BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Nias Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Nias yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Nias Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Nias yang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Nias Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Nias yang terdiri dari delapan kecamatan yaitu Kecamatan Lahomi, Kecamatan Sirombu, Kecamatan Mandrehe Barat, Kecamatan Moro o, Kecamatan Ulu Moro o, Kecamatan Lolofitu Moi, Kecamatan Mandrehe, dan Kecamatan Mandrehe Utara. sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Nias Barat Di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data dari Nias Barat Dalam Angka 2011 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Barat dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Nias Barat dijabarkan secara singkat tentang keadaan Kabupaten Nias Barat secara keseluruhan yaitu sebagai berikut : Kabupaten Nias Barat adalah salah satu daerah kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang berada dalam satu pulau dengan Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Selatan dan Kota Gunungsitoli yang disebut sebagapi Pulau Nias. Kabupaten Nias Barat berada di sebelah barat Pulau Nias yang berjarak ± 60 km (enam puluh kilometer) dari Kota Gunungsitoli. Kabupaten Nias Barat berbatasan dengan : a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tugala Oyo Kabupaten Nias Utara.

2 b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Lolowau Kabupaten Nias Selatan. c. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Botomuzoi, Kecamatan Ma u, Kecamatan Hiliserangkai, dan Kecamatan Gido Kabupaten Nias. d. Sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Keadaan topografi wlayah Kabupaten Nias Barat yakni berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan dengan ketinggian dari permukaan laut bervariasi antara m. Selain itu terdiri dari dataran rendah sampai tanah bergelombang mencapai 48 % (empat puluh delapan persen), 35 % (tiga puluh lima persen) dengan tanah bergelombang sampai berbukit-bukit, 16 % (enam belas persen) dari keseluruhan luas daratan adalah bukit dan pegunungan. Keadaan kondisi topografi yang demikian maka bentuk jalan di Kabupaten Nias Barat yang berbelok-belok sehingga banyak kecamatan di Kabupaten Nias Barat umumnya terletak di daerah perbukitan. Dari segi pemerintahan, Kabupaten Nias Barat terdiri dari 8 (delapan) kecamatan dengan 105 desa. Seluruh desa-desa di Kabupaten Nias Barat tergolong dalam klasifikasi Desa Swadaya, dikatakan desa swadaya adalah apabila tingkat kemajuan indikator tersebut di bawah tingkat kemajuan kota dan nasional. Sebagai suatu pemerintahan daerah yang baru, Kabupaten Nias Barat dituntut untuk mampu menata kabupatennya ke arah pembangunan yang berkesinambungan. Sebagai daerah otonom baru, Kabupaten Nias Barat harus mampu melaksanakan

3 otonominya dengan baik. Terdapat beberapa hal yang menunjukkan keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerahnya yakni : 5 1. Kemampuan daerah dalam menyelenggarakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. 2. Kemampuan daerah menyelenggarakan efisiensi pelaksanaan pemerintahan termasuk dalam hal ini penerimaan dan pengeluaran sumber-sumber pembiayaan daerah. 3. Kemampuan daerah dalam mengatasi masalah pemenuhan kesejahteraan rakyat daerah. 4. Kemampuan daerah dalam memperkuat dan kesatuan nasional. Oleh karena itu guna mencapai keberhasilan dalam menjalankan otonominya, maka pemerintah daerah harus mampu memenuhi 4 (empat) point di atas. Penyelenggaraan pemerintah di daerah tidak terlepas dari persoalan keuangan. Suatu pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik apabila faktor keuangan tidak dapat dipenuhi. Dalam penyelenggaran pemerintahan daerah, faktor keuangan daerah sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sehingga di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membagi urusan pemerintah daerah menjadi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib merupakan hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan dasar sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintah yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, 5 Faisal Akbar Nasution, Pemerintahan Daerah dan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah, (Jakarta : Sofmedia, 2009), hal. 12.

4 kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan 6. Adapun yang menjadi urusan wajib daerah yakni : 7 1. Pendidikan. 2. Kesehatan. 3. Lingkungan hidup. 4. Pekerjaan umum. 5. Penataan ruang. 6. Perencanaan pembangunan. 7. Perumahan. 8. Kepemudaan dan olah raga. 9. Penanaman modal. 10. Koperasi dan usaha kecil dan menengah. 11. Kependudukan dan catatan sipil. 12. Ketenagakerjaan. 13. Ketahanan pangan. 14. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. 15. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera. 16. Perhubungan. 17. Komunikasi dan informatika. 18. Pertahanan. 19. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri. 20. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administasi umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian. 21. Pemberdayaan masyarakat dan desa. 22. Sosial. 23. Kebudayaan. 24. Statistik. 25. Kearsipan. 26. Perpustakan. Sedangkan yang menjadi urusan pilihan daerah adalah : 1. Kelautan dan perikanan. 2. Pertanian. 3. Kehutanan. 4. Energi dan sumber daya mineral. 5. Pariwisata. 6 Josef Riwu Kaho, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Yogyakarta : Polgov Fisipol UGM, 2012), hal Ibid.

5 6. Industri. 7. Perdagangan. 8. Ketransmigrasian. Keberadaan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam memainkan atau menjalankan urusan-urusannya baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan-urusannya tersebut apabila didukung oleh kemampuan pembiayaan yang dijabarkan dalam anggaran. 8 Pemerintah daerah tidak hanya mengandalkan pemberian dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), namun pemerintah daerah juga harus mampu menggali potensi-potensi yang ada di daerahnya. Menurut Pasal 157 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, diatur mengenai sumber-sumber pendapatan daerah yakni : 1. Pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari : a. Hasil pajak daerah. b. Hasil retribusi daerah. c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. 2. Dana perimbangan. 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, diatur juga sumber pendapatan daerah yang mana sumber-sumbernya sejalan dengan undang-undang Pemda. Tidak dapat dipungkiri bahwa PAD merupakan salah satu sumber keuangan penting daerah, atau dengan kata lain menempati posisi paling strategis bila dibandingkan dengan sumber keuangan daerah lainnya. Alasan PAD dikatakan mempunyai posisi yang 8 Rahardjo Adisasmita, Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), hal. 15.

6 strategis sebab sumber keuangan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah inilah yang dapat membuat daerah mempunyai kebebasan untuk memaksimalkan menggali potensi daerahnya masing-masing. 9 Peran PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan harus ditingkatkan seoptimal mungkin dalam rangka mewujudkan semangat kemandirian lokal. Mandiri diartikan sebagai semangat dan tekad yang kuat untuk membangun daerahnya sendiri dengan tidak semata-mata menggantungkan pada fasilitas atau faktor yang berasal dari luar. Pengaruh dari faktor keuangan dapat mencerminkan kualitas keberadaan dari suatu pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraannya 10. Apabila keberadaan keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah dalam menjalankan keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemerintah dalam melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan bertambah stabil. 11 Sebaliknya, suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi berbagai problema pelik dalam mempelancar pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi keuangan yang baik pula. Mengingat eksistensi keuangan demikian vital bagi pemerintah daerah, maka segala daya upaya akan dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan dan 9 Faisal Akbar Nasution, op.cit, hal Adrian Sutendi, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal Ibid

7 memanfaatkan segenap sumber keuangan yang ada. Hasil-hasil yang diperoleh selanjutnya akan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Berbagai cara dilakukan pemerintah daerah dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerahnya agar dapat melaksanakan otonomi. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tujuan dari undang-undang ini yakni memberikan kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah sehingga dapat mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Selain itu juga, di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang RI No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Derah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kesempatan atau peluang kepada Pemerintah Daerah guna meningkatkan penerimaan daerahnya, karena sudah terdapat payung pelaksananya. 12 Namun, sekarang yang menjadi suatu persoalan adalah mengenai kemampuan daerah otonom untuk mengali kemampuan potensi di daerahnya tanpa bergantung sepenuhnya terhadap keuangan yang bersumber dari Pemerintah Pusat. Kemampuan 12 Ghozali Maskie dkk, Peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Langsung Untuk Mendukung Kemandirian Daerah (Studi Kasus Pemerintah Kota Malang), diakses dari tanggal 27/01/2013 pukul 20:06.

8 setiap daerah untuk dapat mencukupi semua pengeluarannya dapat dilihat dari besarnya peranan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pengeluaran daerah. Semakin tinggi presentase PAD dibanding pengeluaran daerah ini berarti kemampuan daerah untuk mencukupi kebutuhannya semakin besar atau dapat dikatakan daerah yang bersangkutan semakin mandiri. Sebaliknya jika PAD yang digunakan untuk pembiayaan pengeluaran daerah presentasenya kecil dibandingkan total pengeluaran daerah, maka dapat dikatakan bahwa daerah yang bersangkutan kemampuan untuk membiayai pengeluarannya dari PAD nya masih kecil atau dengan kata lain daerah yang bersangkutan tergantung pada Pemerintah Pusat dalam membiayai pengeluaran daerahnya. Meskipun tingkat ketergantungan keuangan daerah otonom terhadap pemerintah pusat masih sangat tinggi, namun diharapkan kepada setiap daerah otonom untuk mengidentifikasi seluruh potensi sumber-sumber PAD yang dimiliki untuk ditingkatkan secara intensif dan ekstensif disamping peningkatan pengelolaan sumberdaya alam di daerah sebagai hasil pelaksanaan Undang-Undang No. 33 Tahun Meningkatnya penerimaan daerah tersebut akan meningkatkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Kemandirian suatu daerah tersebut dapat terlaksana apabila pemerintah daerah menggunakan kewenangannya. Kewenangan yang begitu luas tentu akan membawa

9 konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannya 13. Kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal dan agama. Pemerintah daerah yang terdiri dari gubernur/bupati/walikota beserta perangkat daerah merupakan pihak-pihak yang menjalankan kewenangan daerahnya. Di dalam menjalankan kewenangannya seorang kepala daerah memiliki tugas dan wewenang serta kewajiban, adapun yang menjadi tugas dan wewenang kepala daerah yakni: Memimpin penyelenggaran pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. 2. Mengajukan rancangan Perda. 3. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD. 4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. 5. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah. 6. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan. 7. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sedangkan yang menjadi kewajiban kepala daerah adalah sebagai berikut: Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat. 3. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. 13 Peranan Pendapatan Asli Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, diakses dari tanggal 29/01/2-13 pukul 22:42 Wib. 14 Pasal 25 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 15 Pasal 27 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.

10 4. Melaksanakan kehidupan demokrasi. 5. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. 6. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 7. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah. 8. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. 9. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah. 10. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah. 11. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD. Tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dapat implementasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan administrasi negara yakni : Penetapan (beschikking, administrative discretion). 2. Rencana (plan). 3. Norma jabaran (concrete normgeving). 4. Legislasi-semu (pseudo-wetgeving). Oleh karena itu, dengan adanya kegiatan-kegiatan administrasi negara tersebut diharapkan daerah dapat mendapatkan haknya yakni memungut pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerinthan Daerah. Penelitian tesis ini berfokus untuk menyelidiki dan/atau menganalisis bagaimana cara aparat dalam hal ini kepala daerah dan perangkat daerah di Kabupaten Nias Barat dalam menjalankan kewenangannya berdasarkan undangundang, sebab kajian dalam tesis ini adalah mengenai hukum administrasi negara, yang mana hukum administrasi negara mengatur tentang wewenang, tugas dan fungsi 16 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara cet. ke 10 ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994), hal. 87

11 serta tingkah laku para pejabat administrasi negara, 17 khususnya dalam menggali potensi pendapatan asli daerah terutama pajak daerah dan retribusi daerah di Kabupaten Nias Barat yang merupakan daerah otonom baru, maka hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas tentang Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Sumber Pendapatan Asli Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan sumber-sumber keuangan daerah secara umum dalam kerangka otonomi daerah? 2. Bagaimanakah kebijakan dan implementasi kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali potensi PAD? 3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali potensi PAD? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yakni : 1. Untuk mengetahui pengaturan sumber-sumber keuangan daerah secara umum dalam kerangka otonomi daerah. 2. Untuk mengetahui kebijakan dan implementasi kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali potensi PAD. 17 Ibid.

12 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali PAD. D. Manfaat Penelitian Selain tujuan yang diuraikan di atas, maka penulisan karya ilmiah ini juga bermanfaat antara lain untuk : 1. Manfaat Teoritis a. Menambah ilmu pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran mengenai pengaturan sumbersumber keuangan daerah dan mengenai kebijakan pemerintah daerah dalam pengaturan sumber PAD di Kabupaten Nias Barat yang merupakan daerah otonom baru serta implementasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam pengaturan sumber PAD di Kabupaten Nias Barat. b. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan : a. Memberi kontribusi pemikiran kepada masyarakat tentang kebijakan Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam pengaturan sumber PAD yang merupakan daerah otonom baru. b. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam hal pengaturan sumber PAD sehingga berdampak dalam perolehan PAD di Kabupaten Nias Barat yang merupakan daerah otonom baru.

13 E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan dari hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai masalah Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Sumber PAD Dalam Kerangka Otonomi Daerah (Studi pada Kabupaten Nias Barat) belum pernah dilakukan penelitian dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat saya pertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Namun sebagai bahan perbandingan, terdapat tesis yang berkaitan dengan PAD yang berjudul Perlindungan Hukum Bagi Pedagang Kaki Lima dan Kontribusinya Terhadap PAD di Kabupaten Deli Serdang atas nama Eli Esra S. Tarigan, mengangkat beberapa permasalahan yakni mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap pedagang kaki lima sebagai pembayar retribusi sesuai dengan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2000, apakah pemberian izin usaha tempat berjualan bagi pedagang kaki lima (PKL) memberi kontribusi terhadap PAD di Kabupaten Deli Serdang? serta upaya apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Deli Serdang untuk mengoptimalkan penerimaan retribusi pasar pedagang kaki lima?. F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Kajian pustaka merupakan aktivitas penelitian yang sangat berguna dalam menemukan teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan. Kajian pustaka diperoleh melalui buku teks, monograf, jurnal, disertasi

14 maupun hasil-hasil penelitian yang terdokumentasikan. Setelah masalah penelitian dirumuskan, langkah berikutnya yang dilakukan adalah mencari teori, konsep serta generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan landasan teoritis untuk penelitian yang dilakukan 18. Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar masalah yang diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan objektif. Kerangka teori disusun untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang pemecahan masalah yang telah disusun. 19 Kegiatan penelitian senantiasa berkaitan erat dengan teori. Dengan penelitian, pengkaji dapat menguji teori dan mengembangkannya sesuai dengan keluasan dan ruang lingkup yang dibahas. Teori akan mengarahkan kegiatan penelitian dalam upaya memperluas cakrawala pengetahuan secara teoritis. 20 Teori juga bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atas topik yang sedang dikaji 21 serta bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap masalah penelitian, berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. 22 Dengan demikian teori dapat digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam memahami masalah yang menjadi objek penelitian. 18 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010) hal Agus Salim, Bangunan Teori : Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), hal Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, op.cit, hal Ibid, hal. 146

15 Teori menempati tempat yang terpenting dalam penelitian, sebab teori memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara lebih baik. Hal-hal yang pada awalnya terlihat tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditujukan kaitannya satu sama lain secara bermakna, sehingga teori berfungsi memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dikaji. 23 Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori desentralisasi politik dan fiskal sebagai teori utama serta teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman sebagai teori pendukung. Teori-teori dimaksud untuk dijadikan sebagai pisau analisis sekaligus wacana dalam menganalisis dan menjelaskan masalah yang akan diteliti, dimana desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal mengkaji bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan khususnya dalam menggali potensi PAD di Kabupaten Nias Barat, sebab desentralisasi fiskal tidak akan bermanfaat apabila tidak diikuti dengan kemampuan finansial yang memadai dari suatu pemerintahan daerah, sedangkan teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman digunakan untuk mengkaji hambatan-hambatan yang terjadi dalam menjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Membahas mengenai desentralisasi maka akan berkaitan dengan susunan negara, hal ini disebabkan esensi pemerintahan di daerah berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya. Kewenangan pemerintah daerah berkaitan dengan pembagian kekuasaan dalam 23 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 253.

16 penyelenggaran pemerintahan sehingga terpola dalam sistem pemerintahan negara federal dan negara kesatuan. Pola sistem negara federal terpola dalam tiga struktur yakni pemerintah federal (pusat), pemerintah negara bagian (provinsi), dan pemerintah daerah otonom, sedangkan sistem negara kesatuan terpola dalam dua struktur tingkatan utama yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota). Negara kesatuan merupakan bentuk negara yang paling kukuh apabila dibandingkan dengan negara federasi atau konfederansi. Dalam negara kesatuan terdapat bentuk persatuan maupun kesatuan. Untuk hal-hal tertentu negara federasi berbeda dari negara kesatuan. Menurut Prof. Kranenbug terdapat perbedaan mencolok dari dua bentuk negara ini. Pertama, negara bagian dari suatu federasi mempunyai wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka konstitusi federal sedangkan dalam negara kesatuan organisasi bagian-bagian negara dalam garis-garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk undang-undang. 24 Kedua, dalam negara federal wewenang pembentuk undang-undang pusat yang mengatur halhal tertentu telah diperinci satu persatu dalam konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan wewenang pembentuk undang-undang yang lebih rendah 24 Muhammad Dekosaputra, Pengertian Desentralisasi Politik, diakses dari tanggal 15/02/2013, pukul 19:53 Wib.

17 tingkatannya atau setempat/lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. 25 Negara Republik Indonesia ialah negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Ide negara kesatuan termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar yang tersirat yakni Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia Pembagian tugas oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan distribusi kekuasaan. Distribusi kekuasaan dibagi menjadi dua kategori yakni : Distribusi vertikal adalah pembagian kekuasaan atau fungsi antara pemerintah pusat atau pemerintah nasional dengan konstituennya atau subsidiary level of goverment (pemerintah daerah atau negara bagian). 2. Distribusi horizontal adalah pembagian fungsi kekuasaan atau kekuasaan di antara cabang-cabang pemerintahan (the branches of goverment) seperti misalnya fungsi atau kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif (trias politica). Dalam distribusi inilah terbentuk dua kategori sistem pemerintahan yang tekanannya pada kekuasaan eksekutif yang selanjutnya disebut sistem pemerintahan presidensial dan yang tekanannya pada legislative dikenal pada sistem parlementer. Selain itu pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga secara tegas dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas 25 Pengertian Desentralisasi Fiskal, diakses dari tanggal 15/02/2013, pukul 20:06 Wib. 26 Pembukaan Undang-undang Dasar RI 1945, alinea ke-4 27 Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia, ( Yogyakarta : Matapena Institute, 2012), hal. 132.

18 pembantuan, selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dengan adanya pasal yang mengatur tentang pembagian tugas dari pusat ke daerah maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah guna pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar Otonomi berkaitan erat dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah melalui sistem desentralisasi. Desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi. Desentralisasi seringkali diinterprestasikan sebagai antitesa dari sentralisasi, antara dua kutub itu dalam perkembangannya tidak jarang diletakkan pada kutub yang saling berlawanan, seyogiyanya di dalam negara kesatuan di samping keliru untuk mempertentangkan keduanya juga antara keduanya tidak bisa ditiadakan sama sekali. Artinya kedua konsep, sistem, bahkan teori dimaksud saling melengkapi dan membutuhkan dalam kerangka yang ideal sebagai sendi negara demokratis. Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaannya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah bertujuan untuk penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksaanaan pembangunan. 28 Dengan demikian, daerah perlu diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, serta 28 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), hal. 57.

19 sekaligus memiliki pendapatan daerah seperti pajak-pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain pendapatan yang sah. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dsentralisasi melahirkan daerah otonom, baik daerah provinsi, kabupaten, dan kota, ciri terpenting bagi badan atau organ yang didesentralisasikan ialah mempunyai sumber-sumber keuangan sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya 29. Dalam masyarakat yang majemuk secara etnis, regional, agama, dan sejarah, desentralisasi diharapkan dapat menghilangkan kendala dalam pengambilan keputusan, penerimaan publik atas keputusan pemerintah, serta memfasilitasi tindakan dan kerjasama kolektif 30. Hal ini terjadi karena kepercayaan yang besar, tindakan kolektif, dan keputusan yang memiliki legitimasi akan diperoleh dalam lingkungan yang lebih homogen. Desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan keinginan pemerintah untuk merespon permintaan masyarakat lokal dengan mempromosikan kompetisi antarpemerintah daerah 31. Menurut Ormar Azfar terdapat enam faktor yang mempengaruhi kinerja desentralisasi yakni : Kerangka kerja hukum dan politik. 2. Kebijakan fiskal. 3. Transparansi dalam tindakan pemerintah. 4. Partisipasi warga dalam penyediaan jasa publik. 5. Masyarakat sipil dan struktur sosial. 6. Kapasitas pemerintah daerah. 29 Adrian Sutendi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2008), hal Ibid. 31 Ibid. 32 Ibid.

20 Oleh karena itu desentralisasi harus di dukung oleh instrumen hukum dan politik yang demokratis, kebijakan fiskal yang jelas dan tidak disortif, pemerintahan yang transparan, partisipasi warga, masyarakat sipil yang kuat dan idependen, serta kapasitas pemerintah yang memadai. Semakin lengkap faktor pendukung yang dimiliki oleh suatu daerah, maka semakin dapat kebijakan desentralisasi mencapai tujuan yang diharapkan. Sebaliknya apabila minim faktor pendukung desentralisasi yang dimiliki oleh suatu daerah maka semakin besar peluang kebijakan desentralisasi 33. Teori desentralisasi awalnya dipelopori oleh Van Der Pot yang ditulis dalam bukunya Hanboek van Nederlands Staatsrech, Van Der Pot membedakan desentralisasi atas desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah (gebeidcorporatie), berbentuk otonomi dan tugas pembantuan. 35 Desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan tertentu (doelcorporatie). 36 Irwan Soedjito membedakan desentralisasi dalam tiga kategori yakni desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan desentralisasi administratif atau Ibid. 34 Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah-Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi Dalam Penyelenggaraan Pemernitah Negara Hukum dan Kesatuan, ( Malang : Setara Press, 2012) hal Ibid. 36 Ibid.

21 dekonsentrasi. 37 Pengertian desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional sama dengan pengertian yang telah lazim diikuti (pendapat Van der Pot) di atas, sedangkan desentralisasi administratif atau dekonsentrasi (ombtelijk decentralisatie) mengandung arti bahwa pemerintah pusat melimpahkan sebagian dari kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ pemerintah sendiri di daerah yakni pejabat-pejabat pemerintah yang ada di daerah untuk dilaksanakan. Litvack dan Sedon, mengkategorikan desentralisasi secara teoritis menjadi empat tipe yang meliputi : Desentralisasi politik 2. Desentralisasi administratif yang memiliki tiga bentuk yaitu : a. Dekonsentrasi. b. Delegasi. c. Devolusi. 3. Desentralisasi fiskal. 4. Desentralisasi politik. Litvack dan Sedon mengemukakan desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal merupakan teori yang searah dengan penulisan tesis ini. Kebijakan pemerintah daerah dalam pengaturan sumber pendapatan asli daerah merupakan pelaksanaan dari tugas pemerintah daerah dalam mensejahterahkan masyarakatnya. Kebijakan dibuat bukan hanya berlandaskan demi kepentingan hukum semata, namun juga berlandaskan kepentingan politik. Pengertian desentralisasi politik oleh Amrah Muslimin adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang menimbulkan hak mengurus kepentingan 37 Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (Jakarta : Bina Aksara, 1981), hal Lukman Hakim, op.cit, hal.14.

22 rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu. 39 Perspektif desentralisasi politik mendefenisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan juga sebagai substansi utama desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan. 40 Pengertian desentralisasi politik oleh Rondineli merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bertujuan guna meningkatkan kekuasaan kepada penduduk dan perwakilan politik mereka dalam pembuatan kebijakan publik. 41 Robert A. Simanjuntak membagi desentralisasi menjadi atas tiga yakni desentralisasi politik, fiskal, dan administrasi, yang mana ketiga jenis desentralisasi ini saling berkaitan satu sama lain yang dilaksanakan secara bersama-sama agar tujuan dari otonomi daerah dapat tercapai misalnya peningkatan pelayanan publik dapat dilaksanakan Ni matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung : Nusa Media, 2012), hal Syarif Hidayat, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State society Relation, diakses dari tanggal 15/02/2013, pukul 22:12 Wib. 41 Ahmad Burhanudin Taufiz, Konsep Desentralisasi, diakses dari lontar.ui.ac.id, tanggal 20/02/2013 pukul 11:26 Wib. 42 Ibid.

23 Pengertian desentralisasi politik oleh Brian C. Smith merupakan penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan dalam bidang kebijaksanaan publik kepada lembaga perwakilan rakyat ditingkat lokal dengan undang-undang. 43 Pengertian desentralisasi politik oleh A.H. Hanson yakni wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengambil keputusan politik dan administrasi. 44 John R. Nellis menyatakan bahwa dengan adanya desentralisasi politik maka pemerintah daerah menjadi daerah otonom yang bebas karena dengan desentralisasi politik membuat pemerintah daerah menjadi terpisah dari pemerintah pusat yang tentunya keterpisahan ini diiringi oleh kemandirian yang baik dari segi finansial dan hukum dari pemerintah daerah itu sendiri. 45 Berbagai pendapat para ahli tentang desentralisasi politik maka prespektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis yaitu meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan integritas nasional demi terciptanya kepentingan nasional (pemerintah pusat) dan kepentingan pemerintah daerah yang pada akhirnya dihasilkannya suatu kebijakan demi kepentingan umum. Dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat maka terdapat beberapa tujuan dari desentralisasi politik yaitu dari sisi masyarakat belajar mengenali dan memahami 43 Mulia Darmawan, Kelebihan dan kekurangan Desentralisasi di Berbagai Negara, diakses dari muliadarmawan.blogspot.com/2012/03/kelebihan-dan kekurangan-desentralisasi.html. 44 Ibid. 45 Ibid.

24 berbagai persoalan politik yang mereka hadapi, menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon legislatif yang tidak memiliki kualifikasi kemampuan politik dan belajar mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, termasuk mengenai penerimaan dan belanja daerah. Sedangkan dari sisi kepentingan pemerintah daerah tujuan dari desentralisasi politik ini adalah untuk mewujudkan political equality sehingga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal guna mempraktikan bentuk-bentuk partisipasi politik misalnya menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan kepentingan dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Penyelenggaran pemerintahan daerah melalui berbagai jenis desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara demokrasi. Dengan artian lain bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewenang tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan guna mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Ini disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom, sehingga setiap pembicaraan tentang desentralisasi akan selalu disamakan dengan membicarakan otonomi. Dalam menjalankan kewenangannya untuk menggali potensi daerah, bukannya hanya ditinjau dari desentralisasi politik saja namun juga ditinjau dari segi desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk

25 mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. 46 Hubungan fiskal antara pemerintahan dapat tergambar sebagai berikut : Pendanaan bagi sebagian besar belanja selama masa transisi yang sulit. 2. Penjelasan bagaimana menilai kapasitas belanja dan penerimaan dalam pemberian hibah secara seimbang. 3. Peletakan dasar-dasar bagi peningkatan PAD melalui perpajakan daerah, potensi-potensi yang bisa dipakai untuk meningkatkan pertanggungjawaban. 4. Sistem informasi untuk memonitor keuangan daerah. Gagasan dasar desentralisasi fiskal ialah penyerahan beban tugas pembangunan, penyediaan layanan publik dan sumber daya keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sehingga tugas-tugas itu akan lebih dekat dengan masyarakat. Bahl dan Linn berpendapat bahwa ada tiga argumentasi yang dapat dikemukakan mengenai desentralisasi fiskal yakni: Jika unsur-unsur belanja dan tingkat pajak ditentukan pada jenjang pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat ke masyarakat akan lebih puas dengan layanan yang diberikan pemerintah. 2. Pemerintah daerah yang lebih kuat akan menunjang pembangunan bangsa karena masyarakat lebih mudah mengidentifikasi diri dengan pemerintah daerah ketimbang pemerintah pusat. Apabila tanggungjawab mengenai perpajakan, kebijakan keuangan, dan layanan publik diserahkan kepada pemerintah daerah, maka pemerintah daerah akan saling bersaing untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat yang akan memperbaiki pembangunan bangsa. 3. Keseluruhan mobilisasi sumber daya akan bertambah baik karena pihak pemerintah daerah dapat lebih tanggap dan mudah menarik pajak dari sektor- 46 Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), hal Adrian Sutendi, op.cit, hal Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal - Politik dan Perubahan Kebijakan , (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 6.

26 sektor ekonomi yang tumbuh cepat jika dibanding pemerintah pusat. Dalam memobilisasi sumber daya, pemerintah pusat biasanya terkendala oleh kondisi geografis dan rentang kendali. Oleh karena itu, apabila pemerintah daerah diberi tanggungjawab yang lebih besar maka mobilisasi sumber daya akan dapat dilakukan dengan baik. Desentralisasi fiskal menurut Ebel adalah suatu desentralisasi yang terkait dengan masalah pembagian peran dan tanggungjawab antarjenjang pemerintah, transfer antarjenjang pemerintahan, penguatan sistem pendapatan daerah atau perumusan sistem pelayanan publik di daerah, swastanisasi perusahaan milik pemerintah (terkadang menyangkut tanggungjawab pemerintah daerah), penyediaan jaring pengaman sosial. 49 Hubungan keuangan pada intinya berkaitan dengan penyerahan kewenangan dibidang keuangan dari pemerintah pusat ke daerah. Oleh karena itu, dikenallah hubungan keuangan ini sebagai desentralisasi fiskal. Untuk pemerintah daerah, desentralisasi fiskal ini bertujuan untuk menetapkan jumlah uang yang akan digunakan pemerintah daerah guna memberikan pelayanan kepada masyarakat. Apabila ada kepastian mengenai jumlah alokasi dana yang akan ditransfer, yang selanjutnya ditentukan bagaimana mekanisme pembagian dan penyalurannya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah supaya pelayanan publik dapat terlaksana secara efesien dan efektif. Kepastian mengenai jumlah alokasi dan mekanisme penyaluran akan menjadi bahan pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah untuk merencanakan jenis dan tingkat pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat yang semuanya bertujuan 49 Ibid, hal. 11

27 agar desentralisasi fiskal ini memberikan jaminan kepastian bagi pemerintah daerah bahwa ada penyerahan kewenangan dan sumber pendapatan yang memadai untuk memberikan pelayanan publik dengan standar yang ditentukan. Keterkaitan otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal pada dasarnya adalah pengejawantahan dari prinsip money follows function yakni pendanaan mengikuti fungsi pemerintah. 50 Dengan penyerahan kewenangan kepada daerah maka daerah diberikan sumber-sumber pendanaan untuk melaksanakan kewenangan. Dalam menjalankan desentralisasi fiskal, alat utama yang digunakan adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) dan transfer ke daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah masih sangat terbatas, maka pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah. 51 Dari penjabaran di atas mengenai desentralisasi fiskal, maka yang menjadi tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu sebagai berikut : Meningkatkan efesiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan pemerintah daerah. 2. Diharapkan dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal dan memobilisasi pendapatan daerah maupun nasional. 3. Meningkatkan akuntabilitas, transparasi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah. 50 Nota Keuangan dan RAPBN 2011, diakses dari tanggal 15/02/2013, pukul 22:56 Wib. 51 Nota Keuangan dan RAPBN 2011, diakses dari tanggal 15/02/2013, pukul 22:56 Wib. 52 Adrian Sutendi, op.cit, hal. 48.

28 4. Memperbaiki keseimbangan fiskal antardaerah dan memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas di setiap daerah. 5. Menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Oleh karena itu dengan adanya desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal, Pemerintah Kabupaten Nias Barat dituntut untuk dapat membuat kebijakan yang dapat membawa kemajuan terutama dari segi keuangan melalui PAD, hal ini dikarenakan agar pembangunan Kabupaten Nias Barat yang baru terbentuk lebih dari tiga tahun ini mampu terlaksana denga baik sesuai dengan visi dan misi Pemerintah Kabupaten Nias barat. Dalam menjalankan kebijakannya dalam menggali potensi PAD, Pemerintah Kabupaten Nias Barat mengalami berbagai hambatan baik hambatan dari dalam maupun dari luar, hal ini tentunya membuat semakin sulitnya terciptanya pembangunan yang berkesinambungan. Oleh karena itu dikaitkan antara hambatanhambatan yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Nias Barat dengan meminjam teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum itu ke dalam tiga komponen yakni: Struktur yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas jumlah serta ukuran pengadilan, juridiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. 2. Substansi yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu, termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. 53 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction-Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta : Tatanusa, 2001), hal. 9.

29 3. Budaya hukum yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuataan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum juga dirumuskan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, termasuk sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum, atau dengan kata lain budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Lawrence M. Friedman mengumpamakan sistem hukum sebagai suatu pabrik, jika substansi itu adalah produk yang dihasilkan, dan aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk sedangkan budaya hukum adalah manusia yang mengetahui kapan mematikan dan menghidupkan mesin dan mengetahui produksi barang yang dikehendaki. 54 Pemerintah daerah menghasilkan berbagai produk hukum dan menjalankan produk yang dibentuknya sendiri, kemudian masyarakat memberi tanggapan terhadap produk yang dibentuk oleh pemerintah daerah tersebut apakah menjalankan atau tidak menjalankan produk hukum tersebut, sebaliknya juga dengan pemerintah daerah, apakah menjalankan atau tidak menjalankan produk yang dibentuknya sendiri. 2. Kerangka Konsepsional Kerangka konsep atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian sebagai pegangan atas konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya kerangka 54 Ibid.

30 konsepsional dirumuskan sekaligus dengan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data. 55 Dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsep yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau bahan hukum tertier lainnya, seperti kamus hukum dan ensklopedia. Konsep yang dipergunakan dalam penelitian adalah konsep yang terkait langsung dengan variabel penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu di di dalam tesis ini dirumuskan konsep dengan mempergunakan model defenisi operasional. 1. Kebijakan adalah seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian 56 tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat. 57 Kebijakan (policy) ini tertuang dalam bentuk dokumen resmi misalnya di dalam GBHN, Repelita Nasional, Repelita Daerah dan lain-lain, bahkan dalam beberapa bentuk peraturan hukum yang tersirat dan terkandung pokok kebijaksanaan seperti di dalam Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Daerah (Perda) dan lainlain Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1985), hal Fotocopy : Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum SPS USU, (Medan : ), hal M.Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung : Mandar Maju, 2007), hal Ibid.

31 2. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan Peraturan daerah (Perda) adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama kepala daerah Daerah otonom (daerah) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 1 angka (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 60 Pasal 1 angka (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 61 Pasal 1 angka (17) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 62 Pasal 1 angka (9) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah 63 Pasal 1 angka (6) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

32 7. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 64 G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian dalam proposal tesis ini adalah penelitian deskriptif analisis yang bersifat kualitatif dengan penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian ini melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum 65 serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan penulisan proposal tesis ini. 2. Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder yakni data atau informasi yang diperoleh dari hasil penelahaan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan tesis ini. Bahan hukum atau data sekunder terbagi dalam beberapa tingkatan yakni : Bahan hukum primer antara lain : peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan daerah, peraturan bupati nias barat. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tesis ini antara lain Undang- 64 Pasal 1 angka (5) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 65 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 155.

33 Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Retribusi Daerah, Undang-Undang No. 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Barat di Provinsi Sumatera Utara, Undang- Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Perda, Perbup, dan surat edaran yang berkaitan dengan PAD. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku atau jurnal hukum yang berisi mengenai prinsip-prinsip dasar (asas hukum), pandangan para ahli hukum (doktrin), hasil penelitian hukum, kamus hukum dan ensklopedia hukum serta wawancara yang mana terdapat kaitannya dengan tesis ini. 3. Bahan non hukum adalah bahan penelitian yang terdiri atas buku teks bukan hukum yang terkait dengan penelitian ini seperti buku politik, buku ekonomi, dan data keuangan. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library research) dan teknik wawancara (interview), wawancara dilakukan dengan pejabat Pemerintah Kabupaten Nias Barat yang memiliki keterlibatan langsung dengan materi penelitian yaitu Bupati Nias Barat, Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Nias Barat serta Kepala Bidang Pengembangan dan Pendapatan pada Dinas Pendapatan Kabupaten Nias Barat. Dalam penggunaan teknik kepustakaan ini dilakukan pengumpulan data

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN NIAS BARAT DI PROVINSI SUMATERA UTARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN NIAS BARAT DI PROVINSI SUMATERA UTARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN NIAS BARAT DI PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PADA KABUPATEN NIAS BARAT)

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PADA KABUPATEN NIAS BARAT) KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PADA KABUPATEN NIAS BARAT) Agnes Gulo Muhammad Abduh Pendastaren Tarigan Faisal Akbar Nasution

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD 27 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN GARUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN LUWU TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPADA PEMERINTAH, LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 8-2003 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 89, 2007 OTONOMI. PEMERINTAHAN. PEMERINTAHAN DAERAH. Perangkat Daerah. Organisasi.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 232

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.244, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Otonomi. Pemilihan. Kepala Daerah. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 9 TAHUN 2008 SERI : D NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPADA PEMERINTAH, LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BLITAR

PEMERINTAH KOTA BLITAR PEMERINTAH KOTA BLITAR PERATURAN DAERAH KOTA BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH KOTA BLITAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BLITAR, Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TAHUN 2008 NOMOR 12

LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TAHUN 2008 NOMOR 12 LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TAHUN 2008 NOMOR 12 PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KOTA BANJARMASIN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

Pembagian Urusan Pemerintah Dalam Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Pembagian Urusan Pemerintah Dalam Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Pembagian Urusan Dalam Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan A. Latar Belakang an daerah yang diselenggarakan menurut amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diserahkan kepadanya. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak sekedar

BAB I PENDAHULUAN. diserahkan kepadanya. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak sekedar BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan ruang adanya otonomi oleh masing-masing daerah untuk. adanya pemerintahan daerah yang menjalankan pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan ruang adanya otonomi oleh masing-masing daerah untuk. adanya pemerintahan daerah yang menjalankan pemerintahan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan ruang adanya otonomi oleh masing-masing daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang :

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE BUPATI MAJENE, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD

Lebih terperinci

URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang :

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPADA PEMERINTAH, LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Abstrak Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, mengatakan pemerintah

Lebih terperinci

Panduan diskusi kelompok

Panduan diskusi kelompok Panduan diskusi kelompok Mahasiswa duduk perkelompok (5 orang perkelompok) Mahasiswa mengambil dan membaca (DUA KASUS) yang akan di angkat sebagai bahan diskusi. Mahasiswa mendiskusikan dan menganalisis

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI 1 PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA SEBAGAI PENEGAK PERATURAN DAERAH Sejarah Pembentukan Satuan Polisi Pamong Praja

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA SEBAGAI PENEGAK PERATURAN DAERAH Sejarah Pembentukan Satuan Polisi Pamong Praja BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA SEBAGAI PENEGAK PERATURAN DAERAH 2.1. Sejarah Pembentukan Satuan Polisi Pamong Praja Salah satu perangkat pemerintahan daerah yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI BAGIAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008 No. 9, 2008-1 - LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR : 4 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR : 4 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR : 4 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR : 4 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAH YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ASAHAN Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Provinsi Daerah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 8 TAHUN : 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN LEBAK DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG TATA HUBUNGAN KERJA ANTAR PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan (2) PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN WAJIB DAN PILIHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN KEMANDIRIAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN KEMANDIRIAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN KEMANDIRIAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU Oleh: Ismanudin, M.Si. Abstrak. Kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah saat ini, dapat memberikan keleluasaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan wacana yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS, PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, a. bahwa

Lebih terperinci

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 ISSN 0216-8537 9 7 7 0 2 1 6 8 5 3 7 2 1 11 1 Hal. 1-102 Tabanan Maret 2014 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 PENYERAHAN WEWENANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPADA PEMERINTAH, LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN CIAMIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN CIAMIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN CIAMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEPALA DAERAH DALAM MELAKUKAN INOVASI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI DI DAERAH

KEWENANGAN KEPALA DAERAH DALAM MELAKUKAN INOVASI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI DI DAERAH Jurnal Psikologi September 2015, Vol. III, No. 1, hal 28-38 KEWENANGAN KEPALA DAERAH DALAM MELAKUKAN INOVASI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI DI DAERAH Khoirul Huda Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 01 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 2 TAHUN 2008

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 2 TAHUN 2008 Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bima Pemerintah Kabupaten Bima PEMERINTAH KABUPATEN BIMA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR : 2 TAHUN 2008 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang

Lebih terperinci

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1 PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1 Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2 URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PASCA UU NO. 23/2014 1. Urusan Pemerintahan Absolut Menurut ketentuan UU baru, yaitu UU No. 23 Tahun

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN TANAH LAUT DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pemerintah Daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran pemerintah daerah dalam bidang kepariwisataan tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Peran pemerintah daerah dalam bidang kepariwisataan tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran pemerintah daerah dalam bidang kepariwisataan tidak dapat dihindarkan. Seperti yang ditulis Kusmayadi (2000: 4) bahwa pariwisata timbul dari interaksi wisatawan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Konsep yang dianut adalah konsep negara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN KETAPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG, Menimbang : a. bahwa sehubungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPADA PEMERINTAH, LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA GUNUNGSITOLI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA GUNUNGSITOLI DI PROVINSI SUMATERA UTARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA GUNUNGSITOLI DI PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH SULAWESI BARAT NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT

PERATURAN DAERAH SULAWESI BARAT NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH SULAWESI BARAT NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN NIAS UTARA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN NIAS UTARA DI PROVINSI SUMATERA UTARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN NIAS UTARA DI PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci