DETEKSI POTENSI KEKERINGAN BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN KLATEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DETEKSI POTENSI KEKERINGAN BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN KLATEN"

Transkripsi

1 DETEKSI POTENSI KEKERINGAN BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN KLATEN SKRIPSI Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata 1 Untuk Meraih Gelar Sarjana Sains Oleh Dzulfikar Habibi Jamil JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013 i

2 PERSETUJUAN PEMBIMBING Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Unnes pada: Hari : Tanggal : Pembimbing I Pembimbing II Drs. Heri Tjahjono, M.Si Drs. Satyanta Parman, M.T NIP Mengesahkan: Ketua Jurusan Geografi Drs. Apik Budi Santoso, M.Si NIP ii

3 PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang dan disahkan pada: Hari : Tanggal : Penguji Utama Dr. Tjaturrahono Budi Sanjoto, M.Si NIP Penguji I Penguji II Drs. Heri Tjahjono, M.Si. Drs. Satyanta Parman, M.T NIP Mengetahui: Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dr. Subagyo, M.Pd. NIP iii

4 PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulisan orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat di dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Semarang, Februari 2013 Dzulfikar Habibi Jamil NIM iv

5 MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto: 1. Alloh akan senantiasa memahami kita, jika kita memahami-nya. 2. Membahagiakan orang yang kita cintai merupakan hal terindah. 3. Jika kita berfikir sukses maka kita akan sukses, sebaliknya jika kita berfikir gagal maka kita akan gagal (pikiran adalah sumber kekuatan). Persembahan: Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Alloh SWT, kupersembahkan karyaku ini kepada: Orangtuaku yang saya banggakan, selama ini telah berjuang membesarkan dan mendidikku hingga saat ini. v

6 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kemudahan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi untuk meraih gelar sarjana yang berjudul Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten pada Jurusan Geografi Universitas Negeri Semarang. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan dari pihak-pihak terkait. Oleh sebab itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Dr. Subagyo, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 3. Drs. Apik Budi Santoso, M.Si., Ketua Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 4. Drs. Heri Tjahjono, M.Si., Dosen Pembimbing pertama yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses penelitian hingga akhir penyusunan skripsi. 5. Drs. Satyanta Parman, M.T., Dosen Pembimbing kedua yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan hingga akhir penyusunan skripsi. 6. Dr. Tjaturrahono Budi Sanjoto, M.Si, Penguji skripsi yang telah banyak memberikan masukan. 7. Bapak dan Ibuku yang selalu memberikan dukungan dari masuk perguruan tinggi hingga akhir penyusunan skripsi. vi

7 8. Seluruh Staf Pengajar dan karyawan Jurusan Geografi, terima kasih untuk ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan. 9. Istianah yang telah memebriku semangat dalam belajar dan menggapai citacita. 10. Mas Husen, Utar dan Rois, lantaran kalian, aku ditunjukan jalan untuk melanjutkan kuliah. 11. Mas Aris faiz, Mas Arif, Mas Anwar, Mas Halim dan Mas Yunianto, kalian kaka angkatan yang baik, ikhlas bertukar pikiran, terimakasih buat pengalaman-pengalaman yang kalian berikan. 12. Teman-teman geografi Unnes angkatan 2009, kalian teman seperjuanganku yang memberiku inspirasi. 13. Teman-teman kos; Afroni, Najib, Wawan dan Roni Fajar. Banyak kenangan bersama kalian, tunjukkan kesuksesan kita. 14. Pemerintah Kabupaten Klaten yang telah memberi izin penelitian sehingga. 15. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih ats dukungan dan bantuanya. Semoga segala kebaikan Bapak/Ibu dan rekan-rekan semua mendapatkan balasan dari Alloh SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca semua. Semarang, Februari 2013 Dzulfikar Habibi Jamil vii

8 SARI Dzulfikar Habibi Jamil Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten. Skripsi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Drs. Heri Tjahjono, M.Si dan Drs. Satyanta Parman, M.T. Kata Kunci: Deteksi, Potensi kekeringan, Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Kekeringan merupakan bencana alam yang hampir setiap tahun terjadi. Bencana kekeringan di Kabupaten Klaten dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan dengan dibuktikanya pada tahun 2009 Kabupaten Klaten menduduki peringkat 9 bencana kekeringan secara nasional yang dibuat oleh Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana. Kurangnya data peta yang menyediakan informasi daerah potensial dilanda kekeringan turut berperan sebagai salah satu faktor yang menghambat penyelesaian masalah kekeringan. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) bagaimana sebaran daerah berpotensi kekeringan dengan menggunakan teknik analisis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis?, 2) bagaimana kemampuan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam mendeteksi daerah berpotensi kekeringan?. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui sebaran daerah yang berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis 2) Mengetahui kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi geografis dalam mendeteksi daerah rawan terhadap kekeringan di Kabupaten Klaten. Populasi dalam penelitian ini adalah potensi kekeringan Kabupaten Klaten. Sampel berjumlah 30 lokasi yang didasarkan pada kelas hasil interpretasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), indeks kecerahan dan indeks kebasahan. Dalam penelitian potensi kekeringan ini menggunakan enam variabel yaitu: NDVI, Indeks Kecerahan, Indeks Kebasahan, Curah Hujan, Hidrogeologi dan Penggunaan Lahan. Teknik interpretasi citra digital digunakan untuk menganalisis kerapatan vegetasi dan kelembaban permukaan, kerapatan vegetasi dapat diiterpretasi menggunakan transformasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), kelembaban permukaan dapat diiterpretasi menggunakan transformasi Indeks Kecerahan (Brightness Index) dan Indeks Kebasahan (Wetness Index). Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk menggabungkan ke-enam parameter tersebut dan memanipulasinya sehingga mengeluarkan keluaran baru berupa informasi potensi kekeringan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan sebaran daerah berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten dibagi menjadi 5 kelas potensi. Potensi kekeringan sangat rendah seluas 155,610 ha (0,22%), potensi kekeringan rendah seluas 5348,789 ha (7,63%), potensi kekeringan agak tinggi seluas 34839,348 ha (49,73%), potensi kekeringan tinggi seluas 24724,229 ha (35,29%) dan potensi kekeringan sangat tinggi seluas 4992,734 ha (7,13%). Kemampuan penginderaan jauh dalam menganalisis daerah berpotensi kekeringan mengahasilkan tiga keluaran yang menjadi parameter yaitu; Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan. Kemampuan sistem informasi viii

9 geografis dalam menganalisis daerah berpotensi kekeringan dengan cara pengharkatan, pembobotan dan penggabungan dari keenam parameter. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebaran daerah berpotensi kekeringan kelas tinggi dan sangat tinggi terdapat pada Kabupaten Klaten bagian selatan yaitu pada Kecamatan Bayat, Cawas dan sekitarnya serta pada Kabupaten Klaten bagian tengah yaitu pada Kecamatan Klaten, Jogonalan dan sekitarnya. Penginderaan Jauh mampu mendeteksi potensi kekeringan dengan nilai akurasi hasil interpretasi NDVI, Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan lebih dari ketentuan minimum syarat akurat interpretasi. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat mengkelaskan tingkat potensi kekeringan. Adapun saran dalam penelitian ini yaitu 1) Daerah yang mempunyai potensi tinggi untuk terjadinya kekeringan diharapkan mendapatkan prioritas utama dalam mitigasi bencana kekeringan, 2) Daerah-daerah yang belum mempunyai peta seperti ini diharapkan membuat peta potensi kekeringan, 3) Peneliti berikutnya diharapkan mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh digital secara mendalam. ix

10 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i PERSETUJUAN PEMBIMBING... PENGESAHAN KELULUSAN... PERNYATAAN... MOTTO DAN PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR... SARI... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Penegasan Istilah Sistematika Penulisan Skripsi... BAB II KAJIAN PUSTAKA Kekeringan Penginderaan Jauh... ii iii iv v vi viii x xiii xiv xv x

11 2.3 Citra Landsat Sistem Informasi Geografis Identifikasi Daerah Berpotensi Kekeringan Penelitian Relevan... BAB III METODE PENELITIAN Lokasi dan Obyek Penelitian Populasi dan Sampel Variabel Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Teknik Perolehan Data Tahap Penelitian Teknik Analisis Data Uji Ketelitian Interpretasi Citra... BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum daerah Penelitian Lokasi Penelitian Kondisi Bentuk Lahan Kondisi Topografi Kondisi Jenis Tanah Kondisi Curah Hujan Kondisi Hidrologi & Hidrogeologi Kondisi Penggunaan Lahan Hasil Penelitian xi

12 4.2.1 Sebaran Daerah Berpotensi Kekeringan Kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mendeteksi Daerah Berpotensi Kekeringan Pembahasan Sebaran Daerah Berpotensi Kekeringan Kemampuan Penginderaan Jauh dan sistem Informasi Geografis dalam Mengidentifikasi Daerah Berpotensi Kekeringan... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN xii

13 DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Peringkat Bencana Kekeringan Nasional... Tabel 2.1 Karakteristik Citra Landsat 7ETM+... Tabel 2.2 Klasifikasi dan Pengharkatan NDVI... Tabel 2.3 Algoritma Transformasi Tasseled Cap Landsat 7ETM+... Tabel 2.4 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kebasahan... Tabel 2.5 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kecerahan... Tabel 2.6 Klasifikasi Curah Hujan Terhadap Kekeringan... Tabel 2.7 Klasifikasi Hidrogeologi Terhadap Kekeringan... Tabel 2.8 Klasifikasi Penggunaan Lahan Terhadap Kekeringan... Tabel 2.9 Penelitian Sebelumnya... Tabel 3.1 Klasifikasi Kelas Potensi Kekeringan... Tabel 4.1 Luasan Kecamatan di Kabupaten Klaten... Tabel 4.2 Luas Bentuk Lahan Kabupaten Klaten... Tabel 4.3 Luas Ketinggian Tempat Kabupaten Klaten... Tabel 4.4 Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten... Tabel 4.5 Luas Kelas NDVI... Tabel 4.6 Luas Kelas Indeks Kecerahan... Tabel 4.7 Luas Kelas Indeks Kebasahan... Tabel 4.8 Luas Potensi Kekeringan Kabupaten Klaten berbasis PJ&SIG... Tabel 4.9 Luas Potensi Kekeringan Tiap Kecamatan di Kabupaten Klaten... Tabel 4.10 Hasil Uji Akurasi Interpretasi... Halaman xiii

14 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Illustrasi Uraian Sub-sistem SIG... Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Klaten... Gambar 4.2 Peta Bentuk Lahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.3 Peta Ketinggian Tempat Kabupaten Klaten... Gambar 4.4 Peta Jenis Tanah Kabupaten Klaten... Gambar 4.5 Peta Curah Hujan Kabupaten Klaten... Gambar 4.6 Peta Hidrogeologi Kabupaten Klaten... Gambar 4.7 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.8 Hasil Transformasi NDVI Kabupaten Klaten... Gambar 4.9 Histogram Transformasi NDVI... Gambar 4.10 Kondisi Lapangan Kelas NDVI... Gambar 4.11 Hasil Klasifikasi Transformasi NDVI Kabupaten Klaten... Gambar 4.12 Hasil Transformasi Indeks Kecerahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.13 Histogram Transformasi Indeks Kecerahan... Gambar 4.14 Kondisi Lapangan Kelas Indeks Kecerahan... Gambar 4.15 Hasil Klasifikasi Indeks Kecerahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.16 Hasil Transformasi Indeks Kebasahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.17 Histogram Transformasi Indeks Kebasahan.... Gambar 4.18 Kondisi Lapangan Kelas Indeks Kebasahan... Gambar 4.19 Hasil Klasifikasi Indeks Kebasahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.20 Peta Potensi Kekeringan Berbasis PJ&SIG... Gambar 4.21 Perbaikan Klasifikasi Sampel Tidak Akurat... Halaman xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Cara Pengolahan Data Raster atau Citra... Lampiran 1.1 Layer Stacking (Penggabungan band)... Lampiran 1.2 Koreksi Geometri dan Reproyeksi Citra... Lampiran 1.3 Cloud masking (Pemisahan awan)... Lampiran 1.4 Penggabungan Citra 2002 dan Lampiran 1.5 Pemotongan Citra (cropping citra)... Lampiran 1.6 Koreksi Radiometri... Lampiran 1.7 Transormasi NDVI... Lampiran 1.8 Klasifikasi Nilai Spektral NDVI... Lampiran 1.9 Transformai Indeks Kecerahan (Brightness Index)... Lampiran 1.10 Klasifikasi Nilai Spektral Indeks Kecerahan... Lampiran 1.11 Transformai Indeks Kebasahan (Wetness Index)... Lampiran 1.12 Klasifikasi Nilai Spektral Indeks Kebasahan... Lampiran 2 Cara Pengolahan Data Vector... Lampiran 2.1 Pendugaan Daerah Berpotensi Kekeringan... Lampiran 2.2 Pembuatan Peta Curah Hujan... Lampiran 2.3 cara Penentuan Titik Sampel.. Lampiran 3 Tabel Curah Hujan Kabupaten Klaten Tahun Lampiran 4 Peta Pengamatan Lapangan... Lampiran 5 Peta Validasi Hidrogeologi.. Lampiran 6 Tabel Cek Lapangan Hasil Interpretasi... Lampiran 7 Tabel Pengharkatan dan Pembobotan Parameter... Halaman xv

16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana alam merupakan fenomena yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan. Dampak negatif dari bencana alam berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas makhluk hidup. Salah satu bencana alam yang frekuensi kejadianya tinggi (hampir setiap tahun) adalah kekeringan. Kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi setelah tahun 1990-an sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim khususnya banjir, kemudian kekeringan, kebakaran hutan, dan ledakan penyakit (Yuwono, 2012). Kekeringan pada dasarnya diakibatkan oleh kondisi hidrologi suatu daerah dalam kondisi air tidak seimbang. Kekeringan terjadi akibat dari distribusi hujan tidak merata yang merupakan satu-satunya input bagi suatu daerah. Ketidakmerataan hujan ini akan mengakibatkan di beberapa daerah yang curah hujanya kecil akan mengalami ketidakseimbangan antara input dan output air (Shofiyati, 2007). Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari tahun 2002 sampai 2009 bencana kekeringan menduduki peringkat kedua intensitas tersering setelah bencana banjir yaitu rata-rata 156 kejadian/tahun. BNPB merilis peringkat bencana kekeringan secara nasional pada tahun Berdasarkan peringkat tersebut, Kabupaten Klaten yang merupakan daerah lumbung padi Jawa Tengah menduduki peringkat ke-9 nasional untuk bencana 1

17 2 kekeringan. Adapun sepuluh peringkat tertinggi bencana kekeringan nasional dapat dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Peringkat Bencana Kekeringan Nasional Kabupaten Kelas Rangking Nasional Lombok Tengah Tinggi 1 Lamongan Tinggi 2 Gresik Tinggi 3 Cilacap Tinggi 4 Banyumas Tinggi 5 Banjarnegara Tinggi 6 Kebumen Tinggi 7 Magelang Tinggi 8 Klaten Tinggi 9 Sukoharjo Tinggi 10 Sumber : Indeks Rawan Bencana BNPB, 2009 Bencana kekeringan di Kabupaten Klaten mengakibatkan kurangnya pasokan air untuk lahan pertanian seehingga tanaman padi yang telah ditanam terancam gagal panen. Pada bulan Juni 2012, sekitar 750 hektar lahan sawah di empat kecamatan penghasil utama beras terncam kekeringan yaitu: Delanggu, Wonosari, Kalikotes dan Juwiring ( Net.com, 2012). Menurut Pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Klaten dengan semakin panjangnya musim kemarau, kekeringan di Kabupaten Klaten pada bulan September 2012 meluas hingga lima kecamatan lain yang mengakibatkan gagal panen tanaman padi. Adapun lima kecamatan tersebut diantaranya: Gantiwarno, Cawas, Trucuk, Klaten Tengah, dan Ceper ( 2012). Berdasarkan prakiraan cuaca dari BMKG, awal musim penghujan di Kabupaten Klaten akan mulai pada bulan November 2012 ( Jateng.com,

18 3 2012). Oleh karen itu, masih terdapat kemungkinan bertambahnya daerah rawan kekeringan di Kabupaten Klaten. Kurangnya data peta berisi informasi daerah potensial dilanda kekeringan turut berperan sebagai salah satu faktor yang menghambat penyelesaian masalah kekeringan, sehingga saat ini sangat diperlukan peta-peta tersebut mengingat kekeringan merupakan suatu masalah berdampak serius pada seluruh sektor kehidupan. Peta yang berkaitan dengan keruangan hendaknya merupakan peta yang bergeoreferensi. Pembuatan peta yang bergeorefensi dapat menggunakan teknik Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Dewasa ini teknologi Penginderaan Jauh (inderaja) berkembang pesat. Teknologi ini menghasilkan berbagai data baik foto udara maupun citra satelit yang dapat menggambarkan permukaan bumi. Berbagai penelitian sudah dan terus dilakukan untuk memanfaatkan data inderaja dalam menganalisis masalahmasalah keruangan. Salah satu penelitian Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dibidang lingkungan dan mitigasi bencana yaitu mengenai bencana kekeringan baik potensi, kejadian, maupun resiko. Penelitian potensi kekeringan menggunakan citra Landsat dapat dilakukan dengan transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan Tranformasi Tasseled Cap. Tranformasi Tasseled Cap menganalisis tiga indikator yaitu: indeks kebasahan, indeks kecerahan, dan indeks kehijauan yang indikator-indikator tersebut dapat digunakan dalam analisis tingkat kekeringan suatu lahan (Shofiyati, 2007).

19 4 Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukanya penelitian potensi kekeringan di Kabupaten Klaten, dalam hal ini disusun dalam sebuah skripsi dengan judul Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana sebaran daerah yang berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten dengan menggunakan teknik analisis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. 2. Bagaimana kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk mendeteksi daerah berpotensi rawan terhadap kekeringan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui sebaran daerah berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten dengan menggunakan teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. 2. Mengetahui kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam mendeteksi daerah rawan terhadap kekeringan di Kabupaten Klaten. 1.4 Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dari penelitian ini di antaranya adalah: 1. Manfaat praktis, sebagai syarat kelulusan sarjana Geografi S1 serta memberikan informasi distribusi spasial daerah potensi rawan kekeringan

20 5 berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten kepada pihak-pihak yang membutuhkan. 2. Manfaat teoritis, sebagai sarana pengembangan ilmu dan pengetahuan yang secara teori telah didapatkan di bangku kuliah, khususnya mata kuliah Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. 1.5 Penegasan Istilah Penegasan istilah dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang diteliti, menghindari kesalahan penafsiran dalam penelitian dan memudahkan dalam menangkap isi serta sebagai pedoman dalam pelaksanaan penelitian. 1. Deteksi: Usaha menemukan dan menentukan keberadaan, anggapan ataupun kenyataan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:202). 2. Potensi: Sesuatu kemungkinan yang dapat menjadi aktual (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:697). 3. Kekeringan: Kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air (TKPSDA, 2003). 4. Berbasis: Didasarkan pada (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:83). 5. Penginderaan Jauh: Ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994 dalam Purwadhi dan Sanjoto, 2008:3).

21 6 6. Sistem Informasi Geografis: Kumpulan yang terorganisasi dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis (Esri, 1990 dalam Prahasta, 2009:117). 1.6 Sistematika Penulisan Skripsi Secara garis besar sistematika penulisan skripsi terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian awal, bagian isi, dan bagian penutup. 1. Bagian awal skripsi Bagian awal skripsi meliputi: halaman sampul, lembar judul, lembar persetujuan pembimbing, lembar pengesahan penguji, lembar pernyataan, lembar motto dan persembahan, sari, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran. 2. Bagian isi skripsi Bagian isi skripsi memuat lima pokok bahasan, yaitu: a. BAB I. Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan. b. BAB II. Landasan teori, memuat kajian secara teoritis mengenai masalah yang dibahas dalam penelitian deteksi potensi kekeringan berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis.

22 7 c. BAB III. Metode penelitian, memuat tentang metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi lokasi dan obyek penelitian, alat dan bahan penelitian, variabel penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data. d. BAB IV. Hasil dan Pembahasan e. BAB V. Kesimpulan dan Saran 3. Bagian akhir skripsi Pada bagian akhir skripsi berisi tentang: a. Daftar pustaka yang berisi tentang daftar buku dan literatur yang berkaitan dengan penelitian. b. Lampiran-lampiran yang berkaitan dengan penelitian.

23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan pada dasarnya adalah kondisi kekurangan air pada daerah yang biasanya tidak mengalami kekurangan air, sedangkan daerah yang kering adalah daerah yang mempunyai curah hujan kecil atau jumlah bulan kering dalam setahun lebih besar atau sama dengan delapan bulan. Menurut Kementerian Ristek (2008) kekeringan secara umum bisa didefinisikan sebagai pengurangan pesediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu tertentu (Raharjo, 2010). Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) membagi dua kategori kekeringan yaitu kekeringan alamiah dan kekeringan yang diakibatkan perbuatan manusia (TKPSDA, 2003). Adapun kekeringan alamiah terbagi menjadi lima sudut pandang yaitu: a. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Kekeringan hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, 8

24 9 b. danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. c. Kekeringan pertanian berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (Kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu dalam wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologis. d. Kekeringan sosial ekonomi berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti: rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air, menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan perkotaan. e. Kekeringan hidrotopografi berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan, musim kering dan topografi lahan. Kekeringan tidak taat aturan atau yang disebabkan manusia terjadi karena: a. Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidak taatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air. b. Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia. 2.2 Penginderaan Jauh Pengertian Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh (remote sensing) sering disingkat inderaja, adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung

25 10 dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan kiefer, 1994 dalam Purwadhi dan Sanjoto, 2008:3) Sistem Satelit Penginderaan Jauh Satelit tak berawak sebagai wahana penyadap informasi dari permukaan bumi telah mulai dikembangkan sejak awal tahun 60an. Aplikasi utamanya adalah di bidang kemiliteran. Baru awal pada dekade 70an, satelit tak berawak diluncurkan untuk sumberdaya bumi, yaitu ERT-1. Peluncuran ini diikuti oleh peluncuran satelit sumberdaya lain, dan juga pengembangan sistem pengolahan datanya. Mulai saat itulah teknologi di bidang pengolahan citra dikembangkan secara lebih serius. Berdasarkan misinya, satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu satelit cuaca dan satelit sumberdaya. Selain berdasarkan misinya, satelit penginderaan jauh dikelompokkan berdasarkan cara mengorbitnya yaitu satelit geostasioner dan satelit singkron matahari. Satelit geostasioner merupakan satelit yang diorbitkan pada ketinggian lebih kurang km di atas bumi, pada posisi geostasioner. Pada ketinggian ini, pengaruh gaya gravitasi dan sentrifugal bumi lebih kurang sebanding sehingga satelit yang ditempatkan di sana tidak tertarik ke bumi ataupun terlempar ke luar orbit. Pada umumnya satelit cuaca merupakan satelit geostasioner, misalnya GOES dan GMS. Pada posisi diam (yang sebenarnya terus bergerak untuk menempati posisi relatif konstan terhadap suatu lokasi di bumi) ini, satelit geostasioner hanya mampu merekam wilayah yang sama terus-menerus sepanjang

26 11 hari, tetapi dengan liputan yang sangat luas. Satelit jenis ini disebut singkron bumi (geo-synchronus satellite) karena posisi relatif tetap di atas permukaan bumi. Satelit singkron matahari (sun-synchronous satellite) sering pula disebut sebagai satelit berorbit polar karena mengorbit bumi dengan hampir melewati kutub, memotong arah rotasi bumi. Hampir semua satelit sumberdaya termasuk satelit singkron matahari, misalnya Landsat, SPOT, ERS dan JERS, IKONOS, Quickbird, Alos, Terra dan Aqua. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) yang sebenarnya merupakan satelit cuaca, juga melakukan orbit singkron matahari. Sesuai dengan namanya, satelit singkron matahari selalu bergerak memotong arah rotasi bumi dengan melalui atau hampir melalui kutub sehingga dapat meliput hampir seluruh bagian permukaan bumi. Oleh karena itu, satelit ini akan selalu berada di atas wilayah yang sama di permukaan bumi pada waktu lokal yang sama pula. Ketinggian orbit satelit jenis ini berkisar dari 600 km sampai dengan sekitar 1000 km, jauh rendah dibandingkan satelit geostasioner (Danoedoro, 2012:67) Data Penginderaan Jauh Digital Data penginderaan jauh digital (Citra digital) direkam dengan menggunakan sensor non-kamera, antara lain scanner, radiometer, spectrometer. Detektor yang digunakan dalam sensor penginderaan jauh adalah detektor elektronik dengan menggunakan tenaga elektromagnetik yang luas, yaitu spektrum tampak, ultraviolet, inframerah dekat, inframerah thermal, dan gelombang mikro. Citra digital dibentuk dari elemen-elemen gambar atau pixel

27 12 (Picture element) yang menyatakan tingkat keabuan pada gambar. Informasi yang terkandung dalam pixel tersebut bersifat diskrit yaitu mempunyai ukuran presisi tertentu (Purwadhi, 2001:48). Setiap citra digital penginderaan jauh satelit yang dihasilkan oleh setiap sensor mempunyai sifat khas datanya. Sifat khas data tersebut dipengaruhi oleh sifat orbit satelit, sifat dan kepekaan sensor penginderaan jauh terhadap panjang gelombang elektromagnetik, jalur transmisi yang digunakan, sifat sasaran (objek), dan sifat sumber tenaga radiasinya. Sifat orbit satelit dan cara operasi sistem sensornya dapat mempengaruhi resolusi dan ukuran pixel datanya. Sistem perekaman data penginderaan jauh dengan menggunakan sensor satelit dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu sistem pasif dan sistem aktif. Kedua sistem tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem, prosedur, dan metode pengolaan datanya. Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Sumber tenaga diambil dari matahari atau sumber lain. Salah satu data penginderaan jauh sistem pasif adalah data satelit (Landsat) Interpretasi Citra Penginderaan Jauh Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi, 2001:25). Interpretasi secara manual adalah interpretasi

28 13 data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti. Interpretasi secara digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara digital, mempunyai tujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap pixel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu. 2.3 Citra Landsat Satelit Landsat (Land satellite) merupakan suatu hasil program satelit sumberdaya bumi yang dikembangkan oleh NASA (the National Aeronautical and Space Administration) Amerika Serikat pertama kali diluncurkan pada 1972 dengan nama ERTS-1 ((Earth Resources Technology Satellite). Dengan kesuksesan peluncuran pertama, dilanjutkan dengan peluncuran selanjutnya seri kedua yang dengan nama Landsat-1. Seri Landsat saat ini telah sampai pada Landsat-7. Mulai dari Landsat-1 hingga Landsat-7 telah terjadi perubahan desain sensor sehingga ketujuh satelit tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 generasi, yaitu generasi pertama (Landsat 1-3), generasi kedua (Landsat 4 dan 5), serta generasi ketiga (Landsat 6

29 14 dan 7). Landsat 1 dan 2 memuat dua macam sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicion) yang terdiri atas 3 saluran dan MSS (multispectral scanner) yang terdiri atas 4 saluran dengan resolusi spasial 79 meter. Landsat 4 dan 5 memuat dua macam sensor pula, dengan mempertahankan MSS-nya, tetapi menggantikan RBV dengan TM (Thematic Mapper) karena alasan kapabilitas. Dengan demikian, urutan penomeran MSS menjadi MSS1, MSS2, MSS3, dan MSS4. Sensor TM yang mempunyai 7 saluran dinomeri urut dari 1 sampai dengan 7. Pada 1993 Landsat generasi 3 (Landsat 6) diluncurkan, tetapi misi ini gagal karena sesaat peluncuran satelit Landsat 6 hilang. Pada 1999 Landsat 7 diluncurkan dengan membawa sensor multispektral beresolusi 15 meter untuk citra pankromatik dan 30 meter untuk citra multispektral serta 60 meter untuk citra inframerah termal. Dengan demikian, berbeda dari sensor TM pendahulunya yang hanya membawa tujuh saluran spektral, sensor Landsat 7 yang disebut ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus, atau TM yang telah diperbaiki kinerjanya) ini memuat 8 saluran, di mana saluran 6 telah dinaikkan resolusi spasialnya dai 120 meter menjadi 60 meter, dan saluran 8 merupakan saluran pankromatik dengan julat panjang gelombang antara 0,58 0,90 µm. Sejak 31 Mei 2003, sistem sensor pada Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan berupa kegagalan pengoreksi garis pemindai (scan line corrector, SLC). Akibat kegagalan ini, data hasil pemindai pun banyak yang hilang. Melalui operasi sistem sensor yang menggunakan moda SLC-off ini, diperoleh citra digital

30 15 yang menampakkan baris-baris pemindai yang melompat-lompat (Danoedoro, 2012:68). Karakteristik citra Landsat 7ETM+ dijelaskan dalam tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik Citra Landsat 7 ETM+ Band Saluran Gelombang Resolusi Kegunaan Spektral (µm) spasial (meter) Biru 30 X 30 Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tumbuhan, pemetaan kehutanan, dan mengidentifikasi budidaya manusia Hijau 30 X 30 Untuk pengukuran nilai pantul hijau pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan budidaya manusia Merah 30 X 30 Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, yang dapat digunakan untuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman Infra merah dekat Infra merah dekat Infra merah termal Infra merah sedang Pankromatik Sumber: Humaidi 2005 ( 2.4 Sistem Informasi Geografis Pengertian SIG (Sistem Informasi Geografis) 30 X 30 Untuk membedakan jenis tumbuhan, aktifitas dan kandungan biomas untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah. 30 X 30 Menunjukan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan 60 X 60 Untuk menganalisis tingkat tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas 30 X 30 Berguna untuk pengenalan terhadap mineral dan jenis batuan, juga sensitive terhadap kelembaban tumbuhan 15 X 15 Untuk peningkatan resolusi spasial. Menurut Aronoff (1998), SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer (CBIS) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi

31 16 geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena di mana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis (Prahasta, 2009:116). Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data dan (d) keluaran Subsistem SIG (Sistem Informasi Geografis) Berdasarkan definisi diatas, SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsitem yang dapat diuraikan sebagai berikut (Prahasta, 2009:118): a. Data Input Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan, mempersiapkan, dan menyimpan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Sub-sistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengonversikan atau mentranformasikan format-format data aslinya ke dalam format (native) yang dapat digunakan oleh perangkat SIG yang bersangkutan. b. Data Output Subsistem ini bertugas untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran (termasuk mengekspornya ke format yang dikehendaki) seluruh atau sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, report, peta dan lain sebagainya.

32 17 c. Data Management Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data sedemikian rupa hingga mudah dipanggil kembali atau diretrieve (diload ke memori), diupdate, dan diedit. d. Data manipulation dan analisyis Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi (Evaluasi dan penggunaan fungsi-fungsi dan operator matematis&logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Subsistem SIG dapat diilustrasikan pada gambar 2.1 dibawah ini dengan memperjelas uraian jenis masukan, proses, dan jenis keluaran yang ada di dalamnya. Gambar 2.1 Ilustrasi uraian Sub-sistem SIG (Prahasta, 2009:119) Kemampuan SIG Salah satu kemampuan SIG adalah kemampuan analisis yang dapat dilakukanya. Secara umum terdapat dua jenis kemampuan analisis SIG, yaitu analisis spasial dan analisis atribut (Basis data atribut).

33 18 a. Kemampuan analisis atribut Analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basisdata (DBMS) dan perluasanya. Operasi dasar basisdata mencakup: membuat basis data baru, menghapus basisdata, membuat tabel basisdata, mengisi dan menyisipkan data, membaca dan mencari data, mengedit data yang terdapat di dalam tabel basisdata dan membuat indeks untuk setiap tabel basisdata Sedangkan perluasan basisdata meliputi: Membaca basisdata dalam sistem basisdata yang lain, dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain, dapat menggunakan bahasa basisdata standar SQL, operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan di dalam sistem basisdata b. Kemampuan analisis spasial 1. Klasifikasi: Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. 2. Jaringan (network): Fungsi ini merujuk data spasial titik-titik (point) atau garis-garis (line) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. 3. Overlay: Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkanya. 4. Buffering: Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk polygon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkanya.

34 D analysis: Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak menggunakan fungsi interpolasi. 6. Digital image processing (pengolahan citra digital): fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang berbasiskan raster. 2.5 Identifikasi Daerah Berpotensi Kekeringan Penelitian deteksi potensi kekeringan berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis ini menggunakan data penginderaan jauh berupa Landsat 7ETM+ serta kondisi fisiografis yang berpengaruh terhadap kekeringan, diantaranya: kondisi curah hujan, kondisi hidrogeologi dan penggunaan lahan. Citra Landsat sudah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian kekeringan, salah satu metode yang sering digunakan pada citra landsat untuk identifikasi kekeringan yaitu dengan menggunakan indeks vegetasi dan Tasseled Cap Tranformation (TCT). Transformasi Tasseled Cap merupakan formula matemtik untuk menghitung tingkat kecerahan (brightness), kehijauan (greenness), dan kelembaban (wetness) dari angka-angka digital disetiap band (Band 1 hingga band 5 dan band 7) pada citra Landsat. Nilai-nilai dalam TCT yaitu Brightness, Greeness, dan Wetness bisa digunakan dalam menganalisis kekeringan (Shofiyati, 2007). Tranformasi Tasseled Cap memanfaatkan feature space pada keenam saluran sekaligus. Prinsip tarnformasi ini ialah penyusunan kembali sumbu-sumbu saluran dalam ruang spektral sehingga sumbu-sumbu tersebut terputar (terotasi) ke arah tertentu, yang satu sama lain ortogonal (Danoedoro, 2012:269).

35 Indeks Vegetasi Indeks Vegetasi merupakan suatu bentuk tranformasi spektral yang diterapkan terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi Klorofil dan sebagainya (Danoedoro, 2012:246). Secara praktis, indeks vegetasi merupakan suatu tranformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus, dan menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi. Tranformasi indeks vegetasi dapat dikelompokkan ke dalam empat golongan besar, yaitu (a) Indeks vegetasi dasar (generik), (b) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh latar belakang tanah, (c) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh atmosfer dan (d) indeks vegetasi lainya (Danoedoro, 2012:246). Salah satu tranformasi indeks vegetasi dasar yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Indeks ini sederhana dan mempunyai nilai range yang dinamis dan sensitif yang paling bagus terhadap perubahan tutupan vegetasi. Saluran yang digunakan dalam transformasi ini adalah saluran merah dan inframerah. Kedua saluran ini dipilih karena memiliki kepekaan yang berbeda terhadap vegetasi. Klorofil a dan b yang merupakan pigmen penting dari tanaman menyerap cahaya biru dan merah. Klorofil a pada panjang gelombang 0,43 dan 0,66 µm dan klorofil b pada panjang gelombang 0,45 dan 0,65 µm (Jensen, 2005 dalam Dian, 2010).

36 21 Hal tersebut mengakibatkan pada band merah nilai reflectance vegetasi sangat rendah. Berbeda dengan bend merah, pada band inframerah dekat nilai pantulan vegetasi sehat meningkat tajam. Sepanjang julat inframerah dekat ini (0,7 1,2 µm) cahaya matahari yang diterima oleh tanaman mengandung sebagian besar energi matahari. Jika tanaman menyerap energi tersebut seperti pada panjang gelombang tampak maka tanaman akan terlalu panas sehingga protein yang didalamnya akan rusak. Pada panjang gelombang ini terjadi pantulan yang tinggi (40% - 60%), transmisi juga tinggi (40 60%), serta penyerapan yang rendah (5-10%). Rouse et al (1974) dalam Dian (2010) mengembangkan formula untuk mendapatkan kerapatan vegetasi: NDVI = (NIR-Red) / (NIR+Red) Hasil dari formula tersebut berkisar antara -1 sampai +1. Nilai -1 mengindikasikan bahwa pada saluran merah memiliki nilai pantulan maksimum dan pada saluran inframerah dekat memiliki pantulan minimum. Hal ini menunjukan daerah non vegetasi. Begitupun sebaliknya, nilai +1 menunjukan terjadi pantulan maksimum pada saluran inframerah dekat dan pantulan minimum pada saluran merah, sehingga menunjukka area bervegetasi kerapatan tinggi. Perhitungan perbandingan sifat respon obyek terhadap pantulan sinar merah dan NIR dapat menghasilkan nilai dengan karakteristik khas yang dapat digunakan untuk memperkirakan kerapatan atau kondisi kanopi/kehijauan tanaman. Tanaman yang sehat berwarna hijau mempunyai nilai indeks vegetasi tinggi. Hal ini disebabkan oleh hubungan terbalik antara intensitas sinar yang dipantulkan vegetasi pada spektral sinar merah dan NIR.

37 22 Hasil transformasi NDVI pada citra menghasilkan nilai yang sngat beragam, maka dilakukan penyederhanaan nilai-nilai tersebut menjadi beberpa kelas. Berikut klasifikasi nilai NDVI dengan pengharkatan yang disesuaikan terhadap potensi kekeringan di Kabupaten Klaten. Tabel 2.2 Klasifikasi dan pengharkatan NDVI No Nilai NDVI Keterangan Harkat 1-1 s/d Lahan tidak bervegatasi s/d 0.19 Kehijauan sangat rendah s/d 0.50 Kehijauan rendah s/d 0.63 Kehijauan sedang s/d 1.00 Kehijauan tinggi 1 Sumber: Perhitungan data, tahun Indeks Kebasahan dan Indeks Kecerahan Kelembaban tanah permukaan adalah air yang mengisi pori-pori horizon tanah atau lapisan tanah bagian atas. Setiap permukaan tanah mampunyai kelembaban tanah yang berbeda-beda dan mempunyai karakteristik nilai pantulan pada sensor yang berbeda-beda pula. Dengan hubungan bahwa suatu tanah yang mempunyai kelembaban yang tinggi mengasumsikan bahwa tanah tersebut sering tergenang air, sehingga dari sini didapat hubungan bahwa semakin tinggi kelembaban tanah maka semakin sering tanah tersebut tergenang dan mempunyai kerawanan yang rendah terhadap kekeringan. Demikian pula sebaliknya jika kelembaban tanah semakin rendah maka semakin jarang pula daerah tersebut tergenang air dan kerawanan kekeringan juga semakin tinggi. Kelembaban tanah diperoleh dengan pendekatan indeks kebasahan (wetness index) dan indeks kecerahan (brightness index), dengan asumsi bahwa nilai kebasahan adalah yang paling mendekati kelembaban tanah. Nilai kebasahan

38 23 ini selanjutnya digunakan sebagai nilai kelembaban tanah. Mengetahui kebasahan tanah pada suatu tempat dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ dapat rnenggunakan formula yang merupakan pengalian, penambahan dan pengurangan pada saluran 1, saluran 2, saluran 3, saluran 4, saluran 5 dan saluran 7. Algoritma Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan Landsat 7 ETM+ disajikan dalam tabel 2.3. Tabel 2.3 Algoritma Tranformasi Tasseled Cap Landsat 7ETM+ Saluran Tranformasi Wetness Brightness Band Band Band Band Band Band Sumber: Liu dan Mason dalam Danoedoro, 2012:271 Nilai wetness yang negatif menunjukkan bahwa tingkat kebasahan tanah yang kecil, sedangkan nilai wetness yang semakin positif menunjukkan tingkat kebasahan yang semakin besar. Nilai spektral dari trnformasi Indeks Kebasahan (Wetness Index) dalam hubunganya kekeringan di Kabupaten Klaten dapat diklasifikasikan pada tabel 2.4 sebagai berikut: Tabel 2.4 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kebasahan No Nilai Wetness Index Keterangan Harkat 1 nilai terendah s/d sangat kering s/d kering s/d sedang/lembab s/d sangat lembab s/d nilai tertinggi sangat tinggi/ tergenang 1 Sumber: Perhitungan data, 2012.

39 24 Indeks Kecerahan memberikan informasi bahwa permukaan cerah dipantulkan dari permukaan yang kering. Artinya, semakin gelap tanah maka ketersediaan bahan organik lebih tinggi, kelembaban tinggi dan ketersediaan air cukup. Nilai spektral dari trnformasi Indeks Kecerahan (Brightess index) dalam hubunganya kekeringan di Kabupaten Klaten dapat diklasifikasikan pada tabel 2.5. Tabel 2.5 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kecerahan No Nilai Brightness Index Keterangan Harkat 1 > cerah Cerah Agak cerah Gelap 2 5 Nilai terendah s/d gelap 1 Sumber: Perhitungan data, Curah Hujan Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan diameter 0.5 mm atau lebih. Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Curah hujan menjadi sangat penting dalam penelitian ini karena merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan kondisi permukaan dalam sudut pandang sumberdaya air. Hujan merupakan suatu masukan (input) yang akan diproses oleh permukaan lahan untuk menghasilkan suatu keluaran (Raharjo, 2010). Pengharkatan nilai curah hujan didasarkan dari jumlah curah hujanya. Daerah dengan jumlah curah hujan paling kecil dapat dikatakan bahwa daerah itu akan lebih berpengaruh terhadap kejadian kekeringan. Oleh karena itu, untuk

40 25 daerah yang mempunyai nilai curah hujan rendah akan diberi nilai skor yang lebih tinggi daripada daerah dengan curah hujan tinggi. Adapun pengharkatan tertera pada tabel 2.6. Tabel 2.6 Klasifikasi curah hujan terhadap kekeringan No Curah hujan rata-rata Harkat 1 < Sumber : Fersely, Kondisi Hidrogeologi Hidrogeologi digunakan dalam penelitian ini karena dapat menggambarkan kondisi air bawah tanah. Tipe dan jenis akuifer menentukan dalam kemungkinan terjadinya kekeringan. Kondisi air tanah yang relatif sedikit akan semakin berkurang dengan adanya musim kemarau. Suplai air tanah berkurang dan menjadikan ketersediaan air menjadi kecil (Raharjo, 2010). Pengharkatan jenis akuifer dilakukan dengan melihat tingkat pengaruh jenis akuifer terhadap potensi kekeringan. Pengharkatan kondisi hidrogeologi disajikan pada tabel 2.7. Tabel 2.7 Klasifikasi kondisi hidrogeologi terhadap kekeringan No Tipe Akuifer Harkat 1 Air tanah langka 4 2 Produktivitas kecil 3 3 Produktivitas sedang 2 4 Produktivitas tinggi 1 Sumber: Tjahjono 2008, dengan meodifikasi Penggunaan Lahan Penggunaan lahan berperan dalam menampung air ataupun melimpaskanya. Daerah yang ditumbuhi banyak pepohonan akan membantu

41 26 dalam penyerapan air sehingga air akan mudah ditampung dan limpasan air akan kecil sekali terjadi. Hal ini disebabkan besarnya kapasitas serapan air oleh pepohonan dan lambatnya air limpasan mengalir akibat tertahan oleh akar dan batang pohon. Kaitanya dalam kekeringan, nilai skor rendah diberikan pada daerah dengan tutupan lahan didominasi oleh pepohonan, sedangkan nilai skor tinggi untuk daerah dengan penutup lahan minim pepohonan atau tanpa pepohonan. Pemberian nilai nol pada tubuh air dikarenakan tubuh air dianggap tidak pernah mengalami kekeringan. Klasifikasi masing-masing penggunaan lahan yang berkaitan dengan potensi kekeringan dapat dilihat pada tabel 2.8. Tabel 2.8 Klasifikasi penggunaan lahan terhadap kekeringan No Penggunaan lahan Harkat 1 Tanah terbuka, lahan terbangun(pemukiman) 4 2 Pertanian lahan kering, tegalan, sawah 3 3 Semak 2 4 Hutan, kebun campuran, perkebunan, tambak 1 5 Tubuh air 0 Sumber: Fersely, 2007

42 27 Citra Landsat 7ETM+ path120 row 65 perekaman Batas administrasi Koreksi Geometri Peta Curah hujan Pemotongan area Koreksi Radiometri & highlight cloud Peta Hidrogeologi Validasi Peta Penggunaan lahan Citra landsat 7ETM+ Klaten terkoreksi & bebas awan Diterima/tidak Tranformasi Tranformasi Skoring dan overlay Wetness index Brightness index Tranformasi NDVI Klasifikasi Vectorize Diterima Tidak Diterima Cek Lapangan Pembobotan Peta potensi tingkat Peta NDVI Peta Indeks Peta Indeks Kecerahan Kelembaban Keterangan : Input Proses Hasil antara Output Gambar 2.3. Diagram Alir Penelitian

43 Penelitian Relevan Penelitian mengenai kekeringan berbasis penginderaan jauh telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian yang dilakukan baik hanya berdasarkan analisis citra satelit maupun gabungan antara analisis citra satelit dengan parameter kondisi fisik lahan. Rahma Winati (2006) telah melakukan penelitian di sebagian Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini mencoba memetakan daerah potensi rawan kekeringan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ perekaman bulan Juni Metode yang digunakan yaitu analisis berbasis Citra Satelit dengan menghitung nilai spektral citra hasil Tranformasi Normalized Difference Vegetation Index dan Wetness Index dan mengkelaskan ke dalam beberapa tingkat klasifikasi. Hasil dari penelitian ini adalah peta potensi rawan kekeringan. Penelitian dilakukan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2007) yaitu oleh Rizatus Shofiyati pada lahan sawah DAS Citarum Jawa Barat. Menggunakan citra Landsat TM dengan pemilihan tanggal perekaman yang mewakili musim kemarau, peneliti mencoba mengintegrasikan nilai spektral citra Landsat TM hasil tranformasi NDVI, Wetness Index dan Brightness Temperatur. Adapun penelitian tersebut hanya pada lahan pertanian yaitu sawah. Hasil dari integrasi tranformasi tersebut dikelaskan menjadi empat kelas dengan hasil akhir peta tingkat kekeringan lahan sawah DAS Citarum Jawa Barat. Puguh Dwi Raharjo (2010) melakukan penelitian di Kabupaten Kebumen mencoba mengkombinasikan analisis citra satelit dengan kondisi fisik lahan.

44 29 Penelitian ini menggunakan data citra Landsat TM 7 perekaman bulan juni Analisis citra satelit untuk kekeringan yang dilakukan yaitu menggunakan tranformasi Normalized Difference Vegetation Index, Wetness Index dan Brightess Index. Hasil tranformasi tersebut dipisahkan nilai spektral yang berpotrensi dan yang tidak berpotensi kekeringan. Adapun parameter kondisi fisik yang digunakan yaitu Kondisi Hidrogeologi (potensi air tanah), Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Hasil analisi citra satelit dioverlaykan dengan parameter penunjang dengan memperhitungkan tingkat pengaruh kekeringan dengan hasil akhir peta identifikasi potensi kekeringan. Dari paparan penelitian tersebut, peneliti bermaksud melakukan penelitian mengenai kekeringan berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah citra Landsat TM5 tahun 2009 dengan pemilihan tanggal perekaman 29 Juni dan parameter penunjang yang terdiri atas Rata-rata curah hujan, kondisi hidrogeologi dan penggunaan lahan. Adapun metode yang digunakan yaitu interpretasi citra digital dengan teknik tranformasi NDVI, indeks kelembaban dan indeks kecerahan. Tranformasi tersebut merupakan tranformasi yang menduga nilai lengas tanah dengan asumsi tanah dengan nilai lengas rendah maka potensi untuk terjadi kekeringan tinggi. Hasil transformasi tersebut dibuat peta NDVI, indeks kelembaban dan indeks kecerahan Pada penelitian ini tidak terlepas dari analisis Sistem Informasi Geografis dengan metode skoring dan pembobotan yang dilakukan dengan teknik overlay.

45 30 Tabel 2.9 Penelitian sebelumnya Nama Judul Penelitian Tujuan Peneltian Parameter Data citra Hasil Penelitian Rahma Aplikasi Indeks Vegetasi untuk Mengetahui kemampuan NDVI Landsat 7 ETM+ Peta Potensi Winati, Penentuan Potensi Rawan Terhadap Citra landsat 7 ETM+ dalam RVI tahun 2002 Rawan 2006 Kekeringan di sebagian Kabupaten mengidentifikasi potensi Wetness Index Kekeringan Kulonprogo rawan kekeringan Melakukan pengkelasan Tingkat kekeringan berdasarkan Vegetation index Riztus Shofiyati, 2007 Puguh Dwi Raharjo, 2010 Inderaja untuk Mengkaji Kekeringan di Lahan Pertanian Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Potensi Kekeringan Kabupaten Kebumen dan Wetness index mengidentifikasi, mengkaji, memetakan, dan memonitor kekeringan menggunakan pola spektral, TCT, NDVI, dan BT Mengidentifikasi wilayah yang mempunyai potensi kekeringan di Kabupaten Kebumen berdasarkan parameterparameter fisiknya secara umum. NDVI Brightness Temperatur Wetness Index Wetness index Brightness index NDVI Curah hujan Hidrogeologi Penggunaan Lahan Landsat TM tanggal perekaman diseleksi berdasarkan waktu yg mewakili musim kemarau Landsat 7TM tahun 2003 Peta Tingkat Kekeringan Pada Lahan Sawah Peta Identifikasi Potensi Kekeringan

46 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah dengan obyek penelitian yaitu potensi kekeringan. 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian deteksi potensi kekeringan ini yang menjadi populasi adalah potensi kekeringan wilayah Kabupaten Klaten. Sedangkan penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling. Penentuan sampel dilakukan pada hasil penggabungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan. Sampel yang diambil sebanyak 30 titik yang didasarkan pada kelas NDVI, namun tetap mempertimbangkan indeks kecerahan dan indeks kebasahan sehingga hasil dari kelas ke tiga indeks tersebut dapat terwakili (Lampiran 2.3) 3.3 Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian deteksi potensi kekeringan ini terdiri dari 2 kelompok yautu variabel yang didapatkan dari interpretasi citra Landsat 7 ETM+ dan variabel kondisi fisiografis berpengaruh terhadap kekeringan. 1. Interpretasi citra Landsat 7 ETM+ a. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) b. Indeks Kebasahan (Wetness Index) 31

47 32 c. Indeks Kecerahan (Brightness Index) 2. Kondisi fisiografis berpengaruh kekeringan a. Curah hujan b. Kondisi geohidrologi c. Penggunaan lahan 3.4 Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Laptop Amd 2.0 Ghz, Ram 2 Gb, Hardisk 500 Gb, sebagai alat untuk kegiatan pemetaan dan interpretasi citra satelit. (2) Aplikasi program Er Mapper 7.0, sebagai aplikasi untuk kegiatan analisis citra satelit. (3) Aplikasi program ArcGIS 9.3 dan ArcVew 3.3, sebagai aplikasi untuk pemrosesan peta digital. (4) GPS, untuk menentukan titik koordinat sampel di lapangan. (5) Kamera, untuk kegiatan dokumentasi di lapangan. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Citra Landsat 7 ETM+ Path 120 row 65, perekaman September 2002 dan September 2012 (2) Peta Geohidrologi Kabupaten Klaten (3) Peta Rata-rata curah hujan tahun Kabupaten Klaten (4) Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten tahun 2011.

48 Teknik Perolehan Data Pada penelitian ini teknik perolehan data yang digunakan meliputi: 1. Pengumpulan data penginderaan jauh adalah pengumpulan data hasil perekaman obyek dengan menggunakan sensor buatan. Data ini dapat berupa citra foto dan non-foto atau data numerik. Data numerik umumnya direkam pada Computer Compatible Tape (CCT). Data ini bisa dipesan melalui instansi-instansi tertentu, baik dalam maupun luar negeri (Tika, 2005:61). Teknik memperoleh data penginderaan jauh berupa citra Landsat 7ETM+ yaitu dengan cara men-download langsung melalui situs resmi USGS yaitu Untuk dapat men-download harus mempunyai akun terlebih dahulu yang berisikan informasi data pen- download dan keperluan penggunaan data. Citra satelit Landsat 7ETM+ yang didownload merupakan citra perekaman September 2002 dan September Pengumpulan data sekunder, merupakan cara dan teknik pengumpulan data tidak secara langsung dari subjek atau obyek yang diteliti, tetapi melalui pihak lain seperti instansi-instansi atau lembaga yang terkait, perpustakaan, arsip perorangan dan sebagainya (Tika, 2005:60). Dalam mengumpulkan data sekunder, peneliti membuat surat ijin mencari data dan penelitian yang ditujukan pada instansi terkait. Setelah mendapatkan persetujuan dari instansi terkait, maka data sekunder yang dibutuhkan dapat diberikan. Data sekunder dalam penelitian ini adalah curah hujan tahun yang diperoleh dari BMKG, peta geohidrologi dan peta penggunaan lahan yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Klaten.

49 34 3. Observasi, merupakan cara dan teknik perolehan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada obyek penelitian (Tika, 2005:44). Dalam mengumpulkan data menggunakan teknik observasi, peneliti mengamati kondisi lapangan dengan mencocokkan hasil interpretasi yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun kondisi lapangan yang diamati meliputi kondisi fisik wilayah di Kabupaten Klaten berdasarkan hasil interpretasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan penelitian, meliputi tahap persiapan, tahap penelitian dan tahap akhir yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Tahap persiapan Pada tahap ini dilakukan berbagai persiapan dengan mengumpulkan datadata yang diperlukan dalam penelitian seperti citra satelit Landsat 7 ETM+, peta curah hujan, peta geohidrologi, peta penggunaan lahan, persiapan peralatan dan studi kepustakaan mengenai literatu-literatur yang terkait dengan obyek penelitian. 2. Tahap penelitian Tahap penelitian dalam penelitian ini adalah pemrosesan citra digital dengan menganalisis indeks kecerahan, indeks kebasahan, dan indeks kehijauan untuk menegtahui tingkat kelengasan tanah dan kehijauan tanaman. Setelah pemrosesan citra digital selesai kemudian menggabungkan hasil tersebut dengan peta rata-rata curah hujan, peta geohidrologi, dan peta penggunaan lahan. Hasil

50 35 penggabungan tersebut akan dilakukan sekoring hingga didapatkan tingkat potensi kekringan. Pengukuran lapangan diperlukan guna validasi hasil analisis citra maupun hasil peta potensi kekeringan. 3. Tahap akhir Pada tahap akhir ini, berupa penyusunan hasil penelitian dalam bentuk laporan. 3.7 Teknik Analisis Data Teknik dalam penelitian ini menggunakan kombinasi antara analisis citra digital dan dilanjutkan dengan teknik sistem informasi geografis. 1. Teknik Interpretasi Citra Digital Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital. Pada penelitian ini menggunakan teknik interpretasi citra secara digital. Salah satu metode interpretasi digital adalah transformasi citra. Transformasi citra merupakan upaya untuk menonjolkan salah satu obyek dan menekan aspek yang lain. Citra yang digunakan untuk transformasi ini adalah citra yang telah terkalibrasi radiometri, sehingga nilai yang digunakan adalah nilai surface reflectance. Transformasi citra yang digunakan dalam mendeteksi daerah berpotensi kekeringan berupa teknik Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Indeks Kecerahan (Brightness index) dan indeks kebasahan (Wetness index).

51 36 Transformasi tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi spasial mengenai kerapatan vegetasi dan kelembaban permukaan. 2. Teknik Sistem Informasi Geografis a. Metode Pengharkatan (Scoring) Metode pengharkatan adalah pemberian skor terhadap masing-masing kelas dalam setiap parameter. Pemberian harkat ini didasarkan pada seberapa besar pengaruh kelas tersebut terhadap kekeringan. Semakin tinggi pengaruhnya terhadap kekeringan maka harkat yang diberikan akan semakin tinggi. Pemberian harkat terhadap parameter-parameter kekeringan dilakukan secara linear terhadap kelas-kelas dalam suatu parameter kekeringan. Adapun penjelasan dan kriteria pengharkatan untuk masing-masing parameter dapat dilihat pada bab II yang telah dijelaskan sebelumnya. Menentukan interval kelas potensi kekeringan dalam penelitian ini dengan cara menjumlahkan skor tertinggi dikurangi jumlah skor terendah dibagi dengan jumlah kelas yang diinginkan. Rumus berikut digunakan untuk mempermudah perhitungan: Skor maksimal skor minimal Interval Kelas = Jumlah kelas Berdasarkan parameter-parameter yang telah disebutkan didapatkan penjumlahan skor maksimum adalah 27 dan jumlah skor minimum adalah 6, jumlah kelas yang dibuat dalam penelitian ini adalah 5 kelas Interval Kelas = = 4,2 dibulatkan menjadi 4 5

52 37 Setelah interval kelas didapatkan, maka kelas potensi kekeringan dapat ditetapkan dan disajikan pada tabel 3.1 sebagai berikut: Tabel 3.1 Klasifikasi kelas potensi kekeringan No Kelas Interval Kelas 1 I 6 <=10 2 II >10 <=14 3 III >14 <=18 4 IV >18 <=22 5 V >22 Sumber: perhitungan data, Potensi Kekeringan rendah Rendah Agak tinggi Tinggi tinggi b. Metode Tumpang tindih (overlay) Tumpang tindih merupakan interaksi atau gabungan dari beberapa peta biofisik pemicu kekeringan. Tumpang tindih beberapa peta menghasilkan suatu informasi baru dalam bentuk luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa poligon dari peta-peta tersebut. Peta yang ditumpang tindih merupakan peta-peta yang sebelumnya telah diberi skor pada setiap kelas dari masing-masing parameter biofisik sehingga menghasilkan peta zonasi kekeringan. 3.8 Uji Ketelitian Interpretasi Citra Metode uji ketelitian interpretasi citra diperoleh dari survei lapangan dengan menggunakan tabel kesesuaian. Uji ketelitian bertujuan untuk mengetahui keakuratan hasil pengolahan citra dengan nilai ambang akurasi citra 85%, nilai tersebut digunakan sebagai nilai minimum untuk diterimanya suatu interpretasi

53 38 berbasis citra penginderaan jauh. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode simple random sampling karena populasi merupakan Kabupaten Klaten dengan daerah yang luas. Pengambilan sampel didasarkan pada hasil interpretasi digital citra satelit Landsat 7ETM+ yaitu kelas Normalized Difference Index, Indeks Kecerahan (Brightess Index) dan Indeks Kebasahan (Wetness Index). Titik benar Tingkat Kebenaran Interpretasi = X 100% Titik yang disurvei Nilai keakuratan dapat diketahui dengan menggunakan rumus di atas, yaitu dengan membandingkan jumlah titik survei yang benar dengan jumlah titik keseluruhan survei (Danoedoro, 2012:330).

54 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum daerah Penelitian Lokasi Penelitian a. Letak Astronomis Letak astronomis adalah letak suatu daerah yang didasarkan atas garis lintang dan garis bujur. Secara astronomis Kabupaten Klaten berada pada koordinat BT dan LS. b. Letak Administratif Kabupaten Klaten merupakan salah satu dari 35 kabupaten/kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Secara administrasi, Kabupaten Klaten terbagi menjadi 26 Kecamatan yaitu: Kemalang, Prambanan, Gantiwarno, Bayat, Cawas, Karangdowo, Wonosari, Polanharjo, Tulung, Jatinom, Karangnongko, Wedi, Karangnom, Ngawen, Klaten Utara, Klaten Tengah, Klaten Selatan, Kebonarum, Manisrenggo, Kalikotes, Trucuk, Ceper, Pedan, Jogonalan, Delanggu dan Juwiring. Adapun batas administrasi Kabupaten Klaten sebagai berikut: 1. Sebelah utara : Kabupaten Boyolali 2. Sebelah selatan : Kabupaten Gunung Kidul (Provinsi D.I.Y) 3. Sebelah barat : Kabupaten Sleman (Provinsi D.I.Y) 4. Sebelah timur : Kabupaten Sukoharjo 39

55 Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Klaten 40

56 41 Tabel 4.1. Luasan Kecamatan di Kabupaten Klaten No Kecamatan Luas dalam Ha 1 Bayat 4030,566 2 Cawas 3640,932 3 Ceper 2553,693 4 Delanggu 1962,362 5 Gantiwarno 2680,444 6 Jatinom 3622,698 7 Jogonalan 2754,349 8 Juwiring 3121,710 9 Kalikotes 1393, Karanganom 2583, Karangdowo 3056, Karangnongko 2986, Kebonarum 1099, Kemalang 5749, Klaten Selatan 1504, Klaten Tengah 998, Klaten Utara 1144, Manisrenggo 3081, Ngawen 1843, Pedan 2009, Polanharjo 2531, Prambanan 2667, Trucuk 3609, Tulung 3463, Wedi 2650, Wonosari 3321,185 Jumlah 70060,71 Sumber: Perhitungan data tahun Kondisi Bentuk Lahan Berdasarkan peta bentuk lahan yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Klaten (Gambar 4.2), bentuk lahan di daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 satuan yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

57 42 a. Satuan puncak Gunung Merapi Satuan puncak gunung merapi Kabupaten Klaten mempunyai luas ha dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl yang terletak di bagian atas Kecamatan kemalang b. Satuan kaki Gunung Merapi Satuan kaki Gunung Merapi Kabupaten Klaten mempunyai luas ha dengan ketinggian antara mdpl. Satuan ini berada pada hampir separuh Kabupaten Klaten yaitu pada Kecamatan Manisrenggo, Karangnongko, Jatinom, Tulung, Kebonarum, Ngawen, dan sebagian besar dari Kecamatan Kemalang, Prambanan, Jogonalan, Klaten selatan, Klaten Utara, Klaten Tengah, Kebonarum, Karangnom dan Polanharjo. c. Satuan Perbukitan Satuan perbukitan di Kabupaten Klaten merupakan satuan bentuk lahan terkecil dibandingkan dari satuan bentuk lahan yang lain berkisar antara ha yang berada pada sebagian Kecamatan Bayat. d. Satuan Dataran Satuan dataran di Kabupaten Klaten mempunyai luas ha dengan ketinggian antara < mdpl. Satuan ini berada pada hampir separuh Kabupaten Klaten yaitu pada Kecamatan Wonosari, Juwiring, Karangdowo, Cawas, Trucuk, Pedan, Gantiwarno, Wedi dan sebagian besar dari Kecamatan Bayat, Prambanan, Jogonalan, Klaten selatan, Klaten Utara, Klaten Tengah, Kalikotes, Ceper dan Delanggu.

58 Gambar 4.2 Peta Bentuk Lahan Kabupaten Klaten 43

59 44 Sumber: Pengolahan data tahun 2012 Tabel 4.2. Luasan Satuan Bentuk Lahan Kabupaten Klaten No Kecamatan Bentuk Lahan Luas (ha) No Kecamatan Bentuk Lahan Luas (ha) 1 Bayat Satuan Perbukitan 700,63 15 Klaten Satuan Kaki Gunung Merapi 827,673 Satuan Dataran 3329,936 Selatan Satuan Dataran 676,985 2 Cawas Satuan Dataran 3640, Klaten Satuan Kaki Gunung Merapi 298,854 3 Ceper Satuan Kaki Gunung Merapi 178,685 Tengah Satuan Dataran 699,716 Satuan Dataran 2375, Klaten Utara Satuan Kaki Gunung Merapi 1083,636 4 Delanggu Satuan Kaki Gunung Merapi 232,972 Satuan Dataran 60,931 Satuan Dataran 1729, Manisrenggo Satuan Kaki Gunung Merapi 3081,444 5 Gantiwarno Satuan Dataran 2680, Ngawen Satuan Kaki Gunung Merapi 1842,419 6 Jatinom Satuan Kaki Gunung Merapi 3622,697 Satuan Dataran 0,639 7 Jogonalan Satuan Kaki Gunung Merapi 1857, Pedan Satuan Dataran 2009,806 Satuan Dataran 896, Polanharjo Satuan Kaki Gunung Merapi 2278,673 8 Juwiring Satuan Dataran 3121,71 Satuan Dataran 252,795 9 Kalikotes Satuan Kaki Gunung Merapi 78, Prambanan Satuan Kaki Gunung Merapi 1475,626 Satuan Dataran 1315,066 Satuan Dataran 1191, Karanganom Satuan Kaki Gunung Merapi 2431, Trucuk Satuan Dataran 3609,612 Satuan Dataran 152, Tulung Satuan Kaki Gunung Merapi 3463, Karangdowo Satuan Dataran 3056,01 25 Wedi Satuan Perbukitan 29, Karangnongko Satuan Kaki Gunung Merapi 2986,014 Satuan Dataran 2621, Kebonarum Satuan Kaki Gunung Merapi 1099, Wonosari Satuan Dataran 3321, Kemalang Satuan Puncak Gunung Merapi 863,602 Satuan Kaki Gunung Merapi 4885,886

60 Kondisi Topografi Letak Kabupaten Klaten secara topografis diapit oleh Gunung Merapi dan Pegunungan Seribu dengan ketinggian antara meter di atas permukaan air laut (DPL). Adapun pengelomokkan wilayah Kabupaten berdasarkan ketinggian sebagai berikut: a. Wilayah dengan ketinggian kurang dari 100 mdpl, meliputi sebagian besar dari Kecamatan Wonosari, Juwiring, Karangdowo, Cawas dan sebagian kecil dari Kecamatan Pedan. b. Wilayah dengan ketinggian antara mdpl, meliputi Kecamatan Delanggu, Ceper, Kalten tengah, Klaten Utara, klaten Selatan, Trucuk, Bayat, Wedi, Gantiwarno, dan sebagian dari Kecamatan Jogonalan, Prambanan, Kebonarum, Ngawen, Karangnom, Polanharjo, Wonosari, Juwiring, Karangdowo, Cawas, pedan. c. Wilayah dengan ketinggian mdpl meliputi sebagian besar dari Kecamatan Manisrenggo, Karangnongko, Jatinom, Tulung dan sebagian kecil dari Kecamatan Jogonalan, Prambanan, Kebonarum, Ngawen, Karangnom, Polanharjo, Wonosari, Juwiring, Karangdowo, Cawas, pedan. d. Wilayah dengan ketinggian mdpl meliputi sebagian besar Kecamatan Kemalang, sebagian kecil dari Kecamatan Manisrenggo, Karangnongko, Jatinom, Tulung. e. Wilayah dengan ketinggian mdpl terletak di Kecamatan kemalang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.3 dan tabel 4.3.

61 Gambar 4.3 Peta Ketinggian Tempat Kabupaten Klaten 46

62 47 Tabel 4.3. Luasan Ketinggian Tempat Kabupaten Klaten No Kecamatan Ketinggian Luas (ha) No Kecamatan Ketinggian Luas (ha) 1 Bayat mdpl 4030,566 > 1000 mdpl 1241,796 2 Cawas < 100 mdpl 2361, Kemalang mdpl 274, mdpl 1278, mdpl 4233,201 3 Ceper mdpl 2553, mdpl 1470, Klaten Selatan 4 Delanggu mdpl 1962, mdpl 33,798 5 Gantiwarno mdpl 2680, Klaten Tengah mdpl 998, mdpl 0, mdpl 56,165 6 Jatinom mdpl 2920, Manisrenggo mdpl 2703, mdpl 702, mdpl 321,441 7 Jogonalan mdpl 2266, mdpl 824, Ngawen mdpl 488, mdpl 1018,608 8 Juwiring < 100 mdpl 1255,589 < 100 mdpl 198, Pedan mdpl 1866, mdpl 1811,133 9 Kalikotes mdpl 1393, mdpl 2176, Polanharjo mdpl 1194, mdpl 355, Karanganom mdpl 1389, mdpl 2472, Prambanan < 100 mdpl 2880, mdpl 7, Karangdowo mdpl 175, Trucuk mdpl 3609, mdpl 15, mdpl 1, Karangnongko mdpl 2398, Tulung mdpl 2819, mdpl 572, mdpl 642, mdpl 585, Wedi mdpl 2650, Kebonarum mdpl 513,434 < 100 mdpl 837, Wonosari mdpl 2484,044 Sumber: Perhitungan data tahun 2012

63 Kondisi Jenis Tanah Berdasarkan peta jenis tanah yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Klaten (Gambar 4.4), jenis tanah di Kabupaten Klaten terdiri atas beberapa jenis, baik yang terdapat secara tunggal, campuran beberapa jenis tanah, maupun kelompok tanah. a. Aluvial Kelabu: Terbentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah, memiliki sifat tanah yang subur. Tanah jenis ini berada di sebagian Kecamatan Bayat, Cawas, Juwiring, Karangdowo, Trucuk dan Wonosari. b. Grumosol: Bahan induk berupa abu dan pasir vulkan intermidier terdapat di sebagian Kecamatan Cawas, Bayat, Gantiwarno dan Wedi. c. Komplek Litosol & Mediteran Latosol: bahan induk dari skis kristal dan batu tulis yang terdapat di Kecamatan Bayat. d. Komplek Litosol & Regosol Kelabu: Tanah campuran dari litosol dan regosol terdapat pada daerah puncak gunung dan kaki gunung tepatnya di Kecamatan Kemalang, Manisrenggo, Prambanan, Gantiwarno, Jogonalan dan Wedi. e. Komplek Regosol Coklat dan Kealabu: bahan induk berupa abu dan pasir vulkan intermidier terdapat di Kecamatan Bayat dan Kalikotes. f. Regosol kelabu: Bahan induk abu dan pasir dan pasir vulkanik intermidier terdapat di sebagian besar Kabupaten Klaten bagian tengah hingga utara.

64 Gambar 4.4 Peta Jenis Tanah Kabupaten Klaten 49

65 Kondisi Curah Hujan Kondisi curah hujan di Kabupaten Klaten berdasarkan hasil analisis dari data yang diperoleh Badan Meteorologi dan Geofisika menunjukkan rata-rata curah hujan pada tahun sebesar mm/th. Data curah hujan di 7 stasiun penakar hujan dapat dilihat pada lampiran 3. Dari data tersebut dibuat menjadi peta curah hujan dengan menggunakan metode polygon thiessen. Proses pembuatan peta curah hujan menggunakan metode polygon thiessen dapat dilihat pada lampiran 2.2. Berdasarkan hasil pembuatan peta curah hujan didapatkan informasi 50% dari wilayah Kabupaten Klaten mempunyai kisaran curah hujan antara mm/th, 25% dari wilayah Kabupaten Klaten mempunyai kisaran curah hujan antara mm/th dan 25% dari wilayah Kabupaten Klaten mempunyai kisaran curah hujan antara mm/th. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.5. Peta curah hujan ini yang nantinya menjadi salah satu parameter untuk menduga daerah berpotensi terhadap kekeringan. Temperatur udara Kabupaten Klaten rata-rata Celsius dengan kecepatan angin rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya.

66 Gambar 4.5 Peta Curah Hujan Kabupaten Klaten 51

67 Kondisi Hidrologi & Hidrogeologi Wilayah kabupaten klaten dilalui oleh 28 sungai parenial atau sungai yang mengalir sepanjang tahun, sungai-sungai tersebut antara lain yaitu sungai bengawan solo, sungai dengkeng, sungai pususur, sungai gawe, dan sungai ujung. Sungai-sungai ini mengalir di beberapa kecamatan dengan banyak anak sungai dan sungai musiman. Potensi sumberdaya air dari beberapa sungai parenial tersebut dimanfaatkan dan dikelola dengan membuat saluran-saluran irigasi, baik teknis maupun setengah teknis maupun sederhana. Berdasarkan pola aliran dan batas administrasi, departemen pekerjaan umum sub bidang pengairan telah membagi kabupaten klaten ke dalam lima wilayah irigasi atau UPTD (Unit Pelayanan Teknis Daerah) yaitu: UPDT Delanggu, UPDT Pedan, Jatinom, Gondang, Kota. Jenis akuifer yang berada di Kabupaten Klaten terdiri dari beberapa tingkatan produktivitas air tanah yaitu: 1. Akuifer dengan produktivitas tinggi, penyebaran luas 2. Akuifer dengan produktivitas sedang, penyebaran luas 3. Akuifer dengan produktivitas sedang, penyebaran setempat 4. Akuifer produktif kecil penyebaran luas 5. Akuifer produktif kecil penyebaran setempat 6. Daerah airtanah langka Persebaran jenis akuifer tersebut dapat dilihat pada gambar 4.6

68 Gambar 4.6 Peta Hidrogeologi Kabupaten Klaten 53

69 Kondisi Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kabupaten Klaten dibedakan menjadi enam jenis yaitu pemukiman, kebun, tegalan, semak/belukar, sawah dan rawa. Berdasarkan peta yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Klaten (Gambar 4.7), pada tahun 2011 Kabupaten Klaten memiliki luas kebun 3.921,11 ha (5,5%), pemukiman seluas ,94 ha (29%), rawa seluas 163,28 ha (0,2%), sawah seluas 30723,95 ha (43,8%), semak belukar seluas 3.657,04 ha (5,2%) dan tegalan seluas ,41 ha (16%). Perhitungan luasan penggunaan lahan pada tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Klaten dapat dilihat pada tabel 4.4. Jenis penggunaan lahan pada penelitian ini menjadi salah satu parameter kondisi fisiografis yang berpengaruh terhadap kekeringan. Setiap jenis penggunaan lahan dikelaskan berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap kekeringan. Tabel 4.4 Luasan Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten No Penggunaan lahan Luas (ha) Persentase (%) 1 Kebun 3.921,111 5,59 2 Pemukiman ,904 29,07 3 Rawa 163,287 0,23 4 Sawah ,950 43,85 5 Semak Belukar 3.657,046 5,21 6 Tegalan ,412 16,02 Total , Sumber: BAPPEDA Kabupaten Klaten, 2012

70 Gambar 4.7 Peta Penggunaan lahan Kabupaten Klaten 55

71 Hasil Penelitian Sebaran Daerah Berpotensi Kekeringan Sebaran daerah berpotensi kekeringan dalam penelitian ini didapatkan dari penggabungan (Overlay) serta pengharkatan (Scoring) parameter-parameter yang digunakan yaitu: NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), Indeks Kecerahan (Brightness Index), Indeks Kebasahan (Wetness Index), kondisi curah hujan, kondisi hidrogeologi dan penggunaan lahan. Data atribut penggabungan keenam parameter tersebut dapat dilihat pada lampiran 5. Hasil sebaran daerah potensi kekeringan dapat dilihat pada gambar 4.20, tabel 4.8 dan tabel 4.9. Berikut penjelasan hasil analisis citra Landsat 7ETM+ untuk mengetahui kondisi permukaan lahan yang berkaitan dengan kekeringan yaitu: NDVI, indeks kecerahan dan indeks kebasahan. Sedangkan kondisi fisiografis berpengaruh terhadap kekeringan yaitu: curah hujan, kondisi hidrogeologi dan penggunaan lahan sudah dijelaskan pada gambaran umum wilayah. a. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubunganya dengan potensi kekeringan. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara nilai NDVI dengan ketersediaan air tanah (Dian, 2010). Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa obyek vegetasi merupakan obyek dengan kapasitas perespan air tinggi, sebaliknya obyek selain vegetasi merupakan obyek kedap air. Sehingga nilai NDVI yang tinggi menunjukan daerah dengan kerapatan vegetasi tinggi, kemampuan penyerapan air tinggi. Sebaliknya

72 57 nilai NDVI yang rendah menunjukkan daerah dengan kerapatan vegetasi yang rendah, kemamupan penyerapan air rendah. Berdasarkan hasil pengolahan transformasi NDVI yang diterapkan pada citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Klaten perekaman bulan kering yang ditunjukkan gambar 4.8 menghasilkan nilai spektral antara -0,878 sampai dengan 0,948. Nilai negatif memperlihatkan bahwa obyek yang berada pada piksel tersebut memiliki nilai pantulan yang lebih tinggi pada band 3 (merah) jika dibandingkan dengan pantulan pada band 4 (inframerah dekat). Pantulan yang tinggi pada band merah mengindikasikan kerapatan vegetasi yang rendah karena pada dasarnya terjadi penyerapan cahaya merah oleh pigmen tanaman. Nilai NDVI yang tinggi memperlihatkan vegetasi yang lebih rapat. Nilai pantulan vegetasi pada saluran 4 (Inframerah dekat) lebih tinggi karena pada panjang gelombang ini cahaya matahari mengandung sebagian besar energinya, sehingga vegetasi mengantisipasi rusaknya protein dengan memantulkan kembali cahaya tersebut (Dian, 2010). Proses transformasi NDVI dapat dilihat pada lampiran 1.7.

73 Gambar 4.8 Hasil Transformasi NDVI Kabupaten Klaten 58

74 59 Hasil transormasi NDVI pada citra memiliki nilai yang sangat beragam. Nilai yang bervariasi ini akan mempengaruhi dalam pemilihan sempel serta pengharkatan potensi kekeringan karena homogenitasnya. Oleh karena itu, dilakukan penyerdehanaan nilai-nilai tersebut menjadi beberapa kelas sehingga dapat dihasilkan daerah yang lebih homogen atau dalam hal ini memiliki nilai yang hampir seragam. Adapun teknik pengkelasan transformasi NDVI menggunakan teknik pemotongan nilai spektral dengan melihat kurva histogram yang dihasilkan. Berikut gambar kurva histogram hasil transformasi NDVI citra Landsat 7ETM+ kabupaten Klaten. Gambar 4.9. Histogram Transformasi NDVI Mengacu kurva histogram tersebut, dalam penelitian ini nilai spektral NDVI dikelaskan menjadi 5 kelas yang dapat dijelaskan pada tabel 4.5. Peta hasil klasifikasi transformasi NDVI dapat dilihat pada gambar Proses klasifikasi

75 60 NDVI dapat dilihat pada lampiran 1.8. Berdasarkan pengkelasan interval nilai spektral, hasil klasifikasi NDVI Kabupaten Klaten dikategorikan kedalam 5 kelas yaitu: kelas lahan tidak bervegetasi, kehijauan sangat rendah, kehijauan rendah, kehijauan sedang dan kehijauan tinggi. Berikut luasan masing masing kelas hasil transformasi NDVI. Tabel 4.5 Luas Kelas NDVI No Interval nilai spektral Klasifikasi Luas (ha) Persentase (%) 1-1 s/d Lahan tidak bervegatasi 847,541 1, s/d 0.19 Vegetasi sangat rendah 13548,701 19, s/d 0.50 Vegetasi rendah 36056,955 51, s/d 0.63 Vegetasi sedang 11088,945 15, s/d 1.00 Vegetasi tinggi 8518,568 12,16 Sumber: perhitungan data, tahun 2012 Kelas kerapatan vegetasi hasil transformasi NDVI dijelaskan sebagai berikut: 1. Kelas Lahan Tidak Bervegetasi Tingkat kerapatan vegetasi kelas lahan tidak bervegetasi mempunyai luasan 847,541 ha atau 1,21% dari luas total wilayah (Tabel 4.5). Kelas ini banyak tersebar di penggunaan lahan yang berupa aera pabrik, pertokoan, pemukiman, rawa dan sawah. Kondisi lapangan mengenai lahan tidak bervegetasi dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi NDVI pola sebaran kelas ini hampir terdapat di semua kecamatan dengan luasan yang kecil. Apabila dilihat kondisi geografisnya, kelas ini terdapat pada ketinggian di bawah 200 mdpl, curah hujan di bawah 2000 mm/th dan banyak terdapat pada penggunaan lahan pemukiman, sawah, belukar, tegalan dan rawa. Sebaran kelas lahan tidak bervegetasi hasil analisis NDVI dapat ditunjukkan pada gambar 4.11.

76 61 Kelas lahan tidak bervegetasi diakibatkan karena pantulan gelombang elektromagnetik saluran 3 (Band merah) lebih tinggi daripada pantulan dari saluran 4 (Inframerah dekat). Oleh karena itu, nilai NDVI bernilai rendah. Berdasarkan klasifikasi nilai NDVI yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi NDVI Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai NDVI anatara -1 s/d masuk pada kelas lahan tidak bervegetasi. 2. Kelas Vegetasi Rendah Tingkat kerapatan vegetasi kelas sangat rendah mempunyai luasan 13548,701 ha atau 19,34% dari luas total wilayah (Tabel 4.5). Kelas ini banyak tersebar di penggunaan lahan yang berupa aera pabrik, pertokoan, pemukiman, sawah, belukar, tegalan dan rawa. Kondisi lapangan mengenai lahan tidak bervegetasi dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi NDVI, pola sebaran kelas ini tidak jauh berbeda dengan kelas lahan tidak bervegetasi. Kelas kerapatan vegetasi sangat rendah pada umumnya terdapat di dekat atau di luar area lahan tidak bervegetasi. Apabila dilihat kondisi geografisnya, kelas ini terdapat pada ketinggian di bawah 200 mdpl, curah hujan di bawah 2000 mm/th. Sebaran kelas kerapatan vegetasi sangat rendah hasil analisis NDVI dapat ditunjukkan pada gambar Kelas kerapatan vegetasi sangat rendah diakibatkan karena pantulan gelombang elektromagnetik saluran 3 (Band merah) lebih tinggi daripada pantulan dari saluran 4 (Inframerah dekat). Oleh karena itu, nilai NDVI bernilai rendah. Berdasarkan klasifikasi nilai NDVI yang didasarkan pada pemotongan

77 62 kurva histogram transformasi NDVI Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai NDVI anatara s/d 0.19 masuk pada kelas vegetasi sangat rendah. 3. Kelas Vegetasi Rendah Tingkat kerapatan vegetasi kelas rendah mempunyai luasan 36056,955 ha atau 51,47% dari luas total wilayah (Tabel 4.5). Kelas ini banyak tersebar di penggunaan lahan yang berupa pemukiman, belukar dan sawah. Kondisi lapangan mengenai lahan tidak bervegetasi dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi NDVI pola sebaran kelas ini tidak jauh berbeda dengan kelas lahan tidak bervegetasi. Apabila dilihat kondisi geografisnya, kelas ini terdapat pada ketinggian di bawah 200 mdpl, curah hujan di bawah 2000 mm/th. Sebaran kelas kerapatan vegetasi rendah dari hasil analisis NDVI dapat ditunjukkan pada gambar Kelas kerapatan vegetasi rendah diakibatkan karena gelombang elektromagnetik saluran 3 (Band merah) terserap dalam pigmen-pigmen tanaman. Sedangkan saluran 4 (Inframerah dekat) terpantulkan kembali oleh tanaman untuk mengantisipasi rusaknya protein. Oleh karena itu, nilai NDVI bernilai rendah. Berdasarkan klasifikasi nilai NDVI yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi NDVI Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai NDVI anatara 0.19 s/d 0.50 masuk pada kelas vegetasi rendah. 4. Kelas Vegetasi Sedang Tingkat kerapatan vegetasi kelas sedang mempunyai luasan 11088,945 ha atau 15,83% dari luas total wilayah (Tabel 4.5). Kelas ini banyak tersebar di penggunaan lahan yang berupa kebun, pemukiman, belukar dan sawah. Kondisi

78 63 lapangan mengenai lahan tidak bervegetasi dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi NDVI pola sebaran kelas kerapatan vegetasi sedang hampir menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Klaten. Apabila dilihat kondisi geografisnya, kelas ini terdapat pada ketinggian <100 - >1000 mdpl, curah hujan antara mm/th. Sebaran kelas kerapatan vegetasi sedang dari hasil analisis NDVI dapat ditunjukkan pada gambar Kelas kerapatan vegetasi sedang diakibatkan karena gelombang elektromagnetik saluran 3 (band merah) terserap dalam pigmen-pigmen tanaman. Sedangkan saluran 4 (inframerah dekat) terpantulkan kembali oleh tanaman karena untuk mengantisipasi rusaknya protein. Oleh karena itu, pantulan saluran 4 (inframerah dekat) lebih besar daripada pantulan saluran 3 (merah). Hal tersebut menjadikan nilai NDVI tinggi. Berdasarkan klasifikasi nilai NDVI yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi NDVI Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai NDVI anatara 0.50 s/d 0.63 masuk pada kelas vegetasi sedang. 5. Kelas Vegetasi Tinggi Tingkat kerapatan vegetasi kelas tinggi mempunyai luasan 8518,568 ha atau 12,16% dari luas total wilayah (Tabel 4.5). Kelas ini terdapat hampir di setiap penggunaan lahan. Kondisi lapangan mengenai lahan tidak bervegetasi dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi NDVI pola sebaran kelas kerapatan vegetasi tinggi hampir menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Klaten. Apabila dilihat kondisi geografisnya, kelas ini terdapat pada ketinggian <100 - >1000 mdpl, curah hujan antara mm/th. Sebaran

79 64 kelas kerapatan vegetasi tinggi dari hasil analisis NDVI dapat ditunjukkan pada gambar Kelas kerapatan vegetasi tinggi diakibatkan gelombang elektromagnetik saluran 3 (Band merah) terserap dalam pigmen-pigmen tanaman. Sedangkan saluran 4 (Inframerah dekat) terpantulkan kembali oleh tanaman karena untuk mengantisipasi rusaknya protein. Oleh karena itu, pantulan saluran 4 (inframerah dekat) lebih besar daripada pantulan saluran 3 (merah). Hal tersebut menjadikan nilai NDVI tinggi. Berdasarkan klasifikasi nilai NDVI yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi NDVI Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai NDVI anatara 0.63 s/d 1 masuk pada kelas vegetasi tinggi. Kelas NDVI lahan tidak bervegatasi Koordinat X: Y: mu Kelas NDVI vegetasi sangat rendah Koordinat X: Y: Kelas NDVI vegetasi rendah Koordinat X: Y: mu Kelas NDVI vegetasi sedang Koordinat X: Y: Kelas NDVI vegetasi tinggi Koordinat X: Y: Gambar Kondisi Lapangan Kelas NDVI

80 Gambar 4.11 Hasil Klasifikasi Transformasi NDVI Kabupaten Klaten 65

81 66 b. Indeks Kecerahan (Brightness Index) Transformasi Indeks Kecerahan (Brightness Index) dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubunganya dengan potensi kekeringan. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semakin tinggi nilai kecerahan suatu obyek pada citra maka obyek tersebut semakin kering, sebaliknya semakin rendah tingkat kecerahan obyek pada citra maka obyek tersebut semakin basah. Berdasarkan hasil pengolahan transformasi indeks kecerahan yang diterapkan pada citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Klaten yang ditunjukan pada gambar 4.12 menghasilkan nilai spektral antara 7,31 sampai dengan 528,02. Nilai spektral hasil transformasi indeks kecerahan yang rendah memperlihatkan bahwa obyek yang berada pada pixel tersebut memiliki nilai pantulan yang rendah. Nilai pantulan yang rendah pada suatu citra penginderaan jauh dapat diakibatkan karena obyek tersebut memiliki permukaan yang kasar sehingga pantulan kemabali dari obyek tersebut tidak sempurna. Nilai pantulan yang rendah juga dapat diakibatkan pada obyek air. Dalam ilmu penginderaan jauh pantulan ini dinamakan pantulan baur. Sedangkan pantulan yang tinggi pada suatu citra penginderaan jauh diakibatkan karena obyek yang terkena gelombang elektromagnetik merupakan obyek yang mempunyai tingkat kehalusan serta kekerasan tinggi, sehingga gelombang elektromagnetik dapat terpantulkan dengan sempurna. Proses transformasi indeks kecerahan dapat dilihat pada lampiran 1.9.

82 Gambar 4.12 Hasil Transformasi Indeks Kecerahan Kabupaten Klaten 67

83 68 Hasil transormasi Indeks Kecerahan pada citra memiliki nilai yang sangat beragam. Nilai yang bervariasi ini akan mempengaruhi dalam pemilihan sempel serta pengharkatan rawan kekeringan karena homogenitasnya. Oleh karena itu, dilakukan penyerdehanaan nilai-nilai tersebut menjadi beberapa kelas, sehingga dapat dihasilkan daerah yang lebih homogen atau dalam hal ini memiliki nilai yang hampir seragam. Adapun teknik pengkelasan transformasi indeks kecerahan menggunakan teknik pemotongan nilai spektral dengan melihat kurva histogram yang dihasilkan. Berikut gambar kurva histogram hasil transformasi Indeks Kecerahan citra Landsat 7ETM+ kabupaten Klaten. Gambar 4.13 Histogram Transformasi Indeks Kecerahan Mengacu kurva histogram tersebut, dalam penelitian ini nilai spektral indeks kecerahan dikelaskan menjadi 5 kelas yang dapat dijelaskan pada tabel 4.6. Peta hasil klasifikasi transformasi indeks kecerahan dapat dilihat pada gambar 4.15.

84 69 Proses klasifikasi indeks kecerahan dapat dilihat pada lampiran Berdasarkan pengkelasan interval nilai spektral, hasil klasifikasi indeks kecerahan Kabupaten Klaten dikategorikan kedalam 5 kelas yaitu: gelap, gelap, agak cerah, cerah dan sangat cerah. Berikut luasan masing masing kelas hasil transformasi indeks kecerahan. Tabel 4.6 Luas Kelas Indeks Kecerahan No Interval nilai spektral Klasifikasi Luas (ha) Persentase (%) gelap 3664,339 5, Gelap 28051,457 40, Agak cerah 25142,320 35, Cerah 9486,439 13,54 5 > cerah 3716,156 5,30 Sumber: perhitungan data, tahun 2012 Kelas kecerahan hasil transformasi indeks kecerahan dijelaskan sebagai berikut: 1. Indeks Kecerahan Kelas Gelap Daerah dengan indeks kecerahan kelas sangat gelap mempunyai luasan 3664,339 ha atau 5,23% dari luas total wilayah (Tabel 4.6). Kelas ini banyak tersebar di penggunaan lahan yang berupa kebun, sawah dan daerah yang mempunyai kelembaban tinggi. Kondisi lapangan mengenai Indeks kecerahan kelas sangat gelap dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi indeks kecerahan pola sebaran kelas sangat gelap hanya terdapat di beberapa daerah dengan cakupan kecil. Kelas kecerahan sangat gelap diakibatkan karena obyek yang dikenai gelombang elektromagnetik merupakan obyek air atau permukaan yang lunak sehingga gelombang elektromagnetik dapat terserap atau terhamburkan dan sedikit membalikkan gelombang elektromagnetiknya. Akibat dari hal tersebut

85 70 nilai spektral indeks kecerahan bernilai rendah. Kelas ini terdapat pada rawa atau sawah yang masih terdapat air. Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kecerahan yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi indeks kecerahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral anatara nilai terendah s/d masuk pada kelas sangat gelap. 2. Indeks Kecerahan Kelas Gelap Daerah dengan indeks kecerahan kelas gelap mempunyai luasan 28051,457 ha atau 40,04% dari luas total wilayah (Tabel 4.6). Kelas ini tersebar di penggunaan lahan yang berupa sawah, kebun maupun pemukiman yang terdapat pohon. Kondisi lapangan mengenai indeks kecerahan kelas gelap dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi indeks kecerahan pola sebaran kelas gelap hampir terdapat di setiap kecamatan yang dapat dilihat pada gambar Kelas ini banyak terdapat di penggunaan lahan berupa sawa, kebun ataupun pemukiman yang terdapat pohon. Kelas kecerahan bernilai gelap diakibatkan obyek yang kasar ataupun lunak sehingga gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari satelit terserap ataupun terhamburkan. Oleh sebab itu gelombang balik elektromagnetik dari objek kurang sempurna dan mengakibatkan pada penajaman (Transformasi) kecerahan nilai spektralnya rendah (lebih tinggi dari kelas sangat gelap). Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kecerahan yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi indeks kecerahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral anatara s/d masuk pada kelas gelap.

86 71 3. Indeks Kecerahan Agak Cerah Daerah dengan indeks kecerahan kelas agak cerah mempunyai luasan 25142,320 ha atau 35,89% dari luas total wilayah (Tabel 4.6). Kelas ini banyak tersebar di penggunaan lahan yang berupa sawah, tegalan dan kebun yang kering. Kondisi lapangan mengenai indeks kecerahan kelas agak cerah dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi indeks kecerahan pola sebaran kelas agak cerah sebagian besar terdapat di Kecamatan Tulung, Manisrenggo, Prambanan, Gantiwarno, Jogonalan, dan Ceper (Gambar 4.15). Kelas kecerahan agak cerah diakibatkan obyek berupa lahan yang mempunyai permukaan kering dan keras seperti sawah dan tegalan sehingga gelombang balik elektromagnetik yang dipancarkan hampir sempurna. Pada obyek seperti ini kisaran nilai spektral hasil penajaman (Transformasi) kecerahan agak tinggi. Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kecerahan yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi indeks kecerahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral anatara s/d masuk pada pada kelas agak cerah. 4. Indeks Kecerahan Cerah Daerah dengan indeks kecerahan kelas cerah mempunyai luasan paling kecil diantara kelas lainya yaitu 9486,439 ha atau 13,54% dari luas total wilayah (Tabel 4.6). Kelas ini tersebar di penggunaan lahan yang berupa sawah dan tegalan yang kondisinya kering ataupun pada lahan terbangun seperti pemukiman dan pabrik. Kondisi lapangan mengenai Indeks kecerahan kelas cerah dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi indeks kecerahan,

87 72 kelas cerah sebagian besar terdapat di Kecamatan Bayat, Cawas dan Jogonalan (Gambar 4.15). Kelas kecerahan cerah diakibatkan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan mengenai sawah dan tegalan yang kering ataupun atap bangunan yang halus dan keras dengan tanpa hambatan sehingga dapat membalikkan gelombang elektromagnetik secara sempurna. kisaran nilai spektral hasil penajaman (Transformasi) pada obyek seperti ini tinggi. Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kecerahan yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi indeks kecerahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral anatara s/d masuk pada kelas cerah. 5. Indeks Kecerahan Cerah Daerah dengan indeks kecerahan kelas sangat cerah mempunyai luasan paling kecil diantara kelas lainya yaitu 3716,156 ha atau 5,30% dari luas total wilayah (Tabel 4.6). Kelas ini tersebar di penggunaan lahan terbangun seperti pemukiman dan pabrik maupun sawah dan tegalan yang kondisinya sangat kering. Kondisi lapangan mengenai Indeks kecerahan kelas sangat cerah dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi indeks kecerahan, kelas sangat cerah sebagian besar terdapat di Kecamatan Bayat, Cawas, Jogonalan dan Klaten (Gambar 4.15). Kelas kecerahan sangat cerah diakibatkan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan mengenai sawah dan tegalan yang kering ataupun atap bangunan yang halus dan keras dengan tanpa hambatan sehingga dapat membalikkan gelombang elektromagnetik secara sempurna. kisaran nilai spektral

88 73 hasil penajaman (transformasi) pada obyek seperti ini sangat tinggi. Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kecerahan yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi indeks kecerahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral > masuk pada kelas sangat cerah. Kelas indeks kecerahan sangat gelap Koordinat X: Y: Kelas indeks kecerahan sangat gelap Koordinat X: Y: Kelas indeks kecerahan gelap Koordinat X: Y: Kelas indeks kecerahan cerah Koordinat X: Y: Kelas indeks kecerahan agak cerah Koordinat X: Y: Gambar 4.14 Kondisi Lapangan Kelas Indeks Kecerahan.

89 Gambar 4.15 Hasil Klasifikasi Indeks Kecerahan Kabupaten Klaten 74

90 75 c. Indeks Kebasahan (Wetness Index) Transformasi Indeks Kebasahan (Wetness Index) dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubunganya dengan potensi kekeringan. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semakin rendah nilai spektral hasil transformasi Indeks Kebasahan suatu obyek maka obyek tersebut semakin kering, sebaliknya semakin tinggi tingkat nilai spektral hasil transformasi Indeks Kebasahan suatu obyek maka obyek semakin basah. Berdasarkan hasil pengolahan transformasi Indeks Kebasahan yang diterapkan pada citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Klaten perekaman bulan kering yang ditunjukan pada gambar 4.16 menghasilkan nilai spektral antara -215,875 sampai dengan 61,358. Nilai spektral hasil transformasi indeks kebasahan yang rendah memperlihatkan bahwa obyek yang berada pada pixel tersebut memiliki kondisi kelembaban rendah sehingga menghasilkan nilai pantulan yang tinggi. Sebaliknya nilai spektral hasil transformasi indeks kebasahan yang tinggi memperlihatkan bahwa obyek yang berada pada pixel tersebut memiliki kondisi kelembaban tinggi sehingga menghasilkan nilai pantulan yang rendah. Oleh karena itu, tinggi rendahnya nilai spektral hasil transformasi indeks kebasahan dapat menggambarkan tingkat kelembaban suatu obyek. Proses transformasi indeks kebasahan dapat dilihat pada lampiran 1.11

91 Gambar 4.16 Hasil Transformasi Indeks Kebasahan Kabupaten Klaten 76

92 77 Hasil transormasi Indeks Kebasahan pada citra memiliki nilai yang sangat beragam. Nilai yang bervariasi ini akan mempengaruhi dalam pemilihan sempel serta pengharkatan rawan kekeringan karena homogenitasnya. Oleh karena itu, dilakukan penyerdehanaan nilai-nilai tersebut menjadi beberapa kelas, sehingga dapat dihasilkan daerah yang lebih homogen atau dalam hal ini memiliki nilai yang hampir seragam. Adapun teknik pengkelasan transformasi Indeks Kecerahan menggunakan teknik pemotongan nilai spektral dengan melihat kurva histogram yang dihasilkan. Berikut gambar kurva histogram hasil transformasi Indeks Kecerahan citra Landsat 7ETM+ kabupaten Klaten. Gambar 4.17 Histogram Transformasi Indeks Kebasahan Mengacu kurva histogram tersebut, dalam penelitian ini nilai spektral indeks kebasahan dikelaskan menjadi 5 kelas yang dapat dijelaskan pada tabel 4.7. Peta hasil klasifikasi transformasi indeks kebasahan dapat dilihat pada gambar 4.19.

93 78 Proses klasifikasi indeks kecerahan dapat dilihat pada lampiran 1.9. Berdasarkan pengkelasan interval nilai spektral, hasil klasifikasi indeks kebasahan Kabupaten Klaten dikategorikan kedalam 5 kelas yaitu: kering, kering, lembab, sangat lembab dan tergenang. Berikut luasan masing masing kelas hasil transformasi indeks kebasahan. Tabel 4.7 Luas Kelas Indeks Kebasahan No Interval nilai spektral Klasifikasi Luas (ha) Persentase (%) 1 Nilai terendah s/d kering 21179,138 30, s/d Kering 18580,532 26, s/d Sedang/lembab 25909,164 36, s/d lembab 3281,535 4, s/d nilai tertinggi Tergenang 1110,341 1,58 Sumber: perhitungan data, tahun 2012 Kelas kecerahan hasil transformasi indeks kecerahan dijelaskan sebagai berikut: 1. Indeks Kebasahan Kelas Kering Daerah dengan indeks kebasahan kelas sangat kering mempunyai luasan 21179,138 ha atau 30,23 % dari luas total wilayah (Tabel 4.7). Kelas ini banyak tersebar di penggunaan lahan yang berupa pemukiman, pabrik, pertokoan (lahan terbangun), sawah, tegalan dan belukar. Kondisi lapangan mengenai indeks kebasahan kelas sangat kering dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi indeks kebasahan, pola sebaran kelas sangat kering sebagian besar terdapat di Kecamatan Bayat, Cawas, Karangdowo, Pedan, Ceper, Juwiring, Wonosari, Delanggu, Karangnom, Klaten Utara, Klaten tengah, Klaten selatan, Kalikotes, Wedi, Gantiwarno dan Prambanan (Gambar 4.19). Apabila dilihat kondisi geografisnya, kelas ini sebagian besar terdapat pada ketinggian di bawah 200 mdpl.

94 79 Indeks kebasahan kelas sangat kering diakibatkan karena obyek yang dikenai gelombang elektromagnetik merupakan obyek dengan permukaan cenderung kasar hingga halus. Hal tersebut mengakibatkan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari satelit terbalikkan dengan sempurna. Gelombang balik tersebut mengakibatkan nilai spektral hasil transformasi indeks kebasahan bernilai rendah. Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kebasahan yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi indeks kebasahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral terendah sampai dengan < masuk pada kelas sangat kering. 2. Indeks Kebasahan Kelas Kering Daerah dengan indeks kebasahan kelas kering mempunyai luasan 18580,532 ha atau 26,52% dari luas total wilayah (Tabel 4.7). Kelas ini banyak tersebar di penggunaan lahan yang berupa pemukiman, pabrik, pertokoan (Lahan terbangun), sawah, tegalan dan belukar. Kondisi lapangan mengenai indeks kebasahan kelas kering dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi indeks kebasahan, pola sebaran kelas lembab sebagian besar terdapat di Kecamatan kemalang, Trucuk, Jatinom, Polanharjo dan bayat (Gambar 4.19). Indeks kebasahan kelas lembab diakibatkan karena obyek yang dikenai gelombang elektromagnetik merupakan obyek dengan permukaan cenderung kasar hingga halus. Hal tersebut mengakibatkan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari satelit terbalikkan hampir sempurna. Gelombang balik tersebut mengakibatkan nilai spektral hasil transformasi indeks kebasahan bernilai rendah. Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kebasahan yang didasarkan pada

95 80 pemotongan kurva histogram transformasi indeks kebasahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral antara sampai dengan masuk pada kelas kering. 3. Indeks Kebasahan Kelas Lembab Daerah dengan indeks kebasahan kelas lembab mempunyai luasan 25909,164 ha atau 36,98% dari luas total wilayah (Tabel 4.7). Kelas ini banyak tersebar di penggunaan lahan yang berupa kebun, sawah dan pemukiman. Kondisi lapangan mengenai indeks kebasahan kelas lembab dapat ditunjukkan pada gambar Berdasarkan hasil transformasi indeks kebasahan, pola sebaran kelas lembab tidak jauh dari kelas sangat kering (Gambar 4.19). Indeks kebasahan kelas lembab diakibatkan dikarenakan obyek berupa kebun, sawah dan pemukiman yang lembab. Hal tersebut mengakibatkan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari satelit terserap ataupun terhamburkan, sehingga pada penajaman (Transformasi) kebasahan nilai spektralnya tinggi. Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kebasahan yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi indeks kebasahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral antara sampai dengan masuk pada kelas lembab. 4. Indeks Kebasahan Kelas Lembab Daerah dengan indeks kebasahan kelas sangat lembab mempunyai luasan 3281,535 ha atau 4,68% dari luas total wilayah (Tabel 4.7). Kelas ini banyak terdapat di penggunaan lahan berupa sawah yang masih basah. Kondisi lapangan mengenai indeks kebasahan kelas sangat lembab dapat ditunjukkan pada gambar

96 Berdasarkan hasil transformasi indeks kebasahan, pola sebaran kelas lembab sebagian besar terdapat di Kecamatan Karangnongko, Manisrenggo dan Polanharjo (Gambar 4.17). Indeks kebasahan kelas sangat lembab dikarenakan obyek berupa sawah yang sangat lembab. Hal tersebut mengakibatkan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari satelit terserap, sehingga pada penajaman (transformasi) kebasahan nilai spektralnya tinggi. Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kebasahan yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi indeks kebasahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral antara sampai dengan masuk pada kelas sangat lembab. 5. Indeks Kebasahan Kelas Tergenang Daerah dengan indeks kebasahan kelas tergenang mempunyai luasan terkecil diantara kelas yang lain yaitu 1110,341 ha atau 1,58% dari luas total wilayah (Tabel 4.7). Kelas ini hanya terdapat di Kecamatan Bayat yaitu pada daerah rawa (Gambar 4.19). Kondisi lapangan mengenai indeks kebasahan kelas tergenang dapat ditunjukkan pada gambar Indeks kebasahan kelas tergenang dikarenakan obyek berupa rawa yang tergenang air. Hal tersebut mengakibatkan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari satelit terserap, sehingga pada penajaman (Transformasi) kebasahan nilai spektralnya tinggi. Berdasarkan klasifikasi nilai spektral indeks kebasahan yang didasarkan pada pemotongan kurva histogram transformasi indeks kebasahan Kabupaten Klaten, daerah yang memiliki nilai spektral > masuk pada kelas tergenang.

97 82 WI kelas tergenang X: Y: WI kelas sangat lembab X: Y: WI kelas lembab X: Y: WI kelas kering X: Y: WI kelas sangat kering X: Y: Gambar Kondisi Lapangan Kelas Indeks Kebasahan.

98 Gambar 4.19 Hasil Klasifikasi Indeks Kebasahan Kabupaten Klaten 83

99 84 Berdasarkan hasil analisis NDVI, indeks kecerahan, indeks kebasahan yang telah digabungkan dengan kondisi fisiografis berpengaruh terhadap kekeringan yaitu: curah hujan, hidrogeologi dan penggunaan lahan dapat diketahui Kabupaten Klaten terdapat 5 kelas potensi kekeringan. Adapun kelas potensi tersebut yaitu: Potensi kekeringan sangat rendah seluas 155,610 ha (0,22%), potensi kekeringan rendah seluas 5348,789 ha (7,63%), potensi kekeringan agak tinggi seluas 34839,348 ha (49,73%), potensi kekeringan tinggi seluas 24724,229 ha (35,29%) dan potensi kekeringan sangat tinggi seluas 4992,734 ha (7,13%). Tabel 4.8 Luas Potensi Kekeringan Kabupaten Klaten Berbasis PJ&SIG No Potensi Kekeringan Luas potensi(ha) Luas kabupaten (ha) Persentase (%) 1 Potensi kekeringan sangat rendah 155, ,71 0,22 2 Potensi kekeringan rendah 5348, ,71 7,63 3 Potensi kekeringan agak tinggi 34839, ,71 49,73 4 Potensi kekeringan tinggi 24724, ,71 35,29 5 Potensi kekeringan sangat tinggi 4992, ,71 7,13 Sumber: pengolahan data, tahun 2012 Berikut penjelasan kelas potensi kekeringan di Kabupaten Klaten: 1. Potensi Kekeringan Rendah Potensi kekeringan sangat rendah sebagian besar terdapat pada daerah dengan kondisi fisiografis ketinggian tempat antara mdpl dengan curah hujan tinggi antara mm/th, penggunaan lahan kebun dan rawa, berada pada kondisi jenis akuifer produktivitas sedang hingga tinggi. Disamping kondisi fisiografis tersebut, potensi kekeringan sangat rendah berdasarkan hasil analisis citra landsat 7 ETM+ berada pada daerah dengan kerapatan vegetasi tinggi dan kelembaban basah hingga tergenang. Kelas potensi ini tersebar di

100 85 Kecamatan Bayat, Jatinom, Juwiring, Kalikotes, Karngnom, Karangdowo, Karangnongko, Kemalang, Manisrenggo, Pedan, Polanharjo, Trucuk dan Tulung. 2. Potensi Kekeringan Rendah Potensi kekeringan rendah sebagian besar terdapat pada daerah dengan kondisi fisiografis ketinggian tempat merata pada ketinggian kurang dari 100 hingga lebih dari 1000 mdpl dengan curah hujan antara mm/th, terdapat di semua jenis penggunaan lahan dan berada pada kondisi hidrogeologi jenis akuifer produktivitas sedang hingga tinggi. Disamping kondisi fisiografis tersebut, potensi kekeringan rendah berdasarkan hasil analisis citra landsat 7 ETM+ berada pada kerapatan vegetasi tinggi dengan kelembaban permukaan sangat basah. Kelas potensi ini tersebar di setiap Kecamatan di Kabupaten klaten. 3. Potensi Kekeringan Agak Tinggi Potensi kekeringan agak tinggi sebagian besar terdapat pada daerah dengan kondisi fisiografis dengan ketinggian tempat antara kurang dari 100 hingga 200 mdpl dengan curah hujan antara mm/th, terdapat di jenis penggunaan lahan sawah, pemukiman, tegalan dan berada pada kondisi hidrogeologi jenis akuifer produktivitas kecil hingga air tanah langka. Disamping kondisi fisiografis tersebut, potensi kekeringan agak tinggi berdasarkan hasil analisis citra landsat 7 ETM+ berada pada kerapatan vegetasi rendah hingga sedang dengan kodisi permukaan lembab hingga sangat kering. Kelas potensi ini sebagian besar tersebar di Kecamatan Manisrenggo, Prambanan, Jogonalan, Kebonarum, Ngawen, Karangnom, Klaten Utara, Klaten Selatan, Kalten Tengah, Kalikotes, Wedi, Bayat, Trucuk, Ceper dan Cawas.

101 86 4. Potensi Kekeringan Tinggi Potensi kekeringan tinggi sebagian besar terdapat pada daerah dengan kondisi fisiografis pada ketinggian tempat antara 100 hingga 200 mdpl dengan curah hujan rendah antara mm/th, terdapat di jenis penggunaan lahan sawah, pemukiman, tegalan dan berada pada kondisi hidrogeologi jenis akuifer produktivitas kecil hingga air tanah langka. Disamping kondisi fisiografis tersebut, potensi kekeringan tinggi berdasarkan hasil analisis citra landsat 7 ETM+ berada pada kerapatan vegetasi rendah hingga sedang dengan kondisi permukaan kering hingga sangat kering. Kelas potensi ini sebagian besar tersebar di Kecamatan Prambanan, Jogonalan, Kebonarum, Ngawen, Klaten Utara, Klaten Selatan, Kalten Tengah, Wedi, Bayat, Trucuk, Ceper dan Cawas. 5. Potensi Kekeringan Tinggi Potensi kekeringan sangat tinggi sebagian besar terdapat pada daerah dengan kondisi fisiografis dengan ketinggian tempat antara 100 hingga 200 mdpl dengan curah hujan rendah antara mm/th, terdapat di jenis penggunaan lahan sawah, pemukiman, tegalan dan berada pada kondisi hidrogeologi jenis akuifer produktivitas kecil hingga air tanah langka. Disamping kondisi fisiografis tersebut, potensi kekeringan sangat tinggi berdasarkan hasil analisis citra landsat 7 ETM+ berada pada kerapatan vegetasi sangat rendah dengan kondisi permukaan sangat kering. Kelas potensi ini sebagian besar tersebar di Kecamatan Bayat, Gantiwarno, Jogonalan, Kalikotes, Karangnongko, Kebonarum, klaten Selatan, Kalten Tengah dan Klaten Utara, Ngawen, Pedan, Prambanan, Trucuk, Wedi.

102 87 Tabel 4.9 Luas Sebaran Variasi Potensi Kekeringan di Kabupaten Klaten No Potensi kekeringan Kecamatan Luas (ha) Persentase 1 rendah Bayat 110,097 70,75 Jatinom 14,949 9,61 Karangdowo 3,818 2,45 Karangnongko 16,117 10,36 Kemalang 9,747 6,26 Manisrenggo 0,053 0,03 Tulung 0,829 0,53 Total 155, ,00 2 Rendah Bayat 171,212 3,20 Cawas 61,484 1,15 Ceper 28,032 0,52 Delanggu 4,867 0,09 Gantiwarno 1,089 0,02 Jatinom 866,252 16,20 Jogonalan 0,187 0,00 Juwiring 214,346 4,01 Kalikotes 5,150 0,10 Karanganom 100,452 1,88 Karangdowo 389,449 7,28 Karangnongko 546,810 10,22 Kebonarum 0,221 0,00 Kemalang 1489,922 27,86 Klaten Utara 0,078 0,00 Manisrenggo 614,189 11,48 Ngawen 0,003 0,00 Pedan 61,481 1,15 Polanharjo 117,099 2,19 Prambanan 0,447 0,01 Trucuk 25,449 0,48 Tulung 504,076 9,42 Wedi 1,857 0,03 Wonosari 144,637 2,70 Total 5348, ,00 3 Agak tinggi Bayat 1015,274 2,91 Cawas 1148,357 3,30 Ceper 1110,380 3,19 Delanggu 1310,864 3,76

103 Gantiwarno 1000,414 2,87 Jatinom 1458,995 4,19 Jogonalan 611,918 1,76 Juwiring 2150,174 6,17 Kalikotes 667,531 1,92 Karanganom 1605,248 4,61 Karangdowo 2072,481 5,95 Karangnongko 1903,460 5,46 Kebonarum 533,274 1,53 Kemalang 2625,607 7,54 Klaten Selatan 488,305 1,40 Klaten Tengah 233,513 0,67 Klaten Utara 253,857 0,73 Manisrenggo 1917,671 5,50 Ngawen 746,365 2,14 Pedan 1341,679 3,85 Polanharjo 1943,537 5,58 Prambanan 775,443 2,23 Trucuk 2084,506 5,98 Tulung 2466,697 7,08 Wedi 1151,626 3,31 Wonosari 2222,172 6,38 Total 34839, ,00 4 Tinggi Bayat 2268,408 9,17 Cawas 2272,042 9,19 Ceper 1358,321 5,49 Delanggu 657,541 2,66 Gantiwarno 1534,202 6,21 Jatinom 491,629 1,99 Jogonalan 1711,231 6,92 Juwiring 814,284 3,29 Kalikotes 647,575 2,62 Karanganom 897,879 3,63 Karangdowo 759,773 3,07 Karangnongko 514,131 2,08 Kebonarum 415,754 1,68 Kemalang 401,232 1,62 Klaten Selatan 620,077 2,51 Klaten Tengah 526,241 2,13 88

104 Klaten Utara 575,971 2,33 Manisrenggo 751,711 3,04 Ngawen 959,792 3,88 Pedan 631,517 2,55 Polanharjo 574,390 2,32 Prambanan 997,705 4,04 Trucuk 1338,503 5,41 Tulung 606,457 2,45 Wedi 1459,548 5,90 Wonosari 938,315 3,80 Total 24724, ,00 5 Tinggi Bayat 883,793 17,70 Cawas 402,004 8,05 Ceper 50,882 1,02 Delanggu 30,932 0,62 Gantiwarno 364,812 7,31 Jatinom 13,086 0,26 Jogonalan 679,645 13,61 Juwiring 14,338 0,29 Kalikotes 83,555 1,67 Karanganom 29,573 0,59 Karangdowo 1,926 0,04 Karangnongko 46,097 0,92 Kebonarum 183,518 3,68 Kemalang 1,944 0,04 Klaten Selatan 408,038 8,17 Klaten Tengah 301,113 6,03 Klaten Utara 337,081 6,75 Manisrenggo 16,172 0,32 Ngawen 207,995 4,17 Pedan 26,371 0,53 Polanharjo 36,393 0,73 Prambanan 418,134 8,37 Trucuk 119,943 2,40 Tulung 9,241 0,19 Wedi 281,164 5,63 Wonosari 44,984 0,90 Total 4992, ,00 Sumber: Pengolahan data, tahun

105 Gambar 4.20 Peta Potensi Kekeringan Kabupaten Klaten 90

106 Kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mendeteksi Daerah Berpotensi Kekeringan Kemampuan penginderaan jauh dalam mendeteksi daerah berpotensi kekeringan dapat dilakukan dengan memanfaatkan data penginderaah jauh berupa citra satelit. Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 7 ETM+ perekaman september 2002 dan september Penggunaan dua buah perekaman citra satu wilayah dimaksudkan untuk mengisi kekosongan pixel pada perekaman 2012 yang diakibatkan karena SLC-off (Scan line corrector-off). Citra Landsat 7 ETM+ dalam mendeteksi daerah rawan terhadap kekeringan dapat dilakukan dengan teknik transformasi atau penajaman multispektral. Transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) digunakan untuk mempertajam informasi kerapatan vegetasi, transformasi Indeks Kecerahan (Brightness Index) digunakan untuk mempertajam informasi kecerahan obyek dan transformasi Indeks Kebasahan (Wetness Index) digunakan untuk mempertajam informasi kelembaban obyek. Informasi hasil transformasi tersebut menggambarkan kondisi permukaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kekeringan permukaan. Sebelum proses transformasi, citra Landsat 7 ETM+ yang digunakan dilakukan proses pra-pengolahan yang terdiri dari penggabungan band (Lampiran 1.1), koreksi geometri (Lampiran 1.2), cloud masking (Lampiran 1.3) penggabungan citra 2002 dan 2012 (Lampiran 1.4) pemotongan citra (lampiran 1.5) dan koreksi radiometri (Lampiran 1.6). Hasil transformasi NDVI wilayah penelitian mempunyai nilai spektral berkisar antara sampai dengan Rentang nilai spektral tersebut kemudian dilakukan pengkelasan berdasarkan

107 92 kurva histogram yang terbagi menjadi 5 kelas yaitu: lahan tidak bervegetasi, vegetasi sangat rendah, vegetasi rendah, vegetasi sedang dan vegetasi tinggi. Hasil transformasi indeks kecerahan wilayah penelitian mempunyai nilai spektral berkisar antara 7.31 sampai dengan Rentang nilai spektral tersebut kemudian dilakukan pengkelasan berdasarkan kurva histogram yang terbagi menjadi 5 kelas yaitu: sangat gelap, gelap, agak cerah, cerah dan sangat cerah. Hasil transformasi indeks kebasahan wilayah penelitian mempunyai nilai spektral berkisar antara sampai dengan 61,358. Rentang nilai spektral tersebut kemudian dilakukan pengkelasan berdasarkan kurva histogram yang terbagi menjadi 5 kelas yaitu: sangat kering, kering, lembab, sangat lembab dan tergenang. Hasil interpretasi citra penginderaan jauh membutuhkan cek lapangan untuk mengetahui tingkat kebenaran hasil interpretasi tersebut. Keberhasilan sebuah interpretasi citra dapat dipercaya jika tingkat kebenaranya > 85%. Namun dalam penelitian pemanfaatan penginderaan jauh yang hasil interpretasinya akan digunakan untuk analisis lebih lanjut, maka hasil interpretasi tersebut harus mempunyai nilai keakuratan 100%. Penelitian potensi kekeringan ini merupakan penelitian sampel. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 titik menggunakan metode acak yang didasarkan pada hasil interpretasi NDVI, namun tetap memperhatikan indeks kecerahan dan indeks kebasahan. Peta pengambilan sampel hasil interpretasi dapat dilihat pada gambar lampiran 4. Berdasarkan hasil uji kebenaran interpretasi didapatkan 26 sampel NDVI benar dari total 30 sampel, maka didapatkan tingkat kebenaran interpretasi NDVI

108 93 sebesar 86,66%. Pada interpretasi Indeks Kecerahan terdapat 28 sampel benar dari total 30 sampel, maka didapatkan tingkat kebenaran interpretasi indeks kecerahan sebesar 93,33% dan hasil interpretasi indeks kebasahan terdapat 27 sampel benar dari total 30 sampel, maka didapatkan tingkat kebenaran interpretasi indeks kebasahan sebesar 90%. Perhitungan nilai akurasi tersebut dapat ditunjukkan pada tabel 4.10, sedangkan hasil cek lapangan terlampir pada lampiran 6. Nilai keakuratan tersebut belum baik digunakan karena penelitian ini bukan merupakan penelitian hasil interpretasi namun penelitian potensi kekeringan yang menggunakan hasil interpretasi. Oleh karena itu, hasil transformasi tersebut dilakukan perbaikan sehingga nilai akurasi hasil transformasi bernilai 100%. Tabel 4.10 Hasil Uji Akurasi Interpretasi No Hasil Interpretasi Jumlah Kondisi Lapangan Tingkat sampel Akurat Tidak akurat akurasi (%) 1 NDVI ,66% 2 Indeks Kecerahan ,33% 3 Indeks Kebasahan % Sumber: perhitungan data, tahun 2012 Perhitungan akurasi: NDVI = 26/30 x 100 = 86,66% Indeks Kecerahan = 28/30 x 100 = 93,33% Indeks Kebasahan = 27/30 x 100 = 90%

109 94 Perbaikan hasil transformasi dilakukan pada titik sampel yang tidak akurat dengan cara mengubah nilai kelas menggunakan Sistem Informasi Geografis. Setelah dilakukan perbaikan pada semua titik yang tidak akurat maka didapatkan akurasi hasil transformasi NDVI, indeks kecerahan dan indeks kebasahan sebesar 100%. Data yang sudah dilakukan perbaikan dapat digunakan untuk ianalisis lebih lanjut. Berikut adalah contoh gambar perbaikan kelas hasil transformasi yang tidak akurat. Hasil interpretasi Kondisi lapangan Perbaikan Gambar 4.21 Perbaikan Klasifikasi Sampel Tidak Akurat Penelitian potensi kekeringan ini tidak hanya didasarkan pada hasil interpretasi penginderaan jauh, melainkan hasil tersebut diintegrasikan dengan kondisi fisiografis berpengaruh terhadap kekeringan yaitu: curah hujan, hidrogeologi dan penggunaan lahan. Kondisi fisiografis tersebut merupakan data sekunder sehingga untuk penggunaan lebih lanjut dibutuhkan validasi data. Validasi data dilakukan untuk melihat kondisi sebenarnya, sehingga hasil akhir yang didapatkan sudah valid dikarenakan parameter-parameter yang digunakan

110 95 sudah diuji kebenaranya. Adapun data sekunder yang diuji validitasnya dalam penelitian ini yaitu peta hidrogeologi dan penggunaan lahan, sedangkan peta curah hujan tidak dilakukan karena dalam pembuatan peta tersebut menggunakan data curah dalam bentuk angka yang didapatkan dari BMKG. Pengambilan sampel untuk validasi data sekunder yaitu menggunakan metode acak. Peta penggunaan lahan diambil 30 sampel sesuai lokasi cek lapangan hasil interpretasi citra Landsat, sedangkan peta hidrogeologi diambil 4 sampel yang mewakili setiap kelasnya. Adapun peta lokasi pengambilan sampel penggunaan lahan dapat dilihat pada lampiran 4, sedangkan peta pengambilan sampel hidrogeologi dapat dilihat pada lampiran 5. Hasil dari uji validitas peta hidrogeologi dan peta penggunaan lahan menunjukkan bahwa data peta tersebut valid dikarenakan anatara peta dengan kondisi di lapangan tidak ada penyimpangan. Berikut tabel uji validitas data sekunder tersebut. Tabel 4.11 Validasi Kondisi Hidrogeologi No Jenis akuifer Kedalaman Lokasi muka airtanah 1 Produksi kecil 18 m Ds. Bono Kec. Tulung 2 Produksi sedang 7 m Ds. Jimbung Kec. kalikotes 3 Produksi tinggi 5 m Ds. Pucangmiliran Kec. Tulung Sumber: Peta hidrogeologi, dan cek lapangan Kondisi kedalaman air tanah pada akuifer prodiktifitas kecil di Desa Bono Kecamatan Tulung berkisar 18 m, pada akuifer produktifitas sedang di Desa Jimbung Kecamatan berkisar 11 m, dan pada akuifer produktifitas tinggi di Desa

111 96 Pucangmiliran Kecamatan Tulung berkisar 8 m. dari sampel tersebut dapat diketahui bahwa pada setiap jenis akuifer kedalaman muka air tanah juga berbeda sesuai dengan potensinya. Hasil validasi peta penggunaan lahan yang dibuat oleh BAPPEDA Kabupaten Klaten dengan kondisi lapangan menunjukkan tidak adanya penyimpangan. Pengamatan lapangan mengambil sampel sejumlah 30 titik dapat ditunjukkan pada tabel 4.12 sebagai berikut. Tabel 4.12 Validasi Penggunaan Lahan No Koordinat Peta Lapngan No Koordinat Peta Lapangan Rawa Rawa Sawah Sawah Sawah Sawah Kebun Kebun Sawah Sawah Sawah Sawah Rumput Rumput Sawah Sawah Tegalan Tegalan Tegalan Tegalan Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah Pemukiman Lahan terbangun Pemukiman Pemukiman Pemukiman Lahan terbangun Pemukiman Pemukiman Pemukiman Lahan terbangun Sawah Sawah Pemukiman Lahan terbangun Kebun Kebun Tegalan Tegalan Kebun Kebun Rawa Rawa Pemukiman Lahan terbangun Pemukiman Lahan terbangun Sawah Sawah Pemukiman Lahan terbangun Kebun Kebun sawah sawah Sumber: Peta Penggunaan Lahan dan Cek Lapangan, 2012.

112 Pembahasan Sebaran Daerah Berpotensi Kekeringan Hasil penelitian ini mengklasifikasikan potensi kekeringan di Kabupaten Klaten menjadi 5 kelas yaitu: Potensi kekeringan sangat rendah, potensi kekeringan rendah, potensi kekeringan agak tinggi, potensi kekeringan tinggi dan potensi kekeringan sangat tinggi (Gambar 4.20). Berdasarkan perhitungan data hasil penelitian (Tabel 4.8) menunjukan bahwa potensi kekeringan agak tinggi mendominasi daerah penelitian dengan kisaran 49,73% dari luas wilayah. Sedangkan luas potensi kekeringan tinggi mencakup 35,29% dari luas wilayah, luas potensi kekeringan rendah mencakup 7,63% dari luas wilayah, luas potensi kekeringan sangat tinggi mencakup 7,13% dan potensi kekeringan sangat rendah di Kabupaten Klaten merupakan kelas potensi yang paling kecil luasanya hanya mencakup 0,22% dari luas wilayah. Dari uraian di atas dapat diketahui lebih dari 50% luas Kabupaten Klaten berpotensi kekeringan agak tinggi hingga sangat tinggi dan kurang dari 50% luas Kabupaten Klaten berpotensi rendah hingga sangat rendah. Hal ini sejalan dengan catatan BNPB tahun 2009 yang memasukan Kabupaten Klaten dalam 10 kabupaten paling berpotensi kekeringan. Wilayah berpotensi kekeringan kelas tinggi dan sangat tinggi di Kabupaten Klaten berada bagian selatan dan bagian tengah (Gambar 4.20). Bagian selatan dari Kabupaten Klaten berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunung Kidul. Terdapat beberapa faktor penyebab bagian selatan Kabupaten Klaten rawan terhadap kekeringan. Secara kondisi fisiografis daerah ini memiliki kondisi

113 98 akuifer produktivitas sedang hingga air tanah langka. Berdasarkan data curah hujan tahun 2008 hingga 2011 dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kondisi curah hujan daerah ini berkisar antara mm/th, dengan curah hujan yang relatif kecil dan potensi air tanah yang terbatas menjadikan input dan output air tidak seimbang. Daerah ini berpotensi kekeringan tinggi dibuktikan dengan banyaknya penggunaan lahan pertanian lahan kering atau tegalan (Gambar 4.7). Pada musim kemarau daerah ini cenderung lebih kering yaitu pada Kecamatan Bayat dan Kecamatan Cawas (Gambar 4.20). Selain bagian selatan Kabupaten Klaten, potensi tinggi terhadap kekeringan juga berada pada daerah tengah Kabupaten Klaten yang merupakan wilayah pusat dan perkembangan kota. Daerah tersebut meliputi Kecamatn Klaten Utara, Klaten Tengah, Klaten selatan, Ngawen, Kebonarum dan Prambanan (Gambar 4.20). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan daerah ini berpotensi tinggi terhadap kekeringan. Kondisi fisiografis pada daerah ini memiliki curah hujan terkecil dibandingkan daerah lain dengan kisaran curah hujan antara mm/th (Gambar 4.5). Di samping kondisi curah hujan yang kecil, bagian tengah Kabupaten Klaten berada pada kondisi akuifer produktivitas kecil. Sebagi ibukota kabupaten, daerah ini mengalami perkembangan bangunan yang tinggi baik pemukiman, pertokoan maupun industri. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya kerapatan vegetasi sebagai penyimpan air serta menaikkan suhu permukaan yang dapat memperbesar tingkat penguapan. Berdasarkan kondisi fisiografis yang dimiliki bagian tengah Kabupaten Klaten, daerah ini mempunyai kemungkinan besar terjainya ketidakseimbangan

114 99 antara input dan output air. Oleh karena itu, derah ini memiliki potensi yang besar untuk terjadinya kekeringan. Berdasarkan fakta di lapangan yang termuat di beberapa media berita, pada musim kemarau 2012 terdapat beberapa kecamatan yang merupakan daerah penghasil beras di Kabupaten Klaten yang mengalami kekeringan. Daerah daerah tersebut diantaranya pada Kecamatan Gantiwarno, Cawas, Trucuk, Klaten Tengah, Wonosari, dan Ceper. Kecamatan tersebut terancam gagal panen dikarenakan sawah yang terus mengalami penurunan kelembaban, berita tersebut disampaiakan oleh ketua Himpunan Kerukunan Tani Indeonesia pada media berita Joglosemar (http/ Sedangkan pada media berita yang lain menyebutkan selain kecamatan tersebut ada juga kecamatan yang terancam kekeringan yaitu: Juwiring, Karanganom, Karangnongko dan Pedan Kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mengidentifikasi Daerah Berpotensi Kekeringan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menginterpretasi secara digital citra Penginderaan Jauh (Landsat 7 ETM+) dapat diketahui kondisi kerapatan vegetasi, kelembaban permukaan dan kecerahan obyek yang terekam pada citra. Kondisi kerapatan vegetasi dapat diinterpretasi dengan suatu transformasi citra multispektral. Salah satu transformasi tersebut yaitu dengan teknik NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Nilai spektral yang dihasilkan dari transformasi NDVI menunjukan tingkat kerapatan vegetasi, smakin tinggi nilai spektralnya maka akan semakin tinggi kerapatan vegetasinya, sebaliknya semakin

115 100 rendah nilai spektralnya maka akan semakin rendah pula kerapatan vegetasinya. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan kerapatan vegetasi yang tinggi maka daerah tersebut mempunyai kondisi perairan yang bagus, sebaliknya dengan kerapatan vegetasi yang rendah maka daerah tersebut mempunyai kondisi perairan yang kurang bagus. Kondisi kelembaban permukaan tanah pada citra Landsat 7 ETM+ dapat diinterpretasi menggunakan suatu transformasi Indeks Kebasahan. Nilai spektral yang dihasilkan dari transformasi Indeks Kebasahan menunjukkan tingkat kelembaban permukaan. Semakin tinggi nilai spektral yang dihasilkan maka semakin lembab daerah tersebut. Sebaliknya semakin rendah nilai spektral yang dihasilkan maka akan semakin kering daerah tersebut. Dengan menilai kelembaban permukaan, penelitian ini mengasumsikan semakin lembab permukaan suatu daerah maka akan semakin tidak berpotensi terhadap kekeringan, sebaliknya semakin rendah kelembaban suatu daerah maka akan cenderung berpotensi terhadap kekeringan. Sama halnya dengan indeks kebasahan, indeks kecerahan pada dasarnya juga menilai kelembaban suatu obyek. Semakin tinggi nilai spektral yang dihasilkan maka akan semakain cerah obyek tersebut, sebaliknya semakin rendah nilai spektral yang dihasilkan maka akan semakin lembab obyek tersebut. Dengan asumsi bahwa semakin cerah maka akan semakin kering obyek tersebut, sebaliknya semakin gelap maka akan semakin basah obyek tersebut. Sistem Informasi Geografis dalam mengolah data spasial dapat digunakan untuk menggabungkan beberapa data spasial serta menganalisis data atribut.

116 101 Sistem Informasi Geografis dalam penelitian ini berperan menginformasikan kondisi fisiografis berpengaruh terhadap kekeringan serta memberi harkat setiap kondisi tersebut. Hasil pengolahan dari citra Landsat 7 ETM+ diintegrasikan dengan kondisi fisiografis menggunakan teknik SIG yaitu pengharkatan, pembobotan dan penggabungan. Setiap parameter diberi harkat sesuai dengan tingkat pengaruhnya terhadap kekeringan. Setelah dilakukan proses pengharkatan, penggabungan dan pembobotan maka didapatkan kelas potensi kekeringan. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui penginderaan jauh dan sistem informasi geografis mampu mendeteksi potensi kekeringan. Peran penginderaan jauh dalam penelitian potensi kekeringan ini yaitu mengidentifikasi kondisi permukaan. Sedangkan sistem informasi geografis mampu mengkelaskan tingkat potensi kekeringan di daerah penelitian dengan teknik pengharkatan, pembobotan dan overlay.

117 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan yaitu: 1. Kabupaten Klaten terdapat 5 kelas potensi kekeringan yaitu: Potensi kekeringan sangat rendah seluas 155,610 ha (0,22%), potensi kekeringan rendah seluas 5348,789 ha (7,63%), potensi kekeringan agak tinggi seluas 34839,348 ha (49,73%), potensi kekeringan tinggi seluas 24724,229 ha (35,29%) dan potensi kekeringan sangat tinggi seluas 4992,734 ha (7,13%). Sebaran daerah yang berpotensi kekeringan kelas tinggi dan sangat tinggi terdapat pada Kabupaten Klaten bagian selatan yaitu pada Kecamatan Bayat, Cawas dan sekitarnya serta pada Kabupaten Klaten bagian tengah yaitu pada Kecamatan Klaten, Jogonalan dan sekitarnya. 2. Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis mampu mengidentifikasi daerah berpotensi kekeringan. Menggunakan data citra Penginderaan Jauh berupa Landsat 7ETM+ dapat digunakan untuk menganalisis kondisi permukaan yang berkaitan dengan kerawanan kekeringan. Kondisi tersebut adalah kerapatan vegetasi dan kelembaban permukaan. Sistem Informasi Geografis (SIG) berperan dalam menginformasikan kondisi fisiografis yang dapat berpengaruh pada kekeringan seperti curah hujan, hidrogeologi dan penggunaan lahan. Menggunakan Sistem Informasi Geografis, beberapa kondisi tersebut dapat digabungkan sehingga 102

118 103 menghasilkan keluaran suatu keluaran baru berupa potensi kekeringan. Penelitian potensi kekeringan ini berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, maka keluaran dari penelitian ini berupa informasi dalam bentuk spasial yang disajikan dalam sebuah peta. 5.2 Saran 1. Daerah yang mempunyai potensi tinggi untuk terjadinya kekeringan diharapkan mendapatkan prioritas utama dalam mitigasi bencana kekeringan. 2. Peta potensi kekeringan bermanfaat untuk penanganan bencanan kekeringan, sehingga daerah-daerah yang belum mempunyai peta seperti ini diharapkan membuat peta potensi kekeringan. 3. Mendeteksi potensi kekeringan berbasis Penginderaan Jauh dan sistem Informasi Geografis membutuhkan pengetahuan dasar mengenai pengolahan citra digital, sehingga peneliti berikutnya diharapkan mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh digital secara mendalam.

119 106 DAFTAR PUSTAKA BNPB Indeks Rawan Bencana. Jakarta: Badan Nasional penanggulangan Bencana. Danoedoro, Projo Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Andi Offset. Dian, Risa Penentuan daerah potensi genangan di sebagian kota surakarta dengan teknik penginderaan jauh dan sig. Skripsi. Yogyakarta: UGM., Draft Final TKPSDA. Jakarta: Kementrian Pengelolaan Sumber Daya Air. Fersely Identifikasi Indikator Kekeringan menggunakan teknik Penginderaan Jauh. Artikel Skripsi. Bogor: IPB., Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Harjadi, Beny Analisis Kerentanan Tumbuhan Hutanakibat Perubahan Iklim (Variasi Musim & Cuaca Ekstrim). Laporan Penelitian. Solo: Balai Penelitian Kehutanan. Prahasta, Eddy Sistem Informasi Geografis Konsep-konsep dasar (Prespektif Geodesi&Geomatika). Bandung: Informatika. Purwadhi, Sri H Interpretasi Citra Digital. Jakarta: Gramedia. Purwadhi, Sri H dan Tjaturrahono BS Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Semarang: Unnes dan Lapan. Raharjo, Puguh Dwi Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Potensi Kekeringan Kabupaten Kebumen. Jurnal makara teknologi, vol. 14 no. 2, November 2010: Karangsambung: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Shofiyati, Rizatus Inderaja untuk Mengkaji Kekeringan di Lahan Pertanian. Jurnal informatika pertanian volume 16 no.1, Juli Jakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

120 107 Tika, Moh. Pabundu Metode Penelitian Geografi. Jakarta: Bumi Aksara. Tjahjono, Heri Analisis Potensi Wilayah. Semarang: Unnes. Winati, Rahma Aplikasi Indeks Vegetasi untuk Penentuan Potensi Rawan Terhadap Kekeringan di sebagian Kabupaten Kulonprogo. Tugas Akhir. Yogyakarta: Universitas Gajahmada. Yuwono,Arief Antisipasi Bencana Banjir dan Longsor di Indonesia. diunduh pada lingkungan Hidup.go.id (27 Agustus 2012). Pos.com. diakses pada 8 September Diakses pada 27 Agustus 2012

121 108 Lampiran Lampiran 1. Cara Pengolahan Data Raster atau Citra Pada penelitian ini citra yang digunakan adalah Citra Landsat 7 ETM+ perekaman september 2002 dan september Citra Landsat 7 ETM+ dapat diperoleh dari Pengolahan citra diproses menggunakan aplikasi Er-Mapper 7.0. Adapun cara pengolahan citra menggunakan aplikasi Er- Mapper diuraikan sebagai berikut. Lampiran 1.1. Layer Stacking (Penggabungan band) Tahap awal yang harus dilakukan dalam pengolahan citra penginderaan jauh yaitu layer stacking dimana tahap ini merupakan proses penggabungan beberapa band menjadi satu sehingga menjadi citra multilayer. Pada penelitian ini digunakan citra Landsat 7 ETM+ dengan band yang digunakan yaitu band 1-7. Adapun proses layer stacking dijelaskan pada gambar sebagai berikut:

122 109 Dengan mengimport/menggabungkan band 1-7 diperoleh hasil citra komposit band 321 seperti berikut Landsat 7ETM Landsat 7ETM Lampiran 1.2. Koreksi Geometri Koreksi geometrik diperlukan untuk menempatkan piksel-piksel citra pada posisi koordinat yang tepat. Kesalahan penempatan piksel terjadi karena berbagai faktor baik faktor internal maupun eksternal sensor penginderaan jauh. Citra Landsat 7ETM+ yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra landsat level 1T yang artinya pada level tersebut citra sudah terkoreksi geometri. Namun acuan yang digunakan dalam koreksi geometri menggunakan data DEM. Dalam penelitian ini dilakukan koreksi geometri ulang dengan acuan citra Landsat 5 TM tahun 2009 yang telah terkoreksi geometri dari LAPAN dengan harapan untuk menurunkan tingkat RMSE (kesalahan geometri). Adapun hasil dari koreksi geometri yang dilakukan pada Landsat 7ETM mendapatkan hasil RMSE terkecil 0.02 dan RMSE terbesar 0.61 dengan rata-rata RMSE sebesar 0.15 dari 20 titik GCP yang dibuat. Sedangkan pada Landsat 7ETM mendapatkan hasil

123 110 RMSE terkecil 0.00 dan RMSE terbesar 0.22 dengan rata-rata RMSE sebesar 0.05 dari 20 titik GCP yang dibuat. Proses koreksi geometri dapat dijelaskan sebagai berikut, 1. Panggil citra yang akan dikoreksi 2. Dari menu bar pilih procces geocoding wizard 3. Pada kotak dialog geocoding wizard terdapat 5 tahap yang dilakukan 4. Start: masukkan citra yang akan dikoreksi, pilih polynomial 5. Polynomial setup: pilih linear 6. GCP setup: masukkan citra yang menjadi referensi (acuan) 7. GCP edit: pada tahap ini menentukan titik GCP, klik lokasi GCP pada citra Corrected GCP sebagai titik acuan (koreksi) kemudian klik pada lokasi yang sama pada citra Uncorrected GCP. Ketelitian pada tahap ini menentukan nilai RMS yang akan didapatkan 8. Rectify: masukkan nama keluaran citra hasil koreksi, klik save file and start rectification.

124 111 Lampiran 1.3. Cloud Masking (Pemisahan awan) Cloud masking (pemisahan awan) digunakan untuk diskriminasi atau memisahkan awan dari citra karena awan dianggap mengganggu dalam interpretasi digital yang berkaitan dengan nilai spektral. Pemisahan awan pada Er- Mapper dapat dilakukan menggunakan tool highlight cloud. Adapun proses pemisahan awan sebagai berikut. 1. Klik pada tool highlight cloud, pada kotak dialog pilih dataset yang akan diproses. 2. Simpan file yang telah dilakukan highlight cloud dalam format ers. 3. Lakukan proses raster cells to vector polygons dari menu procces. 4. Tentukan input (format ers) dan outputnya (format erv). 5. Kemudian konversi file vektor erv menjadi region dalam citra yang akan dihapus awanya dengan memilih menu procces > polygons < - > vector conversion > vector dataset polygons to regions. 6. Pada kotak dialog vector to region conversion, tentukan input (data vektor yang dihasilkan dalam langkah 3) dan outputnya (file ers citra yang akan dihapus awanya)

125 Buka citra yang berisi region awan (format ers). Kemudian pada algorithm-nya, klik edit formula sehingga muncul kotak dialog formula. Ketikkan rumus: IF (INREGION(r1)) THEN null ELSE i1, dan pada pilihan regions pastikan REGION1 : 255. Lakukan hal tersebut untuk semua band pada dataset citra tersebut. Lampiran 1.4. Penggabungan Citra 2002 dan 2012 Penggabungan citra tahun 2002 dan 2012 dimaksudkan untuk menambal baris-baris kosong yang terdapat pada citra 2012 karena terjadinya SLC-off. Berikut langkah penggabungan citra tahun 2002 dan Buka citra dua tahun dalam satu algorithm 2. Gandakan jumlah band sebanyak enam band pada masing-masing citra

126 Gabungkan semua band menjadi satu layer dengan cara memindahkan (drag) layer bawah ke atas. 4. Setelah digabungkan, kemudian simpan dalam format ers. Gambar di atas merupakan hasil dari penggabungan citra 2012 dengan citra Dapat dilihat pada citra 2002 yang memberikan efek garis. Citra tersebut sudah dilakukan koreksi geometric sehingga pada citra yang bertampalan pergeseranya masih dapat ditoleransi. Jalan di tepi rawa pada citra 2012 dan citra 2002 terhubung tanpa adanya pergeseran yang berarti. Lampiran 1.5. Pemotongan Citra (Cropping citra)

127 114 Citra Landsat 7ETM+ yang sudah digabungkan kemudian dipotong sesuai daerah penelitian (Kabupaten Klatena). Dalam pemotongan citra sesuai region yang diingankan menggunakan data vektor batas administrasi Kabupaten Klaten yang bersumber dari Bakosurtanal. Cara pemotongan citra sesuai batas administrasi sebagai berikut: 1. Buka citra landsat 7ETM+ gabungan 2002 dan Siapkan batas administrasi dalam format shapefile 3. Pada menu bar er mapper pilih utilities input vector and GIS format esri sahpefile import 4. Pada kotak dialog import shapefile, isikan nama file yang akan di input dan nama file outputnya 5. Pada menu bar pilih process polygon <-> region conversion vector dataset polygon to region. Kemudian pada kotak dialog isikan input dan outputnya. 6. Pada menu bar pilih edit edit/creat region. Pada kotak dialog new map composition pilih raster dan ok.

128 Setelah pada citra muncul batas administrasinya, buka formula editornya. Pada formula editor pilih standard inside region polygon test. Terapkan pada masing masing RGB. 8. Untuk menyimpan hasil pemotongan agar tetap menjadi citra multispektral 6 band, maka pada RGB diubah menjadi pseudo layer copy menjadi 6 band dan beri nama sesuai bandnya. 9. Setelah itu, simpan data hasil pemotongan dalam bentuk ers. Lampiran 1.6. Koreksi Radiometri Koreksi radiometri diperlukan atas dasar dua alasan, yaitu untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya. Secara garis besar, koreksi radiometri meliputi dua kelompok besar metode, yaitu koreksi yang bertumpu pada informasi dari dalam citra sendiri dan

129 116 koreksi yang mempertimbangkan faktor-faktor luar yang berpengaruh terhadap kesalahan informasi yang ada pada citra. Adapun metode koreksi dalam penelitian ini menggunakan koreksi yang bertumpu pada informasi dari dalam citra sendiri yaitu menggunakan teknik penyesuaian histogram. Metode penyesuaian histogram merupakan teknik koreksi radiometri yang paling sederhanan dengan hanya melihat histogram setiap saluran secara independen. Dari historam dapat diketahui nilai piksel terendah saluran tersebut. Asumsi yang melandasi metode ini adalah bahwa dalam proses koding digital oleh sensor, obyek yang memberikan respon spektral paling lemah atau tidak memberikan respon sama sekali seharusnya bernilai 0. Berikut nilai statistik pada citra Landsat 7ETM+ yang telah melalui proses croping wilayah Klaten Teknik koreksi radiometri penyesuaian histogram sebagai berikut: Preformula transform Post Formula tranform 1. Buka citra landsat 7ETM+ yang telah dipotong sesuai area 2. Buka kotak dialog algorithma

130 Pada tampilan awal di kotak dialog algirithm, susunan awal tampilan citra secara deafult dalam mode RGB. Pada tab Surface ubah Color Mode menjadi Pseudocolor. Lalu kembali pada tab Layer. 4. Ubah Red layer menjadi Pseudo layer dengan klik kanan pada layer tersebut lalu pilih Pseudo. Dobel klik pada layer tersebut dan ubah nama layer menjadi band1. Lalu arahkan pilihan band pada Band 1 citra landsat 5. Lakukan hal yang sama pada Green layer dan Blue layer. Ubahlah nama layer menjadi band2 dan band3. 6. Karena citra landsat 7ETM+ memiliki 6 band multispektral maka gandakan layer dengan klik ikon duplikat layer menjadi sebanyak 6 buah dan lakukan hal yang sama pada band4, band5 dan band7. 7. Pada tiap-tiap band buka histogram Preformula transform, kemudian ubah nilai spektral pada histogram sesuai dengan nilai kesalahan radiometrisnya atau bisa dengan menekan actual limitnya. Setelah terisi klik refresh. 8. Pada histogram Post Formula tranform nilai actual limit akan berubah sendirinya

131 118 Preformula transform Post Formula tranform Lampiran 1.7. Transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Citra Landsat 7ETM+ Kabupaten Klaten yang telah terkoreksi radiometri siap untuk dilakukan analisis NDVI. Seabagian besar aplikasi pengolahan citra penginderaan jauh telah terpasang tool untuk menganalisis NDVI, Aplikasi Er- Mapper pun sudah terdapat tool tersebut. Berikut langkahnya: 1. Buka aplikasi er-mapper kotak dialog algorithm 2. Pada kotak dialog algorithm buka citra Landsat 7ETM+ dengan tampilan pseuducolor. 3. Setelah citra terbuka, pada dialog algorithm buka edit formula. 4. Pada kotak dialog edit formula kemudian pilih ratio Landsat TM NDVI.

132 119 Berikut hasil transformasi NDVI dengan tampilan pseuducolor.nilai spektral yang didapatkan transformasi NDVI Kabupaten Klaten antara -0,878 sampai dengan 0,948. Hasil transformasi tersebut disimpan dalam format Er-mapper virtual dataset untuk menjaga nilai spektral tidak berubah ketika akan dilakukan proses klasifikasi lebih lanjut. Lampiran 1.8. Klasifikasi nilai spektral NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Hasil dari transformasi NDVI perlu diklasifikasikan untuk analisis lebih lanjut. Dalam klasifikasi ini digunakan teknik kalsifikasi nilai spektral dimana pemotongan nilai spektral mengacu pada histogram yang dihasilkan oleh transformasi NDVI. Berdasarkan kurva histogram tersebut dilakukan pengkelasan sebanyak 5 kelas yaitu:

133 120 No Interval nilai Klasifikasi spektral 1-1 s/d Lahan tidak bervegatasi s/d 0.19 Vegetasi sangat rendah s/d 0.50 Vegetasi rendah s/d 0.63 Vegetasi sedang s/d 1.00 Vegetasi tinggi Berikut teknik klasifikasi nilai spektral transformasi NDVI: 1. Buka citra NDVI yang sudah disimpan dalam format virtual dataset (ers). 2. Pada kotak dialog algorithm edit formula, masukkan rumus klasifikasi yang telah ditentukan menjadi 5 kelas. IF I1 <= THEN 1 ELSE IF I1 > AND I1 <= 0.19 THEN 2 ELSE IF I1 > 0.19 AND I1 <= 0.50 THEN 3 ELSE IF I1 > 0.50 AND I1 <= 0.63 THEN 4 ELSE IF I1 > 0.63 THEN 5 ELSE NULL 3. Setelah memasukkan rumus klasifikasi, atur histogramnya agar sesuai dengan hasil klasifikasi. Dengan tampilan color table grennes, didapatkan citra yang telah terklasifikasi sebagai berikut

134 121 Citra hasil klasifikasi transformasi NDVI telah didapatkan, namun citra ini masih dalam bentuk raster. Untuk analisis lebih lanjut dibutuhkan hasil transformasi NDVI dalam format vektor karena akan dioverlaykan dengan parameter lain yang berformat vektor. Berikut cara mengubah data raster ke dalam format vektor menggunakan Er-Mapper 1. Hasil klasifikasi NDVI disimpan dalam format Raster Virtual Dataset (ers) agar nilai klasifikasi tersebut tersimpan. 2. Buka kembali hasil penyimpanan tersebut, kemudian pada menu bar pilih Process raster Cells to Vector Polygons. Pada kotak dialog raster Cells to Vector Polygons isikan citra yang mau diubah pada input raster dataset dan isikan nama keluaranya (erv) pada output vector dataset. Centang kotak smooth untuk menghaluskan hasil.

135 Setelah didapatkan citra dalam format (erv), kemudian pilih Utilities Export Vector and GIS format esri shape File Export. 4. Pada kotak dialog Export ESRI shapefile isikan input dan outputnya, setelah ini citra hasil transformasi NDVI sudah dalam bentuk format Shapefile dan siap dibuka menggunakan ArcGIS/ArcVew untuk dilakukan analisis lebih lanjut. format ers format shp

136 123 Lampiran 1.9. Transformai Indeks Kecerahan (Brightness Index) Transformasi indeks kecerahan dilakukan untuk mendapatkan tingkat kecerahan suatu obyek perekaman citra penginderaan jauh. Dalam penelitian ini analisis indeks kecerahan dilakukan menggunakan suatu algoritma transformasi citra yang dikembangkan oleh Kauth dan Thomas (1976) khusus untuk citra Landsat 7ETM+ dengan rumus algoritma sebagai berikut: BI=(0.3561*B1)+(0.3972*B2)+(0.3904*B3)+(0.6966*B4)+(0.2286*B5)+ (0.1596*B7) Adapun proses transformasi indeks kecerahan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Buka citra Landsat 7ETM+ pada aplikasi Er-Mapper dengan tampilan Pseuducolor. 2. Pada kotak dialog algorithm buka edit algorithm dan masukkan rumus indeks kecerahan. 3. Nilai spektral dari transformasi indeks kecerahan citra Landsat 7ETM+ Kabupaten Klaten berkisar antara 7,31 sampai dengan 528,02. Atur histogram hingga nilai actual limit sesuai hasil.

137 124 Hasil transformasi tersebut disimpan dalam format Er-mapper virtual dataset untuk menjaga nilai spektral tidak berubah ketika akan dilakukan proses klasifikasi lebih lanjut. Lampiran Klasifikasi Nilai Indeks Kecerahan (Brightness Index) Hasil dari transformasi Indeks Kecerahan perlu diklasifikasikan untuk analisis lebih lanjut. Dalam klasifikasi ini digunakan teknik kalsifikasi nilai spektral dimana pemotongan nilai spektral mengacu pada histogram yang dihasilkan oleh transformasi Indeks Kecerahan. Berdasarkan kurva histogram tersebut dilakukan pengkelasan sebanyak 5 kelas yaitu: No Interval nilai spektral Klasifikasi gelap Gelap Agak cerah Cerah 5 > cerah Berikut teknik klasifikasi nilai spektral transformasi indeks kecerahan: 1. Buka citra indeks kecerahan yang sudah disimpan dalam format virtual dataset (ers).

138 Pada kotak dialog algorithm edit formula, masukkan rumus klasifikasi yang telah ditentukan menjadi 5 kelas. IF I1 <= THEN 1 ELSE IF I1 > AND I1 <= THEN 2 ELSE IF I1 > AND I1 <= THEN 3 ELSE IF I1 > AND I1 <= THEN 4 ELSE IF I1 > 600 THEN 5 ELSE NULL 3. Setelah memasukkan rumus klasifikasi, atur histogramnya agar sesuai dengan hasil klasifikasi. Dengan tampilan color table Pseuducolor, didapatkan citra yang telah terklasifikasi sebagai berikut

139 126 Citra hasil klasifikasi transformasi indeks kecerahan telah didapatkan, namun citra ini masih dalam bentuk raster. Untuk analisis lebih lanjut dibutuhkan hasil transformasi indeks kecerahan dalam format vektor karena akan dioverlaykan dengan parameter lain yang berformat vektor. Adapun proses perubahan data format raster ke dalam format vektot sama seperti perubahan yang telah dilakukan pada Transformasi NDVI. Lampiran Transformai Indeks Kebasahan (Wetness Index) Transformasi indeks kebasahan dilakukan untuk mendapatkan tingkat kelembaban suatu obyek perekaman citra penginderaan jauh. Dalam penelitian ini analisis indeks kebasahan dilakukan menggunakan suatu algoritma transformasi citra yang dikembangkan oleh Kauth dan Thomas (1976) khusus untuk citra Landsat 7ETM+ dengan rumus algoritma sebagai berikut: WI=(0.2626*B1)+(0.2141*B2)+( *B3)+(0.0656*B4)-(0.7629*B5)- (0.5388*B6) Adapun proses transformasi indeks kebasahan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Buka citra Landsat 7ETM+ pada aplikasi Er-Mapper dengan tampilan Pseuducolor. 2. Pada kotak dialog algorithm buka edit algorithm dan masukkan rumus indeks kebasahan. 3. Nilai spektral dari transformasi indeks kebasahan citra Landsat 7ETM+ Kabupaten Klaten berkisar antara -215,875 sampai dengan 61,358. Atur histogram hingga nilai actual limit sesuai hasil.

140 127 Hasil transformasi tersebut disimpan dalam format Er-mapper virtual dataset untuk menjaga nilai spektral tidak berubah ketika akan dilakukan proses klasifikasi lebih lanjut. Lampiran Klasifikasi Nilai Indeks Kebasahan (Wetness Index) Hasil dari transformasi Indeks Kebasahan perlu diklasifikasikan untuk analisis lebih lanjut. Dalam klasifikasi ini digunakan teknik kalsifikasi nilai spektral dimana pemotongan nilai spektral mengacu pada histogram yang dihasilkan oleh transformasi Indeks Kebasahan. Berdasarkan kurva histogram tersebut dilakukan pengkelasan sebanyak 5 kelas yaitu: No Interval nilai spektral Klasifikasi 1 Nilai terendah s/d kering s/d Kering s/d Sedang/lembab s/d lembab s/d nilai tertinggi Tergenang Berikut teknik klasifikasi nilai spektral transformasi indeks kecerahan: 1. Buka citra indeks kebasahan yang sudah disimpan dalam format virtual dataset (ers). 2. Pada kotak dialog algorithm edit formula, masukkan rumus klasifikasi yang telah ditentukan menjadi 5 kelas.

141 128 IF I1 <= THEN 1 ELSE IF I1 > AND I1 <= THEN 2 ELSE IF I1 > AND I1 <= THEN 3 ELSE IF I1 > AND I1 <= THEN 4 ELSE IF I1 > THEN 5 ELSE NULL 3. Setelah memasukkan rumus klasifikasi, atur histogramnya agar sesuai dengan hasil klasifikasi. Dengan tampilan color table Pseuducolor, didapatkan citra yang telah terklasifikasi sebagai berikut Hasil dari klasifikasi nilai spektra indeks kebasahan Kabupaten Klaten hanya mendapatkan 5 kelas. Citra hasil klasifikasi transformasi indeks kecerahan telah

142 129 didapatkan, namun citra ini masih dalam bentuk raster. Untuk analisis lebih lanjut dibutuhkan hasil transformasi indeks kecerahan dalam format vektor karena akan dioverlaykan dengan parameter lain yang berformat vektor. Adapun proses perubahan data format raster ke dalam format vektot sama seperti perubahan yang telah dilakukan pada Transformasi NDVI. Lampiran 2. Cara pengolahan data vektor Untuk menghasilkan peta potensi rawan kekeringan dibutuhkan beberapa parameter-parameter yang telah disebutkan sebelumnya. Parameter-parameter tersebut dilakukan proses pengharkatan dan overlay sehingga menghasilkan informasi baru yaitu potensi kekeringan. Dalam proses penggabungan (overlay) digunakan data dengan format vektor yang diolah pada aplikasi ArcGIS kemudian untuk layout digunakan ArcVew. Adapun proses pengolahan parameter-parameter kekeringan pada aplikasi ArcGIS dan ArcVew diuraikan sebagai berikut Lampiran 2.1. Pendugaan Daerah Berpotensi Kekeringan Setelah didapatkan peta parameter kekeringan dan dilakukan pengharkatan pada tiap-tiap parameter, kemudian keseluruhan peta tersebut digabungkan (overlay). Adapun proses penggabungan menggunakan aplikasi arcgis agar dapat menghemat waktu pengerjaan karena dengan arcgis penggabungan dapat dilakukan secara langsung semua peta tersebut. Berikut proses penggabungan (overlay). 1. Jalankan aplikasi arcgis 9.3

143 Panggil semua peta yang telah dilakukan pengharkatan pada setiap kelasnya. 3. Menggunakan Arctoolbox, pilih analysis tools overlay intersect 4. Untuk mendapatkan kelas potensi kekeringan maka hasil dari overlay tersebut di jumlah harkatnya. Setelah didapatkan jumlah harkat kemudian dikelaskan menurut perhitungan yang telah dilakukan yaitu, No Kelas Interval Kelas 1 I 6 <=10 2 II >10 <=14 3 III >14 <=18 4 IV >18 <=22 5 V >22 Potensi Kekeringan rendah Rendah Agak tinggi Tinggi tinggi Berikut hasil penggabungan yang sudah dilakukan penjumlahan harkat dan sudah di kelaskan berdasarkan tingkat potensinya

144 131 Lampiran 2.2. Pembuatan Peta Curah Hujan Berdasarkan data curah hujan yang didapatkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (Lampiran 3), rata-rata curah hujan Kabupaten Klaten dalam rentang waktu 4 tahun ( ) berkisar antara mm/th. Dengan menggunakan metode polygon thiessen, didapatkan peta curah hujan kabupaten klaten. Adapun cara pembuatan peta curah hujan berdasarkan metode polygon tysson dapat diuraikan sebagi berikut. 1. Menyiapkan batas administrasi dan titik stasiun pengamatan hujan dalam format shapefile yang telah didisi atribut besaran curah hujannya.

145 Dengan menggunakan aplikasi arcgis 9.3, aktifkan Arctoolbox pilih Analysis tool proximity creat thiessen polygons. 3. Pada kotak dialog polygon thiessen, isikan titik stasiun pada input dan ubah nama pada hasil output. Perlu diperhatikan, agar hasil polygon thiesssen sesuai dengan batas administrasi yang diinginkan maka klik environment general setting. pada kotak extent isikan batas administrasi yang diingankan maka secara otomatis polygon yang akan dihasilkan sudah dipastikan akan mencakup seluruh wilayah administrasi. 4. Peta polygon Thiessen yang dihasilkan belum diklasifikasikan, artinya nilai curah hujan pada tiap-tiap polygon yang terbentuk masih dalam keadaan aslinya. 5. Setelah dilakukan klasifikasi, Kabupeten Klaten memiliki 3 interval curah hujan yaitu mm/th, mm/th dan mm/th. Sebelum terklasifikasi Sesudah terklasifikasi

146 133 Lampiran 2.3. Cara Penentuan Titik Sampel Teknik pengambilan sampel yaitu menggunakan teknik acak sederhana yang didasarkan pada hasil klasifikasi NDVI, namun tetap mempertimbangkan hasil indeks kecerahan dan kebasahan. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 titik pada setiap hasil transformasi NDVI, indeks kecerahan dan indeks kebasahan. Teknik penentuan sampel hasil transformasi tersebut dapat dilakukan setelah ke tiga hasil transformasi dilakukan penggabungan, sehingga pada satuan polygon yang akan diambil sampel sudah terdapat informasi ke tiga hasil transformasi. Berikut contoh gambar penentuan sampel pada hasil transformasi. Gambar di atas merupakan contoh penentuan sampel yang didasarkan pada hasil transformasi NDVI. Sebagai contoh dengan memilih kelas klasifikasi NDVI lahan tidak bervegetasi, maka akan didapatkan informasi kelas klasifikasi indeks kecerahan dan indeks kebasahan pada daerah yang sama.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional)

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional) Geo Image 2 (2) (2013) Geo Image (Spatial-Ecological-Regional) http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/geoimage DETEKSI POTENSI KEKERINGAN BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISIS SPASIAL TINGKAT KEKERINGAN WILAYAH KABUPATEN TUBAN

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISIS SPASIAL TINGKAT KEKERINGAN WILAYAH KABUPATEN TUBAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISIS SPASIAL TINGKAT KEKERINGAN WILAYAH KABUPATEN TUBAN Bangun Muljo Sukojo 1, Muharrama Putra Prayoga 1 1 Departemen Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan Indonesia Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL TINGKAT KEKERINGAN WILAYAH BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus : Kabupaten Tuban)

ANALISIS SPASIAL TINGKAT KEKERINGAN WILAYAH BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus : Kabupaten Tuban) i TUGAS AKHIR RG 141536 ANALISIS SPASIAL TINGKAT KEKERINGAN WILAYAH BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus : Kabupaten Tuban) MUHARRAMA PUTRA PRAYOGA NRP 3513 100 067 Dosen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota adalah Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Kota ini merupakan kota terbesar kelima setelah Kota Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Kota ini memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono I. PENGANTAR Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan Sukristiyanti et al. / Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No.1 ( 2007) 1-10 1 Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan SUKRISTIYANTI a, R. SUHARYADI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA Oleh : Amelia Oktaviani dan Yarjohan Prodi Ilmu Kelautan Mahasiwa Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu *E-mail : ameliaoktaviani049@gmail.com

Lebih terperinci

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian Disusun Oleh : Adhi Ginanjar Santoso (K3513002) Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 237.641.326 juta jiwa, hal ini juga menempatkan Negara Indonesia

Lebih terperinci

KEMAJUAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH SERTA APLIKASINYA DIBIDANG BENCANA ALAM. Oleh: Lili Somantri*)

KEMAJUAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH SERTA APLIKASINYA DIBIDANG BENCANA ALAM. Oleh: Lili Somantri*) KEMAJUAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH SERTA APLIKASINYA DIBIDANG BENCANA ALAM Oleh: Lili Somantri*) Abstrak Indonesia merupakan negara yang besar dengan luas wilayah hampir 2 juta km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI Land Use dan Land Cover

BAB 2 DASAR TEORI Land Use dan Land Cover BAB 2 DASAR TEORI Dalam melakukan analisis karakteristik pola perubahan land use dan land cover di Jawa Barat, terdapat beberapa teori-teori yang menjadi dasar dalam analisis pada tugas akhir ini. Teori-teori

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap

Lebih terperinci