Saksi Ahli Keuangan Negara : Dian Puji N. Simatupang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Saksi Ahli Keuangan Negara : Dian Puji N. Simatupang"

Transkripsi

1 Selasa, 30 November 2011 Saksi Ahli Keuangan Negara : Dian Puji N. Simatupang : Skors dicabut sidang dinyatakan terbuka kembali, ahli berikut. : Terima kasih Yang Mulia. : Silahkan pak, baik sidang lanjut, majelis mau minta curiculum vitae para ahli. Ya sambil menunggu anggota kita tanya dulu identitas dari para ahli, Erman Rajagukguk, ya pak, tempat tanggal lahir saudara? Ahli (ERG) : Pandang, 1 Juni Hakim ketua : Kewarga negaraan Indonesia, agama saudara? Ahli (ERG) : Islam. : Pekerjaan saudara? Ahli (ERG) : Dosen fakultas hukum. : Alamat tempat tinggal saudara? Ahli (ERG) : Gang Tanjung Lengkong, Jalan Otto Iskandar Dinata, Bidara Cina, Jati Negara. : Dengan Terdakwa Saudara kenal? Ahli (ERG) : Saya kenal tetapi tidak ada hubungan kerja saya. : Tidak ya, selain dan selebihnya dimuat dalam Curiculum ini ya? Ahli (ERG) : Iya. : Berikutnya, Dian Puji N Simatupang. : Iya. : Tempat tanggal lahir saudara? : Di Bandung 21 Oktober 1972.

2 : Agama Saudara? : Islam. : Pekerjaan saudara? : Dosen fakultas hukum UI. : Alamat tempat tinggal saudara? : Di kuring 4 No 140 A Depok. : Pendidikan terahir saudara? : S3. : S3, dengan terdakwa saudara kenal? : Tidak yang mulia. : Tidak ada hubungan keluarga juga ya, selain dan selebihnya sebagaimana termuat dalam CV, saudara dihasirkan disini sebagai ahli, sebelum memberikan keterangan saudara disumpah menurut agama yang saudara anut Silahkan berdiri. Hakim Anggota : Ikuti lafal sumpahnya sebagai ahli ya. Bismillahirohmanirrohim, demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan pendapat soal-soal yang dikemukakan menurut pengetahuan saya dan keahlian saya sebaikbaiknya. (Diikuti oleh para ahli) : Yak, terima kasih yang mulia kami berharap bahwa kedua ahli ini diperiksa satu persatu, kami ingin terlebih dahulu yang diperiksa adalah profesor Erman Rajagukguk, terima kasih yang mulia.

3 (Ahli DP memasuki ruang persidangan) : Saudara sudah disumpah ya untuk memberikan pendapat mengenai keahlian saudara. : Baik Yang Mulia. : Keahlian saudara apa? : Keahlian saya... (dipotong oleh PH MI) : Ini adalah ahli keuangan negara, Yang Mulia. : Hmm... Ahli keuangan negara ya? Ya, silahkan. : Makasih Yang Mulia. Saudara ahli, apakah secara umum saudara ahli mempunyai pendapat tentang apa yang kita bicarakan mengenai soal kerugian negara? Apa bisa jelaskan terlebih dahulu kepada kami? : Baik, makasih Yang Mulia. Saya mempunyai pendapat tertulis yang mengenai ijin berkenan pendapat Yang Mulia mengenai pendapat juris saya. Tapi prinsipnya sebenarnya kerugian negara atau identifikasi Yang Mulia terhadap kerugian negara, pada hakikatnya memiliki sistem prosedur dan metode yang pada dasarnya telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Sistem, prosedur dan metode tersebut merupakan standar legal, atau legal formal dalam mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan kerugian negara tersebut sehingga tidak serta merta semua kerugian negara memang di identifikasi sebagai dugaan pidana. Atau karena disini dikatakan bahwa kerugian negara diidentifikasi atas dua hal, yaitu pertama adalah dugaan pidana atau kelalaian secara administratif. Tapi secara umum pada hakikatnya identifikasi atas kerugian negara, karena metodenya dalam perundangan adalah metode melalui pemeriksaan terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan kerugian negara. Kemudian secara standar telah dikeluarkan peraturan BPK mengenai identifikasi atau standar mengenai perhitungan kerugian negara dan juga secara teknik disitu dikatakan jelas bahwa pemeriksa dalam melakukan identifikasi pemeriksaan perhitungan terhadap kerugian negara memiliki kode etik tertentu yang jika dilampaui justru akan melampaui kode etik. Dan bahkan di dalam undang-undang 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Objek Negara, pemeriksa yang melalaikan standar dan kode etik tersebut dapat dipidanakan. Saya rasa demikian.

4 Ahli (PD) : Itu pendapat umum ya? Baik. Saya tanya kepada saudara ahli ya, apakah menurut peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum, sebenarnya yang merupakan pengertian dari keuangan negara itu apa? Bisa nggak saudara ahli jelaskan kepada kami? : Baik Yang Mulia. Prinsipnya sebenarnya, Pasal 1 angka (1) UU No.17 tahun 2003 mengemukakan keuangan negara sebagai hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang atau segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang berkaitan dengan kewajiban negara. Kemudian Pasal 1 angka (1) UU No.17 tahun 2003, sebenarnya prinsipnya mengacu pada hak dan kewajiban negara sebagai badan hukum publik. Tidak mungkin hak dan kewajiaban negara di identifikasi begitu luas. Karena itu, di dalam penelitian disertasi yang saya lakukan, bahwa pengertian keuangan negara harus dibatasi supaya negara tidak dituntut segala macam tanggung jawabnya terhadap APBN. Oleh sebab itu, di dalam disertasi saya mengidentifikasi tiga kunci (keywords) dalam menentukan bahwa suatu sektor keuangan menjadi sektor keuangan negara atau bukan. Pertama, ada dari segi regulasi. Apabila regulasi nya dikuasai/diatur oleh Menteri Keuangan, maka dia adalah keuangan negara. Kedua, apabila governance tata kelola hanya melalui prosedur mekanisme APBN, maka itu adalah keuangan negara. Sementara apabila resiko artinya kewajiban-kewajiban atau beban-beban yang ada di dalam suatu keuangan menjadi beban APBN, maka itu adalah keuangan negara. Jadi mengidentifikasi doktrin hukum jelas dibatasi secara tegas bahwa keuangan negara adalah apabila regulasinya diatur oleh Menteri Keuangan, governance yang mengacu pada mekanisme APBN, dan kemudian resiko nya secara all out dibebankan kepada resiko APBN. Kata kunci itulah yang menjadi doktrin hukum yang seharusnya diatur dalam keuangan negara, sehingga keuangan negara tidak terlalu meluas seperti sekarang Yang Mulia. Karena menimbulkan benturan hukum dan ketidakpastian. : Baik. Kalau terhadap keuangan negara yang dipisahkan, apa pendapat ahli? : Kekayaan atau keuangan negara yang dipisahkan itu sebenarnya memang diatur dalam Pasal 2 UU No.17 tahun Tapi kalau Majelis Yang Mulia mencermati ketentuan Pasal 2 UU No.17 tahun 2003, disitu banyak terdapat ketidak konsistenan pembentukan undang-undang. Disitu dinyatakan bahwa piutang kekayaan negara yang dipisahkan merupakan keuangan negara. Tapi anehnya, utangnya tidak dianggap sebagai keuangan negara. Padahal Pasal 1 angka (1) dari pengertian keuangan negara, hak dan kewajiban, kredit dan debit merupakan kekayaan negara. Nah ini tidak dilakukan, dan berarti ada ketidak konsistenan. Nah, keuangan negara yang dipisahkan atau kekayaan

5 negara yang dipisahkan adalah keuangan atau kekayaan yang sudah dipisahkan atau dalam doktrin hukum itu seperti imbran dipisahkan. Sehingga melekatlah hak dan kewajiban itu dipisahkan kepada yang menerima. Sehingga akhirnya negara tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap kemungkinan-kemungkinan tagihan yang muncul terhadap kekayaan negara yang dipisahkan. Itulah sebenarnya Yang Mulia, pemisahan itu sebenarnya mengantisipasi kemungkinan kerugian yang lebih besar terhadap APBN yang untuk merasakan fungsi-fungsi publik negara, sehingga harus dipisahkan. Sehingga akhirnya, negara tidak bisa dituntut oleh apapun atau pihak apapun apabila itu tetap menjadi keuangan negara, sehingga harus dipisahkan. Nah, di dalam ketentuan penjelasan Pasal 4 (1) Undang-Undang BUMN, disitu dijelaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan yang tidak lagi tunduk kepada mekanisme APBN, tetapi hanya tunduk kepada tata kelola perusahaan yang sehat. : Kalau dihubungkan dengan pengertian kerugian negara yang nyata dan pasti, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi seperti itu? : Iya prinsipnya sebenarnya bahwa Pasal 1 angka (22) UU Pembendaharaan No.1 tahun 2004, memang jelas mengatakan bahwa kerugian negara adalah kerugian uang, surat berharga, barang, yang nyata atau pasti Yang Mulia. Jadi kuncinya itu nyata dan pasti itu, supaya tidak terjadi ketidakpastian hukum. Sehingga sebenarnya apabila ditetapkan pada ketentuan kekayaan negara yang dipisahkan atau sebagainya. Kuncinya sebenarnya Pasal 1 angka (22) UU Perbendaharaan Negara, sebenarnya intinya itu mengacu pada kekurangan uang, surat berharga, dan barang-barang yang dimiliki negara, sebagai barang hukum publik yang memang nyata dan pasti. Nyata itu artinya memang menjadi milik negara dan suatu hak-hak yang dokumennya sah, jadi itu memang menjadi milik pemerintah atau negara Republik Indonesia. Dan pasti artinya sudah dihitung nilai, satuan uang yang dapat dihitung dengan suatu metode yang pasti dan nyata. Jadi istilahnya kerugian negara itu prinsipnya pada dua hal itu, dan kuncinya terdapat pada nyata dan pasti. Demikian. : Kalau penghitungannya hanya dengan pendapat atau asumsi, apakah menurut ahli hal tersebut bisa dilakukan untuk menghitung kerugian negara? : Tidak bisa. Karena secara jelas kan Pasal 1 angka (22), disitu jelas karena kerugian itu nyata dan pasti. Identifikasi atas kerugian negara, makanya di dalam standar pemeriksaan BPK, Peraturan BPK No.1 tahun 2007 Yang Mulia, jelas dinyatakan bahwa pemeriksa harus hati-jati

6 terhadap kemungkinan penghitungan kerugian negara. Oleh sebab itu, standar itu kan ditegaskan didalam standar kerugian negara. Bahwa si pemeriksa harus betul-betul mencermati kemungkinan kerugian tersebut dari segi asas nyata dan pastinya. Tadi nyata itu bahwa tidak mungkin suatu kerugian negara dihitung atas dasar perkiraan-perkiraan. Tapi tentu harus dari dasar-dasar asumsi-asumsi yang tepat. Jadi sekali lagi, di dalam standar peraturan tentang BPK, tentang pemeriksaan, disitu jelas ada kode etiknya, pemeriksa harus hati-hati, cermat, ketika merumuskan/menyimpulkan suatu kerugian negara. Apalagi ketika menyimpulkan bahwa ini ada indikasi kerugian negara dengan adanya dugaan pidana atau kelalaian administrasi. Nah oleh sebab itu Yang Mulia, di dalam standar BPK, jelas untuk mendekati nyat dan pasti, maka si pemeriksa mempunyai suatu tanggung jawab yaitu penerapan asas atensi. Yaitu asas dimana pemeriksa harus menanyakan semua pihak di dalam pemeriksaan tersebut. : Oke. Apa pendapat ahli kalau asas-asas itu tidak dipersoalkan, bagaimana itu menurut pendapat ahli? : Di dalam Peraturan BPK No. 1 tahun 2007, kita tahu bahwa peraturan BPK itu kan berlaku sebagai perundangan-undangan menurut Undang- Undang No.10 tahun 2004 yang sudah dirubah oleh Undang-Undang No.12 tahun 2011, berlaku sebagai peraturan perundang-undangan. Disitu dikatakan jelas bahwa jika si pemeriksa melalaikan asas atensi dalam melakukan pemeriksaannya, maka Yang Mulia, itu di dalam Undang-Undang No.15 tahun 2004 termasuk pidana 5 tahun. Sementara kalau secara etika, juga melanggar kode etik yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Bahwa itu merupakan standar dalam Pemeriksaan Keuangan Negara. Jadi sekali lagi itu merupakan suatu standar, atau sistem, atau metode dalam melakukan pemeriksaan. Khususnya dalam pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan suatu perbuatan hukum / kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana atau kelalaian. : Apa pendapat ahli jika suatu kerugian negara dinyatakan terlebih dahulu baru kemudian diminta melakukan penghitungan terhadap kerugian negara itu? : Secara yuridis formal, apalagi berkaitan dengan standar BPK tersebut, kesimpulan itu kan tidak mungkin dilakukan sebelum pemeriksaan dilakukan. Jadi tidak mungkin ada kesimpulan, misalnya Majelis Yang Mulia, melakukan penelitian kan tidak mungkin melakukan kesimpulan terlebih dahulu sementara penelitiannya belum dilakukan. Nah demikian juga dalam mengidentifikasi kerugian negara yang memberi kesimpulan terhadap apakah ini dugaan pidana atau mal-administrasi. Maka pemeriksaan itu atau menurut Pasal 13 Undang-Undang No.15 tahun

7 2004 Yang Mulia, metodenya adalah harus pemeriksaan All Investigative, yang sebenarnya di dalam standar pemeriksaan BPK itu adalah pemeriksaan tujuan tertentu. Metode, standar, dan etika nya, serta prosesnya juga telah terstandar demikian. Jadi kalau misalnya penentuan kerugian ada tetapi pemeriksaan belum dilakukan, selain menurut Hukum Administrasi Negara batal mutlak (absolute nietig) atau batal demi hukum (absolute nietig van recht wege). : Saya kembali ke persoalan yang agak lain. Saudara ahli apakah menurut pendapat ahli, dalam keuangan negara itu pengelolaannya dilakukan oleh pihak tertentu, dibuktikan dengan apa sesuatu itu termasuk di dalam keuangan negara? : Mohon diulang? : Maksud saya begini, dalam keuangan negara pengelolaannya dilakukan oleh siapa, menurut pendapat ahli? Dan buktinya apa bahwa itu merupakan keuangan negara? : Majelis Yang Mulia, kita tahu bahwa Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.17 tahun 2003, pemegang kekuasaan keuangan negara adalah Presiden sebagai bagian dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 45. Nah, disitu kemudian dikuasakan kepada Menteri Keuangan dalam Pengelolaan Anggaran dan Menteri Pembudayaan Lembaga dalam Pengelolaan Anggaran dan Barang. Nah, bukti bahwa itu merupakan suatu keuangan negara atau tidak, seperti yang tadi saya sampaikan, PP 39 tahun 2007 jelas mengemukakan, Menteri Keuangan sebagai penguasa atau yang mengatur dari dokumen-dokumen keuangan negara, yang dibuktikan dari atau diterbitkannya suatu dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA). : Menurut pendapat ahli, apakah keuangan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero, itu termasuk keuangan negara yang administrasinya diterbitkan di dalam DIPA? : Sepanjang ini tidak ada. Ini kan dibuktikan dengan tidak ada list di dalam APBN sejak tahun 1967 sampai sekarang pun tidak ada list APBN tentang gaji dari Direksi atau Komisaris BUMN, juga tidak ada hak-hak tagihan atau kewajiban atau hak yang muncul di dalam APBN. Karena Pasal 23 (1) UUD 45 jelas mengemukakan kalau misalnya ditanyakan apa wujud keuangan negara, maka Pasal 23 (1) UUD 45 jelas mengemukakan APBN sebagai wujud keuangan negara. Dengan demikian, wujud-wujud keuangan yang lain adalah tidak dapat dikatakan sebagai keuangan negara. Demikian juga ini dalam konteks BUMN tersebut, tidak ada hak dan kewajiban yang muncul di dalam APBN sebagai dasar hukum bagi pengelolaan keuangan negara. Sehingga

8 BUMN juga selain karena sudah dipisahkan, juga karena tadi dengan tiga keywords yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa governance nya atau tata kelolanya tidak memberikan list APBN, kemudian regulasi nya tidak diatur oleh Menteri Keuangan atau Menteri BUMN, kemudian juga resiko nya tidak menjadi resiko APBN. : Jadi, apa pendapat ahli mengenai kedudukan Komisaris atau Direksi BUMN, apakah itu bisa kita golongkan sebagai pejabat negara? : Mengenai pengertian pejabat negara Yang Mulia, pasal 11 di Undang- Undang Kepegawaian No.43 tahun 1999, mengidentifikasi pejabat negara itu siapa saja, seperti Presiden, Wakil Presiden, Hakim, Hakim Agung, dan sebagainya yang di lembaga negara. Dan tidak ada disitu pejabat negara yang dalam hal ini adalah BUMN atau pengelola BUMN tidak ada. : Saya sedikit ingin mendengar pendapat ahli mengenai lembaga yang berwenang menurut pendapat ahli untuk menetapkan kerugian negara khususnya yang di kelola oleh BUMN? : Ya betul, sebenarnya prinsipnya ada 2 Yang Mulia. Kita melihat pada aturan perundang-undangan. Yang pertama, aturan Undang Undang No.19 tahun 2003 menjelaskan bahwa pada Pasal 71, bahwa yang melakukan audit pemeriksaan terhadap BUMN sebagai badan hukum perdata adalah akuntan publik. Tetapi BPK juga dapat melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan perundangan Pasal 71 ayat (2) di Undang-Undang No.19 tahun Kemudian disitu juga dijelaskan bahwa frase BPK mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan peraturan perundangundangan adalah mengacu pada Undang-Undang PT No.40 tahun 2007, yang mengatakan bahwa pemeriksaan terhadap PT yang apabila pengelolanya diduga melakukan perbuatan melawan hukum, maka sebenarnya pada Pasal 136 Undang-Undang No.40 tahun 2007 menyatakan bahwa pihak/aparatur hukum apabila hukumnya bersifat publik, maka menyampaikan kepada pengadilan negeri di wilayah lokasinya untuk meminta dilakukan pemeriksaan terhadap Direksi atau Komisaris tersebut. Kemudian nanti Majelis Hakim pengadilan tersebut yang menentukan tiga orang yang ahli yang melakukan pemeriksaan terhadap Direksi ataupun Komisaris yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum. Demikian. : Kalau seandainya ada lembaga lain yang bukan BPK yang melakukan penghitungan, menurut pendapat ahli sesuai dengan undang-undang yang ahli katakan itu, apakah ini diperkenankan oleh undang-undang ini?

9 ) : Majelis Hakim Yang Mulia, melakukan pemeriksaan dan menghitung kerugian negara itu adalah tindakan Hukum Administrasi Negara bersifat publik. Oleh sebab itu Yang Mulia, kedudukannya itu dalam melakukannya harus berdasarkan undang-undang, karena perbuatannya bersifat publik. Karena dia mengikat umum seperti yang kita ketahui Yang Mulia. Oleh sebab itu menghitung dan memeriksa keuangan negara, itu harus merupakan wewenang. Kewenangan itu kan artinya kekuasaan terhadap publik, sehingga dapat dipergunakan dan dipatuhi oleh publik juga. Jika kemudian suatu lembaga yang tidak mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan tersebut atau penghitungan, tentu kita lihat ke dasar hukumnya yaitu selain melampaui kewenangan juga hasil yang dilakukan dipertanyakan apakah suatu hasil yang dilakukan oleh lembaga dapat menjadi dasar untuk melakukan keputusan selanjutnya dari tindakan itu. : Oke, pertanyaan saya lebih lanjut. Apakah menurut pendapat ahli ya, BPKP itu masih mempunyai kewenangan untuk melakukan penghitungan kerugian negara? : Untuk BPKP ini Yang Mulia, Keppres No.31 tahun 1983 mempunyai wewenang untuk itu. Tapi setelah Keppres itu dirubah No. 103 tahun 1999 dan terakhir dengan PP No.60 tahun 2008 Majelis Hakim Yang Mulia, tidak ada lagi kewenangan menghitung dan melakukan pemeriksaan. Majelis Hakim Yang Mulia, sebenarnya setelah beberapa kali kami menyampaikan dihadapan forum Yang Mulia ini, bahwa sebenarnya aparatur hukum itu harusnya bekerja seerat-eratnya dengan BPK. Karena Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang BPK menyatakan untuk menilai dan menghitung kerugian negara baik yang dilakukan oleh lembaga negara, BUMN, keuangan daerah dan sebagainya adalah menjadi wewenang BPK. Sementara untuk lembaga lain dalam hal ini BPKP, tidak lagi memiliki kewenangan tersebut. Ketika dilihat dalam PP No.20 tahun 2008, disitu dinyatakan jelas bahwa BPK bisa melakukan investigatif asalkan ditugaskan oleh Menteri Keuangan atau diperintahkan Presiden, atau suatu keuangan itu bersifat antar daerah. Misalnya dalam suatu proyek itu, proyeknya di danai oleh APBD di Jawa Tengah dan di Jawa Barat, sehingga akhirnya itu bisa atas keadaan tersebut diperiksa oleh BPK. Atau dalam kasus-kasus tertentu, ketika Presiden menyatakan bahwa keuangan negara dirampok, seharusnya Presiden juga menyatakan saya meminta BPKP untuk melakukan pemeriksaan. Sebanrnya hal itu saja sudah menjadi dasar wewenang BPKP untuk melakukan pemeriksaan. Tapi selama ini secara tertulis tidak ada ketentuan negara yang formal seperti itu Majelis Yang Mulia. PP NO. 60 menjelaskan tidak memberikan kewenangan dalam melakukan penghitungan atau pemeriksaan, demikian.

10 : Saya ingin menanyakan apakah ahli bisa menjelaskan kepada kita ketika penghitungan kerugian negara itu dilakukan, apakah ada bedanya Laporan Hasil Audit dengan Surat Rahasia? Kalau misalnya ada satu laporan yang kodenya itu SR ya, Surat Rahasia. Apakah laporan yang dibuat oleh BPK, disebutkan bahwa dalam pengantarnya itu adalah SR, Surat Rahasia. Apakah Surat Rahasia ini kita bisa samakan dengan Laporan Hasil Audit? : Ya tentu tidak bisa disamakan, karena di dalam tata dinas kan di dalam institusi pemerintah ada setiap institusi itu menerbitkan tata dinas suratsurat. Disitu ada kode-kode surat yang ditentukan oleh institusi pemerintahan. Nah tadi yang disampaikan bahwa kode surat S itu memang tidak memiliki kekuatan sebagai suatu pemeriksaan. Pemeriksaan itu kan di dalam kode dinas tata dinas yang saya tahu, di dalam tata dinas BPKP yang disusun oleh BPKP, apabila ini laporan hasil audit, maka kode nya adalah Laporan Hasil Audit (LHA). Sementara S itu Surat. Jadi kalau saya lihat dari Hukum Administrasi Negara, tentu dipertanyakan bagaimana implikasi atau daya mengikat dari suatu surat tentu sangat berbeda dari suatu Laporan Hasil Audit. : Baik, saya teruskan. Apa pendapat ahli misalnya terhadap satu hasil audit atau hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK ya, kalau andaikata ada lembaga lain yang membuat pendapat terhadap hal yang sama tetapi hasilnya berbeda. Menurut pendapat ahli, yang lebih berwenang menurut undang-undang menentukan hasil penelitian mereka yang sah dan absah itu yang mana? : Ya tentu yang memiliki wewenang. Jadi Yang Mulia, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu bahwa sebenarnya kondisi ini kan terjadi setelah Pasal 23 (e) UUD 1945 dilakukan perubahan. Pasal 23 (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diserahkan kepada BPK. Yang dahulu itu BPK hanya melakukan pemeriksaan tanggung jawab saja, jadi pos audit. Tapi sejak amandemen ini, maka pre dan pos audit, baik yang ada di dalam sektor pemerintah maupun setelah dikelola oleh pemerintah, maka menjadi wewenang BPK. Oleh sebab itu, penghitungan suatu pemeriksaan yang bersifat atau bertindak publik, maka sebenarnya juga hakikatnya adalah menjadi kewenangan lembaga yang berwenang menurut undang-undang. Dan dalam hal ini tentu BPK berdasarkan Pasal 23(1) UUD 1945 dan juga UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Negara dan UU No.15 tahun 2006 tentang BPK itu sendiri.

11 PH (MR) : Selanjutanya saudara ahli ya, menurut pendapat ahli dan pengalaman ahli, fungsi dari konfirmasi dalam suatu audit itu apakah memang wajib dilakukan atau tidak? : Iya di dalam peraturan BPK No.1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, disitu jelas bahwa pemeriksaan atensi itu harus dilakukan oleh pemeriksa ketika melakukan pemeriksaannya. Apalagi ketika melakukan pemeriksaan tujuann tertentu untuk mengidentifikasi dugaan pidana atau mal-administrasi. Jadi itu jelas di dalam ketentuan standar tersebut, disitu jelas dinyatakan pemeriksa harus melakukan konfirmasi atas sistem atensi tersebut. : Kalau itu tidak dilakukan menurut pendapat ahli apa? : Jelas disitu dinyatakan bahwa selain melanggar kode etik, juga di dalam UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Negara, disitu pemeriksa yang melalaikan hak dan kewajiban maka dipidana 5 tahun. : Yang terakhir, saya ingin tahu apakah kalau terjadi selisih penghitungan dari keuangan perseroan yang merupakan BUMN, menurut pendapat ahli secara otomatis itu merugikan keuangan negara? : Sebenarnya yang saya tahu di dalam prinsip-prinsip akuntansi publik, disitu jelas dikatakan bahwa itu harus dilakukan investigasi. Biasanya selisih itu kan ada yang menjadi tanggung jawab negara melalui APBN yang belum dihitung atau memang itu sebenarnya ada beberapa hak dan kewajiban negara yang belum dibayarkan. Jadi tidak secara otomatis, maka sebenarnya ketika ada selisih tersebut menjadi penting pada saat itu dilakukan pemeriksaan tujuan tertentu untuk mengidentifikasi apakah selisih ini merupakan kerugian negara atau memang suatu kewajiban negara yang perlu dibayarkan. Saya kira demikian. : Saudara ahli ya, di dalam UU No.30 tahun 2002 tentang KPK, ini di dalam Pasal 6 huruf (a), Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kemudian di dalam penjelasannya, yang termasuk instansi yang berwenang yaitu termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara, Inspektorat pada lembaga/departemen non pemerintah atau departemen. Tadi berulang kali saudara katakan bahwa yang berkaitan dengan penghitungan kerugian negara itu adalah wewenang BPK ya saudara katakan seperti itu. Nah dalam konteksnya dengan Pasal 6 tadi ya saudara ahli, apakah yang dimaksud dengan koordinasi dalam Pasal 6

12 tadi yang saya sebut itu juga berkaitan dengan penghitungan kerugian keuangan negara? PH (MR) PH (MR) PH (MR) : Sebenarnya yang saya tafsirkan secara sistematis, UU KPK pun dibentuk pada saat Keppres 83 itu belum dicabut dimana BPKP masih melakukan dan berwenang untuk menghitung. Koordinasinya itu di dalam hal ini juga untuk melakukan pemeriksaan tetapi apabila ditelaah secara sistematik dan inklusif, sebenarnya yang dimaksud dengan berwenang, lembaga yang melakukan tindakan publik harus yang berwenang dan kewenangan itu harus ada di dalam UU secara tegas seperti Yang Mulia tadi sebutkan. BPK Pasal 1 menyebutkan bahwa BPK berwenang menghitung, menilai dan menetapkan kerugian negara. Nah oleh sebab itulah sebetulnya Yang Mulia, perubahan pergeseran-pergeseran kan sebanernya mempengaruhi bagaimana isi atau pelaksanaan dari penjelasan Pasal 6 tadi. Sebenarnya sering kami kemukakan Yang Mulia di Fakultas Hukum UI menginginkan bahwa aparatur hukum betul-betul bekerja sama denga BPK, karena dia lah yang sekarang berwenang. Pergeseran-pergeseran ini sebenarnya oleh aparatur hukum harus dimaknai atau ditangkap bahwa terjadi perubahan paradigma dan peraturan perundang-undangan. Saya rasa demikian. : Oleh karena itu pemahaman undang-undang saudara tentang koordinasi tadi konkrit nya seperti apa? : Prinsip saya sebenarnya selain bekerjasama tapi juga mengidentifikasi itu kan koordinasi kan tidak melahirkan tindakan publik, karena itu harus ada secara limitatif ada di dalam UU. : Baik. Di dalam penjelasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ya, No.31 tahun 1999 disebutkan bahwa tindak pidana korupsi itu sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan nasional. Nah, dengan penjelasan seperti itu apakah dalam hal penghitungan terhadap keuangan negara, itu boleh nggak menyimpangi atau mengesampingkan asas-asas atensi mengingat bahwa asas korupsi sebagaimana disebut disini sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian. Bisa nggak disimpangi asas atensi itu? : Prinsipnya kan asas atensi itu sebagai asas sesuatu yang harus diikuti. Yang Mulia, kita sebagai sarjana hukum kan seringkali ditanya apakah asas atensi itu punya dasar hukum? Tentu tidak, karena dia hanya berupa asas. Istilahnya hanya menjadi dasar bagi suatu peraturan perundangundangan. Jadi dalam hal ini tindakan yang bersifat publik tentu tidak bisa menyimpangi asas tersebut sebagaimana asas kepastian hukum atau asas legalitas kan tidak bisa disimpangi dengan alasan apapun. : Hmm. Terima kasih.

13 : Ada lagi yang mau ditanyakan? Penuntut Umum? : Kami mohon ada satu pertanyaan. Saudara ahli, mau ijin bertanya langsung Yang Mulia. Sepengetahuan ahli, apakah penjelasan Undang- Undang No.31 tahun 1999 huruf (b) dipenjelasan umum itu masih berlaku? : Mohon dibacakan Pak Jaksa? : Oh saudara ahli belum hapal ya? Berada dalam keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh harta yang termasuk dalam kekayaan negara dalam bentuk apapun termasuk yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan. Termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena : a) berada dalam pengurusan dan tanggung jawab pejabat perkemabangan negara baik ditingkat pusat maupun daerah, b) berada dalam pengurusan dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, Perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal ketiga, dan seterusnya. Masih berlaku ya? : Iya Pak Jaksa. : Yang kedua, tadi saudara ahli mengatakan bahwa istilah pejabat negara hanya ada di UU yang mengatur tentang PNS ya? : Iya. : Selain itu saudara ahli tahu ada peraturan lain? : Karena saya di Administrasi Negara, saya hanya tahu di lingkup perundanng-undangan di legalitas itu. : Saudara ahli pernah membaca UU No.28? : Iya, tahu sih iya. : Di pasal penjelasan angka 7 disebut disini, yang dimaksud dengan pejabat lain memiliki fungsi strategis adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan pekerjaan negara terutama dalam KKN, yang meliputi korupsi... (dipotong oleh ) : Saudara Penuntut Umum, tinjauan dari pendapat ahli ini adalah UU Kepagawaian. Yang lain dia nggak ini.. dia sebagai dasarnya adalah seperti itu. : Pertanyaan saya seperti ini Yang Mulia, apabila ada dalam UU lain Direksi suatu BUMN termasuk pejabat negara, maka apakah UU itu bisa dijadikan pedoman?

14 : Prinsipnya sebenarnya kita kan menganut Asas Lex Spesialis. Jadi prinsipnya kalau dari segi tinjauan administrasi ya itu berkaitan dengan UU Kepegawaian. : Terima kasih Yang Mulia. : Baik, ada lagi? Silahkan nanti ditanggapi di dalam Pledoi ya? Baik, karena tugas saudara sudah selesai, silahkan saudara meninggalkan ruang persidangan. Terima kasih. (Ahli DP meninggalkan ruang persidangan) : Habis ahli? Cukup? Nanti akan kita lanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa namun sebelum itu kita skors dulu ya untuk shalat dan makan siang sampai dengan jam ya? : Yang Mulia, seperti tadi waktu persidangan akan kita mulai, saudara terdakwa ini mengatakan bahwa dia ini agak kurang sehat. Mohon dipertimbangkan terlebih dahulu Yang Mulia, terima kasih. : Ini karena waktu yang dalam sidang-sidang sebelumnya sudah saya sampaikan. Waktu sudah sangat amat mepet, dan perkara ini sudah harus putus pada tanggal 21 Desember. Karena lewat daripada itu sudah nggak mungkin lagi, ya? Nanti cuma secara teknis nya aja, ya? Kita pelanpelan, kita percepat, ya. Kita skors sampai dengan jam (Palu diketuk)

Saksi Ahli Perusahaan : Erman Rajagukguk

Saksi Ahli Perusahaan : Erman Rajagukguk Selasa, 30 November 2011 Saksi Ahli Perusahaan : Erman Rajagukguk : Skors dicabut sidang dinyatakan terbuka kembali, ahli berikut. : Terima kasih Yang Mulia. : Silahkan pak, baik sidang lanjut, majelis

Lebih terperinci

Saksi #17: Budi Maryati

Saksi #17: Budi Maryati Saksi #17: Budi Maryati (Saksi telah disumpah pada persidangan tanggal 11 Oktober 2011) : Saudara saksi Budi Maryati ya, saudara sudah disumpah dalam persidangan yang lalu untuk memberikan keterangan yang

Lebih terperinci

Saksi #16: Tonny Soewandito

Saksi #16: Tonny Soewandito Saksi #16: Tonny Soewandito : Sidang perkara No. 37/Pid.B/Tipikor/2011, PN Jakarta Pusat atas nama terdakwa Ir. Eddie Widiono Suwondho M.Sc, dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Palu diketuk) Terdakwa

Lebih terperinci

Saksi Ahli Pengadaan : Naser Iskandar

Saksi Ahli Pengadaan : Naser Iskandar Selasa, 23 November 2011 Saksi Ahli Pengadaan : Naser Iskandar : Saudara ahli ya, sebagaimana diawal keahlian saudara adalah dibidang pengadaan ya, pertanyaan di luar bidang pengadaan untuk tidak dijawab

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia 120 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dari seluruh penjelasan dan uraian yang diberikan pada bab-bab sebelumnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan pada Badan Usaha

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.737, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pengawasan. Pelaksanaan. Tata Cara Tetap. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 91 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA TETAP

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA -1- PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN KONFLIK KEWENANGAN DALAM PEMERIKSAAN TERHADAP DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA PERSEROAN TERBATAS DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN

BAB I PENDAHULUAN KONFLIK KEWENANGAN DALAM PEMERIKSAAN TERHADAP DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA PERSEROAN TERBATAS DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN BAB I PENDAHULUAN KONFLIK KEWENANGAN DALAM PEMERIKSAAN TERHADAP DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBATAS DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN DAN UNDANG-UNDANG BADAN USAHA MILIK NEGARA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan peran Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, perlu

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr.

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero (selanjutnya disebut BUMN Persero) sering terjadi. Perkara

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr. Maqdir Ismail,

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

LEMBARAN NEGARA PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.143, 2016 KEUANGAN BPK. Kode Etik. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 5904) PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG- UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Nomor : 004/PUU-III/2005 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------------- RISALAH PANEL HAKIM PEMERIKSAAN PENDAHULUAN PERKARA NOMOR 004/PUU-III/2005 PENGUJIAN UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN

Lebih terperinci

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI M. Afif Hasbullah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Jl. Airlangga 3 Sukodadi Lamongan ABSTRAK Metode pendekatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN

BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN A. Antinomi Konsep Keuangan Negara Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dalam sub bab ini penulis hendak

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali Sumber Berita : Harian Nusa Bali, Sidang Perdana PK Winasa Berlangsung 5 Menit, Rabu 18 Juni 2014. Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali 1 Sumber Berita: Harian Bali Post, Singkat

Lebih terperinci

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN SALINAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PENGADUAN DI LINGKUNGAN BADAN

Lebih terperinci

Menimbang : a. bahwa untuk kelancaran pemulihan kerugian Daerah agar dapat berjalan lebih

Menimbang : a. bahwa untuk kelancaran pemulihan kerugian Daerah agar dapat berjalan lebih RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG TUNTUTAN PERBENDAHARAAN DAN TUNTUTAN GANTI RUGI KEUANGAN DAN BARANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Perseroan terbatas merupakan suatu badan hukum yang berbeda dengan negara sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 6, NO 1, Edisi Februari 2014 (ISSN : ) PENERAPAN E - AUDIT PADA AUDIT SEKTOR PUBLIK SESUAI

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 6, NO 1, Edisi Februari 2014 (ISSN : ) PENERAPAN E - AUDIT PADA AUDIT SEKTOR PUBLIK SESUAI PENERAPAN E - AUDIT PADA AUDIT SEKTOR PUBLIK SESUAI UNDANG UNDANG PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA Sutrisno Dosen PNS DPK STIE Semarang Abstraksi Keberhasilan e-audit dapat tercapai apabila: (1) Data dari Auditee

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

: Hadirin dimohon berdiri. Majelis Hakim memasuki ruang sidang. (Majelis Hakim memasuki ruang sidang)

: Hadirin dimohon berdiri. Majelis Hakim memasuki ruang sidang. (Majelis Hakim memasuki ruang sidang) Panitera : Hadirin dimohon berdiri. Majelis Hakim memasuki ruang sidang. (Majelis Hakim memasuki ruang sidang) Panitera : Dipersilahkan duduk kembali. Hakim Ketua : Sidang perkara (penyebutan nomor register

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-X/2012

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-X/2012 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA POLICY BRIEF PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan LATAR BELAKANG Disahkannya UU No.

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1230, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Perilaku. Kode Etik. Jaksa. Pencabutan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER 014/A/JA/11/2012 TENTANG KODE PERILAKU JAKSA DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

Piagam Direksi. PT Link Net Tbk ( Perseroan )

Piagam Direksi. PT Link Net Tbk ( Perseroan ) Piagam Direksi PT Link Net Tbk ( Perseroan ) BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Definisi 1. Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) berarti organ Perseroan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-VI/2008

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-VI/2008 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-VI/2008 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

PROSEDUR PENGADUAN PADA PENGADILAN TINGGI AGAMA MEDAN

PROSEDUR PENGADUAN PADA PENGADILAN TINGGI AGAMA MEDAN PROSEDUR PENGADUAN PADA PENGADILAN TINGGI AGAMA MEDAN 1. Pengadilan Tinggi Agama Medan menerima setiap pengaduan yang diajukan oleh masyarakat baik secara lisan maupun secara tertulis. 2. Pengaduan yang

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

RERANGKA KERJA AUDIT SEKTOR PUBLIK

RERANGKA KERJA AUDIT SEKTOR PUBLIK RERANGKA KERJA AUDIT SEKTOR PUBLIK 1 Audit Proses sistematik dan objektif dari penyediaan dan evaluasi bukti-bukti yang berkenaan dengan asersi tentang kegiatan dan kejadian ekonomi utuk memastikan derajat

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 6/PUU-IX/2011

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 6/PUU-IX/2011 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 6/PUU-IX/2011 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG GERAKAN PRAMUKA TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 138/PUU-VII/2009

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 138/PUU-VII/2009 Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;; MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

Identitas dan Pengambilan Sumpah Saksi-saksi

Identitas dan Pengambilan Sumpah Saksi-saksi Identitas dan Pengambilan Sumpah Saksi-saksi Sidang perkara nomor 37/Pid.B/Tipikor/2011/PN Jakarta Pusat atas nama terdakwa Ir. Eddie Widiono Soewondho M.Sc. dibuka dan terbuka untuk umum. (Palu diketuk)

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006 I. PEMOHON AH.Wakil Kamal, SH. KUASA HUKUM Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Menyatakan konsideran

Lebih terperinci

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENANGANAN PENGADUAN (WHISTLEBLOWER SYSTEM) TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa setiap kerugian daerah yang

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 31

BAB I PENDAHULUAN. tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 31 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PARKIR BAGIAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN SETDA KABUPATEN WAKATOBI TAHUN 2013 DAFTAR ISI NO. URAIAN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan [Pasal 27 ayat (1) huruf e ] terhadap

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH *

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH * PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH * Saat ini, peraturan perundangundangan yang berlaku dalam pengurusan piutang negara dan piutang

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 I. PARA PEMOHON Prof. DR. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU PEMOHON I Prof. DR. Ramlan Surbakti, M.A., sebagai Wakil Ketua

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN DI LINGKUNGAN BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA.

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN DI LINGKUNGAN BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 3. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikuatkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. dikuatkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, keberadaan dan peran auditor yang sangat strategis dikuatkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan meningkatkan kompetisi dan

Lebih terperinci

LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA.

LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA. LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA http://www.forbumn.com Sejumlah kalangan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review i atas kewenangan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

Saksi #11: Conny Kurniawan

Saksi #11: Conny Kurniawan Saksi #11: Conny Kurniawan : Silahkan saksi selanjutnya. Saksi Conny. Conny Kurniawan Wahjoe. : Maaf Yang Mulia, mau kita gabung atau satu? : Satu. (Saksi CK memasuki ruang persidangan) : Saudara saksi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

-2- Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik

-2- Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.248, 2016 BPKP. Pengaduan. Penanganan. Mekanisme. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG MEKANISME

Lebih terperinci

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Oleh Suhadibroto Pendahuluan 1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian

Lebih terperinci

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat tersebut

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam waktu yang relatif singkat akuntansi sektor publik telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat tersebut ditandai dengan diterapkannya

Lebih terperinci

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENINGKATAN JALAN NANTI AGUNG - DUSUN BARU KECAMATAN ILIR TALO KABUPATEN SELUMA

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENINGKATAN JALAN NANTI AGUNG - DUSUN BARU KECAMATAN ILIR TALO KABUPATEN SELUMA KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENINGKATAN JALAN NANTI AGUNG - DUSUN BARU KECAMATAN ILIR TALO KABUPATEN SELUMA http://www.beritasatu.com 1 Bengkulu - Kepala Polda Bengkulu, Brigjen Pol. M. Ghufron menegaskan,

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran No.809, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BMKG. Whistleblowing. Sistem. PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PELAPORAN DAN PENANGANAN PELANGGARAN

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 135/PUU-VII/2009

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 135/PUU-VII/2009 Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;; MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-IX/2011

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-IX/2011 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-IX/2011 PERIHAL PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Lebih terperinci

PIAGAM KOMITE AUDIT (AUDIT COMMITTEE CHARTER)

PIAGAM KOMITE AUDIT (AUDIT COMMITTEE CHARTER) PIAGAM KOMITE AUDIT (AUDIT COMMITTEE CHARTER) PT TOBA BARA SEJAHTRA Tbk 2013 Daftar Isi Hal Daftar Isi 1 Bab I Pendahuluan 2 Bab II Pembentukan dan Organisasi 4 Bab III Tugas, Tanggung Jawab dan Prosedur

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 7/PUU-XVI/2018 PERKARA NOMOR 8/PUU-XVI/2018

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 7/PUU-XVI/2018 PERKARA NOMOR 8/PUU-XVI/2018 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 7/PUU-XVI/2018 PERKARA NOMOR 8/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 ten

2016, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 ten BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.637, 2016 KEMENKEU. Ditjen KN. Penilai Pemerintah. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/PMK.06/2016 TENTANG PENILAI PEMERINTAH DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

MENGENAL JAKSA PENGACARA NEGARA

MENGENAL JAKSA PENGACARA NEGARA MENGENAL JAKSA PENGACARA NEGARA Sumber gambar: twicsy.com I. PENDAHULUAN Profesi jaksa sering diidentikan dengan perkara pidana. Hal ini bisa jadi disebabkan melekatnya fungsi Penuntutan 1 oleh jaksa,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia telah menimbulkan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kedelapan, Permintaan Keterangan Kepada PPATK (Berdasarkan Informasi PPATK

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kedelapan, Permintaan Keterangan Kepada PPATK (Berdasarkan Informasi PPATK Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kedelapan, Permintaan Keterangan Kepada PPATK (Berdasarkan Informasi PPATK Maupun Hasil 3.8 Permintaan Keterangan Kepada PPATK (Berdasarkan Informasi PPATK Maupun

Lebih terperinci