KETERKAITAN POLA KONVERSI LAHAN PERTANIAN DENGAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH DI KABUPATEN KUDUS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KETERKAITAN POLA KONVERSI LAHAN PERTANIAN DENGAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH DI KABUPATEN KUDUS"

Transkripsi

1 KETERKAITAN POLA KONVERSI LAHAN PERTANIAN DENGAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH DI KABUPATEN KUDUS Deny Meitasari, Joko Sutrisno, Emi Widiyanti Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jl Ir Sutami No 36 A Kentingan Surakarta Telp./ Fax. (0271) denymeitasari@gmail.com Telp : Abstract : This research aims to determine the pattern of agriculture land conversion, the spatial pattern of agricultural land conversion, and the suitability of the pattern of agriculture land conversion with spatial planning in Kudus. The basic method used descriptive analysis. Kudus as location was chosen purposively. The data used is secondary data. Data analysis method used are overlay maps of land use and correlation analysis. The results show that 1) The pattern of agriculture land conversion in Kudus Regency is based on objective used for residential, industrial, and others; based on the type of agricultural land that changed are irrigated land, rainfed land and un-irrigated agricultural field; based on farmers reasons are off-farm capital, construction or renovation of house, tuition, pilgrimage, farming risk, and price speculation. 2) The results of map overlay shows agricultural land conversion occurred in all regions of Kudus district. Regions close to the center of economic growth tend to experience changes in land use to house, residential and industrial, and the areas far from the centers of economic growth just turned into house. 3) The Result of correlation analysis showed that the agriculture land conversion is not correlate with Spatial Plan No in Kudus Regency. Keywords : The Patterns of Land Conversion, Spatial Planning, Map Overlay, Spatial Pattern Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola konversi lahan pertanian, pola spasial konversi lahan pertanian, serta keterkaitan pola konversi lahan pertanian dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kudus. Metode dasar yang digunakan deskripsi analitis. Lokasi penelitian di pilih secara sengaja di Kabupaten Kudus. Data yang digunakan adalah data sekunder. Metode analisis data yang digunakan adalah overlay peta penggunaan lahan, dan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan 1) Pola konversi lahan pertanian berdasarkan tujuan penggunaan adalah untuk pemukiman, industri, dan lahan tidur; berdasarkan jenis lahan pertanian yang dikonversi adalah sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegalan/ lading; berdasarkan alasan konversi oleh petani adalah untuk modal usaha, pembangunan atau renovasi tempat tinggal, biaya pendidikan, biaya naik haji, risiko usahatani, dan spekulasi harga. 2) Hasil overlay peta menunjukkan konversi lahan pertanian terjadi di seluruh wilayah Kabupaten Kudus. Wilayah dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi cenderung berubah menjadi pemukiman, perumahan dan industri, dan wilayah yang jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi hanya berubah menjadi pemukiman. Hasil analisis korelasi menunjukkan pola konversi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Kudus tidak berhubungan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah No 8 Tahun 2003 Kabupaten Kudus. Kata Kunci : Pola Konversi Lahan Pertanian, Rencana Tata Ruang Wilayah, Overlay Peta, Pola Spasial

2 PENDAHULUAN Pembangunan pertanian memiliki arti yang sangat strategis, tidak hanya untuk negara-negara berkembang, bahkan untuk negara maju, pertanian tetap mendapat perhatian dan perlindungan yang lebih mengingat arti penting pertanian dalam menjaga kelangsungan hidup manusia. Peranan sektor pertanian tersebut diantaranya adalah sebagai penyedia bahan pangan, bahan sandang dan bahan papan. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengedepankan sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang mendukung struktur perekonomian negara. Deptan (2005) menyatakan sektor pertanian merupakan sektor yang menjadi penggerak perekonomian di Indonesia. Hal ini tercermin dari sumbangan sektor pertanian terhadap Pendapatan Domestik Bruto, dalam penyerapan tenaga kerja, sebagai penghasil devisa, serta peranan tidak langsung dalam pelestarian lingkungan hidup. Salah satu kegiatan pertanian yang menjadi tumpuan penduduk Indonesia adalah praktek budidaya tanaman dengan lahan sebagai sumber daya pertanian yang utama. Lahan merupakan salah satu jenis sumber daya pertanian yang mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi. Hampir semua sektor pembangunan fisik seperti sektor pertanian, pertambangan, industri, jasa, bangunan, perdagangan, pengangkutan dan komunikasi memerlukan lahan. Perkembangan kegiatan masyarakat yang membutuhkan lahan sebagai wadahnya meningkat dengan sangat cepat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya terjadi persaingan pemanfaatan lahan, terutama pada wilayah yang telah berkembang dimana ketersediaan lahan relatif terbatas. Pada akhirnyan konversi lahan sangat sulit untuk dihindarkan. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi wilayah, Provinsi Jawa Tengah mengalami konversi lahan pertanian. Salah satu wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang mengalami perkembangan ekonomi yang cukup pesat adalah Kabupaten Kudus. Kabupaten Kudus dengan potensi wilayah yang terletak di jalur strategis pantai utara dengan topografi daerah relatif datar serta potensi sumber daya alam yang cukup melimpah sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat sebagai kota industri. Menurut Kuncoro (2012) dalam studinya menemukan bahwa pusat industri manufaktur Indonesia berlokasi di Pulau Jawa khusus di Jawa Tengah berlokasi di Kota Semarang, Kota Surakarta dan Kabupaten Kudus. Lebih lanjut Kasiran (1999) menyatakan bahwa kondisi dimana pergeseran struktur ekonomi dari pertanian ke industri dan jasa akan mengakibatkan banyak lahan pertanian yang dikonversi. Berdasarkan data Kudus Dalam Angka, Kabupaten Kudus telah mengalami penurunan luas lahan pertanian sebesar 990 ha selama kurun waktu 10 tahun ( ). Jumlah yang cukup besar mengingat wilayah pantura merupakan salah satu daerah penyangga pangan nasional. Pemerintah Kabupaten Kudus telah berupaya untuk melakukan pengendalian konversi

3 lahan pertanian ke non-pertanian melalui penyusunan beberapa kebijakan, diantaranya adalah Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kudus. Namun pada kenyataanya konversi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Kudus masih dikategorikan besar. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan yang disusun belum terimplementasi dengan baik. Menurut Nasoetion (2003) dalam Bappenas (2012) tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (1) kebijakan yang kontradiktif; (2) cakupan kebijakan yang terbatas; (3) kendala konsistensi perencanaan. Dalam jangka panjang menurut Sjafrizal (2012) pengaturan tata raung wilayah yang yang tidak tertata dengan baik bahkan cenderung semrawut akan menyebabkan tidak seimbangnya penggunaan lahan untuk masing masing kegiatan ekonomi wilayah yang selanjutnya akan cenderung mengakibatkan terjadinya ketidakefisienan penggunaan lahan perkotaan, kemacetan lalu lintas, serta banyaknya daerah kumuh dan kurangnya keindahan kota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola konversi lahan pertanian, pola spasial konversi lahan pertanian, serta keterkaitan pola konversi lahan pertanian dengan rencana tata ruang wilayah di Kabupaten Kudus. METODE PENELITIAN Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pada pertimbangan Kabupaten Kudus merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah yang mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat dibandingkan daerah lain, sehingga kondisi ini akan membuat banyak lahan pertanian dikonversi menjadi non pertanian. Perkembangan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000 dan Tahun 2010 PDRB Tahun 2010 PDRB Tahun 2000 (Juta/Tahun) Kabupaten/ Kota (Juta/Tahun) Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian Cilacap , , ,00 Banyumas , , ,68 Purbalingga , , ,27 Banjarnegara , , ,75 Kebumen , , ,00 Purworejo , , ,60 Wonosobo , , ,15 Magelang , , ,98 Boyolali , , ,29

4 Lanjutan Tabel 1. Kabupaten/ Kota PDRB Tahun 2010 PDRB Tahun 2000 (Juta/Tahun) (Juta/Tahun) Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian Klaten , , ,35 Sukoharjo , , ,44 Wonogiri , , ,47 Karanganyar , , ,74 Sragen , , ,22 Grobogan , , ,90 Blora , , ,00 Rembang , , ,00 Pati , , ,63 Kudus , , ,27 Jepara , , ,11 Demak , , ,35 Semarang , , ,00 Temanggung , , ,07 Kendal , , ,76 Batang , , ,04 Pekalongan , , ,19 Pemalang , , ,75 Tegal , , ,77 Brebes , , ,22 Magelang , , ,00 Kota Surakarta , , ,77 Kota Salatiga , , ,91 Kota Semarang , , ,76 Kota Pekalongan , , ,53 Kota Tegal , , ,70 Sumber : Daerah Dalam Angka, 2000 dan 2011 Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis pola konversi lahan pertanian digunakan rumus di bawah ini: Pij = Dimana Pij adalah persentase lahan pertanian yang dikonversi ke penggunaan jenis ke- i selama tahun ; Aij adalah luas lahan pertanian yang dikonversikan ke penggunaan jenis ke- i selama tahun atau Jenis lahan pertanian ke-i yang dikonversikan selama tahun ; dan Bj adalah Total luas lahan pertanian yang dikonversi selama tahun Untuk mengidentifikasi lokasi spasial konversi lahan pertanian di Kabupaten Kudus digunakan data Sistem Informasi Geografis (SIG). Konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Kudus akan dianalisis lokasi lokasi yang telah mengalami konversi lahan pertanian dengan menggunakan peta Rupa Bumi Kabupaten Kudus tahun 2000 dan peta penggunaan lahan hasil citra landsat tahun Melalui peta penggunaan lahan ini, peta akan dibuat overlay, sehingga diperoleh perbedaan penggunaan lahan sebagai indikator perubahan penggunaan lahan dari tahun 2000 sampai tahun Metode analisis data yang digunakan untuk analisis keterkaitan atau kesesuaian pola konversi lahan pertanian dengan rencana tata ruang wilayah di Kabupaten Kudus digunakan rumus di bawah ini:

5 n r xy = n n Dimana x adalah Persentase jenis lahan pertanian ke- i yang dikonversi di kecamatan ke-j selama tahun dan lahan pertanian yang dikonversikan ke penggunaan jenis ke- i di kecamatan ke-j selama tahun dan y adalah HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pola Konversi Lahan Pertanian Pola konversi lahan pertanian berdasarkan tujuan penggunaan berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 2. menunjukkan bahwa tujuan penggunaan sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan Hal ini merupakan efek dari laju pertumbuhan penduduk yang terus menerus meningkat sehingga kebutuhan primer akan tempat tinggal harus terpenuhi. Selain laju pertumbuhan penduduk yang meningkat, diduga kebutuhan pemukiman terus bertambah disebabkan karena kedatangan kaum pendatang dari luar Kabupaten Kudus. Kabupaten Kudus merupakan salah satu Kabupaten yang mempunyai daya tarik jika dibandingkan dengan daerah lain disekitarnya. Daya tarik tersebut adalah banyaknya jumlah industri yang berkembang di Kabupaten Kudus yang secara otomatis akan membuka banyak lapangan pekerjaan. Para pendatang ini Persentase lahan pertanian ke- i yang tercantum dalam Perda RTRW No.8 Tahun 2003 Kabupaten Kudus di Kecamatan ke-j selama tahun dan lahan pertanian ke-i yang tercantum dalam Perda RTRW No.8 Tahun 2003 Kabupaten Kudus di Kecamatan ke-j selama tahun pemukiman dan industri. Lebih dari separuh penggunaannya diperuntukan untuk pemukiman. Kebutuhan lahan untuk pembangunan pemukiman wajar terjadi di semua wilayah karena pada dasarnya jumlah penduduk selalu meningkat sedangkan jumlah lahan tidak berubah. Namun untuk pembangunan industri hanya dapat terjadi di wilayah tertentu termasuk di Kabupaten Kudus. tentu juga membutuhkan tempat tinggal. Implikasinya adalah banyaknya pemukiman yang dibangun di atas lahan lahan pertanian, karena pertumbuhan penduduk meningkat namun tidak diikuti meningkatnya luas lahan. Dampak yang ditimbulkan selanjutnya adalah para investor akan tertarik ikut menanamkan modal mereka untuk membangun industri industri yang sejenis. Sektor pertanian yang kurang mampu memberikan banyak kontribusi pendapatan bagi masyarakat Kabupaten Kudus jika dibandingkan dengan sektor industri akan dipilih untuk dikorbankan dengan cara mengkonversikan lahan pertanian. Tabel 2. Pola Konversi Lahan Pertanian Berdasarkan Tujuan Penggunaan di Kabupaten Kudus Tahun Penggunaan Setelah Konversi Konversi Lahan Pertanian (Ha) (%) Pemukiman 180,57 54,27 Industri 135,92 40,85 Lainnya 16,23 4,88 332,72 100, 00 Sumber : Analisis Data Sekunder, 2013

6 Tabel 3. Pola Konversi Lahan Pertanian Berdasarkan Jenis Lahan Pertanian yang Dikonversi di Kabupaten Kudus Tahun Jenis Lahan Pertanian Konversi Lahan Pertanian (Ha) (%) Sawah irigasi 275,73 82,87 Sawah tadah hujan 29,54 8,88 Tegalan/ ladang 27,45 8,25 332,72 100,00 Sumber : Analisis Data Sekunder, 2013 Jika dianalisis lebih lanjut, pola konversi lahan pertanian berdasarkan jenis lahan pertanian yang dikonversi dilihat pada Tabel 3. lahan pertanian yang dikonversi paling banyak adalah jenis sawah irigasi. Lokasi sawah irigasi yang dikonversi diantaranya berada pada Kecamatan Bae, Jati, Mejobo, Jekulo, dan Kaliwungu. Sawah irigasi ini terletak di lokasi strategis atau dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi sehingga dalam perkembangannya sawah irigasi ini tidak terelakkan untuk dikonversikan. Sejalan dengan pernyataan Sjafrizal (2012) bahwa lokasi yang dekat dengan perkotaan atau pusat pertumbuhan ekonomi akan mempunyai sewa tanah Sesuai dengan hasil analisis pada Tabel 4 pola konversi lahan pertanian berdasarkan alasan konversi menunjukkan bahwa petani mempunyai lebih dari satu alasan untuk mengkonversikan lahan pertanian mereka. Penyebab beberapa petani berspekulasi atas harga lahan adalah nilai lahan yang akan terus menerus naik. Sjafrizal (2012) menyatakan (land rent) yang tinggi dan cenderung semakin menurun jika jauh dari pusat kota. Lokasi yang strategis membuat harga lahan mahal sehingga petani tidak berpikir ulang mengenai ada atau tidaknya irigasi sawah untuk menjual lahan sawah mereka karena petani hanya mempertimbangkan aspek harga. Sawah tadah hujan dan tegalan di Kabupaten Kudus banyak ditanami petani dengan tanaman tebu. Saat pendapatan yang diperoleh dari produksi tanaman tebu tidak memberikan pendapatan yang lebih besar jika dibandingkan harga lahan yang ditawarkan, maka petani akan lebih memilih menjual sawah maupun tegal mereka. bahwa fluktuasi sewa tanah maupun harga tanah sejalan dengan hokum permintaan dan penawaran yang berlaku secara umum dalam pasar barang dan jasa. Penawaran lahan adalah bersifat tetap (fixed) karena lahan tidak dapat diproduksi, sedangkan permintaan terhadap lahan mempunyai kecenderungan terus naik. Tabel 4. Pola Konversi Lahan Pertanian Berdasarkan Alasan Konversi di Kabupaten Kudus Tahun 2012 Alasan Konversi Jumlah Persentase (%) Modal Usaha 14 46,67 Membangun atau Renovasi Rumah 14 46,67 Biaya Pendidikan 6 20,00 Biaya Naik Haji 5 16,67 Ketidakpastian Usahatani 4 13,33 Spekulasi Harga Lahan 7 23,33 Sumber: Analisis Data Primer, 2013

7 Pola Spasial Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Kudus merupakan salah satu dampak dari berkembangnya wilayah Kabupaten Kudus menjadi kota industri. Terdapat Sembilan kecamatan di Kabupaten Kudus, konversi lahan pertanian terjadi hampir di seluruh wilayah di Kabupaten Kudus walaupun luas lahan yang dikonversi tidak sama untuk tiap kecamatan. Berdasarkan peta perubahan lahan, wilayah di Kabuapten Kudus yang mengalami konversi lahan pertanian dengan luas lahan yang besar diantaranya adalah Kecamatan Bae, Kecamtan Jati, dan Kecamatan Kaliwungu. Kecamatan Bae merupakan wilayah yang paling banyak mengalami konversi lahan pertanian yaitu seluas 203 Ha. Wilayah yang paling sedikit mengalami konversi lahan pertanian adalah Kecamatan Undaan dengan konversi seluas 17,1 Ha. Beberapa contoh peta perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3. Gambar 1. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Kecamatan Bae Kabupaten Kudus Tahun

8 Gambar 2. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Kecamatan Jati Kabupaten Kudus Tahun Gambar 3. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kudus Tahun Jika digabungkan dalam satu peta wilayah berdasarkan teori lokasi Von Thunen, wilayah Kabupaten Kudus dapat dibuat ilustrasinya pada gambar 4. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Von Thunen bahwa suatu wilayah terdiri dari satu pusat kota sebagai pasar yang dikelilingi oleh beberapa cincin (ring). Cincin yang pertama adalah pusat industri, cincin

9 yang selanjutnya adalah pertanian intensif, kemudian hutan, dan pertanian ekstensif. Kecamatan Bae sebagai daerah yang dekat dengan pusat kota mengalami pergeseran penggunaan lahan pertanian menjadi lahan untuk industri dan pemukiman. Demikian juga wilayah lain yang berada disekitar Kecamatan Kota Kudus yaitu Kecamatan Jati, Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Mejobo mengalami hal yang serupa yaitu konversi lahan pertanian menjadi bentuk industri dan pemukiman. Keterangan : 1 : Pusat kota 2 : Industri 3 : Pemukiman 4 : Pertanian Gambar 4. Ilustrasi Teori Lokasi Von Thunen di Kabupaten Kudus Kecamatan Undaan dan Kecamatan Dawe merupakan wilayah yang jauh dari pusat kota serta wilayah yang tidak terlalu banyak terjadi konversi lahan pertanian, karena wilayah ini tidak mempunyai nilai sewa lahan atau harga lahan setinggi wilayah dekat pusat kota. Sjafrizal (2012) menjelaskan dalam rangka memaksimalkan keuntungan, perusahaan akan cenderung memilih lokasi dimana land-rent lebih rendah dibandingkan bid-rent yang dapat menghasilkan. Logika ini terutama akan terjadi pada perusahaan atau kegiatan pertanian yang memerlukan tanah relatif banyak dibandingkan perusahaan industri atau perdagangan yang memerlukan tanah lebih sedikit. Karakteristik yang khas di wilayah dekat pusat kota adalah konversi lahan pertanian yang berubah menjadi pemukiman berupa perumahan yang dibangun oleh para developer. Perumahan ini dapat ditemukan di Kecamatan Bae, Kecamatan Kota Kudus, Kecamatan Kaliwungu, Kecamatan Jati dan Kecamatan Mejobo. Perumahan ini merupakan wujud dari berkembangnya perekonomian akibat dari adanya industri yang mampu menarik tenaga kerja pendatang dari wilayah lain yang membutuhkan tempat tinggal. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Irawan (2005) bahwa konversi lahan yang yang

10 ditujukan untuk pembangunan kompleks perumahan di kawasan pantura umumnya mendekati daerah daerah pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan tersebut dirangsang oleh berkembangnya kegiatan ekonomi di suatu daerah. Jika dibandingkan antara pemukiman dan industri, kebutuhan akan pemukiman menyebabkan banyaknya lahan pertanian yang dikonversi sebesar 622,6 Ha. Kebutuhan akan pemukiman merupakan konsekuensi dari pertumbuhan penduduk yang pesat. Namun jika dilihat per kecamatan di Kabupaten Kudus, Kecamatan Undaan dan Kecamatan Dawe merupakan wilayah yang mengalami perkembangan pemukiman paling lambat. Hal ini dikarenakan corak kehidupan masyarakatnya masih agaris. Pembangunan industri di Kabupaten Kudus ternyata tidak terletak atau terpusat di wilayah tertentu. Berdasarkan peta penggunaan lahan, beberapa industri tersebar di beberapa wilayah yaitu di Kecamatan Kota Kudus, Kecamatan Bae, Kecamatan Jati, Kecamatan Mejobo, Kecamatan Kaliwungu, dan Kecamatan Jekulo. Berdasarkan peta penggunaan lahan terlihat bahwa pembangunan industri terletak berdekatan dengan pemukiman penduduk. Hal ini tentu saja sangat disayangkan mengingat pernayataan dari Sumaryanto (1994) bahwa kompleks pemukiman hendaknya tidak berdampingan dengan kompleks industri untuk menghindarkan penduduk dari polusi pabrik. Konversi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Kudus mempunyai kecenderungan membentuk pola menyebar. Hal ini berdampak pada tata ruang yang semrawut, karena rencana tata ruang yang telah disusun tidak mampu diimplementasikan dengan baik bahkan banyak yang dilanggar. Kondisi ini selanjutnya akan menyebabkan ketidakseimbangan penggunaan lahan masing masing wilayah. Keterkaitan Pola Konversi Lahan Pertanian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Data yang dianalisis menggunakan analisis korelasi multivariate dengan menggunakan program SPSS didapatkan hasil pada Tabel 7 dan Tabel 8. Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 7 dan Tabel 8 untuk menguji keterkaitan pola konversi lahan dengan RTRW Kabupaten Kudus menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara pola konversi lahan pertanian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Walaupun Kabupaten Kudus telah menyusun RTRW sebagai Peraturan Daerah, namun kenyataannya jika melihat kondisi di lapang masih bayak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Sebagian besar penggunaan lahan tidak sesuai dengan arahan fungsi kawasan yang tercantum dalam RTRW. Penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan arahan fungsi kawasan yang tercantum dalam RTRW Kabupaten Kudus. contoh Kecamatan Bae yang sebagian wilayahnya diarahkan untuk kawasan pertanian campuran, namun realitanya penggunaan tanah pada akhir tahun 2010 berubah sebesar 39,67 Ha untuk pemukiman dan industri. Demikian juga dengan Kecamatan Kaliwungu yang wilayahnya sebagian ditetapkan untuk kawasan pertanian campuran

11 dan pertaniann lahan basah telah menjadi pemukiman, industri dan kebun campur sebesar 37,97 Ha hanya dalam kurun waktu 6 tahun. Artinya antara konversi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Kudus tidak berjalan beriringan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah di Kabupaten Kudus. Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai RTRW yang berlaku di Kabupaten Kudus masih kurang, sehingga pemahaman mengenai pentingnya pengaturan tata ruang wilayah juga kurang. Konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat khususnya petani di Kabupaten Kudus tidak mempertimbangkan aspek tata ruang wilayah yang disusun oleh pemerintah daerah. Hal yang menjadi pertimbangan dalam mengkonversikan lahan pertanian mereka adalah pertimbangan dari diri pribadi dan pihak investor. Selain itu dari sisi pemerintah yang memberikan izin Tabel 7. Hasil Analisis Korelasi Pola Konversi Lahan Pertanian Periode Berdasarkan Jenis Sawah yang Dikonversi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah No. 8 Tahun 2003 Kabupaten Kudus Correlations Korelasi Koefisien korelasi Sig Ket RTRW Sawah Irigasi -0,453 0,221 Ns RTRW Tadah hujan 0,198 0,610 Ns RTRW Tegalan -0,291 0,447 Ns Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder, 2013 Tabel 8. Hasil Analisis Korelasi Pola Konversi Lahan Pertanian Periode Berdasarkan Tujuan Penggunaan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah No. 8 Tahun 2003 Kabupaten Kudus Correlations Korelasi Koefisien korelasi Sig Ket RTRW Pemukiman 0,590 0,095 Ns RTRW Industri 0,065 0,869 Ns RTRW Lainnya -0,119 0,761 Ns Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder, 2013 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut: pola konversi lahan pertanian di Kabupaten Kudus berdasarkan tujuan konversi adalah digunakan untuk pemukiman, industri, dan lahan tidur; berdasarkan jenis lahan pertanian yang dikonversi adalah lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegalan/ ladang; berdasarkan alasan konversi oleh petani adalah untuk modal usaha, pembangunan atau renovasi tempat tinggal, biaya pendidikan, biaya naik haji, risiko usahatani, dan spekulasi harga. Konversi lahan pertanian terjadi di seluruh wilayah di Kabupaten Kudus. Wilayah yang paling banyak melakukan konversi lahan pertanian adalah Kecamatan Bae, sedangkan wilayah yang paling sedikit melakukan konversi adalah Kecamatan Undaan. Wilayah yang dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi cenderung mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi pemukiman, perumahan dan industri, sebaliknya wilayah yang

12 jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi hanya berubah menjadi pemukiman. Pola konversi lahan pertanian di Kabupaten Kudus tidak berkaitan atau berhubungan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kudus. Saran Saran yang dapat diberikan adalah melindungi lahan sawah beririgasi dari konversi lahan dengan cara lebih selektif dalam memberikan ijin lokasi dan ijin mendirikan bangunan; menetapkan sebuah kawasan untuk industri yang benar benar jauh dari pemukiman penduduk agar limbah dari pabrik tidak mencemari masyarakat; menyamakan persepsi untuk seluruh instasi pemerintahan (Bappeda, BPN, Departemen Pertanian, dan Dinas BPESDM) yang ada di kabupaten dalam penentuan kriteria konversi lahan sebagai dasar penyusunan kebijakan sehingga kebijakan yang dibuat akan sesuai jika diterapkan di lapangan; dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah tidak hanya melibatkan para pegawai daerah namun juga ikut melibatkan tokoh masyarakat masing masing kecamatan maupun desa sehingga dalam penyusunan RTRW memang sesuai dengan realita. Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus melalui tokoh masyarakat setempat hendaknya mengkomunikasikan Peraturan Daerah RTRW kepada masyarakat agar masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman bahwa pengaturan penatagunaan tanah merupakan salah satu hal penting untuk jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA Bappenas Konversi Lahan Pertanian. Diakses 15 Januari 2013 Deptan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan kehutanan. Diakses 15 Januari 2013 Isa, I Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Badan Pertanahan Nasional. Jakarta. Kasiran Konversi Lahan Sawah di Jawa. Jurnal Air, Lahan, Lingkungan, dan Mitigasi Bencana, 4 (1) : Irawan, B Konversi Lahan Sawah : Potensi, Dampak, Pola Pemanfaatan, dan Faktor Determinan. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, 23 (1) : Kuncoro, M Perencanaan Daerah, Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota dan Kawasan?. Salemba Empat. Jakarta. Sjafrizal Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. PT Raja Grafindo Persada. Depok.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH Joko Sutrisno 1, Sugihardjo 2 dan Umi Barokah 3 1,2,3 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA JAW A TENGAH 1996-2011 ISSN : 0854-6932 No. Publikasi : 33531.1204 Katalog BPS : 5203007.33 Ukuran Buku : 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman : 245 halaman Naskah : Bidang Statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun 2000-an kondisi agribisnis tembakau di dunia cenderung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) No. 74/12/33 Th.VII, 2 Desember 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) RUMAH TANGGA PETANI GUREM JAWA TENGAH TAHUN 2013 SEBANYAK 3,31 JUTA RUMAH TANGGA, TURUN 28,46 PERSEN DARI TAHUN 2003 Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam meningkatkan pendapatan suatu pembangunan perekonomian di Indonesia, tentunya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Komoditi TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Produksi Penyediaan Kebutuhan Konsumsi per kapita Faktor Konversi +/- (ton) (ton) (ton) (ton) (kg/kap/th) (100-angka susut)

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA

PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA TUGAS AKHIR Oleh : PUTRAWANSYAH L2D 300 373 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015 KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu hal yang penting bagi suatu negara. Dengan adanya pariwisata, suatu negara atau lebih khusus lagi pemerintah daerah tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public

BAB I PENDAHULUAN. 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paradigma pembangunan ekonomi Indonesia sejak pertenghan tahun 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public driven growth. Semenjak itu pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan pembangunan ekonomi modern memiliki suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan ekonomi modern tidak hanya

Lebih terperinci

RAPAT KOORDINASI. Pilot Project Reforma Agraria. Kasubdit Pertanahan Rabu, 30 Oktober 2013

RAPAT KOORDINASI. Pilot Project Reforma Agraria. Kasubdit Pertanahan Rabu, 30 Oktober 2013 1 RAPAT KOORDINASI Pilot Project Reforma Agraria Kasubdit Pertanahan Rabu, 30 Oktober 2013 Rencana Lokasi Pilot Project 2 Koordinasi lintas K/L untuk kegiatan Access Reform Lokasi yang diusulkan: Prov.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi 1 A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki lahan perikanan yang cukup besar. Hal ini merupakan potensi yang besar dalam pengembangan budidaya perikanan untuk mendukung upaya pengembangan perekonomian

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2014

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH No Program Anggaran Sub Sasaran Lokasi 1. Program Rp. 1.000.000.000 Pelayanan dan Sosial Kesejahteraan Sosial Penyandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan fungsi beras sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk. Pentingnya keberadaan beras

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 728 112 20 1,955 2,178 2,627 1,802 9,422 57,379 16.42 2 Purbalingga 70 50 11 471

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga-lembaga sosial. Perubahan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Keadaan Geografis a. Letak Geografis Provinsi Jawa Tengah secara geografis terletak antara 5 o 4 dan 8 o 3 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH Kondisi umum Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari aspek pemerintahan, wilayah, kependudukan dan ketenagakerjaan antara lain sebagai berikut : A. Administrasi Pemerintah,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Provinsi Jawa Tengah Sensus Ekonomi 2016 No. 37/05/33 Th. XI, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Hasil Pendaftaran

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG. Bab 1 Pendahuluan 1-1

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG. Bab 1 Pendahuluan 1-1 Bab 1 Pendahuluan 1-1 1.1 TINJAUAN UMUM 1 BAB I PENDAHULUAN Sumber Daya Air merupakan salah satu unsur utama untuk kelangsungan hidup manusia, disamping itu air juga mempunyai arti penting dalam rangka

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia secara astronomis terletak antara 6 08 LU - 11 15 LS dan 94 45 BT - 141 5 BT. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.997 mil di antara Samudra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional, guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TARUN 2116 PERUBAHANPERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 63 TAHUN2015 KEBUTUHAN DAN HARGAECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIANDI

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017 REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL 13-17 JULI 2017 NO SIMBOL JENIS STAND NOMOR STAND INSTANSI 1 1 Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah 2 2 Dinas Ketahanan Pangan Provinsi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 1.1. UMUM 1.1.1. DASAR Balai Pemantapan Kawasan Hutan adalah Unit Pelaksana Teknis Badan Planologi Kehutanan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002, Tanggal 10

Lebih terperinci

STRUKTUR EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

STRUKTUR EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TENGAH STRUKTUR EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TENGAH Suhartono (tono@ut.ac.id) Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka ABSTRACT The purpose of article is to analyze the potential

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 NO KAB./KOTA L P JUMLAH 1 KABUPATEN REMBANG 820 530 1.350 2 KOTA MAGELANG 238 292 530 3 KABUPATEN WONOGIRI 2.861

Lebih terperinci

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH OUT LINE 1. CAPAIAN PRODUKSI 2. SASARAN LUAS TANAM DAN LUAS PANEN 3. CAPAIAN

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR Yuniar Irkham Fadlli, Soedwiwahjono, Ana Hardiana Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini mengembangkan model pengklasteran Pemerintah Daerah di Indonesia dengan mengambil sampel pada 30 Pemerintah Kota dan 91 Pemerintah Kabupaten

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENDEKATAN SISTEM DALAM MENGANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH

PENTINGNYA PENDEKATAN SISTEM DALAM MENGANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PENTINGNYA PENDEKATAN SISTEM DALAM MENGANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH Joko Sutrisno 1, Sugihardjo 2 dan Umi Barokah 3 1 Program Studi Agribisnis

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA

PENEMPATAN TENAGA KERJA PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2015 NO. KAB./KOTA 2015 *) L P JUMLAH 1 KABUPATEN SEMARANG 3,999 8,817 12816 2 KABUPATEN REMBANG 1,098 803 1901 3 KOTA.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar penelitian yang digunakan ialah metode penelitian eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris merupakan penelitian yang bersifat noneksploratif,

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAN ASET DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROVINSI JAWA TENGAH

DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROVINSI JAWA TENGAH DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROVINSI JAWA TENGAH PROGRAM DAN KEGIATAN Penyelenggaraan urusan Energi dan Sumber Daya Mineral dalam rangka mewujudkan desa mandiri/berdikari melalui kedaulatan energi,

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Meskipun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkebunan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang cukup besar pada perekonomian negara Indonesia. Salah satu andalan perkebunan Indonesia

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

PENELITIAN POTENSI DAN KETERSEDIAAN PANGAN DALAM RANGKA KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

PENELITIAN POTENSI DAN KETERSEDIAAN PANGAN DALAM RANGKA KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH PENELITIAN POTENSI DAN KETERSEDIAAN PANGAN DALAM RANGKA KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH Rachman Djamal, dkk Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang Telp.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik

Lebih terperinci

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961 IR. SUGIONO, MP Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961 1 BBPTU HPT BATURRADEN Berdasarkan Permentan No: 55/Permentan/OT.140/5/2013 Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, khususnya bagi. bangsa Indonesia, peranan negara sangat penting di dalam mengatur

I. PENDAHULUAN. Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, khususnya bagi. bangsa Indonesia, peranan negara sangat penting di dalam mengatur I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, khususnya bagi bangsa Indonesia, peranan negara sangat penting di dalam mengatur penguasaan tanah. Negara sebagai organisasi

Lebih terperinci

Seminar Nasional Pendayagunaan Informasi Geospatial Untuk Optimalisasi Otonomi Daerah 2013 ISBN:

Seminar Nasional Pendayagunaan Informasi Geospatial Untuk Optimalisasi Otonomi Daerah 2013 ISBN: ANALISIS ANGKATAN KERJA DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) JAWA TENGAH TAHUN 2010 DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Priyono, Akhmad Susanto Fakultas Geografi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan raya merupakan suatu lintasan yang bermanfaat untuk melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke tempat lain, sehingga jalan raya menjadi salah satu prasarana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Batasan Kawasan Joglosemar Joglosemar (Yogyakarta-Solo-Semarang) yang dikembangkan selama ini hanya meliputi dua kota besar di Provinsi Jawa Tengah dan satu kota di Provinsi DIY. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. regional merupakan pelaksanaan dari pembangunan nasional pada wilayah

BAB I PENDAHULUAN. regional merupakan pelaksanaan dari pembangunan nasional pada wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi yang terjadi mengharuskan Indonesia dituntut untuk siap bersaing dengan negara-negara lain. Agar mampu bersaing Indonesia harus memantapkan terlebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu paling penting dalam kebijakan pembangunan dan global governance pada abad ke 21, dampaknya terhadap pengelolaan sektor pertanian dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI DENGAN PENGANGGURAN TERDIDIK DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

HUBUNGAN ANTARA KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI DENGAN PENGANGGURAN TERDIDIK DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN HUBUNGAN ANTARA KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI DENGAN PENGANGGURAN TERDIDIK DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005-2010 Benedicta Anin Puspa Listyawati anin_benedicta@yahoo.com Sukamdi kamdi_cpps@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci