BAB V KAJIAN KONSERVASI LAHAN UNTUK MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN PERESAPAN AIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V KAJIAN KONSERVASI LAHAN UNTUK MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN PERESAPAN AIR"

Transkripsi

1 58 BAB V KAJIAN KONSERVASI LAHAN UNTUK MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN PERESAPAN AIR 5.1 FUNGSI DAN PERAN WILAYAH STUDI TERHADAP KABUPATEN SUBANG Wilayah studi memiliki 2 nilai penting bagi Kabpaten Subang, yaitu nilai yang berkaitan dengan letak strategis dalam pengembangan wilayah serta nilai yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan Fungsi dan Peran Dalam Pembangunan Dalam penjelasan mengenai kondisi topografi dan kemiringan lahan, Kabupaten Subang memiliki karakteristik topografi yang curam di bagian selatan dan berangsur melandai ke arah utara. Sebagian besar wilayah Kabupaten Subang merupakan lahan dengan hamparan landai dengan kemiringan 0-2% mencapai 60% dari total luas wilayah Kabupaten Subang. Lahan yang relatif landai tersebut tersebar di sebagian wilayah tengah dan seluruh wilayah utara. Menurut Kodoatie (2003), tingkat kemiringan lahan 0-2% sangat mendukung kegiatan pengembangan kota terutama pembangunan infrastruktur, seperti permukiman, kawasan perdagangan dan kegiatan industri. Melihat kondisi tersebut, praktis kegiatan pembangunan infrastruktur dalam skala besar akan dialokasikan di wilayah tengah dan utara Kabupaten Subang. Meskipun Kabupaten Subang memiliki hamparan lahan landai yang cukup luas, yaitu 60% dari total luas wilayah, namun masih ditemukan sebuah dilema. Wilayah utara Kabupaten Subang dengan pusat pertumbuhan di Kecamatan Pamanukan merupakan kawasan yang bertumbuh secara relatif cepat. Pengaruh terbesar adalah letak strategis wilayah utara Kabupaten Subang yang berada pada jalur transportasi dan perdagangan nasional. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Kabupaten Subang terletak diantara Kegiatan Nasional (PKN) maupun Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). Kawasan PKN meliputi Jabodebek, Bandung dan Cirebon, sedangkan konsentrasi PKW meliputi Pelabuhanratu, Cikampek, Cianjur, Tasikmalaya, Kadipaten, dan Pangandaran (Revisi RTRW Kabupaten Subang, ).

2 59 Letak strategis tersebut telah membangkitkan wilayah utara Kabupaten Subang menjadi pusat kegiatan ekonomi yang besar. Kondisi dilematis muncul jika ditinjau dari segi penggunaan lahan. Wilayah utara Kabupaten Subang juga memiliki potensi sebagai pusat pengembangan kegiatan pertanian seiring peran Kabupaten Subang sebagai salah satu lumbung pad nasional. Luas areal sawah beririgasi teknis cukup besar, dimana 60,84% dari total luas sawah beririgasi teknis terdapat di wilayah utara. Kondisi tersebut menimbulkan hambatan dalam upaya pengembangan infrastruktur wilayah karena konversi lahan sawah irigasi teknis menjadi kawasan terbangun tidak diarahkan. Melihat kondisi tersebut, praktis pengembangan infrastruktur akan lebih dipusatkan di wilayah tengah (wilayah studi). Selain keterbatasan lahan di wilayah utara, hal lain yang mendorong pengembangan infrastruktur difokuskan di wilayah tengah adalah masih tersedianya lahan pertanian non-produktif yang dapat dikonversi menjadi kawasan terbangun serta dalam hal upaya untuk menangkap pengaruh pengembangan jaringan infrastruktur yaitu pembangunan jalan tol Cikampek Palimanan yang melintasi wilayah studi. Oleh karena itu, dari sudut pandang pengembangan wilayah (kawasan budidaya), wilayah studi memiliki peran sebagai fasilitator pembangunan, khususnya jaringan transportasi (perlintasan jalan tol Cikampek Palimanan) dan zona kegiatan industri. Kedua infrastruktur tersebut merupakan komponen yang dapat merangsang pertumbuhan wilayah sekitar secara cepat. Analisis fungsi dan peran wilayah studi dalam hal kepentingan pengembangan wilayah dapat di lihat pada Gambar 5.1.

3 60 Kendala Wilayah Utara: - Merupakan kawasan pertumbuhan cepat - Banyak terdapat sawah irigasi teknis, sehingga konversi lahan harus diperkecil Potensi Wiilayah Studi: - Tersedia lahan landai (kemiringan 0-2%) yang cukup luas - Luas sawah irigasi teknis lebih kecil dibanding wilayah utara (sebagian besar sawah tadah hujan), sehingga masih memungkinkan konversi lahan - Rencana jalan tol Cikampek-Palimanan merupakan peluang bagi pengembangan sektor ekonomi Kendala Wilayah Selatan: - Wilayah berbukit dengan kemiringan lebih dari 40%, sehingga sulit untuk dikembangkan - Sebagian besar ditetapkan sebagai kawasan lindung Skala. 1 : U Wilayah Studi Batas Cekungan Subang Sumber : Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.1 Analisis Fungsi dan Peran Wilayah Studi Terhadap Pengembangan Kabupaten Subang

4 Fungsi dan Peran Dalam Konteks Kelestarian Lingkungan Kajian peran wilayah studi dalam konteks kelestarian lingukngan difokuskan pada fungsi strategis wilayah studi dalam pengendalian tata air. Sebagaimana telah dijelaskan, Kabupaten Subang memiliki topografi yang semakin rendah atau landai ke arah utara. Kondisi ini praktis mengancam wilayah utara Kabupaten Subang sebagai wilayah yang berpotensi banjir sekaligus kritis air tanah apabila peresapan air hujan di daerah perbukitan tidak optimal. Hal tersebut ditunjukkan oleh penelitian Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Subang dimana wilayah utara Kabupaten Subang telah mengalami penyusutan muka air tanah dan menyebabkan beberapa kawasan seperti Kecamatan Pamanukan kritis akan ketersediaan air tanah. Selain itu, dampak yang cukup signifikan adalah bencana banjir yang terjadi pada awal tahun 2007 di hampir seluruh Kecamatan di wilayah utara Kabupaten Subang. Kecamatan tersebut adalah Pamanukan, Legonkulon, Pusakanegara, Compreng, Ciasem, Binong dan Blanakan. Menurut Kodoatie (2003), air tanah mengalir dari daerah yang lebih tinggi menuju daerah yang lebih rendah. Daerah yang lebih tinggi berfungsi sebagai daerah tangkapan air (recharge area) dan daerah yang lebih rendah merupakan daerah buangan (discharge area). Kedalaman muka air tanah pada daerah tangkapan biasanya sangat dalam hingga cenderung mendangkal di daerah buangan % 2-15% 0-2% Recharge Area Aliran air tanah Discharge Area Cekungan Subang Pengembangan Zona industri & jalan tol Batas Cekungan U Wilayah Studi Laut Jawa Run Off Sumber : Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.2 Ilustrasi Peran Ekologis Wilayah Studi

5 62 Berdasarkan ilustrasi pada gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa wilayah studi merupakan daerah tangkapan air hujan (recharge area), terutama wilayah perbukitan pada kemiringan lahan 15-40%. Topografi yang semakin landai ke arah utara berpotensi membawa limpasan permukaan (run off) ke arah utara. Apabila peresapan air hujan tidak terjadi secara optimal di daerah tangkapan air, akan berdampak pada langkanya air tanah dangkal di wilayah utara Kabupaten Subang. Oleh karena itu, penerapan konservasi lahan dalam konteks memperbaiki kemampuan lahan dalam meresapkan air hujan di wilayah studi penting untuk dilakukan. Optimalnya peresapan air hujan di wilayah studi akan berdampak positif baik bagi wilayah studi sendiri, maupun bagi wilayah Kabupaten Subang, khususnya daerah utara. Penerapan konservasi lahan dapat mencegah terjadinya bencana banjir serta kekeringan di wilayah Kabupaten Subang, seperti yang telah terjadi di beberapa kecamatan di wilayah utara. 5.2 PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN Perkembangan Penggunaan Lahan Berdasarkan informasi yang terdapat pada bahasan sebelumnya, penggunaan lahan wilayah studi telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan penggunaan lahan dari tahun 1997 ke 2003 disajikan pada tabel dan grafik berikut. Tabel 5.1 Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Studi Tahun Luas (Ha) Perubahan % No. Jenis Penggunaan Lahan (Ha) 1 Perkebunan ,91 2 Tegalan ,68 3 Sawah ,1 4 Hutan Kawasan Terbangun ,07 Total Sumber : Hasil Perhitungan, 2007 Secara umum, pola perubahan penggunaan lahan wilayah studi ditunjukkan oleh peningkatan kawasan terbangun melalui pengalih fungsian ruang terbuka hijau. Kawasan terbangun mengalami peningkatan sebesar 49,07% dari luas tahun 1997 diikuti oleh peningkatan kawasan perkebunan dan tegalan masing-masing sebesar 18,91% dan 34,68%. Guna lahan yang mengalami penyusutan adalah kawasan hutan dengan tingkat penyusutan sebsar 100% dan sawah sebesar 17,1%. Lebih jelas mengenai perubahan guna lahan digambarkan sebagai berikut.

6 63 Tahun 1997 Tahun 2003 Kawasan Terbangun Sawah Perkebunan Tegalan Hutan Skala. 1 : Sumber : TARKIM Jawa Barat, 2003 & Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.3 Perubahan Guna Lahan Hutan 1997 dan 2003

7 64 Tahun 1997 Tahun 2003 Kawasan Terbangun Sawah Perkebunan Tegalan Hutan Skala. 1 : Sumber : TARKIM Jawa Barat, 2003 & Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.4 Perubahan Guna Lahan Perkebunan dan Tegalan 1997 dan 2003

8 65 Tahun 1997 Tahun 2003 Kawasan Terbangun Sawah Perkebunan Tegalan Hutan Skala. 1 : Sumber : TARKIM Jawa Barat, 2003 & Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.5 Penambahan Luas Kawasan Terbangun 1997 dan 2003

9 66 Tabel 5.2 Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Studi Tahun Perubahan Luas Penggunaan Lahan (Ha) Kawasan No. Kecamatan Perkebunan Tegalan Sawah Hutan Terbangun 1 Pabuaran Purwadadi Cikaum Pagaden Cipunagara Cipeundeuy Kalijati Subang Cibogo Jumlah % Sumber : Hasil Perhitungan, 2007 (Ha) Perkebunan Tegalan Sawah Hutan Kawasan Terbangun Gambar 5.6 Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Studi Tahun 1997 dan 2003 Perubahan paling signifikan terjadi pada guna lahan hutan. Luas kawasan hutan pada tahun 1997 adalah 2.808,13 Ha atau sebesar 3,85% dari total luas wilayah studi. Pada tahun 2003, seluruh kawasan hutan telah dialih fungsikan. Sebagian besar kawasan hutan pada tahun 1997 tersebar di wilayah selatan sepanjang batas Cekungan Subang. Kawasan tersebut merupakan kawasan resapan air, yaitu kawasan dimana peresapan air hujan diarahkan secara optimal untuk melindungi kawasan bawahnya dari limpasan permukaan (run off) yang berlebihan dan bahaya erosi. Hilangnya kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi sawah, perkebunan dan tegalan berpotensi membahayakan kawasan bawahnya, mengingat kemiringan lahan di wilayah selatan mencapai 15-40% ke arah utara. Menurut Saifuddin (1985), kerapatan tanaman sebagaimana kawasan hutan dapat mengurangi limpasan permukaan. Air hujan yang jatuh tertahan oleh daun dan dapat meminimailsir limpasan permukaan, serta kondisi akar yang kokoh dan dalam pada kawasan hutan dapat mempercepat dan memperbesar peresapan air hujan. Sehingga, hilangnya kawasan hutan merupakan ancaman terhadap stabilitas lingkungan

10 67 dan tata air. Namun, berdasarkan kesesuaian lahan beberapa titik perubahan penggunaan lahan hutan menjadi perkebunan masih dinilai sesuai seperti di Kecamatan Cipeundeuy, Kalijati, Subang dan Cibogo. Peningkatan kawasan terbangun tertinggi terdapat di Kecamatan Subang dimana jumlah luas penggunaan pada tahun 2003 adalah dua kali lipat luasan pada tahun Hal yang mendorong perubahan ini adalah terkait peran Kecamatan Subang sebagai ibu kota Kabupaten Subang dengan fungsi sebagai pusat kegiatan perdagangan dan permukiman. Peningkatan luas perkebunan tertinggi terdapat di Kecamatan Pagaden dimana peningkatan luas mencapai 3 kali lipat jumlah luas pada tahun Beberapa kecamatan yang mengalami peningkatan luas kawasan perkebunan adalah Kecamatan Cikaum, Pagaden, Cipunegara, Kalijati dan Cibogo. Diantara kecamatan tersebut, peningkatan luas perkebunan kurang sesuai dengan kesesuaian lahan, seperti konversi menjadi perkebunan pada Kecamatan Cikaum, Pagaden dan Cipunegara yang sebenarnya lebih sesuai untuk kegiatan pertanian lahan basah (sawah tadah hujan) Jenis penggunaan lahan yang mengalami penyusutan luas cukup tinggi adalah sawah. Penyusutan terjadi hampir di setiap kecamatan kecuali Kecamatan Subang dan Pabuaran. Penyusutan luas sawah terbesar terjadi di Kecamatan Cikaum dimana sebanyak 82,73% total luas sawah pada tahun 1997 telah dialih fungsikan, sebagian besar menjadi perkebunan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan A. Gambaran Perkembangan Perekonomian Perekonomian merupakan salah satu unsur non spasial yang mempengaruhi secara langsung perubahan penggunaan lahan suatu wilayah (Cahyono, 1993). Berkembang atau tidaknya suatu sektor kegiatan ekonomi akan mempengaruhi perkembangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan tersebut. Dalam kajian ini, indikator dari perkembangan perekonomian Kabupaten Subang adalah pertumbuhan kontribusi sektoral PDRB.

11 68 Tabel 5.3 Kontribusi Sektoral (%) PDRB ADHK Kabupaten Subang Tahun Rata-rata No Lapangan Usaha Pertumbuhan 1 Pertanian Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Minyak dan Gas Bumi Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Listrik Air Bersih Bangunan / Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Perdagangan Besar dan Eceran Hotel Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Pengangkutan Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Bank Lembaga Keuangan Lainnya Sewa Bangunan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Pemerintahan Umum Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumahtangga Total Sumber : Hasil Analisis, 2007

12 69 Berdasarkan perkembangan kontribusi sektoral, secara umum sektor primer menunjukkan trend negatif dari tahun 1998 sampai tahun Hal tersebut dapat ditinjau dari tingkat pertumbuhan rata-rata sektor pertanian, yaitu sebesar -2,05% per tahun. Sub sektor pertanian yang mengalami pertumbuhan negatif adalah tanaman bahan makanan dan kehutanan yang masing-masing memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar -2,75% dan -12,05%. Trend negatif tersebut sesuai dengan perubahan penggunaan lahan dari tahun 1997 ke 2003, dimana kawasan hutan telah dikonversi secara total, serta areal sawah berkurang sebesar 17,1% dari luas tahun Sementara, kawasan perkebunan mengalami peningkatan luas yang cukup signifikan, yaitu sebesar 18,91%. Jika di tinjau kembali, meskipun sektor pertanian secara umum mengalami penurunan kontribusi, namun kontribusi sub sektor perkebunan tetap stabil dan mengalami pertumbuhan positif sebesar 0,76% per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa perkebunan merupakan sektor perekonomian yang cukup berkembang. Perubahan penggunaan lahan yang cukup ekstrim adalah peningkatan luas kawasan terbangun, dimana telah terjadi peningkatan sebesar 49,07% pada tahun 2003 dari luas tahun Hal tersebut didorong oleh berkembangnya sektor sekunder dalam perekonomian Kabupaten Subang. Sektor sekunder yang mendorong perkembangan wilayah menunjukkan trend kontribusi yang positif seperti industri pengolahan dengan rata-rata pertumbuhan 0,21%, Perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,39%, listrik gas dan air bersih sebesar 7,21% serta pengangkutan dan komunikasi sebesar 4,34%. Industri pengolahan meskipun belum memiliki kontribusi yang signifikan, namun menunjukkan trend yang positif. Sektor industri, sebagaimana pendapat Kivell (1993) merupakan sektor yang mampu mendorong perkembangan penggunaan lahan di kawasan sekitarnya akibat pertumbuhan kegiatan pada sektor servis (non basis), sebagaimana pertumbuhan kontirbusi sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor sekunder lainnya. B. Faktor Pengaruh : Kebijakan Pengembangan Kabupaten Subang Berdasarkan Revisi RTRW Kabupaten Subang Tahun 2002, wilayah studi termasuk dalam kelompok wilayah pengembangan I (Kecamatan Subang dan sekitarnya) dan IV (Kecamatan Pabuaran dan sekitarnya).

13 70 Tabel 5.4 Arah Pengembangan Wilayah Studi Berdasarkan Kecamatan No. Kecamatan Orde Fungsi Wilayah 1 Subang I Pusat pertumbuhan utama, pusat pemerintahan, pusat pelayanan skala kabupaten dan perdagangan interregional 2 Pagaden II Pusat perhubungan darat (kereta api), pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian, industri dan kebutuhan pokok 3 Cibogo III Pusat produksi pertanian dan perkebunan, pusat kegiatan industri 4 Cipunagara III Pusat produksi pertanian dan perkebunan, pusat kegiatan industri 5 Kalijati II Pusat perhubungan antar kota, pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian, pusat kegiatan industri, dan pelayanan kebutuhan pokok 6 Cikaum III Pusat produksi pertanian 7 Pabuaran II Pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan WP IV, pusat produksi hasil pertanian, dan pusat kegiatan industri 8 Purwadadi III Pusat produksi hasil pertanian, dan pusat kegiatan industri 9 Cipeundeuy III Pusat kegiatan industri Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Subang Tahun 2002 Kecamatan Subang merupakan ibu kota Kabupaten Subang dimana peran dan fungsinya adalah sebagai Pusat pertumbuhan utama, pusat pemerintahan, pusat pelayanan skala kabupaten dan perdagangan interregional. Penetapan fungsi ini dapat menimbulkan pengaruh yang kuat bagi perkembangan wilayah sekitarnya, terutama pertumbuhan kegiatan pada sektor yang menunjang kegiatan perdagangan dan perindustrian. Hal tersebut tercermin dalam arah pengembangan wilayah yang berbatasan dengan Kecamatan Subang, yaitu Kecamatan Kalijati, Cibogo, Pagaden dan Cipunegara sebagai pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian serta pengembangan kegiatan industri. Gambaran sama diperoleh pada wilayah pengembangan Kecamatan Pabuaran. Sebagai pusat pelayanan wilayah IV, Kecamatan Pabuaran memiliki fungsi sebagai stimulator perkembangan wilayah sekitarnya, yaitu Kecamatan Cipeundeuy dan Purwadadi. Kegiatan yang dikembangkan adalah produksi pertanian serta pusat kegiatan industri. Sebagaimana temuan dalam analisis perkembangan penggunaan lahan, yaitu meningkatnya luas kawasan perkebunan, terdapat adanya kesesuaian dengan arah kebijakan dalam RTRW. Kecamatan Cibogo dan Cipunegara merupakan wilayah yang diarahkan sebagai pusat pertumbuhan kegiatan perkebunan dan sekaligus merupakan kecamatan yang mengalami peningkatan luas perkebunan secara signifikan. Selain arahan pengembangan wilayah pada setiap orde kota, terdapat beberapa kebijakan makro pengembangan wilayah berdasarkan RTRW Kabupaten Subang yang

14 71 mempengaruhi perubahan penggunaan wilayah studi, terutama berkurangnya sawah dan meningkatnya perkebunan, antara lain: Perubahan lahan pertanian ke non pertanian diperbolehkan dengan mengkonversi sawah tadah hujan yang dinilai kurang produktif. Kondisi ini sesuai dengan produktifitas padi di wilayah studi yang berada di bawah 58,89 Kwintal/Ha (rata-rata Kabupaten Subang). Pengembangan sawah irigasi teknis difokuskan di wilayah utara Kabupaten Subang guna mendukung ketahanan pangan nasional. Sementara fokus pengembangan pertanian Kabupaten Subang lebih kepada perkebunan, peternakan dan perikanan. Pengembangan kegiatan perkebunan di wilayah tengah, karena faktor kesesuaian lahan dan terdapatnya lahan pertanian tidak produktif yang akan lebih bernilai ekonomi tinggi apabila dikonversi menjadi perkebunan. 5.3 KEMAMPUAN PERESAPAN AIR Analsis kemampuan resap merupakan tahap untuk mengkaji persebaran spasial mengenai kemampuan resap air hujan di wilayah studi. Menurut Maryatin (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan peresapan air adalah curah hujan, topografi / kemiringan tanah, jenis tanah, jenis dan sifat batuan serta tutupan lahan (penggunaan lahan). Dalam kajian kemampuan peresapan air, faktor curah hujan dianggap konstan pada 1821 mm/tahun Faktor Fisik Alamiah A. Faktor Topografi / Kemiringan Lahan Menurut Tjwan, 1968 (dalam: Suripin, 2001), semakin curam kemiringan lahan maka semakin tinggi potensi dan kecepatan aliran permukaan. Lahan dengan tingkat kemiringan yang landai memungkinkan terjadinya peresapan air yang lebih baik karena kecepatan aliran permukaan relatif lambat. Kemiringan lahan wilayah studi berkisar antara 0 40% dengan tingkat kemiringan paling curam di wilayah selatan dan berangsur-angsur melandai ke arah utara. Klasifikasi kemiringan lahan wilayah studi berdasarkan klasifikasi Suripin (2001) adalah:

15 72 Tabel 5.5 Klasifikasi Kemiringan Lahan Wilayah Studi Kemiringan Klasifikasi Kemiringan Kelas Kemampuan Peresapan Air Luas (Ha) Luas (%) 0 2% Landai Tinggi % Landai hingga miring bergelombang Sedang % Miring hingga curam Rendah ,89 Jumlah Sumber : Suripin, 2001 dan Hasil Analisis, 2007 Berdasarkan penjelasan di atas, kemiringan 0-2% memiliki luasan terbesar yaitu mencapai 55,69%. Sebaran lahan landai terdapat di wilayah utara dan sebagian wilayah tengah, sedangkan wilayah selatan memiliki kemiringan yang relatif curam. Melihat kondisi kemiringan lahan wilayah studi yang curam di selatan dan semakin melandai ke utara, meskipun sebagian besar wilayah memungkinkan terjadinya peresapan yang tinggi namun kecepatan aliran permukaan yang tinggi dari wilayah selatan berpotensi menggenangi wilayah utara apabila tidak didukung oleh sifat fisik tanah dan tutupan lahan yang baik. B. Faktor Jenis Tanah dan Sifat Batuan Sifat tanah dan batuan berpengaruh terhadap kemampuan peresapan air. Menurut Suripin (2001), tanah yang mengandung fraksi pasir memiliki kemampuan peresapan yang tinggi, sedangkan tanah bertekstur halus dengan fraksi liat yang lebih banyak akan menyerap air dengan lambat. Jenis tanah pada wilayah studi adalah asosiasi latosol, asosiasi regosol dan alluvial / asosiasi alluvial. Karakteristik kemampuan tanah dalam meresapkan air digambarkan sebagai berikut. Tabel 5.6 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Menurut Jenis Tanah No. Jenis Tanah Keterangan Kemampuan Peresapan Air Luas (Ha) % 1 Aosiasi Latosol Kadar Liat lebih dari 60% Rendah Bertekstur kasar, kadar Tinggi 2 Aosiasi Regosol pasir lebih dari 60% Endapan baru dengan Aluvial/Asosiasi kandungan pasir kurang Sedang 3 Aluvial dari 60% Jumlah Sumber : Suripin, 2001 dan Hasil Analisis, 2007 Selain jenis tanah, batuan yang terdapat di bawah lapisan tanah juga menentukan tinggi atau rendahnya kemampuan peresapan air. Infiltrasi air ke dalam tanah disebabkan oleh gaya gravitasi dan tarikan hisapan (hidraulik). Sifat batuan di bawah lapisan tanah

16 73 menentukan kecepatan infiltrasi air. Menurut Suripin (2001), semakin tinggi tingkat permeabelitas maka semakin baik dalam mendukung peresapan air. Klasifikasi kemampuan peresapan air berdasarkan jenis dan sifat batuan di wilayah studi dijelaskan sebagai berikut. Tabel 5.7 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Menurut Sifat Batuan No. Batuan Penyusun Kemampuan Peresapan Air Luas (Ha) % 1 Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil Tinggi Batu pasir tufaan, konglomerat Sedang Napal: napal tufaan, diselingi batu pasir tufaan, konglomerat Rendah Batu lempung, diselingi batu pasir, lapisan napalan keras Sangat Rendah Jumlah Sumber : Distamben Subang, 2006, Suripin, 2001 dan Hasil Analisis, 2007 Berdasarkan gambaran di atas, diketahui bahwa jenis batuan pasir tufaan dan konglomerat mendominasi luas wilayah studi, dengan proporsi mencapai 74,4%. Jenis batuan ini memiliki kemampuan peresapan air yang sedang. Batuan alluvial yang memiliki kemampuan peresapan tinggi tersebar di wilayah utara dengan luas mencapai 22,07% dari total luas wilayah studi. Sedangkan jenis batuan lemung dan napal yang memiliki kemampuan peresapan relatif rendah terdapat di sebagian wilayah selatan. C. Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Fisik Tahap kajian ini adalah menentukan batas wilayah berdasarkan karakteristik fisik tanah / lahan yang mempengaruhi kemampuan peresapan air. Berdasarkan hasil klasifikasi, wilayah studi dikelompokkan menjadi 13 wilayah (A-M) yang merupakan hasil overlay peta kemiringan lahan, jenis tanah dan batuan penyusun. Klasifikasi wilayah studi digambarkan pada Gambar 5.7.

17 74 Peta Kemiringan Lahan Peta Jenis Tanah Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil Batu pasir tufaan, konglomerat Peta Batuan Penyusun Napal: napal tufaan, diselingi batu pasir tufaan, konglomerat Batu lempung, diselingi batu pasir, lapisan napalan keras Skala. 1 : Sumber : Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.7 Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Kondisi Fisik

18 75 Tabel 5.8 Tabulasi Karakteristik Fisik Wilayah Studi Wilayah Kemiringan Lahan Jenis Tanah Batuan Penyusun A 2-15% Alluvial / Asosiasi Alluvial Batu pasir tufaan, konglomerat B 0-2% Alluvial / Asosiasi Alluvial Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil C 0-2% Alluvial / Asosiasi Alluvial Batu pasir tufaan, konglomerat D 0-2% Asosasi Latosol Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil E 0-2% Asosasi Latosol Batu pasir tufaan, konglomerat F 0-2% Alluvial / Asosiasi Alluvial Batu pasir tufaan, konglomerat G 0-2% dan 2-15% Alluvial / Asosiasi Alluvial Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil H 0-2% dan 2-15% Alluvial / Asosiasi Alluvial Batu pasir tufaan, konglomerat I 2-15% Asosiasi Regosol Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil J 2-15% Asosiasi Regosol Napal: napal tufaan, diselingi batu pasir tufaan, konglomerat K 2-15% dan 15-40% Asosiasi Regosol Batu lempung, diselingi batu pasir, lapisan napalan keras L 2-15% Asosiasi Regosol Napal: napal tufaan, diselingi batu pasir tufaan, konglomerat M 2-15% dan 15-40% Asosiasi Regosol Batu pasir tufaan, konglomerat Sumber : Hasil Analisis, 2007 Tabel 5.9 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Air Berdasarkan Fisik di Wilayah Studi Wilayah Kelas Kemampuan Peresapan Air Kemiringan Lahan Jenis Tanah Batuan Penyusun A Sedang Sedang Sedang B Tinggi Sedang Tinggi C Tinggi Sedang Sedang D Tinggi Rendah Tinggi E Tinggi Rendah Sedang F Tinggi Sedang Sedang G Tinggi & Sedang Sedang Tinggi H Tinggi & Sedang Sedang Sedang I Sedang Tinggi Tinggi J Sedang Tinggi Rendah K Sedang & Rendah Tinggi Sangat Rendah L Sedang Tinggi Rendah M Sedang & Rendah Tinggi Sedang Sumber : Hasil Analisis, Faktor Penggunaan Lahan Faktor terakhir yang mempengaruhi kemampuan peresapan air adalah tutupan lahan atau penggunaan lahan. Formula yang digunakan untuk mengetahui volume peresapan air adalah persamaan Sunarto (1985), dimana variabel-variabel yang menentukan

19 76 besarnya imbuhan (peresapan) meliputi curah hujan, luas guna lahan dan koefisien peresapan. Formula perhitungan peresapan adalah sebagai berikut: I a ch ( βa) = 1000 Dimana: I a c H = Imbuhan Alami (m 3 /tahun) = Angka koefisien resap = Curah hujan tahunan (mm/tahun) ßA = Luas Kawasan Guna Lahan (m 2 ) Hasil perhitungan kemampuan peresapan air berdasarkan fakor penggunaan lahan dilakukan pada unit analisis wilayah hasil klasifikasi kondisi fisik. Perhitungan dilakukan pada 2 periode yang berbeda, yaitu tahun 1997 dan 2003 untuk mengetahui tingkat penurunan kemampuan peresapan air akibat adanya perubahan penggunaan lahan. Volume peresapan air di wilayah studi adalah sebagai berikut. Tabel 5.10 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Air Berdasarkan Fisik di Wilayah Studi Kemampuan Volume Peresapan Air hujan (m3/tahun) Peresapan Kategori Wilayah Selisih % Selisih A Sedang Rendah B Rendah Rendah C Rendah Rendah D Rendah Rendah E Rendah Rendah F Rendah Rendah G Rendah Rendah H Rendah Rendah I Sedang Sedang J Tinggi Sedang K Sedang Rendah L Rendah Sangat Rendah M Sedang Sedang Jumlah Kemampuan Peresapan Rata-rata Sedang Rendah Sumber : Hasil Analisis, 2007

20 77 Kemampuan Peresapan Air A B C D E F G H I J K L M Wilayah = Kemampuan Peresapan Air Rata-rata Tahun 1997 = Kemampuan Peresapan Air Rata-rata Tahun 2003 Gambar 5.8 Kemampuan Peresapan Air Wilayah Studi Tahun 1997 dan 2003 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah pada tahun 1997 adalah sebesar ,75 m 3 /tahun. Jumlah tersebut mengalami penurunan akibat perubahan penggunaan lahan pada tahun 2003 sebesar ,85 m 3 /tahun atau 3,68% dari volume peresapan tahun Kemampuan peresapan air dihitung dengan perbandingan antara volume peresapan air dengan luas wilayah penelitian. Pada tahun 1997, rata-rata kemampuan peresapan air adalah sebesar 1,15 dan mengalami penurunan menjadi 1,05 pada tahun Sebagian besar wilayah klasifikasi mengalami penurunan kemampuan peresapan akibat adanya perubahan penggunaan lahan ke arah negatif, yaitu tutupan lahan yang kurang mampu meresapkan air ke dalam tanah. Perubahan ke arah negatif tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kajian perubahan penggunaan lahan adalah: Konversi hutan menjadi perkebunan, sawah dan kawasan terbangun, dan Konversi perkebunan, sawah dan tegalan menjadi kawasan terbangun Di lain sisi, beberapa wilayah mengalami peningkatan kemampuan peresapan air. Wilayah tersebut adalah B, C dan F. Peningkatan kemampuan tersebut dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan ke arah positif, yaitu penggunaan lahan yang mampu mendukung peresapan yang lebih optimal. Perubahan positif tersebut antara lain:

21 78 Konversi sawah menjadi tegalan dan perkebunan, dan Konversi sawah, tegalan menjadi perkebunan Berdasarkan hasil perhitungan kemampuan peresapan air dengan faktor kondisi penggunaan lahan, wilayah studi dikategorikan menjadi 4 kemampuan peresapan air, yaitu: < 0,90 : Sangat Rendah 0,90 1,14 : Rendah 1,15 1,40 : Sedang > 1,40 : Tinggi Secara umum, wilayah studi mengalami penurunan kemampuan peresapan air. Pada tahun 1997, kemampuan peresapan air wilayah studi berada pada kategori sedang dengan rata-rata kemampuan peresapan sebesar 1,15. Pada tahun 2003, kemampuan peresapan air wilayah studi berada pada kategori rendah dengan kemampuan peresapan sebesar 1, Kemampuan Peresapan Air Wilayah Studi Pada bahasan ini, seluruh faktor yang mempengaruhi kemampuan peresapan air dikaji untuk mengidentifikasi lebih jauh potensi dan permasalahan peresapan air di wilayah studi. Untuk memperoleh kelas kemampuan peresapan air, dilakukan penilaian pada setiap kategori untuk masing-masing faktor penentu. Seluruh faktor penentu dianggap memiliki nilai yang setara pentingnya. Sedangkan untuk tingkat kemampuan peresapan air diberi nilai 0,4 untuk kategori tinggi, 0,3 untuk kategori sedang, 0,2 untuk kategori rendah dan 0,1 untuk kategori sangat rendah. Nilai tersebut dijumlahkan untuk memperoleh perbandingan yang jelas mengenai kelas kemampuan peresapan air suatu wilayah dengan wilayah lain. Hasil penjumlahan nilai kemudian dikategorikan sebagai berikut: < 1,16 : Sangat Rendah 1,17 1,37 1,38 1,58 > 1,58 : Rendah : Sedang : Tinggi Klasifikasi kemampuan peresapan air secara total disajikan sebagai berikut.

22 79 Wil. Tabel 5.11 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Air Wilayah Studi Tahun 2003 Luas (Ha) % Kemiringan Lahan Kelas Kemampuan Peresapan Air Faktor Fisik Alamiah Jenis Tanah Batuan Penyusun Faktor Penggunaan Lahan Jumlah Nilai Kelas Kemampuan Peresapan Air A Sedang Sedang Sedang Rendah 1,1 Sangat Rendah B Tinggi Sedang Tinggi Rendah 1,7 Tinggi C Tinggi Sedang Sedang Rendah 1,2 Rendah D Tinggi Rendah Tinggi Rendah 1,2 Rendah E Tinggi Rendah Sedang Rendah 1,1 Sangat Rendah F Tinggi Sedang Sedang Rendah 1,2 Rendah G Tinggi & Sedang Sedang Tinggi Rendah 1,25 Rendah H Tinggi & Sedang Sedang Sedang Rendah 1,15 Sangat Rendah I Sedang Tinggi Tinggi Sedang 1,8 Tinggi J Sedang Tinggi Rendah Sedang 1,2 Rendah K Sedang & Rendah Tinggi Sangat Rendah Rendah 0,95 Sangat Rendah L Sedang Tinggi Rendah Sangat Rendah 1,0 Sangat Rendah M Sedang & Rendah Tinggi Sedang Sedang 1,25 Rendah Sumber : Hasil Analisis, 2007 TINGGI RENDAH SANGAT RENDAH Sumber : Hasil Analisis, 2007 Skala. 1 : Gambar 5.9 Kemampuan Peresapan Air Wilayah Studi Tahun 2003

23 80 A. WILAYAH A (Sebagian Kecamatan Cipeundeuy dan Pabuaran) Wilayah A memiliki kemampuan peresapan air yang sangat rendah. Permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya peresapan air adalah kondisi penggunaan lahan, yaitu peningkatan kawasan terbangun sebesar 61,55% yang disertai hilangnya kawasan hutan. Pada tahun 1997, kemampuan peresapan air berdasarkan faktor penggunaan lahan berada pada kategori sedang dan mengalami penurunan menjadi rendah pada tahun Volume air hujan yang meresap di wilayah A pada tahun 2003 mengalami penurunan sebesar 7,45% dari volume tahun Hal yang penting untuk dicermati adalah letak wilayah A yang berada pada kemiringan lahan sebesar 2-15% dan berada pada topografi yang relatif lebih rendah dari wilayah M. Kondisi ini berpotensi menimbulkan aliran permukaan baik dari limpasan air setempat maupun aliran dari wilayah M. B. WILAYAH B (Sebagian Kecamatan Pabuaran dan Purwadadi) Kemampuan peresapan air wilayah B berada dalam kategori tinggi. Hal yang menunjang tingginya peresapan air adalah kemiringan lahan yang relatif landai, sehingga memungkinkan terjadinya peresapan karena laju aliran permukaan relatif rendah. Aspek lain yang mendukung adalah jenis batuan Alluvial yang merupakan endapan sungai dan kaya kandungan pasir sehingga bersifat permeabel. Kondisi ini memudahkan air untuk bergerak memasuki pori pada lapisan tanah yang semakin dalam. Pada kondisi permukaan tanah, perubahan penggunaan lahan dari 1997 ke 2003 telah meningkatkan kemampuan peresapan air meskipun tidak signifikan. Volume peresapan pada tahun 2003 mengalami peningkatan sebesar 0,32%. Meskipun demikian berdasarkan kondisi penggunaan lahan, wilayah B berada pada kategori kemampuan peresapan yang rendah. C. WILAYAH C (Sebagian Kecamatan Pabuaran, Purwadadi, Cikaum, Pagaden) Wilayah C memiliki kelas kemampuan peresapan air yang rendah. Faktor yang mempengaruhi tingkat peresapan yang rendah adalah kondisi penggunaan lahan yang didominasi oleh sawah. Meskipun secara volume, peresapan air mengalami peningkatan sebesar 0,27% dari tahun 1997, namun masih berada pada kategori rendah dengan kemampuan peresapan sebesar 1,04. Peningkatan volume peresapan air disebabkan oleh konversi sawah yang relatif kurang baik dalam meresapkan air menjadi tegalan.

24 81 Keuntungan yang dimilki wilayah C adalah kemiringan lahan yang relatif landai sehingga laju aliran permukaan relatif lambat, namun mengingat wilayah C berada pada topografi yang rendah maka berpotensi menjadi daerah genangan akibat aliran permukaan dari wilayah lain yang lebih tinggi (Wilayah A, E dan M). D. WILAYAH D (Sebagian Kecamatan Pagaden dan Cipunegara) Wilayah D memiliki kelas kemampuan peresapan air yang rendah. Hal yang mempengaruhi adalah jenis tanah asosiasi latosol yang banyak mengandung liat, serta kondisi penggunaan lahan yang didominasi oleh sawah. Volume peresapan air dalam kurun waktu 1997 sampai 2003 telah mengalami penurunan sebesar 2,96% akibat adanya konversi lahan perkebunan dan sawah menjadi kawasan terbangun. Meskipun wilayah D memiliki sifat batuan yang permeabel dan berada pada kemiringan lahan yang landai, namun faktor jenis tanah dan penggunaan lahan yang kurang baik dalam meresapkan air menjadikan peresapan kurang optimal. E. WILAYAH E (Sebagian Kecamatan Pabuaran, Purwadadi, Cikaum, Pagaden, Cipunegara, Cipeundeuy, Kalijati dan Subang) Wilayah E merupakan wilayah paling luas di wilayah studi. Proporsi luasan mencapai 47,53% dari total luas wilayah studi. Kelas kemampuan peresapan air wilayah E adalah sangat rendah akibat jenis tanah dan penggunaan lahan yang kurang mampu meresapkan air secara optimal. Jenis tanah latosol dengan kandungan liat lebih dari 60% relatif kurang mampu meresapkan air. Faktor konversi lahan sawah, tegalan dan hutan menjadi kawasan terbangun telah menurunkan volume peresapan air pada tahun 2003 sebesar 2,41% dari volume tahun Karakteristik kemiringan lahan pada wilayah E adalah relatif curam di bagian selatan dan cenderung melandai ke utara. Kondisi ini berpotensi meningkatkan laju aliran permukaan, terlebih letak wilayah E yang berada pada topografi yang lebih rendah dari wilayah K, L dan M berpotensi menjadi daerah genangan akibat kiriman aliran permukaan. F. WILAYAH F (Sebagian Kecamatan Cipunegara) Wilayah F memiliki kemampuan peresapan air yang rendah. Meskipun perubahan penggunaan lahan dari sawah dan tegalan menjadi perkebunan telah meningkatkan volume peresapan air pada tahun 2003, namun kemampuan peresapan tersebut masih berada pada kategori rendah. Peningkatan volume peresapan air pada tahun 2003 adalah

25 82 sebesar 4,93% dari volume tahun Keuntungan yang dimiliki wilayah F adalah letaknya pada kemiringan lahan yang landai serta jenis tanah dan batuan yang cukup permeabel. G. WILAYAH G (Sebagian Kecamatan Cipunegara dan Cibogo) Wilayah G memiliki keuntungan pada jenis batuan yang terdapat pada wilayah tersebut. Batuan Alluvial yang mengandung fraksi pasir dan kerikil memungkinkan terjadinya proses peresapan air ke dalam pori tanah dengan baik. Selain itu, sebagian wilayah G berada pada topografi yang landai, sehingga dapat memberi kesempatan yang cukup untuk meloloskan air ke dalam tanah. Meskipun didukung oleh beberapa keuntungan fisik, kondisi penggunaan lahan wilayah G menghambat terjadinya peresapan yang optimal. Dominasi lahan sawah serta pertumbuhan kawasan terbangun yang cukup pesat telah menurunkan kemampuan peresapan air sebesar 4,79% dari tahun Disamping hal tersebut, wilayah G dilintasi oleh Sungai Cipunegara pada dataran yang lebih rendah dan landai sehingga potensial terjadinya genangan air. H. WILAYAH H (Sebagian Kecamatan Cibogo) Wilayah H termasuk dalam kelas kemampuan peresapan air yang sangat rendah. Dominasi lahan sawah merupakan faktor yang menghambat proses peresapan air ke dalam tanah. Meskipun jenis tanah yang dimiliki yaitu alluvial dengan batuan penyusunnya adalah batu pasir tufaan dan konglomerat yang bersifat cukup permeabel (tingkat kemampuan peresapan sedang), namun kemiringan lahan yang mencapai 15% berpotensi meningkatkan laju aliran permukaan. Terlebih, letak wilayah H berada pada daerah yang lebih rendah sehingga terancam oleh aliran permukaan yang berasal dari wilayah I, J, K dan M. I. WILAYAH I (Sebagian Kecamatan Cibogo) Wilayah I memiliki kelas kemampuan peresapan air yang tinggi. Faktor-faktor yang mendukung meliputi jenis tanah dan batuan penyusun yang permeabel dan berkemampuan resap tinggi, serta penggunaan lahan yang didominasi oleh perkebunan. Jenis tanah regosol dengan kandungan pasir lebih dari 60%, serta batuan alluvial yang juga banyak mengandung fraksi pasir memungkinkan terjadinya peresapan yang tinggi. Namun hal yang perlu dicermati adalah berkurangnya volume peresapan sebesar 2,56% akibat konversi hutan menjadi perkebunan dan kawasan terbangun perlu mendapat

26 83 perhatian serius, terlebih jenis tanah regosol meskipun bersifat permeabel namun peka terhadap erosi. J. WILAYAH J (Sebagian Kecamatan Cibogo) Wilayah J berada pada kelas kemampuan peresapan air yang rendah. Faktor utama penyebabnya adalah jenis batuan penyusunnya adalah napal yang bersifat kurang permeabel. Faktor lain adalah kemirngan lahan yang mencapai 15% berpotensi meningkatkan laju aliran permukaan, sehingga meskipun jenis tanah wilayah J adalah regosol yang bersifat permeabel namun kepekaannya terhadap erosi akan meningkat seiring kemiringan lahan yang cukup curam. Volume peresapan air wilayah J telah mengalami penurunan yang signifikan sebesar 27,07% dari volume tahun Kondisi tersebut telah menurunkan tingkat kemampuan peresapan berdasarkan penggunaan lahan dari kategori tinggi menjadi sedang. Faktor penyebabnya adalah konversi hutan menjadi perkebunan, sawah dan kawasan terbangun. K. WILAYAH K (Sebagian Kecamatan Subang dan Cibogo) Wilayah K memiliki kelas kemampuan peresapan air yang sangat rendah. Meskipun terdiri atas jenis tanah regosol yang bersifat permeabel, namun kemiringan lahan yang curam (mencapai 40%), jenis batuan yang kurang permeabel serta kondisi penggunaan lahan yang kurang mampu meresapkan air dengan baik merupakan faktor yang mengancam terjadinya kecepatan aliran permukaan yang tinggi dan erosi. Volume peresapan air telah mengalami penurunan sebesar 15,33% dari tahun 1997 seiring konversi lahan hutan menjadi perkebunan, tegalan dan kawasan terbangun. Wilayah K meliputi sebagian wilayah Kota Subang yang merupakan pusat kegiatan regional (Ibu Kota Kabupaten) menyebabkan perubahan penggunaan lahan hijau menjadi terbangun relatif tinggi. L. WILAYAH L (Sebagian Kecamatan Subang) Wilayah L memiliki kelas kemampuan peresapan air yang sangat rendah. Permasalahan utama terdapat pada kondisi penggunaan lahan, dimana wilayah ini didominasi kawasan terbangun. Pertumbuhan kawasan terbangun mencapai 53,86% dari luas tahun 1997 dan telah mengkonversi kawasan hutan. Kondisi ini telah menurunkan volume peresapan sebesar 29,04% dari tahun Selain hal tersebut, meskipun wilaya L berjenis tanah regososl namun kondisi ini kurang menguntungkan dengan tingkat kemiringan lahan

27 84 yang mencapai 40% serta jenis batuan penyusun yang kurang permeabel. Kondisi ini berpotensi menimbulkan erosi dengan kecepatan aliran permukaan yang tinggi. M. WILAYAH M (Sebagian Kecamatan Cipuendeuy, Kalijati, Subang dan Cibogo) Wilayah M berada pada kelas kemampuan peresapan air yang rendah. Meskipun kemampuan peresapan berdasarkan penggunaan lahan berada pada kategori sedang, serta jenis tanah regosol yang berkemampuan resap tinggi, namun faktor kemiringan lahan yang curam serta batuan penyusun yang semi permeabel dinilai kurang menguntungkan. Terlebih, sebagian besar kawasan hutan di wilayah studi terdapat di wilayah M dan telah dikonversi menjadi perkebunan, tegalan dan kawasan terbangun. Perubahan penggunaan lahan tersebut telah menurunkan volume peresapan sebesar 7,61% dari tahun KAJIAN KONSERVASI LAHAN WILAYAH STUDI Menurut Puridimaja (2006), konservasi lahan dalam konteks melindungi sistem tata air merupakan upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan besaran infiltrasi (peresapan) air dengan prinsip meminimalisir aliran permukaan. Sebagaimana dijelaskan pada bahasan sebelumnya, wilayah studi memiliki beberapa alasan penting terkait perlunya penerapan konservasi lahan. Informasi penting dari temuan analisis yang mendorong pentingnya langkah konservasi di wilayah studi adalah: Wilayah studi memiliki fungsi sebagai fasilitator pembangunan, karena ketersediaan lahan bagi kegiatan pembangunan masih memadai dibandingkan wilayah utara dan selatan Kabupaten Subang. Oleh karena hal tersebut, kegiatan pengembangan wilayah ke depan di konsentrasikan di wilayah studi (tengah) meliputi pengembangan zona industri dan jalan tol Cikampek Palimanan. Secara ekologis, wilayah studi memiliki fungsi sebagai daerah tangkapan air, terutama di daerah perbukitan bagian selatan hingga tengah. Wilayah ini diharapkan dapat memperkecil limpasan permukaan yang dapat berdampak pada terjadinya genangan dan banjir di wilayah utara. Adanya trend perubahan penggunaan lahan yang negatif dari tahun 1997 ke tahun 2003, yaitu hilangnya kawasan hutan, serta meningkatnya kawasan

28 85 terbangun. Kondisi ini memerlukan pengendalian, terlebih jika pengembangan zona industri dan jalan tol Cikampek-Palimanan akan menstimulir pengembangan infrastruktur yang lebih luas. Secara umum, volume air hujan yang mampu diresapkan di wilayah studi pada tahun 2003 telah mengalami penurunan sebesar ,85 m 3 /tahun atau 3,68% dari volume tahun Hal tersebut merupakan indikasi semakin berkurangnya kemampuan lahan dalam meresapkan air. Berdasarkan hasil penelaahan kemampuan peresapan air, wilayah studi di kelompokkan menjadi 13 kategori wilayah berdasarkan kelas kemampuan peresapan air. Tujuan konservasi lahan dalam kajian ini adalah melindungi (mempertahankan dan meningkatkan) kemampuan peresapan air lahan di wilayah studi. Prinsip konservasi menurut Puridimaja (2006), salah satunya adalah mengelola dan mengendalikan kondisi permukaan tanah agar dapat mempertahankan dan meningkatkan besaran infiltrasi atau peresapan air, Konservasi lahan di wilayah studi ditempuh melalui 2 (dua) skenario, yaitu: 1. Memperbaiki kondisi permukaan tanah untuk mendukung terjadinya peresapan air yang lebih baik, serta mengurangi limpasan permukaan. 2. Pengendalian pembangunan, yaitu mengendalikan kemungkinan pengembangan lahan ke arah negatif, yaitu guna lahan yang kurang mendukung terjadinya peresapan yang optimal dengan mempertimbangkan kebijakan mengenai rencana pengembangan penggunaan lahan. A. SKENARIO 1 Beberapa alternatif upaya konservasi dalam skenario 1 dapat ditempuh sebagai berikut: Konservasi secara vegetatif, yaitu perbaikan kondisi lahan dengan memanfaatkan vegetasi yang mendukung peresapan air secara lebih optimal, mengurangi limpasan permukaan dan mencegah terjadinya pengikisan tanah (erosi). Konservasi secara mekanis, yaitu mengelola lahan agar limpasan permukaan yang mungkin terjadi dapat dikendalikan Pembuatan sumur resapan, terutama pada kawasan terbangun.

29 86 Penerapan konservasi skenario 1 pada wilayah studi dijelaskan sebagai berikut: Wil. Kemiringan Lahan Tabel 5.12 Kajian Konservasi Lahan Skenario 1 Wilayah Studi Kemampuan Peresapan Air Faktor Fisik Alamiah Jenis Tanah Batuan Penyusun Faktor Penggunaan Lahan Kelas Kemampuan Peresapan Air Upaya Konservasi Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan dan mengelola aliran permukaan. A Sedang Sedang Sedang Rendah Sangat Rendah Tindakan : Pemulihan kawasan hutan lindung, terutama pada lahan dengan kemiringan mencapai 15% di selatan dengan mengkonversi sawah dan perkebunan menjadi hutan. (perkebunan dan hutan produksi) di sepanjang sempadan sungai, serta pembuatan teras untuk mengelola aliran permukaan.. Tujuan : Mempertahankan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan untuk memaksimalkan potensi fisik yang sudah baik. B Tinggi Sedang Tinggi Rendah Tinggi C Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan. Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah A, C dan E. Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan dan mengelola aliran permukaan. Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan terutama di sebagian wilayah Kecamatan Pagaden Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah E Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan dan mengelola aliran permukaan. D Tinggi Rendah Tinggi Rendah Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah E, F dan G.

30 87 Wil. Kemiringan Lahan Kemampuan Peresapan Air Faktor Fisik Alamiah Jenis Tanah Batuan Penyusun Faktor Penggunaan Lahan Kelas Kemampuan Peresapan Air Upaya Konservasi Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan sebaik mungkin, mengingat jenis tanah kurang permeabel. E Tinggi Rendah Sedang Rendah Sangat Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah K, L dan M, terutama di daerah selatan. Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan dan mengelola aliran permukaan. F Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah G. Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan untuk memaksimalkan kinerja tanah dan batuan yang yang berpotensi baik. G Tinggi & Sedang Sedang Tinggi Rendah Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan (perkebunan dan hutan produksi) di sepanjang sempadan sungai, serta pembuatan teras untuk mengelola aliran permukaan dari wilayah I Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan sebaik mungkin, untuk meningkatkan kinerja fisik tanah dan batuan. H Tinggi & Sedang Sedang Sedang Rendah Sangat Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah K dan I, terutama di daerah selatan.

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI 39 BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI 4.1 KARAKTERISTIK UMUM KABUPATEN SUBANG 4.1.1 Batas Administratif Kabupaten Subang Kabupaten Subang berada dalam wilayah administratif Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap upaya pembangunan membawa konsekuensi terhadap kualitas lingkungan. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan merupakan kajian penting untuk mengakomodir

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Luas dan Potensi Wilayah Luas fungsional daerah penelitian adalah 171.240 ha, secara administratif meliputi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Subang, Sumedang,

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DAN PROFIL KOMODITAS TANAMAN PANGAN KABUPATEN SUBANG

BAB III GAMBARAN UMUM DAN PROFIL KOMODITAS TANAMAN PANGAN KABUPATEN SUBANG 55 BAB III GAMBARAN UMUM DAN PROFIL KOMODITAS TANAMAN PANGAN KABUPATEN SUBANG 3.1 Kebijakan Pembangunan Untuk menciptakan suatu kondisi yang menjamin terlaksananya penataan ruang dan pembangunan wilayah

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Situasi Wilayah Letak Geografi Secara geografis Kabupaten Tapin terletak antara 2 o 11 40 LS 3 o 11 50 LS dan 114 o 4 27 BT 115 o 3 20 BT. Dengan tinggi dari permukaan laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola pemanfaatan ruang pada kawasan perkotaan dicirikan dengan campuran yang rumit antara aktivitas jasa komersial dan permukiman (Rustiadi et al., 2009). Hal ini sejalan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 164 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, serta memberikan beberapa rekomendasi baik rekomendasi secara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain melalui media air atau angin. Erosi melalui media angin disebabkan oleh kekuatan angin sedangkan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH JAWA BARAT SELATAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH JAWA BARAT SELATAN BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH JAWA BARAT SELATAN Bab sebelumnya telah memaparkan konsep pembangunan wilayah berkelanjutan dan indikator-indikatornya sebagai landasan teoritis sekaligus instrumen dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 33 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 TAHAPAN PENELITIAN Tahapan penelitian disajikan dalam diagram langkah-langkah metodologi penelitian yang merupakan skema sistematis mengenai keseluruhan proses studi yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil evaluasi komoditas pertanian pangan di kawasan budiddaya di Kecamatan Pasirjambu, analisis evaluasi RTRW Kabupaten Bandung terhadap sebaran jenis pertanian

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan cara menggalakan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan cara menggalakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagai Negara yang berkembang, terus berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan cara menggalakan pembangunan disegala bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Soemarto (1999) infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak pasti), melalui permukaan dan secara vertikal. Setelah beberapa waktu kemudian,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1. Sejarah Kabupaten Bekasi Kabupaten Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Dasar-Dasar Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Administrasi Kabupaten Bangka Tengah secara administratif terdiri atas Kecamatan Koba, Kecamatan Lubuk Besar, Kecamatan Namang, Kecamatan Pangkalan Baru, Kecamatan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

ANALISIS TREND IRIGASI TEKNIS, IRIGASI SETENGAH TEKNIS, IRIGASI SEDERHANA DAN SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN SITUBONDO

ANALISIS TREND IRIGASI TEKNIS, IRIGASI SETENGAH TEKNIS, IRIGASI SEDERHANA DAN SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN SITUBONDO Pemanfaatan Metode Log Pearson III dan Mononobe Untuk 1 ANALISIS TREND IRIGASI TEKNIS, IRIGASI SETENGAH TEKNIS, IRIGASI SEDERHANA DAN SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN SITUBONDO ABSTRAK Ir. H. Cholil Hasyim,

Lebih terperinci

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi % liat = [ H,( T 68),] BKM % debu = 1 % liat % pasir 1% Semua analisis sifat fisik tanah dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik tanah dalam mempengaruhi infiltrasi. 3. 3... pf pf ialah logaritma dari

Lebih terperinci

7.1. PERDAGANGAN NASIONAL

7.1. PERDAGANGAN NASIONAL 7. PERDAGANGAN 7.1. PERDAGANGAN NASIONAL Perdagangan mempunyai peran yang cukup penting dalam mendorong perekonomian di Kabupaten Subang. Sektor unggulan kedua setelah pertanian ini dari tahun ketahun

Lebih terperinci

BAB V LAHAN DAN HUTAN

BAB V LAHAN DAN HUTAN BAB LAHAN DAN HUTAN 5.1. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan Kota Denpasar didominasi oleh permukiman. Dari 12.778 ha luas total Kota Denpasar, penggunaan lahan untuk permukiman adalah 7.831 ha atau 61,29%.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumberdaya alam utama yang mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Sebagai sumberdaya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifatsifatnya dan hubungan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 50 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Fisik Kawasan Perkotaan Purwokerto Kawasan perkotaan Purwokerto terletak di kaki Gunung Slamet dan berada pada posisi geografis 109 11 22-109 15 55 BT dan 7 22

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Kabupaten Tulang Bawang Barat. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak di bagian utara Provinsi Lampung.

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Kabupaten Tulang Bawang Barat. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak di bagian utara Provinsi Lampung. BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Kabupaten Tulang Bawang Barat Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak di bagian utara Provinsi Lampung. Kabupaten Tulang Bawang Barat berbatasan langsung dengan Provinsi

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat-sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar bagi pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.. Luas Wilayah Kota Tasikmalaya berada di wilayah Priangan Timur Provinsi Jawa Barat, letaknya cukup stratgis berada diantara kabupaten Ciamis dan kabupaten Garut.

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama semakin meningkat. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia. Dengan kata lain

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA 31 KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA Administrasi Secara administratif pemerintahan Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan dengan ibukota kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumber daya alam merupakan suatu bentuk kekayaan alam yang pemanfaatannya bersifat terbatas dan berfungsi sebagai penunjang kesejahteraan makhluk hidup khususnya manusia

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Penilaian kinerja lahan (land performance) untuk penggunaan tertentu Kegiatan Evaluasi Lahan meliputi survai lahan interpretasi data hasil survai

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

10. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ( PDRB )

10. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ( PDRB ) 10. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ( PDRB ) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha memberikan gambaran tentang nilai tambah yang dibentuk dalam suatu daerah sebagai akibat dari adanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut (Soemarto,1999). Infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak pasti), melalui permukaan dan secara vertikal. Setelah beberapa waktu kemudian,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pembangunan wilayah. Hampir semua negara memandang bahwa industrialisasi adalah suatu keharusan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Naskah Akademis untuk kegiatan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan dapat terselesaikan dengan baik

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci