BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH"

Transkripsi

1 BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.22&24/PUU-VI/2008 TENTANG SUARA TERBANYAK II.A. Sekilas Tentang Gerakan Perempuan dan Usulan 30% Kuota Perempuan Dalam Politik Berbicara mengenai representasi kaum perempuan di parlemen merupakan suatu proses sejarah yang sangat panjang. Adapun dalam sejarahnya, Kongres Wanita Indonesia pertama diselenggarakan pada tahun 1928, dimana lahirnya pergerakan dan perjuangan wanita Indonesia pada saat itu bersama-sama dengan dikumandangkan Sumpah Pemuda di seluruh tanah air Indonesia, dan semenjak saat itulah berbagai perkumpulan dan organisasi berdiri yang dilandasi oleh kesadaran bahwa kaum wanita juga sanggup dan mampu ikut mengatur masyarakat. Dalam forum inilah organisasi-organisasi perempuan dari berbagai kelompok etnis, agama dan bahasa dipersatukan. Hal tersebutlah yang membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan perempuan, itulah merupakan tonggak sejarah lahirnya semangat kaum perempuan di wilayah publik terutama dapat berperan dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam dunia politik. Kemunculan dan perkembangan organisasiorganisasi inilah yang memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri perempuan, seperti meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan, dan mengembangkan jaringan.

2 Dalam hal ini, salah satu persoalan penting dalam Pemilihan Umum (pemilu) adalah tentang porsi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pada masa reformasi, peran kaum perempuan terus meningkat, hal tersebut dapat dilihat bahwa kaum perempuan pada tatanan politik di masa itu mulai berkembang, dimana perempuan yang sebelumnya hanya sekedar menjadi pemilih kemudian kaum perempuan berkembang menjadi memilih dan dipilih. Sehingga dengan adanya perkembangan tersebut, kaum perempuan dapat semakin meningkatkan kesadaran akan haknya untuk berpolitik, dan tidak hanya sebagai pemilih yang pasif, namun dapat menunjukkan kiprahnya bahwa berpolitik adalah bagian hak azasi yang harus direbut untuk menentukan masa depan kaum perempuan. Peran perempuan dalam dunia politik seakan beraneka ragam, dimana dalam dunia perpolitikan, sebenarnya perempuan bisa menembus apa saja dengan kualitas yang dimilikinya. Bahkan kaum perempuan itu mampu untuk menjadi pemimpin. Namun harapan itu sangat jauh dari kenyataan dilapangan. Dalam hal ini, perempuan banyak yang ditolak oleh komunitasnya sendiri ketika ingin berperan lebih. Banyak kalangan perempuan yang tidak siap bersaing dan mendukung ketika sesama perempuan maju untuk bersaing dalam sebuah ranah politik. Hal tersebutlah yang menyebabkan mendominasinya peran laki-laki daripada perempuan di bidang politik. Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Oleh karena itu, berbagai strategi harus dipelajari secara terperinci untuk mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi kaum perempuan di parlemen bisa diwujudkan.

3 Perubahan dalam cara penyelenggaraan pemilu, dengan jumlah partai politik yang cukup besar di bawah pemerintahan Orde Lama, menjadi 3 partai di bawah pemerintahan rezim Orde Baru, kemudian berkembang menjadi 48 partai di era reformasi, hal tersebut menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pola representasi perempuan dalam berbagai lembaga negara, khususnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang cenderung membatasi peran kaum perempuan hanya pada urusan rumah tangga. Berbeda dengan periode Orde Lama (era Soekarno), pada masa Orde Baru (era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat dan sejumlah elit tertentu. Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting tersebut memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat (orang), tetapi memilih simbol partai untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam proses pencalonan atau pemilihan, dan kemungkinan tidak memiliki kemampuan dalam mengartikulasikan kepentingan para konstituennya. Pada pemilihan umum tahun 1999 yang lalu, dari 48 partai politik yang pada saat itu ikut dalam pemilihan terdapat beberapa partai politik yang mengusung isu isu kesetaraan gender dalam kampanyenya. Proses pemilihan pada saat itu mengalami

4 perubahan yang cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif termasuk perempuan harus disetujui oleh daerah dan para pengambil keputusan partai di daerah tersebut kecuali tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi. Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilu, antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu. Meskipun secara nasional, sejak pemilu tahun 1955, unsur perempuan selalu terwakili di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), walaupun persentase keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Ada beberapa faktor yang menghalangi kaum perempuan untuk dapat menjadi anggota parlemen yaitu faktor pertama, berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental dengan budaya patriarki. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah seutuhnya untuk kaum laki-laki dan bahwa tidaklah pantas bagi kaum perempuan untuk menjadi anggota parlemen. Faktor kedua, berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu kaum laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, dimana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih sangat rendah, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partaipartai politik karena struktur kepemimpinannya yang didominasi oleh kaum laki-laki. Faktor ketiga, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partai-partai politik untuk memperjuangkan representasi kaum perempuan. Adapun jaringan

5 organisasi-organisasi wanita di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun Sejak pemerintahan B.J. Habibie ( ) inilah telah terjadi peningkatan semangat keterbukaan dalam sistem politik, jumlah organisasi non-pemerintah (ornop) telah meningkat, dan pembatasan-pembatasan terhadap aktifitas partai-partai politik juga telah dihapuskan. Kondisi ini telah membawa pengaruh positif terhadap perempuan. Berbagai organisasi non-pemerintah yang aktif di bidang hak-hak perempuan telah meningkatkan kegiatan mereka. Sementara pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kaukus politik perempuan, yang terdiri dari sebuah organisasi anggota-anggota parlemen dan Pusat Pemberdayaan Politik Perempuan yaitu sebuah jaringan organisasi-organisasi khusus wanita. Organisasi-organisasi ini tampil untuk membangun sebuah jaringan antara perempuan di parlemen, di antara pimpinan partai politik, di antara pimpinan organisasiorganisasi massa, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meningkatkan dan memperkuat upaya keras mereka dalam bidang politik. Secara umum, organisasi-organisasi ini setuju untuk memperjuangkan kuota bagi representasi perempuan serta menyatakan perlunya kuota minimum sebesar persen bagi representasi kaum perempuan di parlemen. Mereka juga telah memperjuangkan pencantuman kuota ini dalam konstitusi, walaupun mereka masih belum berhasil pada saat itu. Oleh sebab itu, mereka tengah berupaya membujuk DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Departemen Dalam Negeri (lembaga yang bertanggungjawab merumuskan revisi terhadap konstitusi) agar kuota bagi perempuan dicantumkan dalam amandemen selanjutnya terhadap konstitusi. Mereka juga meminta agar pimpinan partai-partai politik

6 mengangkat isu representasi perempuan dalam posisi-posisi strategis dalam partai-partai politik tersebut. Membahas mengenai sejarah representasi kaum perempuan di parlemen yaitu terdapat persoalan utamanya mengenai porsi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pada zaman orde baru, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi pedoman pelaksanaan pemerintahan dan berbagai kebijakan nasional termasuk di dalamnya ketetapan mengenai peranan kaum perempuan. 38 Posisi ini terus dipertahankan dan GBHN tahun 1999 dinyatakan pemberdayaan kaum perempuan dilaksanakan melalui upaya, yaitu pertama, peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, yang kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Dalam konteks ketidakadilan gender, masyarakat menganggap bahwa sudah sepantasnya perempuan harus lebih diutamakan dan mereka membuat keputusankeputusan terpenting bagi diri mereka sendiri, karena selama ini yang terjadi hal-hal yang berkaitan dengan persoalan perempuan diputuskan oleh orang-orang yang melihat perempuan hanya sebagai objek semata. Misalnya dalam konteks keterwakilan di Legislatif beberapa LSM dan beberapa Partai Politik pun mengusulkan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dengan mengajukan affirmative action (upaya penyetaraan). 38 Dapat dilihat di: adkasi.org. diakses pada tanggal 08 Agustus 2009

7 Melihat beberapa fakta dan tuntutan yang muncul tersebut maka isu kuota untuk kaum perempuan dapat diwujudkan, dimana implementasi tindakan affirmative dalam hal perwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil diundangkan secara formal dalam Pasal 65 Undang-undang Pemilu No.12 tahun Pasal tersebut adalah 65 ayat (1), yang dikenal dengan sebutan kuota untuk perempuan, lengkapnya pasal tersebut berbunyi Setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Sehingga dari sinilah kuota 30% bagi perempuan itu mulai berlaku dalam pemilihan umum. Dengan dikeluarkan dan disahkannya Undang-undang No.12 pasal 65 ayat (1) tentang pemilu mengenai kuota perempuan tersebut merupakan langkah awal perjuangan politik perempuan yang mendapat dukungan formal untuk berkiprah di politik. Kuota perempuan ini nantinya dapat menempatkan perempuan dalam posisi yang cukup kuat, karena jumlah kuota anggota perempuan di parlemen yang nantinya akan dapat mempengaruhi keputusan yang akan dihasilkan. Dengan demikian, meskipun telah ada peraturan perundangan yang memandatkan kuota 30% dalam parlemen itu tidak menjamin peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Selain itu, dalam kenyataannya pemenuhan kuota tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Meskipun ketentuan yang ada sifatnya mensyaratkan, itu hanya disertai sanksi moral dan bukan sanksi yang tegas yang dapat mendesak pemenuhan kuota tersebut. Adapun dalam UU No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat (1) tentang pemilu belum menyentuh substansi ideal sebagai pranata hukum sebagaimana yang diharapkan, karena

8 sifatnya yang masih berupa himbauan, dimana pernyataan tersebut tidak atau belum memberlakukan sanksi pada partai politik atas gagalnya affirmative action 30%. Oleh sebab itu keterlibatan perempuan dalam legislatif kembali mendapatkan payung hukum dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Gerakan pemberdayaan perempuan merupakan suatu perwujudan penghormatan atas hak-hak asasi manusia yang telah menemukan momentum yang paling penting pada awal abad ke-20. Gerakan ini menyeluruh meliputi dimensi politik, ekonomi, dan kehidupan sosial baik skala lokal maupun internasional. Di dunia ekonomi dan politik, gerakan pemberdayaan perempuan telah mampu menembus dinding tebal yang membatasi gerak kaum perempuan itu sendiri. Sekarang di pentas politik, kaum perempuan memiliki hak untuk memilih dan dipilih di hampir seluruh dunia. Negaranegara yang tergabung dalam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) telah memuat pernyataan keadilan sosial dan ekonomi terhadap kaum perempuan di dalam konstitusi masingmasing. Di Indonesia, respon terhadap resolusi PBB terkait pemberdayaan perempuan tersebut telah melahirkan berbagai regulasi politik di antaranya yaitu dikeluarkannya Undang-undang (UU). Adapun beberapa peraturan perundang-undangan telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya, yaitu Undang-undang (UU) Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-undang ini telah memberikan mandat kepada partai politik untuk dapat memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Kemudian juga adanya Undang-undang (UU) Nomor 10 tahun 2008 tentang

9 Pemilihan Anggota Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) yang menyebutkan penyertaan sekurangkurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dengan dikeluarkannya UU No. 2 dan 10 tahun 2008 tersebut maka peluang untuk mencapai target ideal keterwakilan kaum perempuan semakin terbuka lebar. Berdasarkan UU No 10/2008 ada beberapa hal baru terkait implementasi kuota minimal 30% perempuan dalam pengajuan bakal calon Anggota DPR dan DPRD. Pertama, adanya perintah bagi KPU untuk mengembalikan berkas pencalonan pada partai politik yang tidak mampu memenuhi kuota 30% perempuan di setiap daerah pemilihan. Kedua, berlakunya mekanisme zipper dalam penomoran calon perempuan, yakni setiap tiga nama calon yang diajukan minimal terdapat satu calon perempuan. Dengan mekanisme ini diharapkan para calon perempuan lebih punya akses untuk terpilih menjadi Anggota DPRD. Adapun pengisian kuota tersebut tentu saja bukan sesuatu yang bersifat gratis dan hanya sebatas memenuhi formalitas. Pengisian kuota tersebut harus berbasiskan kompetensi dan kompetisi yang konstitusional serta transparan, sehingga kaum perempuan yang berkualitas saja yang berhak mengisi kepengurusan parpol dan legislatif. Hal ini sangat penting, sebab selama ini penetapan caleg atau kepengurusan parpol dari kaum perempuan masih jauh dari kualitas. Akibatnya, upaya pemberdayaan kaum perempuan dalam politik pun cenderung minimalis. Kader yang masuk sangat minim

10 kompetensi sehingga masih belum berdaya jika dibandingkan dengan kebanyakan politisi pria. 39 Kebijakan affirmatif bukanlah kuota, namun banyak juga yang mencampuradukkan istilah kuota dengan affirmatif. Kebijakan affirmatif bentuknya beragam, seperti pelatihan, peningkatan kapasitas, kuota dan sebagainya. Jadi kuota hanya salah satu bentuk tindakan affirmatif, jadi kuota bukan tujuan akhir tetapi alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Dengan disahkannya kuota ini, diharapkan dapat menjadi motivasi bagi kaum perempuan untuk dapat berkiprah di politik. Sehingga dapat mewujudkan partisipasi politik perempuan pada lembaga formal yang akan membuat keputusan politik, serta diharapkan posisi perempuan menjadi lebih baik di lembaga legislatif. Organisasi pergerakan perempuan pada era tahun 1950-an mulai muncul dan berkembang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Disahkannya UU partai politik oleh DPR merupakan kado terindah untuk perempuan Indonesia yaitu Undangundang partai politik yang menetapkan kuota 30% untuk keterlibatan perempuan dalam proses politik. Dengan ditetapkannya Undang-undang tersebut, peluang wanita Indonesia untuk berperan dalam segala segi kehidupan semakin terbuka. Dengan berhasilnya dicantumkan kuota 30% bukan berarti perjuangan politik perempuan selesai, namun ini hanya langkah awal bagi agenda politik perempuan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, akhirnya untuk penguatan keterwakilan perempuan pada pemilu tahun 2004, kaum perempuan diberikan kuota 30% pada pengajuan calon legislatif untuk semua tingkatan baik DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi dan DPR RI, dan hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang. 39 Dapat dilihat di: diakses pada tanggal 8 Maret 2009

11 Disahkannya UU partai politik oleh DPR merupakan kado terindah untuk perempuan Indonesia yaitu Undang-undang partai politik yang menetapkan kuota 30% untuk keterlibatan perempuan dalam proses politik. Dengan ditetapkannya Undangundang tersebut, peluang wanita Indonesia untuk berperan dalam segala segi kehidupan semakin terbuka. Dengan berhasilnya dicantumkan kuota 30% bukan berarti perjuangan politik perempuan selesai, namun ini hanya langkah awal bagi agenda politik perempuan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, akhirnya untuk penguatan keterwakilan perempuan pada pemilu tahun 2004, kaum perempuan diberikan kuota 30% pada pengajuan calon legislatif untuk semua tingkatan baik DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi dan DPR RI, dan hal tersebut telah diatur dalam undang-undang. Secara normatif, peraturan perundang-undangan bagi kaum perempuan dalam bidang politik tidak mendiskriminasi perempuan, namun dalam kenyataannya tingkat representasi perempuan di badan legislatif pada berbagai tingkatan memang dirasa masih sangat rendah. Oleh sebab itu, dengan adanya upaya dari kaum perempuan yang mengatasnamakan dirinya mewakili kelompok perempuan yang memiliki basis kelompok-kelompok perempuan pemilih yang mendukung sekaligus mengetahui, memahami dan memperjuangkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelompok kaum perempuan tersebut. Dengan demikian, kebersamaan dan solidnya ikatan diantara kaum perempuan tersebut akan dapat menyusun secara sistemik dan komprehensif tentang kepentingankepentingan dan kebutuhan-kebutuhan yang perlu diperjuangkan dengan mempertimbangkan dampaknya yang positif dan bukan hanya pada kaum perempuan, tapi juga anak-anak, masyarakat, dan bangsa. Sehingga secara hukum, kuota perempuan

12 dapat ditingkatkan dengan pelaksanaan yang tegas. Walaupun penerapan kuota perempuan dalam dua kali pemilu (2004 dan 2009) ini belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, tetapi hal ini merupakan suatu pembelajaran politik bagi kaum perempuan itu sendiri, baik bagi para pemilih maupun politisinya, dimana merupakan pembelajaran dalam membangun demokratisasi yang berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada pemilihan umum legislatif tahun 2009 inilah Undang-undang Nomor 10 dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 diberlakukan, dimana undang-undang tersebut merupakan suatu upaya pemerintah dalam meningkatkan keterlibatan kaum perempuan di bidang politik. Oleh sebab itu, keterlibatan kaum perempuan di politik menjadi aman dengan adanya, system kuota, zipper system, dan aturan sistem nomor urut tersebut, yang mana dengan adanya undang-undang tersebut maka merupakan suatu peluang besar untuk mencapai target ideal dalam mengupayakan keterwakilan kaum perempuan di legislatif. Sebuah titik terang terhadap isu keterwakilan perempuan yang muncul kembali dengan di sahkannya UU No. 10 Tahun 2008 yang mengkombinasikan penerapan sistem kuota, zipper system dan aturan nomor urut. Melalui sistem kuota yang diterapkan, maka telah terjamin setidak-tidaknya 30% calon legislatif perempuan di letakkan di antara tiga orang caleg (di dalam nomor urut), dimana hal tersebut merupakan suatu upaya untuk mencegah agar caleg-caleg perempuan tidak diletakkan pada nomor urut besar. Sesuai dengan aturan nomor urut, maka kesempatan menjadi anggota legislatif akan lebih besar lagi bagi caleg dengan nomor urut kecil, seperti halnya dibuktikan oleh hasil pemilu di tahun 2004.

13 Apa yang diterapkan pemerintah terhadap sistem zipper di atas memang sangat jelas semata-mata untuk mengupayakan menegakkan keadilan terhadap hak-hak kaum perempuan yang selama ini di batasi dalam bidang politik. Tetapi dalam perkembangannya, kesempatan yang diperoleh caleg perempuan melalui kombinasi affirmative action pada Undang-undang Pemilu tahun 2008 menjadi kabur, ketika banyak partai politik yang memutuskan untuk beralih mengajukan dan menerapkan aturan sistem suara terbanyak di dalam kebijakan internal partai. Keadaan menjelang pelaksanaan pemilu legislatif 2009 menjadi semakin diperburuk lagi, ketika aturan sistem suara terbanyak itu kemudian disahkan dan diberlakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui keputusan Judisial Review atas UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e, pada tanggal 23 Desember II.B. Proses Keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi No.22 & 24/PUU- VI/2008 Tentang Suara Terbanyak Keterwakilan kaum perempuan dalam pemilu adalah terwakilinya kepentingan kaum perempuan oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga dan dalam proses politik. Keterwakilan perempuan ini menjadi salah satu wujud dari cerminan terhadap adanya sebuah demokrasi yang sekarang berusaha untuk diwujudkan. Hak kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam politik adalah termasuk HAM (Hak Azasi Manusia), karena demokrasi tidak akan mungkin dibangun tanpa adanya keikutsertaan kaum perempuan didalamnya. Oleh sebab itu, legitimasi dari suatu 40 Dapat dilihat : http :// Penelitian Politik Perempuan, diakses pada tanggal 30 Juli 2009

14 kebijakan yang demokratis harus pula mempertimbangkan kepentingan pemilih yang terdiri dari kaum perempuan dan laki-laki. 41 Seperti halnya pada Pemilihan Umum tahun 2004 yang lalu, dapat dilihat bahwa keterwakilan calon legislatif laki-laki masih lebih tinggi daripada calon legislatif perempuan. Kurangnya keterwakilan perempuan pada struktur kepartaian maupun di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Selain karena sistem yang memang cenderung mendiskriminasi, lemahnya posisi perempuan juga disebabkan kurang adanya kemampuan dan kemauan untuk setara. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya peran dan partisipasi politik perempuan, ditandai dengan rendahnya keterwakilan perempuan baik dalam kepengurusan partai politik maupun dalam keterwakilan di lembaga legislatif. Hal ini seakan diperkuat karena sempitnya akses kaum perempuan dalam memasuki bidang politik. 42 Adapun pada pemilu tahun 2004 yang lalu, sistem yang di pakai adalah sistem nomor urut, yaitu calon yang terpilih nantinya adalah calon yang menduduki nomor urut 1, 2, dan 3. Tetapi, pada pemilu 2009 yang seharusnya tetap memakai sistem nomor urut tersebut dan hal itu juga telah diatur dalam UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu, tetapi nyatanya sistem tersebut tidak berlaku. Adapun pada saat itu, penetapan calon legislatif terpilih akan memakai sistem berdasarkan suara terbanyak, yaitu calon yang terpilih nantinya adalah calon yang mendapatkan suara yang terbanyak. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus sistem nomor urut dalam Undang-undang Pemilu dan sekarang penetapan calon anggota legislatif terpilih kini ditentukan berdasarkan suara terbanyak, 41 Ani Widyani Soetjipto, Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen: Panduan Parlemen di Indonesia, Yayasan API, hal Dapat dilihat di : Maulinniam.wordpress.com. diakses pada tanggal 8 Maret 2009

15 demikian putusan MK atas uji materi UU No.10/2008 tentang Pemilu yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d dan e. Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e, menyatakan bahwa Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;

16 e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut. 43 Berdasarkan isi pasal dalam undang-undang tersebut di atas dijelaskan bahwa perolehan suara dan penentuan calon terpilih dalam pemilihan umum adalah berdasarkan dengan nomor urut, dimana setiap caleg harus bisa memperoleh suara sekurangkurangnya 30% dari BPP yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu, dengan adanya sistem nomor urut tersebut nantinya berapa pun jumlah suara yang didapat oleh caleg-caleg yang menduduki nomor urut besar akan diberikan kepada nomor urut yang lebih kecil yaitu nomor urut 1, 2, dan 3. Sehingga sangat kecil peluang para caleg yang berada di nomor urut besar untuk dapat menjadi anggota dewan, tetapi malah sebaliknya akan menjadi peluang yang sangat besar bagi para caleg yang berada di nomor urut jadi tersebut untuk dapat menjadi anggota dewan. Adapun pada pemilu tahun 2009, dengan adanya undang-undang tersebut di atas, peran kaum perempuan dalam pemilu tersebut menjadi sangat dominan dan signifikan, karena pada pemilu mendatang, kaum perempuan dapat menempati posisi yang strategis, baik itu dalam konteks undang-undang maupun dalam konteks pemilu itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari tahapan penyelenggaraan pemilu tahun 2009, dimana pada tahun ini untuk menempatkan perempuan menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh berbagai partai politik. Dalam hal ini, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk dapat memperhatikan keterlibatan kaum perempuan di bidang politik, dimana dengan adanya 43 Undang-undang Republik Indonesia No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

17 UU No.10 tahun 2008, yaitu pasal 8 ayat 1 butir (d) dan pasal 55 ayat (2), maka peluang kaum perempuan untuk dapat terlibat di politik semakin terbuka lebar. Dimana pemerintah juga telah menetapkan sistem zipper yang telah diatur dalam UU tersebut di atas guna mengupayakan kesetaraan dan menegakkan keadilan terhadap hak-hak kaum perempuan dalam bidang politik. Sehingga setiap partai politik untuk menjadi peserta pemilu harus mencantumkan perempuan sebagai calon legislatif adalah sebagai penyeimbangan karena pada pemilu yang akan datang laki-lakai dan perempuan di dalam kedudukan politik yaitu 2:1, dimana setiap partai politik harus mencantumkan paling sedikit 1 orang perempuan bakal calon diantara 3 orang bakal calon, itulah yang dinamakan dengan sistem zipper, sehingga dari ketiga calon legislatif tersebut salah satunya wajib menyertakan perempuan. Apabila partai politik tidak mengikutsertakan perempuan, maka KPU akan mengumumkan dan akan mempublikasikan ke media, kepada publik, kepada masyarakat bahwa partai ini tidak memiliki kesetaraan gender, tidak peduli terhadap perempuan dan tidak sensitif gender. Hal itu merupakan poin penting agar pengujian partai politik memiliki keadilan politik terhadap perempuan. Jadi inilah kesempatan perempuan agar dapat bergelut dalam partai politik untuk menjadi calon legislatif baik anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tetapi dalam kenyataannya, kesempatan yang diperoleh oleh caleg perempuan melalui UU tersebut diatas menjadi tidak berpengaruh, karena pada saat itu banyak partai politik yang ingin mengajukan dan menerapkan aturan sistem suara terbanyak di dalam kebijakan internal partai. Adapun beberapa partai politik yang mengajukan penetapan

18 calon terpilih berdasarkan suara terbanyak yaitu Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Golongan Karya (Golkar). Oleh sebab itulah, dengan adanya pengajuan dari beberapa partai politik tersebut diatas, dan setelah berbagai partai politik lainnya mengajukan pencalonan dan menetapkan nomor urut para caleg-calegnya untuk menjadi bakal calon legislatif, maka aturan untuk memakai sistem suara terbanyak ini kemudian di sahkan pemberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui keputusan Judisial Review atas UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Kemudian tepat pada hari selasa tanggal 23 Desember 2008, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Bapak Mohammad Mahfud MD mengeluarkan surat keputusan No.22 & 24/PUU-VI/2008 dan membacakan putusannya tersebut di gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Adapun isi dalam surat keputusan tersebut dinyatakan Menimbang bahwa dalil pemohon beralasan sepanjang mengenai pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No.10/2008 maka permohonan pemohon dikabulkan. 44 Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersamasama dengan Mahkamah Agung. 45 Menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan dan mengesahkan sistem pembagian/perolehan kursi Pemilu Legislatif di Indonesia berdasarkan suara terbanyak. Adapun ketentuan ini berlaku sejak hari Selasa, tanggal 23 Desember 2008, dimana sistem pemilihan umum calon legislatif untuk pemilu tahun 2009 telah mengalami revisi, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan surat keputusan (final dan 44 Dapat dilihat pada: diakses pada tanggal 26Juni Dapat dilihat pada: diakses pada tanggal 20 Juli 2009

19 mengikat) atas perkara No.22 & 24/PUU-VI/2008 yang isinya memutuskan bahwa memberlakukan atau mengesahkan sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak dalam pemilihan umum calon anggota legislatif tahun Para hakim konstitusi juga memutuskan bahwa caleg yang nantinya terpilih pada hasil Pemilu 2009 akan ditentukan melalui sistem suara terbanyak. Sebuah terobosan baru semenjak 1955 dalam demokrasi dan politik di Indonesia. Sebuah langkah maju dimana masyarakat bisa memilih calon yang ddidukungnya secara langsung tanpa ada suatu apapun yang menghalangi. Dengan adanya keputusan ini maka semua harus menyesuaikan termasuk KPU, Panwaslu ataupun bahkan internal partai. Keputusan ini menjadi kabar yang menggembirakan bagi caleg yang berada di nomor urut bawah dan sebaliknya akan menjadi berita yang tidak menyenangkan bagi para caleg yang telah menduduki nomor urut kecil (atas). Jadi, dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dapat memberikan kesempatan kepada para calon legislatif yang tidak berada di nomor urut satu untuk dapat menunjukkan dirinya bahwa walaupun tidak di urutan pertama tetapi dapat meraup suara terbanyak, hal tersebut menjadi suatu motivasi bagi para caleg untuk dapat berpacu dan bersaing untuk mendapatkan suara yang sebanyak-banyaknya. Dalam putusannya tersebut, pihak Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e tersebut nantinya hanya menguntungkan para calon legislatif yang berada di nomor urut jadi yakni 1, 2, dan 3, Sedangkan calon legislatif yang berada di nomor urut bawah meski mendapatkan suara terbanyak, tapi perolehan suaranya itu nantinya akan diberikan kepada nomor urut jadi (1, 2, dan 3) tersebut. Hal tersebut juga diperjelas oleh Hakim Konstitusi yaitu Bapak Arsyad Sanusi yang

20 menjelaskan bahwa jika pasal tersebut yang menentukan pemenang dalam pemilihan umum adalah yang memiliki suara di atas 30 persen dan menduduki nomor urut lebih kecil adalah bersifat inskontitusional, yaitu bertentangan dengan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi atas pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No.10/2008 tentang Pemilu tersebut. Sehingga penetapan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 nanti tidak lagi memakai sistem nomor urut dan digantikan dengan memakai sistem suara terbanyak. Komisi Pemilihan Umum juga menyatakan siap mengaplikasikan aturan mengenai penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Di antara pertimbangan MK atas keputusan tersebut adalah bahwa ketentuan pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU No. 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan secara substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UUD Dengan kata lain, MK ingin mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik yang sebenarnya dalam kehidupan demokrasi. Pada intinya pasal 214 menyatakan bahwa caleg DPR, DPD dan DPRD terpilih ditentukan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), dan jika calon yang memenuhi syarat melebihi jumlah kursi tersebut, maka kursi diberikan pada calon dengan nomor urut kecil. Adapun dalam keputusan tersebut bahwa caleg terpilih harus ditentukan melalui mekanisme perolehan suara terbanyak juga akan diperkirakan dapat membawa implikasi 46 Ibid

21 yang lebih luas. Diperkirakan dengan mekanisme suara terbanyak tersebut, persaingan antar caleg bisa bermuara pada pembelian suara, terutama oleh caleg yang memiliki dana besar untuk kampanye, dan diperkirakan juga keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 Undang-undang No.10 Tahun 2008 dan pada pemilu legislatif 2009 menggunakan sistem nomor urut maka calon perempuan yang akan terpilih nantinya sebagai anggota DPR jumlahnya tidak jauh berbeda dari hasil Pemilu 2004 yang lalu. 47 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penghapusan pola nomor urut dalam penentuan caleg terpilih dalam pemilu 2009 banyak menuai kritik. Dengan adanya keputusan MK No.22-24/PUU-VI/2008 yang mengatur tetang sistem pemilu yang akan digunakan dalam pemilu legislatif 2009 telah mengubah pelaksanaan pemilu di Indonesia. Sistem pemilihan yang digunakan dan pengaruhnya kepada representasi kaum perempuan sangatlah besar. 48 Sebenarnya penerapan aturan 'suara terbanyak' sebagai penentu caleg terpilih dianggap lebih adil dibandingkan pola 'nomor urut'. Namun akibatnya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang disyaratkan dalam undang-undang menjadi tidak berarti, sehingga keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penetapan calon anggota legislatif (caleg) dengan sistem suara terbanyak dianggap tidak adil bagi caleg perempuan, dan menguntungkan caleg-caleg yang memiliki uang. Dengan membatalkan pasal 214 huruf a sampai e, maka penetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan siapa yang meraih suara terbanyak, yang akibatnya sistem zipper, yakni sistem di mana partai menempatkan minimal satu perempuan di antara tiga calon 47 Dapat dilihat pada: terbanyak.html, diakses pada tanggal 26 Juni Ani Widyani Soetjipto, Loc.Cit

22 menjadi tidak berguna. Penerapan suara terbanyak tentunya tidak sejalan dengan upaya affirmative action yang hanya sesuai apabila digunakan aturan nomor urut oleh MK. Padahal, jika kita merujuk kepada Negara-negara yang memiliki keterwakilan perempuan yang baik, maka sistem zipper dan kuota terbukti efektif dan berhasil meningkatkan angka representasi kaum perempuan di parlemen. Kebijakan Affirmative Action adalah tindakan khusus yang bersifat sementara, dimana jika keadilan dan kesetaraan itu telah tercapai maka kebijakan ini bisa dicabut kembali. Lebih jauh Affirmative Action bukanlah kuota dalam artian memberikan jatah kursi secara gratis di parlemen. Langkah affirmative action atau disebut juga diskriminasi positif ini sudah merupakan langkah maju secara legal formal, namun di sisi lain juga menyisakan persoalan karena tidak memberikan jaminan penuh terhadap perubahan nasib perempuan terutama pasca keluarnya fatwa MK di atas. Selain gagalnya sistem zipper tersebut, aturan suara terbanyak juga akan mempersulit caleg perempuan untuk masuk ke dalam parlemen. Suara terbanyak mengharuskan para caleg perempuan untuk terjun dan lebih dekat dengan para konstituennya secara langsung. Aktivitas caleg untuk terjun kepada masyarakat pemilihnya tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dengan status dan kondisi ekonomi yang terbatas dimiliki oleh perempuan, maka tentunya akan sulit bagi perempuan untuk terjun langsung kepada konstituen. Disamping itu, pendidikan politik terhadap perempuan yang lebih terbatas dibanding laki-laki, tentunya menyulitkan upaya politik caleg perempuan untuk berkampanye di dalam pemilu. Pasca keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak, filosofi Pemilu 2009 mengalami perubahan. Bila

23 sebelumnya dengan penetapan nomor urut, dimana partai politik (parpol) diasumsikan sebagai pihak yang paling mengetahui kualitas calon anggota legislatif (caleg), maka dengan suara terbanyak ini diasumsikan pemilih sudah tahu kualitas caleg yang akan dipilih. Tetapi sebagian besar orang memang pesimis target untuk keterwakilan perempuan di parlemen itu akan tercapai apalagi pasca keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang suara terbanyak. Sistem kuota 30% yang ditentukan oleh undang-undang memang tidak melindungi perempuan secara kolektif tetapi hanya sekadar membuka peluang kepada perempuan untuk bersaing. Oleh sebab itu, dengan adanya keputusan MK ini, maka para caleg nomor urut 1 dalam DCT merupakan orang yang hanya bisa pasrah menerima keputusan tersebut, Dan ditambah lagi KPU juga langsung berjanji menjalankan keputusan MK ini. Sehingga tidak ada pilihan lain untuk para caleg nomor urut 1 untuk tetap harus berjuang samasama dengan caleg lain untuk mendapatkan suara terbanyak. Inilah wajah demokrasi Indonesia yang sesungguhnya, di pemilu tahun 2009, rakyat akan mendapatkan wakilnya berdasarkan pilihan mereka sendiri, apakah ingin memilih caleg perempuan atau lakilaki. Hal itu semua dikembalikan kepada masing-masing rakyat untuk siapa yang akan pantas menjadi wakilnya, karena memang pada dasarnya demokrasi merupakan sebuah sistem yang banyak diterapkan oleh berbagai negara di belahan dunia termasuk Indonesia yang berangkat dari asumsi bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang ditentukan berdasarkan suara mayoritas.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, upaya membangun demokrasi yang berkeadilan dan berkesetaraan bukan masalah sederhana. Esensi demokrasi adalah membangun sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi di Indonesia merupakan salah satu dari nilai yang terdapat dalam Pancasila sebagai dasar negara yakni dalam sila ke empat bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN Oleh: Ignatius Mulyono 1 I. Latar Belakang Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi I. PEMOHON Habel Rumbiak, S.H., Sp.N, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam masyarakat politik. Masyarakat yang semakin waktu mengalami peningkatan kualitas tentu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif

Lebih terperinci

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 S T U D I K A S U S Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 F R A N C I S I A S S E S E D A TIDAK ADA RINTANGAN HUKUM FORMAL YANG MENGHALANGI PEREMPUAN untuk ambil bagian dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XI/2013 Parlementary Threshold, Presidential Threshold, Hak dan Kewenangan Partai Politik, serta Keberadaan Lembaga Fraksi di DPR I. PEMOHON Saurip Kadi II. III.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi kesinambungan dibandingkan dengan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN.

RINGKASAN PUTUSAN. RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008 atas Pengujian Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pemilu merupakan salah satu arena ekspresi demokrasi yang dapat berfungsi sebagai medium untuk meraih kekuasaan politik. Karenanya, berbagai partai politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Founding fathers bangsa Indonesia telah memberikan ketegasan di dalam perumusan dasar pembentukan negara dimana Indonesia harus dibangun dan dikelola salah satunya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan pro dan kontra padahal banyak kemampuan kaum perempuan yang tidak dimiliki oleh laki - laki.

Lebih terperinci

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan Tujuan Indonesia Merdeka 1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia 2. Memajukan

Lebih terperinci

Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia

Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia S T U D I K A S U S INDONESIA - HAMBATAN Hambatan terhadap Partisipasi Politik KHOFIFAH INDAR PARAWANSA SEJARAH TENTANG REPRESENTASI PEREMPUAN DI PARLEMEN INDONESIA merupakan sebuah proses panjang, tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu (Budiardjo, 2009:461). Pemilihan umum dilakukan sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 Ambang Batas Pencalonan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Presidential Threshold) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc dan Ir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara

Lebih terperinci

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1 Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)

Lebih terperinci

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1)

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1) Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Caleg Terpilih (1) Oleh MIFTAKHUL HUDA* Lebih mudah cara menghitung perolehan kursi bagi partai politik (parpol) peserta pemilu 2014 dan penetapan calon

Lebih terperinci

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin Jakarta, 14 Desember 2010 Mengapa Keterwakilan Perempuan di bidang politik harus ditingkatkan? 1. Perempuan perlu ikut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dalam hal ini diwakili

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya dapat menghargai hak asasi setiap manusia secara adil dan merata tanpa memarginalkan kelompok

Lebih terperinci

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan RZF / Kompas Images Selasa, 6 Januari 2009 03:00 WIB J KRISTIADI Pemilu 2009 sejak semula dirancang untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Pertama, menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang sering kali diperdebatkan. Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh perempuan dalam partai

Lebih terperinci

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi

Lebih terperinci

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA NO NO. PUTUSAN TANGGAL ISI PUTUSAN 1 011-017/PUU-I/2003 LARANGAN MENJADI ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI, DAN DPRD KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya I. PEMOHON 1. Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo, selaku Ketua Umum Partai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua/Papua Barat Yang Dipilih Oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua Dan Ditetapkan Melalui Mekanisme

Lebih terperinci

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei Sejak reformasi dan era pemilihan langsung di Indonesia, aturan tentang pemilu telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Saat ini, empat UU Pemilu yang berlaku di Indonesia kembali dirasa perlu untuk

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9 RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51,52,59/PUU-VI/2009 tanggal 18 Februari 2009 atas Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dengan hormat dilaporkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden I. PEMOHON Partai Islam Damai Aman (Partai IDAMAN) Ramdansyah diwakili

Lebih terperinci

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 LEMBAGA NEGARA. POLITIK. Pemilu. DPR / DPRD. Warga Negara. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD I. PEMOHON Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN A. CALEG PEREMPUAN DI KELURAHAN TEWAH MENGALAMI REKRUTMEN POLITIK MENDADAK Perempuan dan Politik di Tewah Pada Pemilu

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan seluruh rakyatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Seluruh rakyat berperan

BAB I PENDAHULUAN. dengan seluruh rakyatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Seluruh rakyat berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disuatu negara menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan seluruh rakyatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Seluruh rakyat berperan

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110,111,112,113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Lebih terperinci

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini yang fokus terhadap Partai Golkar sebagai objek penelitian, menunjukkan bahwa pola rekrutmen perempuan di internal partai Golkar tidak jauh berbeda dengan partai

Lebih terperinci

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 131/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Ketidakpastian hukum norma-norma UU Pemilu Legislatif I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira;

Lebih terperinci

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016 URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016 Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pemilu (RUU Kitab

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN PDIP PPP PD

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN PDIP PPP PD DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN POIN NO.DIM RUU FRAKSI USULAN PERUBAHAN SISTEM PEMILU 59 (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 89/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan Badan Kelengkapan Dewan dan Keterwakilan Perempuan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 89/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan Badan Kelengkapan Dewan dan Keterwakilan Perempuan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 89/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan Badan Kelengkapan Dewan dan Keterwakilan Perempuan I. PEMOHON 1. KoalisPerempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI),

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017 Presidential Threshold 20% I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Yuda Kusumaningsih (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 89/PUU-XIV/2016 Bilangan Pembagi Pemilihan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 89/PUU-XIV/2016 Bilangan Pembagi Pemilihan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 89/PUU-XIV/2016 Bilangan Pembagi Pemilihan I. PEMOHON 1. Syamsul Bachri Marasabessy 2. Yoyo Effendi II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dalam hal ini

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro 1 ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Oleh: Husendro Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Putusan Mahkamah Konstitusi No 22-24/PUU-VI/2008 Terhadap Pemberian Kuota 30% Keeterwakilan Perempuan di Partai Politik dan Parlemen Putusan

Lebih terperinci

Kronologi perubahan sistem suara terbanyak

Kronologi perubahan sistem suara terbanyak Sistem Suara Terbanyak dan Pengaruhnya Terhadap Keterpilihan Perempuan Oleh: Nurul Arifin Jakarta, 18 Maret 2010 Kronologi perubahan sistem suara terbanyak Awalnya pemilu legislatif tahun 2009 menggunakan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. A. Pengaturan Mengenai Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia

BAB II PEMBAHASAN. A. Pengaturan Mengenai Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia BAB II PEMBAHASAN A. Pengaturan Mengenai Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 130/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 130/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA F PUTUSAN Nomor 130/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 7/PUUXIII/2015 Penentuan Bilangan Pembagi Pemilih Jika Dilakukan Pembentukan Daerah Kabupaten/Kota Setelah Pemilihan Umum I. PEMOHON Pemohon I : Partai Hati

Lebih terperinci

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (3)

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (3) Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Caleg Terpilih (3) Oleh MIFTAKHUL HUDA* Sebelumnya telah dikemukakan Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Caleg Terpilih (1) untuk Pemilu

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Veri Junaidi, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 18 Agustus 2014.

KUASA HUKUM Veri Junaidi, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 18 Agustus 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014 Keterwakilan Perempuan Dalam Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya I. PEMOHON 1. Khofifah Indar Parawansa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 48 partai politik peserta Pemilu Sistem multipartai ini

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 48 partai politik peserta Pemilu Sistem multipartai ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang telah mengalami beberapa masa kepemimpinan yang memiliki perbedaan karakteristik perlakuan hak politik setiap warga negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Solidaritas Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Grace Natalie Louisa dan Raja Juli Antoni

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negarawan merupakan karakter yang sangat penting bagi kepemimpinan nasional Indonesia. Kepemimpinan negarawan diharapkan dapat dikembangkan pada pemimpin pemuda Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap I. PEMOHON Julkifli, SH. Kuasa Hukum Ahmad Irawan, SH., Dading Kalbuadi, SH., M.Kn.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka I. PEMOHON Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB), dalam hal ini diwakili oleh Drs. H. Muhaimin Iskandar,

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji:

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji: Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-VI/2008 tanggal 30 Desember 2009 atas Undang-undang 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 Disampaikan pada acara Round Table Discussion (RTD) Lemhannas, Jakarta, Rabu 12 Oktober

Lebih terperinci

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Gender menjadi aspek dominan dalam politik, dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalamnya. Hubungan gender dengan politik

Lebih terperinci

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU 1. Sistem Pemilu Rumusan naskah RUU: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XII/2014 Pengisian Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XII/2014 Pengisian Pimpinan DPRD RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XII/2014 Pengisian Pimpinan DPRD I. PEMOHON 1. Jimmy Willbaldus Sianto, 2. Ir.Yucundianus Lepa.M.Si, 3. Jefri Unbanunaek Kuasa Hukum Muhammad Syukur Mandar, SH.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014 I. PEMOHON 1. dr. Naomi Patioran, Sp. M (selanjutnya sebagai Pemohon I);

Lebih terperinci

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan SEMINAR KOALISI PEREMPUAN INDONESIA (KPI) Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan 20 Januari 2016 Hotel Ambhara 1 INDONESIA SAAT INI Jumlah Penduduk Indonesia per 201 mencapai 253,60 juta jiwa, dimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 124/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Hilangnya hak menjadi caleg DPRD akibat berlakunya UU baru I. PARA PEMOHON 1. H. Moh. Robert Usman, S.E.;

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017 Presidential Threshold 20% I. PEMOHON 1. Mas Soeroso, SE. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Wahyu Naga Pratala, SE. (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XVI/2018 Masa Jabatan Pimpinan MPR dan Kewajiban Badan Anggaran DPR Untuk Mengonsultasikan dan Melaporkan Hasil Pembahasan Rancangan UU APBN Kepada Pimpinan DPR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan menduduki lembaga perwakilan rakyat, serta salah

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK

PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK Disampaikan oleh : Ir. Apri Hananto Sukandar, M.Div Nomor Anggota : A- 419 Yang terhormat Pimpinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu ciri negara demokrasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) yang terjadwal dan berkala. Amandemen UUD 1945 yakni Pasal 1 ayat (2), menyatakan

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUUXII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Moch Syaiful, S.H. KUASA HUKUM Muhammad

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Salah satu ciri dari negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum. Sebagaimana diungkapkan oleh Rudy (2007 : 87)

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 008/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl. 12 Mei 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 008/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl. 12 Mei 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 008/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl. 12 Mei 2006 I. PEMOHON DJOKO EDHI SUTJIPTO ABDURRAHMAN. II. KUASA HUKUM DR.H.TEGUH SAMUDRA, S.H.,MH. Dkk. III. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG A.

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. diharapkan untuk meningkatkan kualitas politik dan kehidupan demokrasi bangsa Indonesia.

BAB IV KESIMPULAN. diharapkan untuk meningkatkan kualitas politik dan kehidupan demokrasi bangsa Indonesia. BAB IV KESIMPULAN Pelaksanaan pemilu 2009 yang berpedoman pada UU No. 10 Tahun 2008 membuat perubahan aturan main dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Melalui UU tersebut diharapkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada I. PEMOHON 1. Imran, SH. (Pemohon I); 2. H. Muklisin, S.Pd. (Pemohon II); Secara bersama-sama disebut

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk. undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan

BAB V PENUTUP. dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk. undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan 119 BAB V PENUTUP A. Simpulan Calon legislatif merupakan lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUUXII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Moch Syaiful, S.H. KUASA HUKUM Muhammad Sholeh,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 89/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 89/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 89/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD I. PARA PEMOHON 1. H. Subhan Saputera; 2. Muhammad Fansyuri; 3. Drs. Tajuddin

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XIV/2016 Dualisme Penentuan Unsur Pimpinan DPR Provinsi Papua dan Papua Barat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XIV/2016 Dualisme Penentuan Unsur Pimpinan DPR Provinsi Papua dan Papua Barat RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XIV/2016 Dualisme Penentuan Unsur Pimpinan DPR Provinsi Papua dan Papua Barat I. PEMOHON 1. Apolos Paulus Sroyer, (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Paulus

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 105/PUU-XIII/2015 Persyaratan Pendaftaran Calon Kepala Daerah dan Penyelesaian Perselisihan Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah I. PEMOHON Doni Istyanto Hari Mahdi

Lebih terperinci