PENERAPAN SINKRONISASI BIRAHI KAMBING BOERKA DENGAN LOKAL DI AREAL PERKEBUNAN BERBASIS TANAMAN JERUK PADA LAHAN KERING

Transkripsi

1 PENERAPAN SINKRONISASI BIRAHI KAMBING BOERKA DENGAN LOKAL DI AREAL PERKEBUNAN BERBASIS TANAMAN JERUK PADA LAHAN KERING (Application of Oestrus Synchronization for Boerka Goat on Dry Land of Orange Crop Plantation Area) FITRA AJI PAMUNGKAS dan M. DOLOKSARIBU Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Sungei Putih, Galang 20585, Sumatera Utara ABSTRACT This study was conducted in Guru Kinayan Village, District of Karo, North Sumatera involving four cooperators determined through a field survey. Goats were raised intensively in cages, and were previously synchronized with Reprodin at 1.25 ml/head intramuscularly. Since low artificial insemination results in goats, natural mating was applied by placing a Boerka male into a group of mature female goats. Parameters were female weight and pregnancy percentage. Data were analysed using Mean Standard Deviation. The results showed that female weight of lower than 20 kg was 38.78%or 19 heads. From a total of 49 female goats to be mated, 30 goats were not pregnant then were synchronized. The pregnancy rate of synchronized goats was 76.67% Key Words: Boerka, Oestrus synchronization, Introduces, Pregnant percentage ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di Desa Guru Kinayan Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara dan melibatkan empat koperator yang ditentukan melalui survey lapangan. Ternak dipelihara secara intensif dalam kandang dan terlebih dahulu diseragamkan masa birahinya dengan penyuntikan Reprodin dengan dosis 1,25 ml/ekor secara intramuskuler. Sehubungan masih rendahnya tingkat keberhasilan IB pada kambing, maka dilakukan perkawinan secara alami dimana kambing pejantan Boerka dimasukkan ke dalam kelompok induk. Parameter yang diamati adalah bobot kambing betina yang akan dikawinkan dan angka persentase kebuntingan. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan rancangan Mean Standard Deviation. Hasil penimbangan ternak betina yang akan dikawinkan pada kelompok di bawah 20 kg sebesar 38,78 persen atau sebanyak 19 ekor. Dari total 49 betina yang akan dikawinkan, terdapat 30 ekor yang tidak bunting. Angka persentase kebuntingan terhadap ternak yang disinkronisasi diperoleh sebesar 76,67 persen. Kata Kunci: Boerka, Sinkronisasi birahi, Introduksi, Persentase kebuntingan PENDAHULUAN Salah satu komoditas hortikultura yang memiliki peran ekonomis tinggi dibeberapa sentra produksi di Indonesia adalah tanaman jeruk. Wilayah pengembangan tanaman jeruk salah satunya adalah propinsi Sumatera Utara dengan luas lahan mencapai ha (POERWANTO, 2005). Budidaya tanaman jeruk umumnya dilakukan secara monokultur yang dilakukan secara intensif dengan input produksi yang tinggi dan membutuhkan antara kg pupuk kandang per pohon per tahun untuk berbagai kelompok umur tanaman jeruk dari umur 1 15 tahun (DIREKTORAT TANAMAN BUAH, 2004). Pengembangan sistem usaha ternak kambing berbasis jeruk di lahan kering dianggap sebagai salah satu sistem diversifikasi yang bersifat Mutual Benefit dimana usaha ternak kambing diharapkan akan mampu menyediakan pupuk untuk tanaman jeruk dan secara tidak langsung dapat meningkatkan produksi jeruk. Di sisi lain, salah satu areal perkebunan berbasis tanaman jeruk memberi peluang kepada petani untuk dapat 560

2 memanfaatkan areal yang ada sebagai sumber pendapatan tambahan dengan memasukkan komoditas ternak kambing sebagai komponen usaha tani, sehingga memberikan dampak yang sangat besar artinya dalam meningkatkan pendapatan petani. Berdasarkan analisis supply dan demand daging kambing di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa Sumatera Utara relatif belum mampu memproduksi daging kambing untuk tujuan ekspor dimana bobot badan kambing berkisar antara kg, apalagi produksi kambing di Propinsi Sumatera Utara yang hanya mampu memenuhi 45% kebutuhan lokal saja (KAROKARO et al., 1995). Salah satu faktor penting untuk mengembangkan kambing secara berkelanjutan dan efisien di areal perkebunan berbasis tanaman jeruk adalah peningkatan produktivitas kambing lokal yang ada di areal perkebunan dengan cara perbaikan mutu genetik melalui teknologi pemuliaan yang hasilnya relatif cepat dan cukup memuaskan yaitu menyilangkan (cross breeding) dengan genotipe kambing unggul, seperti diuraikan BRADFORD (1993) dan SAKUL et al. (1994). Di Indonesia, ternak ruminansia menunjukkan aktivitas seksual sepanjang tahun sehingga perkawinan dan kelahiran ternak dapat terjadi setiap saat. Disamping itu, ketersediaan pakan dan kualitasnya yang fluktuatif akan berpengaruh terhadap ternak. Dalam hal ini, penerapan teknologi sinkronisasi birahi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka mengatur tata laksana perkawinan secara terprogram yang memperhitungkan waktu beranak. Mengingat hal tersebut diatas maka penerapan sinkronisasi birahi dalam introduksi kambing persilangan Boerka dengan Lokal perlu dilakukan dalam rangka mengefisiensikan manajemen produksi ternak disamping meningkatkan mutu genetik kambing Lokal terutama yang berada di areal perkebunan berbasis tanaman jeruk. MATERI DAN METODE Ternak yang digunakan adalah kambing lokal induk milik 4 koperator yang berada di areal perkebunan berbasis tanaman jeruk. Koperator dipilih dari hasil inventarisasi ternak, dimana dasar petimbangannya adalah peternak yang memiliki ternak kambing betina yang pernah beranak dan tidak berkeberatan atas perlakuan yang dilakukan pada pelaksanaan kegiatan. Pada setiap koperator, ternak dipelihara secara intensif dalam kandang kelompok dan terlebih dahulu diseragamkan masa birahinya dengan menyuntikan Reprodin pada dosis 1,25 ml/ekor secara intramuskuler. Sehubungan masih rendahnya keberhasilan IB pada kambing, maka diambil langkah perkawinan secara alami dimana kambing pejantan Boerka dimasukkan ke dalam kelompok induk pada saat birahi timbul atau 72 jam setelah penyuntikan. Pemberian sumber bahan pakan dalam bentuk konsentrat dan hijauan pakan ternak yang diambil dari lapangan dalam bentuk potong angkut. Formula pakan konsentrat menggunakan kulit buah markisa, selain itu digunakan juga kulit buah kopi oleh karena dilokasi telah berkembang tanaman kopi. Limbah kulit markisa pada dasarnya bukan merupakan hasil limbah pertanian dari lokasi setempat, namun potensinya di daerah lain cukup besar, sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan penyusun pakan konsentrat. Pemberian pakan konsentrat sebanyak 3 4% bobot badan kambing. Komposisi pakan konsentrat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi pakan konsentrat menggunakan bahan limbah pengolahan buah markisa untuk ternak kambing Bahan Tingkat penggunaan Dedak halus 43% Kulit buah markisa 15% Kulit kopi 5,0% Bungkil kelapa 35% Urea 2,0% Kandungan nutrisi Protein kasar 14,6% Energi dicerna 1) 2625 Kkal/kg BK 1) Berdasarkan hitungan Sedangkan hijauan pakan berupa rumput Paspalum guonarum dan Brachiaria humidicola, maupun lamtoro (Laeucaena leucocephala) dengan jumlah pemberian 561

3 berkisar antara 2 3 kg segar per ekor per hari untuk ternak dewasa dan 50% dari jumlah tersebut untuk ternak muda (anak). Hijauan lain apabila tersedia dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah pemberian pakan. Pemberian pakan konsentrat dilakukan pada waktu pagi hari, sedangkan hijauan pakan ternak diberikan pada waktu siang dan sore hari. Parameter yang diamati adalah bobot kambing betina yang akan dikawinkan dan angka persentase kebuntingan. Penentuan kebuntingan dilakukan dengan palpasi rectal dan ternak yang tidak menunjukkan birahi kembali. Analisis data dengan menggunakan rancangan Mean Standard Deviasi dari paket SPSS Versi 10 (SANTOSO, 2002). HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam kegiatan ini, petani yang menjadi koperator berjumlah 4 (empat) orang yang ditentukan melalui survey lapangan dan berdasarkan masukan dari Pemerintah Kabupaten yaitu Dinas Pertanian Kabupaten Karo. Dasar pertimbangan koperator tersebut terutama diutamakan kepada petani yang memiliki areal perkebunan jeruk dan memelihara ternak kambing di areal perkebunannya dan tidak berkeberatan atas perlakuan yang dilakukan pada pelaksanaan kegiatan. Bobot betina yang akan dikawinkan memiliki pengaruh terhadap bobot badan anak yang terlahir. Dari keempat koperator tersebut, distribusi jumlah dan persentase kelompok bobot betina yang akan dikawinkan dengan pejantan Boerka dapat dilihat pada Tabel 2. Kondisi bobot betina pada kelompok di bawah 20 Kg sebesar 38,78 persen atau sebanyak 19 ekor. Rendahnya bobot betina ini menunjukkan bahwa banyak ternak kambing yang dipelihara peternak memiliki postur tubuh yang relatif kecil, diharapkan dengan melakukan program persilangan dengan pejantan Boerka dalam kegiatan penelitian ini dapat meningkatkan performans produksi (bobot badan) yang relatif lebih tinggi dan berprospek memenuhi kualitas kambing ekspor yakni pembatasan bobot badan minimal sebesar kg/ekor. Rataan bobot betina yang akan dikawinkan pada seluruh ternak di 4 koperator adalah 23,84 ± 8,56 Kg, namun apabila dikelompokkkan menurut pejantan hasil yang didapat adalah pejantan P1 akan dikawinkan dengan betina yang memiliki rataan bobot badan sebesar 30,22 ± 6,22 Kg, Sedangkan pejantan P2, P3 dan P4 akan dikawinkan dengan betina yang memiliki rataan bobot badan berturut-turut sebesar 21,74 ± 7,49 Kg, 17,31 ± 2,71 Kg dan 32,57 ± 9,05 kg. Angka bobot betina yang akan dikawinkan dengan pejantan P3 relatif paling rendah dibanding dengan rataan bobot betina yang akan dikawinkan dengan 3 (tiga) pejantan lainnya. Tabel 3. Rataan bobot betina yang akan dikawinkan menurut pejantan Pejantan Jumlah (ekor) Bobot hidup ± SD (kg) P ,22 ± 6,22 P ,74 ± 7,49 P ,31 ± 2,71 P4 7 32,57 ± 9,05 Tabel 2. Distribusi jumlah dan persentase kelompok bobot betina yang akan dikawinkan menurut pejantan Kisaran bobot (kg) Jumlah betina (ekor) Persentase Total P1 P2 P3 P4 Rataan P1 P2 P3 P4 < , ,37 20, < ,41 4,08 6,12 6,12 4,08 25-< ,33 6,12 6,12 0 4, ,49 10,20 8,16 0 6,12 P = Pejantan Boerka 562

4 Tabel 4. Angka persentase kebuntingan induk hasil sinkronisasi yang dikawinkan dengan pejantan boerka Koperator Pejantan Jumlah induk disinkronisasi (ekor) Jumlah induk bunting (ekor) % kebuntingan 1 P ,88 2 P ,71 3 P ,00 4 P ,00 Total ,67 P = Pejantan Boerka Sehubungan dalam penelitian ini akan diterapkan juga teknologi sinkronisasi birahi untuk pengenalan teknologi kepada peternak koperator dalam rangka mengefisiensikan manajemen produksi ternak, maka terhadap kelompok betina di 4 (empat) koperator yang akan dikawinkan dilakukan seleksi ternak yang tidak bunting dimana penentuan kebuntingan dilakukan dengan palpasi rektal. Dari total betina yang akan dikawinkan ternyata diperoleh betina yang tidak bunting sebanyak 30 ekor. Setelah dilakukan sinkronisasi, ternyata ada kesalahan interpretasi dalam menduga kebuntingan dini yang mengakibatkan terjadinya keguguran sebanyak 1 ekor induk pada saat beberapa hari setelah penyuntikan. Angka persentase kebuntingan Dari hasil pemeriksaan kebuntingan (Tabel 4) menunjukkan bahwa angka persentase kebuntingan terhadap ternak yang telah disinkronisasi diperoleh sebesar 76,67 persen. Hasil ini masih rendah dari yang diperoleh SUTAMA et al. (2002) sebesar 81,82 persen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan bahan sinkronisasi, jenis ternak, dan manajemen pemeliharaan. Tingkat kegagalan betina untuk bunting lebih cenderung disebabkan karena libido atau tingkat keinginan ternak untuk melakukan aktivitas seksual pejantan Boerka yang kurang maksimal dalam melakukan perkawinan dan kemungkinan disebabkan adaptasi terhadap lingkungan. Ternak yang untuk pertama kali diperkenalkan kepada lingkungan yang baru akan mengalami perubahan lingkungan yang berdampak pada metabolisme sebagai dasar proses produksi dan reproduksi, selain itu ternak harus menyesuaikan diri dengan praktek manajemen dan sumber pakan yang tersedia (WINUGROHO et al., 1993). KESIMPULAN Angka persentase kebuntingan setelah penerapan sinkronisasi birahi dalam introduksi persilangan pejantan Boerka di areal perkebunan berbasis tanaman jeruk pada lahan kering mencapai 76,67 persen. Introduksi persilangan pejantan Boerka di areal perkebunan berbasis tanaman jeruk pada lahan kering diharapkan dapat menghasilkan performans anak dan calon induk yang lebih baik dimana persentase bobot betina < 20 Kg yang mencapai 38,78 persen bisa berkurang. DAFTAR PUSTAKA BRADFORD, G.E Small ruminant breeding strategies for Indonesia. Proc. of workshop. Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Research Institute for Animal Production, Ciawi, Bogor, Indonesia. pp DIREKTORAT TANAMAN BUAH Standar Prosedur Operasional (SOP) Jeruk Siem Madu. Kabupaten Karo dan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian. KAROKARO, S., H.W. SHWU-ENG and M. AGUS The export potential for North Sumatera s small ruminants. Pros. Seminar Sehari Strategi dan Komunikasi Hasil Penelitian Peternakan. Medan 31 Januari Sub Balitnak Sei Putih dan SR-CRSP. 563

5 POERWANTO, R Pembangunan Kawasan Sentra Produksi Buah Berbasis Mutu. Makalah disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Pengembangan Sentra Produksi Buah-buahan, Cisarua, Bogor. Direktorat Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Hortikultura. SAKUL, H.G.E. BRADFORD and SUBANDRIYO Prospects for genetic improvement of small ruminant in Asia. Proc. Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and the Pasific. SR-CRSP, Univ. of California Davis. SANTOSO, S SPSS versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Edisi ketiga. Gramedia, Jakarta. SUTAMA I.K, R. DHARSANA, I.G.M. BUDIARSANA, T. KOSTAMAN, HASTONO, U. ADIATI, M.S. HIDAYAT, R. SUKAMANA dan BACHTIAR Pengaruh Jenis Progestagen dan Lama Waktu Perlakuan terhadap Aktivitas Seksual dan Kinerja Beranak pada Kambing Peranakan Etawah. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. hlm WINUGROHO, M., D. SASTRADIPRAJA dan B.A. YOUNG Adaptasi Ruminansia kecil terhadap kondisi tropis lembab. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press. hlm