadi siklus II 8,6 % Kata kunci : Konsep pecahan,kooperatif Jigsaw, Pemahaman Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya Menurut Rooyakkers (1984:5) menyatakan bahwa mendidik adalah menyampaikan bahan pelajaran yang berarti melaksanakan beberapa kegiatan, untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan anak didik. Interaksi yang bernilai interaktif edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan. Menurut Sudjana (1985:5) belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Dalam proses pembelajaran, khususnya matematika SD guru memiliki motivasi dan peranan yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran. Untuk itu guru harus mampu mengembangkan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan hidup siswa melalui proses pembelajaran yang baik. Menurut Dahar (1985:102) motifasi berfungsi mengikat perhatian siswa,menggiatkan semangat belajar,menciptakan kondisi yang optimal untuk belajar. Sayangnya hal ini banyak yang tidak memahaminya. Proses belajar mengajar masih banyak pengajar matematika yang menekankan pembelajaran pada aturan cara menyelesaikan soal.siswa tinggal memilih cara yang sesuai dengan masalah yang diselesaikan. Secara umum siswa melakukan langkah-langkah yang dicontohkan oleh gurunya.hal ini berdampak apabila soal diubah meskipun sedikit, siswa akan mengalami kesulitan.siswa juga sering menerapkan prosedur yang salah dalam menyelesaikan soal,dianggapnya soal itu sama,padahal konteknya berbeda,sehingga jawaban yang diperolehnya salah. Kesalahan matematika siswa juga terjadi pada materi pecahan. Konsep pecahan dapat diperkenalkan dengan benda sesungguhnya yang ada disekitar. Siswa bisa dibawa ke arah benda konkrit untuk mengenal konsep pecahan. Hal ini akan mempermudah membangun konsep pecahan, karena proses belajar yang dilakukan bermakna bagi siswa. Masalah terkait dengan pecahan sudah dikaji oleh beberapa peneliti (Askury, 2015; Nenoliu, 2015). Askury (2015) menemukan bahwa masih banyak guru dan siswa yang belum memahami makna pecahan. Nenoliu (2015) menjelaskan bahwa penjumlahan pecahan menjadi masalah dalam belajar siswa. Dalam hal ini siswa masih banyak yang mengalami kesulitan menyelesaikan masalah 331

198 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur pecahan. Kesulitan siswa dalam belajar pecahan juga terjadi di kelas yang diajaroleh peneliti, yaitu kelas IV SDN Torongrejo 2 Kecamatan JunrejoKota Batu. Kesulitan belajar pecahan di SDN Torongrejo 02 Kecamatan Junrejo Kota Batu, tidak lepas dari praktik pembelajaran yang dilakukan oleh guru (peneliti),dalam hal ini perlu dicari pemecahannya. Salah satu contoh kesulitan siswa adalah + =....Anak-anakmengerjakan dengan cara pembilang ditambah dengan pembilang, penyebut ditambah dengan penyebut yaitu pembilangnya = 2, penyebutnya = 5 akhirnya jawabannya menjadi tidak benar yaitu. kesalahan tersebut akan berdampak pada belajar matematika lebih lanjut, bahkan bisa membuat siswa lebih malas belajar matematika. Karena itu harus ada upaya untuk mengatasinya. Salah satu cara untuk mengaktifkan siswa dalam belajar adalah dengan menggunakan metode Jigsaw.Penelitian terkait dengan kooperatif Jigsaw sudah banyak dilakukan (Iran, 2015;Yusuf, 2003). Iran (2015) menjelaskan bahwa pembelajaran Jigsaw dengan menggunakan media dakon dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Yusuf dkk,(2003) menjelaskan bahwa pembelajaran yang dapat meningkatkan aktifitas dan kreatifitas siswa adalah kooperatif Jigsaw.Dalam hal tersebut penelitian ini dipraktikkan pembelajaran kooperatif Jigsaw untuk meningkatkan pemahaman konsep pecahan berbantuan lembar kerja siswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran kooperatif Jigsaw berbantuan lembar kerja yang dapat meningkatkan pemahaman konsep pecahan. Penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas dengan tahapan perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Tahap perencanaan dilakukan dengan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran yang mengacu pada sintak kooperatif Jigsaw dan dilanjutkan dengan mengembangkan media LKS untuk membantu siswa mengonstruksi materi penyajian konsep pecahan sederhana. Tahap pelaksanaan pembelajaran dilakukan di kelas IV SDN 02 Torongrejo Kota Batu dengan jumlah siswa 10 orang, yang terdiri dari 5 laki-laki dan 5 perempuan mulai bulan Februari sampai Maret Dalam pelaksanaan pembelajaran sekaligus dilakukan observasi yang dibantu oleh teman sejawat. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari 2 pertemuan (@2 jam pelajaran). Siklus pertama dilakukan pada tanggal 8 dan 10 Februari 2016 sedangkan siklus kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 17 Februari Setiap siklus terdiri dari tahapan:perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi,dan refleksi. Data dikumpulkan dengan merekam aktivitas pembelajaransecara utuh dari pendahuluan, kegiatan inti, sampai penutup. Selanjutnya data yang terkumpul di analisis menggunakan analisis data kualitatif yang dilakukan dengan mendiskripsikan kegiatan pembelajaran sesuai dengan sintaks Jigsaw. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dipaparkan berdasarkan tahapan pelaksanaan pembelajaran kooperatif Jigsaw. Dalam hal ini dilakukan dalam dua siklus.siklus pertama terdiri dari 2 kali pembelajaran dan satu kali test. Siklus 2 terdiri dari 2 pertemuan dan satu kali tes. Pelaksanaan pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut. Siklus 1 pertemuan 1 Pembelajaran diawali dengan tanya jawab antara guru dengan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri kesiapan siswa dalam belajar. 332

199 ISBN: G.Anak-anak hari ini kita akan belajar pecahan sederhana,apakah anak - anak tahu yang dimaksud dengan pecahan? S.Belum pak? Dari dialog tersebut menunjukan bahwa siswa belum memahami konsep tentang pecahan sederhana.maka guru menjelaskan konsep tentang pecahan sederhana dengan mengunakan media gambar. Selanjutnya guru meninta siswa membentuk 3 kelompok,2 kelompok terdiri dari 3 siswa dan 1 kelompok terdiri 4 siswa,kelompok ini disebut kelompok asal.pada kelompok asal siswa diberi identitas A,B dan C. Selanjutnya guru meminta siswa yang beridentitas A kumpul sesama identitas A membentuk kelompok baru,begitu juga dengan identitas B dan C juga membentuk kelompok baru, kelompok ini disebut kelompok ahli. Kelompak A diberi tugas oleh guru menggambar pecahan sederhana dalam bentuk persegi panjang. Kelompok B diberi tugas oleh guru menggambar pecahan sederhana dalam bentuk persegi. Kelompok C diberi tugas oleh guru mengambar pecahan sederhan dalam bentuk lingkaran. Setelah diskusi pada kelompok ahli selesai,anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk mempresentasikan kepada kepada kelompoknya secara bergantian. Pada kegiatan akhir siswa diberi tugas secara individu mengenai pecahan sederhana dalam berbagai bentuk. Diakhir pertemuan guru meminta siswa agar dirumah belajar tentang operasi hitung tentang mengurutkan bilangan pecacahan dari yang terkecil pada bialangan pecahan sederhana. 333

200 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Siklus 1 pertemuan 2 Pembelajaran diawali dengan tanya jawab antara guru dan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri kesiapan siswa dalam belajar. G:anak-anak kemarin kita sudah belajar pecahan sederhana,dan pak guru sudah meminta kalian untuk belajar tentang mengurutkan bilangan pecahan sederhana. Jadi hari ini akan belajar apa anak-anak? S:mengurutkan pecahaan sederhana pak? Dari dialok tersebut menunjukan bahwa siswa telah siap belajar matematika khususnya materi mengurutkan pecahan sederhana. Kegiatan pembelajaran masuk pada kegiatan inti, dilakukan dengan penyajian materi mengurutkan pecahan sederhana dengan menggunakan media gambar pecahan sederhana. Sambil guru melakukan tanya jawab dengan siswa. G. menunjukkan lambang bilangan berapa anak-anak? S: pak? G: menunjukkan lambang bilangan berapa anak-anak? S: pak? G: menunjukkan lambang bilangan berapa anak-anak? S: pak? G: menunjukkan lambang bilangan berapa anak-anak? S: pak? Sebagian siswa masih ragu-ragu dan sebagian yang lain menjawab benar, akhirnya guru menegaskan kepada siswa mengurutkan pecahan sederhana dimulai dari yang terkecil sampai yang terbesar.selanjutnya guru memberikan permasalahan terkait dengan materi mengurutkan pecahan sederhana dari yang terkecil sampai terbesar. Coba urutkan pecahan berikut ini dari yang terkecil samapai yang terbesar,,, Dari masalah tersebut guru mengajak siswa berdialog seperti berikut G:Apa yang diketahui dari permasalahan tersebut? Apa kata kunci dari permasalahan tersebut? S: yang diwarna sedikit itu yang kecil sedang yang diwarna banyak itu yang besar. G:Bagaimana cara mengurutkanya? S: Diurutkan dari yang diwarna sedikit sampai yang diwarna paling banyak. 334

201 ISBN: Dari dialog tersebut terlihat bahwa siswa sudah memahami secara bermakna tentang makna proses mengurutkan pecahan sederhana dari yang terkecil hingga terbesar. Dengan mengetahui siswa sudah memahami konsep dalam mengurutkan pecahan sederhana dari yang terkecil hingga terbesar,guru memutuskan untuk memberikan masalah dikelompok,berpasangan,dan selanjutnya dikompetisikan antar kelompok.jumlah siswa kelas IV ada 10 orang dua siswa belum memahami delapan siswa menguasai tentang mengurutkan pecahan sederhana dari yang terkecil sampai dengan pecahan yang terbesar.salah satu kelompok ada yang langsung merespon pernyataan yang diberikan oleh guru dengan mengurutkan pecahan sederhana dari yang kecil sampai besar. Hasilnya dari 10 siswa delapan anak menjawab betul dua anak menjawab salah. Dengan prosentase 80 % menjawab betul dan 20 % menjawab salah. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan tukar jawaban dengan kelompok lain untuk saling mengoreksi.ternyata ditemukan oleh kelompok balok ada jawaban kelompok segi tiga ada jawaban yang salah.akhirnya terjadi interaksi antara kelompok balok dan kelompok segi tiga,kelompok segi tiga akan sadar akan kesalahannya dan memperbaiki jawabanya.diakhir kegiatan kelompok dilakukan evaluasi yakni setelah siswa menyelesaika 10 soal dalam waktu 45 menit Dari hasil evaluasi diperoleh bahwa kelompok balok bisa menjawab semua dari 10 soal dengan jawaban yang benar,dengan mendapat skor 100,.kelompok segi tiga dapat menjawab 8 mendapatkan skor 80. Kelompok persegi dapat menjawab 6 mendapat skor 60. Kegiatan akhir dilakukan dengan memberikan soal untuk dikerjakan siswa yang kurang memahami materi pembelajaran hari ini dengan bantuan siswa yang sudah memahami materi. Dari kegiatan pembelajaran terlihat bahwa pembelajaran belum sesuai dengan harapan karena masih ada satu kelompok yang nilainya dibawah kriteria ketuntasan minimal,dan setelah direfleksika ada beberap langkah pembelajaran yang perlu diperbaiki, antara lain : perlu bimbingan khusus pada anak yang kemampuanya di bawah rata-rata, dan bimbingan pada kelompok yang belum aktif perlu ditingkatkan. Siklus II pertemuan 1 Pembelajaran diawali dengan tanya jawab antara guru dan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri kesiapan siswa dalam belajar. G: anak-anak kemarin kita sudah belajar pecahan sederhana, dan pak guru sudah meminta kalian untuk belajar tentang penjumlahan. Jadi hari ini akan belajar apa anak-anak? S: Penjumlahan pecahan sederhana pak? Dari dialog tersebut menunjukkan bahwa siswa telah siap belajar matematika khusunya materi penjumlahan pecahan sederhana. Kegiatan pembelajaran masuk pada kegiatan inti, dilakukan dengan penyajian materi penjumlahan pecahan sederhana dengan mrnggunakan media gambar pecahan sederhan. Sambil guru melakukan tanya jawab dengan siswa. G: kalau kita ingin menjumlahkan pecahan + =... berapa hasilnya? S: G: bagaimana + =...berapa hasilnya? S: pak 335

202 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Sebagain siswa masih ragu-ragu dan sebagian yang lain menjawab benar. Akhirnya guru menegaskan kepada siswa bahwa penjumlahan pecahan sederhan. Selanjutnya guru memberikan permasalahan terkait dengan penjumlahan pecahan sederhana dengan menggunakan media gambar pecahan. + =... + =... Dari masalah tersebut guru mengajak siswa berdialog seperti berikut. G: apa yang diketahui dari permasalahan tersebut? Apa kata kunci dari permasalahan tersebut? S: yang diketahui pembilang tambah pembilang,penyebutnya karena sama tidak dijumlahkan. G: bagaimana cara menjumlahkanya? S: pembilangnya ditambahkan penyebutnya sudah sama tidak. G: mengapa harus demikian? S: karena penyebut sudah sama langsung dijumlahkan. Dari dialog tersebut terlihat bahwa siswa sudah memahami secara bermakna tentang makna proses dalam penjumlahan bilangan pecahan sederhana. Dengan mengetahui bahwa siswa sudah memahami konsep prosen dalam penjumlahan bilangan pecahan, guru memutuskan untuk melanjutkan dengan memberikan masalah di kelompok, berpasangan, dan selanjutnya dikompetisikan antar kelompok. Jumlah seluruh siswa kelas IV ada 10 orang, dua siswa belum memahami, enam siswa bisa menguasai sedangkan dua siswa masih perlu mbimbingan Salah satu kelompok langsung merespon pertanyaan yang diberikan guru dengan menghitung prosentase siswa yang menguasai penjumlahan pecahan sederhan 60%,yang belum bisa 20 %,sedang yang 20 % bisa dengan bimbingan guru (karena prosentase siswa yang menguasai penjumlahan pecahan sederhana sudah diketahui). Jawaban kelompok tersebut diilustrasikan sebagai berikut. % siswa bisa mengerjakan penjumlahan pecahan sederhana dan% siswa yang belum bisa, % bisa tetapi masih perlu bantuan guru. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan tukar jawaban ke kelompok lain untuk saling mengoreksi. Ditemukan oleh kelompok balok bahwa jawaban kelompok segitiga salah. Akhirnya terjadi interaksi antara kelompok balok dan kelompok segitiga. Kelompok segitiga menjadi sadar akan kesalahannya dan memperbaiki jawabannya. Di akhir kegiatan kelompok dilakukan evaluasi, yakni setelah siswa menyelesaikan 10 soal dalam waktu 45 menit. Dari hasil evaluasi diperoleh bahwa kelompok balok mendapatkan skor 100, kelompok persegi mendapat skor 80, kelompok segi tiga mendapat skor 60. Dari kegiatan pembelajaran terlihat bahwa pembelajaran sudah mulai efektif, tetapi hasil tugas kelompok belum 100% terselesaikan.setelah direfleksikan ada beberapa langkah pembelajaran yang perlu diperbaiki yaitu perlu bimbingan kepada siswa dalam memanfaatkan waktu agar tugas dapat selesai. Siklus II Pertemuan 2 Pembelajaran diawali dengan tanya jawab antara guru dengan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri kesiapan siswa dalam belajar. G:Anak-anak kemarin kita sudah bejalar penjumlahanpecahan sederhana,dan pak guru meminta anak-anak untuk belajar tentang penjumlahan pecahan sederhana yang penyebutnya tidak sama, jadi kita sekarang belajar apa anak-anak? S:Belajar penjumlahan pecahan sederhana yang penyebutnya tidak sama pak? 336

203 ISBN: G:Apakah sama caranya apabila penjumlahan pecahan sederhana yang penyebutnya tidak sama dengan panjumlahan pecahan yang penyebutnya sama anak-anak? S: Ada yang menjawab sama ada juga yang menjawab tidak. Dari dialok tersebut menunjukkan bahwa siswa telah siap untuk belajar matematika khususnya penjumlahan pecahan sederhana yang penyebutnya tidak sama. Kegiatan pembelajaran masuk pada kegiatan inti, dilakukan dengan panyajian materi pembelajaran penjumlahan pecahan sederhana yang penyebutnya tidak sama + =... + =... + =... + =... Sambil guru mengadakan tanya jawab dengan siswa tentang penjumlahan pecahan sederhana yang penyebutnya tidak sama. G: Anak-anak penjumlahan pecahan yang penyebutnya tidak sama bagaimana cara mengerejakanya? S: Dengan mencari KPKnya pak? Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan kerja kelompok,masing-masing kelompok berkompetisi dengan batas waktu 20 menit. Kelompok yang selesai terlebih dahulu dan menjawab benar mendapatkan penghargaan. Dari hasil evaluasi yang diperoleh, urutan pertama yang menyelesaikan tugas adalah kelompok persegi, disusul kelompok balok,dan yang paling akhir adalah kelompok segi tiga. Kegiatan akhir dilakukan dengan membuat kesimpulan bersama siswa. Hasil pembelajaran pada pertemuan ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan kooperatif Jigsaw siswa tertantang untuk bisa menguasai materi dengan cepat,saling mengajarkan kepada siswa yang belum memahami di dalam kelompoknya,siswa saling bersaing sehingga melatih komunikasi yang baik dalam kelompok untuk menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu. Siklus II Pertemuan 3 Pertemuan ketiga dengan memberikan evaluasi kepada siswa berbentuk soal essay sebanyak 10 soal, dikerjakan dalam waktu 30 menit kemudian guru memberikan tindak lanjut berupa penjelasan tentang sdoal yang tidak dipahami siswa. Kegiatan akhir dilakukan dengan mengajak siswa berdialog sebagai berikut : G:Bagaimana perasan kalian setelah menyelesaikan soal evaluasi ini? S: Senang, Pak G:Apa ada kesulitan dalam penjumlahan pecahan sederhana? S: Siswa menjawab tidak. Dari dialog terlihat bahwa pada proses pembelajaran penjumlahan pecahan sederhana melalui pembelajaran kooperatif Jigsaw seluruh siswa terlibat aktif. Dari hasil evaluasi yang diperoleh siswa pada siklus II didapat nilai rata-rata 86.Secara umum siswa telah mampu memahami konsep penjumlahan pecahan sederhana.perbandingan hasil belajar siswa antara siklus I dan siklus II 337

204 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur dideskripsikan sebagai berikut.pada siklus I rata-rata kelas adalah 76,5 dan pada siklus II adalah 8,6 hal ini terjadi peningkatan rata-rata kelas sebesar 9,5 %. KESIMPULAN Pembelajaran kooperatif Jigsaw yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dilakukan dengan langkah-langkah (1) penjelasan materi pembelajaran; 2) membentuk kelompok ahli; 3) diskusi kelompok.dengan pembelajaran tersebut terjadi peningkatan hasil belajar. Siklus I rata-rata nilai 76,5 pada siklus II meningkat menjad 8,6. Berdasarkan hasil penelitian ini pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif Jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa yaitu pada siklus I dengan nilai rata-rata 76,5 mengalami peningkatan pada siklus II dengan nilai rata-rata 8,6 Prosentase peningkatan 9,5 % Selain itu tingkat keaktifan,motivasi dan semangat siswa menjadi meningkat dengan diterapkan model pembelajaran kooperatif Jigsaw. Karena pembelajaran dengan menggunakan kooperatif Jigsaw berbantuan media gambar pecahan sederhana dapat meningkatkan hasil belajar matematika terutama tentang pecahan sederhana. DAFTAR RUJUKAN Askury, Sekitar Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar Dan Kesalahannya. Prosiding Seminar Nasional TEQIP 2015, hal 1-6 Iran,2015.Penerapan Metode Jigsaw Berbantuan Media Dakon untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi F P B Dan K P K.Prosiding Seminar Nasional TEQIP 2015.Hal Kumalasari,A., & Putri, R.O.P.E Kesulitan Belajar Matematika Siswa Ditinjau Dari Segi Kemampuan Koneksi Matematika. Nenoliu, Ema T.,2015. Penerapan Metode STAD ( Student Teams Achievemen Division ) Pada Penjumlahan Pecahan Untuk Meningkatkan hasil Belajar Siswa Kelas V Sdk Leob. Prosiding Seminar Nasional TEQIP 2015, hal 1-6 Santoso, F.G.I, Analisis Kecerdasan Emosi Dan Gaya Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajatr Matematika. Soejadi R Kiat Pendidikan Matematika (Konstanta Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan ). Jakarta Depdiknas 338

205 ISBN: PENERAPAN PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG SIFAT PERSAMAAN GARIS DI SMP NEGERI 3 BATU Miftahul Huda Guru SMP Negeri 3 Batu hudalestari@gmail.com Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penerapan penemuan terbimbing untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang sifat persamaan garis lurus. Jenis penelitian adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan dua siklus. Siklus pertama terdiri dari dua pertemuan dan siklus kedua terdiri dari dua pertemuan. Subyek penelitian adalah 30 siswa kelas VIII E SMP Negeri 3 Batu, 17 laki-laki dan 13 perempuan. Subyek penelitian dipilih karena siswa kelas VIII E masih banyak yang belum memahami sifat garis lurus. Metode pembelajaran yang digunakan adalah penemuan terbimbing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman tentang sifat persamaan garis meningkat. Pada siklus satu, jumlah siswa yangmemperoleh nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimum 12 orang, dan pada siklus dua meningkat menjadi 19 orang, demikian pula rata-rata, siklus satu ratarata 72,1 pada siklus dua meningkat menjadi 77,8. Kata Kunci: penemuan terbimbing, pemahaman, sifat persamaan garis Matematika adalah pelajaran yang sangat penting, karena kehidupan sehari-hari, mulai bangun tidur sampai tidur kembali tiap orang bersentuhan dengan matematika, misalnya waktu bangun tidur melihat jam, ketika akan sholat, menghitung waktu yang diperlukan untuk sampai di masjid. Demikian pula, disiplin ilmu selain matematika, (a) misalnya pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, terutama dalam pengolahan tanaman di dalamnya menggunakan matematika, antara lain menghitung banyaknya kelopak bunga dan banyaknya daun, menentukan takaran perbandingan pupuk tanaman atau campuran obat pembasmi hama tanaman. (b) Ilmu Ekonomi pembahasannya menggunakan matematika, misalnya menghitung untung dan rugi, angsuran pinjaman koperasi atau bank, dan transaksi jual beli. Dan (c) Praktik prakarya juga perlu menggunakan matematika, misalnya membangun rumah, membuat jalan. Pola fikir matematika juga digunakan dalam berbagai macam ilmu karena matematika berada dimanamana, yaitu pola fikir konsistensi, analogi, dan relasi. Matematika di sekolah menjadi pelajaran yang perlu dikuasai oleh seluruh peserta didik karena matematika dapat menunjang penguasaan bidang studi lain. Sesuai dengan pendapat Subanji (2011), pembelajaran matematika harus berorientasi pada pengembangan dan pemberdayaan pola pikir siswa, nampaknya merupakan keharusan yang tidak dapat ditunda lagi. Karena hakekat pembelajaran adalah mengembangkan berpikir siswa, sehingga mampu memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya. Untuk itu perlu ada upaya meningkatkan kualitas pendidikan matematika. Pemberdayaan berpikir siswa menjadi bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Bermodalkan pola pikir matematis siswa diharapkan mampu dalam melakukan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak peserta didik di SMP Negeri 3 Batu yang mengalami kesulitan belajar matematika. Mereka kurang termotivasi dalam belajar matematika. Beberapa kompetensi dasar matematika SMP, masih banyak yang sulit difahami oleh peserta didik, misalnya cara Menentukan Persamaan Garis lurus dan grafiknya. Kesulitan peserta didik pada kompetensi dasar tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain, (1) keabstrakan persamaan garis cukup sulit dikonkritkan, sehingga untuk memahaminya diperlukan 339

206 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur metode dan strategi yang tepat dan waktu yang lama, (2) faktor peserta didik masih dalam taraf perkembangan intelektual operasional konkrit, karena rata-rata usia peserta didik dalam taraf peralihan dari hal nyata menuju ke abstrak Piaget (dalam Hera, dkk,2007), menyatakan bahwa perkembangan belajar matematika anak melalui 4 tahap yaitu tahap konkret, semi konkret, semi abstrak, dan abstrak, dan (3) pendekatan atau strategi dan metode yang digunakan guru diduga relatif kurang tepat sehingga berakibat peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami informasi baru. Metode penemuan adalah satu di antara banyak metode yang dipandang dapat mengatasi kesulitan peserta didik dalam memahami persamaan garis lurus. Dengan metode penemuan diharapkan daya ingat peserta didik tahan lebih lama. Bruner, J.S. (1961:21-32) menyatakan bahwa kelebihan belajar penemuan adalah peserta didik menjadi lebih cerdas, lebih puas, lebih mandiri. Mayer, R.E. (2004:14-19) menyatakan bahwa hanya dengan bimbingan belajar penemuan yang dilaksanakan dengan cara baik yang menyebabkan peserta didik belajar lebih baik. Belajar inkuiri memuat kegiatan pembelajaran penemuan terbimbing, dan mempunyai ciriciri (1) pertanyaan muncul dari peserta didik, (2) peserta didik mencari bukti pendukung atau menggali informasi untuk menjawab pertanyaan, (3) menjelaskan bukti yang terkumpul, (4) peserta didik membuat hubungan dalam menjelaskan, (5) peserta didik memberikan alasan dan penalaran terhadap penjelasan yang diberikan. ( Kemendikbud, (2014: 49-52) mengatakan bahwa (1) Discovery Learning adalah proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik harus berperan aktif dalam belajar, (2) Discovery learning mempunyai kesamaan prinsip dengan inkuiri (inquiri) dan problem solving, (3) discovery learning lebih menekankan ditemukannya sendiri konsep atau prinsip oleh peserta didik yang sebelumnya mereka tidak mengetahuinya, (4) prinsip belajar discovery learning materi pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final, akan tetapi peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Menurut Hart (dalam Kennedy, 2008), proses belajar terjadi jika otak dirancang untuk menemukan pola dan mengkaitkannya atau menghubungkannya dengan pengalaman, selanjutnya Hart menjelaskan bahwa (1) identifikasi dan deteksi pola melibatkan ciri dan hubungan serta menjadi dipercepat jika menggunakan petunjuk dan pengelompokan, (2) ingatan terhadap pola secara meyakinkan bergantung pada macam pengalaman yang diletakkan seseorang pada suatu situasi, dan (3) pola yang telah dimiliki anak akan terus berubah untuk menyesuaikan dengan pengalaman baru. Pada umumnya ahli pendidikan percaya bahwa belajar penemuan adalah cara yang efektif karena peserta didik belajar lebih mendalam, dan pemahaman mereka menjadi lebih lengkap. (Mayer, R.E.,2004:14-19). Melalui belajar penemuan, merancang otak untuk menemukan sendiri suatu konsep dengan cara menghimpun informasi, mencari hubungan yang bersumber dari informasi yang tersedia, dan mencari pola yang sama dari banyak kasus, bentuk akhirnya berupa konsep dari materi yang diajarkan. Dari motode penemuan di atas disajikan penelitian Penerapan Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Tentang Sifat Persamaan Garis di SMP Negeri 3 Batu. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 3 Batu yang beralamatkan Jl Ir Sukarno no 8 Beji Junrejo Batu, pada kelas VIII E yang berjumlah 30 siswa, terdiri dari 17 laki-laki dan 13 perempuan, guru yang mengadakan penelitian adalah guru Matematika yang mengajar SMP 3 sejak 1988 sampai saat ini. Waktu penelitian dilakukan tangal 14 Maret 2016 sampai 31 Maret

207 ISBN: Penelitian menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Menurut Kemmis & McTaggart, PTK dilakukan dengan menggunakan beberapa siklus. Penelitian ini menggunakan dua siklus, tiap siklus terdiri dari dua tatap muka, tatap muka pertama untuk pembelajaran, dan tatap muka kedua untuk tes tulis. Pada siklus pertama materi adalah menentukan sifa-sifat dua garis sejajar, dan siklus kedua penerapan persamaan garis pada kehidupan sehari-hari. Diagram alur PTK seperti gambar 1. Permasalahan Siklus I Siklus II Perencanaan tindakan I Refleksi tindakan I Perencanaan tindakan II Refleksi tindakan II Pelaksanaan tindakan I Pengumpulan data tindakan I Pelaksanaan tindakan II Pengumpulan data tindakan II Selesai dan dilanjutkan menyusun laporan Gambar 1. Alur Penelitian Tindakan Kelas Dari gambar diketahui bahwa tiap siklus terdiri dari (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) Pengumpulan data, (4) refleksi (Kusnandar, 2008). Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan metode penemuan terbimbing dengan tahapan (1) menyelesaikan soal Lembar Kerja Siswa yang berdasarkan tahapan penemuan terbimbing, (2) mempresentasikan hasil kepada peserta didik lain, (3) menyelesaikan permasalahan berikutnya, peserta didik mendapatkan pujian apabila menyelesaikan soal dengan benar dan cepat, (4) peserta didik menyelesaikan tes tulis. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran penemuan terbimbing dengan langkah-langkah: penjelasan materi, menyelesaikan masalah pada Lembar Kerja Siswa (LKS), mempresentasikan hasil kepada peserta didik lain, menyelesaikan permasalahan berikutnya secara berkelompok, presentasi dari peserta didik yang sudah selesai terlebih dahulu dari kelompok, pemberian pujian bagi siswa yang paling benar dan cepat menemukan sifat-sifat persamaan garis lurus, kemudian diakhiri peserta didik menyelesaikan tes tulis. Tahapan pembelajaran yang dilakukan adalah (1) tahap satu, guru membahas materi Persamaan Garis Lurus diawali dengan masalah yang menantang yaitu bagaimana cara menentukan persamaan garis dari lembing saat akan dilempar seorang atlit, dan tantangan berikutnya mengapa standar kemiringan jalan raya ditentukan, (2) tahab dua, menuliskan pada papan tulis materi menentukan persamaan garis lurus dan grafiknya, dilanjutkan menyampaikan indikator pencapaian kompetensi pada tatap muka hari ini. (3) tahap tiga, kegiatan penyelesaikan Lembar Kerja Siswa diawali nomer satu menggambar persamaan garis terlebih dahulu kemudian mengisi isian tentang nilai gradien suatu garis untuk menemukan sifat dua persamaan garis sejajar, dalam pengamatan 341

208 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur ditemukan peserta didik mengalami kesulitan menggambar grafik persamaan garis lurus. Ketika beberapa peserta didik kesulitan menggambar langsung dibimbing cara menggambar persamaan garis pada grafik kartesius, kegiatan berakhir sampai menemukan konsep sifat dua garis yang sejajar. Setelah peserta didik sudah dapat menemukan tentang sifat persamaan garis maka pengerjaan secara serentak dihentikan sementara untuk mengikuti tahapan berikutnya, (4) tahap empat, satu siswa mewakili mempresentasikan hasil temuannya di depan kelas, (5) tahap lima, melanjutkan untuk menemukan konsep dua persamaan garis yang saling tegak lurus yang terdapat pada permasalahan nomer dua. (6) tahap enam, presentasi penemuan kedua, kemudian memberi pujian pada siswa yang menemukan benar dan cepat, (7) tahap tujuh, dilanjutkan menyimpulkan konsep sifat persamaan garis lurus, dan (8) tahap delapan, peserta didik mengerjakan kuis dan dilanjutkan mengerjakan tes tulis secara individu. Dalam siklus satu ini ditemukan bahwa beberapa peserta didik mengalami kesulitan yaitu: (1) salah cara menggambar grafik sehingga hasilnya tidak lurus, (2) salah cara menggambar garis yang seharusnya sejajar, tegak lurus, atau berpotongan, dan (3) salah cara menulis persamaan garis yang diketahui pada bidang koordinat kartesius, misalnya kurang =, menentukan dua titik yang menghubungkan garis. Guru memberikan bimbingan alternatif penyelesaian dari masing masing kesulitan yaitu: (1) mengingatkan kembali tentang menggambar grafik persamaan garis dengan membuat tabel sederhana sebagai berikut misalnya persamaan garisnya y = 2 x + 4 Tabel 2. mencari dua titik X y (x,y) 0 4 (0,4) -2 0 (-2, 0) Jika x=0, maka y = 2(0) + 4 Jika y=0, maka 0 =2 x x = -4 x = - 2 setelah menemukan dua koordinat titik yaitu (0,4) pada sumbu Y dan (-2,0) pada sumbu X lalu dihubungkan garis yang melewati kedua titik tersebut dengan demikian, garis tersebut adalah gambar grafik persamaan garis lurus tersebut, (2) membahas cara menggambar garis yang gradienya diketahui yaitu dengan menentukan titik potong pada sumbu Y, kemudian menentukan titik berikut misalnya gradien 3 hasil dari 1 3 komponen y =3 dan komponen x =1, caranya kita tentukan titik kedua dengan 1 langkah ke kiri dan dilanjut 3 langkah ke atas, setelah itu dihubungkan dua titik tersebut dengan garis. Garis yang terjadi adalah garis bergradien 3, dan (3) setelah menemukan titik potong pada sumbu Y yaitu titik (0,c) dan gradien diketahui cara menentukan persamaannya dalam bentuk umum y = m x + c, nilai m dan c disubstitusi dari nilai gradien dan titik potong pada sumbu Y. Hasil tes tulis siklus satu, sebagai berikut, 12 peserta didik lebih dari KKM 75, dan 16 peserta didik memperoleh nilai kurang dari KKM 75, dan Dari hasil siklus satu yang hasilnya relatif rendah maka akan diadakan siklus dua dengan merancang kegiatan untuk pelaksanaan siklus kedua. Tabel 2. Hasil Temuan Siklus 1 No Temuan Alternatif/ solusi 1 salah menggambar persamaan garis hasilnya tidal lurus Membuat perpotongan pada sumbu X dan Y dengan membuat y=0, dan x=0 sehingga ditemukan dua titik yang dapat dihubungkan garis 2 salah cara menggambar garis yang Membimbing Cara menggambar garis seharusnya sejajar, tegak lurus, atau berpotongan sejajar, dua garis saling tegak lurus maupun berpotongan 3 salah cara menulis persamaan garis Carn menuliskan persamaan dari bentuk 342

209 ISBN: yang diketahui pada bidang koordinat kartesius, misalnya kurang =, menentukan dua titik yang menghubungkan garis umum, dengan mensubtitusi m dan c, m dari gradien c dari perpotongan pada sumbu Y Kegiatan siklus dua diawali persiapan yaitu menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran siklus dua dengan materi penerapan persamaan garis pada kehidupan sehari-hari pada langkah pertama sebagai apersepsi diingatkan tentang cara menggambar garis, menggambar dua garis tegak lurus, menentukan pesamaan garis dua garis saling sejajar atau dua garis berpotongan. Kegiatan ini dilakukan beberapa tahab yaitu: Ronymedia.wordpress.com Gambar 2 Eskalator warnetgadis.com Gambar 3 Lempar lembing (1) tahap satu, guru bersama siswa membahas tentang cara cara menggambar garis, menentukan gradien dan cara menuliskan persamaan garis, kemudian dilanjutkan mengamati gambar lembing dan eskalator pada LKS, (2) tahap dua, gambar yang ada petaknya dibuat sumbu koordinat yaitu sumbu X yang sejajar gambar tepi atas dan bawah, kemudian gambar sumbu Y yang sejajar dengan tepi gambar kanan dan kiri dua sumbu X dan sumbu Y berpotongan pada titik pusat, (3) tahap tiga, memanjangkan garis pada gambar sehingga memotong pada sumbu X dan sumbu Y, (4) tahap empat, menentukan titik potong garis pada sumbu Y, (5) tahap lima, menentukan nilai gradien garis untuk lembing atau gradien garis eskalator, (6) tahap enam, menemukan persamaan garis sesuai dengan bentuk umum y=m x + c, dengan mensubtitusikan nilai gradien (m) yang didapat dari m komponen y dan contanta (c) dari titik potong garis pada sumbu Y yaitu (0,c). yang di dapat, (7) komponen x tahap tujuh, tiap tiap pesera didik diminta menuliskan dengan bahasanya sendiri tentang cara menemukan persamaan garis tersebut, (8) tahap delapan, peserta didik diminta untuk membacakan antar teman secara berpasangan dan bergantian, (9) tahap sembilan, satu siswa mewakili mempresen tasikan hasil temuannya di depan kelas, memberi pujian pada siswa yang menemukan benar dan cepat, (10) tahap sepuluh menyimpulkan cara menuliskan persamaan garis pada gambar kehidupan nyata, dan (11) tahap sebelas, peserta didik mengerjakan kuis dan dilanjutkan mengerjakan tes tulis secara individu. 343

210 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Dalam pengamatan pada siklus dua Setelah peserta didik sudah dapat menemukan nilai gradien dan perpotongan garis pada sumbu Y, berikutnya dapat mentukan sendiri cara menuliskan persamaan garis untuk gambar nyata. Misalnya soal berikut Y Permasalahan 1 1.Amatilah gambar seorang atlit lempar lembing perhatikan arah lembingnya X 2.Tentukan titik potong lembing pada sumbu Y Akk.share.com Y Gambar 4 Lempar Lembing 2 3.Tentukan nilai gradien lembing tersebut 4.Temukan persamaan garis lurus dari posisi lembing tersebut 5.Ceritakan dalam bentuk tulisan cara kamu menemukan persaaan garis Penyelesaian permasalahan 1 dari pengamatan untuk posisi orang melempar lembing adalah sebagai berikut Alternatif jawaban 1. Arah lembing ke kanan terhadap sumbu X dan nilai gradien positif, sumbu X dan Y di beri nomor, samping kanan dari titik pusat, bilangan bulat positif. Samping kiri dari pusat pusat bilangan bulat negatif, di atas dari titik pusat bilangan bulat positif, arah bawah titik pusat bilangan bulat negatif. Al ternatif Jawaban 2. Titik potong pada sumbu Y adalah (0,3) nilai c = 3 Alternatif jawaban 3. Arah lembing membentuk segitiga siku siku di titik pusat sehingga komponen-y komponen y 3 adalah 3 dan komponen-x adalah 4, nilai gradien m komponen x 4 Alternatif jawaban 4. Bentuk umum: y mx c 3 y x 3 4 Jadi dari gambar lembing di atas ditemukan persamaan garis lurus 3 y x 3 4 Alternatif jawaban 5 Cerita mengamati gambar posisi seorang atlit lempar lembing 1. Mengamati posisi lembing pada bidang koordinat cartesius. 2. Gambar lembing ditebali garis sehingga memotong di sumbu X di titik (-4,0) dan sumbu Y dititik (0,3). 344

211 ISBN: Menentukan titik potong pada sumbu Y yaitu di titik (0,3) dan menentukan nilai c = 3 dari rumus titik potong (0,c). 4. Menentukan nilai gradien dengan menggambar segitiga siku-siku yang garis miringnya gambar garis lembing dan siku-siku di titik pusat, dari gambar dihitung komponen y arah tegak dari titik siku segitiga, yaitu 3 petak dan komponen x arah mendatar garis tegak yang komponen y 3 lain 4 petak dan didapat m komponen x 4 5. Menentukan persamaan garis untuk posisi lembing pada gambar dengan memasukkan nilai gradien m dan kontanta c, sehingga ditemukan persamaan 3 y x 3 4 Pada siklus ke dua, peserta didik merasa senang karena mengamati gambar gambar dalam kehidupan sehari-hari dan termotivasi untuk menemukan persamaan garis lurus. Cerita cara menemukan persamaan garis lurus yang ditulis peserta didik, memantapkan pemahamannya terhadap konsep sifat sifat persamaan garis. Dari hasil tes tulis peserta didik pada siklus dua diperoleh sebagai berikut, 19 telah tuntas karena telah memenuhi atau melebihi KKM yaitu di atas 75, dan Rata-rata nilai pada siklus dua 77,8. Penelitian tentang Penerapan Penemuan Terbimbing pada siswa kelas VIII E pada pemahaman sifat persamaan garis telah menghasilkan pencapaian KKM dan rata-rata nilai pada siklus satu dan siklus dua, hal ini ditunjukkan pada tabel 1 berikut: Tabel 2. Hasil siklus 1 dan 2 Siklus 1 Siklus 2 Penngkatan Ketuntasan Nilai Rata-rata 72,1 77,8 5,7 Dilihat dari tabel 2, siklus satu dan siklus dua terjadi peningkatan, ketuntasan naik 23%, siklus 1 tuntas 43 %, siklus 2 tuntas 66%. Demikian rata rata perolehan dalam kelas naik 5,7 siklus 1 rata-rata 72,1, siklus 2 rata rata 77,8. Hasil di atas menunjukkan penerapan bimbingan penemuan pemahaman persamaan garis lurus terjadi peningkatan. SIMPULAN Peningktan pemahaman siswa tentang sifat-sifat persamaan garis melalui metode penemuan terbimbing di SMP Negeri 3 Batu terbukti. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata, dan peningkatan banyaknya siswa memenuhi kreteria ketuntasan minimal, tentang pemahaman sifat persamaan garis lurus, pada penelitian ini, hasil siklus I rata-rata nilai 72,1 meningkat menjadi 77,8 pada siklus II, dan banyaknya peserta didik yang memenuhi KKM pada siklus I sejumlah 12 orang, meningkat menjadi 19 orang pada siklus dua. Peningkatan ini disebabkan penemuan terbimbing sangat memungkinkan peserta didik memahami sifat persamaan garis lebih kuat dan lebih lama, dan dapat meningkatkan kemandirian dalam berpikir matematis. SARAN Bagi para pendidik bidang studi matematika dalam mengajar agar sesering mungkin menggunakan metode penemuan terbimbing terutama pada kompetensi dasar yang kebanyakan siswa mngalami kesulitan. 345

212 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur DAFTAR RUJUKAN Bruner, J,S, (1961). The Act of Discovery. Harvard Educational Review, 31, Hera L.M, dkk Pendidikan Anak di SD. Jakarta: Universitas Terbuka Kemendikbud Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning).Bahan Pelatihan Intruktur Kurikulum Kemmis dan Mr Taggart The Action Research Planer. Victoria Dearcin University Press. Kennedy, L.M., Tipps, S., Dan Johnson A. (2008). Guiding Children s Learning of Mathematics. Belmont : Thomson Wadsworth. Mayer, R.E Should there be a three-strikes rule against pure discovery learning? The case for guided methods of instruction. American Psychologist, 59(1), Subanji Matematika Sekolah dan Pembelajarannya. J-TEQIP,edisi tahun II, Nomor 1 Mei Widoko Metede Pembelajaran Penemuan Konsep. Surabaya: Uneversitas Negeri Surabaya. ( 346

213 ISBN: PENERAPAN OPEN ENDED UNTUK MENINGKATKAN KREATIFITAS SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL VOLUME LIMAS DI KELAS VIII A SMP NEGERI 3 BATU Mindarto SMP Negeri 3 Batu masmindarto@gmail.com Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kreatifitas siswa dalam menyelesaikan masalah volume limas dengan metode open-ended. Jenis penelitian adalah penelitian tindakan kelas dengan dua siklus, siklus pertama dua pertemuan,siklus kedua dua pertemuan. Subyek penelitian adalah 28 siswa kelas VIII A SMPN 3 Batu, 10 siswa lakilaki dan 18 siswa perempuan. Pemilihan subyek didasarkan pada siswa kelas VIII A belum mempunyai kreatifitas dalam menyelesaikan volume limas. Metode pembelajaran open ended. Materi pembelajaran adalah volume limas dengan alas beragam.hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kreatifitas siswa ada peningkatan dari 50% menjadi 77 %, itu menunjukkan bahwa adanya peningkatan sebesar 27 %. Kata kunci : Open- ended, Kreatifitas Siswa, Volume limas Matematika sangat penting dalam kehidupan nyata, Dalam membuat bangunan orang perlu menghitung luas tanah. Dalam membuat kolam orang menghitung volume air didalamnya, untuk menghitung waktu perjalanan,orang perlu menghitung jarak,kendaraan yng digunakan dan kecepatan rata-rata semuanya itu memerlukan kemampuan dalam matematika (Dewi & Chandra. 2015). Matematika juga menjadi dasar bagi disiplin ilmu yang lain terutama bagi disiplin ilmu yang didalamnya melakukan perhitungan-perhitungan misalnya bidang ekonomi(menghitung potongan harga, jimlah pembayaran),geografi( menghitung jarak kota dalam peta), dan masih banyak yang lain Hasil belajar matematika siswa SMP Negeri 3 Batu tidak begitu menggembirakan. Pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016 rata-rata hasil belajar siswa masih dibawah KKM, hanya 42% siswa yang memperoleh nilai 75 atau lebih. Dari hasil wawancara dengan 3 orang siswa pada tanggal 10 maret 2016, mereka menganggap bahwa matematika itu merupakan momok bagi mereka. Setiap ada pelajaran matematika mereka sudah merasa takut terlebih dahulu, sehingga mereka merasa kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal matematika terutama dalam menghitung volume limas Salah satu tujuan pendidikan matematika adalah mengembangkan keterampilan tingkat tinggi siswa ( Lloyd Munroe, 2015 ). Upaya yang dapat dilakukan guru untuk membuat siswa tidak merasa takut dengan matematika adalah dengan memberikan permasalahan yang jawabannya tidak hanya satu (Subanji. 2013: 139) dan penugasan open-ended juga dapat menumbuhkan berfikir kreatif yang ditandai dengan kefasihan, fleksibitas, dan originalitas( Kwon,O.N., Park,J.S., dan Park, J.H.(2006)). Viseau Oliveira, I.B mengatakan bahwa strategi open-ended mendorong komunikasi kelas dan memicu adanya diskusi antar individu,tugas open-ended juga dapat menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan masalah (Sullivan,dkk) penggunaan strategi open-ended juga mempunyai dampak positip untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa(al-asbi,m, 2012) dan diagram terstruktur dari open-ended problem menurut Takahashi, A (2006 ) adalah sebagai berikut : 347

214 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur PROBLEM SOLUTION METHOD SOLUTION METHOD COMPARING-DISCUSSING IDEAS -QUESTONS Dengan memberikan permasalahan yang jawabannya tidak tunggal membuat siswa menjadi percaya diri sehingga mereka tidak takut lagi dengan matematika. Berdasarkan pendapat Subanji(2013) diatas, penulis mengangkat judul PENERAPAN OPEN ENDED DAPAT MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA DALAM MENYELESAIKA N SOAL VOLUME LIMAS DI KELAS VIII A SMP NEGERI 3 BATU METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang terdiri dari 2 siklus. Siklus pertama 2 pertemuan, dan siklus kedua 2 pertemuan. Dengan rincian satu kali pertemuan pembelajaran dan satu kali pertemuan tes. Menurut Kemmis & Mc Taggart( 1997), PTK dilakukan dengan menggunakan beberapa siklus, diagram alur PTK seperti gambar 1. Permasalahan Siklus I Perencanaan tindakan I Refleksi tindakan I Pelaksanaan tindakan I Pengumpulan data tindakan I Siklus II Perencanaan tindakan II Refleksi tindakan II Pelaksanaan tindakan II Pengumpulan data tindakan II Dilanjutkan ke siklus berikutnya Subyek penelitian adalah siswa kelas 8A SMP Negeri 3 Batu sebanyak 28 orang siswa, 10 orang siswa laki-laki dan 18 orang siswa perempuan. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret tahun pelajaran Peneltian ini menggunakan metode open ended dengan langkah-langkah sebagai berikut ( 1) menjelaskan materi (2) Memberikan masalah (3) mendiskusikan masalah dan ( 4) memberikan tes. Materi yang diteliti adalah materi volume bangun ruang sisi datar, khususnya volume limas. Kegiatan pembelajaran berbasis kelompok. Penulis membentuk secara acak 7 kelompok, masingmasing kelompok terdiri dari 4 orang, dan anggota kelompok dipilih secara acak. 348

215 ISBN: Setelah terbentuk kelompok guru menjelaskan kepada siswa tentang tujuan pembelajaran yaitu menentukan volume limas dengan metode open ended yaitu mencari volume limas dengan dua atau lebih cara. Kemudian guru membagikan lembar kerja kepada setiap kelompok. Sebelum kerja dalam kelompok, guru menyuruh salah satu siswa untuk memperagakan percobaan yang membuktikan bahwa volume limas adalah sepertiga dari volume kubus, dengan cara mengisi benda kubus menggunakan benda limas,limas dengan bantuan beras sebagai bahan pengisi. Setelah dilakukan demontrasi maka siswa mulai menyelesaikan masalah yang terdapat pada Lembar Kerja yang sudah diberikan pada masing masing kelompok setelah waktu diskusi habis, dilanjutkan tes pengetahuan yang dikerjakan secara individu. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Masing-masing siklus terdiri dari 2 pertemuan dengan rincian satu kali pertemuan pembelajaran dan satu kali pertemuan tes. Paparan hasil penelitian:(1) penjelasan materi, (2)pemberian masalah open ended,( 3) diskusi kelompok, (4) tes. Pembelajaran Siklus 1 pertemuan 1 Langkah pembejaran yang dilakukan guru adalah : Apersepsi Langkah-langkah kegiatan apersepsi adalah (1) guru tujuan pembelajaran dan hasil belajar yang akan dicapai yaitu menemukan mengomunikasikan rumus volume limas dan menyelesaikan soal soal open ended, artinya bisa lebih dari satu jawaban atau penyelesaian 2) guru menginformasikan cara belajar yang akan ditempuh yaitu pembelajara dengan open ended, artinya bisa lebih dari 1 jawaban atau penyelesaian 3) guru mengecek kemampuan prasyarat siswa dengan tanya-jawab mengenai luas persegi, volume kubus. Penjelasan Materi Ada bermacam macam limas diantaranya limas segitiga,,limas segi empat,limas segi lima,limas segi enam, dan seterusnya, tetapi untuk menemukan volume limas kita gunakan limas segi empat. Pada gambar dibawah keempat diagonal ruang berpotongan pada satu titik T maka bangun yang terbentuk antara sisi dengan perpotongan diagonal ruang disebut dengan limas.karena ada 6 limas yang terbentuk maka volume limas = 6 1 x volume Kubus = 6 1 x 2a x 2a x 2a = 6 1 x (2a x 2a) x 2a = 3 1 x (2a x 2a) x a = 3 1 x L Alas x t Guru menyuruh salah satu siswa untuk melakukan percobaan yaitu mengisi kubus berongga dengan beras menggunakan gayung yang berbentuk limas berongga 349

216 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Diskusi Sebelum diskusi kelompok guru meminta salah satu siswa untuk memperagakan pengisian kubus beruang dengan beras menggunakan limas. Selanjutnya kegiatan dilakukan melalui diskusi kelompok dengan membahas beberapa masalah diantaranya mencari volume limas, dan menyelersaikan masalah terkait dengan materi volume limas. Pada kegiatan diskusi, ada salah satu kelompok yang menjawab pertanyaan no. 5b (. Tentukan beberapa kemungkinan luas Alas dan tinggi limas jika volumenya 160 cm 3 ) sebagai berikut : Siswa: Pak, ini saya sudah selesai Guru: belum selesai,kamu harus menentukan pasangan L A dan t yang hasil kalinya 480! Siswa: Pak berarti dicari faktornya 480 ya Pak? Guru: ya? Siswa: Begini Pak? 350

217 ISBN: G: Ya boleh! S : Hore wis bener! Penilaian keterampilan dilakukan pada saat siswa melakukan diskusi lompok dan hasil dari kerja kelompok,penilaian sikap dilakukan melalui kerjasama dan tanggungjawab pada saat mengerjakan lembar kerja ( LK ) penilaian pengetahuan dilakukan melalui tes uraian, dan hasilnya terdapat pada Tabel I Tabel I, Hasil Tes Siklus 1 No Nilai Frekuensi % N x F % % % % % % 400 Jumlah % 1811 Rata-rata 69,65 Setelah melaksanakan pembelajaran siklus 1 pertemuan 1 dilakukan kegiatan refleksi dengan teman sejawat yang membantu melakukan pengamatan pada saat pelaksanaan pembelajaran. Setelah melihat hasil pekerjaan masing-masing kelompok dilihat dari kelengkapan dan kebenaran jawaban ternyata hampir semua kelompok mendapat nilai diatas KKM (75) enam kelompok mendapat nilai 87 dan satu kelompok mendapat nilai 100. Jika melihat dari hasil jawaban siswa maka ada 3 siswa yang jawabannya belum selesai, 10 siswa menjawab dengan 1 alternatif jawaban, 1 siswa menjawab dengan 2 alternatif jawaban dan 12 siswa menjawab 3 alternatif jawaban atau lebih dan siswa disebut kreatif apabila bisa menjawab 2 alternatif jawaban atau lebih sehingga prosentase siswa yang kretifitas masih 50 %. Tabel 1 menunjukkan bahwa setelah diadakan tes uraian ada 15 anak yang mendapat nilai kurang dari KKM ( 75 ), 4 orang mendapat nilai sama dengan KKM ( 75 ), 7 anak mendapat nilai diatas KKM, dan ada 2 siswa yang tidak mengikuti tes karena sakit sehingga ketuntasan klasikal nya hanya 42 % sedangkan pembelajaran dikatakan tuntas secara klasikal apabila mencapai minimal 75 %. Pada pelaksanaan pembelajaran siklus 1 terdapat beberapa temuan sebagai berikut No Temuan Alternatif (solusi) 1 Ada satu kelompok siswa yang tidak aktif berdiskusi karena pembagian kelompok tidak heterogen 2 Ada kelompok selalu bertanya pada kelompok lain 3 Ada beberapa anak dalam kelompok tidak ikut bekerja 4 Dari hasil tes individu ada 10 anak yang menulis satu alternative jawaban,bahkan ada 2 siswa yang belum sampai jawaban akhir Mengubah pembagian kelompok agar pembagian kelompok menjadi heterogen Guru masuk ke kelompokkelompok Pembagian tugas dalam kelompok harus jelas Pertanyaan /perintah pada soal harus diperjelas pemberian contoh soal open ended yang lebih bervariatif dan ditambah alternative cara penyelesaian 351

218 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Refleksi Siklus I Setelah melaksanakan pembelajaran siklus 1 pertemuan 1 dilakukan kegiatan refleksi dengan teman sejawat yang membantu melakukan pengamatan pada saat pelaksanaan pembelajaran. Karena (1) ketuntasan klasikal hanya 42%, (2) masih cukup banyak siswa yang kurang dari 75, (3) kreatifitas siswa belum Nampak dan (4) banyak temuan yang menghambat keberhasilan siswa, maka peneliti memutuskan untuk melakukan tindakan siklus 2. Tindakan pada siklus 2 sesuai dengan hasil temuan. Pembelajaran Siklus 2 pertemuan 1 Pada siklus ke II langkah langkah pembelajaran sama dengan siklus I yang diperbaiki berdasarkan hasil refleksi. Langkah langkah pembelajaran yang dilakukan guru adalah sebagai berikut : Apersepsi 1) Guru mengomunikasikan tujuan pembelajaran dan hasil belajar yang akan contoh soal open ended : Diketahui sebuah limas alasnya berbentuk persegi panjang volumenya 112 cm 3 dan tinggi limas 7 cm.tentukan ukuran sisi alas limas sebanyak mungkin. Diketahui V L = 112 cm 3 Tinggi Limas= 7 cm Ditanya = Ukuran sisi Alas ( panjang dan lebar persegi panjang) Jawab: V = 3 1 x LAlas x tinggi, 112 = 3 1 x (p x l ) x 7, 112 : 7 = 3 1 x (p x l ) 16 x 3 = p x l 48 = p x l (1) 48 = 8 x 6 (2) 48 = 12 x 4 (3) 48 = 16 x 3 (4) 48 = 24 x 2 Diskusi Setelah guru menjelaskan materi yang akan dipelajari maka kegiatan selanjutnya adalah siswa membentuk kelompok dan anggota kelompok dipilih secara acak setelah itu guru membagikan lembar kerja yang harus diselesaikan oleh masing-masing kelompok terdiri dari tiga soal open ended dan harus diselesaikan selama 30 menit,selama diskusi berjalan muncul beberapa pertanyaan yang berasal dari siswa, misalnya : Siswa : Pak rusuk dengan diagonal itu sama panjang atau tidak? Guru : Ya tidak sama panjang! Siswa : Rusuk itu apa pak? Guru : Rusuk itu adalah ruas garis yang menghubungkan dua dua bidang sisi, tapi kalau diagonal itu adalah ruas garis yang menghubungkan dua titik sudut yang saling berhadapan pada bidang sisi Siswa : Pak belah ketupat itu panjang rusuknya sama? Guru : Ya, sama! 352

219 ISBN: Siswa : Pak maksudnya no 3 bagaimana? Guru : Ya alasnya harus segitiga,segitiganya bisa segitiga sebarang( panjang sisinya tidak sama),segitiga siku-siku atau segitiga sama kaki. Kejadian lain yang ditemukan selama pembelajaran yaitu siswa yang tidak bekerja dalam kelompok diantaranya siswa yang ada dua orang siswa mereka berdua bicara sendiri,ada seorang siswa lain yang iseng mengerjakan tugas selain matematika. Penilaian keterampilan dilakukan pada saat siswa melakukan diskusi kelompok dan hasil dari kerja kelompok,penilaian sikap dilakukan melalaui kerjasama dan tanggungjawab pada saat mengerjakan lembar kerja ( LK ), penilaian pengetahuan dilakukan melalui tes uraian,dengan dua soal volume limas( open ended). Berikut : Tabel II, Hasil tes siklus II No Nilai Frekuensi % Nx F % % % % 1800 Jumlah % 2412 Rata 89,33 Refleksi Siklus II Memperhatikan hasil tes yang terdapat pada table II Siklus II jumlah siswa yang mendapat nilai kurang dari KKM( 75 ) sebanyak 6 siswa, yang mendapat nilai sama sengan KKM ( 75) sebanyak 2 siswa dan yang mendapat nilai diatas KKM(75) sebanyak 19 siswa sehingga ketuntasan klasikal 78% siswa dan rata-rata kelasnya adalah. Jika dilihat dari hasil pekerjaan siswa, maka ada 6 siswa yang melakukan kesalahan dalam proses penyelesaian, 21 siswa lainnya sudah menjawab dengan 2 alternatif jawaban atau lebih, sehingga 77 % dari jumlah siswa sudah kreatif. Melihat hasil dari siklus I san siklus II ketuntasan siswa naik dari 42 % menjadi 77 % sehingga ada kenaikan 35 %. Dan kreatifitas siswa pada siklus I sebesar 50 % dan pada siklus II meningkat menjadi 77%,sehingga ada kenaikan sebesar 27 %, dengan demikian Penelitian Tindakan Kelas (PTK) berakhir pada siklus ke II PENUTUP Kesimpulan Dari penelitian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1)Penggunaan metode open-ended dapat meningkatkat kreativitas siswa dalam menyelesaikan soal volume limas pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Batu tahun pelajaran (2) Tindakan menggunakan metode open-ended dapat meningkatkan hasil belajar dari segi kognitif. Hal ini dapat dilihat dari hasil rata rata ulangan formatif tiap-tiap siklus. Rata rata hasil tes formatif siklus I sebesar 69,65 dan rata rata hasil tes formatif siklus II sebesar 89,33 jadi ada kenaikan 11,68. (3) Ditinjau dari ketuntasan klasikal belajar tuntas tercapai sehingga pembelajaran bisa dilakukan pada materi selanjutnya. (4)Kreatifitas siswa terhadap kompetensi menentukan volume limas dapat dilihat dari banyaknya siswa yang melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal open-ended semakin berkurang pada setiap siklus. ( 5 )Dan kreatifitas siswa pada siklus I sebesar 50 % dan pada siklus II 353

220 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur meningkat menjadi 77%,sehingga ada kenaikan sebesar 27 %. Dengan demikian open-ended adalah metode yang efektif untuk menciptakan siswa-siswa yang kreatif. Saran Bagi rekan-rekan guru apabila kita ingin memberi pengalaman yang menantang dan ingin menggali kreativitas siswa dalam belajar matematika, serta memupuk rasa tanggungjawab dan kerjasama pada saat pembelajaran maka cara/ metode open-ended perlu dicoba. DAFTAR RUJUKAN Al-Absi, M. (2012). The Effect Of Open-Ended Tasks As An Assesment Tool on Fourth Grader s Mathematics Achievement, And Assesing Student s Perspective About It. Jourdan Journal Of Educational Sciences Vol. 9, No. 3, Dewi, R.A.K. & Chandra,T.D Deskripsi Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Kelas 8.1 SMPN 21 Malang. Prosiding Seminar Nasional TEQIP. 31 Oktober 2015 Kwon, O.N., Park, J.S., and Park, J.H. (2006). Cltivating Divergent Thingking in Mathematics Through An Open-Ended Approach. Asia Pacific Education Review, 2006, Vol.7, No. 1, Lloyd Munroe The Open-Ended Approach. European Journal of Educational Researh, Volume 4, Issue 3, Subanji Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: UM PRESS Viseau,F and Oliveira, I.B.(2012).Open- ended Tasks In The Promotion of Classroom Communication in Mathematics. International ajournal of Elementary Education,2012, 4(2),

221 ISBN: MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA KELAS VI SD IMMANUEL KECAMATAN BATU KOTA BATU DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA DENGAN MODEL LEARNING TOGETHER (LT) Kuswati SD Immanuel-Batu kuswatidew@gmail.com Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kemampuan siswa kelas VI SD Immanuel, dalam menyelesaikan soal cerita dengan model LT. Model LT merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran menyelesaikan soal cerita. Model LT dapat merangsang siswa untuk memberikan imajinasi dan membuat siswa untuk kreatif dalam menyelesaikan soal cerita. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VI SD Immanuel, sebanyak 21 siswa dengan rincian 12 putra dan 9 putri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model LT dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita siswa kelas VI SD Immanuel, Kec. Batu. Kata kunci: LT, soal cerita Salah satu tujuan pembelajaran matematika disekolah adalah untuk membekali siswa kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Agar tujuan tersebut tercapai, seyogjanya guru mampu mengaktifkan siswa dan mengurangi dominasinya dalam pembelajaran. Ini berarti belajar harus berpusat pada siswa dan tidak berpusat pada guru. Dalam memilih metode yang sesuai juga perlu mempertimbangkan karakteristik bidang studi. Dalam hal ini, matematika merupakan pelajaran yang banyak berorientasi kepada pemecahan masalah, menuntut penalaran, dan bersifat logis, sitematis serta konsisten. Dalam pemecahan masalah, menekankan perlunya strategi mengajar yang berorientasi pada penyelesaian masalah secara ilmiah atau semi semi ilmiah. Dalam pemecahan masalah, siswa perlu dilibatkan untuk berinteraksi memecahkan masalah secara bersama. Karena itu pembelajaran dengan berdiskusi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pemecahan. Hal ini juga ditegaskan oleh Johnson & Johnson dalam Astuti, Waluyo & Marsudi, Raharjo (2013) bahwa penyelesaian masalah bisa dilakukan melalui kelompok. Soal cerita merupakan permasalahan yang dinyatakan dalam bentuk kalimat bermakna dan mudah dipahami. Sedangkan menurut Raharjo & Astuti (2011) soal cerita yang ada di dalam matematika merupakan persoalan-persoalan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari yang dapat dicari penyelesaiannya dengan menggunakan kalimat matematika yang memuat operasi hitung bilangan. Soal cerita dapat disajikan dalam bentuk lisan maupun tulisan, soal cerita yang dalam bentuk tulisan berupa kalimat yang mengilustrasikan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Soal cerita yang diajarkan diambil dari hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sekitar dan pengalaman siswa. Disamping itu soal cerita berguna untuk menerapkan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Polya dalam menyelesaikan masalah soal cerita dalam matematika, adalah sebagai berikut:a. Memahami masalah (understanding the problem) b. Menyusun rencana (devising a plan) c. Pelaksanaan rencana (carrying out the plan) d. Memeriksa kembali (looking back) Soal cerita adalah salah satu soal yang membutuhkan ketelitian dan kemampuan penalaran. Namun banyak siswa yang melakukan kesalahan dalam mengerjakan soal cerita. Hal itu terjadi terutama karena mereka kurang teliti dan kurang memahami soal tersebut, sehingga mereka sering salah dalam mengerjakan dan menyelesaikan soal berbentuk cerita. Menyelesaikan soal cerita 355

222 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur merupakan kegiatan mencari pemecahan masalah yang diberikan. Pemecahan masalah dalam suatu soal cerita matematika merupakan proses yang berisikan langkah-langkah yang benar dan logis untuk mendapatkan penyelesaian (Jonasen, 2004). Untuk menyelesaikan suatu soal cerita matematika bukan sekedar memperoleh hasil yang berupa jawaban dari hal yang ditanyakan, tetapi ada yang lebih penting yaitu siswa mengetahui dan memahami proses berpikir atau langkah-langkah untuk mendapatkan jawaban tersebut. Untuk dapat menyelesaikan soal cerita siswa harus menguasai hal-hal yang dipelajari sebelumnya, misalnya: rumus dan aturan hukum yang berlaku dalam matematika. Pemahaman terhadap hal-hal tersebut akan membantu siswa memahami maksud yang terkandung dalam soal cerita. Disamping hal-hal diatas, seorang siswa yang diperhadapkan dengan soal cerita harus memahami langkah-langkah sistematik untuk menyelesaikan suatu masalah atau soal cerita Fakta yang terjadi di kelas VI SD Immanuel Kecamatan Batu Kota Batu pada saat pembelajaran matematika berkenaan soal cerita, anak-anak tidak memahami penyelesaian bahkan nilai anak-anak cenderung kurang memuaskan. Dari 21 siswa anak yang memperoleh nilai diatas KKM ada 8 siswa (38,09%) sedangkan siswa yang memperoleh di bawah KKM ada 13 siswa (62,90%). Setelah melalui proses refleksi diri, penyebab dari hasil yang kurang memuaskan tersebut diduga adalah model belajar yang kurang kooperatif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita adalah dengan memilih metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan karakteristik siswa. Salah satu metode yang dianjurkan dan dapat meningkatkan kemampuan siswa adalah cooperative learning Sukoriyanto, 2001; As ari, dkk 2003; dan Dwiyana, dalam Salmani &Agus mujiono(2010). Untuk mengatasi masalah tersebut maka peneliti akan menerapkan pembelajaran kooperatif learning model Learning Together (LT) yang diharap dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita yang menjadi kesulitan siswa selama ini. Orang yang pertama kali mengembangkan jenis model pembelajaran kooperatif tipe Learning Together (Belajar Bersama) ini adalah David Johnson dan Roger Johnson di Universitas Minnesota pada tahun Pada model pembelajaran tipe Learning Together, siswa dibentuk oleh 4-5 siswa yang heterogen untuk mengerjakan sebuah lembar tugas. Setiap kelompok hanya diberi satu lembar kerja. Mereka kemudian diberi pujian dan penghargaan untuk hasil kerja kelompok. Pada model pembelajaran kooperatif dengan variasi seperti Learning Together ini, setiap kelompok diarahkan diarahkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan untuk membangun kelompok dan bagaimana sebaiknya mereka bekerjasama dalam kelompok (Yusiriza,2011). Pembelajaran kooperatif adalah suatu pengajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja dalam kelompok-kelompok untuk menetapkan tujuan bersama.( Felder, 1994:2) Wahyuni (2001:8) menyebutkan bahwa Pembelajaran kooperatif merupakan strategi Pembelajaran dengan cara menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki kemampuan berbeda. Metode Pembelajaran kooperatif memusatkan aktivitas di kelas pada siswa dengan cara pengelompokan siswa untuk bekerjasama dalam proses Pembelajaran. Hal ini terjadi karena pembelajaran kooperatif merupakan metode alternatif dalam mendekati permasalahan, mampu mengerjakan tugas besar, meningkatkan keterampilan komunikasi dan sosial, serta perolehan kepercayaan diri. Dalam pembelajaran ini siswa saling mendorong untuk belajar,saling memperkuat upaya-upaya akademik dan menerapkan norma yang menunjang pencapaian hasil belajar yang tinggi. Dalam pembelajaran kooperatif labih mengutamakan sikap sosial untuk pencapaian tujuan pembelajaran yaitu dengan cara kerjasama. Pembelajaran kooperatif mem punyai unsur-unsur yang perlu diperhatikan. Unsur-unsur tersebut sebagai berikut : 1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama 2. Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, disamping tanggungjawab terhadap dirinya sendiri, dalam mempelajari materi yang dihadapi. 3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama. 4. Para siswa harus membagi tugas dan berbagai tanggungjawab sama besarnya diantara para anggota kelompok. 5. Para siswa akan diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang 356

223 ISBN: akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok. 6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerjasama selama belajar. 7. Para siswa akan diminta memper tanggung jawabkan secara individu materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Berdasarkan unsur-unsur dalam pem belajaran kooperatif Johnson Smitt dan Wahyuni ( 2001 : 10) menyebut kan peranan guru dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut : 1. Menemukan objek pembelajaran. 2. Membuat keputusan menempat kan siswa dalam kelompokkelompok belajar sebelum pembelajaran dimulai. 3. Menerangkan tugas dan tujuan akhir pada siswa 4. Menguasai kelompok belajar dan menyediakan keperluan tugas 5. Mengevaluasi prestasi siswa dan membantu siswa dengan cara mendiskusikan cara kerjasama. Langkah-langkah dalam Pembelajaran kooperatif Model Learning Together sebagai berikut : 1. Kelompok siswa dengan masing-masing kelompok terdiri dari empat sampai lima orang. Anggota - anggota kelompok dibuat heterogen meliputi karakteristik kecerdasan, kemampuan awal matematika, motivasi belajar, jenis kelamin, ataupun latar belakang etnis yang berbeda. 2. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan presentasi guru dalam menjelaskan pelajaran berupa paparan masalah, pemberian data, pemberian contoh. Tujuan presentasi adalah untuk mengenal konsep dan mendorong rasa ingin tahu siswa. 3. Pemahaman konsep dilakukan dengan cara siswa diberi tugas-tugas kelompok. Mereka boleh mengerjakan tugas-tugas tersebut secara serentak atau saling bergantian menanyakan kepada temannya yang lain atau apa saja untuk menguasai materi pelajaran tersebut. Para siswa tidak hanya dituntut untuk mengisi lembar jawaban tetapi juga untuk mempelajari konsepnya. Anggota kelompok diberitahu bahwa mereka dianggap belum selesai mempelajari materi sampai semua anggota kelompok memahami materi pelajaran tersebut. 4. Siswa memainkan pertandingan-pertandingan akademik dan teman sekelompoknya tidak boleh menolong satu sama lain. Pertandingan individu ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap sesuatu dengan cara siswa diberikan soal yang dapat diselesaikan dengan cara menerapkan konsep yang dimiliki sebelumnya. 5. Hasil pertandingan selanjutnya dijumlahkan untuk membantu skor kelompok. 6. Setelah itu guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang terbaik prestasinya atau yang telah memenuhi kriteria tertentu. Penghargaan disini dapat berupa hadiah, sertifikat, dan lain-lain. Gagasan utama dibalik model learning together adalah untuk memotivasi para siswa untuk mendorong dan membantu satu sama lain untuk menguasai keterampilan-keterampilan yang disajikan oleh guru. Jika para siswa menginginkan agar kelompok mereka memperoleh penghargaan, mereka harus mendorong teman mereka untuk melakukan yang terbaik dan menyatakan suatu norma Jika para siswa menginginkan agar kelompok mereka memperoleh penghargaan, mereka harus mendorong teman mereka untuk melakukan yang terbaik dan menyatakan suatu norma bahwa belajar itu merupakan suatu yang penting, berharga dan menyenangkan. Dalam pembelajaran kooperatif siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi menjadi subjek belajar karena mereka dapat berkreasi secara maksimal dalam Sedangkan 3D adalah singkatan dari diketahui, ditanya, dijawab. Untuk memahami soal cerita anak perlu pemahaman soal, melalui 3D diharap siswa dapat memahami soal terlebih dahulu sebelum pemecahan masalah yang harus diselesaikan dikelompok masing masing. Melaui 3 D anak dilatih untuk berfikir cermat dan kritis dalam memahami soal cerita yang dihadapi. Dari hasil penelitian Nas, Sulistyo (2013) penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Learning Together. Secara umum memudahkan siswa belajar melaksanakan tanggung jawab individunya sebagai anggota kelompok, tiap angota kelompok mendapat tugas yang berbeda sehingga siswa bisa membangun pemahamannya sendiri serta dapat meningkatkan hasil belajar. Menurut Lestari(2013) menyimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran Learning Together dapat meningkatkan motivasi siswa. Bahkan menurut Rahayu (2013) metode Learning Together meningkatkan ketuntasan belajar siswa. Tidak hanya itu menurut Haque (2012) pengunaan model belajar LT terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian untuk mengatasi permasalahan menyelesaikan soal cerita dengan menerapkan pembelajaran 357

224 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur kooperatif Learning Together yang dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita pada siswa kelas VI SD Immanuel-Kota Batu. METODE Metode penelitian ini adalah penilitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Pelaksanaan tahapan pada setiap siklus dilakukan oleh penulis bersama sama teman sejawat lainnya di SD Immanuel. Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2015/2016 di SD Immanuel kec Batu, kota Batu. Pada bulan Maret-April Subyek penelitian adalah siswa kelas VI dengan jumlah siswa 21 anak. Penelitian ini dilaksanakan pada saat jam pelajaran di kelas dengan alokasi 2 jam pelajaran yaitu 70 menit. obyek yang diteliti adalah keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan tes dan non tes yaitu observasi dan tes tertulis. Kegiatan observasi untuk memperoleh data tingkat keterlibatan siswa selama proses belajar mengajar dan saat mengerjakan lembar kerja. Untuk memperoleh data kemampuan siswa akan dilakukan tes tertulis setelah kegiatan belajar mengajar selesai. Instrumen penelitian berupa: 1) lembar kerja siswa, 2) lembar observasi untuk kemampuan guru dan keterlibatan siswa dan pembelajaran yang diisi oleh guru atau observer, 3) lembar soal tes. Instrumen lembar kerja digunakan untuk mengarahkan kegiatan siswa selama selama proses belajar mengajar HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I Perencanaan Tindakan Pada tahap ini peneliti mempesiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP), Lembar Observasi guru, lembar soal, dan lembar siswa. Penelitian bersama observer melakukan identifikasi masalah pembelajaran yang terjadi pada pra tindakan kegiatan perencanaan dilakukan sebagai berikut, (1) menganalisa standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika pada semester II, (2) Mempelajari indikator pada silabus,(3) Menyusun Rencana Relaksanaan Pembelajaran yang akan di digunakan sebagai rencana tindakan, (4) menyusun instrumen penelitian yaitu lembar tugas siswa, lembar observasi dan lembar soal tes tertulis, (5) menyusun indikator keberhasilan, (6) menentukan jadwal pelaksanaan. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dimulai dari kegiatan pengembangan kompetensi dasar melakukan operasi hitung pecahan dalam pemecahan masalah, yang dijabarkan ke indikator siswa dapat menentukan nilai pecahan dari suatu bilangan atau kuantitas tertentu. Model pembelajaran yang digunakan kooperatif learning together artinya setiap kelompok mengerjakan lembar kerja yang sama. Kegiatan pembelajaran yang direncanakan sebagaimana tertulis pada RPP meliputi kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Lembar kerja yang disiapkan dikerjakan secara kelompok soal cerita tentang menentukan nilai pecahan dari suatu bilangan atau kuantitas tertentu. Peneliti juga merancang lembar pengamatan kegiatan belajar mengajar untuk merekam tingkat keterlibatan siswa dan kemampuan guru dalam mengajar. Untuk memperoleh data kemajuan belajar peneliti merancang serangkain soal tes yang akan dikerjakan siswa pada akhir kegiatan belajar mengajar. Soal tes berfungsi untuk mengukur kemampuan siswa dalam memahami soal cerita. Pelaksanaan Pada siklus ini model learning together dilaksanakan secara terbimbing. Pelaksanaan guru menuliskan pembelajaran yang akan dilakukan hari ini. Guru menjelaskan cara memahami dan mengerjakan soal cerita yang akan mereka kerjakan LK individu untuk mengatahui nilai awal sebelum mengerjakan secara kelompok. Guru membagi kelompok, tiap kelompok terdiri dari 4-5 siswa secara acak. Siswa berhitung 1-4, baru dikelompokkan sesuai nomer yang disebutkan siswa. 358

225 ISBN: Siswa mengerjakan LK secara kelompok. Diantara kelompok ada anak-anak yang aktif sendiri tidak mau mengerjakan bersama-sama, ada beberapa anak yang berbicara sendiri, bergantung pada teman tidak mau mengerjakan. Guru berkeliling memeriksa tiap-tiap kelompok. Guru mengajak siswa dalam kelompok 4 sebagai berikut P : mengapa kamu tidak ikut mengerjakan tugas kelompok. S : tidak bisa cara mengerjakan soal. P : cara menyelesaikan soal cerita diawali dengan membaca soal, dicari yang diketahui dari soal tersebut kemudian cari apa yang ditanya dan dijawab. Cara tersebut di sebut 3D.Apakah kelompok ini sudah mengerti. S : sudah,bu... P : baik, sekarang kalian boleh menyelesaikan LK yang sudah dibagikan Guru mengingatkan cara memahami soal cerita dan cara mengerjakan. Siswa diingatkan kembali. Ada kelompok yang duluan menyelesaikan lembar kerja, karena ada pembagian soal dalam kelompok. Kelompok yang lain ada yang aktif secara kelompok, saling membantu dalam menghitung dan menyelesaikan lembar kerja. Perwakilan siswa mempresentasikan hasil kelompok, guru memberi penilaian secara kelompok, dan menempel hasil pekerjaan. Siswa mengerjakan soal individu. Untuk mengetahui nilai akhir. Pengamatan Dari hasil pelaksanaan siklus I ketidak tuntasan dikarenakan masih terdapat kelemahankelemahan. Kelemahan tersebut guru belum maksimal menjelaskan petunjuk kegiatan yang akan dilakukan, sehingga siswa kurang memahami tugas yang diberikan, siswa lebih banyak ngobrol sendiri dalam kelompok, kelemahan yang lain siswa kurang menunjukkan kerjasama dalam kegiatan kelompok. Pengisian LK hanya diisi oleh beberapa orang saja, sedang yang lain masih bersikap pasif. Pembagian kelompok kurang merata sehingga ada kelompok yang aktif ada kelompok yang pasif. Kelemahan yang terdapat pada siklus I bukan menjadi hambatan untuk melakukan penelitian ini. Kelemahan pada siklus I menjadi perbaikan pada siklus II sehingga pembelajaran pada siklus II bisa dilaksanakan lebih baik lagi lagi. Refleksi Refleksi berdasarkan pembelajaran yang sudah dilaksanakan peneliti dan tim pengajar, ditemukan pembagian permasalahan yang dihadapi siswa dalam kelompok. Yaitu pembagian kelompok belum heterogen, kurang memperhatikan kemampuan siswa, di kelompok tertentu berkumpul anak-anak yang memiliki kemampuan yang sama, kelompok yang lain berkumpul anakanak yang kurang dalam kemampuan matematika. Dari potret kemampuan siswa yang tuntas sebanyak 38,09 %, siswa yang belum tuntas 61,90 %, perlu adanya tahap ke-2. Dengan adanya paparan tersebut diatas bahwa hasil siklus I belum memenuhi indikator pencapaian yang diharapkan, maka diperlukan siklus II. Hasil dari nilai tes pada siklus I disajikan pada tabel berikut ini: Jumlah siswa 21 Jumlah siswa yang ikut tes 21 Jumlah siswa yang tuntas belajar 8 Jumlah siswa yang tidak tuntas 13 Nilai rata-rata 60 Ketuntasan belajar klasikal

226 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Siklus II Perencanaan Tindakan Siklus II pada dasarnya sama dengan siklus I, namun disempurnakan untuk perbaikan dalam hal alokasi waktu, pembagian kelompok yang heterogen. Pada siklus II guru sebagai peneliti, dan dibantu teman sejawat bertindak sebagai observer. Sebagai usaha memperbaiki kekurangan yang muncul pada tindakan siklus I. Peneliti berusaha memberi perhatian kepada kelompok-kelompok yang sudah dibentuk. Dan guru memaksimalkan kelompok yang belum memahami cara menyelesaikan soal cerita dimulai pemahaman 3D (diketahui, ditanya dan dijawab). Guru lebih banyak memberi perhatian kepada kelompok yang membutuhkan. Kemudian siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang heterogen. Setiap kelompok diberi lembar kerja yang sama, dan setiap kelompok berdiskusi untuk menyelesaikan masalah soal cerita yang tersaji dalam lembar kerja kelompok. Masing-masing kelompok melaporkan hasil kerjanya. Bersama-sama siswa guru menyimpulkan materi yang dipelajari. Sebelum akhir pelajaran guru melaksanakan test akhir dengan membagi lembar individu untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. Pelaksanaan Pada siklus II pelaksanaan pembelajaran seperti siklus I, hanya guru menitik beratkan pada pembagian kelompok dan alokasi waktu. Pada siklus II ini peneliti akan melaksanakan kegiatan pembelajaran pada minggu kedua bulan April 2016, Peneliti mempersiapkan alat pembelajaran seperti pada siklus I, yaitu rencana pelaksanaan pembelajaran, buku matematika dari beberapa sumber, lembar kerja siswa, dan buku-buku penunjang lain yang relevan dengan pembelajaran. Semua aktivitas sudah dilaksanakan dengan baik, terbukti bahwa pada siklus I ketika saat guru membentuk kelompok beberapa siswa juga ada yang tidak mengikuti dengan baik tetapi pada siklus II ini peneliti sudah melakukan perubahan personal pada kelompok tersebut sehingga siswa menjaddi aktif dalam kelompoknya. Saat guru memberi tugas siswa pada siklus ke-1 ada beberapa siswa yang menjawab pertanyaan belum benar, tetapi hal itu sudah wajar guru hanya perlu memberikan remidi. Pada siklus ke-2 siswa mulai aktif saling memberi dorongan dan membantu satu sama lain dalam menyelesaikan yugas kelompok yang diberikan. proses pembelajaran sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran, jadi dinyatakan proses pembelajaran berhasil. Peneliti sudah melaku kan perubahan waktu yang menunjukkan proses pembelajaran yang menekan pada keaktifan siswa dan memberi kesempatan pada siswa dapat memainkan pertandingan akademik dengan teman antar kelompok. Hal ini sesuai dengan metode pembelajaran yang diguna kan yaitu pembelajaran kooperatif model learning together. Pada awal tidak semua siswa mengikuti pembelajaran dengan baik. Pada saat berkelompok pada siklus II semua siswa juga sudah mau beradaptasi dengan kelompok masingmasing setelah diadakan perubahan pada anggotanya. Pada saat mengerjakan tugas ada beberapa siswa yang belum tepat dalam menjawab tugas, namun hal tersebut sudah wajar. Pengamatan Pada siklus ke-1 dalam aktivitas guru sudah terlaksana dengan baik, namun ada masalah pada siswa saat guru membagi siswa kedalam kelompok diskusi, tetapi pada siklus ke-2 hal tersebut sudah diperbaiki oleh guru sehingga aktivitas guru diikuti oleh semua siswa dengan baik. Guru berperan memotivasi para siswa untuk mendorong dan membantu satu sama lain untuk menguasai materi yang diberikan oleh guru. Mereka harus saling memberi dorongan pada temannya untuk melakukan yang terbaik dan menyatakan belajar merupakan suatu yang penting, berharga dan menyenangkan. Waktu yang dipergunakan oleh peneliti dalam pembagian pembelajaran pada siklus ke-1 ternyata kurang menunjukkan keaktivan siswa, pada siklus ke-2 peneliti merubah waktu dalam setiap langkah pembelajaran yang menekankan pada keaktivan siswa, sehingga disini tampak bahwa penerapan pembelajaran kooperatif model learning together sudah berjalan dengan baik. Pada saat pembelajaran 360

227 ISBN: siklus ke-1 semua aktivitas sudah sesuai dengan rencana pembelajaran, jadi pola siklus ke -2 peneliti tidak melakukan perubahan, karena dianggap oleh peneliti proses pembelajaran pada siklus ke-1 sudah berhasil. Siklus ke-1 aktivitas siswa terlihat bahwa semua kegiatan pembelajaran sudah terlaksana, tetapi saat guru membagi siswa dalam kelompok ada sebagian siswa yang tidak mengikutinya dengan baik, hal tersebut sudah diperbaiki oleh guru dan memberi kesempatan pada siswa untuk memainkan pertandingan- pertandingan akademik pada siklus ke-2 semua siswa memainkan pentandingan-pertandingan akademik dengan baik. Refleksi Hasil dari refleksi siklus II diantara beberapa hambatan yang muncul pada tindakan sudah tidak muncul lagi. Kegiatan pembelajaran matematika dalam menyelesaikan soal cerita hasil kerja siswa lebih baik dari sebelumnya. Kegiatan pembelajaran berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Kelompok yang satu dengan kelompok yang lain memiliki persaingan yang sehat untuk mendapatkan nilai dan reward. Hasil belajar dapat dilihat melalui ketuntasan yang diperoleh siswa. Sebanyak 80,95 % siswa memperoleh nilai diatas KKM dan hanya % siswa belum tuntas. Berdasarkan pembelajaran yang dilaksanakan pada siklus II dengan memperhatikan refleksi perbaikan pada siklus I diperoleh rata-rata hasil belajar pada siklus II mencapai 78 dengan ketuntasan belajar %. Hasil belajar yang diuraikan diatas menggambarkan bahwa pembelajaran berjalan dengan baik dan sangat menyenangkan. Siswa telah bekerja dengan baik dalam kelompok. Reward atau hadiah bagi kelompok yang memperoleh nilai yang terbanyak membuat siswa lebih bersemangat dalam berjuang bersama kelompoknya untuk meraih nilai yang terbaik. Reward bertujuan untuk meningkatkan perhatian siswa terhadap pembelajaran serta merangsang siswa untuk meningkatkan motivasi belajar dan membina perilaku yang produktif menurut Meti Handayani, Pangku Iman, dan Sari Wulandari ( 2015 ). Dari hasil belajar pada hasil proses belajar mengajar di ketahui bahwa dari 21 siswa didapatkan hasil seperti tabel di bawah ini: Jumlah siswa 21 Jumlah siswa yang ikut tes 21 Jumlah siswa yang tuntas belajar 17 Jumlah siswa yang tidak tuntas 4 Nilai rata-rata 77,14 Ketuntasan belajar klasikal Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I dan siklus II maka penelitian dalam meningkatkan kemampuan siswa kelas VI dalam menyelesaikan soal cerita dengan model LT sangat efektif. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian secara individu pada siklus I dan siklus II. Setelah dilakukan tindakan, yaitu peneliti hal alokasi waktu dan pembagian kelompok yang heterogen dalam pembelajaran kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita terlihat meningkat. Hal ini dapat dilihat dari hasil kerja siswa bila dibanding dengan kondisi awal, sehingga tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dapat tercapai sesuai KKM yang ditetapkan sekolah. Hasil penelitian pengunaan model LT menunjukkan peningkatan baik dari kemampuan belajar maupun kerjasama siswa dalam bertanya, menjawab pertanyaan, menanggapi, dan semangat belajar. 361

228 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengunaan model pembelajaran LT dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas VI SD Immanuel dalam menyelesaikan soal cerita. Berdasarkan penelitian diatas penerapan model pembelajaran LT dapat meningkatkan kemampuan belajar matematika tentang menyelesaikan soal cerita pada siswa SD Immanuel kelas VI, hal ini dapat ditunjukkan dari hasil analisa data yang dapat dilihat dalam proses pembelajaran dari kondisi awal siswa yang tuntas belajar meningkat. Siswa menjadi bersemangat, aktif berani dan mampu bekerjasama dalam belajar sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan menyenangkan. Saran Guru sebaiknya mengunakan berbagai model pembelajaran yang lebih bervariasi sehingga proses pembelajaran akan meningkat dan menyenangkan, dengan proses yang menyenangkan maka kemampuan dan hasil belajar akan meningkat. Hal yang perlu diingatkan dalam penggunaan pendekatan ini dalam kegiatan belajar mengajar adalah : (a) pusat kegiatan belajar mengajar adalah siswa aktif. (b) pembelajaran dimulai dengan hal yang sudah diketahui dan dipahami anak, (c) bangkitkan motivasi belajar dengan membuat materi pelajaran sebagai hal yang menarik, (d) guru harus mengenali materi pelajaran dan metode pembelajaran yang membuat siswa bosan, dan hal ini harus segera ditanggulangi. Pembelajaran kooperatif model learning together, mengkondisikan siswa belajar dengan meningkatkan aktivitas, belajar yang menyenangkan dan kemampuan belajar yang meningkat. DAFTAR RUJUKAN Handayani, Meti Peningkatan Hasil Belajar Ipa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Berkirim Salam Dan Soal Di Kelas VI SDN 07 Bermani Hilir. J-TEQIP Tahun VI No.1. Nas, Moch.Khairun & Sulistyo, Edy Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe LT Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Diklat Menjelaskan Dasar-Dasar Sinyal Video Di SMK Negri 1 Sidoarjo. Jurnal Pendidikan Teknik Elektro. Vol 2 Nomer 3 Tahun 2013 ( ) Lestari, Ari Helena Meningkatkan Motivasi Belajar Seni Tari melalui Penerapan Metode Pembelajaran LT pada siswa kelas X jurusan teknik Mesin SMKN 2 Wonosai. eprints.uny.ac.id/.../ari%20halena%20lestari%200 (diakses 23 April 2016) Rahayu, Siti Penerapam Metode Learning Together untuk meningkatkan Hasil Belajar pecahan pada Sisiwa Kelas III Semester genap di SDN Petung 02 Sumber baru Jember Thn 12/13. Jurnal.unej.ac.id/index.php/Pancaran, Vol. 4, No. 1, hal , Februari 2015 Haque, Harist & Ahmad.Maulana Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe LT Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas VII di MTSN Karang Gampel pada Pokok Bahasan Peran Manusia dalam Pengelolaan Lingkungan. web.iaincirebon. ac.id/ _ HARIST%20A.(diakses 23 April 2016) Raharjo, Marsudi & Waluyati, Astuti Pembelajaran Soal Cerita Operasi Hitung Campur di Sekolah Dasar. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional P4TK Matematika. Syafri, Ahmad Membantu Mengatasi Kesulitan Siswa dalam Menyelesaikan Soal cerita Satu Langkah (one-step word problem) di Kelas II Sekolah Dasar Negeri Kauman I Kota Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Polya, George How to Solve It. 2nd ed. Princeton University Press. ISBN Setianinngsih, Ani Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Materi Pokok FPB dan KPK Melalui Learning Together Siswa Kelas VI Sekolah Dasar. E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 6. ISSN :

229 ISBN: PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TGT BERBANTUAN PUZZEL UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MATERI PERKALIAN PADA SISWA KELAS II A SDN GIRIPURNO 03 KECAMATAN BUMIAJI KOTA BATU Siti Rohmatul Asiyah SDN Giripurno 03 Kota Batu rohmatulasiyah@gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika tentang perkalian dengan menerapkan pembelajaran kooperatif TGT berbantuan puzzel. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan 2 siklus. Penelitian ini dilaksanakan di SDN Giripurno 03 kelas II A dengan jumlah siswa sebanyak 21 anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan langkah: penjelasan materi, diskusi berkelompok, bermain game dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Siklus I dengan rata-rata nilai 74,5 meningkat menjadi 86. Prosentase ketuntasan dari siklus I sebesar 67% menjadi 86 % pada siklus II. Kata kunci: pembelajaran kooperatif TGT, perkalian, hasil belajar. Salah satu tujuan pendidikan adalah memajukan bangsa, mengantarkan siswa pada perubahan tingkah laku baik moral maupun intelektual yang dapat dijadikan bekal hidup sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar yang telah dibimbing oleh guru melalui suatu proses yaitu kegiatan belajar mengajar (Antar. 2015). Pendidikan sangat bergantung kepada kompetensi guru, salah satu kompetensi guru yang harus dikembangkan adalah kompetensi pedagogik, dimana guru harus bisa mengelola pembelajaran di kelas (Awaeh.2015). Pembelajaran dikatakan berhasil apabila dilakukan secara bermakna, siswa aktif dalam pembelajaran, adanya motivasi untuk menumbuhkan keaktifan siswa dalam pembelajaran, nilai siswa baik dan tuntas sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM), siswa menjadi kreatif dan kritis, serta tumbuh karakter yang baik pada diri siswa, terutama pada pembelajaran matematika. Pada kenyataannya pembelajaran matematika di SDN Giripurno 03 Kecamatan Bumiaji Kota Batu masih belum maksimal, penyebabnya karena dalam proses belajar mengajar guru masih terpaku pada buku-buku pelajaran yang ada, kurang kreatifnya guru dalam memvariasikan proses pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih monoton, yaitu menjelaskan materi, memberi contoh soal, memberi tugas latihan dan melakukan penilaian. Salah satu dampak dari pembelajaran yang masih monoton adalah motivasi rendah dalam belajar dan akhirnya mendapat nilai yang kurang baik, berakibat pula pada kurang bersemangatnya siswa dalam belajar, siswa menganggap bahwa pembelajaran matematika itu sulit, kurang menarik, dan membosankan. Hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh strategi dan perencanaan yang dilakukan oleh guru. Strategi dan perencanaan yang dimaksud adalah bagaimana guru memikirkan strategi dalam upaya mencapai hasil belajar yang sesuai dengan program yang direncanakan. Untuk itu, guru perlu membuat model pembelajaran yang dapat menjadikan suasana belajar siswa yang menyenangkan dan lebih efektif (Priyono. 2015). Harapannya adalah siswa aktif dalam kegiatan belajar dan tujuan pembelajaran tercapai berupa hasil belajar siswa lebih meningkat. Purnomo (2013) mengatakan bahwa untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika, dapat dilakukan memberikan motivasi kepada siswa, bahwa matematika itu bukan pembelajaran yang sulit. Lebih 363

230 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur lanjut Purnomo (2013) mengatakan bahwa pemilihan alat peraga untuk menunjang proses belajar dan mengajar sangat penting. Karena itu dalam pembelajaran patut menggunakan media. Penggunaan alat peraga yang tepat akan dapat meningkatkan hasil belajar dan membuat proses belajar menjadi aktif, inovatif, efektif, menarik dan menyenangkan. Pembelajaran juga akan menjadi lebih efektif ketika dilakukan secara berkelompok. Salah satu pembelajaran yang mengaktifkan siswa dalam berkelompok adalah kooperatif Teams-Games Tournament (TGT). Dalam TGT ada komponen persaingan antar siswa untuk mendapatkan nilai yang terbaik. Menurut Slavin (2008) persaingan itu tidak selalu salah, jika diatur dengan baik, persaingan diantara para siswa yang sesuai dapat menjadi sarana yang efektif dan tidak berbahaya. Namun bentuk-bentuk yang biasanya digunakan di dalam kelas jarang sekali bersifat efektif dan sehat. Disinilah peran guru menjadi sangat penting untuk mengatur persaingan menjadi semangat belajar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru adalah dengan mengondisikan persaingan menjadi lingkungan belajar. Hal inilah yang menjadi ciri khas model pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games Tournament (TGT). Model pembelajaran yang menggunakan kooperatif tipe TGT ini sudah dilakukan oleh Fajri (2015). Fajri (2015) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT menggunakan turnamen akademik dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka. Untuk meningkatkan pemahaman konsep serta menambah minat dan motivasi siswa dalam pembelajaran, model pembelajaran ini menjadi salah satu pilihan yang bisa diterapkan di kelas karena kondisi belajar lebih menyenangkan dimana setiap siswa dilibatkan aktif dalam kegiatan permainan turnamen tim. Salah satu media yang dapat digunakan dalam memfasilitasi tournament game yang diadakan adalah dengan bantuan puzzel. Puzzel merupakan media yang tepat yang dapat digunakan dalam pembelajaran TGT yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan kondisi persaingan yang sehat dan bertanggung jawab. Puzzel merupakan permainan yang menggunakan media untuk menyelesaikan perkalian sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hasnawiyah dan Nurul, H ( 2011) mengatakan bahwa konsep perkalian mulai pembelajaran menjadi bermakna maka perlu adanya pendekatan kontekstual yang permasalahannya diambilkan dari cerita yang dekat dengan konteks kehidupan sehari-hari. Pada semester I Tahun Pelajaran 2015/2016 hasil belajar siswa untuk mata pelajaran matematika masih rendah. Dari 21 siswa yang mengikuti pembelajaran terdapat 10 siswa yang nilai belajarnya masih di bawah KKM. Oleh karena itu perlu upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan hal tersebut, peneliti mencoba mengadakan penelitian yang menerapkan pembelajaran TGT berbantuan media puzzel yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas II A di SDN Giripurno 03. METODE PENELITIAN Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran kooperatif TGT materi perkalian berbantuan puzzel yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena itu penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas dengan tahapan perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Tahap perencanaan dilakukan dengan menyusun rencana pembelajaran yang mengacu pada sintak TGT dan dilanjutkan dengan mengembangkan media puzzle untuk membantu siswa mengkonstruksi materi perkalian. Tahap pelaksanaan pembelajaran dilakukan di kelas II A SDN Giripurno 03 Kota Batu dengan jumlah siswa 21 orang, yang terdiri dari 10 laki-laki dan 11 perempuan mulai bulan Februari sampai Maret Dalam pelaksanaan pembelajaran sekaligus dilakukan observasi yang dibantu oleh teman sejawat. 364

231 ISBN: Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus, siklus I terdiri dari 4 pertemuan (@ 2 x 35 menit) dan siklus II terdiri dari 3 pertemuan (@ 2 x 35 menit). Siklus pertama dilakukan pada tanggal 9 s/d 19 Februari 2016 dan siklus kedua dilakukan pada tanggal 22 Februari s/ d 7 Maret Setiap akhir siklus dilakukan refleksi, untuk mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan memperbaikinya untuk siklus berikutnya. Alur penelitian tindakan kelas yang digunakan disajikan pada Gambar 1 di bawah ini: Ya Berhasil? Belum Observasi awal perencanaan siklus Refleksi dan analisis data Observasi pelaksanaan Pelaksanaan tindakan Gambar 1: Alur penelitian tindakan kelas HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dipaparkan berdasarkan tahapan pelaksanaan pembelajaran kooperatif TGT. Dalam hal ini dilakukan dalam dua siklus. Siklus 1 Siklus pertama terdiri dari 4 pertemuan (3 kali pembelajaran dan satu kali tes). Pelaksanaan pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut: Siklus 1 pertemuan 1 Pembelajaran dilakukan dalam waktu 2 x 35 menit. Dalam kegiatan pendahuluan guru melakukan aktivitas menanyakan kembali kepada siswa tentang penjumlahan. Bahwa mereka pernah mendapatkan materi penjumlahan sebelumnya di kelas 1. Memotivasi siswa dengan cara bernyanyi tentang perkalian bilangan yaitu lagu satu dikali satu. Guru mengajak siswa untuk mencari hasil perkalian dari dua bilangan dengan cara penjumlahan berulang. Menyampaikan tujuan pembelajaran hari ini, yaitu melakukan perkalian bilangan dengan menggunakan media puzzel. Dalam kegiatan inti guru memperkenalkan puzzel perkalian untuk menjelaskan konsep perkalian dengan memberikan contoh beberapa soal. Contoh soal 2 x 4 =... Guru menuliskannya di papan tulis kemudian menggunakan puzzel perkalian sebagai alat peraga dan menempelkannya di papan tulis. 2 x 4 =

232 Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI, Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur Dari gambar ilustrasi di atas guru mengajak siswa menghitung dan menuliskan jawabannya melalui dialog berikut: G: Ada berapa jumlah kotaknya, anak-anak? S: Delapan, Bu... G: Iya... coba tuliskan hasil jawabannya di papan tulis. Beberapa siswa maju ke depan berebut ingin menuliskan jawabannya. Guru menunjuk salah satu siswa untuk menuliskannya di papan tulis G: Sekarang coba perhatikan contoh yang lain. S: baik bu... Setelah memperhatikan contoh di papan tulis. Siswa dibagi dalam 3 kelompok yang beranggotakan 7 anak. Pada fase pembentukan kelompok, siswa aktif terlibat dalam kegiatan kelompok. Lembar tugas yang diberikan membantu siswa untuk aktif bekerja mencobakan pembelajaran yang baru diterimanya. Beberapa kelompok antusias untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Antusias tersebut terjadi karena kelompok ingin menyelesaikan tugas lebih dulu dari kelompok lainnya. Pada kegiatan akhir guru bersama siswa coba merefleksikan pembelajaran dan pemberian lembar evaluasi untuk dikerjakan oleh masing-masing siswa di rumah. Dari kegiatan pembelajaran siklus I pertemuan 1 siswa sudah mulai antusias, aktif dan senang dalam mengikuti proses pembelajaran, walau demikian masih ada siswa yang kurang aktif karena siswa tersebut pendiam dan siswa yang belum terlibat langsung dalam menggunakan metode TGT berbantuan puzzel. Siklus 1 pertemuan 2 Pembelajaran diawali dengan tanya jawab antara guru dan siswa untuk menggali pengetahuan awal dan menelusuri kesiapan siswa dalam belajar. G: Anak-anak kemarin kita sudah belajar perkalian dengan menggunakan bantuan puzzel. Bagaimana perasaan kalian? S: Senang bu... G: Pada pertemuan ini, kita juga akan belajar tentang perkalian (menentukan pasangan bilangan satu angka yang hasil kalinya ditentukan).jadi hari ini kita akan belajar apa anak-anak? S: Perkalian bu... Dari dialog tersebut menunjukkan bahwa siswa telah siap belajar matematika khususnya materi perkalian. Kegiatan pembelajaran masuk pada kegiatan inti, dilakukan dengan penyajian materi perkalian (menentukan pasangan bilangan satu angka yang hasilnya ditentukan) di papan tulis dengan menggunakan media kelereng dan gelas sebagai berikut: alam g Gambar 2: contoh soal 366

MaPan : Jurnal Matematika dan Pembelajaran p-issn: ; e-issn: X Volume 2, Nomor 1, Juni 2014

MaPan : Jurnal Matematika dan Pembelajaran p-issn: ; e-issn: X Volume 2, Nomor 1, Juni 2014 MaPan : Jurnal Matematika dan Pembelajaran p-issn: 2354-6883 ; e-issn: 2581-172X Volume 2, Nomor 1, Juni 2014 PEMANFAATAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENUMBUHKEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DALAM

Lebih terperinci

PERANGKAT SOAL BERBASIS KONFLIK KOGNITIF. Iskandar Zulkarnain

PERANGKAT SOAL BERBASIS KONFLIK KOGNITIF. Iskandar Zulkarnain JPM IAIN Antasari Vol. 1 No. 1 Juli Desember 2013, pp. 1-8 PERANGKAT SOAL BERBASIS KONFLIK KOGNITIF Iskandar Zulkarnain Abstrak Konflik kognitif adalah kesadaran individu tentang adanya ketidaksesuaian

Lebih terperinci

KONFLIK KOGNITIF MAHASISWA CALON GURU DALAM PEMBUKTIAN MATEMATIKA

KONFLIK KOGNITIF MAHASISWA CALON GURU DALAM PEMBUKTIAN MATEMATIKA KONFLIK KOGNITIF MAHASISWA CALON GURU DALAM PEMBUKTIAN MATEMATIKA Soffil WIdadah Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo Soffdah16@gmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa

Lebih terperinci

Penerapan Strategi Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Listrik Dinamis. Supliyadi.

Penerapan Strategi Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Listrik Dinamis. Supliyadi. Supliyadi Penerapan Stategi 18 Penerapan Strategi Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Listrik Dinamis Supliyadi supliyadi_smansa_smg@yahoo.com Abstrak- Ketika pengetahuan seseorang bertambah maka akan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PADA MATERI DIMENSI TIGA

ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PADA MATERI DIMENSI TIGA Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika (SESIOMADIKA)2017 ISBN: 978-602-60550-1-9 Pembelajaran, hal. 201-206 ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PADA MATERI DIMENSI TIGA

Lebih terperinci

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 6 (2010)

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 6 (2010) ISSN: 1693-1246 Juli 2010 Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 6 (2010) 98-103 J P F I http://journal.unnes.ac.id USAHA MENGURANGI TERJADINYA MISKONSEPSI FISIKA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONFLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan mata pelajaran yang memiliki peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan mata pelajaran yang memiliki peranan penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan mata pelajaran yang memiliki peranan penting dalam pendidikan. Pelajaran matematika dalam pelaksanaan pendidikan menjadi mata pelajaran

Lebih terperinci

PEMAHAMAN INSTRUMENTAL DAN RELASIONAL MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH TURUNAN

PEMAHAMAN INSTRUMENTAL DAN RELASIONAL MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH TURUNAN PEMAHAMAN INSTRUMENTAL DAN RELASIONAL MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH TURUNAN Sebti Mardiana 1, Susiswo 2, Erry Hidayanto 2 1 Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang 2 Dosen Pascasarjana

Lebih terperinci

PEMBERIAN CONTOH ANALOGI UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI SISWA

PEMBERIAN CONTOH ANALOGI UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI SISWA PEMBERIAN CONTOH ANALOGI UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI SISWA Taufiq Hidayanto dan Subanji Universitas Negeri Malang taufiqhidayanto749@gmail.com; subanji.fmipa@um.ac.id Abstrak: Miskonsepsi merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu aspek penting bagi pembangunan suatu bangsa. Oleh sebab itu, semua bangsa menempatkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA

KEEFEKTIFAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 KEEFEKTIFAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA Fahrul Basir 1, Karmila 2 Universitas Cokroaminoto Palopo 1,2

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau menangkap segala perisitiwa disekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia. kesanggupan kecakapan, atau kekuatan berusaha.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau menangkap segala perisitiwa disekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia. kesanggupan kecakapan, atau kekuatan berusaha. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kemampuan Komunikasi Matematika 2.1.1.1 Kemampuan Kemampuan secara umum diasumsikan sebagai kesanggupan untuk melakukan atau menggerakkan segala potensi yang

Lebih terperinci

ANALISIS KOHERENSI KONSEP HUKUM NEWTON PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 5 PALU

ANALISIS KOHERENSI KONSEP HUKUM NEWTON PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 5 PALU ANALISIS KOHERENSI KONSEP HUKUM NEWTON PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 5 PALU Wildan Hasyim Amin, Darsikin, dan Unggul Wahyono wildanhasyimamin@yahoo.com Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas

Lebih terperinci

DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL SERTA UPAYA MENGATASINYA MENGGUNAKAN SCAFFOLDING

DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL SERTA UPAYA MENGATASINYA MENGGUNAKAN SCAFFOLDING DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL SERTA UPAYA MENGATASINYA MENGGUNAKAN SCAFFOLDING Budi Santoso, Toto Nusantara, dan Subanji E-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum nasional yang kita kenal dengan kurikulum 2013 dengan pendekatan saintifiknya mengemukakan bahwa hasil belajar tidak di pandang sebagai muara akhir, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan setiap manusia sepanjang hidupnya. Kegiatan inti dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah adalah proses belajar mengajar.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menara Kudus), Jilid II, hlm Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, (Kudus:

BAB I PENDAHULUAN. Menara Kudus), Jilid II, hlm Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, (Kudus: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayatnya. Pendidikan juga sebagai sarana untuk mengenal peradaban, kebudayaan

Lebih terperinci

Kelengkapan Pemahaman Siswa Terhadap Konsep Persamaan Nilai Mutlak

Kelengkapan Pemahaman Siswa Terhadap Konsep Persamaan Nilai Mutlak SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017 Kelengkapan Pemahaman Siswa Terhadap Konsep Persamaan Nilai Mutlak M-68 Muhammad Rawal 1, Jafar 2. Guru SMA Negeri 8 Kendari, Mahasiswa S2 Pendidikan

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA PENELITIAN. Tabel 4.1 Jadwal Waktu dan Kegiatan Penelitian

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA PENELITIAN. Tabel 4.1 Jadwal Waktu dan Kegiatan Penelitian 45 BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA PENELITIAN Dalam penelitian ini terdapat tahap-tahap kegiatan dalam pengerjaannya. Rincian waktu dan kegiatan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut:

Lebih terperinci

MENGENALKAN KONSEP PERSENTASE PADA SISWA SEKOLAH DASAR

MENGENALKAN KONSEP PERSENTASE PADA SISWA SEKOLAH DASAR MENGENALKAN KONSEP PERSENTASE PADA SISWA SEKOLAH DASAR Erry Hidayanto Dosen Jurusan Matematika FMIPA UM Abstrak: Pada hakekatnya pembelajaran adalah mengembangkan berpikir siswa sehingga mampu memecahkan

Lebih terperinci

POLA BERPIKIR SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH GETARAN DAN GELOMBANG DENGAN METODE THINK ALOUD (STUDI KASUS DI SMP NEGERI 4 MALANG)

POLA BERPIKIR SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH GETARAN DAN GELOMBANG DENGAN METODE THINK ALOUD (STUDI KASUS DI SMP NEGERI 4 MALANG) 1 POLA BERPIKIR SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH GETARAN DAN GELOMBANG DENGAN METODE THINK ALOUD (STUDI KASUS DI SMP NEGERI 4 MALANG) Reny Mufidah, Kadim Masjkur, Sutopo Jurusan Fisika, Universitas Negeri

Lebih terperinci

KONEKSI KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS TIPE VISUAL-SIMBOLIK SISWA KELAS XI IPA SMAN KEBAK KRAMAT

KONEKSI KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS TIPE VISUAL-SIMBOLIK SISWA KELAS XI IPA SMAN KEBAK KRAMAT KONEKSI KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS TIPE VISUAL-SIMBOLIK SISWA KELAS XI IPA SMAN KEBAK KRAMAT Istadi 1,3, Tuty Setyowati 2,3 1 SMAN-1 Kota Besi, Provinsi Kalimantan Tengah 2 SMAN Kebak Kramat, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia akan mampu mengembangkan potensi diri sehingga akan mampu mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari yang mudah sampai yang rumit. Hal itu berguna untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. dari yang mudah sampai yang rumit. Hal itu berguna untuk mengembangkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemecahan masalah merupakan landasan matematika di sekolah. Tanpa adanya kemampuan untuk memecahkan masalah maka kegunaan dan kekuatan ide-ide matematika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang membuat peserta didik dapat mengembangkan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang membuat peserta didik dapat mengembangkan kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang membuat peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya baik secara rasional, logis, sistematis, bernalar

Lebih terperinci

KRITERIA BERPIKIR GEOMETRIS SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI 5

KRITERIA BERPIKIR GEOMETRIS SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI 5 ISSN 2442-3041 Math Didactic: Jurnal Pendidikan Matematika Vol. 1, No. 2, Mei - Agustus 2015 STKIP PGRI Banjarmasin KRITERIA BERPIKIR GEOMETRIS SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI 5 Noor Fajriah

Lebih terperinci

BAB II KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA DALAMMATERI BARISAN DAN DERET ARITMATIKA

BAB II KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA DALAMMATERI BARISAN DAN DERET ARITMATIKA BAB II KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA DALAMMATERI BARISAN DAN DERET ARITMATIKA A. Kemampuan Representasi Matematis Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Dasar 1. Belief Siswa terhadap Matematika Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap sesuatu. Belief siswa terhadap matematika adalah keyakinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia. Lebih lanjut matematika dapat memberi bekal kepada siswa. matematika siswa secara umum belum menggembirakan.

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia. Lebih lanjut matematika dapat memberi bekal kepada siswa. matematika siswa secara umum belum menggembirakan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sampai batas tertentu matematika

Lebih terperinci

Deskripsi Representasi Matematis Siswa SMP dalam Menyelesaikan Soal PISA

Deskripsi Representasi Matematis Siswa SMP dalam Menyelesaikan Soal PISA Tersedia secara online http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/ EISSN: 2502-471X DOAJ-SHERPA/RoMEO-Google Scholar-IPI Deskripsi Representasi Matematis Siswa SMP dalam Menyelesaikan Soal PISA Lailin Hijriani

Lebih terperinci

KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PERBANDINGAN SENILAI DAN BERBALIK NILAI

KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PERBANDINGAN SENILAI DAN BERBALIK NILAI KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PERBANDINGAN SENILAI DAN BERBALIK NILAI Meliyana Raharjanti, Toto Nusantara, Sri Mulyati Universitas Negeri Malang meliyana2007@gmail.com, toto.nusantara.fmipa@um.ac.id,

Lebih terperinci

PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA PADA TOPIK SUHU DAN KALOR

PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA PADA TOPIK SUHU DAN KALOR 26 PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA PADA TOPIK SUHU DAN KALOR Judyanto Sirait Program Studi Pendidikan Fisika,FKIP, Universitas Tanjungpura Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan. Karena selain dapat mengembangkan penalaran logis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah upaya sadar yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam perkembangan ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP KELAS VII PADA PENERAPAN OPEN-ENDED

ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP KELAS VII PADA PENERAPAN OPEN-ENDED Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika (SESIOMADIKA) 2017 ISBN: 978-602-60550-1-9 Pembelajaran, hal. 680-688 ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP KELAS VII PADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran yang diciptakan harus mampu mengembangkan dan mencapai kompetensi setiap matapelajaran sesuai kurikulum. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ANTISIPASI ANALITIK SISWA SMA DALAM MEMECAHKAN SOAL INTEGRAL

KARAKTERISTIK ANTISIPASI ANALITIK SISWA SMA DALAM MEMECAHKAN SOAL INTEGRAL KARAKTERISTIK ANTISIPASI ANALITIK SISWA SMA DALAM MEMECAHKAN SOAL INTEGRAL Erfan Yudianto 1* Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Jember Abstract. In an accuracy required to solve problems. One way

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Berbasis Masalah Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai dasar atau basis bagi siswa

Lebih terperinci

STRATEGI GENERALISASI POLA GEOMETRIS CALON MAHASISWA BARU PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP PGRI PASURUAN TAHUN AJARAN 2017/2018

STRATEGI GENERALISASI POLA GEOMETRIS CALON MAHASISWA BARU PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP PGRI PASURUAN TAHUN AJARAN 2017/2018 134 Jurnal Ilmiah Edukasi & Sosial, Volume 8, Nomor 2, September 2017, hlm. 134 138 STRATEGI GENERALISASI POLA GEOMETRIS CALON MAHASISWA BARU PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP PGRI PASURUAN TAHUN

Lebih terperinci

Proses Metakognitif Siswa SMA dalam Pengajuan Masalah Geometri YULI SUHANDONO

Proses Metakognitif Siswa SMA dalam Pengajuan Masalah Geometri YULI SUHANDONO Proses Metakognitif Siswa SMA dalam Pengajuan Masalah Geometri YULI SUHANDONO Email : mas.yulfi@gmail.com Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses metakognitif siswa dalam pengajuan

Lebih terperinci

Pendahuluan REPRESENTASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Muhamad Sabirin

Pendahuluan REPRESENTASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Muhamad Sabirin JPM IAIN Antasari Vol. 01 No. 2 Januari Juni 2014, h. 33-44 REPRESENTASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Abstrak Representasi adalah bentuk interpretasi pemikiran siswa terhadap suatu masalah, yang digunakan

Lebih terperinci

STUDI KASUS: KARAKTERISTIK ANTISIPASI EKSPLORATIF

STUDI KASUS: KARAKTERISTIK ANTISIPASI EKSPLORATIF STUDI KASUS: KARAKTERISTIK ANTISIPASI EKSPLORATIF Erfan Yudianto Dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Jember Jalan Kalimantan 37 Kampus Tegalboto Jember, erfanyudi@unej.ac.id. ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gilarsi Dian Eka Pertiwi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gilarsi Dian Eka Pertiwi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan hasil studi lapangan mengenai tanggapan siswa terhadap pelajaran fisika di salah satu SMA Negeri di kota Bandung kepada 39 orang siswa menyatakan

Lebih terperinci

PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MAHASISWA PGMI

PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MAHASISWA PGMI 71 PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MAHASISWA PGMI Siti Annisah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Email: annisahsiti_80@yahoo.co.id) Abstract The purpose

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan pemodelan dan abstraksi matematis merupakan hal yang penting dalam pendidikan matematika. Kemampuan pemodelan matematis merupakan kecakapan siswa

Lebih terperinci

Geometri Siswa SMP Ditinjau dari Kemampuan Matematika. (Surabaya: PPs UNESA, 2014), 1.

Geometri Siswa SMP Ditinjau dari Kemampuan Matematika. (Surabaya: PPs UNESA, 2014), 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia nomor 65 tahun

Lebih terperinci

PEMAHAMAN KONSEPTUAL DAN KELANCARAN PROSEDURAL SISWA DALAM OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

PEMAHAMAN KONSEPTUAL DAN KELANCARAN PROSEDURAL SISWA DALAM OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PEMAHAMAN KONSEPTUAL DAN KELANCARAN PROSEDURAL SISWA DALAM OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Asmida, Sugiatno, Asep Nursangaji Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan, Pontianak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran matematika membutuhkan sejumlah kemampuan. Seperti dinyatakan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) bahwa untuk menguasai

Lebih terperinci

PROSES SCAFFOLDING BERDASARKAN DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT DENGAN MENGGUNAKAN MAPPING MATHEMATICS

PROSES SCAFFOLDING BERDASARKAN DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT DENGAN MENGGUNAKAN MAPPING MATHEMATICS PROSES SCAFFOLDING BERDASARKAN DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT DENGAN MENGGUNAKAN MAPPING MATHEMATICS Yusi Hartutik, Subanji, dan Santi Irawati SMK Negeri 1

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI KUBUS DAN BALOK MELALUI PENELITIAN DESAIN

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI KUBUS DAN BALOK MELALUI PENELITIAN DESAIN PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI KUBUS DAN BALOK MELALUI PENELITIAN DESAIN Ikrimah Syahidatunnisa Tatang Mulyana Firdaus Departemen Pendidikan Matematika, Universitas

Lebih terperinci

MEMBELAJARKAN SISWA TENTANG NILAI TEMPAT SECARA KREATIF

MEMBELAJARKAN SISWA TENTANG NILAI TEMPAT SECARA KREATIF MEMBELAJARKAN SISWA TENTANG NILAI TEMPAT SECARA KREATIF Sri Hariyani, Nurul Firdaus Universitas Kanjuruhan Malang, Universitas Kanjuruhan Malang sri79hariyani@yahoo.com, firdaus25.nurul@ymail.com ABSTRAK.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Matematika sebagai salah satu mata pelajaran dasar pada setiap jenjang pendidikan formal, mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pendidikan. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sarah Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sarah Inayah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu pelajaran yang diajarkan pada semua jenjang pendidikan. Pembelajaran matematika di sekolah memiliki peranan penting dalam mengembangkan

Lebih terperinci

Meilantifa, Strategi Kognitif Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu. Strategi Konflik Kognitif Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu Variabel

Meilantifa, Strategi Kognitif Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu. Strategi Konflik Kognitif Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu Variabel 41 Strategi Konflik Kognitif Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu Variabel Meilantifa Email : meilantifa@gmail.com Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Bahasa dan Sains Universitas Wijaya Kusuma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Matematika telah

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Matematika telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai ilmu dasar, matematika dipelajari pada semua jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Matematika telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mata pelajaran matematika pada jenjang sekolah disajikan menggunakan simbol-simbol, istilah-istilah, rumus, diagram, tabel sehingga mata pelajaran matematika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemampuan Representasi Matematika National Council of Teacher Mathematics (NCTM) merekomendasikan lima kompetensi utama yang harus dimiliki siswa ketika belajar matematika. Kelimanya

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. kognitif peserta didik kelas VIII materi pokok fungsi di MTs Darul Falah

BAB V PEMBAHASAN. kognitif peserta didik kelas VIII materi pokok fungsi di MTs Darul Falah BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian ini, peneliti menemukan sesuatu yang unik yang disebut sebagai temuan penelitian. Dari temuan penelitian yang didasarkan atas paparan data yang dijelaskan pada bab

Lebih terperinci

Universitas Muhammadiyah Surakarta 1) 2) Kata Kunci: memantau dan mengevaluasi; merencana; metakognitif

Universitas Muhammadiyah Surakarta 1) 2) Kata Kunci: memantau dan mengevaluasi; merencana; metakognitif ANALISIS METAKOGNITIF SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH APLIKASI DERET TAK HINGGA Ari Fitria Nurul Ni mah 1), Masduki 2) 1) Mahasiswa Pendidikan Matematika, 2) Dosen Pendidikan Matematika, FKIP Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika mempunyai peranan sangat penting dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Matematika juga dapat menjadikan siswa menjadi manusia

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENERAPKAN ATURAN EKSPONEN

ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENERAPKAN ATURAN EKSPONEN ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENERAPKAN ATURAN EKSPONEN Ristina Wahyuni, Subanji, Sisworo Universitas Negeri Malang aristina@smkn11malang.sch.id ABSTRAK : Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BERPIKIR ALJABAR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA 3

BERPIKIR ALJABAR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA 3 ISSN 2442-3041 Math Didactic: Jurnal Pendidikan Matematika Vol. 1, No. 2, Mei - Agustus 2015 STKIP PGRI Banjarmasin BERPIKIR ALJABAR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA 3 Ati Sukmawati Mahasiswa S3

Lebih terperinci

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MENURUT TINGKAT KEMAMPUAN SISWA PADA MATERI SEGI EMPAT DI SMP

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MENURUT TINGKAT KEMAMPUAN SISWA PADA MATERI SEGI EMPAT DI SMP KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MENURUT TINGKAT KEMAMPUAN SISWA PADA MATERI SEGI EMPAT DI SMP Devi Aryanti, Zubaidah, Asep Nursangaji Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Email : Thevire_yuga@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hasil belajar matematika sampai saat ini masih menjadi suatu permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hasil belajar matematika sampai saat ini masih menjadi suatu permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil belajar matematika sampai saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang sering dikumandangkan baik oleh orang tua siswa maupun oleh para ahli. Hasil penelitian

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL Jozua Sabandar

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL Jozua Sabandar PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL Jozua Sabandar PENDAHULUAN Pembelajaran matematika di sekolah akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan akan pendekatan pembelajaran yang bernuansa konstruktifisme.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengambilan keputusan terhadap masalah yang dihadapi oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak terlepas dari aspek-aspek yang mempengaruhinya. Keputusan

Lebih terperinci

PROFIL KONSEPSI MAHASISWA PADA MATERI KINEMATIKA

PROFIL KONSEPSI MAHASISWA PADA MATERI KINEMATIKA SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN SAINS Pengembangan Model dan Perangkat Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Magister Pendidikan Sains dan Doktor Pendidikan IPA FKIP UNS Surakarta,

Lebih terperinci

PROSIDING ISBN :

PROSIDING ISBN : P - 56 ANALISIS KESALAHAN SISWA KELAS VIII I SMP N 1 KARANGANYAR DALAM MENGERJAKAN SOAL PADA POKOK BAHASAN BANGUN RUANG SISI DATAR SERTA UPAYA REMEDIASINYA DENGAN MEDIA BANTU PROGRAM CABRI 3D Leonardo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah suatu ilmu yang berkenaan dengan besaran, struktur,

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah suatu ilmu yang berkenaan dengan besaran, struktur, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika adalah suatu ilmu yang berkenaan dengan besaran, struktur, ruang dan perubahan. Kebenaran matematika dibangun melalui metode deduksi dari aksioma-aksioma

Lebih terperinci

PROSES BERPIKIR MAHASISWA DALAM MENGKONSTRUKSI BUKTI MENGGUNAKAN INDUKSI MATEMATIKA BERDASARKANTEORI PEMEROSESAN INFORMASI

PROSES BERPIKIR MAHASISWA DALAM MENGKONSTRUKSI BUKTI MENGGUNAKAN INDUKSI MATEMATIKA BERDASARKANTEORI PEMEROSESAN INFORMASI PROSES BERPIKIR MAHASISWA DALAM MENGKONSTRUKSI BUKTI MENGGUNAKAN INDUKSI MATEMATIKA BERDASARKANTEORI PEMEROSESAN INFORMASI BUADDIN HASAN E-mail: buaddin87@gmail.com Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

Mengembangkan Kemampuan Berpikir Siswa melalui Pembelajaran Matematika Realistik

Mengembangkan Kemampuan Berpikir Siswa melalui Pembelajaran Matematika Realistik Mengembangkan Kemampuan Berpikir Siswa melalui Pembelajaran Matematika Realistik Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Diselenggarakan oleh FMIPA UNY Yogyakarta

Lebih terperinci

Syamsinar Prodi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Tadulako Jl. Soekarno Hatta KM. 9

Syamsinar Prodi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Tadulako Jl. Soekarno Hatta KM. 9 Pemahaman Konsep Siswa Kelas X SMA Negeri 9 Palu pada Materi Pembiasan Cahaya Syamsinar inarnore@yahoo.com Prodi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Tadulako Jl. Soekarno Hatta KM. 9 Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. dan Inquiry Bagian I. Jakarta : Depdikbud. Arifin, M. (2000). Strategi Belajar Mengajar Kimia. Bandung: Jurdik Kimia UPI

DAFTAR PUSTAKA. dan Inquiry Bagian I. Jakarta : Depdikbud. Arifin, M. (2000). Strategi Belajar Mengajar Kimia. Bandung: Jurdik Kimia UPI 63 DAFTAR PUSTAKA Amin, M. (1987). Mengajarkan IPA dengan Menggunakan Metode Discovery dan Inquiry Bagian I. Jakarta : Depdikbud. Arifin, M. (2000). Strategi Belajar Mengajar Kimia. Bandung: Jurdik Kimia

Lebih terperinci

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS SISWA SD KELAS III MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERBASIS PERMAINAN TRAD ISIONAL

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS SISWA SD KELAS III MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERBASIS PERMAINAN TRAD ISIONAL 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar matematika bukan hanya merupakan akumulasi pengetahuan tetapi bagaimana proses dalam berpikir untuk menerjemahkan fakta-fakta yang berkembang dalam kehidupan

Lebih terperinci

PROFIL PEMECAHAN MASALAH SPLDV DENGAN LANGKAH POLYA DITINJAU DARI KECERDASAN LOGIS MATEMATIS SISWA

PROFIL PEMECAHAN MASALAH SPLDV DENGAN LANGKAH POLYA DITINJAU DARI KECERDASAN LOGIS MATEMATIS SISWA Bidang Kajian Jenis Artikel : Pendidikan Matematika : Hasil Penelitian PROFIL PEMECAHAN MASALAH SPLDV DENGAN LANGKAH POLYA DITINJAU DARI KECERDASAN LOGIS MATEMATIS SISWA Setyati Puji Wulandari 1), Imam

Lebih terperinci

ANALYSIS OF MATHEMATICS TEACHER PROBLEM IN LEARNING IMPLEMENTATION SENIOR HIGH SCHOOL

ANALYSIS OF MATHEMATICS TEACHER PROBLEM IN LEARNING IMPLEMENTATION SENIOR HIGH SCHOOL Pedagogy Volume 1 Nomor 1 ISSN 2502-3802 ANALYSIS OF MATHEMATICS TEACHER PROBLEM IN LEARNING IMPLEMENTATION SENIOR HIGH SCHOOL Muhammad Ikram 1, Taufiq 2 Program Studi Pendidikan Matematika 1,2, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemampuan Representasi Matematis Menurut NCTM (2000) kemampuan representasi matematis yaitu kemampuan menyatakan ide-ide matematis dalam bentuk gambar, grafik, tulisan atau simbol-simbol

Lebih terperinci

MULTIPLE REPRESENTASI CALON GURU DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI BERFIKIR KREATIF

MULTIPLE REPRESENTASI CALON GURU DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI BERFIKIR KREATIF MULTIPLE REPRESENTASI CALON GURU DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI BERFIKIR KREATIF FX. Didik Purwosetiyono 1, M. S. Zuhri 2 Universitas PGRI Semarang fransxdidik@gmail.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN A. Paparan Data 1. Paparan Data Pra Penelitian Peneliti mengadakan studi pendahuluan di lokasi penelitian yaitu MTs Sultan Agung yang berada di Jln. Gapuro Timur, desa Jabalsari,

Lebih terperinci

Kemampuan Number Sense Siswa Sekolah Menengah Pertama Kelas VII pada Materi Bilangan

Kemampuan Number Sense Siswa Sekolah Menengah Pertama Kelas VII pada Materi Bilangan Prosiding SI MaNIs (Seminar Nasional Integrasi Matematika dan Nilai Islami) Vol.1, No.1, Juli 2017, Hal. 270-277 p-issn: 2580-4596; e-issn: 2580-460X Halaman 270 Kemampuan Number Sense Siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF PADA PEMBELAJARAN STRUKTUR ALJABAR TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MAHASISWA

KEEFEKTIFAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF PADA PEMBELAJARAN STRUKTUR ALJABAR TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MAHASISWA Pedagogy Volume 1 Nomor 2 ISSN 2502-3802 KEEFEKTIFAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF PADA PEMBELAJARAN STRUKTUR ALJABAR TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MAHASISWA Muhammad Ilyas 1, Fahrul Basir 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan kemampuan: (1) komunikasi matematis, (2) penalaran matematis, (3) pemecahan masalah matematis, (4) koneksi

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN MULTI REPRESENTASI MATEMATIS BERDASARKAN KEMAMPUAN AWAL MATEMATIS MAHASISWA

ANALISIS KEMAMPUAN MULTI REPRESENTASI MATEMATIS BERDASARKAN KEMAMPUAN AWAL MATEMATIS MAHASISWA Pedagogy Volume 2 Nomor 1 ISSN 2502-3802 ANALISIS KEMAMPUAN MULTI REPRESENTASI MATEMATIS BERDASARKAN KEMAMPUAN AWAL MATEMATIS MAHASISWA Dian Nopitasari 1 Program Studi Pendidikan Matematika 1, Fakultas

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. yang dilihat dari kemampuan representasi visual, simbolik dan verbal. Tunggangri, berikut adalah pembahasan dari temuan peneliti.

BAB V PEMBAHASAN. yang dilihat dari kemampuan representasi visual, simbolik dan verbal. Tunggangri, berikut adalah pembahasan dari temuan peneliti. BAB V PEMBAHASAN Kemampuan representasi matematis yang dibahas dalam penelitian ini meliputi kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal kubus dan balok yang dilihat dari kemampuan representasi visual,

Lebih terperinci

Unnes Journal of Mathematics Education

Unnes Journal of Mathematics Education UJME 5 (1) (2016) Unnes Journal of Mathematics Education http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujme PENGARUH PBL PENDEKATAN KONTEKSTUAL STRATEGI KONFLIK KOGNITIF DAN KEMAMPUAN AWAL TERHADAP KEMAMPUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, teknologi, maupun ekonomi (United Nations:1997). Marzano, et al (1988)

BAB I PENDAHULUAN. sosial, teknologi, maupun ekonomi (United Nations:1997). Marzano, et al (1988) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan sangat mendasar dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin perkembangan sosial, teknologi,

Lebih terperinci

590 Seminar Nasional dan Launching ADOBSI

590 Seminar Nasional dan Launching ADOBSI STRUKTUR WACANA SOAL CERITA DALAM BUKU TEKS MATEMATIKA UNTUK SISWA KELAS RENDAH SEKOLAH DASAR Sumarwati FKIP Universitas Sebelas Maret A. Pendahuluan Jika di Belanda diterapkan pendekatan RME (Realistics

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika sebagai ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan mengembangkan daya pikir manusia.

Lebih terperinci

WAWANCARA KLINIS BERSTRUKTUR KONFLIK KOGNITIF BERBANTUAN MEDIA UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI SISWA DALAM OPERASI PECAHAN ARTIKEL PENELITIAN OLEH:

WAWANCARA KLINIS BERSTRUKTUR KONFLIK KOGNITIF BERBANTUAN MEDIA UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI SISWA DALAM OPERASI PECAHAN ARTIKEL PENELITIAN OLEH: WAWANCARA KLINIS BERSTRUKTUR KONFLIK KOGNITIF BERBANTUAN MEDIA UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI SISWA DALAM OPERASI PECAHAN ARTIKEL PENELITIAN OLEH: UTHAMY AYUNINGRUM NIM F04112010 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, menjadi salah satu ilmu yang diperlukan pada saat

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, menjadi salah satu ilmu yang diperlukan pada saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan landasan dan kerangka perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi salah satu ilmu yang diperlukan pada saat seseorang harus menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan pada setiap jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah penting untuk

Lebih terperinci

MERANCANG PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERDASAR KONSEP KONFLIK KOGNITIF PIAGET

MERANCANG PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERDASAR KONSEP KONFLIK KOGNITIF PIAGET MERANCANG PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERDASAR KONSEP Nama : Sumbaji Putranto NIM : 16709251028 Kelas : Pend. Matematika B PPs UNY A. PENDAHULUAN Menjadi sebuah kewajaran dalam proses belajar mengajar muncul

Lebih terperinci

MENTAL-MODELING ABILITY MAHASISWA PADA KONSEP DASAR LISTRIK STATIS

MENTAL-MODELING ABILITY MAHASISWA PADA KONSEP DASAR LISTRIK STATIS 71 MENTAL-MODELING ABILITY MAHASISWA PADA KONSEP DASAR LISTRIK STATIS Siti Rahmilia 1, Jusman Mansyur 2, Sahrul Saehana 3 1,2 Universitas Tadulako Jalan Soekarno Hatta e-mail : srahmilia@yahoo.com Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Sarbaini, Identifikasi Tingkat Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Van

BAB I PENDAHULUAN. 1 Sarbaini, Identifikasi Tingkat Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Van BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ilmu dasar yang mendukung kemajuan dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) adalah matematika. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soedjadi dalam

Lebih terperinci

JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, VOLUME 2, NOMOR 2, JULI 2011

JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, VOLUME 2, NOMOR 2, JULI 2011 Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematika Siswa SMP Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Open Ended Syarifah Fadillah (Dosen Matematika STKIP PGRI Pontianak; e-mail: atick_fdl@yahoo.co.id)

Lebih terperinci

Binur Panjaitan Universitas HKBP Nommensen. Abstract. I. Pendahuluan

Binur Panjaitan Universitas HKBP Nommensen. Abstract. I. Pendahuluan METAKOGNISI MAHASISWA CALON GURU DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA KONTEKSTUAL DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FKIP UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN Binur Panjaitan Universitas HKBP Nommensen I. Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. bahwa kemampuan representasi matematis siswa kelas XI-TSM 2 SMK Ngunut

BAB V PEMBAHASAN. bahwa kemampuan representasi matematis siswa kelas XI-TSM 2 SMK Ngunut BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan peneliti, dapat diketahui bahwa kemampuan representasi matematis siswa kelas XI-TSM 2 SMK Ngunut pada materi program linear, cukup memberikan

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN SISWA SMP KELAS VIII DALAM MENYELESAIKAN MASALAH SOAL CERITA MATEMATIKA

ANALISIS KESALAHAN SISWA SMP KELAS VIII DALAM MENYELESAIKAN MASALAH SOAL CERITA MATEMATIKA ANALISIS KESALAHAN SISWA SMP KELAS VIII DALAM MENYELESAIKAN MASALAH SOAL CERITA MATEMATIKA Nurul Farida Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Metro E-mail: nurulfarida.maniz@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci