ACUAN OPERASIONAL DAN INDIKATOR KINERJA DEWAN PENDIDIKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ACUAN OPERASIONAL DAN INDIKATOR KINERJA DEWAN PENDIDIKAN"

Transkripsi

1 ACUAN OPERASIONAL DAN INDIKATOR KINERJA DEWAN PENDIDIKAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH TIM PENGEMBANGAN DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH JAKARTA, OKTOBER 2003

2 BAB I PENDAHULUAN Our schools are at the heart of the community. Their have a rich tradition of parental and community involvement in education (Ministry of Education and Training, Ontario, Canada). Sekolah-sekolah kita ada pada jantung masyarakat. Mereka memiliki satu tradisi yang kaya tentang keikutsertaan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan (Menteri Pendidikan dan Pelatihan, Ontario, Kanada) 1. Latar Belakang Sekolah berada pada jantung komunitas atau masyarakat setempat. Sekolah memiliki satu tradisi yang kaya tentang keterlibatan orangtua siswa dan komunitasnya dalam penyelenggaraan pendidikan. Demikianlah pernyataan Kementerian Pendidikan dan Pelatihan, Ontario, Kanada. Demikian pulalah sebenarnya hakikat sekolah di mata hati keluarga dan masyarakat di Indonesia. Untuk memantapkan dan mengembangkan tradisi tersebut, maka dibentuklah satu lembaga yang dikenal dengan nama generik Dewan Pendidikan yang berkedudukan di kabupaten/kota (Kepmen Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002), dan di tingkat Nasional dan Provinsi (Pasal 56 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Agar Dewan Pendidikan dapat segera melaksanakan roda organisasinya dipandang perlu adanya satu acuan yang dapat dipedomani Dewan Pendidikan. Di samping itu, pelaksanaan roda organisasi Dewan Pendidikan perlu satu ukuran berupa indikator yang akan digunakan untuk menilai kinerja operasionalnya. Untuk itu disusunlah buku panduan operasional yang disebut dengan Acuan Operasional dan Indikator Kinerja Dewan Pendidikan. Buku panduan operasional ini disusun antara lain karena adanya beberapa latar belakang permasalahan sebagai berikut: a. Proses pembentukan Dewan Pendidikan kebanyakan belum sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002; b. Banyak Dewan Pendidikan dibentuk dengan pola-pola stigmatis yang diwarisi dari BP3 atau POMG; c. Timbul kesan dan pandangan yang amat negatif dari orangtua dan masyarakat terhadap konerja Dewan Pendidikan yang menyatakan bahwa kenaikan iuran dan atau uang sekolah menjadi lebih besar karena dibentuknya Dewan Pendidikan. Kesan dan pandangan negatif ini timbul karena kebijakan, program, dan kegiatan operasional Dewan Pendidikan belum sepenuhnya mencerminkan pelaksanaan peran dan fungsi Dewan Pendidikan yang 1

3 sesungguhnya. Hal ini terjadi antara lain karena Dewan Pendidikan yang baru dibentuk tersebut belum memiliki acuan yang dapat dijadikan rambu-rambu dalam pelaksanaan kegiatan operasionalnya, serta ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi. Praktik pelaksanaan peran dan fungsi Dewan Pendidikan dinilai menyimpang antara lain adanya model Dewan Pendidikan yang terlalu meniru gaya birokrat atau menjadi stempel sekolah (di bawah komando kepala sekolah) di satu sisi, dan adanya model Dewan Pendidikan yang meniru gaya LSM (melebihi kewenangan yang seharusnya) dan bahkan sebagai eksekutor (melakukan eksekusi atau hukuman) di sisi lain. d. Dewan Pendidikan yang telah dibentuk itu pun banyak yang belum memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disusun sendiri, dan belum pula memiliki program kerja jangka panjang, menengah, dan jangka pendek yang disusun berdasarkan aspirasi orangtua dan masyarakat sebagai komponen utama stakeholder pendidikan. 2. Landasan Acuan operasional ini disusun berdasarkan: a. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah b. UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional c. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. d. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. e. PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah Provinsi Sebagai Daerah Otonom. 3. Tujuan Berdasarkan latar belakang beberapa permasalahan tersebut, maka dipandang perlu adanya satu acuan operasional dan indikator Dewan Pendidikan, sambil menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang secara khusus akan menjadi acuan yang akan digunakan dalam pelaksanaan kegiatan dan untuk indikator yang akan digunakan untuk mengukur kinerja Dewan Pendidikan. Acuan operasional kegiatan Dewan Pendidikan dan indikator kinerjanya ini disusun dengan tujuan sebagai berikut: a. menjadi acuan bagi warga sekolah dan semua elemen stakeholder pendidikan dalam menyikapi dan melaksanakan empat peran utama Dewan Pendidikan, yakni sebagai (1) badan yang memberikan pertimbangan (advisory agency), (2) badan yang memberikan dukungan kepada sekolah (supporting agency), (3) badan yang mengawasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah (controlling agency), dan (4) badan yang menjadi penghubung antara sekolah dengan orangtua dan masyarakat (mediator); b. Menjadi acuan bagi Dewan Pendidikan, khususnya pengurus dan anggota, dalam menjalankan roda administrasi dan keuangan organisasinya; c. Menyediakan alat ukur untuk menilai tingkat kinerja Dewan Pendidikan, baik yang dapat dilakukan oleh lembaga sendiri (self assessment) atau yang mungkin akan dilakukan oleh lembaga-lembaga independen; 2

4 4. Sistematika Acuan operasional dan kinerja kegiatan Dewan Pendidikan ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I, pendahuluan, menjelaskan secara singkat tentang latar belakang perlunya acuan operasional ini, yang dapat digunakan baik oleh warga sekolah maupun oleh seluruh elemen stakeholder pendidikan dalam menyikapi dan melaksanakan empat peran utama Dewan Pendidikan. Bab II, landasan konsepsional, menjelaskan tentnag upaya peningkatan mutu pendidikan dalam era otonomi daerah, Bab III, acuan operasional tentang prasyarat organisasi, menjelaskan kembali secara lebih operasional tentang langkah-langkah pembentukan Dewan Pendidikan, pembentukan pengurus, persyaratan menjadi pengurus, sebagaimana telah dijelaskan dalam Buku Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dan prasyarat umum organisasi yang harus dilengkapi, termasuk AD dan ART-nya. Bab IV, acuan operasional tentang pelaksanaan peran, fungsi, dan tujuan Dewan Pendidikan, memberikan rambu-rambu acuan operasional Dewan Pendidikan, yang dijabarkan dari peran Dewan Pendidikan, yang diselaraskan dengan kondisi, potensi, dan tuntutan aspirasi orangtua dan masyarakat, memberikan rambu-rambu acuan tentang pelaksanaan teknis administrasi dan keuangan. Bab V, indikator kinerja Dewan Pendidikan, menjelaskan tentang ukuran-ukuran atau indikator teknis yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kinerja organisasi Dewan Pendidikan. Bab VI, dampak kinerja dewan pendidikan terhadap kinerja sistem pendidikan nasional, memaparkan tentang dampak apa saja yang dihasilkan setelah Dewan Pendidikan melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal. Bab VII, penutup, menjelaskan tentang beberapa harapan dengan adanya buku acuan ini. 3

5 BAB II LANDASAN KONSEPSIONAL DEWAN PENDIDIKAN Dewan Pendidikan adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota (Lampiran I Kepmendiknas Nomor 004/U/2002) Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) 1. Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Era Otonomi Daerah Kelahiran UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta perangkat PP yang berkaitan telah membawa perubahan paradigma pengelolaan sistem pendidikan. Tentu ini akan berakibat terhadap perubahan struktural dalam pengelolaan pendidikan, dan berlaku juga pada penentuan stakeholder di dalamnya. Jika di masa lalu, stakeholder pendidikan itu sepenuhnya ada di tangan aparat pusat, maka dalam era otonomi pendidikan sekarang ini peranan sebagai stakeholder itu akan tersebar kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Salah satu model pengelolaan pendidikan yang kini digagas Departemen Pendidikan Nasional adalah apa yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta jalannya pendidikan di daerah masing-masing. Keberhasilan dalam pelaksanaan MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada tingkatan kabupaten atau kota. Gagasan MBS sebenarnya merupakan jawaban atas tantangan pendidikan kita ke depan. Dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, (Propenas), khususnya Bab VII (Pembangunan Pendidikan) digambarkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan besar, di antaranya adalah sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/ keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Tantangan ini cukup relevan dengan keadaan manajemen pendidikan kita sekarang, di mana manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih bersifat sentralistis sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis tersebut telah menyebabkan terjadinya kebijakan yang seragam yang tidak dapat mengakomodasikan perbedaan keragaman/kepentingan daerah/sekolah/peserta didik, serta cenderung mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan. 4

6 Di samping pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan pendidikan, MBS juga bertujuan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan semua stakeholder pendidikan di sekolah, sehingga tercipta sense of belonging (rasa memiliki) dari mereka. Dengan demikian semakin besar tingkat partisipasi stakeholder pendidikan, semakin besar pula rasa memiliki,tanggung jawab dan dedikasinya. Bagi daerah, implementasi MBS ini diharapkan membawa perubahan dalam pengelolaan pendidikan. dan untuk keperluan tersebut beberapa daerah telah membentuk Kelompok Kerja dalam rangka penerapan MBS. Di Propinsi Jawa Barat misalnya, Dinas Pendidikan Propinsi telah membentuk Kelompok Kerja Implementasi MBS berdasarkan Surat Keputusan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No. 560/SK.658 A-Disdik/2001 tanggal 6 April Kelompok kerja tersebut bertugas melakukan pengkajian konsep MBS untuk diterapkan di Jawa Barat. Hasil Tim Pokja adalah Pedoman Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Munculnya konsep MBS memang masih harus dikaji terus menerus. Dan kajian tersebut hendaknya dimaksudkan untuk menciptakan sekolah sebagai tempat yang kondusif bagi layanan pendidikan, sehingga tercipta kemandirian sekolah dengan menggali sumber-sumber daya sekolah, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam wujud mutu hasil belajar para siswa. Salah satu permasalahan pendidikan yang disorot dan erat kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan adalah manajemen (pengelolaan) pendidikan. Paling tidak ada tiga faktor manajemen pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau yang lebih dikenal dengan pendekatan input-output analysis. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan. Kedua, pendidikan nasional diselenggarakan secara birokratiksentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur (rantai) yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input (baca: dana), bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan 5

7 akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholder). Berdasarkan bukti-bukti lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional tersebut, maka sebagai konsekuensi logis bagi manajemen pendidikan adalah perlu dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju yang baru, antara lain: subordinasi menjadi otonomi, pengambilan keputusan terpusat menjadi pengambilan keputusan partisipatif, ruang gerak kaku menjadi ruang gerak luwes, pendekatan birokratik menjadi pendekatan profesional, sentralistik menjadi desentralistik, diatur menjadi motivasi diri, overregulasi menjadi deregulasi, mengontrol menjadi mempengaruhi, mengarahkan menjadi memfasilitasi, menghindari risiko menjadi mengelola risiko, mengunakan uang semuanya menjadi menggunakan uang secara efisien, individual yang cerdas menjadi teamwork yang cerdas, informasi terpribadi menjadi informasi terbagi. (Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2002:1-7). Munculnya konsep MBS memang menjadi suatu kebutuhan bagi sekolah atas berbagai perubahan yang terjadi selama ini. Ada kebutuhan yang terasa mendesak untuk mengkaji kembali fungsi sekolah. Pertama, pada saat timbul perubahan cepat yang terjadi saat ini, maka kumpulan pengetahuan dan pengalaman masa lampau, yang digunakan untuk membimbing anak-anak, ternyata tidak dapat memenuhi harapan untuk mencapai tujuan tersebut. Sesungguhnya orang tua sering kali tidak merasa pasti dibandingkan dengan putra-putranya. Demikian pula keadaan bagi komunitas orang dewasa pada umumnya. Nilai-nilai tradisional dan kebiasaan yang diwarisi kenyataannya telah kehilangan otoritas terhadap anak-anak muda, dan sebagai suatu bimbingan untuk mengambil tindakan yang tepat di dalam suatu lingkungan yang sedang mengalami perubahan ternyata juga tidak memadai. Karena keterbatasan atas kemampuan yang dimiliki orang tua inilah, akibatnya kita tergantung dari lembaga-lembaga pendidikan formal. Kedua, sekolah sendiri hendaknya menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa pengetahuan baru yang menembus keluar dinding yang membatasinya tidak saja mencapai dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang dikuasai oleh sekolah, melainkan juga jauh lebih penting bagi kehidupan riil kliennya (siswa). Dalam hubungan itu, sekolah tidak saja harus memperbaharui pengetahuan yang telah dimiliki, tetapi juga harus dapat menyesuaikan diri terhadap fungsi baru cara mengajar anak-anak agar mereka dapat menguasai serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya sejumlah pengetahuan yang akan mereka jumpai di dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan sekolah. Ketiga, di dalam kegiatan persekolahan dan di dalam pelaksanaan pembaharuan sekolah yang diperlukan adalah kemampuan guru. Kemampuan guru ini penting, mengingat guru sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembelajaran siswa. Dengan tantangan dan peluang tersebut, sekolah diharapkan untuk semakin dapat mengoptimalkan pemanfaatan semua sumber daya yang ada. Sekolah juga dapat 6

8 mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya kepada peserta didik, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Bertolak dari ini semua, manajemen berbasis sekolah yang diterapkan dapat memandirikan dan memberdayakan sekolah, melalui pemberian kewenangan (otonomi). Pemindahan wewenang ke tingkat sekolah, berdasarkan pengalaman beberapa negara, cenderung akan menambah variasi antarsekolah dan/atau antardaerah dalam penyelenggaraan mutu proses pembelajaran, karena kemampuan fasilitas dan SDM yang berlainan. Di samping itu, pemindahan kewenangan tersebut juga akan dapat menimbulkan potensi konflik baru antarguru dan antara guru dengan kepala sekolah. Hal ini dapat muncul dimungkinkan karena pengelolaan pendidikan di sekolah makin transparan dan efisien serta efektif, sehingga baik antar guru atau antara guru dengan kepala sekolah terjadi kompetisi. Tumbuh berbagai wacana baru tentang pendidikan di sekolah. Bahkan potensi itu juga terjadi pada level antara sekolah dan masyarakat sejalan dengan efek akuntabilitas dan rentang pengawasan (span of control) yang semakin pendek. Erat kaitannya dengan peranan kepala sekolah, kewenangan yang diberikan kepada sekolah mengakibatkan kepala sekolah memiliki peranan yang krusial dan kuat dalam keputusan politik pendidikan di sekolah. Dampak yang terjadi adalah, skills, wawasan, kemampuan analisis dari kepala sekolah makin bervariasi. Kemampuan sekolah ini tentu akan berdampak pula pada peningkatan efek positif terhadap prestasi belajar murid sebagai akibat dari tumbuhnya etos kerja baru dalam sekolah. Kewenangan sekolah memungkinkan pula terjadinya peningkatan kinerja lembaga pendidikan sekolah sehingga perlu adanya Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Adanya kelembagaan sebagai pengontrol peningkatan mutu pendidikan di sekolah memang membutuhkan adanya Peraturan Daerah (Perda). Tak jarang akibat dari pengelolaan pendidikan ini, potensi konflik kepentingan antara aparat daerah dengan aparat pusat terjadi. Karena itu, perlu dipahami bahwa pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan ini tidak berarti akan menghabiskan seluruh fungsi dan peran yang selama ini dilakukan oleh Pusat. Pemerintah pusat dapat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar dan strategis yang berlingkup nasional (nation-wide) bahkan yang menyangkut hubungan antarbangsa. Pemerintah pusat masih akan sangat berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan nasional sebagai landasan bagi setiap daerah otonom untuk menyusun kebijaksanaan daerah masingmasing. Kebijaksanaan nasional ini dikembangkan dan dirumuskan berdasarkan penelitian, pengembangan dan analisis kebijakan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Kebijakan nasional juga dikembangkan atas dasar perbandingan dengan negara lain agar Indonesia tidak tertinggal dalam percaturan global. Salah satu kebijaksanaan penting pemerintah pusat adalah penetapan standar-standar minimum dalam rangka mengendalikan mutu pendidikan secara nasional (national benchmarking). Fungsi ini antara lain diwujudkan melalui penetapan standar minimal sarana dan prasarana, jumlah dan kualitas SDM, proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah, serta standar minimal hasil-hasil pendidikannya. 7

9 Pengendalian mutu menyangkut dua aspek, yaitu administratif --yakni perimbangan dalam alokasi sumber daya pendidikan-- serta aspek substansi-- yaitu pencapaian mutu hasil pendidikan. Pertama, secara administratif, Pemerintah akan berperan dalam mengatur aliran dana publik (public outlay) dari sumber-sumber yang ada kepada lembaga-lembaga pendidikan yang paling membutuhkan, melalui sistem subsidi. Berdasarkan standar-standar pendidikan yang ditetapkan (seperti standar pelayanan sekolah, standar SDM, standar sarana dan prasarana, dsb.) pemerintah memonitor dan memetakan sekolah atau daerah. Berdasarkan peta ini dapat diketahui sekolah atau daerah mana yang belum memenuhi standar karena pendapatan daerah yang kurang. Berdasarkan peta tersebut pemerintah mengatur aliran subsidi (public outlay) bagi daerah atau sekolah agar masing-masing dapat memenuhi standar paling tidak mencapai standar minimum yang telah ditetapkan. Kedua, secara substansi akan menyangkut mutu program dan hasil pendidikan. Mutu pendidikan perlu di dimonitor oleh pemerintah di antaranya dengan mendayagunakan lembaga profesional bidang pengujian. Untuk mengendalikan aspek mutu ini, Pemerintah perlu menetapkan standar materi kurikulum (material standard), standar kompetensi guru (teacher competency standard), dan standar prestasi siswa (performance standard). Dalam hal pelaksanaan kurikulum sekolah serta proses pembelajaran harus sepenuhnya diserahkan kepada kreativitas dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap daerah atau sekolah yang bersangkutan dalam mencapai standar itu. Untuk memacu pencapaian standar itu, pemerintah bisa menerapkan sistem ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing daerah otonom atau sekolah. Sementara itu pengendalian aspek administratif (misalnya dalam penempatan guru, distribusi buku dan alat pelajaran, penataran guru, dsb.) dilakukan oleh Pemerintah Daerah, agar rentang pengawasan tidak terlalu jauh. Pada tingkatan sekolah, pengendalian mutu pendidikan juga difungsikan melalui lembaga sejenis Dewan Pendidikan Daerah (Board of Education) sebagai lembaga akuntabilitas yang keanggotaannya terdiri dari pembayar pendidikan seperti orang tua murid, pemerintah daerah, pemerintah pusat, serta pihak-pihak lain yang juga memberikan kontribusi nyata terhadap pendidikan. Dalam mekanisme ini, sekolah harus mempertanggungjawabkan hasil-hasil pendidikan yang dicapai kepada stakeholder pendidikan atau semua pihak secara proporsional sesuai dengan kontribusi masingmasing terhadap penyelenggaraan pendidikan --misalnya orang tua murid, pemerintah daerah, organisasi sosial, dan sebagainya yang benar-benar memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Salah satu implikasi penting yang memerlukan perhatian serius kita semua adalah bahwa semua anak usia sekolah adalah anak bangsa dan anak dari semua orang tua. Semua anak harus memiliki kesempatan memperoleh pendidikan dan tidak menghadapi kendala untuk bersekolah. Tidak semua orang tua harus membayar biaya pendidikan karena kemampuannya berbeda-beda, namun semua anak harus bisa bersekolah. Dengan demikian, maka suatu sistem pajak daerah perlu segera dipertimbangkan penerapannya dalam rangka menambah kemampuan anggaran daerah untuk menyelenggarakan pendidikan. Dalam kaitan persoalan di atas, munculnya konsep MBS dapat dipandang sebagai langkah untuk meningkatkan otonomi (kemandirian) dan profesionalisasi setiap 8

10 satuan pendidikan (sekolah). Keberhasilan MBS tentu dapat ditentukan dengan meningkatnya partisipasi masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Dewan Pendidikan ini seperti yang telah disebutkan di atas, menunjang keberhasilan pelaksanakan manajemen berbasis sekolah. 2. Dewan Pendidikan Mewadahi dan Menyalurkan Aspirasi dan Prakarsa Masyarakat Pembentukan Dewan Pendidikan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Mendiknas No.044/U/2002, juga merupakan amanat dari UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) , yang menyatakan bahwa sasaran yang akan dicapai dalam program pembinaan pendidikan dasar dan menengah di antaranya adalah terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat (school/community-based management) dengan mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Pendidikan di setiap kabupaten/kota. Pembentukan Dewan Pendidikan menjadi lebih kuat dari aspek legalitasnya, karena telah diwadahi dalam Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara lengkap dapat dikutip sebagai berikut: (1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah; (2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis; (3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayaan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prsasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan; (4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/ madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dewan Pendidikan merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya. Posisi Dewan Pendidikan satuan pendidikan, dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya mengacu pada kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pembentukan Dewan Pendidikan bertujuan yaitu: (a) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan di kabupaten/kota; (b) meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; (c) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam 9

11 penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di daerah kabupaten/kota dan satuan pendidikan. Adapun peran yang dijalankan Dewan Pendidikan adalah sebagai pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. Di samping itu juga berperan sebagai pendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran lain Dewan Pendidikan berperan adalah sebagai pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, serta sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif) dengan masyarakat. Untuk menjalankan perannya, Dewan Pendidikan memiliki fungsi yaitu mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Badan itu juga melakukan kerja sama dengan masyarakat, baik perorangan maupun organisasi, dunia usaha dan dunia industri, pemerintah, dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Fungsi lainnya adalah menampung dan menganalisis aspirasi, pandangan, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. Di samping itu, fungsi Dewan Pendidikan adalah memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada pemerintah daerah/dprd dan kepada satuan pendidikan mengenai kebijakan dan program pendidikan; kriteria kinerja daerah dalam bidang pendidikan; kriteria tenaga kependidikan, khususnya guru/tutor dan kepala satuan pendidikan; kriteria fasilitas pendidikan; dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan. Dewan Pendidikan berfungsi dalam mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Anggota Dewan Pendidikan terdiri atas unsur masyarakat dan dapat ditambah dengan unsur birokrasi/legislatif. Unsur masyarakat dapat berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang pendidikan; tokoh masyarakat (ulama, budayawan, pemuka adat, dan lain-lain); anggota masyarakat yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu pendidikan atau yang dijadikan figur di daerah; tokoh dan pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu pendidikan; yayasan penyelenggara pendidikan (sekolah, luar sekolah, madrasah, pesantren); dunia usaha/industri/asosiasi profesi (pengusaha industri, jasa, asosiasi, dan lain-lain); organisasi profesi tenaga kependidikan (PGRI, ISPI, dan lain-lain); dan perwakilan dari Komite Sekolah yang disepakati. Unsur birokrasi, misalnya dari unsur dinas pendidikan setempat dan dari unsur legislatif yang membidangi pendidikan, dapat dilibatkan sebagai anggota Dewan Pendidikan maksimal 4-5 orang. Jumlah anggota Dewan Pendidikan sebanyak-banyaknya berjumlah 17 (tujuh belas) orang dan jumlahnya harus gasal. Syarat-syarat, hak, dan kewajiban, serta masa bakti keanggotaan Dewan Pendidikan ditetapkan di dalam AD/ART. Di samping itu unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertimbangan Desa dapat pula dilibatkan sebagai anggota. 10

12 Pengurus Dewan Pendidikan ditetapkan berdasarkan AD/ART yang sekurangkurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara. Apabila dipandang perlu, kepengurusan dapat dilengkapi dengan bidang-bidang tertentu sesuai kebutuhan. Selain itu dapat pula diangkat petugas khusus yang menangani urusan administrasi. Pengurus dewan dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis. Khusus jabatan ketua Dewan Pendidikan bukan berasal dari unsur pemerintahan daerah dan DPRD. Syarat-syarat, hak, dan kewajiban, serta masa bakti kepengurusan Dewan Pendidikan ditetapkan di dalam AD/ART. Pembentukan Dewan Pendidikan harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel berarti panitia persiapan hendaknya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dana kepanitiaan. Demokratis berarti proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu pemilihan anggota dan pengurus dapat dilakukan melalui pemungutan suara. Pembentukan Dewan Pendidikan diawali dengan pembentukan panitia persiapan yang dibentuk oleh kepala satuan pendidikan dan/atau oleh atau oleh masyarakat. Panitia persiapan berjumlah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang yang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (seperti guru, kepala satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan industri), dan orang tua peserta didik. Melalui pelaksanaan MBS, keberadaan, peran, dan fungsi Dewan Pendidikan diharapkan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan pendidikan di daerah kabupatan/kota, sehingga mutu pendidikan menjadi menjadi meningkat secara optimal. 11

13 BAB III ACUAN OPERASIONAL PEMBENTUKAN, PEMILIHAN PENGURUS, DAN PRASYARAT ORGANISASI DEWAN PENDIDIKAN Pada setiap kabupaten/kota dibentuk Dewan Pendidikan atas prakarsa masyarakat dan/atau pemerintah kabupaten/kota (Pasal 1 Kepmendiknas Nomor 044/U/2003) 1. Pembentukan Panitia Persiapan Pembentukan Dewan Pendidikan diawali dengan pembentukan Panitia Persiapan. Panitia ini dibentuk oleh bupati/walikota dan/atau masyarakat. Panitia Persiapan berjumlah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang yang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (seperti guru, kepala sekolah, penyelenggara pendidikan), dan pemerhati pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan dunia industri). 2. Tujuh Langkah Mekanisme Pembentukan Dewan Pendidikan Secara ideal, mekanisme pembentukan Dewan Pendidikan sebenarnya telah dijelaskan di dalam Buku Pedoman Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, yang meliputi 7 (tujuh) langkah sebagai berikut: Pertama, mengadakan sosialisasi kepada masyarakat di daerah kabupaten/kota tentang rencana pembentukan Dewan Pendidikan. Langkah ini amat penting agar masyarakat dapat memberikan saran dan masukan tentang apa itu Dewan Pendidikan, dan siapa yang cocok untuk menjadi pengurusnya. Kedua, merumuskan kriteria pengurus dan anggota Dewan Pendidikan. Proses inti dimaksudkan agar dapat diperoleh calon pengurus dan anggota Dewan Pendidikan yang berkualitas dan berdedikasi tinggi untuk peningkatan mutu pendidikan di daerah kabupaten/kota. Ketiga, menyeleksi calon pengurus dan anggota berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Keempat, mengumumkan nama-nama calon pengurus dan anggota kepada masyarakat melalui media yang relevan. Kelima, menetapkan daftar nama calon pengurus dan anggota, setelah nama-nama yang diumumkan tersebut tidak mendapatkan keberatan dari masyarakat. Keenam, mengadakan rapat untuk memfasiltiasi proses pemilihan pengurus dan anggota Dewan Pendidikan secara transparan dan demokratis. 12

14 Ketujuh, mengusulkan hasil pemilihan pengurus dan anggota Dewan Pendidikan kepada bupati/walikota untuk diterbitkan surat keputusan. Catatan: Jika ketujuh langkah pembentukan Dewan Pendidikan tersebut diikuti, maka dproses pembentukan Dewan Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan Dewan Pendidikan yang benar-benar aspiratif, kredibel, dan akuntabel, dan diharapkan mampu memberikan peran secara maksimal bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Sudah barang tentu, ketujuh langkah tersebut bukan sebagai harga mati. Ide-ide kreatif dalam pembentukan Dewan Pendidikan yang dilakukan oleh daerah kabupaten/kota. Sebagai satu contoh, proses sosialisasi dalam pembentukan Dewan Pendidikan di salah satu kabupaten di Provinsi Banten, telah dilaksanakan dengan mengadakan sosialisasi melalui media secara luas. Dengan demikian, terjadilah komunikasi antara anggota masyarakat dengan panitia pembentukan Dewan Pendidikan. Melalui media tersebut, masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya tentang Dewan Pendidikan yang diinginkan, persyaratan apa yang perlu dimiliki oleh pengurus Dewan Pendidikan. Proses pembentukan Dewan Pendidikan di salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang menggunakan cara-cara gethok tular sebagaimana dikeluhkan pakar dan pengamat pendidikan, seharusnya dihindari. 3. Prinsip Yang Harus Dianut Dalam Proses Pembentukan Dewan Pendidikan Dua prinsip yang harus dipegang dalam proses pembentukan Komite Sekolah, yakni: a. Dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. b. Komite Sekolah yang dibentuk harus dapat menjadi mitra sejajar dengan satuan pendidikan. 4. Penerbitan Surat Keputusan Bupati/Walikota dan Acara Seremonial Dalam Penetapan dan Pengesahan Dewan Pendidikan Dalam Kepemendiknas Nomor 044/U/2002 ditegaskan bahwa Dewan Pendidikan untuk pertama kalinya dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota, dan selanjutnya diatur dalam AD dan ART. Demikian ketentuan legal yang diatur dalam pedoman umum. Namun, perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa Surat Keputusan tersebut harus benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat, dan bukan semata-mata aspirasi bupati/walikota. Selain itu, jika ada kabupaten/kota yang justru dapat melaksanakan cara penetapan dan pengesahan Dewan Pendidikan yang dipandang jauh lebih baik, misalnya dengan Akte Notaris, atau cara-cara lain yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka hal itu pun diserahkan kepada masingmasing kabupaten/kota. Bahkan, jika setelah diterbitkan Surat Keputusan tersebut juga diadakan acara pengesahan atau pelantikan, baik yang dilakukan oleh pejabat setingkat bupati/walikota atau pejabat dinas yang terkait, maka hal tersebut sepenuhnya diserahkan kepada Dewan Pendidikan itu sendiri. Yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah jangan sampai keberadaan Dewan Pendidikan menjadi badan subordinasi (di bawah kekuasaan) dari pihak yang melantiknya. 13

15 Kalau terjadi seperti ini, maka Dewan Pendidikan akan menjadi badan yang tidak independen lagi. Sudah ditegaskan di dalam UU Nomor 20 Taun 2003 bahwa Dewan Pendidikan, sebagai lembaga mandiri... (Pasal 56 ayat 2). 5. Pejabat Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan Tidak Dapat Menjadi Ketua Dewan Pendidikan Dewan Pendidikan sama sekali bukanlah lembaga birokrasi baru. Oleh karena itu, pejabat pemerintah dalam bidang pendidikan tidak boleh menjadi ketua Dewan Pendidikan. Ketua Dewan Pendidikan harus dipilih secara demokratis (mohon dapat dirujuk kepada tujuh langkah mekanisme pembentukan KS), dan oleh karena itu dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara terbanyak (voting). 6. Tidak Ada Badan Pengawas atau Badan Pembina Dalam Dewan Pendidikan Tidak adanya badan pengawas, karena diharapkan Dewan Pendidikan secara langsung dapat diawasi oleh masyarakat. Bupati/walikota juga bukan sebagai Pembina atau pengawas, karena Dewan Pendidikan merupakan dua organisasi yang posisinya sejajar dengan semangat kemitraan. Bupati/walikota tidak dapat mendekte dan memberikan komando atau arahan kepada Dewan Pendidikan, demikian juga sebaliknya, Ketua Dewan Pendidikan juga sama sekali tidak dapat memberikan perintah kepada Bupati/walikota. Unsur pimpinan daerah kabupaten/kota dan Ketua DPKS akan duduk sama rendah dan beridiri sama tinggi untuk bersama-sama berusaha meningkatkan mutu pendidikan di daerah dan sekolah. 7. Mekanisme Pemilihan Pengurus dan Anggota Dewan Pendidikan Perhatikan kembali langkah kedua dan langkah ketiga mekanisme pembentukan DPKS. Langkah kedua, merumuskan kriteria pengurus dan anggota DPKS. Proses inti dimaksudkan agar dapat diperoleh calon pengurus dan anggota DPKS yang berkualitas. Dilanjutkan dengan langkah ketiga, yakni menyeleksi calon pengurus dan anggota berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Seleksi ini dilaksanakan secara demokratis dan transparan. Dalam hal ini, jika diperlukan, voting sama sekali tidak menjadi hal yang ditabukan. 8. Yang Dapat Menjadi Pengurus dan Anggota Dewan Pendidikan Dalam Buku Pedoman Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan bahwa kepengurusan dan keanggotaan Dewan Pendidikan berasal dari elemen masyarakat sebagai berikut: a. Lembaga Swadaya Masyarakat bidang pendidikan b. Tokoh masyarakat (ulama, budayawan, pemuka adat, dll) c. Anggota masyarakat yang memiliki perhatian pada peningkatan mutu pendidikan atau yang dijadikan figur di daerah d. Tokoh dan pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu pendidikan. e. Yayasan penyelenggara pendidikan (sekolah, luar sekolah, madrasah, pesantren) 14

16 f. Dunia usaha dan dunia industri (DUDI), asosiasi profesi (pengusaha industri, jasa, asosiasi, dll.) g. Organisasi profesi tenaga kependidikan (PGRI, ISPI, dll.) h. Perwakilan dari Komite Sekolah yang sekolah yang disepakati 9. Anggota Masyarakat Yang Bertempat Tinggal di Daerah Lain Dapat Menjadi Anggota Dewan Pendidikan Hal ini amat tergantung dari hasil kesepakatan dalam musyawarah calon anggota dan pengurus Dewan Pendidikan. Kepmendiknas menyerahkan hal ini sepenuhnya kepada orangtua dan masyarakat. Jika tokoh masyarakat setempat yang kebetulan bertempat tinggal di daerah provinsi, atau kabupaten lain, atau kecamatan lain, memang benar-benar diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan, maka hal ini sudah selayaknya dapat dimasukkan dalam pengurus dan anggota Dewan Pendidikan. 11. Dewan Pendidikan Harus Memiliki AD dan Atau ART Atau Dokumen Sejenis Kenyataan di lapangan dijumpai banyak Dewan Pendidikan yang telah dibentuk tidak segera menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Ada pula kenyataan yang ditemukan di lapangan bahwa Anggaran Dasar Dewan Pendidikan telah diseragamkan oleh Dinas Pendidikan. Bahkan ada yang masih menggunakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BP3 yang notebene juga diseragamkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu. Ketiga temuan ini sudah barang tentu tidak dapat dibenarkan lagi. Pengurus dan anggota Dewan Pendidikan yang telah dipilih secara demokratis harus segera menyusun AD dan ART atau dalam bentuk ketentuan lain, misalnya statuta atau lainnya. Untuk ini, pada umumnya ada tim kecil yang diberi tugas untuk menyusun buram awalnya, kemudian dibahas dalam rapat-rapat pleno Dewan Pendidikan. Meski dalam bentuk yang amat sederhana, Dewan Pendidikan memang harus segera menyusun AD dan ART. 12. Yang Perlu Diatur Dalam Anggaran Dasar (AD) Dan Anggaran Rumah Tangga (ART)? Berdasarkan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002, Anggaran Dasar (AD) Dewan Pendidikan sekurang-kurangnya memuat: a. Nama dan tempat kedudukan b. Dasar, tujuan, dan kegiatan c. Keanggotaan dan kepengurusan d. Hak dan kewajiban anggota dan pengurus e. Keuangan f. Mekanisme kerja dan rapat-rapat g. Perubahan AD dan ART, serta pembubaran organisasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Anggaran Rumah Tangga (ART) sekurang-kurangnya memuat: 15

17 a. Mekanisme pemilihan dan penetapan anggota dan pengurus b. Rincian tugas Komite Sekolah c. Mekanisme rapat d. Kerjasama dengan pihak lain e. Ketentuan penutup 13. Nama Lain AD dan ART Dalam Kepmendiknas, hal itu tidak diatur. Kembali kepada prinsip sebagai acuan, maka Dewan Pendidikan dapat menggunakan nama lain asalkan dengan makna dan tujuan yang sama, yakni sebagai pedoman dasar dalam pelaksanaan kegiatan organisasi Dewan Pendidikan. Apakah akan diberi nama Ketentuan Dasar, atau statuta, atau nama lainnya, dapat saja dilakukan dengan syarat memuat hal-hal yang telah disebutkan di atas. Sebagai satu organisasi, Dewan Pendidikan harus memilikinya. 14. Proses Penyusunan AD dan ART Tugas pertama pengurus Dewan Pendidikan adalah menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Dewan Pendidikan. Tugas ini sama sekali tidak dapat diserahkan kepada pihak lain. Dalam praktik, konsep AD dan ART dapat disusun seseorang, atau tim yang dibentuk untuk membuat konsep, atau bahkan diserahkan kelompok ahli. Namun konsep itu harus dibahas secara terbuka dalam satu acara rapat khusus untuk itu. Pada prinsipnya AD dan ART harus disusun dari, oleh, dan untuk anggota dan pengurus Dewan Pendidikan. Contoh AD/ART yang ada dapat digunakan sebatas untuk digunakan sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan. Yang penting, penyusunan AD/ART harus dilaksanakan melalui mekanisme rapat anggota lengkap. Rapat Dewan Pendidikan yang tidak memenuhi quorum tidak dapat menghasilkan AD/ART yang sesuai dengan aspirasi orangtua dan masyarakat. 15. Perubahan Atau Amandemen AD dan ART Sudah tentu, AD dan ART dapat diganti atau diamandemen. Semuanya tergantung pada suara terbanyak dari pengurus dan anggota Dewan Pendidikan. Ketentuan tentang perubahan AD dan ART dituangkan dalam Anggaran Dasar. Jika 75% pengurus dan anggota Dewan Pendidikan menghendaki maka AD dan ART dapat diganti atau diamandemen atau disempurnakan. Aspirasi orangtua dan masyarakat harus terwadahi dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. 16

18 BAB IV PENJABARAN PERAN DAN FUNGSI DEWAN PENDIDIKAN KE DALAM KEGIATAN OPERASIONAL DEWAN PENDIDIKAN Dewan pendidikan adalah badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota (Lampiran I Kepmendiknas Nomor 004/U/2002) Dewan Pendidikan, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingka Nasiona, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis ( Pasal 56 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) Di dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah hanya disebutkan tentang tujuan, peran dan fungsi Dewan Pendidikan. Sedang kegiatan operasional sehari-hari Dewan Pendidikan belum disebutkan secara jelas dan eksplisit. Dalam bab ini akan dijelaskan tentang tujuan, peran, dan fungsi Komite Sekolah sebagaimana telah dijelaskan Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, hubungan antara peran dan fungsi Dewan Pendidikan ke dalam kegiatan operasional yang harus ditunaikan oleh Dewan Pendidikan. 1. Tujuan Dewan Pendidikan Dijelaskan dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bahwa tujuan Dewan Pendidikan adalah: a. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan; b. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. c. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Untuk mencapai tujuan Dewan Pendidikan, Dewan Pendidikan harus melaksanakan peran dan fungsinya secara maksimal melalui berbagai kebijakan, program, dan kegiatan-kegaitan operasional yang kreatif dan inovatif. 2. Penjabaran Peran Dewan Pendidikan Ke Dalam Fungsi Dewan Pendidikan Di dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan tentang peran dan fungsi Dewan Pendidikan secara terpisah. Dalam hal ini, keempat 17

19 peran Dewan Pendidikan sebenarnya dapat dijabarkan ke dalam fungsi Dewan Pendidikan. Dengan kata lain, fungsi Dewan Pendidikan merupakan penjabaran dari peran Dewan Pemdidikan. Hubungan antara keduanya dapat dijelaskan dalam Tabel 1: Tabel 1 Penjabaran Peran Dewan Pendidikan Ke dalamfungsi Dewan Pendidikan No. Peran DP Fungsi DP 1. Pemberi pertimbangan (advisory) 1.2. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada pemerintah daerah/dprd mengenai: (1) kebijakan dan program pendidikan; (2) kriteria kinerja daerah dalam bidang pendidikan; (3) kriteria tenaga kepdndidikan, khususnya guru/tutor dan kepala satuan pendidikan; (4) kriteria fasilitas pendidikan; dan (5) hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan. 2. Pendukung (supporting) 2.1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu 2.2. Mendorong orangtua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan 3. Pengontrol (controlling) 3.1. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan 4. Mediator 4.1. Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi), pemerintah dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu Menampung dan mengalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. Sumber: Ditabulasi dari Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, hal Penjabaran Peran dan Fungsi Dewan Pendidikan Ke Dalam Kegiatan Operasional Dewan Pendidikan Peran dan fungsi Dewan Pendidikan tersebut dijabarkan secara lebih rinci ke dalam kegiatan operasional yang akan dilaksanakan oleh Dewan Pendidikan. Setiap fungsi 18

20 Dewan Pendidikan mungkin dapat dijabarkan ke dalam beberapa kegiatan operasional Dewan Pendidikan, yang dapat dipilah dalam beberapa fungsi manajemen, seperti fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembiayaan (budget), sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2: Tabel 2 Penjabaran Peran dan Fungsi Dewan Pendidikan Ke Dalam Kegiatan Operasional Dewan Pendidikan No. Peran DP Fungsi DP Kegiatan Operasional 1. Pemberi pertimbangan (advisory) 1.1. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada pemerintah daerah/dprd mengenai: (1) kebijakan dan program pendidikan; (2) kriteria kinerja daerah dalam bidang pendidikan; (3) kriteria tenaga kepdndidikan, khususnya guru/tutor dan kepala satuan pendidikan; (4) kriteria fasilitas pendidikan; dan (5) hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan Mengadakan pendataan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sumber daya pendidikan dalam masyarakat Menganalisis hasil pendataan sebagai bahan pemberian masukan, pertimbangan, dan atau rekomendasi bupati/walikota dan atau dinas pendidikan kabupaten/kota Menyampaikan masukan, pertimbangan, dan atau rekomendasi secara tertulis bupati/walikota dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Memberikan pertimbangan kepada bupati/walikota dan atau dinas pendidikan dalam rangka pengembangan kurikulum muatan lokal Memberikan pertimbangan kepada bupati/walikota dan atau dinas pendidikan untuk meningkatkan proses pembelajaran dan pengajaran yang menyenangkan (PAKEM) Memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah dalam penyusunan visi, misi, tujuan, kebijakan, program dan kegiatan pendidikan di daerah kabupaten/kota Memberikan masukan dan pertimbangan kepada bupati/walikota dan atau dinas pendidikan tentang pelaksanaan manajemen pendidikan (ketenagaan, keuangan, fasilitas, dan data pendidikan) 19

21 2. Pendukung (supporting) 3. Pengontrol (controlling) 2.1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu 2.2. Mendorong orangtua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan 3.1. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan 4. Mediator 4.1 Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi), pemerintah dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu Mengadakan rapat atau pertemuan secara berkala dan insidental dengan stakeholder pendidikan di kabupaten/kota Mendorong peran serta masyarakat dan dunia usaha dan dunia industri untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan yang bermutu di daerah kabupaten/kota Memotivasi masyarakat kalangan menengah ke atas untuk meningkatkan komitmennya bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah Mendorong peran serta masyarakat dan dunia usaha dan dunia industri dalam penyediaan sarana dan prasasana serta biaya pendidikan untuk masyarakat yang tidak mampu Ikut memotivasi masyarakat dan semua stakeholder pendidikan untuk melaksanakan kebijakan pendidikan, misalnya pelaksanaan jam wajib belajar masyarakat Mengadakan rapat koordinasi dengan Komite Sekolah Sering mengadakan kunjungan atau silaturahmi ke sekolah di daerah kabupaten/kota Meminta penjelasan dinas pendidikan tentang hasil belajar siswa di daerah kabupatan/kota Bekerjasama dengan dinas pendidikan untuk mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan pendidikan di daerah kabupaten/kota Membina hubungan dan kerjasama yang harmonis dengan seluruh stakeholder pendidikan, khusnya dengan DUDI di daerah kabupaten/kota Mengadakan penjajagan tentang kemungkinan untuk dapat mengadakan 20

ACUAN OPERASIONAL KEGIATAN DAN INDIKATOR KINERJA KOMITE SEKOLAH

ACUAN OPERASIONAL KEGIATAN DAN INDIKATOR KINERJA KOMITE SEKOLAH ACUAN OPERASIONAL KEGIATAN DAN INDIKATOR KINERJA KOMITE SEKOLAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH TIM PENGEMBANGAN DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH JAKARTA,

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa dalam upaya peningkatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL Menimbang : 1. bahwa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang- undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa nuansa pembaharuan

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH WALIKOTA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH WALIKOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH WALIKOTA YOGYAKARTA Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan nasional saat ini sedang mengalami berbagai perubahan yang cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang cerdas, sehat, jujur, berakhlak mulia, berkarakter, dan memiliki kepedulian sosial

Lebih terperinci

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH NOMOR 044/U/2002 MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan

Lebih terperinci

MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN. Oleh : Alpres Tjuana, S.Pd., M.Pd

MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN. Oleh : Alpres Tjuana, S.Pd., M.Pd MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN Oleh : Alpres Tjuana, S.Pd., M.Pd Pendahuluan Govinda (2000) dalam laporan penelitiannya School Autonomy and Efficiency Some Critical

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMEDANG,

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMEDANG, SALINAN PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMEDANG, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menciptakan suasana

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR62 TAHUN 2009 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH BUPATI PURWOREJO,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR62 TAHUN 2009 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH BUPATI PURWOREJO, BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR62 TAHUN 2009 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH BUPATI PURWOREJO, Menimbang: a. bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan pendidikan di Kabupaten

Lebih terperinci

DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH

DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH KEPMENDIKNAS RI NO 044/U/2002 DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DEWAN PENDIDIKAN BADAN YANG MEWADAHI PERAN SERTA MASYARAKAT DLM MENINGKATKAN MUTU, PEMERATAAN,EFISIENSI

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA DEWAN PENDIDIKAN KABUPATEN BOJONEGORO TAHUN 2015-2020 ANGGARAN DASAR DEWAN PENDIDIKAN 1 BAB I NAMA, TEMPAT DAN KEDUDUKAN Pasal 1 NAMA Organisasi ini bernama Dewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan peningkatan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bernama komite sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002). karena pembentukan komite sekolah di berbagai satuan pendidikan atau

BAB I PENDAHULUAN. yang bernama komite sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002). karena pembentukan komite sekolah di berbagai satuan pendidikan atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komite sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun di luar sekolah atau beberapa satuan pendididkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otonomi daerah harus diartikan sebagai upaya pemberdayaan daerah dan masyarakat untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otonomi daerah harus diartikan sebagai upaya pemberdayaan daerah dan masyarakat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otonomi daerah harus diartikan sebagai upaya pemberdayaan daerah dan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 berdampak ke hampir seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu dampak dari adanya reformasi adalah perubahan

Lebih terperinci

MANAJEMEN PARTISIPASI MASYARAKAT

MANAJEMEN PARTISIPASI MASYARAKAT MANAJEMEN PARTISIPASI MASYARAKAT TITIK TOLAK: MPMBS DIPERLUKAN KEMANDIRIAN DAN KREATIVITAS SEKOLAH DALAM MENGGALI SUMBER DAYA MASYARAKAT TENAGA, PIKIRAN, UANG, SARANA PRASARANA PENDIDIKAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 10 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 10 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 10 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PERAN MASYARAKAT DALAM BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

I. PENDAHULUAN. dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia dan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Peran dan fungsi komite sekolah dalam peningkatan mutu sekolah merupakan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Kepmendiknas tersebut telah. operasional Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah..

BAB I PENDAHULUAN. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Kepmendiknas tersebut telah. operasional Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah lahir sebagai amanat Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 2004. Amanat rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas SDM. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan telah

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I Pendahuluan Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan berhubungan dengan proses penyelenggaraan pendidikan, sumber daya manusia

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA DEWAN PENDIDIKAN KABUPATEN SUBANG JL. KS TUBUN NO. 21 SUBANG JAWA BARAT

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA DEWAN PENDIDIKAN KABUPATEN SUBANG JL. KS TUBUN NO. 21 SUBANG JAWA BARAT ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA DEWAN PENDIDIKAN KABUPATEN SUBANG DEWAN PENDIDIKAN KABUPATEN SUBANG JL. KS TUBUN NO. 21 SUBANG 41213 JAWA BARAT ANGGARAN DASAR DEWAN PENDIDIKAN KABUPATEN SUBANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mengutamakan perluasan pengetahuan. Diharapkan pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang mengutamakan perluasan pengetahuan. Diharapkan pendidikan dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan penyempurnaan pendidikan di Indonesia terus diupayakan. Pendidikan pada umumnya merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 736 TAHUN 2012 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 736 TAHUN 2012 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 736 TAHUN 2012 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 90 ayat (8) Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses reformasi yang sedang bergulir, membawa perubahan yang sangat mendasar pada tatanan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikeluarkannya UU No 22 tahun

Lebih terperinci

AD ART Komite Sekolah

AD ART Komite Sekolah AD ART Komite Sekolah Contoh ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA KOMITE... (NAMA SEKOLAH)... TAHUN... MUKADIMAH Dengan nama Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

Lebih terperinci

PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh: Ahmad Nawawi JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FIP UPI BANDUNG 2010 Latar Belakang l Lahirnya pendidikan inklusif sejalan

Lebih terperinci

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Bahan Diklat Teknis Manajemen Kepala Sekolah SMP di Lingkungan Provinsi Jawa Barat Oleh: Cicih Sutarsih, M.Pd UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Desember 2006 KONSEP DASAR MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan faktor yang secara signifikan mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu pembangunan pendidikan memerlukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal satu disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi diri peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pentingnya peningkatan kualitas pendidikan sebagai prasyarat mempercepat terwujudnya suatu masyarakat yang demokratis, pendidikan yang berkualitas tidak hanya

Lebih terperinci

Manajemen Mutu Pendidikan

Manajemen Mutu Pendidikan Manajemen Mutu Pendidikan Pengertian Mutu Kata Mutu berasal dari bahasa inggris, Quality yang berarti kualitas. Dengan hal ini, mutu berarti merupakan sebuah hal yang berhubungan dengan gairah dan harga

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Al Darmono Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Menurut perundang-undangan, pendidikan dasar merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sekolah, pembentukan komite sekolah, peran komite sekolah, fungsi komite

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sekolah, pembentukan komite sekolah, peran komite sekolah, fungsi komite BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bagian ini diuraikan beberapa konsep mengenai pengertian komite sekolah, pembentukan komite sekolah, peran komite sekolah, fungsi komite sekolah, dan landasan komite sekolah.

Lebih terperinci

Disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kota Depok Oktober 2016

Disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kota Depok Oktober 2016 Disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kota Depok Oktober 2016 1. Kedudukan, Fungsi dan Tugas : Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan 2. Indkator Kerja Dewan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Dalam bab ini membahas hasil penelitian Peran dan Fungsi Komite Sekolah Dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan di Sekolah (Studi Kasus di SMK Negeri 1 Terbanggi Besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (PROPENAS) Tahun Dalam BAB VII PROPENAS. ini memuat tentang Pembangunan Pendidikan, dimana salah satu arah

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (PROPENAS) Tahun Dalam BAB VII PROPENAS. ini memuat tentang Pembangunan Pendidikan, dimana salah satu arah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hubungan kemitraan antara pihak Sekolah dengan Orang Tua peserta didik, mula-mula tergabung dalam wadah yang diberi nama Persatuan Orang Tua Murid dan Guru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manfaat penelitian secara teoritik dan praktis, serta penegasan istilah.

BAB I PENDAHULUAN. manfaat penelitian secara teoritik dan praktis, serta penegasan istilah. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan secara detail latar belakang dan alasan pemilihan judul tesis, rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara teoritik

Lebih terperinci

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Manajeman Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat Naskah Soal Ujian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Petunjuk: Naskah soal terdiri atas 7 halaman. Anda tidak diperkenankan membuka buku / catatan dan membawa kalkulator (karena soal yang diberikan tidak

Lebih terperinci

MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI 2 LAMONGAN

MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI 2 LAMONGAN MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI 2 LAMONGAN ANGGARAN DASAR (AD) DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA (ART) KOMITE MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI 2 LAMONGAN KECAMATAN GLAGAH KABUPATEN LAMONGAN PEMBUKAAN Dengan Rahmat Tuhan

Lebih terperinci

PEMBUKAAN. belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

PEMBUKAAN. belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan ANGGARAN DASAR KOMITE... PEMBUKAAN Dengan nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan terwujud dengan baik apabila didukung secara optimal oleh pola. upaya peningkatan pola manajerial sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. akan terwujud dengan baik apabila didukung secara optimal oleh pola. upaya peningkatan pola manajerial sekolah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Peningkatan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia akan terwujud dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah, masyarakat, orang tua dan stake holder yang lain. Pemerintah telah memberikan otonomi

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG HUBUNGAN DAN MEKANISME KERJA DEWAN PENDIDIKAN KOTA YOGYAKARTA DENGAN DINAS PENDIDIKAN KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era desentralisasi, pendidikan ini ditekankan pada kebijakan setiap sekolah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal ini dapat dikatakan sebagai implementasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia pada saat ini berada di bawah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina dalam hal pengembangan sumber daya manusia. Hal ini terlihat dari Human

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu bentuk investasi sumber daya manusia ( SDM ) yang lebih penting dari investasi modal fisik. Pendidikan memberikan sumbangan yang amat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PENGURUS KOMITE SLTP NEGERI 6 SRAGEN Nomer : 01 / Komite / SLTP N 6 / 2003 Tentang Anggaran Dasar Komite Sekolah SLTP Negeri 6 Sragen

KEPUTUSAN PENGURUS KOMITE SLTP NEGERI 6 SRAGEN Nomer : 01 / Komite / SLTP N 6 / 2003 Tentang Anggaran Dasar Komite Sekolah SLTP Negeri 6 Sragen PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DINAS PENDIDIKAN SLTP NEGERI 6 SRAGEN Jl. Mayor Suharto No. 1 Telp. (0271) 891913 SRAGEN 57213 KEPUTUSAN PENGURUS KOMITE SLTP NEGERI 6 SRAGEN Nomer : 01 / Komite / SLTP N 6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya kebijakan pemerintah dengan kehadiran UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah telah membawa dampak yang cukup besar dalam berbagai aspek pemerintahan

Lebih terperinci

Prof. Dr. H. D. Budimansyah, M.Si.

Prof. Dr. H. D. Budimansyah, M.Si. FUNGSI DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN Disampaikan pada Workshop Bantuan Sosial Komite Sekolah Angkatan II Tanggal 12 Juni 2012 Oleh Prof. Dr. H. D. Budimansyah, M.Si.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi kewenangan ke tingkat sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi kewenangan ke tingkat sekolah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pendidikan dalam otonomi daerah mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini tercermin dalam pola pengelolaan sekolah yang dikenal dengan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritis 1. Tinjauan Tentang Kualitas Pendidikan Setiap negara diseluruh dunia begitu menekankan pentingnya kualitas pendidikan. Salah satu langkah konkret untuk meningkatkan

Lebih terperinci

HAKIKAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) 1 (School Based Management/SBM)

HAKIKAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) 1 (School Based Management/SBM) HAKIKAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) 1 (School Based Management/SBM) Oleh: Setya Raharja 2 Rasional dan Konsep Dasar MBS Manajemen berbasis sekolah (MBS) secara umum dimaknai sebagai desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekolah,perguruan,lembaga diklat, dalam masyarakat serta berbagai satuan lingku

BAB I PENDAHULUAN. sekolah,perguruan,lembaga diklat, dalam masyarakat serta berbagai satuan lingku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum pendidikan berkenaan dengan peningkatan kualitas manusia, pengembangan potensi, kecakapan dan karakteristik generasi muda kearah yang diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pemerintah. Dapat dikatakan pada saat ini tanggung jawab masing masing

BAB I PENDAHULUAN. dan pemerintah. Dapat dikatakan pada saat ini tanggung jawab masing masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dapat dikatakan pada saat ini tanggung jawab masing masing belum optimal,

Lebih terperinci

PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER DI SD NEGERI SE-KECAMATAN MUNTILAN

PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER DI SD NEGERI SE-KECAMATAN MUNTILAN PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER DI SD NEGERI SE-KECAMATAN MUNTILAN THE PARTICIPATION OF SCHOOL BOARD IN CONDUCTING EXTRA CURRICULAR ACTIVITIES IN MOST OF STATE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mutu pendidikan berkaitan erat dengan proses pendidikan. Tanpa proses pelayanan pendidikan yang bermutu tidak mungkin diperoleh produk layanan yang bermutu. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu komponen untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah adanya partisipasi masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pendidikan dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan pendidikan membuat keberadaan komite sekolah yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan pendidikan membuat keberadaan komite sekolah yang mampu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peran komite sekolah dalam pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah sangat dibutuhkan. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam pengelolaan pendidikan

Lebih terperinci

II TINJAUAN TEORETIS

II TINJAUAN TEORETIS ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.word-to-pdf-converter.netbab II TINJAUAN TEORETIS A. Hakekat Komite Madrasah 1. Pengertian Komite Madrasah Komite Madrasah merupakan lembaga independent

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dibidang peningkatan mutu pendidikan sangat diperlukan tertutama

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dibidang peningkatan mutu pendidikan sangat diperlukan tertutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada umumnya dimulai dari tahapan perencanaan, proses pelaksanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan, partisipasi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara hakiki pambangunan pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan manusia. Upaya-upaya pembangunan di bidang pendidikan, pada dasarnya diarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi membuka peluang masyarakat untuk dapat meningkatkan peran sertanya dalam pengelolaan pendidikan

Lebih terperinci

Jurnal SAP Vol. 1 No. 2 Desember 2016 ISSN: X PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH: KAJIAN KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA

Jurnal SAP Vol. 1 No. 2 Desember 2016 ISSN: X PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH: KAJIAN KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH: KAJIAN KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA Yunita Endra Megiati Program Studi Teknik Informatika, Universitas Indraprasta PGRI Email: megiati_igem@yahoo.com Abstrak Dasar dibentuknya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Hasil penelitian tentang peran komite sekolah di SMA PGRI 1 Temanggung ini dibagi menjadi lima bagian. Lima bagian tersebut antara lain gambaran

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PROGRAM WAJIB SEKOLAH 12 TAHUN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PROGRAM WAJIB SEKOLAH 12 TAHUN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PROGRAM WAJIB SEKOLAH 12 TAHUN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di Indonesia, pendidikan merupakan kebutuhan setiap warga negara agar memperoleh pengetahuan,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan

Lebih terperinci

MASYARAKAT/STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

MASYARAKAT/STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF PERAN SERTA Click to edit Master subtitle style MASYARAKAT/STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh: Ahmad Nawawi JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FIP UPI BANDUNG 2010 Latar Belakang Lahirnya

Lebih terperinci

Kinerja Dewan Pendidikan di Kota Salatiga

Kinerja Dewan Pendidikan di Kota Salatiga Kinerja Dewan Pendidikan di Kota Salatiga Oleh : Nur Hasanah NIM : Q100030016 Program Studi : Magister Manajemen Pendidikan Konsentrasi : Manajemen Sekolah PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan berhubungan dengan proses penyelenggaraan pendidikan, sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia. Pendidikan yang bermutu akan diperoleh pada sekolah yang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia. Pendidikan yang bermutu akan diperoleh pada sekolah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM), pendidikan memiliki peranan yang cukup menonjol. Oleh karena itu sangat penting bagi pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis multidimensional yang tengah melanda bangsa Indonesia telah menyadarkan kepada masyarakat akan pentingnya konsep otonomi daerah dalam arti yang sebenarnya.

Lebih terperinci

5.2. Implikasi penelitian Implikasi teori Implikasi terapan

5.2. Implikasi penelitian Implikasi teori Implikasi terapan BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam kinerja Komite Sekolah antara SD Negeri

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN, RUKUN WARGA DAN RUKUN TETANGGA DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian Subyek penelitian terdiri dari 25 orang yang diambil dari pengurus komite sekolah dari 3 SMP Negeri yang ada di Kecamatan Musuk, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN 106 BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Simpulan Setelah melalui serangkaian proses pengamatan empirik, kajian teoritik, penelitian lapangan, dan pembahasan peran komite sekolah dalam peningkatan mutu

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN MASYARAKAT

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN MASYARAKAT LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN MASYARAKAT PERAN KOMITE SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH Di SD Muhammadiyah Condong Catur Oleh: Dr. Qurratul Aini, M. Kes PROGRAM STUDI MANAJEMEN RUMAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah

BAB I PENDAHULUAN. komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah adalah sebuah aktifitas besar yang di dalamnya ada empat komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah Staf Tata laksana

Lebih terperinci

ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM. Pasal 1

ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM. Pasal 1 ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM Pasal 1 Anggaran Rumah Tangga ini disusun berdasarkan Pasal 28 Anggaran Dasar Badan Perfilman Indonesia, merupakan rincian atas hal-hal yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di sekolah sehingga apa yang menjadi kelebihan sekolah dapat lebih

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di sekolah sehingga apa yang menjadi kelebihan sekolah dapat lebih A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang dapat dimaknai sebagai wadah untuk menuju pembangunan Nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, sekolah harus lebih memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 58 TAHUN 2014 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAERAH DAN KOMITE SEKOLAH/MADRASAH

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 58 TAHUN 2014 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAERAH DAN KOMITE SEKOLAH/MADRASAH SALINAN BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 58 TAHUN 2014 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAERAH DAN KOMITE SEKOLAH/MADRASAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa bidang pendidikan merupakan

Lebih terperinci

yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi, kabupaten dan kota.

yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi, kabupaten dan kota. 158 BABV KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN Dalam bab terakhir ini, disajikan kesimpuian yang merupakan intisari dari keseluruhan pelaksanaan peneiitian yang sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan peneiitian

Lebih terperinci

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM Oleh: Donny Setiawan * Pada era demokratisasi sebagaimana tengah berjalan di negeri ini, masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan

Lebih terperinci

MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN. Oleh : Engripin dan Sugi Hermanto Dosen FKIP Universitas Palangka Raya

MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN. Oleh : Engripin dan Sugi Hermanto Dosen FKIP Universitas Palangka Raya MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH Oleh : Engripin dan Sugi Hermanto Dosen FKIP Universitas Palangka Raya Abstrak Di Indonesia, penataan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sebenarnya telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi, demokratisasi, terlebih dalam era reformasi. Bangsa dan negara Indonesia menumbuhkan

Lebih terperinci

ASOSIASI BADAN PENYELENGGARA PERGURUAN TINGGI SWASTA INDONESIA

ASOSIASI BADAN PENYELENGGARA PERGURUAN TINGGI SWASTA INDONESIA Lampiran Keputusan Munas IV Asosiasi BP PTSI Nomor: 07/MUNAS-IV/2017 ASOSIASI BADAN PENYELENGGARA PERGURUAN TINGGI SWASTA INDONESIA ANGGARAN DASAR ASOSIASI BP PTSI PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya tugas mendidik

Lebih terperinci